FUNGSI PARTAI POLITIK SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN …/Fungsi... · Pendidikan Program Studi...
Transcript of FUNGSI PARTAI POLITIK SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN …/Fungsi... · Pendidikan Program Studi...
1
FUNGSI PARTAI POLITIK SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN POLITIK
UNTUK MENYIKAPI GOLONGAN PUTIH (Absentia Voter) DI
TEMPAT PEMUNGUTAN SUARA XII SONDAKAN PADA
PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2009
(Studi pada Dewan Pengurus Daerah
Partai Keadilan Sejahtera
Kota Surakata)
Oleh :
WAHYU JATMIKO
NIM : K6405040
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi di dunia. Pemilihan
umum (pemilu) menjadi indikator sebuah negara demokratis. Pemilu merupakan
pesta akbar bagi rakyat Indonesia untuk menentukan masa depan Indonesia.
Penyelenggaraan pemilu di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, bahwa ”Pemilihan
umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan
rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Di Indonesia terdapat beberapa macam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu)
salah satunya yaitu Pemilu legislatif untuk memilih wakil-wakil rakyat baik
ditingkat daerah maupun pusat.
Pemilu merupakan sebuah sarana untuk mengisi jabatan-jabatan politik
dalam pemerintahan berdasarkan pada pilihan warga negara yang sudah
memenuhi syarat. Syarat warga negara yang mempunyai hak pilih diatur dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Pasal 19 menyatakan bahwa ”Warga Negara Indonesia yang pada hari
pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau
sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih”. Hal tersebut berarti bahwa semua
warga negara yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih mempunyai hak untuk
memilih dalam hal ini memilih para calon legislatif (caleg) untuk mengisi jabatan
pada lembaga legislatif. Hal tersebut berarti juga rakyat terlibat secara langsung
dalam menciptakan perubahan politik, khususnya menciptakan sirkulasi elite,
melalui rekrutmen elite politik baru melalui mekanisme pemilu. Dari segi itulah
terlihat sangat jelas pentingnya partisipasi politik dalam pemilu, yang merupakan
salah satu perwujudan dari partisipasi politik dalam demokrasi.
3
Pemilu dapat dijadikan sebagai salah satu parameter dari sebuah negara
yang demokratis. Hal tersebut berarti negara atau pemerintahan yang demokratis
tidak terlepas dari kualitas dari penyelenggraaan pemilu. Seperti yang
diungkapkan oleh Kenneth Janda et al (1992 : 239) bahwa :
The heart of democratic government lies the electoral process. Elections are important to democracy for their potential to institusionalize mass participation in government according to the three normative principles for procedural democracy discussed in Chapter 2. Electoral rules specify (1) Who is allowed to vote, (2) How much each person’s vote counts, and (3) How many votes are needed to win.
Menurut Kenneth Janda seperti diatas, inti dari sebuah pemerintahan
yang demokratis terletak pada proses pemilu. Pemilu adalah yang terpenting
dalam demokrasinya sebuah negara, terletak pada partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan sesuai dengan tiga prinsip dasar piagam prosedur demokrasi Bab 2
tentang peraturan-peraturan pemilu disebutkan yang (1) Siapa yang diijinkan
untuk memilih, (2) Berapa banyak masing-masing pemilih memberikan suaranya,
(3) Berapa banyak jumlah suara yang diperlukan sebagai pemenang. Hal tersebut
dapat diartikan bahwa partisipasi rakyat dalam proses pemilu sangat penting
sekali. Besar kecilnya partisipasi rakyat dalam pemungutan suara memang tidak
bisa dijadikan tolak ukur sah tidaknya pemilu, akan tetapi besar kecilnya
partisipasi rakyat dalam pemilu berpengaruh terhadap legitimasi politik yang
dihasilkan dalam pemilihan umum tersebut. Begitu juga partisipasi rakyat dalam
penyelenggaraan pemilu legislatif sangat penting sekali terhadap legitimasi politik
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh wakil-wakil rakyat karena salah satu fungsi
yang paling mendasar dalam pemilu yaitu memberi legitimasi politik atau
kekuasaan. Memberikan hak pilih dalam pemilu memang bukan sebuah
kewajiban, akan tetapi menggunakan hak pilih berarti seseorang telah ikut ambil
bagian dalam proses perubahan politik. Begitu juga dalam penggunaan hak pilih
dalam pemilu legislatif, seseorang yang tidak menggunakan hak pilihnya pada
saat pemungutan suara berarti seseorang tersebut tidak menggunakan sebuah
kesempatan dalam proses perubahan politik dalam hal ini perubahan elite wakil-
wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan.
4
Di Indonesia telah dilakukan pemilu sebanyak sepuluh kali mulai tahun
1955 sampai dengan tahun 2009. Dalam penyelenggaraan pemilu tersebut
diketahui bahwa angka partisipasi rakyat dalam menggunakan hak pilihnya dari
tahun-ketahun terus mengalami penurunan mulai pada tahun 1992, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1. Fenomena Golongan Putih dari Pemilu 1955 - 2004
Pemilu Terdaftar Suara sah Tidak hadir Angka AV (%)
Kenaikan
1955 43.104.464 37.785.229 5.319.165 12,34 1971 58.556.776 54.669.509 3.889267 6,67 (-)5,67
1977 69.871.092 63.998.344 5.872.267 8,40 (+)1,73
1982 82.134.195 75.126.306 7.007.889 9,61 (+)1,21
1987 93.737.633 85.869.816 7.867.817 8,39 (-)0,22
1992 107.565.697 97.789.534 9.776.163 9,05 (+)0,26
1997 124.740.987 112.991.150 11749.837 10,07 (+)1,02
1999 117.815.053 105.786.661 12.028.392 10,4 (+)0,34
2004 148.000.369 113.462414 34.537.955 23,34 (+)13,30
* Di dalam angka-angka ini yang dimaksudkan dengan Golput adalah para pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya ditambah dengan suara yang tidak sah.
Sumber: Asfar, M., Presiden Golput, JP Press, Surabaya, 2004:5.Asfar (2004:5)
Sedangkan hasil penghitungan perolehan suara partai politik pemilu
legislatif 2009 yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 sebagai berikut :
Tabel 2. Perolehan Suara Partai 10 Besar Hasil Pemilu Legislatif 2009 dari KPU.
No Nama Partai Politik Perolehan Suara 1. P. Demokrat 20,85% 2. GOLKAR 14,45% 3. PDIP 14,03% 4. PKS 7,88% 5. PAN 6,01% 6. PPP 5,32% 7. PKB 4,94% 8. GERINDRA 4,46% 9. HANURA 3,77% 10. PBB 1,79% Suara tidak memilih 29,01%
5
Suara tidak sah 16,75% Suara Sah Pemilu Legislatif 2009 104.099.785
Sumber : http://www.ylbhi.or.id · http://www.dishub-surakarta.co.cc/ ...
Hasil akhir penghitungan suara nasional yang dilakukan oleh KPU Pusat
pada pemilu legislatif tanggal 9 April 2009, jumlah golongan putih menunjukkan
peningkatan sejumlah ada 29,01% warga yang mempunyai hak pilih tidak
menggunakan hak pilihnya. Dan ini lebih besar dari partai peraih nomor 1 pemilu,
Partai Demokrat yang hanya meraih 20,85 %. Demikian pula suara tidak sah
mencapai 16,75% dibanding juara kedua Partai Golkar yang meraih 14,45% suara.
(Koran Target, http://korantarget.wordpress.com/2009/05/10/hasil-akhir-pemilu-
legislatif-2009-juara-1-tetap-golput-juara-3-suara-tidak-sah/, Diakses pada 10 Mei
2009).
Golongan putih merupakan bentuk sikap protes terhadap mekanisme atau
sistem politik yang sedang berjalan baik dengan cara tidak hadir ke TPS pada saat
dilakukannya pemungutan suara maupun pemilih yang hadir ke TPS tetapi tidak
menggunakan hak pilihnya dengan benar. Seperti yang diungkapkan oleh Asfar
(2004 : 11-12 ) konsep golput digunakan untuk merujuk pada fenomena berikut :
Pertama, Orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan suara sebagai aksi protes; Kedua, Orang yang menghadiri tempat pemilihan suara tetapi tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, dan; Ketiga, Orang yang menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan menusuk bagian putih dari kartu suara. Sementara konsep non-voting ditujukan pada perilaku tidak memilih karena tidak adanya motivasi untuk memilih. Namun kedua kedua istilah tersebut menunjuk pada hasil perbuatan yang sama, yakni hak pilihnya tidak digunakan dengan benar.
Menjelang pemilu tahun 1977 timbul suatu gerakan di antara beberapa
kelompok generasi muda yang dimotori oleh Arief Budiman, terutama dikalangan
mahasiswa untuk meboikot pemilu sebagai bentuk aksi protes terhadap dominasi
politik Golkar yang didukung oleh militer dan pemerintah yang dirasakan tidak
adil. Istilah golput kemudian populer dilekatkan pada mereka yang tidak
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu baik karena kesengajaan maupun tidak.
Seiring dengan perkembangan demokrasi dan kehidupan politik di Indonesia dari
tahun-ketahun jumlah golput dalam pemilu terus mengalami peningkatan. Bagi
negara-negara yang tingkat kehadirannya pemilihnya cukup tinggi, mungkin tidak
6
begitu merisaukan persoalan rendahnya kehadiran pemilih dalam pemilu. Namun,
bagi negara-negara yang tingkat ketidak hadiran pemilih cukup tinggi, sebagian
elite politik, pengamat politik, maupun pemerintah yang sedang berkuasa
menganggap cukup mengkhawatirkan seperti halnya di Indonesia pada tahun 2009
mencapai angka 45,76%.
Meningkatnya jumlah golput pada pemilu legislatif dapat disebabkan
karena tingginya tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik dan
anggota dewan menyebabkan sikap antipati pada sebagian kelompok terhadap
partai politik. Tingginya tingkat ketidak percayaan masyarakat terhadap partai
politik dan anggota dewan tidak terlepas dari penilaian masyarakat terhadap
anggota dewan baik secara perorangan maupun kelembagaan tidak pernah
menunjukkan kinerjanya sebagai lembaga perwakilan rakyat secara baik. Hasil
pemilu yang dilaksanakan pada periode lima tahun sebelumnya sangat
berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat pada pemilu periode lima tahun
mendatang. Meningkatnya angka golput dalam setiap pemilu menyebabkan
banyak kekhawatiran terutama bagi pemerintah yang sedang berkuasa.
Kekhawatiran tersebut sangat beralasan, apabila ditinjau secara teoritis
ketidakhadiran pemilih dimaknakan sebagai indikator lemahnya legitimasi rezim
yang sedang berkuasa. Sehingga suara golput bisa dimaknakan sebagai
ketidakpercayaan pada pemerintahan yang sedang berjalan. Seperti halnya pada
masa pemerintahan untuk meminimalisir meningkatnya angka golput pada pemilu
2004 Presiden Megawati berulang kali menyerukan rakyatnya agar menggunakan
hak suaranya.
Tinggi rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilu tidak
terlepas dari pelaksanaan pendidikan politik masyarakat tersebut. Pendidikan dan
politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap negara, baik
negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian
yang terpisah, yang satu dengan yang lain tidak memiliki hubungan apa-apa.
Padahal, keduanya saling berhubungan yaitu saling bahu-membahu dalam proses
pembentukan karakteristik masyarakat disuatu negara. Lembaga-lembaga dan
proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik
7
masyarakat di negara tersebut. Salah satu lembaga pendidikan yang sangat penting
sekali dalam proses pendidikan politik masyarakat yaitu partai politik. Untuk
meminimalisir jumlah golput pada pemilu berikutnya selain pemerintah dan KPU
selaku penyelenggara pemilu di Indonesia, partai politik juga mempunyai peran
yang sangat penting dalam hal tersebut. Hal tersebut sangat berkaitan dengan
peran partai politik dalam melaksanakan fungsinya sebagai sarana pendidikan
politik bagi anggota maupun masyarakat. Pendidikan politik bertujuan untuk
membangun kesadaran politik masyarakat. Sehingga apabila dikaitkan dengan
golput, maka bahwa pendidikan politik mempunyai tujuan yaitu membangun
kesadaran dan partisipasi politik rakyat, sehingga masyarakat akan lebih mengerti
arti pentingnya partisipasi politik rakyat dalam pemberian suara dalam pemilu dan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam rangka
membangun kesadaran politik masyarakat, pendidikan politik tidak hanya
ditujukan kepada masyarakat yang masih terbelakang pengetahuan politiknya,
akan tetapi juga ditujukan kepada masyarakat yang sudah ”melek” politik. Selain
itu pendidikan politik juga harus diberikan kepada generasi muda yang menjadi
penerus memperjuangkan bangsa ini. Pendidikan politik harus dilaksanakan
secara sistematis dan intensif.
Salah satu partai yang secara resmi lolos menjadi peserta pemilu tahun
2009 adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai Keadilan Sejahtera
merupakan penggabungan dengan Partai Keadilan (PK), yaitu partai berbasis
Islam dalam pemilu 1999 yang tidak memenuhi electoral threshold sehingga
harus berganti nama. Perolehan PKS sebesar 7,88% dalam pemilu legislatif 2009
secara nasional, bila ditelisik perolehan suara PKS adalah karena politik
pencitraan yang sangat bagus di hadapan publik dan sistem pengorganisasian
partai yang rapi. Di tengah apatisme publik terhadap partai politik, PKS tampil
dengan selogan sebagai ”partai yang bersih”. PKS berusaha menumbuhkan
kepercayaan publik bahwa berpolitik tidak harus ”kotor”. Selain itu, kader-kader
PKS secara aktif juga berusaha masuk dalam berbagai lini masyarakat. Kader-
kader PKS aktif melakukan rekruitmen anggota dan berbagai aktifitas simpatik
kemasyarakatan yang diharapkan dapat meningkatkan dukungan kepada mereka.
8
Nama PKS sudah tidak asing lagi dalam mengisi dunia perpolitikan di Indonesia.
Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai da’wah penegak keadilan dan
kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa. Partai Keadilan
Sejahtera juga mempunyai visi khusus yaitu sebagai partai berpengaruh baik
secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat
Indonesia yang madani. PKS sebagai partai baru peserta pemilu mampu menarik
perhatian ribuan masa di berbagai daerah di Indonesia. PKS mempunyai peran
yang sangat penting serkali dalam mewujudkan kesadaran dan partisipasi politik
masyarakat. Melalui kursus-kursus pendidikan politik yang dilakukan yaitu
menanamkan ideologi dan loyalitas kepada negara dan partai. Pendidikan politik
berperan mengembangkan serta memperkuat sikap politik di kalangan warga
masyarakat atau melatih warga masyarakat menjalankan peran-peran politik
tertentu. Dengan pendidikan politik diharapkan setiap orang menjadi warga
masyarakat yang sadar politik, yaitu sadar akan hak dan kewajiban dalam
kehidupan bersama.
PKS salah satu partai yang anggota dewan dan kadernya terdapat
diberbagai daerah di Indonesia salah satunya di wilayah Surakarta yang jumlah
kadernya terhitung banyak, hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh karena
mayoritas penduduknya beragama Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Ignas
Kleden dalam Kalla et al (2004 : 17) menyatakan bahwa “Partai yang bernafaskan
keagamaan atau memakai atribut keagamaan lebih mudah menarik orang karena
dorongan identifikasi dengan partainya”. Kemampuan Partai Keadilan Sejahtera
untuk melahirkan massa dan pendukung yang solid tentunya tidak terlepas dari
pendidikan politik bagi anggotanya. Sebagai partai kader, Partai Keadilan
Sejahtera mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap proses pendidikan
politik baik untuk anggota atau kadernya maupun bagi masyarakat. Kegiatan
berupa program-program pendidikan dan pelatihan politik yang mengarah pada
upaya untuk meningkatkan kualitas kader tidak hanya dibidang politik akan tetapi
juga meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi bagian dari
aktivitas rutin partai.
9
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka terdapat
perumusan masalah sebagai berikut :
1. Mengapa Golput (Absentia Voter) dalam setiap penyelenggaraan Pemilu
selalu mengalami peningkatan jumlahnya ?
2. Bagaimana DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di wilayah Surakarta
menyikapi Golput (Absentia Voter) dalam penyelenggaraan Pemilihan umum
yang setiap tahun mengalami peningkatan jumlahnya ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai suatu tujuan yang ingin dicapai, antara lain :
1. Untuk mengetahui penyebab meningkatnya jumlah Golongan putih (Absentia
Voter) pada pemilihan umum legislatif tahun 2009.
2. Untuk mengetahui pendidikan politik DPD Partai Keadilan Sejahtera di Kota
Surakarta untuk menyikapi Golput (Absentia Voter).
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat menghasilkan informasi
yang rinci, akurat dan aktual yang dapat memberikan manfaat dalam menjawab
permasalahan yang sedang diteliti. Selain itu diharapkan mempunyai manfaat
teoritis untuk mengembangkan ilmu lebih lanjut ataupun dalam bentuk kegunaan
praktis yang menyangkut pemecahan-pemecahan masalah yang aktual. Adapun
manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan
khususnya bidang studi yang sesuai dengan penelitian ini.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pembanding bagi siapa saja
yang ingin mengkaji lebih dalam lagi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pemerintah
10
Diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah tentang
pentingnya pendidikan politik terhadap masyarakat terutama yang sudah
memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam pemilu.
b. Bagi masyarakat.
Diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti
pentingnya partisipasi mereka dalam menggunakan hak suaranya dalam
pemilu yang akan datang.
c. Bagi partai politik
Diharapkan dapat memberikan masukan kepada partai politik di Indonesia,
partai politik tidak hanya sebagai sebuah alat memperoleh kekuasaan saja
tetapi juga wajib melaksanakan fungsinya dengan baik.
d. Bagi penulis
Dapat dijadikan sebagai modal dalam penelitian tentang fungsi partai politik
sebagai sarana pendidikan politik masyarakat dalam menyikapi
meningkatnya jumlah Golput (Absentia Voter) dalam pemilu selanjutnya.
11
BAB II
LANDASAN TORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Tentang Partai Politik
a. Pengertian Partai Politik
Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik,
menyatakan bahwa :
Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta melahirkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Miriam Budiardjo (2008 : 403) bahwa “Partai politik adalah
suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-
nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara
konstitusional untuk melaksanakan programnya”.
Mark N. Hagopian yang dikutip Ichlasul Amal (1988 : xi) memberikan
definisi “Partai politik adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk
mempengaruhi bentuk dan karakter kebijakan publik dalam kerangka prinsip-
prinsip dan kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara
langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan”.
Menurut Nurul Aini (2006 : 121) memberikan pengertian “Partai politik
merupakan lembaga untuk mengemukakan kepentingan, baik secara sosial
maupun ekonomi, moril maupun materiil”. Cara mengemukakan keinginan rakyat
melalui parpol ini mengandung pengertian adanya demokrasi.
Menurut Carl J. Friedrich yang dikutip dalam bukunya Ng. Philipus dan
Nurul Aini (2006 : 121-122) “Partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan
penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya, dan berdasarkan
12
penguasaan ini ia memberikan manfaat yang bersifat idiil maupun materiil kepada
anggotanya”.
Menurut Giovani Sartori dalam Miriam Budiardjo (2008 : 404-405)
“Partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum
itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan
publik (A party is any political group that present at elections, and is capable of
placing through elections candidates for public office).”
Menurut Ichlasul Amal (1988 : xi) memberikan definisi yang modern,
“Partai politik dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok yang mengajukan
calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat
mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah”.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Kenneth Janda et all (1992 :
266-267) yaitu ” A political party is an organization that sponsors candidates for
political office under the organization’s name”. Pendapat tersebut dapat diartikan
bahwa partai politik adalah sebuah organisasi yang mendukung calon-calonnya
memperoleh jabatan politik melalui nama organisasinya (partai). Partai politik
mengajukan nama-nama calon untuk menjadi wakil rakyat untuk dipilih oleh
rakyat untuk menduduki jabatan publik (lembaga legislatif) pada saat pemilihan
umum sehingga dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Menurut A. Mukthie Fadjar (2008 : 15) Pengertian modern “Partai
politik adalah suatau kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik
untuk dipilih oleh rakyat, sehingga dapat mengatasi atau mempengaruhi tindakan-
tindakan pemerintah”.
Sedangkan menurut Saeful Muhtadi (2008 : 165) bahwa :
1) Partai adalah juga wadah berkumpulnya para pemimpin masyarakat. Sebab partai idealnya selalu lahir dari jantung kehidupan masyarakat, atas dasar kebutuhan politik para pengikutnya, dan bukan karena cita-cita politik personal ataupun sekelompok orang.
2) Partai adalah juru bicara massa pendukungnya, untuk mampu berdialog dengan massa dari partai-partai yang lainnya. Sebab partai merupakan salah satu ciri demokrasi, dan demokrasi sendiri mensyaratkan adanya kompromi.
13
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli ataupun sarjana tersebut, dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang
mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama serta mengajukan calon-
calon yang dipilih rakyat dalam pemilu untuk menduduki atau mempertahankan
jabatan publik sehingga dapat mengontrol dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan
pemerintah. Kehidupan masyarakat yang demokratis, modern, dan kompleks
memunculkan banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat
atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas apabila
tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang
senada. Salah satu sarana dan alat untuk menyatukan gagasan dan cita-cita
bersama tersebut adalah melalui partai politik. Partai politik merupakan sarana
partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk
menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab.
b. Jenis Partai Politik
Ichlasul Amal (1988 : xii-xiii) mengklasifikasikan partai politik menjadi
5 (lima) jenis berdasarkan tingkat komitmen partai terhadap ideologi dan
kepentingan, yakni :
1. Partai Proto, adalah tipe awal parpol sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti dewasa ini yang muncul di Eropa Barat sekitar abad tegah sampai akhir abab 19. Ciri paling menonjol partai porto adalah perbedaan antara kelompok anggota (ins) dengan non-anggota (outs). Masih belum nampak sebagai parpol modern, tetapi hanya merupakan faksi-faksi yang dibentuk berdasarkan pengelompokkan ideologi dalam masyarakat.
2. Partai Kader, merupakan perkembangan lebih lanjut partai proto, muncul sebelum diterapkan hak pilih secara luas bagi rakyat, sehingga sangat tergantung masyarakat kelas menengah keatas yang memiliki hak pilih, keanggotaan yang terbatas, kepemimpinan, serta pemberi dana. Tingkat ideologi dan organisasi masih rendah karena aktivitasnya jarang didasarkan pada program dan organisasi yang kuat.
3. Partai Massa, muncul pada saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap sebagai sebagai suatu respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut.
4. Partai Diktatorial, merupakan sub-tipe dari partai massa, tetapi memiliki ideologi yang lebih kaku dan radikal.
14
5. Partai Catch-all, merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Catch-all diartikan sebagai “menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya”.
Miriam Budiardjo (1982 : 166) partai politik berdasarkan segi komposisi
dan fungsi keanggotaannya dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Partai Massa Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung di bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur.
2. Partai Kader Partai kader mementingkan kekuatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap anggotanya dan memecat anggotanya yang menyeleweng dari garis partai yang telah ditetapkan. Menurut Haryanto (1982 : 97) apabila dilihat dari segi sifat dan
orientasinya partai politik dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Partai Lindung (Patronage Party) Partai lindung adalah yang biasanya aktif pada saat menjelang dilangsungkannya pemilu saja. Adapun yang menjadi tujuannya berusaha memenangkan pemilu, yang berarti pula berusaha mendudukan anggota-anggota partai pada jabatan-jabatan politik maupun pemerintahan yang memang sudah ditargetkan. Partai lindung ini biasanya kurang mempunyai disiplin yang kuat dari anggotanya.
2. Partai Ideologi atau Asas (Programmatic Party) Partai ideologi atau partai asas pada umumnya mempunyai disiplin yang kuat dan mengikat diantara anggota-anggotanya. Pedoman partai digariskan dengan tegas dan dilaksanakan dengan ketat pula. Para warga negara yang akan masuk menjadi anggota partai ini harus melalui penyaringan terlebih dahulu. Demikian diadakan seleksi ketat bagi anggota-anggota partai yang akan dilibatkan menjadi pemimpin. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
partai kader mempunyai keunggulan dibangdingkan dengan partai massa yaitu
partai kader dalam hal keoorganisasian lebih sistematis dan lebih matang
dibandingkan dengan partai massa. Partai kader mempunyai keunggulan dalam
15
hal peningkatan kualitas koorganisasian salah satunya yaitu mengenai rekrutmen
anggota dan pendidikan politiknya.
c. Fungsi Partai Politik
Partai politik merupakan organisasi politik tidak hanya sebuah sarana
untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan atau jabatan publik saja, akan
tetapi lebih luas lagi seperti yang dikemukana oleh Gabriel Almond dan Coleman
yang dalam bukunya Ng. Philipus dan Nurul Aini (2006 : 122-123) dalam setiap
sistem politik, partai politik menjalankan fungsi input, yaitu :
1) Sosialisasi dan rekruitmen politik;
2) agregasi kepentingan;
3) artikulasi kepentingan;
4) komunikasi politik.
Menurut David Beetham dan Kevin Boyle (2004 : 31) partai politik
mempunyai fungsi yaitu :
1) Bagi elektorat (para pemilih)
Partai politik membantu menyederhanakan dan memfokuskan pilihan
mereka terhadap kedudukan-kedudukan politik dan program-program
kebijakan yang pantas dipilih.
2) Bagi pemerintah
Partai politik menyediakan pengikut atau pendukung politis yang cukup
stabil yang akan memungkinkan mereka melaksanakan program-
programnya setelah mereka terpilih.
3) Bagi pihak-pihak yang mempunyai komitmen politis yang lebih kuat
Partai politik memberikan kesempatan untuk terlibat dalam masalah-
masalah publik; Partai politik juga dapat menjadi sarana bagi pendidikan
politik serta saluran untuk mempengaruhi kebijakan publik.
Menurut Sukarna (1981 : 90) Adapun beberapa fungsi partai politik ialah
sebagai berikut :
1) Pendidikan politik ( political education).
2) Sosialisasi politik (political socialization).
16
3) Pemilihan pemimpin-pemimpin politik (political selection).
4) Pemaduan pemikiran-pemikiran politik (political aggregation).
5) Memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat (interest
articulation).
6) Melakukan tata-hubungan politik (political communication).
7) Mengeritik rezime yang memerintah (criticism of regime).
8) Membina opini masyarakat (stimulating public opinion).
9) Mengusulkan calon (proposing candidates).
10) Memilih pejabat-pejabat yang akan diangkat (choosing appointive
officers).
11) Bertanggung jawab atas pemerintahan (responsibility for government).
12) Menyelesaikan perselisihan (conflict management).
13) Mempersatukan pemerintahan (unifying the government).
Menurut Miriam Budiardjo (2008 : 409) Fungsi partai politik di negara
demokrasi adalah :
1) Sebagai sarana komunikasi politik.
2) Sebagai sarana sosialisasi politik
3) Sebagai sarana rekrutmen politik
4) Sebagai sarana pengatur konflik (Conflict Management)
Sedangkan menurut Gaffar dan Amal yang dikutip dalam Mukthie Fadjar
(2008 : 21) partai politik mempunyai peran, yaitu :
1) Dalam proses pendidikan politik;
2) Sebagai sumber rekruitmen para pemimpin bangsa guna mengisi
berbagai macam posisi dalam kehidupan bernegara;
3) Sebagai lembaga yang berusaha mewakili kepentingan masyarakat, dan
4) Sebagai penghubung antara penguasa dan rakyat.
Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Pasal
11 Ayat (1), Partai politik berfungsi sebagai sarana :
17
1) Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi
Warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
2) Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
3) Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam
merumuskan dan menetapkan kebijaksanaan Negara;
4) Partisipasi politik Warga Negara Indoneisa; dan
5) Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan
gender.
Sedangkan menurut Amal (1988 : xi) menyatakan sebagai berikut :
Sebagai organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan secara maksimal kepemimpinan politik secara sah (legitimate) dan damai.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas mengenai fungsi partai politik
dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu fungsi partai politik dalam rangka
untuk membangun kesadaran dan patisipasi politik masyarakat yaitu terletak
fungsi partai politik sebagai sarana pendidikan politik, dengan dilaksanakannya
pendidikan politik sehingga masyarakat memiliki kesadaran sehingga mau
melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, dalam hal ini salah satunya yaitu menggunakan hak pilihnya dalam
pemilu.
d. Hak dan Kewajiban Partai Politik
Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, partai
politik mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Partai politik
berhak :
1) Memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara;
2) Mengatur dan mengurusi rumah tangga organisasi secara mandiri;
18
3) Memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar Partai
Politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
4) Ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
5) Membentuk fraksi ditingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota sesuia dengan
peraturan perundang-undangan;
6) Mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
7) Mengusulkan pergantian antar waktu anggotaya di Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
8) Mengusulkan pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
9) Mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon
gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta
calon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
10) Membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik; dan
11) Memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Selain partai politik mempunyai hak, ia juga mempunyai kewajiban yang
harus dilaksanakan. Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik, partai politik berkewajiban :
19
1) Mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan;
2) Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatua Republik
Indonesia;
3) Berpartisipasi dalam pembangunan nasional;
4) Menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi
manusia;
5) Melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik
anggotanya;
6) Menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum;
7) Melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban anggota;
8) Membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan
sumbangan yang diterima, serta terbuka kepada masyarakat;
9) Menyampaikan laporan pertanggung jawaban penerimaan dan
pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah secara berkala 1(satu) tahun sekali kepada Pemerintah
setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
10) Memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum; dan
11) Mensosialisasikan program Partai Politik kepada masyarakat.
Sesuai dengan UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menyatakan
bahwa Partai politik selain mempunyai hak tetapi juga mempunyai kewajiban,
salah satu kewajiban tersebut adalah melakukan pendidikan politik dan
menyalurkan aspirasi politik masyarakat”.
2. Tinjauan Tentang Pendidikan Politik
a. Pengertian Pendidikan Politik
Menurut Solly Lubis (1989 : 81) pendidikan politik ditinjau dari aspek
konstusional dan relevansinya terhadap pembangunan nasional yaitu ”pendidikan
politik adalah merupakan subsistem atau komponen atau bagian dari kehidupan
20
politik, dan jika dilihat dari segi tugas kepartaian maka pendidikan politik itu
adalah salah satu dari tugas-tugas Partai Politik (Parpol)”.
Menurut David Beetham dan Kevin Boyle (2004 : 31) mengatakan
“partai politik juga dapat menjadi sarana bagi pendidikan politik serta saluran
untuk mempengaruhi kebijakan publik”. Hal tersebut juga banyak diungkapkan
oleh para ahli mengenai fungsi partai politik sebagai sarana pendidikan politik.
Kesadaran dan partisipasi politik merupakan dua hal yang dihasilkan melalui
pendidikan politik.
Menurut R. Hajar yang dikutip oleh Kartini Kartono (1989 : 14)
“Pendidikan politik ialah usaha membentuk manusia menjadi partisipan yang
bertanggung jawab dalam politik”.
Menurut Kartini Kartono (1989 : 14) Pendidikan politik ialah :
1) Bentuk pendidikan orang dewasa dengan jalan menyiapkan kader-kader untuk pertarungan politik, agar menang dalam perjuangan politik.
2) Pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara etis atau moril dalam mencapai tujuan-tujuan politik.
Menurut Abu Ridho (2002 : 7) bahwa “pendidikan politik atau tarbiyah
siyasiyah adalah jagat siyasiyah tarbiyah atau pendidikan politik yang diarahkan
untuk menumbuhkan kesadaran politik atau al wa’yu al siyasi dan partisipasi
politik atau musyarokah siyasiyah”.
Sedangkan menurut konsep Ikhwanul Muslimin dalam Utsman Abdul
Mu’iz Ruslan ( 2000 : 45) bahwa pendidikan politik merupakan:
Upaya yang dilakukan untuk membangun dan menumbuhkan keyakinan, nilai dan orientasi pada para anggotanya, yang menjadikan mereka dapat menerima prinsip dan tujuan Islam, juga untuk menghapuskan imperialisme dalam segala bentuknya, membantu mereka membangun pola pikir sesuai dengan Islam seputar masalah hukum dan kekuasaan yang berati pula memberikan penyadaran tentang Islam; tentang persoalan politik, baik regional, nasional maupun internasional, tentang berbagai hal yang terjadi di seputar sikap politik. Ini berarti membangun kesadaran beraqidah, hingga siap berjihad di jalan Islam, yang setiap muslim adalah senjata untuk membela dan melawan musuh-musuh Islam, di samping juga untuk membela dan melawan musuh-musuh Islam, di samping juga untuk membela hak-haknya sebagai masyarakat serta untuk dapat menunaikan
21
berbagai kewajiban. Dengan demikian, ia menjadi aktivis di lapangan kerja sosial dalam berbagai bentuknya dan berpartisipasi dalam kehidupan politik secara memadai.
Katini Kartono (1989 : 20) menyatakan bahwa :
Pendidikan Politik ialah rangkaian upaya edukatif yang sistematis dan intensional untuk memantapkan kesadaran politik dan kesadaran bernegara, dalam menunjang kelestarian Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai falsafah hidup serta landasan konstitusional; juga merupakan upaya pembaharuan kehidupan politik bangsa Indonesia dalam rangka tegaknya satu sistem politik yang demokratis, sehat dan dinamis.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan politik adalah suatu
rangkaian pendidikan yang dilakukan dengan sadar, sistematis, dan
berkesinambungan dalam rangka membentuk individu yang mempunyai
kasadaran dan partisipasi politik sehingga dia dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Tujuan Pendidikan Politik
Menurut Solly Lubis (1989 : 90) menyatakan bahwa ”tujuan dari
pendidikan politik adalah untuk membentuk kader-kader yang tangguh dan
berkualitas maupun dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat yang beroriantasi
kepada program pembangunan”.
Dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Pasal 31
Ayat (1), partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai
dengan ruang lingkup dan tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan
dan kesejahteraan gender dengan tujuan antara lain :
1) Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
2) meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
3) meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Menurut Kartini Kartono (1989 :21) bahwa landasan pokok yang dipakai
dalam melaksanakan pendidikan politik ialah Pancasila, UUD 1945, GBHN dan
22
Sumpah Pemuda 1928. Khusus bagi generasi mudanya, tujuan pendidikan politik
di Indoneisa ialah :
1) Membangun generasi muda Indonesia yang sadar politik dan sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,
2) Sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang perwujudannya tercermin dalam sejumlah sifat watak atau karakteristik kepribadian Indonesia.
Sedangkan menurut Miriam Budiardjo (2008 : 408) menyatakan ”Ada
lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat menjalankan fungsi
sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia
yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan mendapatkan
kepentingannya sendiri di bawah kepentingan nasional”.
Menurut Utsman Abdul Mu’iz Ruslan (2000 : 91) menyatakan
”Pendidikan politik bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan kepribadian
politik dan kesadaran politik, sebagaimana juga bertujuan untuk membentuk
kemampuan dalam berpartisipasi politik pada individu, agar individu itu menjadi
partisan politik dalam bentuk yang positif”.
Sedangkan menurut Ikhwanul Muslimin dalam Abdul Mu’iz Ruslan
(2000 : 485-547) ada beberapa aspek yang terkandung di dalam pendidikan
politik, meliputi :
1) Pendidikan Aqidah, aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk
memperkokoh keimanannya dan keyakinannya atas kekuasaan Allah
SWT dengan menyembah-Nya. Menempatkan loyalitas hanya kepada-
Nya dan menolak loyalitas selain kepada-Nya.
2) Pendidikan Spiritual, aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk
memperkuat hubungan ruhani manusia dengan sang pencipta, sehingga
membangkitkan ruh (jiwa) agar ia bangkit untuk bergerak, yang
terejawantahkan dalam kegiatan memberantas kemungkaran dan
menegakkan sistem yang adil.
23
3) Pendidikan Moral, aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk
memunculkan sikap dan perilaku positif, seperti jujur, memiliki kemauan
kuat, tabah, tidak lemah, dan sebagainya.
4) Pendidikan Sosial, yaitu aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk
memunculkan sikap solidaritas sosial, peduli pada sekitar dan melakukan
pemberdayaan sosial.
5) Pendidikan Jasmani, yaitu aspek pendidikan politik yang bertujuan untuk
membangun kekuatan fisik dan mengembangkan sikap sportif,
kerjasama, dan sebagainya.
6) Pendidikan Intelektual, yaitu aspek pendidikan politik yang bertujuan
untuk mengembangkan wawasan dan membentuk intelektual muslim
yang memahami Islam secara benar, memiliki kemerdekaan berfikir,
kritis, sehingga mampu menganalisa berbagai problematika dan
menemukan solusinya.
Dari beberapa pendapat mengenai tujuan pendidikan politik dapat
disimpulkan bahwa pendidikan politik bertujuan untuk membangun dan
meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat, juga bertujuan untuk
membangun kepribadian seseorang dengan membangun mental spiritualnya
sehingga dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Metode Sosialisasi Politik
Menurut Ikhwanul Muslimin yang dikutip dalam bukunya Abdul Mu’iz
Ruslan (2000 : 76-78) menyatakan secara global, ada dua metode pendidikan
politik, yaitu :
1) Metode Pengajaran Tidak Langsung, merupakan proses untuk
mendapatkannya melalui berbagai persiapan dan orientasi secara umum,
yang ia sendiri tidak harus bersifat politis, akan tetapi setelah itu
mempengaruhi perkembangan orientasi politik pada individu. Misalnya
melalui :
a) Talmadzah (apprenticeship; pelatihan atau magang)
24
Yang dimaksud di sini adalah transformasi berbagai pengalaman dan
keterampilan pada individu melalui berbagai kegiatan di bidang-
bidang nonpolitik. Misalnya kelembagaan mahasiswa atau organisasi
kemasyarakatan lainnya.
b) Ta’mim (generalization), Artinya memperluas cakupan nilai-nilai
sosial keberbagai bidang politik yang akhirnya akan membentuk
orientasi politiknya.
2) Metode Pengajaran Langsung, yaitu berbagai proses kegiatan yang
dengannya terjadi transformasi muatan politik tertentu kepada individu,
dengan tujuan membentuk orientasi-orientasi politik. Misalnya :
a) Pembelajaran Politik (Political Learning), yaitu berbagai proses
kegiatan yang dimaksudkan untuk mentransfer orientasi-orientasi
politik kepada orang lain, baik melalui jalur formal maupun non
formal.
b) Taklid (Imitation), yaitu meniru cara hidup para pemimpin atau tokoh
merupakan sumber penting bagi nilai-nilai dan orientasi-orientasi
politik.
c) Pengalaman-pengalaman politik, yakni hal-hal yang diperoleh
seseorang melalui partisipasi politik.
Berdasarkan uraian di atas mengenai metode sosialisasi politik yang pada
dasarnya berhubungan dengan proses pendidikan politik untuk membentuk dan
menumbuhkan kepribadian politik dan kesadaran politik, serta membentuk
kemampuan dalam berpartisipasi politik pada individu, agar individu tersebut
menjadi partisan politik dalam bentuk yang positif dapat dilakukan dengan
metode pengajaran langsung dan metode pengajaran tidak langsung. Pendidikan
politik yang diberikan kepada individu maupun masyarakat tidak selalu bermuatan
tentang politik saja, akan tetapi dapat berupa kegiatan-kegiatan kemasyarakatan
maupun kemahasiswaan.
25
3. Tinjauan Tentang Partisipasi Politik
a. Pengertian Partisipasi Politik
Partisipasi politik merupakan aspek terpenting dalam sebuah tatanan
negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik.
Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 67) menyatakan “partisipasi politik
merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses
pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan yang dilakukan pemerintah”.
Menurut Kenneth Janda et al (1992 : 228 ) yaitu “ Political participation
as those actions of private citizens by which they seek to influence or to support
government and politics”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa partisipasi
politik merupakan perbuatan yang dilakukan warga negara secara sadar tanpa
paksaan yang mana mencoba untuk mempengaruhi atau mendukung pemerintah
dan politik.
Ramlan Surbakti yang dikutip oleh A.A. Sahid Gatra dan Moh. Dzulkiah
Said (2007 : 90-91) mengatakan “Partisipasi politik adalah sebagai keikutsertaan
warga negara biasa (yang tidak memiliki kewenangan) dalam memengaruhi
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik”.
Menurut Hutington dan Nelson yang dikutip Sidijono Sastroatmodjo
(1995 : 68) mengartikan “partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara
preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan
oleh pemerintah”.
Miriam Budiardjo (2008 : 367) mengartikan “partisipasi politik adalah
kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara
langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy)”.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau waraga negara secara sadar dan
dengan sukarela dalam bidang politik yang dilakukan secara langsung maupun
tidak langsung untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Selain itu dapat
26
diketahui bahwa partisipasi politik sangat erat sekali kaitannya dengan kesadaran
politik masyarakat.
b. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Menurut Ramlan Surbakti yang dikutip Sudijono Sastroatmodjo (1995 :
74) mengatakan bahwa “Sebagai suatu kegiatan, partisipasi dibedakan mejadi
partisipasi aktif dan partisipasi pasif”. Dimana partisipasi aktif mencangkup
kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatau kebijakan umum,
mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan
pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan
kebijaksanaan, membayar pajak dan ikut serta dalam pemilihan pimpinan
pemerintahan. Sedangkan partisipasi pasif, antara lain berupa kegiatan mentaati
peraturan atau perintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan
pemerintah saja.
Sedangkan Milbrath dan Goel yang dikutip Sudijono Sastroatmodjo
(1995 : 74-75) membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori, yaitu :
Kategori pertama adalah apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik. Kedua adalah spektator. Kategori kedua ini berupa orang-orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum. Ketiga gladiator, yakni orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat. Keempat pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.
Sementara itu menurut Huntington dan Nelson yang dikutip Miriam
Budiardjo (1998 : 4) mengatakan bahwa “partisipasi yang bersifat otonom
(autonomous participation) dan partisipasi yang dimobilisasi atau dikerahkan oleh
pihak lain (mobilized participation)”.
Sedangkan menurut Edward N. Muller yang dikutip Sudjiono
Sastroatmidjo (1995 : 77) mengatakan bahwa “bentuk-bentuk partisipasi politik
berdasarkan jumlah pelakunya dikategorikan menjadi dua yaitu partisipasi politik
individual dan partisipasi kolektif”. Partisipasi individual dapat berwujud kegiatan
seperti menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah,
27
sedangkan partisipasi kolektif merupakan kegiatan warga negara secara serentak
yang dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam
pemilihan umum.
Kenneth Janda et al (1992 : 228) partisipasi politik dibedakan menjadi
dua yaitu “conventional participation and unconventional participation”. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan berikut ini :
a) Conventional participation is relatively routine behavior that uses the institutional channels of representative government, especially campaigning for candidates and voting in elections.
b) Unconvetional participation is relatively uncommon behavior that challenges or defies government channnels or the dominant culture (and thus is personally stressful to participants and their opponents).
Bentuk-bentuk partisipasi politik diatas dapat diartikan partisipasi
konvensional adalah tindakan yang relatif sering dilakukan menyalurkan aspirasi
melalui lembaga pemerintahan, terutama pada saat kegiatan kampanye para calon-
calon dan pemberian suara dalam pemilu. Sedangkan partisipasi nonkonvensional
adalah tindakan yang jarang dilakukan untuk menentang atau melawan kebijakan
pemerintah. (Dalam kondisi seperti itu seseorang akan mengalami keputusasaan
untuk ikut serta sehingga mereka melawan).
Pendapat tersebut juga dikemukankan oleh Mochtar Mas’oed dan Colin
Mc Andrews (2006 : 47) bentuk-bentuk partisipasi politik juga dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
Tabel 3. Bentuk-Bentuk partisipasi politik
Konvensional Non-Konvensional
Pemberian suara (voting) Diskusi politik Kegiatan kampanye Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan. Komunikasi individual dengan pejabat politik administratif
Pengjuan petisi Berdemonstrasi Konfrontasi Mogok Tindakan kekerasan politik terhadap harta-benda (perusakan, pengeboman, pembakaran). Tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan) Perang gerilya dan revolusi.
28
Menurut N. Muller dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 77-78)
menyatakan “Bentuk-bentuk partisipasi politik berdasarkan jumlah pelakunya
dikategorikan menjadi dua, yakni partisipasi individual dan partisipasi kolektif.
Partisipasi individual berwujud kegiatan seperti menulis surat yang berisi tuntutan
atau keluhan kepada pemerintah. Partisipasi kolektif adalah bahwa kegiatan warga
negara secara serentak dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti
kegiatan dalam pemilihan umum”. Partisipasi kolektif dapat dibedakan mejadi
dua, yaitu partisipasi kolektif yang konvensional dan partisipasi politik yang tak
konvensional.
Menurut Miriam Budiardjo (1998 : 5) menyatakan bahwa “ disamping
mereka yang ikut dalam satu atau lebih bentuk partisipasi, ada warga negara
masyarakat yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik”. Hal
ini adalah kebalikan dari partisipasi dan disebut apati (apathy). Sikap seseorang
yang demikian sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan perkembangan
demokrasi dan terutama keberhasilan dalam pelaksanaan pemilihan umum.
Dari berbagai macam bentuk partisipasi politik dari beberapa ahli, dapat
ditarik kesimpulan bahwa partisipasi politik merupakan suatu bentuk respon yang
diberikan seseorang atau masyarakat terhadap sebuah kebijakan-kebijakan politik
maupun sistem politik pemerintah yang sedang berkuasa. Bentuk partisipasi yang
lebih mudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat adalah bentuk partisipasi
politik secara kolektif konvensional, misalnya yang sering dilakukan yaitu
partisipasi politik dalam penggunaan hak suara pemilihan umum, kampanye,
diskusi politik. Meskipun ada sebagian dari masyarakat melakukan partisipasi
politik dalam bentuk Non-Konvensional, misalnya berdemonstrasi, melakukan
aksi mogok, dan lain sebagainya.
c. Penyebab Partisipasi Politik
Menurut Myron Weiner yang dikuti Mochtar Mas’oed dan Colin Mac
Andrews (2006 : 45-46) mengemukakan lima penyebab timbulnya gerakan ke
arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut :
29
1) Modernisasi disemua bidang sehingga mereka merasa ternyata dapat mempengaruhi nasib mereka sendiri dan mereka semakin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
2) Perubahan-perubahan struktur kelas sosial sehingga timbul suatu pertanyaan mengenai siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik.
3) Pengaruh kaum intelektual dan komuniakasi massa modern. Melalui kaum intelektual dan media komunikasi modern, ide demokratisasi partisipasi telah tersebar kebangsa-bangsa baru merdeka jauh sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.
4) Konflik diantara kelompok-kelompok pemimpin politik. Bila muncul konflik antar elit, yang dicari adalah dukungan rakyat.
5) Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan publik. Menurut Romdlon Naning (1982 : 58-59) menyatakan keharusan
partisipasi rakyat disebabkan oleh dua hal, yaitu :
1) Keinginan rakyatlah yang harus dilaksanakan. Prinsip yang paling mendasar baik dalam perjuangan kemerdekaan, dalam Proklamasi Kemerdekaan maupun dalam penyusunan UUD 1945 adalah prinsip kedaulatan rakyat.
2) Rakyat yang menetukan penyelenggaraan negara. Ada 6 hajat hidup negara yang harus diselenggarakan oleh masing-masing penyelenggara negara. Pengisian lembaga-lembaga tersebut hanya dapat dilakukan oleh rakyat selaku yang berdaulat untuk menetukan siapa-siapa yang harus mengisinya. Apabila rakyat tidak berpartisipasi dalam pengisian kelembagaan tersebut baik langsung maupun tidak, maka jelas akan mengakibatkan tidak adanya penyelenggara negara (pelaksana tugas dan fungsi nhegara), dan ini berarti mandeglah hidupnya negara.
Michael Rush dan Philip Althoff yang dikutip oleh A.A. Sahid Gatra dan
Moh. Dzulkiah Said (2007 : 93) dalam hierarkhi partisipasi politiknya juga
menjelaskan bahwa kegiatan “partisipasi politik disebabkan oleh adanya
keinginan untuk mencari jabatan politik atau administrasi maupun menduduki
jabatan politik atau administrasi”.
Sedangkan A.A. Sahid Gatra dan Moh. Dzulkiah Said (2007 : 99-100)
berpendapat bahwa partisipasi politik juga disebabkan oleh adanya “faktor
kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik)”.
30
Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
seseorang berpartisipasi politik karena adanya kesadaran politik pada dirinya dan
adanya pengaruh dari luar, selain itu seseorang berpartisipasi politik karena hal
tersebut dipandang baik secara langsung maupun tidak langsung akan
berpengaruh terhadap pribadinya.
d. Fungsi Partisipasi Politik
Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 86), menyatakan bahwa bagi
pemerintah, partisipasi politik warga negara dapat dikemukakan dalam berbagai
fungsi, yaitu :
1) Partisipasi masyarakat untuk mendukung program-program pemerintah 2) Partisipasi politik masyarakat berfungsi sebagai organisasi yang
menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan, selain itu partisipasi politik masyarakat juga digunakan sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Menurut Robert Lane yang dikutip Sudijono Sastroatmodjo (1995 : 84)
bahwa partisipasi politik paling tidak mempunyai empat fungsi, yaitu sebagai
berikut :
1) Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi 2) Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian
sosial 3) Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus 4) Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam sadar dan kebutuhan
psikologi tertentu.
Menurut Arbi Sanit (1985 : 95) menyatakan bahwa ada tiga tujuan
partisipasi politik massa di Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1) Memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang disusunnya.
2) Partisipasi politik dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan penguasa dengan harapan supaya penguasa mengubah ataupun memperbaiki kelemahan tersebut.
3) Partisipasi politik sebagai tanggapan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkan sehingga terjadi perubahan pemerintahannya atau sistem politik.
31
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut
dapat disimpulkan bahwa fungsi partisipasi politik dapat dibagi menjadi dua
fungsi, yaitu partisipasi politik untuk memenuhi kepentingan individu atau pribadi
dan partisipasi untuk kepentingan umum atau bersama. Partisipasi untuk
memenuhi kebutuhan individu atau pribadi dimaksudkan untuk memperoleh suatu
kedudukan atau jabatan, kekuasaan dan kepuasan psikologi pribadi seseorang.
Sedangkan yang dimaksud dengan partisipasi politik untuk kepentingan bersama
yaitu turut ambil bagian dalam usaha memberikan kritikan, masukan dan
pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan politik yang dibuat oleh penguasa dan
pemerintah.
4. Tinjauan Tentang Golongan Putih (Absentia Voter)
a. Pengertian Golongan Putih
Menurut Abdurrahman Wahid dalam Asfar (2004 : xiv) memberikan
definisi “Golput adalah tidak memberikan suara dengan jalan tidak datang ke
TPS, atau’mencoblos’ semua calon yang disahkan KPU”.
Golput merupakan bentuk sikap protes terhadap sistem politik yang ada.
Sehingga konsep golput berbeda dengan apatis (non-vote). Menurut Asfar (2004 :
11-12 ) konsep golput digunakan untuk merujuk pada fenomena berikut :
1) Orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan suara sebagai aksi protes,
2) Orang yang menghadiri tempat pemilihan suara tetapi tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, dan
3) Orang yang menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan menusuk bagian putih dari kartu suara.
Sedangkan konsep non-voting (apatis) ditujukan pada perilaku tidak
memilih karena tidak adanya motivasi untuk memilih. Namun kedua kedua istilah
tersebut menunjuk pada hasil perbuatan yang sama, yakni hak pilihnya tidak
digunakan dengan benar.
Nyoman Subanda bahwa “golput bisa diartikan sebagai protes atau
penolakan terhadap mekanisme atau sistem yang sedang berjalan”. (Nyoman
32
Subanda, blogs.depkominfo.go.id/bip/files/2009/.../edisi-4_desember-2008.pdf,
Diakses pada hari Sabtu 4 September 2009).
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas dapat diambil
kesimpulan pengertian golput adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau
sekelompok dengan sengaja atau secara sadar dengan tidak menggunakan hak
pilihnya dengan baik pada saat dilaksanakannya pemungutan suara.
b. Faktor-faktor Penyebab Golongan Putih
Menurut Asfar (2004 : 259-291) menyatakan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi seseorang berperilaku tidak memilih, yaitu :
1) Faktor Latarbelakang Sosial Ekonomi, yaitu bahwa perilaku nonvoting
dapat dijelaskan berdasarkan latarbelakang sosial ekonomi mereka
seperti tingkat pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan dan aktivitas
dalam organisasi.
2) Karakteristik Kepribadian dan Pengalaman Sosialisasi, yaitu perilaku
nonvoting di Indonesia lebih merefleksikan kepedulian atas kepentingan
publik dan nasib orang lain dari pada sebaliknya.
3) Protes terhadap Sistem Politik dan Pemilu, yaitu perilaku golput pada era
reformasi maupun Orde Baru sama-sama ditujukan sebagai protes
terhadap sistem politik dan pemilu. Konsep sistem di sini tidak semata-
mata dalam pengertian prosedural atau aturan main, tetapi lebih
mengarah pada kebijakan pemerintah dan kinerjanya dalam
mengimplementasikan berbagai kebijakan tersebut. Ada beberapa hal
yang menyebabkan seseorang melakukan sebagai aksi protes terhadap
sistim politik yang ada, yaitu :
a) Sistem politik yang sedang dikembangkan rezim yang sedang
berkuasa sekarang dinilai tidak mampu membangun demokrasi yang
sehat, baik pada tingkat elite maupun massa.
b) Para pendukung golput juga kecewa dengan sistem politik yang
sedang dikembangkan oleh bangsa ini, dengan tidak memberi
33
kewenangan yang memadai terhadap Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), sebagaimana hasil amandeman UUD 1945.
4) Rendahnya Kepercayaan Politik, yaitu ketidak hadiran dalam pemilu atau
perilaku golput merupakan bentuk protes atas ketidakpercayaan mereka
terhadap sistem politik yang ada. Ada beberapa penyebab rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik baik diera reformasi
maupun dimasa Orde Baru, yaitu :
a) tidak berfungsinya lembaga-lembaga perwakilan rakyat, khususnya
DPR/MPR
b) tidak berfungsinya lembaga peradilan pada masa pemerintahan
c) praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh
pemerintahan, baik di era reformasi maupun di masa Orde Baru
d) berbagai kebijakan politik pemerintahan yang tidak kondusif bagi
proses demokrasi di Indonesia.
Menurut Syamsudin Haris yang dikutip dalam bukunya Tataq Chidmad
(2004 : 57) minimal empat faktor dimana orang enggan untuk aktif berperan
dalam pemilu yaitu :
1) Kekecewaan publik terhadap parpol
2) Parpol sebagian kaya akibat money politics
3) KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society
4) Sistem pemilu yang rumit.
Menurut Moon yang dikutip oleh Asfar (2004 : 30-31) menguraikan
bahwa secara umum terdapat dua pendekatan untuk menjelaskan kehadiran
pemilih (turn out) atau ketidak hadiran pemilih (nonvoting) dalam suatu Pemilu,
yaitu : pendekatan karakteristik sosial-psikologi pemilih dan karakteristik
institusional sistem pemilu. Dalam pendekatan ini biasanya menemui kesulitan
dalam membangun penjelasan kehadiran atau ketidakhadiran, sehingga dapat
diambil kesimpulan mengenai faktor yang paling penting terhadap penjelasan
mengenai kehadiran dan ketidakhadiran pemilih. Dalam sudut pandang semacam
ini, telah terbukti bahwa faktor-faktor seperti pendidikan, sikap terhadap sistem
politik, hubungannya dengan partai politik, tatanan-tatanan institusi (institutional
34
arrangements), dan sebagainya mempunyai hubungan sangant kuat dengan
kehadiran pemilih.
Menurut Campbell yang dikutip Asfar (2004 : 34) ia menggunakan
istilah passive citizen bahwa “the truly passive citizen is nonvoter because of lack
motivation”. Menurut Campbell memberikan istilah “warganegara yang pasif”.
Sesungguhnya warga negara yang pasif adalah tidak memilih hal tersebut
disebabkan karena tidak mempunyai motivasi.
Menurut McClosky yang dikutip Miriam Budiardjo (1995 : 5) sikap
apatis disebabkan karena :
Ada yang tidak ikut dalam pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan di mana ketidak-sertaan merupakan hal yang terpuji.
Menurut Abdurrahman Wahid dalam bukunya Asfar (2004 : xvii)
menyatakanbahwa “faktor penyebab golput adalah pesimisme yang ada tentang
hasil pemilu merupakan pemicu dari sikap untuk mendorong golput”. Pesimisme
tersebut disebabkan oleh banyak hal, yang akhirnya menimbulkan sikap umum
untuk tidak mempercayai pemilu itu sendiri sebagai suatu yang ada gunanya.
Menurut Ignas Kleden dalam Kalla et al (2004 : 18) bahwa :
Kelemahan seorang tokoh politik dapat diimbangi oleh visi, organisasi, dan disiplin partai; dan sebaliknya kelemahan dalam visi dan organisasi partai dapat diimbangi oleh inspirasi, kepemimpinan, dan karisma seorang pemimpin politik. Kalau dua jenis identifikasi ini menghadapi terlalu banyak kesulitan (partai centang-perentang dan pemimpinnya tanpa integritas), besar kemungkinan orang tidak bergairah memilih, dan mulai berfikir untuk bergabung dengan golput (golongan putih).
Menurut Asfar (2004 : 13) menyatakan ada beberapa penjelasan
mengapa suara golput menguat pada Pemilu 2004, yaitu : Pertama, adanya
kelompok-kelompok yang semakin berani menunjukkan pilihan politiknya untuk
tidak memilih, Kedua, tingkat ketidak kepercayaan masyarakat terhadap partai
politik dan anggota dewan menyebabkan sikap antipati pada sebagian kelompok
terhadap partai politik.
35
Dari beberapa pendapat para sarjana di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa seseorang melakukan tindakan golput di Indonesia pada umumnya
disebabkan antara lain yaitu : Pertama, faktor Latarbelakang Sosial Ekonomi;
Kedua, tidak mempunyai motivasi atau niat; Ketiga, rendahnya kepercayaan dan
kecewa terhadap partai politik maupun anggota legislatif; Keempat, sistem pemilu
yang rumit.
c. Pengaruh Golongan Putih
Seberapa tingginya atau besarnya golput tidak dapat dijadikan tolak ukur
sah tidaknya hasil pemilu. Menurut M. Mahfud MD dalam Kalla et al (2004 : 66)
menyatakan bahwa “Memang, berapapun besarnya jumlah golput dan suara
coblosan yang tidak sah tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan pemilu
tidak sah secara yuridis, tetapi secara politis hasil pemilu itu bisa dipersoalkan dari
aspek legitimasi politiknya dan bukan dari legitimitas yuridisnya”.
Asfar (2004 : 8) yang menyatakan “secara teoritis, ketidak hadiran
pemilih oleh sebagian teoritisi politik dimaknakan sebagai indikator lemahnya
legitimasi rezim yang sedang berkuasa”. Sehingga suara golput bisa dimaknakan
sebagai ketidakpercayaan pada pemerintah yang sedang berjalan. Ketidak hadiran
pemilih dianggap sebagai reaksi atau ekspresi dan ketidaksukaan masyarakat
terhadap rezim yang berkuasa.
Dari uraian hasil pendapat dari ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
besar kecilnya jumlah golput berpengaruh terhadap legitimasi politik kebijakan-
kebijakan publik pemerintahan yang sedang berkuasa.
5. Tinjauan Tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif
Menurut Sigit Pamungkas (2009 : 3) menyatakan bahwa “Pemilu adalah
arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang
didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat”. Peserta
pemilu dapat berupa perseorangan dan partai politik tetapi yang paling utama
adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidat dalam pemilu untuk
kemudian dipilih oleh rakyat.
36
Menurut David Beetham (2000 : 63 ) menyatakan “Tujuan pemilu di
tingkat nasional ada dua, yaitu : yang pertama adalah untuk memilih kepala
pemerintahan atau kepala eksekutif dan untuk menggolkan kebijakan umum yang
akan dilaksanakan oleh pemerintah terpilih. Yang kedua adalah untuk memilih
anggota-anggota lembaga perwakilan, legislatif atau parlemen, yang akan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan ketentuan perpajakan serta
mengawasi kegiatan pemerintah demi kepentingan rakyat”.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (2) tentang
diselenggarakannya pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Prwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif,
yaitu : DPR, DPD, dan DPRD diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota Legislatif, yang menyatakan bahwa :
1) Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3) Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4) Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disebut DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Derah kabupaten/kota sebagimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemilihan umum (pemilu) anggota
legislatif adalah pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif yag terdiri dari
37
anggota DPR, DPD, dan DPRD yang didasarkan pada pilihan formal dari warga
negara yang memenuhi syarat.
a. Pemilih dan Peserta Pemilihan Umum Legislatif 2009
Warga negara yang berhak memilih telah diatur dalam Undang-Undang
No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah pada pasal 19
menyebutkan bahwa :
(1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Selanjutnya untuk dapat menggunakan hak pilihnya harus terdaftar dalam
Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang sudah disahkan oleh KPU. Sedangkan untuk
mengantisipasi Warga Negara Indonesia yang sudah memenuhi syarat sebagai
pemilih tetapi karena sesuatu hal belum terdaftar sebagai pemilih dalam DPT
seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah pada pasal 19 ayat (1), maka berkaitan
dengan hal tersebut dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling
lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara. Hal tersebut diatur
dalam Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyar Daerah pasal 40 yang menyebutkan bahwa :
(1) Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dapat dilengkapi dengan daftar pemilih tambahan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
(2) Daftar pemilih tambahan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas data pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap di suatu TPS, tetapi karena keadaan tertentu tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar.
(3) Untuk dapat dimasukkan dalam daftar pemilih tambahan, seseorang harus menunjukkan bukti identitas diri dan bukti yang bersangkutan telah terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap di TPS asal.
38
Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada suatu alasan apapun bagi
Warga Negara Indonesia yang sudah mempunyai hak pilih pada pemilu legislatif
tahun 2009 untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan belum terdaftar
sebagai pemilih dalam DPT.
Pada pemilu legislatif tahun 2009 peserta pemilu tergantung pada jenis
pemilunya. Untuk pemilu DPR/DPRD pesertanya adalah partai politik sedangkan
pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
1) Peserta Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
Menurut Sigit Pamungkas (2009 : 134) pada tingkat nasional, peserta
pemilu legislatif 2009 berjumlah 38 partai politik. Dari jumlah tersebut, secara
kategoris dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Partai-partai yang lolos electoral threshold sebesar 2% kursi di DPR pada pemilu sebelumnya yaitu pemilu legislatif tahun 2004. Pada kategori ini, terdapat 7 (tujuh) partai yang lolos electoral threshold yaitu Golkar, PDIP, PPP, PKB, PAN, PD, dan PKS.
b) Partai-partai baru berdiri dan lolos berdasarkan syarat-syarat keikutsertaan dalam pemilu. Masuk dalam kategori ini 27 partai politik.
c) Kelompok partai politik yang pada pemilu 2004 mendapat kursi di DPR tetapi perolehan kursinya tidak mencapai electoral threshold 2%. Terdapat 10 partai politik yang masuk dalam kategori ini.
d) Kelompok partai politik dari peserta pemilu 2004 yang tidak lolos electoral threshold dan tidak mendapat kursi di DPR. Terdapat 4 partai politik dalam kategori ini, yaitu Partai Merdeka, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Serikat Indonesia, dan Partai buruh.
Kelompok partai politik dari peserta pemilu 2004 yang tidak lolos
electoral threshold dan tidak mendapat kursi di DPR dapat menjadi peserta
pemilu 2009 karena gugatan mereka atas ketidakadilan dari pasal 316 huruf d
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Atas putusan MK tersebut, KPU
tanpa melakukan verifikasi keabsahan syarat-syarat ikut serta dalam pemilu 2009
mengesahkan mereka menjadi peserta pemilu 2009.
Menurut Sigit Pamungkas (2009 : 137) terkait dengan syarat pencalonan,
dalam pemilu legislatif tahun 2009 terdapat beberapa perubahan dalam
pencalonan anggota DPR dan DPRD dibandingkan pemilu sebelumnya, dan
selebihnya adalah sama. Perbedaan tersebut yaitu :
39
a) Tidak adanya larangan dari mereka yang diindikasikan terlibat PKI untuk mencalonkan diri.
b) Adanya ketentuan untuk mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota TentaraNasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan tidak dapat ditarik kembali.
c) Adanya ketentuan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokad/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan.
d) Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-pejabat lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang bersumber dari keuangan negara.
2) Peserta Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Peserta DPD dapat berasal dari calon independen ataupun individu yang
berasal atau aktif dari partai politik. Selain itu, untuk menjadi calon anggota DPD
tidak menyertakan syarat domisili calon.
Terkait dengan syarat dukungan calon seperti yang telah diatur dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Pasal 13, seseorang calon harus mendapatkan dukungan pemilih sebagai
berikut :
a) Provinsi berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta), minimal didukung 1.000 (seribu) pemilih;
b) Provinsi berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) - 5.000.000 (lima juta), minimal didukung 2.000 (dua ribu) pemilih;
c) Provinsi berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) - 10.000.000 (sepuluh juta), minimal didukung 3.000 (tiga ribu) pemilih;
d) Provinsi berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) - 15.000.000 (lima belas juta), minimal didukung 4.000 (empat ribu) pemilih; atau
e) Provinsi berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) minimal didukung 5.000 (lima ribu) pemilih.
Dukungan pemilih tersebut harus tersebar di 50% kabupaten/kota dari
provinsi tempat seorang mencalonkan diri. Sementara itu, bagi anggota
(incumbent) dapat langsung menjadi calon anggota DPD tanpa harus mendapat
40
persyaratan dukungan minimal. Incumbent cukup memenuhi persyaratan
administrasi/kualifikasi.
b. Sistem Pemilu Pemilihan Umum Legislatif 2009
1) Sistem Pemilu DPR dan DPRD
Secara prinsip, sistem pemilu yang dipakai masih melanjutkan sistem
pemilu sebelumnya, yaitu sistem proporsional, meskipun dengan melakukan
beberapa modifikasi. Konsep representasi atau daerah pemilih yang dipakai
adalah provinsi atau bagian-bagian provinsi. Untuk pemilu DPR, jumlah kursi
yang diperebutkan disetiap daerah pemilihan (district magnitude) berkisar antara 3
(tiga) sampai dengan 10 (sepuluh) kursi. Sementara itu, untuk pemilu DPRD kursi
yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan berkisar antara 3 sampai dengan 12
kursi. Dalam kandidasi anggota DPR, setiap partai poltik dapat mengajukan calon
sebanyak-banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang
ditetapkan pada setiap daerah pemilihan. Pada setiap tiga nama calon, partai harus
menyertakan sekurang-kurangnya 1 (satu) calon perempuan (kuota 30% dalam
pencalonan). Cara menempatkan calon perempuan bisa disetiap kelipatan tiga
ataupun dua.
Dalam format kertas suara, dicantumkan nama dan tanda gambar partai
serta daftar calon nggota DPR dari setiap partai berdasarkan nomor urut. Cara
penyuaraan (balloting) yang dipakai adalah dengan menandai salah satu diantara
gambar partai, nomor urut calon, atau nama calon. Suara tidak sah apabila
memberi tanda lebih dari satu kali pada kertas suara.
Pada pemilu kali ini memakai 2 (dua) threshold. Pertama, electoral
threshold, yaitu syarat partai untuk dapat ikut serta dalam pemilu sebelumnya,
sebesar 3% suara. Kedua, Parliementary threshold, yaitu syarat partai untuk dapat
diikutsertakan dalam penghitungan kursi DPR, yaitu sebesar 2,5%. Partai-partai
yang perolehan suaranya tidak mencapai 2,5% tidak dapat menempatkan wakilnya
di DPR. Parliementary threshold ini dijadikan dasar untuk menentukan partai-
partai yang tidak diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi partai.
41
Penghitungan perolehan kursi partai untuk DPRD tidak berbeda dengan
pemilu tahun 2004. Sementara itu, pada penentuan perolehan kursi DPR terdapat
modifikasi, yaitu menggunakan sistem sisa suara terbesar (largest remainder)
varian Hare dengan bersyarat. Penentuan perolehan kursi partai dilakukan setelah
dilakukan pengurangan suara dari partai-partai yang memenuhi parliamentary
threshold, dan sisa kursi yang belum habis dibagi pada penghitungan pertama
disebuah daerah pemilihan diberikan kepada partai yang mendapatkan suara lebih
dari 50% Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Apabila masih terdapat sisa kursi
disebuah daerah pemilihan tetapi perolehan suara sisa partai tidak mencapai 50%
BPP maka suara partai diakumulasikan ditingkat provinsi untuk dibuat bilangan
pembagi pemilih baru untuk menetapkan kursi.
Adapun penentuan calon jadi disebuah partai politik yang memperoleh
kursi parlemen adalah didasarkan pada sistem suara terbanyak. Kandidat yang
memperoleh suara terbanyak tanpa melihat nomor urut dalam daftar pencalonan
ditetapkan menjadi calon jadi. Penggunaan sistem suara terbanyak ini didasarkan
pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-IV/2008 yang membatalkan
ketentuan Pasal 214 Huruf a sampai e Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang dipandang bertentangan dengan prinsip
konstitusi tentang kedaulatan rakyat.
2) Sistem Pemilu DPD
Pada pemilu 2009 sama dengan sistem yang dipakai dalam pemilu 2004,
yaitu sistem distrik berwakil banyak (single Non-transfverebel Vote/SNTV). Setiap
privinsi diwakili oleh 4 (empat) orang anggota DPD. Pemilih memilih satu
kandidat, dan pemenangnya adalah yang memperoleh suara terbanyak. Empat
orang calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai
pemenang.
B. Kerangka Berfikir
Kehidupan masyarakat yang demokratis, modern, dan kompleks
memunculkan banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat
atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas apabila
42
tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang
senada. Salah satu sarana dan alat untuk menyatukan gagasan dan cita-cita
bersama tersebut adalah melalui partai politik (parpol). Partai politik merupakan
sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan
demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggungjawab. Seperti
halnya dengan PKS, merupakan partai da’wah penegak keadilan dan
kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa. Partai Keadilan
Sejahtera juga mempunyai visi khusus yaitu sebagai partai berpengaruh baik
secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat
Indonesia yang madani. Selain mempunyai visi khusus tersebut, PKS sebagai
partai politik mempunyai beberapa fungsi yang salah satunya yaitu sebagai sarana
pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat. Pendidikan politik sangat
penting sekali dalam upaya menumbuhkan kesadaran politik, kepribadian, dan
partisipasi politik anggota maupun masyarakat. Dalam upaya mewujudkan visinya
dan fungsinya tersebut yaitu sebagai sarana pendidikan politik, PKS sebagai partai
politik turut ambil bagian dalam menghadapi permasalahan berhubungan dengan
menurunnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilu yaitu meningkatnya
jumlah golongan putih (golput).
Golongan putih adalah Orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan
suara sebagai aksi protes, Orang yang menghadiri tempat pemilihan suara tetapi
tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, dan Orang yang menggunakan hak
pilihnya namun dengan jalan mencontreng bagian putih dari kartu suara.
Berdasarkan konsep golput tersebut dapat disimpulkan bahwa golput yaitu tidak
digunakannya hak pilihnya dengan benar. Faktor-faktor yang menyebabkan
meningkatnya jumlah golput pada dasarnya di Indonesia disebabkan karena yaitu :
Pertama, faktor Latarbelakang Sosial Ekonomi; Kedua, tidak mempunyai
motivasi atau niat; Ketiga, rendahnya kepercayaan dan kecewa terhadap partai
politik maupun anggota legislatif; Keempat, sistem pemilu yang rumit.
Sebagai upaya mengurangi jumlah golput, PKS sebagai partai politik
dalam mewujudkan visi khususnya yaitu sebagai partai berpengaruh baik secara
kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat
43
Indonesia yang madani, pendidikan politik sangat diperlukan dalam upaya
menumbuhkan kesadaran politik, kepribadian, dan partisipasi politik anggota
maupun masyarakat. Upaya yang dilakukan dalam upaya mengnyikapi golput
dapat dilakukan metode sosialisasi politik yang pada dasarnya berhubungan
dengan proses pendidikan politik untuk membentuk dan menumbuhkan
kepribadian politik dan kesadaran politik, serta membentuk kemampuan dalam
berpartisipasi politik pada individu, agar individu tersebut menjadi partisan politik
dalam bentuk yang positif dapat dilakukan dengan metode pengajaran langsung
dan metode pengajaran tidak langsung. Pendidikan politik yang diberikan kepada
individu maupun masyarakat tidak selalu bermuatan tentang politik saja, akan
tetapi dapat berupa kegiatan-kegiatan kemasyarakatan maupun kemahasiswaan.
Sebagai gambaran pemikiran untuk memecahkan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta
Meningkatnya Golput
Faktor Penyebab Golput
Pendidikan Politik Tidak Langsung
Pendidikan Politik Langsung
Kesadaran politik, kepribadian, dan partisipasi politik masyarakat
dalam Pemilu Legislatif
44
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Suatu penelitian memerlukan tempat penelitian yang dijadikan objek
untuk memperoleh data penelitian. Didalam melaksanakan penelitian ini peneliti
memilih lokasi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan,
Kecamatan Laweyan, Surakarta dan Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai
Keadilan Sejahtera Kota Surakarta yang berlokasi di Jl. Slamet Riyadi No. 465 B.
Griyan, Pajang, Laweyan, Surakarta. Adapun alasan peneliti memilih tempat
penelitian ini karena :
1. Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Sondakan, Kecamatan Laweyan
berlokasi di tempat tinggal peneliti sehingga mempermudah peneliti untuk
melakukan penelitian tentang penyebab pemilih di TPS XII melakukan golput
dalam pemilihan umum legislatif 2009.
2. Partai Keadilan Sejahtera merupakan salah satu partai politik yang dalam
setiap pemilihan umum legislatif mengalami peningkatan perolehan jumlah
suaranya di Kota Surakarta dan dapat dikatakan sebagai salah satu partai
politik di Kota Surakarta yang kader-kader PKS aktif melakukan rekruitmen
anggota dan berbagai aktifitas simpatik kemasyarakatan.
2. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan untuk mengadakan penelitian ini selama tujuh
bulan, yaitu mulai bulan Juni 2009 sampai dengan bulan April 2010. Kegiatan
tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut :
45
Tabel 4. Rencana Waktu Penelitian
Bulan No Kegiatan
Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb
1. Pra penelitian
2. Pengajuan judul
3. Membuat
proposal
4. Pengurusan ijin
5. Pengumpulan
data
6. Analisa data
7. Menulis laporan
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif, karena dalam mengkaji
masalah, peneliti tidak membuktikan atau menolak hipotesis yang dibuat sebelum
penelitian tetapi mengolah data dan menganalisis suatu masalah secara non
numerik.
Suharsimi Arikunto (2002 : 10-11) mengatakan diantara banyak model
yang ada dalam penelitian kualitatif, yang dikenal di Indonesia adalah penelitian
naturalistic atau kualitatif naturalistik. Istilah “naturalistik menunjukkan bahwa
pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam
situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, menekankan pada
deskripsi secara alami”.
Menurut Lexy J. Moleong (2008 : 4) yang mengutip pendapatnya
Bogdan dan Taylor tentang Penelitian kualitatif adalah sebagai berikut :
“Metodologi kualitatif adalah prosedur yang dihasilkan data deskriptif berupa kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.
46
Sesuai perumusan permasalahan yang dirumuskan peneliti, maka jenis
penelitian yang sesuai digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif yaitu untuk memperoleh gambaran mengenai penyebab golongan putih
dan pendidikan politik DPD PKS Kota Surakarta untuk menyikapi golongan putih
dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009.
2. Strategi Penelitian
Dalam setiap penelitian agar tujuan yang telah direncanakan dapat
dicapai dan untuk mengkaji permasalahan penelitian secara mendetail dan lengkap
maka diperlukan strategi penelitian yang tepat. Strategi yang dipilih oleh peneliti
digunakan sebagai dasar untuk mengamati, mengumpulkan data dan untuk
menyajikan analisis hasil penelitian. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah model tunggal terpancang. H.B. Sutopo (2002 : 42) menjelaskan sebagai
berikut : “bentuk penelitian terpancang (embedded research) yaitu penelitian
kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang
akan dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat penelitinya sebelum peneliti ke
lapangan studinya”.
Dalam penelitian ini, peneliti sudah menetukan terlebih dahulu fokus
pada variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan
variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian
yang diteliti tetap diusahakan pada posisi saling berkaitan dengan bagian-bagian
dari konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap. Jadi
penelitian ini menggunakan strategi tunggal terpancang karena objek penelitian
adalah tunggal yaitu Pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan
Sondakan, Kecamatan Laweyan yang melakukan golput; Pengurus dan kader
DPD PKS Kota Surakarta.
Terpancang sendiri mempunyai arti yaitu untuk mengetahui faktor
penyebab golput dan pendidikan politik DPD PKS Kota Surakarta untuk
menyikapi golongan putih pada pemilihan umum legislatif tahun 2009.
47
C. Sumber Data
Menurut H.B. Sutopo (2002 : 50) menyatakan bahwa “sumber data
dalam penelitian kualitatif terdiri dari berbagai jenis, bisa berupa orang, peristiwa
dan tempat atau lokasi, benda, serta dokumen atau arsip”.
Sumber-sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah
data yang berupa informan, tempat dan peristiwa, serta dokumen atau arsip.
1. Informan
Informan adalah orang yang dianggap dapat memberikan informasi atau
keterangan-keterangan sesuai dengan masalah yang diteliti. Di dalam penelitian
kualitatif, informan ini disebut responden.
Menurut HB. Sutopo (2002 : 50) “Dalam penelitian kualitatif, posisi
narasumber sangat penting, sebagai individu yang memiliki informasi”. Oleh
karena itu di dalam memilih siapa yang akan menjadi informan, peneliti wajib
memahami posisi dengan beragam peran serta yang ada sehingga dapat diperoleh
informasi, pernyataan maupun kata-kata yang diperoleh dari informan yang
disebut data primer atau sering disebut sebagai informan kunci (key informan).
Adapun informan dalam penelitian ini antara lain :
a. Bapak Dardji selaku Kepala Kelurahan Sondakan.
b. Bapak Soemardjo Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan
Sondakan.
c. Yophi Irawan, Yekti Sulastri, Dwi Lismawan selaku anggota KPPS TPS
XII.
d. Rizky Rachmawati, Deky Lesmana, Rachmad Andi Sulistyo, Yanuar
Joko Listyanto, Ninik Resmi Nur Akhdiyati, dan Slamet, Zaini Anggoro
Putro, Harman Suryono, Salimi, dan Heri Tamtomo selaku masyarakat
yang melakukan golput di TPS XII Kelurahan Sondakan pada pemilihan
umum legislatif 2009.
e. Sugeng Riyanto, S.S selaku Ketua DPD PKS Kota Surakarta.
f. Ikhlas Thamrin, S.H selaku Ketua Bidang Politik DPD PKS Kota
Surakarta.
48
g. Ahmad Faizal, Choirul selaku Kader DPD PKS Kota Surakarta.
2. Lokasi Penelitian
H.B. Sutopo (2002 : 52) menyatakan “ Tempat atau lokasi penelitian
yang berkaitan dengan sasaran atau permasalahan penelitian juga merupakan salah
satu jenis sumber data yang bisa dimanfaatkan oleh peneliti”.
Hal-hal yang dapat dijadikan sumber data sekaligus objek pengamatan
dari lokasi penelitian ini meliputi gambaran keadaan tempat atau ruang., benda
atau peralatan, para pelaku, kegiatan atau aktivitas yang berlangsung. Berkaitan
dengan hal tersebut, sesuai dengan permasalahan yang diteliti, lokasi penelitian
dalam hal ini yaitu : Premulung RT 01 RW IX, Kelurahan Sondakan, Kecamatan
Laweyan Surakarta yang menjadi TPS XII dan Kantor DPD PKS Kota Surakarta
Jl. Slamet Riyadi No. 465 B. Griyan, Pajang, Laweyan, Surakarta.
3. Dokumen
Menurut HB. Sutopo (2002 : 54) mengemukakan bahwa “Dokumen
adalah bahan tertulis yang bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas
tertentu, sedangkan arsip merupakan catatan rekaman yang lebih bersifat formal
dan terencana dalam organisasi”.
Dalam penelitian ini, dokumen dan arsip yang digunakan antara lain :
a. Berita Acara Pemungutan Suara Dan Penghitungan Suara Di Tempat
Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD
Kabupaten/Kota Tahun 2009. (Lampiran 5)
b. Sertifikat Hasil Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara
Dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009.
(Lampiran 6).
c. Berita Acara Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta
Revisi Hasil Penghitungan Suara Pemilu DPRD Provinsi Jawa Tengah.
(Lampiran 7).
d. Laporan Monografis Dinamis Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan
Triwulan : I/Bulan : Februari/Tahun : 2010. (Lampiran 8).
49
e. AD/ART Partai Keadilan Sejahtera. (Lampiran 9).
f. Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera.
D. Teknik Sampling
H.B. Sutopo (2002 : 54) menyatakan “Teknik cuplikan merupakan suatu
bentuk khusus atau proses bagi pemusatan atau pemilihan dalam penelitian yang
mengarah pada seleksi”. Peneliti cenderung memilih informan yang dianggap tahu
dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui
masalahnya secara mendalam.
Menurut Goetz dan Le Compte dalam H.B. Sutopo (2002 : 185) bahwa
“Purposive Sampling yaitu teknik mendapatkan sampel dengan memilih individu-
individu yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam
dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data”.
Dalam menentukan informan, peneliti menggunakan teknik purposive
sampling. Dimana peneliti hanya memilih informan yang danggap mengetahui
informasi dan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk
menjadi sumber data yang mantap. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil
sempel yaitu : Kepala Kelurahan Sondakan, Ketua Panitia Pemungutan Suara
(PPS) Kelurahan Sondakan, Ketua dan anggota Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) TPS XII Kelurahan Sondakan, beberapa masyarakat
yang melakukan golput di TPS XII Kelurahan Sondakan pada pemilihan umum
legislatif 2009, Ketua DPD PKS Kota Surakarta, Pengurus DPD PKS Kota
Surakarta, dan Kader DPD PKS Kota Surakarta.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara operasional yang ditempuh
oleh penulis untuk memperoleh data yang diperlukan. Berhasil tidaknya suatu
penelitian tergantung pada data yang obyektif. Oleh karena itu sangat perlu
diperhatikan teknik pengumpulan data yang dipergunakan sebagai alat pengambil
data. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang diperlukan adalah :
50
1. Observasi
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik
terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Menurut pendapat H.B.
Sutopo (2002 : 64) bahwa “teknik observasi digunakan untuk menggali data yang
berupa peristiwa, tempat atau lokasi, dan benda, serta rekanan gambar”.
Penelitian ini menggunakan teknik observasi langsung yaitu cara
pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-
gejala yang tampak pada objek penelitian yang dilakukan secara langsung pada
tempat terjadinya peristiwa.
Penelitian ini menggunakan teknik observasi langsung yaitu cara
pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-
gejala yang tampak pada objek penelitian yang dilakukan secara langsung pada
tempat terjadinya peristiwa yaitu di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII.
2. Wawancara
Teknik wawancara merupakan cara penyelenggaraan pemeriksaan
dengan seksama. Dengan meninjau setiap aktivitas secara bergilir serta
komunikasi langsung dengan mengajukan suatu rangkaian pertanyaan yang
sistematis. Menurut Lexy J. Moleong (2008 : 186) mengemukakan bahwa
“Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviwer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan”.
Menurut H. B. Sutopo (2002 : 59) mengatakan bahwa wawancara dalam
penelitian kualitatif pada umumnya dilakukan secara tidak terstruktur atau sering
disebut sebagai teknik wawancara mendalam. Dengan demikian wawancara yang
dilakukan mengarah pada kedalaman informasi.
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara mendalam, karena
dengan wawancara mendalam peneliti memperoleh data dari para informan,
dengan maksud dapat mengungkap permasalahan yang diteliti melalui pertanyaan
maupun sikap. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang mengarah pada
51
kedalaman informasi untuk menggali pandangan subyek yang diteliti tentang
banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian
informasi secara lebih mendalam.
Sebelum melakukan wawancara, peneliti membuat daftar pertanyaan
terlebih dahulu agar pokok-poko yang telah direncanakan dapat tercakup
seluruhnya dan hasil wawancara dapat mencapai sasaran. Daftar pertanyaan yang
peneliti ajukan dalam penelitian ini telah peneliti susun secara sistematis,
menggunakan bahasa yang jelas dan sederhana agar sesuai dengan permasalahan
yang sedang diteliti.
Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan metode tanya
jawab dan diskusi. Peneliti memberikan pertanyaan kepada informan mengenai
pokok permasalahan sesuai dengan pedoman wawancara tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa pertanyaan yang diajukan lebih luas (untuk pedaoman
wawancara dapat dilihat dilampiran 1, sedangkan hasil petikan wawancara dapat
dilihat pada lampiran 2). Adapun informan yang diwawancarai dalam penelitian
ini sebagai berikut :
a. Bapak Dardji selaku Kepala Kelurahan Sondakan.
b. Bapak Soemardjo Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kelurahan Sondakan
c. Yophi Irawan, Yekti Sulastri, Dwi Lismawan selaku anggota KPPS TPS XII.
d. Rizky Rachmawati, Deky Lesmana, Rachmad Andi Sulistyo, Yanuar Joko
Listyanto, Ninik Resmi Nur Akhdiyati, dan Slamet, Zaini Anggoro Putro,
Harman Suryono, Salimi, dan Heri Tamtomo selaku masyarakat yang
melakukan golput di TPS XII Kelurahan Sondakan pada pemilihan umum
legislatif 2009.
e. Sugeng Riyanto, S.S selaku Ketua DPD PKS Kota Surakarta.
f. Ikhlas Thamrin, S.H selaku Ketua Bidang Politik DPD PKS Kota Surakarta.
g. Ahmad Faizal, Choirul selaku Kader DPD PKS Kota Surakarta.
3. Analisi Dokumen
Merupakan teknik penelitian yang dilakukan dengan cara mencatat dan
mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen yang isinya
52
berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian. H.B. Sutopo (2002 : 54)
mengemukakan bahwa “Dokumen adalah bahan tertulis yang bergayutan dengan
suatu peristiwa atau aktivitas tertentu, sedangkan arsip merupakan catatan
rekaman yang lebih bersifat formal dan terencana dalam organisasi”.
Dokumen yang dianalisis dalam penelitian yang dilakukan peneliti yaitu :
Berita Acara Pemungutan Suara Dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan
Suara Dalam Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009,
Sertifikat Hasil Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam
Pemilihan Umum Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009, Berita Acara
Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta Revisi Hasil Penghitungan
Suara Pemilu DPRD Provinsi Jawa Tengah, Laporan Monografis Dinamis
Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan Triwulan : I/Bulan : Februari/Tahun :
2010, AD/ART Partai Keadilan Sejahtera, dan Platform Kebijakan Pembangunan
Partai Keadilan Sejahtera.
c. Validitas Data
Validitas data menunjukkan mutu seluruh proses pengumpulan data
dalam suatu penelitian, mulai dari penjabaran konsep sampai pada data siap
dianalisa. Validitas data dapat di uji dengan menggunakan trianggulasi. Menurut
Lexy J. Moleong (2008 : 330) mengemukakan bahwa “Trianggulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu
dan untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”.
Kemudian menurut Patton dalam HB. Sutopo (2002 : 78) menyatakan
ada empat macam trianggulasi yaitu :
1. Trianggulasi Data (data Triangulation), dimana peneliti menggunakan beberapa sumber dengan data yang sama.
2. Trianggulasi Peneliti (Investigator Triangulation), yaitu pengumpulan data yang sama dan dilakukan oleh beberapa orang peneliti.
3. Trianggulasi Metodologi (Methodological Triangulation), yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan data yang sejenis, tetapi dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda.
4. Trianggulasi Teoritis (Theoretical Triangualtion), yaitu menggunakan penelitian tentang topik yang sama dan datanya dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif teori yang berbeda.
53
Adapun trianggulasi yang peneliti terapkan dalam penelitian ini adalah
triangulasi data. Sebab cara ini mengarahkan peneliti agar dalam pengumpulan
data harus menggunakan beragam data yang tersedia, artinya data yang sama atau
sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang
berbeda. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara mencari data dari
informan yang berbeda baik dari yang terlibat langsung dengan golput maupun
yang tidak terlibat secara langsung. Data hasil trianggulasi data I dan trianggulasi
data II dapat dilihat pada lampiran 3 dan lampiran 4.
d. Analisis Data
Metode analisis yang peneliti gunakan pada penelitian ini adalah model
analisi interaktif mengalir, yaitu model analisi yang menyatu dengan proses
pengumpulan data dalam suatu siklus. Secara garis besar analisi interaktif
mengalir terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Untuk lebih
jelasnya dapat peneliti uraikan mengenai tiga alur kegiatan dalam analisis
interaktif mengalir yakni sebagai berikut :
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan kegiatan yang digunakan untuk
memperoleh informasi yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui
kegiatan observasi, wawancara, dan dokumen. Data yang dikumpulkan masih
berupa data mentah, sehingga harus di analisis agar menjadi data yang lebih
teratur.
2. Reduksi Data
Reduksi data merupakan suatu proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan dan abstraksi dari fieldnote (data mentah). Menurut H.B. Sutopo
(2002 : 92) berpendapat bahwa “Reduksi data adalah bagian dari proses analisis,
yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-halyang tidak
penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan peneliti dapat
dilakukan”.
54
3. Sajian Data
Sajian data merupakan rakitan dari organisasi informasi yang
memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa
matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kegiatan dan table. Semuanya dirakit
secara teratur guna mempermudah pemahaman informasi.
4. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir
pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa
pengulangan dengan melihat kembali fieldnote (data mentah) agar kesimpulan
yang diambil lebih kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Ketiga macam kegiatan analisis yang menyatu dengan pengumpulan data
si muka saling berhubungan atau terkait dan berlangsung terus menerus selama
penelitian dilakukan. Secara skematis, model analisis interaktif mengalir dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2. Skema Model Analisi Interaktif (Huberman & Miles, 1992 : 20)
e. Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan beberapa langkah atau melalui
beberapa prosedur yaitu :
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Kesimpulan/ Verifikasi
Penyajian Data
55
1. Persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah merencanakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan penelitian, yakni mengurus
perijinan penelitian, menyusun protokol penelitian, pengembangan pedoman
pengumpulan data dan menyusun jadwal kegiatan penelitian
2. Pengumpulan Data
Kegiatan yang dilakukan setelah persiapan penelitian selesai adalah
mengumpulkan data di lapangan dengan observasi, wawancara mendalam, dan
mencatat serta menyimpan dokumen. Setelah data terkumpul tahap selanjutnya
melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul. Tahap
yang terakhir yaitu memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.
3. Analisis Data
Kegiatan yang dilakukan setelah pengumpulan data adalah menentukan
teknik analisa data yang tepat. Selanjutnya mengembangkan sajian data dengan
analisis lanjut kemudian dicocokkan dengan temuan lapangan. Setelah
mendapatkan data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses
verivikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan kepada orang yang lebih
ahli. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan peneliti.
4. Penulisan Laporan
Tahap penulisan laporan dilakukan dengan menyusun laporan awal dari
hasil analisis data yang diperoleh di lapangan. Selanjutnya dilakukan review
laporan dengan dilakukan pengecekan ulang laporan yang telah tersusun agar
lebih valid. Tahap selanjutnya yaitu penyusunan laporan akhir.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Deskripsi Kelurahan Sondakan
Lokasi Kelurahan Sondakan terletak di Kecamatan Laweyan, Kota
Surakarta. Kelurahan Sondakan terbagi menjadi 15 (lima belas) Rukun Warga
(RW) yang keseluruhannya mencangkup 5 lingkungan (kampung) yaitu Tegalrejo,
Sondakan, Premulung, Mutihan, dan Jantirejo.
Berdasarkan data monografi Kelurahan Sondakan tahun 2010 triwulan ke
I, bulan Februari 2010, letak geografisnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Batas Wilayah :
a. Sebelah Utara : Kelurahan Kerten dan Kelurahan Pajang
b. Sebelah Selatan : Kelurahan Laweyan dan Kelurahan Pajang
c. Sebelah Barat : Kelurahan Pajang
d. Sebelah Timur : Kelurahan Purwosari dan Kelurahan Bumi
2. Keadaan Penduduk :
a. Jumlah Penduduk : 11.918 jiwa
b. Jumlah Kepala Keluarga : 2.772
Selanjutnya jumlah penduduk Kelurahan Sondakan menurut umur,
tingkat pendidikan dan agama yang dianut dapat dilihat dalam tabel sebagai
berikut :
Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Kelamin
57
No. Kel. Umur Jumlah % 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
0 – 4
5 – 9
10 – 14
15 – 19
20 – 24
25 – 29
30 – 39
40 - 49
50 – 59
60 >
493
840
867
989
1.025
1.187
2.101
1.821
1.347
1.248
4,1
7,0
7,3
8,3
8,6
10
17,6
15,3
11,3
10,5
Jumlah 11.918 100
Sumber : Data Monografi Kelurahan Sondakan 2010
Komposisi tabel diatas dapat diketahui berarti besarnya penduduk di
Kelurahan Sondakan yang memiliki usia produktif sebagai pemilih dalam pemilu
atau sudah memenuhi sayarat sebagai pemilih dalam pemilu sesuai dengan
ketentuan sebagai pemilih Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yaitu dari usia 17 tahun atau sudah kawin
kurang lebih sebanyak 59,8 %. Dari banyaknya jumlah penduduk yang
mempunyai usia produktif tersebut, dapat diketahui jumlah penduduk menurut
mata pencaharian sebagai berikut :
Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian (Bagi Umur 10 tahun
keatas)
No Mata Pencaharia Jumlah %
58
1. Petani sendiri - - 2. Buruh tani - - 3. Nelayan - - 4. Pengusaha - - 5. Buruh industri 2.887 27,3 6. Buruh bangunan 3.185 30,2 7. Pedagang 969 9,2 8. Pengangkutan 808 7,7 9. Peg. Negeri (Sipil/ABRI) 594 5,6 10. Pensiunan 280 2,7 11. Lain-lain 1.839 17,4
Jumlah 10.562 100 Sumber : Data Monografi Kelurahan Sondakan 2010
Berdasarkan data tabel di atas, dapat diketahui mayoritas penduduk di
Kelurahan Sondakan bermata pencaharian sebagai buruh bangunan dan buruh
industri. Selain itu dapat diketahui penduduk di Kelurahan Sondakan yag bermata
pencaharian sebagai pedagang dan pengangkutan lebih besar dari pada jumlah
penduduk yang bermata pencaharian sebagai PNS (Sipil/ABRI) dan Pensiunan.
Sehingga berdasarkan dari data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mayoritas
penduduk di Kelurahan Sondakan berada pada tingkat ekonomi menengah ke
bawah.
Sedangkan jumlah penduduk Kelurahan Sondakan berdasarkan tingkat
pendidikannya dapat di lihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
No Pendidikan Jumlah % 1. Tamat Akdm/Perg. Tinggi 1.611 14,6 2. Tamat SLTA 3.763 34,1 3. Tamat SLTP 1.835 16,6 4. Tamat SD 1.563 14,1 5. Tidak Tamat SD 541 4,9 6. Belum Tamat SD 918 8,3 7. Tidak Tamat Sekolah 816 7,4
Jumlah 11.047 100 Sumber : Data Monografi Kelurahan Sondakan 2010
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk di
Kelurahan Sondakan memiliki tingkat pendidikan tamat SLTA dan tamat SLTP.
Sedangkan penduduk yang memiliki tingkat pendidikan tamat
59
Akademi/Perguruan Tinggi menempati urutan yang ketiga. Selain itu juga dapat
diketahui bahwa jumlah penduduk di Kelurahan Sondakan yang mempunyai
pendidikan tergolong masih rendah lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan yang menengah keatas.
Sedangkan berdasarkan jumlah penduduk Kelurahan Sondakan
berdasarkan agama yang dianut mayoritas penduduk di Kelurahan Sondakan
adalah beragama Islam yatu sebanyak 88,6%.. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Agama yang Dianut
No. Agama Jumlah % 1. Islam 10.562 88,6 2. Kristen Katholik 863 7,2 3. Kristen Protestan 437 3,7 4. Budha 40 0,3 5. Hindu 16 0,1 Jumlah 11.918 100
Sumber : Data Monografi Kelurahan Sondakan 2010
2. Tempat Pemungutan Suara XII Sondakan
Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII dalam pemilihan umum legislatif
yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 berlokasi di Premulung RT 01 RW
IX, Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Surakarta. Berdasarkan data
Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang di peroleh dari KPU Kota Surakarta terdapat
337 pemilih yang mempunyai hak pilih sesuai dengan Undang-Undang No. 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 9. Data Pemilih Pemilu Legislatif 2009 di TPS XII Sondakan, Laweyan,
Kota Surakarta.
No. Uraian Laki-laki Perempuan Jumlah 1. Jumlah pemilih terdaftar dalam
Daftar Pemilih Tetap 166 169 335
2. Jumlah Pemilih Terdaftar Dalam Pemilih Tambahan
1 1 2
3. Jumlah Seluruh Pemilih Terdaftar 167 170 337
60
dalam Daftar Pemilih Tetap dan Daftar Pemilih Tambahan
Sumber : KPU Kota Surakarta
Berdasarkan dari tabel di atas, dapat diketahui terdapat 335 jumlah
pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap dan terdapat 2 jumlah pemilih
yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tambahan, sehingga jumlah keseluruhan
pemilih di TPS XII yaitu 337 pemilih. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal
40 yang mengatur tentang Daftar Pemilih Tambahan.
Pada saat hari pelaksanaan pemungutan suara tanggal 9 April 2009 di
TPS XII terdapat sejumlah 122 jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak
pilihnya dan sebanyak 14 jumlah suara yang tidak sah. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 10. Data Penggunaan Hak Pilih Pemilu Legislatif 2009 di TPS XII
Sondakan, Laweyan, Surakarta.
No. Uraian Jumlah
1. Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih 215
2. Jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih 122
3. Jumlah 337
Sumber : KPU Kota Surakarta
Berdasar pada tabel di atas dapat diketahui bahwa sejumlah 337 pemilih
di TPS XII yang mempunyai hak pilih sebanyak 215 atau 63,8% pemilih
menggunakan hak pilihnya, sebanyak 122 atau 36,2% pemilih tidak menggunakan
hak pilihnya dalam pemilu legislatif 2009. Sedangkan data suara sah/tidak sah
pemilu legislatif 2009 di TPS XII lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut :
Tabel 11. Data Suara Sah/Tidak Sah DPRD Kabupaten/Kota
No. Uraian Jumlah
1. Jumlah Suara Sah 201
61
2. Jumlah Suara Tidak Sah 14
3 Jumlah 215
Sumber : KPU Kota Surakarta
Berdasarkan data di atas dapat diketahui dari sejumlah 215 pemilih yang
menggunakan hak pilihnya dalam pemiliu legislatif 2009 di TPS XII Sondakan
terdapat 201 atau 93,5% jumlah suara yang sah dan 14 atau 6,5% jumlah suara
yang tidak sah. Sehingga berdasarkan data tersebut dapat diketahui banyaknya
pemilih yang golput atau tidak menggunakan hak pilihnya dengan benar pada
pemilu legislatif 2009 di TPS XII Sondakan sebanyak 136 pemilih.
3. Latar Belakang Berdirinya Partai Keadilan Sejahtera
a. Sejarah Berdirinya Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Salah satu kebijakan pemerintah Orde Baru yang sangat fenomenal
adalah penetapan ideologi Pancasila sebagai ideologi tunggal kehidupan sosial
politik masyarakat. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang No.3 dan
8 tahun 1985. Kebijakan ini bergulir dalam rangka menghilangkan perbedaan
ideologi dari berbagai kelompok masyarakat, sehingga kondisi stabilitas nasional
bisa tetap terlestarikan. Adanya aneka ragam ideologi yang dianut setiap
kelompok masyarakat, dipandang sebagai bibit perpecahan yang akan
mengganggu stabilitas nasional. Selain itu adanya perbedaan ideologi dikalangan
masyarakat akan mengancam kestabilan jalannya roda pemerintahan.Hal ini
disebabkan karena dengan adanya perbedaan ideologi antara negara dengan suatu
kelompok masyarakat akan mengakibatkan berkurangnya loyalitas masyarakat
tersebut kepada negara, dan ini akan menghambat jalannya pemerintahan. Dalam
rangka stabilitas nasional ini pula sebelum digulirkannya UU tersebut, pemerintah
Orde Baru telah melakukan penyederhanaan partai. Langkah ini kemudian diikuti
dengan upaya penyeragaman asas partai politik dalam satu asas tunggal Pancasila.
Pemberlakuan asas tunggal ini pula tidak hanya dikenakan pada kehidupan politik,
namun lebih luas diberlakukan terhadap seluruh kehidupan organisasi. Organisasi-
organisasi yang berdiri dan tidak menggunakan asas tunggal Pancasila dianggap
subvertif, membahayakan negara, sehingga harus “ditumpas” eksistensinya.
62
Dengan kata lain, pemerintah orde baru tidak memberikan celah terhadap adanya
perbedaan yang sifatnya fundamental. Kebijakan pemberlakuan asas tunggal
cukup mengganggu eksistensi organisasi-organisasi pada saat itu, terkhusus di
dalamnya organisasi-organisasi massa Islam. Sudah sejak lama kekuatan Islam
dipandang serius oleh pemerintah. Kekuatan Islam sejak lama merupakan sebuah
kekuatan yang sangat potensial untuk membuat gerakan yang biasanya akan selalu
berlawanan dengan arah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Lebih jauh
ternyata kekuatan tersebut mengarah kepada gerakan perlawanan dan
pemberontakan. Hal ini muncul karena adanya sebuah keinginan yang sangat
fundamental, yaitu pemberlakuan syariat Islam di Indonesia.
Pemerintah Orde Baru memandang bahwa ideologi yang berbasis
keagamaan pada suatu organisasi akan sangat mudah memunculkan semangat
perlawanan terhadap pemerintah. Pemerintah memandang tepat untuk adanya
penyatuan yang sifatnya fundamental berupa penyeragaman ideologi. Pada
kondisi dimana setiap organisasi menerapkan asas Pancasila, maka semangat
perlawanan kepada pemerintah yang tumbuh dari nilai-nilai ajaran agama mampu
diredam. Setelah itu, maka langkah selanjutnya adalah mengarahkan pandangan
dan kehendak masyarakat sesuai dengan kepentingan dan kehendak pemerintah.
Dalam mengarahkan kehendak dan pandangan masyarakat tersebut, pemerintah
Orde Baru menerapkan gagasan sekulerisasi dalam kehidupan negara. Pemerintah
memandang bahwa masalah agama adalah urusan individual dan tidak ada
relevansinya dengan urusan politik kenegaraan. Agama hanyalah sebagai modal
dasar dalam menetukan arah perubahan sosial, namun tidak memiliki hubungan
struktural dengan institusi kenegaraan. Pandangan seperti itu cukup efektif dalam
mendoktri masyarakat dalam melakukan setiap aktivitasnya untuk
mengesampingkan ajaran agama dalam setiap hubungan sosialnya. Beragam
respon yang dilontarkan umat Islam terhadap kebijakan penyeragaman ideologi
itu. Respon tersebut di antaranya berbentuk penerimaan, sikap apatis, dan sikap
penolakan. Salah satu bentuk penolakan yang dilakukan oleh Mahasiswa Islam
Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).
Dua organisasi kaum pemuda Islam ini menolak dengan tegas tanpa kompromi
63
pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Kedua organisasi inilah yang kemudian
mempunyai peran yang cukup signifikan bagi kemunculan gerakan-gerakan
kampus. Sikap penolakan tanpa kompromi terhadap pemberlakuan asas tunggal
itu membuahkan tindakan keras dari pemerintah Orde Baru saat itu, yaitu
pembubaran organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) dan dianggap terlarang
melalui SK Mendagri No. 120 tahun 1987.
Pembubaran secara formal PII tidak menjadikan mereka berhenti dari
perjuangnnya. Mereka melakukan gerakan-gerakan “bawah tanah” dalam
membina kaum muda Islam. Dalam situasi yang cukup menegangkan dan
statusnya yang illegal, maka pembinaan-pembinaanyang dilakukan pula sangat
sarat dengan muatan-muatan ideologis. Dari pembinaan-pembinaan yang
dilakukan itu menghasilkan kader-kader pemuda yang militan yang mempunyai
semangat dan pengorbanan yang besar dalam menentang kebijakan pemerintah
yang sangat kontroversial tersebut.
Kebijakan NKK/BKK yang digulirkan pada awal tahun 1980-an semakin
mempersempit ruang gerak dari gerakan mahasiswa. Semua aktivitas kampus
yang berbau politis harus disingkirkan dan tidak boleh hidup di tengah-tengah
kehidupan kampus. Aktivitas politis menjadi suatu wilayah “terlarang” bagi para
aktivis dakwah kampus. Aktivitas dakwah kampus pada saat itu lebih berorientasi
pada pemurnian ajaran dan pemikiran Islam, dari pada gerakan yang berorientasi
politik. Gerakan-gerakan yang mereka jalankan harus berada pada koridor
gerakan moral, tanpa ada misi-misi politik di dalamnya. Oleh karena itu,
pemerintah Orde Baru sangat concern pada upaya-upaya pengidentifikasian
gerakan-gerakan mahasiswa yang dipandang menyimpang dari konsep
NKK/BKK. Dalam kondisi yang penuh kekangan tersebut, bermunculan
kelompok-kelompok studi Islam, yang secara tidak langsung membawa
pencerahan baru bagi aktivitas dakwah kampus. Forum-forum studi yang
terbentuk berpengaruh pada perkembangan ke-Islaman dalam berbagai bidang
kehidupan dan implementasi nilai-nilai serta ajaran Islam dalam kehidupan sehari-
hari.
64
Sebelum menjadi sebuah partai, para aktivis PK adalah orang-orang yang
lebih bergelut di seputar kegiatan dakwah. Mereka bergerak di kampus-kampus
dan sangat terbatas disejumlah sekolah. Sesuai dengan kondisi Orde Baru yang
sangat reprensif dan “anti-Islam”, gerakan mereka bersifat bawah tanah. Pada
dekade 1980-an, kita mengenal mereka sebagai gerakan usroh. Namun, pada
1990-an dan hingga kini, mereka lebih menyukai disebut sebagai gerakan tarbiyah
(pendidikan).
Kegiatan mereka relatif tertutup dan dalam kelompok-kelompok kecil.
Lingkup kegiatannya terbatas pada pengajian dan sesekali tadabur alam. Mereka
sangat menghindari untuk bersentuhan dengan kegiatan politik maupun sosial.
Pokok bahasannya lebih pada masalah tauhid. Namun, mereka sangat disiplin
dalam hal ritual ibadah dan bentuk-bentuk keshalihan sosial. Organisasi mereka
sangat sederhana namun dengan disiplin dan hierarki yang ketat.
Situasi ini sangat berbeda dengan organisasi dakwah lain yang kemudian
bermetamorfosis menjadi partai atau berafiliasi dengan partai seperti Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah. Walaupun mereka lahir dan tumbuh pada masa
kolonial, namun mereka organisasi permukaan tanah. Aktivitasnya terbuka dan
tokohnya pun dikenal sehingga publik cukup kenal mereka saat, mereka kemudian
bersama-sama mendirikan partai Masyumi atau ketika mereka kemudian
mendirikan/ merestui PKB maupun PAN. Kegiatan dakwah gerakan
usroh/tarbiyah relatif mengisolasi diri dari kehidupan politik, sosial, maupun
budaya di sekitarnya. Strategi ini paling pas buat mereka. Walau bagaimanapun,
mereka menyadari bahwa jika mereka tampil maka yang akan terjadi adalah
kegagalan: ditangkap, diintimidasi, dimati-sosialkan, dan akhirnya lebur dalam
suasana mayoritas yang diam terhadap represi dan ketidakadilan Orde Baru.
Walaupun mereka mengisolasi diri bukan berarti mereka adalah sekumpulan
orang-orang yang asing dan berjarak dengan negara-kebangsaan (nation-state)
Indonesia. Mereka mengisolasi diri untuk membentuk masyarakat yang solid
untuk melawan kediktaktoran.
Terbukti, ketika Orde Baru mulai melemah, mereka segera keluar sarang.
Aktivis mereka awalnya mengambil tema-tema dunia Islam Internasional seperti
65
soal Palestina maupun Bosnia. Walaupun demo-demo yang mereka gelar diikuti
massa yang sangat besar, namun mereka aman dari represi pemerintah saat itu.
Hal itu juga sekaligus sebagai ajang pelatihan. Massa mereka merupakan yang
paling efektif, berdisiplin, dan damai saat gerakan reformasi Mei 1998. Sampai
pada saat digulingkannya Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 sebagai wujud
aksi perlawanan mahasiswa bersama rakyat untuk menyusun kekuatan untuk
mengadakan proses perubahan terhadap kondisi yang ada pada saat itu.
Lengsernya Soeharto bukan berarti menandai berakhirnya perjuangan mencapai
cita-cita dakwah untuk mengubah kondisi bangsa dan negara. Namun ini hanya
sebagai pintu gerbang untuk mengawali proses perubahan kehidupan bangsa
dalam sekuruh aspek kehidupan. Kondisi negara paska lengsernya Soeharto bukan
berarti Indonesia terlepas dari segala hal permasalahan yang ada sebelumnya.
Pada saat itu pengelolaan negara baik di tingkat eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif masih banyak terpengaruh budaya Orde Baru, yaitu masih
membudayanya praktek-praktek KKN. Walaupun pada saat itu pintu kebebasan
sudah terbuka begitu lebar, namun kontrol masyarakat dalam hal ini terutama para
kativis dakwah kampus masih mempunyai posisi tawar yang lemah terhadap para
penyelenggara negara. Berangkat dari kondisi seperti ini, maka munculah
pemikiran tentang membangun institusi kuat yang mempunyai daya tawar yang
baik terhadap pemerintah. Pada akhirnya, wacana ini cukup menkristal dalam
gagasan-gagasan para aktivis dakwah kampus, sehingga sampai pada suatu
kesimpulan pada suasana kebebasan yang terbentuk itu, perlu dimanfaatkan
seoptimal mungkin untuk mencapai cita-cita dakwah Islam. Institusi sebagai
pengontrol negara dan juga sebagai sarana perjuangan dakwah, pada akhirnya
berwujud sebagai sebuah partai politik.
Masyarakat mulai menyadari ada kekuatan yang besar dan terorganisasi
dengan rapi yang selama ini ada di bawah permukaan. Berawal dari gagasan-
gagasan itu, maka secara resmi pada tanggal 20 Juli 1998 (26 Rabi’ul Awwal
1419 H), didirikanlah sebuah partai politik yang diberi nama Partai Keadilan
(PK). Adapun pengukuhan dalam bentuk deklarasi oleh Dewan Pendiri Partai
dilakukan pada hari Ahad, 9 Agustus 1998 yang bertempat di Masjid Al-Azhar
66
Jakarta. Dewan Pendiri Partai berjumlah 50 orang dengan diwakili oleh Dr.H.M.
Hidayat Nur Wahid, MA, dan H. Luthfi Hasan Ishaaq, MA. Deklarasi partai
dihadiri oleh sekitar 50 ribu massa pendukung.
Dengan dukungan dan jaringan yang cukup besar bagi sebuah partai baru
tersebut, maka Partai Keadilan berhasil lolos menjadi salah satu kontestan Pemilu
1999. Perolehan suara yang diraih oleh PK cukup mengejutkan. Sebagai partai
baru yang belum mampunyai pengalaman masa lalu dan tidak memiliki tokoh
bertaraf nasional, ternyata PK berhasi mejadi tujuh partai besar dalam pemilu
1999 tersebut. Partai Keadilan (PK) yang dalam pemilu 1999 lalu meraih 1,4 juta
suara (7 kursi DPR, 26 Kursi DPRD Propinsi dan 163 kursi DPRD
Kota/Kabupaten). Namun demikian, dengan jumlah suara tersebut, Partai
Keadilan tidak mampu menembus ketentuan electoral threshold, yaitu batas
perolehan suara sekurang-kurangnya 2% atau sepuluh kursi di DPR. Dengan
ketentuan tersebut, sudah bisa dipastikan Partai Keadilan tidak bisa lagi menjadi
kontestan pemilu pada tahun 2004.
Setelah melalui berbagai pemikiran dan pertimbangan, maka tibalah pada
sebuah keputusan, bahwa dalam rangka mempertahankan kiprah partai dalam
arena perpolitikan, dalam rangka mempertahankan serta menegakkan dakwah di
lingkungan kekuasaan negara, maka perlu dibentuk institusi baru untuk
melanjutkan perjuangan dari Partai Keadilan. Institusi baru penerus Partai
Keadilan tersebut adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai baru ini secara
resmi dideklarasikan pada hari Ahad, 20 April 2003 (9Jumadil’Ula 1423 H) di
lapangan Monas Jakarta. Pada saat itu pula disampaikan pernyataan resmi dari
Presiden Partai Keadilan, bahwa Partai Keadilan secara resmi bergabung dan siap
dipimpin oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS percaya bahwa jawaban
untuk melahirkan Indonesia yang lebih baik di masa depan adalah dengan
mempersiapkan kader-kader yang berkualitas baik secara moral, intelektual, dan
professional. Karena itu PKS sangat peduli dengan perbaikan-perbaikan kearah
terwujudnya Indonesia yang adil dan sejahtera. Kepedulian ini yang menapaki
setiap jejak langkah dan aktivitas partai. Dari sebuah entitas yang belum dikenal
67
sama sekali dalam jagat perpolitikan Indonesia hingga dikenal dan eksis sampai
saat ini.
Beberapa hal yang terdapat dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
antara lain :
1) Landasan Filosofis
Pendirian Partai Keadilan Sejahtera tidak terlepas dari tujuan untuk
mencapai cita-cita perjuangan dakwah. Harakatul Islam (gerakan perbaikan) yang
meliputi segala aspek kehidupan bangsa dan negara memerlukan institusi politik
yang mempunyai kekuatan untuk ikut andil dalam menentukan kebijakan
pemerintah. Oleh karena itu, pembentukan partai merupakan pilihan yang lebih
tepat dalam rangka eksistensi perjuangan dakwah.
Partai politik merupakan sarana untuk menata kekuatan dan strategi
perjuangan untuk mencapai cita-cita dakwah. Adanya institusi formal ini akan
menjadi wadah konsolidasi kekuatan dan penentuan strategi perjuangan, sehingga
aktivitas dakwah menjadi lebih sistematis dan produktif. Banyaknya unsure
kekuatan dakwah yang sudah dimiliki akan menghasilkan perubahan kehidupan
bangsa yang signifikan, tanpa adanya pengaturan barisan dengan orientasi dan
perncanaan yang jelas. Oleh karena itu, partai ini didirikan dalam rangka
membangun kesadaran umat terhadap eksistensi dirinya dan menghimpunnya
dalam sebuah barisan yang solid, kuat dan teratur.
PKS mencoba menawarkan model sebuah partai yang modern yang tetap
memegang teguh nilai-nilai Islam. Sebagai partai dakwah, PKS tidak hanya
berorientasi untuk turut serta dalam pemilihan umum, namun lebih jauh
berorientasi pada perluasan dakwah dalam rangka mengembalikan nilai-nilai
Islam dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, partai ini tidak akan bubar hanya
karena kalah dalam jumlah perolehan suara dalam pemilu. Pemilihan umum
hanyalah sebagai wasilah (sarana), bukan sebagai tujuan dari keberadaan PKS.
Tujuan utama yang akan diraih adalah mewujudkan bangsa dan negara Indonesia
yang diridhoi Allah SWT.
Orientasi dan keberadaan partai yang tidak hanya menuju pemilu dan
kursi kekuasaan merupakan suatu hal yang tidak cukup lazim dalam budaya
68
perpolitikan Indonesia. Terlebih lagi bertujuan sebagai sarana kegiatan dakwah,
yang nilai dan budaya sudah mereka bangun selama ini dalam kegiatan
dakwahnya, belum tentu bisa diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, PKS sulit
untuk diidentikkan dengan keberadaan partai-partai lainnya di masa lalu.
2) Karakteristik
Ada tujuh karakteristik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sesuai dengan
apa yang tertuang dalam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pimpinan pusat.
Tujuh karakter tersebut adalah moralis, profesional, patriotik, moderat, demokrat,
reformis, dan independen.
a) Moralis
Sebagai sebuah partai yang memiliki semangat dan berlandaskan pada
nilai-nilai ke-Islaman, maka aspek moralitas ditempatkan pada karakter pertama
partai. Islam sebagai agama dan pedoman hidup yang lengkap dan sempurna,
tentunya mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengatur
umatnya dalam masalah kegiatan ritual ibadah. Sebagai pedoman hidup, Islam
juga mengatur masalah ekonomi, hukum, politik, kebudayaan, dan pendidikan.
Islam merupakan jalan hidup yang total dan tawazun (seimbang), yang tidak
hanya mengatur aktivitas yang berorientasi ukhrawi, namun juga mengatur
masalah-masalah duniawi. Sebagai agama yang lengkap dan sempurna, Islam juga
memberikan bimbingan dan menjadi pedoman dalam kehidupan politik. Politik
merupakan salah satu bagian terpenting dalam Islam. Dalam melakukan aktivitas
politik ini, setiap muslim terikat dan harus mengacu pada etika maupun norma
yang telah digariskan. Setiap muslim dilarang untuk menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Prinsip-prinsip kebenaran, kejujuran, dan
amanah harus menjadi landasan dalam kiprah seorang muslim dalam kiprah
berpolitik.
b) Profesional
Profesional bercirikan pada penguasaan detail masalah yang akan
mengantarkan partai pada kebijakan-kebijakan yang bertanggung jawab atas
berbagai masalah yang dihadapi, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan
69
budaya. Pembentukan pribadi dengan memperhatikan intelektualitas, sikap kritis,
dan sensivitas mendapatkan perhatian yang lebih dalam aktivitas partai ini.
Profesional yang terbentuk tidak bisa terlepas dari karakter moral.
Dengan kata lain profesionalitas yang tumbuh dari kondisi yang penuh kebebasan
jharus senantiasa dikendalikan oleh rasa tanggung jawab pribadi. Dengan rasa
tanggung jawab ini maka segala bentuk penyelewengan, anarki, dan pelanggaran
terhadap hak-hak asasi orang lain dapat dihilangkan dari mulai lingkup organisasi.
c) Patriotik
Bagi kader PKS hidup berpartai adalah jihad siyasi (jihad dalam politik).
Jihad dalam politik merupakan perjuangan menegakkan dakwah Islam melalui
arena perpolitikan. Karena itu jihad politik merupakan sebuah kewajiban bagi
kader dalam rangka memperjuangkan dakwah Islam melalui medan siyasah
(politik). Pemahaman dan keyakinan seperti ini telah terpatri dalam pribadi kader,
sehingga mereka siap mengerahkan segenap kemampuan untuk menjayakan
partai. Hal ini tidak mengherankan karena jiwa patriotik sesungguhnya merupakan
sebuah karakter yang dibangun sejak lama dalam tubuh Partai Keadilan, atau
bahkan sebelum berdirinya Partai Keadilan, melalui proses tarbiyah (pembinaan).
d) Moderat
Sikap moderat merupakan sesuatu sikap yang alamiyah., bahwa alam ini
diciptakan dengan segala keseimbangan dan keadilannya. Kehidupan alam
semesta tidak hanya mengutamakan satu sisi kehidupan saja, namun secara
komprehensif memperhatikan seluruh segi kehidupan. Oleh karena itu, sikap
pertengahan merupakan sebuah sikap yang alamiah, dimana pemikiran,
pandangan, dan sikap moderasi, berimbang dan pertengahan, serta saling
melengkapi bagi manusia dan kehidupan merupakan sikap objektif yang selaras
dengan tata alamiah. Sikap semacam ini merupakan refleksi dari pandangan yang
menggambarkan jalan tengah yang telah menjadi ciri umat pilihan, umat yang
jauh dari sikap berlebih-lebihan dan pengabaian.
e) Demokrat
Berkaitan dengan karakter ini, Partai Keadilan Sejahtera menerima nilai-
nilai universal dari demokrasi, yang notabene bukan nilai yang berasal dari Islam.
70
Nilai dan semangat demokrasi dalam kondisi bangsa yang ada saat ini lebih
memungkinkan masyarakat leluasa dalam menyikapi pendapat, mengekspresikan
diri dan menyalurkan potensinya membentuk kekuatan kebersamaan. Nilai
demokrasi yang beresensikan pada pembentukan partisipasi rakyat dalam
penyelenggaraan kekuasaan Negara tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Namun perlu diingat bahwa penyelenggaraan negara disini didasarkan pada nilai-
nilai syuro, dimana penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah Negara
didasarkan pada ajaran Al-Qur’an dan sunnah.
f) Reformis
Partai Keadilan Sejahtera menempatkan dirinya sebagai partai reformis
yang berupaya konsisten menjauhkan diri dari sifat-sifat atau karakter-karakter
yang menyimpang dan menimbulkan kerusakan. Karakter reformis pada diri PKS
berawal dari kualitas pribadi kader yang mampu menampilkan shaksiyah
(kepribadian) Islam dalam berbagai segi kehidupan. PKS berprinsip bahwa
persoalan politik sama pentingnya dengan pembinaan pribadi para calon politikus.
Oleh karena itu aktivitas kaderisasi pada partai ini menjadi aktivitas utama yang
terus dilakukan secara intensif. Tidak heran kalau partai ini sering disebut sebagai
partai kader.
g) Independen
Definisi independen atau merdeka yang dimiliki oleh PKS adalah seperti
halnya yang dikemukakan oleh seorang panglima perang Islam, Ribi’ bin Amir di
hadapan panglima Rustum, “Aku datang diutus untuk membebaskan manusia
menuju penghambaan kepada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju
keluasan dunia-akhirat, dan dari tirani agama-agama menuju keadilan Islam”.
Dengan prinsip kemerdekaan ini, maka kemerdekaan, kebebasan, dan keasilan
yang dipunyai dan dicita-citakan oleh Partai Keadilan Sejahtera adalah tidak
terbataskan oleh perbedaan etnis, ras, suku, status sosial, dan agama.
3) Paradigma
Terminologi yang muncul di tengah kehidupan modern untuk
menggambarkan aktivitas perubahan sosial terencana adalah pembangunan. Sejak
71
akhir tahun lima puluhan dan akhir tahun enem puluhan, pembangunan disama
artikan dengan kemajuan dan modernisasi. Menurut konsep ini, perbaikan
lingkungan fisik atau kemajuan material merupakan fokus dari aktivitas
pembangunan. Negara sedang berkembang dan negara terbelakang diartikan
sebagai negara yang dalam bidang industri, ekonomi, teknologi, kelembagaan dan
kebudayaan sedang berusaha untuk maju meniru model negara maju di barat.
Implementasi konsep pembangunan semacam itu, akan menihilkan
perlindungan terhadap lima aspek utama kebutuhan dasar manuasia (agama, jiwa,
akal, harta dan keturunan). Karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam atas
konsep pembangunan yang akan diterapkan. Urbanisasi dan industrialisasi
melahirkan masalah kebodohan, kemiskinan, pengangguran, kelaparan dan rasa
tidak tenteram. Beberapa analisis mutakhir atas dampak ideologi
developmentalisme Barat memperlihatkan suatu kesimpulan, bahwa pembangunan
telah menyeret manusia kepada enam ancaman serius, yaitu: industri yang tidak
terkendali; mengeringnya sumber-sumber alam (seperti energi, hutan, pangan dan
air); tekanan perkapita yang telah melampaui titik kritis atas tanah dan
lingkungan; limbah industri dan rumah tangga yang terus bertambah; perlombaan
senjata nukli, kimia dan biologi; pertumbuhan dan persebaran penduduk dunia
secara tidak terkendali. Indonesia harus merumuskan ulang paradigma
pembangunannya dengan menyaring konsep yang dating dari luar secara kritis
dan tepat, dan berani mengungkapkan gagasan-gagasan orisinilnya.
Pancasila sebagai dasar negara, secara konsepsional mengandung nilai-
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid), demokrasi (syura), hak asasi manusia
(maqasi syariah), pluralitas persatuan dan kesatuan, dalam semangat
kekeluargaan dan kebersamaan yang harmonis serta untuk mewujudkan keadilan
social bagi seluruh Indonesia. Nilai-nilai tersebut menjadi landasan idiil
kehidupan berasama bangsa Indonesia.
Tujuan didirikannya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagaimana
tertuang dalam Anggaran Dasar Partai Keadilan Sejahtera Pasal 5, yaitu:
72
1. Terwujudnya cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945, dan
2. Terwujudnya masyrakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhoi
Allah subhanahu wa ta’ala, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4) Prinsip Dasar
Sebagai Industri kepartaian yang memiliki agenda politik, ada beberapa
prinsip dasar yang menjadi pegangan Partai Keadialan Sejahtera, yaitu sebagai
berikut:
a) Keadilan, persamaan dan keseimbangan adalah pengakuan terhadap
keberadaan dan hak-hak politik dan sosial setiap manusia yang memiliki
kedudukan hukim dan undang-undang yang sama, meski berbeda suku, warna
kulit, dan agama, baik laki-laki maupun perempuan.
b) Kesatuan nasional, yaitu memperkokoh struktur Negara sambil tetap menjaga
integritas dan persatuan nasional. Memandang pluralitas rakyat dan realitas
hokum serta kekayaan alam sebagai kenyataan alamiah yang harus dihormati
secara proporsional.
c) Kemajuan, adalah membangun kesadaran sejarah, kesadaran tentang realitas
dan kesadaran tentang keharusan melakukan perbaikan sebagai perwujudan
kewajiban sebagai makhluk moral dalam melaksanakan misi untuk
membangun peradaban.
d) Khidmatul Ummah demi persatuan, adalah upaya menjadi jembatan berbagai
kelompok, organisasi atau partai-partai Islam dalam mewujudkan persatuan
umat.
e) Kerjasama internasional, yaitu menjalin interaksi dengan bangsa lain dalam
rangka menandaskan kepada dunia internasional bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang cinta damai, mengakui hak-hak bangsa-bangsa dalam
kehidupan bersama yang saling menghormati dan saling bekerja sama untuk
meningkatkan kemajuan, pertumbuhan, dan pemekmuran bumi yang dilandasi
rasa keadilan.
73
5) Visi dan Misi
a) Visi Partai Keadilan Sejahtera
PKS mempunyai Visi Umum dan Visi Khusus, yaitu :
(1) Visi Umum
Sebagai Partai Dakwah Penegak Keadilan dan Kesejahteraan Dalam
Bingkai Persatuan Umat dan Bangsa.
(2) Visi Khusus
Partai berpengaruh, baik secara kekuatan politik, partisipasi, maupun
opini dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yanga madani.
Visi ini akan mengarahkan Partai Keadilan Sejahtera sebagai:
1. Partai da’wah yang memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Kekuatan transformatif dari nilai dan ajaran Islam di dalam proses
pembangunan kembali umat dan bangsa diberbagai bidang.
3. Kekuatan yang mempelopori dan menggalang kerjasama dengan
berbagai kekuatan yang secita-cita dalam menegakkan nilai dan
system Islam yang rahmatan lil alamin.
4. Akselerator bagi perwujudan masyarakat madani di Indonesia.
b) Misi Partai Keadilan Sejahtera
1) Menyebarluaskan da’wah Islam dan mencetak kader-kadernya sebagai
anashir taghyir.
2) Mengembangkan institusi-institusi kemasyarakatan yang Islami
diberbagai bidang sebagai markaz taghyir dan pusat solusi.
3) Membangun opini umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi
penerapan ajaran Islam yang solutif dan membawa rahmat.
4) Membangun kesadaran politik masyrakat, melakukan pembelaan,
pelayanan dan pemberdayaan hak-hak kewarganegaraannya.
5) Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar terhadap kekuasaan secara
konsisten dan kontinyu dalam bingkai hukum dan etika Islam.
74
6) Secara efektif melakukan komunikasi, silaturahim, kerjasama dan ishlah
dengan berbagai unsur atau kalangan umat Islam untuk terwujudnya
ukhuwah Islamiyah dan wihdatul-ummah, dan dengan berbagai
komponen bangsa lainnya untuk memperkokoh kebersamaan dalam
merealisir agenda reformasi.
7) Ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan keadilan dan
menolak kedhaliman khususnya terhdap negeri-negeri muslim yang
tertindas.
6) Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera
Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera, merupakan
dokumen yang merefleksikan visi, misi, program dan sikap partai terhadap
berbagai persoalan di Indonesia. Platform Kebijakan Pembangunan PKS ini akan
menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai, dan akan menjadi sebuah
dakwah Partai Keadilan Sejahtera di semua sektor kehidupan, dapat diberdayakan
dan didaya gunakan, bekerja secara terintegrasi, kontinyu, fokus dan terarah
sehingga sumber daya partai yang terbatas bisa dikelola secara baik menjadi
efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan dan
secara langsung bisa dirasakan oleh para simpatisan, konstituen partai, dan
masyarakat. Platform Kebijakan Pembangunan PKS dalam berbagai bidang
kehidupan yang strategis dipandang penting untuk dua sasaran, yaitu pertama,
sebagai instrument komunikasi kepada massa konstituen sekaligus sebagai alat
untuk meresonansikan presepsi tentang kehidupan bersama yang diperjuangkan.
Kedua, Sasaran yang bersifat internal ke dalam tubuh PKS sebagai institusi
dakwah terhadap negara, pengelolaan negara dan kehidupan bersama dalam
wilayah NKRI. Platform politik ini juga menegaskan kembali karakteristik PKS
sebagai partai dakwah, yang bukan sekedar bekerja struggle for power secara
structural politik setiap 5 tahunan dalam bingkai pemilu, tetapi juga sebagai
sebuah partai yang menggulirkan kerja-kerja kultural dalam pembangunan umat
dan peradaban.
75
Sebagai wujud dari ras tanggung jawab PKS dalam perbaikan kehidupan
bangsa dan negara dan sebagai dari penyelesaian masalah bangsa dalam rangka
mewujudkan masyarakat madani adil, sejahtera dan bermartabat, maka dalam
platform tersebut berisi kebijakan-kebijakan yang dibagi menjadi dua rumusan
yaitu kebijakan umum. Kebijakan umum dijabarkan dalam berbagai aspek yang
merupakan lingkup kehidupan sehari-hari partai yaitu :
a) Ideologi
Diprediksi kesadaran politik masyarakat akan terus meningkat seiring
penguatan ideologisasi dalam tubuh partai politik. Oleh sebab itu, perlu ditetapkan
sebuah kebijakan dasar dalam mengantisipasi kemungkinan menguatnya konflik-
konflik ideologis dikalangan aktivis partai.
1) Memproyeksikan Islam sebagai sebuah ideologi umat yang menjadi
landasan perjuangan politik menuju masyarakat sejahtera lahir dan batin.
2) Menjadikan ideologi Islam sebagai ruh perjuangan pembebasan manusia
dari penghambaan anata sesama manusia manuju pengahambaan hanya
kepada Allah SWT; pembebasan manusia dari kefajiran idiologi rekaan
manusia menuju keadilan Islam; dan mengantarkan manusia kepada
kebahagiaan dan ketenangan hidup.
3) Operasionalisasi ideologi Islam dan cita-cita politiknya di atas tiga
prinsip, yaitu:
a. Kemenyeluruhan dan finalitas Islam
b. Otoritas syari’ah yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan
Ijtihad
c. Kesesuaian aplikasi sistem dan solusi Islam dengan setian zaman dan
tempat
b) Politik
(1) Pembanguna sistem. Memperjuangkan konsepsi-konsepsi Islam dalam
sistem kemasyarakatan dan kenegaraan
(2) Pembangunan komunikasi politik. Komunikasi politik dipandang sebagai
proses yang dilakukan satu system untuk mempengaruhi sistem yang lain
76
melalui signal-signal yang disampaikan. Dikarenakan komunikasi politik
dilakukan dengan tujuan tujuan agar orang lain mau berpartisipasi dalam
politik maka diperlukan beberapa kerangka dasar yang dapat dijadikan
guidance para aktivis dalam komunikasi politik, yaitu :
(a) Penyadaran umum pentingnya sistem politik Islami sebagai solusi
terhadap persoalan bangsa dan negara.
(b) Mengokohkan kredibilitas dan efektifitas komunikasi antara partai
dan masyarakat
(3) Pembangunan budaya politik
a. Mengokohkan Islam sebagai sumber nilai budaya dalam kehidupan
politik
b. Mengembangkan budaya egaliter dan demokratis yang tercermin
dalam perilaku politik
c. Membangun budaya rasionalitas dalam kehidupan politik
d. Mengembangkan budaya hisbah
(4) Pembangunan partisipasi politik
(a) Perubahan kondisi yang menyebabkan lahirnya kesediaan
masyarakat untuk berpartisipasi politik melalui Partai Keadialan
Sejahtera secara sukarela.
(b) Mempersiapkan suasana yang konusif yang dapat menarik orang
untuk berpartisipasi secara bebas.
(5) Hubungan Eksternal
Pola ta’awun ‘alal birri wat taqwa (bekerja sama dalam merealisir
kebijakan dan taqwa), dan tidak ta’wun ‘alal ismi wal ‘udwan
(bekerjasama dalam dosa dan melanggar hukum) adalah merupakan
prinsip dasar dalam membangun kerjasama. Selain itu Al-Wala
merupakan asas hubungan sesama muslim. Sedangkan Al-Barra
merupakan asas hubungan dengan orang-orang kafir. Dalam rangka
optimalisasi prinsip dasar hubungan sesame manusia dalam perspektif
Islam itu perlu kebijakan umum, yaitu:
77
(a) Bersikap cinta, kerja sama (ta’awun), dan loyal dengan partai,
organisasi, dan lembaga-lembaga Islam, baik di dalam maupun di
luar negeri.
(b) Aktif dalam menciptakan suasana yang kondusif untuk terciptanya
kerjasama, ukhuwah, dan persatuan antara lembaga-lembaga Islam.
(c) Membudayakan sikap baik sangka (husnuzhan) terhadap sesama
organisasi Islam.
(d) Bersikap tegas terhadapa semua institusi yang mengusung dan
mengibarkan bendera kekufuran.
c) Birokrasi
Dalam menyikapi berbagai persoalan yang muncul dalam bidang
birokrasi maka Partai Keadilan Sejahtera perlu memiliki kebijakan dalam bidang
birokrasi dengan tujuan islah al-hukumah dengan kebijakan sebagai berikut, yaitu:
1) Lebih memperhatikan birokrasi dengan memasukkan anasir-anasir
taghyir internal untuk menduduki jabatan strategis dengan tetap
berpegang pada asas kepatutan dan akhlak karimah
2) Membentuk wadah independent bagi pegawai yang bekerja di
pemerintahan
3) Menjadi pelopor dalam pemberantasan KKN dan dalam menegakkan
kejujuran, keadilan, kesederhanaan, dan profesionalisme dalam melayani
masyarakat.
4) Melakukan kontrol secara aktif.
d) Ekonomi dan Kesejahteraan
Langkah-langkah strategis dan konkrit dalam upaya menumbuhkan
kemandirian, yaitu:
1) Menumbuhkan kesadaran nilai-nilai Islam dalam perilaku dan kebijakan
ekonomi
2) Mambangun kekuatan ekonomi umat dan bangsa melalui pendirian
proyek ekonomi yang mandiri betapapun kecilnya dan memberantas
KKN, sistem kartel, dan monopoli yang menghancurkan ekonomi rakyat.
78
3) memeilihara kekayaan umat secara umum dengan mendorong
berkembangnya industri dan proyek-proyek ekonomi Islam.
4) tidak membiyarkan begitu saja satu keping mata uang jatuh ketangan
musuh-musuh umat
5) menjaga kekayaan alam dari eksploitasi yang merugikan rakyat banyak
6) memperbanyak usaha-usaha solutif dan pilot roject untuk memajukan
ekonomi rakyat, bekerjasama dengan berbagai pihak yang komitmen baik
di dalam maupun diluar negeri.
e) Sosial Budaya
Kecenderungan membiaknya deviasi sistemik pada bidang sosial budaya,
pengabaian nilai-nilai luhur yang diiringi dengan menguatnya kultur materialisme,
dan serbuan budaya pop yang dibarengi dengan kecenderungan distorsi
pemahaman keagamaan bagi sebagian besar masyarakat muslim telah menjadi
fenomena umum. Hal itu menjadi kondisi lingkungan sosial yang jauh dari nilai-
nilai Islam. Oleh sebab itu, Partai Keadilan Sejahtera perlu mengantisipasi sedini
mungkin setidak-tidaknya untuk membentengi dengan menetapkan kebijakan
umum sebagai berikut, yakni:
(1) Membangun imunitas individu, keluarga, dan masyarakat dari berbagai
virus sosial budaya yang dapat merusak jati diri kaum muslimin.
(2) Mengembangkan produk-produk budaya Islam baik dalam bentuk
keteladanan ataupun dalam bentuk kesenian
(3) Aktif dalam mewujudkan perundang-undangan yang meninggikan
budaya bangsa dan mengkoreksi budaya yang merusak.
f) IPTEK dan Industri
IPTEK dan industri merupakan syarat bagi kemajuan materi suatu bangsa
dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan. Sedangkan kebahagiaan hakikinya
hanya mungkin tercipta apabila manusia mampu memahami kehendak Allah yang
dimanifestasikan di dalam hukum-hukum-Nya, dan diaplikasikan melalui aktivitas
etis, aktivitas sosial, dan teknologi yang dikendalikan secara etis. Untuk itu perlu
sebuah kebijakan yang dapat mengarahkan IPTEK dan industri untuk kebahagiaan
manusia, yaitu :
79
(1) Penguasaan bidang IPTEK dan industri sebagai syarat kemajuan
materi suatu bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan hidup
manusia.
(2) Menghidupkan upaya-upaya pemberian bingkai moral dalam
pengembangan dan aplikasi IPTEK, sehingga menjadi rahmat bagi
manusia.
(3) Mengembangkan IPTEK terapan untuk membantu akselerasi
penguasaan teknologi dalam rangka peningkatan sumber daya umat.
(4) Menumbuhkembangkan sentra-sentra industri yang strategis untuk
kemajuan ekonomi umat dan bangsa.
g) Peran dan Tugas Wanita
Pada kenyataannya bahwa tugas memakmurkan bumi (istikhlaf)
merupakan tugas kolektif manusia (laki-laki dan perempuan) yang menunjukkan
kenyataan adanya prinsip ‘kemitraan’ dalam peran sosial politiknya. Hal itu
setidak-tidaknya tercermin dalam persamaan nilai kemanusiaan, persamaan hak
sosial, dan persamaan dalam tanggung jawab beserta balasannya. Kenyataan lain
menunjukkan partisipasi wanita dalam siyasah, terutama dalam perolehan suara
pada Pemilu, sangat signifikan. Oleh sebab itu, partai perlu memiliki kebijakan
dasar mengenai keterlibatan wanita dalam politik, yaitu:
(1) Mengoptimalkan peran wanita dalam segala bidang kehidupan dengan
tetap memelihara harakat dan martabat kewanitaan.
(2) Membangun kondisi yang kondusif bagi optimalisasi peran politik
wanita dalam mengusung cita-cita politik dengan tetap berpegang pada
nilai-nilai Islam dan fitrah.
(3) Keseimbangan hak pemberdayaan politik
(4) Keseimbangan proporsional dalam penempatan wanita di lembaga-
lembaga strategis baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
(5) Perhatian yang cukup terhapa isu-isu kontemporer wanita yang
berkembang di masyarakat.
(6) Menjadikan institusi keluarga sebagai lembaga pendidikan politik.
h) Hukum
80
Dalam rangka turut menegakkan supremasi hukum di Indonesia, maka
Partai Keadilan Sejahtera perlu menentukan kebijakan dasar sebagai berikut :
(1) Mendukung terwujudnya supremasi hukum di dalam kehidupan
masyarakat.
(2) Membangun kesipan masyarakat untuk secara bertahap manerima
syariat Islam melalui cara-cara yang syar’i dan konstitusional.
(3) Memperjuangkan secara struktural pemberlakuan hukum-hukum Islam
yang masyarakat telah siap menerimanya.
(4) Mempraktekkan ajaran Islam dan syariatnya secara istiqomah, sebagai
solusi, keteladanan dan rahmat bagi kehidupan.
i) Pendidikan
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang seharusnya
ditangani secara serius dan bertanggungjawab. Dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara, pendidikan adalah dasar pembentukan karakter bangsa.
Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan harus sejalan dengan nilai-nilai dan
keyakinan otentik bangsa. Maka setiap upaya pendidikan yang bertentangan
dengan nilai-nilai dasar suatu bangsa akan melahirkan generasi yang rapuh dan
lepas dari akar kekuatannya. Partai Keadilan Sejahtera mempunyai kebijakan
dalam rangka turut serta meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, yaitu :
(1) Mengupayakan secara sungguh-sungguh terselenggaranya system
pendidikan integral yang menjamin lahirnya generasi yang beriman,
bertaqwa, cerdas, dan trampil.
(2) Melindungi anak bangsa dari sasaran rekayasa pendangkalan aqidah
dan pemurtadan yang berkedok aktivitas pendidikan.
(3) Memperjuangkan model pendidikan yang terjangkau seluruh elemen
masyarakat dan berkualitas.
b. Deskripsi Partai Keadilan Sejahtera Skala Nasional
1) Struktur Organisasi
81
Sejak awal berdirinya Partai Keadilan Sejahtera pada tanggal 20 April
2002, partai ini telah berhasil melakukan pengembangan struktural partai secara
vertikal dengan terbentuknya jaringan sebanyak 30 DPW, 366 DPD, dan 2475
DPC di seluruh wilayah Indonesia. Dalam Anggaran Dasar Partai BAB IV Pasal 8
tentang Struktur Organisasi, di tingkat nasional/pusat, yaitu:
a) Majelis Syura
b) Dewan Pimpinan Tingkat Pusat
c) Majelis Pertimbangan Pusat
d) Dewan Pengurus Pusat
e) Dewan Syari’ah Pusat
Struktur pelaksana harian diserahkan kepada Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) dengan skup nasional sampai tingkat kelurahan, yang meliputi:
a) DPP (Pengurus harian setingkat nasional)
b) DPW (Pengurus harian setingkat propinsi)
c) DPD (Pengurus harian setingkat kotamadya atau kabupaten)
d) DPC (pengurus harian setingkat kecamatan)
e) DPRa (Pengurus harian setingkat kelurahan)
2) Keanggotaan
Dalam Anggaran Dasar BAB III Pasal 9 mengenai Keanggotaan
disebutkan bahwa setiap warga Negara Indonesia dapat menjadi anggota partai.
Sedangkan dalam Anggran Rumah Tangga BAB III Pasal 5 mengenai Sistem dan
Prosedur Keanggotaan disebutkan bahwa anggota Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) terdiri dari, yaitu:
a) Anggota Kader Pendukung, yaitu mereka yang terlibat aktif mendukung setiap
kegiatan kepartaian. Anggota Kader Pendukung terdiri dari:
(1) Anggota Pemula yaitu mereka yang mengajukan permohonan untuk
menjadi anggota partai dan terdaftar dalam keanggotaan partai yang
dicatat oleh Dewan Pimpinan Cabang setelah lulus mengikuti Training
Orientasi Partai.
82
(2) Anggota Muda yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai
yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Daerah dan telah lulus
pelatihan kepartaian tingkat dasar satu.
b) Anggota Kader Inti yaitu anggota yang telah mengikuti berbagai kegiatan
pelatihan kepartaian dan dinyatakan lulus oleh panitia penyeleksi. Anggota
Kader Inti terdiri dari :
(1) Anggota Madya yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai
yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Daerah dan telah lulus
pelatihan kepartaian tingkat dasar dua.
(2) Anggota Dewasa yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan
partai yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Wilayah dan telah lulus
pelatihan kepartaian tingkat lanjut.
(3) Anggota Ahli yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai
yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Pusat dan telah lulus pelatihan
kepartaian tingkat tinggi.
(4) Anggota Purna yaitu mereka yang terdaftar dalam keanggotaan partai
yang dikeluarkan oleh Dewan Pimpinan Pusat dan telah lulus pelatihan
kepartaian tingkat ahli.
c) Anggota Kehormatan, yaitu mereka yang berjasa dalam perjuangan partai dan
dikukuhkan oleh Dewan Pimpinan Pusat.
c. Diskripsi Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta
1) Struktur Kepengurusan
Berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
PKS, Dewan Pimpinan Tingkat Daerah (DPTD) terdiri dari Majelis Pertimbangan
Daerah (MPD), Dewan Pengurus Derah (DPD), dan Dewan Syari’ah Daerah
(DSD). Dalam struktur kepengurusan ketiganya memiliki kedudukan yang sejajar.
Adapun Struktur komposisi pengurus DPTD PKS Kota Surakarta adalah sebagai
berikut :
a) Majelis Pertimbngan Daerah (MPD)
Kepengurusan MPD Kota Surakarta terdiri dari :
83
(1) Ketua : Muhammad Rodhi, Ir
(2) Sekretaris : Ma’ruf Pujianto
(3) Anggota : - Dra. Muti Mujiyati, M.Si.
- Haryanto, S.Pd.
b) Dewan Pengurus Daerah (DPD)
DPD adalah lembaga eksekutif partai di tingkat kabupaten/kota.
Kepengurusan DPD PKS Kota Surakarta terdiri dari seorang Ketua Umum,
beberapa Ketua Bidang, Seorang Sekretaris dan beberapa wakil Sekretaris Umum
dan seorang Bendahara Umum dan beberapa wakil Bendahara Umum, Lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Struktur Komposisi DPD PKS Kota Surakarta
Gambar 3. Struktur Komposisi DPD PKS Kota Surakarta
c) Dewan Syari’ah Daerah (DSD)
Kepengurusan MPD Kota Surakarta terdiri dari :
Ketua Umum DPD Sugeng Riyanto,SS
Bendahara Umum Asih Sunjoto Putro, S.Si
Sekretaris Umum Abdul Ghofur I, S.Si
Bidang Pembinanaa Kader
Fa. Izzaturrohman, ST, MT
Bidang Ekueintek
Dwi Setyo I,SP
Bidang Kewanitaan
Suranti Donita R, S.Pi
Bidang Pelajar dan Mahasiswa
Ahmad Masduki, SH
Bidang Politik dan Hukum M. Ikhlas
Thamrin, SH
Bidang Humas Thamrin
Kurniawan
Bidang Kesejahteraan
Rakyat Lukman Ali P,
S.Sos
84
(1) Ketua : Wahid Ahmadi
(2) Anggota : Kasori Mujahid, S.Si
2) Sekretariat
Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta
berlokasi di Jl. Slamet Riyadi No. 465 B. Griyan, Pajang, Laweyan, Surakarta,
Jawa Tengah.
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian
Pemilu merupakan sebuah sarana untuk mengisi jabatan-jabatan politik
dalam pemerintahan berdasarkan pada pilihan warga negara yang sudah
memenuhi syarat. Hal tersebut dapat diartikan bahwa partisipasi masyarakat
dalam menggunakan hak pilihnya dalam hal ini pemilu legislatif sangat penting
sekali dalam rangka menciptakan sirkulasi elite atau wakil-wakil rakyat melalui
mekanisme pemilu tersebut. Meskipun berhasil atau tidaknya penyelenggaraan
pemilu tidak dapat didasarkan besar-kecilnya partisipasi masyarakat, tetapi besar-
kecailnya partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya secara tidak
langsung berpengaruh terhadap legitimasi politik kebijakan-kebijakan lembaga
legislatif maupun pemerintah yang sedang berkuasa. Akan tetapi, dalam
kenyataannya tidak sedikit pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya pada
pemilu legislatif 2009, salah satunya di warga masyarakat di Tempat Pemungutan
Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta
sejumlah 136 pemilih.
Salah satu upaya untuk menekan angka golput agar tidak mengalami
peningkatan jumlahnya dapat dilakukan dengan cara memberikan pendidikan
politik bagi masyarakat terutama bagi pelaku golput itu sendiri. Pendidikan politik
dilakukan dengan bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesadaran dan
partisipasi politik masyarakat, juga bertujuan untuk membangun kepribadian
seseorang dengan membangun mental spiritualnya sehingga dapat melaksanakan
hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Salah satu dari lembaga pendidikan politik yaitu partai politik. Partai politik
mempunyai fungsi sebagai sarana pendidikan politik dalam menumbuhkan
85
kepribadian, kesadaran, dan partisipasi politik masyarakat. Salah satu tujuan dari
pendidikan politik dalam menumbuhkan sikap, kesadaran, dan partisipasi politik
salah satunya dalam pelaksanaan pemilu yaitu dengan menggunakan hak pilihnya
dengan benar. Sesuai dengan hal tersebut maka untuk memberikan gambaran
mengenai permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Penyebab Golongan Putih (Absentia Voter) pada Pemilu Legislatif Tahun
2009 di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan.
Pemilihan umum legislatif merupakan manifestasi dari sebuah pesta
akbar bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya. Akan tetapi
tidak semua warga negara yang mempunyai hak pilih dapat memanfaatkan
kesempatan tersebut dengan baik yaitu dengan cara menggunakan hak pilihnya
untuk ambil bagian dalam proses perubahan politik dalam hal ini perubahan elite
wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan. Dengan berbagai alasan
yang komplek menyebabkan sebagian pemilih memutuskan tidak menggunakan
hak pilihnya dengan baik. Seperti halnya dengan apa yang telah terjadi kepada
sebagian masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dengan baik di TPS
XII Sondakan, Laweyan, Kota Surakarta. Meskipun dilakukan oleh sebagian
pemilih di TPS tersebut, akan tetapi layak menjadi sebuah bahan pembelajaran
mengenai faktor peyebab yang menjadikan sebagian pemilih di TPS tersebut tidak
menggunakan hak pilihnya dengan baik.
Data jumlah pemilih di TPS XII Sondakan secara keseluruhan sebanyak
337 pemilih. Tidak semua pemilih di TPS XII Sondakan mengguanakan hak
pilihnya dengan baik yang dikarenakan oleh faktor antara lain : Pertama, masalah
administratif yaitu Dia (pemilih) terdaftar sebagai pemilih di sini atau TPS XII
Kelurahan Sondakan, tetapi tempat tinggalnya di luar kota atau daerah tempat dia
berkerja; Kedua, ideologis yaitu sebagian pemilih menganggap memilih atau
tidak, tidak akan berpengaruh secara langsung terhadap mereka; Ketiga,
masyarakat tidak mengenal atau mengetahui para caleg secara jelas karena
kurangnya sosialisasi. Faktor-faktor penyebab tersebut untuk lebih jelasnya
dipaparkan sebagai berikut :
86
a. Masalah Administratif
Masalah Administratif menjadi salah satu faktor penyebab sebagian
pemilih di TPS XII tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif 2009.
Hal tersebut dialami oleh beberapa warga yang terdaftar sebagai pemilih di TPS
XII yang pada saat hari dilaksanakannya pemungutan suara tidak berada dimana
pemilih terdaftar sebagai pemilih di TPS XII Sondakan. Meskipun sebenarnya
memilih di TPS bukan tempat pemilih terdafatar sebagai pemilih di perbolehkan,
tetapi terlebih dahulu harus melewati prosedur yang sudah ditetapkan. Apabila
pemilih tidak dapat melakukan pemilihan di TPS dimana ia terdaftar, sebelumnya
harus melakukan pemberitahuan kepada panitia penyelenggara pemungutan suara
ditempat ia terdaftar sebagai pemilih dengan memberikan alasan yang jelas dan
dapat diterima. Apabila dapat diterima dan disetujui akan diberi surat pengantar
yang ditujukan kepada panitia penyelenggara pemungutan suara yang ditunjuk
oleh pemilih. Proses tersebut menjadi kendala bagi pemilih yang berada di luar
kota maupun daerah yang jauh diluar jangkauan. Seperti yang diungkapkan oleh
Rachmad Andi Sulistyo, S.T. dan Ninik Resmi Nur Akhdiyati yang pada hari
pemungutan suara tidak menggunakan hak pilihnya karena berada di Jakarta
untuk berkerja sebagai berikut :
Kebetulan saya dan istri saya pada pemilu legislatif 2009 sama-sama berkerja di Jakarta dan mengontrak rumah disana padahal saya masih tercatat sebagai warga di kampung dan terdaftar sebagai pemilih di daerah saya. Pada hari pemungutan suara saya tidak bisa pulang karena liburnya hanya sehari dan pekerjaan saya masih banyak yang harus segera diselesaikan, sehingga saya tidak menggunakan hak pilih karena tidak datang ke TPS. (Wawancara dengan Rachmad Andi Sulistyo, S.T. dan Ninik Resmi Nur Akhdiyati, 11 November 2009).
Hal tersebut juga di ungkapkan oleh Yanuar Joko Listyanto, S.T. sebagai pemilih
di TPS XII Sondakan yang juga tidak menggunakan hak pilihnya (golput) pada
pemilu legislatif dikarenakan terkendala masalah administratif untuk menjadi
pemilih di TPS di tempat tinggalnya dimana dia berkerja, yang mengatakan “Pada
pemilu legislatif kemarin saya tidak menyontreng karena saya masih di Jakarta
menyelesaikan proyek dan tidak sempat balik ke Solo. Padahal Saya terdaftar
menjadi pemilih di Solo untuk mengurus menjadi pemilih disana juga harus
87
meminta surat pengantar dari Solo dulu”. (Wawancara dengan Yanuar Joko
Listyanto, S.T. , 18 November 2009).
Ketatnya prosedur yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilihan umum
tersebut merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi adanya kecurangan
yang dilakukan oleh pemilih pada pemilu legislatif 2009 agar tidak menjadi
pemilih ganda yang dapat dimanfaatkan untuk memenangkan calon anggota
legislatif maupun partai politik. Karena pemilu legislatif sendiri merupakan
pemilihan umum dengan skala nasional sehingga memang harus benar-benar
maksimal. Akan tetapi hal tersebut juga mempunyai kelemahan yaitu terhadap
pemilih yang ingin menggunakan hak pilihnya di TPS bukan dimana dia terdaftar
sebagai pemilih. Dari uraian penjelasan di atas merupakan salah satu faktor yang
menjadi penyebab pemilih di TPS XII Sondakan tidak dapat menggunakan hak
pilihnya.
b. Faktor Kurangnya Sosialisasi Calon Anggota Legislatif Kepada
Masyarakat
Pemilu legislatif era reformasi berbeda dengan pemilu pada masa orde
baru yang hanya di ikuti oleh tiga partai politik, akan tetapi pasca tumbangnya
orde baru berganti dengan sistem multi partai (banyak partai) dan pemilihan
secara langsung untuk memilih calon anggota legislatif. Sistem pemilu yang
dipakai masih melanjutkan sistem pemilu sebelumnya, yaitu sistem proporsional.
Konsep representasi atau daerah pemilih yang dipakai adalah provinsi atau
bagian-bagian provinsi. Untuk pemilu DPR, jumlah kursi yang diperebutkan
disetiap daerah pemilihan (district magnitude) berkisar antara tiga sampai dengan
sepuluh kursi. Sementara itu, untuk pemilu DPRD kursi yang diperebutkan di
setiap daerah pemilihan berkisar antara tiga sampai dengan dua belas kursi. Dalam
kandidasi anggota DPR, setiap partai poltik dapat mengajukan calon sebanyak-
banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada
setiap daerah pemilihan. Pada setiap tiga nama calon, partai harus menyertakan
sekurang-kurangnya 1 (satu) calon perempuan (kuota 30% dalam pencalonan).
88
Dengan semakin banyaknya partai politik dan caleg yang diajukan setiap
partai tidak diimbangi dengan pelaksanaan kampanye yang cukup singkat
menimbulkan sebuah persoalan yang secara langsung berhubungan dengan
pemilih yaitu kurang optimalnya kampanye yang berhubungan dengan pengenalan
atau sosialisasi calon legislatif terhadap pemilih. Sosialisasi tidak hanya sekedar
memasang atribut dan gambar caleg dan partai, akan tetapi ada yang lebih penting
dari hal tersebut yaitu pengenalan secara langsung caleg dengan visi, misi dan
program yang ditawarkan kepada pemilih, karena masyarakat sudah semakin jeli
dan pandai dalam memberikan. Kurang optimalnya sosialisasi caleg dengan
pemilih berakibat pada keragu-raguan dan tidak digunakannya hak pilihnya.
Seperti yang di ungkapkan oleh Rizky Rachmawati pemilih yang tidak
menggunakan hak pilihnya yaitu “Karena Saya tidak mengenal para caleg yang
ikut dalam pemilu legislatif kemarin. Hal itu karena saya menjadi warga
pendatang di daerah tempat pemilihan saya yang baru. Hal tersebut dikarenakan
kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh masing-masing caleg, tim sukses
maupun partai politik di daerah tempat tinggal saya”. (Wawancara dengan Rizky
Rachmawati, 9 November 2009). Hal tersebut juga dialami oleh Deky Lesmana
yang menyatakan ” Saya tidak tahu siapa yang akan saya pilih karena tidak ada
satu pun caleg yang saya kenal, ketimbang saya asal memilih caleg. Selain itu
juga tidak ada yang melarang datang ke TPS apa tidak”. (Wawancara dengan
Deky Lesmana, 10 November 2009). Kurangnya sosialisasi secara langsung
dengan pemilih juga dialami oleh Bapak Slamet yang mengatakan ”Saya tidak
mempunyai pilihan karena saya juga tidak tahu caleg-caleg tersebut, yang saya
tahu hanya gambar orangnya saja”. (Wawancara dengan Bapak Slamet, 17
November 2009). Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh alasan yang
diungkapkan oleh Bapak Salimi dan Heri Tamtomo yang tidak menggunakan hal
pilihnya dikarenakan tidak mengenal caleg secara jelas.
c. Ideologis Pemilih
Yang dimaksud dengan faktor ideologis pemilih adalah bahwa setiap
orang mempunyai pendapat dan pandangan yang berbeda-beda terhadap
89
penyelenggraan pemilu yang tidak terlepas dari salah satu perwujudan demokrasi.
Seperti halnya dengan pendapat dan pandangan seseorang mengenai
menggunakan hak pilihnya atau tidak memilih dalam penyelenggaraan
pemungutan suara merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi.
Pemilu legislatif sebagai sarana untuk melakukan perubahan politik
terutama sirkulasi elite politik yang berada di lembaga legislatif. Perubahan politik
tidak semata-mata hanya orangnya saja yang diganti, tetapi lebih pada perubahan
yang menyangkut hajat hidup negara maupun rakyat Indonesia secara merata dan
menyeluruh. Anggota legislatif baik yang berada di tingkat kota/kabupaten
maupun di tingkat pusat yaitu DPR RI merupakan wakil-wakil rakyat yang
diharapkan mampu menjadi penyalur aspirasi rakyat kepada penguasa berkaitan
dengan pembuatan dan penetapan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada rakyat.
Akan tetapi tidak semua orang mempunyai pandangan seperti hal tersebut, dengan
melihat kondisi para waki-wakil rakyat yang belum mampu melaksanakan
amanah yang telah dipercayakan oleh rakyat dan lebih mengedepankan
kepentingannya pribadi dan partainya. Hal tersebut membuat sebagian pemilih
ragu-ragu dan bahkan tidak menggunakan hak pilihnya (golput). Seperti yang
diungkapkan oleh Zaini Anggoro Putro pemilih di TPS XII yang tidak
menggunakan hak pilihnya yaitu ”Saya rasa menyontreng atau tidak juga sama
saja selama wakil-wakil rakyat belum bisa mengesampingkan kepentingan pribadi
dan partainya. Selain itu tidak ada yang melarang saya menyontreng apa tidak
adalah hak saya”. (Wanwancara dengan Zaini Anggoro Putro, 31 November
2009). Hal tersebut juga diungkapkan oleh Harman Suryono yang juga tidak
menggunakan hak pilihnya menyatakan “Alasan saya tidak datang ke TPS untuk
mencontreng karena saya merasa seperti pada tahun-tahun yang lalu menyontreng
atau tidak menurut saya juga sama saja dan saya tidak mengenal caleg-calegnya
secara pasti, kalau pemilu legisalatif lima tahun yang lalu saya datang ke TPS ikut
mencoblos karena di daerah saya ada yang menjadi caleg dan saya kenal”.
(Wanwancara dengan Harman Suryono, 4 November 2009).
Dari beberapa faktor yang menyebabkan sebagian warga masyarakat
yang menjadi pemilih di TPS XII Sondakan tidak menggunakan hak pilihnya
90
(golput) tersebut merupakan sebagian kecil dari perilaku politik masyarakat yang
tidak memanfaatkan kesempatan dengan baik dalam proses perubahan politik
dalam hal ini elit politik di lembaga legislatif.
2. Pendidikan Politik Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera
dalam Menyikapai Meningkatnya Jumlah Golongan Putih di Kota
Surakarta
Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai dakwah penegak keadilan
dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa. Sebagai partai
dakwah, PKS mempunyai visi khusus yaitu sebagai partai berpengaruh baik
secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat
Indonesia yang madani. Sebagai partai dakwah, pendidikan politik bertujuan
untuk membangun karakter kepribadian seseorang yang utuh dan kesadaran
politik. Salah satu wujud nyata dalam rangka menjalankan visinya salah satunya
yaitu melaksanakan pendidikan politik. Pendidikan politik yang dilakukan PKS
kepada anggotanya maupun masyarakat lebih berorientasi pada pembentukan
pribadi Islami yang mempunyai komitmen dan loyalitas pada aktualisasi dakwah
Islam dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan politik akan selalu berfondasikan
pada pembentukan pribadi kader, sehingga aktivitas politik yang dilakukan adalah
politik yang sehat, bermoral dan jauh dari ambisi pribadi yang cenderung
diskriminatif.
Sebagai upaya meningkatkan kualitas keimanan, ketaqwaan, dan
kesadaran politik anggota maupun masyarakat, PKS mempunyai format-format
pendidikan politik sendiri. Pendidikan politik yang dilakukan PKS tidak hanya
ditujukan kepada anggota atau kader PKS saja, tetapi juga kepada masyarakat.
Kegiatan-kegiatan pendidikan politik yang diberikan anggota dan masyarakat
pada dasarnya sama, yang membedakan hanyalah bobot materi yang disampaikan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ikhlas Thamrin selaku ketua bidang politik DPD
PKS Kota Surakarta sebagai berikut :
Pada prinsipnya sama materi yang diberikan dalam pendidikan politik yang diberikan kepada kader PKS maupun masyarakat, hanya yang membedakan yaitu bobotnya. Tetapi pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama agar
91
mempunyai pendidikan politik yang baik. Misalnya agar bisa menerima adanya perbedaaan, bagaimana cara mengemukakan pendapat yang baik, bagaimana kebebasan prinsip-prinsip tersebut terwujud dalam kehidupan pribadi. Hal tersebut memang benar-benar riil terjadi di PKS. (Wawancara dengan Ikhlas Thamrin, 25 Desember 2009).
Pendidikan politik DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta untuk
menyikapi golput lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut :
a. Nadwah atau Seminar
Seminar di PKS merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan politik
bagi anggota maupun masyarakat. Kegiatan nadwah atau seminar merupakan
forum diskusi untuk mengkaji suatu permasalahan dan memberikan pemecahan
masalah serta mengambil keputusan dalam menyikapi permasalahan tersebut,
yang diikuti baik anggota amupun masyarakat umum. Seminar dengan
mengangkat tema isu-isu maupun fenomena-fenomena yang berkembang dalam
masyarakat yang tidak hanya dalam bidang politik saja akan tetapi juga seluruh
bidang kehidupan. Seperti yang diungkapkan oleh Sugeng Riyanto yaitu :
Nadwah atau seminar yaitu aktivitas pengkajian terhadap suatu masalah. Seminar yang dilaksanakan dalam pendidikan politik ini mengambil tema-tema tentunya mengenai politik dan permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi dimasyarakat. Seminar tersebut juga didukung oleh pemateri yang tidak hanya dari tokoh internal partai, tetapi juga menghadirkan tokoh-tokoh atau pakar dari luar partai baik yang berskala lokal maupun nasional. Sasaran kegiatan ini dimaksudkan untuk terbentuknya pemahaman yang luas atas berbagai macam masalah politik dan problematika masyarakat melalui dialog dengan berbagai macam latarbelakang pemikiran dari berbagai disiplin ilmu dan mengenal berbagai macam metodologi praktis untuk menyelesaikan persoalan dari berbagai sudut pandang. (Wawancara dengan Sugeng Riyanto, 8 Desember 2009).
Kegiatan nadwah atau seminar mempunyai muatan pendidikan politik
yang terkandung didalamnya, yaitu terbentuknya pemahaman yang luas atas
berbagai ragam masalah politik dan problematika masyarakat melalui dialog
dengan berbagai macam latar belakang pemikiran dari berbagai disiplin ilmu,
selain itu juga memberikan pengenalan berbagai ragam metodologi praktis untuk
menyelesaikan persoalan dari berbagai sudut pandang kepada kader maupun
masyarakat.
92
b. Tatsqif atau Kajian
Tatsqif atau kajian yaitu aktivitas untuk memperluas wacana dan
intelektual anggota, diantaranya tatsqif yang membahas masalah ke-Islaman,
tatsqif siyasi (politik) yang membahas masalah-masalah politik, dan lain
sebagainya. Sugeng Riyanto menyatakan bahwa :
Tatsqif atau kajian yaitu aktivitas untuk memperluas wacana dan intelektual anggota, diantaranya tatsqif yang membahas masalah ke-Islaman, tatsqif siyasi (politik) yang membahas masalah-masalah politik, dan lain sebagainya. Kegiatan kajian tidak hanya diperuntukkan kepada anggota atau kader saja tetapi juga terbuka bagi masyarakat yang ingin bergabung berdiskusi mengenai permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi dalam kehidupan. (Wawancara dengan Sugeng Riyanto, 8 Desember 2009).
Kegiatan kajian ini biasanya terdiri dari beberapa anggota maupun
masyarakat yang dipimpin oleh seorang ustadz. Kegiatan kajian ini biasanya
dilaksanakan setiap pekanan atau dua pekanan dan dilaksanakan di bisa dimasjid
maupun dirumah peserta kajian secara bergiliran. Kegiatan ini bertujuan untuk
menambah wawasan politik, keagamaan, keluarga dan permasalahan-
permasalahan lainnya.
c. Kegiatan Sosial
Di PKS banyak sekali kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
pendidikan politik selain seperti yang telah diuraikan diatas. Kader-kader PKS
aktif melakukan rekruitmen anggota dan berbagai aktifitas simpatik
kemasyarakatan yang diharapkan dapat meningkatkan dukungan kepada mereka.
Dalam rangka pengenalan program partai (Direct Selling) PKS dengan
masyarakat, PKS juga melakukan kegiatan-kegiatan sosial atau bakti sosial PKS.
Salah satu wujud kegiatan tersebut yaitu dengan membuka sekolah gratis untuk
pendidikan usia dini, membuka posko bencana, mengadakan pengobatan gratis
untuk masyarakat, silaturahmi dengan langsung mendatangi rumah warga
masyarakat dan lain sebagainya. Seperti yang diungkapkan oleh Choirul anggota
DPD PKS kota Surakarta sebagai berikut :
93
Saya menjadi kader PKS bukan mengharapkan sesuatu untuk kepentingan pribadi saya. Saya memandang bahwa partai politik yang sangat kental sekali dengan kekuasaan, akan tetapi berbeda dengan PKS meskipun sebagai partai politik tetapi PKS tidak hanya mengajarkan cara berpolitik saja, akan tetapi juga diajarkan tetang dakwah dan bersosial dengan baik. Kegiatan-kegiatan di PKS menurut saya sangat positif. Dalam setiap kegiatan-kegiatannya selalu tertanam unsur-unsur dakwah yaitu bagaimana menjaga amanah, bermasyarakat, dan berpolitik dengan baik juga. Misalnya : PKS menyelenggarakan kegiatan pengobatan gratis bagi masyarakat tiap bulan, mendirikan pos penanggulangan bencana, Mengadakan seminar bagi umum dan remaja, PKS juga membuka sekolah untuk usia dini secara gratis, dan berbagai kajian dan pengajian secara rutin. (Wawancara dengan Choirul, 17 Desember 2009).
Kegiatan pendidikan politik yang dilakukan DPD PKS kota Surakarta
seperti yang sudah diuraikan di atas merupakan kegiatan pendidikan politik dalam
upaya untuk menyikapi golput di kota Surakarta. Pada dasarnya kegiatan
pendidikan politik tersebut dilaksanakan tidak hanya selalu bermuatan politik saja
akan tetapi juga terdapat muatan-muatan keagamaan yang tidak terlepas dari PKS
sebagai partai dakwah. Dalam upaya menyikapi golput DPD PKS kota Surakarta
lebih cenderung kearah diskusi dan kajian-kajian untuk memberikan pemahaman
terhadap masyarakat baik mengenai politik maupun keagamaan. Strategi tersebut
dirasa sangat tepat oleh DPD PKS Kota Surakarta untuk melakukan pendekatan
terhadap masyarakat, karena dengan diskusi dan kajian-kajian dirasa lebih
mengena. Selain pendidikan politik yang dilaksanakan berupa diskusi dan kajian,
DPD PKS Kota Surakarta juga melakuakan kegiatan sosial yang bertujuan untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara langsung.
Hasil yang diperoleh pendidikan politik yang dilakukan DPD PKS di
Kota Surakarta dengan melakukan berbagai kegiatan penidikan politik yang
bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran, karakter, dan partisipasi politik
anggota dan masyarakat seperti yang telah diuraikan di atas, salah satunya yaitu
bertambahnya jumlah kader DPD PKS Kota Surakarta setiap tahunnya, untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 12. Jumlah Kader DPD PKS Kota Surakarta tahun 2006 – 2009.
94
Tahun 2006 2007 2008 2009
Jumlah
Kader
5.278 4.253 4.339 5.400
Sumber : Arsip DPD PKS Kota Surakarta
Jumlah kader DPD PKS Kota Surakarta yang sudah mengikuti
pembinaan pada tahun 2006 sebanyak 5.278 orang yang menjadi kader DPD PKS
Kota Surakarta. Sebanyak 5.278 orang kader tersebut ada sebagian kader dari
berbagai daerah Se- Eks Karesidenan Surakarta yang meliputi Surakarta, Boyolali,
Sragen, Wonogiri, Karanganyar, dan Sukoharjo yang terdaftar sebagai kader DPD
PKS Kota Suarakarta. Pada tahun 2007 DPD PKS Kota Surakarta melakukan
verifikasi terhadap kadernya yang bukan berdomisili di Kota Surakarta dengan
menyerahkannya kepada DPD atau Pengurus Cabang di daerahnya masing-
masing, sehingga setelah dilakukannya verifikasi tersebut jumlah kader DPD PKS
Kota Surakarta menjadi 4.253 orang. Pada tahun 2008 jumlah kader DPD PKS
Kota Surakarta mengalami penambahan menjadi 4.339 orang dan bertambah
menjadi 5.400 orang pada tahun 2009. Bertambahnya jumlah kader DPD PKS
Kota Surakarta merupakan sebuah hasil yang diperoleh dari pendidikan politik
DPD PKS kota Surakarta, seperti yang di ungkapkan oleh Ikhlas Thamrin selaku
ketua bidang politik DPD PKS Kota Surakarta sebagai berikut :
“Pendidikan politik PKS diberikan selain kepada anggota juga kepada masyarakat, bahkan kepada seseorang yang tadinya memilih golput pun juga kami berikan. Banyak masyarakat yang telah kami beri pendidikan politik di beri pemahaman, pengetahuan akhirnya pada pemilu berikutnya dia mau datang ke TPS untuk memberikan suara dan malah banyak yang kemudian menjadi kader PKS. Hal tersebut merupakan hasil yang diperoleh dari pendidikan politik yang dilakukan oleh DPD PKS selama ini. (Wawancara dengan Ikhlas Thamrin, 25 Desember 2009).
Pendidikan politik juga membawa hasil terhadap keberhasilan PKS
dalam pemilu legislatif 2009 baik di daerah maupun nasional. Hasil yang
diperoleh PKS dalam pemilu legislatif 2009 di kota Suarakarta mengalami
peningkatan dibandingkan dengan perolehan suara pada pemilu legislatif 2004,
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini :
95
Tabel 13. Perolehan Suara Tujuh Besar Partai Pemilu Legislatif 2004 di Kota
Surakarta
Partai Jumlah Suara % PDIP 104.932 35,85 PAN 41.549 14,19 PD 32.700 11,17
Partai GOLKAR 31.274 10,68 PDS 25.906 8,85 PKS 23.833 8,14 PPP 9.263 3,16
Sumber : Arsip DPD PKS Kota Surakarta
Partai Keadilan Sejahtera pada pemilu legislatif 2004 di Kota Surakarta
memperoleh suara sebanyak 23.833 atau 8,14%, sedangkan pada pemilu legislatif
2009 memperoleh suara sebanyak 25.993. Apabila dibandingkan perolehan suara
PKS dalam pemilu legislatif 2004 dengan peilu legislatif 2009 mengalami
peningkatan sebanyak 2.160 suara.
C. Temuan Studi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diatas, peneliti
menemukan beberapa temuan studi yaitu :
1. Penyebab Golongan Putih (Absentia Voter) pada Pemilu Legislatif Tahun 2009
di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan.
Dari hasil penelitian terhadap beberapa responden, dapat diketahui faktor
yang menyebabkan pemilih di TPS XII Sondakan tidak menggunakan hak
pilihnya (golput) pada pemilu legislatif 2009 yaitu :
a. Masalah Administratif
Menggunakan hak pilih di TPS bukan tempat pemilih terdafatar sebagai
pemilih di perbolehkan, tetapi terlebih dahulu harus melewati prosedur yang
sudah ditetapkan. Apabila pemilih tidak dapat melakukan pemilihan di TPS
dimana ia terdaftar, sebelumnya harus melakukan pemberitahuan kepada panitia
penyelenggara pemungutan suara ditempat ia terdaftar sebagai pemilih dengan
memberikan alasan yang jelas dan dapat diterima. Apabila dapat diterima dan
disetujui akan diberi surat pengantar yang ditujukan kepada panitia penyelenggara
96
pemungutan suara yang ditunjuk oleh pemilih. Proses tersebut menjadi kendala
bagi pemilih yang berada di luar kota maupun daerah yang jauh diluar jangkauan.
b. Faktor Kurangnya Sosialisasi Calon Anggota Legislatif Kepada Masyarakat
Sosialisasi tidak hanya sekedar memasang atribut dan gambar caleg dan
partai, akan tetapi ada yang lebih penting dari hal tersebut yaitu pengenalan secara
langsung caleg dengan visi, misi dan program yang ditawarkan kepada pemilih,
karena masyarakat sudah semakin jeli dan pandai dalam memberikan. Kurang
optimalnya sosialisasi caleg dengan pemilih berakibat pada keragu-raguan dan
tidak digunakannya hak pilihnya.
c. Ideologis Pemilih
Pemilu legislatif sebagai sarana untuk melakukan perubahan politik
terutama sirkulasi elite politik yang berada di lembaga legislatif. Perubahan politik
tidak semata-mata hanya orangnya saja yang diganti, tetapi lebih pada perubahan
yang menyangkut hajat hidup negara maupun rakyat Indonesia secara merata dan
menyeluruh. Anggota legislatif baik yang berada di tingkat kota/kabupaten
maupun di tingkat pusat yaitu DPR RI merupakan wakil-wakil rakyat yang
diharapkan mampu menjadi penyalur aspirasi rakyat kepada penguasa berkaitan
dengan pembuatan dan penetapan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada rakyat.
Akan tetapi tidak semua orang mempunyai pandangan seperti hal tersebut, dengan
melihat kondisi para waki-wakil rakyat yang belum mampu melaksanakan
amanah yang telah dipercayakan oleh rakyat dan lebih mengedepankan
kepentingannya pribadi dan partainya. Hal tersebut membuat sebagian pemilih
ragu-ragu dan bahkan tidak menggunakan hak pilihnya (golput).
2. Pendidikan Politik Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera dalam
Menyikapai Meningkatnya Jumlah Golongan Putih di Kota Surakarta
Pendidikan politik PKS tidak hanya ditujukan kepada anggota atau
kadernya saja tetapi juga ditujukan kepada masyarakat. Tujuan dilaksanakannya
pendidikan politik di PKS adalah selain untuk pengetahuan tentang politik,
kesadaran politik juga lebih ditekankan pada pembentukan moral yaitu
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan anggota dan masyarakat. Bentuk
pendidikan politik di PKS antara lain : Tatsqif atau kajian, nadwah atau seminar,
97
dan kegiatan sosial. Selain itu juga dilaksanakan pendidikan politik yang secara
langsung melibatkan masyarakat atau kegiatan sosial antara lain : PKS juga
terdapat sekolah politik bagi anggota atau kader juga masyarakat umum dan
simpatisan partai, membuka sekolah gratis pendidikan untuk usia dini (play
group), baksos (membuka posko bencana, mengadakan pengobatan gratis),
ceramah-ceramah, silaturahmi langsung kerumah warga masyarakat maupun
tokoh masyarakat, dan lain-lain.
Akan tetapi pendidikan politik tersebut apabila dikaitkan dengan
pendidikan politik yang dilakukan oleh PKS untuk mengatasi golongan putih
masih kurang optimal, karena dilihat dari faktor penyebab golput sendiri sangat
komplek. Untuk menekan golput dengan pendidikan politik tersebut kurang
maksimal, karena tidak semua pemilih yang golput orang yang tidak paham
politik, tetapi bagaimana dengan faktor penyebab golput berhubungan dengan
masalah administratif.
98
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dan analisis yang telah
dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Penyebab Golongan Putih (Absentia Voter) pada Pemilu Legislatif Tahun 2009
di Tempat Pemungutan Suara (TPS) XII Kelurahan Sondakan.
Dari hasil penelitian terhadap beberapa responden, dapat diketahui faktor
yang menyebabkan pemilih di TPS XII Sondakan tidak menggunakan hak
pilihnya (golput) pada pemilu legislatif 2009 yaitu :
c. Masalah Administratif
Menggunakan hak pilih di TPS bukan tempat pemilih terdafatar sebagai
pemilih di perbolehkan, tetapi terlebih dahulu harus melewati prosedur yang
sudah ditetapkan. Proses tersebut menjadi kendala bagi pemilih yang berada di
luar kota maupun daerah yang jauh diluar jangkauan.
d. Faktor Kurangnya Sosialisasi Calon Anggota Legislatif Kepada Masyarakat
Kurang makasimalnya pengenalan secara langsung calon anggota
legislatif kepada pemilih di TPS XII Sondakan tentang visi, misi dan program
yang ditawarkan kepada pemilih berakibat pada keragu-raguan dan tidak
digunakannya hak pilihnya.
c. Ideologis Pemilih
Pemilu legislatif sebagai sarana untuk melakukan perubahan politik
terutama sirkulasi elite politik yang berada di lembaga legislatif. Perubahan politik
tidak semata-mata hanya orangnya saja yang diganti, tetapi lebih pada perubahan
yang menyangkut hajat hidup negara maupun rakyat Indonesia secara merata dan
menyeluruh. Akan tetapi tidak semua orang mempunyai pandangan seperti hal
tersebut, dengan melihat kondisi para waki-wakil rakyat yang belum mampu
melaksanakan amanah yang telah dipercayakan oleh rakyat dan lebih
mengedepankan kepentingannya pribadi dan partainya. Hal tersebut membuat
99
sebagian pemilih tidak menggunakan hak pilihnya (golput) karena mersa tidak
berpengaruh baik secara langsung maupun tidak terhadap dirinya.
2. Pendidikan Politik Dewan Pengurus Daerah Partai Keadilan Sejahtera dalam
Menyikapai Meningkatnya Jumlah Golongan Putih di Kota Surakarta
Bentuk pendidikan politik di PKS antara lain : Tatsqif atau kajian,
nadwah atau seminar, dan kegiatan sosial. Selain itu juga dilaksanakan pendidikan
politik yang secara langsung melibatkan masyarakat atau kegiatan sosial antara
lain : PKS juga terdapat sekolah politik bagi anggota atau kader juga masyarakat
umum dan simpatisan partai, membuka sekolah gratis pendidikan untuk usia dini
(play group), baksos (membuka posko bencana, mengadakan pengobatan gratis),
ceramah-ceramah, silaturahmi langsung kerumah warga masyarakat maupun
tokoh masyarakat, dan lain-lain.
Akan tetapi pendidikan politik tersebut apabila dikaitkan dengan
pendidikan politik yang dilakukan oleh PKS untuk mengatasi golongan putih
masih kurang optimal, karena dilihat dari faktor penyebab golput sendiri sangat
komplek. Untuk menekan golput dengan pendidikan politik tersebut kurang
maksimal, karena tidak semua pemilih yang golput orang yang tidak paham
politik, tetapi bagaimana dengan faktor penyebab golput berhubungan dengan
masalah administratif.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan peneliti di atas, maka dapat dikemukakan hasil
penelitian. Implikasi hasil penelitian ini adalah :
1. Dengan dioptimalkannya sosialsiasi politik dapat memberikan rangsangan
terhadap seseorang atau masayarakat untuk menumbuhkan kesadaran politik
yang dapat berpengaruh pada partsisipasi politik seseorang atau masyarakat
terutama pada pelaksanaan pemilu.
2. Dengan dioptimalkannya peran partai politik dalam pendidikan politik
masyarakat dapat memberikan pengaruh terhadap meningkatnya kesadaran
politik dan partisipasi politik masyarakat salah satunya dalam pelaksanaan
pemilu.
100
C. Saran
Dari hasil analisi, pembahasan, kesimpulan dan implikasi diatas, maka
peneliti mengemukakan saran-saran sebagai berikut :
1. Bagi Masyarakat
Golput bukan merupakan tindakan yang tepat masih banyak alternatif-
alternatif yang lain selain melakukan golput, karena dengan melakukan golput
tidak akan memberikan perubahan. Dalam rangka mewujudkan kehidupan dan
pemerintahan yang demokaratis dibutuhkan peran aktif masayarakat terutama
partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
2. Partai Politik
a. Khususnya bagi PKS, dalam rangka meningkatkan kesadaran politik dan
keimanan anggota atau kader dan masyarakat lebih ditingkatkan pelaksanaan
pendidikan politiknya. Pendidikan politik tidak hanya diberikan pada orang
dewasa saja, tetapi lebih mengena apabila juga diberikan sejak usia dini.
b. Dalam rangka mengembalikan keprcayaan masyarakat, partai politik harus
mampu maningkatkan kualitasnya, terutama peningkatan kualitas anggota
atau kadernya, sehingga apabila nantinya menjadi wakil rakyat bisa benar-
benar melaksanakan kinerjanya dengan baik. Partai politik harus benar-
benar dapat menjadi sarana penyalur aspirasi rakyat.
101
DAFTAR PUSTAKA
A.A. Sahid Gatra dan Moh. Dzulkiah Said. 2007. Sosiologi Politik : Konsep dan
Dinamika Perkembangan Kajian. Bandung : Pustaka Setia. Abu Ridho. 2002. Pengantar Pendidikan Dalam Islam. Bandung : PT Syamil
Cipta Media. A. Mukthie Fadjar. 2008. Partai Politik Dalam Perkembangan Sistem
Ketatanegaraan Indonesia. Malang : In-TRANS Publising. A. Saeful Muhtadi. 2008. Komunikasi Politik Indonesia Dinamika Islam Politik
Pasca-Orde Baru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Arbi Sanit. 1985. Perwakilan Politik Di Indonesia. Jakarta : CV. Rajawali.
David Beetham, Kevin Boyle. 2000. DEMOKRASI. Yogyakarta : KANISIUS.
, Kevin Boyle. 2004. DEMOKRASI. Yogyakarta : KANISIUS.
Haryanto. 1982. Sistem Politik Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty.
Ichlasul Amal. 1988. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya.
Janda, K., Berry.M.J, Goldman, Jerry. 1992. The Challenge of Democracy
Government in America. USA : Houghton Mifflin Company. Kalla et al.2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada. Kartini Kartono. 1989. Pedidikan Politik Sebagai Bagian dari Pendidikan Orang
Dewasa. Bandung : Mandar Maju. (Koran Target, http://korantarget.wordpress.com/2009/05/10/hasil-akhir-pemilu-
legislatif-2009-juara-1-tetap-golput-juara-3-suara-tidak-sah/, Diakses pada 10 Mei 2009).
Lexy J. Moleong. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
102
Mattew Milles dan Hubberman. 1992 . Analisis Data Kuantitatif. Jakarta : Universitas Indonesia Press.
Miriam Budiardjo. 1982. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia
Pustaka Utama. .1998. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
.2008. Dasar Dasar Ilmu Politik.Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Mochtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews. 2006. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Muhammad Asfar. 2004. Presiden Golput. Surabaya : Jawa Pos Press.
Ng. Philipus dan Nurul Aini.2006. Sosisologi dan Politik. Jakarta: PT Raj Grafindo Persada.
NN. 2008. Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indoneisa. Solo : Adzana Putra.
NN. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bandung : Nuansa Aulia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik, http://www.kpu.go.id. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum. http://www.kpu.go.id. Nyoman Subanda, blogs.depkominfo.go.id/bip/files/2009/.../edisi-4_desember-
2008.pdf, Diakses pada hari Sabtu 4 September 2009. Sigit Pamungkas. 2009. PERIHAL PEMILU. Yogyakarta : Laboratorium Jurusan
Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
Ramdlon Naning.1982. Pendidikan Politik Dan Regenerasi. Yogyakarta : Liberty.
Solly Lubis. 1989. Serba Serbi Politik dan Hukum. Bandung : CV. Mandar Maju.
103
Sudijono Sastroatmodjo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Penelitian Praktik. Jakarta : Rineka Pustaka.
Sukarna.1981. SISTIM POLITIK. Bandung : Alumni.
Sutopo.H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Bagian Tiga. Surakarta : Uiversitas Sebelas Maret Press.
Tataq Chidmad. 2004. Kritik Terhadap Pemilihan Langsung. Yogyakarta :
Pustaka Widyatama. Utsman Abdul Mu’iz Ruslan. 2000. PENDIDIKAN POLITIK IKHWANUL
MUSLIMIN (Studi Analisis Evaluatif terhadap Proses Pendidikan Politik ”IKHWAN” untuk para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954), Salafuddin Abu Sayyid et al. Solo : Era Media.