Genesa Batubara

download Genesa Batubara

If you can't read please download the document

description

Bahan kuliah

Transcript of Genesa Batubara

  • BAB II

    GENESA BATUBARA

    2.1. TAHAP PEMBENTUKAN BATUBARA

    Dua tahap penting yang dapat di bedakan untuk mempelajari genesa batubara adalah gambut dan batubara. Dua tahap ini merupakan hasil dari suatu proses yang berurutan terhadap bahan dasar yang sama (tumbuhan). Menurut wolf 1984, secara definisi dapat diterangkan sebagai berikut:

    A. Gambut

    Adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi (proses pembentukan asam humin) dan dalam kondisi tertutup udara umumnya di bawah air tidak padat, dengan kandungan air lebih dari 75 % berat Ar ( Ah received = berat pada saat diambil di lapangan ) serta kandungan mineral lebih kecil dari 50 % dalam kondisi kering.

    B. Batubara

    Adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam. Sejak pengendapannya mengalami terkena proses fisika dan kimia yang mengakibatkan pengkayaan kandungan karbon.

    Berdasarkan klasifikasi Badan Standardisasi Nasional Indonesia tentang batubara, pengertian endapan batubara adalah : Endapan yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang telah mengalami kompaksi, ubahan kimia dan hampir proses metamorfosis oleh panas dan tekanan selama waktu geologi, yang berat kandungan bahan organiknya lebih dari 50% atau volume bahan organik tersebut termasuk kandungan lengas bawaan ( inherent moisture) lebih dari 70 %.

    Untuk menjadi batubara, ada beberapa tahapan yang harus di lewati oleh bahan dasar pembentuknya. Pada tiap tahapan ada proses yang terjadi dan proses-proses tersebut tergantung kepada banyak faktor.

    David White, (1961) mengatakan bahwa tahap perubahan tanaman yang mati menjadi batubara secara fisik dan kimiawi di tunjukan oleh hal hal seperti :

  • Fisik Kimia 1. Komposisi, pengeringan, pengerasan lit hifikasi. 2. Kekar,belah,skitstositas. 3. Rekontruksi. 4. Perubahan optik. 5. Dehidrasi hingga antrasit. 6. Perubahan warna kehitamana. 7. Kenaikan densitas. 8. Perubahan kilap. 9. perubahan pecahan dari berlapis ke konkoidal.

    1. Berkurangnya air hingga antrasit. 2. Berkurangnya oksigen. 3. Konservasi hidrogen hingga grafit. 4. Berkurangnya bitumen 5. Pembentukan hidrokarbon. 6. Hilangnya H dalam antrasit. 7. Naiknya daya tahan terhadap pelarut. 8. Naiknya daya tahan bakar.

    Selley (1976) mengatakan maturation atau coalification merupakan pertukaran unsur tanaman yang terjadi sesudah tanaman itu mati dan terendapkan. Pendewasaan (maturation), terjadi dalam dua tahap yaitu tingkat gambut (peat stage) dan tingkat timbunan (burial stage).

    Pada fase gambut terjadi perubahan biogenik, batang-batang tanaman yang mati terurai secara biokimia dan ketika terkubur mengalami pertambahan beban dari sedimen diatasnya serta mengalami peningkatan temperaturnya membuatnya dewasa secara dinamotermal sehingga lambat laun gambut berubah menjadi batubara.

    Tahap gambut merupakan syarat mutlak untuk pembentukan batubara. Dalam keadaan normal tumbuhan mati yang tersingkap di udara akan hancur oleh proses oksidasi dan oleh organisme, terutama fungi dan bakteri anaerob.

    Bila tumbuhan tertimbun dalam rawa sehingga jenuh air, maka terdapat beberapa kemungkinan perubahan. Bakteri aerobik yang membutuhkan oksigen akan segera mati seiring dengan berkurangnya oksigen dalam rawa. Sementara itu, bakteri anaerob yang tidak membutuhkan oksigen akan muncul dengan fungsi yang sama, yaitu menguraikan unsur-unsur tanaman.

    Jika keadaan air rawa tenang maka hasil kegiatan bakteri tidak akan hilang dan terkumpul di atasnya. Akibatnya, lingkungan rawa menjadi tidak bersih, aktifitas bakteri menjadi terbatas dan peruraian tumbuahan sisa kemudian berhenti. Pada tingkat ini hasilnya disebut peat ( gambut ).

    Jika gambut dialiri air maka bahan-bahan penghambat mejadi hilang terbawa aliran dan peruraian berlangsung lagi dan kemungkinan gambut tidak terbentuk. Jika endapan gambut tidak teraliri lagi, akan tetapi terkubur oleh lapisan sedimen halus yang sifatnya kedap air ( impermeable) maka pengawetan secara alami mungkin terjadi. Bila proses ini berlangsung berulang ulang maka akan terbentuk perlapisan batubara.

  • Faktor-faktor lain yang mengontrol pembetukan gambut :

    Kelembaban yang berlebihan (exces moisture) Pengiriman zat makan (suply of nutrients) Derajat keasaman atau alkalinitas Potensial oksidasi reduksi (redoks).

    Kelembaban yang berlebihan menyebebkan oksidasi berjalan pelan, kecepatan dari pembusukan lambat dan gambut cenderung tertimbun terus. Keasaman dari medium sekitar di pengaruhi oleh kandungan kapur ( CaCO3 ) dalam air.

    Menuru White (1908), terdapat dua tahap dalam pembentukan batubara, yaitu:

    1. Tahap Biokimia / peatifikasi. 2. Tahap Dinamokimia/Metamorfisme. 2.1.1. TAHAP BIOKIMIA / PEATIFIKASI

    Tahap ini merupakan proses perubahan dari bahan tumbuhan tumbuhan yang mengalami pembusukan dan kemudian terakumulasi hingga membentuk peat ( gambut ). Pada tahap ini adanya aktifitas mikroorganisme dan partikel partikel bakteri terhadap material tumbuh tumbuhan akan menyebabkan adanya oksigen yang cukup memadai. Pada tahap awal ini bila menguntungkan, akan terbentuk Peat yang berwarna hitam gelap atau dengan struktur amorf. Dan jika kurang menguntungkan akan terbentuk peat yang mengandung material material kayu dan material material lain yang tidak teruraikan ( tidak mengalami dekomposisi ) dengan warna coklat.

    Dengan demikian peat merupakan tahap awal dalam pembentukan batubara yang merupakan pemadatan dari bahan tumbuh tumbuhan yang mengalami pembusukan dan terakumulasi.

    Bahan utama dari tumbuh tumbuhan yang menghasil kan peat disebut selulose (CHO), diman proses kimia nya adalah sebagai berikut : CEx----> 6 COEw

    Tumbuh

    Tumbuhan Pembusukan/

    non Akumulasi

    Bakteri Pemadatan

    Peat

  • Proses pembusukan terjadi pada kondisi lingkungan yang oksigennya kurang, sehingga terjadi pembakaran yang tidak sempurna, misalnya pada daerah rawa/paya.

    Menurut Thiessen dan Strikler (1934) bahwa bakteri aerobik dan anaerobik dapat hidup di rawa /paya dengan kedalaman maksimal 9 feet. Actinomyces dan fungi (jamur) terdapat pada lapisan bagian atas dan tidak diketemukan pada kedalaman di bawah 4 feet.

    Proses terjadinya pembusukan di pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

    Temperatur air Sirkulasi air Jumlah oksigen dalam air (O; Jumlah toxin ada dalam air (toxin adalah kotoran dari bakteri), karena jika

    toxin terlalu banyak dalam air dapat meracuni bakterinya sendiri, sehingga aktifitas pembusukan terhenti.

    2.2. MOOR

    Moor adalah lapisan gambut dengan ketebalan minimun 30 cm (dalam hal tertentu lumpur juga termasuk di dalamnya).

    Gambut terjadi akibat penumpukan sisa tumbuhan yang tidak secara keseluruhan berwarna kemerah-merahan/teroksidasi terjadi di bawah kondisi basah (di bawah air), sehingga tidak seluruhnya berhubungan dengan udara.

    Menurut Ilmu tanah gambut adalah sedimen yang mengandung lebih besar dari 30 % substansi organik dalam kondisi kering. Sedangkan menurut pengertian yang lebih baru lagi, ada tiga kategori yang didasarkan pada temperatur pemanasan 5000 C. Disebut Moor kalau pada temperatur tersebut kehiangan berat 75 100 %. Kalau kehilangan berat 15 75 % disebut Anmoor, sedang kalau kehilangan berat 0 15 %, maka disebut mineral atau tanah.

    Beberapa kemungkinan bentuk morfoogi moor (sebagai contohnya adalah daerah Eropa Barat) dapat dilihat pada gambar 2.1. Dilihat dari permukaannyamaka moor dapat dibagi menjadi dua, yaitu : Hochmoor dan Niedermoor. Jenis tumbuhan yang hidup umumnya berbeda pada masing-masing tie moor. Pada niedermoor biasanya tumbuh rumput-rumputan dengan daun yang lebar dan tumbuhan perdu (sehingga pada musim semi dan pada musim panas kelihatan sangat hijau). Sementara hochmoor ditumbuhi oleh jenis tumbuhan yang sangat terbatas (lumut dan rumput dengan daun yang kecil). Untuk daerah yang beriklim sedang maka hochmoor ditumbuhi oleh Sphagnum dan untuk daerah tropis ditumbuhi oleh hutan lebat dengan bermacam tumbuhan.

  • 2.2.1 NIEDERMOOR/ LOWMOOR

    Niedermoor terbentuk pada lingkungan yang kaya akan bahan makanan (eutrop) atau pada suatu bagian perairan (danau) yang menjadi darat (Verlandung Nahrstofffreicher Gewasser), dimana kaya akan makanan bagi tumbuhan sebagai penyebab berlimpahnya/ tumbuh subur vegetasi.

    Air tanah atau laut yang bergerak bisa mengakibatkan suatu penghanuran yang cepat dari tumbuhan yang teah mati, sehingga penumpukkan gambut menadi lambat. Dalam hal ini gambut sangat basah/ banyak air. Permukaan moor dalam jangka waktu yang lama tertutup air (periode dalam setahun), sehingga jenis tumbuhan yang hidup disini menyesuaikan diri. Sering permukaan moor datar atau cekung. Hanya moor di lereng gunung bisa murung permukaannya. Moor ini tidak secara langsung tergantung pada air hujan, karena supply airnya bisa dari daerah sekitarnya berupa sungai atau air tanah.

    Gambar 2.3. Tipe tipe moor (Gotlich, 1986)

  • 2.2.2 HOCHMOOR/ HIGHMOOR

    Hochmoor bisa mencapai beberapa meter dari permukaan tanah dengan bentuk yang cembung. Moor ini tidak tergantung pada air tanah atau air kolam karena moor ini mempunyai sistem air tersendiri yang tergantung hanya pada air hujan. Moor ini terjadi akibat neraca air yang positif (penguapan lebih kecil dari uap hujan) sehingga air huan tersimpan dalam gambut. Akibatnya pH menjadi lebih kecil dan miskin akkan oksigen. Dengan demikian penghancuran sisa yumbuhan menjadi terhambat (penumpukkan gambut menjadi cepat). Karena miskin akkan bahan makanan maka disebut Ombrotoph.

    2.3. SEAM BATUBARA

    Di dalam batuan pembaa batubara, seam batubara merupakan lapisan tunggal dari batubara yang sebenarnya, batas atas disebut atap (roof) dan atas baah disebut lantai (floor). Batuan-batuan yang terdapat pada atap dan lantai mempunyai hubungan yang erat dengan pengendapan batuan tersebut.

    Bagian lantai biasanya merupakan batulempung, dicirikan dengan tidak dijumpainya jejak-jejak perlapisan atau laminasi yang bersifat karbonatan. Ketebalan dari bagian lantai mempunyai variasi yang besar, mulai dari beberapa miimeter sampai beberapa meter.

    Bagian atap biasanya kurang seragam dan lebih bervariasi jika dibandingkan dengan bagian lantai. Batas antara lapisan batubara dengan atap dapat bersifat tegas maupun berangsur.

    Seam batubara jarang terdiri dari batubara murni seluruhnya, biasanya lapisan yang tipis dari mineral-mineral (umumnya silt dan shale) bertindak sebagai sisipan dan disebut sebagai dirth bands atau shale parting. Lapisan tipis setebal beberapa milimeter sampai centimeter tersebut dapat berkembang sehingga seam batubara terpisah menjadi dua lapisan atau lebih (splitting).

    Gambar 2.4 : Perkembangan seam batubara

    2.4. FAKTOR PEMBENTUKAN BATUBARA

  • Batubara terbentuk dengan cara yang sangat kompleks dan memerlukan waktu yang sangat lama (dibawah pengaruh fisika,, kimia, maupun keadaan geologi). Untuk memahami bagaimana batubara terbentuk perlu diketahui dimana batubara terbentuk dan faktor-faktor yang akan memengaruhinya, serta bentuk lapisan batubaranya. Selalu perlu diingat pembentukan batubara umumnya terjadi disekitar lingkungan paralik atau limnik dan ditepi pantai. Berikut ini 2 macam teori yang menjelaskkan tempat terbentukknya batubara

    2.4.1. TEMPAT TERBENTUKNYA BATUBARA

    Pembentukan batubara di alam secara teoritis digolongkan dalam dua kategori kemungkinan, yang dikenal sebagai :

    1. Teori Insitu

    Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuknya ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian maka setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses pembatubaraan (coalification). Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relatif kecil. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia terdapat di lapangan batubara Muara Enim (Sumatera Selatan).

    2. Teori Hanyutan (Drifting)

    Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubarateradinya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang baik karenabanyakk mengandung material pengotor yang terangkkutbersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke sedimentasi. Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di lapangan batubara delta Mahakam purba, Kalimantan Timur.

    2.5. PROSES PALEOGRAFI DAN PALEOKLIMAT

    Pembentukan batubara merupakan proses yang komplek yang harus dinilai dan dipelajari dari segala segi. Sekitar sepuuh macam proses yang berbeda satu dengan lainnya, yang merupakan proses geologi, paleografi dan bersifat paleoklimatis. Semua itu merupakan penyebab terbentuknya batubara dalam suatu cekungan. Proses-proses diatas saling mempengaruhi dan juga saling tergantungsatu dengan lainnya.

  • Akumulasi batubara hanya dapat terjadi bila terdapat keseimbangan yang tepat dari parameter-parameter yang banyakl itu. Kesepuluh macam faktor yang berpengaruh tersebut adalah :

    1. Posisi geotektonik 2. Topografi (morfologi) 3. Iklim 4. Penurunan 5. Umur geologi 6. Tumbuh-tumbuhan 7. Dekomposisi 8. Sejarah sesudah pengendapan 9. Struktur cekungan batubara 10. Metamorfosis organik

    1. Posisi Geotektonik

    Posisi geotektoni adalah suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan faktor yang dominan. Posisi ini akan mempengaruhi iklim lokkal dan morfologi cekungan pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya. Pada fase terakhir, posisi geotektonikmempengaruhi proses metamorfosa organik dan struktur dari lapangan batubara melalui masa sejarah setelah pengendapan berakhir.

    2. Topografi

    Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk. Topografi mungkin mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan keadaannya bergantung pada posisi geotektonik.

    3. Iklim

    Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dalam kondisi yang sesuai. Iklim tergantung pada posisi geotektonik. Temperatur yang lembab pada ili tropis dan sub tropis umumnya sesuai untuk pertumbuhan flora dibandingkan wilayah yang lebih dingin. Hasi pengkajian menyatakan bahwa hutan rawa tropis mempunyai siklus pertumbuhan setiap 7 hingga 9 tahun, dengan ketinggian pohon sekitar 30 m. Sedangkan pada iklim yang lebih dingin ketinggian pohon hanya mencapai 5 hingga 6 m dalam selang waktu yang sama.

    4. Penurunan

    Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik. Jika penurunan dan pengendapan gambut seimbang akan dihasilkan endapan batubara tebal. Pergantian transgresi dan regresi mempengaruhi pertumbuhan flora dan pengendapannya. Hal tersebut menyebabkan adanya infitrasi material dan mineral yang mempengaruhi mutu dari batubara yang terbentuk.

  • 5. Umur Geologi

    Proses geoogi menentukan berkembangnya evolusi kkehidupan berbagai macam tumbuhan. Masa perkembangan geologi secara tidak langsung membahas sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Makin tua umur batuan makin dalam penimbunan yang terjadi, sehingga terbentuk batubara yang bermutu tinggi. Tetapi pada batubara yang memiliki umur geologi lebih tuaselalu ada deformasi tektonik yang membentuk struktur dan perlipatan atau patahan pada lapisan batubara. Disamping itu faktor erosi akan merusak semua bagian dari endapan batubara.

    6. Tumbuhan

    Flora merupakan unsur utama pembentu batubara. Pertumbuhan dari flora terakumulasi pada suatu lingkungan dan ona fisiografi dengan ilim dan topografi tertentu. Flora merupaka faktor penentuterbentuknya berbagai tipe batubara. Evolusi dari kehidupan menciptakan kondisi yang berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai dari Paleozoikum hingga Devon, flora belum tumbuh dengan baik. Setelah Devon pertama kali terbentuk lapisan batubara di daerah laguna yang dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan flora secara besar-besaran dalam waktu singkat pada setiap kontinen, hutan tumbuh dengan subur selama masa karbon. Masa Tersier merupakan perkembangan yang sangat luas dari berbagai jenis tanaman.

    7. Dekomposisi

    Dekomposisi fflora yang merupakan bagian transformasi biokimia dari organik merupakan titik awal untu seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan gambut sisa tumbuhan akan mengalami perubahan, baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan (decay) akan terjadi oleh kerja mikkrobiologi (bakteri anaerob). Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti selulosa, protoplasma, dan pati. Dari proses diatas terjadi perubahan dari kayu menjadi lignit dan batubara bitumen. Dalam suasana kekurangan oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air ( H2O) dan sebagian unsur karbon akan hilang dalam bentukk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan metan (CH4). Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut jumlah relatif unsur karbon akan bertambah.kecepatan pembentukan gambut akan bergantung pada kecepatan perkembangan tumbuhan dan proses pembusukkan. Bila tumbuhan tertutup oeh air dengan cepat, maka akan terhindar dari proses pembusukan, tetapi terjadi proses desintegrasi atau penguraian oleh mikrobiologi. Bila tumbuhan yang telah mati terallu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang sehingga hanya bagian keras saa tertinggal yang menyulitkan penguraian oleh mikrobiologi.

    8. Sejarah Sesudah Pengendapan

    Searah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik yang mempengaruhi perkkembangan batubara dan cekkungan batubara. Secara singkat terjadi

  • proses geokimia dan metamorfosa organik setelah pengendapan gambut. Disamping itu sejarah geologi endapan batubara bertanggung jawab terhadap terbentuknya struktur cekungan batubara, berupa perlipatan, pensesaran, intrusi magmatik dan sebagainya.

    9. Struktur Cekungan Batubara

    Terbentuknya batubara pada cekungan batubara umumnya mengalami deformasi oleh gaya tektonik, yang akan menghasikan lapisan batubara dengan bentuk-bentuk tertentu. Disamping itu adanya erosi yang intensif menyebabkan bentuk lapisan batubara tidak menerus.

    10. Metamorfosa Organik

    Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau penguburan oleh sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia tidak berperan lagi tetapi lebih didominasi olehproses dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan gambut menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen dan zat terbang (seperti CO2, CO, CH4, dan gas lainnya) serta bertambahnya proosentase karbon adat, belerang, dan kandungan abu. Pperubahan mutu batubar diakibatkkan oleh faktor tekanan dan waktu. Tekanan dapat disebabkan oeh lapisan sedimen penutup yang sangat tebal atau karena tektonik. Hal ini menyebabkan bertambahnya tekanan dan percepatan proses metamorfosa organik. Proses metamorfoosa organik akan dapat mengubah gambut menjadi batubara sesuai dengan perubahan sifat kimkia, fisik, dan optiknya.

    2.6. REAKSI PEMBENTUKAN BATUB ARA

    Batubara tebentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama dari cellulosa. Proses pembentukan batubara atau coalification yang dibantu ffaktor fisika, kimia alam akan mengubah cellulosa menjadi lignit, subbitumen, dan antrasit. Reaksi pembentukan batubara dapat digambarkan sebagai berikut :

    Keterangan : Cellulosa (zat organik) merupakan zat pembentuk batubara. Unsur C dalam lignit lebih sedikkit dibanding bitumen. Semakin banyak unsur C, lignit semakin banyakk mutunya. Unsur H dalam lignit lebih banyak dalam bitumen. Semakkin banyak unsur H, lignit makin kurang baik mutunya. Senyaa CH4 (gas metan) dalam lignit lebih sedikit dibanding dalam bitumen. Semakin banyak CH4 lgnit semakin baik kualitasnya

  • Gas-gas yang terbentuk selama proses coalification akan masuk kedalam celah-celah vein batulempung dan ini sangat berbahaya. Gas metan yang sudah terakumulasi di dalam celah vein, terlebih-lebih apabila terjadi kenaikan temperatur, karena tidak dapat keluar sewaktu-waktu dapat meledak dan terjadi kebakaran. Oleh sebab itu mengetahui bentuk deposit batubara dapat menentukan cara penambangan yang akan dipilih dan juga meningkatkan keselamatn kerja.

    Proses Coalification/ Pembatubaraan

    Merupakan respon dari material organik terhadap perubahan yang sangat lambat dari temperatur (kenaikan temperatur).

    Proses Carbonization/ Pengarangan

    Pada prooses ini perubahan temperatur terjadi sangat cepat.

    2.7. TERBENTUKNYA LAPISAN TEBAL

    Lapisan batubara tebal merupakan depposit batubara yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Salah satu syarat pembentukan lapisan batubara tebal adalah apabila terdapat suatu cekungan yang karena adanya beban pengendapan bahan-bahan pembentuk batubara di atasnya menyebabkan dasar cekungan tersebut turun secara perlahan-lahan.

    Cekungan ini umumnya terdapat di daerah rawa-rawa (hutan bakau) atau di tepi pantai. Dasar cekungan yang turun secara perlahan-lahan dengan pembentukan batubara memungkinkan ppermukaan air laut akan tetap pada kondisi rawa stabil. Apabila karena proses geologi, dasar cekungan turun secara ceat, maka air laut akan masuk ke dalam cekungan sehingga mengubah kondisi rawa menjadi kondisi laut.

    Akibatnya di atas lapisan pembentuk batubara akan terendapkan lapisan sedimen laut, antara lain batugamping. Pada tahap selanjutnya akan terjadi kembali pengendapan batulempung yang memungkinkan untuk kembali terbentuk kondisi rawa. Proses selanjutnya adalah akan terkumpul dan terendapkannya bahan-bahan pembentuk batubara (sisa tumbuhan) di atas batulempung. Demikian seterusnya sehingga terbentuk lapisan batubara dengan diselingi oleh lappisan antara berupa batugamping dan batulempung. Tidak jarang dijumpai pada lapisan batubara adanya lapisan antara berupa batulempung yang disebut sebagai clay band atau clay parting.

  • Gambar 2.4 : kronologi pembentukan batubara, batugamping, dan batulempung

    2.8. BENTUK LAPISAN BATUBARA

    Bentuk cekungan, proses sedimentasi, prooses geologi selama dan sesudah proses pembatubaraan akan menentukan lapisan batubara. Mengetahui bentuk lapisan batubara sangat menentukan dalam menghitung cadangan dan merencanakan cara penambangannya.berikut ini beberapa bentuk dari lapisan batubara

    1. Bentuk Hoorse Back

    Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan batubara dan batuan yang menutupinya melengkung ke arah atas akibat gaya kompresi. Ketebalan ke arah lateral lapisan batubara emungkinan sama ataupun menjadi lebih keci atau menipis.

    Gambar 2.6 : Deposit batubara bentuk horse back

    2. Bentuk Pinch

    Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada umumnya dasar dari lapisan batubara merupakan batuan yang plastis, misalnya batulempung, sedang di atas

  • lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan pengisian suatu alur.

    Gambar 2.7 : Depposit batubara bentuk pitch

    3. Bentuk Clay Vein

    Bentuk ini terjadi apabila diantara 2 bagian deppsit batubara terdapat urat lempung. Bentukan ini terjadi apabila pada satu seri deposit batubara mengalami patahan, kemudian pada bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung atau pasir.

    Gambar 2.8 : Deposit batubara bentuk clay vein

    4. Bentuk Burried Hill

    Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana batubara semua terbentuk, terdapat suatu kulminasi sehingga lapisan batubara seperti terintrusi (diterobos).

  • Gambar 2.9 : Deposit batubara bentuk Burried Hill

    5. Bentuk Fault

    Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana deposit batubara mengalami beberapa seri patahan. Keadaan ini akan mangacaukan di dalam perhitungan cadangan, akibat adanya perpindahan ppperlapisan akibat pergeseran ke arah vertikal.

    Dalam melakukan eksplorasi batubara di daerah yang banyak gejala patahan harus dilakukkan dengan tingkat etelitian yang tinggi. Pada daerah seperti ini disamping kegiatan pemboran, maka penyelidikan geofisika sangat membantu di dalam melakukan interpretasi dan korelasi lubang pemboran.

    Gambar 2.10 : Deposit batubara bentuk Fault

    6. Bentuk Fold

    Bentuk ini terjadi apabila di daerah dimana depsit batubara mengalami perlipatan. Main intensif gaya yang bekerja, pembentukan perlipatan akkan semakin kompleks. Dalam

  • melakukkan eksplorasi batubara di daerah yang banyak gejala perlipatan, apalagi bila di daerah tersebut juga terjadi patahan, harus dengan ketelitian yang tinggi. Untuk daerah seperti ini disamping kkegiatan pemboran, maka penyelidikan geofisika sangat membantu di dalam melakukan interpretasi dan korelasi antar lubang pemboran.

    Gambar 2.11 : Deposit batubara bentuk Fold