Gadis Penjaja Tikar
-
Upload
roismansyah -
Category
Documents
-
view
250 -
download
9
description
Transcript of Gadis Penjaja Tikar
Gadis Penjaja Tikar
Suasana Kebun Raya Bogor dipenuhi dengan pengunjung. Laki-laki, perempuan, tua maupun muda
semuanya ada disana. Saat itu adalah hari libur panjang sekolah sehingga banyak pengunjung yang
pergi liburan. Mereka ingin menikmati suasana malam dan menghilangkan kejenuhan.
Seorang anak kecil tiba-tiba datang. Dengan pakaian sederhana, ia menjajakan tikar dari plastik
kepada para pengunjung ke pengunjung lain, ia terus menawarkan tikarnya. “Pak, mau sewa
tikar?”katanya pada Pak Umar. “Berapa harga sewa satu lembar tikarnya?”tanya Pak Umar. “Lima
ribu rupiah, Pak!”jawabnya dengan suara lembut. “Bagaimana kalau Bapak ambil tiga puluh ribu
rupiah?”tanya Pak Umar lagi. Gadis itu diam sejenak. Kemudian ia pun berkata,”Baiklah kalau
begitu. Silahkan pilih, Pak!”
Pak Umar memilih tikar plastik yang akana disewanya. Dalam hati Pak Umar ada rasa tak tega
terhadap gadis itu. Gadis berusia delapan tahun harus bekerja keras untuk mendapatkan uang.
“Kamu sekolah?”tanya Pak Umar. “Sekolah, Pak! Saya kelas empat SD. “jawabnya.”Mengapa kamu
menyewakan tikar plastik ini?”tanya Pak Umar lagi. “Saya harus membantu ibu saya. “jawab gadis
itu. “Kemana ayahmu?”Pak Umar bertanya lagi. “Bapak telah lama meninggal dunia. Untuk itu, saya
harus membantu ibu untuk mencari uang,”jawab gadis itu pelan. Mendengar cerita gadis tersebut,
Pak Umar merasa terharu.
Pak Umar merasa kasihan terhadap anak tersebut. Diambilnya beberapa lembar uang dua puluh
ribuan lalu diberikannya kepada gadis kecil itu. “Pak maaf, saya tidak boleh menerima uang jika
tidak bekerja, “katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Mengapa?”tanya Pak Umar heran.
“Kata ibu, saya boleh menerima uang kalau memamg hasil bekerja. Saya tidak boleh meminta belas
kasihan dari orang. “Mendengar perkataan gadis itu, Pak Umar makin terharu. Ia tahu kalau ibu
gadis kecil itu seorang yang berbudi luhur. “Begini saja, kalau memang harus bekerja, sekarang
bantu Bapak beserta keluarga. Tolong kamu bawakan rantang ini. Kita akan makan bersama di
bawah pohon yang rindang itu!” kata Pak Umar ramah. Pak Umar dan keluarga menuju ke bawah
pohon yang rindang tersebut. Mereka pun menggelar tikar plastik yang baru saja disewanya. Gadis
kecil itu pun diajak untuk makan bersama
Kisah Seorang Penjual Koran
Di ufuk timur, matahari belum tampak. Udara pada pagi hari terasa dingin. Alam pun masih
diselimuti embun pagi. Seorang anak mengayuh sepedanya di tengah jalan yang masih lengang.
Siapakah gerangan anak itu? Ia adalah seorang penjual Koran, yang bernama Doni.
Menjelang pukul lima pagi, ia telah sampai di tempat agen koran dari beberapa penerbit. “Ambil
berapa Doni?” tanya Bang Karno. “Biasa saja.”jawab Doni. Bang Karno mengambil sejumlah koran
dan majalah yang biasa dibawa Doni untuk langganannya. Setelah selesai, ia pun berangkat.
Ia mendatangi pelanggan-pelanggan setianya. Dari satu rumah ke rumah lainnya. Begitulah
pekerjaan Doni setiap harinya. Menyampaikan koran kepada para pelanggannya. Semua itu
dikerjakannya dengan gembira, ikhlas dan rasa penuh tanggung jawab.
Ketika Doni sedang mengacu sepedanya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah benda. Benda
tersebut adalah sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Doni jadi gemetaran. Benda apakah itu?
Ia ragu-ragu dan merasa ketakutan karena akhir-akhir ini sering terjadi peledakan bom dimana-
mana. Doni khawatir benda itu adalah bungkusan bom. Namun pada akhirnya, ia mencoba
membuka bungkusan tersebut. Tampak di dalam bungkusan itu terdapat sebuah kardus. “Wah, apa
isinya ini?’’tanyanya dalam hati. Doni segera membuka bungkusan dengan hati-hati. Alangkah
terkejutnya ia, karena di dalamnya terdapat kalung emas dan perhiasan lainnya. “Wah apa
ini?”tanyanya dalam hati. “Milik siapa, ya?” Doni membolak-balik cincin dan kalung yang ada di
dalam kardus. Ia makin terperanjat lagi karena ada kartu kredit di dalamnya. “Lho,…ini kan milik Pak
Alif. Kasihan sekali Pak Alif , rupanya ia telah kecurian.”gumamnya dalam hati.
Apa yang diperkirakan Doni itu memamg benar. Rumah Pak Alif telah kemasukan maling tadi
malam. Karena pencuri tersebut terburu-buru, bungkusan perhiasan yang telah dikumpulkannya
terjatuh. Doni dengan segera memberitahukan Pak Alif. Ia menceritakan apa yang terjadi dan ia
temukan. Betapa senangnya Pak Alif karena perhiasan milik istrinya telah kembali. Ia sangat
bersyukur, perhiasan itu jatuh ke tangan orang yang jujur. Sebagai ucapan terima kasihnya, Pak Alif
memberikan modal kepada Doni untuk membuka kios di rumahnya. Kini Doni tidak lagi harus
mengayuh sepedanya untuk menjajakan koran. Ia cukup menunggu pembeli datang untuk
berbelanja. Sedangkan untuk mengirim koran dan majalah kepada pelanggannya, Doni digantikan
oleh saudaranya yang kebetulan belum mempunyai pekerjaan. Itulah akhir dari sebuah kejujuran
yang akan mendatangkan kebahagiaan di kehidupan kelak.
Kisah Anak Penjual Kue
Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, "Om, beli kue Om, masih hangat dan enak rasanya!"
"Tidak Dik, saya mau makan nasi saja," kata si pemuda menolak.Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, "Tidak Dik, saya sudah kenyang."Sambil terus mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa dibuat oleh-oleh pulang, Om."
Dompet yang belum sempat dimasukkan ke kantong pun dibukanya kembali. Dikeluarkannya dua lembar ribuan dan ia mengangsurkan ke anak penjual kue. "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."Dengan senang hati diterimanya uang itu. Lalu, dia bergegas ke luar restoran, dan memberikan uang pemberian tadi kepada pengemis yang berada di depan restoran.Si pemuda memperhatikan dengan seksama. Dia merasa heran dan sedikit tersinggung. Ia langsung menegur, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang. Kenapa setelah uang ada di tanganmu, malah kamu berikan ke si pengemis itu?"
"Om, saya mohon maaf. Jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan atas jerih payah sendiri, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh ibu saya sendiri dan ibu pasti kecewa, marah, dan sedih, jika saya menerima uang dari Om bukan hasil dari menjual kue. Tadi Om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu."Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.
Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih Dik, atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu."Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih, Om. Ibu saya pasti akan gembira sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."Ini sebuah ilustrasi tentang sikap perjuangan hidup yang POSITIF dan TERHORMAT. Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain. Tapi dengan bekerja keras, jujur, dan membanting tulang.
Jika setiap manusia mau melatih dan mengembangkan kekayaan mental di dalam menjalani kehidupan ini, lambat atau cepat kekayaan mental yang telah kita miliki itu akan mengkristal menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi embrio dari kesuksesan sejati yang mampu kita ukir dengan gemilang.