GEDE WARSIKA (0713011053)

60
A. JUDUL PENELITIAN “Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Singaraja” B. IDENTITAS PENELITI Nama : Gede Warsika NIM : 0713011053 Jurusan : Pendidikan Matematika C. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat dewasa ini tidak lepas dari kemajuan matematika sebagai ilmu dasar. Hal ini karena matematika memiliki konsep pemikiran dan pemahaman yang terintegrasi dalam perkembangan ilmu, teknologi maupun pendidikan. Dengan demikian, lembaga pendidikan dituntut untuk meningkatkan kualitas pendidikan, terutama dalam hal ini adalah peningkatan kualitas pendidikan dibidang matematika. Salah satu indikator kualitas pendidikan dapat dilihat dari hasil belajar siswa di sekolah. Salah satu bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika di Indonesia adalah pemecahan masalah matematika. Seiring dengan perkembangan kurikulum pendidikan nasional, tujuan pembelajaran matematika di sekolah juga mengalami perubahan. Pada awalnya pembelajaran matematika sekolah bertujuan untuk 1

Transcript of GEDE WARSIKA (0713011053)

Page 1: GEDE WARSIKA (0713011053)

A. JUDUL PENELITIAN

“Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan

Strategi Scaffolding terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematika Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Singaraja”

B. IDENTITAS PENELITI

Nama : Gede Warsika

NIM : 0713011053

Jurusan : Pendidikan Matematika

C. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat

dewasa ini tidak lepas dari kemajuan matematika sebagai ilmu dasar. Hal ini

karena matematika memiliki konsep pemikiran dan pemahaman yang terintegrasi

dalam perkembangan ilmu, teknologi maupun pendidikan. Dengan demikian,

lembaga pendidikan dituntut untuk meningkatkan kualitas pendidikan, terutama

dalam hal ini adalah peningkatan kualitas pendidikan dibidang matematika. Salah

satu indikator kualitas pendidikan dapat dilihat dari hasil belajar siswa di sekolah.

Salah satu bagian yang sangat penting dalam pembelajaran matematika di

Indonesia adalah pemecahan masalah matematika. Seiring dengan perkembangan

kurikulum pendidikan nasional, tujuan pembelajaran matematika di sekolah juga

mengalami perubahan. Pada awalnya pembelajaran matematika sekolah bertujuan

untuk meningkatkan kemampuan berhitung dan sebagai dasar untuk mempelajari

ilmu yang lain, namun dewasa ini tujuan pembelajaran matematika sekolah telah

bergeser pada empat tujuan utama yaitu: (1) Melatih cara berpikir dan bernalar

dalam menarik kesimpulan, (2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang

melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran

divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-

coba, (3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, dan (3)

Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan

gagasan. Sesuai dengan tujuan tersebut di atas selanjutnya diberikan lima

kemampuan yang perlu diperhatikan dalam penilaian yaitu: pemahaman konsep,

pemahaman prosedur, komunikasi, penalaran, dan pemecahan masalah yang

meliputi kemampuan memahami masalah, memilih strategi penyelesaian,

1

Page 2: GEDE WARSIKA (0713011053)

menyelesaikan masalah, dan memeriksa kembali. Dalam hal ini pemecahan

masalah kembali ditampilkan sebagai bagian yang penting dalam pembelajaran

matematika.

Meskipun kemampuan pemecahan masalah memiliki kedudukan yang

sangat penting seperti paparan di atas, namun apa yang terjadi di sekolah selama

ini jauh dari harapan. Pembelajaran matematika sekolah, terutama di SMP saat ini

belum mampu mengembangkan keterampilan pemecahan masalah siswa.

Kelemahan siswa SMP dalam pemecahan masalah juga ditunjukkan dengan

belum mampunya siswa dalam menyelesaikan soal cerita dengan baik. Secara

umum, siswa SMP masih menganggap bahwa pemecahan masalah (terutama

masalah soal cerita) sulit untuk diselesaikan.

Dari observasi awal berupa wawancara yang dilakukan dengan guru

matematika di sana, dikatehui bahwa siswa kelas VIII diperoleh informasi bahwa

siswa mengalami kesulitan dalam proses pemecahan masalah matematika. Hal ini

tercermin dari data nilai ulangan matematika semester ganjil tahun ajaran

2009/2010 sebagai berikut :

Kelas Rata-rata nilai

Kelas VIIIA 55,25

Kelas VIIIB 57,9

Kelas VIIIC 60,35

Kelas VIIID 59,47

Kelas VIIIE 55,4

Kelas VIIIF 60,35

Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, hendaknya

siswa senantiasa dilatih untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika, tidak

hanya terkait dengan solusi akhir melainkan juga proses dalam penemuan solusi

tersebut. Memang penting dapat menemukan jawaban akhir suatu pemecahan

masalah, tetapi yang lebih penting adalah cara (proses) dalam memecahkan

masalah untuk memperoleh jawaban tersebut. Siswa sesering mungkin

2

(arsip SMP Negeri 3 Singaraja)

Page 3: GEDE WARSIKA (0713011053)

dihadapkan pada masalah-masalah yang nonrutin sehingga terbiasa menggunakan

langkah-langkah pemecahan masalah yang diberikan oleh Polya.

Melalui obsevasi awal dan wawancara dengan guru matematika di SMP

Negeri 3 Singaraja yang telah dilakukan peneliti diperoleh informasi bahwa

pertama, kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP

Negeri 3 Singaraja masih tergolong rendah. Dari informasi yang diberikan guru

bersangkutan bahwa pembelajaran matematika yang dilaksanakan di kelas

memang masih didominasi oleh guru. Kegiatan pembelajaran selalu diawali

dengan menjelaskan materi, dilanjutkan dengan memberikan contoh soal, dan

diakhiri dengan latihan soal yang biasanya bersesuaian dengan contoh soal

sehingga pembelajaran belum mengarah pada proses belajar mengajar student-

center. Guru sendiri mengakui bahwa dalam proses belajar mengajar sangat sulit

melibatkan siswa secara aktif, dalam pembelajaran siswa hanya duduk,

mendengarkan penjelasan guru baik itu berupa konsep-konsep maupun

pemecahan soal-soal. Hal ini berakibat interaksi antar siswa maupun antara siswa

dengan guru belum terjalin dengan maksimal. Jika permasalahan yang diberikan

kepada siswa dimodifikasi dari contoh soal sebelumnya maka siswa sulit

menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya tersebut. Guru telah berusaha

mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Usaha yang

dilakukan guru antara lain mendorong siswa untuk mengidentifikasi masalah

secara teliti sebelum menjawab soal dan mengarahkan siswa agar menjawab

secara bertahap. Usaha tersebut ternyata belum membuahkan hasil yang optimal.

Ketika siswa dihadapkan pada sebuah masalah terkadang mereka kesulitan

memahami permasalahan tersebut. Hal ini disertai dengan perencanaan

penyelesaian masalah yang kurang terstruktur dan kemampuan menerapkan

rencana penyelesaian yang kurang memadai. Selain itu tidak ada upaya untuk

melihat kembali pekerjaan yang telah dilakukan. Kenyataan ini menyebabkan

rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang akhirnya

berdampak pada rendahnya prestasi belajar matematika siswa.

Pembelajaran yang dilaksanakan memang belum sepenuhnya mengaitkan

materi pelajaran dengan kehidupan siswa sehari-hari serta pengetahuan awal

siswa. Guru menyadari sesungguhnya siswa telah membawa pemahaman sendiri

3

Page 4: GEDE WARSIKA (0713011053)

sebagai pengetahuan awal yang telah mereka miliki sebelumnya. Namun,

kurangnya respon siswa menyebabkan guru kesulitan mengetahui penguasaan

siswa terhadap materi prasyarat, apakah konsep yang dimiliki siswa sudah benar

atau masih menyimpang, serta seberapa dalam pengetahuan awal yang dimiliki

siswa, padahal hal-hal tersebut merupakan pijakan untuk melaksanakan proses

pembelajaran selanjutnya.

Masalah di atas merupakan masalah nyata sehingga penanganan

mendesak, sebab jika kedua masalah tersebut dibiarkan maka akan berdampak

pada prestasi belajar siswa secara keseluruhan. Salah satu alternatif yang dapat

dilakukan sebagai upaya perbaikan adalah menerapkan model pembelajaran

creative problem solving disertai strategi scaffolding.

Creative Problem Solving adalah suatu proses, metode, atau sistem untuk

mendekati suatu masalah di dalam suatu jalan imajinatif dan menghasilkan suatu

tindakan yang sangat efektif untuk menyelesaikannya. Ketika dihadapkan dengan

suatu pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah

untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Creative problem solving

menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menemukan masalah dari situasi-situasi yang akan menimbulkan masalah

yaitu suatu usaha untuk mengidentifikasi suatu situasi yang menghadirkan

suatu masalah. Ketika mendapatkan suatu situasi yang akan menghadirkan

masalah, siswa menulis dalam ringkasan kecil yang dapat menangkap inti

sari dari apa yang terjadi. Gagasan-gagasan siswa dibiarkan mengalir.

2. Menemukan data yaitu siswa mengidentifikasi semua fakta yang

berhubungan dengan situasi yang dihadapi, untuk mencari dan

mengidentifikasi situasi yang tidak diketahui tetapi penting situasi tersebut

untuk diketahui dan dicari. Siswa mendaftar semua fakta yang

berhubungan dengan situasi yang dihadapi dan sasaran yang diinginkan.

Tujuannya adalah untuk mempunyai semua pengetahuan yang

bersangkutan dengan masalah sehingga siswa dapat mengidentifikasi dan

menggambarkan kunci permasalahan. Kemudian, menggunakan divergent

thinking untuk mengenal fakta. Kemudian daftar fakta-fakta yang didapat

yang akan digunakan pada langkah berikutnya.

4

Page 5: GEDE WARSIKA (0713011053)

3. Menemukan kunci permasalahan yaitu siswa mengidentifikasi semua

statemen-statemen masalah dan kemudian yang terpenting adalah

mengisolasinya dan mencari dasar dari masalah tersebut. Kemudian siswa

memilih statemen masalah yang paling utama, meninjau ulang semua

statemen permasalahan tersebut dan kemudian memilih satu kombinasi

atau statemen-statemen yang terbaik untuk menguraikan permasalahan

lebih lanjut yaitu yang dapat memberikan manfaat ketika permasalahan itu

akan dipecahkan.

4. Pengungkapan gagasan (ide) atau pendapat yaitu pada tahap ini siswa

dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat tentang berbagai macam

strategi penyelesaian masalah. Siswa mengidentifikasi solusi sebanyak-

banyaknya dari statemen-statemen masalah yang memungkinkan.

5. Evaluasi dan Pemilihan yaitu pada tahap evaluasi dan pemilihan ini, setiap

kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi mana

yang cocok untuk menyelesaikan masalah. Menggunakan sebuah daftar

untuk memilih solusi yang terbaik untuk ditindaklanjuti.

6. Implementasi yaitu pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang

dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya

sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. Menentukan

rencana suatu kegiatan dan menerapkan solusi yang telah ditentukan

(Mitchell, 1999).

Model pembelajaran creative problem solving dengan disertai strategi

scaffolding akan mendorong terciptanya suatu lingkungan belajar yang

menyenangkan. Model pembelajaran creative problem solving dirancang untuk

melakukan pemusatan pembelajaran keterampilan pemecahan masalah baru secara

inovatif, memiliki pola pikir dan prilaku yang divergen, membantu siswa untuk

memiliki sifat positif dalam belajar, dan memiliki kemampuan kerja sama baik

dengan sesama teman maupun dengan guru selaku fasilitator, motivator dalam

belajar. Kemampuan pemecahan masalah dapat dikembangkan dan diasah melalui

langkah-langkah creative problem solving. Dengan strategi scaffolding akan

menjadikan peran seorang guru sebagai pembimbing di dalam proses

penyelesaian soal yang berupa masalah yaitu peran guru hanya sebagai penyedia

5

Page 6: GEDE WARSIKA (0713011053)

bantuan yang berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke

dalam bentuk lain yang memungkinkan dapat lebih dimengerti oleh siswa dan

pemberian itu tidak senantiasa dilakukan terus-menerus dalam setiap proses

pembelajaran, bantuan itu akan dikurangi dikit demi sedikit dan sampai pada batas

siswa diyakini oleh guru mempunyai kemampuan yang cukup untuk lebih mandiri

di dalam menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan maka bantuan itu akan

ditiadakan.

Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian berjudul “Pengaruh

Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding

terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII SMP

Negeri 3 Singaraja”

D. RUMUSAN PENELITIAN

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dalam penelitian ini dapat

dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Adakah Pengaruh model pembelajaran creative

problem solving dengan strategi scaffolding terhadap kemampuan

pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja?

2. Bagaimana tanggapan siswa kelas VII SMP Negeri

3 Singaraja terhadap penerapan model pembelajaran creative problem

solving dengan strategi scaffolding?

E. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk:

1. Mengetahui Pengaruh model pembelajaran creative

problem solving dengan strategi scaffolding terhadap kemampuan

pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja.

2. Mengetahui tanggapan tanggapan siswa kelas VII

SMP Negeri 3 Singaraja terhadap penerapan model pembelajaran creative

problem solving dengan strategi scaffolding.

6

Page 7: GEDE WARSIKA (0713011053)

F. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang

positif terhadap pengembangan pembelajaran matematika. Manfaat yang

diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat bagi siswa

Penerapan model pembelajaran creative problem solving dengan

strategi scaffolding dapat meningkatkan kemampuan pemecahan

maslah matematika siswa karena siswa terlibat aktif dalam

pembelajaran dengan mengajukan masalah-masalah. Siswa juga akan

termotivasi untuk mengerjakan tugas-tugas karena setiap individu

memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kelompoknya.

Pembentukan kelompok yang heterogen akan membuat siswa dapat

berdiskusi dengan anggota kelompoknya.

2. Manfaat bagi guru

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai

tambahan alternative pembelajaran matematika untuk meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dalam suatu unit

pelajaran.

3. Manfaat bagi sekolah

Pembelajaran yang dirancang dapat dijadikan bahan masukan bagi

sekolah untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

matematika siswa secara keseluruhan.

G. TINJAUAN PUSTAKA

G.1 Pembelajaran Matematika Menurut Teori Konstruktivis

Terdapat 3 penekanan dalam teori pembelajaran krontruktivis seperti

yang dikemukakan Tasker (dalam Hamzah, 2002) sebagai berikut. Pertama

adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.

Kedua adalah pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian

pengetahuan secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan

informasi baru yang diterima. Menurut pandangan konstruktivis belajar pada

hakikatnya merupakan modifikasi gagasan-gagasan yang telah ada pada diri

7

Page 8: GEDE WARSIKA (0713011053)

siswa. Proses belajar siswa melalui konstruksi dan elaborasi skema-skema atas

dasar pengalaman dan melibatkan interaksi antara penetahuan baru dengan

pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam teori belajar konstruktivis,

pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja secara utuh dari pikiran guru ke

pikiran siswa. Artinya bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur

pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.

Bodner (1986) mengatakan bahwa pengetahuan itu dibangun

dalam pikiran pebelajar berdasarkan pengetahuan awalnya. Karena itu

pengetahuan awal siswa merupakan hal yang penting dalam suatu pembelajaran.

Siswa harus aktif membangun pengetahuannya berdasarkan struktur kognitifnya,

sedangkan guru membantu agar proses konstruksi itu berjalan sehingga siswa

dapat membentuk pengetahuannya. Peran siswa dalam pembelajaran dengan

filosofi konstruktivisme sangat diutamakan. Siswa diberikan kesempatan untuk

mengungkapkan pemikirannya/idenya sendiri. Guru membantu agar informasi

lebih bermakna dan relevan bagi siswa dengan memberikan kesempatan kepada

siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide dan menyadarkan siswa untuk

menggunakan strategi-strategi yang dimiliki untuk belajar. Von Glasersfeld

(dalam Sadia, 1998) menyatakan bahwa dalam interaksi belajar mengajar di kelas,

guru perlu memperhatikan perbedaan pendapat individu antar siswa dan

memberikan penghargaan terhadap setiap gagasan siswa. Sebagai implikasi dari

konseptualisasi ini, maka pikiran siswa harus dipandang sebagai jaringan ide-ide

yang kaya dan bervariasi.

Nickson (dalam Ardana, 2000 : 11) menyatakan bahwa

pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivisme adalah membantu

pebelajar untuk membangun konsep-konsep atau prinsip-prinsip itu terbangun

kembali melalui transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep atau

prinsip baru. Dalam pembelajaran konstruktivis siswa dituntut aktif dalam

pembentukan struktur kognitifnya dengan guru bertindak sebagai

pengarah/penuntun agar proses pembentukan struktur kognitifnya itu berjalan

dengan lancar.

Suparno (1997) menyatakan bahwa proses konstruksi pengetahuan

bercirikan antara lain sebagai berikut.

8

Page 9: GEDE WARSIKA (0713011053)

1) Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa

dari apa yang telah mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi

arti ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah siswa miliki.

2) Konstruksi pengetahuan adalah proses yang terus menerus.

Setiap berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, diadakan

rekonstruksi baik secara kuat atau lemah.

3) Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih

dari suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru.

Belajar bukanlah hasil pengembangan, melainkan merupakan

perkembangan itu sendiri (fosnot, 1996), suatu perkembangan yang

menurut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.

4) Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema

seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut.

Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik

untuk memacu belajar.

Ciri-ciri di atas memberikan acuan bahwa dalam penbelajaran

matematika, setiap siswa harus mengkonstruksi pengetahuanya sendiri dan

mempunyai cara sendiri untuk mengerti serta mengetahui kekhasan dalam dirinya

termasuk keunggulan dan kelemahannya dalam memahami sesuatu. Ini berarti

siswa yang aktif berpikir, merumuskan konsep dan mengambil makna. Peran guru

disini adalah membantu supaya proses konstruksi itu berjalan agar siswa

membentuk pengetahuannya (Parwati dkk, 2000).

Sedangkan agar lebih spesifik, Hudoyo (1998) mengatakan

pembelajaran matematika menurut pandangan konstrukstivis antara lain dicirikan

sebagai berikut.

1) Siswa terlibat aktif dalam belajarnya. Siswa belajar materi

matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Siswa belajar

bagaimana belajar itu.

2) Informasi baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga

menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap

informasi (materi) komplek terjadi.

9

Page 10: GEDE WARSIKA (0713011053)

3) Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang ada

pada dasarnya adalah pemecahan masalah.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu

diperhatikan dalam teori belajar konstruktivis, Hanbury (dalam Hamzah : 2002)

mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran

matematika yaitu : (1) Siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan

cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) Matematika menjadi lebih

bermakna karena siswa mengerti, (3) Strategi siswa lebih bernilai, dan (4) Siswa

mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan

ilmu pengetahuan dengan temannya.

Berdasarkan beberapa pandangan di atas dapat dikatakan bahwa

pembelajaran matematika adalah membangun/pembentukan pengetahuan.

Pembentukan pengetahuan inilah ytang harus dibuat sendiri oleh siswa. Siswa

diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka berdasarkan

pengetahuan awalnya

G.2 Model Pembelajaran Creative Problem Solving

Model “Creative Problem Solving” (CPS) adalah suatu model

pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan

pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan ketrampilan. Creative

problem solving dapat dipecah menurut masing-masing pengertian setiap katanya

yaitu: Creative adalah suatu gagasan yang mempunyai suatu unsur corak atau ciri

baru atau keunikan, siapa yang menciptakan solusi dan juga mempunyai kaitan

dan nilai. Problem adalah situasi yang menghadirkan suatu tantangan, suatu

kesempatan, atau suatu perhatian atau suatu dituasi yang tak jelas jalan

pemecahannya yang mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk

menemukan jawabannya. Solving adalah jalan pemikiran untuk menjawabnya,

titik temu untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu, Creative Problem

Solving adalah suatu proses, metode, atau system untuk mendekati suatu masalah

di dalam suatu jalan imajinatif dan menghasilkan suatu tindakan yang sangat

efektif untuk menyelesaikannya. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan,

siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan

mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa

10

Page 11: GEDE WARSIKA (0713011053)

dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas prosesberpikir

(Mitchell,1999).

Suatu soal yang dianggap sebagai “masalah” adalah soal yang

memerlukan keaslian berpikir tanpa adanya contoh penyelesaian sebelumnya.

Masalah berbeda dengan soal latihan. Pada soal latihan, siswa telah mengetahui

cara menyelesaikannya, karena telah jelas antara hubungan antara yang diketahui

dengan yang ditanyakan, dan biasanya telah ada contoh soal. Pada masalah siswa

tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya, tetapi siswa tertarik dan tertantang

untuk menyelesaikannya. Siswa menggunakan segenap pemikiran, memilih

strategi pemecahannya, dan memproses hingga menemukan penyelesaian dari

suatu_masalah_(Suyitno,2000:33).

Creative problem solving menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menemukan masalah dari situasi-situasi yang akan menimbulkan masalah

yaitu suatu usaha untuk mengidentifikasi suatu situasi yang menghadirkan

suatu masalah. Ketika mendapatkan suatu situasi yang akan menghadirkan

masalah, siswa menulis dalam ringkasan kecil yang dapat menangkap inti

sari dari apa yang terjadi. Biarkan gagasan-gagasan dan pendapat siswa

mengalir sehingga menemukan inti sari dari masalah itu.

2. Menemukan data yaitu siswa mengidentifikasi semua fakta yang

berhubungan dengan situasi yang dihadapi, untuk mencari dan

mengidentifikasi situasi yang tidak diketahui tetapi penting situasi tersebut

untuk diketahui dan dicari. Siswa mendaftar semua fakta yang

berhubungan dengan situasi yang dihadapi dan sasaran yang diinginkan.

Tujuannya adalah untuk mempunyai semua pengetahuan yang

bersangkutan dengan masalah sehingga siswa dapat mengidentifikasi dan

menggambarkan kunci permasalahan. Kemudian, menggunakan divergent

thinking untuk mengenal fakta. Kemudian daftar fakta-fakta yang didapat

yang akan digunakan pada langkah berikutnya.

3. Menemukan kunci permasalahan yaitu siswa mengidentifikasi semua

statemen-statemen masalah dan kemudian yang terpenting adalah

mengisolasinya dan mencari dasar dari masalah tersebut. Kemudian siswa

memilih statemen masalah yang paling utama, meninjau ulang semua

11

Page 12: GEDE WARSIKA (0713011053)

statemen permasalahan tersebut dan kemudian memilih satu kombinasi

atau statemen-statemen yang terbaik untuk menguraikan permasalahan

lebih lanjut yaitu yang dapat memberikan manfaat ketika permasalahan itu

akan dipecahkan.

4. Pengungkapan gagasan (ide) atau pendapat yaitu pada tahap ini siswa

dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat tentang berbagai macam

strategi penyelesaian masalah. Siswa mengidentifikasi solusi sebanyak-

banyaknya dari statemen-statemen masalah yang memungkinkan.

Sehingga siswa tidak merasa tertekan saat pembelajaran berlangsung,

pendapat siswa dihargai.

5. Evaluasi dan Pemilihan yaitu pada tahap evaluasi dan pemilihan ini, setiap

kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi mana

yang cocok untuk menyelesaikan masalah. Menggunakan sebuah daftar

untuk memilih solusi yang terbaik untuk ditindaklanjuti.

6. Implementasi yaitu pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang

dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya

sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. Menentukan

rencana suatu kegiatan dan menerapkan solusi yang telah ditentukan.

(Mitchell, 1999).

Dengan membiasakan siswa menggunakan langkah-langkah yang kreatif

dalam memecahkan masalah, diharapkan dapat membantu siswa untuk mengatasi

kesulitan dalam mempelajari matematika. Siswa akan terbiasa jika menghadapi

permasalahan-permasalahan matematika dan dengan creative problem solving ini,

siswa akan lebih mudah di dalam mengidentifikasikan masalah dan

menyelesaikannya. Dengan langkah-langkah creative problem solving (CPS) yang

dipaparkan di atas, kebingungan siswa saat menghadapi masalah matematika

setidaknya akan dapat dikurangi dan pada akhirnya siswa terbiasa untuk

menghadapi masalah matematika kemudian menyelesaikannya dengan suatu

urutan penyelesaian yang terstruktur.

12

Page 13: GEDE WARSIKA (0713011053)

Bagan dari creative problem solving

secara keseluruhan dapatdiperlihatkan sebagai berikut :

(William E. Mitchell : 1999)

Dari uraian sintaks di atas nampak bahwa siswa akan berposisi sebagai

pencari pengetahuan, dalam artian mereka secara aktif dilibatkan dalam

memecahkan masalah yang dihadapi. Jadi dengan melaksanakan proses

pembelajaran berdasarkan sintaks di atas, dapat dilihat bahwa melalui proses

pembelajaran tersebut siswa akan terlatih untuk bernalar, memecahkan masalah

dengan menggunakan konsep-konsep yang telah dikuasainya untuk memecakan

masalah yang diberikan. Proses pembelajaran ini sangat relevan dengan tuntutan

KTSP yang menekankan pengembangan, kompetensi dasar dan pemahaman

konsep. Disamping sintaks di atas, model creative problem solving juga memiliki

13

Situasi yang menghadirkan masalah

Situasi yang menghadirkan masalah

Menemukan dataMenemukan data

Menemukan kunci masalah

Menemukan kunci masalah

Menemukan ide (gagasan)Menemukan ide (gagasan)

Evaluasi dan Pemilihan solusi

Evaluasi dan Pemilihan solusi

Rencana kegiatan selanjutnya

(implementasi)

Rencana kegiatan selanjutnya

(implementasi)

DivergentThinking

Konvergen

Thinking

Page 14: GEDE WARSIKA (0713011053)

komponen yang lain diantaranya sistem sosial, prinsip reaksi, dampak

instruksional dan dampak pengiring.

Dalam sistem sosial model ini, pola hubungan guru dan siswa tergolong

tinggi. Perilaku guru dan siswa adalah guru bertindak sebagai fasilitator,

pemberian informasi, teman berpikir dan pembimbing. Minimnya peran guru

sebagai transmiter pengetahuan, demokratis, guru dan siswa memiliki status yang

sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan.

Komponen selanjutnya adalah prinsip reaksi guru terhadap siswa, dimana

prilaku guru sebagai berikut :

a. Pembuka prilaku belajar pemecahan masalah

b. Konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir

tingkat tinggi. Peran ini ditampilkan utamanya dalam proses siswa

melakukan aktivitas pemecahan masalah.

Selain itu, model creative problem solving ini memiliki dampak

instruksional yaitu siswa memiliki pemahaman, keterampilan, berpikir kritis dan

kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan

menggunakan pengetahuan secara bermakna. Dampak pengiringnya adalah

hakekat tentatif keilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan

siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah non rutin.

Peraturan-peraturan dasar dari creative problem solving

a. Untuk mengefektifkan pengungkapan pendapat:

1. Kwantitas adalah diperlukannya suatu originalitas untuk

kelancaran datangnya suatu gagasan

2. Keadaan bebas yang tak terhambat membangkitkan datangnya

suatu gagasan

3. Semua gagasan (ide) dapat diterima

4. Kombinasi dan improvement

5. Untuk merangsang datangnya gagasan : penggantian, kombinasi,

penyesuaian, modifikasi, memperbesar, memperkecil, letakkan

pada penggunaan uang lain, menghapus, membalikkan.

b. Untuk mengefektifkan pemikiran yang divergen :

1. Menunda keputusan

14

Page 15: GEDE WARSIKA (0713011053)

2. Mencari banyak ide

3. Menerima semua gagasan (ide)

4. Membuat diri siswa regang dari gagasan-gagasan yang didapat

5. Memberikan beberapa saat agar ide menjadi cemerlang

6. Mencari kombinasinya

c. Untuk mengefektifkan pemikiran yang konvergen :

1. Tidak tergesa-gesa

2. Tegas

3. Jangan cepat menyimpulkan jika masih terlalu prematur

4. Mencari yang disukai

5. Kembangkan keputusan yang dipilih

6. Jangan menyimpang dari tujuan

(William E. Mitchell : 1999)

Jika dilihat dari komponen-komponen model di atas dapat dikatakan setiap

komponen sangat mendukung pelaksanaan KTSP, karena dari uraian di atas

tampak bahwa siswa yang aktif di dalam proses belajar. Siswa dibuat untuk

berperan aktif dan tanpa dipaksakan untuk mengikuti cara yang dimiliki guru

sehingga akan tumbuh kemampuan bernalar sesuai dengan potensinya sendiri,

serta guru tidak lagi berperan sebagai pemberi informasi atau pengetahuan

melainkan lebih cenderung sebagai fasilitator yang berupa mendorong siswa

untuk menyelesaikan tugas yang diberikan berupa permasalahan matematika

sesuai dengan cara atau potensinya sendiri.

G.3 Strategi Scaffolding dalam Pembelajaran Matematika

Salah satu dari teori Vygotsky adalah Scaffolding. Scaffolding berarti

memberikan kepada sekolompok siswa sejumlah bantuan selama tahap-tahap

awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan

kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin

besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri (Slavin, 1993). Bantuan yang

diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan

masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.

Vygotsky dalam Scaffolding mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa

dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai

15

Page 16: GEDE WARSIKA (0713011053)

keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3)

siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding berarti upaya guru untuk

membimbing siswa dalam upaya mencapai suatu keberhasilan. Dorongan guru

sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi

optimum (Vygotsky,1978 :5).

Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan (Howe &

Jones, 1993). Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan bentuk pembelajaran

kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas

yang sulit dan saling memunculkan strategi-strtategi pemecahan masalah yang

efektif. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding,

dengan semakin lama siswa semakin bertanggung jawab terhadap pembelajaran

sendiri. Ringkasnya, menurut teori Vygotsky, siswa perlu belajar dan bekerja

secara berkelompok sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan diperlukan

bantuan guru terhadap siswa dalam kegiatan pembelajaran agar segala kesulitan-

kesulitan siswa dapat diatasi (pemberian bantuan ini disesuaikan dengan

pengertian dari Scaffolding di atas yaitu guru memberikan bantuan hanya sebatas

berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk

lain dan semakin lama guru mengharapkan siswa dapat mengerjakan secara

mandiri sehingga pemberian bantuan dapat dikurangi dan terlebih ditiadakan).

Dalam memecahkan masalah matematika, posisi guru adalah sebagai

penawar bantuan berupa keterampilan jika diperlukan oleh siswa yang

bermasalah. Guru memberi bantuan hanya sebatas berupa petunjuk, peringatan,

dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain dan penting sekali

memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah yang

diberikan secara mandiri sehingga pembelajaran ini dapat membuat siswa aktif.

Harus diingat bahwa peran guru di sini juga adalah memelihara kondisi siswa

dalam mengerjakan masalah-masalah yang diberikan tanpa tekanan, menghindari

rasa frustasi siswa dan menghindari kebosanan siswa.

Lange (2002) berpendapat, ada dua langkah utama yang terlibat di dalam

strategi scaffolding yaitu : (1) pengembangan rencana instruksional untuk

memimpin siswa dari apa yang telah mereka ketahui ke suatu pemahaman lebih

dalam terhadap materi baru. (2) pelaksanaan rencana, guru menyediakan

16

Page 17: GEDE WARSIKA (0713011053)

pendukung kepada siswa pada setiap langkah untuk memecahkan masalah dalam

proses pembelajaran.

Dalam proses scaffolding , terdapat lima ciri yang dapat

diidentifikasikan secara spesifik yang akan membantu siswa untuk menyerap

pengetahuan sampai terjadinya suatu penguasaan (Applebee dan Langer ; 1983).

Seperti yang dikutip oleh Zhao dan Orey (1999), identifikasi kelima ciri itu adalah

sebagai:

1. Intentionality

Suatu tugas mempunyai tujuan yang jelas yang akan mengendalikan

segala aktivitas yang terpisah dan berperan untuk pencapaian secara

keseluruhan.

2. Appropriateness (kepantasan)

Suatu tugas yang bersifat masalah yang dapat dipecahkan dengan bantuan

guru tetapi siswa tidak dapat menyelesaikannya dengan sukses tanpa

bantuan guru. Sampai siswa mempunyai kemampuan yang cukup dan

dapat mengerjakannya secara mandiri.

3. Struktur

Aktivitas peragaan dan tanya jawab merupakan bagian dari suatu model

pendekatan, dimana model yang digunakan disesuaikan dengan tugas yang

diberikan dan diharapkan dengan tugas ini dapat mendorong siswa ke arah

suatu urutan bahasa dan pemikiran yang alami dan terstruktur.

4. Kerja sama (collaboration)

Guru memberikan tanggapan terhadap tugas yang telah dibuat oleh siswa

dimana guru tidak bersifat evaluatif namun guru hanya bersifat kolaboratif

dengan jalan memperluas kembali pengetahuan siswa berdasarkan tugas

yang telah dikerjakannya dan menghargai apa yang siswa sudah kerjakan.

5. Internalization

Pada eksternal scaffolding, guru secara perlahan-lahan mengurangi

pemberian bantuan kepada siswa sampai siswa mempunyai pola teladan di

dalam dirinya sehingga siswa dapat mandiri.

17

Page 18: GEDE WARSIKA (0713011053)

Zhao dan Orey (1999) mengidentidikasi enam unsur-unsur umum proses

scaffolding : sharing a specific goal, whole task approach, immediate availability

of help, intention-assisting, optimal level of help, conveying an expert model.

1. Sharing A Specific Goal

Tanggung jawab seorang guru untuk menetapkan target yang ingin dicapai.

Minat siswa harus ditumbuhkan sehingga guru dapat berkomunikasi dengan

siswa dan mencapai intersubjektivas (berbagi niat, persepsi, konsepsi dan

perasaan) (Zhao dan Orey, 1999). Guru harus melakukan beberapa pre-

assessment menyangkut siswa dan kurikulum. Prestasi hasil sasaran kurikulum

yang direncanakan oleh guru dengan mempertimbangkan kebutuhan dari setiap

siswa. Guru hendaknya mempertimbangkan siswa yang memiliki keunikan

dalam artian siswa yang memiliki kelemahan

2. Who Task Approach

Dalam pemberian tugas yang harus diperhatikan adalah focus dari tujuan

pemberian tugas yaitu penekanan suatu proses dalam penyelesaian tugas.

Pemberian tugas (masalah) akan lebih efektif jika siswa tidak mengalami

kesulitan ekstrim dalam mengerjakan tugas tersebut (menekankan keterampilan

yang dilakukan di dalam menyelesaikan tugas) sehingga tujuan dari pemberian

tugas kepada siswa dapat dicapai secara maksimum.

3. Immediate Availability Of Help

Pemberian bantuan kepada siswa sangatlah penting, ini berguna untuk

membantu mengendalikan rasa prustasi siswa di dalam mengerjakan tugas

yang diberikan. Lebih efektif jika guru memberikan bantuan sesegera mungkin

dan tepat waktu sehingga siswa dapat meneruskan tugasnya ke langkah

selanjutnya.

3. Intention-Assisting

Inti dari proses scaffolding adalah untuk menyediakan bantuan kepada siswa,

yaitu membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa dalam

mengerjakan tugas yang diberikan. Bagaimanapun sangatlah penting untuk

memberikan bantuan secara optimal kepada siswa yang mengalami kesulitan di

dalam mengambil strategi yang harus diambil untuk menyelesaikan tugasnya.

18

Page 19: GEDE WARSIKA (0713011053)

Tugas guru yang lainnya adalah memelihara minat siswa dalam mengerjakan

tugas yang diberikan sehingga dapat mendorong keterampilan siswa ke tingkat

pemikiran yang lebih tinggi.

5. Optimal Level Of Help

Apa yang dapat dilakukan siswa harus disesuaikan dengan tingkat penyajian

bantuan. Siswa diberikan bantuan secara efektif untuk mengatasi

permasalahan-permasalahan dalam mengerjakan tugas. Dengan kata lain,

bantuan hanya diperlukan dalam mengerjakan tugas yang tidak dapat

diselesaikan siswa. Tidak ada intervensi yang mengharuskan siswa untuk

menyelesaikan tugas secepatnya jika siswa mengalami kesulitan dalam

pengerjaannya. Bagaimanapun, jika siswa kurang memiliki keterampilan atau

siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas maka guru perlu

mendemonstrasikan materi itu kembali.

6. Conveying An Expert Model

Seorang guru dapat memberikan contoh yang tegas/eksplisit pemaparan tugas

yang jelas sehingga tidak ada kerancuan dalam instruksi-instruksi yang

diberikan oleh guru.

Poin-poin yang harus diperhatikan pada saat menerapkan strategi

scaffolding, Larking (2002) mengatakan bahwa para guru dapat mengikuti

beberapa teknik scaffolding yang sangat efektif yaitu dengan mendorong

kepercayaan siswa. Pertama, perkenalkan para siswa dengan masalah yang tidak

dapat dikerjakannya dan berikan sedikit bantuan. Hal ini akan meningkatkan rasa

percaya diri dari siswa. Berikan bantuan yang cukup untuk memberikan

kesempatan kepada para siswa dalam mencapai penguasaan materi. Hal ini akan

dapat menghindarkan rasa prustasi siswa, mengukur dan memastikan bahwa

siswa mampu mengikuti langkah berikutnya. Scaffolding harus dipindahkan

secara berangsur-angsur dan kemudian memindahkan sepenuhnya kepada siswa

dalam menyelesaikan suatu masalah ketika siswa dirasa sudah memperlihatkan

penguasaan suatu masalah.

G.4 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Suatu pertanyaan merupakan suatu masalah jika seseorang tidak

mempunyai aturan atau hukum tertentu yang dapat digunakan untuk menemukan

19

Page 20: GEDE WARSIKA (0713011053)

jawaban pertanyaan tersebut (Suherman, dkk, 2003). Suatu pertanyaan merupakan

suatu masalah bagi siswa, tetapi belum tentu pertanyaan tersebut merupakan

masalah bagi siswa yang lain. Jadi pertanyaan merupakan suatu masalah

tergantung kepada individunya.

Adanya masalah menuntut seseorang memiliki kemampuan

pemecahan masalah. Pemecahan masalah matemtika adalah keterampilan siswa

dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah (umumnya berbentuk essay).

Kemampuan anak dalam memecahkan masalah sangat terkait dengan tingkat

perkembangan mereka sehingga masalah-masalah yang diberikan kepada siswa

haruslah dapat diterima oleh siswa tersebut. Jadi pertanyaan itu harus sesuai

dengan struktur kognitif siswa. Dipertegas kembali oleh Polya (Suherman,2003)

mendefinisikan kemampuan pemecahan masalah matematika sebagai kemampuan

memberikan penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan

pembelajaran dengan melalui empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami

masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian dan

memeriksa kembali.

Perry dan Controy (dalam Sutawidjaja, 1998:9) mengemukakan

beberapa kiat yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah yaitu:

a. siswa harus diberanikan untuk menerima ketidaktauan dan

merasa senang untuk mencari tahu;

b. setiap siswa dalam kelompok harus diberanikan untuk

membuat soal atau pertanyaan;

c. siswa diperbolehkan memilih masalah-masalah dari sejumlah

masalah yang diberikan; dan

d. siswa harus diberikan untuk mengambil resiko dan mencari

alternative

Lebih jauh, Perry dan Controy (dalam Sutawidjaja), 1998 :9) juga

mengemukakan beberapa hal yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah yakni :

(a) guru harus sadar akan sikap positif dan cara-cara yang

mengembangkan hal itu;

20

Page 21: GEDE WARSIKA (0713011053)

(b) guru harus berani mencari dan mengembangkan keterampilan

siswa dalam memecahkan masalah;

(c) guru harus mencari masalah yang menarik yang sering muncul

secara spontan;

(d) guru perlu memperjelas situasi belajar dengan bertanya untuk

menggalakkan jawaban dari penyajian siswa;

(e) guru harus mau membiarkan pemecahan suatu masalah

menurut persepsi siswa walaupun mempunyai arah yang

berbeda dengan yang direncanakan; dan

(f) masalah tidak harus selalu diselesaikan oleh siswa. Masalah

dapat dilontarkan sebagai awal penyajian materi baru.

Pemecahan masalah merupakan kegiatan yang paling penting

dalam pengajaran matematika, sebab kemampuan pemecahan masalah yang

diperoleh dalam suatu pelajaran matematika pada umumnya dapat di transfer

untuk digunakan dalam memecahkan masalah lain (Bell dalam Eka Mahendra

2005). Sukasno (2002 dalam Aryana 2006) menyatakan masalah merupakan suatu

tugas bagi siswa untuk memecahkan soal-soal ataupun tugas-tugas yang diberikan

kepadanya dengan melibatkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.

Pemecahan masalah secara sederhana merupakan proses penerimaan masalah

sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Kemampuan pemecahan masalah harus dimiliki siswa,

kemampuan tersebut akan terwujud jika guru mengajarkan bagaimana

memecahkan masalah yang efektif. Di dalam menyelesaikan masalah, siswa

diharapkan memahami proses penyelesaian masalah yang diberikan dan menjadi

terampil di dalam memilih dan mengidentifikasikan kondisi dan konsep yang

relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana penyelesaian dan

mengorganisasikan keterampilan yang telah dimilikinya. Menurut Polya (dalam

Suherman 2003), dalam memecahkan masalah terdapat empat langkah penting

yang harus dilakukan yaitu:

1. Memahami masalah yaitu apa yang dicari, apa yang diketahui, apa

syarat-syarat bias dipenuhi dan cukup untuk mencari yang tidak

diketahui, membuat gambar atau grafik.

21

Page 22: GEDE WARSIKA (0713011053)

2. Merencanakan pemecahannya yaitu apakah soal tersebut sudah pernah

dilihat sebelumnya, apakah masalah yang sama pernah dilihat dalam

bentuk yang berbeda, apakah tahu teorema yang mungkin berguna,

memperhatikan unsur yang tidak diketahui dan memikirkan soal yang

sudah dikenal yang mempunyai unsur yang tidak diketahui yang sama.

3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana langkah kedua yaitu

merencanakan penyelesaiannya, mengecek setiap langkah, apakah

langkah sudah benar.

4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh yaitu mengecek hasilnya,

dapatkah hasil itu didapat dengan cara yang lain.

Keempat tahap pemecahan masalah dari Polya tersebut merupakan

kesatuan yang sangat penting untuk dikembangkan

Kemampuan pemecahan masalah matematika merupakan utama

yang harus dimiliki siswa ketika mereka meninggalkan kelas untuk memasuki dan

melakukan aktivitas di dunia nyata. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematika siswa sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam

memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

H. Kerangka Berpikir

Kemampuan pemecahan masalah menyangkut kemampuan

individu atau kelompok menerapkan langkah-langkah pemecahan masalah dalam

upaya menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan

yang telah dimiliki sebelumnya untuk memenuhi tuntunan situasi yang tak jelas

jalan pemecahannya. Suatu kondisi yang mendukung terlaksananya kegiatan

pemecahan masalah adalah keinginan atau ketertarikan siswa terhasap masalah

yang dihadapinya. Jacobson, Lester, dan Stengel (dalam Sukasno,2002 :25),

mengajukan tiga prinsip dasar agar siswa tertarik untuk menyelesaikan masalah

yaitu:

1. Berikan kepada siswa pengalaman langsung, aktif, dan

berkesinambungan dalam menyelesaikan soal-soal beragam.

2. Ciptakan hubungan yang positif antara minat siswa dalam

menyelesaikan soal dengan keberhasilan mereka; dan

22

Page 23: GEDE WARSIKA (0713011053)

3. Ciptakan hubungan yang akrab antara siswa, permasalahan,

perilaku pemecahan masalah, dan suasana kelas

Model pembelajaran creative problem solving dengan disertai

strategi scaffolding telah memuat ketiga prinsip tersebut sehingga akan

mendorong terciptanya suatu lingkungan belajar yang menyenangkan. Model

pembelajaran creative problem solving dirancang untuk melakukan pemusatan

pembelajaran keterampilan pemecahan masalah baru secara inovatif, memiliki

pola pikir dan prilaku yang divergen, membantu siswa untuk memiliki sifat positif

dalam belajar, dan memiliki kemampuan kerja sama baik dengan sesama teman

maupun dengan guru selaku fasilitator, motivator dalam belajar. Seperti diketahui

bersama-sama yaitu dalam proses pembelajaran, terlebih pembelajaran yang

memusatkan kepada penguatan keterampilan pemecahan masalah, seorang guru di

sini bertindak sebagai fasilitator dan moderator. Dalam pembelajaran ini siswa

memiliki lebih banyak kesempatan melatih keterampilannya dalam langkah-

langkah pemecahan masalah, siswa dihadapkan pada masalah-masalah yang dekat

dengan kehidupannya, siswa diberikan kesempatan mengkomunikasikan dan

mendiskusikan hasil pekerjaannya dengan teman, dengan demikian keterampilan

pemecahan masalah siswa akan semakin terasah dan pada akhirnya diharapkan

mampu mencapai keterampilan pemecahan masalah yang diinginkan.

Pembelajaran matematika dengan menerapkan model pembelajaran

creative problem solving disertai strategi scaffolding akan menciptakan

lingkungan belajar yang bebas dari tekanan dan ancaman. Kemampuan

pemecahan masalah dapat dikembangkan dan diasah melalui langkah-langkah

creative problem solving. Namun suatu pembelajaran terlebih yang menitik

beratkan pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah tidak akan dapat

berjalan dengan lancar jika membiarkan siswa hanya bekerja sendirian dalam

menyelesaikan soal-soal matematika yang berupa masalah sehingga sangat

diperlukan peran seorang guru sebagai pembimbing di dalam proses penyelesaian

soal yang berupa masalah namun perlu digaris bawahi yaitu peran guru hanya

sebagai penyedia bantuan yang berupa petunjuk, peringatan, dorongan,

menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan dapat lebih

dimengerti oleh siswa dan pemberian itu tidak senantiasa dilakukan terus-menerus

23

Page 24: GEDE WARSIKA (0713011053)

Situasi yang menghadirkan masalah

Situasi yang menghadirkan masalah

Menemukan dataMenemukan data

Menemukan kunci masalah

Menemukan kunci masalah

Menemukan ide (gagasan)

Menemukan ide (gagasan)

Evaluasi dan Pemilihan solusi

Evaluasi dan Pemilihan solusi

Rencana kegiatan selanjutnya

(implementasi)

Rencana kegiatan selanjutnya

(implementasi)

DivergentThinking

Konvergen

Thinking

Strategi scaffoding

Semakin lama semakin

berkurang dan akhinya menghilang

dalam setiap proses pembelajaran, bantuan itu akan dikurangi dikit demi sedikit

dan sampai pada batas siswa diyakini oleh guru mempunyai kemampuan yang

cukup untuk lebih mandiri di dalam menyelesaikan masalah-masalah yang

diberikan maka bantuan itu akan ditiadakan. Jadi, model pembelajaran creative

problem solving akan dapat berjalan dengan lancar dan mencapai hasil yang

optimal jika disertai dengan strategi pembelajaran scaffolding yaitu memberikan

kepada sekelompok siswa sejumlah bantuan selama tahap-tahap awal

pembelajaran yaitu berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah

ke dalam bentuk lain yang lebih mudah dipahami oleh siswa dan kemudian

mengurangi bantuan tersebut sehingga memberikan kesempatan kepada siswa

mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah siswa diyakini

mampu mengerjakannya sendiri (Slavin, 1993).

Proses itu dapat digambarkan melalui bagan sebagai berikut :

24

Page 25: GEDE WARSIKA (0713011053)

Dapat dilihat bagan di atas bahwa model creative problem solving

disertai strategi scaffolding sangat cocok diterapkan untuk meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Berdasarkan uraian di atas

dapat dilihat betapa pentingnya ”Implementasi Model Pembelajaran Creative

Problem Solving disertai strategi Scaffolding untuk Meningkatkan Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja”

I. Hipotesis

Dari kajian teoritis di atas maka dapat dirumuskan suatu hipotesis tindakan

sebagai berikut:

“Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi

Scaffolding Berpengaruh positif terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Singaraja”

J. METODE PENELITIAN

J.1. Populasi Penelitian

"Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian" (Arikunto, 2002: 108).

Sehingga yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII

SMP Negeri 3 Singaraja Semester Genap Tahun Ajaran 2009/2010. Banyaknya

anggota populasi dalam penelitian ini adalah 240 siswa yang tersebar ke dalam 6

kelas dan sebaran siswa untuk masing-masing kelas adalah seperti tabel berikut.

Tabel Sebaran Anggota Populasi Penelitian

No Sumber Populasi Jumlah Siswa

1 Kelas VIIIA 38

2 Kelas VIIIB 41

3 Kelas VIIIC 39

4 Kelas VIIID 39

5 Kelas VIIIE 42

6 Kelas VIIIF 41

(Sumber: TU SMP Negeri 3 Singaraja)

J.2. Sampel Penelitian

25

Page 26: GEDE WARSIKA (0713011053)

"Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti" (Arikunto,

2002:109). Dalam penelitian ini sampel ditetapkan dari populasi dengan teknik

purposive random sampling artinya sampel ditarik secara acak namun

sebelumnya melalui pertimbangan tertentu dengan maksud agar bisa melakukan

pengecekan terhadap kelas. Pertimbangan yang dimaksud yaitu kelas VIII A yang

merupakan kelas unggulan dimana siswanya yang berkemampuan terbaik tidak

ikut dirandom dalam penentuan sampel sedangkan siswa lainnya tersebar ke

dalam 4 kelas secara merata sehingga keenam kelas lainnya dianggap setara. Bila

dikaji secara lebih akurat berdasarkan kemampuan matematika yang ditunjukkan

oleh nilai pada raport kelas VIII semester satu ternyata rata-rata kemampuan

matematika siswa secara klasikalnya relatif setara.

Selanjutnya sampel diambil dua kelas dari banyak kelas yang ada secara

random melalui pengundian. Dari kedua kelas yang terpilih akan dirandom lagi

dengan pengundian untuk menentukan kelompok eksperimen dan yang lainnya

ditetapkan sebagai kelompok kontrol.

Untuk memperoleh sampel yang lebih mendekati setara maka dari dua

kelompok yang telah diperoleh diadakan proses mathcing atau tandingan. Hal ini

diperkuat oleh pendapat Sutrisno Hadi (dalam Mahendra, 2005) bahwa cara yang

terbaik untuk menyeragamkan kedua kelompok adalah dengan memasang-

masangkan individu dalam salah satu karakteristik atau kelompok sifat sebagai

suatu keseluruhan, kemudian memilih dan menugaskan masing-masing dalam

pasangan itu ke kelompok eksperimen dan ke kelompok kontrol.

Adapun cara memasangkannya adalah sebagai berikut :

1. Nilai raport matematika siswa pada kelas VIII semester satu tiap siswa

pada masing-masing kelompok diurut dari tinggi ke rendah, dengan tujuan

mempermudah pemasangan antara dua kelompok dari populasi penelitian.

2. Pasangan individu dari satu kelompok pada kelompok yang lain diambil

dengan cara sebagai berikut.

Jika pada nilai tertentu pada setiap kelompok diisi oleh hanya seorang

siswa, maka siswa tersebut langsung dipasangkan.

26

Page 27: GEDE WARSIKA (0713011053)

Jika pada suatu nilai tertentu masing-masing kelompok diisi oleh orang

yang sama banyak, maka penentuan pasangan dari satu kelompok

langsung dipasangkan dengan kelompok lain.

Jika dari nilai tertentu salah satu kelompok mempunyai anggota yang

lebih banyak dari kelompok yang lain, maka penentuan dari jumlah

pasangan didasarkan pada banyaknya siswa dari kelompok yang lebih

sedikit dan pasanganya sesuai dengan butir 2 diatas.

3. Siswa yang tidak memperoleh pasangan datanya tidak diikutkan dalam

analisis.

J.3. Variabel Penelitian

” Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian

suatu penelitian” (Arikunto, 2002 :96). Secara garis besar ada dua jenis variabel

dalam penelitian ini, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Yang menjadi

variabel bebas adalah pembelajaran pembelajaran dengan model creative problem

solving dalam pembelajaran matematika, sedangkan variabel terikatnya adalah

hasil kemamuan pemecahan masalah matematika siswa.

J.4. Rancangan Penelitian

J.4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2010/2011 di

SMP Negeri 3 Singaraja. Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan strategi pengajuan

masalah terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

Dalam penelitian ini unit eksperimennya berupa kelas sehingga

digunakan desain eksperimen semu. Dalam desain eksperimen semu penempatan

subjek ke dalam kelompok yang dibandingkan tidak dilakukan secara acak.

Individu subjek sudah ada dalam kelompok yang dibandingkan sebelum

diadakannya penelitian.

Desain eksperimen semu yang digunakan dalam penelitian ini adalah

disain perbandingan kelompok statis. Desain ini diawali dengan pemilihan

kelompok subjek atau kelas yang sudah terbentuk tanpa campur tangan peneliti.

Kedua kelompok diberikan pre-test untuk mengetahui tingkat kemampuan dan

penguasaan siswa terhadap materi yang akan diajarkan. Langkah selanjutnya

27

Page 28: GEDE WARSIKA (0713011053)

peneliti memberikan perlakuan eksperimental kepada salah satu kelompok subjek

atau kelas (kelas eksperimen) berupa penerapan model pembelajaran kooperatif

tipe CIRC dengan strategi pengajuan masalah kepada kelas kontrol. Kemudian

peneliti memberikan post test kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil

post test dari kedua kelas kemudian dibandingkan.

Dalam penelitian ini desain eksperimen semu yang digunakan adalah

kelompok kontrol tidak sepadan (Selvila dkk, 1993:112). Langkah-langkah

tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.

E O1 X O2

K O1 O2

Keterangan

E : Kelas eksperimen

K : Kelas kontrol

X : Perlakuan berupa penerapan Model pembelajaran kooperatif tipe CIRC

dengan strategi pengajuan masalah

O1 : Pre-test

O2 : Post-test

Dari gambar di atas terlihat semua kelompok yaitu kelompok eksperimen

dan kelompok kontrol yang yang diberi post test. Kelompok dipilih sebagaimana

telah terbentuk dan tidak dilakukan pengacakan individu. Karena kelompok

dipilih sebagaimana adanya, kemungkinan pengaruh-pengaruh dari keadaan

subjek mengetahui dirinya dilibatkan dalam eksperimen dapat dikurangi sehingga

penelitian ini dapat digambarkan perlakuan yang diberikan secara benar (Sevila

dalam Wiguna, 2005)

J.5. Prosedur Penelitian

Untuk mengungkapkan secara tuntas mengenai permasalahan yang

diajukan dalam penelitian ini, maka langkah-langkah yang akan ditempuh dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

28

Page 29: GEDE WARSIKA (0713011053)

a. Menentukan sampel penelitian yang berupa kelas dari populasi yang

tersedia dengan cara melakukan pengundian. Sampel diambil empat kelas

dari enam kelas yang ada.

b. Dari empat kelas sampel yang sudah diperoleh akan diundi kembali untuk

menentukan kelas yang diberikan perlakuan seting kelas kooperatif dengan

strategi pengajuan masalah, kooperatif dengan teknik pertanyaan lisan,

konvensional dengan strategi pengajuan masalah, dan konvensional

dengan teknik pertanyaan lisan.

c. Menyusun instrumen penelitian yang berupa tes essay untuk mengukur

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

d. Mengonsultasikan instrumen penelitian dengan beberapa guru matematika

dan dosen pendidikan matematika dan selanjutnya dilakukan uji coba tes

kemampuan pemecahan masalah matematika.

e. Menyiapkan rencana pembelajaran serta lembar kegiatan siswa.

f. Memberikan perlakuan berupa penerapan model pembelajaran dan teknik

penyampaian pesan pembelajaran pada masing-masing kelas.

g. Memberikan posttest kepada kelas-kelas sampel secara bersamaan.

h. Menganalisis hasil penelitian untuk menguji hipotesis yang diajukan.

J.6. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat satu jenis data yang diperlukan yaitu data

tentang kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Berdasarkan jenis

data tersebut, maka instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan data tentang

kemampuan pemecahan masalah matematika ini disusun sesuai dengan tujuan

pembelajaran dan materi yang dituntut dalam kurikulum yang dijabarkan kedalam

kisi-kisi dan instrument (butir soal). Tes kemampuan pemecahan masalah yang

digunakan adalah bentuk essay (uraian) atau tes tertulis yang berjumlah 10 butir.

Tes yang digunakan adalah dalam bentuk essay karena dalam menjawab soal

essay siswa dituntut mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan

yang dimiliki. Dari tes ini dikumpulkan data tentang kemampuan pemecahan

masalah dengan menggunakan teknik penskoran yang dimodifikasi dari Suma

(dalam Suarsa, 2005). Teknik pensekoran yang dimaksud disajikan dalam tabel

berikut.

29

Page 30: GEDE WARSIKA (0713011053)

Tabel Teknik pemberian skor tahap-tahap pemecahan masalah

Level Karakteristik

Memahami masalah 0 - 3

Membuat rencana 0 – 2

Melaksanakan rencana 0 – 3

Melihat kembali 0 - 2

Dari teknik penskoran di atas, secara rinci dapat dibuat rubric penskoran tes

kemampuan pemecahan masalah seperti tertera pada tabel berikut

Tahap Skor Karakteristik

Memahami

masalah

3 Membuat apa yang diketahui dan apa yang

ditanyakan dengan benar

2 Membuat apa yang diketahui dengan benar tetapi

membuat yang ditanyakan salah/ menyimpang, dan

sebaliknya

1 Membuat apa yang diketahui dan apa yang

ditanyakan tetapi salah

0 Tidak membuat apa yang diketahui dan apa yang

ditanyakan

Membuat

rencana

2 Menuliskan rencana penyelesaian dengan benar

1 Menuliskan rencana penyelesaian tetapi

menyimpang (salah)

0 Tidak membuat / menuliskan rencana penyelesaian

Melaksanakan

rencana

3 Melaksanakan penyelesaian sesuai dengan rencana

dengan benar

2 Melaksanakan penyelesaian sesuai dengan rencana

tetapi salah

1 Melaksanakan penyelesaian masalah tetapi tidak

sesuai dengan rencana dan salah

0 Tidak melaksanakan rencana

Melihat 2 Meneliti kembali hasil yang sudah diperoleh dan

30

Page 31: GEDE WARSIKA (0713011053)

Kembali mengecek hasilnya *), penarikan kesimpulan

dengan baik dan benar

1 Meneliti kembali hasil yang sudah diperoleh dan

mengecek hasilnya*), penarikan kesimpulan tetapi

salah (dan tidak membuat kesimpulan)

0 Tidak melakukan pengecekan kembali (tidak

membuat kesimpulan)

*) Dilihat dari penulisan langkah-langkah penyelesaian masalah yang sudah benar

(perhitungannya) dan menunjukkan hasil yang tepat sesuai dengan keinginan soal.

Setelah ditemukan hasil, siswa harus mampu menuliskan suatu kesimpulan

dengan baik dan benar.

Mengingat “suatu instrumen penelitian akan dikatakan baik jika sudah

memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel” (Arikunto, 1998:160).

Uji coba instrumen penelitian dilakukan untuk mendapat gambaran secara

empirik apakah instrumen hasil belajar layak digunakan sebagai instrumen

penelitian. Untuk tujuan data yang diperoleh terlebih dahulu dianalisis dengan

menggunakan uji: validitas tes, reabilitas tes, daya beda tes, dan tingkat kesukaran

tes.

J.6.1 Uji Validitas Tes

” Validitas adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau

kesahihansuatu instrumen”(Arikunto,2002:144). MenurutErman Suherman(1993),

validitas suatu alat evaluasi adalah ketepatan alat evaluasi tersebut mengukur apa

yang seharusnya dievaluasi. Suatu alat evaluasi disebut valid jika alat tersebut

mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi. Salah satu cara yang

digunakan untuk mencari koefisien validitas alat evaluasi adalah dengan

menggunakan rumus korelasi product-momen sebagai berikut.

(Arikunto, 2002)

31

Page 32: GEDE WARSIKA (0713011053)

dengan :

X = skor butir tes

Y = skor total keseluruhan item

N= banyak responden

Kriterianya adalah dengan membandingkan harga ke tabel harga kritis

product momen, dengan taraf signifikansi 5 %. Jika , maka butir tes

dikatakan valid.

J.6.2 Uji Reliabilitas Tes

”Reliabilitas tes mengacu pada tingkat keterandalan tes tersebut sebagai

intrumen penelitian”(Arikunto, 2002 : 154). Menurut Erman Suherman (1993),

reliabilitas suatu alat evaluasi berkaitan dengan ketepatan hasil evaluasi untuk

subjek yang sama. Reliabilitas suatu alat evaluasi dimaksudkan sebagai suatu alat

yang memberikan hasil yang relatif sama dengan pengukurannya jika diberikan

pada subjek yang sama meskipun dilakukan pada tempat dan waktu yang

berbeda.” Tes yang reliabilitasnya tinggi disebut tes yang reliabel” (Erman

Suherman, 1993). Untuk menentukan reliabilitas tes dalam hal ini digunakan

rumus alpha, karena tes prestasi belajar ini berbentuk uraian.

Rumus Alpha : (Arikunto, 2002)

Dengan

Varian tiap butir tes :

Varian total : (dimodifikasi dari

Arikunto,2002)

Keterangan :

= reliabilitas tes

n = banyaknya butir pertanyaan

= jumlah varian skor item

32

Page 33: GEDE WARSIKA (0713011053)

= varian total

N = jumlah responden

Y = skor total item

X = skot tiap item.

Dalam menentukan derajat reliabilitas alat evaluasi dapat digunakan

kriteria sebagai berikut :

0,80 < r11 ≤ 1,00 Reliabilitas sangat tinggi(sangat baik)

0,60 < r11 ≤ 0,80 Reliabilitas tinggi(baik)

0,40 < r11 ≤ 0,60 Reliabilitas sedang(cukup)

0,20 < r11 ≤ 0,40 Reliabilitas rendah(kurang)

r11 ≤ 0,20 Reliabilitas sangat rendah

(Erman Suherman, 1993)

Soal yang digunakan jika minimal reliabilitasnya sedang atau r11 pada interval

0,40 < r11 ≤ 0,60

J.6.3 Daya Beda Tes

Daya beda tes adalah kemampuan suatu tes tersebut dalam memisahkan

antara subyek yang pandai dengan subyek yang kurang pandai dalam suatu

kelompok (Arikunto, 2003: 231).

Sebelum menentukan daya beda tes, terlebih dahulu ditentukan kelompok

atas dan kelompok bawah. Penentuan masing-masing kelompok dilakukan dengan

mengurut skor siswa dari skor tertinggi sampai skor terendah, kemudian diambil

27% skor tertinggi dan 27% skor terendah. Disini, 27% skor tertinggi ini disebut

dengan kelompok atas dan 27% skor terendah disebut kelompok bawah. Untuk

mengetahui daya pembeda item tes hasil belajar, maka digunakan formulasi

berikut (Nurkancana dan Sunartana, 1990: 159).

Keterangan:

DB = daya beda tes

WL = jumlah kelompok bawah yang menjawab salah

WH = jumlah kelompok atas yang menjawab salah

33

Page 34: GEDE WARSIKA (0713011053)

n = jumlah kelompok atas atau bawah

Kriteria pengujian suatu tes dapat digunakan jika DP 0,20. Klasifikasi

daya pembeda yang digunakan (Subana dan Sudrajat, 2001) adalah

DP = 0 berarti sangat jelek;

0,00 DP 0,20 berarti jelek;

0,20 DP 0,40 berarti cukup;

0,40 DP 0,70 berarti baik;

0,70 DP 1,00 berarti sangat baik.

J.6.4 Tingkat kesukaran tes

Derajat kesukaran adalah kemampuan tes tersebut dalam menjaring

banyaknya subyek peserta tes yang dapat menjawab dengan betul (Arikunto,

2002: 230). Untuk mengukur tingkat kesukaran tes hasil belajar digunakan rumus

(Nurkancana, 1990: 157) berikut.

Keterangan:

DK = derajat kesukaran

nH = jumlah kelompok atas (27% dari atas)

nL = jumlah kelompok bawah (27% dari bawah)

WH = jumlah kelompok atas yang menjawab salah

WL = jumlah kelompok bawah yang menjawab salah

Kriteria pengujian: suatu tes berkategori baik dan dapat digunakan jika

derajat kesukaran bergerak antara 25% sampai dengan 75% (25% DK 75%).

Klasifikasi derajat kesukaran yang umum dipakai (Subana dan Sudrajat, 2001)

adalah:

DK = 0,00 berarti terlalu sukar;

0,00 DK 0,30; berarti sukar;

0,30 DK 0,70 berarti sedang;

0,70 DK 1,00 berarti mudah,

DK = 1 berarti terlalu mudah.

J.7. Teknik Analisis data

J.7.1.Uji Prasayarat Hipotesis

34

Page 35: GEDE WARSIKA (0713011053)

Sebelum melakukan uji hipotesis maka harus dilakukan beberapa uji

prasyarat diantaranya :.

(1) Uji Normalitas

Uji normalitas untuk skor penalaran dan komunikasi digunakan analisis

Chi-Square dengan rumus :

(Sudjana, 1996)

keterangan :

Oi = frekuensi observasi

Ei = frekuensi harapan

k = banyak kelas

Kriteria pengujian tolak H0 jika , dengan taraf

signifikasi 5% dan dk = (k - 3).

(2) Uji Homogenitas

Untuk menguji homogenitas varians kedua kelompok digunakan uji

Bartlett dengan menggunakan statistik Chi-Square dimana dirumuskan sebagai

berikut:

2 = (ln 10) {B- log Si2}

Dengan S2 =

B = (log S2)

S2 adalah varians gabungan

Untuk memudahkan perhitungan, satuan-satuan yang diperlukan untuk

uji Bartlett disusun dalam sebuah tabel.

Tabel data-data yang diperlukan dalam perhitungan uji homogenitas

Sumber Variasi Db Si2 Log Si

2 db log Si2 db Si

2

Kelas

Eksperimen (1)

n-1 S12 log S1

2 db log S12 db S1

2

Kelas

Kontrol (2)

n-1 S22 log S2

2 db log S22 db S2

2

35

Page 36: GEDE WARSIKA (0713011053)

J.7.2 Uji Hipotesis

Sesuai dengan hipotesis penelitian (Ha) yang telah diajukan pada kajian

teori maka dapat dirumuskan hipotesis nol (H0) yang berbunyi “kemampuan

pemecahan masalah matematika siswa yang mendapat Model Pembelajaran

Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding lebih jelek atau sama

dengan siswa yang tidak model pembelajaran kooperatif tipe CIRC dengan

strategi pemecahan masalah. Secara statistik hipotesis tersebut dapat dirumuskan

sebagai berikut :

melawan

µ1 : rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang

memperoleh Model Pembelajaran Creative Problem Solving

dengan Strategi Scaffolding

µ2 : rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang

tidak memperoleh Model Pembelajaran Creative Problem Solving

dengan Strategi Scaffolding.

Untuk menguji hipoitesis digunakan Manova (Multivariate Analysis of

Variance) melalui statistic F varians. Kriteria pengujian adalah: tolak H0 jika

angka signifikansi lebih kecil dari 0,05. Sebagai tindak lanjut dari Manova, adalah

uji signifikansi perbedaan nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah

matematika antara siswa yang memperoleh Model Pembelajaran Creative

Problem Solving dengan Strategi Scaffolding dengan yang tidak memperoleh

Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding. Uji

perbedaan nilai rata-rata antar kelas menggunakan Least Significant Difference

(LSD) (Montgomery dalam Wartawan, 2005). Oleh karena jumlah sample pada

masing-masing kelas sama, maka digunakan formula Montgomery (Wartawan,

2005)

LSD =

Dengan α : taraf signifikansi

N : Jumlah sample total

n : Jumlah sample dalam kelas

36

Page 37: GEDE WARSIKA (0713011053)

a : Jumlah kelompok/ kelas

MSε : Mean Square Error

Kriteria yang digunakan adalah tolak H0 artinya nilai rata rata kemampuan

pemecahan masalah matematika siswa yang mendapat Model Pembelajaran

Creative Problem Solving dengan Strategi Scaffolding lebih jelek atau sama

dengan siswa yang tidak Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan

Strategi Scaffolding, jika > LSD dan µ1 > µ2

DAFTAR PUSTAKA

37

Page 38: GEDE WARSIKA (0713011053)

Adi Putra, I Komang. 2005. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran

Heuristk “V” Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII

SMP Negeri 2 Selat Karangasem.(Skripsi). Tidak diterbitkan. IKIP

Negeri Singaraja

Applebee, A.N., & Langer, J. (1983). Instructional scaffolding: Reading and

writing as natural language activities. Language Arts

(http://www.google.com)

Arikunto Suharsimi.2002.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Bandung : Bumi Aksara

Hamalik, Oemar. 1975. Metode Belajar Dan Kesulitan-Kesulitan Belajar.

Bandung : Tarsito

Herman Hudoyo.1988. Mengajar Belajar Matematika.Jakarta :Depdikbud.

Ichrom, Moch. Sholeh Y.A. 1988. Perpektif Pendidikan Anak Gifted.

Jakarta : Depdikbud.

Kendali, Ni M K. Artawan. 1999. Penggunaan metode pemberian tugas

sengan pendekatan CBSM dalam pembelajaran biologi sebagai

upaya untuk meningakatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas

III SLTP 1 Sukasada tahun ajaran 1999/2000. Laporan penelitian.

IKIP Negeri Singaraja.

Lie, A. 2002. Cooperative learning. Jakarta: Gramedia Widia Sarana

Indonesia.

Lipscomb, Lindsay dkk. (2003). Instructional scaffolding (E-BOOK):

Emerging perspectives on learning, teaching, and technology.

Language Arts, 60, 2, 168-175 (www.google.com)

Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : Remaja

Rosdakarya.

Munandar, Utami. 2002. Kreativitas dan Keberbakatan. Jakarta :

Gramedia

Mitchell, William E. 1999. “Creative Problem Solving” .New York:

Genigraphics Inc. (www.google.com)

38

Page 39: GEDE WARSIKA (0713011053)

Munandar, Utami. 2004. Pengembangan Kreativitas anak Berbakat. Jakarta :

Rineka Cipta

Munandar, S.C. Utami. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak

Sekolah. Jakarta : Grasindo.

Pusat Kurikulum.2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta.

Depdiknas.

Pusat Kurikulum.2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika.

Jakarta: . Depdiknas.

Ruseffendi, ET.1988.Pengajaran Matematika Modern Untuk Orang Tua

Murid dan Guru.Bandung.Penerbit Tarsito.

Suherman, Erman.2003. Strategi Pembelajran Matematika Kontemporer.

Bandung : JICA-IMSTEP

Slameto.2003. Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta :

Rineka Cipta

Semiawan, C.1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta :

Grasindo.

Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

SMP Negeri 6 Singaraja. 2007. Dokumen rekapitulasi nilai SMP Saraswati

Singaraja: SMP Saraswati Singaraja

Udani, Sri Naya. 2006. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

Numbered-Head-together (NHT) untuk meningkatkan kretivitas

dan pemahaman konsep matematika siswa kelas VIIC SMP Negeri

2 Singaraja. Laporan penelitian. IKIP Negeri Singaraja

39