GANTI RUGI TERHADAP TANAH INSTANSI DALAM …lib.unnes.ac.id/30121/1/8111413014.pdf · Aprila...

64
i GANTI RUGI TERHADAP TANAH INSTANSI DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNDERPASS JATINGALEH KOTA SEMARANG SKRIPSI Disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Oleh Julia Ulfa Noviani 8111413014 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2017

Transcript of GANTI RUGI TERHADAP TANAH INSTANSI DALAM …lib.unnes.ac.id/30121/1/8111413014.pdf · Aprila...

i

GANTI RUGI TERHADAP TANAH INSTANSI

DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH

BAGI PEMBANGUNAN UNDERPASS JATINGALEH

KOTA SEMARANG

SKRIPSI

Disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh

Julia Ulfa Noviani

8111413014

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2017

vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Kesuksesan mengajarkan kita mengerti apa itu pengorbanan

Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak

menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka

menyerah (Thomas Alva Edison)

PERSEMBAHAN

1. Untuk bapak, dan ibu, terhebat (Rusmono dan

Dwiyani)

2. Untuk Kakak dan Adik saya (Cindy Nur Anisa dan

Julia Kusumaningtyas)

3. Untuk Keluarga Besar Bapak Supandi dan Bapak

Wahyudi

vii

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-NYA kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul: “GANTI RUGI TERHADAP TANAH INSTANSI DALAM

PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNDERPASS

JATINGALEH KOTA SEMARANG” Skripsi diajukan untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima

kasih kepada :

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum Rektor Universitas Negeri Semarang.

2. Dr. Rodiyah, S.Pd.,S.H.,M.Si Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri

Semarang.

3. Drs. Suhadi, S.H., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan

bimbingan, motivasi, saran, dan kritik yang membangun dengan sabar dan

tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Aprila Niravita, S.H., M.Kn. selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan kritik yang membangun dengan

sabar dan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Rahayu Fery Anitasari, S.H.,M.Kn. selaku dosen penguji yang telah

memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

6. Waspiah, S.H., M.H. selaku dosen wali yang telah membimbing penulis

selama menempuh perkuliahan.

ix

ABSTRAK

Noviani, Julia Ulfa. 2017. Ganti Rugi Terhadap Tanah Instansi Dalam

Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Underpass Jatingaleh Kota

Semarang. Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.

Drs. Suhadi, S.H.,M.Si. dan Aprila Niravita, S.H., M.Kn.

Kata Kunci: Ganti Rugi, Tanah Instansi, Underpass

Maksud dan tujuan pembangunan Underpass Jatingaleh yaitu untuk

memperlancar arus lalu lintas disekitar pasar jatingaleh dan sekitarnya serta untuk

menghindari pertemuan antara lalu lintas. Fokus masalah yang diambil oleh

penulis yaitu: Pertama, Bagaimana proses pengadaan tanah dalam proyek

pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang terkait tanah instansi?.

Kedua, Bagaimana pemberian ganti rugi terhadap tanah instansi dalam proyek

pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang?. Ketiga, Apa saja hambatan

yang terjadi dalam proses pemberian ganti rugi terhadap tanah Instansi dalam

pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang?.

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis

penelitian yuridis-sosiologis. Sumber data menggunakan sumber data primer,

sekunder dan tersier dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengadaan tanah untuk

pembangunan Underpass Jatingaleh melalui tahap perencanaan, persiapan,

pelaksanaan dan tahap pemnyerahan hasil. Terdapat 4 tanah instansi yang terkena

proyek pembangunan tersebut diantaranya tanah milik KPP Pratama Candisari,

TNI AL, Kantor Kelurahan Ngresep dan Pasar Jatiingaleh. Kemudian untuk ganti

rugi tanah instansi dalam pembangunan Underpass Jatingaleh diberikan dalam

bentuk tanah pengganti. Namun pada tanah instansi yang sudah dilepaskan tidak

semua diberikan ganti rugi dalam bentuk tanah pengganti dan belum semua

terealisasikan. TNI AL ganti ruginya adalah tanah pengganti dan relokasi

bangunan. Untuk Kelurahan Ngresep sebagai ganti ruginya dibuatkan Pagar.

Hambatan yang terjadi dalam proses pemberian ganti rugi terkait tanah instansi

yaitu cenderung pada proses administrasi yang melibatkan banyak pihak jadi tidak

bisa diputuskan dalam sekali pertemuan karena pertanggungjawabannya adalah

kepada negara. Kesimpulan dari penulisan ini bahwa ganti rugi terhadap tanah

instansi diberikan dalam bentuk tanah pengganti dan relokasi bangunan. Dan

pemberian ganti rugi terhadap tanah instansi tidak semudah memberikan ganti

rugi kepada warga. Penulis memberikan saran kepada instansi yang memerlukan

tanah dan pelaksana pengadaan tanah harus lebih memikirkan mengenai tanah

pengganti sebagai ganti rugi tanah instansi dikarenakan tanah instansi tersebut

juga memerlukan tanah pengganti untuk lahan yang telah terkena proyek.

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iii

PERNYATAAN ............................................................................................... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................ v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi

KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii

ABSTRAK ....................................................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv

DAFTAR BAGAN .......................................................................................... xvi

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 .Latar Belakang ............................................................................... 1

1.2. Identifikasi Masalah ....................................................................... 5

1.3. Pembatasan Masalah ...................................................................... 5

1.4. Rumusan Masalah .......................................................................... 6

1.5. Tujuan ............................................................................................. 6

1.5.1 Tujuan Umum ......................................................................... 7

1.5.2 Tujuan Khusus ........................................................................ 7

1.6. Manfaat Penelitian .......................................................................... 7

1.6.1 Secara Teoritis ........................................................................ 7

1.6.2 Secara Praktis ......................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 9

2.1. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 9

2.2 Landasan Konseptual....................................................................... . 12

xi

2.2.1 Pengertian Pengadaan Tanah ................................................. 12

2.2.2 Pengertian Kepentingan Umum ............................................. 14

2.2.3 Jenis-jenis Kepentingan Umum ............................................. 14

2.2.4 Asas-asas Pengadaan Tanah .................................................. 16

2.2.5 Panitia Pengadaan Tanah ....................................................... 19

2.2.6 Prosedur Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ........ 21

2.2.7 Penyerahan Hasil .................................................................... 24

2.3 Ganti Rugi Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk

Pembangunan Kepentingan Umum .............................................. 24

2.3.1 Pengertian dan Bentuk Ganti Rugi ......................................... 24

2.3.2 Musyawarah Ganti Rugi dan Konsultasi Publik .................... 26

2.3.3 Penetapan Bentuk dan Besarya Ganti Rugi ............................ 29

2.3.4 Pembayaran Ganti Rugi .......................................................... 31

2.4 Pelepasan Hak Atas Tanah/Pembebasan Tanah/Pengadaan Tanah... 34

2.4.1 Pelepasan Hak ........................................................................ 34

2.4.2 Pencabutan Hak Atas Tanah ................................................... 35

2.5 Pelepasan Tanah Instansi .................................................................. 37

2.6 Pencatatan Tanah Sebagai Aset Instansi........................................... 41

2.7 Kerangka Berpikir ............................................................................ 42

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 44

3.1. Pendekatan Penelitian .................................................................... 44

3.2. Jenis Penelitian ................................................................................ 45

3.3. Fokus Penelitian .............................................................................. 45

3.4 Lokasi Penelitian .............................................................................. 46

3.5 Sumber Data ..................................................................................... 46

3.5.1 Sumber Data Primer ................................................................ 46

3.5.2 Sumber Data Sekunder ............................................................ 46

3.6 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 48

xii

3.6.1 Observasi ................................................................................. 48

3.6.2 Wawancara .............................................................................. 49

3.6.3 Studi Kepustakaan ................................................................... 49

3.7 Validitas Data ................................................................................... 50

3.8 Analisis Data .................................................................................... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 52

4.1. Hasil Penelitian ................................................................................ 52

4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ................................................... 52

4.1.2 Proses Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Underpass

Jatingaleh Kota Semarang Terkait Tanah Instansi ......................... 55

4.1.3 Pemberian Ganti Rugi Terhadap Tanah Instansi Dalam

Pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang ..................... 77

4.1.4 Hambatan Yang Terjadi Dalam Proses Pemberian Ganti Rugi

Terhadap Tanah Instansi .................................................................. 89

4.2. Pembahasan ..................................................................................... 91

4.2.1 Proses Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Underpass

Jatingaleh Kota Semarang ............................................................... 91

4.2.2 Ganti Rugi Terhadap Tanah Instansi Dalam Pembangunan

Underpass Jatingaleh Di Kota Semarang ........................................ 97

4.2.3 Hambatan yang Terjadi Dalam Proses Pemberian Ganti Rugi

Terhadap Tanah Instansi .................................................................. 104

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 107

5.1. Simpulan ........................................................................................ 107

5.2. Saran ................................................................................................ 108

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 109

LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 111

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Susunan Keanggotaan Pelaksana Pengadaan Tanah

Pembangunan Underpass Jatingaleh Di Kota Semarang .............. 65

Tabel 4.2 Sekretariat Pengadaan Tanah Pembangunan Underpass Jatingaleh

Di Kota Semarang ......................................................................... 67

xiv

DAFTAR BAGAN

Bagan 4.1 Tahapan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ............. 57

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Tanah merupakan hal yang terpenting bagi setiap manusia. Karena tanah

merupakan tempat pemukiman dan tempat mencari sumber nafkah atau mata

pencaharian bagi setiap manusia. Tanah menjadi tumpuan hidup bagi semua

manusia. Yang kemudian pula menjadikan perkembangan pembangunan semakin

pesat. Perkembangan pembangunan di Indonesia semakin hari semakin

meningkat. Hal ini dikarenakan adanya semakin banyak pembangunan-

pembangunan yang digerakkan untuk menopang kehidupan masyarakat.

Seringkali banyak ditemukan pembangunan-pembangunan yang berdiri

diatas tanah berkonflik, artinya konflik antara pemerintah dengan masyarakat

(pemilik tanah) yang merupakan notaben sumber mata pencaharian masyarakat.

Secara formal, kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan

tumbuh dan mengakar dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa:

“bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara

untuk pergunakan bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat”.

Sebelum Amandemen UUD 1945, Pasal 33 ayat 3 tersebut dijelaskan

dalam penjelasan Pasal 33 alinea 4 yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung didalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.

Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

2

kemakmuran rakyat”. Kemudian dituntaskan secara kokoh didalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya

disingkat UUPA) (Yamin. 2008: 19).

Berdasarkan pemaparan diatas serta adanya amanat dari UUD 1945 serta

UUPA secara khusus Pasal 16 yang telah memberikan landasan hukum bagi

pemerintah untuk mengambil tanah demi pembangunan dan kepentingan umum

termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat

maka pada tahun 2012 dibentuklah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengdaan Tanah bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dalam kegiatan pengadaan tanah ada

beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu penetapan lokasi pembangunan,

pembentukan panitia pengadaan tanah, penyuluhan, identifikasi dan inventarisasi,

pembentukan lembaga/tim penilai tanah (tim appraisal), penilaian harga tanah,

musyawarah, pemberian ganti rugi dan penitipan ganti rugi serta pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum antara lain bisa untuk

pembangunan jalan, dalam pembangunan jalan ini salah satunya adalah

pembangunan Underpass Jatingaleh. Pelebaran jalan sudah dilakukan di Jalan

Teuku Umar dari tanjakan setelah pertigaan Kaliwiru hingga pertigaan Jalan

Ksatrian di dua sisi. Pengerjaan pelebaran juga sedang dilakukan setelah Jembatan

Jatingaleh hingga gombel lama begitu juga sebaliknya.

3

Gambar 1.1 Underpass Jatingaleh

(Sumber: Pamboedifiles.blogspot.com)

Berkenaan dengan pembangunan bagi kepentingan umum, Kota Semarang

telah merencanakan proyek pembangunan Underpass Jatlingaleh. Berdasarkan SK

Walikota Semarang tentang Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Untuk

Pembangunan Underpass Jatingaleh di Kota Semarang, ada tiga wilayah yang

terkena dampak, yakni Ngesrep, Tinjomoyo dan Jatingaleh. Tanggung jawab dan

wewenang pembangunan Underpass Jatingaleh berada di bawah Kementerian

Pekerjaan Umum dan Perumahan melalui Satker Metro Semarang. Diketahui nilai

ganti rugi tanah mencapai Rp 8.080.000 per meter pada sosialisasi yang dilakukan

Desember tahun 2015. Namun, pada praktiknya masih ada yang menolak nilai

yang disodorkan tim appraisal tersebut.

Kebutuhan anggaran dalam pembangunan Underpass memang besar.

Dalam proyek itu, setidaknya ada lahan seluas 11.664,680 meter persegi dan

1.020 meter persegi bangunan yang harus dibebaskan. Anggarannya mungkin bisa

lebih dari Rp 60 miliar. Tanah yang dibebaskan yaitu sekitar Jalan Teuku Umar,

yakni dari pertigaan Kaliwiru hingga tanjakan Gombel. Proses pembebasan lahan

untuk pembangunan Underpass Jatingaleh sudah mencapai 68 persen. Rencana

proyek pembangunan Underpass Jatingaleh ini memakan waktu sekitar 400 hari

itu (terhitung mulai Agustus 2015 sampai Oktober 2016). Tetapi pada

kenyataannya pembangunan Underpass Jatingaleh ini molor.

4

Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini tidak semua

mengambil tanah milik perorangan tetapi juga bisa tanah adat atau tanah milik

instansi. Jika itu bukan tanah milik negara maka tanah yang digunakan itu akan

mendapat ganti rugi. Terdapat 71 bidang tanah yang terkena proyek pembangunan

Underpass Jatingaleh. 71 bidang tanah tersebut tidak semua tanah milik

perorangan namun ada tanah instansi. Terdapat 49 bidang tanah milik perorangan

kemudian 4 tanah instansi dan 14 bidang tanah milik BUMN dan swasta serta 4

bidang tanah fasilitas umum.

Dari beberapa bidang tanah tersebut tidak semua diberikan ganti rugi

berupa uang, ada ketentuan-ketentuan khusus mengenai pemberian ganti rugi

yaitu pemberian ganti rugi kepada tanah instansi. Berdasarkan Peraturan Presiden

No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Ganti Kerugian tidak diberikan

terhadap Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai

Pemerintah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, kecuali:

a. Objek Pengadaan Tanah yang telah berdiri bangunan yang dipergunakan

secara aktif untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.

b. Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik

Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau

c. Objek Pengadaan Tanah kas desa. (2) Ganti Kerugian atas Objek

Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c

diberikan dalam bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi.

5

Sehingga atas dasar berbagai uraian diatas, maka penulis dalam hal ini

tertarik untuk mengangkat judul skripsi tentang “GANTI RUGI TERHADAP

TANAH INSTANSI DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH

BAGI PEMBANGUNAN UNDERPASS JATINGALEH KOTA

SEMARANG”.

1. 2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat

dilakukan identifikasi beberapa masalah yang ditemukan, diantaranya:

a. Proses pengadaan tanah dalam pengadaan tanah bagi pembangunan

Underpass Jatingaleh Kota Semarang.

b. Pemberian ganti rugi terhadap tanah instansi yang berbeda dengan

pemberian ganti rugi terhadap tanah warga yang terkena proyek

pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang.

c. Sulitnya pembebasan tanah instasi dalam pelaksanaan pengadaan tanah

untuk pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang.

d. Adanya hambatan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan Underpass

Jatingaleh ini.

1. 3 Pembatasan Masalah

Penelitian ini akan membatasi pembahasan dengan beberapa masalah yang

dianggap menjadi masalah utama untuk dikaji lebih dalam agar mendapatkan

penjelasan yang lebih lengkap dan tidak terlalu meluas hingga mengaburkan

tujuan penelitian ini.

6

a. Proses pengadaan tanah terhadap tanah instansi yang terkena proyek

pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang.

b. Pemberian ganti kerugian terhadap tanah instansi dalam pengadaan tanah

untuk pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang.

c. Hambatan-hambatan yang terjadi di dalam proses pemberian ganti rugi

terhadap tanah Instansi dalam pembangunan Underpass Jatingaleh Kota

Semarang

1. 4 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, agar permasalahan

yang diteliti menjadi lebih jelas, rinci, dan terarah serta penulisan penelitian

hukum ini mencapai tujuan yang diinginkan, penulis merumuskan permasalahan

sebagai berikut:

a. Bagaimana proses pengadaan tanah dalam proyek pembangunan

Underpass Jatingaleh Kota Semarang terkait tanah instansi?

b. Bagaimana pemberian ganti rugi terhadap tanah instansi dalam proyek

pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang?

c. Apa saja hambatan yang terjadi dalam proses pemberian ganti rugi

terhadap tanah Instansi dalam pembangunan Underpass Jatingaleh Kota

Semarang?

1. 5 Tujuan Penelitian

Setiap penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas agar dapat

memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian sehingga dapat memecahkan

7

permasalahan secara sistematis. Adapun tujuan yang hendak dicapai terdiri dari

dua macam tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut:

1.1.1 Tujuan Umum

Memperoleh deskripsi dan mengetahui mengenai pemberian ganti rugi

terhadap tanah instansi dalam pengadaan tanah bagi pembangunan Underpass

Jatingaleh Kota Semarang.

1.1.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui mengenai bagaimana proses pengadaan tanah instansi dalam

pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan Underpass Jatingaleh

sesuai dengan UU No 2 Tahun 2012.

b. Mengetahui bagaimana pemberian ganti rugi terhadap tanah instansi dalam

pengadaan tanah bagi pembangunan Underpass Jatingaleh Kota

Semarang.

c. Mengidentifikasi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Tim Pelaksana

Pengadaan Tanah dalam melakukan proses pemberian ganti kerugian

pengadaan tanah terhadap tanah instansi dalam pembangunan Underpass

Jatingaleh Kota Semarang.

d. Memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian skripsi ini sebagai

syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam bidang Ilmu Hukum di

Universitas Negeri Semarang.

1. 6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan 2 (dua) manfaat, yakni

manfaat teoritis yang berkaitan dengan pengembangan ilmu hukum di Indonesia

8

dan manfaat praktis yang berkaitan dengan pemecahan masalah yang diteliti.

Adapun manfaat tersebut yakni:

1.6.1 Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum

bagi para akademisi bidang hukum, khususnya mengenai

pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan Underpass

Jatingaleh Kota Semarang.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur

dalam kepustakaan mengenai proses pemberian ganti kerugian

terhadap tanah instansi yang terkena proyek pembangunan

Underpass dan dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitian-

penelitian sejenis pada tahap selanjutnya.

1.6.2 Manfaat Praktis

a. Bagi pemerintah agar lebih bijak dalam merencanakan membangun

sebuah proyek untuk warga akan tetapi lebih menimbang kembali

mengenai factor positif maupun negative yang timbul. Dan

memberikan informasi dan mensosialisasikan proyek tersebut

dengan jelas kepada warga agar tidak terjadi hambatan-hambatan

kedepannya.

b. Bagi masyarakat sebagai informasi keadaan yang sebenarnya

terjadi di lapangan terkait dengan kesesuaian hukum mengenai

pengadaan tanah untuk pembangunan Underpass Jatingaleh.

9

c. Bagi mahasiswa dapat dijadikan acuan atau referensi untuk

penelitian berikutnya.

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang dapat menjadi rujukan dan

pembanding dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mohammad Paurindra Ekasetya, melakukan penelitian pada tahun 2015

tentang Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum (Studi Analisis Pada Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa

Di Kabupaten Brebes), Dipublikasikan Oleh Fakultas Hukum Universitas

Negeri Semarang, Jalan Sekaran, Gunung Pati, Sekaran, Gn. Pati, Kota

Semarang, Jawa Tengah 50229, Website : Unnes.ac.id

Hasil penelitian dari peneliti tersebut peran panitia pengadaan tanah sangat

diperlukan, terutama untuk mengatasi kendala-kendala yang terjadi dalam

pengadaan tanah. Panitia pengadaan tanah yang merupakan kepanjangan

tangan dari pemerintah daerah, memiliki peran vital bukan saja dalam

melakukan pengadaan tanah melainkan menyelesaikan masalah-masalah yang

timbul antara pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang memiliki

tanah.

b. Purnawati, melakukan pemelitian pada tahun 2015 tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus Terhadap

Pembangunan Fly Over Jombor Kabupaten Sleman Daerah Istimewa

11

Yogyakarta), Dipublikasikan Oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jalan Laksada Adisucipto, Caturtunggal, Kec.

Depok,Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, Website :

uin-suka.ac.id

Hasil penelitian dari peneliti tersebut menyimpulkan bahwa Pertama,

mekanisme pengadaan tanah dalam pembangunan Fly Over Jombor

dilaksanakan secara langsung karena kurang dari 1 (satu) hektar yakni

9.965,6 m². Adapun mekanismenya ialah pelepasan tanah oleh masyarakat

pemegang hak tanah dan pencabutan hak atas tanah oleh pemerintah atau

instansi yang berkepentingan. Kedua, pengadaan tanah dalam pembangunan

Fly Over Jombor terkendala pembebasan 19 bidang tanah yang disebabkan

oleh ketidakadilan dan kekuranglayakan nilai ganti rugi yang ditentukan oleh

Tim Appraisal. Sehingga, upaya yang dilakukan pemerintah ialah menggelar

musyawarah dan mediasi-mediasi antara masyarakat yang belum

membebaskan tanah dengan pemerintah terkait dan mediasi dengan ORI,

serta mediasi dengan Komisi C DPRD DIY. Ketiga, mekanisme

pembangunan Fly Over Jombor telah sesuai dengan aturan perundang-

undangan yang berlaku. Hanya saja Perpres Nomor 36 Tahun 2005 jo.

Perpres Nomor 65 Tahun 2006 sebagai pedoman pengadaan tanah yang

berlaku masih kurang jelas dan tumpang tindih antara aturan satu dengan

aturan lainnya. Maka, Pemerintah akan menggunakan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk

12

Kepentingan Umum sebagai acuan pengadaan tanah dalam pembangunan Fly

Over Jombor tersebut.

c. Moh. Fahmi Baharudin, melakukan penelitian pada tahun 2015 tentang

Mekanisme Pengadaan dan Konsinyasi Ganti Rugi Tanah Oleh Pemerintah

Terkait Dengan Pembangunan Jalan Umum (Studi Kasus Pelebaran Jalan

Ciater – Rawa Mekar Jaya), Dipublikasikan oleh Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan Ir. Haji

Juanda No. 95, Ciputat, Cempaka Putih, Kota Tanggerang Selatan, Banten

15412, Website: uinjkt.ac.id

Hasil dari penelitian dari peneliti tersebut apabila pemilik hak tanah tidak

menyetujui dengan adanya kebijakan pengadaan tanah atau besaran ganti rugi

yang ditetapkan oleh pemerintah maka dia dapat mengajukan gugatan ke

pengadilan negeri setempat dan dapat naik hingga ke Mahkamah Agung.

Setelah ada putusan dan pengesahan dari Pengadilan Negeri setempat dan

pemilik tetap bertahan tidak mau melepeaskan hak tas tanahnya, maka

pemerintah dapat menitipkan anggaran kepengadilan Negeri setempat

(Konsinyasi). Prosedur pengadaan tanah untuk pelebaran jalan ciater- Rawa

Mekar Jaya sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam

Perpres No. 99 Tahun 2014 Jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 baik

dalam proses musyawarah, ganti rugi dan mekanisme konsinyasi ganti rugi

penggantian tanah dalam hal pengadaan tanah untuk pelebaran jalan.

13

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah penelitian ini

akan membahas mengenai proses pengadaan tanah dalam pembangunan

Underpass Jatingaleh, pemberian ganti rugi terhadap tanah instansi dan hambatan

yang terjadi dalam pelaksanaan ganti rugi tanah instansi, jadi lebih

menitikberatkan pada ganti rugi yang diberikan kepada tanah instansi yang

tanahnya terkena proyek pembangunan Underpass Jatingaleh. Dan penelitian ini

dilakukan di Kantor Pertanahan Kota Semarang, Dinas Bina Marga Semarang,

Tim Penilai Ganti Rugi dan instansi yang tanahnya terkena proyek pembangunan.

2. 2 Landasan Konseptual

2.2.1 Pengertian Pengadaan Tanah

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian pengadaan tanah, antara

lain: (Salindeho, 1999: 31) “Penyediaan dan pengadaan tanah dimaksudkan

untuk menyediakan atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau keperluan

pemerintah, dalam rangka pembangunan proyek atau pembangunan sesuatu

sesuai program pemerintah yang telah ditetapkan”.

Pengadaan tanah adalah penyediaan dan pengadaan tanah dimaksudkan

untuk menyediakan atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau keperluan

pemerintah, dalam rangka pembangunan proyek atau pembangunan sesuatu

sesuai program pemerintah yang telah ditetapkan (Salindeho,1998: 31).

Menurut pasal 1 angka 3 No. 36/2005 yang di maksud dengan

pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk memberikan ganti kerugian

kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan

14

benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas

tanah.

Menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum:

“Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi

ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”.

Pasal 1 angka 3 :”Pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau

memiliki Objek Pengadaan Tanah, dan pasal 1 angka 4: “Objek Pengadaan

Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman,

benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.

Dalam praktiknya ada 2 jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan

tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan kedua pengadaan tanah

untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan kepentingan komersial

dan bukan komersial atau bukan sosial.

Hal ini berarti bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum

merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan

tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari

pemegang hak atas tanah mengenai dasar dan bentuk ganti rugi yang

diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri. Dalam melakukan

kegiatan pengadaan tanah, maka untuk memperoleh tanah yang dibutuhkan

harus ada ganti kerugian kepada pihak yang melepaskan atau menyerahkan

tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Maka sehubungan dengan itu, pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi

15

demensi yang harus ditempatkan secara seimbang, yaitu “kepentingan

masyarakat dan kepentingan pemerintah”.

Ada beberapa cara untuk memperoleh tanah dalam pelaksanaan

pengadaan tanah, yakni dengan memberi ganti rugi (cara yang paling utama),

melepaskan hak atas tanah, dan dengan mencabut hak atas tanah. Meskipun

terdapat beberapa cara yang digunakan, tetap saja, pelaksanaannya perlu

dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memerhatikan prinsip

penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah.

2.2.2 Pengertian Kepentingan Umum

Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja

dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau

tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak

ada batasannya (Sitorus dan Limbong, 2004 : 6).

Menurut John Salindeho, kepentingan umum adalah termasuk

kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,

dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas

atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan

Ketahanan Nasional serta dari Wawasan Nusantara (Salindeho,1998: 40).

UUPA dan No. 20 Tahun 1961 mengatakan kepentingan umum dinyatakan

dalam arti peruntukannya, yaitu untuk kepentingan bangsa dan negara,

kepentingan bersama dari kepentingan pembangunan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan

umum adalah kepentingan tersebut harus memenuhi peruntukannnya dan

16

harus dirasakan kemanfaatannya, dalam arti dapat dirasakan oleh masyarakat

secara keseluruhan dan atau secara langsung.

2.2.3 Jenis-jenis Kepentingan Umum

Dalam Pasal 10 UU No. 2 Tahun 2012 bagian penyelenggaraan

pengadaan tanah, menyebutkan „Tanah untuk kepentingan umum

sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan

:

1) Pertahanan dan keamanan nasional

2) Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan

fasilitas operasi kereta api;

3) Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran

pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;

4) Pelabuhan, Bandar udara, dan terminal;

5) Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi;

6) Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik;

7) Jaringan telekomunikasi dan informatika pemeritah;

8) Tempat pembuangan dan pengelolaan sampah;

9) Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;

10) Fasilitas keselamatan;

11) Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;

12) Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau public;

13) Cagar alam dan cagar budaya;

14) Kantor;

17

15) Kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/Desa;

16) Penataan pemukiman kumuh kumuh perkotaan dan atau konsolidasi

tanah, serta perumahanuntuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status

sewa;

17) Prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;

18) Prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan

19) Pasar umum dan lapangan parkir umum.

2.2.4 Asas-asas Pengadaan Tanah

Untuk pengadaan tanah dalam bentuk pelepasan hak atau pembebasan

tanah pada dasarnya memenuhi asas-asas hukum yang berlaku. Dimaksudkan

agar aparatur negara dapat terhindar dari praktik-praktik yang menyimpan.

Asas-asas hukum tersebut antara lain (Ahmad Rubaie, 2007).

1) Asas Kesepakatan

Asas kesepakatan itu sendiri adalah seluruh kegiatan pengadaan tanah

terutama dalam bentuk pelepasan hak atas tanah serta segala aspek

hukumnya, seperti persoalan ganti rugi, bentuk ganti rugi, pemukiman

kembali, kondisi sosial ekonomi, dan lain-lain harus didasarkan pada asas

kesepakatan antar pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas

tanah. Kesepakatan didasarkan pada kesesuaian kehendak kedua belah pihak

tanpa ada unsur paksaan, penipuan serta dilakukan atas dasar itikad baik.

2) Asas Keadilan

18

Dalam rangka pengadaan tanah, asas keadilan diletakkan sebagai dasar

penentuan bentuk dan besar ganti rugi yang harus diberikan kepada pemilik

tanah dan orang-orang terkait dengan tanah yang dicabut atau dibebaskan

haknya untuk kepentingan umum. Penerapan asas keadilan dalam pengaturan

prngadaan tanah, yaitu masyarakat yang terkena dampak pembangunan harus

memperoleh ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonomi

mereka minimal setara dengan keadaan sebelum dilakukan pelepasan atau

pencabutan hak atas tanah.

3) Asas Kemanfaatan

Pelepasan hak atau pencabutan hak atas tanah pada prinsipnya harus

dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan tanah dan

masyarakat yang tanahnya dilepaskan atau dicabut haknya.

4) Asas Kepastian Hukum

Pelaksanaan pengadaan tanah harus memenuhi asas kepastian hukum,

yang dilakukan dengan cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku, dimana semua pihak mengetaui dengan pasti hak dan

kewajibannya masing-masing. Kepastian hukum juga harus tertuju terhadap

pemberian ganti rugi kepada pihak pemilik tanah.

5) Asas Musyawarah

Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan di antara kedua

belah pihak dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

Unsur ensensial dalam musyawarah adalah kesatuan pendapat di antara kedua

19

belah pihak mengenai satu persoalan. Kehendak setiap warga merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan pendapat tersebut.

Hasil musyawarah adalah adanya kesepakatan bersama di antara

seluruh warga pemilik tanah dan pihak yang membutuhkan tanah.

Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai harga ganti

rugi serta mekanisme pembayaran dan pelepasan hak atas tanah. Dalam

musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama juga tidak boleh terdapat

unsur penipuan, kesesatan, dan/atau paksaan.

6) Asas Keterbukaan

Pengaturan pengadaan tanah harus dikomunikasikan kepada masyrakat,

sehingga masyarakat memperoleh pengetahuan mengenai isi peraturan

tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tidak ada pihak yang

merasa dirugikan atau pihak yang melakukan kebohongan sehingga dapat

mencegah kekeliruan yang dapat menimbulkan konflik.

7) Asas Partisipasi

Peran serta semua pihak yang terkait secara aktif dalam proses

pelepasan hak atau pencabutan hak atas tanah menimbulkan rasa memiliki

dan memperkecil kemungkinan penolakan atas pelepasan atau pencabutan

hak atas tanah tersebut.

8) Asas Kesetaraan

Asas ini dimaksudkan untuk memposisikan pihak yang memerlukan

tanah dan pihak yang tanahnya dilepaskan haknya harus diletakkan sejajar

dalam seluruh proses pengambilalihan tanah. Dengan adanya kesetaraan

20

posisi antara pemilik tanah, pelaksaan pengadaan tanah diharapkan akan

berhasil dengan baik karena masing-masing pihak dapat mengajukan

keinginan dan menyampaikan tawaran sesuai dengan kesederajatan posisi

para pihak.

9) Asas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan Ekonomi

Pengadaan tanah dilakukan dengan upaya untuk meminimalkan dampak

negatif atau dampak penting yang mungkin timbul dari kegiatan

pembangunan tersebut, juga harus diupayakan untuk memperbaiki taraf hidup

masyarakat yang terkena proyek pembangunan atau tanahnya yang

dilepaskan haknya.

Kesejahteraan ekonomi masyarakat yang terkena proyek pembangunan

minimal harus sama dengan keadaan sebelum terkena pengadaan tanah, jika

perlu terdapat kenaikan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik sebelum

proyek pembangunan serta setelah pembangunan. Jangan sampai terdapat

penurunan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

2.2.5 Panitia Pengadaan Tanah

Dalam Pasal 6 ayat (1) Keppres No. 55/1993 pengadaan tanah untuk

kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang

dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, kemudian ayat (2)

menyatakan bahwa Panitia Pengadaan Tanah dibentuk di setiap Kabupaten

atau Kotamadya Daerah Tingkat II. Sedangkan untuk pengadaan tanah yang

terletak meliputi wilayah dua atau lebih Kabupaten/Kotamadya dilakukan

dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah.

21

Tingkat Propinsi yang diketahui atau dibentuk oleh Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I yang bersangkutan, yang susunan keanggotaannya sejauh

mungkin mewakili instansi-instansi yang terkait di Tingkat Propinsi dan

Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Susunan Panitia Pengadaan Tanah Dalam Pasal 7 Keppres

No.55/1993, susunan panitia pengadaan tanah terdiri dari:

1) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II sebagai Ketua

merangkap anggota;

2) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai Wakil

Ketua merangkap anggota;

3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai anggota;

4) Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang

bangunan, sebagai anggota;

5) Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang

pertanian, sebagai anggota;

6) Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah di mana rencana dan

pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai anggota;

7) Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana

rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung, sebagai

anggota;

8) Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Bidang Pemerintahan atau Kepala

Bagian Pemerintahan pada Kantor Bupati Walikotamadya sebagai

Sekretaris I bukan anggota;

22

9) Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sebagai

Sekretaris II bukan anggota.

Tugas pokok Panitia Pengadaan Tanah baik yang diatur dalam

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 maupun Peraturan Presiden

Nomor 36 Tahun 2005, pada dasarnya sama hanya ada perbedaan sedikit

yakni pada angka 3 dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 disebutkan salah

satu tugas Panitia Pengadaan Tanah adalah menafsir dan mengusulkan

besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepas atau diserahkan;

sedangkan dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 dalam pasal 7 huruf c

tugas Panitia Pengaaan Tanah, menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah

yang haknya akan dilepas atau diserahkan. Jadi yang satu tugas Panitia

Pengadaan Tanah bertugas menaksir besarnya ganti rugi dan satunya lagi

menetapkan besarnya ganti rugi (Iskandar Syah, 2015:39-40).

Pelaksanaan Pengadaan Tanah bertugas meliputi :

1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan

pemanfaatan tanah;

2) Penilaian Ganti Kerugian;

3) Musyawarah penetapan Ganti Kerugian;

4) Pemberian Ganti Kerugian; dan

5) Pelepasan Tanah Instansi.(Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pasal

27).

Tugas Pelaksanan Pengadaan Tanah dengan berlakunya Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2012 sudah diperingan, dengan berkurangnya

23

untuk melakukan penaksiran atau penentuan harga ganti rugi, karenatugas

ini sepenuhnya diserahkan kepada Juru Taksir (Tim Aprraisal) (Iskandar

Syah, 2015:41).

2.2.6 Prosedur Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, terdapat 4 (empat)

tahapan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah, yaitu :

1) Perencanaan

Pada tahapan perencanaan, instansi yang memerlukan tanah

membuat perencanaan pengadaan tanah sesuai dengan rencana tata

ruang wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam

rencana pembangunan jangka menengah, rencana strategis, rencana

kerja pemerintah instansi yang bersangkutan. Perencanaan tersebut

berupa dokumen perencanaan pengadaan tanah yang disusun

berdasarkan studi kelayakan. Selanjutnya, dokumen perencanaan

pengadaan tanah diserahkan kepada pemerintah provinsi.

2) Persiapan

Pada tahapan persiapan, instansi yang memerlukan tanah bersama

pemerintah provinsi berdasarkan dokumen perencanaan pengadaan

tanah memberitahukan rencana pembangunan kepada masyarakat,

melakukan pendataan awal lokasi rencana pembangunan.

Pemberitahuan rencana pembangunan dapat disampaikan, baik

langsung maupun tidak langsung.

24

Pendataan awal lokasi meliputi kegiatan pengumpulan data awal

pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah. Pendataan awal

dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil pendataan awal lokasi

digunakan sebagai data untuk pelaksanaan konsultasi publik.

3) Pelaksanaan pengadaan tanah

Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan, instansi yang

memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada

lembaga pertanahan. Pelaksanaan pengadaan tanah meliputi :

a) Inventarisasi dan identifikasi

Inventarisasi dan identifikasi meliputi kegiatan: pengukuran dan

pemetaan bidang per bidang tanah dan pengumpulan data pihak yang

berhak dan objek pengadaan tanah. Inventarisasi dan identifikasi

dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

Hasil inventarisasi dan identifikasi wajib diumumkan di kantor desa /

kelurahan, kantor kecamatan, dan tempat pengadaan dilakukan.

Pengumuman hasil inventarisasi dan identifikasi meliputi subjek

hak, luas, letak, dan peta bidang tanah objek pengadaan tanah.

Jika tidak menerima hasil inventarisasi, pihak yang berhak dapat

mengajukan keberatan kepada lembaga pertanahan. Selanjutnya,

lembaga pertanahan melakukan verifikasi dan perbaikan. Hasil

pengumuman atau verifikasi dan perbaikan kemudian menjadi dasar

penentuan pihak yang berhak dalam pemberian ganti kerugian.

25

b) Penilaian ganti kerugian

Penilaian ganti kerugian dilakukan oleh penilai yang ditetapkan

dan diumumkan oleh lembaga pertanahan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Penilai yang telah ditetapkan

melaksanakan penilaian objek pengadaan tanah dan wajib

bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah dilaksanakan.

c) Pemberian ganti kerugian

Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada

pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah.

2.2.7 Penyerahan hasil

Pada tahapan penyerahan hasil, lembaga pertanahan menyerahkan hasil

pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah. Penyerahan hasil

dilakukan setelah pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak dan

pelepasan hak atau pemberian ganti kerugian telah dititipkan di Pengadilan

Negeri (PN). Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan

kegiatan pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil pengadaan

tanah.

2. 3 Ganti Rugi Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk

Pembangunan Kepentingan Umum

2.3.1 Pengertian dan Bentuk Ganti Rugi

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 “Ganti Kerugian

adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam

proses pengadaan tanah”.

26

Arti ganti rugi menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993

yang di maksud dengan ganti rugi adalah penggantian atas nilai tanah

berikut bangunan, tanaman dan/atau benda – benda lain yang terkait dengan

tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (Iskandar

Syah, 2015: 18).

Bentuk ganti rugi yng diberikan berupa Iskandar Syah, 2015: 19).:

1) Uang;

2) Tanah pengganti;

3) Permukiman kembali;

4) Kepemilikan saham; atau

5) Bentuk lain yang disetujui oleh kedua bilah pihak .

Jenis yang dapat diberikan ganti rugi adalah :

1) tanah;

2) ruang atas tanah dan bawah tanah;

3) bangunan;

4) tanaman;

5) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau

6) kerugian lain yang dapat dinilai

Bentuk dan jenis ganti rugi lain yang disepakati bersama bisa

dilaksanakan sebagaimana disebutkan dalam ketentuan diatas, dan untuk

menentukan jenis ganti rugi yang akan dipilih sepenuhnya diserahkan

kesepakatan bersama antara panitia pengadaan tanah dengan para pemilik.

27

Jika pemberian ganti rugi berupa relokasi atau tanah pengganti maka

konsekuensinya setiap pengadaan tanah, maka Panitia Pegadaan Tanah

harus mempersiapkan dua lokasi, satu lokasi sebagai lahan rencana

pembangunan kepentingan umum, yang satu lokasi lagi sebagai tanah

pengganti bagi para pemilik tanah yang terkena proyek pengadaan tanah

(Iskandar Syah, 2015: 20).

Untuk penggantian terhadap bangunan, tanaman dan benda–benda yang

terkait dengan tanah, akan ditentukan oleh instansi terkait masing-masing.

Penentuan oleh instansi terkait ini bisa berupa standar harga, mutu, volume

benda dan lainnya. Untuk tingkat provinsi instansi berkompeten dalam

memberikan standar tanaman adalah Dinas Pertanian untuk tanaman,

sedangkan untuk bangunan adalah Dinas/Kantor yang berkaitan dengan

bangunan atau unit lain yang mempunyai kompetensi dengan bangunan.

Sedangkan yang berwenang untuk memberikan standarisasi terhadap

benda-benda lainnya adalah unit kerja yang berweang sesuai tugas pokok

dan fungsinya (Iskandar Syah, 2015: 21).

2.3.2 Musyawarah Ganti Rugi Dan Konsultasi Publik

1) Musyawarah

Musyawarah menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Pasal 1 ayat

10 musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling

mendengar, saling memberi dan saling pendapat serta keinginan untuk

mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian

dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas

28

dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah,

bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah

dengan pihak yang mmerlukan tanah (Iskandar Syah, 2015: 41-41).

Teknis musyawarah berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005

secara garis besar sama dengan yang berlaku pada Kepres Nomor 36

Tahun 2005 ditegaskan dalam Pasal 9 ayat 2 yang isinya apabila

musyawarah dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Tanah.

Untuk menjamin kepastian hukum dalam pengadaan tanah maka

musyawarah itu sendiri dibatasi selama 90 (Sembilah Puluh) hari

kalender, terhitung sejak tanggal undangan pertama disampaikan.

Sedangkan batas waktu musyawarah berdasarkan Pasal 10 Perpres

Nomor 65 Tahun 2006 selama 120 hari kalender terhitung mulai

tanggal undangan pertama musyawarah pertama.

Proses musyawarah diawali dengan proses pendataan kepemilikan

tanah, darimana pemilik/pemegang hak, letak, luas dan sampai jenis

kepemilikan tanah. Setelah proses dimaksud telah dianggap akurat,

maka kegiatan selanjutnya adalah sosialisasi kepada para

pemilik/pemegang hak atas tanah yang akan di kenakan

pembebasan.kegiatan sosialisasi merupakan kewajiban yang harus

dilakukan dalam bidang apapun, termasuk bidang pengadaan tanah

untuk pembangunan kepentingan umum.

Tujuan dari sosialisasi ini adalah untuk memberi informasi kepada

para pemilik/pemegang hak atas tanah tentang rencana pemerintah

29

untuk melaksanakan kegiatan pembangunan yang membutuhkan lahan

dari tanah masyarakat (Iskandar Syah, 2015: 42).

2) Konsultasi Publik

Konsultasi publik merupakan proses komunikasi dialogis atau

musyawarah antar pihak yang berkepentingan guna mencapai

kesepahaman dan kesepakatandalam penentuan perencanaan lokasi

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, sejak proses pengadaan

tanah untuk pembangunan kepentingan umum, para pihak

pemilik/penguasa tanah sudah diberikan hak untuk dilibatkan dalam

musyawarah penetapan lokasi lahan pengadaan tanah. Dengan demikian

para pemilik tanah sudah mengetahui bahkan ikut merencanakan

penetuan lokasi pembangunan kepentingan umum (Iskandar Syah,

2015: 44).

Untuk memberikan kepastian hukum maka konsultasi publik

dilaksanakan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja dan

bila ternyata terdapat pihak yang keberatan, akan dilaksanakan

Konsultasi Publik ulang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

Sehingga jumlah semuanya 90 hari kerja (Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 Pasal 21).

Setelah diadakan konsultasi publik ulang dan ternyata masih

terdapat pihak yang menolak/keberatan maka Gubernur dan jajarannya

membentuk tim terdiri dari :

30

a) Sekretaris daerah provinsi/pejabat yang ditunjuk sebagai ketua

merangkap anggota;

b) Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai sekretaris merangkap

sebagai anggota;

c) Instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan

pembangunan daerah sebagai anggota;

d) Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi

Manusia sebagai anggota;

e) Bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota;

f) Akademisi sebagai anggota.

Pemberitahuan rencana pembangunan memuat informasi

mengenai:

a) Maksud dan tujuan rencana pembangunan;

b) Letak tanah dan luas tanah yang dibuthkan

c) Tahapan rencana Pengadaan Tanah;

d) Perkiraan jangka waktu Pelaksanaan Pengadaan Tanah;

e) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembnagunan; dan

f) Informasi lainnya yang dianggap perlu.

2.3.3 Penetapan Bentuk Dan Besarnya Ganti Rugi

Penetapan harga ganti rugi terhadap pengadaan tanah dilakukan oleh

Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) sesuai dengan Perpres Nomor 65 Tahun

2006, sedangkan menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 P2T hanya

mempunyai wewenang untuk menaksir besarnya ketetapan ganti rugi.

31

Sebelum adanya penetapan ganti rugi, pekerjaan yang harus didahulukan

adalah musyawarah antara pemilik tanah dengan P2T (Iskandar Syah, 2015:

47).

Jenis kebendaan yang akan diperhitungkan untuk diberikan ganti rugi

sebagaimana dimaksud yang meliputi:

a) Tanah;

b) Ruang atas tanah dan bawah tanah;

c) Bangunan;

d) Tanaman;

e) Benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau

f) Kerugian lain yang dapat dinilai (Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012).

Besarnya ganti rugi yang telah ditetapkan oleh penilai menjadi dasar

dalam musyawarah antara P2T dengan para pihak pemilik tanah. Dengan

demikian pelaksana pengadaan tanah tidak mempunyai wewenang untuk

menetapkan harga ganti rugi.

Badan Pertanahan melakukan musyawarah dengan Pihak yang berhak

dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari penilai

disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk menetapkan bentuk

dan/atau besarnya ganti rugi berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian.

Dalam penetapan besarnya ganti rugi harus ada kesepakatan antara

pemilik tanah dengan pelaksana pengadaan tanah (P2T) dalam hal ini adalah

pemerintah, kedua belah pihak ini harus mengadakan musyawarah untuk

32

mencari mufakat bersama. Musyawarah ini bisa dilakukan berulang kali

sampai menemukan titik mufakat, akan tetapi sering sekali sampai kesekian

kali tidak menemukan mufakat di antara para pihak terhadap penentuan

besarnya uang ganti rugi, atau paling tidak mendekati kesepakatan.

Dalam musyawarah penentuan besarnya ganti rugi ini tidak berlaku

sistem votting atau pemungutan suara, artinya ditentukan oleh satu pihak

dengan mengabaikan pihak lain atau mengambil suara terbanyak dari para

pemilik tanah. Dalam musyawarah penentuan besarnya ganti rugi ini

sebetulnya ada 2 pihak yang berkepentingn yaitu satu pihak pemerintah

yang diwakili oleh pelaksana pengadaan tanah, dan pihak lain adalah

pemegang hak atas tanah (Iskandar Syah, 2015:51).

Penetapan besarnya ganti rugi dalam pembebasan tanah selama ini yang

diatur dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993, Perpres Nomor 36 Tahun

2005, Perpres Nomor65 Tahun 2005 maupun Keputusan Menteri

Agraria/Kepala badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994, Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2012 serta Perpres Nomor 71 Tahun 2012 hanya

yang menyangkut gaanti rugi terhadap tanah, sedangkan yang menyangkut

bangunan, tanaman, dan benda-benda yang ada di atastanah tidak

disebutkan standar yang pasti.

Untuk besarnya ganti rugi terhadap bangunan, tanaman, dan benda-

benda lain akan ditentukan kemudian oleh instansi/departemen masing-

masing. Namun dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012, baik penentuan besarnya ganti rugi

33

tanah, maupun semua kebendaan yang terkait dengan tanah akan di tentukan

oleh Tim Apprasial (Iskandar syah, 2015:53-54).

2.3.4 Pembayaran Ganti Rugi

Pemberian ganti rugi bisa berbagai macam bentuk diantaranya:

1) Bentuk Uang

Salah satu bentuk ganti rugi adalah berbentuk uang. Jenis

bentuk ini yang sering terjadi dalam pemberian ganti rugi dalam

pembebasan tanah. Sebelum pembayaran uang ganti rugi yang

berbentuk uang harus didahului dengan kesepakatan tentang jenis

dan besarnya ganti rugi antara P2T dengan para pihak pemilik

tanah.

Teknis pelaksanaan pembayarannya bisa dilakukan dengan

cara secara mufakat, baik pemberian ganti kerugian dengan jasa

melalui jasa perbankan atau pemberian secara tunai kepada para

pihak penerima. Apabila pembayarannya dilakukan via perbankan,

maka pihak perbankan atas permintaan Ketua P2T, harus membuka

rekening tabungan atas nama para pihak yang berhak menerima

uang ganti rugi (Pasal 26 Per Ka. BPN Nomor 5 Tahun 2012)

2) Bentuk Tanah Pengganti

Pemberian ganti kerugian dalam bentuk tanah pengganti

dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah atas permintaan

tertulis dari Ketua P2T. Untuk menentukan tanah lokasi pengganti

harus didasarkan atas kesepakatan dalam musyawarah, yang

34

nilainya sama dengan nilai ganti kerugian apabila diberikan dalam

bentuk uang.

Untuk memberikan kepastian hukum, penggantian yang

berbentuk tanah pengganti ini diberi batasan waktu paling lama 5

bulan. Sedangkan pelepasan hak dari pihak para pemilik tanah

kepada instansi yang membutuhkan tanah tidak harus menunggu

tanah pengganti setelah terwujud, artinya sebelum adanya tanah

pengganti, maka pelepasan hak bisa dilaksanakan.

Serah terima penggantian jenis tanah pengganti harus saling

serah terima, untuk pemilik tanah menyerahkan hak dengan

menyerahkan surat-surat, baik dari para pemilik tanah kepada P2T.,

dan sebaliknya dari P2T kepada para pemilik tanah menyerahkan

ganti rugi. Semua proses penyerahantersebut harus disertai dengan

berita acara penyerahan.

3) Bentuk Pemukiman Kembali

Penggantian berbentuk pemukiman kembali (relokasi), atau

penyediaan permukiman kembali dilakukan oleh instansi yang

memerlukan tanah atas permintaan tertulis dari Ketua P2T.

Didasarkan atas kesepakatan dalam musyawarah penentuan bentuk

ganti rugi yang nilainya pemukiman kembali ini sama dengan nilai

ganti kerugian bila berbentuk uang.

Pihak yang melakukan adalah instansi yang memerlukan tanah

setelah mendapat permintaan tertulis dari Ketua P2T. Instansi

35

pengguna tanah, harus menyediakan permukiman dalam kurun

waktu kembali paling lama 1 tahun sejak penetapan bentuk ganti

rugi oleh pelaksana pengadaan tanah.

Pelepasan hak oleh pihak yang berhak dilakukan pada saat

telah disepakati lokasinya. Dilakukan tanpa menunggu selesainya

pembangunan permukiman kembali telah disepakati pihak yang

berhak yakni instansi yang memerlukan tanah menyerahkan

permukiman kembali kepada pihak yang berhak setelah

memperoleh validasi dari Ketua P2T. Semua prosesi kegiatan ini

harus dibuat dalam berita acara penyerahan, dan didokumentasikan

dengan foto/video.

2. 4 Pelepasan Hak Atas Tanah/Pembebasan Tanah/Pengadaan Tanah

2.4.1 Pelepasan Hak

Tanah hak adalah tanah yang sudah dilekati atau dibebani dengan suatu

hak tertentu. Tanah hak tersebut misalnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan,

Hak Guna Usaha, atau Hak Pakai. Tanah hak dapat diperoleh dengan cara

pelepasan hak atas tanah/pembebasan tanah, pemindahan hak atas tanah,

dan pencabutan hak atas tanah. Pelepasan hak atas tanah dan pencabutan

hak atas tanah merupakan 2 (dua) cara untuk memperoleh tanah hak, dimana

yang membutuhkan tanah tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak

atas tanah.

36

Pengadaaan tanah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahaan

hak atas tanah dengan pemberian ganti rugi kepada pemegang haknya atau

yang melepaskanya. Dalam UU No.2 Tahun 2012 dalam Pasal 1 angka 9

menjelaskan bahwa” Pelepasan Hak adalah kegiatan pemutusan hubungan

hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga

Pertanahan”. Kemudian didalam Perpres Nomor 71 Tahun 2012 dalam

Pasal 1 angka 9 , yaitu “Pelepasan hak adalah kegiatan pemutusan hubungan

hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui BPN”.

Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula

diantara pemegang hak/menguasai tanah dengan cara memberikan ganti

rugi. Kedua perbuatan hukum tersebut mempunyai pengertian yang sama,

perbedaannya pembebasan hak atas tanah adalah dilihat dari yang

membutuhkan tanah, biasanya dilakukan untuk areal tanah yang luas

sedangkan pelepasan hak atas tanah dilihat dari yang memiliki tanah,

dimana ia melepaskan haknya kepada Negara untuk kepentingan pihak lain.

Menurut Salindeho, pembebasan hak atas tanah adalah “ suatu

perbuatan hukum yang bertujuan untuk melepaskan hubungan antara

pemilik atau pemegang hak atas tanah, dengan pembayaran harga atau

dengan ganti rugi” (Salindeho, 1998). Pelepasan hak tanah yang dilakukan

oleh pihak yang tanahnya diambil demi pembangunan harus diimbangi

dengan pemberian ganti kerugian atau kompensasi yang layak. Hal ini

berkaitan dengan bagaimana peran tanah yang dilepas bagi kehidupan

pemegang hak dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas

37

tanah. Kemudian setelah pemberian kompensasi yang layak, maka ketika

melakukan musyawarah antara pemegang hak atas tanah dengan pemerintah

maka kedua belah pihak harus berada dalam posisi yang setara dan

seimbang.

Maka dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pelepasan hak

seseorang atas tanah demi kepentingan lain (kepentingan pembagunan untuk

umum) dan pemberian ganti kerugian atau kompensasi atas pelepasan hak

tersebut.

2.4.2 Pencabutan Hak Atas Tanah

Pencabutan hak atas tanah menurut UUPA adalah pengambilalihan

tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa yang

mengakibatkan hak atas tanah menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan

melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu

kewajiban hukum. Dengan demikian, pencabutan hak atas tanah merupakan

cara terakhir untuk memperoleh tanah hak yang diperlukan bagi

pembangunan untuk kepentingan umum setelah berbagai cara melalui

musyawarah tidak berhasil. Dasar hukum pengaturan pencabutan hak atas

tanah diatur oleh UUPA dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa:

”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara

serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut,

dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur

dengan undang-undang”

38

Dalam pembebasan hak atas tanah dan pelepasanya dibentuk panitia

pembebasan tanah yang dimana dalam Pasal 1 angka (2) Permendagri

Nomor 15 Tahun 1975 menyebutkan bahwa Panitia Pembebasan Tanah

adalah suatu panitia yang bertugas melakukan pemeriksaan/penelitian dan

penetapan ganti rugi dalam rangka pembebasan suatu hak atas tanah dengan

atau tanpa bangunan/ tanaman tumbuh diatasnya yang pembentukannya

ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah untuk masing-masing

Kabupaten/Kotamadya dalam suatu wilayah Propinsi yang bersangkutan.

Dalam membantu pelaksanaan pembebasan tanah, tugas Panitia

Pembebasan tanah meliputi :

1) Mengadakan inventarisasi serta penelitian setempat terhadap keadaan

tanahnya, tanam tumbuh dan bangunan-bangunan.

2) Mengadakan perundingan dengan para pemegang hak atas tanah dan

bangunan/tanaman.

3) Menaksir besarnya ganti rugi kerugian yang akan dibayarkan kepada

yang berhak.

4) Membuat berita acara pembebasan tanah disertai fatwa/pertimbangan.

5) Menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti kerugian kepada yang brhak

atas tanah bangunan/ tanaman tersebut.

Berakhirnya hak atas tanah salah satunya melalui pembebasan dan

pelepasan hak atas tanah. Perihal pelepasan hak ini, adalah penting untuk

melihat dahulu pelepasan hak sebagaiman yang diatur dalam hukum

keperdataan. Hal ini dimaksud untuk memberikan kepastian hukum kepada

39

pemegang hak atas tanah. Sebab pada prinsipnya, pihak yang berhak

melakukan perbuatan hukum atas barang yang dimilikinya tergantung pada

jenis atau sifat barang-barang tersebut.

Pembebasan tanah atau pengadaan tanah memiliki prosedur yang jauh

lebih mudah dibandingkan dengan pencabutan hak atas tanah. Dalam kaitan

ini Mahfud MD menyatakan prosedur pencabutan dirasakan menghambat

laju pembangunan sehingga pemerintah mencari jalan lain yang lebih

mudah yakni prosedur “pebebasan” (Suhadi, 2016 : 24)

2. 5 Pelepasan Tanah Instansi

Tanah negara menurut PP Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan

Tanah Negara adalah tanah yang bebas dari hak yang melekat di atas tanah

tersebut. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pengertian tanah negara

penuh akan tetapi merupakan tanah yang akan dikuasai langsung oleh negara.

Penjelasan pasal 2 UUPA, berdasarkan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar

dan hal-hal sebagaimana dimaksud pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa,

termasuk kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara.

Negara menguasai tanah bukan memiliki tanah. Negara diberikan

kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan tanah, bumi, air dan ruang angkasa untuk

kemakmuran rakyat. Atas dasar itu, maka ditentukan adanya bermacam-macam

hak atas tanah yang dapat diberikan kepada orang, baik sendiri-sendiri maupun

bersama serta badan hukum. Pasal 16 UUPA, hak atas tanah terdiri dari hak milik,

40

HGB, HGU, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil

hutan.

Dalam Pasal 18 disebutkan, demi untuk kepentingan umum termasuk

kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak

atas tanah dapat dicabut dengan ganti rugi. Pada Pasal 27, 34, dan Pasal 40

disebutkan bahwa hak milik, HGB, HGU, dan hak pakai hapusnya haknya

menjadi tanah negara apabila hak atas tanah tersebut dicabut, ditelantarkan,

diserahkan secara sukarela, berakhir jangka waktunya atau dilepaskan untuk

kepentingan negara.

Menurut pengertiannya, tanah negara dibagi menjadi beberapa bagian.

Pertama, tanah negara bebas, yakni tanah negara yang benar-benar belum

digunakan masyarakat serta belum pernah diberikan dengan sesuatu hak, kepada

siapa pun. Kedua, tanah negara yang dibebani dengan hak, baik HGU, HGB

ataupun HP yang jangka waktunya belum habis dan ada hak penguasaan di

dalamnya.

Ketiga,tanah negara dalam penguasaan pemerintah/departemen yang telah

tercacat sebagai aset (barang milik negara). Sebagaimana diatur dalam UU No. 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara PP No. 6 Tahun 2006, seperti tanah

yang dikuasai Pertamina, Pelindo, PTPN, TNI/Polri dan lainnya.

Keempat, tanah negara bekas HM, HGB, HGU, dan HP yang telah habis

masa berlakunya. Kelima, tanah negara adalah tanah hak yang sudah dibebaskan,

dilepaskan tapi belum dimohon haknya. Keenam, tanah negara sudah digunakan

41

dan dimanfaatkan dalam kurun waktu kurang dr 20 tahun serta lebih dari 20

tahun, tapi belum diberikan hak.

Kalau pengertian tanah negara seperti diatas, maka untuk tanah negara

yang pertama tidak diberikan ganti rugi. Sedangkan tanah negara nomor 2,3,4 dan

5 yang dibebani dengan hak atas tanah dan tanah sudah dibebaskan, dilepas jadi

tanah negara tapi belum dimohon hak harus diganti rugi. Sedangkan tanah negara

yang habis masa berlakunya serta tanah negara yang digunakan oleh masyarakat

namun belum ada haknya, penafsiran masih berbeda, disarankan agar kewenangan

itu diberikan kepada pemerintah daerah sesuai dengan PP No. 38 Tahun 2007

tentang pembagian urusan pemerintah antara pemerintah pusat, pemerintah daerah

provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Norma hukum lain terkait dengan ganti rugi/kompensasi terhadap tanah

negara diatur dalam Pasal 58 ayat (3) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Pasal

30 ayat (5) UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Dalam kedua

undang-undang itu dikatakan bahwa tanah negara yang sudah digunakan atau

dimanfaatkan oleh masyarakat tapi belum bersertifikat dapat diganti rugi.

Dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum harus ada

kesepahaman mengenai penafsiran mengenai tanah negara, sehingga pelaksana

atau panitia pembebasan tanah tidak ragu lagi dan tentunya tidak melanggar

hukum pidana.

Pelepasan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimiliki

pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang mengatur pengelolaan barang milik negara/daerah. Pelepasan objek

42

pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dikuasai oleh pemerintah atau

dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah

dilakukan berdasarkan UU No. 2 Tahun 2012.

Pelepasan Objek Pengadaan Tanah dilakukan oleh pejabat yang

berwenang atau pejabat yang diberi pelimpahan kewenangan untuk itu. Pelepasan

objek pengadaan tanah tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali:

1) Objek pengadaan tanah yang telah berdiri bangunan yang

dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan tugas

pemerintahan;

2) Objek pengadaan tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha

Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/ataU

3) Objek pengadaan tanah kas desa.

Ganti kerugian atas objek pengadaan tanah diberikan dalam bentuk tanah

dan/atau bangunan atau relokasi. Pelepasan objek pengadaan tanah dilaksanakan

paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak penetapan lokasi pembangunan

untuk kepentingan umum. Apabila pelepasan objek pengadaan tanah belum

selesai dalam waktu tersebut, dinyatakan telah dilepaskan dan menjadi tanah

negara dan dapat langsung digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan

umum.

Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan kegiatan

pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil pengadaan tanah. Pengadaan

tanah untuk kepentingan umum karena keadaan mendesak akibat bencana alam,

perang, konflik sosial yang meluas, dan wabah penyakit dapat langsung

43

dilaksanakan pembangunannya setelah dilakukan penetapan lokasi pembangunan

untuk kepentingan umum.Sebelum penetapan lokasi pembangunan untuk

kepentingan umum terlebih dahulu disampaikan pemberitahuan kepada pihak

yang berhak. Dalam hal terdapat keberatan atau gugatan atas pelaksanaan

pengadaan tanah, Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat melaksanakan

kegiatan pembangunan. Instansi yang memperoleh tanah wajib mendaftarkan

tanah yang telah diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

2. 6 Pencatatan Tanah Sebagai Aset Instansi

Semua tanah yang pada saat ini statusnya masih dikuasai Pemerintah

Daerah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Daerah untuk menghindari

hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, dan masing-masing Pemerintah

Daerah menyediakan dana untuk kepengurusan sertifikat dimaksud.

Konstruksi hukum Sertifikat yang lahir dari pendaftaran tanah yang

berasal dari tanah yang berstatus Negara mempunyai karakter yang bersifat

“konstitutif”. Sifat karekter ini timbul sebagai akibat adanya suatu keputusan atau

penetapan dari badan / pejabat tata Usaha Negara dalam hal ini BPN yang

menetapkan pemberian hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum yang

mengajukan permohonan suatu hak atas tanah yang berstatus tanah Negara.

Fungsi dari surat keputusan pemberian hak tersebut adalah sebagai tanda bukti

kepemilikan bahwa seseorang atau badan hukum memperoleh hak atas suatu

bidang tanah.

44

Surat keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan/

Pejabat Tata Usaha berfungsi sebagai dasar atau alas hak pengakuan Negara

terhadap seorang atau badan hokum atas sebidang tanah yang dikuasainya.

Kenapa demikian, karena untuk dapatnya sesorang atau badan hokum memiliki

atau mengusai hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara harus memenuhi

persyaratan dan kewajiban yang diuraikan dalam surat keputusan tersebut. Bila

mana syarat dan kewajiban dipenuhi maka harus didaftarkan agar memperoleh

tanda bukti kepemilikan yang berupa sertifikat hak atas tanah.

2. 7 KERANGKA BERPIKIR

Input. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasa

Keterangan Bagan :

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk

Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2016 Tentang

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

Tentang Pokok-Pokok Agraria

UUD 1945

Pembangunan

Underpass Jatingaleh

Menemukan hambatan-hambatan yang terjadi di dalam proses pemberian ganti rugi

terhadap tanah Instansi dalam pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang,

sehingga pembangunan ini cepat selesai dan mengurangi kemacetan.

UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengdaan Tanah

Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Mengetahui proses Pengadaan Tanah

Instansi

Proses pemberian ganti rugi terhadap

tanah Instansi

45

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum.

2. Proses. Dengan adanya dasar hukum tersebut maka akan dijadikan sebagai

suatu landasan yuridis dalam penulisan skripsi ini yang berjudul Ganti

Rugi Terhadap Tanah Instansi Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang. Adapun fokus dalam

penulisan skripsi ini ada 3 rumusan yakni bagaimana pengadaan tanah

terhadap tanah instansi dalam pembangunan Underpass Jatingaleh Kota

Semarang.

3. Output. Untuk mengatahui dan menganalisis pelaksanaan pengadaan tanah

bagi pembangunan Underpass Jatingaleh sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2012 serta mengetahui dasar yang dipakai sebagai

pemberian ganti rugi dalam pelaksanaan Underpass Jatingaleh Kota

Semarang.

4. Outcome. Setelah mengetahui hal-hal tersebut diatas, diketahuilah

bagaimana pemberian ganti rugi yang diberikan kepada tanah Intansi yang

terkena dampak pembangunan Underpass Jatingaleh Kota Semarang.

5. Feedback. Dengan adanya pembangunan Underpass Jatingaleh ini dan

pemberian ganti rugi yang layak dan adil sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2012 diharapkan mampu merubah kondisi sosial warga

yang terkena dampak pembangunan dan diharapkan nantinya tidak ada

lagi kemacetan.

112

BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan sesuai dengan penelitian dengan

pembahasan yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Dalam pembangunan underpass ada beberapa tahapan yang dilakukan

mulai dari tahap perencanaan kemudian dilanjutkan dengan tahap

persiapan kemudian tahap pelaksanaan dan setelah tahap pelaksanaan

selesai maka ada tahap penyerahan hasil.

2. Ganti rugi tanah instansi dalam pembangunan Underpass Jatingaleh

diberikan dalam bentuk tanah pengganti. Untuk KPP Pratama ganti

ruginya berupa tanah pengganti, lalu TNI AL ganti ruginya berupa tanah

penggati dan relokasi bangunan. Sedangkan untuk Kelurahan Ngresep dan

Pasar Jatingaleh ganti ruginya berupa pagar.

3. Hambatan yang terjadi dalam proses pemberian ganti rugi terkait tanah

instansi yaitu cenderung pada proses administrasi yang bisa dikatakan

melibatkan banyak pihak jadi tidak bisa diputuskan dalam sekali

pertemuan atau dengan satu orang karena pertanggungjawabannya adalah

kepada negara jadi harus hati-hati dan cermat dalam melaksanakan proses

baik administrasi maupun pelaksanaannya. .

113

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian maka penulis dapat mengemukakan

saran-saran sebagai berikut :

1. Kepada instansi yang memerlukan tanah dan pelaksana pengadaan tanah

harus lebih memikirkan mengenai tanah pengganti sebagai ganti rugi tanah

instansi dikarenakan tanah instansi tersebut juga memerlukan tanah

pengganti untuk lahan yang telah terkena proyek.

2. Terhadap instansi yang tanahnya terkena proyek hendaknya mengikuti

peraturan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan Untuk Kepetingan Umum, bahwa mengenai ganti rugi

tanah instansi diberikan ganti rugi berupa tanah pengganti jadi tidak

membutuhkan waktu lama untuk proses ganti ruginya.

114

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdurahman, 1994. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk

Kepentingan Umum, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti.

Ali, Chaidir, 1985. Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria, Bandung:

Bina Cipta, Jilid III

Ahmad, Rubaie, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.

Malang: Bayumedia.

Amirudin, dkk. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:

RajaGrafindo Persada.

Ashshofa, Burhan. 2013. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Hanitijo, 1990. Metodologi penelitian hukum dan jurimetri,Jakarta : Ghalia

Indonesia.

Harsono, Boedi. 2003. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-

undang Pokok Agraria. Jakarta: Djambatan.

Iskandar, Syah, 2015. Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan

Umum. Permata Aksara, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud.2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Moleong. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Resdakarya.

Salindeho, John. 1988. Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua

Jakarta: Sinar Grafika.

Sitorus, Limbong, dkk. 2004. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.

Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia

Soejono, Soekanto, 1982. Sosiologi hukum dalam masyarakat, Jakarta : Rajawali

Soekanto, 2010. Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit : UI Press, Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit

Ghalia Indonesia.

115

Sukanto, Soerjono. 1985. Bahan bacaan perspektif teoritis dalam sosiologi

hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sumardjono, Maria S.W. 2007. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan

Implementasi, Edisi Revisi, Jakarta: Buku Kompas.

Yamin Muhammad, 2011. Pencabutan Hak, Pembebasan dan Pengadaan Tanah,

Bandung: Penerbit Mandar Maju.

Yamin, Muhammad dan Abdul Rahim Lubis. 2008. Hukum Pendaftaran Tanah.

Bandung: Mandar Maju

Jurnal :

Alam, Wahyu Candra. 2010. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Kurang Dari Satu Hektar dan Penetapan Ganti Kerugiannya (Studi Kasus

Pelebaran Jalan Gatot Subroto Di Kota Tangerang). Tesis Universitas

Diponegoro.

Badeoda. Yosef B. Pemanfaatan Aset Tanah Milik Instansi Pemerintah. Jurnal

Keadilan Vol. 6, No. 1, Tahun 2012. Tersedia di

http://digilib.mercubuana.ac.id [diakses 26-2-2017]

Cahyani, Dian. 2015. Diferensiasi Pelaksanaan Pembebasan Dan Pencabutan Hak

Atas Tanah Di Indonesia. Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2

Juli-Desember 2015. Indonesia: Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lasut, Roy Frike. 2013. Pelaksanaan Bentuk Ganti Rugi Atas Tanah Menurut UU

No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentigan Umum.

Lex et socuetatis, Vol. I/No.4/Agustus/2013. Tersedia di

http://ejournal.unsrat.ac.id [diakses 26-2-2017 ]

Suhadi, 2016. Pembangunan Hukum Tanah Nasional Berdasarkan Konsep Negara

Hukum Pancasila. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Vol XXIII No. 1, Mei 2016 [diakses 24-08-2017]

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-undang No 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah

Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Untuk

Kepentingan Pembangunan Bagi Kepentingan Umum

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

116

Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas

Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk

Kepentingan Umum

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5

Tahun 2012 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah

Internet :

https://www.jurnalhukum.com/tanah-hak-pengelolaan/

https://forbaginfo.wordpress.com/2010/09/16/pelepasan-hak-atas-tanah-dan-

bangunan-milik-pemerintah-daerah/

https://materimahasiswahukumindonesia.blogspot.co.id/2015/01/pengertian-hak-

atas-tanah.html

http://jateng.tribunnews.com/2016/11/06/suharsono-pesimistis-underpass-

jatingaleh-selesai-akhir-2016