FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai...

100

Transcript of FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai...

Page 1: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan
Page 2: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

95

KEMENTRIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIFBALAI AEKEOLOGI DENPASAR

2012

SERI PENERBITAN

FORUM ARKEOLOGI

Volume 25 No. 2 Agustus 2012No. Akreditasi 636/AU1/P2MBI/07/2011

Masa berlaku 27 Juni 2011 - 27 Juni 2013

ISSN : 0854-3232

Page 3: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

96

Page 4: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

iii

KATA PENGANTAR

Dalam setiap terbitan Forum Arkeologi dilakukan upaya perbaikan terhadap kekeliruan, kekurangan yang terjadi dalam terbitan sebelumnya. Langkah ini dilakukan dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak dengan tetap mengacu pada aturan, petunjuk tentang karya tulis ilmiah dari LIPI. Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, di mana dalam terbitan sebelumnya hanya menggunakan bahasa Indonesia.

Forum Arkeologi volume 25 no. 2 memuat tujuh buah artikel yang terdiri dari empat artikel adalah hasil karya para peneliti Balai Arkeologi Denpasar, sebuah artikel hasil karya peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, sebuah artikel hasil karya peneliti Pusat Arkeologi Nasional Jakarta, dan sebuah artikel ditulis oleh guru besar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana. Prof. DR. I Gede Parimartha membahas karakter bangsa melalui penelitian masyarakat Bali pada empat buah desa, dua buah desa di pedalaman dan dua buah desa di pesisir. Hasil penelitian memperlihatkan persamaan konsep yang berlaku umum di Bali seperti : tri hita karana, trikaya parisudha, trimandala, rwa bineda, dan sifat saling menghargai. Masyarakat pedalaman kental dengan sifat-sifat kekunaan seperti sistem hulu hapad dan nuansa homogen, sedangkan masyarakat pesisir memperlihatkan sifat heterogen dengan multikultur.

Bertitik tolak dari 18 prasasti Luh Suwita Utami berupaya mengungkap jenis-jenis makanan pada masyarakat sekitar Danau Batur abad X-XIV. Berbagai jenis makanan tersebut tidak semata-mata dilihat dari sisi ekonomi untuk konsumsi semata, akan tetapi juga dari sisi nilai adat dan keagamaan. Dengan pengungkapan aneka panganan masa Bali Kuna diharapkan dapat dipakai untuk pengkayaan kuliner dewasa ini. Dengan menggunakan hasil ekskavasi di situs Tambora, baik berupa artefak, ekofak, fitur yang ditunjang berbagai laporan penelitian I Made Geria menguraikan peranan Kerajaan Tambora dalam percaturan perdagangan antar kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara bagian timur. Uraiannya, terutama berdasarkan atas variable komoditi, sumberdaya alam, dan aksesbilitas.

Berdasarkan atas penelitian tinggalan arkeologi yang terdapat di kawasan Danau Beratan secara kualitas dan kuantitas menurut I Wayan Suantika sebagian besar merupakan sumberdaya arkeologi. Sumberdaya arkeologi tersebut sangat memungkinkan dikembangkan menjadi Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW). Untuk menuju ke arah itu perlu penanganan secara terpadu dengan melibatkan berbagai komponen mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Melalui beberapa tahap penelitian di Flores Jatmiko memaparkan hasil penelitian terutama berdasarkan temuan berbagai artefak, fosil fauna seperti stegodon, buaya, komodo, dan kura-kura darat. Kehidupan di daerah cekungan Soa sudah berlangsung sejak kurun waktu pleistosen bawah-pleistosen tengah. Di situ pernah terjadi ajang aktifitas manusia purba. I Nyoman Rema memfokuskan penelitian pada sebuah relief jambangan bunga yang terdapat di Pura Puseh Kangin, Desa Carangsari. Berdasarkan perbandingan dengan relief-relief candi di Jawa, sumber tertulis, dan perilaku atau praktek-praktek keagamaan masyarakat Hindu di Bali dewasa ini, dijelaskan bahwa relief tersebut adalah melambangkan sumber kehidupan, kesucian, keseimbangan, dan kesinambungan alam semesta. Berbagai sumber data terutama prasasti Jawa Kuna, naskah, dan relief candi diteliti oleh Hary Lelono untuk mengungkap

Page 5: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

iv

berbagai jenis tindak kejahatan yang terjadi pada masyarakat Jawa Kuna. Dengan pengungkapan aspek-aspek kejahatan masyarakat Jawa Kuna diharapkan dapat bermanfaat dalam membantu untuk mendapat masukan mencari akar permasalahan dalam upaya mencegah berbagai tindak kekerasan yang sering terjadi dewasa ini.

Sebagai akhir kata, kepada berbagai pihak diharapkan masukan demi kesempurnaan Forum Arkeologi sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Redaksi

Page 6: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

v

Forum Arkeologi TH. XXIV No. 1 April 2011 (1 - 9)

ISSN : 0854-3232SERI PENERBITAN

FORUM ARKEOLOGI

Volume 25 No. 1 April 2012No. Akreditasi 636/AU1/P2MBI/07/2011Masa berlaku 27 Juni 2011 - 27 Juni 2013

Editor : Prof. DR. I Gede Semadi Astra (Arkeologi Unud) DR. I Wayan Redig (Arkeologi Unud)Mitra Bestari : Prof. Riset DR. Dwi Purwoko (LIPI) DR. I Made Sutaba, APU (Arkeologi) Prof Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A (Sejarah Unud) Drs. I Nyoman Wardi, M.Si (Arkeologi Unud)Penanggung Jawab : Dr. Bambang Sulistyanto Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi NasionalPengarah : A.A. Gde Dalem Eka Darsana, SH Plt. Kepala Balai Arkeologi DenpasarRedaktur PelaksanaKetua : Drs. I Made Geria, M.SiSekretaris : Drs. I Gusti Made SuarbhawaAnggota : - Dra. Ayu Kusumawati APU - Drs. A. A. Gede BagusPenerbit : Balai Arkeologi DenpasarAlamat Redaksi : Jln. Raya Sesetan No. 80 Denpasar 80223 Telp. (0361) 224703, 228661 Fax. (0361) 228661 Copyright @ : Balai Arkeologi Denpasar E-mail : [email protected] Depan : Pura Pancering Jagat, Trunyan

Forum Arkeologi terbit tiga kali setahun pada bulan April, Agustus dan November. Terbit pertama kali pada bulan Januari 1988. Forum Arkeologi memuat hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan arkeologi dan kebudayaan yang dilakukan oleh peneliti, akademisi, dan pemerhati. Persyaratan naskah untuk Forum Arkeologi tercantum pada halaman belakang.

Page 7: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

vi

Page 8: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

vii

ISSN : 0854-3232SERI PENERBITAN

FORUMARKEOLOGI

Volume 25 No. 2 Agustus 2012No. Akreditasi 636/AU1/P2MBI/7/2011

Masa berlaku 27 Juni 2011- 27 Juni 2013

* I Gde Parimartha Karakter Bangsa Dan Aktualisasinya Dalam Kehidupan Masyarakat Bali ............................................................................................................. 95 Character of the Nation and Its Actualization in The Life of Balinese People

* Luh Suwita Utami Aspek Kemasyarakatan di Balik Makanan dalam Prasasti Bali Kuna .......................................................................................................... 107

Social Aspects Behind the Foods Mentioned in Old Bali Inscriptions

* I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora Kajian Pendahuluan Hasil Ekskavasi Situs Tambora .............................................................................................. 117

Trading Commodity of Tambora Sultanate A Preliminary Studies of Excavation Result at Tambora Site

* I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan ................................................ 131

Archaeological Tourism Potential at Beratan Lake

* Jatmiko Melacak Jejak Manusia Purba (Homo Erectus) di Flores .............................................. 148 Trace Ancient Human (Homo Erectus) in Flores

* I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga di Pura Puseh Kanginan Carangsari Kecamatan Petang, Kabupaten Badung Studi Arkeologi-Religi ................................................................... 159 Flower Vase Relief at Puseh Kanginan Carangsari Temple, Carangsari Village, Petang

Subdistrict, Badung Regency an Etnoarchaeological Study

* T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah dan Relief pada Masa Jawa Kuna ................................................................................................ 171

Types of Crime Based on Text And Relief from Old Java Period

Page 9: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

viii

Page 10: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

95

I Gde Parimartha Karakter Bangsa dan Aktualitasasinya Dalam Kehidupan Masyarakat BaliForum Arkeologi TH. XXIV No. 1 April 2011 (1 - 9)

KARAKTER BANGSA DAN AKTUALISASINYADALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT BALI

CHARACTER OF THE NATION AND ITS ACTUALIZATION IN THE LIFE OF BALINESE PEOPLE

I Gde Parimartha Guru Besar Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana

Email : [email protected] masuk : 8-5-2012Naskah setelah perbaikan : 11-6-2012Naskah disetujui untuk dimuat : 9-7-2012

AbstractEach community has a character as the values that is inherent in their daily life. The character gives traits in the way of thinking, behavior, infl uenced by a variety of input received from the environment. Therefore, instead of an existing character by nature, but rather the process of life is refl ected in his behavior. Thus the character of a nation is a long process of Indonesian people of which the data traces can be tracked from the past.This paper attempts to lift the national character of the people of Bali, which focused on four villages, in the category of rural villages and coastal villages. Four villages were: Village of Kayubihi and Bugbug (as rural village) and Kampung Baru Village and Kusamba (as coastal village). This study raised the questions: How is the national character refl ected and actualized in the public life ? Further, what factors are affecting the formation of the nation characters in the life of society ? Methodologically, this study tried to do a more comprehensive approach in the following aspects: historical, values, and the environmental community. In terms of method, this study applied qualitative methods, by taking some research steps: interviews, readings, recording, note taking, FGD, and interpretative analysis.The results showed that the character of the nation in the four villages shows similarity that the general concepts applied in Bali, such as: tri hita karana, tri kaya parisuda, tri mandala, desa kala patra, rwa bhineda, Unity in Diversity, Pancasila. While in particular, the remote villages show old tradition properties as the village inheritance, such as: ulu apad, homogeneous properties, hulu teben, the role of village kebayan, while in the coastal village is refl ected by the spirit of multicultural behavior, heterogeneous, mutual respect, and so other. The actualization is shown on people’s lives such as: on mutual understanding, consultation in the village, and the synergy of traditional and offi cial village services, worked together in mutual cooperation, each gives place to the interests of others. All the activities are affected by historical factors, the values of religion, nationality, and the environment. Key words: national character, the village system, a remote village, the beach village, local wisdom.

AbstrakSetiap kelompok masyarakat memiliki karakter sebagai nilai-nilai yang melekat dalam kehidupannya. Karakter itu memberi ciri pada cara berpikir, tingkah laku, yang dipengaruhi oleh berbagai masukan yang diterima dari lingkungannya. Karena itu, karakter sesuatu yang ada secara alamiah, melainkan hasil proses kehidupan yang tercermin dalam tingkah lakunya. Demikian karakter bangsa adalah merupakan suatu proses panjang bangsa Indonesia yang dapat dilacak jejak-jejaknya sejak masa lampau. Tulisan ini mencoba mengangkat karakter bangsa dari masyarakat Bali, yang terfokus pada empat buah desa, dalam kategori desa pedalaman dan desa pantai. Empat desa itu adalah: Desa Kayubihi dan Bugbug (sebagai desa pedalaman) dan Kelurahan Kampung Baru dan Kusamba (sebagai desa pantai). Penelitian ini mengangkat pertanyaan: Bagaimana nilai karakter bangsa

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus2012 (95 - 106)

Page 11: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

96

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Bahwa bangsa Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang tumbuh dan berkembang dalam perjalanan sejarahnya yang panjang. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, gugusan pulau, tradisi, bahasa, sistem pengetahuan, kepercayaan, karakter, dan lain-lain. Sebagai bangsa yang majemuk dan merdeka dari penjajahan, baru mulai sejak tahun 1945. Tahun itu dapat disebut sebagai hari lahir Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, berdiri sama tinggi, sederajat dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Kesadaran hidup berbangsa paling tidak telah ditanamkan pada awal abad ke-20. Hal itu dipelopori oleh seorang Jawa, Sudiro Husodo, yang membangkitkan semangat kebangsaan sampai ke desa-desa di Jawa. Atas kesadaran itu, dibangun Perkumpulan Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908 dibawah pimpinan Sutomo, ikut menggerakkan masyarakat, membangun kesadaran berbangsa agar lepas dari penjajahan yang menderitakan rakyat. Kesadaran dan semangat itu kemudian mengental pada Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, dengan dikeluarkannya ikrar Sumpah Pemuda, yang berisi pernyataan, kebulatan tekad, ”berbangsa satu, ber tanah air satu, dan

memiliki bahasa yang satu, bahasa Indonesia”. Pernyataan, sumpah itu menunjukkan, betapa kesadaran berbangsa telah tumbuh subur, penuh semangat untuk atas keinginan dan kesepakatan bersama, membangun bangsa yang bebas dari penjajahan.

Cita-cita kemerdekaan baru dapat dicapai pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia oleh Sukarno-Hatta. Selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945, ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalam Pembukaannya, dicantumkan dasar-dasar negara Indonesia merdeka yang diangkat dari lima butir nilai Pancasila. Nilai-nilai itu disebutkan, yakni: (1) Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Kebangsaan Indonesia (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perwusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh pencetusnya, lima dasar nilai itu telah digali dari dalam bumi pertiwi Indonesia, dari nilai-nilai yang terpendam, tersimpan dalam lubuk hati masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ke lima dasar nilai di atas dapat dimengerti sebagai

itu tercermin dan teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat ? Selanjutnya faktor-faktor apa yang memperngaruhi terbentuknya karakter bangsa dalam kehidupan masyarakat itu ? Secara metodologis dicoba melakukan pendekatan yang lebih komprehensif dari aspek-aspek: historis, nilai-nilai, dan lingkungan masyarakat. Dari segi metode, digunakan metode kualitatif, dengan melakukan langkah-langkah penelitian dengan wawancara, pembacaan, perekaman, pencatatan, FGD, dan analisis interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa karakter bangsa di empat desa itu, memperlihatkan persamaan konsep-konsep yang umum berlaku di Bali, seperti: tri hita karana, tri kaya parisuda, tri mandala, desa kala patra, rwa bhineda, bhineka tunggal ika, Pancasila. Sementara secara khusus, desa pedalaman memperlihatkan sifat-sifat kekunaan tinggalan desa, seperti: ulu apad, sifat homogeen, hulu-teben, peranan kabayan desa, sedangkan di desa pantai tercermin semangat menyama braya (multikultur), hetrogeen, saling menghargai, dan lain-lain. Aktualisasinya terlihat pada kehidupan masyarakat seperti: hidup saling memahami, musyawarah dalam desa, sinergi desa adat dan dinas, bergotong royong, saling memberikan tempat pada kepentingan yang lain. Sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi adalah: faktor sejarah, nilai-nilai agama, kebangsaan, dan keadaan lingkungan.Kata kunci: karakter bangsa, sistem desa, desa pedalaman, desa pantai, kearifan lokal.

Page 12: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

97

I Gde Parimartha Karakter Bangsa dan Aktualitasasinya Dalam Kehidupan Masyarakat Bali

nilai-nilai kearifan bangsa, karakter bangsa Indonesia secara keseluruhan (Lihat Strategi Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa, hal.15-18). Karakter bangsa atau disebut juga watak bangsa, dari sudut Antropologi, dapat dilihat sebagai watak kebudayaan atau gagasan koletif bangsa (Dananjaya, 1988: 69). Karakter bangsa atau yang disebut juga watak bangsa menurut teori Antropologi Psikologi dapat dilihat sebagai watak kebudayaan atau gagasan kolektif (Danandjaja, 1988 : 69). Berdasarkan teori ini, maka penelitian mengenai karakter bangsa dan nilai-nilai atau aktualisasinya dapat dilihat sebagai nilai-nilai budaya yang terkandung dalam watak kebudayaan atau gagasan kolektif masyarakat. Hal ini sejalan dengan pemahaman tentang karakter bangsa menurut Jero Wacik (2011 : vi) bahwa karakter bangsa artinya akhlak, budi pekerti, watak dan kepribadian yang menjadi ciri-ciri bangsa berdasarkan nilai dan norma yang merupakan budaya bangsa.

Nilai-nilai itu menyebar, tersimpan dalam lubuk hati, kehidupan masyarakat Indonesia yang plural, baik suku Jawa, Sasak, Makasar, Bugis, Batak, Bali, maupun yang lain. Atas dasar itu, masyarakat yang majemuk ini dapat dipersatukan, merasa bersama-sama memiliki nilai-nilai, landasan, pandangan hidup yang sama seperti tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Karakter bangsa itu penting artinya dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa, dalam satu perspektif ke Indonesiaan, menuju pembangunan masyarakat yang adil dan makmur.

Namun sekarang, muncul banyak konfl ik antar etnik, konfl ik di kalangan masyarakat. Terjadi konfl ik di Sambas, di Ambon, di Aceh, konfl ik di desa, dan lain-lain, sepertinya memperingatkan kondisi kehidupan berbangsa yang tergerus dari nilai-nilai yang dipasang di awal kemerdekaan. Kondisi seperti itu tampak menggugah bangsa dan pemerintah untuk melihat kembali akar-akar karakter yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Tampak perlu lebih memahami dan menghayati kembali nilai-

nilai karakter bangsa yang tersimpan di dalam kehidupan masyarakat.

1.2 Rumusan MasalahPenelitian, ini bermaksud menggali

nilai-nilai karakter bangsa dalam masyarakat Bali. Sejak dahulu penduduk Bali dimengerti sebagai masyarakat yang memiliki nilai-nilai, pandangan hidup, praktek hidup yang sejalan dengan nilai karakter bangsa di atas. Pertanyaannya adalah: (1) bagaimana nilai karakter bangsa tercermin dalam masyarakat Bali, (2) bagaimana aktualisasi dan peranannya dalam kehidupan masyarakat di Bali ? (3) faktor-faktor apa yang memperngaruhi terbentuknya karakter bangsa dalam kehidupan masyarakat Bali ? Dari tiga rumusan pertanyaan itu, dicoba mencari pemahaman tentang potensi karakter bangsa yang ada di masyarakat, nilai-nilai, ide-ide, dan aktualisasinya dalam kehidupan masyarakat Bali.

1.3.1 TujuanMemahami, mengidentifi kasi nilai-nilai a. karakter bangsa dan aktualisasinya dalam masyarakat BaliMendeskripsikan nilai karakter bangsa dan b. aktualisasinya dalam masyarakat BaliMendorong upaya pelestarian, c. pengembangan, dan pemanfaatan nilai-nilai karakter bangsa dalam kehidupan kolektif masyarakat Bali.Menggerakkan komitmen dan peran aktif d. pelaku kebudayaan dalam upaya pelestarian, pengembangan, dan aktualisasi nilai-nilai karakter bangsa, menuju kehidupan bangsa yang sejahtera.

1.3.2 Kegunaana. Manfaat yang diharapkan adalah

kegunaannya dalam rangka membangun semangat integrasi bangsa, membangun kehidupan bangsa berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal yang tersebar di seluruh wilayah Kepulauan Indonesia.

b. Diharapkan berguna bagi para pemegang

Page 13: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

98

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

kebijakan, baik di pemerintahan maupun dalam organisasi masyarakat untuk menghindarkan konfl ik yang tidak perlu.

c. Berguna bagi kepentingan akademik, sebagai upaya meluaskan bidang penelitian dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

1.4 Kerangka Teori Yang menjadi sasaran penelitian di sini

adalah empat buah desa di Bali, yang secara teoritis, historis masing-masing termasuk desa dalam kategori: dua desa pedalaman dan dua desa pantai. Diasumsikan bahwa adanya desa-desa itu dan karakter masyarakatnya, tidak lepas dari berbagai faktor seperti: faktor sejarah, nilai budaya dan lingkungannya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pendekatan dari berbagai sudut seperti: historis, nilai-nilai dan lingkungan masyarakatnya.

Secara teoritis dapat disebutkan, bahwa penelitian ini menggunakan teori hegemoni dari Gramsci dan teori praktek dari Bourdeau, yang memberikan pemahaman mengenai berbagai aspek yang mungkin berpengaruh, yang dikenal sebagai modal, seperti: modal ekonomi, modal budaya, politik dan modal simbolik.

1.5 Metode1.5.1 Lokasi Penelitian

Sebagai subyek penelitian, yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah: dua desa pedalaman, yakni, Desa Kayubihi di Kabupaten Bangli dan Desa Bugbug di Kabupaten Karangasem. Kedua desa terletak agak berjauhan, Kayubihi di daerah Bali Tengah dan yang lain (Bugbug) di daerah Bali Timur. Termasuk desa pantai adalah: Desa Kampung Baru di Kabupaten Buleleng, Bali Utara dan Desa Kusamba di Kabupaten Klungkung, Bali Selatan. Masing-masing desa itu memiliki karakternya sendiri, sejalan dengan perjalanan sejarahnya dan sistem sosial masyarakatnya. Di samping itu, ada karakter yang bersamaan dilihat dari nilai-nilai umum masyarakat di Bali. Waktu penelitian dilakukan tahun 2011.

1.5.2 Metode PenelitianMetode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode kualitatif, subyek penelitian tidak dilihat sebagai sampel, melainkan sebagai kasus-kasus yang memiliki ciri-cirinya sendiri. Meskipun demikian, berbagai keterangan kuantitatif juga digunakan untuk melengkapi daya analitis dari penelitian ini. Dalam hubungan itu, sebagai teknik pengumpulan data, dalam penelitian dilakukan langkah-langkah: observasi, wawancara, pembacaan, perekaman/pencatatan, dan FGD. Sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan adalah: informan (dari tokoh-tokoh masyarakat setempat), data desa, bahan arsip, dokumen, dan peninggalan lainnya yang terkait dengan subyek penelitian. Penentuan informan dilakukan secara snowball, yakni pencarian data dengan cara menemui informan kunci terlebih dahulu, lalu diteruskan kepada informan berikutnya sampai data yang terkumpul dipandang cukup. Teknik analisis dilakukan dengan cara metode kualitatif, sehingga dengan model itu dimaksudkan bahwa analisis telah dilakukan sejak awal penelitian. Akhirnya melakukan sintesa, rekonstuksi fakta untuk membangun satu laporan tertulis.

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2.1 Hasil PenelitianPenyajian hasil penelitian dilakukan secara

deskriptif analitis, dengan membangun uraian ke dalam bab-bab yang membagi pembahasan ke dalam sub-sub bab, dari pendahuluan sampai dengan simpulan.

2.2 PembahasanDari hasil penelitian dan analisis data

yang dilakukan selama penelitian, dihasilkan suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang karakter dan nilai-nilai dari masyarakat Bali. Dimengerti bahwa nilai karakter bangsa yang tergali dari penelitian itu, dapat disebutkan sebagai satu bentuk kearifan lokal (Bali) yang sesungguhnya mendapat pengaruh dari keadaan masyarakatnya masing-masing seperti: sejarah, lingkungan, dan nilai sosial budayanya. Oleh karena itu, di sini muncul satu hasil yang di satu sisi memperlihatkan kekhasan karakter

Page 14: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

99

I Gde Parimartha Karakter Bangsa dan Aktualitasasinya Dalam Kehidupan Masyarakat Bali

hidup yang dianut masyarakatnya yang dapat dimengerti sebagai cerminan konsep desa, kala, patra, dan juga terdapat nilai yang sejalan sebagai bagian dari masyarakat Bali yang beragama Hindu atau Indonesia secara keseluruhan. Semangat kebersamaan, menghargai orang tua, percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (Ida Hyang Widhi Wasa), konsep-konsep merupakan ciri umum yang nampak dari desa-desa yang diteliti.

Dalam penelitian ini, empat buah desa yang dijadikan subyek penelitian adalah: Desa Kayubihi di Kabupaten Bangli dan Desa Bugbug, Kabupaten Karangsem, termasuk dalam kategori desa tua (pedalaman). Dua desa lainnya adalah: Desa Kampung Baru di Buleleng dan Desa Kusamba di Kabupaten Klungkung termasuk dalam kategori desa pantai. Di sini tampak ingin diperbandingkan bagaimana nilai-nilai karakter dan aktualisasinya di desa tua/pedalaman dan desa pantai. Selanjutnya, mengenali faktor-faktor yang berpengaruh dalam nilai-nilai karakter itu, sebagai cermin penggalian nilai karakter bangsa dari beberapa desa di Bali.

2.2.1 Desa Pedalaman, Kayubihi, Kabupaten Bangli dan Bugbug Kabupaten Karangasem

2.2.1.1 Lingkungan Alam dan Budaya a. Desa Kayubihi

Desa Kayubihi adalah salah satu desa tua termasuk dalam wilayah Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi di Bali. Lokasinya terletak sekitar 8 km ibu kota kecamatan, 8 km ke ibu kota kabupaten, dan 45 km ke ibu kota Provinsi Bali, yaitu Denpasar. Desa Kayubihi terletak sekitar 800 mil dari permukaan laut, dengan suhu udara rata-rata 25-30 derajat celcius. Berdasarkan tataguna tanah, Desa Kayubihi terdiri atas tanah perkebunan seluas 32, 17 Ha, tanah pekarangan 59 Ha, dan tanah tegalan/ladang seluas 608 Ha. Selain itu ada tanah lapang, jalan, tanah pura, kuburan, kantor untuk fasilitas umum. Desa Kayubihi dibangun atas konsep karang kerti (karang desa), tegal ayahan desa, yang merupakan satu desa adat/pakraman (Kayubihi) dan sekaligus sebagai

satu banjar dinas (administrasi). Dari segi budaya, tampak bahwa pola pemukiman Desa Kayubihi memperlihatkan bekas-bekas desa tua/pedalaman, yang berbentuk membujur (linear) dari Utara ke Selatan, menempatkan pelinggih-pelinggih atau tempat suci di bagian hulu, Utara desa, sedangkan tempat-tempat pembuangan akhir, kuburan terletak di bagian Selatan desa. Itu menunjukkan arah utara-selatan (kaja-kleod) atau hulu-hilir (ulu-teben). Karang perumahan warga juga ditempatkan sesuai dengan postur desa yang memanjang, semakin ke Utara semakin meninggi. Sistem pemeliharaan lingkungan, menerapkan konsep fi losofi Bali Hindu: Tri Mandala, Tri Hita Karana. Sistem mata pencaharian sebagian besar memanfaatkan lahan pertanian yang subur, beternak babi, ayam, kerajian anyaman bambu, dan sedikit usaha-usaha perdagangan baru. Dengan demikian, desa Kayubihi memiliki bekas-bekas sebagai desa tua yang sedang berkembang di Bali.

b. Desa BugbugDilihat dari postur desanya tidak jauh

berbeda dari Kayubihi. Itu terletak membujur (lenear) dari Utara ke arah Selatan. Secara geografi s, Desa Bugbug merupakan satu perbekelan (desa dinas), terletak sekitar 68 Kilometer ke timur dari Kota Denpasar, dan 7 Kilometer di sebelah Barat Kota Amlapura. Awalnya areal itu merupakan tanah rawa-rawa dengan air tergenang, disebut “Telaga Ngembeng”. Ada penduduk di sekitar areal itu, di lereng Bukit Gumang, yang bernama Sabuni. Ada juga penduduk memondok di bawah Bukit Sanghyang Ambu, bernama Belong, dan ada penduduk di sebelah utara Belong bernama Lunpadang. Di tiga tempat itu penduduk membuat tegalan untuk bertani. Ketiga kelompok penduduk itu kemudian menjadi asal mula dari penduduk Desa Bugbug. Pada saat itu, Tukad Buwu airnya mengalir menuju ke timur melintasi Tukad Perasi, dan berbelok ke selatan, menuju ke laut (tidak seperti sekarang mengalir langsung ke selatan). Secara topografi s

Page 15: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

100

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

wilayah desa Bugbug merupakan daerah DAS/bantaran Tukad Buwu, yang airnya dapat digunakan mengairi sawah-sawah di sekitarnya. Secara keseluruhan Desa Bugbug memiliki luas wilayah sebanyak 815 ha/m2. Wilayah ini terbagi ke dalam sawah irigasi seluas 4,50 ha/m2, sawah irigasi setengah teknis seluas 127, 79 ha/m2, perkebunan seluas 35 ha/m2, tegal/ladang 475,590 ha/m2, hutan asli 164 ha/m2, dan hutan rakyat 75 ha/m2 (Lihat Profi l Desa Bugbug 2007).

Mata pencaharian penduduk sebagian besar dari bertani, beternak, tukang, dan ada sebagian sebagai nelayan (di dekat pantai). Masyarakat Bugbug juga mengenal konsep tanah ayahan desa (AYDS), karang desa, dan pelaba pura. Berhubungan dengan lingkungan alam, masyarakat desa Bugbug juga mengenal Konsep kaja-kelod, ulu-teben. Budaya pemeliharaan lingkungan, juga dikenal konsep Tri Mandala, fi losofi Tri Hita Karana, yang menunjukkan adanya pemahaman mengenai pentingnya memelihara hubungan dengan Tuhan (Hyang Widhi Wasa), hubungan dengan sesama, dan hubungan dengan lingkungan alam.

2.2.1.2 Sistem Sosial dan Pemerintahana. Desa Kayubihi

Dilihat dari segi penduduk, masyarakat desa Kayubihi terdiri atas kelompok-kelompok kekerabatan, klen, yang disebut soroh. Di sini dikenal ada soroh Kubayan, kelompok warga yang dipandang sebagai penduduk asli (wed). Selebihnya ada kelompok warga Pasek Gelgel (299 KK), Pasek Kayu Selem (250 KK), Pasek Toh Jiwa (40 KK), kelompok predewa (6 KK). Tercatat, yang termasuk warga (krama) desa adat Kayubihi adalah setiap orang yang tinggal menetap dan beragama Hindu, memegang dan mendayagunakan tanah desa, atau tanah ayahan desa (AYDS). Selain itu disebut tamyu (warga pendatang). Sistem penguasaan tanah ayahan desa dibuat pada masa kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda, yang membangun sistem pemilikan tanah desa lepas dari kekuasaan

raja (1917). Sebagai lembaga tradisional, Desa Kayubihi memiliki pengurus (prajuru) dan aturan-aturan yang disebut awig-awig. Wilayah desa Kayubihi dibagi atas tempekan-tempekan (kompleks, bukan banjar seperti di tempat lain), seperti: Tempek Kelod Kangin, Tempek Kelod Kauh, Tempek Kaja Kauh, dan Tempek Tengah. Tiap tempek memiliki kelian (pemimpin) sendiri yang disebut tetua. Pembagian tempek ini berkaitan dengan tugas-tugas kepengawasan dari atas (raja, manca), yang disebut macekin dalam tinggalnya mereka di tempat itu. Ini merupakan bentuk kekhasan dibanding tempek di tempat lain.

Dari segi kepemimpinan desa di sini masih memperlihatkan ciri-ciri desa tua/pedalaman, yakni berfungsinya sistem Ulu Apad, di samping adanya sistem dinas. Sistem kepemimpinan Ulu Apad (kepemimpinan berdasarkan umur perkawinan) masih berlaku di kedua desa itu (Kayubihi dan Bugbug). Dalam sistem ini tampak terdapat tiga kelompok penting yang menjadi pengendali inti desa, yakni: Pertama, Gurun Desa, duduk diruang paling hulu di bawah ruang dulun bale agung. Itu berjumlah 16 orang, enam orang yang teratas disebut: dua orang sebagai Kubayan Mucuk dan Kubayan Cerikan, dua orang lagi disebut Bahu Mucuk dan Bahu Cerikan, sementa dua orang di bawahnya disebut Singgukan Mucuk dan Singgukan Cerikan. Ini merupakan kelompok yang memimpin, mengambil kebijakan, menjalankan ketentuan (awig-awig desa). Kedua, kelompok yang duduk di bagian tengah, 80 orang, disebut krama uduhan, kelompok yang dapat disuruh mengerjakan berbagai fungsi tugas desa, sesuai dengan fungsi-fungsi prajuru. Selanjutnya kelompok ketiga, adalah kelompok terbawah, yang bertugas mengikuti perintah, suruhan dari petugas atasan sesuai kepentingan desa. Setelah munculnya Peraturan Daerah tentang Desa Pakraman, dengan sistem kebendesaan (bendesa pakraman sebagai ketua) terjadi kecenderungan semakin merosotnya peranan sistem Ulu Apad di bawah dominasi sistem kebendesaan, sesuai Perda Desa Pakraman

Page 16: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

101

I Gde Parimartha Karakter Bangsa dan Aktualitasasinya Dalam Kehidupan Masyarakat Bali

No.3 Tahun 2001. Dalam kaitannya dengan tugas-tugas dinas kepemerintahan, di sini terdapat pula pemerintahan desa yang disebut sistem desa dinas, yang diketuai oleh seorang Perbekel. Karena itu, Desa Kayubihi dalam praktek kepemerintahannya menjalankan sistem ganda, yang membedakan dugas keadatan/tradisi dan dinas kepemrintahan. Sistem ini telah berlangsung sejak dahulu.

b. Desa Bugbug, Karangasem

Dalam sistem pemerintahannya, tidak jauh berbeda dengan sistem di Kayubihi. Dari segi kewilayahan desa Bugbug merupakan satu wilayah desa pakraman (adat) dan desa perbekelan. Sebagai Desa Adat Bugbug dipimpin oleh Bendesa Adat, terdiri atas 12 banjar adat, yakni: (1) Banjar Puseh, (2) Banjar Bancingah, (3) Banjar Madya, (4) Banjar Darmalaksana, (5) Banjar Segaa, (7) Banjar Celuk Kangin (8) Banjar Celuk Kauh, (9) Banjar Dukuh Tengah, (10) Banjar Garia, dan (11) Bukit Asah, (12) Banjar Samuh. Desa Perbekelan Bugbug dikepalai oleh seorang Perbekel. Sebagai desa perbekelan, Desa Bugbug terdiri atas tujuh dusun (banjar dinas): Ds. Kaler, Ds. Kaleran, Ds.Tengah, Ds.Tengahan, Ds. Kelod, Ds.Kelodan, dan Ds. Samuh. Meski ada dua kepemimpinan di desa, kedua jenis pemimpin itu dapat bahu-membahu dalam menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya masing-masing. Desa adat/pakraman menjalankan tugas menyangkut masalah: adat/tradisi, agama yang dianut masyarakat, sedangkan desa perbekelan mengurus soal-soal yang berkaitan dengan pemerintahan (dinas). Di dalam pemerintahan dinas terdapat unsur-unsur pemimpin adat ikut mengendalikan kebijakan pemerintahan di desa. Unsur-unsur desa adat selain sebagai partner, juga berfungsi sebagai alat kontrol bagi langkah-langkah yang menyimpang dari kepentingan masyarakat.

Tetua desa yang disebut Kubayan (atau kabayan) juga masih terdapat di desa Bugbug, namun fungsinya sangat terbatas hanya pada urusan-urusan upacara. Namun bendesa pakraman, yang disebut sebagai turunan dari klen (soroh) Bendesa Mas sangat berpengaruh

dan disegani di masyarakat Bugbug. Karena besar pengaruhnya, maka hampir setiap yang dipilih menjadi perbekel sampai kini selalu dari keluarga, turunan Bendesa Mas. Hal itu tidak lepas dari perjalanan sejarah masyarakat di sana, ketika awalnya di masa kerajaan (Gelgel), seorang dari Bendesa Mas dikirim ke Bugbug dan dipandang berhasil mengamankan keadaan. Di bawah kepemimpinan turunan Bendesa Mas, masyarakat Bugbug tampak tertib, dengan semangat solidaritas tinggi sampai sekarang. Nilai-nilai kearifan leluhur (tri hita karana, ulu-teben, tri mandala) tetap tataati sampai sekarang.

2.2.2 Desa Pantai Kampung Baru dan Kusamba

a. Kampung Baru Kelurahan Kampung Baru, merupakan

sebuah wilayah yang telah tumbuh sejak jauh di masa lampau, yang awalnya dikenal sebagai Bandar Pelabuhan Buleleng. Sejak awal abad Masehi kawasan pantai Buleleng menjadi penting artinya dari perspektif arkeologis. Artefak berupa barang-barang keramik Cina banyak ditemukan di sepanjang pantai utara Buleleng. Di areal itu dibuat Pelabuhan Buleleng yang ramai didatangi pedagang-pedagang dari luar daerah, pulau.

Kampung Baru luasnya mencapai 151,0 ha/m2 dengan masing-masing pembagiannya digunakan sebagai: Pemukiman 62,0 ha/m2; Kuburan 4,0 ha/m2; Pekarangan 65,0 ha/m2; Perkantoran 14,0 ha/m2; Prasarana umum lainnya seluas 6,0 ha/m2. Kelurahan Kampung Baru memiliki fasilitas umum berupa Lapangan Olah Raga dengan luas 100 ha/m2, fasilitas Pasar seluas 10 ha/m2, dan Terminal dengan luas 40 ha/m2. menjadi Bandar penting bagi laskar kerajaan Buleleng masa pemerintahan I Gusti Ngurah Panji Sakti (1604-1690-an) (Simpen A.B., 2002: 38-44).

Kini, Kampung Baru merupakan bentuk komunitas baru dari penduduk pendatang di Pantai Utara Bali, yang secara administrasi merupakan sebuah kelurahan, “Kelurahan Kampung Baru”. Kelurahan Kampung Baru

Page 17: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

102

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

terletak di pinggir pantai dengan ketinggian sekitar 10 mil. Jarak Kelurahan Kampung Baru dengan ibu kota kecamatan sekitar 2 km dengan jarak tempuh berkisar 15 menit. Sebagai desa pantai yang berada di kota, jarak dan orbitasi dengan pusat kota Singaraja hanya 3 Km, sehingga lebih menopang aktivitas di perkotaan dan terbuka dengan penduduk yang heterogen. Sebagai daerah pantai, Kelurahan Kampung Baru tidak memiliki tanah pertanian, perkebunan maupun hutan, sehingga sebagai sumber mata air diperoleh melalui galian, sumur pompa dan PAM. Walaupun sebagai daerah pantai, Kelurahan Kampung Baru selama ini belum dikembangkan sebagai daerah yang berpotensi wisata.

Secara geografi s, batas-batas Kelurahan Kampung Baru adalah: sebelah Utara adalah Laut Jawa; sebelah Timur adalah Kelurahan Banyuning; sebelah Selatan adalah Kelurahan Banyuning; sebelah Barat adalah Kelurahan Kampung Kajanan. Luas wilayah Kelurahan Selanjutnya penduduk Kelurahan Kampung Baru, Buleleng, tercatat 2.030 KK, total jumlah penduduknya 7.552 jiwa, terdiri dari laki-laki 3.773 orang dan perempuan 3.779 orang. Jumlah penduduk usia sekolah dari pra sekolah hingga Perguruan Tinggi 5.915 orang. Selebihnya ialah usia produktif yang tersebar di berbagai profesi pekerjaan seperti PNS: 122 orang, nelayan: 34 orang, montir: 23 orang, TNI: 23 orang, Polri: 77 orang, pensiunan PNS/TNI/Polri: 9 orang, pengusaha kecil/menengah: 460 orang, Pembantu Rumah Tangga dari kaum perempuan: 21 orang, pengacara: 1 orang, Notaris: 2 orang, karyawan perusahaan swasta: 223 orang, Buruh laki perempuan: 500 orang. Agama yang dianut meliputi: Hindu: 5.254 orang, Islam: 1.613 orang, Budha: 582 orang, Kristen: 75 orang, Katolik: 19 orang dan Konghucu: 8 orang. Etnis Bali mendominasi di Kampung Baru.

Kelurahan Kampung Baru dulu Pelabuhan Buleleng menjadi saksi peristiwa heroik perang melawan kolonialisme Belanda pada perang melawan kolonialis Belanda tahun 1846 dan 1848. Pada pertengahan abad ke-20,

pelabuhan Buleleng menjadi saksi bagi insiden bendera yaitu kontak senjata antara pasukan RI (BKR) dengan pasukan Belanda. Insiden penurunan bendera Belanda untuk digantikan bendera Merah Putih terjadi di pelabuhan Buleleng. Seorang pemuda bernama Merta yang berani menurunkan bendera Belanda, tewas ditembak oleh tentara Belanda pada tahun 1945. Insiden bendera itu dapat dikatakan sebagai awal meletusnya revolusi bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Bali (Pendit, 1979: 87-91).

Akibat perkembangan dalam sejarahnya, maka wilayah Kampung Baru kini merupakan komunitas multikultur yang dihuni oleh penduduk dari berbagai etnis dan agama (Bali, Cina, Jawa, Bugis) dengan agama Hindu, Budha/Kong Hu Chu, Islam. Dari segi agama yang dianut penduduk, Kampung Baru menunjukkan bahwa mereka hidup rukun penuh toleransi, hidup berdampingan saling bantu, gotong royong masih kental. Dari segi pemukiman, penduduk Kampung Baru menunjukkan model pemukiman yang bercampur, berbaur, tidak jelas batas yang membedakan etnik. Secara sosiologis masyarakat Kelurahan Kampung Baru merupakan masyarakat majemuk kecil, yang penduduknya tinggal lebih memencar dari pada mengelompok.

Selanjutnya, dari segi sistem pemerintahannya, Kelurahan Kampung Baru merupakan sistem desa dinas, yang membawahi pernduduk dari berbagai etnik agama. Kepala Desa Kampung Baru disebut Lurah, dibantu oleh petugas-petugas kelurahan, yang bertugas mengurus bidang, urusan tertentu, seperti yang terdapat di desa perbekelan. Selain itu, masyarakat Bali juga tergabung dalam bentuk warga desa adat/pakraman yang menjalankan fungsi-fungsi keadatan Bali, sementara masyarakat Muslim secara tradisi tergabung dalam perkumpulan/peguyuban di bawah Mesjid atau Kelenteng bagi masyarakat orang Cina. Kedua sistem desa ini juga dapat saling bahu membahu dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Semua memahami

Page 18: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

103

I Gde Parimartha Karakter Bangsa dan Aktualitasasinya Dalam Kehidupan Masyarakat Bali

adanya berbagai bentuk karakter, kearifan yang dimiliki oleh etnik atau kelompok budaya yang hidup dan dapat saling memahami.

b). Kelurahan Kusamba Desa Kusamba merupakan salah

satu desa yang berekotipe pantai ada di wilayah Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung. Batas-batas desa itu: di sebelah Utara Desa Dawan Kelod, di sebelah Timur, Desa Pesinggahan, di sebelah Selatan Desa Kampung Kusamba dan Selat Badung, dan di sebelah Barat adalah Desa Gunaksa. Batas desa dibuat secara permanen dalam bentuk candi, yang pembuatan candi tersebut dimaksudkan sebagai batas wilayah (wawengkon) desa secara administratif. Desa Kusamba dibagi menjadi 16 banjar dinas, dan 8 desa adat (pakraman) namun atas kesadaran dari tokoh-tokoh masyarakat, bahwa di Desa Kusamba tidak terdapat batas wilayah adat. Hal ini dimaksudkan agar ke depan tidak menjadi bumerang atau pemicu konfl ik perbatasan antar adat di Desa Kusamba.

Luas desa Kusamba adalah 242.000 Ha dengan kondisi menurut pemanfaatan lahan sebagai berikut: Sawah: 108.480 Ha., Tegalan: 42.785 Ha., Pekarangan: 80.735 Ha. Fasilitas Umum: 10.000 Ha. Jumlah: 242.000 Ha. Dilihat dari sudut matapencaharian, penduduk Desa Kusamba telah mengalami pergeseran dari masa ke masa. Awalnya, mayoritas penduduk bekerja sebagai petani (sawah), namun kemudian sejak Gunung Agung meletus di tahun 1963, mata pencaharian penduduk berubah, akibat banyak lahan pertanian mengalami kerusakan. Mata pencaharian penduduk mulai bergeser ke sektor yang semakin bervariasi (petani merosot). Kini mata pencaharian bergerak, semakin bervariasi, seperti: nelayan tercatat 233 orang dan petani 230 orang, buruh (998 orang), swasta (983 orang), pedagang (730 orang). Sebagian lainnya bermata pencaharian sebagai PNS 118 orang), pengrajin (7 orang), peternak (6 orang), jasa (23 orang). Dari komposisi demikian dapat dikatakan, Desa Kusamba sebagai desa pantai cukup terbuka dan penduduknya cukup produktif. Dapat dikatakan pula bahwa mata pencaharian buruh, swasta dan pedagang adalah penopang pekerjaan nelayan, petani

dan pedagang. Mereka inovatif kreatif menyumbangkan produksi hasil laut terutama ikan yang diproses menjadi pindang. Di tengah pemukiman terdapat pasar Desa Kusamba, semua penduduk dapat berpartisipasi di pasar, dengan bahasa campuran Bali, Indonesia. Warga Muslim di Kusamba juga berbahasa Bali. Tipe perumahan kaum Muslim di Kusamba juga meniru rumah-rumah penduduk Bali dengan pagar/tembok di depan, model kori dan angkul-angkul.

Dari segi sistem sosial Kelurahan Kusamba dapat dilihat sebagai desa dengan masyarakat multikultural. Menurut catatan tahun 2010 penduduk Kusamba berjumlah: 6.396 jiwa. Rincian menurut jenis kelamin, laki-laki: 3.139 jiwa dan perempuan 3.258 jiwa. Jumlah kepala keluarga (KK) 1.822. KK tersebar secara administratif di lima dusun dan secara adat di 24 desa adat dan 32 banjar adat. Jumlah penduduk usia produktif (15-56 tahun) berjumlah 3.988 orang dan jumlah penduduk non produktif (> 57 tahun) berjumlah 985 orang (Profi l Desa Kusamba, 2010: 3). Termasuk juga di dalamnya penduduk penyandang cacat mental fi sik (50 orang). Dari segi keberagaman, penduduk Kusamba terdiri atas warga dari berbagai etnik dan agama. Mayoritas beragama Hindu, kemudian Islam dan Budha, Kristen. Secara etnik, mereka merupakan penduduk asal Bali, Tionghoa, Jawa, Sunda, Bugis, Madura, empat yang terakhir beragama Islam. Model pemukiman, lebih mengelompok. Warga Hindu mengelompok tinggal berumah di pusat desa, di pinggir jalan raya, sedangkan warga Muslim tinggal di sebelah selatannya, di pinggir pantai, membentuk satu kompleks, Kampung Muslim, dengan penduduk sekitar 560 jiwa.

Kehidupan masyarakat Desa Kusamba pada umumnya hampir sama dengan kehidupan masyarakat Bali yakni kehidupan yang bernuansa ke-Hinduan. Pada hakekatnya juga dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama (I Gusti Ngurah Bagus dalam Koentjaraningrat, 2004: 296). Sedangkan kehidupan masyarakat non- Bali di Desa Kusamba, pada umumnya adalah

Page 19: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

104

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

kehidupan yang menyerupai sistem sosial masyarakat Indonesia, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan, bersifat multikultural.

2.2.3 Karakter Bangsa dan AktualisasinyaDapat dimengerti bahwa karakter

bangsa adalah merupakan suatu nilai budaya yang mempengaruhi, mengatur, memberi arah pada sikap, perbuatan manusaia dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1982), nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai atau baik dalam hidup. Nilai-nilai karakter bangsa pada umumnya bersifat universal dan memiliki kekhasannya sendiri-sendiri. Bersifat universal dalam arti memiliki nilai-nilai kejujuran, kecerdasan, keberanian, transparansi, dan adanya komitmen. Memiliki kekhasannya sendiri dalam arti memiliki karakter (character) atau karakteristik di mana adanya kekhasan, kekhususan suatu istilah atau terminologi yang dipandang berlaku dalam sebuah masyarakat dan dijadikan panutan oleh anggota masyarakat yang lainnya. Menurut Soehartono ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola masalah karakter bangsa. Pertama adalah faktor pemimpin (leader), kedua pengikut (follower), dan ketiga masalah pokok (subject matter). Pemimpin yang kuat dengan blue print melaksanakannya dengan tegas, jujur, bijak, dan adil. Pengikut ditingkatkan apresiasinya artinya sebagai sumber daya manusia yang tangguh. Dalam konteks ke Indonesiaan, masalah karakter bangsa bersumber pada Pancasila sebagai subject-matter, yang kini sedang mengalami kemerosotan (Soehartono, 2010).

Berbicara karakter bangsa di desa penelitian, dapat dimengerti bahwa bentuk-bentuk nilai karakter bangsa di masyaraka tempat desa yang diteliti, tidak jauh berbeda dari karakter umum yang dimiliki masyarakat Bali.

Hanya perbedaannya terjadi, tampak karena adanya pengaruh lingkungan alam (pedalaman, pesisir), budaya, dan sejarahnya. Konsep-konsep umum Bali yang muncul seperti: Tri Hita Karana (kesadaran akan adanya tiga hubungan yang membangun kebahagiaan hidup, seperti: hubungan manusia-Tuhan, hubungan manusia-manusia, dan hubungan manusia-alam). Juga konsep desa, kala, patra (memberi kesadaran pada adanya pengaruh: tempat, waktu, dan keadaan terhadap satu fenomena). Konsep saguluk-sagilik, yang memberi kesadaran intern, bahwa perlu menumbuhkan rasa kesatuan, rasa seperjuangan untuk dapat mencapai cita-cita bersama. Selanjutnya konsep menyama-beraya, memberi kesadaran ekstern perlunya setiap orang merasa bersaudara dengan orang yang lain, atau sesama, meski berlainan etnik/agama, sehingga menumbuhkan rasa saling tolong menolong antar sesama). Konsep tri kaya parisuda, memberikan kesadaran tentang perlunya berpikir, berkata, dan berbuat yang benar, baik dalam kehidupan, agar tumbuh kehidupan yang berguna bagi semuanya. Selanjutnya konsep keseimbangan rwa bhineda, diartikan sebagai kesadaran bahwa dalam kehidupan ini selalu ada kontras-kontrasnya, seperti: benar-salah, hitam-putih, utara-selatan, baik-buruk, kaya-miskin, kuat-lemah, laki-perempuan, dan lain-lain. Semua itu menjadi pelajaran, bahwa hidup ini dipenuhi oleh perbedaan, dan dengan perbedaan itu, manusia berdialog, berdiskusi menemukan kebenaran. Konsep karmapala, yang memberi pemahaman terhadap perbuatan yang selalu membawa akibat (baik atau buruk), sehingga perlu berbuat baik agar mendapatkan hasil/pahala yang baik. Juga konsep bhineka tunggal ika, yang memberi kesadaran pada perlunya hidup saling mengerti, memahami, toleransi terhadap adanya perbedaan tradisi, budaya, keyakinan di antara sesama. Dalam sistem pemerintahan, semua desa penelitian menganut sistem ganda, yakni adanya sistem desa adat/pakraman dan desa dinas. Semua itu, merupakan bentuk-bentuk karakter bangsa,

Page 20: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

105

I Gde Parimartha Karakter Bangsa dan Aktualitasasinya Dalam Kehidupan Masyarakat Bali

dalam wujudnya sebagai kearifan lokal yang menjiwai kehidupan bermasyarakat.

Dalam bentuknya yang khusus di wilayah desa masing-masing, dapat disampaikan, bahwa di desa pedalaman (Kayubihi dan Bugbug) masih terdapat penghargaan yang kuat terhadap posisi para tetua, dengan bentuk sistem pemerintahan Ulu Apad (urutan kepengurusan berdasarkan urutan perkawinan di balai desa). Penggunaan istilah Kabayan bagi para petugas pengatur upacara keagamaan di desa, menunjukkan sistem kuna dalam masyarakat Bali. Juga konsep ulu-teben sangat baik dipahami dalam rangka mengatur lingkungan dan kemasyarakatan. Konsepsi Ulu Teben digunakan menata tempat pemukiman, dengan mana warga yang rumahnya lebih di hulu (utara) menetapkan batas pekarangan terlebih dahulu, sesuai ukuran yang ditetapkan. Sistem perumahannya, menggunakan tanah milik desa (karang desa), yang tidak diperjual belikan. Setiap orang yang menempati karang desa adalah warga/krama desa dan seizin desa. Di desa Kayubihi dan Bugbug mengenal pula krama desa, truna, daha, bale agung, yang menjadi wadah penduduk tua dan muda bertemu, berkumpul membicarakan berbagai hal yang menyangkut kepentingan bersama. Berbagai bentuk organisasi kemasyarakatan itu, mencerminkan aktualisasi dari konsep-konsep kearifan yang diwarisi, yang hidup sampai sekarang.

Sementara itu, di Desa/Kelurahan Kampung Baru dan Kusamba, aktualisasi karakter bangsanya nampak lebih variatif, mengadopsi berbagai pemikiran yang berkembang di masa ini. Penduduk yang lebih bercampur memberikan dorongan bagi mereka untuk hidup saling memahami dan berdampingan satu sama lain. Mereka tidak mempermasalahkan adanya perbedaan agama, etnik, dan budaya yang dianutnya. Mereka hidup berdampingan, berbaur, dan tolong menolong dalam satu lembaga yang bersifat profesi, adat maupun kedinasan

Sebagai faktor yang mempengaruhi, tampak bahwa faktor nilai sejarah (desa tua dan baru), lingkungan (pedalaman dan pantai) dan

bentuk kemasyarakatan memberi dukungan atas munculnya berbagai karakter masyarakat di pedesaan.

III. PENUTUP3.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas tampak bahwa pada dasarnya nilai karakter bangsa masyarakat desa penelitian di Bali, menunujukkan sifat-sifatnya yang bersamaan, atau tidak jauh berbeda mengenai nilai-nilai, konsep-konsep yang umum dimengerti, seperti: nilai Tri Hita Karana, desa kala patra, tri kaya parisuda, menyama braya, rwa bhineda, bhineka tunggal ika, Pancasila. Mengenai aktualisasinya, hal itu dapat dilihat lebih bervariasi sejalan dengan lingkungannya. Di desa tua atau pedalaman, karakter bangsanya lebih memperlihatkan sifat-sifat ke kunaan, seperti adanya sistem Ulu Apad dalam kelembagaan desa, aturan ulu-teben, menghormati peranan tetua desa (kabayan), tataruang desa yang teratur (linear). Sementara untuk di desa yang lebih di bawah (pantai) tampak lebih luas hubungannya. Bentuk aktualisasi karakaternya lebih bersifat heterogen, menghargai keberagaman yang luas (etnik, agama, tradisi), hidup dalam suasana toleransi yang tinggi, tiap kelompok etnik, agama dapat menjalankan tradisi keagamaan dengan aman, damai (hidup dalam suasana menyama braya).

Sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dimengerti, bahwa pengalaman sejarah, nilai-nilai agama, kebangsaan, dan lingkungan (alam dan masyarakat) memberi dukungan penting atas munculnya karakter bangsa yang terus berkembang.

DAFTAR PUSTAKAArdhana, I Ketut. FX Sunaryo, Sulandjari et al,

Masyarakat Multikultural Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi dan Integrasi. Yogya-karta: Larasan dan Jurusan Sejarah Fakul-tas Sastra Universitas Udayana, 2011.

Bagus, I Gusti Ngurah. 1996. ”Masalah Tanah dalam Pembangunan Khususnya Pengem-bangan Pariwisata si Bali :Dampak terh-

Page 21: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

106

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

adap Kehidupan Orang Bali”. Dalam Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora III Tahun 1996. Yogyakarta : Diterbitkan atas kerja Sama Panitia Dies Natalis ke- 50 Fakultas Sastra UGM dengan Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (Buletin Humaniora), Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Hala-man 318-325.

Bakta, I Made. 2010. “Pendidikan Karakter dengan Pengintegrasian Nilai-Nilai Kebudayaan Berlandaskan Konsep Tri Hita Karana”, dalam Wahana Media Pematang Alumni Udayana, Edisi No. 70 Th. XXVI Agustus 2010. Dherana, Tjokorde Raka (ed.), 1979. Kedwiragaman Desa. Desa Kayubihi dan Madenan. Denpasar: Biro Dokumentasi Fak.Hukum, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Udayana.

Daftar Isian: Potensi desa dan Kelurahan; Tingkat Perkembangan desa dan

Kelurahan Kampung Baru.Danandjaja, James. 1988. Antropologi Psikolo-

gi. Jakarta : CV Rajawali.Dhana, I Nyoman. 1993. Arti “Banjar” dalam

Adaptasi Orang Bali di Jakarta. Tesis Ma-gister Antropologi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin, 2009. Arsitektur & Kebudayaan Bali Kuno. Denpasar: Udayana University Press.

Ericksen, Th. H. Ethnicity and Nationalism. London: Pluto Press, 1993.

Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta : PT Gramedia.

---------------------. (ed.). 2004. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Mukhlis. 1988. Dimensi Sosial Kawasan Pantai. Makassar:: The Toyota Foundation.

Nasikun,2004. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Raja Grafi ndo Persada.

Pitana, I Gde. (ed.), 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. DenpasarBali Post.

Poerwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek

dari Singkawang. Depok : Komunitas Bambu.

-------------, 1995. Desa Adat dan Awig-awig dalam Struktur Pemerintahan Bali. Denpasar; Upada Sastra.

Profi l Pembangunan Desa Kusamba, Kecamatan Dawan , Kabupaten Klungkung Tahun 2009 -2010.

Pudja, I Gde. 1981. Sarasamuscaya. Jakarta: Departeman Agama Republik

Indonesia.Sujana, Nyoman Naya. 1994. “Manusia Bali

di Persimpangan Jalan”. Dalam I Gde Pitana (ed.), Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar : Penerbit BP. Halaman 45-71.

Soemarwoto, O. 1989. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta, Jambatan.

Strategis Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa (Tanpa tahun). Jakarta: Direktorat Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa. Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Rep.Indonesia.

Surjomihardjo Abdurrahman. Pembangunan Bangsa dan Masalah Historiografi . Jakarta: Idayu, 1979.

Suhartono W. Pranoto. “Peningkatan Wawasan Kebangsaan: Pasang-Surut. Tinjauan Historis.” Makalah disampaikan dalam Workshop “Sinkronisasi dan Harmonisasi Pengolahan Arsip Nusantara dalam Rangka Mendukung Implementasi Program Pembangunan Karakter Bangsa” diselenggarakan oleh ANRI, Jakarta, 22 Juli 2010.

Wacik, Jero 2011. Seri Membangun Karakter Bangsa: 24 Karakter Modal Membangun Bangsa Menurut Jero Wacik. Jakarta: Meneteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Winangun Wartaya. 2004. Tanah Sumber Nilai Hidup. Yogyakarta : Kanisius.

Wiratmadja, G.K. Adia. 1995. Kepemimpinan Hindu. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.

Page 22: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

107

Luh Suwita Utami Aspek Kemasyarakatan Di Balik Makanan Dalam Prasasti Bali KunaForum Arkeologi TH. XXIV No. 1 April 2011 (1 - 9)Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus2012 (107 - 116)

ASPEK KEMASYARAKATAN DI BALIK MAKANAN DALAM PRASASTI BALI KUNA

SOCIAL ASPECTS BEHIND THE FOODS MENTIONED IN OLD BALI INSCRIPTIONS Luh Suwita Utami

Balai Arkeologi DenpasarEmail: [email protected]

Naskah masuk : 1-3-2012Naskah setelah perbaikan : 29-5-2012Naskah disetujui untuk dimuat : 21-6-2012

AbstractOld Bali Inscription mentioned that people who lived around Batur lake had a dynamic life. In their religious life, they tied in a religious unity to worship Sang Hyang I Turunan, in Magha month, date nine, in a big ceremony. Still based on the inscription, there were several offerings in that ceremony namely kinds of fi sh called simbur, nyalian, and dlag (gabus). This study aims to know social aspects behind the existance of some foods mentioned in the eighteen inscription related to the people around the lake. Library research method was applied in this study. Library research was applied to some Old Bali Inscriotion which mentioned about the villages around lake Batur. The result of the study shows that foods played an important role in some aspects of the society. Key words: inscription, foods, social aspects

AbstrakPrasasti Bali Kuna memberitakan bahwa kehidupan masyarakat yang berdiam di sekitar Danau Batur sangat dinamis. Dalam kehidupan keagamaannya, masyarakat terikat pada suatu kesatuan religius untuk memuja Sang Hyang I Turuñan, pada bulan Magha tanggal sembilan dalam sebuah upacara besar. Diberitakan adanya beberapa jenis persembahan dalam pelaksanaa upacara tersebut, seperti sejenis ikan yang disebut sebagai ikan simbur, ikan nyalian, ikan dlag (gabus). Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek kemasyarakatan yang termuat di balik beberapa jenis makanan yang termuat dalam 18 buah buah prasasti yang berkaitan dengan masyarakat di sekitar Danau Batur. Metode yang digunakan adalah studi pustaka. Studi pusataka dilakukan terhadap beberapa prasasti Bali Kuna yang menyebutkan tentang desa-desa sekitar Danau Batur. Pemeriksaan terhadap beberapa prasasti menunjukkan bahwa makanan mempunyai peranan dalam beberapa aspek dalam masyarakat. Kata kunci: prasasti, makanan, aspek kemasyarakatan

I. PENDAHULUANLatar Belakang1.1 Menurut Ritchie dan Zins, ada 12 unsur

kebudayaan yang dapat menarik wisatwan datang ke suatu daerah yaitu: bahasa (language), kebiasaan masyarakat (traditions), kerajinan tangan (handicrafts), makanan dan kebiasaan makan (food and eating habits), musik dan kesenian (music and art) sejarah suatu tempat (history of regional, written, and landscape), agama (religion), bentuk dan karakteristik

arsitektur (architectur and characteristics), tata cara berpakaian penduduk setempat (dress and clothes), sistem pendidikan (educational system) dan aktivitas pada waktu senggang (leisure activities) (Yoeti, 2006:134). Dari 12 unsur kebudayaan yang disebutkan Ritchie dan Zins, makanan dan kebiasaan makan adalah salah satu yang menarik untuk dibahas, sebab apa yang dimakan oleh sekelompok orang pada

Page 23: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

108

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

dasarnya tergantung kepada beberapa faktor, salah satu yang terpenting adalah di mana dia tinggal. Karena penyedian bahan makanan untuk dikonsumsi tergantung pada iklim setempat, terutama tingkat curah hujan, jenis tanah, dan jenis tumbuh-tumbuhan yang pada akhirnya juga mempunyai pengaruh besar terhadap kebiasaan makan (Brown,1977: Ratnawati, 2003:108) dan dengan makanan kita dapat melihat kemajuan kebudayaan suatu masyarakat. Menarik untuk dibahas, berkaitan dengan makanan adalah sekelompok orang yang bertempat tinggal di sekitar danau. Seperti yang kita ketahui, bahwa danau adalah satu kawasan yang menjadi orientasi hidup bagi masyarakat dalam kurun yang cukup lama. Danau Batur adalah salah satu danau yang menjadi orientasi hidup bagi masyarakat Bali, terbukti dengan banyaknya prasasti yang menyebutkan tentang desa di sekitar Danau Batur, di mana masyarakatnya hidup sangat dinamis. Prasasti-prasasti tersebut adala 001. Sukawana AI, 003. trunyan AI, 004. Trunyan BI,a 206. Kintamani A, 207. Kintamani E, 303. Bwahan A, 305. Batur, Pura Tulukbyu A, 355. Bwahan B, 402 Trunyan AII, 404b. Sukawana AII, 554. Bwahan C, 602. Bwahan E, 605. Batur, Pura Tuluknyu B, 623. Bwahan D, 624. Sukawana B, 637. Sukawana C, 702. Kintamani D, 703. Kintamani E.

Prasasti-prasasti tersebut memberikan keterangan bahwa ada enam buah karaman dan sebuah anak di sekita Danau Batur. Adapun karaman dan anak yang dimaksud adalah karaman i bwahan, karaman i kdisan, karaman i turuna, karaman i air hawang, karaman i cintamani, karaman i jhuharan dan anak di songan. Saat ini desa-desa tersebut menjadi desa bernama Air Hawang menjadi desa Abang, Cintamani menjadi Kintamani, Turunyan menjadi Trunyan, Bwahan menjadi Bwahan, Kedisan tetap Kedisan dan Songan tetap Songan. Kecuali Jhuharan yang belum jelas diketahui perkembangan lokasinya saat ini (Suarbhawa, 1988:10). Diberitakan pula bahwa masyarakat di desa-desa tersebut menggantungkan hidup

mereka pada kekayaan alam Danau Batur. Masyarakat memanfaatkan sumber makanan yang disediakan oleh danau dan hutan di sekitar danau Batur. Sumber makanan tersebut seperti aneka ikan air tawar, padi-padian yang biasanya berupa padi gaga, buah-buahan, umbi-umbian, binatang hutan dan lain-lain. Hasil alam ini kemudian diolah menjadi makanan. Dari makanan tersebut kita akan dapat melihat beberapa aspek kemasyarakatan yang ada dibaliknya.

Rumusan Masalah1.2 Jenis makanan apa saja yang disebutkan 1. dalam prasasti Bali Kuna yang menyebutkan tentang desa-desa di sekitar Danau Batur?Aspek apa saja yang berkaitan dengan 2. makanan yang termuat dalam prasasti tersebut?

Tujuan dan kegunaan1.3 Penelitian ini bertujuan untuk melihat

jenis-jenis makanan apa saja yang disebutkan prasasti Bali Kuna terutama prasasati yang menyebutkan desa-desa di sekitar Danau Batur, dan aspek kemasyarakatan yang tersembunyi di baliknya

Kerangka Teori1.4 Teori fungsional Bronislaw Malinoski,

menyatakan bahwa setiap unsur kebudayaan mempunyai fungsi sosial terhadap unsur-unsur kebudayaan lainnya. Dengan kata lain bahwa kebudayaan berfungsi untuk memenuhi segala kebutuhan manusia pendukung kebudayaan tersebut. Teori struktural dari Levi Strauss yang mengupas tentang segitiga kuliner yang menyatakan bahwa makanan merupakan kebutuhan dasar yang alamiah, dari mahkluk hidup baik hewan maupun manusia. Makanan dirubah oleh manusia menjadi unsur kebudayaan yaitu melalui proses pengolahan dengan api sehingga makanan menjadi relevan untuk mengilustrasikan perbedaan antara alam dan kebudayaan. Sebagian besar makanan menurut Levi Strauss, diolah atau melalui proses pengolahan (dimasak), dan makanan juga mempunyai makna sosial dan kemasyarakatan.

Page 24: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

109

Luh Suwita Utami Aspek Kemasyarakatan Di Balik Makanan Dalam Prasasti Bali Kuna

1967: 62). Manusia hidup di dunia dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya sangat tergantung pada alam. Alam menyediakan aneka tumbuh-tumbuhan dan hewan untuk diolah menjadi makanan. Manusia berusaha mengubah lingkungan hidupnya untuk mendapatkan hasil makanan yang lebih besar.

Usaha manusia untuk mengolah alam untuk mendapatkan makanan disebut sebagai matapencaharian hidup. Berkaitan dengan masyarakat di sekitar danau Batur, dalam beberapa prasasti diungkapkan bahwa masyarakat telah memiliki pencaharian hidup pada bidang pertanian yang meliputi bercocok tanam, peternakan, dan perikanan. Bidang lain yang digeluti oleh masyarakat adalah pertukangan dan kerajinan tangan, bidang perdagangan dan aktivitas berburu binatang. Dari mata pencaharian hidup masyarakat yang menggeluti bidang bercocok tanam, peternakan, dan perikanan kita dapat melihat beberapa jenis bahan makanan yang dihasilkan, yang mungkin dikosumsi oleh masyarakat.

Masyarakat yang melakukan kegiatan pada bidang bercocok tanam, membutuhkan lahan yang untuk diolah dan ditanami berbagai macam tanaman seperti kacang-kacangan, palawija dan padi-padian yang dapat dikonsumsi. Penyebutan lahan di dalam prasasti Pura Tulukbyu A disebut dengan parlak yang artinya ladang dan kebwan yang artinya kebun. Sejenis padi yang disebut padi gaga juga disebutkan dalam prasasti ini. adannya penyebutan tanah garapan sebagaimana disebutkan dalam prasasti di atas, menunjukkan bahwa masyarakat telah mengolah lahan untuk ditanami berbagai jenis tanaman yang menghasilkan bahan yang selanjutnya dapat mereka oleh sebagai makanan.

2.1.1 Bahan Makanan Dari delapan belas prasasti Bali Kuna abad

IX-XII yang memberitakan tentang masyarakat yang berdiam di sekitar Danau Batur, berkaitan dengan adanya beberapa jenis makanan, ada tiga buah prasasti yang menyebutkan jenis makanan

1.5 Metode1.5.1 Cara pengumpulan data

Pengumpulan data dala penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka. Tehnik ini dilakukan pada sumber primer yang berupa prasasti, yaitu prasasti-prasasti yang terbit antara abad IX-XI sebagaimana yang telah ditranskripkan oleh Dr. R. Goris dalam buku Prasasti Bali I, Epigraphia Balica oleh Stein Callenfels dan Oudheden van Bali oleh Stutterheim.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN2.1 Hasil

Berdasarkan isi dan strukturnya, parasasti dapat mengungkapkan tentang kronologis sejarah kehidupan masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan, struktur pemerintahan, struktur masyarakat, hak dan kewajiban pejabat dan rakyat, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, sistem kekerabatan, pembagian waris, ketentuan-ketentuan hukum, dan banyak aspek lainnya yang merupakan hal penting dalam kehidupan masyarakat pada masa lalu. Begitu pula dengan prasasti-prasasti yang menyebutkan tentang masyarakat sekitar danau Batur, 16 buah prasasati yang menyebutkan tentang kedinamisan masyarakat pada masa lalu.

Salah satu aspek sosial budaya yang menarik untuk dibahas, yang termuat dalam prasasti adalah budaya makanan. Makanan adalah salah satu kebutuhan essensial yang diperlukan untuk kehidupan setiap manusia. Ada beberapa jenis bahan makaan pokok untuk makanan sehari-hari dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan badan dalam segala hal. Bahan makanan pokok terdiri dari : 1. Makanan pokok berbahan beras (Orysativa), 2. Makanan pokok berbahan ketela (Manihot Utillisima), 3. Makanan pokok berbahan dari jagung (Zeamays). Makanan juga dianggap sebagai barang, yang dalam ilmu Antropologi dibicarakan mengenai teknologi dan kebudayaan fi siknya. Makanan dilihat dari bahan mentahnya yaitu berupa sayuran, buah-buahan, akar-akaran, biji-bijian, susu, daging, ikan serta telur (Koentjaraningrat,

Page 25: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

110

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

ya wadhaka irikang lmah 3. inanugrahen paduka haji, irikanganak thani, tan pananggarugya, tan pratiwàdhakà ta ya tka ring dlaha ning dlaha (Goris. 1954:93)

Artinya:VIII.b.1. Demikianlah batas daerah perburuan

yang dianugrahkan paduka raja kepada penduduk desa. Selanjutnya mereka diperintahkan oleh paduka raja agar mengusahakan daerah tersebut sebaik-baiknya supaya ditanamisayur-sayuran, ditanami padi gaga, 2. kasumba, keladi, bawang, jahe, serta segala sesuatu yang patut ditanam demi kesempurnaan desanya. Daerah perburuan tersebut telah dianugrahkan oleh paduka raja tidak bolehdiganggu gugat. Mereka tidak boleh 3. melalaikan sampai seterusnya (Suarbhawa.1988:78)

Selain padi gaga, ada beberapa jenis ikan yang disebutkan dalam prasasti. Sebagaimana yang ditersebut pada Prasasti Turunyan AI, 813 Saka (891 Masehi), prasasti tersebut diterangkan bahwa pada bulan Magha tanggal sembilan, untuk upacara besar kepada Sang Hyang I Turuñan, penduduk desa Turuñan mempersembahkan ikan simbur lima ekor, pepes ikan nalyan 20 buah, ikan kering dua gunja, sedangkan kepada Pracaksu diberikan dua ekor ikan simbur, 10 pepes ikan nalyan, dan ikan kering satu gunja serta air untuk menyucikan diri melebur kekotoran atau dosa. Masih berkaitan dengan upacara Sang Hyang I Turunan, prasasti Turunyan B berangka tahun 833 Saka (911 Masehi) menerangkan tentang persembahan berupa makanan dari Desa Air Rawang yang membayar kewajiban berupa 30 pepes ikan nyalian, tiga gunja ikan kering, 30 butir telur dan 10 ekor ikan gabus untuk keperluan upacara pada setiap hari ke lima bulan separuh gelap pada bulan Asuji. Mereka juga diwajibkan dikenakan bumbu-bumbuan dan meramu bumbu tersebut oleh Lampunan Bungsu.

secara langsung, sedangkan prasasti lainnya adalah menyebutkan tentang beberapa istilah yang berkaitan dengan bahan makanan dan aktivitas pengolahan bahan makanan. Tiga buah prasasti tersebut adalah prasasti 003. trunyan AI, prasasti 004. Trunyan BI dan prasasti 303. Bwahan A yang menyebutkan tentang beberapa jenis ikan yang diolah untuk dijadikan persembahan yang tidak menutup kemungkinan juga dikonsumsi oleh masyarakat.

Prasasti Sukawana AI 804 Saka lembar Ib.4, salah satu prasasti yang menyebutkan tentang aktivitas pengolahan bahan makanan, yaitu adanya aktivitas manutu yang artinya menumbuk padi (Yulianto, 1995: 72) yaitu proses untuk melepaskan kulit padi dari isinya. Dari aktivitas menumbuk padi ini menghasilkan padi yang siap diolah dengan cara ditanak hingga menjadi nasi. Keterangan tentang adanya aktivitas manutu di atas menunjukkan bahwa sudah ada aktivitas lebih lanjut dalam pengolahan bahan mentah berupa padi menjadi beras yang merupakan bahan pokok dalam membuat nasi.

Aktivitas manutu yang disebutkan dalam prasasti Sukawana AI, lebih lanjut dapat dikaitkan dengan adanya penyebutan padi gaga pada prasasti Batur, Tulukbyu A (933 Saka) lembar VIIIb, yang menyebutkan tentang penduduk desa Air Hawang yang meminta tanah kepada raja untuk dijadikan lahan untuk bercocok tanam. Tanaman itu seperti sayur-sayuran, padi gaga, kasumba, keladi, bawang, jahe serta segala jenis tanaman lainnya yang dapat mensejahterakan rakyat. Kutipannya sebagai berikut :VIII.b.1. mangkana lbà ni parimandala

nikang lmah i buru, nanugrahen paduka haji, irikanganak thani athor kinonakên pàduka haji, babaden utsahan, tanêmanagangan, kbwanên, gagan, kesumbha, 2. tals, bawang, pipakan, salwiraning yogya tanêmên, samangdadyakna kaparipurnnà, ni thàninya, kunangikang i buru tan wehen

Page 26: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

111

Luh Suwita Utami Aspek Kemasyarakatan Di Balik Makanan Dalam Prasasti Bali Kuna

sebagai persembahan dalam bentuk dipepes dan dikeringkan adalah data yang menyatakan bahwa masyarakat telah melakukan pengolahan makanan. Pengolahan makanan adalah suatu teknik atau seni untuk mengolah suatu macam bahan menjadi bahan lain yang sifatnya berbeda dengan yang semula (Nasoichah, 2009; 1). Pegolahan makanan bertujuan untuk pengawetan, agar makanan tidak mudah rusak dan dapat disimpan untuk dapat digunakan pada waktu-waktu tertentu.

Makanan, terutama makanan berbahan ikan, dalam prasasti Bali Kuna disebut ada dua jenis pengolahan, yaitu: (1) dimasak dengan cara dipepes, dan (2) dengan cara dikeringkan. Pepes adalah pengolahan ikan dengan cara menambahkan berbagai jenis bumbu dan memasaknya dengan cara mengukus, sedangkan pengeringan adalah mengolah dengan cara membuat makanan menjadi kering dengan kadar air yang serendah mungkin dengan cara dijemur, dan dipanaskan. Pengolahan makanan dengan cara dipepes menjadikan makanan, terutama ikan, menjadi lebih kaya rasa. Namun pengolahan ikan dengan cara ini tidak menjadikan ikan dapat bertahan lebih lama daripada ikan yang dikeringkan.

Hal yang menarik tentang pengolahan bahan makanan, adalah adanya penyebutan beberapa jenis bahan bumbu-bumbuan di dalam prasasti. Penyebutan ini berkaitan erat dengan adanya pengolahan makanan dengan cara dipepes. Prasasti Turunan B memberi keterangan bahwa untuk upacara Bhatara di Turunan pada setiap hari ke-5 bulan separuh gelap pada bulan Asuji masyarakat Desa Air Rawang dipunguti bumbu atau diwajibkan untuk mamek base (membuat bumbu). Jenis bahan bumbu-bumbuan yang disebutkan adalah bawang merah, jahe, kapulaga, dan kemiri. Pada prasasti Batur, Pura Tulukbyu A disebutkan tentang adanya bawang merah dan jahe yang ditanam di wilayah perburuan yang dianugrahkan oleh raja. Bahkan pohon kapulaga dan kemiri adalah jenis pohon yang termasuk dalam jenis-jenis pohon yang jika ditebang oleh

Keterangan dari kedua prasasti ini dapat menggambarkan bahwa dalam aktivitas keagamaan yang sangat penting di Batur, penduduk desa Turuñan dan desa Air Rawang diwajibkan untuk mempersembahkan beberapa jenis makanan sebagai persembahan. Ada beberapa jenis ikan yang disebutkan dalam prasasti antara lain : ikan simbur (?), dlag (ikan gabus/ophiocephaalus stratus), nalyan (ikan nyalian), dan kuluma (ikan lele). Jenis ikan-ikan ini merupakan jenis ikan air tawar yang mudah didapatkan oleh penduduk yang bertempat tinggal di tepi Danau Batur. Mereka menangkapnya kemungkinan telah menggunakan jaring atau pancing sebagai alat penangkap.

Persembahan berupa makanan tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kewajiban kepada bangunan suci, namun juga kepada para pejabat istana atau tamu. Hal itu dapat dilihat pada prasasti Batur Pura Abang A (933 Saka). Prasasti ini memberitakan bahwa petugas yang bertugas mengawinkan kuda patut dihormati dengan memberikan makanan. Diberitakan bahwa masyarakat Air Hawang harus mengikuti ketentuan mengenai jamuan yang dilakukan oleh penduduk pada saat orang mengawinkan kuda jantan dan betina, menyerahkan nasi 3 bakul, ikan semampunya, nira/tuak 3 periuk (pulu), tempat minuman 3 buah, buah-buahan 5 ikat, makanan seadanya dari daun pisang, dan 3 buah lampu diserahkan kepada Pasuk Ganti yang kemudian menyerahkannya kepada petugas yang mengawinkan kuda. Jika hal ini dilakukan mereka tidak dikenai denda.

2.1.2 Pengolahan Makanan Beberapa jenis makanan yang disebutkan

dalam prasasti Bali Kuna, dalam hal ini prasasti yang menyebutkan desa-desa sekitar Danau Batur tidak memberikan keterangan yang lengkap tentang pengolahan makanan oleh masyarakat. Namun keterangan yang dimuat dalam prasasti Batur Pura Abang A (933 Saka), Prasasti Turunyan AI, dan prasasti Turunyan B tentang adanya makanan yang dijadikan

Page 27: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

112

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

yang hanya dibuat atau dihidangkan pada saat-saat tertentu sebagai pelengkap sesaji atau sarana upacara. Jenis makanan sebagai persembahan di Bali saat ini adalah seperti sate, lawar dan aneka jajanan yang merupakan pelengkap sesajen pada rangkaian upacara tertentu bagi masyarakat Bali.

a. Aspek Religi Agama mempunyai peranan besar bagi

dinamisasi yang ada di masyarakat. Proses pemilikan bersama ritus-ritus dan kepercayaan mendorong semakin kuatnya kelompok dalam memperkuat kepribadian dan perasaan kebersamaan, persetujuan mengenai isi-isi kewajiban sosial dan menciptakan nilai sosial yang terpadu dan utuh. Dalam aktivitas upacara keagamaan dibutuhkan benda-benda upacara sebagai media dan alat upacara sebagai sarana pendukung. Benda serta alat upacara yang dimaksud dapat berupa arca-arca yang melambangkan dewa-dewa, alat gamelan yang mengeluarkan bunyi dan berbagai jenis sesajian yang dianggap suci. Dalam berbagai jenis sesajian tersebut biasanya terdapat beberapa jenis makanan yang merupakan sarana persembahan.

Aspek religi berkaitan dengan makanan adalah adanya aktivitas mempersembahkan beberapa jenis makanan kepada tempat suci. Sebagaimana termuat dalam prasasti Turunyan AI (813 Saka). Tempat suci yang disebutkan untuk dipersembahkan aneka jenis makanan itu adalah Sang Hyang I Turuñan pada bulan

masyarakat harus dimintai ijin kepada petugas yang berwenang.

Selain pengolahan makanan dengan cara dipepes dan dikeringkan, prasasti Bali Kuna tidak memberikan keterangan lain tentang pengolahan makanan. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan jika masyarakat pada masa itu telah mengenal pengolahan makanan dengan cara lain seperti dibakar, direbus, diasap, atau diasinkan. Begitu juga dengan jenis bahan makanan, selain ikan dan telor tidak menutup kemungkinan masyarakat di sekitar Danau Batur telah pula mengenal jenis bahan makanan lain sebagai bahan lauk pauk seperti daging ayam dan daging sapi. Mengingat ayam dan sapi juga merupakan hewan yang telah dibudidayakan oleh masyarakat pada saat itu. Namun rupanya jenis makanan ini tidak menjadi bahan utama yang dipersembahkan kepada bangunan suci dan orang-orang tertentu.

2.2 Pembahasan2.2.1 Aspek-Aspek yang Melingkupi Budaya

Makanan dalam Prasasati Bali Abad IX-XI Makanan adalah salah satu kebutuhan

pokok yang diperlukan untuk membina kehidupan manusia, karena di dalam makan dam minuman terdapat kalori yang diperlukan oleh setiap manusia. Keperluan kalori tersebut ditentukan oleh jenis kelamin, pekerjaan dan umur. Konsep mengenai makanan menurut fungsinya dapat digolongkan sebagai makanan pokok, makanan sambilan, makanan jajanan, makanan untuk peristiwa khusus dan makanan untuk berbagai keperluan (Moertjipto, 1997:41)

Makanan utama atau makanan pokok adalah jenis makanan sehari-hari dengan tujuan untuk mecukupi kebutuhan badan dan menghilangkan rasa lapar. Bahan makanan ini berupa beras, ketela atau jagung. Selain makanan pokok ada pula makanan selingan yang merupakan makanan yang berfungsi sebagai makanan penyela. Makanan selingan dapat berupa buah-buahan, ubi-ubian atau kacang-kacangan. Makanan sebagai persembahan merupakan satu jenis makanan

dipersembahkan kepada suatu bangunan suci. Foto: dok.pribadi

Page 28: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

113

Luh Suwita Utami Aspek Kemasyarakatan Di Balik Makanan Dalam Prasasti Bali Kuna

halal untuk suatu upacara, berupa lontar yang disebut sebagai Lontar Dharma Caruban.

Dalam Lontar Dharma Caruban, disebutkan makanan yang dipergunakan dalam upacara diolah dengan cara dikeringkan, yang dilembabkan dan diencerkan. Jenis makanan yang diolah dikeringkan seperti sate, gorengan, brengkes, urutan, lepet, dan gubah. Jenis makanan yang dilembabkan adalah lawar, tum, balung, timbungan, oret dan semuuk. Sedangkan jenis makanan yang diencerkan adalah kekomoh dan ares. Selain makanan yang telah diolah seperti di atas, juga terdapat makanan yang diolah dengan cara dimatangkan dalam keadaan utuh tidak dipotong-potong, cara memasak atau mengolahnya adalah dengan cara ditutup, dipanggang dan diguling (Dharma Caruban, 1972:7-11)

Pada setiap masyarakat yang ada di seluruh dunia akan selalu mempunyai makanan dan minuman yang khas di daerah tersebut. Hal ini karena sistem pengetahuan masyarakat tersebut yang berkaitan dengan hasil alam dan lingkungannya. Oleh sebab itu setiap masyarakat melalui proses belajar secara turun temurun menciptakan berbagai jenis makanan (Mintosih, 1997:30). Begitu pula dengan masyarakat Bali, pengetahuan tentang pembuatan beberapa jenis makanan khas Bali seperti sate dan lawar adalah merupakan pengetahuan yang diajarkan secara turun temurun di masyarakat, proses belajar ini sering dilakukan ketika melakukan kegiatan ngayah di suatu tempat suci.

Adanya persembahan dan persajian makanan tersebut merupakan suatu etika atau aturan yang harus dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Aturan ini bersifat mengikat agar masyarakat tidak melanggarnya, jika mereka melanggar tidak menutup kemungkianan masyarakat akan dikenai denda. Upacara yang berkaitan dengan menyajikan makanan dan minuman dipandang mempunyai tujuan untuk mendapatkan keselamatan. Karena upacara ini mencerminkan rasa syukur, tolak bala, pengampunan dosa dan kesuburan tanah pertanian (Yusuf, 1997:6).

Magha. Tradisi pemberian tersebut merupakan pencerminan dari adanya persetujuan oleh masyarakat mengenai kewajiban mereka terhadap dewa-dewa yang dipuja di suatu tempat suci yang memberikan kesejahteraan berupa keselamatan kepada masyarakatnya.

Pada masa sekarang pemberian jenis makanan kepada bangunan suci pada saat-saat tertentu masih berlaku di Bali yang disebut sebagai atos, merupakan persembahan berupa bahan makanan mentah yang nanti digunakan dalam upacara di suatu tempat suci oleh anggota masyarakat yang menyungsung atau datang bersembah yang ke tempat suci tersebut. Atos biasanya terdiri dari persembahan berupa beras, telor, kelapa dan dupa (foto no. 1). Di daerah Kintamani, daerah yang kini mewilayahi desa-desa di sekitar Danau Batur secara administratif, kewajiban mempersembahkan makanan ini disebut dengan atos desa dan paturunan yang dilakukan oleh masyarakat yang tergabung dalam Gebog Domas. Gebog Domas adalah seperangkat atau kesatuan kumpulan desa sebanyak tiga puluh dua desa yang memberikan dukungan ritual secara teratur di Pura Puncak Penulisan, Desa Sukawana, Kecamatan Kintami. Di Pura Puncak Penulisan ini terdapat sebuah bangunan yang disebut dengan Bale Timbang, yaitu sebuah bangunan dimana barang-barang yang diserahkan oleh warga masyarakat diukur atau ditimbang, barang-barang ini adalah ganti dari pajak-pajak pada jaman itu pada saat upacara di Pura Pucak Penulisan dilaksanakan (Geria, 2008).

b. Aspek Sosial Masyarakat tidak hanya mengenal

makanan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja yang dinikmati setiap hari, namun juga mengenal makanan yang mereka gunakan pada waktu-waktu tertentu seperti pada waktu upacara agama, pesta, penjamuan tamu dan hari-hari penting. Masyarakat Bali memiliki pegangan penting sebagai aturan dalam membuat dan menghidangkan makanan yang

Page 29: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

114

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Dalam prasasti Bali aspek sosial ini terlihat pada prasasti Turunan B yang memberikan keterangan bahwa pada petugas lampuran bungsu diberikan persembahan makanan dan tuak 20 guci. Prasasti Batur Pura Abang A (933 Saka) juga disebutkan aspek sosial yang berkaitan dengan makanan, yaitu tentang pemberian makanan kepada petugas yang mengawinkan kuda berupa nasi, ikan, dan tuak. Jika hal ini dilakukan mereka tidak dikenai denda.

Sebuah budaya makan bersama yang ada pada masyarakat Bali pada masa sekarang adalah budaya magibung. Budaya magibung ini biasanya dilakukan pada saat upacara untuk Manusa Yadnya, dimana akivitas makan dilakukan oleh beberapa laki-laki pada satu wadah, duduk dalam satu lingkaran. Biasanya makan bersama ini dimulai oleh orang yang lebih tua dalam lingkaran makan tersebut. Makanan yang dijadikan menu magibung adalah aneka lawar, sate, komoh, dan nasi. Sebelum makanan yang disediakan habis, tidak dibenarkan peserta pagibungan ini meninggalkan tempat makan.

Satu budaya lagi yang berkaitan dengan penyajian makanan adalah budaya ngejot. Ngejot adalah aktivitas pemberian makanan kepada anggota keluarga dan orang-orang yang dihormati oleh keluarga yang melakukan kegiatan upacara. Suguhan yang dijadikan menu ngejot hampir sama dengan yang disuguhkan dalam aktivitas magibung, hanya saja besarannya berbeda disesuaikan dengan siapa yang diberikan makanan. Biasanya orang dengan status sosial lebih tinggi seperti pemuka agama, pemuka desa dan orang yang dituakan diberikan makanan dalam jumlah yang lebih banyak. Tidak hanya terbatas pada hanya keluarga dekat, tetapi kepada semua orang yang dianggap telah memberikan bantuan baik moril maupun material pada saat dilaksanakan suatu upacara tertentu. Diberikan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantunya (foto no. 2).

c. Aspek Ekonomi Aktivitas perdagangan telah ada pada

masa Bali Kuna, dapat diketahui dari adanya istilah pken, yang berarti pasar, pinta pamli yang berarti pajak atau iuran penjualan dan pembelian dan anak hatar jalan atau pedagang yang berjalan hilir mudik. Adanya penyebutan pasar menunjukkan adanya aktivitas perdagangan yang cukup besar, dengan jumlah komoditas perdagangan yang besar pula. Bidang perdaganan merupakan faktor penting dalam perekonomian masyarakat. Komoditi yang diperdagangkan adalah hasil dari pertanian dan peternakan masyarakat seperti umbi-umbian, bawang merah, bawang putih, talas dan keladi, kelapa, pinang, enau dan lain-lain. Tidak menutup kemungkinan jika komoditas perdagangan yang berupa bumbu-bumbuan juga diperjualbelikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam pengolahan bahan makanan, sebagaimana termuat dalam prasasti Turunan B dan Sangsit A (980 Saka), sebagaimana disebutkan di atas bahwa masyarakat diwajibkan untuk mempersembahkan beberapa jenis bumbu. Dapat dikatakan jika selain hasil pertanian diperdagangkan pula berbagai jenis hasil peternakan seperti itik, kambing, ayam, dan babi. Dimana komoditas perdagangan ini diambil dagingnya untuk digunakan sebagai bahan lauk pauk dan persembahan.

Foto no. 2. Contoh ejotan, makanan yang dijadikan pemberian keluarga atau orang yang

dihormati. Foto: dok. pribadi

Page 30: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

115

Luh Suwita Utami Aspek Kemasyarakatan Di Balik Makanan Dalam Prasasti Bali Kuna

III. PENUTUP3.1 Kesimpulan

Sebagaimana teori struktural dari Levi Strauss yang menyatakan bahwa makanan merupakan kebutuhan dasar yang alamiah, dari mahkluk hidup baik hewan maupun manusia. Sebagian besar makanan diolah atau melalui proses pengolahan (dimasak), dan makanan juga mempunyai makna sosial dan kemasyarakatan dapat kita lihat pada aktivitas masyarakat yang berdiam di sekitar Danau Batur. Dalam beberapa prasasti yang menyebutkan tentang daerah ini, dapat kita ketahui bahwa masyarakat telah mengolah alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka akan pangan. Menanami daerah tertentu dengan padi-padian, seperti padi gaga dan beberapa jenis pohon dari jenis bumbu-bumbuan. Juga memanfaatkan kekayaan danau berupa ikan, untuk diolah sehingga dapat dimakan.

Dalam makanan tersimpan beberapa aspek yang sangat penting, yaitu aspek religi, aspek sosial dan aspek ekonomi. Hal tersebut terbaca dengan jelas dalam prasasti-prasasti Bali Kuna, yang menyebutkan tentang masyarakat sekitar Danau Batur. Makanan yang dipersembahan pada waktu tertentu kepada suatu bangunan suci, menyatukan masyarakat dalam sebuah aktivitas religi, begitu pula dengan pemberian makanan kepada petugas-petugas kerajaan dan petugas khusus yang mengawini kuda mencerminkan adanya aspek sosial di antara masyarakat. Sedangkan aspek ekonominya adalah bahwa bahan-bahan makanan ini diperjualbelikan oleh masyarakat selain diolah untuk kepentingan pribadi.

3.2 Saran Prasasti-prasasti Bali Kuna, terutama

yang menyebutkan tentang masyarakat di sekitar Danau Batur, walaupun tidak banyak memberikan data tentang makanan yang dibuat oleh masyarakat, dari beberapa prasasti tersebut telah dapat diketahui bahwa masyarakat telah melakukan pengolahan bahan makanan menjadi makanan dengan cara dimasak.

Keterangan tentang adanya pengolahan bahan makanan dengan cara dimasak salah satunya adalah pengolahan ikan yang dipepes hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah melakukan pengawetan makanan dan menambahkan rasa pada makanan. Namun hal ini tidak lagi dilakukan oleh masyarakat sekitar Danau Batur saat ini. Sebagaimana beberapa restoran dan warung makanan yang ada di sekitar Danau Batur lebih banyak menyediakan menu ikan dalam bentuk dibakar dan digoreng, bahkan tidak ada lagi jenis ikan seperti simbur (ikan gabus), dlag dan nyalian di Danau Batur. Jenis ikan yang diolah untuk menu saat ini adalah ikan mujair dan nila yang telah banyak diternakkan di keramba-keramba milik masyarakat yang dibuat di Danau Batur.

Disarankan kepada restoran dan rumah makan di sekitar Danau Batur untuk mengolah ikan mujair dan nila dengan bentuk dipepes, mengingat pengolahan ini merupakan kuliner yang sudah dilakukan sejak dahulu oleh masyarakat di sekitar Danau Batur. Hal ini juga dapat menambah variasi menu makanan yang disajikan kepada para wisatawan pemburu kuliner Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Bawang merah. http://id.wikipedia.org/wiki/Bawang_merah. Diunduh pada 09:25 24 Oktober 2010.

Bawang putih. http://id.wikipedia.org/wiki/Bawang_putih. Diunduh pada 09.32, 24 Oktober 2010.

Goris, R. 1954. Prasasti Bali I. NV. Masa Baru. Bandung.

Granoka, Ida Wayan Oka dkk. 1985. Kamus Bali Kuna-Indonesia, Pusat Pengembangan Bahasa, Jakarta.

Hapsari, Soffi , 2008. Interaksi Sosial Religius Masyarakat Di Kawasan Danau Batur Abad IX-XII Masehi: Kajian Epigrafi s. Skripsi. Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Page 31: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

116

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Ikan Gabus. http://id.wikipedia.org/wiki/Ikan_gabus. diunduh pada 10.19, 18 Desember 2010.

Koentjaraningrat. 1979. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta Dian Rakyat.

Moertjipto,dkk. 1993. Makanan: Wujud, Variasi dan Fungsinya Serta Cara Penyajiannya Pada Orang Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mintosi, Sri. 1997. Tradisi Dan Kebiasaan Makan Pada Masyarakat Tradisional Di Kalimantan Barat. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan kebudayan.

Nasoichah, Churmatin. 2009. Pengawetan Makanan: Upaya Manusia Dalam Mempertahankan Kualitas Makanan (berdasarkan Data Prasasti Jawa Kuna). Jejak Pangan Dalam Arkeologi. Seri Warisan Budaya Sumatera Bagian Utara. Balai Arkeologi Medan.

Ratnawati, Lien D. 2003. Manfaat Studi Arkeologi Untuk Penelitian Makanan. Cakrawala Arkeologi Persembahan Untuk Prof Dr. Mundardjito. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

----------, 1984. Dharma Caruban (Tuntunan Ngebat). Prisada Hindu Dharma Kabupaten Tabanan.

Suarbhawa, I Gusti Made. 1988. Beberapa Aspek Mata Pencaharian Masyarakat Di Sekitar Danau Batur Pada abad IX-XII. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar.

Suter, I Ketut. 2009. Lawar. Pusat Studi Makanan Tradisional. Universitas Udayana. Denpasar.

Yoeti, H.Oka A dkk. 2006. Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. PT Pradnya Paramita.

Yusuf, Wiwiek Pertiwi dkk. 1997. Tradisi dan Kebiasaan Makan Pada Masyarakat Tradisional di Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Yulianto, Kresno. 1995. Awal Pertanian di Indonesia. Kirana. Fakultas Sastra Universitas Indonesia Purbakala.

Page 32: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

117

I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora

KOMODITI PERDAGANGAN KESULTANAN TAMBORA KAJIAN PENDAHULUAN HASIL EKSKAVASI SITUS TAMBORA

TRADING COMMODITY OF TAMBORA SULTANATEA PRELIMINARY STUDIES OF EXCAVATION RESULT AT TAMBORA SITE

I Made GeriaBalai Arkeologi Denpasar

Email : [email protected] masuk : 4-6-2012Naskah setelah perbaikan : 20-7-2012Naskah disetujui untuk dimuat : 2-8-2012

AbstractTambora Sultanate played an important role in the trade hegemony in Nusa Tenggara. Tambora was an area which had many natural resources and produced weaving textile. It made Tambora become strategic as the main zone of comodity that supported Bima Sultanate or did direct selling to other kingdoms and traders. Based on survey and excavation method, it is known that the trading comodities were coffee, hazelnut, honey, deer jerked meat, ropes, weaving crafts, and horses. Some variables that supported the argument that Tambora was a trading zone namely Tambora was rich in natural resources and there were efforts to produce comodities to be sold. Tambora had strategic location which could access to Labuhan Kenanga and Teluk Saleh, trade route to Nusa Tenggara. Tambora was also famous as an area with many bandars which gave a chance for Tambora to be an important part of trading activity. Key words: comodity, hegemony, trade

AbstrakKesultanan Tambora berperan dalam hegemoni perdagangan di wilayah Nusa Tenggara. Sebagai wilayah yang memiliki sumberdaya alam serta memproduksi kerajinan tenun, menjadi strategis, baik sebagai kawasan penyangga komoditi untuk kesultanan Bima, maupun hubungan dagang langsung dengan kerajaan atau pedagang lainnya. Berdasarkan metode survei dan ekskavasi yang dilakukan dalam penelitian ini dapat menjawab permasalahan tentang komoditi perdagangan yang dimiliki Tambora adalah kopi, kemiri, madu, dendeng rusa, tali tambang, kerajinan tenun dan kuda. Diketahui sejumlah variabel yang mendukung keberadaan Tambora sebagai kawasan perdagangan, selain sumberdaya alam, ada upaya memproduksi komoditi dagang. Variabel geografi s letak kesultanan Tambora strategis memiliki akses ke Labuhan Kenanga dan Teluk Saleh yang merupakan jalur perdagangan ke kawasan Nusa Tenggara. Peranan kesultanan Bima sebagai kawasan yang terkenal memiliki bandar ramai pada waktu itu memberi peluang Tambora dalam kegiatan perdagangan.Kata Kunci : komoditi, hegemoni, perdagangan

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus2012 (117 - 130)

I. PENDAHULUANLatar Belakang1.1 Kendati belum banyak catatan yang

ditemukan terkait dengan keberadaan kondisi perekonomian Kesultanan Tambora sebelum peristiwa letusan Gunung Tambora tahun 1815 M, namun mengamati hasil ekskavasi, berupa sejumlah artefak yang teridentifi kasi merupakan

barang komoditi perdagangan, berupa barang kerajinan dan hasil bumi. Barang-barang semacam ini sering disebut dalam naskah sejarah Bima merupakan barang komoditi yang diperdagangkan. Secara geografi s wilayah Kesultanan Tambora cukup strategis,

Page 33: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

118

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

memiliki samudera yang dilalui lalulintas perdagangan seperti Labuan Kenanga, Teluk Saleh yang strategis pada masa itu sebagai jalur lintasan ke pelabuhan-pelabuhan besar di Bima. Ada dugaan, bahwa hubungan dagang kesultanan Tambora pada mulanya dilakukan melalui Kesultanan Bima karena Bima merupakan pusat perdagangan di wilayah ini yang lebih dulu berkembang dan memiliki pelabuhan yang sudah dikenal sejak abad XIV (Maryam, 1992).

Sejak jaman Kompeni, Bima dianggap sebagai salah satu kota perdagangan yang terpenting di wilayah timur. Kerajaan Islam Bima, yang dalam sejarahnya banyak berperan dalam berbagai pergolakan di Nusantara bagian timur terutama pada masa awal pemerintahan Kerajaan Islam Bima sekitar abad 17M. Ramainya jalur perdagangan dan pelayaran Nusantara pada masa awal kerajaan Islam tidak hanya diikuti oleh inkulturasi dan transfer budaya, tetapi juga memancing kepentingan politis VOC dalam hegemoni kekuasaan dan monopoli perdagangan di wilayah Bima. Dalam perkembangannya, ketika pemerintah Hindia Belanda mengambil alih wilayah kekuasaan VOC, Bima sebagai salah satu kerajaan di Pulau Sumbawa tidak luput dari penetrasi kekuasaan Belanda, termasuk kerajaan-kerajaan kecil seperti Tambora, Pekat dan Sanggar. Dari awal abad ke-17 sampai awal abad ke-19, Belanda, baik sebagai kongsi dagang (VOC) maupun sebagai pemerintahan kerajaan terus melakukan usaha hegemoni kekuasaan di wilayah ini. Contoh usaha yang dilakukan, diantaranya adalah politik adu domba dan membuat berbagai perjanjian yang pada akhirnya berhasil menguasai lingkungan istana secara utuh. Perjanjian-perjanjian tersebut berujung pada perjanjian yang dikenal dengan ”Contract Met Bima”. Perjanjian ini menunjukkan bahwa Kerajaan Bima benar-benar berada dalam wilayah hegemoni Hindia Belanda. Bima pada Masa Awal Kesultanan.

Hubungan historis dengan kerajaan-kerajaan Islam di Makasar, seperti Kesultanan

Goa yang membawa pengaruhnya ke wilayah timur melalui kegiatan perdagangan, yang kemudian berlanjut pada jaman Kolonial Belanda dengan VOC ingin menguasai hegemoni perdagangan wilayah ini, mengeksploitasi hasil bumi sebanyak-banyaknya dan produksi kerajinan rakyat. Upaya penguasaan yang dilakukan melalui perundingan dengan mengadakan perjanjian dan kesepakatan dengan sejumlah kerajaan dan kesultanan di wilayah timur termasuk salah satu di antaranya ialah Kesultanan Tambora, yang dilakukan VOC. Pada 9 Februari 1765, VOC mengadakan perjanjian secara kolektif dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, yaitu Bima, Dompu, Tambora, Sanggar, Pekat, dan Sumbawa. Cornelis Sinkelaar (Gubernur VOC) sepakat dengan Abdul Kadim (Raja Bima), Datu Jerewe (Raja Sumbawa), Ahmad Alaudin Juhain (Raja Dompu), Abdul Said (Raja Tambora), Muhamad Ja Hoatang (Raja Sanggar), dan Abdul Rachman (Raja Pekat) untuk bersama-sama memelihara ketenteraman, bersahabat baik, dan mengadakan persekutuan dengan VOC. Dalam pasal 1 kontrak tersebut dinyatakan bahwa raja-raja di Pulau Sumbawa, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, berjanji akan terus mematuhi kontrak yang pernah dibuat sebelumnya. Demikian pula prosedur-prosedur dalam perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan VOC, masih berlaku dan akan terus dipatuhi. Pada 1675, VOC diizinkan untuk mendirikan pos-nya di Bima. Perjanjian itu diperbarui lagi pada 1701 dan sejak itu secara resmi VOC hadir di Bima. (Chambert-Loir, 2004).

Penekanan Belanda ini sudah dilakukan jauh sebelumnya. Secara politis, hubungan Bima dan VOC mulai berlangsung dengan ditandatanganinya perjanjian pada 8 Desember 1669 dengan Admiral Speelman. Perjanjian itu merupakan kontrak pertama dengan VOC sebagai akibat keikutsertaan Sultan Bima, Abdul Khair Sirajudin, membantu Kerajaan Gowa memerangi Belanda. Karena kalah perang, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani

Page 34: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

119

I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora

perjanjian dengan Belanda pada 1667, yang dikenal sebagai “Perjanjian Bongaya”. Isi perjanjian itu, antara lain ialah memisahkan Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa agar tidak saling berhubungan dan saling membantu. Pada perjanjian tahun 1669, Bima memberikan terobosan kepada Kompeni untuk berdagang di Bima dan raja atau sultan tidak boleh meminta atau menarik cukai pelabuhan terhadap kapal dan barang-barang Kompeni yang keluar masuk pelabuhan. Setiap terjadi pergantian raja atau sultan, Kompeni akan membuat kontrak baru. Alasannya, selain untuk memperkuat kontrak-kontrak sebelumnya, juga untuk menjadikan Bima dan kerajaan-kerajaan lain termasuk Kesultanan Tambora di Pulau Sumbawa di bawah kekuasaan Kompeni secara perlahan-lahan. Walaupun demikian Sultan Bima tetap melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda (Ismail, 2004).

Rumusan Masalah1.2 Dalam penelitian ini, ada dua masalah

yang akan diteliti, yaitu :a. Komoditas apa saja yang diperdagangkan

untuk mendukung kegiatan perekonomian Kesultanan Tambora?

b. Faktor dan variabel apa saja yang mendukung Kesultanan Tambora yang berada di kawasan pegunungan memiliki strategi dalam mengembangkan perdagangan?

Tujuan dan Kegunaan 1.3 Berangkat dari masalah di atas, maka

penelitian ini bertujuan: a. Untuk mengetahui komoditas dagang dan

hasil kerajinan yang dimiliki Kesultanan Tambora.

b. Untuk mengetahui sejumlah faktor dan variabel yang mendukung, sehingga Kesultanan Tambora layak dan strategis sebagai wilayah yang diperhitungan dalam perdagangan pada masa itu. Diharapkan penelitian akan memberikan

manfaat :

a. Yang bersifat teoritis untuk melengkapi sejarah perdagangan Tambora dalam koridor Sejarah Nasional Indonesia

b. Yang bersifat ideologi mensosialisasikan nilai-nilai dinamika sosial, kearifan lokal untuk pembangunan ketahanan dan jatidiri masyarakat menghadapi modernisasi budaya global

c. Yang bersifat praktis memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa Kesultanan Tambora sejak dulu memberikan ruang kegiatan produksi untuk memajukan Tambora bukan hanya mengandalkan sumber daya alam.

1.4 Kerangka TeoriSejumlah artefak yang ditemukan di

kawasan situs Tambora yang di identifi kasikan merupakan komoditi yang dihasilkan masyarakat Kesultanan Tambora. (Geria, 2008). Komoditi yang tergolong merupakan hasil bumi dan komoditi yang merupakan hasil produksi masyarakat berupa barang-barang kerajinan. Temuan lainnya sejumlah barang yang diidentifi kasikan merupakan barang yang diproduksi dari luar. Keberadaan temuan ini diduga sebagian merupakan barang komoditi yang diperdagangkan maupun yang diperoleh dari sistem barter. Terinspirasi oleh temuan lapangan akan dicoba menelusuri berbagai faktor yang mendukung kawasan Tambora sehingga merupakan kesultanan yang lokasinya di kaki gunung Tambora memiliki kemampuan eksis dibidang perdagangan. Menurut teori Kebijakan Perdagangan (Hamdy, 1999), ada sejumlah faktor yang mendukung terjadinya suatu perdagangan, antara lain ialah a). Perbedaan sumber alam; suatu negara mempunyai kekayaan alam yang berbeda, sehingga hasil pengolahan alam yang dinikmati juga berbeda. Oleh karena sumber kekayaan alam yang dimiliki suatu negara sangat terbatas, sehingga diperlukan tukar-menukar atau perdagangan. b). Perbedaan faktor produksi yang dihasilkan oleh suatu negara, juga mengalami perbedaan, sehingga dibutuhkan

Page 35: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

120

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

adanya perdagangan. Tidak semua barang yang dibutuhkan oleh suatu negara, mampu diproduksi sendiri, sehingga diperlukan tukar-menukar antar bangsa. e). Adanya motif keuntungan dalam perdagangan. Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang selalu terdapat perbedaan. Adakalanya suatu negara lebih untung melakukan impor daripada memproduksi sendiri, namun ada kalanya lebih menguntungkan kalau dapat memproduksi sendiri barang tersebut, karena biaya produksinya lebih murah. Oleh karena itu, negara-negara tersebut akan mencari keuntungan dalam memperdagangkan barang hasil produksinya. f). Adanya persaingan antar pengusaha, antar bangsa, dan antar kerajaan. Persaingan ini akan berakibat suatu negara meningkatkan kualitas barang hasil produksi dengan biaya yang ringan, sehingga dapat bersaing dalam dunia perdagangan. Adanya persaingan ini sering menyuburkan sifat kapitalis dalam perniagaan. Teori ini sejalan pandangan Van Leur, bahwa pada masa kerajaan lama, baik pada masa kejayaan Hindu, Buddha, maupun Islam, pengaruh raja atau sultan sebagai kepala negara dalam dunia perdagangan cukup besar. Mereka bertindak tidak hanya sebagai pengontrol keamanan atau penarik pajak, tetapi sering bertindak sebagai “pemegang saham”. Oleh karena itu pada dasarnya dunia perdagangan di Nusantara pada waktu itu telah mempunyai sifat kapitalis. (Iskandar, 2005).

Teori tersebut digunakan untuk mengamati temuan lapangan dan kondisi geografi s Kesultanan Tambora ada sejumlah variabel yang mendukung kenapa komoditi Tambora juga menjadi perhitungan dalam perdagangan pada masa itu. Variabel sumberdaya alam yang dimiliki Tambora sangat mendukung sebagai komoditas andalan yang patut diperdagangkan. Variabel hubungan dengan pihak luar yang telah dilakukan cukup lama dan intens dengan kerajaan-kerajaan dekat (tetangga) ataupun pihak luar seperti Kesultanan Goa. Variabel geografi s wilayah strategis dekat dengan

pelabuhan, fasilitas pelabuhan besar yang dimiliki Kesultanan Bima sangat mendukung hubungan dagang kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya karena pelabuhan Bima sudah lebih dulu dikenal dan barang-barang yang diperdagangkan sangat didukung oleh kerajaan kecil di sekitarnya, karena sebagian barang dagangan ini disuplai dari kerajaan kecil termasuk Tambora. Berjalannya regulasi perdagangan ini diperankan Bima dan kerajaan kecil secara mutualisme saling menguntungkan. Dengan masuknya VOC terganggunya regulasi perdagangan yang telah terbangun lama. Terjadilah perlawanan terhadap VOC namun dengan strategi adu domba hegemoni perdagangan dikuasai sampai jatuhnya VOC pada permulaan abad XIX.

1.5 Metode Penelitian1.5.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Situs Tambora terletak di dusun Tambora, desa Oibura, kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Secara astronomis terletak pada garis Bujur 117o 50´ 54, 2´´ BT dan garis lintang 08o 10´ 24´´ LS pada ketinggian 640 meter dari permukaan laut (lihat Peta no.1). Tercatat tiga kerajaan yang terkubur akibat letusan Gunung Tambora yakni kerajaan Tambora, Pekat dan Sanggar. Kegiatan Penelitian di kawasan ini sudah berlangsung 5 kali dan menemukan sejumlah artefak bukti peradaban Tambora.

1.5.2 Cara Pengumpulan DataPenelitian yang diadakan selama ini

sudah berlangsung 5 tahapan. Kegiatan yang dilakukan yakni mengadakan studi kepustakaan berkaitan dengan rona awal keberadaan kesultanan Tambora, mengadakan survei dan ekskavasi. Survei yang dilakukan di sejumlah kawasan yang diduga sebagai kawasan akses yang mendukung kegiatan perekonomian Tambora seperti di areal perkebunan kopi Tambora, Labuan Kenanga, lokasi bangunan kolonial yang ada di Tambora. Ekskavasi telah dilakukan disejumlah tempat di kawasan

Page 36: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

121

I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora

Tambora antara lain, di wilayah Sori Sumba (Situs I) dan di Kampung Baru (Sumber Urip). Di kedua kawasan itu ditemukan sejumlah artefak yang diduga merupakan bagian dari kegiatan perdagangan.

1.5.3 Analisis DataData yang diperoleh baik dari ekskavasi,

maupun survei dapat dijadikan acuan dasar dalam rekonstruksi peradaban khususnya dalam bidang perdagangan seperti data temuan titik-titik lokasi permukiman dapat dipakai dasar rekonstruksi pola permukiman, aksesibilitas kawasan masa lalu yang diduga mendukung perekonomian Tambora. Hasil pengolahan data diarahkan dalam upaya mendukung analisis selanjutnya. Metode analisis yang dipergunakan antara lain ialah analisis komparatif membandingkan dengan situs yang diidentifi kasikan memiliki tipikal yang sama, membandingkan kondisi historis pada masa itu. Analisis morfologi, merupakan analisis yang mengamati variabel-variabel yang berkaitan dengan permukiman, penekanannya disini dari fungsi ruang yang dimanfaatkan untuk kegiatan pengolahan komoditas sumberdaya alam dan barang kerajinan. Analisis teknologi terfokus pada kajian terhadap material dan peralatan yang ditemukan terkait dengan fungsinya mendukung kegiatan industri atau penyediaan komoditi dagang.

II. Hasil dan Pembahasan 2.1 Hasil Penelitian Situs Tambora Berupa

Komoditi Perdagangan a. Temuan Kemiri (Alerites moluccana)

Kemiri ditemukan terkonsentrasi di sejumlah tempat di lokasi kegiatan ekskavasi. Kemiri umumnya dimanfaatkan sebagai campuran bumbu masak juga dimanfaatkan untuk ramuan obat tradisional. Ditemukannya dalam jumlah yang banyak diduga pohon kemiri dibudidayakan di kawasan Tambora, karena kemiri juga merupakan komoditi yang diperdagangkan pada masa itu. Di dalam tulisan Bandar Bima, disebutkan kemiri merupakan

komoditi andalan yang di ekspor. Kemiri yang ditemukan di Situs Tambora dalam keadaan sudah terarangkan (lihat foto no. 1).

b. Temuan KopiDemikian juga dengan kopi yang

ditemukan di sejumlah kotak galian (ekskavasi). Kopi merupakan komoditi andalan Tambora sejak dulu dibudidayakan kesultanan Tambora berlanjut jaman kolonial Belanda (lihat foto no. 2). Saat itu, andil pemerintah kerajaan sangat besar bagi peningkatan perekonomian rakyat. Sejak zaman Kolonial Belanda, banyak orang-orang Jawa yang dipekerjakan di areal perkebunan Kopi Tambora, sehingga tidak mengherankan jika nama kamp-kamp di areal ini bernuansa Jawa, seperti Kampung Sumber Rejo dan Kampung Sumber Urip. Kawasan perkebunan kopi Tambora yang merupakan bukti sejarah yang berkelanjutan sampai saat ini, terletak di lembah bagian Utara Gunung Tambora pada ketinggian 700 meter dari permukaan laut, merupakan Lahan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 500 Ha. Dari luas tersebut baru 254 Ha sudah dijadikan kebun kopi, sedangkan 246 Ha masih dalam keadaan kosong.

Pada awalnya perkebunan Kopi Tambora dikelola oleh PT. Bayu Aji Bima Sena (PT.BABS) Jakarta selaku pemegang Hak Guna Usaha (HGU) sesuai keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 21/HGU/DA/77 tanggal 19 juni 1977 dengan mempekerjakan karyawan sebanyak 192 orang, namun sejak tahun

Foto no. 1. Temuan beberapa buah kemiri pada kotak galian situs Tambora

Page 37: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

122

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

2001 PT. BABS tidak aktif lagi mengelola kebun kopi Tambora yang ditandai dengan ditinggalkan dan ditelantarkannya perkebunan kopi beserta aset dan karyawan yang ada di dalamnya. HGU PT. BABS berakhir pada tanggal 31 Desember 2001.

Setelah diambil alih oleh Pemerintah

Kabupaten Bima (Dinas Perkebunan Kab. Bima), keadaan perkebunan kopi Tambora dari tahun ke tahun semakin membaik. Luas tanaman kopi yang produktif berkembang menjadi 146 Ha pada 3 blok, yaitu Sumber Rejo 52 Ha, Sumber Urip 29 Ha, Besaran 65 Ha. Produksi kopi menjadi 450 kg/Ha. Penyerobotan lahan dan penjarahan hasil kopi dapat ditekan. Total produksi kopi yang dapat dihasilkan sekitar 30-40 ton pertahun. Pemasukan PAD antara Rp. 200 juta-Rp. 300 juta pertahun (tergantung hasil produksi).

Kopi dari pegunungan Tambora yang berakar dari sejarah dan nama besar Gunung Tambora sudah selayaknya dikembangkan dan dipromosikan dalam kemasan-kemasan kopi bubuk yang berlabel KOPI TAMBORA, sehingga akan menjadi produk dan komoditi unggulan bagi daerah, sekaligus ikon bagi Bima. (Sumber Data Dinas Perkebunan Kab. Bima, 2006).

c. Kuda dan Tali Tambang Tali tambang paling banyak ditemukan,

hampir di semua kotak galian tali yang terbuat dari bambu ditemukan tersusun rapi (lihat foto no. 3). Diduga di produksi masal langsung di daerah ini, karena ditemukan juga fragmen

alat pemintalan tali. Kemungkinan tali tambang ini juga diperdagangkan karena banyak yang membutuhkan untuk pengikat kuda yang diternakkan di kawasan ini. Kuda merupakan komoditi andalan di derah ini yang juga diperdagangkan. Pada masa itu kuda sangat dibutuhkan sebagai alat transportasi darat yang sangat strategis di wilayah pegunungan. Ditemukan juga ring pedati yang terbuat dari besi, diduga kuda juga dimanfaatkan untuk menarik pedati. (Geria, 2008).

Bukti sejarah menunjukkan bahwa orang di pulau Sumbawa terkenal di Hindia Timur sebagai penghasil ternak kuda, madu, kayu sepang (caesalpinia sappan), memproduksi dye merah, dan cendana yang digunakan untuk dupa dan pengobatan. Kekayaan yang utama adalah ternak kuda dan hasil kayu hutan. Setengah dari kuda-kuda tersebut dikirim ke Kerajaan Bima pada tahun 1806 dan tahun 1807 berasal dari Tambora.( Suryanto, 2009).

d. Kerajinan AnyamanJenis anyam-anyaman yang ditemukan

antara lain adalah niru yang terbuat dari bambu yang diduga fungsinya untuk menapis beras atau biji-bijian lainnya seperti kopi, karena ditemukannya juga di situs ini. Bakul kecil yang terbuat dari daun rontal yang berfungsi untuk menyimpan rempah-rempah (lihat foto no. 4). Tas anyaman yang terbuat dari daun rontal difungsikan untuk tas jinjing karena bentuknya seperti tas jinjing pada umumnya.

Foto no. 2. Kopi Tambora, temuan ekskavasi

Foto no. 3 . Temuan tali tambang di Kotak U3T2, pada kwadran BL situs Tambora

Page 38: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

123

I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora

Barang-barang ini diduga bukanlah komoditas yang dihasilkan Kesultanan Tambora karena jumlah temuannya tidak banyak

e. Tanduk Rusa dan KijangTanduk kijang banyak ditemukan di situs

Tambora (lihat foto no. 5). Ditemukan tanduk kijang yang dibuatkan lubang segi empat diduga difungsikan sebagai hiasan dinding atau sebagai alat kait tempat menggantungkan barang. Selain hal tersebut, mengingat banyaknya temuan tanduk dan tulang rusa, diduga juga dimanfaatkan sebagai kebutuhan makanan.

Kijang dan rusa ini populasinya cukup banyak terbukti sampai sekarang binatang ini hidup bebas di kawasan Tambora. Diduga Dendeng kijang yang diekspor dari Kesultanan Bima juga disuplai dari kawasan ini, terbukti dari temuan ekskavasi berupa banyak tulang dan

tanduk kijang, diduga dikawasan ini ada industri rumah pengolahan dendeng kijang. Indikasi ini terbukti dengan ditemukan sejumlah peralatan pisau, tombak dan batu asahan pisau yang merupakan sarana untuk berburu dan pengolahan daging kijang. Tombak yang ditemukan berukuran panjang 30 cm dan terbuat dari besi. Tombak ini dibuat artistik karena dilengkapi sarung anyaman dari rotan cincin (daemonorops sp). Demikian juga tangkai tombak yang ditemukan terbuat dari kayu yang dikerjakan sangat halus.

f. Alat TenunAlat ini ditemukan di kotak U3T2 dan

U2T3, dalam kondisi fragmentaris, kendati demikian sebagian komponennya dapat diketahui sebagai alat tenun terbuat dari kayu (lihat foto no. 6). Alat serupa ini masih dipergunakan oleh pengerajin kain tradisional di wilayah Sumbawa. Di Wilayah Bima terdapat industri kecil kerajinan (kerajinan menenun) yang bersifat home industry.

Kegiatan menenun sampai abad ke-20 masih dikerjakan dengan bahan lokal yang bersumber pada “Saffl ower” (kapas) yang biasanya di tanam di sekitar wilayah pemukiman penduduk, baik di halaman maupun di daerah perkebunan sebagaimana tanaman yang sifatnya selingan. Pohon kapas sering ditanam pada akhir musim hujan dan dapat hidup bertahun tahun. Bunga-bunga kapas yang dipetik dijemur beberapa

Foto no. 4. Anyaman daun rontal pada Kotak U3T2, kwadran TL situs Tambora

Foto no. 6. Peralatan tenun pada Kotak U3T2, kwadran BL situs Tambora

Foto no. 6. Peralatan tenun pada Kotak U3T2, kwadran BL situs Tambora

Page 39: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

124

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

hari sampai bisa mengembang dengan sempurna, sampai terurai biji dan serat-serat kapasnya, kemudian diproses dengan alat-alat yang sederhana. Kegiatan menenun orang Bima dilakukan setelah proses penanaman padi selesai sampai menunggu masa panen tiba, sehingga mendorong dan memotivasi ibu-ibu untuk menenun dengan sungguh-sungguh menjadi kegiatan yang sudah masuk ke tataran yang bersifat intensif.

Pada zaman dahulu sekitar abad ke-18 dan ke-19 pekerjaan menenun biasanya banyak menghasilkan sarung dan kain yang bersifat lokal seperti tembe kafa nae, weri, pasapu muna dan lain-lain karena benang sangat sederhana. Benang diperoleh dari kapas yang ditanam sendiri, dipetik dijemur dan beberapa hari kemudian dipintal dan diuraikan dengan alat sederhana pemisah kapas dengan bijinya.

Umumnya Pulau Sumbawa dikenal memiliki sumber bahan celupan dari dua tumbuhan disebut “ Nila (dau)” banyak terdapat dipagar-pagar rumah orang Bima dengan dominansi warna hitam kebiru-biruan. Celupan dan proses permintalan benang berlangsung puluhan tahun di Bima, akan tetapi hasil celupan ini mengalami perubahan karena telah ada bahan celupan yang lebih memberikan perkembangan usaha pertenunan seperti Crayon, Acrilin, (arka Asam dan polyester). Dengan perubahan ini tidak seluruhnya menghilangkan usaha tradisional namun secara sedikit demi sedikit dapat menyisihkan kegiatan tradisional, karena kreatifi tas dan produktivitas yang lebih menguntungkan. Di era modern sekarang ini kegiatan celupan lokal ini masih ada disekitar daerah-daerah pedalaman seperti Donggo dan Ntonggu Kabupaten Bima.

g. Kayu HutanTambora merupakan kawasan hutan yang

sangat lebat sebelum terjadinya letusan besar, terbukti dari adanya empasan tumpukan kayu yang hanyut membentuk rakit dalam jarak lintas melebihi 5 km (Stothers, 1984) di perairan Teluk Saleh ketika bencana Tambora. Tumpukan kayu

dengan diameter besar ditemukan disejumlah tempat dalam keadaan terarangkan. Dikawasan Situs Tambora banyak juga ditemukan pohon tumbang yang terarangkan. (lihat foto no. 7).

Vegetasi ini diketahui sebagai jenis pohon kalanggo (Duabangga moluccana). Terpeliharanya kayu hutan di kawasan ini karena pada masa itu masih kuat kearifan lokal masyarakat dalam melestarikan dan memelihara hutan. Sebagai contoh tradisi yang dianut masyarakat Sumbawa yang diduga dianut pula mayarakat Tambora, ialah kearifan lokal dalam memperlakukan hutan, terdapat penentuan kayu yang akan digunakan sebagai bahan bangunan rumah dan masjid. Untuk menentukan kayu yang layak digunakan sebagai bahan bangunan, masyarakat biasanya mempercayakan kepada orang yang dianggap mumpuni. Kayu yang akan ditebang harus sudah berumur cukup tua, tidak boleh berada dekat dengan sumber atau mata air, dan tidak ditumbuhi tanaman merambat. Tumbuhan yang merambati kayu yang akan digunakan untuk bahan bangunan dianalogikan sebagai borgol. Jika syarat tersebut dilanggar, maka pemilik rumah diyakini akan mendapat masalah serius dalam kehidupannya dan akan membawa yang bersangkutan ke dalam penjara.Larangan menebang kayu yang ditumbuhi tanaman merambat juga merupakan salah satu cara masyarakat Sumbawa untuk menjaga populasi lebah madu (Apis dorsata) yang banyak hidup di hutan-hutan setempat agar tidak punah.

Foto no.7. Pohon Kalanggo yang terarangkan di situs Tambora

Page 40: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

125

I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora

Pohon yang ditumbuhi tanaman merambat merupakan tempat yang disukai oleh lebah untuk bersarang. Jika lebah madu telah membuat sarang di kayu tersebut, maka tahun berikutnya mereka juga akan tetap menempatinya. Kalau kayu tersebut telah ditebang, lebah madu akan membuat sarang ke kayu lainnya, menjauhi lokasi semula. Hal ini menyebabkan kesulitan bagi pencari madu yang merupakan salah satu pekerjaan warga sekitar hutan dalam menambah pendapatan. Sejak dulu, hutan Tambora, Sumbawa merupakan penghasil madu alam terbaik di Nusantara. Tingginya kualitas madu tersebut disebabkan adanya jenis-jenis tanaman pakan lebah yang tidak terdapat di daerah lain. Sejumlah jenis pakan lebah madu jarang dijamah manusia karena adanya sistem kearifan lokal yang melarang menebang pohon atau jenis kayu tertentu.

Upaya untuk tetap menjaga kelestarian hutan juga dilakukan sebagai bagian dari tradisi masyarakat dalam meramu obat-obatan tradisional. Sebagian besar tanaman obat merupakan tumbuhan langka dan hanya dapat dipetik dari hutan yang masih alami. Kayu yang ditebang tidak boleh jatuh melintangi jalan umum dan wilayah berair di tengah hutan, karena akan mengganggu baik bagi pengguna jalan maupun binatang yang mencari air minum. Jika kayu jatuh mengenai kayu lainnya, maka dahan kayu yang jatuh harus dibersihkan dari pohon yang dikenainya. Kalau tidak dibersihkan dikhawatirkan akan menimbulkan pamali. Dalam pandangan masyarakat sekitar hutan, pamali yang disebut kabadi dapat menimbulkan penyakit bagi si penebang dan pada gilirannya dapat menyebabkan kematian. Kayu yang telah ditebang akan dipilih dua batang yang dinilai paling baik sebagai tiang utama yang disebut tiang guru (tiang guru sawai dan tiang guru salaki). Namun, berbagai kearifan lokal ini hanya mampu bertahan sampai dekade 80-an. Masuknya sejumlah industri pengolahan kayu seperti, PT. Jati Alam Lestari, PT. Veener, dan CV. Elektronik telah menggeser kearifan lokal ini.

2.2 Pembahasan2.2.1 Kesultanan Tambora dalam Kancah

PerdaganganTambora adalah salah satu kerajaan

kecil di Bima, setelah Sanggar dan Pekat yang merupakan kesultanan yang memiliki potensi andalan yang mendukung hegemoni perdagangan Bima. Bima merupakan kerajaan di wilayah Indonesia Timur sudah dikenal sejak jaman Majapahit memiliki bandar yang ramai karena didukung geografi s yang merupakan jalur lintas perdagangan. Bandar tersebut berlokasi di Teluk Sape dan Teluk Bima. Bima dikenal terbuka ke dunia luar sebab perniagaan merupakan penghasil utama (Chambert-Loir, 2000). Sebagai kerajaan di sekitar Bima. Tambora memiliki peran yang cukup strategis dalam mendukung perdagangan Bima, karena sebagian kebutuhan perdagangan Bima di suplai juga dari kerajaan sekitarnya termasuk Tambora. Tambora bukan saja kaya akan sumberdaya alam, namun wilayahnya pula strategis dekat dengan Labuhan Kenanga dan Teluk Saleh, termasuk dalam jalur lintas perdagangan yang ramai disinggahi kapal asing. (lihat foto no. 8).

Kegiatan perdagangan Kesultanan Tambora dilakukan tidak saja dengan Bima, tetapi dilakukan juga perdagangan langsung dengan Kerajaan Makasar. Hubungan antara dua kesultanan ini dibuktikan dari sejumlah surat menyurat yang dilakukan oleh dua kerajaan tersebut (National Archief the Netherlands). Adanya dugaan Kesultanan Tambora melakukan perdagangan langsung karena didukung oleh aksesibilitas, juga kentalnya rasa

Foto no. 8. Wilayah Kesultanan Tambora (warna hijau)memiliki akses ke Labuan Kenanga dan Teluk

Saleh, peta tahun 1696

Page 41: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

126

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

persaingan pada masa itu yang menyuburkan kapitalis politik yang umum dilakukan raja-raja Nusantara pada waktu itu.

VOC pada waktu itu berkeinginan untuk menguasai hegemoni perdagangan di wilayah timur, dengan melakukan penguasaan kerajaan kecil seperti Tambora. Pertimbangan Belanda untuk melakukan penguasaan terhadap kerajaan kecil, ialah karena akan lebih mudah ditundukan, sehingga potensi alam penyangga perdagangan Bima akan lebih mudah dikuasai. Namun ternyata anggapan mereka keliru, Tambora tidak mudah ditundukan tetapi disambut dengan pertempuran sengit. Mengalami kesulitan menghadapi Tambora dan kerajaan lainnya VOC menggunakan tipudaya dengan politik adu domba, cara ini digelar mulai dengan mengeluarkan perjanjian Bongaya. Salah satu isi perjanjian Bongaya antara lain bertujuan untuk memperlemah posisi Bima, karena kerajaan Goa tidak diperkenankan mengirim bantuan ke Bima, dan diperintahkan untuk menangkap raja-raja di kerajaan kecil. Perintah Belanda ini tidak dituruti oleh kerajaan Goa. Taktik VOC untuk menguasai kerajaan kecil ini bukan tidak ada sebab, karena disamping sumberdaya alam yang cukup kaya, kawasan Tambora sudah dikenal sejak dulu memiliki akses lintasan jalur perdagangan dengan pedagang luar. Ditemukan sejumlah keramik Cina dan benda-benda berharga seperti talam perunggu yang tergolong mewah pada masa itu merupakan hasil dari hubungan dagang dengan pihak luar. Pedagang dari luar tertarik berdagang dengan Kesultanan Tambora bukan saja karena sumberdaya alamnya yang berlimpah, namun karena Tambora juga dikenal sebagai produsen tekstil yakni kerajinan tenunan, terbukti dari sejumlah temuan hasil ekskavasi berupa peralatan tenun yang ditemukan di setiap kompleks rumah. Produksi lainnya semacam makanan olahan pembuatan dendeng rusa dan kijang. Terbukti dengan temuan sejumlah tulang dan tanduk kijang yang diduga kawasan ini merupakan salah satu tempat produksi

olahan dendeng kijang yang disuplai ke Bima dan kawasan lainnya. Produk lainnya yang diduga diproduksi yakni rajutan tali tambang. Temuan tali tambang dalam jumlah banyak merupakan indikasi bahwa tali rajutan itu merupakan produksi home industry masyarakat Tambora. Di samping untuk keperluan sendiri dibutuhkan masyarakat untuk keperluan peternakan kuda yang merupakan komoditi andalan Tambora.

Potensi Tambora yang kaya akan sumberdaya alam dan signifi kan dalam perdagangan di kawasan ini, menjadi pertimbangan Kolonial Belanda untuk terus menguasai, bahkan sampai dekade tahun 30-an tetap mempertahankan perkebunan kopi Tambora dengan tujuan politis menguasai pusat Kesultanan Tambora yang diduga lokasinya di kawasan kebun kopi tersebut.

Selain sumberdaya di atas masih ada sejumlah variabel yang mendukung kawasan Kesultanan Tambora yang layak diperhitungkan dalam kancah perdagangan di kawasan Timur. Variabel tersebut antara lain, yaitu :a. Variabel sumberdaya alam. Tambora yang berada pada ketinggian 500–1200 m dari permukaan laut merupakan kawasan yang sangat subur dengan memiliki sumber air dan sungai yang mengalir sepanjang tahun. Kesultanan Tambora tidak saja sebagai kawasan penghasil kopi karena didukung oleh iklim dan ketinggian lahan yang memungkinkan budidaya kopi, tetapi juga memiliki lahan basah sebagai kawasan irigasi teknis persawahan berkembang di kawasan ini, terbukti dengan ditemukan sejumlah padi yang tersusun rapi di tempat penyimpanan. (lihat foto no. 9).

Foto no. 9.Temuan padi yang terarangkan di situs

Page 42: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

127

I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora

Demikian juga kopi Tambora yang menjadi andalan Kesultanan Tambora, yang sudah dibudidayakan sejak dulu berlanjut hingga masa kolonial. Menurut Zollingger tanamam kopi di kawasan Tambora sudah dikelola baik pada tahun 1897 (Bernice, 1995). Pada Tahun 1902 pemerintahan kolonial Belanda mengelola perkebunan kopi di kawasaan ini dengan pimpinan pengelola yang bernama D. Noles warga Negara Belanda seperti tercatat dalam laporan Belanda. (Onderdemingen, 1902). Tahun 1930 perkebunan kopi Tambora pengelolaannya ditangani orang Swedia yang bernama Swede G Bjorklund (Bernice,1995). Hal ini membuktikan, bahwa kopi menjadi andalan Kesultanan Tambora karena potensi sumberdaya alam ini, belum tentu dimiliki oleh kerajaan yang lainnya.

Suatu negara mempunyai kekayaan alam yang berbeda, sehingga hasil pengolahan alam yang dinikmati juga berbeda. Oleh karena sumber kekayaan alam yang dimiliki suatu negara sangat terbatas, sehingga diperlukan tukar-menukar atau perdagangan. Dari segi politik dan perniagaan keadaan Kesultanan Bima masih tergantung kepada kerajaan-kerajaan lain di pulau Sumbawa (Chambert Loir, 2000). Potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh Tambora sangat menguntungkan dan dibutuhkan oleh masyarakat dan kesultanan lainnya seperti Bima, Sanggar, dan pedagang pihak luar seperti Kerajaan Goa dan kolonial Belanda. Kuda juga merupakan komoditi andalan yang diperdagangkan seperti disebut dalam tulisan Tobias bahwa kuda-kuda Bima yang berkualitas ekspor didatangkan dari Tambora (Bernice,1995). Potensi ini didukung oleh luasnya hutan savana khususnya di daerah lembah dan dataran merupakan kawasan pastoral pengembalaan ternak yang sangat potensial.

b. Variabel keterbatasan kemampuan suatu negara, baik kekayaan alam maupun yang lainnya, maka tidak semua barang yang

dibutuhkan oleh suatu negara mampu untuk diproduksi sendiri, sehingga keperluan itu dapt diperoleh dari tempat lain dengan sistem perdagangan ataupun barter. Salah satu contoh, ialah kayu hutan yang menjadi incaran kolonial yang merupakan hasil hutan yang langka di negaranya menjadi target penguasaan kayu-kayu hutan oleh kolonial. Pada masa kolonial, VOC memonopoli perdagangan di Nusantara, maka hutan Sumbawa terhitung sebagai sumber dari berbagai komoditi dalam perniagaan antar pulau. Kayu sepang, gaharu, cendana, kelicung, jati, dan berbagai kayu berkelas di pasar dagang saat itu, sebagian besar berasal dari hutan Sumbawa, termasuk kawasan Tambora. Belanda mengangkut kayu-kayu tersebut ke berbagai pelabuhan di Indonesia, terutama ke Batavia sebagai pusat perdagangan terbesar di Nusantara. Diduga, selanjutnya kayu-kayu tersebut dibawa ke Eropa sebagai bahan furniture. Menurut catatan sejarah, pada sekitar abad ke-18, Belanda memonopoli perdagangan kayu sepang Sumbawa dengan melarang pihak Kerajaan di Sumbawa termasuk Tambora menjual kayu tersebut ke pihak lain. Kayu sepang tersebut menjadi komoditi utama untuk membantu keterpurukan ekonomi yang dialami oleh VOC. Karena itu, Kerajaan Sumbawa melakukan perlawanan terhadap VOC. Selain rempah-rempah, kayu, dan hasil hutan lainnya, kaum kolonial juga menjadikan hutan Sumbawa sebagai obyek pengkajian dan penelitian ilmiah bagi para ilmuwan Eropa. Pengelolaan sumberdaya hutan di Sumbawa mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Sultan Amrullah II, sekitar tahun 1800 M, bahkan sampai masa pemerintahan orde baru hutan tambora menjadi ladang penebangan hutan yang dilegalkan pada waktu itu oleh pemerintah dan memberikan HPH kepada pihak swasta untuk mengelola kawasan hutan Tambora yang diberikan konsesi penebangan sampai ketinggian 1200 m dari permukaan laut; bayangkan berapa juta kubik kayu kawasan hutan Tambora sirna.

Page 43: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

128

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

c. Variabel geografi s. Menurut teori ekologi; manusia tidak terlepas dari lingkungannya; mereka berupaya menyiasati lingkungan dengan pola hidup adaptif (Poerwanto : 2000). Penataan pola permukiman, pengelolaan sumberdaya alam, dan pengelolaan lingkungan sosial, dijadikan sebagai bahan pertimbangan pemerintahan Kesultanan Tambora dalam menentukan lokasi istana. Dugaan keberadaan istana Kesultanan Tambora di areal kebun kopi, karena secara geografi s lokasi ini sangat menguntungkan, yang merupakan bentang lahan luas dan tinggi, sangat strategis untuk memantau ke arah Labuhan Kenanga. Dugaan ini diperkuat pula dengan temuan benteng tradisional di Labuhan Kenanga, (lihat foto no. 10),

yang dimanfaatkan oleh pihak kesultanan untuk mengintai kedatangan para pedagang, ataupun musuh yang menuju wilayah kesultanan Tambora (Geria, 2012). Sistem perbentengan pada zaman itu sudah lazim dibuat untuk mengantisipasi kedatangan musuh dari luar

Istana Kesultanan Tambora diperkirakan menghadap ke arah laut, seperti istana Kesultanan Tidore dan Ternate. Perlu diketahui bahwa akses pelabuhan cukup penting dan sangat strategis bagi kerajaan, karena mendukung penguasaan hegemoni perdagangan. Jalur lintas laut wilayah ini cukup ramai pada masa itu, merupakan akses yang menguntungkan dan strategis bagi kesultanan Tambora. Hal ini dapat kita perhatikan dari peta yang dibuat tahun 1694 . Karena memiliki akses itu maka Kesultanan Tambora sangat

disegani dan diperhitungkan oleh kerajaan Goa, dan kolonial Belanda dan para pedagang dari daratan Cina terbukti dari sejumlah temuan benda berharga berupa keramik di permukiman masyarakat umum (lihat foto no. 11).

Kesultanan Tambora juga merupakan kawasan penyangga perdagangan Kesultanan Bima, karena sebagian barang dagangan Bima diduga disuplai dari kawasan Tambora, dan kerajaan-kerajaan kecil di Sumbawa termasuk Tambora memiliki komoditas ekspor antara lain beras, madu, sarang burung, kuda, garam, kapas dan kayu sapan (Bernice, 1995).

2.2.2 Peran Kesultanan Bima dalam Hegemoni Perdagangan TamboraBerbicara mengenai posisi Bima dalam

jaringan pelayaran dan keterlibatannya dalam aktivitas perdagangan, erat kaitannya dengan pembicaraan mengenai posisi dan kedudukan wilayah Nusa Tenggara dalam lintas pelayaran-perdagangan nusantara, termasuk pulau Sumbawa (termasuk Bima) di dalamnya. Kawasan Nusa Tenggara, mulai dari pulau Bali di ujung barat sampai pulau Timor di ujung timur terbentang pada jalur pelayaran-perdagangan nusantara yang diperkirakan sudah digunakan sejak abad ke-14. Banyak sekali negara-negara yang mempergunakan jalur tersebut untuk berdagang dan salah satu di antaranya adalah Cina. Jalur-jalur pelayaran orang-orang Cina ke Timor, dengan alasan karena pulau Timor

Foto no. 10. Benteng tradisional di Labuan Kenanga

Foto no. 11. Temuan Keramik di situs Tambora

Page 44: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

129

I Made Geria Komoditi Perdagangan Kesultanan Tambora

dan Sumba memiliki produk andalan yang tidak dapat diperoleh di tempat lain, yakni kayu cendana. Menurut Meilink Roelofsz, aktivitas perdagangan Malaka ini menyebabkan Islam tersebar luas. Dalam hubungan ini pula perdagangan tampaknya menjadi faktor penting dalam Islamisasi di seluruh Nusantara.

Posisi Bima dalam lintas pelayaran-perdagangan antara Malaka-Maluku atau sebaliknya dan keterlibatannya dalam aktivitas perdagangan mendorong munculnya Bima, baik sebagai kota bandar maupun sebagai kota pusat kerajaan yang terpenting di kawasan Nusa Tenggara, sekaligus mempercepat proses Islamisasi dan munculnya Bima sebagai kerajaan Islam. Dengan kata lain, proses Islamisasi di daerah Bima dan sekitarnya erat kaitannya yang didorong oleh keterlibatan Bima, baik dalam perdagangan regional maupun internasional yang pada waktu itu telah didominasi oleh pelaut-pelaut dan pedagang-pedagang Islam. Setelah Bima muncul sebagai kerajaan Islam, datanglah para ulama dan mubaligh Islam dari berbagai daerah.

Di dalam naskah Bosangajikai kerajaan Bima disebutkan bahwa hubungan Bima dengan Pulau Jawa telah berlangsung sejak abad ke-10, pada waktu Raja Batara Mitra pergi ke Jawa dan di sana ia kawin dan mendapatkan seorang anak bernama Manggampo Jawa. Setelah Batara Mitra meninggal di Jawa, Manggampo Jawa pulang ke Bima menggantikan ayahnya menjadi raja. Dari Jawa ia membawa serta seorang pande bernama Ajar Panuh yang kemudian mengajar orang-orang Bima membangun candi, membuat batu bata dan mengajarkan kepandaian baca tulis.

Setelah Majapahit runtuh dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, hubungan ekonomi perdagangan antara Bima dengan Pulau Jawa dan daerah-daerah lain di kawasan barat Nusantara tetap berlangsung. Tome Pires menyebutkan bahwa kapal-kapal dari Malaka dan Jawa yang berlayar ke Maluku untuk mencari rempah-rempah singgah di Bima untuk berdagang dan mengambil air minum, bahan makanan untuk melanjutkan pelayaran mereka.

Hubungan pelayaran-perdagangan ini selain mendorong munculnya Bima sebagai salah satu bandar yang terpenting di kawasan Nusa Tenggara, juga mendorong munculnya Bima sebagai kerajaan dan pusat penyiaran Islam di kawasan itu (Tawaluddin,1977).

Selain itu Bima pun menjalin hubungan dengan Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, terutama kerajaan Gowa dan Tallo. Kapan hubungan itu mulai berlangsung belum dapat ditentukan secara pasti. Dalam Bosangajikai syair Kerajaan Bima disebutkan bahwa Raja Bima, Manggampo Donggo belajar cara-cara mengendalikan pemerintahan yang kemudian berkembang menjadi tata adat yang berlaku di Kerajaan Bima dikemudian hari dari Kerajaan Gowa. Sejak itu pula hubungan dengan Kerajaan Gowa dan Tallo berlangsung hingga terjalin hubungan keluarga rnelalui perkawinan. Pesatnya perkembangan Bima sebagai kawasan yang memiliki bandar yang ramai pada masa itu serta memiliki hubungan erat dengan sejumlah kerajaan luar seperti Makasar merupakan potensi yang menguntungkan sejumlah kerajaan kecil yang ada di wilayah ini seperti Tambora, Pekat, dan Sanggar. Dengan terbukanya akses ke luar memudahkan regulasi perdagangan yang dilakukan karena komoditas yang dimiliki sejumlah kerajaann kecil ini dapat lancar di suplai ke Bima. Ketiga kerajaan kecil ini mempunyai akses ke jalur lintas laut yang selalu dilalui para pedagang dari luar apabila menuju Bandar Bima.

III PENUTUP3.1 Kesimpulan

Kesultanan Tambora berperan dalam hegemoni perdagangan di wilayah Nusa Tenggara. Sebagai wilayah yang subur memiliki sumberdaya alam dan kerajinan menjadi strategis sebagai kawasan penyangga komoditi perdagangan dari Kesultanan Bima, di samping perdagangan langsung yang dilakukan dengan kerajaan atau para pedagang lainnya. Komoditi yang dimiliki Tambora, kopi, kemiri, madu, dendeng rusa, tali tambang, kerajinan tenun dan kuda. Kuda Bima kwalitas ekspor, sebagian didatangkan dari Kesultanan Tambora. Ada

Page 45: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

130

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

sejumlah variabel yang mendukung kawasan tambora sebagai kawasan perdagangan yakni sumberdaya alam, upaya produksi seperti kerajinan tenun sebagai upaya mengisi peluang komoditi yang tidak dihasilkan oleh pihak kerajaan lainnya. Variabel geografi s letak Kesultanan Tambora memiliki akses baik ke Labuhan Kenanga maupun akses ke Teluk Saleh yang menjadi lintasan para pedagang ke kawasan Nusa Tenggara. Peran Kesultanan Bima sebagai kawasan yang terkenal memiliki bandar ramai pada waktu itu memberi peluang Tambora dalam kegiatan perdagangan dan berhubungan intens dengan pihak luar sehingga akses ini menjadikan Kesultanan Tambora ikut berperan dalam hegemoni perdagangan di kawasan Timur Indonesia.

3.2 RekomendasiKegiatan penelitian berikutnya perlu

eksplorasi tes spit di sejumlah tempat di kawasan kebun kopi dan di sekitar bangunan Kolonial. Perlu pembiayaan yang dapat mendukung kegiatan ini, seperti pengadaan naskah dan peta kawasan yang berkaitan dengan Kesultanan Tambora. Naskah dan peta tersebar pada beberapa institusi di luar negeri, yang salah satunya di antaranya tersimpan di Badan Kearsipan Pemerintahan Belanda.

DAFTAR PUSTAKABernice, De Jong Boers. 1995. “Mount Tambora

in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and its Aftermath”. Indonesia vol 60.p. 37-59. New York. Cornell University’s Southeast.

Chambert-Loir, Henri. 2000. Bo` Sangaji Kai (Catatan Kerajaan Bima). Jakarta: Yayasan Obor.

2004. Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah. Jakarta: Yayasan Obor.

Iskandar, Mohamad, 2005. Nusantara dalam Era Niaga sebelum Abad ke- 19, Wacana Vol 7 No.2, Oktober 2005 (175-190).

Ismail, Hilir. 2004. Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara. Mataram, bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

Geria, I Made. 2008. Jejak-jejak Peradaban Tambora, Forum Arkeologi No. 1 Mei –hal 14, 2008. Denpasar.

__________. 2012. Laporan Penelitian Arkeologi, Ekskavasi Situs Tambora, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, NTB

Hamdy, Hady.1999. Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta 1999.

Maryam, Siti R Salahudin. 1992. Bandar Bima, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Bima, NTB.

National Archives of The Netherlands Since 1856, Database of VOC Dokuments Tanap Research, http//: www. Tanap.net/content/VOC/history-general state.htm

Poerwanto, Hari, 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Persfektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Jakarta.

Roelofsz, M.A.P.Meilink, 1962. Asian Trade and European Infl uence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630, Martinus Nijhoff, The Hague.

Suryanto, HM. Agus. 2009. Letusan Tambora Misteri Kelahiran Kerajaan Dompu Baru, http//:www.dompu.go.id ,2009.

Stothers, Richard.B. 1984. “The Great Tambora Eruption in 1915 and its Aftermath”. Science vol 224.pp. 1991- 1 9 9 8 . Wa s h i n g t o n .AAAS Highwire Press.

Tawaluddin Haris, Susanto Zuhdi, Triana Wulandari, Kerajaan Tradisional Di Indonesia: Bima, Jakarta, CV Putra Sejati Raya, 1997.

Van Landbouw,Ondernemingen, 1905. Overzicht, Nederlandsch (oost-) Indie, Kolonial Verslag , 1905.

Page 46: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

131

I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus2012 (131 - 147)

POTENSI WISATA ARKEOLOGI DI KAWASAN DANAU BERATAN

ARCHAEOLOGICAL TOURISM POTENTIAL AROUND BERATAN LAKE

I Wayan Suantika Balai Arkeologi Denpasar

Email: [email protected] masuk : 28-5-2012Naskah setelah perbaikan : 15-6-2012Naskah disetujui untuk dimuat : 21-6-2012

AbstractThe site around of Beratan Lake, at Candi Kuning Village, District of Baturiti, Tabanan regency, until present day become one destination area at Bali Island. It offers environment tourism, water tourism and also agro tourism. Beside that, surely this area has potential in the aspect of cultural tourism, esspecially archaeological tourism. Around Beratan lake, it was found several archaeological site which spread in many places and consist of several item of archaeological remains, with the their uniquenesses. All of archaeological remains exactley to be sustainable development, caused by the quality and the quantity of the archaeological resourches more posibble became one of the tourism destinations. Planned and integrated treatments of all stake holders are necessary.Key words: archaeology, tourism and lake Beratan.

AbstrakKawasan Danau Beratan, di Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan,sampai saat ini sudah menjadi salah satu Daerah Tujuan Wisata di Pulau Bali. Daya tariknya berupa wisata alam, wisata air, dan juga agrowisatanya. Disamping semua daya tarik tersebut, sebenarnya wilayah ini memiliki potensi dalam bidang wisata budaya, khususnya wisata arkeologi. Disekitar danau Beratan banyak ditemukan situs-situs arkeologi yang tersebar di berbagai tempat serta terdiri dari berbagai jenis tinggalan arkeologi yang memiliki daya tarik tersendiri. Tinggalan-tinggalan arkeologi ini, sangat tepat untuk dikembangkan secara berkelanjutan, mengingat kwantitas dan kwalitas sumberdaya arkeologi yang ada sangat memungkinkan untuk dijadikan sebuah daya tarik pariwisata. Hanya saja diperlukan penangaan yang bersifat terencana dan terpadu dari semua komponen.Kata kunci : Arkeologi; Pariwisata dan Danau Beratan.

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Industri Pariwisata semakin hari semakin besar dan berkembang terus sehingga dewasa ini dapat dikatakan, bahwa industri pariwisata adalah industri yang terbesar di seluruh dunia. Kegiatan industri ini merambah hampir ke seluruh aspek kehidupan manusia. Objek-objek yang dijadikan daya tarik pariwisatapun semakin hari ragam variasinya semakin bertambah, sehingga muncul Pariwisata Alam,

Pariwisata Air, Pariwisata laut, Pariwisata Budaya, dan berbagai lain-lainnya. Dengan potensi yang dimiliki oleh sektor kebudayaan tersebut, tidaklah mengherankan apabila masalah-masalah yang berkaitan dengan pembangunan kebudayaan pada umumnya menjadi salah satu prioritas di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik

Page 47: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

132

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

(SDA) adalah di sekitar Danau Beratan, Desa Candi Kuning, Kabupaten Tabanan. Beberapa tinggalan arkeologi di kawasan ini sudah pernah diteliti (Widia, 1979, 1980, Suantika, 1986 : 1997, 2010, 2011. Secara kuantitas dan kualitas sumberdaya arkeologi yang ada, sangat potensial dikelola dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Berdasarkan azas manfaat sumberdaya arkeologi (SDA) tersebut, tidaklah mengherankan apabila pembangunan kebudayaan menjadi salah satu prioritas di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Mengingat penting dan strategisnya pembangunan kebudayaan tersebut, maka Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata telah menetapkan visi tahun 2010-2014 yaitu “Terwujudnya bangsa Indonesia yang mampu memperkuat jatidiri dan karakter bangsa serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat”. Visi ini sangatlah tepat mengingat adanya berbagai perubahan paradigma yang berkaitan dengan perkembangan Ilmu Arkeologi dewasa ini. Perubahan atau perkembangan tersebut antara lain:a. Tinggalan arkeologi pada masa yang lalu

hanya dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan sejarah kebudayaan semata, dewasa ini telah mengalami kemajuan dalam pemanfaatannya, karena tinggalan arkeologi yang sering dikenal dengan istilah Warisan Budaya/Pusaka Budaya, adalah hasil cipta, karsa, dan karya para leluhur kita yang berupa benda-benda budaya (budaya material), seperti bangunan-bangunan megalitik, punden berundak, bangunan candi Hindu dan Budha, Masjid kuna dan lainnya yang dapat pula dipastikan di dalamnya terkandung berbagai nilai luhur yang bertalian dengan tata cara kehidupan bermasyarakat (budaya Halycimmaterial), seperti nilai-nilai kearifan lokal, norma-norma kemasyarakatan, sikap hidup dan lainnya.

b. Tinggalan arkeologi yang berupa bangunan-bangunan atau situs-situs arkeologi, sesuai

Indonesia. Mengingat penting dan strategisnya pembangunan kebudayaan tersebut, maka Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata telah menetapkan visi tahun 2010-2014 yaitu “Terwujudnya bangsa Indonesia yang mampu memperkuat jatidiri dan karakter bangsa serta meningkatnya kesejahteraan masyarakat”. Visi ini dengan sangat jelas memberikan gambaran kepada kita semua, bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia pada dasarnya memiliki makna yang sangat dalam terkait dengan usaha-usaha pengenalan dan penguatan jatidiri dan karakter bangsa di satu sisi, dan di sisi lainnya kebudayaan tersebut dapat dijadikan media untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal yang serupa juga dapat terjadi dengan beragam jenis kebudayaan yang ada di Pulau Bali, yang mengembangkan kegiatan pariwisata berbasis kebudayaan (Pariwisata Budaya). Bali dengan primadona Pariwisata Budayanya, memang sudah sangat populer di seluruh jagat raya ini. Salah satunya adalah pemanfaatan sisa-sisa kebudayaan masa lalu sebagai objek pariwisata. Sisa-sisa kebudayaan masa lalu yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, jumlahnya sangat banyak dan tersebar hampir di seluruh pelosok Nusantara. Khazanah budaya tersebut dapat dikategorikan sebagai Sumberdaya Budaya (SDB) atau Cultural Resources (CR) pada umumnya atau Sumberdaya Arkeologi (SDA) atau Archaeological Resources (AR) khususnya.

Berbicara masalah Sumberdaya Arkeologi (SDA), dapat dikatakan bahwa Pulau Bali sangat kaya dengan sumberdaya arkeologi (SDA), yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contohnya dapat kita lihat seperti pengelolaan situs Goa Gajah, situs Candi Tebing Gunung Kawi, Situs Pura Tirta Empul, di Kabupaten Gianyar, Situs Pura Taman Ayun, Situs Pura Sada, di Kabupaten Badung, dan situs arkeologi di Kabupaten lainnya di Bali. Di lain pihak masih banyak lagi situs arkeologi di Bali yang belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Salah satu wilayah yang kaya dengan sumberdaya arkeologi

Page 48: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

133

I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

berbagai pihak/lembaga yang berkompeten, sehingga sumberdaya arkeologi yang ada belum mendapatkan perhatian dan pengelolaan yang semestinya.

1.3 Tujuan Berdasarkan latar belakang dan masalah

sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat kiranya dinyatakan bahwa tujuan penelitian ini adalah:a. Menampilkan atau mengedepankan seluruh

tinggalan - tinggalan arkeologi yang dapat dikata gorikan sebagai sumberdaya arkeologi (SDA), agar dapat diketahui, dimengerti dan dipahami fungsi dan manfaatnya bagi pembangunan secara menyeluruh.

b. Dengan dipublikasikannya sumberdaya arkeologi yang ada di kawasan Danau Beratan, diharapkan agar semua pihak (Pemerintah Daerah, masyarakat, para pelaku pariwisata, budayawan dan lainnya) segera melakukan langkah-langkah yang tepat, sesuai dengan kaidah-kaidah managemen sumberdaya arkeologi.

c. Sumberdaya arkeologi yang ada di kawasan tersebut, segera dapat dikelola dan dimanfaatkan sebagai objek wisata yang dapat disinergikan dengan berbagai potensi wisata yang sudah ada, sehingga atraksi wisata semakin beragam dan dapat menarik wisatawan lebih banyak lagi.

1.4 Metode 1.4.1 Lokasi

Seperti telah dijelaskan bahwa tinggalan arkeologi atau sumberdaya arkeologi yang akan dibicarakan pada tulisan ini, adalah semua peninggalan arkeologi yang ada di sekitar Danau Beratan, yang secara administratif terletak di Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Secara geografi s Danau Beratan berada pada ketinggian 1272 meter di atas permukaan laut, dan terletak pada Lintang Selatan 08o 16´ 15. 0´´ dan 115o 09´ 39. 4´´ Bujur Timur. Danau Beratan adalah sebuah danau yang berasal dari kaldera Gunung

dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata dapat dijadikan sebagai sumberdaya (resourches), artinya tinggalan arkeologi dapat dikatagorikan sebagai Sumberdaya Arkeologi, yang melalui serangkaian proses penelitian, pelestarian, pengelolaan dan pemanfaatannya dapat dijadikan sebagai modal pembangunan bagi suatu bangsa pada umumnya atau pembangunan suatu daerah khususnya.

c. Sumberdaya arkeologi (SDA) merupakan tinggalan budaya yang memiliki keunikan dan kekhususan, sehingga menjadi salah satu daya tarik pariwisata, sehingga dewasa ini mulai dikembangkan apa yang disebut dengan wisata arkeologi.

Atas dasar uraian tersebut di atas, maka perlu kiranya ditampilkan sumberdaya arkeologi (SDA) yang ada di sekitar Danau Beratan, agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata, yang disinergikan dengan berbagai daya tarik wisata yang sudah ada, supaya kegiatan pariwisata di wilayah ini semakin berkembang, sehingga kesejahteraan masyarakatpun semakin meningkat.

1.2 Rumusan MasalahDalam hubungan dengan usaha untuk

pemanfaatan sumberdaya arkeologi (SDA) yang ada di sekitar Danau Beratan sebagai salah satu daya tarik periwisata di wilayah Kabupaten Tabanan, tentu saja kita akan dihadapkan dengan berbagai masalah, seperti:a. Keberadaan tinggalan arkeologi yang dapat

dikatagorikan sebagai sumberdaya arkeologi (SDA), belum banyak diketahui oleh pihak-pihak yang berkompeten, sehingga keberadaannya sampai saat ini terabaikan.

b. Masyarakat pada umumnya belum mengerti dan memahami eksistensi tinggalan arkeologi, sehingga mereka belum mengetahui fungsi dan manfaatnya, bagi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.

c. Managemen sumberdaya arkeologi (archaeological resources management), belum dipahami dan dimengerti oleh

Page 49: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

134

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

1.4.2 Pengumpulan DataSesuai dengan kaidah yang berlaku

dalam sebuah penulisan ilmiah yang akan membahas/mengkaji sesuatu masalah, haruslah didasarkan atas data yang berkaitan dengan masalah dimaksud. Kebenaran, keabsahan dan keakuratan data menjadi sangat penting, karena pembahasan semua berawal dari data tersebut. Oleh karena demikian, maka di dalam usaha untuk mendapatkan data biasanya diterapkan beberapa metode pengumpulan data. Dalam usaha untuk mendapatkan data yang benar, absah, dan akurat serta selengkap mungkin untuk mengungkapkan keberadaan tinggalan arkeologi/sumberdaya arkeologi yang ada di kawasan Danau Beratan ini, telah diterapkan metode pengumpulan data seperti:a. Studi kepustakaan (library research)

adalah sebuah metode pengumpulan data dengan jalan melakukan penelitian terhadap pustaka atau buku-buku, yang memiliki hubungan (relationship) dengan pokok bahasan, sehingga didapatkan data-data yang diperlukan dan dilakukan dengan cermat, sehingga data yag diperoleh sudah melalui suatu tindakan seleksi.

b. Karena yang dibahas bertalian dengan keberadaan sumberdaya arkeologi, maka survey arkeologi atau observasi arkeologi diterapkan pula dalam kesempatan ini, untuk mendapatkan data yang bersifat primer dan akurat, dengan jalan melaksanakan observasi terhadap benda-benda/objek penelitian secara langsung. Dalam kegiatan survey/observasi arkeologi ini dilakukan berbagai kegiatan, seperti: pencatatan secara detail terhadap objek penelitian yaitu tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada di kawasan Danau Beratan, pembuatan dokumentasi berupa foto, gambar dan peta, dan pengamatan lingkungan tempat objek berada.

c. Metode ekskavasi arkeologi yaitu berusaha mendapatkan benda-benda arkeologis dengan jalan mengadakan ekskavasi/penggalian pada lokasi-lokasi tertentu yang

Beratan Purba, yang meletus jutaan tahun silam, sehingga kawahnya menjadi kaldera dan akhirnya menjadi danau Beratan seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini. Meletusnya sebuah gunung berapi adalah sebuah bencana atau petaka bagi masyarakat yang bermukim di dekatnya. Akan tetapi beberapa puluh tahun setelah peristiwa letusan tersebut, lokasi sekitarnya yang semula tandus akibat letusan akan berubah menjadi kawasan yang sangat subur, sehingga akan menjadi lokasi pemukiman yang sangat ideal, karena lingkunganya yang sangat subur dapat memberikan berbagai kemudahan bagi kelangsungan hidup manusia. Hal ini dapat kita saksikan dewasa ini, di mana kawasan ini memiliki beberapa objek wisata yang sangat menarik, seperti kawasan wisata Bedugul dengan danau Beratan yang memiliki pemandangan indah dengan Pura Ulun Danu, dan atraksi-atraksi wisata tirtanya (speedboat, perahu, paralayang, sepeda air, dan lainnya) Kawasan hutan yang lestari berupa adanya kawasan Kebun Raya (Eka Karya) yang memiliki koleksi berbagai jenis pohon dan pertamanan yang sangat indah dan lingkungan yang segar dan nyaman. Selain itu kawasan ini juga sangat kaya dengan tinggalan-tinggalan arkeologi (sumberdaya arkeologi) yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai penunjang kegiatan pariwisata di kawasan tersebut.

Page 50: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

135

I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

c. Analisis himpunan yaitu suatu analisis terhadap keseluruhan benda-benda temuan dalam satu situs, sehingga akan dapat diketahui berbagai aktivitas manusia yang pernah terjadi di tempat itu pada masa yang lampau, dan dapat pula digambarkan korelasi antarbenda yang ada di situs tersebut.

d. Analisis yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas sumberdaya arkeologi yang terdapat pada sebuah situs, dikaitkan dengan kemungkinan untuk dikembangkan sebagai sebuah daya tarik pariwisata.

e. Juga dilaksanakan studi komparatif, baik yang bertalian dengan arkeologi maupun pengembangan pariwisata.

f. Analisis lingkungan juga dilaksanakan, dengan tujuan agar dapat diketahui dengan tepat lokasi situs satu dengan lainnya, dihubungkan dengan lokasi wisata yang sudah ada di sekitar Danau Beratan, sehingga pada akhirnya akan dapat direncanakan pembuatan jalur wisata yang terintegrasi dari semua potensi yang ada.

II. Sumberdaya Arkeologi di Sekitar Danau Beratan

2.1 Arkeologi dan Sumberdaya ArkeologiArkeologi adalah ilmu yang mempelajari

manusia dan kebudayaannya pada masa lampau, dengan jalan meneliti/mengkaji benda-benda budaya yang ditinggalkannya, yang dapat kita temukan dewasa ini, sehingga tujuan arkeologi pada awalnya adalah:a. Untuk mengetahui sejarah kebudayaan

manusia masa lampau.b. Mempelajari cara-cara hidup manusia masa

lampau. c. Menelusuri perubahan-perubahan budaya

yang pernah terjadi.Berdasarkan tujuan arkeologi tersebut,

berarti fokusnya adalah rekonstruksi Sejarah Kebudayaan masa lalu, sehingga dikatakan, bahwa seorang arkeolog bukan semata-mata menggali benda-benda peninggalan manusia masa lampau, tetapi menggali manusia dan kehidupan masyarakat masa lampau. The

memiliki temuan-temuan permukaan tanah (surface fi nds), yang menjadi indikator kuat bahwa di dalam tanah ada benda-benda arkeologis. Dengan metode ekskavasi ini akan dapat diperoleh data yang insitu, dengan berbagai konteks antarbenda yang masih asli posisinya.

d. Untuk mendapatkan informasi lainnya, juga dilaksanakan wawancara tanpa struktur, terhadap beberapa warga masyarakat yang dianggap mengetahui hal ikhwal yang bertalian dengan peristiwa dan benda-benda arkeologis yang dijadikan objek penelitian.

1.4.3 Analisis DataDalam kegiatan analisis terhadap

data yang telah diperoleh melalui metode pengumpulan data, maka yang pertama kali dilaksanakan adalah mengadakan seleksi/recheck terhadap semua data dan informasi yang diperoleh, dengan harapan akan dapat diperoleh data yang akurat dan dapat dipercaya. Selanjutnya data dan informasi tersebut dipilah-pilah sesuai dengan bentuk, bahan, dan jenisnya untuk selanjutnya dianalisis. Dalam kegiatan analisis ini, dilaksanakan analisis arkeologis, analisis wisata arkeologi, analisis sumberdaya arkeologi, dan lingkungan. Beberapa teknik analisis yang diterapkan adalah: a. Analisis individu yaitu sebuah kegiatan

analisis terhadap masing-masing benda temuan, berkaitan dengan bentuk, bahan, fungsi, dan aspek teknologi yang didasari atas keyakinan bahwa sebuah benda dibuat tentu memiliki landasan dasar ideologi dibuat berdasarkan ketersediaan bahan dasar dan dapat dibuat karena sudah dimilikinya teknologi.

b. Analisis subhimpunan yaitu suatu analisis yang dilakukan terhadap benda-benda temuan yang memiliki persamaan bentuk ataupun bahannya, sehingga dapat diketahui ada atau tidaknya hubungan di antara benda-benda tersebut, dan keberadaannya di tempat yang sama.

Page 51: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

136

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

menciptakannya. Himpunan artefak dipandang sebagai wujud ciri budaya yang terakumulasi dari suatu sistem masyarakat (Deetz, 1967). Data arkeologi memiliki makna lebih luas lagi, arkeologi meliputi suatu konteks, lapisan tanah, sebaran benda arkeologi, baik dalam satu situs maupun antarsitus dalam satu ruang (Sharer dan Ashmore, 1979). Tinggalan arkeologi yang semula hanya menjadi objek penelitian semata, ternyata dewasa ini telah mengalami berbagai perkembangan dalam fungsi dan manfaatnya, sehingga penanganan tinggalan arkeologipun mengalami berbagai perubahan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Paradigma yang berkembang dewasa ini mengatakan bahwa tinggalan-tinggalan budaya masa lampau memiliki berbagai nilai dan makna, antara lain ialah: nilai dan makna informasi/ilmu pengetahuan, ekonomi, estetika, dan asosiasi/simbolik (Cleere, 1984.). Hal ini memberikan makna bahwa tinggalan arkeologi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tinggalan budaya, menyebabkan keberadaan tinggalan arkeologi pada akhirnya dipersamakan dengan sebuah Sumberdaya, sehingga sekarang ini muncullah istilah sumberdaya budaya serta Sumberdaya arkeologi. Kata ”sumberdaya” itu sendiri dibuat sebagai padanan kata ”resource” dalam bahasa Inggris, dan ini dibedakan dari kata ”source” yang berarti ”sumber”. Sumberdaya dalam hal ini berarti ”sesuatu yang tersedia”, yang apabila diperlukan dapat digunakan sebagai sumber untuk mengambil sesuatu, atau, sebagai modal untuk membuat sesuatu kata ”resource” juga berarti ”kemampuan untuk menghadapi suatu situasi dengan efektif”. Dengan demikian maka ”cultural resource” atau ”sumberdaya budaya” adalah segala sesuatu, atau penjumlahan dari sesuatu, yang merupakan khasanah bermakna bagi segala macam upaya berkaitan dengan kebudayaan, baik dalam pengembangannya, perlindungannya, pemanfaatannya, maupun pengkajiannya (Edy Sedyawati, 2002). sumberdaya budaya ada yang bersifat tangible (berupa benda konkret, dapat disebut juga wadag) maupun yang intanggible (tidak berupa

archaeological excavation is not digging up things, he is digging up people, demikian dijelaskan oleh Piggot, 1959. Menggali manusia dan kehidupan manusia masa lampau memiliki makna betapa luasnya ruang lingkup kajian arkeologi tersebut, sehingga arkeolog tidak akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, tanpa bantuan disiplin ilmu lainnya. Meminjam istilah Prof. DR. Mundardjito, arkeolog adalah seorang intelijen masa lalu yang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua benda-benda arkeologis agar mereka mau berbicara tentang peran, fungsi, manfaatnya pada masa lalu. Pada awalnya data arkeologi terdiri atas artefak, ekofak, dan fi tur (Mundardjito, 1983). Akan tetapi selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, cakupan data arkeologi semakin bertambah, yaitu meliputi artefak, fi tur, dan ekofak, tetapi sifat data pada akhirnya berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, sehingga serbuk sari (pollen) dan pengindraan jarak jauh juga merupakan data arkeologi (Tanudirdjo,1993).

Secara umum tinggalan arkeologi lebih dikenal dengan istilah artefak. Setiap artefak setidak-tidaknya memiliki 3 (tiga) unsur yaitu:a. Teknofak yaitu satu kelompok artefak

yang memiliki konteks fungsional primer terhadap pola-pola penyesuaian manusia dengan lingkungan alam.

b. Sosiofak yaitu kelompok artefak yang secara langsung berhubungan langsung dengan sistem sosial yang berlaku pada masyarakat tertentu.

c. Ideofak yaitu kelompok artefak yang dibuat berbasis sistem ideologi dan agama suatu masyarakat (Binford,1972).

Benda-benda arkeologi yang dikenal sebagai artefak sama halnya seperti juga kata-kata dalam bahasa, adalah produk dari kegiatan motorik (gerak) manusia yang terbentuk dari tindakan otot-otot di bawah tuntutan kejiwaan. Bentuk akhir dari artefak adalah kombinasi material yang khas, menghasilkan benda yang memiliki fungsi khusus dalam kebudayaan yang

Page 52: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

137

I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

berupa benda konkret, yang memiliki nilai-nilai arkeologis, yang apabila diperlukan dapat dipergunakan untuk mendapatkan/mencapai berbagai tujuan yang lebih luas (seperti peningkatan/pemahaman ideologi, akademi, ekonomi dan lainnya). Warisan budaya atau peninggalan arkeologi disebut sebagai sumberdaya, karena objek-objek arkeologi tersebut merupakan salah satu modal pokok dalam pembangunan, bersama-sama dengan sumberdaya lainnya, seperti sumberdaya alam dan sumberdaya binaan (Kusumohartono, 1988). Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, tentang Benda Cagar Budaya (BCB), disebutkan bahwa peninggalan arkeologi adalah benda cagar budaya. Berdasarkan undang-undang tersebut ditegaskan bahwa, benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah dan ilmu pengetahuan (Depdikbud, 2010).

Dengan difi nisi sumberdaya budaya seperti tersebut di atas, maka tinggalan arkeologi dapat dikategorikan sebagai sumberdaya arkeologi, dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas. Namun demikian perlu dipahami bahwa keberadaan sebuah sumberdaya arkeologi di suatu tempat/daerah juga merupakan milik masyarakat di sekitarnya, oleh karena itu masyarakat lokal memiliki hak azasi untuk menginterpretasikan, memelihara, dan mengelola sumberdaya arkeologi yang mereka miliki (Ascherson, 2000).

2.2 Sumberdaya Arkeologi di Sekitar Danau BeratanSetelah diuraikan sekilas tentang

pengertian, tujuan, dan objek penelitian arkeologi serta pengertian sumber daya arkeologi, maka pertanyaan selanjutnya adalah adakah sumberdaya arkeologi di sekitar Danau Beratan ? Jawabannya adalah ada dan jumlahnya cukup banyak. Jika kita berpedoman kepada pengertian yang telah diuraikan di

benda konkret, dapat disebut juga tanwadag). Dengan demikian dapat dipastikan bahwa sumberdaya arkeologi adalah sesuatu yang sudah ada tangible/wadag atau memiliki wujud/fi sik dan dapat dipergunakan untuk kepentingan pembangunan bangsa. Ada pula pendapat yang mengatakan Sumberdaya budaya didifi nisikan sebagai gejala fi sik baik alamiah maupun buatan manusia yang memiliki nilai penting bagi sejarah, arsitektur, arkeologi dan perkembangan budaya yang diwariskan hingga saat ini, merupakan sumberdaya yang bersifat unik dan tidak terperbaharui (nonrenewable), (Cleere, 1989). Apabila kita simak dengan seksama uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa parameter sebuah sumberdaya budaya adalah sebagai berikut:a. Memiliki nilai sejarah, baik lokal, regional

maupun internasional.b. Mengandung nilai-nilai kepurbakalaan

(arkeologi).c. Memiliki hubungan/keterkaitan dengan

perkembangan kebudayaan manusia.d. Memiliki sesuatu yang unik dan khusus.e. Tidak mungkin untuk diperbaharui.

Di samping parameter tersebut di atas, sumberdaya arkeologi (SDA) juga memiliki sifat seperti:a. Jumlah dan keberadaannya sangat terbatas.b. Tidak terperbaharui.c. Memiliki sesuatu yang unik dan khas.d. Sulit dideteksi keberadaannya.

Dalam hubungannya dengan arkeologi, maka yang dimaksud dengan sumberdaya arkeologi, adalah segala warisan budaya yang

Foto no. 1. Pemandangan Pura Ulun Danu Beratan , Bedugul, Bali.

Page 53: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

138

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

dan diekskavasi arkeologi pada tahun 2009. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diduga kuat pada masa lalu di lokasi tersebut pernah berdiri sebuah bangunan candi. Asumsi didasarkan atas hasil ekskavasi arkeologi, yaitu tinggalan-tinggalan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan candi, yang diduga dahulunya berupa bangunan candi dengan konstruksi susunan batu (Suantika, 2011). Berdasarkan bahan-bahan yang dipergunakan, maka bangunan candi dapat digolongkan menjadi dua susunan bangunan yaitu:a. Bangunan konstruksi susunan batu ialah

bangunan yang mempunyai konstruksi utama dinding penahan beban (bearing wall) yang menahan bagian atap atau kepalanya yang disusun di atas suatu pondasi dengan bahan yang sama yakni batu alam.

b. Bangunan konstruksi susunan kayu ialah bangunan yang konstruksi utamanya adalah rangka yang menyangga bagian atap yang bahanya dari kayu (Atmadi, 1979).

Dugaan bahwa dahulunya dilokasi ini pernah berdiri sebuah candi dengan kontruksi susunan batu, didasarkan atas adanya temuan-temuan arkeologi berupa: dua buah arca Singa, arca Nandi, dua buah arca dvarapala (penjaga), batu perbingkaian candi (bingkai sisi genta, bingkai setengah bulatan, bingkai mistar, bingkai mistar simetris), batu hiasan sudut (antefi x), batu hiasan candi, batu dengan relief, kepala kala (foto no. 2),

kemuncak candi, puncak candi, struktur dasar bangunan candi (batuan candi) dalam jumlah yang sangat banyak. Jenis-jenis temuan

atas berkaitan dengan dengan sumberdaya arkeologi, tentunya harus dikaitkan dengan keberadaan situs arkeologi dan tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada di sekitar Danau Beratan, yang telah diteliti secara arkeologis.

Dari hasil-hasil penelitian arkeologi yang telah dilaksanakan di sekitar kawasan Danau Beratan, dapat diketahui, bahwa banyak sekali tinggalan arkeologis yang tersebar diberbagai tempat dengan kondisi yang berbeda-beda. Ada yang merupakan temuan berdiri sendiri, ada pula yang berupa situs dengan jumlah temuan yang cukup besar. Salah satu temuan arkeologis yang sangat penting adalah arca dan fragmen arca dari perunggu berupa fragmen seekor lembu (Nandi) dan dua buah fragmen arca perwujudan seorang dewi dengan tangan empat buah, menurut gayanya diduga berasal dari abad 12-13 masehi, di dekat Danau Beratan Desa Candi Kuning, yang kini tersimpan di Museum Bali di Denpasar (Widia, 1979). Dengan kondisi temuan yang bervariasi, maka tidak semuanya dapat dikatagorikan sebagai sebuah sumberdaya arkeologi. Hal ini tentunya terkait dengan parameter atau ketentuan yang dipersyaratkan bagi sebuah tinggalan arkeologi agar dapat dijadikan sebagai sumberdaya arkeologi. Perlu pula diketahui bahwa pada umumnya tinggalan arkeologi yang ditemukan dewasa ini sudah dalam keadaan yang tidak utuh, fragmentaris, ada yang berupa artefak berdiri sendiri, ada yang berupa bangunan, dan ada pula yang berupa situs, juga sudah jauh dari konteks tempat dan waktu, serta ada pula yang sudah mengalami perubahan fungsi. Mengacu kepada defi nisi, parameter dan sifat sumberdaya arkeologi tersebut, maka tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada di sekitar Danau Beratan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumberdaya arkeologi, cukup potensial adalah sebagai berikut

2.2.1 Situs Arkeologi Pura Candi MasSitus arkeologi Pura Candi Mas ini

terletak di Dusun Candi Kuning, Desa Candi Kuning. Tepatnya berada pada sebuah dataran yang lebih tinggi dari Danau Beratan, yang berjarak sekitar 500 meter di sebelah barat Danau Beratan. Situs Pura Candi Mas ini sudah disurvei (ikonografi ) pada tahun 1986,

Foto no. 2. Kepala Kala di Pura Candi Mas

Page 54: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

139

I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

Berdasarkan kualitas dan kuantitas tinggalan arkeologis yang ada, situs Pura Candi Mas ini dapat kiranya dikategorikan sebagai sumberdaya arkeologi (SDA). Dari hasil-hasil penelitian arkeologi yang telah dilaksanakan, diperkirakan bangunan candi yang dahulu pernah ada di lokasi tersebut, secara arkeologis dapat di rekonstruksi kembali. Jika rekonstruksi atau pemugaran candi ini dapat dilaksanakan, maka akan menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat bagi berbagai kepentingan, baik itu yang berkaitan dengan manfaat ideologi, akademi maupun ekonomi.

2.2.2 Situs Pura Batu MeringgitPura Batu Meringgit secara lokasional

terletak dalam kawasan kebun raya Eka Karya, yang secara administratif berada di wilayah Dusun Batu Sesa, Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti. Kawasan ini termasuk pula dalam kawasan sekitar Danau Beratan, dan kawasan kebun raya Eka karya ini juga merupakan objek wisata alam. Pura Batu Meringgit ini, menurut cerita masyarakat

tersebut adalah komponen yang memang harus ada dalam sebuah struktur bangunan candi. Candi adalah semua bangunan peninggalan kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia, baik berupa permandian maupun bangunan suci keagamaan (Ayatrohaedi, 1978). Lebih jauh dikatakan bahwa fungsi candi adalah sebagai bangunan suci untuk palinggih raja yang telah meninggal dan telah disucikan serta telah kembali ke Brahmaloka dan bukan kuburan (Mantra, 1963). Pendapat ini dikuatkan lagi berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi atas candi-candi di Pulau Jawa yang menyimpulkan bahwa candi adalah sebuah bangunan suci tempat pemujaan roh nenek moyang yang telah disucikan (Soekmono, 1974). Pendirian sebuah candi sebagai tempat suci pemujaan roh nenek moyang yang telah disucikan sering pula digambarkan/dibuatkan perlambang atau arca dari tokoh yang telah meninggal dan disucikan, berupa Lingga-Yoni atau arca Dewa (foto no. 3).

Hal ini tersurat dalam kitab Negara Kertagama, pupuh XLIII, pada 5 baris 4, yang menyebutkan di candi beliau tertegak arca Çiwa-Budha terlampau indah permai (Slametmulyana, 1953). Candi juga dipersamakan dengan beberapa istilah lainnya yaitu dharma sebagaimana disebutkan dalam kitab Pararaton dan Negarakrtagama. Seperti dalam kitab Pararaton disebutkan :

Rilinanira Sang Amurwabhumi............sira Dhinarmeng Kagenengan (Setelah Beliau Raja Amurwabhumi meninggal..........Beliau di Didharmakan di Candi Kagenengan).Lina sang Anusapati..............Dhinarma sira ring Kidal (Setelah raja Anusapati meninggal........Beliau di Dharmakan di Candi Kidal)(Soekmono,1974).

Foto no. 3. Lingga Yoni di Pura Candi Mas

ditemukan sekitar tahun 1940, pada saat diadakan kegiatan penanaman p o h o n - p o h o n pilihan, sebagai awal daerah tersebut menjadi kawasan Kebun Raya. Mengenai nama Pura Batu Meringgit adalah berasal dari kata batu dan meringgit, kata batu dihubungkan dengan bangunan-bangunan

Foto no. 4. Arca Perwujudan Dewa di Pura

Batu Meringgit

yang terdapat di dalam pura ini yang dibuat dari batu yang disusun sedemikian rupa berbentuk bebaturan, sedangkan meringgit berasal dari kata ringgit artinya bergerigi, dan membuat bentuk-bentuk ini dengan cara mengukir. Ini dikaitkan dengan beberapa peninggalan yang ada di pura ini, berupa arca-arca yang bentuknya bergerigi, yang dibuat dengan cara mengukir atau memahat seperti membuat wayang kulit.

Page 55: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

140

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

dan sebuah batu yang yang diperkirakan sebagai sebuah kemuncak bangunan. (Widia, 1980).

Bangunan-bangunan bebaturan ini, diperkirakan merupakan kelanjutan dari tradisi megalitik, karena di Pulau Bali banyak sekali pura (tempat suci) yang memiliki bangunan bebaturan dan masih difungsikan oleh masyarakat. Pelinggih yang berupa Bebaturan ini sampai kini masih dipelihara dan dihormati oleh orang Bali. Penghormatan ini adalah merupakan tradisi masa dari jaman prasejarah di Indonesia, sebagai penghormatan kepada para leluhur (Goris dan Dronker, 1954). Dilihat dari kualitas dan kuantitasnya, tinggalan arkeologi di Pura Batu Meringgit ini, dapat dikatakan sebagai sumberdaya arkeologi, yang memiliki potensi untuk dijadikan modal pembangunan yang lebih luas.

2.2.3 Situs Pura Merta SariPura Merta Sari yang terletak diarea lahan

perkebunan yang berada di dataran tinggi, sehingga dari lokasi ini dapat melihat Danau Beratan dengan bebas. Secara administratif berada di Dusun Kembang Merta, Desa Candi Kuning. Pura Merta Sari ini, merupakan salah satu pura yang memiliki tinggalan-tinggalan arkeologi yang berupa arca-arca

Jadi Pura Batu Meringgit ialah pura yang bangunannya terdiri atas batu, dan di antaranya batu meringgit memiliki makna batu bergerigi.

Beberapa tinggalan arkeologi yang terdapat di Pura Batu Meringgit ini adalah :a. Bangunan bebaturan (susunan batu) yang

berbentuk bangunan yang bervariasi. Batuan yang dipergunakan pada bangunan bebaturan ini adalah lempengan-lempengan batu (slabs stones) dengan ukuran yang bervariasi dan bentuk yang beragam, sehingga merupakan susunan batu alam, yang mungkin tidak mendapatkan pengerjaan. Dengan demikian secara teknis dapat dikatakan bahwa struktur bebaturan ini dibuat dengan susunan batu yang tidak beraturan. Jumlah bangunan bebaturan yang terdapat di pura ini sebanyak 17 buah dengan ukuran yang bervariasi.

b. Selain berupa bangunan bebaturan, terdapat juga beberapa arca yang terbuat dari padas, baik dalam keadaan utuh maupun berupa fragmen arca. Arca tersebut hampir keseluruhannya merupakan arca-arca perwujudan, baik arca perwujudan yang digambarkan dengan dua buah tangan dan arca perwujudan Dewa yang digambarkan

dengan empat buah tangan. Serta ada yang berwujud wanita atau Dewi dan ada wujud laki-laki atau Dewa (foto no. 4). Arca-arca ini dibuat dalam sikap berdiri samabangga (foto no. 5), dan juga dalam sikap duduk bersila di atas lapik. Arca-arca dibuat

Foto no. 5. arca Perwujudan Dewa di Pura Batu Meringgit

dengan mengenakan berbagai hiasan yang umum terdapat pada sebuah arca. Secara keseluruhan di pura ini ditemukan 3 buah arca yang utuh dan 4 buah fragmen arca yang tidak dapat di identifi kasi.

c. Temuan lainnya adalah berupa tempat air suci yang terbuat dari batu yang berbentuk silindris dengan lubang di bagian tengah,

perwujudan Dewa dan Dewi, (foto no. 6) dalam keadaaan cukup baik dan dapat di identifi kasi. (Suantika, 1986). Arca-arca tersebut tersimpan dengan baik, dan berdasarkan informasi yang diterima dari tokoh masyarakat setempat, dapat diketahui bahwa pada masa pemerintah Hindia

Foto no. 6. Arca Perwujudan Dewa Wisnu

di Pura Merta Sari.Belanda, arca-arca ini pernah dibawa ke Denpasar dan disimpan di Museum Bali, sehingga sampai sekarang nomor inventaris museum masih terlihat. Arca-arca tersebut, antara lain : arca Perwujudan Dewi Parvati (Bhatari), arca HariHara, arca Perwujudan Bhatara, arca perwujudan Dewi Laksmi serta dua buah Makara Jaladvara. Dengan

Page 56: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

141

I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

candi. Kondisi miniatur candi secara umum masih dalam keadaan yang cukup baik, karena bagian-bagiannya masih dapat dikenali atau dapat diidentifi kasi, meskipun pada beberapa bagian sudah mengalami keausan atau mengalami pecah. Miniatur candi ini dibuat dari batuan tufa breksi, sehingga terlihat permukaan agak kasar, karena batuannya memiliki unsur batu krikil, dengan tekstur coklat kemerahan. Secara umum miniatur candi dapat dideskripsikan sebagai berikut: Tinggi keseluruhan : 70 cm; Panjang kaki : 40 cm; Lebar kaki : 34 cm. Miniatur candi adalah bentuk mini dari sebuah bangunan candi. Bangunan candi biasanya dibagi menjadi tiga bagian yakni : kaki candi, tubuh/badan candi, dan atap candi, baik itu merupakan sebuah konstruksi susunan batu maupun konstruksi susunan kayu, pembagian ini juga berlaku terhadap miniatur candi, sehingga miniatur candi juga memiliki kaki candi, badan candi, dan atap candi, yang dapat diuraikan sebagai berikut: a. Bagian kaki/dasar miniatur candi berbentuk

segi empat panjang dengan ukuran panjang 40 cm; lebar 34 cm; dan tinggi 12 cm, memiliki perbingkaian berupa tiga susunan pelipit mistar dan dengan bagian kaki depan agak menjorok maju sehingga terlihat adanya penggambaran tangga masuk menuju bilik pintu. Hal ini memberikan gambaran bahwa bangunan candi yang digambarkan adalah candi yang memiliki

adanya tinggalan arkeologis berupa arca-arca Perwujudan Dewa/Dewi, dan dua buah Makara Jaladvara ini, memberikan indikasi yang sangat kuat bahwa pada masa lampau di sekitar lokasi Pura Merta Sari ini, pernah ada/berdiri sebuah bangunan keagamaan yang berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap roh suci seorang raja, dengan dua orang permaisurinya. Dalam sistem pengarcaan dalam pantheon Hindu dikenal adanya hirarki kedewaan, yang dapat dilihat dari ciri-ciri atau atribut yang dibawanya serta penggambaran sikap arca. Selain arca-arca Dewa, dikenal pula adanya arca perwujudan dan arca perwujudan Dewa.

Arca perwujudan dibuat dalam sikap berdiri samabangga, kaku, dan memiliki dua buah tangan, dibuat sebagai media pemujaan roh leluhur yang telah disucikan. Adapun arca perwujudan Dewa/Dewi digambarkan dengan arca yang bertangan empat, dengan dua tangan belakang memegang atribut kedewaan, sedangkan dua tangan depan dalam sikap yoga asana dengan memegang kuncup bunga padma (rozet) sebagai lambang pelepasan, dibuat sebagai media pemujaan untuk raja/ratu yang telah wafat dan telah disucikan. Hal ini erat kaitannya dengan adanya konsep Dewa Raja atau Raja Dewa, yang bermakna bahwa Raja adalah titisan dewa, sehingga dalam pemerintahannya diharapkan menerapkan sifat-sifat dewa-dewa tertentu. Arca HariHara (Wisnu Çiwa) yang ada di Pura Merta Sari mungkin penggambaran tokoh raja yang dalam masa pemerintahannya mengedepankan sifat-sifat yang dimiliki oleh Dewa Wisnu dan Çiwa.

Dengan demikian situs Pura Merta Sari dengan tinggalan-tinggalan arkeologinya, masih berpeluang untuk diteliti secara lebih sistematis dan intensif. Di samping ini juga dapat dijadikan sumberdaya arkeologi, yang bermanfaat untuk kepentingan yang lebih luas.

2.2.4 Situs Pura Beji, Bukit SangkurSitus Pura Beji terletak di daerah

perbukitan yang oleh masyarakat dikenal dengan nama Bukit Sangkur; Desa Candi Kuning. Di bukit ini terdapat juga Pura Bukit Sangkur, yang memiliki keterkaitan dengan Pura Beji, tempat ditemukannya sebuah miniatur candi (foto no. 7). Miniatur candi di Pura Beji ini, merupakan temuan

Foto no. 7. Miniatur Candi di Pura Beji,

Bukit Sangkur.

hasil survey arkeologi yang dilaksanakan oleh tim Balai Arkeologi pada tahun 2009 (Suantika, 2009). Saat pertama ditemukan terlihat berupa sebongkah batu yang seluruh permukaannya ditumbuhi lumut berwarna hijau, tetapi setelah lumutnya dibersihkan terlihatlah wujud aslinya yaitu berupa sebuah miniatur

Page 57: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

142

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

sisi depan sebagai relung utama. Arca Dewi Durga menempati relung sisi kanan candi. Dewa Ganesa menempati relung sisi belakang candi, arca Agastya/Mahaguru menempati relung sisi kiri candi.

c. Bagian atap/puncak miniatur candi ini utuhnya sangat mungkin terdiri atas tiga tingkatan, tetapi saat ini yang tersisa hanya dua tingkat saja, tingkat yang paling atas (puncak) sudah tidak ada lagi. Bagian atap ini juga memiliki susunan bingkai mistar pada semua tingkat. Kemudian terlihat adanya empat buah kemuncak pada setiap sisinya, yang berbentuk kerucut. Pahatan/relief tidak terlihat dengan jelas, tetapi terlihat adanya garis-garis vertikal pada dasar atap yang menampakkan bagian sudutnya (Suantika, 2009, 2011).

Dengan adanya tinggalan arkeologi yang berwujud miniatur candi, jelas merupakan suatu temuan yang sangat unik dan berkualitas, sehingga memiliki potensi daya tarik yang sangat luar biasa.

2.2.5. Tinggalan-tinggalan Arkeologi LainnyaTinggalan-tinggalan arkeologi lainnya

adalah, temuan-temuan arkeologi yang sifatnya lepas dan berdiri sendiri, yang mungkin kedudukannya sudah tidak insitu lagi, disebabkan oleh peristiwa yang terjadi di masa yang lalu, baik oleh aktivitas manusia maupun oleh karena peristiwa alam. Tinggalan-tinggalan arkeologi tersebut antara lain:

Arca, Relief Arca a. Peninggalan arkeologi yang berupa arca-

arca pemujaan, terdiri atas arca yang berdiri sendiri, seperti arca yang berwujud manusia dalam posisi duduk bersila dengan memegang sebuah benda bulat, yang belum dapat di identifi kasi dengan jelas apakah merupakan arca Dewa atau arca perwujudan atau lainnya. Ada pula relief arca yang dipahatkan pada sebuah batu berbentuk segi empat yang salah satu permukaannya memiliki relief berwujud

bilik pintu, sebelum memasuki bilik utama (main chamber). Untuk sementara bentuk perbingkaian yang terlihat pada kaki candi, hanya berupa pelipit mistar, dan tidak terlihat adanya hiasan. Perbingkaian kaki miniatur candi ini hanya berupa perbingkaian bagian bawah saja dan tidak terlihat adanya perbingkaian kaki candi bagian atas.

b. Bagian badan/tubuh miniatur candi, dapat dilihat adanya perbingkaian badan candi yang berupa pelipit mistar bagian bawah dan bagian atas sebanyak lima susun. Pada bagian depan terlihat adanya dua pilar bilik pintu yang juga berfungsi sebagai penyangga ambang pintu yang di atasnya terlihat relief kala yang sangat menyeramkan. Sedangkan di dalam relung bilik pintu ini terlihat dengan sangat jelas adanya relief/pahatan tokoh Dewa Ciwa Mahadewa, dalam posisi berdiri. Selanjutnya pada sisi kanan miniatur candi (searah jarum jam) kita juga akan melihat relung yang lebih kecil, dan di dalamnya terlihat relief yang diduga arca Dewi Durga (Durga Mahisasuramardini), dalam keadaan berdiri. Kemudian pada bagian/sisi belakang miniatur candi ini, juga terdapat relung yang diapit oleh dua pilar dan di dalam relungnya terdapat relief arca Ganesa dalam posisi duduk. Selanjutnya pada sisi sebelah kiri miniatur candi ini, juga terdapat sebuah relung yang diapit oleh dua pilar, di dalam relung terlihat adanya relief tokoh dalam keadaan berdiri. Bila diperhatikan dengan seksama maka dapat kita kenali bahwa relief tersebut adalah penggambaran tokoh Agastya/Bhatara Mahaguru. Seperti halnya relief yang lainnya, relief tokoh Mahaguru ini juga tidak terlihat dengan jelas atribut yang di bawanya. Dengan demikian, secara keseluruhan dapat kita ketahui dengan pasti bahwa pada bagian badan miniatur candi ini terdapat penggambaran empat tokoh arca yaitu: Arca Siwa Mahadewa menempati

Page 58: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

143

I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

Bhaga (lambang pemujaan Dewa Brahma), bagian tengah yang berbentuk segi delapan disebut dengan Wisnu Bhaga (lambang pemujaan Dewa Wisnu, dan bagian puncak yang berbentuk setengah bulatan disebut dengan Çiwa Bhaga (lambang pemujaan Dewa Çiwa). Dalam mitologi Hindu, dikenal adanya tiga dewa utama yang disebut Trimurti, yaitu Dewa Brahma dewa sebagai Dewa pencipta alam semesta dengan segala isinya, Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara alam beserta isinya dan Dewa Çiwa sebagai dewa pemusnah isi alam yang mesti dimusnahkan. Sehingga dalam dunia ini ada siklus kelahiran, kehidupan, dan kematian, di antara ketiga dewa tertinggi itu yang kemudian mendapat pemujaan luar biasa adalah Dewa Wisnu dan Çiwa, sebab kedua dewa inilah yang dianggap selalu berhubungan langsung dengan manusia (Soekmono, 1974). Adanya temuan-temuan arkeologis yang berupa simbul pemujaan (lingga), tentu merupakan suatu hal yang membanggakan karena adanya penambahan jumlah khazanah budaya, namun secara ilmiah merupakan tantangan untuk membuktikan dimanakah lokasi permukiman masyarakat yang mempergunakan lingga tersebut sebagai media pemujaan.

Alat-alat Pande Besic. Benda yang berupa bak air dari batu ini,

terletak di pekarangan rumah salah seorang anggota masyarakat Desa Candi Kuning, dan

sebuah permukaan batu alam yang cukup besar, sehingga tidak dapat dipindahkan. Keberadaan arca, dan relief ini membuktikan bahwa besar kemungkinannya masyarakat yang berdomisili di sekitar Danau Beratan telah memiliki kemahiran dalam bidang seni ukir, serta telah pula mengetahui peran

foto no. 9. Lingga kembar, Candi Kuning

dan manfaat arca dalam kehidupan mereka.

Linggab. Selain arca dan relief arca, juga

ditemukan beberapa buah lingga yang tersebar di sekitar danau Beratan. Lingga pada umumnya dibuat sebagai perlambang Dewa Çiwa, sebagai Dewa Utama dalam pantheon Hindu, namun juga sebagai lambang Dewa Brahma dan Dewa Wisnu (foto no. 9).

Foto no. 10. Bak air dari batu, Candi Kuning

masih dikeramatkan. Berdasarkan pengamatan bak air ini diduga sebagai salah satu sarana yang dipergunakan oleh masyarakat yang berprofesi

Foto no. 8. Relief arca Candi Kuning.

manusia yang posisinya berdiri seolah-olah sedang memanah, yang mengambil gaya seperti bentuk wayang, sebagaimana wujud relief pada Candi Penataran di Jawa Timur (Foto no 8). Juga telah ditemukan relief kepala gajah, yang dipahatkan pada

Hal ini dapat dilihat dari bentuk lingga yang lengkap, yang terdiri atas tiga bagian (Tri Bhaga), yaitu bagian paling bawah yang berbentuk segi empat disebut sebagai Brahma

Page 59: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

144

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

III. Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

3.1 Wisata ArkeologiDewasa ini dunia seolah terasa sangat

sempit dan sudah dianggap sebagai sebuah desa besar saja, karena untuk mengetahui peristiwa di suatu tempat di dunia ini, atau mau menuju kesuatu tempat didunia ini sangat cepat dapat dilaksanakan hanya dalam hitungan menit atau jam saja. Semua ini terjadi karena adanya kemajuan yang sangat pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, utamanya teknologi informasi dan telekomunikasi dan meningkatnya pendapatan masyarakat di negara-negara maju. Kehidupan manusia yang sudah berkecukupan memunculkan sifat manusia yang ingin tahu segala sesuatu yang ada di dalam maupun di luar lingkungan aslinya. Kebosanan terhadap rutinitas kehidupan di dalam lingkungan aslinya, melahirkan keinginan untuk mengetahui dunia luar atau dunia baru. Hal ini pada akhirnya melahirkan kegiatan pariwisata/pelancongan, dari tempat asal ke tempat lainnya, dari negara asal ke negara lainnya. Kegiatan pariwisata/pelancongan ini semakin hari semakin berkembang dan semakin ramai, pada akhirnya menjadi sebuah industri maha besar yang kini kita kenal sebagai industri pariwisata. Masyarakat negara-negara maju, yang secara umum kehidupannya sudah mapan dan mandiri, mulai melakukan kegiatan pariwisata secara besar-besaran menuju negara-negara yang sedang berkembang, dengan tujuan untuk mendapat suatu kesenangan/kegembiraan karena merasakan hidup dalam dunia baru. Negara-negara yang sedang berkembang ini pada umumnya memiliki berbagai bentuk sumberdaya yang menjadi daya tarik pariwisata. Sumberdaya tersebut berupa budaya, Sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Dalam menghadapi besarnya gelombang pariwisata/pelancongan ini, maka setiap negara tujuan wisata berusaha semaksimal mungkin mempersiapkan Objek Daerah Tujuan Wisata (ODTW), sebanyak mungkin. Kondisi ini menyebabkan munculnya berbagai jenis kegiatan wisata, seperti; wisata alam, wisata bahari, wisata pantai, wisata religi, agrowisata, wisata arkeologi dan wisata lainnya.

sebagai pande besi. Bak air ini dipergunakan sebagai tempat air untuk mendinginkan logam yang sudah dikerjakan. Hal ini dapat kita lihat sarana bak air ini masih dipergunakan oleh pande besi di Bali dan dikenal dengan Penyaeban. Bak air ini ada yang dibuat dengan bahan batu, kayu dan lainnya (foto no. 10). Dengan adanya tinggalan arkeologi ini, dapat diduga bahwa pada masa lampau di wilayah ini pernah ada masyarakat yang berprofesi sebagai pande besi. Dugaan bahwa pada masa lampau disekitar Danau Beratan pernah ada sekelompok masyarakat yang berprofesi sebagai pande besi, dapat pula dibandingkan dengan masyarakat masa lalu yang bermukim di sekitar Danau Tamblingan, yang juga ada berprofesi sebagai pande besi (Suantika, 1997). Dewasa ini bak air (penyaeban) ini, sering pula dibuat dari bahan kayu, dan merupakan sebuah sarana yang harus dimiliki oleh setiap orang yang berprofesi sebagai pande besi. Untuk mereka yang berprofesi sebagai pande besi, di Bali dikenal dengan sebutan keluarga pande, dan tempat mereka bekerja disebut dengan perapian (perapen).

Komponen Bangunand. Selain tinggalan-tinggalan arkeologi

seperti yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi benda-benda arkeologis lainnya yang ditemukan di sekitar Danau Beratan, seperti makarajaladvara yang merupakan sebuah bekas pancuran, sehingga patut diduga bahwa pada masa lampau diwilayah ini pernah ada bangunan percandian atau permandian yang memiliki pancuran, yang berbentuk makarajaladvara. Pancuran berwujud makarajaladvara ini banyak ditemukan di tempat-tempat lainnya di Bali dan juga di Pulau Jawa. Juga ditemukan batu-batu yang diduga sebagai umpak, sehingga kuat dugaan bahwa ada bangunan-bangunan yang mungkin merupakan bangunan keagamaan di sekitar Danau Beratan pada masa lampau.

Page 60: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

145

I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

3.2 Managemen Sumberdaya ArkeologiPada umumnya tinggalan-tinggalan

arkeologi ditemukan dalam keadaan yang sudah tidak utuh, sehingga diperlukan pengamatan yang sangat cermat dan secara sistematis. Oleh karena itu berbagai masalah akan dihadapi oleh arkeolog dalam mengkaji benda arkeologi, agar dapat menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan :a. Bagaimana melihat jejak masa lalu

berdasarkan benda yang ditinggalkan manusia.

b. Bagaimana menjembatani jarak antara masa sekarang dengan kehidupan sosial pada masa lalu.

c. Bagaimana kerusakan dan kehilangan jejak masa lalu dapat dijelaskan kembali (Shank and Tilley,1972).

Masalah yang terkait dengan tinggalan arkeologi itu sendiri, akan semakin bertambah, manakala tinggalan-tinggalan arkeologi yang memiliki potensi sebagai sumberdaya arkeologi akan dijadikan sebagai objek wisata arkeologi. Pemanfaatan sumberdaya arkeologi sebagai objek pariwisata, telah menimbulkan berbagai konfl ik kepentingan, antar berbagai pihak yang berkepentingan. Belajar dari berbagai peristiwa/konfl ik tersebut, maka untuk meminimalisir munculnya konfl ik, perlu kiranya diterapkan secara khusus apa yang dikenal dengan Managemen Sumberdaya Budaya atau yang sering disebut dengan istilah Cultural Resources Management (CRM), dan secara khusus harus diterapkan managemen sumberdaya arkeologi. Sejak sekitar tahun 1980 di Amerika Serikat mulai muncul Cultural Resource Management (CRM) atau dalam istilah Indonesia dikenal sebagai Managemen Sumberdaya Budaya yaitu upaya pengelolaan warisan budaya secara bijak dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan banyak pihak yang masing-masing seringkali memiliki kepentingan yang saling bertentangan. Dengan demikian CRM cenderung lebih menekankan pada upaya pencarian solusi terbaik dan terbijak agar kepentingan berbagai pihak tersebut dapat terakomodasi secara adil (Tanudirdjo, 1993).

Jika kita kaitkan dengan sumberdaya arkeologi yang ada di sekitar Danau Beratan, maka managemen sumberdaya arkeologi yang dimaksud, adalah tatacara yang bertalian dengan bagaimana kita mengelola, melestarikan, dan memanfaatkan semua warisan budaya tersebut, dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi konfl ik, baik yang bersifat vertikal maupun horisontal, atau tindakan kita mencari solusi agar semua pihak yang terlibat mendapatkan kepuasan. Berkaitan dengan kegiatan wisata arkeologi di Indonesia, dapat kita ketahui bahwa telah banyak sumberdaya arkeologi yang dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata di seluruh wilayah Nusantara. Sebagai contoh dapat kita lihat bagaimana sumberdaya arkeologi seperti Candi Borobudur, Candi Perambanan, Candi Sewu dan candi-candi lainnya yang ada di Jawa Tengah ditata sedemikian rupa, sehingga menjadi daya tarik wisata. Di daerah Jawa Timur, bekas keraton kerajaan Majapahit di daerah Trowulan, dengan berbagai peninggalan arkeologinya, seperti candi, kolam, permandian, dan lainnya dikelola sedemikian rupa sehingga menjadi daerah kunjungan wisata. Di daerah Bali yang kita cintai peninggalan arkeologi seperti Pura Tirtha Empul- Komplek Candi Tebing Gunung Kawi di Tampak Siring dan Goa Gajah, menjadi primadona pariwisata. Melihat antusiasme para wisatawan untuk mengunjungi tinggalan arkeologi, maka keberadaan sumberdaya arkeologi yang tersebar di sekitar Danau Beratan, Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti ini, sangat potensial untuk ditampilkan sebagai sebuah Objek Daerah Tujuan Wisata (ODTW), karena memiliki sesuatu yang khas dan unik. Namun demikian untuk mewujudkan semua itu diperlukan sebuah kerja keras dan perencanaan yang matang, sehingga dalam pengelolaannya nanti membawa berkah bagi semua pihak. Dewasa ini terlihat adanya trend baru, dimana para wisatawan tidak semata-mata datang menyaksikan peninggalan arkeologi yang sudah selesai diteliti dan dipugar, tetapi para wisatawan itu juga mulai tertarik kepada

Page 61: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

146

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

b. Sosialisasi/pemasyarakatan sumberdaya arkeologi perlu segera dilaksanakan agar masyarakat mengetahui dan memahami makna dan manfaat sumberdaya arkeologi tersebut, sehingga pada nantinya dapat berperan aktif sesuai dengan kemampuannya.

c. Penerapan manajemen sumberdaya budaya (cultural resources management) yang melibatkan semua pihak perlu segera diterapkan, sehingga sumberdaya arkeologi yang ada dapat dimanfaatkan dengan maksimal dan berkelanjutan.

4.2 Saran-saranUntuk merealisasikan agar sumberdaya

arkeologi tersebut dapat dijadikan atraksi wisata arkeologi, masih harus dilakukan berbagai hal dan juga harus dibuat suatu perencanaan yang bersifat menyeluruh dan sinergis untuk semua potensi yang ada. Oleh karena itu dalam kesempatan ini disampaikan beberapa saran, seperti:a. Perlu dilakukan penelitian arkeologi

secara intensif dan sitematis di kawasan Danau Beratan, karena diduga masih ada lagi potensi arkeologis yang terpendam di kawasan tersebut. Dugaan ini didasarkan pada keberadaan tinggalan-tinggalan arkeologis yang telah ditemukan di permukaan tanah, yang dapat dijadikan indikasi akan adanya tinggalan lainnya yang belum terungkap.

b. Secara bersama-sama, mulai saat ini kita semua (Pemerintah Pusat/Daerah, para ahli budaya, pelaku pariwisata, masyarakat dan komponen lainnya), mengadakan pengkajian secara lebih bijaksana, agar kawasan Danau Beratan dapat dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan.

c. Perencanaan yang bersifat multi aspek harus segera dibuat dan disepakati bersama, sehingga tidak akan terjadi monopoli egosektoral yang pada akhirnya berdampak negatif bagi kawasan tersebut.

d. Peranserta masyarakat harus mendapatkan tempat yang sesuai dan proporsional, sehingga berbagai konfl ik kepentingan dapat diminimalisasi,yang pada akhirnya dapat menumbuhkan rasa memiliki dan

kegiatan wisata penelitian arkeologi, di mana mereka dapat ikut serta secara aktif dalam kegiatan penelitian arkeologi.

3.3 Sosialisasi Wisata ArkeologiSebagaimana kita ketahui bersama,

sampai sekarang hal-hal yang berkaitan dengan pengertian, peran, dan fungsi arkeologi belum dimengerti secara baik dan benar oleh berbagai komponen masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu kegiatan sosialisasi atau pemasyarakatan arkeologi harus segera dilaksanakan. Jangankan oleh masyarakat pada umumnya, di kalangan aparat pemerintah sebagai penyelengara negarapun, banyak pula pejabat yang tidak tahu mengenai arkeologi. Dalam kondisi seperti ini tentu saja menyebabkan kita sangat sulit melakukan kerjasama dengan jajaran Pemerintah Daerah khususnya yang membidangi kebudayaan, karena sebagian besar dari mereka belum mengerti pentingnya arkeologi, sehingga dalam program kerjanya pemerintah daerah sering kali tidak melakukan kegiatan yang bersifat kearkeologian, sehingga seringkali kita melihat tinggalan-tinggalan arkeologi, tidak mendapatkan perlakuan yang semestinya, bahkan banyak di antaranya dirusak atau dimusnahkan karena kepentingan lainnya. Demikian pula apabila sebuah tinggalan arkeologi yang dikatagorikan sebagai sumberdaya arkeologi, sangat penting untuk segera disosialisasikan, dengan harapan agar semua pihak dapat memahami makna dan manfaatnya. Tinggalan-tinggalan arkeologi pada dasarnya adalah milik masyarakat, terutama sekali masyarakat yang berdomisili di sekitar tinggalan arkeologi tersebut.

IV. PENUTUP4.1 Kesimpulan

Dari seluruh uraian yang telah dipaparkan dalam tulisan ini, telah banyak hal yang dibicarakan dan dikaji, sehingga akhirnya dapat kiranya disimpulkan hal-hal sebagai berikut:a. Kawasan sekitar Danau beratan terbukti

memiliki banyak peninggalan arkeologi yang dapat dikategorikan sebagai sumberdaya arkeologi, sehingga sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai modal pembangunan.

Page 62: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

147

I Wayan Suantika Potensi Wisata Arkeologi di Kawasan Danau Beratan

and Prachee. Second edition . London : Routlidge.

Sharer, Robert.J and Ashmore,Wendy.1979. Fundamentals of Archaeology. California : The Benyamin.

Slametmulyana,1953. Negara Krtagama. Siliwangi NV. Jakarta.

Stuart Piggot,1959. Approach to Archaeology. London.

Suantika, Drs I Wayan. 1986. Peninggalan arkeologi di Pura Merta Sari, Candi Kuning, Bedugul, Bali. Proceding Pertemuan Ilmiah Arkeologi, (PIA) IV. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta.

-------------------------------. 1993. Kegiatan Buat Logam di Situs Arkeologi Tamblingan. Analisis hasil penelitian arkeologi. (AHPA) IV. Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

--------------------------------. 1997. Permukiman Kuna Di Tepian Danau-Danau di Bali. Forum Arkeologi. No. 1. Balai Arkeologi Denpasar.

--------------------------------. 2010. Laporan Penelitian Arkeologi situs Candi Mas;Desa Candi Kuning, Baturiti, Tabanan. Balai Arkeologi Denpasar.

--------------------------------. 2011. Sisa-sisa candi Hindu di Pura Candi Mas,Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Forum Arkeologi, No 2.Balai Arkeologi Denpasar.

Tanudirdjo, Daud Aris,1993. Retrospeksi Penelitian Arkeologi Indonesia.Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI. Jakarta.Puslitarkenas hal 67-96.

Soekmono.R. 1974. Candi Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi Universitas Indonesia. Jakarta.

Widia, wayan, 1979. Arca Perunggu Koleksi museum Bali. Denpasar.

Widia, Wayan, 1980. Peninggalan kepurbakalaan di Pura Batu Meringgit, Candi Kuning, Bedugul, Bali.

melestarikan semua potensi yang ada.e. Sesuai dengan tuntutan Undang-Undang

No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka Pemerintah Daerah kabupaten Tabanan, diharapkan dapat mengambil peran yang lebih aktif, dengan membuat perda tentang cagar budaya

DAFTAR PUSTAKAAnscherson, Neal. 2000. Editorial Public

Archaeology, Vol.1 No1: 1-4.Atmadi, Pramono. 1979. Beberapa patokan

perancangan bangunan candi. Pelita Borobudur, Seri C. Proyek Pemugaran Candi Borobudur.

Binford, Lewis, 1972. A Consideration of archaeology research design,an archaeological pperspective. New York.Seminar press.

Cleere,Henry. 1984. World Cultural Resources Management Problem and Perspective.Cambridge University Press.

Cleere, Henry. 1989 Archaeological Haritage Management in the Modern World. London,Unwi- Hyman.

Deetz,James. 1967. Invitation to Archaeology.New York: The Natural History Press.

Goris, R & Dronker.P.L.1938. Atlas Kebudayaan Bali. Diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Mantra, Prof. DR Ida Bagus,1963. Pidato Dies Natalis (Piodalan) I, Universitas Udayana. 29 September 1963. Kalawerta Denpasar.

Mundardjito,1983. Beberapa konsep penyebarluasan informasi kebudayaan masa lalu. dalam Analisis Kebudayaan. Hal 20-22 Depdikbud.Jakarta..

Rohaedi, Ayat. 1978. Kamus Istilah Arkeologi. Puslitarkenas.

Sedyawati, Edy. 2002. Pembagian Peranan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Budaya, Dalam Manfaat Sumberdaya Arkeologi Untuk Memperkokoh Integrasi Bangsa, Upada Satra. Denpasar.

Shanks, Michael and Tilly Christopher. 1972. Reconstructing Archaeology Theory

Page 63: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

148

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus2012 (147 - 158)

MELACAK JEJAK MANUSIA PURBA (HOMO ERECTUS) DI FLORES

TRACE ANCIENT HUMAN (HOMO ERECTUS) IN FLORES

JatmikoPusat Arkeologi Nasional

Email : [email protected] masuk : 27-4-2012Naskah setelah perbaikan : 29-5-2012Naskah disetujui untuk dimuat : 21-6-2012

AbstractStudy about “Homo erectus, It’s Culture and Environments” are a never ending topic and will always remain as a challenge for the archaeologists. The presence of Homo erectus and it’s cultures are importance assets for understanding the history of human settlements in Indonesia; since when; how the physical and cultural developed; until how far the distribution take place. “State of The Art” of this research showing that the remaining fossil of Homo erectus was concentrated in Java. While generally, only faunal and cultural remains were found outside Java.Indonesia (especially Java), is one of the country which have the most complete for Homo erectus remains in the world, and mostly (65%) are found in Sangiran site, Central Java. But how about outside Java? Is it true that Homo erectus was lived in Flores? This are the problems that researchers in Puslitbang Arkenas are trying to resolve or the past fi ve decades. Based on the evidence of the archaeological remains (artefacts and confects) that have been founded in Soa Basin (Middle Flores), predicted that prehistoric life in this area already begins long time ago, between Lower Pleistocene – beginning of Middle Pleistocene. From several stone tools associates with a stegodon fossil, Verhoeven suggested that artefacts made by Homo erectus around 750.000 years ago. The result of this present study confi rmed the Verhoeven hypothesis. Soa Basin is a archaeological site complex with abundant of artefacts and faunal fossils. Even the Homo erectus fossils not found yet, the assemblages of artefacts and faunal fossils (such as Stegodon, crocodile, komodo, land turtle, and a kind of giant rodent) were found in several sites around Soa Basin. These artefacts and faunal remains are already supported by absolute dating to sure the age of these assemblages. The existence of stone tools also support the evidences that Soa Basin area were occupied by Homo erectus around Pleistocene period. Keywords: Homo erectus – Soa Basin – Flores – Palaeolithic - Pleistocene

AbstrakKajian tentang tema’Manusia Purba, Budaya dan Lingkungannya” merupakan topik yang tidak pernah usang dan selalu menjadi tantangan bagi para peneliti. Hadirnya manusia purba dan budayanya merupakan aset penting bagi pemahaman sejarah hunian di Nusantara; sejak kapan kehadirannya, bagaimana perkembangan fi sik dan budayanya, serta sampai sejauhmana persebarannya. Dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa tinggalan fosil manusia purba lebih terkonsentrasi di Jawa, sedangkan di luar Jawa umumnya hanya ditemukan sisa-sisa fauna dan budayanya Kawasan Nusantara (terutama di Jawa) merupakan salah satu negara yang memiliki tinggalan manusia purba paling lengkap di dunia. Dari berbagai temuan fosil-fosil manusia purba di seluruh dunia, hampir 65 % nya ditemukan di Indonesia (terutama dari Situs Sangiran). Lalu bagaimana dengan di luar Jawa, apakah benar manusia purba (Homo erectus) pernah hidup di Flores ? Permasalahan inilah yang akan

Page 64: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

149

Jatmiko Melacak Jejak Manusia Purba (HOMO ERECTUS) Di Flores

coba dipecahkan melalui hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbang Arkenas dalam dekade 5 (lima) tahun terakhir ini. Berdasarkan bukti-bukti temuan arkeologis (artefak dan ekofak) yang didapatkan dalam penelitian di Cekungan Soa (Flores Tengah), memprediksikan bahwa kehidupan purba di wilayah ini sudah berlangsung sejak lama, yaitu pada kurun waktu antara Pleistosen Bawah – awal Pleistosen Tengah. Dari beberapa temuan artefak batu yang berasosiasi dengan fosil Stegodon, Verhoeven menduga bahwa pembuat artefak ini adalah manusia purba Homo erectus yang berasal dari kurun waktu sekitar 750.000 tahun lalu. Hasil-hasil penelitian sejauh ini semakin mengkonfi rmasikan hipotesis Verhoeven tersebut. Wilayah Cekungan Soa merupakan kompleks situs purba yang kaya akan artefak dan fosil fauna. Walaupun belum menemukan sisa manusianya, namun penemuan himpunan artefak dan fosil-fosil fauna (antara lain Stegodon, buaya, komodo, kura-kura darat, dan sejenis tikus besar) di berbagai situs di Cekungan Soa sudah diperkuat dengan data pertanggalan absolut, sehingga dapat diketahui umurnya secara pasti. Keberadaan alat-alat batu tersebut semakin memperkuat bukti bahwa di wilayah Cekungan Soa pernah menjadi ajang aktivitas manusia purba (Homo erectus) pada kurun waktu yang sangat tua (Kala Pleistosen).Kata Kunci: Homo erectus – Cekungan Soa – Flores - Paleolitik - Pleistosen

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Kawasan Nusantara merupakan wilayah yang sangat penting dalam penelitian manusia purba, khususnya bagi pemahaman asal-usul, evolusi manusia, lingkungan dan budayanya. Keunikan dan panjangnya rentang waktu kehidupan Homo erectus yang berlangsung pada Kala Pleistosen telah membuat manusia purba di Indonesia mendapat tempat istimewa di antara temuan serupa di beberapa negara lainnya di dunia. Kekhususan lain manusia purba Indonesia adalah jumlah temuan yang sangat menonjol. Hingga saat ini penemuan manusia purba di Indonesia telah mencapai sekitar 50 individu dari taxon Homo erectus yang mencakup masa evolusi lebih dari 1 juta tahun. Jumlah ini mewakili sekitar 65 % dari seluruh fosil hominid yang ditemukan di Indonesia, dan mencakup sekitar 50% dari populasi Homo erectus di dunia (Widianto dkk, 1996). Penemuan fosil-fosil manusia purba tersebut terutama berasal dari Situs Sangiran (Jawa Tengah) dan situs-situs lainnya di Jawa; antara lain di Trinil, Ngawi, Kedungbrubus, Perning, Sambungmacan, Patiayam dan Ngandong, sedangkan untuk Homo sapiens tertua berasal dari Wajak (Tulungagung).

Dari berbagai aspek yang dimiliki terhadap temuan Homo erectus tersebut membuat

Indonesia menjadi salah satu negara terpenting di dunia dalam pemahaman tentang asal-usul dan evolusi manusia purba. Lalu bagaimana halnya dengan temuan-temuan di luar Jawa, apakah benar manusia purba (Homo erectus) pernah hidup di Flores ? Pertanyaan dasar ini sengaja diajukan untuk mengawali tulisan ini, karena seluruh rangkaian penelitian yang sudah dan akan dilaksanakan di wilayah ini tampaknya sedang berlomba untuk mencari jawabannya.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang diperoleh selama ini, jawaban memang mengarah pada pembenaran kehadiran Homo erectus di Pulau Flores. Jejak keberadaan manusia purba di wilayah ini dibuktikan melalui hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung bekerjasama dengan pihak Belanda serta Australia pada sekitar tahun 1990-an. Dalam penelitian tersebut telah ditemukan jejak kehidupan purba yang berasal dari Kala Pleistosen di Cekungan Soa (Flores Tengah). Pada beberapa situs terpenting, seperti Matamenge, Kobatuwa, Boa Lesa, Kopowatu, Dozu Dhalu, tim kerjasama internasional ini berhasil menemukan himpunan artefak litik yang berasosiasi dengan fosil-fosil hewan purba, seperti antara lain Stegodon, tikus besar, kura-kura raksasa dan buaya (Morwood et al, 1999).

Page 65: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

150

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

BP. Sementara itu situs-situs penting lainnya di Cekungan Soa yang pernah diekskavasi dan dipertanggal antara lain adalah: Mata Menge, Boa Lesa, Kobatuwa dan Wolosege (Morwood et al, 1999).

Jejak penemuan artefak batu yang diduga sebagai peralatan yang dipakai oleh Homo erectus pada beberapa situs di Cekungan Soa semakin diperkuat oleh hasil-hasil temuan dalam penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional dalam dekade 5 (lima) tahun terakhir ini, dan bahkan dalam survei yang dilakukan pada tahun 2009 semakin memperlihatkan sebaran artefak lebih luas lagi yang mencakup sebagian besar wilayah Cekungan Soa di bagian barat dan utara (Jatmiko, 2009). Hampir di setiap singkapan teras-teras sungai purba yang terdapat di wilayah ini didapatkan serpih-serpih yang dikerjakan sebagai alat yang ditemukan tersebar di permukaan tanah. Selain itu, batu-batu inti sebagai bahan yang dikerjakan untuk melepas serpih-serpih dalam berbagai tingkat pengerjaan, serta alat-alat batu inti dalam bentuk kapak perimbas, kapak penetak, dan sebagainya juga memperkaya himpunan industri litik di Cekungan Soa (Jatmiko, 2007). Penemuan-penemuan ini menunjukkan adanya kegiatan manusia yang mengkait dengan pembuatan dan pemakaian alat litik, sementara keberadaan batu-batu inti dan serpih-serpih menunjukkan pembuatannya berlangsung dalam wilayah cekungan dengan memanfaatkan berbagai jenis batuan yang tersedia.

1.2 Rumusan Masalah Permasalahan utama yang dihadapi

dalam penelitian prasejarah di Cekungan Soa (Flores Tengah) adalah: ’Mengapa hingga kini sisa manusia pembuatnya belum ditemukan ?’. Jika benar manusia purba dalam rentang ratusan ribu tahun yang lalu pernah mendiami wilayah ini dengan membuat peralatan litik untuk membantu kegiatannya, tentunya merekapun meninggal di wilayah ini juga. Jika demikian kita seharusnya dapat menemukan bagian yang tersisa atau terkonservasi seperti

Cekungan Soa tampil pertama kali dalam studi prasejarah berawal pada tahun 1960-an ketika Th. Verhoeven, seorang misionaris berkebangsaan Belanda melakukan penelitian dan menemukan berbagai artefak batu di Mata Menge, Boa Lesa, dan Lembah Menge. Berdasarkan penemuannya yang berasosiasi dengan fosil Stegodon, Verhoeven menduga pembuat artefak ini adalah manusia purba Homo erectus dan berumur sekitar 750.000 tahun lalu (Verhoeven, 1968). Asumsi yang disampaikan Verhoeven itu pada awalnya kurang mendapat respon dari para ahli, dan baru puluhan tahun sesudahnya para peneliti dari The Netherlands National Museum of Natural History tertarik untuk membuktikannya. Bekerja sama dengan P3G Bandung, pada tahun 1991-1992 lembaga ini mulai meneliti Cekungan Soa dengan melakukan ekskavasi di Situs Dozu Dhalu.

Kerjasama tersebut kemudian dikembangkan pada tahun 1994 antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) Bandung dengan The University of New England, Australia. Penelitian kerjasama ini masih terus berlanjut hingga sekarang dan telah berhasil mengidentifi kasi 12 situs yang merupakan pusat sebaran fosil atau artefak, keseluruhannya menempati bagian tengah cekungan. Di bagian agak ke barat terdapat kelompok Situs Matamenge, Kobatuwa, Boa Lesa, dan Lembah Menge. Di bagian tengah agak ke utara terdapat kelompok Tangi Talo dan Olabula, sedangkan di bagian timur-tenggara terdapat kelompok Dhozo Dalu, Sagala, Ngamapa, Kopowatu, dll. Selain situs yang pernah diteliti Verhoeven (Matamenge, Boa Leza, dan Lembah Menge), tim kerjasama ini juga telah mengekskavasi situs-situs lainnya (Tangi Talo, Kobatuwa, Dozu Dhalu dan Kopowatu). Patut dicatat bahwa ekskavasi di Tangi Talo menemukan berbagai jenis fauna, antara lain Stegodon kerdil (pigmy), kura-kura raksasa (Geochelone sp.) dan komodo (Varanus komodoensis), tapi tidak ditemukan artefak di situs ini. Sejauh ini pertanggalan radiometri (metode zircon fi ssion track) dari situs ini mempunyai umur 900.000 ± 700.000

Page 66: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

151

Jatmiko Melacak Jejak Manusia Purba (HOMO ERECTUS) Di Flores

tiga tujuan pokok, yaitu (1) merekonstruksi sejarah kebudayaan; (2) merekonstruksi cara-cara hidup; serta (3) menggambarkan proses perubahan budaya (Binford, 1983: 78 -104). Namun demikian, dalam pelaksanaannya upaya tersebut tidak mudah dicapai, mengingat objek yang diteliti adalah kehidupan manusia yang telah punah atau mati; di samping itu data arkeologis yang tersedia pada umumnya sangat terbatas, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Apabila dikaitkan dengan tujuan arkeologi sebagai ilmu seperti yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian arkeologi prasejarah di Cekungan Soa (Flores Tengah) ini merupakan tujuan pertama dan kedua; yaitu untuk mengungkap jejak kehadiran Homo erectus dan rekonstruksi kehidupan purba di wilayah ini; sejak kapan kehadirannya, bagaimana perkembangan fi sik dan budayanya, serta sampai sejauhmana persebarannya.

1.4 Kerangka TeoriManusia, budaya, dan lingkungannya

merupakan tiga kesatuan yang saling terkait jika kita ingin mendapatkan pemahaman yang utuh tentang kehidupan manusia purba. Manusia berperan sebagai motor atau pelaku yang mengekploitasi lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidup, sedangkan lingkungan sebagai wadah dan penyedia berbagai hal yang diperlukan, serta budaya sebagai sistem, alat, dan produk eksploitasi lingkungan (Simanjuntak, 2000).

Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dan selalu berkaitan dengan alam lingkungan sekitarnya, seperti faktor abiotik (tanah, udara dan air) serta populasi tumbuh-tumbuhan dan binatang. Sebagaimana diketahui bahwa dalam mempertahankan hidupnya, manusia (komunitas) cenderung memilih suatu bentang alam yang memiliki sumber daya melimpah yang mampu mencukupi kebutuhan hidupnya, maupun sarana tempat tinggal permukimannya; seperti di daerah terbuka yang dekat dengan air atau gua-gua dan ceruk alam (Binford, 1983:

tulang, gigi, atau bagian badan lain yang memfosil, sebagaimana sisa-sisa hewan purba yang telah memfosil banyak ditemukan. Boleh saja kita beranggapan semuanya sudah hancur dimakan waktu hingga tidak ditemukan dalam penelitian, tetapi benarkah demikian? Sebagai bahan yang sama-sama organik, mestinya sisa manusia berpeluang yang sama untuk terkonservasi dalam bentuk fosil, sebagaimana sisa hewan. Atau lebih lanjut kita membayangkan populasi hewan di kala itu jauh lebih banyak dari populasi manusia, sehingga sisa hewan banyak ditemukan, sementara sisa manusia tidak. Asumsi ini pun cukup lemah, karena dalam populasi yang lebih terbatas pun, pasti terbuka kemungkinan menyisakan bagian tubuh manusia yang terfosilkan. Jika demikian halnya, mungkinkah penelitian-penelitian yang dilakukan di Cekungan Soa ini akan dapat menemukan jejak-jejak fosil manusia pendukungnya, dan bagaimana caranya ?

Kalau dilihat dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan selama ini, tampaknya untuk menemukan fosil dari sisa-sisa manusia pendukung budaya Cekungan Soa cukup menjanjikan. Kesulitan menemukan fosil manusia di wilayah ini merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi penelitian di wilayah ini. Penemuan sisa manusia sekecil apapun di wilayah cekungan ini akan memiliki arti yang sangat penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan, sekaligus meyakinkan kita akan keberadaan manusia purba di Flores. Cekungan Soa sangat penting ketika bicara tentang kehidupan manusia purba dengan segala keunggulan yang dimiliki, kondisi dan evolusi lingkungan yang mendukung kehidupannya, serta proses adaptasi lingkungan yang menentukan “lifestyle”, perilaku, dan budayanya pada umumnya (Simanjuntak, 2006). Kepentingan-kepentingan inilah yang mendasari kegiatan-kegiatan penelitian selama ini dilakukan di wilayah ini.

1.3 Tujuan dan ManfaatArkeologi sebagai disiplin ilmu yang

memfokuskan perhatian pada kebudayaan dan kehidupan manusia di masa lalu, mempunyai

Page 67: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

152

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

1.5 Metode1.5.1 Lokasi

Cekungan Soa merupakan sebuah lembah yang dikelilingi oleh dataran tinggi dan gunung api (vulkanik) di daerah Flores Tengah. Areal ini dahulu diperkirakan bekas danau purba yang terjadi karena letusan gunung api dan membentuk kaldera.

Cekungan Soa mempunyai luas sekitar 35 x 22 km dan berjarak sekitar 15 kilometer timur laut kota Bajawa. Secara administratif, lokasi penelitian terletak di wilayah Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada (Flores Tengah), Provinsi Nusa Tenggara Timur. (Peta no.1). Dikelilingi oleh barisan pegunungan yang sebagian masih aktif, cekungan ini mengingatkan kita pada sebuah kompleks hunian purba di mana manusia hidup mengembara di lereng perbukitan dan sepanjang aliran sungai yang banyak terdapat di dalam cekungan. Mereka hidup mengandalkan hasil buruan dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di sekitarnya.

1.5.2 Pengumpulan DataMetode atau strategi dalam penelitian

dilakukan melalui 3 tahapan; yaitu tahap pengumpulan/perekaman data (survei dan ekskavasi) – tahap pengolahan data (analisis) – dan tahap interpretasi data. Perekaman data dilakukan melalui pendeskripsian secara akurat (pencatatan, pemetaan, penggambaran dan pemotretan) dan kemudian diinventarisasi melalui bank data (data base).

200 – 2001). Di samping tersedianya sumber daya lingkungan, manusia (komunitas) sejauh mungkin akan memilih lokasi tempat tinggal yang dianggap aman dan menyenangkan. Basis-basis pemukiman manusia pada masa lalu merupakan bentang ruang di mana manusia menyelenggarakan segala upaya budaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lokalitas-lokalitas permukiman menampakkan kecenderungan mengelompok atau minimal memperlihatkan pola sebaran yang seringkali mengikuti pola-pola geografi s tertentu; seperti misalnya lembah, dataran rendah, dataran tinggi dan sebagainya. Pemilihan sesuatu lokalitas permukiman pada dasarnya ditetapkan atas berbagai pertimbangan; misalnya kapasitas lingkungan alamnya, alasan melindungi dan memusatkan para anggota kelompok pada lokasi sumber daya, atau juga untuk memperkecil biaya-biaya operasional dalam mengelola dan menyebarkan sumber daya (Trigger, 1968).

Pada dasarnya manusia mempunyai suatu kelebihan berpikir (akal) dibandingkan dengan binatang. Salah satu kelebihan manusia ini diwujudkan dalam bentuk budaya (peralatan) dimana pertama kali timbul bersamaan dengan munculnya manusia dimuka bumi. Munculnya peradaban tertua di muka bumi ini diduga telah ada sejak ditemukannya bukti-bukti fosil manusia purba Homo erectus pada periode Pleistosen (sekitar 2 juta – 11.500 tahun lalu). Pada Kala Pleistosen tersebut kehidupan manusia masih cenderung bergantung kepada alam, yaitu dengan cara hidup berburu dan meramu. Sisa-sisa dari hewan buruan (seperti bagian tulang atau tanduk) seringkali dimanfaatkan untuk dibuat peralatan. Bentuk-bentuk peralatan yang dibuat dari bahan tulang dan tanduk semacam ini sudah banyak dibuktikan dalam penelitian arkeologis di Eropa dan Afrika. Di Indonesia, temuan budaya (peralatan) yang berasal dari kala Pleistosen pada umumnya hanya berwujud artefak batu (litik), sedangkan artefak yang berasal dari bahan tulang dan tanduk umumnya lebih mendominasi pada periode (fase) berikutnya, yaitu Kala Holosen (Mesolitik) (Heekeren, 1972).

Peta no. 1. Keletakan/Lokasi penelitian di Cekungan Soa, Kabupaten Ngada,

Flores Tengah (Sumber: Encarta Premium, 2008)

Page 68: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

153

Jatmiko Melacak Jejak Manusia Purba (HOMO ERECTUS) Di Flores

yang berumur antara 1,8 – 0,7 juta tahun lalu. Kelompok kedua adalah Homo erectus tipe Klasik atau Tipik yang juga ditemukan di Sangiran pada litologi Kabuh dari Kala Pleistosen Tengah yang berumur antara 0,8 – 0,4 juta tahun; dan kelompok ketiga adalah Homo erectus tipe Progresif ditemukan pada litologi teras Ngandong dari sekitar 100.000 tahun yang lalu (Semah et al, 1990). Dan apabila temuan Homo sapiens fosil dimasukkan dalam kategori manusia purba, maka kelompok termuda adalah Homo Wajakensis yang ditemukan di daerah Tulungagung dari sekitar akhir Pleistosen.

Model evolusi Out of Africa atau sering disebut Teori Pengganti (replacement theory) yang dipelopori oleh ide-ide dari Louis Leakey di tahun 1960-an memandang bahwa manusia purba (Homo erectus) berasal dari benua Afrika yang kemudian menyebar ke berbagai arah dan bermigrasi ke seluruh dunia (Eropa dan Asia) sehingga sampai di Indonesia pada Kala Pleistosen (sekitar 1,8 juta tahun lalu). Setelah Homo erectus mengalami kepunahan pada sekitar 150.000 – 100.000 tahun lalu, muncullah manusia penggantinya, yaitu Homo sapiens yang kemudian berkembang di Indonesia dan berlanjut ke Australia (Widianto, 2010). Di tempat-tempat yang baru, kemudian mereka berkembang dan menggantikan populasi arkaik lokal.

Pengumpulan data melalui survei permukaan dimaksudkan sebagai dasar dalam menentukan langkah-langkah penelitian selanjutnya. Survei dalam penjaringan dan perekaman data dilakukan dengan teknik observasi kepustakaan dan lapangan. Selain itu, dalam metode penelitian ini juga dilakukan melalui teknik ekskavasi (test-spit). Teknik ini dimaksudkan untuk menjaring data secara sistematis, insitu dan akurat sehingga validitasnya lebih terjamin. Penentuan ekskavasi atau penggalian dilakukan melalui pemilihan beberapa situs di Cekungan Soa yang dianggap penting dan mewakili berdasarkan hasil-hasil temuannya (skala prioritas).

1.5.3 Analisis DataAnalisis data dilakukan melalui

pemilahan terhadap berbagai temuan arkeologis berdasarkan pada aspek bentuk (form), ruang (space), dan waktu (time). Selanjutnya, temuan-temuan tersebut akan dijelaskan mengenai aspek fungsinya melalui analisis kontekstual; yaitu untuk mencari hubungan antara benda yang satu dengan lainnya, antara benda dengan situs, hubungan antar situs, dan hubungan antara situs dengan lingkungan fi siknya (Mundardjito, 1996). Oleh karena itu, dalam analisis yang dilakukan dalam penelitian di Cekungan Soa selain meliputi klasifi kasi teknologi, fungsi, dan bentuk, juga dilakukan melalui analisis komparatif (perbandingan) dengan situs-situs serupa di Indonesia.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN2.1 Manusia Purba di Indonesia dan Teori

’Out of Arica’Kehidupan manusia purba di Indonesia

meliputi kurun waktu yang sangat panjang dalam rentang jutaan tahun. Berdasarkan karakter fi sik dan lapisan penemuannya, manusia purba dapat dibedakan dalam beberapa kelompok evolusi. Kelompok tertua yang disebut Homo erectus Arkaik atau Kekar, ditemukan di Sangiran pada litologi Pucangan dari Kala Pleistosen Bawah

Peta no. 2. Migrasi Homo erectus berdasar “Teori Out of Africa-1”

(Sumber: Simanjuntak, 2011)

Page 69: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

154

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Berdasarkan bukti-bukti temuan yang dihasilkan dalam penelitian di Situs Matamenge, telah ditemukan lebih dari 200 alat serpih dari bahan batuan volkanik yang berasal dari endapan minor channel Formasi Olabula. Dari hasil pertanggalan radiometri diperoleh jejak tarikh antara 880.000 ± 700.000 BP ((Morwood et al, 1997). Menurut Brumm, alat-alat serpih dari Situs Matamenge tersebut mempunyai ciri-ciri morfo-teknologi yang sama dengan beberapa temuan artefak batu dari Situs Liang Bua yang berasosiasi dengan manusia kerdil Homo fl oresiensis. Salah satu ciri yang sangat spesifi k dari alat serpih di Matamenge yang disebut ‘radial core’ (Brum et al, 2006).

Di Situs Boa Lesa beberapa temuan alat serpih yang berasosiasi dengan Stegodon besar ditemukan dalam endapan minor channel dari Formasi Olabula. Dari hasil pertanggalan diketahui bahwa situs ini mempunyai jejak tarikh 870.000 ± 840.000 BP (Morwood et al, 1997).

Model Out of Africa menganggap bahwa Homo erectus tertentu di Afrika merupakan nenek moyang dari manusia modern. Model ini mengatakan bahwa manusia modern tersebut berevolusi dalam suatu daerah sempit di Afrika dan menggantikan populasi Homo erectus dan sapiens arkaik yang telah ada sebelumnya.(Peta no.2). Selanjutnya mereka keluar Afrika dalam berbagai gelombang migrasi untuk mengokupasi dunia lama (Widianto, 2010). Model ini telah menempatkan Homo sapiens sebagai spesies yang paling meyakinkan dan penting kedudukannya dalam evolusi manusia, karena menyangkut spesies manusia modern, keturunan manusia sekarang.

2.2 Jejak Manusia Purba di FloresSeperti apa yang telah diutarakan pada

awal tulisan ini, jejak temuan manusia purba di Flores (Cekungan Soa) hanya berupa tinggalan budayanya (artefak litik) dan sisa-sisa fauna (seperti fosil-fosil Stegodon, buaya, kura-kura, dan tikus besar); sedangkan sisa-sisa manusianya, sampai sekarang belum pernah ditemukan. Temuan artefak dan fragmen fosil-fosil tulang fauna vertebrata pada situs-situs di Cekungan Soa pada umumnya didapatkan pada lapisan/endapan batu pasir tufaan dari Formasi Olabula, dan secara kronologis sudah dipertanggal secara absolut (berasal dari Kala Pleistosen Tengah – Bawah). Situs-situs tersebut antara lain adalah: Situs Matamenge, Boa Leza, Kobatuwa dan Wolosege. (foto no.1 dan 2).

Foto no. 1. Beberapa temuan fragmen fosil Stegodon dari hasil penelitian di Cekungan

Soa (Sumber: Morwood, 1999)

Foto no. 2. Sebuah temuan gigi geraham (molar) Stegodon yang ditemukan secara

‘insitu’ di situs Kobatuwa (Cekungan Soa)

Gambar no.1. Artefak batu (Chopper) dari Situs Kobatuwa,

Cekungan Soa, Flores Tengah.

Page 70: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

155

Jatmiko Melacak Jejak Manusia Purba (HOMO ERECTUS) Di Flores

Budaya Homo erectus, khususnya alat-alat paleolitik, selama ini masih mengalami perdebatan panjang. Pengertian budaya dalam konteks manusia purba adalah bukti-bukti awal dari manusia tersebut, sesuai dengan akal dan pikirannya dalam berhadapan dengan alam lingkungan yang masih liar. Namun demikian, karena kemampuan akal dan pikirannya, maka manusia Pleistosen mampu membuat, menggunakan dan mempertahankan tradisi-tradisi teknologi yang masih sederhana tersebut dalam bentang waktu yang panjang. Bukti-bukti teknologis manusia Pleistosen yang sampai kepada kita pada umumnya berupa peralatan yang dibuat dari bahan batuan, meskipun secara logis tidak tertutup kemungkinan juga dikembangkan alat-alat dari bahan lain dari bahan tanduk, tulang dan kayu (Soejono, 1987). Tidak seimbangnya penemuan alat-alat batu dibandingkan dengan peralatan yang menggunakan bahan organis lain tersebut karena lebih cepat mengalami kerusakan sehingga jarang ditemukan (Crabtree, 1972; Semenov, 1976). Kenyataan lain juga membuktikan bahwa, setiap penemuan sisa manusia purba di suatu situs tidak pernah diikuti oleh penemuan peralatannya; dan sebaliknya, setiap kali ditemukan alat-alat batu dalam suatu situs jarang diikuti temuan manusia pendukungnya. Hal ini menyebabkan kita mengenal dua jenis situs-situs tertua di Indonesia; yaitu situs hominid yang dicirikan oleh tinggalan fosil-fosil manusia dan hewan (seperti di Sangiran, Perning, Kedungbrubus, Trinil, dsb), dan situs-situs paleolitik dengan tinggalan artefak yang menonjol (seperti di Kali Baksoka, Cabenge, Kali Ogan, Manikin-Noelbaki, dan lain-lain).

2.3 Korelasi Homo erectus dan Homo fl oresiensisSatu-satunya temuan fosil manusia

tertua di Flores yang berhasil diketahui pertanggalannya adalah Homo fl oresiensis. Genus hominid yang berasal dari kurun waktu antara 36.000 – 18.000 tahun lalu (akhir Pleistosen) ini ditemukan di Situs Liang (Gua)

Di Situs Kobatuwa ditemukan beberapa alat masif berupa kapak perimbas dan alat-alat serpih besar dari bahan batuan andesitik. Dari hasil analisis laboratoris (metode fi ssion track) pada contoh sedimen endapan tufa putih (dari Formasi Olabula) di situs ini telah diperoleh pertanggalan antara 700.000 ± 60.000 BP (Morwood et al, 1999). (gambar no.1).

Sementara itu, temuan artefak tertua di Cekungan Soa berasal dari Situs Wolosege. Hasil pertanggalan absolut (melalui metode argon-argon) dari temuan artefak di situs ini berasal dari kurun waktu antara 1,02 ± 0.02 Myr. Temuan artefak di situs ini pada umumnya berupa alat-alat serpih besar yang dibuat dari batuan meta-volkanik dan ditemukan pada endapan tufa halus dan fl uvio konglomerat dari Formasi Olabula (Brumm et al, 2010).

Selama ini diyakini oleh para ahli bahwa pendukung budaya alat-alat paleolitik adalah manusia purba Homo erectus (Semah et al, 1992). Persoalan tentang tinggalan budaya yang berasal dari Kala Pleistosen, khususnya temuan alat-alat paleolitik di Indonesia biasanya selalu dikaitkan dengan aspek-aspek migrasi yang menyangkut kehadiran manusia sebagai pembawa budaya alat batu tua itu sendiri. (foto no.3). Beberapa pendapat dari para ahli juga menyatakan bahwa timbulnya peradaban (budaya) batu tua tersebut muncul sejak adanya manusia di muka bumi atau tepatnya pada Kala Pleistosen.

Foto no. 3. Beberapa temuan artefak litik (retouched fl akes) dari hasil

survei permukaan di Cekungan Soa, Flores Tengah

Page 71: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

156

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

dan unik yang tidak ditemukan pada hominid lain. Banyak karakter arkaik pada spesimen ini yang memiliki persamaan dengan Homo erectus maupun Australopithecus afarensis, sehingga dianggap sebagai spesies baru dari genus Homo, yaitu Homo fl oresiensis. Kecilnya ukuran tinggi dan proporsi tubuhnya dianggap sebagai hasil suatu proses pengkerdilan akibat implikasi endemik (Brown, 2004). Manusia dari Liang Bua ini merupakan individu yang mempunyai karakter dari dua spesies Homo; yaitu Homo erectus dan Homo sapiens.(foto no.5). Penemuan rangka manusia dari Situs Liang Bua mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan evolusi manusia purba di Indonesia, karena Homo fl oresiensis dianggap sebagai penghubung antara Homo erectus dan Homo sapiens pertama di Kepulauan Nusantara. Menurut Widianto, Homo fl oresiensis bukanlah spesies baru, tetapi adalah Homo sapiens yang masih mengkonservasi karakter pendahulunya akibat kurang lancarnya arus genetik di kawasan ini, sehingga namanya pun dirubah menjadi Homo sapiens fl oresiensis (Widianto, 2010)

III. PENUTUP3.1 Kesimpulan

Indikasi tentang keberadaan Homo erectus di Flores ternyata cukup beralasan, karena dari hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan selama ini semakin mengkonfi rmasikan bahwa situs-situs di Cekungan Soa merupakan kompleks hunian purba yang kaya akan

Bua di Kabupaten Manggarai pada tahun 2004 oleh tim kerjasama antara Puslitbang Arkenas dengan University of New England, Australia. Dalam penelitian (ekskavasi) di situs ini, telah ditemukan lebih dari 7 individu fragmen fosil manusia kerdil pada kedalaman 5, 9 meter (di bawah abu vulkanik yang cukup tebal) (Morwood et al, 2004). (foto no.4).

Salah satu rangka manusia, yang kemudian terkenal dengan nama LB-1 hampir relatif utuh ditemukan, terdiri dari: tengkorak dengan rahang bawahnya, tulang paha, tulang kering, tulang lutut, sebagian tulang pinggul, tulang betis, tulang-tulang pergelangan tangan dan kaki yang tidak lengkap, dan beberapa fragmen dari ruas tulang belakang, tulang ekor, iga, tulang belikat, dan clavicula (Widianto, 2010). Temuan sisa-sisa rangka manusia dari Liang Bua ini berasosiasi dengan alat-alat batu, sisa-sisa tulang binatang komodo dan spesies kerdil gajah purba jenis Stegodon.

Rangka individu LB-1 sangat mungil. Menurut hasil analisis Peter Brown, rangka ini milik seorang wanita muda berumur sekitar 25 tahun, tinggi badannya sekitar 106 cm, dan volume otaknya hanya 380 cc. Kapasitas kranial tersebut berada jauh di bawah volume otak Homo erectus (1.000 cc), manusia modern Homo sapiens-sapiens (1.400 cc), dan bahkan di bawah volume otak simpanse (450 cc). Secara keseluruhan, Brown menganggap LB-1 merupakan kombinasi karakter primitif

Foto no. 4. Penanganan awal temuan Homo fl oresiensis di Liang Bua

Foto no. 5. Tengkorak Homo fl oresiensis

Page 72: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

157

Jatmiko Melacak Jejak Manusia Purba (HOMO ERECTUS) Di Flores

penelitian secara interdisipliner. Pertimbangan tersebut juga didasarkan dari hasil pengamatan geomorfologi dan stratigrafi , karena beberapa situs potensial (seperti Situs Kobatuwa dan Matamenge) yang posisinya berada pada daerah pinggiran cekungan (daerah ekoton) sangat memungkinkan manusia tinggal di tempat ini. Kondisi semacam ini sangat berpotensi mempreservasi tinggalan yang lebih lengkap, termasuk sisa manusia yang menjadi target utama pencarian. Penelitian lanjutan di wilayah ini merupakan bagian dari rangkaian pencarian sisa manusia purba itu, termasuk sisa budaya dan lingkungannya dalam upaya pemahaman lebih jauh keberadaan manusia purba di Cekungan Soa. Hasil eksplanasi yang lebih lengkap di Cekungan Soa diharapkan akan lebih dapat mengidentifi kasi permasalahan lainnya, sehingga penelitian dalam jangka panjang dapat direncanakan secara matang dalam pengembangan situs ini dan kehidupan manusia purba pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKABinford, Lewis R. 1983. Working

at Archaeology. New York: Academic Press

Brown, P., T. Sutikna, M.J. Morwood, R.P. Soejono, Jatmiko, E.Wahyu Saptomo, and Rokhus Due Awe. 2004. “A new small-bodied hominin from the Late Pleistocene of Flores, Indonesia”. Nature. Vol.431. Halaman 1055-1061.

Brumm, Adam, F. Aziz, GD. Van den Bergh, MJ. Morwood, Mark W. Moore, Iwan Kurniawan, D.R. Hobbs & R. Fullagar. 2006. “Early Stone Technology on Flores and its implications for Homo fl oresiensis”. Nature, 441. Halaman 624 – 628.

Brumm, Adam, Gitte M.Jensen, G.D. van den Bergh, M.J. Morwood, Iwan Kurniawan, Fachroel Aziz & Michael Storey. 2010. “Hominin on Flores, Indonesia by one million Years ago”. Nature Vol.464. Halaman 748 – 753.

tinggalan artefak dan fosil-fosil fauna yang berasal dari kurun waktu Kala Pleistosen Bawah - Tengah. Pada periode ini telah terjadi interaksi antara manusia purba dan hewan yang hidup secara bersamaan dalam kawasan ini. Mereka mendiami lingkungan di sekitar tepi danau Cekungan Soa.

Walaupun belum menemukan sisa manusianya, namun penemuan himpunan artefak dan fosil-fosil fauna di berbagai situs di Cekungan Soa sudah diperkuat dengan data pertanggalan absolut (radiometri), sehingga dapat diketahui umurnya secara pasti. Temuan artefak-artefak litik tersebut diduga sebagai peralatan atau produk budaya dari Homo erectus yang mempunyai tarikh antara 1,02 juta - 760.000 tahun lalu.

Selain itu, jejak keberadaan manusia purba di Flores juga diperkuat dengan temuan sisa-sisa rangka manusia di Situs Liang Bua. Penemuan rangka manusia kerdil Homo fl oresiensis di Situs Liang Bua mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan evolusi manusia purba di Indonesia, karena selama ini belum pernah ditemukan jenis Homo sapiens arkaik yang mempunyai karakter kombinasi antara Homo erectus dan Homo sapiens di seluruh Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, kemudian manusia kerdil dari Liang Bua (LB-1) dianggap sebagai penghubung antara keduanya. Tempat penemuannya di Pulau Flores juga telah memberikan arti tersendiri, karena lingkungan insuler di daerah Nusa Tenggara Timur ternyata mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan Pulau Jawa. Liang Bua sangat mungkin merupakan salah satu jalur penting migrasi manusia dari arah barat ke timur selama periode akhir Kala Pleistosen. Pada periode ini (sekitar 36.000 – 18.000 tahun lalu), kehidupan Homo erectus telah digantikan oleh Homo sapiens.

3.2 RekomendasiBerdasarkan hasil-hasil penelitian yang

telah dilakukan, tampaknya beberapa situs di Cekungan Soa dan juga tempat-tempat lain di Flores masih perlu ditindaklanjuti melalui

Page 73: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

158

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Crabtree, Don E. 1972. An Introduction to Flintworking. Idaho: Occasional Papers of the Museum Idaho State University.

Heekeren H.R, van. 1972. “The Stone Age of Indonesia”, Verhandelingen van het koninklijk, instituut voor Tall-, Land-en Volkenkunde 61, The Hague: Martinus Nijhoof.

Jatmiko. 2007. “Adaptasi Manusia Terhadap Lingkungan Pada Kala Plestosen di Cekungan Soa, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (tidak terbit)

Jatmiko. 2009. “Adaptasi Manusia Terhadap Lingkungan Pada Kala Plestosen di Cekungan Soa, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur (Tahap-II)”. Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (tidak terbit)

Morwood, M.J., F. Aziz, G.D. van den Berg, P.Y. Sondaar, and John de Vos. 1997. “Stone artefacts from the 1994 excavation at mata Menge, West Central Flores, Indonesia”. Australian Archaeology, 44. Halaman 26-34.

Morwood, M.J., F. Aziz, P.O’Sullivan, Nasruddin, D.R. Hobbs, & A. Raza. 1999. “Archaeological and Palaeontological research in Central Flores, east of Indonesia: results of fi eldwork 1997-1998”. Antiquity, 73. Halaman 273-286.

Morwood, M.J, R.P. Soejono, R.G. Roberts, T. Sutikna, C.S.M. Turney, K.E. Westaway, W.J. Rink, J.x. Zhao, G.D. van den Bergh, R.D. Awe, D.R. Hoobs, M.W. Moore, M.I. Bird & L.K. Fifi eld. 2004. “Archaeology and age of a new hominin from Flores in eastern Indonesia”. Nature Vol. 431. Halaman 1087 - 1091.

Mundardjito. 1996. “Metode Penelitian Pemukiman Arkeologi”. Dalam Lembaran Sastra Seri Penerbitan Ilmiah No.11. Edisi Khusus : Monumen. Karya Persembahan untuk Prof.Dr. R. Soekmono.

Semah, Francois, A-M Semah, T. Djubiantono & HT. Simanjuntak, 1992. “Did They Also Made Stone Tools ?”. The Journal of Human Evolution Vol.3 .

Semenov, S.A. 1976. Prehistoric Technology. London: Cory and Mckay Ltd.

Simanjuntak, Truman. 2000. “Wacana Budaya Manusia Purba”. Dalam Berkala Arkeologi No.20. Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi. Halaman 1-14.

Simanjuntak, Truman dan Harry Widianto (eds.). 2006. Prasejarah Indonesia. Jilid I Sejarah Nasional Indonesia (in press).

Soejono, R.P. 1987. “Stone tools Type in Lombok”. Man and Culture in Oceania. Special Issue.

Trigger, Bruce G. 1968. “The Determinants of Settlement Patterns”. Dalam Kuang Chih Chang (ed), Settlement Archaeology. California: National Press Books. Halaman 54-78.

Verhoeven, Th. 1968. “Pleistozane Funde auf Flores, Timor and Sumba”. Anthropica Gedenkschrift zum 100 Gebrgstag von P.W. Schmidt: 393-403. St Augustin: Verlag des Anthropos-Instituts. Studis Instituti Anthropos 21.

Widianto, Harry, Truman Simanjuntak & Budianto Toha, 1996. “Laporan Penelitian Sangiran: Penelitian Tentang Manusia Purba, Budaya dan lingkungan”. BPA No.46. Puslit Arkenas. Jakarta.

Widianto, Harry. 2010. Jejak Langkah Setelah Sangiran. Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala.

Page 74: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

159

I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga Di Pura Puseh Kanginan CarangasariForum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus2012 (159 - 164)

RELIEF JAMBANGAN BUNGADI PURA PUSEH KANGINAN CARANGSARI

DESA CARANGSARI, KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNGSTUDI ARKEOLOGI-RELIGI

FLOWER VASE RELIEF AT PUSEH KANGINAN CARANGSARI TEMPLE, CARANGSARI VILLAGE, PETANG SUBDISTRICT, BADUNG REGENCY

AN ETNOARCHAEOLOGICAL STUDYI Nyoman Rema

Balai Arkeologi DenpasarEmail: [email protected]

Naskah masuk : 23-2-2012Naskah setelah perbaikan : 15-5-2012Naskah disetujui untuk dimuat : 21-6-2012

AbstractIn the temple of Puseh Kanginan there is building components one of which is a relief of vase fl owers. This relief is becoming very attractive to author because it resembles a relief of kalpataru which were found many at temples in Java, such as Prambanan and Borobudur. There are two problems raised in this study, namely the identity of relief of vase fl owers, and its meaning. This study uses two theories; they are theory of religion and cultural ecology theory. Those theories were used to reveal the religious aspects and the role of the relief in the hopes of its creators and the community to adapt and maintain the environment. The study was a qualitative research.The datawere collected by observation and literature study. Data were analyzed descriptively and qualitatively, with the process of data reduction, presentation of data, and drawing conclusions. In the fi nal stage after data analysis, it was conducted the presentation of data according to the problems. So it can be seen that the relief of fl ower vase at Pura Puseh Kanginan, Carangsari village, Petang District, Badung regency, in terms of its characteristics is the Kalpataru relief. Meaning contained in it is a symbol of life, the purity and balance of the universe. In addition, this tree is also known as the banyan tree, as well as a symbol of purity, which is used as a means of spiritual purifi cation ceremony in Bali (atma wedana).Keywords: relief, fl ower vase, kalpataru, Mountain Mahameru, banyan

AbstrakDi Pura Puseh Kanginan terdapat komponen bangunan salah satu diantaranya adalah relief jambangan bunga. Relief ini menjadi sangat menarik bagi penulis karena relief ini menyerupai relief kalpataru yang banyak terdapat pada candi di Jawa, seperti Prambanan dan Borobudur. Ada dua permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu mengenai identitas relief jambangan bunga tersebut, dan makna yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini menggunakan dua teori yaitu teori religi dan teori ekologi budaya, yang digunakan untuk mengupas aspek religi dan peran relief tersebut dalam harapan masyarakat penciptanya dalam beradaptasi dan menjaga lingkungannya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif ; sumber data dikumpulkan secara observasi dan kepustakaan. Anaalisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif, dengan proses ; reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan. Pada tahap akhir setelah analisis data, dilakukan penyajian data, sesuai dengan permasalahan yang diajukan. Jadi dapat diketahui bahwa relief jambangan bunga yang terdapat di Pura Puseh Kanginan, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, dilihat dari segi ciri-cirinya adalah relief kalpataru. Makna yang terkandung di dalamnya adalah simbol kehidupan, kesucian dan keseimbangan alam semesta. Di samping itu pohon ini juga dikenal dengan banyan dan

Page 75: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

160

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

beringin, juga sebagai simbol kesucian, yang dipakai sebagai sarana upacara penyucian roh di Bali (atma wedana). Kata Kunci : relief, jambangan bunga, kalpataru, gunung Mahameru, beringin.

I. PendahuluanLatar Belakang1.1 Di Pura Puseh Kanginan, di Desa

Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, terdapat komponen bangunan yang belum diketahui yang dahulu berdiri di sana. Apakah berupa candi atau bangunan dengan konstruksi kayu? Sampai saat ini belum ada yang tahu. Penulis juga belum tahu apakah komponen bangunan yang ada di sana mengarah pada bangunan candi atau konstruksi kayu, perlu diadakan penelitian yang mendalam oleh para peneliti yang membidangi. Dari segi tinggalannya terdapat banyak tinggalan penting, seperti arca ganesa, nekara batu yang di atasnya terdapat patung yang sudah aus, lingga yoni, kemuncak candi, batu-batu tegak, relief kala, relief jambangan bunga, lumpang batu, dan ada juga arca yang distanakan di dalam sebuah palinggih, yang sangat penting, nampaknya sudah mendapatkan perhatian. Para warga Pura Puseh Kanginan Desa Carangsari sudah dari dahulu memelihara tinggalan ini, dan juga berkat dukungan dari sesepuh adat, para tokoh masyarakat, para penglingsir, dan pemerintah terkait. Masyarakat sangat antusias untuk mengetahui sekaligus untuk memahami peradabannya yang menyimpan kemuliaan di balik misteri tinggalan arkeologi yang tersimpan di sana. Menurut penulis ada ide cemerlang yang tersimpan pada setiap tinggalan tersebut, yang mencirikan peradaban masyarakat setempat, sesuai dengan corak, ciri, dari tinggalan arkeologi yang ada di sana. Di zaman yang serba digital ini, masyarakat di samping memperkuat diri dengan berbagai perangkat teknologi yang yang canggih mengarahkan pemikiran pada pemikiran global, namun nampaknya masyarakat masih tetap memelihara tradisi yang dianggapnya adiluhung, agar tidak tercerabut dari akar budayanya yang telah mengakar dari kehidupan masa lalu leluhurnya.

Tinggalan arkeologi yang ada di Pura ini, nampaknya merupakan tradisi yang berlanjut dari zaman prasejarah hingga jaman klasik yang memberi jembatan pada peradaban masa kini. Dikatakan demikian karena di sana terdapat tinggalan berupa batu tegak, nekara batu, yang merupakan tradisi berlanjut dari masa megalitik. Terdapatnya arca, lingga yoni, relief kala, relief jambangan bunga, atau pot bunga merupakan tinggalan dari masa klasik, yang masih dipelihara hingga kini, yang dibuatkan bangunan pelindung, untuk arca dari batu padas/paras, dan dibuatkan pondasi untuk tinggalan yang lainnya. Di samping itu telah berdiri bangunan pelinggih dengan berbagai kelengkapannya sebagai sarana memujaan masyarakat. Dari tinggalan arkeologi yang terdapat di pura tersebut, penulis tertarik untuk memahami tinggalan arkeologi yang berupa relief pot atau jambangan bunga. Pemilihan objek penelitian ini didasarkan atas alasan bahwa dalam kesusastraan kuna relief pot/jambangan bunga menyimpan ide yang mulia, yang perlu dipahami maknanya, mengingat philosofi bunga dalam kesusastraan kuna di Bali khususnya, merupakan wujud dari rasa bhakti dan pancaran hati nurani yang penuh dengan kesucian. Harapan lain dari penelitian ini adalah dengan dikajinya relief jambangan bunga, dapat menemukan titik terang tentang keterkaitannya dengan komponen bangunan yang lain.

Dilihat dari tinggalannya nampak tinggalan ini bersifat Siwaistis, dugaan ini didasari oleh tinggalan berupa linggayoni, arca ganesa, dan lain-lain. Selain itu relief jambangan bunga, ditemukan pada candi-candi di Jawa, seperti di candi Prambanan dan Borobudur. Namun pada masa kini,

Page 76: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

161

I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga Di Pura Puseh Kanginan Carangasari

temuan serupa juga ada ditemukan dipahatkan sebagai hiasan Bale Kulkul, beberapa hiasan di Museum Bali. Mengingat banyaknya terdapat penggambaran relief tersebut, kiranya relief ini mempunyai makna penting bagi masyarakat yang menciptakannya, dan tentu relief ini mempunyai identitas tersendiri sesuai dengan maksud yang diusungnya, baik soal penamaan, bentuknya, maupun manifestasinya kemudian dalam kehidupan masyarakat.

Rumusan Masalah1.2 Berdasarkan latar belakang di atas,

mengingat beragam misteri yang tertanam pada relief tersebut, maka diajukan masalah ; pohon apa sesungguhnya yang digambarkan dalam bentuk relief jambangan bunga tersebut? Makna apa yang terkandung pada relief tersebut?

Tujuan dan Kegunaan1.3 Secara umum penelitian ini, diharapkan

dapat menambah wawasan dan pemahaman mengenai tinggalan klasik, berupa bangunan suci pola hiasnya. Secara khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui identitas pohon yang digambarkan dalam bentuk relief jambangan bunga, dan untuk mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah secara teoretis dapat menambah wawasan keilmuan dan diharapkan pula dapat menemukan teori-teori baru. Secara ideologis, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai nilai simbolik magis relief tersebut. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam memahami tinggalan arkeologi berupa jambangan bunga, sekaligus nanti dapat berpikir kritis, karena setiap pahatan yang terpahat pastilah memiliki maksud tertentu, yang bermakna bagi kehidupan manusia.

Landasan Teori 1.4 Teori merupakan alat yang terpenting

dari suatu ilmu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta

saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Teori memiliki fungsi (1) sebagai generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan, (2) memberi kerangka orientasi untuk analisis dan klasifi kasi dari fakta-fakta yang dikumpulkan dalam penelitian, (3) memberikan ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi (Koentjaraningrat,1997:10). Dalam penelitian tentang relief jambangan bunga ini, teori yang digunakan dalam membedah masalah di atas adalah sebagai berikut.

Untuk membedah masalah makna jambangan pot bunga penulis menggunakan teori ekologi budaya. Julian H. Steward (dalam Poerwanto, 2000 : 67-71), memakai istilah cultural ecology, yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana manusia sebagai mahluk hidup menyesuaikan dirinya dengan suatu lingkungan geografi s tertentu. Menurutnya, ada bagian inti dari sistem budaya yang sangat responsif terhadap adaptasi ekologis. Karenanya, berbagai proses penyesuaian terhadap tekanan ekologis, secara langsung akan dapat mempengaruhi unsur-unsur inti dari suatu struktur sosial. Agar tetap produktif maka suatu perubahan kebudayaan akan dapat diakibatkan oleh faktor ekologi tadi, harus melakukan suatu pengaturan kembali. Berbagai upaya pengaturan kembali tersebut akan berpengaruh pula terhadap struktur sosial mereka. Steward, juga menegaskan ; (1). ada hubungan antara teknologi yang dipergunakan dengan keadaan suatu lingkungan tertentu, (2). pola-pola kelakuan dalam rangka mengeksploitasi suatu daerah, erat kaitannya dengan suatu bentuk teknologi yang diciptakan, dan (3). pola-pola kelakuan dalam rangka itu akan berpengaruh terhadap berbagai aspek dari kebudayaannya.

Teori Ekologi Budaya ini sangat tepat dipakai untuk mengkaji makna relief pot bunga, karena kedalaman makna dari pembangunan suatu tempat suci disesuaikan dengan keadaan lingkungan yang senantiasa bersifat memelihara dan mempertahankan alam agar tetap lestari, terhindar dari gangguan,

Page 77: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

162

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

digunakan adalah tematis-fi losofi s. Suatu penelitian pada hakikatnya membangun suatu segitiga pemahaman mencakup: pertanyaan, pernyataan, dan kenyataan. Suatu pendekatan tematis fi losofi s tentu saja harus sampai ke akar-akarnya yang sedalam-dalamnya, yang barangkali justru tidak nampak pada permukaan fenomenalnya. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kalimat, kata-kata, ungkapan, dan gambar atau foto (Sugiyono, 2007: 3).

Data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah relief jambangan pot bunga yang ada di Pura Puseh Kanginan, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Sedangkan data sekunder penelitian ini diperoleh melalui buku-buku, artikel, dokumen tertulis, dan sebagainya dari perpustakaan atau tempat lain. Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif pada umumnya melalui fi eldwork, yaitu suatu pekerjaan mencatat, mengamati, mengumpulkan dan menangkap semua fenomena data dan informasi tentang kasus yang diselidiki (Kaelan, 2002 : 176) Metode pengumpulan data yang dipergunakan di sini, antara lain metode pengamatan langsung pada objek penelitian (observasi), dan studi kepustakaan. Instrumen atau alat pengumpul data yang digunakan pada penelitian ini adalah segala alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian deskriptif kualitatif, seorang peneliti biasanya menjadi kunci utama dalam mengumpulkan

karena diposisikan untuk kawasan suci. Relief jambangan bunga senantiasa mengisyaratkan makna bahwa masyarakat diharapkan selalu menjaga lingkungan, karena lingkungan akan memberikan kebahagiaan pula bagi manusia.

Untuk melengkapi teori ekologi budaya dalam membahas makna relief jambangan bunga penulis menggunakan teori religi dari Koentjaraningrat yang mengusulkan konsep religi dipecah ke dalam 5 komponen yang mempunyai perannya sendiri-sendiri, tetapi sebagai bagian dari suatu sistem berkaitan erat satu dengan lain. Kelima komponen itu adalah (1) emosi keagamaan; (2) sistem keyakinan; (3) sistem ritus dan upacara; (4) peralatan ritus dan upacara; (5) umat agama (Koentjaraningrat, 1987 : 80-82). Namun untuk membahas makna relief jambangan bunga, penulis hanya menggunakan komponen sistem keyakinan, dan peralatan ritus dan upacara. Komponen ini digunakan dengan alasan bahwa relief jambangan bunga merupakan wujud pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan terhadap Tuhan, kemudian berkaitan erat dengan sistem nilai, dan norma keagamaan, ajaran kesusilaan, dan ajaran doktrin religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia. Dari gagasan keyakinan ini dibuatkan sarana dan peralatan seperti tempat suci, arca, dan salah satunya dipahatkan berupa relief jambangan bunga, yang mengandung kedalaman ide, gagasan dan keyakinan umat.

Metode1.5 Penelitian dilaksanakan di Pura Puseh

Kanginan Carangsari, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, yang posisinya berada pada koordinat 08o 27’ 05.1”LS, 115o 13’ 39.8”BT dengan ketinggian 370 m., di atas permukaan laut (lihat Peta no 1). Penelitian ini mengacu kepada penelitian kualitatif, yaitu suatu strategi penelitian yang menghasilkan data atau keterangan yang memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural (Ratna, 2004: 48). Pendekatan yang

Peta No 1. Peta Lokasi Pura Puseh Kanginan Carangsari

Page 78: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

163

I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga Di Pura Puseh Kanginan Carangasari

candi di Jawa, dari segi bentuk (tipe), ornament, fungsi dan maknanya. Dari perbandingan ini akan jelas diketahui persamaan ataupun perbedaan dengan jambangan bunga di Jawa (bentuk berbeda, ada kemungkinan maknanya sama). Penyajian hasil analisis merupakan tahap akhir dari proses kegiatan penelitian dilakukan secara deskriptif-informal yang berupa uraian kata-kata, kalimat, atau narasi. Namun, jika dibutuhkan penggunaan data kuantitatif akan disertai dengan teknik formal berupa bagan, grafi k atau tabel sebagai pelengkap narasi.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN2.1 Identitas Relief Jambangan Bunga

Relief jambangan bunga yang terdapat di Pura Puseh Kanginan, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, masih menyisakan pertanyaan di benak penulis (Lihat foto. no 1).

data yang diperlukan. Moleong (2005 : 4), menegaskan bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Peneliti sebagai instrumen dalam hal ini dapat didukung dengan berbagai alat bantu pengumpul data, seperti pedoman observasi alat-alat pencatat, dann lain sebagainya.

Kegiatan dilanjutkan dengan menganalisis data, dengan langkah sebagaimana diajukan oleh Muhadjir (2002:45) adalah sebagai berikut. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar, yang diperoleh dari berbagai catatan-catatan tertulis di lapangan. Jadi, Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa, sehingga diharapkan sampai pada kesimpulan yang valid. Penyajian data merupakan bagian dari analisis untuk merangkai atau menyusun informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk narasi yang dilengkapi dengan jaringan kerja yang berkaitan. Setelah itu dilakukan tahap analisis interpretatif terhadap semua informasi atau data yang telah diperoleh. Interpretasi ini adalah kegiatan yang mencoba mencari makna di balik fakta, sehingga gejala yang diamati dapat memiliki nilai dalam kehidupan masyarakat luas. Dengan demikian diharapkan dapat menyusun sebuah informasi secara runut dan mudah dimengerti dan bercirikan ilmiah. Menarik kesimpulan. Dari permulaan pengumpulan data sudah mulai mencari arti kata-kata, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat dan proporsi-proporsi. Setelah mencermati hasil analisis, maka akhirnya kegiatan penelitian ini ditutup dengan menarik sebuah kesimpulan akhir yang bersifat utuh.

Analisis data ini, dilengkapi dengan studi perbandingan (studi komparatif), dengan candi-

Pertanyaan tersebut terkait dengan identitas relief, termasuk apa sebetulnya relief yang dipahatkan berupa jambangan bunga tersebut. Kalau bandingkan dengan beberapa relief yang ada di Jawa Tengah, seperti di Candi Borobudur, dan Candi

Foto no. 1. Jambangan bunga di Puseh Kanginan Carangsari, Doc. Penulis.

Prambanan, tampaknya relief jambangan bunga yang ada di Pura Puseh Kanginan, merupakan relief kalpataru. Dugaan ini didasari atas Relief Kalpataru di Candi Prambanan (lihat foto. no 2) penggambaran kalpataru selalu bertumpu pada lima ciri utama, yaitu binatang pengapit, jambangan bunga, untaian manik-manik atau mutiara, payung, dan burung. Binatang pengapit merupakan simbol dari pohon agar tetap suci dan jauh dari gangguan setan. Jambangan bunga merupakan simbol kekayaan, kemakmuran, dan

Page 79: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

164

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

kesuburan. Hal ini digambarkan oleh untaian manik-manik atau mutiara. Payung merupakan simbol kesucian, sedangkan burung atau kinnara-kinnari (makhluk berujud setengah manusia dan setengah burung) adalah makhluk penjaga pohon dan sekaligus lambang kehidupan (http://hurahura.wordpress.com/2010/11/11/sepintas-konsep-kalpataru/).

Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa relief jambangan bunga yang terdapat di Pura Puseh Kanginan, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, merupakan relief kalpataru meskipun kurang lengkap, yang hanya terdiri dari jambangan bunga, yang merupakan lambang kekayaan, kemakmuran, dan kesuburan.

2.2 Makna Relief Jambangan Bunga Menurut Zoetmulder (2006 : 446),

kalpataru berasal dari bahasa Sanskerta, diartikan sebagai salah satu dari lima pohon di Sorga Indra, dianggap dapat memenuhi semua keinginan ; pohon kelimpahan (pañcawåkûa ; mandàra, pàrijàta, sa÷tana, kalpawåkûa (kalpataru), haricandana). Menurut Tim Redaksi (2005 : 496), kalpataru diartikan sebagai 1. pohon lambang kehidupan yang menggambarkan pengharapan ; pohon penghidupan. 2. penghargaan pemerintah yang diberikan kepada orang yang telah berjasa dalam memelihara kelestarian lingkungan hidup. Menurut Surada (2007 : 83), kalpataru diartikan sebagai pohon harapan hasil. Menurut Wijaya (2007 : 143), kalpataru diartikan sebagai sebuah pohon yang mengabulkan semua keinginan.

Kalpataru amat dikenal dalam kesusastraan India karena merupakan hiasan yang amat populer dalam masa kesenian India awal. Kalpataru semakin berkembang pada masa Gupta. Simbol kalpataru dikenal dalam beberapa bentuk variasi yang kemudian menimbulkan bentuk kalpavalli atau kalpalata. Hiasan tersebut berupa daun-daunan yang menjalar dengan sulur daun yang saling menjalin, beberapa di antaranya dipahatkan sebagai pohon pengharapan. Pengarang Kalidasa banyak menyebutkan motif kalpataru dan kalpalata dalam karya-karyanya. Hal ini bisa dilihat dari cerita Mahavanija Jataka. Dikatakan,”…Sekelompok pedagang beristirahat di bawah sebuah pohon. Tiba-tiba dari salah satu cabang menetes titik air dan dari cabang yang lain segumpal makanan…”. Selanjutnya Kitab Paligatha mengemukakan, ”…Pohon itu menghasilkan air jernih, makanan, gadis cantik, dan segala sesuatu yang baik-baik…”. Dalam kitab Purana konsep tentang pohon pengharapan banyak dikemukakan pada waktu pengarang menceritakan pulau ideal Uttarakuru. Pulau ini, menurut kitab Mahabharata, memiliki bermacam-macam pohon. Karena itu manusia yang hidup di sana akan merasa berbahagia dan puas, seperti dewa-dewa yang bebas dari pengaruh kesedihan dan penyakit. Kitab-kitab lain yang menyinggung pohon hayat adalah Ramayana, Bhuvanakosa, Vayupurana, Meghaduta, dan Bhanabata. Di situ Kalidasa menyebutkan kalpawreksa sebagai sumber segala macam perhiasan dan dandanan yang biasa dipakai oleh kaum wanita di Alaka. Di panil bangunan Mohenjodaro berbagai relief pohon banyak dipahatkan. Fungsinya untuk dimuliakan dan menjadi objek pemujaan untuk upacara perkawinan dan pemenuhan nazar. Selama berabad-abad di India banyak penduduk memiliki jimat dari ranting pohon. Jimat ini berfungsi untuk melindungi kelahiran bayi laki-laki, melindungi diri dari musuh, dan pengobatan. Pada waktu bulan purnama, pohon dipuja oleh wanita yang sudah menikah. Upacara terhadap pohon juga dilakukan untuk menghormati Dewi Laksmi dan Dewa Indra

Foto no. 2. Kalpataru di Candi Prambanan

Doc. Bondana

Page 80: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

165

I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga Di Pura Puseh Kanginan Carangasari

(http://imtaq.com/kalpataru-lambang-pohon-kehidupan/)

Pada candi Borobudur demikian juga Prambanan, sering dijumpai berbagai pola hias ornamental. Salah satu bentuk pola hias tersebut adalah relief, baik relief cerita maupun ragam hias. Di antara banyak relief ragam hias, motif kalpataru terbilang paling populer. Kalpataru adalah pohon suci yang terdapat di surga. Adanya ragam hias kalpataru pada sejumlah candi, dimaksudkan untuk menyucikan candi tersebut. Namun para pakar belum dapat memastikan kapan dimulainya kepercayaan terhadap pohon. Dalam literatur India hanya dikatakan, kesenian mempunyai arti yang nyata sebagai bahasa simbol. Sebagai bagian dari simbol-simbol tersebut, digunakan beberapa tumbuhan seperti teratai dan kalpawreksa. Simbol kalpawreksa dengan berbagai variasinya sangat populer dan banyak ditampilkan dalam seni ukir, seni lukis, puisi, dan kitab kuno. Diduga konsep ini berasal dari konsep Dewi Ibu. Masyarakat kuno menganggap ibu sebagai sumber kehidupan karena ibulah yang melahirkan anak. Ibu dianggap pula sebagai lambang kesuburan. Pohon dipandang tidak ubahnya seperti seorang ibu. Selain itu masyarakat kuno mengenal konsep ’dunia atas’ dan ’dunia bawah’. Di antara kedua dunia berdiri satu ketuhanan yang meliputi keduanya. ’Dunia tengah’ ini dilambangkan dengan pohon hayat, yang merupakan lambang kekuasaan tertinggi. Konsep lain yang mendasari kepercayaan terhadap pohon adalah konsep kalpataru. Di India kalpataru dianggap suci karena masyarakat percaya bahwa pohon tertentu bisa memenuhi segala keinginan manusia. Kalpataru berasal dari kata klp = ingin dan taru = pohon. Menurut mitologi, pohon ini adalah salah satu dari lima pohon suci di surga Dewa Indra. Sebagai pohon pengharapan, kalpataru juga disebut kamadugha, sebagai pemberi segala hasrat dan mengabulkan segala keinginan manusia. Di samping memberi kesenangan duniawi, pohon ini juga menolong manusia dalam mencapai kebahagiaan akhir, yaitu moksa. Karena menurut

kepercayaan pohon dapat menolong manusia untuk mencapai moksa, maka kepercayaan terhadap pohon banyak dianut (http://imtaq.com/kalpataru-lambang-pohon-kehidupan/).

Kalpataru adalah jenis tumbuhan yang dapat hidup dalam keadaan minim sekalipun. Pada saat tanaman lain sudah mati kekeringan atau busuk karena tergenang air, ia tetap hidup tegak dan subur. Selain dapat melindungi tanah tempat hidupnya, ia juga dapat melindungi tanaman di sekelilingnya. Oleh karena itu, pohon Kalpataru dijadikan lambang kelestarian lingkungan. Kalpataru tertulis pada relief candi Mendut, Jawa Tengah. Bagian relief ini melambangkan hutan, tanah, air, dan makhluk hidup yang saling berkaitan membentuk kehidupan. Dalam pewayangan, kalpataru dilambangkan dengan gunungan. Gunungan ini mempunyai gambar tanaman kalpataru dengan bunga teratai biru, putih, dan merah. Di bawahnya dijaga dua orang manusia setengah burung. Bagi para pejuang lingkungan yang berhasil, pemerintah memberikan anugerah kalpataru. Lambang ini terbuat dari pahatan perunggu berlapus emas 28 karat, seberat 30 gram, dan diletakkan di atas kayu sono keling. Anugerah ini diberikan setiap tahun sejak tahun 1980 (http://imatq.com/kalpataru-lambang-pohon-kehidupan/).

Suatu penafsiran Indianisasi dalam naskah Jawa abad ke-16, Tantu Panggelaran, yang merupakan sejenis buku petunjuk pertapaan-pertapaan Hindu di Pulau Jawa dan menceritakan asal mula Bhatara Guru (Siwa) pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu supaya pulau Jawa diberi penghuni. Brahma menciptakan kaum lelaki dan Wisnu kaum perempuan, lalu semua dewa memutuskan untuk menetap di bumi baru itu dan memindahkan gunung Meru yang sampai saat itu terletak “di Negeri Jambudwipa”, artinya India. Sejak itu gunung tinggi “yang menjadi lingga bagi dunia” itu tertanam di Jawa dan Pulau Jawa menjadi bhumi kesayangan dewata. Sebagai kelanjutan dari teori pemindahan perlu dicatat bahwa banyak nama tempat di pulau

Page 81: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

166

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang membuktikan adanya kehendak menciptakan kembali geografi India yang keramat itu (Lombard, 2000 : 7).

Menurut Astawa (2000 : 75-77), kalpataru adalah replika gunung Mahameru, yang banyak terpahatkan pada candi Borobudur, candi Mendut, dan candi Lorojongrang (Bosch, 1984 : 22 ; Kempers, 1959 : 55, 144). Kemudian sehubungan dengan kepercayaan ini, maka candi sebagai tempat pemujaan dewa dan pemujaan raja yang telah mencapai moksah, jiwa digambarkan berada di atap candi sebagai lambang puncak Mahameru. Pada saat dilaksanakan upacara pemujaan, jiwa sebagai unsur dewa akan turun ke dalam lingga atau arca dewa dan peripih (pedagingan) candi akan menjadikan arca itu hidup (Soekmono, 1974 : 301). Gunung Mahameru sebagai gunung kahyangan terletak di tengah dunia, sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan tempat tersebut digambarkan penuh keajaiban. Seperti istana penuh dengan hiasan emas dan permata, danau, sungai dipenuhi dengan tanaman teratai, pohon kalpataru, berbunga indah dengan bau harum semerbak, ratusan rantai emas bergantungan di dalamnya, pundi-pundi emas dan binatang-binatang menjaga pohon tersebut. Maka dari itu relief pohon kahyangan atau kalpataru, banyak dijumpai pada candi yang merupakan replika gunung Mahameru. Pada masa prasejarah orang menguburkan mayat dengan kepala mengarah ke gunung, yang bermaksud untuk mengembalikan arwah manusia ke tempat asalnya. Dalam dunia pewayangan, kalpataru atau replika gunung diwujudkan dengan bentuk hiasan kayonan atau juga disebut sebagai gunungan, gunung dianggap sebagai asal dan kembalinya hidup (Wales, sebagaimana dikutip Astawa, 2000 : 76).

Gunung dalam tradisi prasejarah, bermakna sebagai tempat suci, tempat bersemayamnya roh leluhur. Bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan, gunung juga berkembang. Kini gunung bukan saja sebagai

tempat suci untuk leluhur, tetapi tempat suci untuk Siwa (Redig, 2004 : 85). Gunung dalam mitologi dan ajaran agama Hindu sering kali diposisikan sebagai suatu tempat yang suci di dunia. Dalam kosmologi dan mitologi Hindu pun disebutkan adanya sebuah gunung mahasuci penyangga alam semesta yang bernama Meru. Gunung kosmik ini diyakini memiliki sebuah puncak suci bernama sorga, sebagai tempat bersemayamnya para dewata. Kesucian gunung kosmik Meru ini di beberapa wilayah belahan dunia selanjutnya diterjemahkan sebagai sosok gunung-gunung yang disakralkan oleh umat sekitarnya, seperti Mount Everest dan Kailasa (India), Semeru dan Penarungan (Jawa), dan Agung (Bali). Konsepsi-konsepsi tentang kesucian Gunung Meru dan gunung-gunung mitologis lainnya itu selanjutnya terejawantahkan juga dalam karya-karya seni arsitektur bangunan suci di negara-negara yang memperoleh pengaruh budaya India.

Fisik Gunung Meru seperti juga gunung-gunung lain pada umumnya secara umum dapat dibagi atas tiga bagian utama sesuai konsepsi Tri Angga. Dalam konsepsi ini dikenal adanya paham bahwa gunung dapat dianalogikan seperti tubuh manusia yang terdiri atas bagian kepala, badan, dan kaki. Ketiga bagian gunung pun selanjutnya dibagi menjadi bagian puncak gunung, badan gunung, dan kaki gunung. Konsepsi tiga bagian gunung ini selanjutnya diterapkan pula dalam perwujudan arsitektur bangunan suci Hindu Bali sebagai tiga bagian bangunannya. Ketiga bagian bangunan suci Hindu di Bali tersebut disebutkan sebagai bagian atap bangunan (raab), bagian ruang suci (pengawak), dan bagian kaki bangunan (bebaturan). Ruang suci atau rong pada bagian pengawak bangunan, memiliki nilai yang setara dengan ruang suci pada bangunan candi Jawa maupun pada kuil mandir India yang disebut garbhagrha. Rong maupun garbhagrha pada dasarnya memiliki makna yang setara dengan rongga gua pada daerah badan gunung (cf. Kramrisch, 1976: 162).

Astawa dalam tulisannya tentang kayonan

Page 82: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

167

I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga Di Pura Puseh Kanginan Carangasari

di Yeh Pulu (2000 : 76), menjelaskan bahwa kayonan dalam dunia pewayangan sebagai pembukaan dari ceritera atau lakon yang dimainkan dengan cara memutar-mutar kayonan (gunung), adalah simbol proses terjadinya dunia dengan segala isinya. Jika putaran itu terhentikan berarti dunia telah terwujud.

Kinara-kinari ini menurut Tim (1991 : 37), adalah mahluk setengah dewa, secara mitologi dianggap sebagai mahluk kahyangan, pada mulanya merupakan fi gur manusia berkepala kuda, tetapi dalam perkembangannya tokoh tersebut diwujudkan menjadi seekor burung berkepala manusia. Dalam candi Wisnu pada Candi Prambanan, menurut Tim, ada kinara-kinari yang dianggap istimewa, karena digambarkan berjenggot dengan memakai mahkota seorang resi (pertapa).

Kalpataru yang juga disebut sebagai pohon banyan dan beringin, waringin, adalah pohon yang dianggap suci, yang dikenal juga sebagai pohon kehidupan bagi orang Dayak Ngaju. Bagi orang Jawa, pohon kehidupan ini merupakan transformasi dari gunung dilambangkan menjadi gunungan dalam wayang kulit (Grolier, 1996 : 66). Kayon atau gunungan yang dalam dirinya terhimpun sekaligus perlambangan “pohon” kehidupan (kayu) dan perlambang “gunung”, dan pada hakikatnya berarti kosmos dalam keadaan seimbang (Astawa, 2000 : 130). Pohon beringin sangat besar pengaruhnya terhadap kelestarian lingkungan, karena kerimbunannya dapat memelihara lingkungan dari banjir, longsor, dan sejenisnya dan sekaligus yang terpenting adalah dapat mempertahankan resapan air tanah yang akan memunculkan sumber mata air, atau paling tidak rembesan air yang berguna bagi segala mahluk hidup. Pada kawasan situs arkeologi seperti Pura Tirta Empul, Candi Mangening, Candi Tebing Gunung Kawi, Candi Pengukur-ukuran, untuk menjaga kelestarian lingkungannya ditanami berbagai jenis vegetasi, salah satunya adalah pohon beringin yang paling dikeramatkan. Masyarakat tidak diperkenankan menebang pohon di kawasan cagar budaya tersebut, dan

bagi yang melanggar dikenakan sanksi adat (Bagus, 2008 : 69, 71, 75).

Pohon beringin nampaknya memiliki peran yang sangat istimewa bagi masyarakat Bali, karena kegunaannya yang sangat kompleks terutama dalam upacara keagamaan. Dari segi lingkungan, pohon beringin dipakai sebagai pohon pelindung, yang ditanam pada pinggiran sungai, dan tempat-tempat tertentu yang dapat meningkatkan debit air, selain untuk menjaga agar tanah tidak mudah longsor. Selain itu pohon beringin dipercaya sebagai pohon suci, sehingga terkadang sering dijumpai pohon beringin terdapat di sekitar tempat suci keagamaan. Pemeliharaan pohon beringin pada tempat-tempat tertentu masih terus dilakukan. Seperti misalnya pada DAS Pakerisan, untuk melindungi debit air, sehingga keadaan air tanah dan sumber mata air yang ada di sana masih tetap terpelihara dan lestari. Pemeliharaan serupa juga ada pada kawasan hutan dan pura, karena beringin dipercaya sebagai pohon suci sekaligus sebagai pohon hunian yang keramat, dapat dilihat dari berbagai segi, di antaranya; dipakai sebagai simbol kehidupan. Hal ini nampaknya tidak muluk-muluk mengingat betapa besar perannya dalam menjaga kelestarian air tanah, sesuai dengan penempatannya. Selain itu beringin dipandang sebagai pelindung, sebagai sumber makanan bagi para burung dan kelelawar ketika beringin itu berbuah. Pohon beringin juga dipakai dalam berbagai sarana upacara, dalam upacara-upacara yang dipandang besar seperti ligya, dan upacara lainnya, selain juga sebagai sarana jaritan lis juga memakai daun beringin. Hal ini berarti bahwa betapa pentingnya beringin sebagai salah satu simbol keagamaan. Dipandangnya sebagai simbol keagamaan, karena pohon beringin dipakai dalam berbagai perupaan. Pada masa kini, pohon beringin yang juga merupakan simbol gunung, dipakai sebagai gunungan dalam dunia pewayangan. Gunungan dalam dunia pewayangan juga melambangkan, gunung Mahameru, sebagai tempat bersemayamnya para dewata. Perputaran gunungan dalam dunia

Page 83: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

168

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

pewayangan, juga melambangkan berputarnya gunung Mandara, sebagai kerjasama rwa bhineda dalam menghasilkan air kehidupan (tirta amerta), yang muncul ketika gunung diputar dengan hebat. Gunungan dalam dunia pewayangan juga sebagai tanda dimulainya pertunjukan, pertengahan pertunjukan, dan berakhirnya pertunjukan, atau utpatti, stiti, pralina dalam kehidupan. Pohon beringin yang dipakai sebagai sarana upacara tidak dicari pada sembarang tempat. Namun pohon yang tumbuh pada tempat yang suci, atau di upacarai layaknya upacara manusia, seperti bayi baru lahir, sehingga kesuciannya terjaga dan akan memberikan kesucian. Karang manuk mengambil motif tampak samping wajah seekor burung. Ornamen ini lazimnya dipahatkan pada keempat sudut bangunan, yaitu pada bagian-bagian atas bangunan, seperti di pojok-pojok atas dari bagian kaki bangunan (bebaturan), badan bangunan, atau kepala bangunan. Kata ‘manuk’ berarti burung, hal ini juga menjadi sangat mudah dipahami dengan melihat bentuk ornamen karang manuk yang mengambil motif wajah seekor burung. Karang manuk disebut juga dengan karang goak atau ukiran wajah burung gagak (cf. Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Jakarta, 2001: 67).

Perwujudan ornamen karang manuk pada bangunan-bangunan berlanggam Bali lazimnya dipahatkan sebagai wajah seekor burung bermata melotot, hanya berparuh atas, bergigi taring tajam, berambut ikal, dan dilengkapi hiasan kepala sederhana. Pahatan karang manuk ada kalanya dipahatkan menyatu dengan ukiran tanaman menjalar (pepatran) dan ukiran kelopak bunga (karang simbar) (cf. Gelebet, dkk., 2002: 360). Karang manuk dapat pula ditemukan terpahat di bagian-bagian atas bangunan, seperti pada puncak atap (raab). Gambaran ini sangat sejalan dengan konsep penggambaran sorga sebagai alam penuh kedamaian yang dibayangkan berada di puncak gunung. Dalam konsep-konsep seni rupa dan budaya Indonesia pra-Islam, burung merupakan salah satu komponen yang banyak digunakan

untuk menggambarkan alam sorga. Beberapa contoh yang dapat diketengahkan tentang konsep-konsep burung di alam sorga adalah konsep burung cendrawasih sebagai burung penuntun jalan ke sorga (Bali: manuk dewata), konsep kinara dan kinari sebagai burung-burung berkepala manusia yang menjaga pohon suci Kalpavrksa di sorga (Rajendra, 2012).

III PENUTUP3.1 Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa :

Berdasarkan ciri-cirinya relief jambangan 1. bunga yang terdapat di Pura Puseh Kanginan, adalah relief kalpataru. Makna yang terkandung dalam relief 2. kalpataru sebagai pohon surgawi, adalah simbol kehidupan, simbol kesucian, dan keseimbangan alam semesta.

3.2 RekomendasiTulisan ini hanya membahas dua masalah.

Masalah pertama sehubungan dengan identitas jambangan bunga yang ada di Pura Puseh Kanginan, dan ternyata itu adalah kalpataru, jika diperhatikan dari ciri-cirinya. Masalah kedua sehubungan dengan makna yang terkandung dalam relief tersebut. Jadi masih banyak yang belum dibahas, terutama keterkaitan antara relief tersebut dengan bangunan yang ada di sana, mengingat banyaknya terdapat komponen bangunan di sana maka perlu diadakan kajian lanjutan, sehingga identitas bangunan yang ada di sana dapat diungkap dan dibangun kembali peradabannya. Untuk itulah penulis berharap kepada peneliti lain, agar melanjutkan dan melakukan studi mendalam baik secara arkeologi maupun secara multidisiplin ilmu, sehingga akan dapat mengungkap kebudayaan yang tersimpan di balik komponen bangunan yang ada di pura tersebut.

DAFTAR PUSTAKAAbrams, M. H. 1981.A Glossary of Literary

Terms, Fourth Edition. New york; Holt,

Page 84: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

169

I Nyoman Rema Relief Jambangan Bunga Di Pura Puseh Kanginan Carangasari

Rinehart and Winston.Anggono, Toha. 2007. Metode Penelitian.

Jakarta: Universitas Terbuka.Astawa, A.A Gde Oka. 2000. Kayonan Pada

Relief Yeh Pulu, Tinjauan Bentuk dan Fungsi, dalam Forum Arkeologi. Denpasar : Balai Arkeologi Denpasar.

Bagus, A.A. Gde.2008. Pelestarian Daerah Aliran Sungai Pakerisan Perspektif Lingkungan. dalam Forum Arkeologi. III. Hal. 63-91. Denpasar : Balai Arkeologi Denpasar.

Bondan, Molly. 1982. Candi In Central Java Indonesia. Jakarta : P.T. Jayakarta Agung Offset.

Bosch,F.D.K., 1984. De Gouden Kiem. Inleiding in de indische Simboliek, Elseiver, Adam.

Denzin, Norman K dan Yvonnas S. Loncoln.2009. Han book of Qualitative Research.Penerjemah Daryatno,dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin, 2008. Arsitektur Bangunan Suci Hindu, Berdasarkan Asta Kosala-kosali. Denpasar : Udayana University Press.

Fernandus, Johanes dkk., 2003. Alat Musik Jawa Kuno. Yogyakarta : Yayasan Mahardhika.

Gelebet, I Nyoman, dkk. 2002. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Badan Pengembangan Kebudayaan dan pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali, Denpasar.

Grolier. 1996. Indonesian Heritage. Jakarta : Pt. Jayakarta Agung Offset.

http://id.wikipedia.org/wiki/Karmawibhanggahttp://hurahura.wordpress.com/2010/11/11/

sepintas-konsep-kalpataru/http://imtaq.com/kalpataru-lambang-pohon-

kehidupan/http://borobudur yogyes com/id/see-and-do/

museum/kamarwibhangga/

http://diarythebatboys.blogspot.com/2009/08/ keajaiban-dunia.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudurhttp://journal.unnes.ac.id/index.php/imajinasi/

article/view/1363Kaelan, H. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan

Untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma.

Kempers, A.J. Bernet, 1959. Ancient Indonesia Art, Amsterdam.

---------------, 1975. Ageless Borobudur. Servire/Wassenaar.

Koentjaraningrat,1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : Universitas Indonesia.

---------------(Ed)., 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kramrisch, Stella. 1976. The Hindu Temple, volume II. Montilal Banarsidass, Delhi.

Linggih, I Nyoman, 2005. Fenomena Simbol dalam Budaya Hindu di Bali, dalam Pangkaja. V. Hal. 82. Denpasar : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Lombard, Denys, 2000. Nusa Jawa : Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi IV.Yogyakarta: Rake Sarasin.

Mulyana, Dedi. 2000. Metode Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ngurah, I Gusti Made. 2008. I Gusti Bagus Sugriwa sebagai Tokoh Agama (makalah dalam memperingati 108 ulang tahun Sugriwa dalam rangka penggalian Pemikiran Sugriwa).

Page 85: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

170

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Pradopo,Rachmat Djoko. 1994. Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik dalam Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : PT Hanindita.

Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Jakarta. 2001. Peningkatan Apresiasi Masyarakat terhadap Nilai-nilai Sumber Daya Arkeologi, Bedugul, 14-17 Juli, 2000: Proceedings EHPA. Jakarta: Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi Jakarta.

Rajendra, I Gusti Ngurah Anom. 2012. Ornamen-ornamen Bermotif Kedok Wajah dalam SenArsitektur Tradisional Bali. Dalam Forum Arkeologi. II. Hal. , Denpasar : Balai Arkeologi Denpasar.

Ratna, I Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Redig, I Wayan, 2004. Lingga dan Siwa, Kaitannya dengan Gunung Agung di Bali, dalam Jurnal Kajian Budaya. 1. Hal. 83-88. Denpasar : Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.

Soekmono, 1974. Candi Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Universitas Indonesia, Jakarta.

Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Penerjemah Shodiq & Imam Mutagien. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono.2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung: ALFABETA

Surada, I Made, 2007. Kamus Sanskerta - Indonesia. Surabaya : Paramita.

Teeuw. A., 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tim Penulis. 2011. 100 Tahun Pemugaran Candi Borobudur. Jakarta : Direktorat Tinggalan Purbakala, Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Tim Penyusun. 1978. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar : Dinas Pengajaran Propinsi Daeran Tingkat I Bali.

Tim Penyusun. 1988. Kamus Kawi-Bali. Denpasar : Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Tim Penyusun. 1991. Candi Wisnu Dahulu dan Sekarang. Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tim Redaksi, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Pustaka.

Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita.

Wijaya, A.A. Ngurah Prima Surya, 2007. Kamus Nama-Nama Sanskerta Indonesia. Surabaya : Paramita.

Winaya, Pande Ketut Kaca, 2005. Pidarta Basa Bali. Denpasar : Yayasan Sanggar Seni Dananjaya dan Perpustakaan Agama Hindu Denpasar.

Zoetmulder, P.J., 1994. Sekar Sumawur. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

-----------------, dan Robson. S.O., 2006. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Page 86: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

171

T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna Forum Arkeologi TH. XXIV No. 1 April 2011 (1 - 9)Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus2012 (171 - 105)

JENIS-JENIS KEJAHATAN BERDASARKAN NASKAH DAN RELIEF PADA MASA JAWA KUNA

TYPES OF CRIME BASED ON TEXT AND RELIEF FROM OLD JAVA PERIODT.M. Hari Lelono

Balai Arkeologi YogyakartaEmail : [email protected]

Naskah masuk : 28-2-2012Naskah setelah perbaikan : 8-5-2012Naskah disetujui untuk dimuat : 6-8-2012

AbstractCrime has been going along with the civilization of mankind, with different variations and forms, ranging from petty crimes to the level of serious crime. Old Javanese society was experiencing a variety of levels of crime are always disrupt their lives. What types of crime are frequent at the time, why the crime was often the case ? a problem that we want to know. Therefore, this paper aims to provide knowledge to the public, about the positive and negative values that happens in the Java Kuna . In an effort to uncover, then the method used in this study descriptive analysis, namely describe and interpret the contents of the inscriptions and carved reliefs to be sampled, as some of the inscriptions that mention about the crimes of which Inscription Balingawan, Mantyasih II, Kaladi, Saŋguran, Manuscript Purwwadhigama, as well as some temple reliefs and relief off. Hopefully, this paper can be useful especially for science and to strengthen national identity, through cultural heritage of great value.Key words: Variety of Crimes, Ancient Java, Inscriptions

AbstrakDunia kejahatan sudah berlangsung seiring dengan peradaban umat manusia, dengan bermacam variasi dan bentuknya, mulai dari tingkatan kejahatan ringan sampai kejahatan berat. Masyarakat Jawa-Kuna-pun mengalami bermacam tingkat kejahatan yang selalu mengganggu kehidupannya. Kejahatan jenis-jenis apa saja yang sering terjadi pada waktu itu, mengapa kejahatan itu sering terjadi ? menjadi permasalahan yang ingin diketahui. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan ingin memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas, tentang nilai-nilai positif dan negatif yang terjadi pada masa Jawa-Kuna. Dalam upaya untuk mengungkap, maka metode yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsi dan menginterpretasi isi prasasti dan pahatan relief candi yang dijadikan sampel, seperti beberapa prasasti yang menyebutkan tentang kejahatan di antaranya Prasasti Balingawan, Mantyasih II, Kaladi, Saŋguran, Naskah Purwwadhigama, dan relief beberapa candi dan relief lepas. Diharapkan, makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi ilmu pengetahuan dan dapat memperkokoh jatidiri bangsa, melalui warisan budaya yang bernilai tinggi.Kata kunci : Jawa-Kuna, artefak (prasasti, naskah, relief) dan jenis kejahatan

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Prasasti dan relief sebagai tinggalan arkeologis adalah data penting bagi kajian arkeologi karena merupakan bukti-bukti dalam bentuk bangunan-bangunan monumental, arca-arca, tulisan, naskah dan gambar tatahan

relief. Tulisan-tulisan kuna dalam bentuk huruf dan bahasa Jawa Kuna, biasanya disebut prasasti. Prasasti adalah sebuah maklumat yang dikeluarkan oleh raja, pejabat, atau tokoh yang berkuasa pada media yang dapat bertahan lama

Page 87: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

172

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

seperti logam (perunggu, mas, perak, tembaga), batu, dan tanah liat yang dibakar atau dikeringkan (Suarbhawa, 2010: 596). Selain prasasti, relief yang biasanya menghiasi sebuah bangunan candi merupakan potret/gambar-gambar yang menggambarkan kehidupan manusia, alam dan lingkungannya. Kedua data tersebut seringkali dilupakan atau bahkan kurang diketahui luas di kalangan publik.

Dunia kejahatan telah tumbuh dan berkembang, seiring dengan kemajuan dan peradaban manusia itu sendiri, munculnya tindak kejahatan disebabkan adanya kecemburuan terhadap suatu kelompok tertentu, masyarakat, individu, sebab perbedaan faktor-faktor sosial, ekonomi dan psikologis. Hal tersebut terjadi karena buruk dan lemahnya kontrol dan pengawasan yang dilakukan oleh penguasa pada waktu itu. Dalam setiap peristiwa kejahatan tentu berakibat kerugian berupa harta benda bahkan nyawa orang lain. Peristiwa kejahatan, lazimnya terjadi di tempat-tempat yang sepi jauh dari keramaian, seperti di perbatasan antara dua desa yang ditandai oleh hutan belantara dan sungai-sungai, dan di tempat keramaian ketika sedang dilakukan upacara peringatan tentang daerah perdikan baru, atau di tempat orang yang sedang melakukan hajatan.

Letak geografi s sebuah desa yang jauh dari pusat-pusat pemerintahan, akan berakibat pada semakin seringnya terjadi gangguan keamanan, baik bagi penduduk desa itu sendiri maupun orang-orang yang melalui daerah tersebut. Kejahatan secara insidental biasanya dilakukan pada tempat yang sepi dan oleh perorangan, tetapi kejahatan yang dilakukan secara berkelompok (rampok/begal) biasanya justru dilakukan di tempat keramaian, pada orang yang sedang merayakan hajatan atau pada desa-desa yang sedang bersuka cita setelah musim panen. Dalam peristiwa ini, sebelum melakukan tindak kejahatan, terlebih dahulu tentunya telah direncanakan siapa yang pantas untuk dijadikan target/sasaran utamanya, orang-orang kaya dan terpandang, sehingga menghasilkan keuntungan materi yang lebih

banyak. Oleh karena itulah, penguasa membuat peraturan (awig-awig) untuk ditaati rakyatnya, supaya dapat hidup aman dan teratur.

Gambaran tentang desa-desa pada masa Jawa Kuna, tidak jauh berbeda dengan bentuk desa-desa tradisional yang ada saat ini di Jawa dan di Bali. Hal tersebut dapat dibuktikan atau dengan melakukan perbandingan. Analogi dengan sebuah relief koleksi Museum Trowulan di Mojokerto, Jawa Timur. Dalam relief (lihat foto no. 1)

Foto no. 1. Relief yang menggambarkan letak permukiman dibatasi

oleh jalan desa, hutan dan sungai. Koleksi Museum Trowulan,

Mojokerto, Jatim

digambarkan bentuk permukiman yang mengelompok dengan batas dinding-dinding pagar yang mengelilingi permukiman ? Di luar permukiman rumah-rumah dibatasi oleh daratan luas dengan sejumlah pohon-pohon, dan dialiri sebuah sungai besar, di lembah sungai terdapat petak-petak persawahan. Melalui relief tersebut, dapat ditarik suatu gambaran analogis,

bahwa bentuk/pola permukiman sekitar abad XII – XV Masehi, kemungkinan memiliki bentuk permukiman berpola, khususnya pada lahan dataran rendah dengan sistem pengairan yang baik, sehingga cocok untuk pengolahan lahan pertanian. Sementara itu bentuk dan lokasi permukiman yang jauh dari pusat kekuasaan, atau yang terletak di daerah pedalaman atau pegunungan, tentu situasi dan kondisinya agak berbeda. Selain sulit dijangkau karena letak topografi snya di pegunungan, perbukitan, dengan hutan lebat, sehingga sering terjadi tindak kejahatan.

Berdasarkan kenyataan dan pengalaman empirik tersebut, masyarakat pada masa Klasik (Hindu-Budha) di Jawa, telah membuat perundangan/aturan hukum bagi rakyatnya.

Page 88: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

173

T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna

dari bahan logam. Oleh karena itu, penggunaan bahan kemungkinan tergantung pada sisi kepentingan dari prasasti tersebut, sehingga beberapa di antaranya dituliskan pada bahan batu, logam, tembaga, dan perunggu. Kitab-kitab hukum tersebut, tentunya digunakan secara terbatas ditujukan bagi para punggawa kerajaan (hakim dan jaksa), sehingga tidak dibuat secara masal.

Beberapa peristiwa penting berkaitan dengan penumpasan kejahatan yang dituliskan dalam Prasasti Balingawan berasal dari abad IX (891M), dan Prasasti Mantyasih abad X (907 M) berisikan, bahwa bagi para pemimpin desa atau punggawa kerajaan yang berhasil menumpas kejahatan seperti begal (perampokan), pembunuhan, dan pemerasan, biasanya mendapat penghargaan berupa pembebasan membayar pajak, akan dijadikan daerah perdikan semacam daerah otonom. Sebuah daerah perdikan biasanya ditandai dengan pendirian tugu batu yang disebut sima di masing-masing sudut desa dan pemberian prasasti. Pada saat berlangsungnya upacara peresmian hadir para pembesar, punggawa kerajaan dan masyarakat setempat dengan penuh sukacita, karena telah mendapat anugerah dari raja dalam bentuk kebebasan membayar pajak. Diharapkan daerah perdikan tersebut dapat berkembang membangun untuk kemakmuran desa setempat. Disayangkan, bahwa informasi tentang tata cara prosesi dan upacara tersebut belum banyak ditemukan dalam naskah-naskah Jawa Kuna.

1.2 Rumusan MasalahBerkaitan dengan sumber-sumber prasasti

dan relief-relief yang menggambarkan peristiwa kejahatan pada masa Jawa-Kuna tersebut di depan, maka masalah utama yang menarik untuk diketahui adalah,

Jenis-jenis kejahatan apa yang paling sering a. terjadi?Mengapa jenis-jenis kejahatan tersebut b. sering terjadi?

Sejumlah naskah-naskah hukum tersebut dimaksudkan untuk membuat jera dan takut bagi pelaku kejahatan. Adanya aturan hukum tersebut, pada abad VII - XIV yang dituliskan oleh seorang penguasa, sastrawan/punggawa kerajaan dalam lempengan tembaga/perunggu, batu dinamakan prasasti, sedangkan yang dituliskan pada daun lontar sering disebut dengan naskah-naskah yang berasal dari abad kemudian (lebih muda), seperti Kitab Nagarakrtagama, Kitab Sutasoma dan lain-lainnya. Pada masa itu belum banyak sarana yang bisa digunakan untuk bahan menuliskan naskah-naskah (hukum) secara permanen. Penggunaan bahan alam dari jenis tumbuhan seperti dari bahan lontar (Jawa), di Bali dikenal dengan nama tal, bernama latin borassus fl ebellifer. Sayangnya bahan ini tidak awet dan mudah rusak/lapuk, sehingga harus sering disalin. Tulisan yang digunakan biasanya bahasa dan huruf Jawa Kuna. Namun, ada beberapa di antaranya yang menggunakan huruf Jawa Kuna dengan bahasa Sanskerta. Pada masa itu, tidak semua orang bisa membaca dan menulis, karena hanya dikuasai oleh kalangan penguasa dan sastrawan kerajaan, sedangkan masyarakat awam hanya akan mengetahui dari bahasa lisan atau melalui gambar lukisan relief yang menghiasi bagian-bagian candi.

Dalam relief sering dijumpai gambar-gambar tentang tindak kekerasan, gambar pola/ bentuk permukiman, rumah dan lain sebagainya, khususnya mengenai tindak kekerasan/ kejahatan. Mengenai bahan yang digunakan dalam penulisan sebuah prasasti, ditentukan oleh penting atau tidaknya, diperintahkan oleh siapa penguasanya? Dalam hal ini, menurut Boechari (1986: 160), naskah-naskah hukum yang digunakan oleh para pejabat kehakiman dari setiap masa di jaman klasik itu tidak ditulis di atas logam – tembaga atau perunggu, karena akan menjadi tidak praktis kerena terlalu berat. Naskah-naskah itu tentu ditulis di atas ripta, yang dapat berupa daun lontar atau karas, namun, pada kasus-kasus penting tertentu naskah-naskah hukum dituliskan pada prasasti

Page 89: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

174

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

budaya materi tersebut merupakan data otentik. Oleh karena itu, dalam upaya untuk mengetahui dunia kejahatan, khususnya jenis-jenis kejahatan yang sering terjadi dan faktor-faktor penyebabnya, maka metode yang digunakan adalah deskriptif analitis. Dalam tahap ini dilakukan pengumpulan data sekunder berupa prasasti-prasasti yang di dalamnya berisikan tentang peristiwa-peristiwa kejahatan dan kekerasan yang sering terjadi pada masa Jawa Kuna. Sementara itu, data relief candi-candi yang berisikan tentang gambar-gambar (tatahan) tindak kekerasan dan kejahatan diambil dari beberapa relief di bangunan candi maupun relief lepas yang berhasil dikumpulkan dan disimpan di Museum Trowulan/Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB Jawa Timur). Kedua data tersebut (naskah/prasasti dan relief candi), kemudian akan dilakukan analisis kualitatif. Diharapkan analisis kualitatif akan memberikan penjelasan/gambaran secara holistik mengenai jenis kejahatan yang sering terjadi pada masa Jawa Kuna.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN2.1 Hasil2.1.1 Sumber-sumber Prasasti

Prasasti masa Jawa Kuna telah banyak diketemukan dalam bentuk prasasti perunggu, batu dan ada yang dituliskan pada bagian tertentu arca-arca. Dalam konteks kajian ini, akan diacu sebanyak empat buah prasasti dari sekitar abad IX – abad X Masehi dan sebuah naskah dari sekitar abad XVI Masehi. Selain prasasti/naskah akan diacu sebagai sampel beberapa relief di candi dari sekitar abad XIV – abad XVI Masehi di Jawa Timur, dan relief lepas koleksi Museum Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, sebagai berikut:1. Prasasti Balingawan, berangka tahun 891

Masehi menggunakan bahan batu dengan bentuk sebuah Arca Ganesa. Saat ini menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris D.54 dan D.109. Pada bagian arca terdapat tulisan Jawa Kuna yang berlanjut ke bagian belakang

Oleh karena itu, masalah tersebut akan dijawab melalui beberapa bukti-bukti arkeologis, seperti prasasti, naskah-naskah, dan tatahan relief candi-candi di Jawa dan relief koleksi Museum Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

1.3 Tujuan dan ManfaatDunia kejahatan dalam kehidupan

masyarakat telah berlangsung sejak manusia ada, karena didorong oleh keinginan-keinginan pribadi secara spontan, atau kelompok yang teroganisir untuk menguasai hak orang lain dengan cara paksa. Pada masa Jawa Kuna kejahatan-pun marak terjadi dan dapat diketahui dari naskah-naskah kuna, berupa prasasti maupun gambar-gambar relief di candi-candi. Oleh karena itu, tujuan kajian ini, adalah ingin mengetahui jenis-jenis kejahatan apa yang paling sering terjadi dan mengapa jenis-jenis kejahatan tersebut sering terjadi ?

Berpijak dari tujuan tersebut di depan, diharapkan akan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan menambah pengetahuan masyarakat luas, tentang jenis kejahatan, sehingga dapat memberikan gambaran dan perbandingan tentang peristiwa kejahatan pada masa Jawa Kuna sampai sekarang. Adapun manfaat lainnya, ialah mampu memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengayaan budaya lokal, sebagai landasan untuk mengetahui pelbagai masalah kriminal yang selalu tumbuh dan berkembang dengan substansi yang kemungkinan sama.

1.4 Metode PenelitianMenggambarkan peristiwa kejahatan yang

terjadi di masa silam apalagi ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu sangatlah sulit. Salah satu cara untuk mengetahui peristiwa masa lalu tersebut hanya melalui kajian data arkeologis yang ditinggalkan oleh nenek moyang di masa lalu. Arkeologi mampu memberikan gambaran/ rekontruksi peristiwa masa lalu dengan data berupa artefak, naskah-naskah kuna (prasasti), dan gambar-gambar relief candi. Tinggalan

Page 90: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

175

T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna

arca. Tulisan itu memuat tentang penetapan sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi sebuah Sima (merupakan daerah perdikan). Rakyatnya ketakutan, menderita dan melarat, karena senantiasa harus membayar pajak denda atas rāh kasawur (darah tersebar berceceran) dan wankay kābunan (mayat kena embun). Hal itu terjadi karena dalam hukum Jawa Kuna, desa-desa yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa kriminal, walaupun peristiwanya terjadi di tempat/wilayah desa lain, tetapi mayatnya ditemukan di desa tersebut, maka desa yang bersangkutan mendapat sangsi keras, harus membayar denda/pajak kepada raja. Kenapa peristiwa semacam itu bisa terjadi ? sebagai akibat kelalaian desa tersebut menjaga wilayahnya, dan berkaitan dengan sistem keamanan desa yang kurang memadai, sedangkan di sisi yang lain kemungkinan jumlah dan kualitas penjahatnya lebih kuat dan banyak, dibandingkan dengan jumlah penduduk desa. Oleh karena tidak sebanding, maka mereka minta bantuan dan perlindungan kepada raja. Hal itu dilakukan, berkaitan erat dengan sistem dan struktur pemerintahan desa yang tergantung kepada hirarki pemerintahan di atasnya, sehingga untuk pengamanan desa menjadi kurang efektif. Akhirnya, permohonan desa tersebut dikabulkan, raja mengirim utusan dan bersama-sama dengan rakyat desa mengusir dan melenyapkan gerombolan penjahat. Akhirnya setelah aman, Desa Balingawan mendapat penghargaan menjadi sebuah sima, keamanan di jalan besar terjamin, rakyat desa dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan. Prasasti Balingawan merupakan nama sebuah desa yang lokasinya sampai saat ini belum diketahui, diduga berada di daerah Jawa Tengah sekarang, tetapi berdasarkan pada tahun pembuatannya diketahui berasal dari sekitar abad X Masehi, yaitu ketika pusat pemeintahan Mataram kuna masih berada di Jawa Tengah.

2. Prasasti Mantyasih II 907 Masehi (disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D.40). Nama desa yang diduga pada masa Jawa Kuna terletak sekitar Gunung Susundara (Sindara) dan Gunung Sumbing di wilayah Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. Ditulis dalam tiga versi yang berbeda, dua di antaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan satu di atas batu, tetapi yang terlengkap ditulis di atas lempengan perunggu. Isi Prasasti Mantyasih II berkisar tentang penetapan sebuah Sima oleh Raja Rakai Watukura Dyah Balitung, ditujukan kepada lima orang patih yang telah berjasa mengerahkan rakyat Desa Mantyasih yang selalu ketakutan oleh ulah para penjahat. Apalagi saat itu sedang diselenggarakan upacara pesta perkawinan raja, rakyat desa tidak dapat mengatasinya, tetapi dengan bantuan para patih tersebut para penjahat dapat ditumpas, sehingga desa dan jalan-jalan yang menghubungkannya dapat aman kembali.

3. Prasasti Kaladi 909 Masehi (disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris E.71). Prasasti dari masa Raja Rakai Watukura Dyah Balitung, isinya tentang pemberian sima atas permohonan pejabat daerah yang bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi. Desa-desa tersebut dipisahkan oleh arapan (hutan?), dan sering dipakai tempat persembunyian para penjahat, sehingga masyarakat desa, para pedagang yang lalu-lalang, penangkap ikan, menjadi ketakutan karena senantiasa mendapat serangan dari para mariwun (penyamun ?), baik siang maupun di malam hari. Oleh karena itu, daerah arapan (hutan) tersebut dijadikan sawah agar penduduk tidak merasa ketakutan.

4. Prasasti Saŋguran 928 Masehi (Minto House, Scotland, UK), berbahasa dan huruf Jawa Kuna, berisikan istilah-istilah yang berkaitan dengan tindakan kekerasan dan

Page 91: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

176

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

pihutaŋ (tidak membayar lagi hutang), tan kawahaniŋ patuwāwa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihiŋ kinabehan (tidak kebagian hasil kerjasama), karuddhaniŋ huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehaniŋ upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa riŋ samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembantalan transaksi jual-beli), wiwādaniŋ pinanwaken mwaŋ manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan pengembalanya), kahucapaniŋ watas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandaniŋ saharsa wākparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttiniŋ maliŋ (pencurian), ulah sāhasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya riŋ laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami-isteri), kadumaniŋ drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).

Sumber dalam Relief Candi1.1.2 Candi dibangun sebagai tempat suci

bagi Agama Hindu-Budha untuk melakukan pemujaan dan upacara-upacara ritual bagi masyarakat Jawa Kuna. Pada candi-candi yang relatif besar di Jawa, umumnya di bagian kaki dan dinding candi terdapat hiasan berupa relief untuk menggambarkan adegan cerita tertentu, dan ada pula yang hanya berfungsi sebagai hiasan dekoratif pengisi bidang-bidang kosong untuk menambah keindahan candi tersebut. Adegan cerita biasanya mengandung suatu makna tertentu berkaitan dengan sistem religi yang dianut untuk diikuti oleh umat/ masyarakat pada masa itu. Pesan-pesan yang disampaikan tersebut, biasanya mengandung makna simbolis, moral, dan edukatif. Namun, selain itu terdapat beberapa gambar adegan kekerasan yang diduga terjadi pada masa itu. Beberapa contoh relief yang menggambarkan adegan kekerasan, di antaranya:

kejahatan, di antaranya: wipati wankay kābunan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rāh kasawur iŋ dalan (darah yang terhambur di jalan), wākcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh niŋ kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpaŋ (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian ?) , tutan (mengejar lawan yang kalah ?), danda kudanda (pukul memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis). Suatu hal yang sangat menarik dalam prasasti ini memuat tentang kejahatan terhadap kaum wanita mamumpaŋ, dan sikap sebagai kesatria dengan melarang mengejar musuh yang sudah kalah (tutan). (OJO., xxxi, Damais, 1951 (I), hal. 28-29). (Boechari. 1986: 161). Rupanya pada masa Jawa Kuna, wanita dan sikap sebagai seorang kesatria sangat dihormati dan merupakan suatu kebanggaan bagi yang melakukannya. Khususnya penghargaan dan penghormatan terhadap wanita, merupakan salah satu prioritas dalam tatanan kehidupan masyarakatnya. Oleh sebab itu, tentang emansipasi wanita, bagi bangsa kita sebenarnya sudah tidak asing lagi, dan wanita memiliki peran serta dalam kehidupannya sehari-hari. Unsur-unsur tersebut, kemungkinan merupakan salah satu ciri khas dari bangsa kita, sebagai bentuk identitas dan jatidiri bangsa.

5. Naskah Purwwadhigama, menurut Pigeaud (1967: 70) dan Boechari (1986: 160), sistem pengadilan pada masa Klasik (Hindu-Budha) membagi segala macam tindak pidana ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahāra. Penulisan ke 18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya garis besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting atau sesuai dengan kondisi saat itu. Beberapa jenis tindak pidana tersebut antara lain ialah tan kasahuraniŋ

Page 92: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

177

T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna

panil terdiri dari bermacam adegan cerita, tetapi khusus yang menggambarkan adegan kejahatan hanya terdapat di dinding pertama bangunan candi bagian belakang (foto no. 3).

Dalam gambar panil tersebut digambarkan adegan laki-laki dengan badan gemuk tangannya terikat di sebatang pohon pinang. Sementara itu, dihadapannya berdiri seorang wanita (?) yang sengaja membuka kain yang dikenakan dengan kedua tangannya.

3. Candi Rimbi, Bareng, Jombang, Jawa Timur. Merupakan salah satu peninggalan abad VIII – XIV Masehi. Pada bagian kaki candi di sisi selatan, terdapat gambar dua orang pria sedang berkelahi di tengah hutan dengan mengenakan

1. Candi Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bercorak Budhis. Candi peninggalan abad IX – abad X Masehi, di tangga pintu masuk sisi luar sebelah selatan terdapat panil relief cerita tantri (foto no. 2)

yang menggambarkan dua orang fi gur laki-laki, salah satunya memegang gada/ parang dengan wajah garang sedang mengenakan kain kancut (cancut) dan fi gur yang satunya memegang semacam payung (?) dengan mengenakan kain panjang (biarawan ?) Adegan tersebut menggambarkan dua orang laki-laki yang diduga salah satunya seorang penjahat dengan wajah garang, menghardik/ mengejar (?) seorang biarawan (Lelono, 1999: 7).

2. Candi Surowono, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Terletak di Dusun Surowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare. Secara astronomis terletak pada 5° 24´ 34´´ BT dan 7° 44´ 49´´ LS, bangunan candi bercorak keagamaan Budhis tersebut, didirikan sekitar abad XIV Masehi menggunakan bahan batu andesit. Pada bagian kaki candi, dihiasi dengan relief cerita Tantri, sedangkan pada bagian dinding terdapat cerita Bubuksah, Arjunawiwaha, dan Sri Tanjung. Untuk mengetahui isi cerita panil relief yang mengelilingi candi, pengunjung harus berjalan mengelilingi candi searah jarum jam atau dalam bahasa Jawa Kuna disebut pradaksina (Lelono, 1999: 8). Gambar

Foto no. 2. Adegan dua orang membawa payung? dan gada. Dok. Balar YK. Foto no. 3. Adegan laki-laki gemuk

tangannya diikat pada sebatang pohon di sebuah kebun ? Dok. Balar. YK

kain yang disebut cancut (kancut). Cara mengenakan cancut dililitkan dari bagian bawah kemudian ditarik ke atas dan diikat kemudian disimpul, kelihatan seperti sedang memakai cawat. (foto no. 4). Tradisi mengenakan kain cancut di daerah Onje, Purbalingga,

Foto no. 4. Adegan perkelahian dua orang laki-laki

dengan latar sebuah hutan (?) Dok.Balar-

YK

Page 93: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

178

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

2.2 Pembahasan2.2.1 Desa-Desa dan Jenis Kejahatan pada

Masa Jawa KunaDesa merupakan suatu bentuk

pemerintahan yang terkecil dari hirarki pemerintahan modern. Bentuk struktur pemerintahan semacam itu, kemungkinannya merupakan warisan dari tradisi generasi masa lalu yang masih tetap eksis hingga kini. Sebagai tempat pemerintahan yang terkecil, tentu letaknya juga relatif jauh dari pusat kekuasaan/ raja. Oleh karena itu, wajar jika di desa-desa yang letaknya jauh dari keramaian sering terjadi kejahatan dan sebagai tempat persembunyian yang ideal bagi para penjahat. Desa-desa sering dibatasi atau dikelilingi oleh hutan, sungai dan perbukitan yang merupakan batas alami. Pada masa Jawa Kuna, desa-desa sering disebut dengan nama wanua. Menurut Ninie Soesanti (1986: 305), Kerajaan Mataram Kuna pada sekitar abad ke-9 sampai dengan abad ke-10 Masehi, terbagi atas beberapa kesatuan wilayah. Satuan wilayah terkecil adalah wanua, dan data prasasti mencatat bahwa setiap wanua dipimpin oleh beberapa orang rãma yaitu dewan pimpinan wanua. Kemudian beberapa wanua (desa) bersekutu membentuk suatu kelompok yang disebut watak dan bergantung pada pimpinan seorang pejabat tinggi yang disebut rakai .

Berdasarkan sumber prasasti dapat diketahui, bahwa setiap wanua memiliki sejumlah pejabat wanua yang mengurusi kehidupan sehari-hari penduduk desa. Kemudian watak sebagai wilayah otonom juga mempunyai organisasi pemerintahan sendiri sedangkan pusat pemerintahan terdiri atas raja sebagai pucuk pemerintahan dibantu oleh para pejabat tinggi kerajaan. Jadi, raja adalah tempat tertinggi yang membawahi para pejabat tinggi kerajaan, pejabat-pejabat watak dan pejabat-pejabat wanua (Casparis, 1983: 7). Struktur tentang pemerintahan tersebut, memberikan gambaran bahwa pada lokasi wanua seringkali terjadi tindak kejahatan, karena jauh dari

Jawa Tengah sampai kini bisa dijumpai, sedangkan di Bali sejak tahun 1980-an para petani untuk mengolah sawah atau memanjat pohon kelapa sulit ditemukan. Sementara itu, dalam seni tari (kecak) masih menggunakan kain cancut dengan dominasi warna hitam putih (poleng). Cancut dibuat dari bahan kapas yang ditenun secara tradisional dengan menggunakan alat-alat dan bahan-bahan tradisional termasuk bahan warna alami yang digunakan dari bahan tumbuh-tumbuhan dan tanah. Panil-panil relief yang menghiasi candi-

candi yang relatif besar tersebar di Jawa Tengah, DI. Yogyakarta dan Jawa Timur. Pada umumnya candi bercorak keagamaan Budhis lebih banyak yang memuat cerita-cerita tantris atau yang berkaitan dengan kisah-kisah perjalanan hidup manusia sehari-hari. Dalam penggambarannya selalu digambarkan tentang contoh-contoh perbuatan baik dan buruk, dan akibat yang akan diterimanya kelak di kemudian hari yang akan diterima dari seluruh perbuatan manusia (karmapala). Beberapa panil relief yang menggambarkan kekerasan akan diacu dari ketiga candi tersebut, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Ke tiga candi tersebut, sekurangnya dapat memberikan informasi bahwa tindak kejahatan dalam berbagai bentuk dan kurban yang menjadi sasaran termasuk kaum wanita, telah marak terjadi pada masa Jawa Kuna. Oleh karena itu, selain relief candi untuk melengkapi informasi tentang jenis-jenis kejahatan yang terjadi pada masa lalu, dapat ditambahkan dari sumber-sumber prasasti dan naskah-naskah Jawa Kuna yang sudah diketahui isinya dan disimpan baik di museum maupun oleh kelompok masyarakat tertentu. Semakin banyak data arkeologis yang digunakan, tentunya semakin lengkap pula informasi untuk menyusun rekontruksi sejarah kuna masyarakat Jawa Kuna.

Page 94: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

179

T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna

seperti kata hidu kasirat (meludahi) dan tutan (mengejar lawan yang kalah). Beberapa contoh pelanggaran sedang yang ditulis dalam Naskah Purwwadhigama adalah tan kaduman ulihiŋ kinabehan (tidak kebagian hasil kerjasama), tan kawehaniŋ upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa riŋ samaya (ingkar janji). Sementara itu, pelanggaran berat seperti yang ditulis dalam Prasasti Saŋguran, antara lain: wipati wankay kābunan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rāh kasawur iŋ dalan (darah yang terhambur di jalan).

Dalam prasasti yang berasal dari sekitar abad ke-9 sampai dengan ke-10 memuat tentang tindakan kekerasan dengan berbagai tingkatan, dari sedang sampai berat. Sementara itu dalam Naskah Purwa Purwwadhigama dari masa yang lebih muda sekitar abad ke-16 Masehi, memuat jenis-jenis pelanggaran dalam tingkatan ringan dan sedang. Hal tersebut bukan berarti kemudian tidak terjadi tindak kejahatan berat, tetapi diduga pada masa-masa abad yang lebih muda tindak kekerasan mulai berkurang secara kualitas dan kuantitasnya.

2.2.2 Mengatasi Kejahatan dan Jenis JenisnyaKondisi sosial ekonomi, budaya,

pemerintahan, dan faktor-faktor alam seperti lingkungan alam/geografi s, tentu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan perilaku sehari-hari masyarakat Jawa Kuna. Tidak harmonisnya hubungan salah satu dari kondisi, faktor-faktor tersebut, dapat berakibat tingginya tingkat kejahatan. Gambaran masa lalu yang dapat diketahui melalui naskah-naskah kuna dan gambar-gambar pada relief candi, telah memberikan informasi secara fenomenal, tentang dinamika dan jenis-jenis kejahatan pada masa lalu. Bagaimana kemampuan kearifan lokal mampu menyikapi berbagai peristiwa kejahatan yang terjadi di masyarakat, dengan berlandaskan pada kultur dan sistem pemerintahan (birokrasi) yang dijalankan oleh para raja. Dilihat dari struktur pemerintahannya, wanua (desa) adalah pemerintahan yang paling

pusat pemerintahan. Oleh karena itu peran para pemimpin desa beserta seluruh warga harus saling bahu membahu untuk mengatasi dan menindak kejahatan. Berdasarkan akibat seringkalinya terjadi tindak kejahatan, maka dibuatlah undang-undang hukum yang kemudian dikelompokkan ke dalam beberapa jenis kejahatan.

Dunia kejahatan selalu berkembang seiring dengan dinamika masyarakatnya, dan selalu memanfaatkan kelemahan pemerintah yang ada. Suatu pemerintahan yang tegas dan adil, tentu akan menekan jumlah angka kriminalitas, sementara itu sebaliknya, jika penguasanya lemah dan tidak tegas akan meningkatkan angka kerjahatan. Hal menarik yang terjadi pada masa Jawa Kuna adalah, sekurangnya telah dapat dikelompokkan jenis-jenis kejahatan yang meresahkan masyarakat, ke dalam beberapa jenis. Anehnya kejahatan yang terjadi, berdasarkan jenisnya, terdapat jenis-jenis kejahatan yang menyangkut harga diri, sifat kesatria dan penghormatan terhadap wanita. Beberapa contoh jenisnya adalah, seperti tindak kekerasan terhadap perempuan, penghinaan dan makian, pencurian, tindak kekerasan, perbuatan tidak pantas terhadap suami-isteri, pembagian hak milik atau pembagian warisan, taruhan dan perjudian dan masih banyak lagi jenis-jenis kejahatan yang diuraikan dalam prasasti-prasasti tersebut di depan.

Berdasarkan isi keempat prasasti dan sebuah naskah dari masa Jawa Kuna tersebut, garis besarnya tindak kejahatan, kekerasan dan sikap saling menghargai dapat dikelompokkan menjadi beberapa tingkatan, mulai dari pelanggaran ringan, pelanggaran sedang dan pelanggaran berat, misalnya seperti pelanggaran ringan yang disebut di dalam Prasasti Saŋguran 928 Masehi, memuat peristiwa kekerasan yang berkaitan dengan norma dan etika khususnya yang berhubungan dengan kaum wanita, seperti mamumpaŋ (tindak kekerasan terhadap wanita). Aturan hukum yang berkaitan dengan etika dan perilaku yang bersifat kesatria,

Page 95: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

180

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

kasawur (darah tersebar berceceran) dan wankay kābunan (mayat kena embun), serangan dari para mariwun (penyamun ?), wipati wankay kābunan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rāh kasawur iŋ dalan (darah yang terhambur di jalan), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh niŋ kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk).Berkaitan dengan etika; b. wākcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), ludan (perkelahian ?), danda kudanda (pukul memukul).Berkaitan dengan sifat kesatria; c. tutan (mengejar lawan yang kalah ?), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis).Berkaitan dengan wanita: d. mamumpaŋ (tindak kekerasan terhadap wanita).

Dari empat jenis tindakan kekerasan tersebut di depan, yang menarik hanya tiga hal dan hingga saat ini masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ yang pelik bagi pakar hukum maupun pembuat undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam konteks perundangan khususnya tentang emansipasi wanita, dan persamaan hak-hak azazi manusia. Tantangan tersebut utamanya mendapat reaksi yang keras dari kelompok-kelompok yang ingin menegakkan aturan hukum adat dari luar Indonesia. Rupanya masalah menghargai dan menghormati hak-hak manusia, dalam sumber-sumber prasasti, nenek moyang telah mengenal tiga buah pilar utama seperti; menfi tnah/menuduh, sikap kesatria, dan penghormatan bagi kaum perempuan, dalam aturan-aturan hukum tersebut. Hal itu menandakan, bahwa sistem budaya yang dianut sudah sangat peduli, dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup kemasyarakatan. Kepedulian tersebut, sebenarnya bersumber dan mengacu pada tata-nilai yang hidup dalam kultur-religius masyarakat Jawa Kuna. Mereka menanamkan nilai-nilai luhur tersebut dalam setiap individu, keluarga, kelompok dan masyarakat untuk membentuk karakter, sehingga menjunjung

rendah dipimpin oleh seorang rãma. Desa yang terletak jauh dari pusat pemerintahan, sering menjadi incaran dan sasaran tindak kejahatan. Desa-desa terpencil seringkali tidak berdaya untuk mengatasi penjahat yang kuat atau jumlahnya lebih banyak. Oleh karena itu, mereka meminta bantuan kepada struktur pemerintahan yang ada di atasnya yaitu watak yang dipimpin seorang pejabat tinggi yang disebut rakai. Jika para rakai pun tidak berhasil mengatasi kejahatan tersebut, upaya terakhir yang ditempuh adalah dengan meminta bantuan kepada para pejabat tinggi kerajaan. Jika hal tersebut terjadi, maka kerajaan biasanya akan menugaskan para patih, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Mantyasih II 907 Masehi. Raja memerintahkan kepada lima orang patih dengan para rakai dan rakyat Desa Mantyasih (wanua) bersama-sama untuk melenyapkan gerombolan penjahat. Desa-desa yang berhasil mengamankan dan menjaga keamanan desa, dan akses-akses penting yang menuju ke kota akan mendapatkan penghargaan yang tinggi oleh raja.

Berkaitan dengan hal tersebut, di depan telah disebutkan beberapa jenis kejahatan yang sering menimpa rakyat. Dalam hal ini akan dibahas dan dikelompokkan jenis-jenis kejahatan ke dalam beberapa jenis berdasarkan tingkatan kejahatannya. Beragam jenis-jenis tindak kejahatan yang diacu dari naskah-naskah kuna memberikan gambaran, bahwa masyarakat Jawa Kuna bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman, tenteram dan damai, jauh dari segala tindak kejahatan. Kejahatan yang disebut astadasawyawahāra dalam Naskah Purwwadhigama, sebenarnya hanya sebagian besar saja atau tindak pidana yang seringkali terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Namun, berdasarkan jenisnya kejahatan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis kejahatan, seperti: tindakan kriminal dalam bahasa Jawa Kuna disebut ulah sāhasa (biasa, sedang dan keras), etika, sifat kesatria dan penghormatan terhadap kaum wanita. Beberapa jenis kejahatan tersebut antara lain:

Peristiwa kriminal a. (ulah sāhasa); rāh

Page 96: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

181

T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna

memberikan gambaran, bahwa kultur-religius ketika itu telah mempengaruhi sistem hukum yang berlaku untuk mencegah terjadinya kekerasan, pelecehan terhadap kaum perempuan.

Pesan moral yang dituangkan di dalam naskah-naskah hukum tersebut di depan, telah memberikan gambaran yang jelas, bahwa masyarakat dengan sistem pemerintahan yang tengah berkuasa pada masa itu sudah tertata dan berstruktur dengan rapi. Selain itu, masalah moral dan etika menjadi perhatian penting di dalam kehidupan sehari-hari. Ditulisnya dalam naskah-naskah hukum, menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap masalah moral dan etika, khususnya terhadap kaum perempuan pada masa itu sudah sering terjadi. Nilai-nilai luhur yang tumbuh dan berkembang pada masa Jawa Kuna merupakan bukti yang nyata, bahwa mereka selalu menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia tanpa memandang perbedaan gender laki-laki dan perempuan.

PENUTUPIII. 3.1 Kesimpulan

Dunia kejahatan selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan berlangsungnya waktu dan jaman. Berdasarkan dari beberapa sumber naskah-naskah Jawa-Kuna abad IX – X Masehi, dan dari beberapa gambar di panil relief candi sekitar abad XV – XVI Masehi, dapat diketahui jenis-jenis kejahatan yang sering terjadi. Dari sumber naskah-naskah hukum yang dimuat dalam Prasasti (Balingawan, Mantyasih II, Kaladi, Saŋguran dan Naskah Purwwadhigama), sekurangnya terdapat 18 jenis kejahatan. Ke delapan belas jenis tersebut, dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis pelanggaran berdasarkan sifat/ bentuk kejahatan yang berkaitan dengan: Peristiwa kriminal (rāh kasawur= darah tersebar berceceran); Berkaitan dengan etika (wākcapala=memaki-maki, duhilatan=menuduh, hidu kasirat= meludahi); Berkaitan dengan sifat kesatria (tutan= mengejar lawan yang kalah) dan; Berkaitan dengan wanita (mamumpaŋ = tindak kekerasan

tinggi nilai-nilai, etika, kesatria dan penghormatan terhadap gender. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan ketiga hukum tersebut berkaitan dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh nenek moyang, antara lain

Etika: a. duhilatan (menuduh), wākcapala (memaki-maki), hidu kasirat (meludahi), ludan (perkelahian ?), dan danda kudanda (pukul memukul). Dalam kehidupan masyarakat, biasa terjadi peristiwa seperti itu, karena kesalahpahaman antara dua pihak yang memiliki kepentingan. Tanpa menghiraukan orang lain dalam hidup bermasyarakat dapat mengakibatkan peristiwa tersebut. Oleh karena itu, masalah pendidikan moral seharusnya mulai ditanamkan sedini mungkin, dengan memberikan contoh, tindak-tanduk dan memberikan suri-teladan kepada anak-anak melalui pendidikan formal di sekolah dan pendidikan nonformal di dalam keluarga dan masyarakat/lingkungan. Sifat kesatria: b. tutan (mengejar lawan yang kalah ?), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis). Peristiwa tersebut dapat untuk menanamkan sifat-sifat dan semangat patriotisme sebagai bangsa yang bermartabat, untuk selalu menghormati lawan yang sudah kalah dan atau menyerahkan diri untuk diperlakukan dengan perikemanusiaan, sehingga dapat membentuk manusia-manusia yang berjiwa satria, dapat membedakan dan membaca situasi lawan dan musuh-musuhnya. Persamaan dan perlindungan bagi kaum c. perempuan: mamumpaŋ (tindak kekerasan terhadap wanita). Sampai kini masih terjadi pelanggaran terhadap hak-hak perempuan yang disebabkan masuknya kultur dari bangsa lain yang tidak sesuai dengan kultur bangsa sendiri. Masyarakat Jawa Kuna juga mengalami hal serupa, sehingga mereka perlu menciptakan dan mengeluarkan undang-undang hukum/awig-awig, untuk melindungi kaum perempuan. Data tersebut

Page 97: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

182

Forum Arkeologi Volume 25 No. 2 Agustus 2012

diikuti pesta-pora bersamaan dengan pemberian tanda berupa tugu batu menjadi sebuah sima. Peresmian tersebut, secara politis semakin memperkokoh hubungan para wanua, watak, dan kerajaan dalam suatu hirarki pemerintahan yang harmonis. Dalam konteks tersebut di depan, pada prinsipnya diperlukan langkah dan tindakan nyata dengan melakukan koordinasi dan komunikasi yang intensif untuk menjaga keamanan negara/kerajaan secara bersama-sama sesuai dengan sifat dan jatidiri asli Bangsa Indonesia.

3.2 RekomendasiStudi tentang prasasti, naskah-naskah kuna

yang berisikan peraturan hukum tentang tindak kejahatan, menarik untuk dilakukan secara terus-menerus. Dari berbagai jenis pelanggaran atau tindak kejahatan di masa lalu yang terjadi, tentu relevan dengan tindak kejahatan yang terjadi di masa sekarang, karena secara substansional adat-istiadat dan budaya bangsa Indonesia merupakan warisan turun-temurun hingga saat ini. Oleh karena itu perihal nilai-nilai positif yang menjadi pedoman nenek moyang kita, patut untuk dilestarikan dan menjadi dasar pijakan hukum di negara yang berkembang ini. Nilai-nilai positif tersebut berupa nilai luhur yang dapat digunakan sebagai identitas atau jatidiri suatu daerah, regional bahkan nasional. Melalui karya-karya sastra dan relief sebagai cagar budaya yang adi luhung dapat mengungkap tentang kehidupan dan nilai-nilai positif nenek moyang di masa lalu. Sekali lagi hal tersebut menjadi sangat penting dalam rangka pembentukan jatidiri dan karakter asli Indonesia yang saat ini mulai ditinggalkan dan dilupakan oleh para pemimpin Indonesia Raya.

DAFTAR PUSTAKABoechari. 1986. “Perbanditan Dalam Masyarakat

Jawa Kuna” Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) IV, hal. 160- 161. Cipanas Jawa Barat.

terhadap wanita). Hal tersebut mencerminkan, bahwa tatanan kehidupan yang berkaitan dengan masalah norma, etika dan moral menjadi dasar dalam memilah dan menentukan jenis-jenis kejahatan. Fenomena menarik lainnya adalah, bahwa kaum wanita mendapat perhatian khusus dengan disebutkannya tindak kekerasan terhadap kaum wanita dalam kitab tersebut. Hal tersebut membuktikan, bahwa kaum wanita telah mendapat perlindungan hukum agar terhindar dari tindak kesewenang-wenangan.

Kejahatan marak terjadi, seperti yang dituliskan di dalam prasasti, sementara itu faktor penyebabnya belum diketahui, karena isi prasasti tidak menyebabkan faktor penyebabnya. Informasi mengenai penyebab kejahatan dapat diacu dari bukti-bukti arkeologis dari penggambaran relief berlukiskan sebuah panorama pedesaan yang subur dengan sawah serta saluran-saluran irigasi, hutan dengan pohon-pohon tinggi dan lebat, di latari oleh gunung yang menjulang tinggi, relief lainnya menggambarkan bentuk permukiman rumah penduduk dengan pagar tembok yang mengelilingi. Hal itu menandakan sering mendapat gangguan binatang buas dan tindak kejahatan. Jarak satu desa dengan desa lainnya, jarak dengan pusat-pusat pemerintahan relatif jauh dengan kondisi topografi yang berbukit, sungai, dengan hutan-hutan lebat menjadi rawan terjadinya kejahatan.

Para penguasa (raja) pada masa Jawa-Kuna untuk mengatasi kejahatan, telah membuat aturan-aturan tentang pemberian penghargaan bagi setiap desa, kepala desa, pejabat pemerintahan yang berhasil menumpas dan menjaga kejahatan yang sering terjadi dengan memberikan anugerah berupa tanda jasa. Setiap keberhasilan menumpas kejahatan yang sudah lama meresahkan masyarakatnya atau kejahatan berat, kemudian selalu diikuti dengan pemberian penghargaan yang tinggi, seperti misalnya desa tersebut berubah statusnya menjadi sima/daerah perdikan. Perubahan status tersebut, merupakan hal yang menggembirakan dan biasanya dilangsungkan sebuah upacara dengan

Page 98: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

183

T.M. Hari Lelono Jenis-Jenis Kejahatan Berdasarkan Naskah Dan Relief Pada Masa Jawa Kuna

Casparis, JG de. 1983. Evolution of the Socio Economic Status of the East Javanese Village and its inchabitants, c AD 900-1400. Makalah dalam The Fourth Indonesian-Dutch History Conference, July 1983. Yogyakarta.

Damais, L.Ch. 1951. “Methode de reduction des dates Javanaises en dates europeennes”. BEFEO., tome XLV, hal. 1 - 4 1 . Etodesd’Ephigraphie Indonesienne, I.

Lelono, Hari. 1999. “Pakaian dan Stratifi kasi Sosial Masa Klasik Pada Relief Candi-Candi di Jawa Tengah, DI. Yogyakarta dan Jawa Timur”. Laporan Penelitian Arkeologi (LPA). Hal. 7 - 8. Balai Arkeologi Yogyakarta.

Pigeaud, Th.G. 1967. Erucakra-Vairocana. India Antiqua. A volume of Oriental s t u d i e s presented by his friends and pupils to Jean Philippe Vogel, C . I . E . , on the occasion of the fi ftieth anniversary of his doctorate. Hal. 70. E.J. Brill. Leiden.

Soesanti, Ninie. 1986. “Mekanisme Birokrasi di Jaman Raja Balitung (898-910 M)”. Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) IV, hal. 305. Cipanas 1986. Jawa Barat.

Suarbhawa, I Gusti Made. 2010. “Satu Lempeng Prasasti Tamblingan”. Forum Arkeologi. Tahun XXIII No.3 November 2 0 1 0 . Balai Arkeologi Denpasar. hal. 596 –622.

Page 99: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan

ix

KETENTUAN NASKAH UNTUK FORUM ARKEOLOGI

Naskah yang dimuat dalam Forum Arkeologi adalah :1. Naskah hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan arkeologi yang dilakukan oleh

para peneliti, akademisi maupun pemerhati.2. Naskah berisikan hasil-hasil penelitian dan pengembangan arkeologi dan kebudayaan.Bentuk Naskah :1. Naskah adalah hasil penelitian yang belum pernah diterbitkan.2. Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dan ditulis pada kertas A4 (satu

sisi), dan setiap lembar tulisan diberi nomor halaman dengan jumlah halaman 15 - 20, jarak spasi 1 spasi. Model huruf yang digunakan adalah Times New Roman dengan font 12. Margin atas 4 cm, margin bawah 3 cm, margin kiri 4 cm, dan margin kanan 3 cm. Naskah diserahkan dalam bentuk hard copy dan soft copy.

3. Judul ditulis secara ringkas tetapi cukup informatif untuk mendeskripsikan isi tulisan. Huruf serta Kata Judul berupa huruf kapital tebal (bold).

4. Gelar dari nama penulis tidak perlu dicantumkan.5. Artikel yang ditulis dalam Bahasa Indonesia mencantumkan abstrak dalam dua bahasa yaitu Bahasa

Indonesia dan Bahasa Inggris.6. Materi Naskah disusun mengikuti kaidah yang lazim, berdasarkan urutan sebagai berikut :

Judul tulisan, Abstrak, Kata kunci, Pendahuluan, Hasil dan Pembahasan, Penutup dan Daftar Pustaka.

7. Abstrak merupakan ringkasan penelitian dan tidak lebih dari 150 kata. Kata kunci harus ada dan mengacu pada Agrovoca, kata kunci terdiri atas tiga sampai enam kata.

8. Apabila terdapat istilah asing dan istilah lokal maka istilah tersebut ditulis dengan abjad miring (italic).

9. Gambar, tabel, grafi k, peta, foto dan ilustrasi lain disajikan dengan jelas dan tajam. Ukuran gambar, grafi k, tabel, peta, foto disesuaikan dengan halaman jurnal. Semua gambar, grafi k, peta dan foto diberi nomor urut dan diacu dalam teks.

10. Kesimpulan disajikan secara singkat dengan mempertimbangkan judul, maksud dan tujuan, serta hasil penelitian.

11. Penunjuk sumber dalam naskah supaya dibuat dengan urutan sebagai berikut: nama pengarang, tahun terbit dan halaman sumber, semuanya ditempatkan dalam tanda kurung (Lansing, 1991: 93). Penunjuk sumber beserta keterangan lengkap lainnya agar dibuat dalam sebuah daftar yang disusun menurut abjad nama pengarang pada lembar khusus yang diberi judul DAFTAR PUSTAKA. Contoh :

DAFTAR PUSTAKALansing, J.S., 1991. Priest and Programmers: Technologies of Power in the Engineer Lanscape of Bali,

University Press, Princeton.12. Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahukan secara tertulis. Penulis yang artikelnya

dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak 5 eksemplar dan cetak lepasnya.

Page 100: FORUM · 2020. 2. 27. · Judul masing-masing artikel dalam Forum Arkeologi nomor ini sudah memakai dua bahasa, ... kerajaan-kerajaan lokal di Pulau Sumbawa maupun dengan kerajaan-kerajaan