Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada...

41
Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i METODE TAFSIR AL QUR’AN (Metode Ijmali,Tahlili, Muqarin dan Maudlu’i) Bahan diskusi dan presentasi kelas Mata Kuliah ; Studi Qur’an Pengampu Mata Kuliah : Dr. MASRUKHAN, MA Oleh MUHLISIN (Nim F0.3.4.10.84) Muhlisin 1

Transcript of Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada...

Page 1: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

METODE TAFSIR AL QUR’AN(Metode Ijmali,Tahlili, Muqarin dan Maudlu’i)

Bahan diskusi dan presentasi kelas Mata Kuliah ; Studi Qur’an Pengampu Mata Kuliah :

Dr. MASRUKHAN, MA

Oleh MUHLISIN (Nim F0.3.4.10.84)

Konsentrasi Pendidikan IslamProgram Pascasarjana IAIN Sunan Ampel

Surabaya2010

Muhlisin 1

Page 2: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

METODE TAFSIR AL QUR’AN

(Metode Ijmali,Tahlili, Muqarin dan Maudlu’i)MUHLISINNim F0.3.4.10.84

A. Antaran ; Tantangan Kontemporer Ilmu Tafsir

Nasr Hamid Abu Zayd, seorang pemikir asal Mesir mengungkapkan bahwa al Qur'an adalah

produk budaya (muntaj thaqafi), fenomena sejarah (Ahirah tarkhiyyah), teks linguistik (al-nash

al-lughaw ) dan teks manusiawi (al-nash al-insan). Untuk itu pembacaan teks-teks keagamaan (al-

Qur'an dan al-Hadits) hingga saat ini masih belum menghasilkan epistemologi1 tafsiran yang

bersifat ilmiah objektif, bahkan masih terpasung dengan mitos, khurafat dan bercorak harfiyah

(literal) yang mengatasnamakan dogmatisme2 agama. Oleh karenanya perlu mewujudkan

interpretasi yang hidup dan selaras dengan perkembangan saintifik terhadap teks-teks keagamaan,

dengan penafsiran lebih rasionalistik ilmiah. Disinilah posisi pentingnya kesadaran ilmiah dalam

berinteraksi dengan teks-teks keagamaan.

Keterpasungan interpretasi yang dimaksudkan adalah interpretasi yang tidak sejalan dengan

tabiat dan sifat dasar teks3. Corak interpretasi (tafsir) yang ada selama ini lebih menonjolkan

unsur ideologis daripada unsur keilmiahan4. Biasanya interpretasi yang demikian dimonopoli oleh

kalangan fundamentalis yang kadang mengandung indikasi peranan kriminalisasi teks oleh

sejumlah pihak, baik dalam isu-isu keadilan sosial, ekonomi maupun politik. Dengan wacana yang

masalah pokok yang dibahas adalah menyangkut berbagai metode yang digunakan mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Qur’an. Pembahasan makalah ini, llebih ditekankan pada pengertian metode dengan kosakata yang berkaitan dengan metode tafsir seperti: metoda(al-manhaj) aliran (al-mazhab) cara (al-thariqah) orientasi (al-ittijah) dan corak (al–laun). Kemudian dilanjutkan dengan perkembangan metode tafsir, pembagian metode tafsir kelebihan dan kelemahannya dan terakhir pembahasan mengenai kemungkinan metode alternatif yang relevan untuk penafsiran masa kini

1 Epistemology tafsir disini dimaksudkan adalah gambaran sistematis dan peradigmatis konsepsi yang ilmiah obyektif bagaimana pengetahuan disiplin tafsir terbangun melaluui sebuah kajian yang dapat diterima oleh para ilmuwan sehingga pemberlakuan produk tafsir dan metodologi prosedural serta sistematika kajian tafsir dapat menghasilkan nilai-nilai universalistik.

2 Dogmatisme secara prinsip mengandung konsep bahwa di dalamnya mengandung dogma atau doktrin yang harus diterima secara mentah tanpa ada nalar yang memadai untuk menguji nilai-nilai kebenaran.

3 Sifat dasar teks disini mengandung maksud bahwa dalam analisis teks meniscayakan perlunya kajian-kajian disiplin ilmu tentang analisis teks, misalnya contohnya berbasis ilmu filologi dan hermeneutik dengan segala konsepsinya yang melingkupi sebagai sebuah disiplin ilmu yang rasionalistik,empirik dan positifistik.

4 Dalam konsepsinya Fazlur rahman keduannya disebut dengan penafsiran emotive fight dan pure cognitife

Muhlisin 2

Page 3: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

demikian ini perlu kerja maksimal untuk melakukan sekulerisasi tafsir al qur’an. Dalam arti tafsir yang

berfokus pada “interpretasi realistis dan pemahaman yang ilmiah terhadap agama.5

Kegiatan penafsiran Al-Qur’an ini sangat diperlukan karena adanya tiga alasan, yaitu;

Pertama, Al-Qur’an diturunkan dalam keadaan yang diasumsikan sangat sempurna,akan tetapi

sangat ringkas dan padat, mengandung semua ilmu pengetahuan baik pengetahuan agama maupun

pengetahuan umum. Kedua Adanya kata atau kalimat yang dibuang, karena Al-Qur’an diturunkan

dengan kalam yang baligh dan mujmal. Dan Ketiga Adanya kata atau kalimat yang mengandung

majaz, isytirok dan dilalatu li al tizam. Untuk itu proses interpretasi teks qur’an akan terus

dilakukan oleh setiap generasi dengan berbagai bentuk dan coraknya.

Terlepas dari perdebatan dan penilaian pemahaman teks – teks keagamaan tersebut perlu kiranya kita

mendudukkan kajian kita pada paper ini tentang sejumlah ilmu tafsir dan metodologi penafsiran al qur’an dalam

konsep kajian studi al qur’an dan segenap perkembangannya.

B. Identifikasi Konseptualisasi Ilmu Tafsir

Tafsir secara etimologis, berarti menjelaskan dan menyingkap (al bayanu wal kashfu),bisa

berarti: والبيان اللفظ dan (pengungkapan) الكشف 6,(penjelasan) االيضاح عن الم<راد المشكل كشف

(menjabarkan kata yang samar )

Sedangkan makna terminologisnya adalah Ilmu untuk memahami kitabullah yang

diwahyukan pada Rasulullah SAW; menjelaskan makna-maknanya; menggali hukum-hukum dan

hikmah yang terkandung di dalamnya. Ilmu tafsir senantiasa ditopang (dibantu) oleh ilmu

bahasa, nahwu (arabic grammar), ˆarf (morphology), ilmu bayan (rhetoric, sistematika dan metode

penjelasan), ushul fiqh (kaidah -kaidah dan dasar dasar ilmu Fiqh), ilmu qiro'at, asbab nuzul (sebab--

sebab turunnya ayatayat Al Qur'an), dan nasikh wa mansukh (abrogation, yakni ayat yang

mengesampingkan ayat lain dan ayat yang dikesampingkan olehnya).

Definisi yang lebih kongkrit dan praktis tentang ilmu tafsir dapat kita simak dari uraian

5 Sekulerisasi tafsir al qur’an dimaksudkan adalah bahwa Al qur’an memang benar diakui secara normatife adalah teks suci (wahyu) dari Tuhan yang memiliki nilai sakral dan muthlak. Akan tetapi adalah kenyataan bahwa al qur’an merupakan corpus, manuskrip dan kumpulan deretan teks material duniawi yang dapat dipahami oleh siapapun dengan segala argumentasi. Sehingga al qur’an dengan demikian telah menyejarah, mendunia dan lahir menjadi bagian dari material yang ada di alam ini. Untuk itu hakekatnya diperlukan kerja keras yang berfokus pada penafsiran dengan pendekatan pengetahuan (epistemogi) yang berstandard universal sebagaimana disiplin ilmu lain yang telah memberikan warna pengetahuan saintifik yanga ada. Untuk itu dimensi-dimensi wahyu wajib ditempatkan secara proporsional demi tercapainya konsep penafsiran al qur’an yang memiliki makna signifikan dalam kehidupan manusia. Demi menerjemahkan islan yang sholih likulli al zaman wa al makan.

6 Muhammad Ali Ash Shaabuuny, Studi Ilmu Al Qur’an,terjemah oleh Aminuddin(Bandung;Pustaka Setia, 1991) hal. 244-245

Muhlisin 3

Page 4: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

Syeikh Abdurrahman al - Baghdadi sebagai berikut:

“Ilmu yang membantu memahami Kitabullah AlQur'an yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad saw., dengan mengunakan metode tafsir tertentu 19 , dan berlandaskan pada 'ulumu

al-lughah al-arabiyah (ilmu-ilmu bahasa Arab) yang menjadi bahasa Firman Allah Al Qur'an

serta merinci hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al Qur'an, seperti sebab turunnya ayat

(asbab an- nuzul), gramatika (I'rab Al Qur'an), hubungan ayat dengan ayat sebelumnya atau

surah dengan surah sebelumnya (Tanasuq al suar wa al ayaat), kosakata, makna secara

letterleg dan makna ijmal (umum), dengan memperhatikan susunan ayat ayatnya yang

berkaitan dengan soal-soal akidah, hukum, adab (etika) dsb; kemudian menarik kesimpulan

dari ayat-ayat tersebut untuk menjawab berbagai tantangan dan memecah berbagai persoalan

hidup yang timbul di setiap masa dan tempat”7

Berkaitan dengan metode dan metodologi Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos”,

yang berarticara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata itu ditulis “method”, dan bahasa Arab

menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut

mengandung arti: “cara yang teratur dan berpkir baik-baik untuk mencapai maksud [dalam ilmu

pengetahuan dan sebagainya]; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan

guna mencapai suatu tujuan yang ditentukan.

Metode digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu pembahasan suatu

masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau pekerjaan fisikpun tidak terlepas

dari suatu metode. Dengan demikian metode merupakan salah satu sarana untuk mencapai suatu tujuan

yang telah direncanakan. “Dalam kaitan ini, studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara

yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan

Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw8. Metode tafsir Qur’an

berisi seperangkat kaidah atau aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Qur’an. Maka,

apabila seseorang menafsirkan ayat Qur’an tanpa menggunakan metode, tentu tidak mustahil ia akan keliru

dalam penafsirannya. Tafsir serupa ini disebut tafsir bi al-ra’y al-mahdh [tafsir berdasarkan pikiran] .

Ada dua istilah yang sering digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir. Kita dapat

membedakan antara dua istilah tersebut, yakni: “metode tafsir, yaitu cara-cara yang digunakan untuk

menafsirkan al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut. Katakan saja,

pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin [perbadingan], misalnya disebut analisis

metodologis, sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat

al-Qur’an, disebut pembahasan metodik. Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut

7 Untuk mendapat gambaran lebih lengkap penjelasan seluk beluk konseptualisasi tafsir dapat dibaca misalnya karya M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS, 2010)

Muhlisin 4

Page 5: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

dinamakan teknik atau seni penafisran”. Maka metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang

digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-qur’an dan seni atau teknik ialah cara yang dipakai ketika

menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode, sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan

ilmiah tentang metode-metode penafsiran al-Qur’an.

Di dalam penafsiran al-Qur’an ada beberapa kosa kata Arab yang terkait dengan metode penafsiran,

seperti: manhaj, thariqah, ittijah, mazhab, dan allaunu. Dalam al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia11, kata

thariqah dan manhaj mempunyai pengertian yang sama yaitu metode, sedangkan kata ittijah berarti arah,

kecenderungan, orientasi, kata mazhab bermakna aliran12, dan kata laun bermakna corak, warna dalam

penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan oleh para mufassir. Sebagai contoh: manhaj dan thariqah

adalah digunakan dalam metode tahlili, muqarin, ijmali dan mawdlu’i. Sedangkan ittijah yang berarti arah

atau kecenderungan dan madzhab yang bermakna aliran. Artinya, usaha seorang mufassir dalam

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an mempunyai kecenderungan atau aliran tertentu, misalnya saja seorang ahli

fiqih cenderung menafsirkan ayat Qur’an ke arah fiqih dan seorang filosof menafsirkan Qur’an ke arah

fisafat13, dan seterusnya.

Al -launu yang bermakna corak atau warna, yaitu corak penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Seorang

mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an tentu akan menggunakan corak atau warna tertentu dari penafsiran

itu sendiri, misalnya seorang filosof dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi oleh

corak atau warna menafsirkan dengan menggunakan rasio. Seorang sufi akan menafsirkan ayat al-Qur’an

dengan corak tasawuf. Jadi dapat dikatakan bahwa, argumen-argumen seorang mufassir yang digunakan

dalam menafsirkan al-Qur’an mengandung corak atau warna tertentu, sehingga seorang mufassir akan

menentukan corak atau warna tafsirnya.

C. Corak Penafsiran al Qur’an

Tafsir Al qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan

ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qur’an

adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir, di

antara para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun

bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode (misalnya; metode ayat antar ayat,

ayat dengan hadits, ayat dengan kisah israiliyyat), kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik runtut

dan topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya; fiqhi, falsafi, shufi dan lain-lain)8.

Kemudian ada juga yang memetakannyaa dengan dua bagian. Pertama, komponen

eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati diri al-Qur’an (sejarah al-Qur’an, sebab nuzul,

qira’at, nasikh mansukh, munasabah, dan lain-lain). (2) kepribadian mufassir (akidah yang benar,

8 M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS, 2010) 12Muhlisin 5

Page 6: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain). Selanjutnya bagian kedua, komponen internal, yaitu unsur-

unsur yang terlibat langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur yang

digunakan yaitu: metode penafsiran, corak penafsiran, dan bentuk penafsiran.

M.Quraish Shihab,9 mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara

lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c] corak penafsiran ilmiah, [d] corak

fiqih atau hukum, [e] corak tasawuf, [f] bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-

1905], corak-corak tersebut mulai berkembang dan perhatian banyak tertuju kepada corak sastra

budaya kemasyarakatan. Yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat

al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Dengan mengemukakan

petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Sebagai

bandingan, Ahmad As, Shouwy, dkk., menyatakan bahwa secara umum pendekatan yang sering

dipakai oleh para mufassir adalah: [a] Bahasa, [b] Konteks antara kata dan ayat, dan [c] Sifat

penemuan ilmiah.

Penafsiran Al Qur’an, secara garis besar dapat dibagi dalam 4(empat) macam metode,10

dengan sudut pandang tertentu : 11

1. Metode Penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya, metode ini terbagi menjadi tiga macam,

yakni metode bi al-ma’thur, bi al-riwayah, bi al-manqul, tafsir bi-ra’y/bi al-dirayah/ bi al

ma’qul dan tafsir bi al-izdiwaj (campuran).

2. Metode penafsiran ditinjau dari cara penjelasannya. Metode ini dibagi menjadi dua macam,

yakni metode deskriptif (al-bayani) dan Metode tafsir perbandingan (comparatif, al maqarin).

3. Motede penafsiran ditinjau dari keleluasan penjelasan. Metode ini dibagi menjadi dua macam,

yakni metode global (al-ijmali) dan metode detail (al-ithnaby).

4. Metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan.

Metode penafsiran ini terbagi menjadi dua macam, yakni metode analisis (al-tahlily) dan

metode tematik (al-mawhu’y).

Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, interest, motivasi

mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang

dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya.

Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang

9 M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.10 Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990), hlm. 64-71.11 M. Ridlwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perspektif Pemahaman Al

Qur’an (Surabaya;IAIN Sunan Ampel) 1997) Hal. 5-8 ,Naskah Pidato Guru Besar ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel

Muhlisin 6

Page 7: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.

D. Perkembangan Metode Tafsir

Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat. Penafsiran ayat-

ayat al-Qur’an pada saat itu secara ijmali, artinya tidak memberikan rincian yang memadai.

Dalam tafsir mereka pada umumnya tidak diperlukan uraian yang detail, karena itu penjelasannya

hanya bersifat global (ijmali) saja sudah dirasa memadai pada waktu itu. Atas dasar itulah maka

dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir al-Qur’an yang pertama kali muncul

dalam kajian tafsir Qur’an.

Kemudian pada periode selanjutnya diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk

al-Ma’stur, kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk al-ra’y. Tafsir dalam bentuk

ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya dalam bidang-

bidang tertentu, seperti fiqih, tasawuf, bahasa, dan sebagainya. Dapat dikatakan, bahwa corak-

corak serupa inilah di abad modern yang mengilhami lahirnya tafsir maudhu’i [metode tematik].

Lahir pula metode muqarin [metode perbandingan], hal ini ditandai dengan dikarangnya kitab-

kitab tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi mirip.

Lahirnya metode-metode tafsir tersebut, disebabkan oleh tuntutan perkembangan

masyarakat yang selalu dinamis. Pada zaman Nabi dan Sahabat, pada umumnya mereka adalah

ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat [asbab al-nuzul], serta

mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian

mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada

kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan

isyarat dan penjelasan secara global [ijmali]. Itulah sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir

yang detail ketika mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam al-Qur’an.

Setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa non-Arab

yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islam. Maka, konsekuensi

dari perkembangan ini membawa pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan

perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan ummat yang semakin kompleks dan beragam. Kondisi ini,

merupakan pendorong lahirnya tafsir dengan metode analitis [tahlili], sebagaimana tertuang di dalam

kitab-kitab tafsir tahlili. Metode penafsiran serupa itu terasa lebih cocok di kala itu, karena dapat memberikan

pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur’an. Akhirnya berkembang dengan

Muhlisin 7

Page 8: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yang lain yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai model yang

dihasilkannya, seperti fiqih, tasawwuf, falsafi, ilmi, adabi ijtima’i dan lain-lain.

Dengan munculnya dua bentuk penafsiran (ijmali dan tahlili) dan didukung kondisi ummat ingin

mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatannya mirip, padahal bahwa pengertiannya berbeda.

ini, mendorong para ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an

yang pernah diberikan oleh mufassir sebelumnya dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. ”Dengan demikian

lahirlah tafsir dengan metode perbandingan [muqarin] Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk

menanggulangi permasalahan yang dihadapi ummat pada abad modern yang jauh lebih kompleks

dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir al-Qur’an yang disesuaikan dengan

realitas kehidupan masyarakat. Untuk itu, ”ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al-Qur’an

dengan metode baru, yang disebut dengan metode tematik [maudhu’i]. Maka untuk lebih jelas, perlu kita

memahami skema ilmu tafsir, dengan segala komponennya sebagai berikut:12

E. Pembagian Metode Tafsir;Kelebihan dan Kekurangannya

1. Metode Ijmali

Metode tafsir ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa uraian panjang

lebar.Metode Ijmali [global] menjelaskan ayat-ayat Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa

yang lebih umum dikenal lebih luas, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistimatika penulisannya mengikuti

susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an.

Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib

mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya

12 Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998.) Hal.9Muhlisin 8

Page 9: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara

terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar.

Ciri umum metode ijmali adalah (1) cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana

seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur'an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan

dan penetapan judul, (2) mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya, (3)

mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun

pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah

analitis.

Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5 ayat pertama dari surat al-

Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat dan global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang

memadai. Penafsiran tentang الم) (misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan

demikian pula kata al kitaaba ( الكتاب ) penafsiran hanya dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu

seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat itu hanya dalam beberapa baris saja.

Berbeda dengan tafsir tahlili [analitis], al-Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan lima ayat pertama itu

ia membutuhkan 7 halaman. Hal ini disebabkan uraiannya bersifat analitis terperinci dengan mengemukakan

berbagai pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argumen-argumen, baik berasal dari al-Qur’an atau hadis-

hadis Nabi serta pendapat para sahabat dan tokoh ulama, juga tidak ketinggalan argumen semantik.

Disinilah, metode ijmali dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an juga memiliki kelebihan dan kelemahan

di antaranya, sebagai berikut:

1. Kelebihan

a. Praktis dan mudah dipahami oleh ummat dari berbagai strata sosial dan lapisan masyakat.

b. Bebas dari penafsiran kemungkinan israiliah maka tafsir ijmali relatif murni dan terbebas dari

pemikiran-pemikiran Israiliat dapat dibendung pemikiran-pemikiran yang kadang-kadang terlalu jauh

dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an seperti pemikiran-pemikiran spekulatif .

c. Akrab dengan bahasa al-Qur’an: karena tafsir ini dengan metode global menggunakan bahasa yang

singkat dan akrab dengan bahasa arab tersebut.

2. Kelemahan

a. Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial: padahal al-Qur’an merupakan satu-kesatuan yang utuh,

sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian yang utuh, tidak terpecah-pecah dan

berarti, hal-hal yang global atau samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada

Muhlisin 9

Page 10: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

penjelasan yang lebih rinci.13 Dengan menggabungkan kedua ayat tersebut akan diperoleh suatu

pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari kekeliruan.

b. Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai: Tafsir yang memakai metode ijmali

tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian yang luas, jika menginginkan adanya analisis

yang rinci, metode global tak dapat diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir

yang menggunakan metode ini.

3. Contoh kitab tafsir ijmali

Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy

dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-

Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir al-Muyassar karangan

Syaikh Abdul al-Jalil Isa, Al-Tafsi>r al-Wasi>t, terbitan Majma’ al-Buhu>th al-Isla>mi>yah, Ta>j al-Tafa>si>r, karya Muhammad Ushma>n al-Mirgha>ni>, dan sebagainya

2. Metode Tahlili [Analitis]

Secara etimologis, tahliliy berasal dari bahasa Arab: hallala – yuhallilu – tahlil, yang

berarti “mengurai” atau “menganalisis”. Dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir tahliliy

13 Sebagai contoh: firman Allah dalam ayat 11 surah ar-Ra’du dan ayat 53 surat al-Anfal sebagai berikut:

.… …... Dan

Kedua ayat itu ditafsirkan oleh al-Jalalain, sebagai berikut: ( Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum] tidak mencabut dari mereka amanatnya [kecuali mereka mengubah apaa yang ada pada diri mereka], dari sifat-sifat yang bagus dan terpuji menjadi perbuatan maksiat [al-Mahalli dan al-Suyuthi [pada pinggir]. Kitab tafsir al-hawi ala al-Jalalain, karangan Ahmad al-Shawi, Mesir: “isa al-Bab al-Halabi.II,hlm. 225-226., dalam Nashruddin Baidan, hlm. 25]:[Yang demikian itu] yakni menyiksa orang-orang kafir [dikarenakan] sesungguhnya [Allah selamanya tak pernah mengubah nikmat yang telah dianugrahkan-Nya kepada suatu kaum] dengan menggantikannya dengan kutukan [kecuali merekaa mengubah apa yang ada pada diri mereka], yakni mereka mengganti nikmat itu dengan kufur seperti perbuatan para kafir Mekkah yang menukar anugerah makanan, kemanan dan kebangkitan Nabi dengan bersikap ingkar, menghalang-halangi agama Allah, dan memerangi umat Islam [ibid, hlm. 112, dalam Nashruddin Baidan, hlm. 26]. Kedua penafsiran yang diberikan itu tampaak tidak sinkron. Di dalam ayat pertaama ia [al-Suyuthi] menafsirkan itu dengan: mengubah sifat-sifat yang baik dengan perbuatan maksiat. Sementara padaa ayat kedua untuk ungkapan yang sama dia memberikan penafsiran yang berbeda seperti dikatakannya: “mengganti nikmat itu dengan kufur”. Jadi penaafsiran yang pertama bersifat abstrak dan yang kedua bersifat konkret [Nashruddin Baidan. Ibid. hlm. 22-27].

Muhlisin 10

Page 11: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

adalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al Qur’an dengan menguraikan

berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an.14

Metode Tafsir analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang

terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya

sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Mufassir membahas

al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun di dalam al-Qur’an. Tafsir yang

memakai pendekatan ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit,

dengan menggunakan alat-alat penafsiran yang diyakini efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah,

hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang

dikaji), sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan makna bagian yang sedang ditafsirkan,

sambil memperhatikan konteks naskah tersebut.

Metode tafsir ini berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya,

berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya,

hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan

dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang

pendidikan dan keahliannya.

Ciri-ciri metode tahlili.

Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur [riwayat] atau

ra’y [pemikiran]:

1. Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah

kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari

[w.310H],

Ma’alim al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H],

Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan tafsir Ibn Katsir] karangan Ibn Katsir

[w.774H],

al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H].

2. Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain:

Tafsir Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H

Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baydhawi [w.691H],

al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H],

’Arais al-Bayan fi Haqaia al-Qur’an karangan al-Syirazi [w.606H], 14 Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern,

Yogyakarta: Menara Kudus, 2004, hlmMuhlisin 11

Page 12: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi [w.606H],

Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H)

al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari,

Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982 H).

Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha [w.1935] dan lain-lain.

Jadi, pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab tafsir di atas

terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-

Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur maupun al-ra’y

Untuk lebih mudah mengenal metode tafsir analitis, berikut ini dikemukakan beberapa

corak tafsir yang tercakup dalam tafsir tahlili, sebagai contoh, yaitu: Tafsir al-Ma’tsur, yaitu

cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur’an

sendiri, dengan hadis-hadis Nabi, dengan pendapat sahabat, maupun dengan pendapat tabiin.

Pendapat [aqwal] tabiin masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir bil ma’tsur sebab para tabiin

dalam memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya berdasarkan riwayat yang mereka

kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan ide-ide dan pemikiran mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir

ma’tsur yang paling tinggi peringkatnya adalah tafsir yang berdasarkan ayat al-Qur’an yang

ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat kedua adalah tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir

ayat dengan aqwal [pendapat] sahabat dan peringkat terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal

tabiin.

Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam memberikan

tafsir bi al-ma’tsūr ini: Pertama, marhala syafahiyya (penuturan lisan) yang disebut dengan

marhala riwā’iyya, di mana seorang sahabat meriwayatkannya dari Rasulullah, atau dari sesama

sahabat, atau seorang tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara penukilan

yang terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada tahap selanjutnya. Kedua,

marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang ditunjukkan seperti di dalam marhala yang

pertama. Hal ini seperti juga ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri

sendiri sebagai disiplin ilmu yang terpisah.

Tafsir al-Ra’y, yaitu tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad mufasirnya

dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. ”tafsiri al-ra’y yang menggunakan

metode analitis ini, para mufassir memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih

otonom [mandiri] berkreasi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an

selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara dan kaidah kaidah penafsiran yang

Muhlisin 12

Page 13: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

mu’tabar. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan metode

analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti tafsir fiqhi, falsafi, sufi,

’ilmi, adabi ijtima’i, dan lain sebagainya. Tafsir bi al-ra’y berkembang jauh lebih pesat

meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir semisal Manna’ al-

Qhathathan15.

Para ulama telah menetapkan syarat-syarat diterimanya tafsir ra’y yaitu, bahwa

penafsirnya: [1] benar-benar menguasai bahasa Arab dengan segala seluk beluknya, [2]

mengetahui asbabun al nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qira’at dan syarat-syarat keilmuan lain, [3]

tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya, [4] tidak

menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan intres pribadi, [5] tidak menafsirkan ayat

berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi terhadap paham tersebut,

[6] tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa

argumentasi yang pasti.

Metode tahlili [analitis] juga memiliki kelemahan dan kelebihan, diantarnya

1. Kelebihan:

a. Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk

luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y

dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing

mufassir.

b. Memuat berbagai ide: metode analitis relatif memberikan kesempatan yang luas kepada

mufassir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu

berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam

bentuk mufassir termasuk yang ekstrim dapat ditampungnya. Dengan terbukanya pintu

selebar-lebarnya bagi mufassir untuk mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam

menafsirkan al-Qur’an, maka lahirlah kitab tafsir berjilid-jilid seperti kitab Tafsir al-

Thabari [15 jilid], Tafsir Ruh al-Ma’ani [16 jilid], Tafsir al-Fakhr al-Razi [17 jilid], Tafsir

al-Maraghi [10 jilid], dan lain-lain.

2. Kelemahan

15 Manna.Khalil Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-Hadith. 1973). 342

Muhlisin 13

Page 14: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

a. Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial atau terpecah-pecah,tidak utuh dan tidak

konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang

diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Terjadinya perbedaan, karena

kurang memperhatikan ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya.

b. Melahirkan penafsir subyektif dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang

menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan

kaidah-kaidah atau norma-norma penafsiran.

c. Masuknya pemikiran Israiliat sebab berbagai pemikiran mufassir dapat masuk ke

dalamnya, tidak tercuali pemikiran Israiliat Contohnya, kitab tahlili seperti dalam

penafsiran al-Qurthubi tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30

surah al-Baqarah disini terselib cerita israiliyyat.

3. Metode Muqarin [Komparatif]

Tafsir al-Muqarim adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam

suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antaraa ayat dengan hadis

baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan

menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud

dengan metode komporatif ialah: [a] membandingkan teks [nash] ayat-ayat al-Qur’an yang

memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi

yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, [b] membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang

pada lahirnya terlihat bertentangan, dan [c] membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam

menafsirkan al-Qur’an.

Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat

luas. Ruang lingkup kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang berhubungan

dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya. .

Ciri utama metode ini adalah ”perbandingan” [komparatif]. Di sinilah letak salah satu

perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode yang lain. Hal ini disebabkan

karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau dengan hadis,

perbandingan dengan pendapat para ulama.

Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :

Muhlisin 14

Page 15: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan

redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus

yang sama;

b. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat

bertentangan;

c. Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir, yaitu :

1. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain;

Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki

persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang

memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi

mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,sebagai berikut :

(a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :

قلإنهدیاهللاهوالهدی“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)

قلإنالهدیهدیاهللا“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)

(b) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :سواءعليهمأأنذرتهمأملمتنذرهماليؤمنون

“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)

وسواءعليهمأأنذرتهمأملمتنذرهماليؤمنون“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)

(c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :يتلوعليهمايتكويعلمهمالكتبوالحكمةويزكيهم

“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)

يتلوعليهمايتهويزكيهمويعلمهمالكتبوالحكمة“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)

(d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :إنههوالسميعالعليم هللافاستعذباا

“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)

إنهسميعالعليم هللافاستعذباا“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)

(e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :

Muhlisin 15

Page 16: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

لنتمسناالنارإالأيامامعددة“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)

لنتمسناالنارإالأيامامعددات“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)

(f) Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :وإذقلناادخلواهذهالقريةفكلوا

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)

وإذقيللهماسكنواهذهالقريةوكلوا“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)

(g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :قالوابلنتبعماألفيناعليهأبإنا

“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)

قالوابلنتبعماوجدناعليهأبإنا“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)

(h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :ذلكبأنهمشاقوااهللاورسولهومنيشاقاهللافإناهللاشديدالعقاب

“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)

ذلكبأنهمشاقوااهللاورسولهومنيشاقاهللاورسولهفإناهللاشديدالعقاب“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)

Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas,

ditempuh beberapa langkah : (1) menginventa-risasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi

yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda, (2)

Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya, (3) Meneliti

setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan

ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan perbandingan.

2. Membandingkan ayat dengan Hadits;

Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terkesan

bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh

perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl/16 : 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi dibawah

ini :

ادخلواالجنةبماكنتمتعملون“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)

Muhlisin 16

Page 17: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

﴾لنيدخلأحدكمالجنةيعمله﴿رواهالترمذی“Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya” (HR. Tirmidzi)

Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk

menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara :

Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak

masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi,

ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat

surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal

perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu :

﴾إنأهلالجنةإذادخلوهانزلوافيهابفضلعملهم﴿الترمذی“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)

Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya

dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti

sebab.

3. Membandingkan pendapat para mufasir.

Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf,

dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun

yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi al-ra’yi).

Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian al-

Qur’an; 2) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif; 3) memperjelas

makna ayat; dan 4) tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.

Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain,

mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-

perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas

argumentasi masing-masing.

Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu

perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan

karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan

hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu

Muhlisin 17

Page 18: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan

oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarrin”.16

Kelebihan:

1. Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada pada pembaca bila

dibandingkan dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau

dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya,

2. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-

kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat

mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,

3. Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai

pendapat tentang suatu ayat,

4. Dengan menggunakan metode ini, mufassir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan

hadis-hadis serta pendapat para mufassir yang lain.

Kelemahan:

1. Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru

mempelajari tafsir,karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan

kadang-kadang ekstrim,

2. Metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di

tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada

pemecahan masalah,

3. Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah dilakukan

oleh para ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru yang lebih kreatif dan

orisinal. Jadi ini hanya kumpulan kitab tafsir dari berbagai sumber terus disusun menjadi satu

kitab.

4. Metode Maudhu’i [Tematik]

Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema

atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara

mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul,

16 Untuk lebih memperkuat konsep pembahasan metodologi tafsir muqarin dapat dibaca dalam naskah pidato guru besar M.Ridlwan Nasir, yang berjudul Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perepektif Pemahaman Al Qur’an, dalam buku Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel Periode 1986-2003,Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004

Muhlisin 18

Page 19: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil

atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari

al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.

Dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. al-Qur’an dikaji

dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan

kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di

dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi,

Musyawarah dalam Qur’an dan sebagainya.17

M. Quraish Shihab18, mengatakan bahwa metode meudhu’i mempunyai dua pengertian.

Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya

secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan

lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai

masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula

dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau

surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian

menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara

utuh tentang masalah yang dibahas itu.

Dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan

kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat

saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum

padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai

berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat

tidak hanya pada satu surah saja19.

Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah

jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema

atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari

lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari

17 Untuk memperluas pembahasan tafsir tematik, baca tulisan Prof.Imam Muchlas, Metode Penafsiran al Qur’an Tematis Permasalahan, dalam buku Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel Periode 1986-2003,Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004

18 Untuk pendapat dan konsepsi pemikiran tafsir Quraish Shihab dapat di lihat secara lebih utuh dalam bukunya, Membumikan al-Qu’an. Penerbit Mizan,Bandung 1992. dan pengantar Tafsir Al Mishbah

19 Abdul Hay,Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,(Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah, 1977.). 23

Muhlisin 19

Page 20: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang

ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-

Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-

ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah

yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.

Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsir yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim

dalam bentuk penerapan ide. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas

surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, dengan menjelaskan tujuan-

tujuan utama dan petunjukpetunjuk yang dapat dipetik darinya, kemudian merangkainya dengan

tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.

Di Irak, seorang pakar tafsir yang bernama Muhammad Baqir al-Shadr melakukan

upaya-upaya penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode ini. Al Shadr menulis uraian tafsir

tentang hukum-hukum sejarah dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode yang mirip dengan

metode tersebut yang ia beri nama Metode Tawhidy (kesatuan).20

Penerapan metode ini sebenarnya baru dirintis oleh Universitas al-Azhar dan seluruh

fakultas yang bernaung dibawahnya. Kajian metode ini pertama kali dilakukan oleh

Ahmad al-Sayyid al-Kumy yang menjadi ketua jurusan pada fakultas Usuhuluddin. Sebagai

seorang ketua jurusan yang menaungi mahasiswa yang intens terhadap kajian-kajian al-Qur’an dan

tafsir maka mudah bagi al-Kumy dalam mengembangkan metode Maudu’iy ini.

Dalam pandangannya,21 ia mengatakan bahwa era dimana manusia hidup adalah era

ilmu dan kebudayaan; era yang membutuhkan kepada metode Maudu’iy yang dapat mengantarkan

manusia untuk sampai pada suatu maksud dan hakikat suatu persoalan dengan cara yang paling

mudah. Untuk menghadapi kondisi yang demikian, tidak ada lain kecuali dengan

menggunakan senjata yang kuat, jelas dan mudah yang dapat membela telaga-telaga agama dan

mempertahankan tiang-tiang agama. Persoalan tersebut tidak dapat terselesaikan kecuali

dengan menggunakan metode Maudhu’iy yang dapat diterapkan untuk bermacam-macam tema dalam

al-Qur’an dan meliputi segala seginya.

Dari fakultas ini banyak tulisan mahasiswa yang mengkaji kajian-kajian baru dalam tafsir

al-Qur’an dari segala seginya. Misalnya kajian tentang taqwa, sholat, puasa, haji, zakat,

sumpah, peperangan, manusia dalam al-Qur’an dan lain-lain. Disamping itu juga lahir kajian-

20 ibid21 Ibid,

Muhlisin 20

Page 21: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

kajian al-Qur’an yang mengungkap satu surah, misalnya surah al-Fatihah, Yasin, Al-Fath, al-

Kahf, al-Hujurat, Yusuf, Al-Ahzab, alNur, dan lain-lain.

Diantara karya-karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Kitab Min Huda al-

Qur’an karya Syaikh Mahmud Syaltut, al-Mar’ah fi al-Qur’an karangan Abbas Mahmud al-

Aqqad, al-Riba fi al-Qur’an karya Abu al-A’la al-Maududy, al-Aqidah fi al-Qur’an karya

Muhammad Abu Zahroh, Ayat al-Qasam fi al-Qur’an karangan Ahmad Kamal Mahdy,

Muqawwamat al-Insaniyah fi al-Qur’an karya Ahmad Ibrahim Mahna, Tafsir Surat Yaasin

karya Ali Hasan al-Aridl, Tafsir Surat al-Fath karya Ahmad Sayyid al-Kumy, Adam fi al-Qur’an

karangan Ali Nashr al-Din. Seorang pakar dan dosen tafsir di al-Azhar Mesir, Al-Husaini Abu

Farhah menulis buku tafsir dengan tema “Al-Futuhat al-Rabbaniyah fi al-Tafsir al-Maudu’iy Li al-

Ayat al-Qur’aniyah” dalam dua jilid dengan memilih banyak topik yang dibicarakan al-

Qur’an. Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkan secara Maudu’iy, Al-Husaini tidak

mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-

ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana juga tidak dikemukakan perincian

ayat-ayat yang turun pada periode Mekah sambil membedakannya dengan ayat-ayat yang turun

pada periode Madinah. Para Ulama' yang menulis kitab-kitab dengan mamakai metode seperti.

Juga termasuk tafsir Maudlu'iy diantaranya adalah :

a. Abu Ubaidillah dengan buku Mujazul Qur'an Al-Raghib Al-Ish Fahamidalam buku Mufrodatul

Qur'an.

b. Ibn Qoyyim dalam buku Al-Bayan Fi Aqsamul Qur'an.

c. Ibn Ja’far An-Nuhas dalam buku An-Nasikhu Wal Mansikh Minal Qur'an.

d. Al-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul

Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar,

mengarang sebuah karya yang berjudul “Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’iy”. Dalam buku itu

diungkapkan secara rinci tentang langkah-langkah dalam menggunakan metode Maudu’iy,

yaitu:

a. Menetapkan masalah (topik) yang akan dibahas

b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut

c. Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya (Asbab al-Nuzul)

d. Memahami korelasi ayat-ayat dalam surahnya masing-masing

e. Menusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna

f. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan

Muhlisin 21

Page 22: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

g. Mempelajari ayat-ayat secara keseluruhan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang

mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ’am dan yang khas,

mutlak dan muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga semuanya bertemu dalam

satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan.22

Sedangkan Quraish Shihab mengembangkan langkah-langkah metode Maudu’iy

yang dipaparkan al-Farmawy tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Penetapan masalah yang dibahas

b. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya

c. Walau metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun

kesempurnaannya dapat dicapai apabila sejak dini sang mufassir berusaha memahami arti

kosakata ayat dengan merujuk pada penggunaan al-Qur’an sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai

pengembangan dari Tafsir bi al-Ma’thur, yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari

metode Maudu’iy.23

Metode ini memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan metode-metode lain

yang dipergunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya adalah:

a. Menghindari problem atau kelemahan metode lain

b. Menafsirkan ayat dengan ayat atau hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-

Qur’an

c. Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami

d. Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang

bertentangan dalam al-Quran, sekaligus membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Kelemahan

a. Kesullitan dalam memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah

suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang

berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan

bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak

mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak

mengganggu pada waktu melakukan analisis.

22 Al-Farmawy,Ibid, 6223 M.Quraizh Shihab, ibid

Muhlisin 22

Page 23: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

b. Memasung dan membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka

pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya

mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai

aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap

sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan

dikaji hanya satu sudut dari permata tersebu

c. Teks Al qur’an sesuatu yang bersifat absolut dan permanen sementara tema-tema (waqi’iyyah)

terus berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dengan berbagai tema yang

ada. Untuk itu metode ini memungkinkan munculnya pemerkosaan terhadap ayat atas konteks

permasalahan yang ada dalam dunia kontemporer. Misalnya kata al Sayyarah, akan terjebak

dengan pengertian makna maudzu’ dimaknai dengan mobil, ayat hatifun, dimaknai sebagai ayat

tema - tema telepon dll.

F. ANALISIS KOMPARATIF TAFSIR KOMPARATIF

Disamping itu ketika metode mawdhu’iy disandingkan dengan metode-metode lain, maka

akan muncul perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut antara lain :

Perbedaan Metode Mawdhu’iy dengan Metode Analisis

Metode Mawdhu’iy Metode Analisis Mufasir dalam penafsirannya tidak terikat

dengan susunan ayat dalam mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologis kejadian

Mufasir tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya

Mufasir dalam pembahasannya tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya.

Mufasir berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya.

Mufasir memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mush-haf.

Mufasir berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat

Sebaliknya Mufasir biasanya hanya mengamukakan

penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.

Perbedaan Metode Mawdhu’iy dengan Metode Komparasi

Contoh perbedan antara metode mawdhu’iy dengan metode komparasi, adalah yang

khusus membandingkan antara ayat dengan ayat seperti ayat :

Surat Al-An’am ayat 151 : طوالتقتلوآاوالدكممنإمالق

Muhlisin 23

Page 24: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

نحننرزقكمواياهم

Surat Al-Isra’ ayat 31 :طوالتقتلوآاوالدكمخشيةإمالق

نحننرزقهمواياهم

Atau perbedaan antara :

Surat Al-A’raf ayat 12طقالمامنعكاالتسجداذامرتك

قالاناخيرمنه

Surat Shad ayat 75 مامنعكانتسجدلماخلقتبيدي

Metode Mawdhu’iy Metode Komparasi Mufasir disamping menghimpun semua ayat

yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya selama berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.

Mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat tersebut atau perbedaan kasus atau masalahSeperti misal : Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah Al-Tanzil wa Ghurrah Al-Ta’wil, (tidak mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkan)

G. Kesimpulan; Mempertimbangkan Metodologi Tafsir Alternatif

Setelah mendeskripsikan sejumlah metode dan corak tafsir maka diantara semua metode

memiliki kelebihan dan kekurangan. Diantara mufassir tidak dibenarkan untuk mengklaim

tafsirnya lah yang memiliki kebenaran muthlak. Inilah yang patut untuk dihindari sikap truth

claim diantara mufassir. Sebab pencarian makna hakiki akan maksud teks ketuhanan yang

termaktub dalam qur’an merupakan pencaraian yang tiada henti sampai kapanpun. Atas dasar

pemikiran inilah diyakini sangat terbuka untuk menemukan metode-metode lain sebagai

alternatif pengembangan metodologi tafsir. Sejumlah pihak mengatakan bahwa metodologi yang

dapat dikembangkan adalah metode Tahlili, sebagian metode maudzu’i dan sebagian yang lain

mengatakan yang wajib dikembangkan adalah metode Muqarin. Masing-masing kelompok ini

memiliki argumentasinya masing-masing. Sehingga muncul istilah-istilah justification tafsir

yang madzmumah dan mahmudah., yang mu’tabarah dan ghoiru mu’tabarah. Ini jelas

memunculkan sebuah penilaian yang sangat subyektif yang jauh dari karakter keilmuan yang

mestinya memiliki paradigma yang lebih obyektif dalam setiap hasil pemikiran.

Untuk mendapatkan penafsiran al qur’an sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah) (بيان adalah pencarian yang tiada henti. Misalnya pemikir-pemikir muslim seperti Fazllur مردالله

Rahman, Shahrur.Nasr Hamid Abu Zaid, adalah diantara tokoh muslem kontemporer yang

Muhlisin 24

Page 25: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

mencoba terus melakukan pencarian dan melakukan kritik-kritik metodologi terhadap penafsiran

dan interpretasi teks Al qur’an. Dengan segenap narasi yang mereka ungkapkan pemikiran-

pemikiran para tokoh ini cukup memberikan warna yang patut dipertimbangkan mesti sampai

detik ini konsepsi mereka belum memiliki tempat yang konkret dan aplikatif.

Sedikit untuk bisa dipertimbangkan untuk memberikan kritik atas metode pemahaman

tafsir dan interpretasi al qur’an dalam konteks pemikiran di anah air nusantara terdapat buku

kecil yang di terbitkan oleh Abd. Muqsith Ghozali dkk dengan judul Metodologi Studi Al

Qur’an yang diterbitkan oleh Gramedia. Pada bab ke-V mencoba memberikan analisi alternatif

untuk memeroleh interpretasi teks al qur’an di era kekinian. Dipaparkan ada tiga konsep yang

mesti dipertimbangkan dalam menginterprtasikan teks al qur’an yaitu: pertama memper-

timbangkan keseimbangan interpretasi antara ranah tekstualitas dan kontekstualitas. Kedua,

Menempatkan maqashid syari’ah sebagai patokan dan rujukan dan menginterpretasikan setiap

teks yang ada dalam al qur’an dan Ketiga menerapkan kaidah-kaidah yang berbasis kepada

kaidah ushul yang memiliki konsisten dan lebih aplikatif. Berkaitan dengan kaidah ushul tafsir

dijelaskan dalam beberapa konsep sebagai berikut:

1. Al ‘ibrah bi al maqashid la bi al alfazh yaitu mengambil iktibar dengan berpedoman pada

maksud tujuan syari’ah jangan hanya terpaku pada teks lafadznya saja.

2. Jawaz Naskh nushush (al juz’iyyah) bi al maslahah,yaitu diperbolehkan menggeser nash-

nash yang juziyyah kepada hal-hal yang mengandung nilai-nilai yang lebih maslahah.

3. Tanqih al nushush bi al aql al mujtama’ yajuzu menggunakan prinsip melakukan modifikasi

atas nash-nash yang problematik pada aqal publik yang lebih rajih.

Demikian konsep yang memungkinkan untuk dijadikan rujukan dalam melakukan

pembacaan dan interpretasi teks al qur’an semoga bermanfaat. Dan mampu menjadi inspirasi

untuk melakukan pelacakan intelektual lebih lanjut. Wa Allahu a’lam bi asy syawab.

Muhlisin 25

Page 26: Antaran ; Tantangan kontemporer ilmu tafsir · Web viewAl-Wahidi dalam bukunya Asbabun Nuzul Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin alAzhar, mengarang sebuah

Metodologi Tafsir al Qur’an;Ijmali,tahlili,Muqarin dan Maudlu’i

DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawy, Abdul Hay, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,Kairo: al-Hadaharah al-

‘Arabiyah, 1977

Ali ,Muhammad, Ash Shaabuuny, Studi Ilmu Al Qur’an,terjemah oleh Aminuddin,Bandung;Pustaka Setia, 1991

Baidan , Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an., Jakarta: Pustaka Pelajar, 1998

Jalal ,Abdul, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia, 1990Khalil , Manna, Al-Qattan, Mabahith fi ’Ulum al-Qur’an, Beirut: Mansyurah al- ’Ashr al-

Hadith. 1973

Muchlas , Imam, Metode Penafsiran al Qur’an Tematis Permasalahan, Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel Periode 1986-2003,Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004

Nasir , M. Ridlwan, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin;Dalam Perspektif Pemahaman Al Qur’an, Surabaya;IAIN Sunan Ampel, 1997

Nor , Mohammad, Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern,

Yogyakarta: Menara Kudus, 2004

Shihab , M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1992Suryadilaga , M.Alfatih, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir Yogyakarta:TERAS, 2010

Muhlisin 26