GENDER: STUDI PEMIKIRAN TAFSIR KONTEMPORER
Transcript of GENDER: STUDI PEMIKIRAN TAFSIR KONTEMPORER
GENDER: STUDI PEMIKIRAN TAFSIR
KONTEMPORER
Abdullah Hanapi
Dosen IAIN Surakarta
Abstrak
Gender adalah suatu konstruksi sosio-budaya, ia adalah
label dari konstruksi hubungan jenis laki-laki dan
perempuan yang lebih populer disebut dengan relasi
gender. Maka perilaku mengenai relasi antara laki-
perempuan disebut budaya gender. Pembicaraan ini telah
membawa kata kesetaraan sebagai ikon penting dalam
mengonstruksi kembali gender sebagai entitas sosio kultur
yang dibuat, dibangun untuk menegakkan hubungan yang
setara dan adil dalam kemajuan bersama untuk mencapai
derajat mutu manusia dan menghindarkan pemaknaan
dikotomis kultural laki-perempuan. Kaitannya dengan
tafsir qur’ani, memang tidak dapat dipungkiri bahwa di
sebagian mufassir klasik sering ditemukan penempatan
posisi perempuan jika kita membacanya lewat nalar zaman
sekarang yang sudah kontemporer terkesan diduakan,
adanya superioritas dan subordinasi terhadap mereka.
Oleh karena itu mendorong rekonstruksi ulang
pemaknaanya dengan menggunakan nalar equilibrium
melihat sesuatu tidak sebagai kiri kanan akan tetapi
berusaha mencarai titik keseimbangannya.
Keywords: gender, tafsir, kontemporer
A. Pendahuluan
Beberapa tahun belakangan ini istilah gender menjadi bahan
perbincangan yang hangat di berbagai forum dan media, formal
2 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
maupun informal. Hampir setiap bidang pembangunan menganjurkan
dilaksanakannya analisis gender dalam komponen program. Namun,
tidak sedikit pula yang masih menganggap bahwa Gender adalah sama
dengan jenis kelamin atau lebih sempit lagi, gender = perempuan. Hal
ini tidak mengherankan mengingat memang lebih banyak kaum
perempuan yang mendapat dampak dari ketidakadilan gender dalam
lingkungan keluarga maupun masyarakat, daripada kaum laki-laki.
Sehingga, ketika masalah gender diperbincangkan, seolah-olah hal
tersebut telah identik dengan masalah kaum perempuan
Gender, merupakan istilah yang baru dalam Islam, karena
sesungguhnya gender sendiri merupakan suatu istilah yang muncul di
barat pada sekitar ± tahun 1980. Digunakan pertama kali pada
sekelompok ilmuan wanita yang juga membahas tentang peran wanita
saat itu. Islam sendiri tidak mengenal istilah gender, karena dalam islam
tidak membedakan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin
dan tidak ada bias gender dalam islam. Islam mendudukkan laki-laki
dan perempuan dalam posisi yang sama dan kemuliaan yang sama.
Islam dan gender mengapa isu gender perlu diangkat?
Jawabannya ialah karena isu gender selain isu pluralisme, merupakan
topik yang paling hangat dibicarakan dalam pemikiran pembaruan
Islam pasca Nurcholish Madjid. Produksi-produksi intelektual
berkaitan dengan isu gender pun sangat melimpah, dan pemaparan
gagasannya pun sangat progresif. Oleh karena itu, pada makalah ini
akan dipaparkan berbagai hal-hal yang berkaitan dengan persoalan-
persoalan gender tersebut.
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 3
Abdullah Hanapi
B. Deskripsi dan sejarah gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin".
Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
nilai dan tingkah laku. Penjelasan lain yang terdapat dalam Women's
Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.1
Menurut Hilarry M. Lips dalam bukunya “sex and gender; an
introduction” mengartikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan ( cultural expection for women and man).
Menurut Dr Waryono Abdul Ghafur sendiri sebagai perbedaan
social antara laki-laki dan perempuan yang dititikberatkan pada
perilaku, fungsi, dan peranan masing-masing yang ditentukan oleh
kebiasaan masyarakat dimana ia berada atau konsep yang dipakai
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi sosial budaya.2
Mengacu pada pengertian diatas dapat dikatakan bahwa gender
adalah suatu konsep budaya yang digunakan untuk mengidentifikasikan
1 Qodri Azizi dkk, Pemikiran Islam Kontemporer Di Indonesia(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005),hlm.114 Di Indonesia sendiri melalui kemetrian Negara Urusan Peranan Wanita
“gender”diartikan sebagai interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan
kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. 2 Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dan Konteks
(Yogyakarta: el-Saq Press, 2005), hlm. 103.
4 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari pengaruh lingkungan
sosial.
Masyarakat cenderung mengasumsikan bahwa maskulinitas
adalah bagian dari keadaan manusia atau takdir, sebagaimana
perbedaan laki-laki dan perempuan. Masyarakat mengharapkan pula
agar laki-laki dan perempuan memainkan peran-peran gender spesifik,
yaitu poila-pola perilaku dan kewajiban yang dianggap pantas untuk
masing-masing jenis kelamin. Karena status sosial dari kedua jenis
kelamin itu biasanya tidak sama, peran-peran gender inipun cenderung
mereflesikan dan memperkuat stratifikasi jenis kelamin yang sudah ada.
Namun lebih dari itu dari seperempat abad terkahir, bersamaan dengan
munculnya masyarakat post-industri amerika utara dan eropa barat,
banyak orang yang telah menentang hubungan tradisional kedua jenis
kelamin ini.3
Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan
dikumandangkannya ‘emansipasi’ di tahun 1950 dan 1960-an. Setelah
itu tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang mendeklarasikan
suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesamaan
perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan
dari konferensi PBB tahun 1975, yang memprioritaskan pembangunan
bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu dikembangkan berbagai
program pemberdayaan perempuan, dan mulai diperkenalkan tema
Women In Development (WID), yang bermaksud mengintegrasi
perempuan dalam pembangunan. Setelah itu, beberapa kali terjadi
3 Nasarudin Umar dkk, Bias Gender dalam Pemahaman Islam(Yogyakarta:
Gama Media, 2002), hlm. 4.
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 5
Abdullah Hanapi
pertemuan internasional yang memperhatikan tentang pemberdayaan
perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an, berbagai studi
menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada sekedar
kuantitas, maka tema WID diubah menjadi Women and Development
(WAD). Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan
rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum
laki-laki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil
dengan baik. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan pendekatan
gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang
menekankan prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara
perempuan dan laki-laki. Pada tahun 2000 konferensi PBB
menghasilkan ‘The Millenium Development Goals’ (MDGs) yang
mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan
penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan
berkelanjutan.4
C. Mengapa Gender Perlu Dipersoalkan; Sebuah Kegelisahan
Akademik
Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan
perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara
umum, adanya gender telah melahirkan peran, tanggung jawab, fungsi,
dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktivitas.
Perbedaan gender ini melekat pada cara pandang kita, sehingga
kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen
4 http://www.dephut.go.id
6 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri biologi yang
dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.
Perbedaan gender telah melahirkan perbedaan peran, sifat, dan
fungsi yang terpola sebagai berikut:
1. Konstruksi biologis dari ciri primer, sekunder, maskulin,
feminin.
2. Konstruksi sosial dan peran citra baku.
3. Konstruksi agama dan keyakinan kitab suci agama.
Secara sosiologis, ada 2 konsep yang menyebabkan terjadinya
perbedaan laki-laki dan perempuan: 5
1. Konsep nurture :
Perbedaan laki-laki dan perempuan adalah hasil konstruksi
sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang
berbeda.
2. Konsep nature :
Perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat, sehingga
harus diterima.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan
kodratnya seperti
Laki-laki Perempuan
1. kuat
2. Rasional
3. Jantan
4. Perkasa
5. Ganteng
6. Tidak cengeng
7. Dll
1. Lemah lembut
2. Cantik
3. Emosional
4. Keibuan
5. Cerewet
6. Cuka ngrumpi
5 http://www.dephut.go.id
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 7
Abdullah Hanapi
7. dll.6
D. Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender7
Terdapat berbagai bentuk atau manifestasi ketidakadilan dan
ketidaksetaraan gender di masyarakat. Sekali lagi dapat dipastikan
bahwa beragam bentuk ketidakadilan tersebut lebih banyak menimpa
perempuan dibanding laki-laki.
1. Marjinalisasi
Proses marjinalisasi (peminggiran/ pemiskinan) yang
mengakibatkan kemiskinan banyak terjadi di masyarakat. Namun
pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan
perbedaan jenis kelaminnya merupakan salah satu bentuk
ketidakadilan gender. Faktanya, banyak majinalisasi terus
menggerus di kehidupan perempuan. Contoh: Dalam industri yang
mempergunakan teknologi tinggi seperti elektronik, kebanyakan
tenaga perempuan tersingkir, karena teknologi tersebut tidak
menghendaki kehadiran perempuan. Dan pada akhirnya, pekerja
perempuan terpinggir sehingga memaksakan masuk ke dalam
sektor-sektor yang tidak berteknologi. Ciri utama pekerjaan ini
berupah rendah dan jenjang karirnya rendah. Akibatnya derajat
kesejahteraan perempuan kian menurun karena upah yang rendah.
2. Subordinasi
Subordinasi adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin
dianggap lebih penting, superior lebih intelektual, sedangkan jenis
6Waryono Abdul Ghafur, Tafsir sosial mendialogkan teks dengan konteks
(Yogyakarta : eLSAQ Press, 2005) Hlm 103 7 Departemen agama. Apa Itu Gender? (Jakarta: Depag, 2005) hlm. 7-
8 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
kelamin lainnya dianggap tidak penting, hanya komplimen
(pelengkap), inferior, adan emosional. Ini terjadi dalam wilayah
domestik dan publik.
Di wilayah domestik (rumah tangga) perempuan hanya
ditempatkan hanya sebagai pendamping suami. Fenomena ini jelas
terlihat dan berakar kuat dalam tradisi, nilai, dan norma masyarakat
3. Stereotype
Stereotype (pelabelan) merupakan sebutan yang dilekatkan
pada perempuan yang memberikan citra negatif. Berbagai macam
labeling yang dilekatkan pada perempuan, misalnya “perempuan
adalah penggoda, karenanya ia sumber maksiat”. Dampaknya
karena label tersebut maka perempuan dicurigai keberadaannya,
karena dimana pun tempat ia menimbulkan maksiat, juga dapat
menggiring perempuan untuk harus betah di dalam rumah, tidak
boleh keluar rumah apalagi tengah malam.
Hal lain yang agak relevan adalah adanya kepercayaan yang
terwujud dalam bentuk fatwa ulama’ adalah haramnya suara wanita.
Diyakini oleh beberapa ulama’ bahwa suara wanita adalah aurat.,
bilamana aurat ini tidak ditutup rapat-rapat akan mengundang
syahwat. Persoalannya mengapa bukan laki-laki sebagai pihak laki-
laki sebagai pihak yang haruskan untuk mengendalikan nasfu
syahwatnya, tetapi perempuan dituntut untuk mengendalikan segala
potensinya
3. Violence
Berbagai violence (kekerasan) menyeruak di tengah
masyarakat, dan sebagian korban adalah perempuan. Korban tidak
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 9
Abdullah Hanapi
sekedar mengalami derita fisik, tetapi jnuga psikis, ekonomi, dan
bentuk lainnya. Kekerasan tidak hanya terjadi di tempat-tempat
umum, namun justru yang paling banyak terjadi di rumah tangga.
Khusus kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga tidak selalu
terjadi berupa pemukulan. Menghina, mengelaurkan kalimat
bernada merendahkan dan mencela pun dapat diketegorikan sebagai
tindak kekerasan.
E. Isu-Isu krusial tentang Gender di masyarakat
Secara umum dikatakan bahwa tidak ada diskriminasi dalam
kebijakan tentang pendidikan, setidaknya jika dilihat dari UU Sikdiknas
Nomor 20 tahun 2003. Pada tahun 1995 pemerintah juga telah
memperkenalkan wajib belajar 9 tahun bagi seluruh masyarakat.
Namun kebijakan ini mengabaikan aspek gender dalam masyarakat
Karena pemerintah tidak melakukan intervensi terhadap sikap para
orang tua yang masih lebih banyak memberikan kesempatan pada anak
laki-laki untuk bersekolah dibanding anak perempuan.8
Pada umumnya masyarakat masih menganggap anak laki-laki
lebih mampu belajar dan nantinya akan menjadi tulang punggung
keluarga, sedangkan perempuan pada akhirnya akan menikah dan
menjadi seorang istri dan ibu. Hal demikian lebih kentara pada keluarga
tidak mampu, prioritas pendidikan diberikan pada anak laki-laki
sedangkan anak perempuan diharuskan bekerja membantu keluarga dan
dikawinkan dengan usia muda.
8 Departemen agama, hlm. 50
10 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
1. Ekonomi
Posisi perempuan dalam dunia kerja tidak terlepas dari
posisinya di dalam keluarga. Masalahnya, negara telah
mengukuhkan kembali nilai-nilai gender dan ideologi tentang
keluarga dalam berbagai kebijakan, hokum, organisasi, dan
program-programnya, termasuk bidang ketenagakerjaan.9
2. Kesehatan
Dalam bidang kesehatan isu krusial yang muncul adalah
tinggginya Angka Kematian Ibu (AKI) akibat melahirkan. Banyak
factor penyebab sulitnya AKI ditekan, akibatnya perempuan tidak
dapat menikmati hak kesehatan reproduksi, yang sejatinya
merupakan hak mendasar yang harus dimiliki oleh setiap
perempuan. Tingginya AKI tidak hanya disebabkan karena sulitnya
akses perempuan memperoleh layanan kesehatan, buruknya
layanan dan sarana kesehatan, juga karena patriarki yang
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak sejajar dengan
laki-laki termasuk dalam hal kesehatan reproduksi.
3. Politik
Di bidang politik, telah terjadi pengucilan eksistensi
perempuan. Faktanya, tidak banyak perempuan duduk dalam
lembaga-lembaga politik, baik formal maupun nonformal. Sebagai
gambaran diperlihatkan bahwa jumlah perempuan anggota DPR
pada periode 1999-2004 hanya 4 orang atau sekitar 9 %.lembaga
tinggi negara lainnya yakni Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
9 Departemen agama, hlm. 52
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 11
Abdullah Hanapi
pada periode 1998-2003 hanya 1 orang (2,7%) (Profil wanita
Indonesia, 1998). Hal ini disebabkan masih sedikitnya perempuan
yang menjadi pemimpin organisasi kemasyarakatan dan
pemerintahan. Organisasi kemasyarakatan dan pemerintahan
merupakan ajang rekrutmen anggota DPA
4. Hukum
Negara Indonesia telah menjamin persamaan di muka hokum
bagi laki-laki dan perempuan sebagaimana ditegaskan dalam pasal
27 UUD 1945. namun, pada kenyataannya kemampuan melakukan
tindakan hokum sendiri dan persamaan di muka hokum saja
ternyata tidak cukup. Asumsi-asumsi gender kerap kali digunakan
oleh para penegak hokum maupun pejabat pemerintah masyarakat
umum ketika kaum peerempuan akan menggunakan atau
menikm,ati hak-haknya. Banyak polisi yang menolak untuk
memproses pengadua istri yang mengalami penganiayaan dari
suaminya. Alasannya adalah karena masalah tersebut adalah
masalah intern keluarga/ privat yang tidak dapat diintervensi oleh
pihak lain walaupun sebenarnya telah ada Anti KDRT.
F. Eksistensi Perempuan
selama ini masih ada anggapan bahwa perempuan itu tidak setara
dengan laki-laki. Mengapa perempuan dianggapa tidak setara dengan
laki-laki? Menurut Rifaat Hasan seorang pemikir kritis feminis hal itu
disebabkan oleh adanya asumsi-asumsi teologis sebagai berikut:
12 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
1. Bahwa ciptaan Tuhan ayang pertama adalah laki-laki (Adam)
bukan perempuan. Karena perempuan diyakini diciptakan dari
tulang rusuk Adam.
2. Bahwa perempuan dilukiskan sebagai penyebab utama dari apa
yang biasanya yang dilukiskan sebagai kejatuhan atau
pengusiran manusia dari surga. Oleh karena itu semua anak
perempuan Hawa harus dipandang dengan rasa benci, curiga
dan jijik.
3. Bahwa perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki, tapi juga
untuk laki-laki, yang membuat eksistensinya semata-mata
bersipat instrumental dan tidak memiliki makna yang
mendasar.10
G. Pemikiran tokoh tentang gender
Menempatkan posisi perempuan dalam dialektika agama dan
budaya adalah menelaah suatu proses interpretasi yang terus
berlangsung. Posisi ini memiliki dua sisi mata uang. Satu sisi
inkulturasi telah memperkaya wacana keagamaan dengan berbagai
literatur yang kontekstual serta mengakomodisikan permasalahan lokal
yang beragam untuk diberi sentuhan universalitas ajaran agama adalah
sebuah kajian yng tak terelakkan. Di sisi yang lain inkulturasi telah
mereduksi pesan-pesan universal agama dalam semesta intlektual suatu
masyarakat lokal. Sakralisasi produk keagamaan yang interpretatif
untuk diterapkan dalam semua kurun waktu justeru akan mengaburkan
10 Fatima dan Rifaat Hasan, Equal Before Allah. Op. Cit, hlm. 40.
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 13
Abdullah Hanapi
semangat emansipatif suatu agama. Sakralisasi tersebut menurut
Muhammad Arkoun bagaikan lapisan-lapisan geologis yang
menyembunyikan inti bumi. Untuk mengetahui inti ajaran agama yang
masih segar dan kaya nuansa pembebasan, seseorang harus mampu
membongkar literatur terdahulu bahkan sampai yang modern sekaligus.
Fatima Mernissi dalam tulisannya”Dekonstruksi Islami
Konsep Wanita Islam” mengatakan para pemikir Islam tentang wanita
kurang menggunakan rasionalitas semaksmal mungkin, sehingga ketika
mengeritik feminisme dan mengajukan alternative islami mereka
cenderung utnuk kembali kepada perumusan islam tradisional, yang
diperlukan sekarang, bukan gerakan anti feminisme yang tradisional
konservatif, yang meletakan wanita bukan sebagai lawan pria, seperti
yang persepsikan kaum feminis modern, atau subordinate pria yang
dipersepsikan oleh kaum anti feminis tradisional, tetapi sebagai kawan.
Wanita adalah kawan pria yang seiring membebaskan manusia secara
keseluruhan dari tarikan naluri kehewanan dan tarikan pengkondisian
kemesinan dimasa depan.11
1. Gender sudut pandang Islam Liberal Dan Islam
Tradisionalis
Bagi kalangan Islam liberal yang hendak mewujudkan
keadilan hak-hak perempuan secara gender, ada beberapa
penafsiran yang menjadi pokok perhatian ,mereka. Diantaranya
yang paling penting adalah menyangkut pembongkaran atas
penafsiran ayat-ayat yang meletakan pusat kehidupan perempuan
11 Fatima Mernissi, Wanita Didalam Islam (Bandung: Pustaka Bandung,
1994), hlm.XIV.
14 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
pada laki-laki Perjuangan perempuan dalam mewujudkan hak-hak
perempuan ini sering disebut dengan gerakan feminisme.12
Melihat penafsiran yang berat sebelah yang menaruh laki-
laki lebiih tinggi dari perempuan. Maka dalam upaya mencari
kesetaraan gender berdasarkan ide semangat kesetaraan dan
kewajiban, yang oleh kalangan Islam Liberal dianggap sebagai
pesan dasar al-Qur’an mulai dipertanyakanlah apa saja yang
berkaitan dengan istilah sosiologi, yakni penafsiran akan adanya
“struktur pusat”, dalam hal ini pandanga teologi mengenai laki-laki
dalam Islam.13
Laki-laki dalam Islam sering ditafsirkan oleh kalangan Islam
Tradisional, sebagai yang mempunyai hak satu tingkat lebih tinggi
dari perempuan, ayat al-Qur’an yang mendasarinya seperti dalam
surat an-Nisa ayat 34 yang kata kuncinya yaitu kaum laki-laki
adalah pemimpin bagi kaum perempuan, seluruh ketidakadilan
gender sering dibenarkan dalam penafsiran Islam menurut
pandangan kaum Islam Tradisionalis justru disebabkan dengan
adanya ayat ini. Sedangkan bagi Islam Liberal sampai
12 Tentang feminisme ini, lihat “The Women Questions: Problem In Feminist
Analisys” dalam kajian malaysia, jilid XII No. 1 dan 2 Juni /Desember 1994, dalam
sebuah buku sumber yang disunting oleh Charles Kurzman, Liberal Islam ( Oxpord, Oxpord University Press, 1998), Kurzman menulis bahwa persoalan hak-hak
perempuan-yang dikenal dengan isu gender ini-merupakan satu dari enam isu utama
pemikiran Islam Liberal di duni Islam dewasa ini. Isu lain adalah mengenai
perlawanan atas teokrasi, masalah demokrasi atas hak-hak non-Islam, kebebasan
berfikir, dan mengenai faham kemajuan. Dalam buku tersebut hak-hak perempuan
disunting pemikir-pemikir Islam paling Liberal seperti Nazira Zein el-Din, Benazir
Bhuto, Fatima Mernissi, Amina Wadud dan Muhammad Dhahrour. 13 Lihat Sister in Islam(ed). Islam Gender an Women’s Right An Alternative
View.
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 15
Abdullah Hanapi
menelusurinya lebih jauh sampai pandangan kaum muslimin
mengenai penciptaan Adam dan Hawa; apakah benar Hawa
diciptakan dari tulang rusuk Adam, sehingga itu Hawa adalah
Secondari creation, kalau benar dari dasar kosmologi itu, maka bisa
dibenarkan argumen mengenai supremasi atas perempuan.
Dari pembebasan atas teks-teks tradisional Islam, diketahui
bahwa fungsi perempuan dalam kehidupan laki-laki, pada dasarnya
adalah teman seksual laki-laki yang membedakan keduanya hanya
dalam hal takwa. Berbeda halnya dengan kalangan Islam Liberal,
kasus ini memunculkan suatu usaha dekonstruksi untuk
mendapatkan suatu pandangan baru bagi suatu penafsiran yang
lebih adil secara gender. Untuk itu dicarilah jejak-jejak pandangan
duni (Weltauschaung) yang telah mengakibatkan ketidakadilan
secara gender it, asal-usul dan prosesnya.
2. Perempuan dalam literatur Islam Klasik
Sebagai pemegang otoritas keagamaan (the Guardian of
shari’ah) para ulama memang berkewajiban mensosialisasikan
sikap Islam terhadap kaum perempuan. Mereka harus berani
mengkritik para fuqaha jika halnya cenderung diskriminatif
terhadap kaum perempuan. Pemikiran para fuqaha memang
menunjukan terjadinya bias gender dalam berbagai keputusan
hukum mereka berlaku kepada lelaki dan perempuan. Suami tidak
hanya menerima otoritas untuk mengatur urusan keagamaan
istrinya, tetapi juag mempunyai hak untuk mendominasi kehidupan
Sebagaimana dikutip dalam judul buku perempuan dalam Literatur Islam
Klasik karangan Bahtiar Efendi dkk.
16 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
keseharian istri tersebut. Paradigma maskulinitas yang mendasari
berbagai keputusan hukum menjadi penyebab utamanya sikap
diskriminartif komunitas muslim terhadap kaum wanitanya. Dalam
Islam laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang
sama untuk menjadi seorang hamba yang baik, prinsip kesetaraan
tersebut untuk membentuk hubungan yang harmonis antara laki-
laki dan perempuan.14
H. Al-Qur’an dan gender
Dalam kaitannya dalam persoalan relasi laki-laki dan perempuan,
prinsip dasar al-Quran pada dasarnya memperlihatkan pandanga yang
egaliter, turunya ayat-ayat al-Quran dan pernyataan Nabi SAW
dipandang sebagai langkah yang sangat spektakuler dan sangat
revolusioner, tidak saja mengubah tatana masyarakar pada waktu itu,
tetapi itu juga mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan dan
tradisi yang diskriminatif dan misoginis15, yang telah sekian lama
dipraktekan oleh masyarakat sebelumnya16 sejumlah ayat al-Qur’an
yang mengungkapkan prinsip ini antara lain :
14 Bahtiar Efendi dkk, Perempuan Dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2002) hlm.XXV. 15 Misoginis diartikan sebagai suatu faham teologi yang mencitrakan
perempuan sebagai penggoda (Templator) dan dianggap sebagai pangkal segala
kejahatan kemanusiaan, perempuan dianggap sebagai harus bertanggung jawab
terhadap terjadinya drama kosmik, yang menyebabkan nenek moyang manusia jatuh
dari syurga ke bumi dan menyebabkan terjadinya dosa warisan. 16 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kyai atas Wacana Agama
dan Gender (Yogyakarta: LKIS, 2007),hlm. 22
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 17
Abdullah Hanapi
“Hai manusia, kami telah menciptakan kamu dari jenis laki-laki
dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa.17
“Siapa saja, laki-laki yang beramal shaleh dan di beriman, niscaya
kami berikan kehidupan yang baik”.
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki
dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang taat,
laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan ytang khusyu’, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya,
laki-laki dan p[erempuan yang banyak mengingat Allah, Allah
menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.18
17 Al-Qur’an terjemah DEPAG R.I 18 Al-Qur’an terjemah DEPAG R.I
18 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
Seorang Umar bin Khatab yang sebelumnya dikenal telah
mengubur anak perempuannya sendiripun mengatakan :
“kami semula sama sekali tidak menganggap (terhormat, penting)
kaumperempuan, ketika Islam datang dan Tuhan mewnyebut
mereka, kami baru menyadari ternyata mereka juga memiliki hak-
hak mereka atas kami”.19
Menurut golongan konservatif dan budaya, perempuan
terkadang hanya bertugas sebagai ibu rumah tangga, menyusui anak
sekaligus mendidiknya, melayani suami dan tidak boleh terjun dalam
aktifitas yang sifatnya extern diluar rumah dengan tanpa penglihatan
suami, karena aktifitas tersebut yaitu aktifitas mencari nafkah adalah
tugas kaum laki-laki. Sejak berabad-abad yang lampau, al-Qur’an telah
menghapus diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an
memandang sama antara laki-laki dan perempuan, tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan, dalam al-Qur’an sendiri terdapat ayat-
ayat yang mengindikasikan persamaan diantara keduanya, antara lain
sebagai berikut :
Dari segi pengabdian : Yaitu tidak adanya perbedaan antara laki-
laki dan perempuan dalam pengabdian, perbedaan yang dijadikan
ukuran untuk memuliakan dan merendahkan derajat mereka hanyalah
nilai pengabdian dan ketakwaanya sebagaimana tersinyalir didalam
surat al-Nahl ayat :97
19 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ash-Shalih, Juz V, ed. Musthafa Dib al-
Bugha, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), Kitab : al-Libas, no hadis: 5055, hl, 2197. Lihat
juga Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari fi Syarh al-Bukhari, Juz X, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1414 H/1993 M), hlm. 314
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 19
Abdullah Hanapi
Dari segi status kejadian : Al-Qur’an menerangkan bahwa
perempuan dan laki-laki diciptakan Allah dalam derajat yang sama.
Firman Allah dalam surat al-Nisa :
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari jenis yang sama dan daripadanya Allah
telah menciptakan pasangan dan daripada keduanya Allah
memperkembangakan laki-laki dan perempuan yang banyak”.
Dari segi mendapat godaan : Di dalam Islam bahwa godaan dan
rayuan iblis berlaku bagi laki-laki dan perempuan sebagaimana halnya
Adam dan Hawa yang dideportasikan oleh Allah turun ke bumi. Firman
Allah dalam surat al-A’raf :
“Maka syetan membisikan fikiran kepada keduanya
Dari segi kemanusiaan : Sebelum Islam datang praktek-praktek
perendahan kepada kaum Hawa sebagai tradisi nenek moyang yang
turun kepada generasi selanjutnya contoh mengubur bayi perempuan
karena takut miskin aytau tercemar namanya, hal ini disebutkan dalam
surat al-Nahl ayat 58.
Dari segi pemilikan dan pengurusan harta : Islam menghapuskan
semua tradisi yang diberlakukan atas perempuan berupa pelarangan
atau pembatasan hak untuk membelanjakan harta yang mereka miliki
yaitu dalam surat al-Nisa ayat 3220. Serta masih banyak lagi yang erat
kaitannya dengan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan
perempuan.
20 Mansoer Fakih dkk, Membincangn Feminisme; Diskursus Gender Ferspektif
Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 152.
20 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
I. Bias Gender dalam kitab tafsir
Bagi pengkaji masalah perempuan, agama merupakan salah satu
objek kajian yang sangat menarik. Hal ini karena agama, yang
merupakan way of life sebagian besar umat Islam, mengandung ajaran-
ajaran yang berkaitan dengan hal tersebut di dalam kitab-kitab sucinya.
Kalangan feminis hamper seluruhnya sepakat bahwa agama khususny
Islam, yahudi dan Kristen adalah wilayah yang seksis. Artinya agama-
agama tersebut adalah agama dengan citra Tuhan yang laki-laki, yang
pada ujung-ujungnya mensahkan superioritas laki-laki atas perempuan.
Posisi agama yang merupakan unsur utama kesadaran social dan
determinan atas berbagai tradisi yang ada di masyarakat, membuat
pandangan tentang superioritas laki-laki itu memperoleh justifikasi dari
agama21.
Penafsiran secara literalistik-skripturalistik atas ayat-ayat al-
Qur’an memang sangat dominan dalam kitab-kitab tafsir klasik22. Ayat-
ayat yang secara harfiah menegaskan keunggulan laki-laki atas
perempuan cenderung difahami secara harfiah oleh para mufassir
klasik, dengan mengesampingkan sama sekali pendekaan historis-
kontekstual terhadap teks-teks al-Qur’an tersebut. Seperti ketika Ibn
‘Arabi (w.1260 M) seorang sufi dan mufassir termashur, berbicara
tentang perempuan, dia menyatakan bahwa posisi perempuan adalah
lebih rendah dari laki-laki karena Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam.pernyataan ini dikemukakan berkaitan dengan penggalan Q.S.
21 Nurul Agustin,”Tradisionalisme Islam dan Feminisme” dalam Jurnal
Ulumul Qur’an, No.5 dan 6, vol V. tahun 1994, halm 53 22 Dr.H. Abdul Mustaqim, M.A,”Paradigma Tafsir
Feminis”,(Yogyakarta:Logung Pustaka, TT), halm 113
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 21
Abdullah Hanapi
al-Baqarah 228: “Untuk laki-laki satu derajat di atas perempuan”.
Padahal kalau dilihat dari keseluruhan ayat, ayat ini akan tampak bahwa
teks ayat ini tidak menyangkut hak laki-laki secara umum, tetapi khusus
dalam masalah perceraian23.
Pandangan para Mufassir klasik inilah yang belakangan oleh para
pengkaji-kritis masalah-masalh perempuan (feminis). Ketidak adilan
gender dalam penafsiran mufassir klasik dinilai oleh para mufassir-
feminis adalah akibat tidak dipahaminya teks-teks keagamaan tentang
perempuan itu secara utuh, di samping pemahaman mereka yang sangat
literalistik-skriptualistik. Menyadari bahwa agama Islam dengan kitab
sucinya al-Qur’an hadir dengan membawa misi menegakkan keadilan-
keadilan bagi siapapun, muslim dan non muslim, laki-laki dan
perempuan dan seterusnya, para mufassir feminis berupaya untuk
menafsirkan kembali teks-teks keagamaan Islam yang secara harfiah
mengakui superioritas laki-laki itu dengan perspektif keadilan tersebut.
Ada penandaan yang sangat mendasar antara mufassir klasik dan
kontemporer dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi
gender. Ada kecendrungan patriarki yang melatarbelakangi para
mufassir klasik dalam memahami teks-teks keagamaan. Pandangan ini
bahkan tidak hanya mewarnai penafsiran-penafsiran mufassir klasik
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tentang gender, namun juga
menjadi wacana tersendiri dalam kitab-kiab fiqh Islam24.
23 Armahedi Mazhar,”Wanita dan Islam: Stu pengantar untuk Tiga Buku”,
dalam Mazhar ul-Haq Khan, Wanita Islam Korban Patologi Sosial, terj. Lukman
Hakim (Bandung: Pustaka, 1994), halm xiii. 24 Abdul Mustaqim, M.A,”Paradigma Tafsir Feminis”, (Yogyakarta:Logung
Pustaka, TT), halm 124
22 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
1. Pertarungan Wac Tafsir Patriarki Vs Tafsir Feminis
Kitab fiqh tentang relasi gender yang ditulis oleh Imam
Nawawi dan menjadi salah satu kitab yang sangat akrab di kalangan
pesantren. Sebagaimana kitab-kitab tafsir klasik juga sarat dengan
penafsiran-penafsiran yang patriarkis. Seperti ketika menafsirkan
teks “ امون على الن ساء جال قو para mufassir klasik (QS.an-Nisa’:34) ”الر
menafsirkan kata امون ,”dengan “pemimpin”, ”penguasa قو
”penanggung jawab” dan lain-lain yang menempatkan laki-laki
dalam posisi superior dibandingkan perempuan25.
Masalahnya adalah mengapa dalam pandangan mufassir
klasik, laki-laki dinilai lebih superior dibandingkan perempuan?
Salah satu jawaban dari sebagian mufassir adalah karena : pertama,
Allah melebihkan sebagian laki-laki atas perempuan. Kedua, karena
laki-laki member nafkah kepada perempuan. Terhadap alas an yang
pertama, Ibn ‘Abbas menyebutkan bahwa kelebihan laki-laki atas
perempuan adalah karena laki-laki diberi kelebihan akal. Juga
katanya, laki-laki diberi kelebihan dalam memperoleh bagian
rampasan perang dan harta warisan26.
2. Penafsiran bersperspektif Gender; Tafsiran Subordinasi
Dalam kurun waktu yang sangat panjang dirasakan benar
bahwa kenyataan sosial budaya memperlihatkan hubungan
perempuan dan laki-laki yang timpang. Kaum perempuan masih
diposisikan sebagai bagian dari kaum laki-laki(Subordinasi),
25 Ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta-wil ayat al-Qur’an (Beirut: Dar
al-Fikr, 1988), jilid XIV, halm 57. Ibn ‘Abbas Tanwir al-Miqbas min tafsir ibn ‘Abbas
(Beirut: Dar al-Fikr, tt), halm 69. Al-Zamaksyari, al-Kasysyaf, Juz I halm 523. 26 Ibn ‘Abbas, Tanwir al-Miqbas…..halm 68
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 23
Abdullah Hanapi
dimarjinalkan dan bahkan didiskriminasi. Ini bisa dilihat pada
peran-peran mereka, baik sektor domestik (rumah tangga) maupun
publik, para pemikir feminis mengemukakan bahwa posisi-posisi
perempuan itu disamping akrena faktor ideologi dan budaya yang
memihak kaum laki-laki, keadaan timpang tersebut boleh jadi juga
dijustifikasi oleh pemikiran kaum agamawan, hal ini misalnya pada
penafsiran mereka atas surat al-Nisa ayat 34 :
Para ahli tafsir menyatakan bahwa qawwam dalam ayar
tersebut berarti pemimpin, penanggung jawab, pengatur dan
pendidik. Kategori-kategori ini sebenarnya tidaklah menjadi
persoalan serius sepanjang ditempatkan secara adil dan tidak
didasari oleh pandangan yang diskriminatif. Akan tetapi, secara
umum para ahli tafsir berpendapat bahwa superioritas laki-laki
adalah mutlak. Kelebihan laki-laki dari perempuan sebagaimana
dinyatalkan dalam ayat diatas oleh para penafsir al-Qur’an karena
akal dan fisiknya. Al-Razi misalnya, didalam tafsirnya mengatakan
bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan meliputi atas dua hal:
24 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
al’Ilm dan kemampuan (al-Qudrah)27. Akan tetapi semua
superioritas laki-laki tersebut dewasa ini tidak dapat lagi
dipertahankan sebagai sesuatu yang berlaku umum dan mutlak,
artinya, tidak setiap laki-laki berkualitas daripada perempuan.
Ayat-ayat teologis, yang sementara ini diinterpretasikan bias
gender menureut para pengusung genderalisasi kaum perempuan
juga harus ditafsirkan ulang dan dikaji kembali dengan
menggunakan pendekatan kesetaraan dan keadilan relasi antara
laki-laki dan perempuan (keadilan gender). Karena prinsip ideal
Islam, seperti yang dinyartakan oleh ayat-ayat diatas, adalah
persamaan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Seperti
ayat-ayat penciptaan, semua harus merujuk kepada ayat yang secara
tegas menyatakan bahwa penciptaan manusia (laki-laki dan
perempuan) adalah penciptaan kesempurnaan :
Oleh karena itu, ayat penciptaan dalam surat an-Nisa ayat 1
yang dijadikan dasar sebagian ‘ulama untuk menjustifikasi
keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki
sehingga kualitas yang kedua menjadi lebih rendah harus dibaca dan
ditafsirkan kembali. Keyakinan ini sebenarnya warisan tradisi dari
bangsa-bangsa sebelumnya(kaum Yahudi dan Nasrani) yang
menjalar kekaum Muslim karena didalam al-Qur’an tidak dijumpai
satupun ayat yang secara eksplisit menyatakan hal demikian, yang
27 Fakhruddin ar-Razi, at-Tafsir al-Kabir, Juz X, (Teheran : Dar al-
Kutub,t.t),hlm. 88
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 25
Abdullah Hanapi
ada hanyalah interpretasi para ulama yang dianggap memiliki
otoritas penuh untuk menafsirkan teks-teks agama, padahal tafsiran
adalah tafsiran yang tidak menutup kemungkinan adanya
keterkaitan dengan perkembangan sosio-pengetahuan yang
temporal.
Pandangan sepihak bahwa perempuan diciptakan dari dan
untuk kesenangan dan ketentraman laki-laki juga harus dijadika
modus penafsiran ulang karena ayat yang dijadikan sebagai dasar
penafsiran tersebuut tidak secara eksplisit menyatakan demikian.
Al-Qur’an menyatakan :
“Dan diantara ayat-ayatnya, Dia menciptakan untuk kamu
sekalian (laki-laki dan perempuan) pasangan-pasangan dari
jenis(manusia yang sama seperti) kalian, agar kalian
cenderung dan tentram kepada mereka, dan Dia menjadikan
diantara kalian (dan pasangan kalian)rasa kasih sayang”28
Didalam ayat ini dinyatakan bahwa di antara tanda
keagungan Tuhan adalah diciptakannya manusia secara berpasang-
pasangan sehingga tercipta kecenderungan dan kasih sayang antara
yang satu kepada yang lain dalam setiap pasangan. Oleh karena itu,
penafsiran subordinasi perempuan melalui ayat ini menjadi tidak
berdasar sama sekali.29
28 Al-Qur’an terjemah DEPAG R.I 29 Husein Muhammmad, Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta: LKIS, 2007),hlm. 29-32
26 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018
J. Kesimpulan Dan Penutup; Refleksi Nalar Pemakalah
Dengan pembacaan diatas mengarahkan kita kepada suatu
pemaknaan bahwa gender adalah suatu konstruksi sosio-budaya, ia
adalah label dari konstruksi hubungan jenis laki-laki dan perempuan
yang lebih populer disebut dengan relasi gender. Maka perilaku
mengenai relasi antara laki-perempuan disebut budaya gender.
Pembicaraan ini telah membawa kata kesetaraan sebagai ikon penting
dalam mengonstruksi kembali gender sebagai entitas sosio kultur yang
dibuat, dibangun untuk menegakkan hubungan yang setara dan adil
dalam kemajuan bersama untuk mencapai derajat mutu manusia dan
menghindarkan pemaknaan dikotomis kultural laki-perempuan.
Kaitannya dengan tafsir qur’ani, memang tidak dapat dipungkiri bahwa
di sebagian mufassir klasik sering ditemukan penempatan posisi
perempuan jika kita membacanya lewat nalar zaman sekarang yang
sudah kontemporer terkesan diduakan, adanya superioritas dan
subordinasi terhadap mereka. Oleh karena itu mendorong rekonstruksi
ulang pemaknaanya dengan menggunakan nalar equilibrium melihat
sesuatu tidak sebagai kiri kanan akan tetapi berusaha mencarai titik
keseimbangannya.
Gender: Studi Pemikiran Tafsir Kontemporer | 27
Abdullah Hanapi
DAFTAR PUSTAKA
Azizi, Qodri dkk. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005
Abdul Ghafur, Waryono. Tafsir Sosial; Mendialogkan Teks dengan
Konteks. Yogyakarta : el-Saq Press, 2005
Abdul Kodir, Faqihuddin Bergerak Menuju Keadilan; Pembelaan Nabi
Terhadap Perempuan. Bergerak Menuju Keadilan;
Pembelaan Nabi Terhadap Perempuan. Jakarta Rahima,
2006
Departmen Agama R.I. al-Qur’an dan terjemahnya. Jakarta: CV Atlas,
2000
DVD al-Maktabah al-Syamilah. Al-Qur’an wa Tafsiruhu. Solo
Ridwana Press, 2004.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini dkk. Dekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002
Fakih, Mansoer dkk. Membincang Feminisme; Diskursus Gender
Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1996
Mernissi, Fatima. Wanita di Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka,
1994
Umar, Nasarudi, dkk. Bias Jender Dalam Pemahaman Islam.
Yogyakarta: Gama Media, 2002
28 | Jurnal Syahadah
Vol. VI, No. 1, April 2018