Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Mikroemulsi Gel ...
Transcript of Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Mikroemulsi Gel ...
Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Mikroemulsi Gel Griseofulvin
Anindya Hana Iradhati, Mahdi Jufri
Departemen Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia.
Email: [email protected]
Abstrak
Griseofulvin merupakan obat antifungi yang memiliki kelarutan yang buruk serta dapat memberikan efek samping apabila digunakan secara oral dalam jangka panjang; seperti proteinuria, nefrosis, leukopenia, dan hepatitis. Griseofulvin dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan mikroemulsi untuk meningkatkan kelarutannya. Tujuan penelitian ini adalah membuat dan mengevaluasi formulasi mikroemulsi gel untuk penggunaan topikal sehingga meningkatkan kelarutan dan keamanan griseofulvin. Formula mikroemulsi yang didapatkan dari hasil optimasi mengandung 5% asam oleat sebagai fase minyak, 25% tween 80 sebagai surfaktan, dan 20% etanol (96%) sebagai kosurfaktan. Pengamatan organoleptis menunjukkan mikroemulsi memberikan warna kuning dan transparan, sementara mikroemulsi gel memberikan warna kuning dan agak keruh. Sediaan mikroemulsi dan mikroemulsi gel yang dihasilkan memiliki ukuran globul 158.0 nm dan 226.0 nm dan stabil pada penyimpananpada temperatur 4oC ± 2oC, 25oC ± 2oC, dan 40oC ± 2oC.
Formulation and Physical Stability Test of Griseofulvin Microemulsion Gel
Abstract
Griseofulvin is an antifungal drug with low solubility and several serious side effects that could occur when used orally for long period of time, such as proteinuria, nephrosis, leucopenia, and hepatitis. Griseofulvin solubility could be enhanced by formulating it into microemulsion. The main objective of this research is to make and evaluate the formulationof griseofulvon microemulsion gel for topical use to increase the solubility and safety of the drug. The optimized microemulsion formula contains 5% oleic acid as oil phase, 25% tween 80 as surfactant, and 20% etanol (96%) as cosurfactant. Organoleptic observation of microemulsion showed clear and transparent yellowish color, while the microemulsion gel showed hazy yellowish color. Both microemulsion and microemulsion gel have alcoholic smell. The globule size of microemulsion and microemulsion gel are 158.0 nm and 226.0, respectively. Griseofulvin microemulsion gel was stable at temperature 4oC ± 2oC, 25oC ± 2oC, and 40oC ± 2oC.
Keywords: antifungal, griseofulvin, microemulsion gel, physical stability, formulation
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
Pendahuluan Griseofulvin merupakan obat antijamur yang efektif pada beberapa spesies jamur seperti
Microsporum, Epidermophyton, dan Trichophyton (International Agency for Research on Cancer
[IARC], 2001). Griseofulvin bersifat praktis tidak larut dalam air dan termasuk kelas II pada
Biopharmaceutical Classification System (BCS), yang berarti obat tersebut memiliki kelarutan
rendah namun permeabilitas tinggi (Tanaka, Waki & Nagata, 2013). Kelarutan yang rendah
dalam air menyebabkan griseofulvin memiliki laju disolusi rendah, yang kemudian menyebabkan
rendahnya bioavailabilitas obat. Kelarutan griseofulvin yang rendah dapat ditingkatkan dengan
diformulasikan dalam bentuk sediaan mikroemulsi (Aggarwal, Goindi & Khurana, 2013). Hal
inilah yang mendasari pemilihan bentuk sediaan mikroemulsi gel griseofulvin.
Griseofulvin dapat menyebabkan beberapa efek samping sistemik apabila diberikan
secara oral dalam jangka panjang (Moghimipour, Salimi & Leis, 2013). Efek samping yang dapat
muncul adalah proteinuria, nefrosis, leukopenia, hepatitis, gangguan pembekuan darah, kenaikan
enzim liver, hiperbilirubinemia, dan pendarahan pada saluran pencernaan (U.S National Library
of Medicine [NLM], 2016). Untuk menghindari munculnya efek samping tersebut, sediaan
mikroemulsi gel griseofulvin ditujukan untuk penggunaan topikal.
Tinjauan Teoritis Griseofulvin
Griseofulvin merupakan antifungi yang umum digunakan untuk mengatasi infeksi yang
disebabkan oleh spesies Microsporum, Epidermophyton dan Trichophyton. Griseofulvin bekerja
dengan menginhibisi proses mitosis jamur dengan merusak spindel mitosis melalui interaksi
dengan mikrotubulus (Moghimipour, Salimi & Leis, 2013). Griseofulvin bersifat praktis tidak
larut dalam air, mudah larut dalam dimetilformamid dan tetrakloroetan, dan sukar larut dalam
metanol dan etanol anhidrat (British Pharmacopoeia Commission Secretariat, 2013). Griseofulvin
diklasifikasikan dalam BCS (Biopharmaceutical Classification System) kelas II, yaitu memiliki
kelarutan rendah namun permeabilitas tinggi (Tanaka, Waki & Nagata, 2013) yang menyebabkan
bioavailabilitasnya rendah sehingga mengurangi efektivitas terapi. Umumnya griseofulvin
digunakan secara oral untuk infeksi pada kulit kepala, rambut, kuku, dan kulit; namun terdapat
penelitian yang menunjukkan griseofulvin juga memberikan efek yang baik saat digunakan
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
secara topikal (Aggarwal, Goindi & Khurana, 2013). Griseofulvin memberikan cukup bukti
karsinogenesis pada uji terhadap hewan coba (IARC, 2001).
Mikroemulsi
Mikroemulsi merupakan emulsi dengan ukuran droplet 1-100 nm, umumnya 10-50 nm.
Mikroemulsi bersifat stabil secara termodinamik, jernih, memiliki tegangan antarmuka air dan
minyak yang sangat rendah, dan terbentuk secara spontan. Mikroemulsi terbentuk karena
konsentrasi surfaktan mencapai atau melebihi konsentrasi misel kritis atau critical micelle
concentration (Maya, 2006). Penampilan mikroemulsi yang jernih disebabkan ukuran droplet
fase terdispersi yang lebih kecil daripada panjang gelombang cahaya tampak, sehingga
mikroemulsi tidak menghamburkan cahaya seperti emulsi konvensional (Talegaonkar, Negi &
Sharma, 2015). Mikroemulsi tersusun atas fase minyak, fase air, surfaktan, dan kosurfaktan.
Kosolven dapat ditambahkan untuk melarutkan zat-zat yang sukar larut dalam fase air maupun
fase minyak.
Mikroemulsi merupakan salah satu cara untuk mengenkapsulasi obat dengan
memerangkap obat dalam droplet air atau minyak pada fase terdispersi dalam sistem mikroemulsi
tersebut. Mikroemulsi dapat meningkatkan kelarutan obat lipofilik dan meningkatkan absorbsi
obat perkutan sehingga cocok digunakan untuk sediaan topikal (Moghimipour, Salimi & Leis,
2013). Berdasarkan komposisi komponennya, mikroemulsi dapat dibagi menjadi mikroemulsi
minyak dalam air, mikroemulsi air dalam minyak, dan mikroemulsi bikontinu.
Emulgel
Emulgel merupakan emulsi yang dibentuk menjadi gel dengan penambahan gelling agent
yang sesuai. Sediaan emulgel merupakan salah satu sistem penghantaran obat topikal yang
penting karena memiliki dua sistem pelepasan, yaitu gel dan emulsi (Singh, Bala, Seth & Kalia,
2014). Sediaan emulgel memiliki beberapa kelebihan seperti memiliki sifat aliran tiksotropik,
tidak terasa berminyak, mudah tersebar, mudah dihilangkan dari permukaan kulit, dapat
melembabkan kulit, tidak meninggalkan bekas, waktu kadaluarsa yang lebih lama, dan memiliki
penampilan yang baik (Singla, Saini, Joshi & Rana, 2012).
Emulgel dapat digunakan untuk meningkatkan penghantaran topikal obat hidrofobik
dengan meningkatkan absorbsi obat sehingga meningkatkan bioavailabilitas obat (Singh, Bala,
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
Seth & Kalia, 2014). Obat hidrofobik tidak dapat langsung dicampurkan ke dalam basis gel
karena memiliki kelarutan yang rendah, karena itu obat hidrofobik didispersikan terlebih dulu di
dalam droplet minyak dalam fase terdispersi emulsi, kemudian emulsi tersebut ditambahkan basis
gel hingga terbentuk emulgel. Hal ini menyebabkan emulgel lebih stabil dari bentuk sediaan lain.
Kelebihan lain dari sediaan emulgel adalah mudah dibuat dan bahan-bahan yang digunakan
murah dan mudah didapatkan. Bahan pembentuk emulgel adalah minyak, air, bahan pengemulsi,
gelling agent, dan dapat ditambahkan peningkat permeasi (permeation enchancers).
Uji Stabilitas Sediaan Farmasi
Stabilitas sediaan farmasi diartikan sebagai berapa lama suatu sediaan mempertahankan
keadaan dan karakteristik saat pengemasan selama masa penyimpanan dan penggunaannya. Uji
stabilitas mengevaluasi faktor lingkungan yang mempengaruhi kualitas dari zat aktif atau sediaan
yang akan digunakan untuk memprediksi waktu kadaluarsa (shelf life), cara penyimpanan, dan
pelabelan zat aktif atau sediaan tersebut. Uji stabilitas fisik mengukur beberapa parameter seperti
tampilan fisik, konsistensi, keseragaman bobot dan kandungan, kejernihan (untuk cairan),
kandungan air, ukuran dan bentuk partikel, dan integritas kemasan. Sementara uji stabilitas kimia
mengukur degradasi produk, potensi zat aktif, aktivitas eksipien, dan lain-lain. Untuk uji
stabilitas mikrobiologis mengukur perubahan mikrobiologi yang terjadi pada sediaan, seperti
pertumbuhan mikroorganisme dan efektivitas pengawet (Bajaj, Singla & Sakhuja, 2012).
Terdapat empat metode uji stabilitas sediaan farmasi, yaitu uji stabilitas sebenarnya, uji
stabilitas dipercepat, uji stabilitas sampel pertinggal, dan uji stabilitas terhadap siklus suhu. Pada
uji stabilitas sebenarnya (real-time stability testing), durasi pengujian lebih lama dari waktu
kadaluarsa untuk melihat degradasi produk yang terjadi pada kondisi penyimpanan. Pada uji
stabilitas dipercepat (accelerated stability testing), produk diuji dengan beberapa temperatur yang
lebih tinggi dari temperatur lingkungan. Data yang didapatkan dari uji stabilitas dipercepat dapat
digunakan untuk memperkirakan waktu kadaluarsa (shelf life) atau untuk membandingkan
kestabilan beberapa formulasi yang berbeda. Uji stabilitas sampel pertinggal (retained sample
stability testing) dilakukan pada produk yang telah dipasarkan. Pengujian paling sedikit
dilakukan pada satu sampel pertinggal dari satu bets tiap tahun. Metode uji stabilitas terhadap
siklus suhu (cyclic temperature stress testing) menguji sampel terhadap perubahan suhu, yang
ditujukan untuk meniru kondisi penyimpanan saat produk telah dipasarkan. Periode uji umumnya
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
adalah 24 jam untuk meniru siklus harian bumi. Suhu maksimum dan minimum percobaan
ditentukan berdasarkan beberapa faktor, seperti suhu penyimpanan produk yang disarankan dan
degradasi produk. Pengujian disarankan untuk dilakukan sebanyak 20 siklus.
Metode Penelitian Pembuatan Pseudo-ternary Phase Diagram
Pembuatan diagram fase pseudo-terner bertujuan untuk mengetahui apakah formula yang
digunakan akan memberikan sediaan mikroemulsi yang baik. Diagram fase pseudo-terner akan
menunjukkan konsentrasi air, minyak, dan campuran surfaktan-kosurfaktan yang akan digunakan
pada formulasi yang dapat menghasilkan mikroemulsi. Pembuatan diagram fase pseudo-terner
dilakukan dengan metode titrasi air (water titration method). Campuran surfaktan dan
kosurfaktan (Tween 80-Etanol 96% 5:4) dan fase minyak (asam oleat) dicampurkan dengan rasio
1:9, 2:8, 3:7, 4:6, 5:5, 6:4, 7:3, 8:2, dan 9:1. Kemudian campuran tersebut diteteskan aquadest
dengan pengocokan hingga terbentuk cairan jernih yang menandakan mikroemulsi. Diagram fase
pseudo-terner dibuat dari hasil percobaan yang didapatkan, menggunakan program CHEMIX
School versi 3.60 (demo).
Percobaan Pendahuluan
Percobaan pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi asam oleat, tween 80,
dan etanol 96% yang menghasilkan formula mikroemulsi griseofulvin yang terbaik. Konsentrasi
asam oleat yang digunakan adalah 5%, 7%, dan 9%. Konsentrasi tween 80 yang digunakan
adalah 20%, 25%, 30%, dan 35%. Konsentrasi etanol yang digunakan adalah 20% dan 25%.
Formulasi mikroemulsi yang terbaik adalah formulasi yang memberikan hasil larutan jernih
ketika dilihat secara organoleptis.
Pembuatan Mikroemulsi Gel Griseofulvin
Mikroemulsi dibuat dengan mencampurkan bahan-bahan ke dalam fase minyak atau fase
air secara terpisah. Aquadest dan tween 80 dicampurkan dan dipanaskan hingga suhu 40oC.
Griseofulvin dilarutkan ke dalam asam oleat, kemudian dicampurkan dengan campuran aquadest
dan tween 80 menggunakan homogenizer dengan kecepatan 5000 rpm. Etanol 96% lalu
ditambahkan ke dalam campuran fase minyak dan air sambil terus diaduk dengan homogenizer.
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
Mikroemulsi kemudian didiamkan hingga stabil selama 24 jam.
Basis gel dibuat pada wadah yang terpisah. Carbopol 940 dilarutkan dalam air sambil
diaduk, kemudian ditambahkan trietanolamin sedikit demi sedikit. Campuran carbopol 940 dan
trietanolamin kemudian diaduk menggunakan homogenizer dengan kecepatan 2000 rpm hingga
terbentuk basis gel. Basis gel kemudian didiamkan hingga stabil selama 24 jam.
Setelah didiamkan, mikroemulsi kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam
basis gel sambil diaduk menggunakan homogenizer dengan kecepatan 3000 rpm hingga terbentuk
mikroemulsi gel griseofulvin.
Evaluasi Sediaan Mikroemulsi Gel Griseofulvin
Evaluasi yang dilakukan pada sediaan mikroemulsi gel griseofulvin adalah evaluasi
secara organoleptis, pengukuran distribusi ukuran globul, pengukuran pH, dan pengukuran
viskositas dan rheologi.
Pengamatan organoleptis yang dilakukan adalah pengamatan bentuk, warna, bau, dan
kejernihan sediaan. Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu.
Pengukuran distribusi ukuran globul dilakukan dengan alat particle size analyzer.
Pengukuran distribusi ukuran globul mikroemulsi dilakukan pada minggu ke-0 dan ke-8.
Pengukuran pH sediaan diukur dengan pH meter. pH sediaan yang diinginkan yaitu
berada dalam rentang pH kulit yaitu 5,5-5,9. Sebelum pengukuran, pH meter dikalibrasi dengan
dapar pH 4 dan 7. Pengukuran pH dilakukan setiap minggu selama 8 minggu. Pengukuran
dilakukan sebanyak tiga kali.
Pengukuran viskositas dan rheologi dilakukan dengan alat viskometer Brookfield.
Pengukuran dilakukan pada suhu ruang pada minggu ke-0 dan ke-8.
Uji Stabilitas Fisik Mikroemulsi Gel Griseofulvin
Uji stabilitas fisik yang dilakukan pada sediaan mikroemulsi gel griseofulvin adalah
cycling test, uji penyimpanan pada temperatur 4oC ± 2oC, uji penyimpanan pada temperatur 25oC
± 2oC, uji penyimpanan pada temperatur 40oC ± 2oC, dan uji mekanik (sentrifugasi).
Cycling test dilakukan sebanyak 6 siklus. Tiap siklus terdiri atas penyimpanan sediaan
pada temperatur 4oC ± 2oC selama 24 jam dan penyimpanan sediaan pada temperatur 40oC ± 2oC
selama 24 jam. Percobaan dilakukan sebanyak tiga kali. Pengamatan yang dilakukan adalah
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
pengamatan kondisi fisik secara organoleptis dan pengamatan pemisahan fase.
Uji penyimpanan pada temperatur 4oC ± 2oC dilakukan dengan menyimpan sediaan
mikroemulsi pada temperatur 4oC ± 2oC selama 8 minggu. Pengamatan yang dilakukan adalah
pengamatan kondisi fisik secara organoleptis dan perubahan pH setiap 2 minggu. Percobaan
dilakukan sebanyak tiga kali. Uji penyimpanan pada temperatur 25oC ± 2oC dan 40oC ± 2oC
dilakukan dengan cara yang sama.
Uji mekanik (sentrifugasi) dilakukan menggunakan sentrifugator. Sampel dari sediaan
mikroemulsi dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi, kemudian tabung dimasukkan ke dalam
sentrifugator lalu disentrifugasi dengan kecepatan 3800 rpm selama 5 jam. Perlakuan ini setara
dengan efek gravitasi selama 1 tahun. Pengamatan dilakukan secara organoleptis. Kondisi fisik
sediaan dibandingkan sebelum dan sesudah disentrifugasi. Percobaan ini dilakukan tiga kali.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Pembuatan Pseudo-ternary Phase Diagram
Diagram fase pseudo-terner dibuat untuk mengetahui kisaran konsentrasi air, minyak, dan
campuran surfaktan-kosurfaktan yang memberikan hasil sediaan mikroemulsi. Diagram fase
pseudo-terner yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 1. Daerah mikroemulsi ditunjukkan
dengan warna biru. Titik merah menunujukkan formulasi yang digunakan pada pembuatan
mikroemulsi gel griseofulvin.
Diagram fase pseudo-terner menunjukkan semakin besar kadar asam oleat dan semakin
kecil kadar campuran surfaktan-kosurfaktan, semakin kecil kadar air yang ditambahkan untuk
menghasilkan mikroemulsi. Pada campuran dengan rasio asam oleat dan surfaktan-kosurfaktan
1:9, air yang ditambahkan sebanding dengan jumlah asam oleat dan campuran surfaktan-
kosurfaktan. Sementara, pada campuran dengan rasio asam oleat dan surfaktan-kosurfaktan 1:9,
air yang ditambahkan hanya 1/10 dari jumlah total campuran. Hal ini dapat disebabkan pada
konsentrasi asam oleat yang tinggi, fase luar merupakan fase minyak, sehingga penambahan air
dalam jumlah banyak menyebabkan mikroemulsi tidak stabil.
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
Gambar 1. Diagram fase pesudo-terner mikroemulsi
Percobaan Pendahuluan
Percobaan pendahuluan dilakukan untuk menentukan konsentrasi minyak, surfaktan, dan
kosurfaktan terbaik yang akan digunakan dalam formula mikroemulsi gel griseofulvin. Hasil
percobaan pendahuluan menunjukkan semakin besar kadar asam oleat, semakin besar kadar
tween 80 dan etanol 96% yang dibutuhkan untuk menghasilkan mikroemulsi. Hal ini disebabkan
semakin besar kadar minyak, semakin besar kadar HLB butuh (required hydrophile-lipophile
balance) untuk membuat emulsi (Sinko, 2006). Selain itu, semakin banyak fase minyak yang
digunakan, semakin banyak volume minyak yang dibentuk menjadi globul, sehingga mengurangi
kadar surfaktan (Maya, 2006). Sehingga, semakin besar kadar asam oleat yang digunakan dalam
formulasi, semakin besar pula HLB butuh dan kadar surfaktan yang diperlukan untuk membentuk
misel, sehingga kadar tween 80 dan etanol 96% yang dibutuhkan juga semakin besar. Kadar fase
dalam yaitu asam oleat yang besar juga membuat emulsi lebih tidak stabil karena tegangan
antarmuka lebih besar, sehingga membutuhkan lebih banyak tween 80 dan etanol 96%.
Dari hasil percobaan, dipilih kadar asam oleat 5%, tween 80 25%, dan etanol 20% untuk
digunakan pada formula mikroemulsi gel griseofulvin.
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
Tabel 1. Hasil percobaan pendahuluan formulasi sediaan mikroemulsi
Formula Asam Oleat (%) Tween 80 (%) Etanol 96% (%) Aquadest (%) Hasil F1 5 20 20 55 Keruh
25 50 Jernih 25 20 50 Jernih
25 45 Jernih 30 20 45 Jernih
25 40 Jernih 35 20 40 Jernih
25 35 Jernih F2 7 20 20 53 Keruh
25 48 Jernih 25 20 48 Keruh
25 43 Jernih 30 20 43 Jernih
25 38 Jernih 35 20 38 Jernih
25 33 Jernih F3 9 20 20 51 Keruh
25 46 Keruh 25 20 46 Keruh
25 41 Keruh 30 20 41 Keruh
25 36 Jernih 35 20 36 Jernih
25 31 Jernih
Pembuatan Mikroemulsi Gel Griseofulvin
Kadar asam oleat yang digunakan adalah 5% karena memberikan hasil mikroemulsi yang
stabil dengan kadar tween 80 dan etanol 96% terkecil. Kadar tween 80 yang digunakan adalah
25% dan kadar etanol 96% yang digunakan adalah 20%. Penggunaan tween 80 dan etanol 96%
dalam kadar terkecil yang memberikan hasil mikroemulsi ditujukan untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya iritasi pada kulit. Tween 80 dan etanol 96% dapat mengiritasi kulit
(National Library of Medicine [NLM], 2016; Lachenmeier, 2008). Etanol 96% juga dapat
menyebabkan dermatitis, khususnya pada pasien dengan defisiensi aldehid dehidrogenase
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
(Lachenmeier, 2008). Basis gel terdiri atas 1% carbomer 940, 1% trietanolamin, dan aquadest.
Basis gel yang dibuat didiamkan selama 24 jam sebelum dicampurkan dengan mikroemulsi,
untuk menghilangkan gelembung yang terperangkap dalam gel.
Tabel 2. Formula mikroemulsi gel griseofulvin
Komposisi Mikroemulsi Kadar dalam Formula (%) Griseofuvin 0,2 Asam Oleat 5 Tween 80 25 Etanol 96% 20 Aquadest 24,8 Basis Gel : 25
Carbopol 1 Trietanolamin 1 Aquadest 98
Evaluasi Organoleptis
Mikroemulsi griseofulvin memberikan warna kuning transparan dan berbau alkohol.
Mikroemulsi gel griseofulvin memberikan warna kuning, agak keruh, dan berbau alkohol.
Mikroemulsi tidak menunjukkan pemisahan fase sebelum dan sesudah penambahan basis gel,
yang berarti mikroemulsi tersebut stabil. Saat dioleskan sediaan mikroemulsi gel terasa dingin,
hal ini disebabkan konsentrasi etanol 96% yang tinggi.
Pengukuran Distribusi Ukuran Globul
Tabel 3. Hasil pengukuran ukuran globul dan zeta potensial
Sediaan Minggu ke Ukuran globul (nm) Polydispersity index (pdi) Zeta Potensial (mV) Mikroemulsi 0 ±158.0 0.241
8 ± 127.0 0.266 -30.1 Mikroemulsi gel 0 ± 226.0 0.288
8 ± 145.4 0.541 -21.9
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
Pengukuran ukuran globul dilakukan dengan particle size analyzer zetasizer ver. 6.20
(Malvern). Ukuran globul mikroemulsi pada minggu ke-0 yaitu 158.0 nm tidak memenuhi
kriteria ukuran globul mikroemulsi, yaitu 1-100 nm. Hal ini disebabkan karena konsentrasi tween
80 dan etanol 96% yang digunakan cukup rendah. Semakin tinggi kadar surfaktan-kosurfaktan,
semakin kecil ukuran globul karena fase internal tersolubilisasi dalam surfaktan (Shinde,
Pokharkar & Modani, 2012). Sediaan mikroemulsi masih terlihat jernih walaupun memiliki
ukuran globul >100 nm karena emulsi dengan ukuran globul dibawah 200 nm memberikan
tampilan transparan (Kumar, Kushwaha & Sharma, 2014). Ukuran globul mikroemulsi gel lebih
besar dibandingkan sediaan mikroemulsi. Hal ini disebabkan penambahan gel memperbesar
ukuran globul mikroemulsi.
Hasil pengujian ukuran partikel pada minggu ke-8 menunjukkan penurunan ukuran
partikel. Namun hal tersebut diikuti dengan keseragaman ukuran globul yang berkurang. Hal ini
dapat dilihat dari polydispersity index mikroemulsi dan mikroemulsi gel yang meningkat, serta
jumlah puncak grafik ukuran partikel mikroemulsi gel yang lebih dari satu.
Penurunan ukuran partikel yang diikuti dengan berkurangnya keseragaman ukuran globul
sediaan mikroemulsi dan mikroemulsi gel griseofulvin dapat disebabkan flokulasi partikel-
partikel berukuran besar, sehingga hasil pembacaan particle size analyzer menunjukkan ukuran
partikel kecil namun tidak seragam. Hal ini dapat terjadi akibat fenomena Ostwald Ripening.
Sediaan nanopartikel dengan zeta potensial lebih besar dari +30 mV dan lebih kecil dari
-30 mV menunjukkan stabilitas yang baik, sementara sediaan dengan nilai zeta potensial yang
kecil menunjukkan aggregasi partikel yang cepat akibat gaya Van der Waals (Júnior, 2014;
Sinko, 2006). Dapat disimpulkan bahwa sediaan mikroemulsi lebih stabil dibandingkan sediaan
mikroemulsi gel.
Pengukuran pH
Hasil pengukuran pH mikroemulsi dan mikroemulsi gel secara berurutan adalah 5,52 dan
6,11. pH mikroemulsi lebih asam dibandingkan pH mikroemulsi gel, hal ini disebabkan
penambahan basis gel yang memiliki pH lebih besar dari mikroemulsi. pH sediaan yang bersifat
asam dapat disebabkan griseofulvin, etanol 96%, dan asam oleat yang bersifat keasaman. pH
rata-rata sediaan mikroemulsi dan mikroemulsi gel tidak mempengaruhi aktivitas griseofulvin,
karena griseofulvin tidak stabil hanya pada pH ekstrem (di bawah 1 atau di atas 13). Nilai rata-
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
rata pH sediaan mikroemulsi gel berada di atas rentang pH kulit, tetapi hal ini masih dapat
ditoleransi karena pH masih dibawah 8.0. pH yang terlalu basa (8,0-9,0) dapat menyebabkan
berkurangnya flora normal kulit dan mempermudah invasi perkutan oleh bakteri patogen (Barel,
Paye & Maibach, 2009).
Pengukuran Viskositas dan Rheologi
(a) (b)
Gambar 2. (a) Diagram sifat alir mikroemulsi gel pada minggu ke-0 dan (b) Diagram sifat alir mikroemulsi gel pada
minggu ke-8
Viskositas sediaan mikroemulsi gel griseofulvin diukur menggunakan spindel no. 5 pada alat
Viskometer Brookfield. Diagram sifat alir sediaan mikroemulsi gel menunjukkan sifat alir pseudoplastis.
Cairan dengan sifat aliran pseudoplastis tidak dapat ditentukan viskositasnya dengan suatu nilai tunggal,
karena tidak terdapat bagian kurva yang linear (Sinko, 2006). Viskositas sediaan mikroemulsi gel diukur
saat minggu ke-0 pada kecepatan spindel 20 rpm adalah 7200 cp (centipoise). Pada minggu ke-8,
viskositas sediaan mikroemulsi gel pada kecepatan spindel 20 rpm adalah 7500 cp (centipoise).
Kenaikan nilai viskositas dapat disebabkan karena terjadi flokulasi globul pada sediaan.
Cycling Test
Sediaan mikroemulsi gel disimpan pada temperatur 4oC ± 2oC selama 24 jam dan
kemudian disimpan pada temperatur 40oC ± 2oC yang merupakan 1 siklus. Percobaan dilakukan
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
kecepa
tan geser
tekanan geser
kecepatan rendah ke kecepatan 4nggi
kecepatan 4nggi ke kecepatan rendah
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
kecepa
tan geser
tekanan geser
kecepatan rendah ke kecepatan 4nggi
kecepatan 4nggi ke kecepatan rendah
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
sebanyak 6 siklus. Sediaan mikroemulsi gel griseofulvin tetap stabil setelah pengujian, tidak
menunjukkan pemisahan, sineresis, dan pembentukan kristal. Hal ini menunjukkan mikroemulsi
gel stabil secara fisik.
Uji penyimpanan pada temperatur 4oC ± 2oC
Gambar 3. Grafik perubahan pH rata-rata sediaan selama penyimpanan 8 minggu pada suhu 4oC ± 2oC
Hasil pengujian setelah penyimpanan selama 8 minggu menunjukkan sediaan stabil
karena tidak terjadi perubahan warna, bau, maupun sineresis, namun kekentalan sediaan
meningkat. Hal ini disebabkan viskositas cairan meningkat apabila terjadi penurunan suhu
(Sinko, 2006). Pengujian terhadap pH sediaan selama penyimpanan pada suhu 4oC ± 2oC selama
8 minggu memberikan hasil fluktuatif dan cenderung menurun. Penurunan pH dapat disebabkan
ionisasi pada asam oleat atau etanol 96%. Fluktuasi pH tidak mempengaruhi aktivitas
griseofulvin karena griseofulvin masih stabil pada pH di atas 1 atau di bawah 13.
Uji penyimpanan pada temperatur 25oC ± 2oC
Hasil pengujian setelah penyimpanan selama 8 minggu menunjukkan sediaan stabil
karena tidak terjadi perubahan warna, bau, maupun sineresis. Pengujian terhadap pH sediaan
memberikan hasil fluktuatif dan cenderung menurun, namun uji statistik terhadap data hasil
pengujian menunjukkan perbedaan pH sediaan pada minggu ke-0 dan minggu ke-8 tidak
signifikan, yang menunjukkan sediaan stabil secara kimia.
0
5
10
0 2 4 6 8
pH
minggu ke-‐
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
Gambar 4. Grafik perubahan pH rata-rata sediaan selama penyimpanan 8 minggu pada suhu 25oC ± 2oC
Uji penyimpanan pada temperatur 40oC ± 2oC
Gambar 5. Grafik perubahan pH rata-rata sediaan selama penyimpanan 8 minggu pada suhu 40oC ± 2oC
Hasil pengujian setelah penyimpanan selama 8 minggu menunjukkan sediaan stabil
karena tidak terjadi perubahan warna, bau, maupun sineresis. Pengujian terhadap pH sediaan
memberikan hasil fluktuatif dan cenderung menurun, namun uji statistik terhadap data hasil
pengujian menunjukkan perbedaan pH sediaan pada minggu ke-0 dan minggu ke-8 tidak
signifikan, yang menunjukkan sediaan stabil secara kimia.
Uji Mekanik (Sentrifugasi)
Uji mekanik bertujuan untuk melihat efek gravitasi terhadap kestabilan sediaan
mikroemulsi gel. Sediaan disentrifugasi dengan kecepatan 3800 rpm selama 5 jam yang setara
0
5
10
0 2 4 6 8 pH
minggu ke-‐
0
5
10
0 2 4 6 8
pH
minggu ke-‐
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
dengan gaya gravitasi selama setahun. Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali. Hasil uji
sentrifugasi sediaan mikroemulsi gel griseofulvin menunjukkan tidak terjadi pemisahan fase
ataupun pemisahan mikroemulsi dari gel yang menunjukkan sediaan stabil terhadap efek gravitasi
selama setahun.
(a) (b)
Gambar 6. Foto sediaan mikroemulsi gel (a) sebelum uji sentrifugasi dan (b) setelah uji sentrifugasi
Kesimpulan
Formula mikroemulsi gel griseofulvin yang terbaik adalah formula dengan tween 80
dalam konsentrasi 25% sebagai surfaktan, etanol 96% sebagai kosurfaktan dalam konsentrasi
20%, asam oleat sebagai fase minyak dalam konsentrasi 5%, dan basis gel dengan konsentrasi
20%. Basis gel yang digunakan mengandung 1% carbopol sebagai gelling agent dan 1%
trietanolamin sebagai pengatur pH. Sediaan mikroemulsi memberikan warna kuning transparan,
sementara sediaan mikroemulsi gel memberikan warna kuning namun agak keruh. Sediaan
mikroemulsi dan mikroemulsi gel berbau alkohol.
Sediaan mikroemulsi dan mikroemulsi gel memiliki ukuran globul 158.0 nm dan 226.0
nm. Hasil uji stabilitas fisik menunjukkan sediaan mikroemulsi gel stabil pada penyimpanan pada
temperatur 4oC ± 2oC, 25oC ± 2oC, dan 40oC ± 2oC selama 8 minggu. Hasil cycling test
menunjukkan sediaan mikroemulsi gel stabil terhadap perubahan suhu. Hasil uji sentrifugasi
menunjukkan sediaan mikroemulsi gel stabil terhadap efek gravitasi selama setahun.
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
Saran
Konsentrasi tween 80 dan etanol 96% sebagai surfaktan dan kosurfaktan dapat dierbesar
untuk memperkecil ukuran globul mikroemulsi. Pengujian aktivitas antijamur dapat pula
dilakukan untuk mengetahui efektivitas sediaan.
Daftar Referensi Aggarwal, N., Goindi, S., & Khurana, R. (2013). Formulation, characterization and evaluation of
an optimized microemulsion formulation of griseofulvin for topical application. Colloids and Surfaces. B, Biointerfaces, 105, 158–66.http://doi.org/10.1016/j.colsurfb.2013.01.004
Bajaj, S., Singla, D., & Sakhuja, N. (2012). Stability Testing of Pharmaceutical Products. Journal of Applied Pharmaceutical Science, 2(3), 129–138. http://doi.org/10.7324/JAPS.2012.2322
Barel, A. O., Paye, M., & Maibach, H. I. (Eds.). (2009). Handbook of Cosmetic Science and Technology (Third Edit). New York: Informa Healthcare USA, Inc.
Barros, M. E. da S., Santos, D. de A., & Hamdan, J. S. (2007). Evaluation of susceptibility of Trichophyton mentagrophytes and Trichophyton rubrum clinical isolates to antifungal drugs using a modified CLSI microdilution method (M38-A). Journal of Medical Microbiology, 56(May), 514–518. http://doi.org/10.1099/jmm.0.46542-0
Chee-Leok, G., Tay, Y. K., Ali, K. bin, Mong, T. K., & Chew, S. S. (1994). In Vitro Evaluation of Griseofulvin, Ketoconazole, and Itraconazole Against Various Dermatophytes in Singapore. International Journal of Dermatology, 33(10), 733–738.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia. (Ed. ke IV). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
International Agency for Research on Cancer. (2001). IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, 79, 75–89.
International Conference on Harmonisation of Technical Requirements for Registration of Pharmaceuticals for Human Use. (2003). ICH Harmonised Tripartite Guideline - Stability Testing of New Drug Substances and Products Q1A (R2). http://doi.org/10.1136/bmj.333.7574.873-a
Jadhav, C., Kate, V., & Payghan, S. A. (2014). Investigation of effect of non-ionic surfactant on preparation of griseofulvin non-aqueous nanoemulsion. Journal of Nanostructure in Chemistry, 5, 107–113. http://doi.org/10.1007/s40097-014-0141-y
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
Júnior, A. A. J., & Baldo, J. B. (2014). The Behavior of Zeta Potential of Silica Suspensions. New Journal of Glass and Ceramics, 4(April), 29–37. http://doi.org/10.4236/njgc.2014.42004
Kumar, A., Kushwaha, V., & Sharma, P. K. (2014). Pharmaceutical Microemulsion: Formulation, Characterization and Drug Deliveries Across Skin. International Journal of Drug Development and Research, 6(1), 1–21.
Lachenmeier, D. W. (2008). Safety Evaluation of Topical Applications of Ethanol on the Skin and Inside the Oral Cavity. Journal of Occupational Medicine and Toxicology, 16, 1–16. http://doi.org/10.1186/1745-6673-3-26
Maya, L. (2006). Pembuatan Sediaan Mikroemulsi dari Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus). Skripsi. Fakultas FMIPA Universitas Indonesia.
McLafferty, E., Hendry, C., & Farley, A. (2012). The Integumentary System: Anatomy, Physiology and Function of Skin. Nursing Standard, 27(3), 35–42. http://doi.org/10.7748/ns2012.09.27.3.35.c9299
Moghimipour, E., Salimi, A., & Leis, F. (2012). Preparation and Evaluation of Tretinoin Microemulsion Based on Pseudo-Ternary Phase Diagram. Advanced Pharmaceutical Bulletin, 2(2), 141–147. http://doi.org/10.5681/apb.2012.022
Moghimipour, E., Salimi, A., & Hassanvand, S. (2013). Permeability Assessment of Griseofulvin Microemulsion Through Rat Skin. International Journal of Pharmaceutical, Chemical and Biological Sciences, 3(4), 1061–1065.
Natalia, M. (2012). Uji Stabilitas Fisik dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa L.) yang Diformulasikan sebagai Sediaan Nanoemulsi Gel (Nanoemulgel). Skripsi. Fakultas FMIPA Universitas Indonesia.
Noveon Inc. (2002). Neutralizing Carbopol and Pemulen Polymers in Aqueous and Hydroalcoholic Systems.
The Pharmaceutics and Compounding Laboratory – UNC Eshelman School of Pharmacy. (2016). Pharmlabs.unc.edu. Diakses 17 Mei 2016, dari http://pharmlabs.unc.edu/labs/gels/agents.htm
Polysorbate 80 - National Library of Medicine HSDB Database. (2016). Toxnet.nlm.nih.gov. Diakses 17 Mei 2016, dari https://toxnet.nlm.nih.gov/cgi-bin/sis/search/a?dbs+hsdb:@term+@DOCNO+4359
Rowe, R. C., Sheskey, P. J., & Quinn, M. E. (Eds.). (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients (Sixth Edit). London: Pharmaceutical Press.
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016
Simon, P. (2012). Formulasi dan Uji Penetrasi Mikroemulsi Natrium Diklofenak dengan Metode Sel Difusi Franz dan Metode Tape Stripping. Skripsi. Fakultas FMIPA Universitas Indonesia.
Singh, P., Bala, R., Seth, N., & Kalia, S. (2014). Emulgel: A Novel Approach to Bioavailability Enhancement. International Journal of Recent Advances in `Pharmaceutical Research, 4(2), 35–47.
Singla, V., Saini, S., Joshi, B., & Rana, A. C. (2012). Emulgel: A New Platform for Topical Drug Delivery. International Journal of Pharma and Bio Sciences, 3(1), 485–498.
Sinko, P. J. (Ed.). (2006). Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika (5th ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Shinde, U., Pokharkar, S., & Modani, S. (2012). Design and Evaluation of Microemulsion Gel System of Nadifloxacin. Indian Journal of Pharmaceutical Sciences, 74(3), 237–247. http://doi.org/10.4103/0250-474X.106066
Talegaonkar, S., Negi, L. M., & Sharma, H. (2015). Encapsulation via Microemulsion. In M. Mishra (Ed.), Handbook of Encapsulation and Controlled Release (p. 247). Florida: CRC Press.
Tanaka, Y., Waki, R., & Nagata, S. (2013). Species Differences in the Dissolution and Absorption of Griseofulvin and Albendazole, Biopharmaceutics Classification System Class II Drugs, in the Gastrointestinal Tract. Drug Metabolism and Pharmacokinetics, 28(6), 485–490. http://doi.org/10.2133/dmpk.DMPK-13-RG-022
The Department of Health. (2013). British Pharmacopoeia. London: The Department of Health.
Tween 80 | C32H60O10 - PubChem. (2016). Pubchem.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses pada 17 Juli 2016, dari https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/443315
U.S. National Library of Medicine. (2016). DailyMed - GRISEOFULVIN- griseofulvin tablet. Diakses 11 Januari 2016 pada 7.52 WIB, dari http://dailymed.nlm.nih.gov/dailymed/drugInfo.cfm?setid=6149c044-58bb-402c-a4b5-18b96dd9b3b9
Formulasi dan ..., Anindya Hana Iradhati, FF UI, 2016