GANTI RUGI TERHADAP TANAH INSTANSI DALAM …lib.unnes.ac.id/30121/1/8111413014.pdf · Aprila...
Transcript of GANTI RUGI TERHADAP TANAH INSTANSI DALAM …lib.unnes.ac.id/30121/1/8111413014.pdf · Aprila...
i
GANTI RUGI TERHADAP TANAH INSTANSI
DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH
BAGI PEMBANGUNAN UNDERPASS JATINGALEH
KOTA SEMARANG
SKRIPSI
Disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
Oleh
Julia Ulfa Noviani
8111413014
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Kesuksesan mengajarkan kita mengerti apa itu pengorbanan
Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak
menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka
menyerah (Thomas Alva Edison)
PERSEMBAHAN
1. Untuk bapak, dan ibu, terhebat (Rusmono dan
Dwiyani)
2. Untuk Kakak dan Adik saya (Cindy Nur Anisa dan
Julia Kusumaningtyas)
3. Untuk Keluarga Besar Bapak Supandi dan Bapak
Wahyudi
vii
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-NYA kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul: “GANTI RUGI TERHADAP TANAH INSTANSI DALAM
PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNDERPASS
JATINGALEH KOTA SEMARANG” Skripsi diajukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima
kasih kepada :
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum Rektor Universitas Negeri Semarang.
2. Dr. Rodiyah, S.Pd.,S.H.,M.Si Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang.
3. Drs. Suhadi, S.H., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, motivasi, saran, dan kritik yang membangun dengan sabar dan
tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Aprila Niravita, S.H., M.Kn. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan kritik yang membangun dengan
sabar dan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Rahayu Fery Anitasari, S.H.,M.Kn. selaku dosen penguji yang telah
memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
6. Waspiah, S.H., M.H. selaku dosen wali yang telah membimbing penulis
selama menempuh perkuliahan.
ix
ABSTRAK
Noviani, Julia Ulfa. 2017. Ganti Rugi Terhadap Tanah Instansi Dalam
Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Underpass Jatingaleh Kota
Semarang. Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.
Drs. Suhadi, S.H.,M.Si. dan Aprila Niravita, S.H., M.Kn.
Kata Kunci: Ganti Rugi, Tanah Instansi, Underpass
Maksud dan tujuan pembangunan Underpass Jatingaleh yaitu untuk
memperlancar arus lalu lintas disekitar pasar jatingaleh dan sekitarnya serta untuk
menghindari pertemuan antara lalu lintas. Fokus masalah yang diambil oleh
penulis yaitu: Pertama, Bagaimana proses pengadaan tanah dalam proyek
pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang terkait tanah instansi?.
Kedua, Bagaimana pemberian ganti rugi terhadap tanah instansi dalam proyek
pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang?. Ketiga, Apa saja hambatan
yang terjadi dalam proses pemberian ganti rugi terhadap tanah Instansi dalam
pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang?.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis
penelitian yuridis-sosiologis. Sumber data menggunakan sumber data primer,
sekunder dan tersier dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengadaan tanah untuk
pembangunan Underpass Jatingaleh melalui tahap perencanaan, persiapan,
pelaksanaan dan tahap pemnyerahan hasil. Terdapat 4 tanah instansi yang terkena
proyek pembangunan tersebut diantaranya tanah milik KPP Pratama Candisari,
TNI AL, Kantor Kelurahan Ngresep dan Pasar Jatiingaleh. Kemudian untuk ganti
rugi tanah instansi dalam pembangunan Underpass Jatingaleh diberikan dalam
bentuk tanah pengganti. Namun pada tanah instansi yang sudah dilepaskan tidak
semua diberikan ganti rugi dalam bentuk tanah pengganti dan belum semua
terealisasikan. TNI AL ganti ruginya adalah tanah pengganti dan relokasi
bangunan. Untuk Kelurahan Ngresep sebagai ganti ruginya dibuatkan Pagar.
Hambatan yang terjadi dalam proses pemberian ganti rugi terkait tanah instansi
yaitu cenderung pada proses administrasi yang melibatkan banyak pihak jadi tidak
bisa diputuskan dalam sekali pertemuan karena pertanggungjawabannya adalah
kepada negara. Kesimpulan dari penulisan ini bahwa ganti rugi terhadap tanah
instansi diberikan dalam bentuk tanah pengganti dan relokasi bangunan. Dan
pemberian ganti rugi terhadap tanah instansi tidak semudah memberikan ganti
rugi kepada warga. Penulis memberikan saran kepada instansi yang memerlukan
tanah dan pelaksana pengadaan tanah harus lebih memikirkan mengenai tanah
pengganti sebagai ganti rugi tanah instansi dikarenakan tanah instansi tersebut
juga memerlukan tanah pengganti untuk lahan yang telah terkena proyek.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iii
PERNYATAAN ............................................................................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................ v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv
DAFTAR BAGAN .......................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 .Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Identifikasi Masalah ....................................................................... 5
1.3. Pembatasan Masalah ...................................................................... 5
1.4. Rumusan Masalah .......................................................................... 6
1.5. Tujuan ............................................................................................. 6
1.5.1 Tujuan Umum ......................................................................... 7
1.5.2 Tujuan Khusus ........................................................................ 7
1.6. Manfaat Penelitian .......................................................................... 7
1.6.1 Secara Teoritis ........................................................................ 7
1.6.2 Secara Praktis ......................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 9
2.1. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 9
2.2 Landasan Konseptual....................................................................... . 12
xi
2.2.1 Pengertian Pengadaan Tanah ................................................. 12
2.2.2 Pengertian Kepentingan Umum ............................................. 14
2.2.3 Jenis-jenis Kepentingan Umum ............................................. 14
2.2.4 Asas-asas Pengadaan Tanah .................................................. 16
2.2.5 Panitia Pengadaan Tanah ....................................................... 19
2.2.6 Prosedur Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ........ 21
2.2.7 Penyerahan Hasil .................................................................... 24
2.3 Ganti Rugi Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan Kepentingan Umum .............................................. 24
2.3.1 Pengertian dan Bentuk Ganti Rugi ......................................... 24
2.3.2 Musyawarah Ganti Rugi dan Konsultasi Publik .................... 26
2.3.3 Penetapan Bentuk dan Besarya Ganti Rugi ............................ 29
2.3.4 Pembayaran Ganti Rugi .......................................................... 31
2.4 Pelepasan Hak Atas Tanah/Pembebasan Tanah/Pengadaan Tanah... 34
2.4.1 Pelepasan Hak ........................................................................ 34
2.4.2 Pencabutan Hak Atas Tanah ................................................... 35
2.5 Pelepasan Tanah Instansi .................................................................. 37
2.6 Pencatatan Tanah Sebagai Aset Instansi........................................... 41
2.7 Kerangka Berpikir ............................................................................ 42
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 44
3.1. Pendekatan Penelitian .................................................................... 44
3.2. Jenis Penelitian ................................................................................ 45
3.3. Fokus Penelitian .............................................................................. 45
3.4 Lokasi Penelitian .............................................................................. 46
3.5 Sumber Data ..................................................................................... 46
3.5.1 Sumber Data Primer ................................................................ 46
3.5.2 Sumber Data Sekunder ............................................................ 46
3.6 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 48
xii
3.6.1 Observasi ................................................................................. 48
3.6.2 Wawancara .............................................................................. 49
3.6.3 Studi Kepustakaan ................................................................... 49
3.7 Validitas Data ................................................................................... 50
3.8 Analisis Data .................................................................................... 51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 52
4.1. Hasil Penelitian ................................................................................ 52
4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ................................................... 52
4.1.2 Proses Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Underpass
Jatingaleh Kota Semarang Terkait Tanah Instansi ......................... 55
4.1.3 Pemberian Ganti Rugi Terhadap Tanah Instansi Dalam
Pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang ..................... 77
4.1.4 Hambatan Yang Terjadi Dalam Proses Pemberian Ganti Rugi
Terhadap Tanah Instansi .................................................................. 89
4.2. Pembahasan ..................................................................................... 91
4.2.1 Proses Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Underpass
Jatingaleh Kota Semarang ............................................................... 91
4.2.2 Ganti Rugi Terhadap Tanah Instansi Dalam Pembangunan
Underpass Jatingaleh Di Kota Semarang ........................................ 97
4.2.3 Hambatan yang Terjadi Dalam Proses Pemberian Ganti Rugi
Terhadap Tanah Instansi .................................................................. 104
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 107
5.1. Simpulan ........................................................................................ 107
5.2. Saran ................................................................................................ 108
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 109
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 111
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Susunan Keanggotaan Pelaksana Pengadaan Tanah
Pembangunan Underpass Jatingaleh Di Kota Semarang .............. 65
Tabel 4.2 Sekretariat Pengadaan Tanah Pembangunan Underpass Jatingaleh
Di Kota Semarang ......................................................................... 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Tanah merupakan hal yang terpenting bagi setiap manusia. Karena tanah
merupakan tempat pemukiman dan tempat mencari sumber nafkah atau mata
pencaharian bagi setiap manusia. Tanah menjadi tumpuan hidup bagi semua
manusia. Yang kemudian pula menjadikan perkembangan pembangunan semakin
pesat. Perkembangan pembangunan di Indonesia semakin hari semakin
meningkat. Hal ini dikarenakan adanya semakin banyak pembangunan-
pembangunan yang digerakkan untuk menopang kehidupan masyarakat.
Seringkali banyak ditemukan pembangunan-pembangunan yang berdiri
diatas tanah berkonflik, artinya konflik antara pemerintah dengan masyarakat
(pemilik tanah) yang merupakan notaben sumber mata pencaharian masyarakat.
Secara formal, kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan
tumbuh dan mengakar dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa:
“bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
untuk pergunakan bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat”.
Sebelum Amandemen UUD 1945, Pasal 33 ayat 3 tersebut dijelaskan
dalam penjelasan Pasal 33 alinea 4 yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.
Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
2
kemakmuran rakyat”. Kemudian dituntaskan secara kokoh didalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya
disingkat UUPA) (Yamin. 2008: 19).
Berdasarkan pemaparan diatas serta adanya amanat dari UUD 1945 serta
UUPA secara khusus Pasal 16 yang telah memberikan landasan hukum bagi
pemerintah untuk mengambil tanah demi pembangunan dan kepentingan umum
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat
maka pada tahun 2012 dibentuklah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengdaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dalam kegiatan pengadaan tanah ada
beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu penetapan lokasi pembangunan,
pembentukan panitia pengadaan tanah, penyuluhan, identifikasi dan inventarisasi,
pembentukan lembaga/tim penilai tanah (tim appraisal), penilaian harga tanah,
musyawarah, pemberian ganti rugi dan penitipan ganti rugi serta pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum antara lain bisa untuk
pembangunan jalan, dalam pembangunan jalan ini salah satunya adalah
pembangunan Underpass Jatingaleh. Pelebaran jalan sudah dilakukan di Jalan
Teuku Umar dari tanjakan setelah pertigaan Kaliwiru hingga pertigaan Jalan
Ksatrian di dua sisi. Pengerjaan pelebaran juga sedang dilakukan setelah Jembatan
Jatingaleh hingga gombel lama begitu juga sebaliknya.
3
Gambar 1.1 Underpass Jatingaleh
(Sumber: Pamboedifiles.blogspot.com)
Berkenaan dengan pembangunan bagi kepentingan umum, Kota Semarang
telah merencanakan proyek pembangunan Underpass Jatlingaleh. Berdasarkan SK
Walikota Semarang tentang Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan Underpass Jatingaleh di Kota Semarang, ada tiga wilayah yang
terkena dampak, yakni Ngesrep, Tinjomoyo dan Jatingaleh. Tanggung jawab dan
wewenang pembangunan Underpass Jatingaleh berada di bawah Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan melalui Satker Metro Semarang. Diketahui nilai
ganti rugi tanah mencapai Rp 8.080.000 per meter pada sosialisasi yang dilakukan
Desember tahun 2015. Namun, pada praktiknya masih ada yang menolak nilai
yang disodorkan tim appraisal tersebut.
Kebutuhan anggaran dalam pembangunan Underpass memang besar.
Dalam proyek itu, setidaknya ada lahan seluas 11.664,680 meter persegi dan
1.020 meter persegi bangunan yang harus dibebaskan. Anggarannya mungkin bisa
lebih dari Rp 60 miliar. Tanah yang dibebaskan yaitu sekitar Jalan Teuku Umar,
yakni dari pertigaan Kaliwiru hingga tanjakan Gombel. Proses pembebasan lahan
untuk pembangunan Underpass Jatingaleh sudah mencapai 68 persen. Rencana
proyek pembangunan Underpass Jatingaleh ini memakan waktu sekitar 400 hari
itu (terhitung mulai Agustus 2015 sampai Oktober 2016). Tetapi pada
kenyataannya pembangunan Underpass Jatingaleh ini molor.
4
Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini tidak semua
mengambil tanah milik perorangan tetapi juga bisa tanah adat atau tanah milik
instansi. Jika itu bukan tanah milik negara maka tanah yang digunakan itu akan
mendapat ganti rugi. Terdapat 71 bidang tanah yang terkena proyek pembangunan
Underpass Jatingaleh. 71 bidang tanah tersebut tidak semua tanah milik
perorangan namun ada tanah instansi. Terdapat 49 bidang tanah milik perorangan
kemudian 4 tanah instansi dan 14 bidang tanah milik BUMN dan swasta serta 4
bidang tanah fasilitas umum.
Dari beberapa bidang tanah tersebut tidak semua diberikan ganti rugi
berupa uang, ada ketentuan-ketentuan khusus mengenai pemberian ganti rugi
yaitu pemberian ganti rugi kepada tanah instansi. Berdasarkan Peraturan Presiden
No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Ganti Kerugian tidak diberikan
terhadap Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai
Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, kecuali:
a. Objek Pengadaan Tanah yang telah berdiri bangunan yang dipergunakan
secara aktif untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.
b. Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
c. Objek Pengadaan Tanah kas desa. (2) Ganti Kerugian atas Objek
Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c
diberikan dalam bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi.
5
Sehingga atas dasar berbagai uraian diatas, maka penulis dalam hal ini
tertarik untuk mengangkat judul skripsi tentang “GANTI RUGI TERHADAP
TANAH INSTANSI DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH
BAGI PEMBANGUNAN UNDERPASS JATINGALEH KOTA
SEMARANG”.
1. 2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat
dilakukan identifikasi beberapa masalah yang ditemukan, diantaranya:
a. Proses pengadaan tanah dalam pengadaan tanah bagi pembangunan
Underpass Jatingaleh Kota Semarang.
b. Pemberian ganti rugi terhadap tanah instansi yang berbeda dengan
pemberian ganti rugi terhadap tanah warga yang terkena proyek
pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang.
c. Sulitnya pembebasan tanah instasi dalam pelaksanaan pengadaan tanah
untuk pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang.
d. Adanya hambatan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Underpass
Jatingaleh ini.
1. 3 Pembatasan Masalah
Penelitian ini akan membatasi pembahasan dengan beberapa masalah yang
dianggap menjadi masalah utama untuk dikaji lebih dalam agar mendapatkan
penjelasan yang lebih lengkap dan tidak terlalu meluas hingga mengaburkan
tujuan penelitian ini.
6
a. Proses pengadaan tanah terhadap tanah instansi yang terkena proyek
pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang.
b. Pemberian ganti kerugian terhadap tanah instansi dalam pengadaan tanah
untuk pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang.
c. Hambatan-hambatan yang terjadi di dalam proses pemberian ganti rugi
terhadap tanah Instansi dalam pembangunan Underpass Jatingaleh Kota
Semarang
1. 4 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, agar permasalahan
yang diteliti menjadi lebih jelas, rinci, dan terarah serta penulisan penelitian
hukum ini mencapai tujuan yang diinginkan, penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
a. Bagaimana proses pengadaan tanah dalam proyek pembangunan
Underpass Jatingaleh Kota Semarang terkait tanah instansi?
b. Bagaimana pemberian ganti rugi terhadap tanah instansi dalam proyek
pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang?
c. Apa saja hambatan yang terjadi dalam proses pemberian ganti rugi
terhadap tanah Instansi dalam pembangunan Underpass Jatingaleh Kota
Semarang?
1. 5 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas agar dapat
memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian sehingga dapat memecahkan
7
permasalahan secara sistematis. Adapun tujuan yang hendak dicapai terdiri dari
dua macam tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut:
1.1.1 Tujuan Umum
Memperoleh deskripsi dan mengetahui mengenai pemberian ganti rugi
terhadap tanah instansi dalam pengadaan tanah bagi pembangunan Underpass
Jatingaleh Kota Semarang.
1.1.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui mengenai bagaimana proses pengadaan tanah instansi dalam
pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan Underpass Jatingaleh
sesuai dengan UU No 2 Tahun 2012.
b. Mengetahui bagaimana pemberian ganti rugi terhadap tanah instansi dalam
pengadaan tanah bagi pembangunan Underpass Jatingaleh Kota
Semarang.
c. Mengidentifikasi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Tim Pelaksana
Pengadaan Tanah dalam melakukan proses pemberian ganti kerugian
pengadaan tanah terhadap tanah instansi dalam pembangunan Underpass
Jatingaleh Kota Semarang.
d. Memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian skripsi ini sebagai
syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam bidang Ilmu Hukum di
Universitas Negeri Semarang.
1. 6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan 2 (dua) manfaat, yakni
manfaat teoritis yang berkaitan dengan pengembangan ilmu hukum di Indonesia
8
dan manfaat praktis yang berkaitan dengan pemecahan masalah yang diteliti.
Adapun manfaat tersebut yakni:
1.6.1 Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum
bagi para akademisi bidang hukum, khususnya mengenai
pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan Underpass
Jatingaleh Kota Semarang.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam kepustakaan mengenai proses pemberian ganti kerugian
terhadap tanah instansi yang terkena proyek pembangunan
Underpass dan dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitian-
penelitian sejenis pada tahap selanjutnya.
1.6.2 Manfaat Praktis
a. Bagi pemerintah agar lebih bijak dalam merencanakan membangun
sebuah proyek untuk warga akan tetapi lebih menimbang kembali
mengenai factor positif maupun negative yang timbul. Dan
memberikan informasi dan mensosialisasikan proyek tersebut
dengan jelas kepada warga agar tidak terjadi hambatan-hambatan
kedepannya.
b. Bagi masyarakat sebagai informasi keadaan yang sebenarnya
terjadi di lapangan terkait dengan kesesuaian hukum mengenai
pengadaan tanah untuk pembangunan Underpass Jatingaleh.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang dapat menjadi rujukan dan
pembanding dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mohammad Paurindra Ekasetya, melakukan penelitian pada tahun 2015
tentang Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum (Studi Analisis Pada Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa
Di Kabupaten Brebes), Dipublikasikan Oleh Fakultas Hukum Universitas
Negeri Semarang, Jalan Sekaran, Gunung Pati, Sekaran, Gn. Pati, Kota
Semarang, Jawa Tengah 50229, Website : Unnes.ac.id
Hasil penelitian dari peneliti tersebut peran panitia pengadaan tanah sangat
diperlukan, terutama untuk mengatasi kendala-kendala yang terjadi dalam
pengadaan tanah. Panitia pengadaan tanah yang merupakan kepanjangan
tangan dari pemerintah daerah, memiliki peran vital bukan saja dalam
melakukan pengadaan tanah melainkan menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul antara pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang memiliki
tanah.
b. Purnawati, melakukan pemelitian pada tahun 2015 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus Terhadap
Pembangunan Fly Over Jombor Kabupaten Sleman Daerah Istimewa
11
Yogyakarta), Dipublikasikan Oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jalan Laksada Adisucipto, Caturtunggal, Kec.
Depok,Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, Website :
uin-suka.ac.id
Hasil penelitian dari peneliti tersebut menyimpulkan bahwa Pertama,
mekanisme pengadaan tanah dalam pembangunan Fly Over Jombor
dilaksanakan secara langsung karena kurang dari 1 (satu) hektar yakni
9.965,6 m². Adapun mekanismenya ialah pelepasan tanah oleh masyarakat
pemegang hak tanah dan pencabutan hak atas tanah oleh pemerintah atau
instansi yang berkepentingan. Kedua, pengadaan tanah dalam pembangunan
Fly Over Jombor terkendala pembebasan 19 bidang tanah yang disebabkan
oleh ketidakadilan dan kekuranglayakan nilai ganti rugi yang ditentukan oleh
Tim Appraisal. Sehingga, upaya yang dilakukan pemerintah ialah menggelar
musyawarah dan mediasi-mediasi antara masyarakat yang belum
membebaskan tanah dengan pemerintah terkait dan mediasi dengan ORI,
serta mediasi dengan Komisi C DPRD DIY. Ketiga, mekanisme
pembangunan Fly Over Jombor telah sesuai dengan aturan perundang-
undangan yang berlaku. Hanya saja Perpres Nomor 36 Tahun 2005 jo.
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 sebagai pedoman pengadaan tanah yang
berlaku masih kurang jelas dan tumpang tindih antara aturan satu dengan
aturan lainnya. Maka, Pemerintah akan menggunakan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
12
Kepentingan Umum sebagai acuan pengadaan tanah dalam pembangunan Fly
Over Jombor tersebut.
c. Moh. Fahmi Baharudin, melakukan penelitian pada tahun 2015 tentang
Mekanisme Pengadaan dan Konsinyasi Ganti Rugi Tanah Oleh Pemerintah
Terkait Dengan Pembangunan Jalan Umum (Studi Kasus Pelebaran Jalan
Ciater – Rawa Mekar Jaya), Dipublikasikan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan Ir. Haji
Juanda No. 95, Ciputat, Cempaka Putih, Kota Tanggerang Selatan, Banten
15412, Website: uinjkt.ac.id
Hasil dari penelitian dari peneliti tersebut apabila pemilik hak tanah tidak
menyetujui dengan adanya kebijakan pengadaan tanah atau besaran ganti rugi
yang ditetapkan oleh pemerintah maka dia dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan negeri setempat dan dapat naik hingga ke Mahkamah Agung.
Setelah ada putusan dan pengesahan dari Pengadilan Negeri setempat dan
pemilik tetap bertahan tidak mau melepeaskan hak tas tanahnya, maka
pemerintah dapat menitipkan anggaran kepengadilan Negeri setempat
(Konsinyasi). Prosedur pengadaan tanah untuk pelebaran jalan ciater- Rawa
Mekar Jaya sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Perpres No. 99 Tahun 2014 Jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 baik
dalam proses musyawarah, ganti rugi dan mekanisme konsinyasi ganti rugi
penggantian tanah dalam hal pengadaan tanah untuk pelebaran jalan.
13
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah penelitian ini
akan membahas mengenai proses pengadaan tanah dalam pembangunan
Underpass Jatingaleh, pemberian ganti rugi terhadap tanah instansi dan hambatan
yang terjadi dalam pelaksanaan ganti rugi tanah instansi, jadi lebih
menitikberatkan pada ganti rugi yang diberikan kepada tanah instansi yang
tanahnya terkena proyek pembangunan Underpass Jatingaleh. Dan penelitian ini
dilakukan di Kantor Pertanahan Kota Semarang, Dinas Bina Marga Semarang,
Tim Penilai Ganti Rugi dan instansi yang tanahnya terkena proyek pembangunan.
2. 2 Landasan Konseptual
2.2.1 Pengertian Pengadaan Tanah
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian pengadaan tanah, antara
lain: (Salindeho, 1999: 31) “Penyediaan dan pengadaan tanah dimaksudkan
untuk menyediakan atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau keperluan
pemerintah, dalam rangka pembangunan proyek atau pembangunan sesuatu
sesuai program pemerintah yang telah ditetapkan”.
Pengadaan tanah adalah penyediaan dan pengadaan tanah dimaksudkan
untuk menyediakan atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau keperluan
pemerintah, dalam rangka pembangunan proyek atau pembangunan sesuatu
sesuai program pemerintah yang telah ditetapkan (Salindeho,1998: 31).
Menurut pasal 1 angka 3 No. 36/2005 yang di maksud dengan
pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk memberikan ganti kerugian
kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan
14
benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas
tanah.
Menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum:
“Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi
ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”.
Pasal 1 angka 3 :”Pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau
memiliki Objek Pengadaan Tanah, dan pasal 1 angka 4: “Objek Pengadaan
Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman,
benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.
Dalam praktiknya ada 2 jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan
tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan kedua pengadaan tanah
untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan kepentingan komersial
dan bukan komersial atau bukan sosial.
Hal ini berarti bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum
merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan
tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari
pemegang hak atas tanah mengenai dasar dan bentuk ganti rugi yang
diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri. Dalam melakukan
kegiatan pengadaan tanah, maka untuk memperoleh tanah yang dibutuhkan
harus ada ganti kerugian kepada pihak yang melepaskan atau menyerahkan
tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Maka sehubungan dengan itu, pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi
15
demensi yang harus ditempatkan secara seimbang, yaitu “kepentingan
masyarakat dan kepentingan pemerintah”.
Ada beberapa cara untuk memperoleh tanah dalam pelaksanaan
pengadaan tanah, yakni dengan memberi ganti rugi (cara yang paling utama),
melepaskan hak atas tanah, dan dengan mencabut hak atas tanah. Meskipun
terdapat beberapa cara yang digunakan, tetap saja, pelaksanaannya perlu
dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memerhatikan prinsip
penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah.
2.2.2 Pengertian Kepentingan Umum
Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja
dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau
tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak
ada batasannya (Sitorus dan Limbong, 2004 : 6).
Menurut John Salindeho, kepentingan umum adalah termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas
atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan
Ketahanan Nasional serta dari Wawasan Nusantara (Salindeho,1998: 40).
UUPA dan No. 20 Tahun 1961 mengatakan kepentingan umum dinyatakan
dalam arti peruntukannya, yaitu untuk kepentingan bangsa dan negara,
kepentingan bersama dari kepentingan pembangunan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan
umum adalah kepentingan tersebut harus memenuhi peruntukannnya dan
16
harus dirasakan kemanfaatannya, dalam arti dapat dirasakan oleh masyarakat
secara keseluruhan dan atau secara langsung.
2.2.3 Jenis-jenis Kepentingan Umum
Dalam Pasal 10 UU No. 2 Tahun 2012 bagian penyelenggaraan
pengadaan tanah, menyebutkan „Tanah untuk kepentingan umum
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan
:
1) Pertahanan dan keamanan nasional
2) Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api;
3) Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
4) Pelabuhan, Bandar udara, dan terminal;
5) Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi;
6) Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik;
7) Jaringan telekomunikasi dan informatika pemeritah;
8) Tempat pembuangan dan pengelolaan sampah;
9) Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
10) Fasilitas keselamatan;
11) Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
12) Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau public;
13) Cagar alam dan cagar budaya;
14) Kantor;
17
15) Kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/Desa;
16) Penataan pemukiman kumuh kumuh perkotaan dan atau konsolidasi
tanah, serta perumahanuntuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status
sewa;
17) Prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
18) Prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
19) Pasar umum dan lapangan parkir umum.
2.2.4 Asas-asas Pengadaan Tanah
Untuk pengadaan tanah dalam bentuk pelepasan hak atau pembebasan
tanah pada dasarnya memenuhi asas-asas hukum yang berlaku. Dimaksudkan
agar aparatur negara dapat terhindar dari praktik-praktik yang menyimpan.
Asas-asas hukum tersebut antara lain (Ahmad Rubaie, 2007).
1) Asas Kesepakatan
Asas kesepakatan itu sendiri adalah seluruh kegiatan pengadaan tanah
terutama dalam bentuk pelepasan hak atas tanah serta segala aspek
hukumnya, seperti persoalan ganti rugi, bentuk ganti rugi, pemukiman
kembali, kondisi sosial ekonomi, dan lain-lain harus didasarkan pada asas
kesepakatan antar pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas
tanah. Kesepakatan didasarkan pada kesesuaian kehendak kedua belah pihak
tanpa ada unsur paksaan, penipuan serta dilakukan atas dasar itikad baik.
2) Asas Keadilan
18
Dalam rangka pengadaan tanah, asas keadilan diletakkan sebagai dasar
penentuan bentuk dan besar ganti rugi yang harus diberikan kepada pemilik
tanah dan orang-orang terkait dengan tanah yang dicabut atau dibebaskan
haknya untuk kepentingan umum. Penerapan asas keadilan dalam pengaturan
prngadaan tanah, yaitu masyarakat yang terkena dampak pembangunan harus
memperoleh ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonomi
mereka minimal setara dengan keadaan sebelum dilakukan pelepasan atau
pencabutan hak atas tanah.
3) Asas Kemanfaatan
Pelepasan hak atau pencabutan hak atas tanah pada prinsipnya harus
dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan tanah dan
masyarakat yang tanahnya dilepaskan atau dicabut haknya.
4) Asas Kepastian Hukum
Pelaksanaan pengadaan tanah harus memenuhi asas kepastian hukum,
yang dilakukan dengan cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dimana semua pihak mengetaui dengan pasti hak dan
kewajibannya masing-masing. Kepastian hukum juga harus tertuju terhadap
pemberian ganti rugi kepada pihak pemilik tanah.
5) Asas Musyawarah
Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan di antara kedua
belah pihak dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan umum.
Unsur ensensial dalam musyawarah adalah kesatuan pendapat di antara kedua
19
belah pihak mengenai satu persoalan. Kehendak setiap warga merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan pendapat tersebut.
Hasil musyawarah adalah adanya kesepakatan bersama di antara
seluruh warga pemilik tanah dan pihak yang membutuhkan tanah.
Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai harga ganti
rugi serta mekanisme pembayaran dan pelepasan hak atas tanah. Dalam
musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama juga tidak boleh terdapat
unsur penipuan, kesesatan, dan/atau paksaan.
6) Asas Keterbukaan
Pengaturan pengadaan tanah harus dikomunikasikan kepada masyrakat,
sehingga masyarakat memperoleh pengetahuan mengenai isi peraturan
tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tidak ada pihak yang
merasa dirugikan atau pihak yang melakukan kebohongan sehingga dapat
mencegah kekeliruan yang dapat menimbulkan konflik.
7) Asas Partisipasi
Peran serta semua pihak yang terkait secara aktif dalam proses
pelepasan hak atau pencabutan hak atas tanah menimbulkan rasa memiliki
dan memperkecil kemungkinan penolakan atas pelepasan atau pencabutan
hak atas tanah tersebut.
8) Asas Kesetaraan
Asas ini dimaksudkan untuk memposisikan pihak yang memerlukan
tanah dan pihak yang tanahnya dilepaskan haknya harus diletakkan sejajar
dalam seluruh proses pengambilalihan tanah. Dengan adanya kesetaraan
20
posisi antara pemilik tanah, pelaksaan pengadaan tanah diharapkan akan
berhasil dengan baik karena masing-masing pihak dapat mengajukan
keinginan dan menyampaikan tawaran sesuai dengan kesederajatan posisi
para pihak.
9) Asas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan Ekonomi
Pengadaan tanah dilakukan dengan upaya untuk meminimalkan dampak
negatif atau dampak penting yang mungkin timbul dari kegiatan
pembangunan tersebut, juga harus diupayakan untuk memperbaiki taraf hidup
masyarakat yang terkena proyek pembangunan atau tanahnya yang
dilepaskan haknya.
Kesejahteraan ekonomi masyarakat yang terkena proyek pembangunan
minimal harus sama dengan keadaan sebelum terkena pengadaan tanah, jika
perlu terdapat kenaikan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik sebelum
proyek pembangunan serta setelah pembangunan. Jangan sampai terdapat
penurunan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
2.2.5 Panitia Pengadaan Tanah
Dalam Pasal 6 ayat (1) Keppres No. 55/1993 pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang
dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, kemudian ayat (2)
menyatakan bahwa Panitia Pengadaan Tanah dibentuk di setiap Kabupaten
atau Kotamadya Daerah Tingkat II. Sedangkan untuk pengadaan tanah yang
terletak meliputi wilayah dua atau lebih Kabupaten/Kotamadya dilakukan
dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah.
21
Tingkat Propinsi yang diketahui atau dibentuk oleh Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I yang bersangkutan, yang susunan keanggotaannya sejauh
mungkin mewakili instansi-instansi yang terkait di Tingkat Propinsi dan
Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Susunan Panitia Pengadaan Tanah Dalam Pasal 7 Keppres
No.55/1993, susunan panitia pengadaan tanah terdiri dari:
1) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagai Ketua
merangkap anggota;
2) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil
Ketua merangkap anggota;
3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai anggota;
4) Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang
bangunan, sebagai anggota;
5) Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang
pertanian, sebagai anggota;
6) Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah di mana rencana dan
pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai anggota;
7) Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana
rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai
anggota;
8) Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Bidang Pemerintahan atau Kepala
Bagian Pemerintahan pada Kantor Bupati Walikotamadya sebagai
Sekretaris I bukan anggota;
22
9) Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai
Sekretaris II bukan anggota.
Tugas pokok Panitia Pengadaan Tanah baik yang diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 maupun Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005, pada dasarnya sama hanya ada perbedaan sedikit
yakni pada angka 3 dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 disebutkan salah
satu tugas Panitia Pengadaan Tanah adalah menafsir dan mengusulkan
besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepas atau diserahkan;
sedangkan dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 dalam pasal 7 huruf c
tugas Panitia Pengaaan Tanah, menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah
yang haknya akan dilepas atau diserahkan. Jadi yang satu tugas Panitia
Pengadaan Tanah bertugas menaksir besarnya ganti rugi dan satunya lagi
menetapkan besarnya ganti rugi (Iskandar Syah, 2015:39-40).
Pelaksanaan Pengadaan Tanah bertugas meliputi :
1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah;
2) Penilaian Ganti Kerugian;
3) Musyawarah penetapan Ganti Kerugian;
4) Pemberian Ganti Kerugian; dan
5) Pelepasan Tanah Instansi.(Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pasal
27).
Tugas Pelaksanan Pengadaan Tanah dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 sudah diperingan, dengan berkurangnya
23
untuk melakukan penaksiran atau penentuan harga ganti rugi, karenatugas
ini sepenuhnya diserahkan kepada Juru Taksir (Tim Aprraisal) (Iskandar
Syah, 2015:41).
2.2.6 Prosedur Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, terdapat 4 (empat)
tahapan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah, yaitu :
1) Perencanaan
Pada tahapan perencanaan, instansi yang memerlukan tanah
membuat perencanaan pengadaan tanah sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam
rencana pembangunan jangka menengah, rencana strategis, rencana
kerja pemerintah instansi yang bersangkutan. Perencanaan tersebut
berupa dokumen perencanaan pengadaan tanah yang disusun
berdasarkan studi kelayakan. Selanjutnya, dokumen perencanaan
pengadaan tanah diserahkan kepada pemerintah provinsi.
2) Persiapan
Pada tahapan persiapan, instansi yang memerlukan tanah bersama
pemerintah provinsi berdasarkan dokumen perencanaan pengadaan
tanah memberitahukan rencana pembangunan kepada masyarakat,
melakukan pendataan awal lokasi rencana pembangunan.
Pemberitahuan rencana pembangunan dapat disampaikan, baik
langsung maupun tidak langsung.
24
Pendataan awal lokasi meliputi kegiatan pengumpulan data awal
pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah. Pendataan awal
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil pendataan awal lokasi
digunakan sebagai data untuk pelaksanaan konsultasi publik.
3) Pelaksanaan pengadaan tanah
Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan, instansi yang
memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada
lembaga pertanahan. Pelaksanaan pengadaan tanah meliputi :
a) Inventarisasi dan identifikasi
Inventarisasi dan identifikasi meliputi kegiatan: pengukuran dan
pemetaan bidang per bidang tanah dan pengumpulan data pihak yang
berhak dan objek pengadaan tanah. Inventarisasi dan identifikasi
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
Hasil inventarisasi dan identifikasi wajib diumumkan di kantor desa /
kelurahan, kantor kecamatan, dan tempat pengadaan dilakukan.
Pengumuman hasil inventarisasi dan identifikasi meliputi subjek
hak, luas, letak, dan peta bidang tanah objek pengadaan tanah.
Jika tidak menerima hasil inventarisasi, pihak yang berhak dapat
mengajukan keberatan kepada lembaga pertanahan. Selanjutnya,
lembaga pertanahan melakukan verifikasi dan perbaikan. Hasil
pengumuman atau verifikasi dan perbaikan kemudian menjadi dasar
penentuan pihak yang berhak dalam pemberian ganti kerugian.
25
b) Penilaian ganti kerugian
Penilaian ganti kerugian dilakukan oleh penilai yang ditetapkan
dan diumumkan oleh lembaga pertanahan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Penilai yang telah ditetapkan
melaksanakan penilaian objek pengadaan tanah dan wajib
bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah dilaksanakan.
c) Pemberian ganti kerugian
Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.
2.2.7 Penyerahan hasil
Pada tahapan penyerahan hasil, lembaga pertanahan menyerahkan hasil
pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah. Penyerahan hasil
dilakukan setelah pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak dan
pelepasan hak atau pemberian ganti kerugian telah dititipkan di Pengadilan
Negeri (PN). Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan
kegiatan pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil pengadaan
tanah.
2. 3 Ganti Rugi Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan Kepentingan Umum
2.3.1 Pengertian dan Bentuk Ganti Rugi
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 “Ganti Kerugian
adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam
proses pengadaan tanah”.
26
Arti ganti rugi menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993
yang di maksud dengan ganti rugi adalah penggantian atas nilai tanah
berikut bangunan, tanaman dan/atau benda – benda lain yang terkait dengan
tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (Iskandar
Syah, 2015: 18).
Bentuk ganti rugi yng diberikan berupa Iskandar Syah, 2015: 19).:
1) Uang;
2) Tanah pengganti;
3) Permukiman kembali;
4) Kepemilikan saham; atau
5) Bentuk lain yang disetujui oleh kedua bilah pihak .
Jenis yang dapat diberikan ganti rugi adalah :
1) tanah;
2) ruang atas tanah dan bawah tanah;
3) bangunan;
4) tanaman;
5) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
6) kerugian lain yang dapat dinilai
Bentuk dan jenis ganti rugi lain yang disepakati bersama bisa
dilaksanakan sebagaimana disebutkan dalam ketentuan diatas, dan untuk
menentukan jenis ganti rugi yang akan dipilih sepenuhnya diserahkan
kesepakatan bersama antara panitia pengadaan tanah dengan para pemilik.
27
Jika pemberian ganti rugi berupa relokasi atau tanah pengganti maka
konsekuensinya setiap pengadaan tanah, maka Panitia Pegadaan Tanah
harus mempersiapkan dua lokasi, satu lokasi sebagai lahan rencana
pembangunan kepentingan umum, yang satu lokasi lagi sebagai tanah
pengganti bagi para pemilik tanah yang terkena proyek pengadaan tanah
(Iskandar Syah, 2015: 20).
Untuk penggantian terhadap bangunan, tanaman dan benda–benda yang
terkait dengan tanah, akan ditentukan oleh instansi terkait masing-masing.
Penentuan oleh instansi terkait ini bisa berupa standar harga, mutu, volume
benda dan lainnya. Untuk tingkat provinsi instansi berkompeten dalam
memberikan standar tanaman adalah Dinas Pertanian untuk tanaman,
sedangkan untuk bangunan adalah Dinas/Kantor yang berkaitan dengan
bangunan atau unit lain yang mempunyai kompetensi dengan bangunan.
Sedangkan yang berwenang untuk memberikan standarisasi terhadap
benda-benda lainnya adalah unit kerja yang berweang sesuai tugas pokok
dan fungsinya (Iskandar Syah, 2015: 21).
2.3.2 Musyawarah Ganti Rugi Dan Konsultasi Publik
1) Musyawarah
Musyawarah menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Pasal 1 ayat
10 musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling
mendengar, saling memberi dan saling pendapat serta keinginan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian
dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas
28
dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah
dengan pihak yang mmerlukan tanah (Iskandar Syah, 2015: 41-41).
Teknis musyawarah berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005
secara garis besar sama dengan yang berlaku pada Kepres Nomor 36
Tahun 2005 ditegaskan dalam Pasal 9 ayat 2 yang isinya apabila
musyawarah dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Tanah.
Untuk menjamin kepastian hukum dalam pengadaan tanah maka
musyawarah itu sendiri dibatasi selama 90 (Sembilah Puluh) hari
kalender, terhitung sejak tanggal undangan pertama disampaikan.
Sedangkan batas waktu musyawarah berdasarkan Pasal 10 Perpres
Nomor 65 Tahun 2006 selama 120 hari kalender terhitung mulai
tanggal undangan pertama musyawarah pertama.
Proses musyawarah diawali dengan proses pendataan kepemilikan
tanah, darimana pemilik/pemegang hak, letak, luas dan sampai jenis
kepemilikan tanah. Setelah proses dimaksud telah dianggap akurat,
maka kegiatan selanjutnya adalah sosialisasi kepada para
pemilik/pemegang hak atas tanah yang akan di kenakan
pembebasan.kegiatan sosialisasi merupakan kewajiban yang harus
dilakukan dalam bidang apapun, termasuk bidang pengadaan tanah
untuk pembangunan kepentingan umum.
Tujuan dari sosialisasi ini adalah untuk memberi informasi kepada
para pemilik/pemegang hak atas tanah tentang rencana pemerintah
29
untuk melaksanakan kegiatan pembangunan yang membutuhkan lahan
dari tanah masyarakat (Iskandar Syah, 2015: 42).
2) Konsultasi Publik
Konsultasi publik merupakan proses komunikasi dialogis atau
musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai
kesepahaman dan kesepakatandalam penentuan perencanaan lokasi
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, sejak proses pengadaan
tanah untuk pembangunan kepentingan umum, para pihak
pemilik/penguasa tanah sudah diberikan hak untuk dilibatkan dalam
musyawarah penetapan lokasi lahan pengadaan tanah. Dengan demikian
para pemilik tanah sudah mengetahui bahkan ikut merencanakan
penetuan lokasi pembangunan kepentingan umum (Iskandar Syah,
2015: 44).
Untuk memberikan kepastian hukum maka konsultasi publik
dilaksanakan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja dan
bila ternyata terdapat pihak yang keberatan, akan dilaksanakan
Konsultasi Publik ulang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
Sehingga jumlah semuanya 90 hari kerja (Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Pasal 21).
Setelah diadakan konsultasi publik ulang dan ternyata masih
terdapat pihak yang menolak/keberatan maka Gubernur dan jajarannya
membentuk tim terdiri dari :
30
a) Sekretaris daerah provinsi/pejabat yang ditunjuk sebagai ketua
merangkap anggota;
b) Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai sekretaris merangkap
sebagai anggota;
c) Instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan
pembangunan daerah sebagai anggota;
d) Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi
Manusia sebagai anggota;
e) Bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;
f) Akademisi sebagai anggota.
Pemberitahuan rencana pembangunan memuat informasi
mengenai:
a) Maksud dan tujuan rencana pembangunan;
b) Letak tanah dan luas tanah yang dibuthkan
c) Tahapan rencana Pengadaan Tanah;
d) Perkiraan jangka waktu Pelaksanaan Pengadaan Tanah;
e) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembnagunan; dan
f) Informasi lainnya yang dianggap perlu.
2.3.3 Penetapan Bentuk Dan Besarnya Ganti Rugi
Penetapan harga ganti rugi terhadap pengadaan tanah dilakukan oleh
Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) sesuai dengan Perpres Nomor 65 Tahun
2006, sedangkan menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 P2T hanya
mempunyai wewenang untuk menaksir besarnya ketetapan ganti rugi.
31
Sebelum adanya penetapan ganti rugi, pekerjaan yang harus didahulukan
adalah musyawarah antara pemilik tanah dengan P2T (Iskandar Syah, 2015:
47).
Jenis kebendaan yang akan diperhitungkan untuk diberikan ganti rugi
sebagaimana dimaksud yang meliputi:
a) Tanah;
b) Ruang atas tanah dan bawah tanah;
c) Bangunan;
d) Tanaman;
e) Benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f) Kerugian lain yang dapat dinilai (Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012).
Besarnya ganti rugi yang telah ditetapkan oleh penilai menjadi dasar
dalam musyawarah antara P2T dengan para pihak pemilik tanah. Dengan
demikian pelaksana pengadaan tanah tidak mempunyai wewenang untuk
menetapkan harga ganti rugi.
Badan Pertanahan melakukan musyawarah dengan Pihak yang berhak
dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari penilai
disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk menetapkan bentuk
dan/atau besarnya ganti rugi berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian.
Dalam penetapan besarnya ganti rugi harus ada kesepakatan antara
pemilik tanah dengan pelaksana pengadaan tanah (P2T) dalam hal ini adalah
pemerintah, kedua belah pihak ini harus mengadakan musyawarah untuk
32
mencari mufakat bersama. Musyawarah ini bisa dilakukan berulang kali
sampai menemukan titik mufakat, akan tetapi sering sekali sampai kesekian
kali tidak menemukan mufakat di antara para pihak terhadap penentuan
besarnya uang ganti rugi, atau paling tidak mendekati kesepakatan.
Dalam musyawarah penentuan besarnya ganti rugi ini tidak berlaku
sistem votting atau pemungutan suara, artinya ditentukan oleh satu pihak
dengan mengabaikan pihak lain atau mengambil suara terbanyak dari para
pemilik tanah. Dalam musyawarah penentuan besarnya ganti rugi ini
sebetulnya ada 2 pihak yang berkepentingn yaitu satu pihak pemerintah
yang diwakili oleh pelaksana pengadaan tanah, dan pihak lain adalah
pemegang hak atas tanah (Iskandar Syah, 2015:51).
Penetapan besarnya ganti rugi dalam pembebasan tanah selama ini yang
diatur dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993, Perpres Nomor 36 Tahun
2005, Perpres Nomor65 Tahun 2005 maupun Keputusan Menteri
Agraria/Kepala badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994, Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 serta Perpres Nomor 71 Tahun 2012 hanya
yang menyangkut gaanti rugi terhadap tanah, sedangkan yang menyangkut
bangunan, tanaman, dan benda-benda yang ada di atastanah tidak
disebutkan standar yang pasti.
Untuk besarnya ganti rugi terhadap bangunan, tanaman, dan benda-
benda lain akan ditentukan kemudian oleh instansi/departemen masing-
masing. Namun dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012, baik penentuan besarnya ganti rugi
33
tanah, maupun semua kebendaan yang terkait dengan tanah akan di tentukan
oleh Tim Apprasial (Iskandar syah, 2015:53-54).
2.3.4 Pembayaran Ganti Rugi
Pemberian ganti rugi bisa berbagai macam bentuk diantaranya:
1) Bentuk Uang
Salah satu bentuk ganti rugi adalah berbentuk uang. Jenis
bentuk ini yang sering terjadi dalam pemberian ganti rugi dalam
pembebasan tanah. Sebelum pembayaran uang ganti rugi yang
berbentuk uang harus didahului dengan kesepakatan tentang jenis
dan besarnya ganti rugi antara P2T dengan para pihak pemilik
tanah.
Teknis pelaksanaan pembayarannya bisa dilakukan dengan
cara secara mufakat, baik pemberian ganti kerugian dengan jasa
melalui jasa perbankan atau pemberian secara tunai kepada para
pihak penerima. Apabila pembayarannya dilakukan via perbankan,
maka pihak perbankan atas permintaan Ketua P2T, harus membuka
rekening tabungan atas nama para pihak yang berhak menerima
uang ganti rugi (Pasal 26 Per Ka. BPN Nomor 5 Tahun 2012)
2) Bentuk Tanah Pengganti
Pemberian ganti kerugian dalam bentuk tanah pengganti
dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah atas permintaan
tertulis dari Ketua P2T. Untuk menentukan tanah lokasi pengganti
harus didasarkan atas kesepakatan dalam musyawarah, yang
34
nilainya sama dengan nilai ganti kerugian apabila diberikan dalam
bentuk uang.
Untuk memberikan kepastian hukum, penggantian yang
berbentuk tanah pengganti ini diberi batasan waktu paling lama 5
bulan. Sedangkan pelepasan hak dari pihak para pemilik tanah
kepada instansi yang membutuhkan tanah tidak harus menunggu
tanah pengganti setelah terwujud, artinya sebelum adanya tanah
pengganti, maka pelepasan hak bisa dilaksanakan.
Serah terima penggantian jenis tanah pengganti harus saling
serah terima, untuk pemilik tanah menyerahkan hak dengan
menyerahkan surat-surat, baik dari para pemilik tanah kepada P2T.,
dan sebaliknya dari P2T kepada para pemilik tanah menyerahkan
ganti rugi. Semua proses penyerahantersebut harus disertai dengan
berita acara penyerahan.
3) Bentuk Pemukiman Kembali
Penggantian berbentuk pemukiman kembali (relokasi), atau
penyediaan permukiman kembali dilakukan oleh instansi yang
memerlukan tanah atas permintaan tertulis dari Ketua P2T.
Didasarkan atas kesepakatan dalam musyawarah penentuan bentuk
ganti rugi yang nilainya pemukiman kembali ini sama dengan nilai
ganti kerugian bila berbentuk uang.
Pihak yang melakukan adalah instansi yang memerlukan tanah
setelah mendapat permintaan tertulis dari Ketua P2T. Instansi
35
pengguna tanah, harus menyediakan permukiman dalam kurun
waktu kembali paling lama 1 tahun sejak penetapan bentuk ganti
rugi oleh pelaksana pengadaan tanah.
Pelepasan hak oleh pihak yang berhak dilakukan pada saat
telah disepakati lokasinya. Dilakukan tanpa menunggu selesainya
pembangunan permukiman kembali telah disepakati pihak yang
berhak yakni instansi yang memerlukan tanah menyerahkan
permukiman kembali kepada pihak yang berhak setelah
memperoleh validasi dari Ketua P2T. Semua prosesi kegiatan ini
harus dibuat dalam berita acara penyerahan, dan didokumentasikan
dengan foto/video.
2. 4 Pelepasan Hak Atas Tanah/Pembebasan Tanah/Pengadaan Tanah
2.4.1 Pelepasan Hak
Tanah hak adalah tanah yang sudah dilekati atau dibebani dengan suatu
hak tertentu. Tanah hak tersebut misalnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan,
Hak Guna Usaha, atau Hak Pakai. Tanah hak dapat diperoleh dengan cara
pelepasan hak atas tanah/pembebasan tanah, pemindahan hak atas tanah,
dan pencabutan hak atas tanah. Pelepasan hak atas tanah dan pencabutan
hak atas tanah merupakan 2 (dua) cara untuk memperoleh tanah hak, dimana
yang membutuhkan tanah tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak
atas tanah.
36
Pengadaaan tanah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahaan
hak atas tanah dengan pemberian ganti rugi kepada pemegang haknya atau
yang melepaskanya. Dalam UU No.2 Tahun 2012 dalam Pasal 1 angka 9
menjelaskan bahwa” Pelepasan Hak adalah kegiatan pemutusan hubungan
hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga
Pertanahan”. Kemudian didalam Perpres Nomor 71 Tahun 2012 dalam
Pasal 1 angka 9 , yaitu “Pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan hubungan
hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui BPN”.
Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula
diantara pemegang hak/menguasai tanah dengan cara memberikan ganti
rugi. Kedua perbuatan hukum tersebut mempunyai pengertian yang sama,
perbedaannya pembebasan hak atas tanah adalah dilihat dari yang
membutuhkan tanah, biasanya dilakukan untuk areal tanah yang luas
sedangkan pelepasan hak atas tanah dilihat dari yang memiliki tanah,
dimana ia melepaskan haknya kepada Negara untuk kepentingan pihak lain.
Menurut Salindeho, pembebasan hak atas tanah adalah “ suatu
perbuatan hukum yang bertujuan untuk melepaskan hubungan antara
pemilik atau pemegang hak atas tanah, dengan pembayaran harga atau
dengan ganti rugi” (Salindeho, 1998). Pelepasan hak tanah yang dilakukan
oleh pihak yang tanahnya diambil demi pembangunan harus diimbangi
dengan pemberian ganti kerugian atau kompensasi yang layak. Hal ini
berkaitan dengan bagaimana peran tanah yang dilepas bagi kehidupan
pemegang hak dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas
37
tanah. Kemudian setelah pemberian kompensasi yang layak, maka ketika
melakukan musyawarah antara pemegang hak atas tanah dengan pemerintah
maka kedua belah pihak harus berada dalam posisi yang setara dan
seimbang.
Maka dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pelepasan hak
seseorang atas tanah demi kepentingan lain (kepentingan pembagunan untuk
umum) dan pemberian ganti kerugian atau kompensasi atas pelepasan hak
tersebut.
2.4.2 Pencabutan Hak Atas Tanah
Pencabutan hak atas tanah menurut UUPA adalah pengambilalihan
tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa yang
mengakibatkan hak atas tanah menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan
melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu
kewajiban hukum. Dengan demikian, pencabutan hak atas tanah merupakan
cara terakhir untuk memperoleh tanah hak yang diperlukan bagi
pembangunan untuk kepentingan umum setelah berbagai cara melalui
musyawarah tidak berhasil. Dasar hukum pengaturan pencabutan hak atas
tanah diatur oleh UUPA dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa:
”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,
dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur
dengan undang-undang”
38
Dalam pembebasan hak atas tanah dan pelepasanya dibentuk panitia
pembebasan tanah yang dimana dalam Pasal 1 angka (2) Permendagri
Nomor 15 Tahun 1975 menyebutkan bahwa Panitia Pembebasan Tanah
adalah suatu panitia yang bertugas melakukan pemeriksaan/penelitian dan
penetapan ganti rugi dalam rangka pembebasan suatu hak atas tanah dengan
atau tanpa bangunan/ tanaman tumbuh diatasnya yang pembentukannya
ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah untuk masing-masing
Kabupaten/Kotamadya dalam suatu wilayah Propinsi yang bersangkutan.
Dalam membantu pelaksanaan pembebasan tanah, tugas Panitia
Pembebasan tanah meliputi :
1) Mengadakan inventarisasi serta penelitian setempat terhadap keadaan
tanahnya, tanam tumbuh dan bangunan-bangunan.
2) Mengadakan perundingan dengan para pemegang hak atas tanah dan
bangunan/tanaman.
3) Menaksir besarnya ganti rugi kerugian yang akan dibayarkan kepada
yang berhak.
4) Membuat berita acara pembebasan tanah disertai fatwa/pertimbangan.
5) Menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti kerugian kepada yang brhak
atas tanah bangunan/ tanaman tersebut.
Berakhirnya hak atas tanah salah satunya melalui pembebasan dan
pelepasan hak atas tanah. Perihal pelepasan hak ini, adalah penting untuk
melihat dahulu pelepasan hak sebagaiman yang diatur dalam hukum
keperdataan. Hal ini dimaksud untuk memberikan kepastian hukum kepada
39
pemegang hak atas tanah. Sebab pada prinsipnya, pihak yang berhak
melakukan perbuatan hukum atas barang yang dimilikinya tergantung pada
jenis atau sifat barang-barang tersebut.
Pembebasan tanah atau pengadaan tanah memiliki prosedur yang jauh
lebih mudah dibandingkan dengan pencabutan hak atas tanah. Dalam kaitan
ini Mahfud MD menyatakan prosedur pencabutan dirasakan menghambat
laju pembangunan sehingga pemerintah mencari jalan lain yang lebih
mudah yakni prosedur “pebebasan” (Suhadi, 2016 : 24)
2. 5 Pelepasan Tanah Instansi
Tanah negara menurut PP Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan
Tanah Negara adalah tanah yang bebas dari hak yang melekat di atas tanah
tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pengertian tanah negara
penuh akan tetapi merupakan tanah yang akan dikuasai langsung oleh negara.
Penjelasan pasal 2 UUPA, berdasarkan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar
dan hal-hal sebagaimana dimaksud pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara.
Negara menguasai tanah bukan memiliki tanah. Negara diberikan
kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan tanah, bumi, air dan ruang angkasa untuk
kemakmuran rakyat. Atas dasar itu, maka ditentukan adanya bermacam-macam
hak atas tanah yang dapat diberikan kepada orang, baik sendiri-sendiri maupun
bersama serta badan hukum. Pasal 16 UUPA, hak atas tanah terdiri dari hak milik,
40
HGB, HGU, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil
hutan.
Dalam Pasal 18 disebutkan, demi untuk kepentingan umum termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
atas tanah dapat dicabut dengan ganti rugi. Pada Pasal 27, 34, dan Pasal 40
disebutkan bahwa hak milik, HGB, HGU, dan hak pakai hapusnya haknya
menjadi tanah negara apabila hak atas tanah tersebut dicabut, ditelantarkan,
diserahkan secara sukarela, berakhir jangka waktunya atau dilepaskan untuk
kepentingan negara.
Menurut pengertiannya, tanah negara dibagi menjadi beberapa bagian.
Pertama, tanah negara bebas, yakni tanah negara yang benar-benar belum
digunakan masyarakat serta belum pernah diberikan dengan sesuatu hak, kepada
siapa pun. Kedua, tanah negara yang dibebani dengan hak, baik HGU, HGB
ataupun HP yang jangka waktunya belum habis dan ada hak penguasaan di
dalamnya.
Ketiga,tanah negara dalam penguasaan pemerintah/departemen yang telah
tercacat sebagai aset (barang milik negara). Sebagaimana diatur dalam UU No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara PP No. 6 Tahun 2006, seperti tanah
yang dikuasai Pertamina, Pelindo, PTPN, TNI/Polri dan lainnya.
Keempat, tanah negara bekas HM, HGB, HGU, dan HP yang telah habis
masa berlakunya. Kelima, tanah negara adalah tanah hak yang sudah dibebaskan,
dilepaskan tapi belum dimohon haknya. Keenam, tanah negara sudah digunakan
41
dan dimanfaatkan dalam kurun waktu kurang dr 20 tahun serta lebih dari 20
tahun, tapi belum diberikan hak.
Kalau pengertian tanah negara seperti diatas, maka untuk tanah negara
yang pertama tidak diberikan ganti rugi. Sedangkan tanah negara nomor 2,3,4 dan
5 yang dibebani dengan hak atas tanah dan tanah sudah dibebaskan, dilepas jadi
tanah negara tapi belum dimohon hak harus diganti rugi. Sedangkan tanah negara
yang habis masa berlakunya serta tanah negara yang digunakan oleh masyarakat
namun belum ada haknya, penafsiran masih berbeda, disarankan agar kewenangan
itu diberikan kepada pemerintah daerah sesuai dengan PP No. 38 Tahun 2007
tentang pembagian urusan pemerintah antara pemerintah pusat, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Norma hukum lain terkait dengan ganti rugi/kompensasi terhadap tanah
negara diatur dalam Pasal 58 ayat (3) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Pasal
30 ayat (5) UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Dalam kedua
undang-undang itu dikatakan bahwa tanah negara yang sudah digunakan atau
dimanfaatkan oleh masyarakat tapi belum bersertifikat dapat diganti rugi.
Dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum harus ada
kesepahaman mengenai penafsiran mengenai tanah negara, sehingga pelaksana
atau panitia pembebasan tanah tidak ragu lagi dan tentunya tidak melanggar
hukum pidana.
Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimiliki
pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur pengelolaan barang milik negara/daerah. Pelepasan objek
42
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dikuasai oleh pemerintah atau
dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah
dilakukan berdasarkan UU No. 2 Tahun 2012.
Pelepasan Objek Pengadaan Tanah dilakukan oleh pejabat yang
berwenang atau pejabat yang diberi pelimpahan kewenangan untuk itu. Pelepasan
objek pengadaan tanah tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali:
1) Objek pengadaan tanah yang telah berdiri bangunan yang
dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan tugas
pemerintahan;
2) Objek pengadaan tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha
Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/ataU
3) Objek pengadaan tanah kas desa.
Ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan dalam bentuk tanah
dan/atau bangunan atau relokasi. Pelepasan objek pengadaan tanah dilaksanakan
paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak penetapan lokasi pembangunan
untuk kepentingan umum. Apabila pelepasan objek pengadaan tanah belum
selesai dalam waktu tersebut, dinyatakan telah dilepaskan dan menjadi tanah
negara dan dapat langsung digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan
umum.
Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan kegiatan
pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil pengadaan tanah. Pengadaan
tanah untuk kepentingan umum karena keadaan mendesak akibat bencana alam,
perang, konflik sosial yang meluas, dan wabah penyakit dapat langsung
43
dilaksanakan pembangunannya setelah dilakukan penetapan lokasi pembangunan
untuk kepentingan umum.Sebelum penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum terlebih dahulu disampaikan pemberitahuan kepada pihak
yang berhak. Dalam hal terdapat keberatan atau gugatan atas pelaksanaan
pengadaan tanah, Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat melaksanakan
kegiatan pembangunan. Instansi yang memperoleh tanah wajib mendaftarkan
tanah yang telah diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. 6 Pencatatan Tanah Sebagai Aset Instansi
Semua tanah yang pada saat ini statusnya masih dikuasai Pemerintah
Daerah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Daerah untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, dan masing-masing Pemerintah
Daerah menyediakan dana untuk kepengurusan sertifikat dimaksud.
Konstruksi hukum Sertifikat yang lahir dari pendaftaran tanah yang
berasal dari tanah yang berstatus Negara mempunyai karakter yang bersifat
“konstitutif”. Sifat karekter ini timbul sebagai akibat adanya suatu keputusan atau
penetapan dari badan / pejabat tata Usaha Negara dalam hal ini BPN yang
menetapkan pemberian hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum yang
mengajukan permohonan suatu hak atas tanah yang berstatus tanah Negara.
Fungsi dari surat keputusan pemberian hak tersebut adalah sebagai tanda bukti
kepemilikan bahwa seseorang atau badan hukum memperoleh hak atas suatu
bidang tanah.
44
Surat keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan/
Pejabat Tata Usaha berfungsi sebagai dasar atau alas hak pengakuan Negara
terhadap seorang atau badan hokum atas sebidang tanah yang dikuasainya.
Kenapa demikian, karena untuk dapatnya sesorang atau badan hokum memiliki
atau mengusai hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara harus memenuhi
persyaratan dan kewajiban yang diuraikan dalam surat keputusan tersebut. Bila
mana syarat dan kewajiban dipenuhi maka harus didaftarkan agar memperoleh
tanda bukti kepemilikan yang berupa sertifikat hak atas tanah.
2. 7 KERANGKA BERPIKIR
Input. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasa
Keterangan Bagan :
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2016 Tentang
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
Tentang Pokok-Pokok Agraria
UUD 1945
Pembangunan
Underpass Jatingaleh
Menemukan hambatan-hambatan yang terjadi di dalam proses pemberian ganti rugi
terhadap tanah Instansi dalam pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang,
sehingga pembangunan ini cepat selesai dan mengurangi kemacetan.
UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengdaan Tanah
Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Mengetahui proses Pengadaan Tanah
Instansi
Proses pemberian ganti rugi terhadap
tanah Instansi
45
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
2. Proses. Dengan adanya dasar hukum tersebut maka akan dijadikan sebagai
suatu landasan yuridis dalam penulisan skripsi ini yang berjudul Ganti
Rugi Terhadap Tanah Instansi Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang. Adapun fokus dalam
penulisan skripsi ini ada 3 rumusan yakni bagaimana pengadaan tanah
terhadap tanah instansi dalam pembangunan Underpass Jatingaleh Kota
Semarang.
3. Output. Untuk mengatahui dan menganalisis pelaksanaan pengadaan tanah
bagi pembangunan Underpass Jatingaleh sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 serta mengetahui dasar yang dipakai sebagai
pemberian ganti rugi dalam pelaksanaan Underpass Jatingaleh Kota
Semarang.
4. Outcome. Setelah mengetahui hal-hal tersebut diatas, diketahuilah
bagaimana pemberian ganti rugi yang diberikan kepada tanah Intansi yang
terkena dampak pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang.
5. Feedback. Dengan adanya pembangunan Underpass Jatingaleh ini dan
pemberian ganti rugi yang layak dan adil sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 diharapkan mampu merubah kondisi sosial warga
yang terkena dampak pembangunan dan diharapkan nantinya tidak ada
lagi kemacetan.
112
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan sesuai dengan penelitian dengan
pembahasan yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Dalam pembangunan underpass ada beberapa tahapan yang dilakukan
mulai dari tahap perencanaan kemudian dilanjutkan dengan tahap
persiapan kemudian tahap pelaksanaan dan setelah tahap pelaksanaan
selesai maka ada tahap penyerahan hasil.
2. Ganti rugi tanah instansi dalam pembangunan Underpass Jatingaleh
diberikan dalam bentuk tanah pengganti. Untuk KPP Pratama ganti
ruginya berupa tanah pengganti, lalu TNI AL ganti ruginya berupa tanah
penggati dan relokasi bangunan. Sedangkan untuk Kelurahan Ngresep dan
Pasar Jatingaleh ganti ruginya berupa pagar.
3. Hambatan yang terjadi dalam proses pemberian ganti rugi terkait tanah
instansi yaitu cenderung pada proses administrasi yang bisa dikatakan
melibatkan banyak pihak jadi tidak bisa diputuskan dalam sekali
pertemuan atau dengan satu orang karena pertanggungjawabannya adalah
kepada negara jadi harus hati-hati dan cermat dalam melaksanakan proses
baik administrasi maupun pelaksanaannya. .
113
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian maka penulis dapat mengemukakan
saran-saran sebagai berikut :
1. Kepada instansi yang memerlukan tanah dan pelaksana pengadaan tanah
harus lebih memikirkan mengenai tanah pengganti sebagai ganti rugi tanah
instansi dikarenakan tanah instansi tersebut juga memerlukan tanah
pengganti untuk lahan yang telah terkena proyek.
2. Terhadap instansi yang tanahnya terkena proyek hendaknya mengikuti
peraturan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepetingan Umum, bahwa mengenai ganti rugi
tanah instansi diberikan ganti rugi berupa tanah pengganti jadi tidak
membutuhkan waktu lama untuk proses ganti ruginya.
114
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdurahman, 1994. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti.
Ali, Chaidir, 1985. Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria, Bandung:
Bina Cipta, Jilid III
Ahmad, Rubaie, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Malang: Bayumedia.
Amirudin, dkk. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Ashshofa, Burhan. 2013. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hanitijo, 1990. Metodologi penelitian hukum dan jurimetri,Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Harsono, Boedi. 2003. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
undang Pokok Agraria. Jakarta: Djambatan.
Iskandar, Syah, 2015. Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan
Umum. Permata Aksara, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud.2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Moleong. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Resdakarya.
Salindeho, John. 1988. Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua
Jakarta: Sinar Grafika.
Sitorus, Limbong, dkk. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia
Soejono, Soekanto, 1982. Sosiologi hukum dalam masyarakat, Jakarta : Rajawali
Soekanto, 2010. Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit : UI Press, Jakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit
Ghalia Indonesia.
115
Sukanto, Soerjono. 1985. Bahan bacaan perspektif teoritis dalam sosiologi
hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sumardjono, Maria S.W. 2007. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan
Implementasi, Edisi Revisi, Jakarta: Buku Kompas.
Yamin Muhammad, 2011. Pencabutan Hak, Pembebasan dan Pengadaan Tanah,
Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Yamin, Muhammad dan Abdul Rahim Lubis. 2008. Hukum Pendaftaran Tanah.
Bandung: Mandar Maju
Jurnal :
Alam, Wahyu Candra. 2010. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Kurang Dari Satu Hektar dan Penetapan Ganti Kerugiannya (Studi Kasus
Pelebaran Jalan Gatot Subroto Di Kota Tangerang). Tesis Universitas
Diponegoro.
Badeoda. Yosef B. Pemanfaatan Aset Tanah Milik Instansi Pemerintah. Jurnal
Keadilan Vol. 6, No. 1, Tahun 2012. Tersedia di
http://digilib.mercubuana.ac.id [diakses 26-2-2017]
Cahyani, Dian. 2015. Diferensiasi Pelaksanaan Pembebasan Dan Pencabutan Hak
Atas Tanah Di Indonesia. Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2
Juli-Desember 2015. Indonesia: Universitas Sebelas Maret Surakarta
Lasut, Roy Frike. 2013. Pelaksanaan Bentuk Ganti Rugi Atas Tanah Menurut UU
No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentigan Umum.
Lex et socuetatis, Vol. I/No.4/Agustus/2013. Tersedia di
http://ejournal.unsrat.ac.id [diakses 26-2-2017 ]
Suhadi, 2016. Pembangunan Hukum Tanah Nasional Berdasarkan Konsep Negara
Hukum Pancasila. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Vol XXIII No. 1, Mei 2016 [diakses 24-08-2017]
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-undang No 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Pembangunan Bagi Kepentingan Umum
Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
116
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
Internet :
https://www.jurnalhukum.com/tanah-hak-pengelolaan/
https://forbaginfo.wordpress.com/2010/09/16/pelepasan-hak-atas-tanah-dan-
bangunan-milik-pemerintah-daerah/
https://materimahasiswahukumindonesia.blogspot.co.id/2015/01/pengertian-hak-
atas-tanah.html
http://jateng.tribunnews.com/2016/11/06/suharsono-pesimistis-underpass-
jatingaleh-selesai-akhir-2016