Full Paper - Indonesia Edited

13

Click here to load reader

description

paper

Transcript of Full Paper - Indonesia Edited

Page 1: Full Paper - Indonesia Edited

1

KEBERLANJUTAN PENDIDIKAN ANAK RUMAH TANGGA MISKIN DI PROVINSI JAWA TIMUR:

SUATU PERANAN DARI URUTAN KELAHIRAN

Rudi Salam

Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, BPS-Statistics Indonesia Jl. Otto Iskandardinata No. 64C Jakarta Timur, Indonesia 13330

[email protected]

ABSTRAK Salah satu dimensi penting dari kemiskinan adalah kemiskinan anak. Pendidikan adalah bagian dari kebebasan manusia dan kemampuan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan merupakan faktor penentu penting untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Urutan kelahiran memainkan peran penting dalam kehidupan anak karena keluarga adalah sistem sosial pertama yang dikenal anak. Hasil penelitian mengkonfirmasi bahwa anak-anak yang lahir kemudian lebih mungkin berada di sekolah daripada anak-anak yang lahir sebelumnya. Jika tidak ada kendala apa pun untuk menjalankan program pengentasan kemiskinan untuk bidang pendidikan, maka semua anak pada rumah tangga miskin dapat langsung dijadikan target program secara bersamaan. Tetapi jika ada suatu kendala (seperti keterbatasan dana) dan harus memilih anak yang mana pada rumah tangga miskin yang didahulukan, maka agar diperoleh hasil yang maksimal, sebaiknya anak dengan urutan lahir pertama yang mendapatkan prioritas yang utama. Kata kunci: Keberlanjutan Pendidikan, Kemiskinan Anak, Urutan Kelahiran.

1. Pendahuluan Kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanganannya tidak dapat ditunda dengan alasan apapun. Salah satu dimensi penting dari kemiskinan adalah kemiskinan anak. Slogan pengurangan kemiskinan dimulai dari anak sudah diperkenalkan oleh UNICEF sejak tahun 2000. Dampak kemiskinan terhadap anak lebih berbahaya daripada orang dewasa, karena pada anak dampak tersebut menyebabkan kerusakan jangka panjang. Anak yang lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga miskin memiliki kemungkinan besar untuk tetap miskin saat dewasa dibandingkan anak yang lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang tidak miskin (Pakpahan et al. 2009). Kemiskinan rumah tangga menyebabkan individu dan keluarga terperangkap dalam lingkaran kemiskinan sehingga kemiskinan tersebut akhirnya diturunkan kepada generasi selanjutnya (CPRC, 2008). Jika keluarga sudah terjebak dalam rantai kemiskinan, maka anak-anak mereka kemungkinan besar akan bernasib sama dengan mereka. Pada akhirnya mereka tidak mampu memberikan yang terbaik bagi keturunan

Page 2: Full Paper - Indonesia Edited

2

mereka. Untuk memutus rantai kemiskinan harus dimulai dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia anak-anak rumah tangga miskin. Salah satu hak anak yang harus dipenuhi adalah pendidikan. Pendidikan membantu menurunkan kemiskinan melalui dampaknya pada peningkatan produktivitas tenaga kerja dan melalui jalur manfaat social sehingga pendidikan merupakan sebuah tujuan pembangunan yang penting bagi bangsa (World Bank, 2005). Penelitian Siregar dan Wahyuniarti (2008) menemukan bahwa pendidikan yang diukur dengan jumlah penduduk yang lulus pendidikan SMP, SMA, dan diploma memiliki pengaruh besar dan signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Sen (1999) berpendapat bahwa pendidikan merupakan bagian dari kebebasan manusia dan kapabilitas manusia. Ini mencerminkan bahwa pembangunan modal manusia melalui pendidikan merupakan determinan penting untuk menurunkan jumlah penduduk miskin. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan berfungsi sebagai daya atau kekuatan penggerak transformasi masyarakat untuk memutus rantai kemiskinan. Program pemerintah untuk membantu rumah tangga miskin yang berkaitan dengan pendidikan diantaranya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). PKH adalah bantuan tunai langsung bersyarat yang diberikan kepada rumah tangga yang sangat miskin dengan tujuan untuk membantu mereka agar mampu membiayai kebutuhan utama yaitu pendidikan dasar dan layanan kesehatan dasar. Sedangkan BSM adalah bantuan uang tunai bersyarat yang diperuntukkan bagi siswa dari rumah tangga miskin. Stamboel (2012) menyatakan bahwa nilai manfaat PKH rata-rata mencapai sekitar 12% dari total pengeluaran rumah tangga miskin karena tidak semua kebutuhan atau pengeluaran rumah tangga miskin tertanggung oleh PKH. Stamboel (2012) juga menyebutkan bahwa dari 100 siswa miskin yang masuk sekolah dasar, hanya 50% yang melanjutkan ke jenjang SLTP, dari 50% siswa SLTP tersebut hanya sekitar 20% yang melanjutkan sampai ke jenjang pendidikan SLTA dan selanjutnya yang mampu melanjutkan ke jenjang universitas atau yang sederajat hanya sekitar 5-10% dari total yang lulus. Dari data ini bisa dikatakan bahwa kedua program pemerintah tersebut masih belum mendapatkan hasil yang optimal. Kurang optimalnya hasil dari program tersebut karena memang rumah tangga miskin adalah rumah tangga yang banyak memiliki keterbatasan-keterbatasan, termasuk dalam bidang pendidikan. Seringkali kepala rumah tangga miskin mengambil keputusan untuk keberlanjutan pendidikan anaknya atas dasar pertimbangan tertentu, seperti urutan kelahiran anak, jenis kelamin, dan jumlah anak. Sejumlah argumen juga menunjukkan bahwa saudara kandung tidak mungkin menerima hak yang sama terhadap sumber daya yang ditujukan oleh orang tua terhadap pendidikan anak-anak mereka (Booth dan Kee, 2005). Bukti dari negara dengan pendapatan yang rendah menyebutkan bahwa bekerja dan sekolah tidak dapat dibagi secara sama dan merata di antara anak pada suatu rumah tangga (Grootaert dan Patrinos, 1999 dalam Khanam and Rahman, 2007). Posisi

Page 3: Full Paper - Indonesia Edited

3

kelahiran anak pada rumah tangga juga menjadi pertimbangan dalam menentukan apakah dan seberapa besar anak akan bekerja dan bersekolah (Khanam dan Rahman, 2007). Urutan kelahiran telah cukup lama didiskusikan sebagai salah satu faktor yang mempunyai pengaruh terhadap pencapaian pendidikan seorang anak (Young-Joo, 2009). Ada beberapa hipotesis pada literatur mengenai pengaruh dari urutan kelahiran yang hasilnya menunjukan bahwa ada pengaruh positif dan negatif terhadap pencapaian pendidikan. Lindert (1977), Behrman dan Taubman (1986), Iacovou (2001) dan Black, Devereux, dan Salvanes (2005) menemukan bahwa anak yang dilahirkan pertama mendapatkan sekolah yang lebih daripada anak yang dilahirkan sesudahnya. Ejrnaes dan Portner (2004) menemukan bahwa anak yang dilahirkan belakangan dari negara berkembang mendapatkan sekolah yang lebih. Hasil ini juga didukung oleh temuan Edmonds (2005) di Nepal dan Khanam dan Rahman di Bangladesh (2007). Berdasarkan uraian tersebut, tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

- Apakah pendidikan telah menunjukkan perannya dalam menurunkan kemiskinan?

- Apa peran urutan kelahiran pada keberlanjutan pendidikan? - Hal-hal apa saja yang mempunyai pengaruh terhadap keberlanjutan pendidikan?

Pada tulisan ini, fokus analisis adalah peran urutan kelahiran terhadap keberlanjutan pendidikan anak rumah tangga miskin di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2011. 2. Tinjauan Literatur Keberlanjutan Pendidikan Keberlanjutan pendidikan adalah kesinambungan kegiatan belajar yang dilakukan oleh anak secara berjenjang pada pendidikan dasar. Mempertahankan anak agar tetap belajar di sekolah sampai tamat jauh lebih sulit dibandingkan mencari anak baru agar masuk sekolah. Yang dimaksud dengan pendidikan seorang anak tidak berlanjut adalah jika dia tidak atau belum pernah sekolah dan yang sudah tidak bersekolah lagi. Jenis Kelamin Jenis kelamin akan memengaruhi keikutsertaan anak dalam kegiatan ekonomi karena hal ini berkaitan dengan jenis kegiatan pekerjaan yang akan dilakukan (Juliarti, 2004). Tingkat partisipasi pasar tenaga kerja wanita yang lebih rendah dan adanya kesenjangan dalam upah, orang tua dalam berinvestasi terhadap anak berbeda berdasarkan jenis kelamin maupun urutan kelahiran. Orangtua akan berinvestasi lebih untuk anak laki-laki pertama daripada anak perempuan pertama karena anak laki-laki lebih mempunyai

Page 4: Full Paper - Indonesia Edited

4

kemungkinan untuk memasuki pasar kerja (Young-Joo, 2009). Fathonah (1993) menyebutkan bahwa pekerja anak akan lebih banyak berjenis kelamin laki-laki. Urutan Kelahiran Urutan kelahiran di mana seseorang dilahirkan dalam keluarga mempunyai peran substansial pada perkembangan individunya seperti kepribadian, karakter, intelegensi, dan pilihan karir (Stewart et al., 2001). Lingkungan keluarga adalah pengalaman pertama yang dimiliki anak dan peran anak di dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan kepribadian individu anak. Anak Pertama Budaya populer mengasumsikan bahwa anak yang lahir pertama adalah yang paling mungkin untuk menjadi pemimpin. Anak-anak sangat berorientasi dewasa karena mereka banyak berinteraksi dengan orang dewasa. Anak-anak yang menempati anak pertama sering digambarkan sebagai yang memiliki kecenderungan kuat untuk meniru orang tua dan bertanggung jawab atas saudaranya yang lebih muda (Brink & Matlock, 1982). Seringkali anak tertua cenderung menjadi "orang tua" bagi yang saudara yang lebih muda karena mereka menganggap mempunyai posisi untuk mengawasi.

Anak yang lahir pertama memiliki keuntungan yang unik atas saudara mereka karena mereka memiliki pilihan pertama untuk menemukan tempat khusus dalam keluarga. Dengan sangat bersemangat, anak yang tertua mendefinisikan peran mereka dengan berusaha untuk menyenangkan orang tua mereka dengan cara tradisional seperti berhasil di sekolah dan perilaku yang bertanggung jawab. Anak-anak ini dianggap lebih teliti dan mempunyai keinginan kuat untuk mencapai sesuatu (Paulhus et al, 1999). Anak Tengah Anak-anak dalam peran tengah sering merasa "diperas" oleh keluarga mereka. Dibandingkan dengan anak pertama dan terakhir, anak tengah diperkirakan mengalami kurang interaksi dan kurang diperhatikan secara signifikan. Mereka pasti mengalami masalah harga diri yang negatif dalam menanggapi sesuatu dan hampir selalu mengalami kecemburuan karena mereka berada di satu titik anak tengah (Tashakkori et al, 1990). Anak-anak yang bereaksi negatif terhadap posisi ini, sering tidak merasa istimewa dibandingkan dengan saudara mereka dan karenanya tidak layak untuk mendapatkan perhatian dari keluarga mereka. Anak-anak tengah mungkin patah semangat dan ditolak. Namun, anak-anak tengah yang bereaksi dan berasimilasi dengan baik untuk posisi mereka, sering bisa mengembangkan keterampilan interpersonal yang sangat baik dan menikmati dalam hal menghabiskan waktu dengan orang lain. Anak-anak ini bisa menjadi sangat berkepribadian dan populer karena mereka mempelajari keterampilan yang berharga tentang bagaimana bergaul dengan berbagai kelompok masyarakat.

Page 5: Full Paper - Indonesia Edited

5

Anak Terakhir Anak bungsu dalam keluarga dianggap sebagai anak yang paling outgoing dan aman, tapi kurang dalam akademik (Herrera, 2003). Peran anak terakhir dianggap sebagai yang paling tidak mampu atau paling tidak berpengalaman di antara saudara kandung, yang dapat mengakibatkan anak bungsu selalu dilayani, atau bahkan dimanjakan. Jika anak terakhir peka dengan kemungkinan ini, beberapa anak bungsu menggunakan ini untuk keuntungan mereka dan belajar keterampilan memanipulasi orang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu untuk mereka (Herrera, 2003). Meskipun, beberapa anak mungkin menjadi berkecil hati dengan tekanan dan harapan yang ditetapkan oleh saudara tertua dan menemukan mereka diakui di keluarga mereka untuk kegagalan mereka. Namun, sangat mungkin bagi anak bungsu untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai "Penyelamat" dari keluarga, yang melebihi prestasi saudara mereka yang menempatkan mereka dalam posisi harga diri dan penting (Stewart et al., 2001). Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Menurut Hartanto (1991), kurangnya pendapatan orang tua sering memaksa anak untuk membantu mencari nafkah dan harus bekerja di luar jam sekolah. Pekerjaan yang sangat melelahkan menyebabkan anak tidak sempat lagi mengulangi pelajaran di rumah. Sehubungan dengan keadaan sosial ekonomi ini, penelitian Astawan (1985) menyatakan bahwa terdapat kecenderungan dengan semakin baik ekonomi rumah tangga maka akan semakin baik pula pencapaian pendidikan anak. Pendidikan Ibu Pendidikan orang tua akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak antara lain adalah peningkatan sumber daya keluarga, peningkatan nilai dan pendapatan keluarga serta peningkatan alokasi untuk pemeliharaan kesehatan anak (Satoto, 1999). Rumah tangga yang dikepelai oleh seseorang yang tingkat pendidikannya rendah cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh mereka yang lebih berpendidikan (Firdausy, 1999). Jumlah Anggota Rumah Tangga Bian (1996) menyatakan bahwa jumlah, usia, dan jenis kelamin anggota keluarga mempengaruhi pengeluaran rumah tangga seperti pengeluaran makanan, pendidikan, dan pengeluaran yang lainnya. Semakin besar jumlah anggota rumah tangga, maka kebutuhan hidup akan semakin meningkat. Kondisi ekonomi keluarga menunjukkan bahwa jumlah keluarga dapat memiliki efek yang penting pada pencapaian pendidikan anak-anak, dan bahwa ada trade off antara kuantitas dan kualitas anak, di mana kualitas anak diproksikan dengan hasil pendidikan (Becker, 1960).

Page 6: Full Paper - Indonesia Edited

6

3. Data dan Metodologi Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh urutan kelahiran, jenis kelamin, jumlah anggota rumah tangga, dan pendidikan ibu terhadap keberlanjutan pendidikan anak usia 7-15 tahun pada rumah tangga miskin. Adapun data yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2011 Provinsi Jawa Timur dan yang dijadikan observasi adalah anak usia 7-15 tahun pada rumah tangga miskin. Pada tahun 2011, Provinsi Jawa Timur menempati urutan pertama jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia, yaitu sebesar 5.356.210 jiwa atau sebesar 17,8 persen. Dalam mencari hubungan antara beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini, digunakan tabulasi silang di antara variabel-variabel tersebut. Untuk memperkuat temuan dari tabulasi silang, dilakukan analisis inferensia dengan regresi logistik biner dengan variabel dependen adalah keberlanjutan pendidikan. 4. Hasil Deskriptif Berdasarkan hasil pengolahan, persentase anak pada rumah tangga miskin usia 7-15 (anak miskin usia 7-15 tahun) di Provinsi Jawa Timur dengan keberlanjutan pendidikan yang tidak berlanjut adalah sebesar 9,3% atau dalam angka absolut adalah sekitar 68 ribu anak. Dari total 9,3% ini, mereka yang tidak/belum pernah sekolah adalah sebesar 1,4% dan yang tidak bersekolah lagi sebesar 7,9%. Jika dilihat dari urutan kelahirannya, Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 82,5% anak miskin usia 7-15 tahun dengan keberlanjutan pendidikan yang tidak berlanjut merupakan birth order 1. Hal ini membuktikan bahwa memang anak pertama

Rumah Tangga Miskin

Rumah Tangga Miskin

Keberlanjutan? Kemiskinan Anak

Karakteristik Anak/ Rumah Tangga Jenis Kelamin Urutan Kelahiran Pekerjaan KRT Pendidikan Ibu Jumlah ART

Pendidikan

Page 7: Full Paper - Indonesia Edited

7

akan cenderung mempunyai pendidikan yang lebih rendah dibandingkan anak yang lahir sesudahnya. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa dari total birth order 1, sebanyak 10,8 persen anak pendidikannya tidak berlanjut. Angka ini paling banyak dibandingkan dengan birth order 2 (4,9%) dan birth order 3 (8,6%). Kondisi ini sama baik untuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Tabulasi silang antara keberlanjutan pendidikan dengan birth order secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Klasifikasi silang kelangsungan pendidikan anak miskin usia 7-15 tahun dan urutan kelahiran

Jenis Kelamin

Urutan Kelahiran Keberlanjutan Pendidikan

Tidak Berlanjut Berlanjut Laki-laki Birth order 1

- % within birth order - % within educational continuity

10,6 83,6

89,4 71,7

Birth order 2 - % within birth order - % within educational continuity

4,4 9,9

95,6 21,9

Birth order 3 - % within birth order - % within educational continuity

9,4 6,5

90,6 6,4

Total - % within birth order - % within educational continuity

9,2

100,0

90,8 100,0

Perempuan Birth order 1 - % within birth order - % within educational continuity

11,0 81,4

89,0 68,8

Birth order 2 - % within birth order - % within educational continuity

5,3

13,2

94,7 24,5

Birth order 3 - % within birth order - % within educational continuity

7,7 5,4

92,3 6,8

Total - % within birth order - % within educational continuity

9,4

100,0

90,6 100,0

Total Birth order 1 - % within birth order - % within educational continuity

10,8 82,5

89,2 70,3

Birth order 2 - % within birth order - % within educational continuity

4,9

11,5

95,1 23,1

Birth order 3 - % within birth order - % within educational continuity

8,6 6,0

91,4 6,6

Total - % within birth order - % within educational continuity

9,3

100,0

90,7 100,0

Page 8: Full Paper - Indonesia Edited

8

Tabel 2 menunjukkan hubungan beberapa karakteristik rumah tangga dengan keberlanjutan pendidikan anak pada rumah tangga miskin. Dari karakteristik lapangan usaha kepala rumah tangga, persentase anak yang pendidikannya tidak berlanjut adalah lebih besar pada kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian (66,1%). Pada karakteristik pendidikan ibu, persentase yang pendidikannya tidak berlanjut adalah lebih besar pada ibu yang pendidikannya lebih rendah (61,2%). Demikian juga dengan karakteristik jumlah anggota rumah tangga, semakin banyak jumlah anggota rumah tangga, maka persentase anak yang pendidikannya tidak berlanjut akan semakin besar. Tabel 2 Persentase keberlanjutan pendidikan anak rumah tangga miskin usia 7-15 menurut karakteristik rumah tangga

Karakteristik rumah tangga Keberlanjutan Pendidikan

Tidak Berlanjut Berlanjut Lapanga usaha KRT - Pertanian 9,5 90,5 - Non pertanian 9,0 91,0

Total 9,3 90,7 Pendidikan ibu - Tidak/belum tamat SD 13,8 86,2 - SD sederajat 7,3 92,7 - SLTP sederajat 2,8 97,2

Total 9,3 90,7 Jumlah ART - <=4 8,7 91,3 - >4 9,8 90,2

Total 9,3 90,7 Dilihat dari alasan yang dikemukakan oleh mereka yang pendidikan tidak berlanjut, sebagian besar adalah karena alasan biaya yaitu sebesar 57,4%. Dan jika dilihat dari urutan kelahirannya, yang paling banyak mengalamai ketidakberlanjutan pendidikan dengan alasan tidak ada biaya adalah birth order 1 yaitu sebesar 58,7%, berikutnya kemudian birth order 2 (55,9%) dan birth order 3 (41,7%). Alasan kedua terbesar adalah bekerja/mencari nafkah dengan persentase sebesar 4,6%, Jika dilihat dari jenis kelaminnya, perempuan lebih banyak yang bekerja/mencari nafkah dibandingkan dengan laki-laki dengan masing-masing persentase sebesar 6,4% dan 3,0%. Penyebab lebih jauh mengapa perempuan lebih banyak yang bekerja/mencari nafkah kurang bisa dijawab dari tabulasi silang data susenas. Alasan yang paling mungkin adalah bahwa mereka umumnya adalah bekerja sebagai pekerja di rumah tangga, bukan bekerja yang secara ekonomi akan mendapatkan penghasilan. Jika dilihat dari urutan kelahirannya, anak laki-laki yang bekerja/mencari nafkah hanya ada pada mereka yang merupakan anak pertama. Pada anak perempuan yang bekerja/mencari nafkah, persentase birth order 2 lebih tinggi dibandingkan dengan birth order 1 yaitu 8,9% dibandingkan dengan 6,5%. Untuk alasan-alasan yang lainnya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Page 9: Full Paper - Indonesia Edited

9

Tabel 3 Persentase Urutan kelahiran menurut alasan pendidikan tidak berlanjut dan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Alasan Urutan Kelahiran

Total Birth order 1

Birth order 2

Birth order 3

Laki-laki Tidak ada biaya 55,4 63,5 14,7 53,5 Bekerja/mencari nafkah 3,5 0,0 0,0 3,0 Menikah/mengurus rumah tangga

0,0 0,0 0,0 0,0

Merasa pendidikan cukup

5,1 0,0 0,0 4,3

Malu karena ekonomi 1,3 0,0 0,0 1,1 Sekolah jauh 0,0 0,0 0,0 0,0 Cacat 1,7 0,0 20,6 2,8 Tidak diterima 0,0 0,0 14,7 1,0 Lainnya 33,0 36,5 50,0 34,4

Perempuan Tidak ada biaya 62,4 49,7 77,2 61,5 Bekerja/mencari nafkah 6,5 8,9 0,0 6,4 Menikah/mengurus rumah tangga

2,2 16,6 0,0 4,0

Merasa pendidikan cukup

1,2 0,0 0,0 1,0

Malu karena ekonomi 4,0 7,0 0,0 4,2 Sekolah jauh 2,4 0,0 0,0 1,9 Cacat 0,0 0,0 0,0 0,0 Tidak diterima 0,0 0,0 0,0 0,0 Lainnya 21,3 17,8 22,8 20,9

Total Tidak ada biaya 58,7 55,9 41,7 57,4 Bekerja/mencari nafkah 4,9 4,9 0,0 4,6 Menikah/mengurus rumah tangga

1,0 9,1 0,0 1,9

Merasa pendidikan cukup

3,3 0,0 0,0 2,7

Malu karena ekonomi 2,6 3,9 0,0 2,6 Sekolah jauh 1,1 0,0 0,0 0,9 Cacat 0,9 0,0 11,7 1,7 Tidak diterima 0,0 0,0 8,3 0,5 Lainnya 27,4 26,2 38,2 27,9

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa ketidakberlanjutan pendidikan terdiri dari anak pada rumah tangga miskin yang tidak/belum pernah sekolah dan yang tidak bersekolah lagi. Sesuai dengan daftar pertanyaan yang tersedia di Susenas, maka untuk analisis deskriptif lebih lanjut, yang diuraikan lebih jauh adalah mereka dengan status yang tidak bersekolah lagi.

Page 10: Full Paper - Indonesia Edited

10

Tabel 4 Persentase urutan kelahiran menurut pendidikan tertinggi yang pernah diduduki

Pendidikan tertinggi yang pernah

diduduki

Urutan kelahiran Total

Birth order 1 Birth order 2 Birth order 3

SD sederajat 72,0 85,8 100,0 73,8 SLTP sederajat 27,8 14,2 0,0 26,1 SLTA sederajat 0,2 0,0 0,0 0,2

Dari Tabel 4 dapat diperoleh informasi bahwa anak yang dilahirkan pertama yang pernah menempuh pendidikan di tingkat Sekolah Dasar (SD) sederajat adalah sebesar 72%, sedangkan anak kedua dan terakhir mempunyai proporsi yang lebih besar yaitu 85,8% dan 100%. Jadi jika anak dilahirkan lebih belakangan, akan berpeluang lebih besar untuk paling tidak bisa sekolah dan menamatkan pendidikan di tingkat SD. Tabel 5 persentase urutan kelahiran anak yang pernah SD sederajat menurut kelas yang pernah diduduki

Kelas yang pernah diduduki Urutan kelahiran

Birth order 1 Birth order 2 Birth order 3 Kelas 1 48,9 25,5 25,6 Kelas 2 100,0 0,0 0,0 Kelas 3 72,9 27,1 0,0 Kelas 4 75,5 24,5 0,0 Kelas 5 81,1 0,0 18,9 Kelas 6 100,0 0,0 0,0

Tamat SD 91,4 8,6 0,0 Total 87,1 10,1 2,8

Berdasarkan Tabel 5, pada jenjang pendidikan sekolah dasar, persentase mereka yang tidak melanjutkan sekolah lagi untuk tiap-tiap kelas dari kelas 1 sampai kelas 6 yang paling banyak adalah birth order 1. Dari Tabel 5 juga yang mungkin sangat perlu untuk diperhatikan adalah pada kelas 6, semua kejadian tidak melanjutkan sekolah ada di kelas ini. Sangat disayangkan padahal dalam waktu yang tidak lama mereka akan menamatkan jenjang pendidikan sekolah dasar. Tabel 6 persentase urutan kelahiran anak yang pernah SLTP sederajat menurut kelas yang pernah diduduki

Kelas yang pernah diduduki Urutan kelahiran

Birth order 1 Birth order 2 Kelas 7 93,9 6,1 Kelas 8 100,0 0,0 Kelas 9 100,0 0,0 Tamat 93,9 6,1 Total 95,3 4,7

Page 11: Full Paper - Indonesia Edited

11

Tidak berbeda dengan jenjang pendidikan SD, pada jenjang pendidikan SLTP juga mengalami kejadian yang sama di mana anak yang dilahirkan pertama pada tiap kelas di SLTP adalah yang paling banyak berhenti sekolah. Pada kelas 9 yang merupakan tahun terakhir dari SLTP, semua yang berhenti sekolah adalah anak pertama. Inferensia Supaya bisa dilakukan eksplorasi mengenai pengaruh urutan kelahiran terhadap keberlanjutan pendidikan anak, telah dilakukan estimasi model regresi logistik biner di mana yang menjadi variabel dependen adalah keberlanjutan pendidikan yaitu ”ya” jika pendidikan berlanjut dan ”tidak” jika pendidikannya tidak berlanjut. Penelitian ini mempunyai batasan sampel yang digunakan yaitu anak usia 7-15 tahun pada rumah tangga miskin. Tabel 7 Estimasi regresi logistik biner

Variabel Koefisien p-value Odds-Ratio Karakteristik Anak - Jenis Kelamin -0,038 0,000 0,963 - Birth order 1 (ref)

Birth order 2 1,002 0,000 2,722 Birth order 3 0,544 0,000 1,722

Karakteristik Rumah tangga - Lapangan usaha KRT -0,067 0,000 0,935 - Pendidikan ibu (ref)

Pendidikan ibu 2 Pendidikan ibu 3

0,747 1,811

0,000 0,000

2,110 6,115

- Jumlah art -0,224 0,000 0,799 Hasil pengolahan menemukan bahwa dengan mempertimbangkan jenis kelamin, anak dengan jenis kelamin perempuan akan memiliki kecenderungan untuk tetap bersekolah adalah 0,96 kali dibandingkan dengan anak dengan jenis kelamin laki-laki. Dengan nilai odds ratio yang hampir mendekati satu, bisa dikatakan tidak ada perbedaan yang berarti antara laki-laki dan perempuan pada rumah tangga miskin dalam hal keberlanjutan pendidikan. Jika dilihat menurut urutan kelahirannya, dengan membandingkan anak kedua serta anak ketiga dan setelahnya dengan anak pertama, dapat diestimasi bahwa odds keberlanjutan pendidikan anak adalah 2,72 kali untuk anak kedua dan 1,72 kali untuk anak ketiga dan setelahnya. Dengan kata lain, kesempatan tetap bersekolah meningkat secara signifikan pada anak kedua serta ketiga dan setelahnya dibandingkan dengan anak pertama. Hasil ini merupakan konfirmasi bahwa memang anak yang lahir setelah anak pertama lebih mungkin untuk tetap bersekolah. Jika dilihat dari karakteristik rumah tangga, yaitu lapangan usaha KRT, anak miskin dengan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor non pertanian akan memiliki

Page 12: Full Paper - Indonesia Edited

12

kecenderungan keberlanjutan pendidikan 0,94 kali dibandingkan dengan anak miskin dengan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa secara empiris, tidak ada perbedaan yang berarti antara lapangan usaha KRT yang bekerja di sektor pertanian dan non pertanian dalam hal keberlanjutan pendidikan anak-anaknya. Jika dilihat dari pendidikan ibu, anak dari rumah tangga miskin dengan pendidikan ibu SD dibandingkan dengan anak dengan pendidikan ibu yang tidak punya ijazah SD, mempunyai kecenderungan 2,11 kali untuk keberlanjutan pendidikan anaknya. Demikian juga dengan anak dengan orang tua SLTP sederajat ke atas dibandingkan dengan yang tidak mempunyai ijazah SD memiliki kecenderungan 6,12 kali untuk pendidikannya berlanjut. Selain pendidikan ibu, karakteristik rumah tangga juga diwakili oleh jumlah anggota rumah tangga. Hasilnya menunjukkan bahwa kecenderungan anak dengan jumlah anggota rumah tangga lebih dari 4 akan melanjutkan sekolahnya adalah 0,80 kali dibandingkan dengan anak dengan jumlah anggota rumah tangga yang lebih sedikit (kurang dari sama dengan 4). 5. Kesimpulan Hasil penelitian ini membuktikan hipotesis bahwa terdapat pengaruh urutan kelahiran terhadap keberlanjutan pendidikan di mana anak pertama pada rumah tangga miskin cenderung memiliki pendidikan lebih rendah dari saudara mereka yang lahir sesudahnya. Supaya mendapatkan hasil yang optimal dalam upaya penganggulangan kemiskinan, maka sebaiknya program penanggulangan kemiskinan yang berkaitan dengan pendidikan dijalankan dengan memperhatikan kebutuhan tiap-tiap rumah tangga miskin misalnya jumlah anak yang bersekolah. Jika tidak ada kendala apa pun untuk menjalankan program pengentasan kemiskinan untuk bidang pendidikan, maka semua anak pada rumah tangga miskin dapat langsung dijadikan target program secara bersamaan. Tetapi jika ada suatu kendala (seperti keterbatasan dana) dan harus memilih anak yang mana pada rumah tangga miskin yang didahulukan, maka agar diperoleh hasil yang maksimal, sebaiknya anak dengan urutan lahir pertama yang mendapatkan prioritas yang utama. Daftar Pustaka Behrman, J. R. and Taubman, P. (1986). Birth Order, Schooling, and Earnings. Journal of labor Economics, 4 (3), S121-S145 Black, S. E., Devereux, P. J. and Salvanes, K. G. (2005). The More The Merrier? The Effect of Family Composition on Children’s Education. The Quarterly Journal of Economics, 120 (2), 669-700

Page 13: Full Paper - Indonesia Edited

13

Booth A. L. and Kee H. J. (2005). Birth Order Matters: The Effect of Family Size and Birth Order on Educational Attainment. IZA Discussion Paper No. 1713 CPRC-Chronic Poverty Research Center (2008). Escaping poverty traps. The Chronic Poverty Report 2008-09. http://www.chronicpoverty.org/ uploads/ publication_files/CPR2_ReportFull.pdf

Edmonds, E. V. (2005). Understanding Sibling Differences in Child Labor Iacovou, M. (2001). Family Composition and Children’s Educational Outcomes. ISER Working Paper. Juliarti (2004). Keikutsertaan Anak Nelayan dalam Kegiatan Ekonomi dan Pengaruhnya terhadap Keberlanjutan Pendidikan Formal. Thesis IPB Khanam, R. and Rahman, M. M. (2007). Child Work and Schooling in Bangladesh: The Role of Birth Order. Journal of Biosocial Science, vol. 39 no. 5, 641-657. Pakpahan, Y. M., Suryadarma, D., Suryahadi, A. (2009). Destined for destitution: intergenerational poverty persistence in Indonesia. Jakarta: SMERU Research Institute. http://www.smeru.or.id/report/workpaper/intergenpoverty/ intergenpoverty.pdf Sen, A. (1999). Development as Freedom. New Delhi: Oxford University Press. Siregar, H. and Wahyuniarti, D. (2008). The impact of economic growth on

decrease in the number of poor people. Inside: Yusdja et al., Editor. Role Agriculture Sector in Poverty Alleviation. Bogor: Centre for Analysis Socio Economic and Policy Studies.

Stamboel, K. A. (2012). Call for Alignments: Ending Poverty Strategy in Indonesia.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta World Bank (2004). Reducing poverty. Jakarta: World Bank Young-Joo, K. (2009) Birth Order, Gender, and Educational Attainment. Conference of the RTN Network.