FORESTER-TABAM-baik

184
HAMAH SAGRIM MENYELAMATKAN HUTAN ADAT PAPUA SEBAGAI SUPLAI OKSIGEN TERBESAR DUNIA Merupakan Tinjauan Komunal Terhadap Cara Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan Hutan Oleh Masyarakat Tradisional Papua, dan Tinjauan Global Tentang Global Warming

Transcript of FORESTER-TABAM-baik

Page 1: FORESTER-TABAM-baik

HAMAH SAGRIM

MENYELAMATKAN HUTAN ADAT PAPUA SEBAGAI

SUPLAI OKSIGEN TERBESAR DUNIA

Merupakan Tinjauan Komunal Terhadap Cara Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan Hutan Oleh Masyarakat Tradisional

Papua, dan Tinjauan Global Tentang Global Warming

Page 2: FORESTER-TABAM-baik

MENYELAMATKAN HUTAN ADAT PAPUA

SEBAGAI SUPLAI OKSIGEN TERBESAR

DUNIA

Merupakan Tinjauan Komunal Terhadap Cara Pengelolaan dan

Pemanfaatan Lahan Hutan Oleh Masyarakat Tradisional

Papua, dan Tinjauan Global Tentang Global Warming

HAMAH SAGRIM

Page 3: FORESTER-TABAM-baik

HUTAN SEBAGAI CIKAL BAKAL SEJARAH PENEMUAN PULAU PAPUA

OLEH BANGSA PORTUGIS DAN SPANYOL PADA ABAD KE-16

ari sekian tatanan sumber daya hutan adat Papua, salah satu sumber

penghasilannya adalah sebagai penghasil rempah-rempah yang cukup

terkenal pada 1521 yang merupakan cikal bakal penemuan pulau Papua

oleh maritim Spanyol dan Portugis, yaitu rempah-rempah yang disebut

dengan nama ‘Buah Pala’ dan juga bulu burung sebagai hiasan yang diperoleh dari

burung Cenderawasih.

DSejarah penemuan

pulau Papua sebenarnya

tercatat sebagai bagian dari

wilayah perburuan rempah-

rempah yang dilakukan oleh

bangsa Spanyol dan

Portugis. Sebagaimana yang

dicatat adalah bahwa pada

awal abad ke-16 negara-

negara Eropa mulai dalam

bidang penemuan maritim

semakin relatif. Spanyol juga terlibat dalam sebuah pergerakan kebangkitan, terutama

bidang maritim dan mengetahui banyak tempat-tempat harta karun, termasuk Pulau

Papua. Portugis telah mengibarkan benderanya di Papua dengan penjelajahan

menggunakan kapal layar yang sering disebut-sebut sebagai Portuguese fleet.

Pada abad ini, bangsa Spanyol sudah terlalu jauh terlibat dalam sebuah

pergerakan kebangkitan maritim dan telah berhasil berlayar mengelilingi samudra raya

dan mengetahui banyak tempat-tempat penghasil banyak harta kekayaan seperti juga

pulau Papua sebagai salah satu kepulauan penghasil rempah-rempah dan bulu burung

yang diperoleh dari hutan adat. Pada abad ini, Inggris belum meluncurkan angkatan

lautnya, sementara itu, Belanda juga belum mendirikan armada angkatan lautnya,

Gambar: Kapal layar Portugis “Portuguese Fleet” abad-16

Page 4: FORESTER-TABAM-baik

sedangkan Portugis sudah lama melakukan perjalanan maritim dan telah menguburkan

Raja mereka – Cucu besar Edward III di Inggris – melalui sebuah perusahaan yang telah

mengangkat nama “Henry sebagai sang Navigator”.

Perjalanan berlayar yang dilakukan oleh maritim Spanyol pada mulanya mereka

secara perlahan-lahan berlayar dengan menggunakan kapal layar dan mereka menyusuri

pantai barat Afrika, sedikit

demi sedikit satu kapten telah

melanggar jarak ketentuan

batas yang dilalui oleh

pendahulunya, sampai

akhirnya pada tahun 1497,

mereka berhasil mengelilingi

Cape wilayah Afrika selatan

benua tersebut itu. Selanjutnya

Portugal secara berani dan

terang-terangan melewati batasan yang lebih jauh dari ribuan mil dan menapaki bentang

luas perairan di wilayah timur, dan mulai menancapkan bendera di berbagai pelabuhan

di samudera Hindia, sebagaimana dilukiskan dalam peta ‘desliens’. [Lihat peta dunia

‘Desliens’- 1566]. Karena Portugis merasa mampu menjelajahi dan telah menancapkan

benderanya di berbagai benua sehingga hal itu mendorong keinginan mereka untuk

berlayar lebih jauh ke Timur untuk mencari kepulauan rempah-rempah. Mereka lalu

menemukan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Timor-Timor, Seram, Kepulauan

Aru, dan Gilolo (Papua), mereka lalu mencapai maluku yang telah didambakan, terkenal

dan banyak memiliki rempah-rempah atau disebut dengan julukan ‘Spice Island’ dan

akhirnya Portugis bekerja dan membangun benteng dan mendirikan stasiun

perdagangan dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Inggris di Afrika

selatan dan ditempat lainnya.1

1 Dalam grafik dari Kepulauan India Timur, mungkin diambil selama pelayaran pertama Portugis ke Kepulauan Rempah (1511-1513), pulau Gilolo disebut Papoia. Banyak pulau-pulau yang terletak di pantai barat dan utara-barat dari New Guinea telah di ketahui oleh Portugis pada tanggal awal, dan diberi nama OS PAPUAS kolektif. Nama itu kemudian diberikan kepada bagian barat New Guinea. Menezes, seorang navigator Portugis, dikatakan telah terhempas oleh pukulan ombak dan badai dan terdampar di beberapa pulau, di mana ia tetap menunggu perubahan cuaca,menunggu cuaca mulai membaik untuk kembali berlayar.

Gambar : Peta dunia ‘Desliens’ – 1566

Page 5: FORESTER-TABAM-baik

Sementara itu, setelah penemuan benua Amerika

oleh Christopher Colombus, orang-orang Spanyol mulai

mencari pelabuhan atau navigasi baru bagi mereka

dengan mengekspansi ke arah barat dengan sasaran

utama pada objek pencarian yang sama, namun mereka

menjadi sadar bahwa mereka telah berlayar begitu jauh

dari sasaran utama mereka disekitar Amerika dan

akhirnya dipisahkan oleh samudera yang luas dengan

pulau-pulau yang telah ditemukan oleh Portugis.

Magellan kemudian ditetapkan dan ditunjuk dalam misi untuk pencarian

rempah-rempah ke bagian barat, Magellan kemudian tiba di daerah-daerah dimana

Portugis telah mendirikan armadanya di daratan, sehingga timbullah sengketa mengenai

batas-batas Portugis dan Spanyol. Namun kemudian Paus Alexsander VI dari Portugis,

lalu bermurah hati menganugerahkan satu setengah dari dunia yang belum ditemukan

oleh Portugis kepada Spanyol, dan setengah lainnya milik Portugis.

Sebagai bukti sejarah memang ini sangat penting dan menarik, namun secara

hakiki, kita mesti melihat kembali pada pulau-pulau tersebut dan siapa penghuninya dan

hak-hak penghuni pulau tersebut sebagai hak utama mereka ketika mereka telah mampu

dan mengerti, maka dengan sendirinya wilayah teritory mereka akan dikelolanya

sebagai surga dalam hidupnya.

Pentingnya mengetahuia batas-batas dalam hak ulayat adat sangat penting,

walaupun itu hanya

ditentukan secara komunal.

Persoalan batas inilah yang

membuat Portugis dan

Spanyol bersengketa. Ini

diakibatkan karena ukuran

bumi yang sebenarnya tidak

diketahui pada saat itu, dan

pembagian bumi oleh Paus

Alexander ini di ukur dari

sisi lain menurut wawasannya, sehingga mengakibatkan tumpang tindih dan duplikasi

Gambar: Magellan (seorang maritim spanyol)

The Spice Islands, dari Ribero Peta Resmi Dunia – 1529

Page 6: FORESTER-TABAM-baik

memetakan batas-batas Portugis dan Spanyol di longitudes dari Spices Island (lihat peta

ribero), karena tumpang tindih inilah maka tak diragukan lagi jikalau terjadi

persengketaan antara kedua pihak terutama untuk memenuhi keinginan masing-masing

pihak dalam bersaing untuk menyertakan “The Spice Islands” dalam belahan bumi

tersendiri, terutama dimuat dalam sketsa daerah kekuasaan masing-masing.

Sebelum tahun 1529, ketika peta Ribero dibuat, Spanyol telah berlayar

sepanjang 250 mil dari pantai utara pulau Papua. Orang-orang Spanyol menemukan

jejak emas di sepanjang bagian negeri Papua, selain itu Saavendra (Kapten dari

Santiago) juga menamakan negeri Papua dengan sebutan negeri emas hijau green gold

karena hutannya begitu indah dan elok hijau membentangi sepanjang garis pantai pulau

Papua. Setelah itu, Saavendra memberikan nama pulau Papua dengan sebutan “Isla Del

Oro” atau Pulau Emas. Namun digantikan dengan sebutan nama Nova Guinea, atau

New Guinea, karena masyarakat asli yang ditemukan berkulit hitam, dengan rambut

criped pendek atau wol, mirib dengan masyarakat di pantai Guinea di Afrika sehingga

namanya diganti dengan Nova Guinea, setelah itu oleh

a. Peta Papua “New Guinea” Pertama

Pada tahun 1545 Inigo Ortiz de

Retez memerintahkan San Juan

untuk berlayar ke New Guinea

(Papua). Mereka berlayar dari

Tidore di Maluku, pada awal tahun

dan membuat penemuan yang luas

di pantai utara Os Papuas, atau

Papua New Guinea.

Kemudian Bangsa Portugis dan Bangsa Spanyol menggambar peta NEW GUINEA

(peta Papua) untuk pertama kalinya

sehingga dikembangkan secara

sempurna oleh Hindia Belanda,

Amerika dan Jepang lebih

menyempurnakannya seperti yang

kita ketahui sekarang ini. Pada

awalnya, Portugis dan Spanyol

Gambar: Kapal layar Bangsa Spanyol

Gambar: Peta Pulau Papua pertama, di sketsa oleh bangsa Portugis dan Spanyol pada abad ke-15

Page 7: FORESTER-TABAM-baik

menggambarkannya sebagai unggas

Guinea, Cenderawasih, sebagaimana

pada gambar. Peta Guinea Nova ini

bahwa ide atau wawasan mereka

tentang bentuknya Pulau itu belum

sempurna namun sudah tergolong

benar. Pada waktu itu ada gagasan

asli tentang bentuk suatu negara

Papua namun belum sesuai. Namun

demikian, beberapa fitur utama penemuan dari Bangsa Portugis dan Bangsa Spanyol di

Papua dan New Guinea sampai dengan tahun 1545, hingga sekarang masih rabun bagi

sebagian sejarawan.

Sekarang kita akan melihat bersama bahwa gilolo (Papua) ditempatkan pada posisi

yang sebenarnya, dua puluh derajat kebarat dimana ia ditempatkan sebelum dipeta

“Ribero’s”. Sekarang peta-peta yang didalam lingkup Portugis itu dimulai dari mana

seharusnya titik awal digambarkan? Penemuan New Guinea oleh Bangsa Portugis

sebenarnya digambar sebagai kepala dan leher unggas. Mereka datang atas nama OS

PAPUAS, dan pulau-pulau Menezes yang dikatakan oleh Lewi – HIC Hibernavit Georg

de Menezes – pada tahun 1526.

Ada tiga pulau besar tanpa nama, antara Os Papuas dan Nova Guinea yang

diwakilinya dan ini dibenarkan karena setelah dibandingkan maka pulau itulah yang

disebut dengan kepulauan Misory dan Jobe dari data peta moderen.

Pada waktu itu, kepulauan Aru juga dipetakan oleh bangsa Portugis dan Spanyol

dan tanimbar (tenimber) atau Kepulauan Timur juga dicantumkan dalam peta (meskipun

tidak diberi nama) sebagai pemukiman Martin Alfonso de Melo. 2

2 Dokumen-dokumen asli Portugis dan Spanyol yang digunakan dalam penyusunan peta ini telah hilang,Peta-peta diatas disalin dari dokumen-dokumen yang berasal dari tahun 1600.

Martin Alfonso de melo, adalah Seorang navigator Portugis , yang namanya belum dinyatakan atau belum dicatat dalam sejarah maritim portugis, sejauh yang saya tahu, dalam sejarah penemuan maritim di daerah Papua.

Gambar: Nova Guinea – Peta Pertama New Guinea

– Tahun 1600

Page 8: FORESTER-TABAM-baik

Ada beberapa kontroversi sekitar sejarah penemuan pulau New Guinea dan

Australia, oleh Eropa. Namun dari berbagai ahli sejarah berpendapat bahwa ini adalah

campuran seni dengan sejarah Untuk perspektif lain tentang sejarah tersebut. Pembaca

disarankan untuk mempertimbangkan teks yang lebih baru serta yang lain dari periode

yang sudah online seperti Sejarah Singkat Australia oleh Ernst Scott (tersedia melalui

Perpustakaan Nalanda di Institut Teknologi Nasional Kalkuta, Negara Kerala, India).

Pola hunian masyarakat adat New Guinea abad-15 sebagaimana yang telah di sketsa

oleh maritim Portugis dan Spanyol adalah mereka berkelompok dan membentuk pola

hunian dengan mendirikan

perumahan diatas panggung

berjejer sepanjang tepi sungai

dan lereng perbukitan. Pola

hunian mereka berdasar atas

keluarga inti dan kerabat dekat

yang mana garis kekerabatannya

didasarkan atas keturunan

patirilineal dan kerabat dari

garis keturunan matrilineal. Demikian bahwa pola hunian demikian sebagaimana pada

gambar. Ada ceritera tua yang mengatakan bahwa sistem perkumpulan semacam ini

telah ada semenjak masyarakat adat Papua New Guinea menyadari akan

kebergantungan hidup antar satu dengan yang lain.

b. Pendidikan Zaman Pendudukan Asing Di Tanah Papua

1. Kedatangan Orang Portugis dan Spanyol di Tanah Papua

Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis dan Spanyol terus

menelusuri laut Maluku dan terus ke Timur hingga Papua pada tahun 1521, untuk

mencari sumber rempah-rempah, hingga akhirnya menemukan pulau Maluku yang di

idam-idamkan dan diberi julukan Spice Island. Penelusuran ini akhirnya mereka

menguasai pulau-pulau Maluku seperti Ternate, Tidore, Ambon, Bacan, hingga

akhirnya Gilolo atau Papua di kuasainya. Tujuan utama daripada penguasaan kepulauan

ini tidak lain adalah dalam misi mencari rempah-rempah. Selain pencarian rempah-

rempah, mereka selalu di ikuti oleh misionaris Roma Katolik. Setelah mereka

menemukan daerah baru, yang mereka kerjakan adalah menjadikan masyarakat

Gambar: Pola Hunian masyarakat adat New Guinea

Page 9: FORESTER-TABAM-baik

setempat untuk memeluk agama Roma Katolik. Setelah mereka di baptiskan, langkah

selanjutnya adalah kepada mereka (penduduk) diberi pendidikan agar agama yang baru

dianut itu dapat dipertahankan dan terus berkembang.

Agama Kristen Katolik pertama kali di kembangkan di kepulauan Maluku. Yang

pertama-tama mengembangkan agama Kriaten Katolik di Maluku adalah dari Ordo

Franciskan, namun kemudia mereka terdesak oleh Ordo Yezuit di bawah pimpinan

Franciscus Xaverius, dimana ia menjadi peletak dasar katolicisme di wilayah Maluku.

Untuk mengembangkan agama Kristen Katolik itu, penguasa Portugis di Maluku

Antonio Galvano pada tahun 1536 mendirikan sekolah seminary (seminary school).

Mungkin inilah lembaga pendidikan pertama yang dibentuk sebagai sekolah di Maluku

dan Indonesia. Di seminary itu, diajarkan agama Kristen Katolik dan baca tulis huruf

latin, dan juga diajarkan bahasa latin, karena pada abad itu, bahasa latin sebagai bahasa

ilmiah yang populer di dunia.

Pendudukan Portugis dan Spanyol di Maluku dan Papua tidak bertahan lama, karena

pada akhirnya Belanda dapat mengusir mereka, dan kemudian mengambil alih harta

kekayaan Gereja Katolik, termasuk lembaga pendidikannya dan diserahkan kepada

Zending Protestan. Akhirnya pada tahun 1855 dua penginjil kristen Protestan dari

Jerman Otow dan Geisler tiba di Mansinam Manokwari Kowawi Papua, dan

mengucapkan doa kepada Tuhan: Dengan Nama Tuhan Kami Menginjak Tanah Ini.

Selain itu, Otow dan Geisler membuat suatu pesan dalam batu nizan di pulau Mansinam

Kowawi, bahwa: Di atas Batu ini saya meletakkan peradaban bangsa ini, walaupun

bangsa lain berkembang dan bangkit memimpin bangsa lain namun bangsa ini akan

bangkit memimpin dirinya sendiri. Otow dan Geisler sebagai orang Pertama yang

memberitakan pengajaran injil kristen melalui Kristen Protestan, selain itu juga mereka

berdua melakukan pendidikan atau mengajar masyarakat setempat dengan tujuan agar

pengajaran Kristen Protestan dapat di ajarkan kepada seluruh orang Papua. Akhirnya

apa yang diperjuangkan Otow dan Geisler dapat tercapai. Awalnya mereka menangkap

seorang anak muda dan membawanya dan mendidiknya bahasa Jerman dan akhirnya

anak tersebut dapat mengerti bahasa Jerman selanjutnya ia di ajari alkitab dengan tujuan

agar injil kristan dapat disampaikannya kepada keluarga, masyarakat dan berkembang

hingga keseluruhan orang Papua. Otow dan Geisler dianggap sebagai bapak pencerahan

Page 10: FORESTER-TABAM-baik

bagi orang Papua pada abad 18, selain itu, mereka sebagai Bapak Peradaban orang

Papua.

2. Zaman VOC

Pada tahun 1596 Belanda pertama kali mendarat di terluk Banten di bawah

pimpinan Cornelius de Houtman. Kemudian mereka menelusuri ke daerah timur banten,

sehingga sampai di Jayakarta, dirubah namanya menjadi Batavia (Jakarta), dan pada

tahun 1602 di dirikanlah suatu perkumpulan dengan Vereenigde Oost-Indische

Compagnie, yang lebih dikenal dengan singkatan VOC. Selanjutnya keluarga Belanda

membutuhkan pendidikan, baik pendidikan umum (Pengetahuan umum maksudnya)

maupun pengetahuan khusus, dan sebagai perkumpulan dagang VOC membutuhkan

tenaga pembantu dari bumi putra, maka mereka mendirikan lebaga-lembaga pendidikan.

1) Dasar dan Tujuan Pendidikan Belanda

Sebagai perusahaan dagang, wajarlah VOC memiliki tujuan komersial, yaitu

mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi kepentingan Belanda pada umumnya dan

pemegang saham pada khususnya. Pada abad 17 dan 18 di Negeri Belanda segala

kegiatan yang menyangkut pendidikan dilaksanakan oleh lembaga keagamaan.

Pemerintah tidak iktu campur dalam penyelenggaraannya, sehingga Gereja memiliki

kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan. Namun di Papua, VOC tidak

menginginkan Gereja (lembaga keagamaan) memiliki wewenang besar dalam mengatur

masyarakat di daerah-daerah yang mereka kuasai. Sehingga kegiatan Gereja merupakan

bagian dari kegiatan VOC. Jadi perluasan agama Kristen Protestan dilaksanakan oleh

VOC sendiri, sesuai dengan instruksi tahun 1617 kepada semua Bustir di Papua dan

Raad Van Indie diantaranya supaya VOC memperkembangkan agama Kristen dan

mendirikan sekolah-sekolah untuk membendung agama Katolik. Sekolah-sekolah

tersebut di biayai oleh VOC untuk dijadikan Persemaian agama Kristen Protestan.

Karena pendidikan dilaksanakan oleh kalangan Gereja, walaupun mereka sebagai

pegawai VOC, yang menjadi dasar pendidikan adalah agama Kristen Protestan,

akhirnya selain sekolah-sekolah Pendidikan Katolik atau (YPPK). Protestan mendirikan

sekolah Pendidikan Protestan (YPK). Adapun yang menjadi tujuan pendidikan adalah:

a) Untuk mengembangkan ajaran Kristen Protestan

b) Pendidikan yang diberikan kepada orang Papua untuk mendapatkan tenaga

pembantu yang murah, dan dapat dipekerjakan di VOC.

Page 11: FORESTER-TABAM-baik

Gambar : Orang Papua dengan Busana dan kelengkapan

tarian tradisional

PEMBAHASAN UMUM SUKU BANGSA DI PAPUA –

studi etnografis

apua terdiri dari kurang

lebih 270-an suku

bangsa atau etnis yang

mana memiliki

keanekaragaman adat istiadat serta

kebudayaan, dimana setiap suku

bangsa mempunyai ciri khas

tersendiri. Ciri khas tersebut dapat

membedakan kebudayaan suatu

kelompok etnis yang satu dengan

etnis yang lain. Untuk membedakan

ciri khas budaya pada setiap etnis

yang ada, maka perlu kita

mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan kebudayaan.

P

a. Kebudayaan atau adat istiadat menurut seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor

mengatakan kebudayaan adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan,

kepercayaan, seni, kesusasteraan, hukum, adat istiadat serta kesanggupan dan kebiasaan

lainnya yang dipeljari oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat.

b. Selanjutnya juga menurut Ralp Linton bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari

pengetahuan, sikap, dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang di miliki dan

diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.

Pada umumnya semua kebudayaan dari setiap suku bangsa diatas muka bumi ini terdapat 7

(tujuh) unsur universal yaitu :

1. Bahasa

2. Sistim pengetahuan

3. Organisasi sosial dan kekerabatan

4. Sistim Teknologi

5. Sistim mata pencaharian hidup

6. Sistim Religi

7. Kesenian.

Page 12: FORESTER-TABAM-baik

A. Pengertian Etnografi Papua

Etnografi Papua yaitu suatu studi deskriptif mengenai masyarakat-masyarakat

sederhana di Papua (masyarakat adat), Atau suatu gambaran tentang kebudayaan-kebudayaan

suku bangsa yang hidup di Papua, serta Etnografi adalah ilmu yang melukiskan tentang suku-

suku bangsa yang tersebar di muka bumi ini dan secara khusus di Papua.

A.1. Tujuan

Tujuan daripada Sub Judul ini adalah Agar supaya pembaca dapat mendeskripsikan,

melukiskan atau menggambarkan kondisi sosial budaya adat istiadat dan juga kondisi alam di

Papua.

A.2. Kondisi Lingkungan Alam Papua

1. Letak, Luas dan Batas Wilayah.

2. Pulau Papua yang tampak berbentuk seekor burung raksasa yang mirib seekor dinosaurus

yaitu binatang dari kala mezoikum yang kini telah punah.

3. Sekitar 47 % bagian dari wilayah pulau ini yang berada di sebelah barat merupakan bagian

kepala, tengkuk, punggung, leher, dada dan perut dinosaurus dan merupakan wilayah Papua

dan 53 % sisanya adalah wilayah Negara tetangga kita, Papua new Guinea.

- Pulau Papua memiliki luas wilayah sebesar kurang lebih 416.800 Km2 yang batas

wilayahnya sebagai berikut :

a. Sebelah utara berbatasan dengan lautan teduh dan laut Halmahera

b. Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Negara tetangga Papua New Guinea

c. Sebelah selatan berbatasan dengan laut Arafura dan benua Australia

d. Sebelah Barat berbatasan dengan laut Seram, laut Banda atau propinsi Maluku.

e. Bagian utara pulau Papua terdapat banyak pulau yaitu antara lain ; pulau Yapen, Pulau

Numfor,Supiori, Padaido, dan pulau Roon yang berada di teluk Cenderawasih. Selain

itu dibagian utara kepala burung terdapat pulau Batanta, Salawati, Doom Waigeo, dan

pulau Misol. Sedangkan dibagian Selatan terdapat pulau-pulau, seperti; pulau Adi,

pulau Aiduma, Naurio, Yosudarso (Kimam) dan pulau Komoran.

f. Selain Pulau-pulau di Papua juga terdapat beberapa teluk dan sungai yang cukup besar

dan mempunyai potensi sumber daya alam (SDA). Teluk-teluk tersebut terdapat di

bagian utara, diantaranya ; Teluk Yosudarso, teluk Cenderawasih, teluk Wandamen,

teluk Berau/Bintuni, dan di bagian selatan terdapat diantaranya teluk Arguni, teluk

Triton dll. Sedangkan sungai-sungai yang terdapat di Papua antara lain; Sungai

Membramo, sungai grime, sungai Tami, dan sungai-sungai di pantai selatan pulau

papua antara lain; sungai Kais, sungai Kamundan, sungai Balim, sungai Digul dan lain-

lainnya yang bermuara ke laut Arafura.

Page 13: FORESTER-TABAM-baik

g. Sedangkan daerah pegunungan di Papua antara lain; pegunungan Tamrau, Arfak,

Sudirman, Nasauw, Jayawijaya dengan puncak-puncaknya yang tertinggi yaitu; Puncak

Jaya (5.030 m), puncak Trikora( 4.750 m), puncak Yamin. Puncak Jaya memiliki

keajaiban sendiri di dunia karena walaupun terletak di daerah tropis namun, puncak

tersebut diselimuti salju abadi sepanjang tahun.

h. Pulau Papua berada di dekat khatulistiwa dan beriklim tropic. Suhu udara pada

ketinggian permukaan air laut hampir seragam bagi seluruh propinsi yaitu rata-rata 26

derajat Celsius. Variasi suhu terjadi karena ketinggian daerah yang berbeda-beda.

Setiap ketinggian 100 meter terjadi penurunan suhu sebanyak kurang lebih 0.6 derajat

Celsius. Karena itu tanah pegunungan yang mencapai ketinggian lebih dari 4,400 meter

senantiasa tertutup salju abadi. Kecuali oleh ketinggian suatu daerah, suhu juga

ditentukan oleh factor-faktor lain, seperti banyak angina naik menyebabkan penurunan

suhu dan banyak angina turun menyebabkan kenaikan suhu.

i. Curah hujan bagi sebagian besar pulau Papua cukup tinggi rata-rata 2,000-3000

milimeter tiap tahun, dibeberapa tempat di pegunungan tengah curah hujan kadang-

kadang melebihi 4000 milimeter setahun.

j. Adapun perbedaan antara musim-musim pada umumnya tidak terlalu besar kecuali di

daerah dataran rendah utara, tempat hujan selama bulan juli hingga September

mencapai 200 milimeter tiap bulan. Pada umumnya tidak terdapat musim-musim yang

terlampau kering.

- Ada 4 (empat) zone ekologis utama, yaitu :

1. Zone rawa, pantai dan sepanjang aliran sungai, meliputi daerah Asmat, Jagai, Awyu,

Yagai Citak, Marind Anim,Mimika/Kamoro dan Waropen

2. Zone dataran tinggi, meliputi orang Dani, Yali, Ngalum, Amungme, Nduga, Damal,

Moni dan orang Ekari/ Mee

3. Zone Kaki gunung dan lembah-lembah kecil, meliputi daerah Sentani, Nimboran,

Ayamaru dan orang Muyu

4. Zone dataran rendah dan pesisir, meliputi Sorong samapai Nabire, Biak dan Yapen.

A.3. Menelusuri Asal Usul Nama Papua.

a. Pada abad ke-15, bangsa Eropa menyebut Papua dengan nama Gilolo, setelah itu disebut

Green Gold oleh Saavendra kapten dari Spanyol.

b. Orang Belanda meyebut pulau Irian atau Papua sekarang yaitu Niew Guinea mengikuti

nama yang disebut oleh seorang pelaut Spanyol yakni Ynigo Ortiz de Retes (1545) yang

menyebut “Neuva Guinea” ( Guinea Baru).

Page 14: FORESTER-TABAM-baik

c. Sebutan lain juga adalah “Papua” yang mula-mula dipakai oleh pelaut Portugis Antonio d’

Arbreu yang mengunjungi pantai Papua pada tahun 1551. Nama itu sebelumnya dipakai

oleh Antonio Pigafetta pada waktu berada di laut Maluku pada tahun 1521. kata Papua

berasal dari kata “ Pua-pua” yang berarti keriting.( Stirling, 1943;4, dalam Koentjaraningrat,

1993).

d. Dalam konferensi Malino 1964 nama “Iryan” diusulkan oleh F. Kaisepo, Kata itu berasal

dari bahasa Biak yang artinya “ Sinar matahari yang menghalau kabut dilaut, sehingga ada

harapan bagi para nelayan Biak untuk mencapai tanah daratan Irian”. Pengertian lain dari

kata ini juga pada orang Biak, bahwa Irian itu berasal dari dua kata yaitu “iri” dan Ryan” Iri

berarti “dia” ( dia yang dimaksud disini adalah Tanah) dan Ryan berarti “panas”. Jadi arti

dari kata Irian ini adalah Tanah yang Panas. Lain juga masyarakat Marind-anim di pantai

selatan mengatakan kata Irian berarti Iri berarti Tanah dan An berarti air jadi Irian artinya

“tanah air”.

e. Akhirnya Presiden Soekarno mempopulerkan kata Irian sebagai kata yang pertama dari

singkatan Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.(Koentjaraningrat, 1993).

A.4. Pemetaan Suku-Suku Bangsa Di Papua

1. Dalam uraian ini akan membahas kategori-kategori kebudayaan adatistiadat Papua yang

pernah dibuat oleh ahli-ahli Antropologi dan Linguistik. Menurut SIL ( Sumer Institute

of language) bahwa kebudayaan Papua, jika dikategori berdasarkan bahasa maka di

Papua terdapat 251 bahasa (Peter J.Zilzer & H.H Clouse, 1991).

2. Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan di Papua menunjukkan corak yang

beraneka ragam yang disebut sebagai kebhinekaan masyarakat tradisional Papua.

3. Menurut Tim peneliti Uncen (1991) telah diidentifikasi adanya 44 suku bangsa yang

masing-masing merupakan satuan masyarakat, kebudayaan dan bahasa yang berdiri

sendiri. Sebagian besar dari 44 suku bangsa itu terpecah lagi menjadi 177 suku.

4. Menurut Held (1951,1953) dan Van Bal (1954), ciri-ciri yang mencolok dari Papua

adalah keanekaragaman kebudayaannya, namun dibalik keanekaragaman tersebut

terdapat kesamaan ciri-ciri kebudayaan mereka.

5. Menurut kami, ciri utama yang menunjukkan perbedaan antara satu suku dengan suku

lain di Papua adalah bahasa yang mana bunyi, dialektika, dan langgamnya sebagai

ukuran utama dalam membedakan suku yang satu dengan suku-suku lain. Atau disebut

juga bahwa suku-suku di Papua membedakan diri mereka berdasarkan bahasa melalui

bunyi, dialektika, dan langgam.

A.5. Ciri dan Identitas Orang Papua

Page 15: FORESTER-TABAM-baik

Orang Papua tidak pernah diteliti oleh para ahli mengenai cri-ciri ras. Hanya beberapa orang

dokter dan ahli antropologi ragawi saja yang telah melakukan pengukuran tinggi badan dan

indeks ukuran tengkorak pada beberapa individu dibeberapa tempat yang terpencar. Bahan-

bahan itu belum cukup untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang ciri-ciri fisik

masyarakat di Papua. Menurut H.J.T. Bijlmer (1923: 335-488; 1926:2390-2396, dalam

Koentjaraningrat, 1993).

1. Ada kecenderungan bahwa orang Papua makin jauh dari pantai makin pendek tubuhnya,

demikian pula bentuk tengkorak penduduk pantai umumnya lonjong dan makin kearah

pedalaman bentuknya menjadi sedang. Indeks ukuran bagian-bagian muka pada beberapa

penduduk pantai ada yang lebar, namun tidak jarang pula ada orang pantai yang panjang

bentuk mukanya, dan didaerah pedalaman keadaannyapun sama (Bijlmer, 1956, lihat

Koentjaraningrat, 1993).

2. Kebhinekaan ciri-ciri ras pada berbagai penduduk asli Papua lebih jelas terlihat melalui ciri-

ciri ras fenotip mereka, yaitu warna dan bentuk rambut, walaupun dalam hal ini tidak ada

keseragaman. Warna rambut orang Papua hampir semuanya hitam tetapi tidak semuanya

keriting. Penduduk yang tinggal di sepanjang sungai Mamberamo, rambutnya banyak yang

berombak dan bahkan ada pula yang lurus (Moszkowski, 1911: 317-318), sedang ada pula

yang lurus dan kejur (Neuhauss, 1911:280,dalam Koentjaraningrat, 1993).

A.6. Persebaran Orang Papua

Uraian yang menggambarkan bagaimana sebaran dan komposisi penduduk Papua secara

umum, dimana termasuk didalamnya penduduk dari luar yang berada di Papua berdasarkan

sebaran suku bangsa melalui sensus belum dapat dilakukan secara terperinci, sehingga jumlah

yang pasti tentang berapa banyaknya orang Papua (penduduk asli) tidak dapat disajikan secara

lengkap.

Namun untuk dapat mengetahui sebaran orang Papua berdasarkan suku bangsa, di Papua

khususnya orang asli dapatlah disajikan berdasarkan Kabupaten dan sebaran kelompok suku

bangsanya. Untuk itu data sementara yang masih perlu dilengkapi lagi melalui suatu kajian

lapangan (penelitian) antropologi, sehingga dapat dijabarkan secara lengkap sebaran suku

bangsa- suku bangsa berdasarkan daerah kebudayaannya.

Page 16: FORESTER-TABAM-baik

NOKABUPATEN - KECAMATAN SUKU BANGSA SUB SUKU BANGSA

1 Jayapura Teluk Humbolt, Teluk ImbiEnjros, Tobati, Injerau, Metu, Debi

  Jayapura Selatan Yos SudarsoMeterau, Kayu Injau, Kayu Batu

  Jayapura Utara Teluk ImbiNafri, Skou (Jambe, Sai, Mambo)

  Abepura Teluk ImbiAbrab, Manem, Merep, Awi (Beibwo)

  Arso Taiget/KeeromOrmu, Tabla/Tepra, Munggei

  Depapre Tanah MerahBonggo, Yarsum, Betaf, Bgu (Bgufinti,

     Kaptiau, Tarfia) Pulau-pulau (Wakde,

     

Masi-masi, Jamna, Podena, Anus, Jarsum)

  Bonggo Pantai Timur Namblong, Kwanzu  Nimboran Nimboran/Nambling Kemtuk, Gresi

  Kemtuk, Gresi Kemtuk, GresiSifari (Tarfia, Sou, Ambora, Muris Kecil,

     

Muris Besar, Yauhapsa); Yakari (Bukisi,

     

Meukisi, Kamtumilena, Soroyena, Demoi)

  Kaureh LerehKaureh, Sause, Kasu, Takana

  Tor Atas Tor

Foya, Mandes, Subar, Bonerif, Biyu, Daranto,

     

Segar, Bora-bora, Waf, Berik, Kwersupen

  Sarmi Sarmi

Airoran, Samarokena, Kwerba, Sabori, Sobei

  Senggi SenggiFind, Warlef, Waina, Molof

  Waris WalsaWalsa, Mii (Fermanggam)

  Web Ubrub

Dra, Dubu, Emum, Nemnenda, Jibela, Yafanda

  Unurum Unurum Guay Unurum, Guay  Mamberamo Hilir Bauzi Warembori, Pauwe,

Page 17: FORESTER-TABAM-baik

Warewek  Mamberamo Tengah Bauzi Bauzi, Nopuk  Mamberamo Hulu Dabra Nisa, Karama

  Pantai Barat Pantai Barat

Kwesten, (Keder, Dabe, Mengke, Takar);

     

Mawes, (Maweswares, Mawesdai)

    Foya Foya     Uta Uta

2 Yapen Selatan/Barat/Timur Yapen

Woriasi, Ambai, Serui Laut, Busamui, Ansus,

  Waropen atas/Bawah Waropen

Pom, Woi, Munggui, Marau, Pupui, Tamakuri,

    Kurudu

Kerema, Sarobi, Siromi, Baudi, Kai, Taru, Demisa

      Serui, Kurudu3 Biak Numfor Biak Numfor Biak Numbfor

4 Paniai Ekari (Mee)

Windesi, Mor, Yaur, Mer, Yeretuar, Dou, Eguay,

  Nabire Napan Timorini

Mogopia, Iyatuma, Wodatuma, Makituma, Moi,

 Aradide, Homeyo, Kamu, Mapia,  

Kiri-kiri, Turu, Taori-key, Fayu

 Paniai Barat/Timur, Tigu, Uwapa,    

  Sugapa, Beoga    

5 ManokwariArfak, Amberbaken, Mansubaber

Mantion, Hatam, Meyah, Sough, Amberbaken,

  Warmare, Anggi, Orans Bari, Wandamen, Bintuni/Wamesan

Saukorem, Karon Pantai, Tanah Merah, Babo,

  Ransiki, Merdey,  

Arandai, Kemberano, Meninggo, Kaburi, Roon,

 Manokwari, Kebar, Amberbaken  

Mioswar, Rumberpon, Wandamen, Kuri

 Babo, Windesi, Bintuni, Wasior    

6 Sorong Moi

Arfak, Moi-Dial (Seget), Moi-Klasen, Moi-Kalabra

      Moi, Morait, As

Page 18: FORESTER-TABAM-baik

Maya, Amber, Kawe, Batol, Fiawat,

     

Mocu, Suruan, Sautrop, Biser, Matbat, Gebe, Sopen

7 Sorong Selatan Teminabuan

Tehit, Matbat, Gemna, Ogit, Syaifi, Sawiat, Bira,

Inanwatan

Metemani, Kokoda/Ogit, Yahadian

8 Maybrat Maybrat Ayamaru, Karon, Yeden

Ayamaru (ra Maru), Aifat (Rae Brat), Aitinyo (Ra te)

Aifat, Aitinyo, Ayamaru,

Mare (Ra Mare), Sawiat (Na Sawiat), Sufari (Tarfia,

Ayamaru Utara

Sou, Amboras, Muris). Karon Pantai, Karondori,

Marei, Madik, Meyah, Hatam, Arfak.

9 Fak fak Fak fak

Onon, Iha, Karas, Baham, Buruwai, Kamberau,

Fak fak, Kokas, Teluk Arguni, Arguni, Kaimana,

Irarutu, Mairasi, Semini, Koiwai, Panuku, Guenora

Kaimana, Teluk Etna Kaimana 10 Mimika Kamoro Kamoro

Mimika Amungme Amungme Agimuga

11 Merauke Asmat

Kayagar, Kaugat, Sawi, Airo, Sumaghage, Bapian,

Sawermas, Pantai Kasuari, Citak,

Awyu/Yagi, Kimam, Marind-Anim Pisa, Tamnin,

Mitak, Asgon Mandobo, Mandup, Wambon, Awyu, Yagai, Yah'ray, (Kakero, Wadaghang),

Edera, Nabiaomen, Bapai Muyu

Riantama, Koneraw, Kimaghama, Ndom, Moembun,

Kimam

Yab-Anim, Bian-Anim, Jee-Marind, Maklew-Anim,

Merauke, Okaba, Muting

Kanum-Anim, Wambon, Anyum, Kaitumbdik,

Jair, Mandobo, Kouh Genemtak, Lagailuk,

Page 19: FORESTER-TABAM-baik

Mandup (Okopari), Kamindip,

Waroko, Mindiptanah

Kakaip, Janggom, Are, Kataut, Kapom (Okpari),

Kamindip, Kakaip, Janggom, Are, Katut, Kapom,

Okpari

12 Jayawijaya Dani/Lani

Dani Induk, Dani Wodo, Dani Kimam, Dani Wosi,

Wamena, Aslogaima, Bokondini, Mek

Dani Bele, Dani Aikhe, Dani Jurang

Karubaga, Kelila, Kurulu, Makki, Ngalum

Kosarek, Bime, Epomek, Nalcan, Endoman, Tanime,

Tiom, Kurima

Una, (Langda, Bomela, Sontamon), Ketengban,

Kiwirok, Okbibab

Kupla, Morop, Kusumkim, Walapkubun, Oktawat,

Oksibil

Oksibil, Dabolding (Mabilabon), Yapimakot,

BulangkopSumber :

Walker Malcon dkk 1987. Region development planing for irian jaya Anthropology sector report

A.7. Bahasa Dan Sistem Pengetahuan

Kebhinekaan sukubangsa tercermin dalam berbagai unsur budaya seperti bahasa, struktur

organisasi sosial, sistem kepemimpinan, agama, dan sistem mata pencaharian hidup

berdasarakan ekologi daerah tersebut. Masyarakat yang bersifat plural societies yang multi

etnik, multi kultural, multi kedaerahan, dan multi keagamaan itu membawa implikasi beragam

dan spesifiknya institusi menyebabkan hubungan dan jaringan sosial kelompok-kelompok

masyarakat lebih banyak bersifat homophily dibanding heterophily. Penduduknya diklasifikasi

sesuai spesifikasi geografis, ekologi, kewilayahan, sosial, budaya, dan ekonomi.

Apakah bahasa itu ? Bahasa adalah suatu sistem bunyi, yang kalau digabungkan menurut

aturan tertentu menimbulkan arti, yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam

bahasa itu. Meskipun manusia pertama-tama bersandar pada bahasa untuk saling

berkomunikasi satu sama lain, tetapi bahasa bukanlah satu-satunya sarana komunikasi. Sarana-

Page 20: FORESTER-TABAM-baik

sarana lain itu adalah para bahasa (para language) yaitu suatu sistem bunyi yang menyertai

bahasa, dan kinesika (kinesics) yaitu sistem gerakan tubuh yang digunakan untuk

menyampaikan pesan (Haviland, 1988: 359). Kalau dilihat dari konsep tersebut di atas, maka

orang Papua juga mempunyai suatu sistem bunyi yang dapat menimbulkan arti berdasarakan

kebudayaan mereka masing-masing.

Orang Papua secara umum dibagi kedalam dua kelompok besar menurut pembagian bahasa

yang digunakan. Kedua bahasa tersebut adalah bahasa Austronesia dan bahasa Non

Austronesia. Adapun bahasa-bahasa yang masuk dalam kelompok Austronesia disebut dengan

nama bahasa-bahasa Papua. Dua bahasa ini merupakan bahasa induk yang kedalamnya

tergolong bahasa-bahasa lokal yang kurang lebih 251 buah bahasa (Silzer, 1986; Penelitian

Program Bahasa, Uncen, 2001) Bahasa sebagai wahana berkomunikasi antara warga, maka tiap

kelompok etnik mengujar bahasa tertentu selalu membedakan diri mereka dari kelompok

pengujar bahasa lain. Ini berarti dari segi kebahasaan terdapat kurang lebih 251 kelompok etnik

yang masing-masing merasa dirinya berbeda dari kelompok-kelompok lainnya.

A.8. Sistem Pengetahuan

Nilai budaya yang bermanifestasi dalam bentuk etika, norma, peraturan, hukum dan aturan-

aturan khusus yang menjadi pedoman bagi manusia itu berbeda dari satu masyarakat

kebudayaan dengan masyarakat kebudayaan lainnya. Apa yang dianggap bernilai tinggi oleh

masyarakat kebudayaan A belum tentu dianggap baik oleh masyarakat kebudayaan B. Apa yang

dianggap patut dipatuhi oleh masyarakat kebudayaan C belum tentu dianggap penting untuk

dipatuhi oleh masyarakat kebudayaan D. Demikian seterusnya.

a. Kluckhohn dan Stodbeck (1961), secara universal bersumber dari konsepsi yang berbeda

terhadap lima hal atau prinsip dasar. Kelima hal atau prinsip dasar itu adalah:

- Konsepsi terhadap hakekat hidup (MH). Semua kebudayaan di dunia ini, niscaya memiliki

konsep tentang apa yang disebut hidup. Apa arti hidup ini, apa tujuannya dan bagaimana

menjalankannya. Biasanya agama-agama memberikan tuntunan terhadap seseorang

sehingga terbentuk persepsinya terhadap hakekat hidup itu. Terhadap hakekat hidup

terdapat bermacam-macam tanggapan, ada yang memandang dan menanggapi hidup itu

sebagai kesengsaraan yang harus diterima sebagai ketentuan yang tak dapat dihindari:

sebagai hidup untuk menebus suatu dosa; sebagai kesempatan untuk menggembirakan diri;

menerima sebagaimana adanya; dan berbagai tanggapan lainnya.

- Konsepsi terhadap karya manusia (MK). Tanggapan tentang arti karya terdapat banyak

variasi yang ditampilkan oleh berbagai kebudayaan. Ada yang memandang karya atau

bekerja itu sebagai sesuatu yang memberikan suatu kedudukan yang terhormat dalam

masyarakat atau mempunyai arti bagi kehidupan; bekerja itu adalah pernyataan tentang

Page 21: FORESTER-TABAM-baik

kehidupan; bekerja adalah intensifikasi dari kehidupan untuk menghasilkan lebih banyak

kerja lagi; dan berbagai macam konsepsi lainnya yang menunjukkan bagaimana manusia

hidup dalam kebudayaan tertentu memandang dan menghargai karya itu.

- Konsepsi terhadap alam (MA). Bagaimana manusia harus menghadapi alam, juga terdapat

persepsi yang berbeda-beda menurut tiap-tiap kebudayaan. Ada yang memandang alam ini

sebagai sesuatu yang potensial dapat memberikan kehidupan yang bahagia bagi manusia

dengan mengolahnya; ada yang memandang alam ini sebagai sesuatu yang harus dipelihara

keseimbangannya sehingga harus diikuti saja hukum-hukumnya; ada yang memandang

alam ini sebagai sesuatu yang sakral dan maha dahsyat sehingga manusia itu pada

hakekatnya hanya bisa bersifat menyerah saja dan orang harus menerima sebagaimana

adanya tanpa berbuat banyak untuk mengolah alam; dan berbagai tanggapan lainnya.

- Tanggapan terhadap waktu (MW). Ada berbagai tanggapan tentang soal waktu menurut

masing-masing kebudayaan. Ada tanggapan bahwa yang sebaik-baiknya adalah masa lalu

yang memberikan pedoman kebijaksanaan dalam hidupnya; ada yang beranggapan bahwa

orientasi ke masa depan itulah yang terbaik untuk kehidupan ini. Dalam kebudayaan serupa

itu perencanaan hidup menjadi suatu hal yang amat penting. Sebaliknya ada pula

kebudayaan-kebudayaan yang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit,

mereka memandang waktu sekarang adalah waktu yang terpenting. Warga dari kebudayaan

serupa itu tidak akan memusingkan diri dengan memikirkan zaman yang lampau maupun

masa akan datang. Mereka hidup menurut keadaan yang ada pada masa sekarang ini.

- Tanggapan terhadap sesama manusia (MM). Ada kebudayaan-kebudayaan yang

menanamkan pada warga masyarakatnya pandangan-pandangan terhadap sesama manusia

bahwa hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya adalah amat penting. Dalam

pola kelakuannya, manusia yang hidup dalam kebudayaan serupa itu akan berpedoman

kepada tokoh-tokoh pemimpin dan orang-orang senior, sehingga orang atasan selalu

dijadikan panutan bagi warganya. Ada yang menanamkan pandangan bahwa hubungan

horizontal antara manusia dengan sesamanya sebagai yang terbaik. Orang dalam suatu

kebudayaan serupa itu akan merasa amat tergantung kepada sesamanya, dan usaha untuk

memelihara hubungan baik dengan tetangganya dan sesama kaum kerabat dianggap amat

penting dalam hidup. Sebaliknya ada kebudayaan yang berorientasi bahwa menggantungkan

diri pada orang lain adalah bukan hal yang baik. Dalam kebudayaan serupa itu

individualisme amat dipentingkan dan sangat menghargai orang yang mencapai banyak

tujuan dalam hidupnya dengan hanya sedikit bantuan dari orang lain.

Koentjaraningrat mencatat bahwa nilai budaya yang dianggap penting karena merupakan

asset budaya yang dapat dipakai untuk menunjang pembangunan adalah: (1) nilai budaya yang

Page 22: FORESTER-TABAM-baik

berorientasi ke masa depan; (2) nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi lingkungan

alam; (3) nilai budaya yang menilai tinggi hasil dari karya manusia; (4) nilai budaya tentang

pandangan terhadap sesama manusia (Koentjaraningrat, 1974:38-42).

A.9. Sistem Mata Pencaharian Hidup dan Sistem Kepemimpinan Tradisional Papua

1. Sistem Mata Pencaharian Hidup

Pulau Papua yang luasnya kurang lebih 3,5 kali pulau Jawa secara ekologis itu terdiri atas

empat zona yang masing-masing menunjukkan diversifikasi terhadap sistem mata pencaharian

mereka berdasarkan kebudayaan dan sebaran suku bangsa-suku bangsanya. Menurut Malcoln

dan Mansoben(1987; 1990), kelompok etnik yang beraneka ragam di Papua tersebar pada

empat zona ekologi yaitu: (1) Zona Ekologi Rawa atau Swampy Areas, Daerah Pantai dan

Muara Sungai atau Coastal & Riverine, (2) Zona Ekologi Daerah Pantai atau Coastal Lowland

Areas, (3) Zona Ekologi Kaki-Kaki Gunung serta Lembah-Lembah Kecil atau Foothills and

Small Valleys, dan (4) Zona Ekologi Pegunungan Tinggi atau Highlands. Orang-orang Papua

yang hidup pada mitakat atau zona ekologi yang berbeda-beda ini mewujudkan pola-pola

kehidupan yang bervariasi sampai kepada berbeda satu sama lainnya.

Penduduk yang hidup di wilayah zona ekologi rawa, daerah pantai dan muara sungai

sebagaimana terdapat di:

1. Jayapura ( teluk Humboldt: Skou, Yotefa, Imbi; Tanah Merah: Ormu, Tabla, Demta; Pantai

Utara: Bonggo, Podena, Yarsum, Betaf; Tor: Mander, Berik, Kwersupen; Sarmi:Kwerba,

Isirawa, Sobei, Samarokena, Masep; Mamberamo:Warembori, Pauwe, Warewek, Bauzi,

Nopuk; Sentani: Sentani, Dosai, Maribu), Kelompok suku bangsa-suku bangsa ini

semuanya mempunyai mata pencaharian utama sebagai peramu sagu dan sebagai

pendamping kebun kecil, menangkap ikan (sungai dan laut).

2. Yapen Waropen (Mamberamo Barat: Karema, Nita; Waropen: Sauri, Waropen, Kofei,

Tefaro, Siromi, Baropasi, Bonefa; kelompok suku bangsa ini semua mempunyai mata

pencaharian sebagai peramu sagu, kebun kecil, menangkap ikan di sungai dan laut. Krudu:

Krudu; Yapen: Woriasi, Ambai, Serui Laut, Yawe, Busami, Ansus, Pom, Woi, Munggui,

Marau, Pupui; kelompok suku bangsa-suku bangsa ini mempunyai mata pencaharian utama

sebagai peramu sagu, ditambah dengan kebun kecil, menangkap ikan di sungai dan laut

sebagai pendamping.

3. Biak Numfor; dengan mata pencaharian sebagai peramu sagu, ladang berpindah dan

menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.

4. Paniai; Nabire: Windesi, Mor, Yaur, Mer, Yeretuar, kelompok ini bermata pencaharian

utama ladang berpindah dengan pendamping meramu sagu, menangkap ikan di sungai dan

laut.

Page 23: FORESTER-TABAM-baik

5. Manokwari; Wandamen: Roon, Mioswar, Rumberpon, Wandamen; Arfak: Mantion, Hatam,

Borai; Amberbaken, kelompok ini bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah,

dan pendamping menangkap ikan di sungai dan laut. Sedangkan Bintuni: Tanah Merah,

Babo, Arandai, Kemberano, Meninggo, Kaburi, kelompok ini bermata pencaharian utama

meramu sagu, ladang berpindah, menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.

6. Sorong: Karon bermata pencaharian utama ladang berpindah, menangkap ikan di sungai dan

laut sebagai pendamping; Moi: bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah,

meramu sagu dan menangkap ikan di sungai sebagai pendamping. Raja Ampat: Kawe,

bermata pencaharian utama meramu sagu dan menangkap ikan di laut dan sungai serta

kebun kecil sebagai pendamping. Sedangkan orang Maya, Beser/Biak, Matbat bermata

pencaharian utama meramu sagu, ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di laut

dan sungai sebagai pendamping. Seget; Teminabuan: Kalabra, Tehit, Kon, Yahadian, Kais;

Inanwatan: Suabau, Puragi, Kokoda, kelompok ini bermata pencaharian utama meramu

sagu, kebun kecil serta menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.

7. Fakfak: Onin, Iha, Karas, Baham, Buruwai; Kaimana: Mairasi, Semini, Koiwai bermata

pencaharian utama ladang berpindah-pindah, meramu sagu, menangkap ikan di sungai dan

laut sebagai pendamping; Arguni: Kamberau, Irarutu, Mairasi bermata pencaharian utama

meramu sagu, berkebun kecil serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.

Mimika: Kamoro bermata pencaharian utama, meramu sagu, berkebun kecil, menangkap

ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.

8. Merauke; Asmat, Awyu, Yagai Citak bermata pencaharian utama meramu sagu dan

berkebun kecil serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping. Kimaam:

Riantana, Kimaghama, Koneraw; Marind-anim: Yab-anim, Maklew-anim, Kanum-anim,

Bian-anim bermata pencaharian utama meramu sagu dan kebun kecil, serta menangkap ikan

di sungai dan laut sebagai pendamping.

9. Adapun wilayah yang masuk dalam zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil di (1)

Jayapura, Nimboran: Genyem, Nimboran, Kemtuk Gresi; Arso; Waris,; Foya dan Uta

bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan

berburu sebagai pendamping. (2) Paniai dengan suku bangsa Timorini: Dou, Kiri-kiri,

Turu, Taori-Kei Fayu bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta

menangkap ikan di sungai dan berburu sebagai pendamping. (3) Manokwari dengan suku

bangsanya Arfak: Hatam, Meyah, Mantion/Sough; Amberbaken bermata pencaharian utama

ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan berburu serta beternak babi

sebagai pendamping. (4) Sorong dengan suku bangsa Karon, Madik, Maibrat, Moraid

bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta ternak babi, menangkap ikan di

Page 24: FORESTER-TABAM-baik

sungai dan berburu sebagai pendamping. (5) Fakfak dengan suku bangsa Fakfak: Baham,

Irarutu, Amungme, bermata pencaharian utama berladang berpindah, beternak babi dan

menangkap ikan di sungai serta berburu sebagai pendamping. (6) Merauke dengan suku

bangsa Muyu, Mandobo bermata pencaharian utama berladang berpindah, beternak babi

dan berburu serta menangkap ikan di sungai sebagai pendamping. Adapun wilayah yang

penduduknya berada pada zona daerah pantai umumnya bermata pencaharian utama

meramu sagu dan menangkap ikan di laut serta berkebun kecil dan berburu sebagai

pendamping. Disamping itu pula ada upaya lain berupa berdagang.

2. Sistem Politik Tradisional

Dalam setiap komunitas selalu dijumpai dengan berbagai proses “politik”, di mana ada

orang yang memimpin, menyusun organisasi, memperoleh dan menggunakan kekuasaan. Dalam

masyarakat sebagai suatu sistem kita melihat adanya berbagai permasalahan tertentu yang harus

dipecahkan melalui organisasi politik formal tertentu, misalnya memelihara ketertiban interen,

mengalokasikan kekuasaan dalam membuat keputusan tentang kegiatan kelompok. Jadi

dapatlah dikatakan bahwa organisasi politik suatu masyarakat adalah peraturan-peraturan dan

tugas-tugas apa saja yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, tanpa

memperhatikan apakah ada organisasi pemerintahan yang formal atau tidak (Keesing, 1992:38-

39).

Orang Papua mengenal sistem yang mengatur hubungan atau relasi antar warga dalam

berbagai aktivitas hidupnya sehari-hari berdasarkan kebudayaan mereka masing-masing. Orang

Papua mengenal sistem politik atau sistem kepemimpinan politik tradisional – Big Man.

Menurut Sahlins(1963) dan Mansoben(1995) terdapat empat sistem atau tipe politik di Papua

yaitu:

a. Sistem Big man atau pria wibawa: diperoleh melalui pencapaian. Sumber

kekuasaan terletak pada kemampuan individual, kekayaan material, kepandaian

berdiplomasi/pidato, keberanian memimpin perang, fisik tubuh yang besar, sifat bermurah

hati (Sahlins, 1963; Koentjaraningrat, 1970; Mansoben, 1995). Pelaksanaan

kekuasaan biasanya dijalankan oleh satu orang. Adapun etnik yang menganut sistem ini

adalah orang Dani, Asmat, Mee, Maybrat, Muyu. (Mansoben, 1995).

b. Sistem Politik Kerajaan: sistem ini adalah pewarisan berdasarkan senioritas kelahiran dan

klen. Weber (1972:126) mengatakan sebagai birokrasi patrimonial atau birokrasi

tradisional . Birokrasi tradisional terdapat pada cara merekrut orang untuk duduk dalam

birokrasi. Biasanya mereka yang direkrut mempunyai hubungan tertentu dengan penguasa,

misalnya hubungan keluarga atau hubungan pertemanan. Di sini terdapat pembagian

Page 25: FORESTER-TABAM-baik

kewenangan tugas yang jelas, pusat orientasi adalah perdagangan. Tipe ini terdapat di Raja

Ampat, Semenanjung Onin, Teluk MacCluer (teluk Beraur) dan Kaimana. (Mansoben,

1995: 48).

c. Sistem Politik Ondoafi: sistem ini merupakan pewarisan kedudukan dan birokrasi

tradisional. Wilayah/teritorial kekuasaan seseorang pemimpin hanya terbatas pada satu

kampung dan kesatuan sosialnya terdiri dari golongan atau sub golongan etnik saja dan

pusat orientasi adalah religi. Terdapat di bagian timur Papua; Nimboran, Teluk Humboldt,

Tabla, Yaona, Skou, Arso, Waris (Mansoben, 1995: 201-220).

d. Sistem Kepemimpinan Campuran. Menurut Mansoben (1985) terdapat juga sistem lain

yang menampakkan ciri pencapaian dan pewarisan yang disebut sistem campuran.

Sedangkan menurut Sahlins, sistem kepemimpinan yang berciri pewarisan (chief)

dibedakan atas dua tipe yaitu sistem kerajaan dan sistem ondoafi. Perbedaan pokok kedua

sistem politik tersebut terletak pada unsur luas jangkauan kekuasaan dan orientasi

politiknya. Sistem Kepemimpinan Campuran, kedudukan pemimpin diperoleh melalui

pewarisan dan pencapaian atau berdasarkan kemampuan individualnya (prestasi dan

keturunan). Tipe ini terdapat pada penduduk teluk Cenderawasih, Biak, Wandamen,

Waropen, Yawa, dan Maya (Mansoben, 1995:263-307).

Menurut kami, ada satu tambahan sistem kepemimpinan tradisional yang perlu dimasukkan

adalah

- Sistem kepemimpinan Gerontokrasi, yang mana didasarkan atas garis keturunan bobot,

sistem ini tidak serta merta kekal seperti sistem kepemimpinan Raja, karena ketika

keturunan berikut tidak mempertahankan kebesaran orang tuanya maka dengan sendirinya

sistem kepemimpinan gerontokrasi ini akan hilang dengan sendirinya.

3. Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan di Papua

Bila berbicara tentang “struktur sosial” atau “organisasi sosial” suatu masyarakat ini berarti

bahwa kita menganggap suatu sistem sosial terdiri dari berbagai kelompok, memandang

hubungan sosial berdasarkan posisi dan peranan yang saling berkaitan.

Untuk memudahkan pemahaman struktur sosial, kita harus mulai dengan hubungan sosial,

yaitu cara mereka berinteraksi, hal-hal yang mereka katakan dan lakukan dalam hubungan

mereka satu sama lain. Tetapi terdapat juga gagasan mereka tentang hubungan mereka, konsepsi

masing-masing tentang pihak yang lain, pemahaman dan strategi serta pengharapan yang

menuntun perilaku mereka. Baik pola perilaku maupun sistem konseptual mempunyai struktur,

dalam arti tidak kacau balau atau sembarangan, tetapi kedua hal tersebut merupakan struktur

yang berbeda jenis (Keesing, 1989:208-209).

Page 26: FORESTER-TABAM-baik

Pouwer (1966) berdasarkan studi antropologinya, menunjukkan bahwa dalam

pengelompokan orang Papua paling sedikit dapat dibagi kedalam empat golongan berdasarkan

sistem kekerabatan:

a. Kelompok kekerabatan menurut tipe Iroquois. Sistem ini mengklasifikasikan anggota

kerabat saudara sepupu paralel dengan istilah yang sama dengan saudara kandung. Juga

untuk menyebut istilah yang sama untuk ayah maupun sesama saudara laki ayah dan

saudara laki ibu. Adapun kelompok etnik papua yang tergolong dalam tipe ini adalah:

orang Biak, Iha, Waropen, Senggi, Marind-anim, Teluk Humboldt, dan orang Mee.

b. Kelompok kekerabatan menurut tipe Hawaian. Sistem pengelompokkan yang

menggunakan istilah yang sama untuk menyebut saudara-saudara sekandung dan semua

saudara-saudara sepupu silang dan paralel. Adapun kelompok etnik yang tergolong tipe ini

adalah: orang Hatam-Manikion, Mairsai, Mimika, Asmat, dan Pantai Timur Sarmi.

c. Kelompok kekerabatan menurut tipe Omaha. Sistem ini mengklasifikasikan saudara-

saudara sepupu silang matrilateral dan patrilateral dengan istilah yang berbeda dan untuk

saudara sepupu silang dipengaruhi oleh tingkat generasi dan bersifat tidak simetris. Sebutan

untuk anak laki-laki saudara laki ibu (MBS) adalah sama dengan saudara laki-laki ibu

(MB). Istilah untuk anak laki-laki saudara perempuan ayah (FZS) adalah sama untuk anak

laki-laki saudara perempuan (ZS). Adapun etnik yang tergolong dalam kelompok ini adalah

orang Awyu, Dani, Maybrat, Mek dipegunungan Bintang, dan Muyu.

d. Kelompok kekerabatan menurut tipe Iroquois-Hawaian. Tipe ini adalah tipe campuran.

Kelompok yang tergolong dalam tipe ini adalah orang Bintuni, Tor, dan Pantai Barat Sarmi.

Kecuali penggolongan berdasarkan istilah kekerabatan. Orang Papua juga dibedakan

berdasarkan prinsip pewarisan. Ada dua prinsip pewarisan keturunan yaitu: (a) melalui garis

keturunan ayah atau patrilineal, dan terdapat pada orang Maybrat, Mee, Dani, Biak,

Waropen, Wandamen, Sentani, Marind-anim dan Nimboran). (b) melalui prinsip bilateral

yaitu melalui garis keturunan ayah dan ibu, terdapat pada orang dipedalaman Sarmi. (c)

masyarakat berdasarkan struktur ambilateral atau ambilineal, dimana kadang-kadang diatur

menurut garis keturunan pihak ibu atau ayah. Terdapat pada orang Yagai, Manikion,

Mimika (De Brijn, 1959:11 of van der Leeden, 1954, Pouwer, 1966). Orang Papua juga

mengenal pembagian masyarakat kedalam phratry atau moiety yang terbagi atas dua paroh

masyarakat. Terdapat pada orang Asmat (aipmu-aipem), Dani (Waita-Waya), Waropen

(buriworai-buriferai) dalam (Mansoben, 1974, 1995; Held, 1947; Kamma, 1972; Schoorl,

1957; Heider, 1979-1980).

e. Sistem Kekerabatan

Diagram Kekerabatan Tanda-Tanda yang digunakan untuk diagram kekerabatan:

Page 27: FORESTER-TABAM-baik

Untuk Laki-laki Untuk Perempuan

Untuk Individu yang jenis kelaminnya tidak ditentukan

Untuk Perkawinan Untuk Perceraian

Untuk Meninggal

Untuk keturunan

Untuk Saudara Kembar

Untuk Garis Keturunan bersilangan Ayah

Untuk Garis keturunan Bersilangan Ibu

Untuk perkawinan diluar nikah

Contoh Menggunakan Tanda-tanda Dalam Diagram Kekerabatan :

Contoh 1

Dalam diagram 1, laki-laki A mengawini perempuan B yang tidak ada hubungan

kekerabatan denganya, sebagai istri ke-2 ia mengawini perempuan C, yaitu janda saudara laki-

laki ibunya, sebagai istri ke-3 ia kawin dengan perempuan D, yaitu anak saudara laki-laki isteri

pertamanya. Keturunan dari ketiga perkawinan ini yaitu saudara kandung tiri diletakkan pada

level yang sama. Hubungan saudara kandung dapat ditelusuri dengan mengikuti garis-garis

keturunan vertikal ke pasangan perkawinan dari orang tua mereka.

Page 28: FORESTER-TABAM-baik

Akronim Kekerabatan

Dalam bahasa Inggris : Dalam bahasa Indonesia :

E = Ego E Ego

F = Father Ay Ayah

M = Mother Ib Ibu

Z = Zister Sdr.Pr. Saudara Perempuan

B = Brother Sdr.Lk. Saudara Laki-laki

S = Son An.Lk Anak Laki-laki

D = Daughter An.Pr. Anak Perempuan

H = Husband Su. Suami

W = Wife Is. Isteri

P = Parent Or.Tu. Orang Tua

SI = Sibling Sdr.Kn. Saudara Kandung

C = Child An. Anak

Sp = Spouse Ps.Su.Is Pasangan Suami Isteri

La = In Laws Sn.Sdr.Is atau Su Sanak Saudara Isteri atau Suami

sF = step Father Ay.Tr Ayah Tiri

sM = step Mother Ib.Tr Ibu Tiri

eB = elder Brother Kk.Lk. Kakak Laki-laki

eZ = elder Sister Kk.Pr. Kakak Perampuan

yB = younger Brother Ad.Lk Adik Laki-laki

yZ = younger Sister Ad.Pr. Adik Perempuan

CC = Cross Cousin Sdr.Spp.Sil Saudara Sepupu Silang

PC = Parallel Cousin Sdr.Spp.Sej Saudara Sepupu Sejajar

Ne = Nephew Ke.Lk Kemenakan Laki-laki

Ni = Niece Ke.Pr Kemenakan Perempuan

GP = Grand Parent Kek.Nek Kakek Nenek

GF = Grand Father Kek Kakek

GM = Grand Mother Nek Nenek

GS = Grand Son Cu.Lk. Cucu Laki-laki

GD = Grand Daughter Cu.Pr. Cucu Perempuan

PPC = Patrilateral Sdr.Spp.Sej.Ay Saudara Sepupu Parallel Cousin

Sejajar dari pihak Ayah

PCC = Patrilateral Cross Sdr.Spp.Sej.Ib. Saudara Sepupu Cousin sejajar dari

Pihak Ibu

Page 29: FORESTER-TABAM-baik

MPC = Matrilateral Sdr.Spp.Sil.Ay Saudara Sepupu Parallel Cousin Silang

Dari Pihak Ayah

MCC = Matrilateral Sdr.Spp.Sil.Ib Saudara Sepupu Cross Cousin Silang

dari Pihak ibu

U = Unknown;individu T .D. Individu Tidak Diketahui Namanya

. yang tidak diketahui

Contoh Penggunaan Akronim Kekerabatan Dalam Diagram.

A. Keluarga inti. Keluarga inti adalah kelompok kekerabatan yang terkecil yang terdiri dari

orang tua (suami istri) dan anak-anak mereka yang belum kawin. Keluarga inti ada dua

macam, yaitu keluarga inti prokreasi dan orientasi. Dalam keluarga prokreasi, ego sebagai

orang tua yang menghasilkan anak, sedangkan dalam keluarga orientasi, Ego sebagai anak

yang beroreintasi kepada orang tua.

B. Keluarga Luas. Keluarga luas adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari lebih dari satu

keluarga inti, yang merupakan suatu kesatuan sosial yang amat erat biasanya hidup disuatu

tempat.

C. Ada tiga macam keluarga luas, yaitu : Keluarga luas utrolokal terdiri dari keluarga inti

senior dan keluarga inti dari anak laki-laki dan anak perempuan, Keluarga luas virilokal,

terdiri dari keluarga senior dan keluarga inti dari anak-anak, Keluarga uxorilokal , terdiri

dari keluarga inti senior dan keluarga inti dari anak perempuan.

Pedoman untuk pembuatan diagram kekerabatan.

Diagram kekerabatan dibuat dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Generasi.

– Individu-individu yang segenerasi harus dicantumkan sejajar.

– Generasi ego adalah generasi nol, ditulis denganakronim G 0.

– Generasi F dan M adalah generasi plus 1, ditulis dengan akronim G+1.

– Generasi FF dan MM adalah generasi plus 2, ditulis dengan akronim G+2 dan

seterusnya.

– Generasi S dan D adalah generasi minus 1, ditulis dengan akronim G-1.

– Generasi SS dan DD adalah generasi minus 2, ditulis dengan akronim G-2 dan

seterusnya.

2. Penomoran.

• Setiap individu dalam diagram harus di nomori. Penomoran dimaksudkan untuk

membedakan individu yang satu dengan individu yang lainnya. Penomoran dimulai dari

generasi tertua dan diakhiri pada generasi termuda. Dengan demikian penomoran dimulai

Page 30: FORESTER-TABAM-baik

pada generasi tertua pada individu yang terletak paling kiri dan diakhiri pada generasi

termuda yang terletak paling kanan.

3. Kerabat ayah dan kerabat ibu.

• Semua kerabat ayah diletakkan disebelah kiri ayah. Semua kerabat ibu diletakkan disebelah

kanan ibu. Dalam diagram ayah diletakkan disebelah kiri Ego dan ibu diletakkan disebelah

kanan ego.

D. Umur

Individu-individu yang bersaudara di deretkan dari individu tertua ke individu termuda.

Individu yang lebih tua diletakkan disebelah kiri dari individu yang lebih muda.

E. Ego

Huruf kapital E dicantumkan untuk menandai individu Ego Individu-individu dalam diagram

FZ-27 :

F. G+2 G+1 G 0 G-1 G-2

G. 1. FF 3. FZ 7. FZS 12. FZSS 20. FZSSS

H. 2. FM 4. FZH 8. FZSW 13. FZSSW 21. FZSSD

• 5. F9. FZD 14. FZSD 22. FZSDS

• 6. M 10 .FZDH 15. FZSDH 23. FZSDD

• 11. E 16. FZDS 24. FZDSS

• 17. FZDSW25. FZDSD

• 18. FZDD 26. FZDDS

• 19. FZDDH27. FZDDD

f. Sistem Religi Dan kesenian

1. Sistem Religi

Kita harus memperhatikan sistem kepercayaan dari sudut pandang, mengapa manusia

mendiami alam semesta dengan keberadaan dan kekuatan yang terlihat, mendongeng tentang

kejadian-kejadian dahulu kala dan kejadian-kejadian menakjubkan, menciptakan ritus yang rinci

dan harus benar, agar kehidupan manusia itu berhasil baik.

Taylor, satu abad yang lalu telah mendefenisikan agama sebagai satu kepercayaan dalam

bentuk spiritual. Sejumlah ahli antropologi sosial moderen sudah kembali ke suatu perluasan

defenisi agama dalam pengembangan kehidupan sosial masyarakat terhadap manusia biasa atau

kekuatannya. Ahli lainnya mengakui Durkheim, telah berusaha menemukan beberapa nilai

khusus tentang kesucian yang membatasi agama dan kepercayaan duniawi.

Agama sangat bervariasi dalam peranannya di alam semesta ini dan cara-cara manusia

berhubungan dengan agama tersebut. Dalam hal ini bisa terjadi kelompok-kelompok dewa-

Page 31: FORESTER-TABAM-baik

dewi, satu dewa atau sama sekali tidak ada, roh atau bahkan mahluk dan kekuatan yang

berlebihan. Kelompok ini secara konstan dapat menghalangi kegiatan manusia atau tanpa

terlihat dan jauh. Kelompok ini bersifat hukum atau bersifat positif. Berhubungan dengan ini

maka manusia dapat merasa kagum/hormat atau dapat merasa takut; tetapi juga mereka dapat

membangkitkan kekuatan gaib atau berusaha memperdayakannya. Agama kepercayaan juga

dapat mengatur moral manusia melakukan atau melanggar moral, jadi agama memberikan

keterangan; memberikan pengesahan; menambah kemampuan manusia untuk mengahadapi

kelemahan kehidupannya-kematian, penyakit kelaparan, banjir, dan kegagalan.

(Keesing,1992:92-94)

Bagaimana sistem kepercayaan dan agama pada suku bangsa Papua? Sebelum agama-

agama besar Kristen, Islam masuk di Papua, tiap suku bangsa mempunyai sistem kepercayaan

tradisi. Masing-masing suku bangsa mempunyai kepercayaan tradisi yang percaya akan adanya

satu dewa atau tuhan yang berkuasa diatas dewa-dewa. Misalnya pada orang Biak Numfor,

dewa tertingginya “Manseren Nanggi”; orang Moi menyebut “Fun Nah”; orang Seget

menyebut “Naninggi”; orang Wandamen menyebut “Syen Allah”. Orang Marind-anim

menyebut “Dema”; orang Asmat menyebut “Mbiwiripitsy” dan orang Maybrat menyebutnya

“Wiyon”. Orang Sawiat-Imian menyebutnya “Wofle” orang Mee menyebutnya “Ugatame”.

Semua dewa atau Tuhan diakui dan dihormati karena dianggap dewa pencipta yang mempunyai

kekuasaan mutlak atas nasib kehidupan manusia, mahluk yang tidak nampak, juga dalam unsur

alam tertentu (angin, hujan, petir, pohon besar, sungai, pusaran air, dasar laut, tanjung tertentu).

2. Kesenian

Kesenian merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan. Setiap suku bangsa yang

mendiami muka bumi ini memiliki unsur tersebut, namun unsur kesenian bagi setiap suku

bangsa tidak ( satu suku berbeda dengan lainnya). Haviland mengemukakan Seni adalah

penggunaan kreatif imajinasi manusia manusia untuk menerangkan, memahami, dan menikmati

kehidupan. Dalam beberapa kebudayaan suku bangsa Seni di gunakan untuk keperluan yang

dianggap penting dan praktis.

Kesenian itu sendiri terdiri dari beberapa sub, yaitu antara lain : seni rupa (seni lukis, seni

pahat, seni bangunan (artistektur), seni suara/seni musik, seni tari, seni sastra dan

drmatik. Semuanya ini selalu menonjolkan sifat dan ciri khas kebudayaan suatu etnik /suku

bangsa atau suatu negara.

Kesenian di Papua dapat dibedakan berdasarkan fungsi dan coraknya. Yang dimaksud adala

dipendensi (ketergantungan) dari fakta bahwa perwatakan atau karakter menampakkan sebuah

lingkungan (Guepin, 1973)

Page 32: FORESTER-TABAM-baik

Fungsi kesenian bagi kelompok etnik ini adala sebagai media komunikasi dan media

ekspresi kehidupan yang dihayati dengan kolektif (sosialisasi) seperti nampak diwujudkan

dalam upacara-upacara magis, pemujaan, penciptaan, bahkan nampak pada kehidupan

keseharian seperti makan, minum, tidur, bernapas, bersin, terantuk dan sebagainya. Dalam

melahirkan produk estetis melalui media dan dimensi sperti menggubah lagu, merancang tari,

melukis, mengukir, membuat serta memainkan alat musik, dan tindak artistik lainya, sekali lagi

bukanlah intherentitas (seniman) dalam kerja serta produk material yang dihasilkan melainkan

kompleksitas kesepakatan (konvensi) itulah.

Gambar: Diagram Individu

Page 33: FORESTER-TABAM-baik

SELAMATKAN HUTAN ADAT DI PULAU PAPUA SEBAGAI SUPLAI

OKSIGEN TERBESAR DUNIA

enyelamatkan Hutan Adat Papua, merupakan suatu hal pokok dalam

kehidupan komunual masyarakat adat Papua sejak turun temurun,

tentang pentingnya hutan adat mereka yang secara filosofis

merupakan ladang kehidupan yang mana juga secara mitologi

dipercaya bahwa didalam hutan adat mereka banyak menyimpan berbagai macam farian

alam yang berkaitan dengan alam fisikal dan alam ghaib, yang hingga saat ini masih

menggema dalam kesadaran masyarakat adat Papua untuk melestarikan hutan adat

mereka sebagai ekologis.

MPada tataran global, kesadaran ekologis ini muncul dari kawasan negara-negara

industrialis yang mengeksploitasi energi bumi secara habis-habisan, sehingga

sekelompok ilmuwan dunia yang menamakan dirinya the Club of Rome sejak dasawarsa

1970-an memberikan rambu-rambu tegas yang memperingatkan manusia tentang

pengerusakan hutan yang menguras energi bumi yang takterhingga ini. Bersama dengan

gejala ini, negara-negara penghasil minyak, termasuk Indonesia, bergabung dalam

OPEC untuk mengontrol jumlah produksi minyak bumi dan harga jualnya. Semenjak

dasawarsa 1980-an di kawasan negara-negara Eropa telah bermunculan kelompok-

kelompok pecinta lingkungan hidup, seperti nama yang hingga kini terkenal dengan

Green Peace. Aktivitas kelompok Green Peace ini telah memberikan kesadaran kepada

manusia sebagai mahluk mulia penghuni bumi tentang pentingnya pelestarian

lingkungan hidup agar generasi mendatang juga bisa hidup dengan layak. Pergantian

cuaca, misalnya lewat gejala El Nino, dan bumi makin panas akibat lubang ozon di

atmosfir, membuat para pecinta lingkungan hidup untuk duduk bersama pada tingkat

dunia. Pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia, dan Pada tahun 1992 di Rio de Janiero,

Brasilia yang terakhir ini dijuluki KTT bumi atau the Earth Summit. Justru sejak

konferensi Rio de Janiero, perhatian dunia terhadap hutan semakin menjadi tinggi dan

banyak universitas membuka satu cabang ilmu yang disebut ilmu ekologi, bahkan

ditataran masyarakat cendikia pun mendirikan Lembaga-Lembaga yang bergerak

Page 34: FORESTER-TABAM-baik

dibidang pengkajian dan perlindungan ekologi. Kini hutan mendapat makna yang baru,

yaitu sebagai paru-paru dunia, yang mana Papua sebagai Pulau dengan pensuplai

oksigen terbesar kedua untuk kategori kepulauan. Bila dilihat dari tataran negara, maka

Indonesia sebagai negara pensuplai oksigen terbesar ketiga dunia termasuk didalamnya

pulau Papua berperan penting bersama dengan Kalimantan sebagai Pulau yang

menyumbang oksigen terbesar di Indonesia. Sejak KTT Bumi tahun 2002 di

Johanesburg, Afrika Selatan, Perhatian terhadap air minum bumi lewat konservasi hutan

semakin nyaring dikumandangkan. Di Indonesia sendiri kita semakin menyadari bahwa

air minum kemasan sudah lebih mahal dari bensin premium untuk kendaraan. Pada

tanggal 5 Juni 2003, perhatian akan air minum ini menjadi tema utama dalam Hari

peringatan Lingkungan Hidup Internasional. Pada 10 Feberuari – 27 Oktober 2010, di

Capetown, Indonesia, dan Burkina Faso, kaum cendekia Asia dan Afrika yang

bergabung dalam International Working Group (IWG) for Asian African to

Globalization telah membahas persoalan ekologi dan global warming yang diangkat

dalam peringatan Konferensi Asia Afrika yang ke-55 dengan tema utamanya RASIAL

DIVERSITY yang membahas multi dimensi Persoalan dunia. Didalam dimensi

pembahasan persoalan, salahsatu subdimensi yang dibahas adalah persoalan Global

warming. Beberapa pertanyaan penting sebagai pekerjaan rumah benua Afrika dan Asia

adalah bisakah kedua benua ini menjawab persoalan Global Warming sebagaimana

telah dibahas dalam Comemoration Asian African 55 itu.

Dalam konteks global, kesadaran akan lingkungan hidup inilah maka kami

mencoba menuangkan tulisan ini sebagai kampanye pribadi untuk masyarakat

(masyarakat adat Papua) akan pentingnya hutan (khusus hutan adat Papua) sebagai

suplai oksigen terbesar dunia bagi hidup manusia. Kemungkinan dalam jejeran referensi

buku ekologis, sepertinya belum ada yang fokus mengulas tentang konservasi hutan

adat Papua, sehingga kami ingin memunculkan buku ini dengan mengambil fokus untuk

hutan adat Papua yang kelihatannya terlupakan, sehingga kami mencoba mengkajinya

dari teritori komunual dan global. Justru hutan pada pulau Papua memainkan peranan

yang paling penting untuk suplai oksigen terbesar dunia dan konservasi air minum.

Inilah ciri khas pulau Papua yang berpenghuni baik di kawasan Oceania. Sepertinya

belum banyak perhatian yang ditujukan pada kondisi hutan adat Papua sebagai ulasan

dan diskusi tentang lingkungan hidup dan sebagai suplai oksigen terbesar dunia,

Page 35: FORESTER-TABAM-baik

walaupun sudah banyak ahli yang mencermati tentang relasi masyarakat lokal atau adat

istiadat di Papua namun belum ada yang mencoba mengkaji tentang konservasi hutan

adat Papua dengan pelestarian lingkungan hidup yang tertuang dalam cabang ilmu

pengetahuan, misalnya tentang ilmu etnoekologi sebagaimana yang dikatakan oleh

beberapa peneliti didaerah lainnya, (lihat, Lahajar: Etnoekologi Perladangan Orang

Dayak Tunjung Linggang, 2001).

Pulau Papua yang luasnya kurang lebih 3,5 kali pulau Jawa dan tertutup oleh

hutan lebat atau potensinya besar secara ekologis itu terdiri atas empat zona yang

masing-masing menunjukkan diversifikasi terhadap sistem mata pencaharian penduduk

asli pribumi berdasarkan kebudayaan dan sebaran suku bangsa-suku bangsanya secara

komunal. Menurut Malcoln dan Mansoben(1987; 1990), kelompok etnik suku yang

beraneka ragam di Papua tersebar pada empat zona ekologi yaitu: (1) Zona Ekologi

Rawa atau Swampy Areas, Daerah Pantai dan Muara Sungai atau Coastal & Riverine,

(2) Zona Ekologi Daerah Pantai atau Coastal Lowland Areas, (3) Zona Ekologi Kaki-

Kaki Gunung serta Lembah-Lembah Kecil atau Foothills and Small Valleys, dan (4)

Zona Ekologi Pegunungan Tinggi atau Highlands. Orang-orang Papua yang hidup pada

mitakat atau zona ekologi yang berbeda-beda ini mewujudkan pola-pola kehidupan

yang bervariasi sampai kepada berbeda satu sama lainnya dengan mempertahankan

hutan adat mereka sebagai hak ulayat atau ahli waris tanah masing-masing dan

menamakan diri mereka sebagai orang adat/anak adat bahkan wilayah mereka pun

disebut sebagai tanah adat atau tanah milik leluhur mereka. Penduduk yang hidup di

wilayah zona ekologi rawa, daerah pantai dan muara sungai sebagaimana terdapat di:

1. Jayapura ( teluk Humboldt: Skou, Yotefa, Imbi; Tanah Merah: Ormu, Tabla, Demta;

Pantai Utara: Bonggo, Podena, Yarsum, Betaf; Tor: Mander, Berik, Kwersupen;

Sarmi:Kwerba, Isirawa, Sobei, Samarokena, Masep; Mamberamo:Warembori,

Pauwe, Warewek, Bauzi, Nopuk; Sentani: Sentani, Dosai, Maribu), Kelompok suku

bangsa-suku bangsa ini semuanya mempunyai mata pencaharian utama sebagai

peramu sagu dan sebagai pendamping kebun kecil, menangkap ikan (sungai dan

laut). Yapen Waropen (Mamberamo Barat: Karema, Nita; Waropen: Sauri,

Waropen, Kofei, Tefaro, Siromi, Baropasi, Bonefa; kelompok suku bangsa ini

semua mempunyai mata pencaharian sebagai peramu sagu, kebun kecil, menangkap

ikan di sungai dan laut. Krudu: Krudu; Yapen: Woriasi, Ambai, Serui Laut, Yawe,

Page 36: FORESTER-TABAM-baik

Busami, Ansus, Pom, Woi, Munggui, Marau, Pupui; kelompok suku bangsa-suku

bangsa ini mempunyai mata pencaharian utama sebagai peramu sagu, ditambah

dengan kebun kecil, menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.

2. Biak Numfor; dengan mata pencaharian sebagai peramu sagu, ladang berpindah dan

menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.

3. Paniai; Nabire: Windesi, Mor, Yaur, Mer, Yeretuar, kelompok ini bermata

pencaharian utama ladang berpindah dengan pendamping meramu sagu, menangkap

ikan di sungai dan laut.

4. Manokwari; Wandamen: Roon, Mioswar, Rumberpon, Wandamen; Arfak: Mantion,

Hatam, Borai; Amberbaken, kelompok ini bermata pencaharian utama ladang

berpindah-pindah, dan pendamping menangkap ikan di sungai dan laut. Sedangkan

Bintuni: Tanah Merah, Babo, Arandai, Kemberano, Meninggo, Kaburi, kelompok

ini bermata pencaharian utama meramu sagu, ladang berpindah, menangkap ikan di

laut dan sungai sebagai pendamping.

5. Sorong: Karon bermata pencaharian utama ladang berpindah, menangkap ikan di

sungai dan laut sebagai pendamping; Moi: bermata pencaharian utama ladang

berpindah-pindah, meramu sagu dan menangkap ikan di sungai sebagai

pendamping. Raja Ampat: Kawe, bermata pencaharian utama meramu sagu dan

menangkap ikan di laut dan sungai serta kebun kecil sebagai pendamping.

Sedangkan orang Maya, Beser/Biak, Matbat bermata pencaharian utama meramu

sagu, ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai

pendamping. Seget; Teminabuan: Kalabra, Tehit, Kon, Yahadian, Kais; Inanwatan:

Suabau, Puragi, Kokoda, kelompok ini bermata pencaharian utama meramu sagu,

kebun kecil serta menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.

6. Fakfak: Onin, Iha, Karas, Baham, Buruwai; Kaimana: Mairasi, Semini, Koiwai

bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah, meramu sagu, menangkap

ikan di sungai dan laut sebagai pendamping; Arguni: Kamberau, Irarutu, Mairasi

bermata pencaharian utama meramu sagu, berkebun kecil serta menangkap ikan di

laut dan sungai sebagai pendamping. Mimika: Kamoro bermata pencaharian utama,

meramu sagu, berkebun kecil, menangkap ikan di laut dan sungai sebagai

pendamping.

Page 37: FORESTER-TABAM-baik

7. Merauke; Asmat, Awyu, Yagai Citak bermata pencaharian utama meramu sagu dan

berkebun kecil serta menangkap ikan di laut dan sungai sebagai pendamping.

Kimaam: Riantana, Kimaghama, Koneraw; Marind-anim: Yab-anim, Maklew-anim,

Kanum-anim, Bian-anim bermata pencaharian utama meramu sagu dan kebun kecil,

serta menangkap ikan di sungai dan laut sebagai pendamping.

Adapun wilayah yang masuk dalam zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil di

1. Jayapura, Nimboran: Genyem, Nimboran, Kemtuk Gresi; Arso; Waris,; Foya dan

Uta bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di

sungai dan berburu sebagai pendamping.

2. Paniai dengan suku bangsa Timorini: Dou, Kiri-kiri, Turu, Taori-Kei Fayu bermata

pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap ikan di sungai dan

berburu sebagai pendamping.

3. Manokwari dengan suku bangsanya Arfak: Hatam, Meyah, Mantion/Sough;

Amberbaken bermata pencaharian utama ladang berpindah-pindah serta menangkap

ikan di sungai dan berburu serta beternak babi sebagai pendamping.

4. Sorong dengan suku bangsa Karon, Madik, Maibrat, Moraid bermata pencaharian

utama ladang berpindah-pindah serta ternak babi, menangkap ikan di sungai dan

berburu sebagai pendamping.

5. Fakfak dengan suku bangsa Fakfak: Baham, Irarutu, Amungme, bermata

pencaharian utama berladang berpindah, beternak babi dan menangkap ikan di

sungai serta berburu sebagai pendamping.

6. Merauke dengan suku bangsa Muyu, Mandobo bermata pencaharian utama

berladang berpindah, beternak babi dan berburu serta menangkap ikan di sungai

sebagai pendamping.

Adapun wilayah yang penduduknya berada pada zona daerah pantai umumnya

bermata pencaharian utama meramu sagu dan menangkap ikan di laut serta

berkebun kecil dan berburu sebagai pendamping. Disamping itu pula ada upaya lain

berupa berdagang.

Dengan demikian maka, dapat kita simpulkan bahwa secara tradisi, masyarakat

pribumi pulau Papua selama berabad tahun telah melakukan pelestarian hutan adat

mereka secara teratur dalam tatanan wilayah hutan adat mereka masing-masing dengan

sistem berproduksi dengan pola perladangnan berpindah-pindah disekeliling wilayah

Page 38: FORESTER-TABAM-baik

adat mereka masing-masing tanpa harus mencuri hak ulayat komunal tetangga lain atau

dalam istilah antropologi disebut swidden, atau slash, and burn cultivation. Menghargai

batas-batas hak ulayat komunal masing-masing adalah merupakan suatu hal normatif

yang telah diterapkan secara beradab dalam tradisi bahkan sudah dianggap sebagai

hukum adat yang berlaku, karena didalamnya terdapat butir-butir yang mengatur dan

memberikan sangsi-sangsi keras terhadap orang yang melanggar dengan memasuki

serta membongkar atau menebang hutan diwilayah komunal tetangga lain. Pola

pertanian ladang seperti itu mampu mendukung keseimbangan iklim, karena pola

pengembangannya secara tradisional dan tidak sertamerta merusak hutan secara

menyeluruh, walaupaun melakukannya secara berpindah-pindah, tetapi lokasi yang

ditinggalkan sebagai bekas perladangan akan dibiarkan selama puluhan tahun setelah

ditutupi pepohonan barulah dibuka lahan perladangan. Sistem perladangan ini terjadi

secara turun temurun hingga kini masih ditemukan pada masyarakat kampung. Adanya

perindustrian dengan pelbagai fungsinya menjurus pada bagaimana pengerusakan hutan

adat Papua dan pengabaian sistem pelestarian alam. Hal ini dirasa meresahkan bagi

pribumi yang tadinya dapat mengorganisir bumi kedamaian mereka secara adat demi

kelangsungan hidup mereka (bahkan kelangsungan hidup manusia) berbenturan dengan

pola perindustrian.

Paparan etnoekologis Pulau Papua ini menyuarakan keprihatinan, dalam

kecermatan kami dengan ancaman riil terhadap masyarakat adat Papua masa kini dan

masa yang akan datang, karena kawasan hutan adat yang sudah menjamin kelangsungan

hidup leluhur pribumi Papua kini makin menyempit karena eksploitasi serta

pengerusakan besar-besaran terjadi akibat dari kepentingan industri. Tentusaja ketidak

tahuan masyarakat pribumi mengenai pengaruh pengerusakan hutan hingga

berakibatkan semakin menipisnya ozon. Sebenarnya LSM dan pemerintah Papua telah

gagal dalam penyuluhan tentang pentingnya mempertahankan hutan adat mereka bukan

hanya sebagai hak ulayat mereka semata, akan tetapi sebagai penyumbang oksigen

terbesar dunia. Kami merasa bahwa LSM dan Pemerintah setempat kurang jeli dalam

memperjuangkan hak-hak adat masyarakat pribumi Papua, dan salah satu sasaran yang

perlu dilakukan adalah masyarakat adat Papua harus diberi jaminan kebutuhan hidup

agar hutan adat mereka jangan dibongkar secara terpaksa dengan tujuan produksi

perladangan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Kekhawatiran yang sama

Page 39: FORESTER-TABAM-baik

bahwa perubahan ekologis pada daratan pulau Papua terjadi karena kepentingan pihak

tertentu yang terus melakukan pengeksploitasian Sumber Daya Alam di pulau Papua.

Kekhawatiran akan terjadinya pengerusakan habitat ekologis inilah sehingga perlu

adalanya kampanye penyelamatan hutan adat Papua sebagai penyumbang oksigen

terbesar dunia.

Agak berbeda dengan pengalaman masyarakat industrialis yang mendapat

kecaman dari kelompok pecinta lingkungan hidup, khususnya Green Peace, perubahan

ekologis yang dialami masyarakat adat pulau Papua Barat sangat dipengaruhi oleh

perubahan industrialis dalam kegiatan ekonomi penduduk sejak 1969 lewat

penandatanganan kontrak kerja perusahaan asing pertama yang beroperasi di Pulau

Papua PT. Freeport beserta ideologi pembangunan yang dicanangkan pemerintah Orde

Baru pada tahun 1970-an. Sebelum era pembangunan ini, masyarakat petani tradisional

yang selalu melakukan perladangan pindah-pindah di Papua sudah mampu mandiri dan

mencukupi diri sendiri lewat hasil olahan ladangnya. Secara tradisi, orientasi produksi

mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperoleh melalui uang kontan atau

tanpa adanya koperasi masyarakat yang menampung hasil produksi mereka. Makanan

tradisional seperti singkong, sagu, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Jagung dan umbi-

umbian digantikan dengan beras yang diproduksi oleh petani transmigrasi yang

kebanyakan berasal dari luar Papua seperti Jawa. Walaupun telah dibuka ladang padi di

beberapa daerah Papua seperti Kabupaten Sorong, Nabire Paniai, Merauke, namun

kebanyakan hasilnya menjadi konsumsi bergengsi dikalangan pegawai negeri.

Pekerjaan pemberi jasa sebagai pegawai negeri sipil menjadi idola bahkan kini

membuat animo masyarakat Papua mulai mengejar hal itu dengan mempromosikan diri

mereka lewat bangku pendidikan yang bercorak umum dan tidak memperdulikan

kegiatan pertanian dan nelayan tradisional. Dengan demikian terciptalah ketergantungan

massa terhadap pelbagai tawaran dari luar yang digapai dengan uang kontan yang

melimpah. Penduduk asli Papua tidak mampu memperoleh uang kontan melalui hasil

produksi ladang dan ikan tangkapannya, justru kayu seperti Gaharu, dan rotan dan kayu

hasil hutan yang selalu menjadi jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan tinggi akan

konsumsi barang dan jasa yang ditawarkan dari luar. Hingga saat ini, belum diperoleh

suatu format yang baik dan bersahabat dengan alam lingkungan yang sekaligus bisa

menjawab kebutuhan hidup ekonomis penduduk pribumi yang notabene digolongkan

Page 40: FORESTER-TABAM-baik

sebagai kaum miskin ini. Disinilah letak tantangan besar untuk generasi muda Papua

untuk memperjuangkan nasib hidup mereka menuju masa depan Papua baru yang lebih

cerah.

Hutan sebenarnya sudah diatur secara adat oleh masing-masing suku bangsa

sesuai dengan pola hidupnya masing-masing dan hutan itu ada untuk manusia dan

bukan sebaliknya manusia untuk hutan. Tetapi hutan dan alam lingkungan ini masih

tetap dalam kondisi berhingga, dan yang disebut “manusia” disini bukanlah hanya

individualis masa kini belaka, melainkan manusia dalam pengertian kolektif yaitu

sesama warga penghuni bumi baik yang masih hidup sekarang maupun generasi akan

datang. Selamatkanlah Hutan Adat Papua sebagai suplai oksigen terbesar dunia demi

hidup manusia bersama. Bila leluhur masyarakat adat Papua telah berhasil menggalang

hidup bersama selama berabad tahun hingga turun temurun mereka sekarang ini, maka

tantangan dan panggilan bagi generasi muda Papua (Pace dan Mace) di era Globalisasi

ini untuk mencari jalan keluar yang baru demi kesejahteraan hidup bersama selanjutnya

di tanah Papua dan Bumi. Ajakan yang sama pula, kami mengajak semua civitas LSM,

Pemerintah, Negara-Negara atau kelompok pencinta alam dan individu pemerhati alam

agar mau bergabung dan ikut menyuarakan tentang pelestarian lingkungan hutan adat

Papua secara khusus dan dunia umumnya.

Page 41: FORESTER-TABAM-baik

BERGESERNYA TRADISI NORMATIF MASYARAKAT ADAT PAPUA

onflik sumberdaya alam hutan adat Papua sepertinya belum dikaji secara

mendalam di dunia akademisi dan peneliti Indonesia, terutama pada

tingkatan pengembangan ilmu-ilmu Kehutanan (Natural science). Dalam

hemat kami, bahwa peneliti yang lebih dulu melakukan kajian terlengkap

yang pernah dilakukan di pulau Papua adalah para ahli-ahli Antropologi seperti Salhins,

Mansoben, Prof. Koentjaraningrat, Drs. Paul Yaam dkk pada tahun 1982 dalam buku

mereka Etnografi Papua 1982, d.y.l. Ilmu Antropologi merupakan ilmu yang selama ini

dianggap terdepan dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang mempunyai perhatian dalam

pengembangan teori hubungan alam dan manusia sebagaimana yang dilakukan di

Papua. Hal tersebut senada dengan yang dilakukan oleh antropolog Amerika ‘Julian H.

Steward’ yang telah memulainya dengan teori yang berkaitan dengan ekologi hutan

“cultural ecology”. Steward dalam bukunya “Evolution and Ecology” (1977) yang

mengatakan bahwa lingkungan itu sangat ditentukan oleh bagaimana pelaksanaan

organisasi produksi masyarakat dalam mengolah hutan. Artinya bahwa tindakan sosial

ekonomi masyarakat tradisional (masyarakat adat Papua) terhadap sumberdaya alam

(hutan adat mereka) sangat ditentukan dengan bagaimana pola-pola konsumsi dan

kebutuhan akan barang dan jasa oleh masyarakat tersebut. Masyarakat adat Papua,

secara tradisi melakukan aktivitas perladangan semata-mata hanya untuk pemenuhan

kebutuhan pangan, begitupun bagi para nelayan tanpa menggunakan teknologi moderen

seperti mesin penebang pohon chaisaw bagi para petani dan jaring pukat bagi para

nelayan, melainkan menggunakan alat-alat tradisional seperti parang dan kapak bagi

petani dan kail sebagai alat memancing bagi para nelayan. Secara sederhana, dapat kita

katakan bahwa masyarakat tradisional Papua mendapatkan inspirasi dari hutan untuk

petani, dan nelayan mendapatkan inspirasi dari laut. Hutan dan laut sebagai areal

penyedia pangan sehingga masyarakat adat Papua kelihatannya menggantungkan hidup

pada kedua areal itu dengan berpegang kepada adat istiadat mereka yang normatif.

K

Page 42: FORESTER-TABAM-baik

Dalam konteks organisasi produksi semacam itu sering berakibat konflik, baik

konflik antar warga pemilik hak ulayat dengan tetangga yang membongkar hutan

adatnya karena dianggap melanggar hukum adat dan ia akan mendapat sangksi yang

setimpal. Seiring dengan itu, konflik yang sekarang terjadi justru masyarakat pemilik

hak ulayat adat diperhadapkan dengan suatu konflik baru yang boleh disebut dengan

konflik antar pelaku industrialis dalam memanfaatkan sumberdaya alam hutan sebagai

bahan baku. Jika ditelusuri lebih mendalam, konflik seperti ini ternyata tidak

sesederhana yang dibayangkan oleh banyak orang, dimana konflik semacam ini hanya

seputar pemilik hak adat tanah ulayat yang selalu tidak mengizinkan hutan adatnya

untuk dikelola dengan pihak industrialis karena dianggap tidak normatif dan

dikhawatirkan akan terjadi pengerusakan hutan adat mereka secara liar. Ini diakibatkan

karena lemahnya penegakan hukum terhadap perusak sumberdaya hutan, tetapi

sesungguhnya konflik semacam itu ada kaitannya juga dengan nilai-nilai sejarah politik

ekonomi sejak zaman penjajahan sampai pada korporatisme negara atas sumberdaya

hutan pasca kemerdekaan. Korporatisme negara tersebut tercermin dari lahirnya

peraturan perundang-undangan yang sifatnya sentralistik, hegemonistik, anti-pluralistik,

yang dikemas dalam kerangka berpikir yang sangat positifis. Konflik sumberdaya hutan

tersebut pasti akan bermuara pada konflik kepentingan antar aktor pemain dan

pemanfaat sumberdaya hutan. Ini mengingatkan kita kembali pada pertanyaan Mark

Poffenberger dalam bukunya i keepers of the forest (1990), siapa sesungguhnya yang

mempunyai hak penuh menjaga hutan? Para birokrat pemertintah, Pengusaha Hutan,

pengawas hutan yang selalu membawa senjata, para pendatang di dalam hutan yang

jumlahnya semakin bertambah, yang mana mereka adalah para konsumen hasil hutan

tingkat dunia, atau masyarakat adat yang secara turun temurun hidup dari hasil hutan

adat mereka?

Pertanyaan ambigu yang diucapkan oleh Poffenberger tersebut mengisyaratkan

kita semua bahwa konteks pemanfaatan sumberdaya hutan bukanlah konteks yang

hanya dapat dianalisis dalam perspektif mikro saja, tetapi sesungguhnya ada hubungan

antara mikro-makro yang mana keduanya saling terkait, saling bergantung dan sinergis.

Dalam relasinya dengan permasalahan masyarakat adat Papua di pulau Papua,

khususnya dengan kerusakan sumberdaya hutan adat di daerah Papua yang ditengarai

diakibatkan oleh faktor perindustrian dan penebangan kayu. Tampaknya jangan dilihat

Page 43: FORESTER-TABAM-baik

terlalu sempit hanya sebatas pengerusakan hutan, tetapi hal ini berakibatkan akan

berkurangnya suplai oksigen terbesar yang di harapkan.

Pranata sosial budaya masyarakat adat Papua, dapat kita temukan beberapa

model kategori penggunaan lahan perladangan secara tradisi dan penggunaan hutan

secara industrialis, baik dalam perspektif normative culturali maupun realitas-realitas

yang ada sebagai akibat dari bergesernya sistem nilai budaya tradisional yang kini

sebagian besar masyarakat adat sudah tidak lagi mengembangkannya karena dianggap

ketinggalan dengan berorientasi pada model-model ekonomi untuk memenuhi

kebutuhan hidup keluarga. Ini dilihat sebagai model yang membuat bergesernya tradisi

normatif masyarakat adat Papua. Satu model pernyataan baru lagi bahwa sistem

perladangan tradisional tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga petani

peladang, ini merupakan pernyataan yang menginspirasikan para petani trdisional untuk

mencari alternatif sumber ekonomi keluarganya dengan meninggalkan berladang

menjadi penebang kayu di hutan-hutan adat mereka yang tadinya menjadi bagian dari

kultur mereka dan juga ada yang tidak segan menjual tanah adatnya kepada pelaku

industrialis dengan keinginan memperoleh uang kontan sebagai imbalan untuk

digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan. Faktor ekonomi memaksa masyarakat adat

harus melepaskan tanah adatnya kepada pemodal untuk keperluan usahanya dengan

syarat memberikan uang sebagai imbalan ganti rugi secara kontan. Inilah salah satu inti

permasalahan mengapa kebanyakan tanah adat di Papua telah dimiliki oleh orang bukan

asli pribumi Papua, sehingga terjadilah pergeseran tradisi normatif masyarakat Papua

itu. Pergeseran ini justru membawa petaka bagi sumberdaya hutan, karena kontrol yang

lemah dari sistem adat dan faktor ekonomi juga ikut berperan sebagai pemicu hilangnya

hak tanah adat dan semakin cepat terjadinya kemunduran kualitas alam di pulau Papua

tersebut. Sebenarnya dari instansi kehutanan juga sebagai pemicu daripada kemunduran

kualitas alam di pulau Papua, karena sampai seberapa jauh penanganan sistem tanah

adat di Papua masih tetap mampu melindungi hutan adat jikalau tidak didukung oleh

Hukum Negara guna menjaga kelestarian sumberdaya hutan adat Papua?

Kasus penggunaan sumberdaya hutan yang terjadi di masyarakat adat Papua ini,

secara diametral dihadapkan antara sektor tradisional dan sektor moderen, artinya

tatacara komunal diperhadapkan dengan model-model eksploitasi Sumber Daya Alam,

seperti eksploitasi kayu, ini terjadi di beberapa kepulauan di Indonesia saat ini. Para

Page 44: FORESTER-TABAM-baik

kepala kampung dan kepala distrik saat ini ikut bermain dengan cara berkolaborasi

dengan masyarakat pribumi sebagai pemilik hutan adat. Tingkah laku pemimpin seperti

ini sering menimbulkan konflik horizontal antara warga masyarakat yang pada akhirnya

menimbulkan perselisihan sangat tajam antar pihak kerabat dalam kampung, maupun

perselisihan antar kampung dengan kampung maupun suku. Ada pemikiran fulgar

dimasyarakat saat ini mengatakan bahwa, siapa cepat maka ia dapat dan siapa yang

punya uang maka ialah yang akan menjadi penguasa atas tanah-tanah baru di kampung.

Akan tetapi pada saat yang sama, akan muncul warga yang tidak menerima hal ini

sehingga akan terjadi pertikaian dan konflik segitiga antar pemilik hak tanah adat, tuan

tanah baru (pembeli/pendatang) dan keluarga/kerabat pemilik hak tanah adat.

Page 45: FORESTER-TABAM-baik

MASYARAKAT TRADISIONAL dan HUTAN ADAT VS KEPENTINGAN

alam beberapa tahun terakhir ini, kehidupan masyarakat tradisional

(masyarakat adat Papua) yang selama ini dan telah ratusan tahun hidup

berdampingan dengan hutan adat mereka, selalu dipersalahkan dan

diperlakukan secara tidak adil oleh kebijakan-kebijakan pemerintah,

khususnya jika dikaitkan dengan polecy pemerintah yang memberikan konsesi

pengelolaan hutan kepada Hak Pengusaha Hutan (HPH) dan kaum industrialis. Namun

sebaliknya, dukungan terhadap keberadaan dan kehidupan masyarakat tradisional juga

kian menjadi panas diperjuangkan oleh berbagai kalangan, khususnya mereka yang

peduli terhadap kehidupan masyarakat tradisional.

DDalam pandangan berbagai kalangan, sesungguhnya kehidupan masyarakat

tradisional (masyarakat adat) misalnya tentang sistem perladangan berpindah-pindah,

sistem tatanan hutan adat, ini sangat menguntungkan bila ditinjau dari segi ekologis,

karena proses yang mereka lakukan memberikan masa bera yang cukup panjang,

sehingga memberi kesempatan kepada tanaman-tanaman untuk dapat tumbuh kembali

dengan baik apalagi dengan sistem ketahanan hutan secara komunal dikelola oleh

masing-masing yang memiliki hak ulayat tanpa mengganggu ulayat tetangga lain

sebagaimana diatur secara komunal dalam tradisi adat istiadat mereka. Kelihatannya

pola pengelolaan lahan hutan secara tradisi ini berpengaruh pada pertumbuhan

pepohonan baru yang mampu mensuplai oksigen terbesar bagi bumi. Justru yang sering

merusak hutan (hutan adat Papua) adalah para pemegang HPH yang selama ini tidak

menebang berdasarkan asas tebang pilih, tetapi menebang secara serampangan, dan

pihak lain yang dianggap sering merusak hutan adalah perindustrian dan pertambangan

yang melakukan eksploitasi SDA dengan merusak atau membuka lahan tutupan hutan.

Salah satu contoh kasus adalah PT. Freeport yang hingga sekarang ini belum digugat

dengan persoalan pembuangan limbah tambang yang berakibat ekologi disekitarnya

mati bahkan telah menghancurkan hutan sekitar areal pertambangan di Mimika hingga

terjadinya pencemaran air sungai sekitar dan berakibat pada kematian hewan air sungai

Page 46: FORESTER-TABAM-baik

dan sampai sekarang ini air sungai disekitar tidak dikonsumsi oleh penduduk setempat.

Sepertinya persoalan ini ditutup mati oleh PT. Freeport dan pihak-pihak terkait

termasuk pemerintah dan militer bermain didalamnya, hal ini tampak dengan tidak

mengizinkan siapapun peneliti atau pengamat yang mengunjungi areal tersebut, bahkan

diperketat dengan penjagaan TNI yang dilengkapi dengan persenjataan seperti pasukan

siap tempur.

Masyarakat tradisional (masyarakat adat) Papua khususnya dan Indonesia

umumnya maupun masyarakat tradisional di bagian bumi lainnya, sering dijadikan

sebagai tersangka utama atas terjadinya perusakan lahan (hutan adat) akibat sistem

perladangan yang mereka lakukan. Namun jika diperhatikan secara seksama,

sesungguhnya sistem perladangan masyarakat tradisional di Papua ini tidak berpengaruh

besar terhadap kerusakan hutan. Karena dalam kehidupan masyarakat tradisional Papua,

terdapat juga aturan-aturan adat yang mengatur tentang sistem pengelolaan dan

pemanfaatan lahan (hutan adat) mereka. Didalam aturan komunal itu, tersirat juga mitos

yang mempercayai bahwa hutan adat mereka juga merupakan tempat berdiam

makhluk/roh halus sebagai alam ghaib (hutan pamali/tempat pamali), dan mereka

menganggap bahwa leluhur mereka berasal dari alam hutan adat itu atau dengan

pengertian lain bahwa hutan adat sebagai yang bercikal bakal adanya manusia.

Sebagaimana yang telah terjadi di pulau Papua adalah konflik kepentingan atas

hutan adat, tanah adat, dan berikut hasil-hasil yang terkandung didalamnya yang terjadi

antara penduduk asli Papua atau terhormat bagi mereka bila dipanggil dengan sebutan

orang adat atau masyarakat adat seperti (Ondo Afi atau Ondo Ame dalam bahasa

Sentani, Ra Tabam dalam bahasa Maybrat d.y.l) dengan pemerintah daerah dan

perusahaan (perkayuan, kehutanan, perkebunan, industri, dan pertambangan) serta

penduduk pendatang (transmigrasi). Kenyataan sosial budaya ini barangkali boleh

dikatakan sebagai konflik kepentingan antara tatanan budaya lokal dan pembangunan

dalam bentuk penetrasian modal melalui industrialisasi yang berkembang pesat dalam

beberapa dasawarsa terakhir di Papua Barat yang mana seiring dengan diperlakukannya

Otonomi Khusus yang dianggap gagal oleh masyarakat adat Papua.

Dalam konteks ini, dikatakan bahwa tanah milik pribumi Papua (tanah adat

Papua) sebagai penduduk lokal seringkali dikorbankan untuk kepentingan yang bersifat

ekstraktif atau kepentingan orang-orang yang datang dari luar daerah (pendatang).

Page 47: FORESTER-TABAM-baik

Dengan demikian, kepentingan masyarakat adat Papua yang berhubungan dengan hutan

adat dan tanah adat mereka, cenderung diabaikan baik oleh pemerintah daerah maupun

pemerintah pusat. Realitas sosial, budaya, ekonomi dan politik, sedangkan yang kedua

adalah perbedaan pandangan, persepsi, dan pemaknaan mengenai sistem perladangan

berpindah-pindah secara tradisional masyarakat adat Papua berkaitan dengan tuduhan

pemerintah bahwa salah satu sistem itu sebagai satu faktor yang merusak lingkungan.

Sistem perladangan berpindah-pindah tebas bakar bagi pemerintah dianggap sebagai

sumber terjadinya kebakaran hutan di Papua.

Sebenarnya sistem perladangan masyarakat adat Papua justru turut

meningkatkan kesuburan tanah. Kerusakan hutan di Papua bukan disebabkan oleh

sistem perladangan berpindah masyarakat pribumi Papua, tetapi karena kebijakan

penertiban sistem pertanian yang keliru. Kekeliruan kebijakan ini diakibatkan oleh

dangkalnya pengetahuan daerah mengenai sistem perladangan berpindah masyarakat

pribumi Papua di Pulau tersebut.

Mencermati akan contoh-contoh konflik mengenai penguasaan tanah, hutan dan

hasil ikutan seperti yang terjadi dalam kehidupan Masyarakat Pribumi Papua,

menunjukkan disatu sisi bahwa masyarakat pribumi Papua memandang sistem

perladangan yang selama ini mereka lakukan tidak merusak lingkungan hidup,

sementara disisi yang lain pemerintah daerah dan pengusaha menuduh sebaliknya. Pada

posisi seperti ini, para ilmuwan, peneliti, dan LSM serta media massa berpihak dan

berada di belakang Masyarakat adat Papua.

Apa yang terjadi pada komunitas lokal masyarakat adat Papua pada dasarnya

juga terjadi pada wilayah-wilayah adat lain di Indonesia maupun di belahan dunia

lainnya. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan hutan adat yang selama ini dipraktekkan

oleh masyarakat tradisional di berbagai belahan muka bumi ini selalu dilakukan

berdasarkan konsep nilai-nilai budaya lokal yang dimilikinya. Sehingga segala sesuatu

yang dirasakan tidak mendukung cara dan gaya mereka dalam memanfaatkan

lingkungannya itu. Itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat atau melanggar aturan

komunal hutan adat.

Kehidupan masyarakat tradisional ini mencerminkan bahwa budaya itu

mengandung hakekat akan keperluan memenuhi kehendak dasar, yakni agar manusia

dapat dan mampu terus hidup, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, menata

Page 48: FORESTER-TABAM-baik

serta memanfaatkannya demi kelanjutan generasinya. Manusia dengan segala

pemenuhan keperluan organiknya secara tidak langsung menggunakan teknologi

sebagai pengubah pembawaan anatomi dalam kaitannya dengan lingkungan mereka.

Organisasi manusia yang dibentuknya mengandung aturan, teknik, atau cara dan

kekayaan tradisi yang dapat ditransformasikan dari satu kelompok ke kelompok lain.

Penentuan nilai-nilai semacam ini merupakan motif manusia teratur, yang dengan

pedoman itu mendorong manusia bekerja sama, memenuhi dan memelihara tradisi

dengan kepercayaan dan memenuhi emosi. Cara dan kekayaan tradisi yang demikian,

dimiliki oleh setiap masyarakat tradisional di dunia ini tanpa terkecuali, terutama

masyarakat adat suku bangsa Papua.

Masyarakat tradisional Papua adalah Masyarakat adat yang mana terdiri dari

270-an suku bangsa yang menghuni Pulau Papua, yang berada di Nusantara maupun

Asia dan Dunia ini, juga memiliki beberapa tradisi adat-istiadat, dan tatanan nilai

budaya lokal yang dijadikan sebagai penuntun dan patokan dalam kegiatan hidup

sehari-hari mereka. Salah satu tata cara yang terkait dengan kearifan lingkungan adalah

cara mereka dalam mengelola dan memanfaatkan hutan lahan adat (hutan, air, dan

tanah) dan segala kandungan yang terdapat dipermukaan bumi. Tata cara pengelolaan

dan pemanfaatan lahan seperti ini bukan didasarkan pada sistem pengetahuan moderen

yang masuk, tetapi didasarkan pada sistem pengetahuan lokal masyarakat adat Papua itu

sendiri, yakni berdasarkan adat-istiadat dan budaya lokal yang mereka miliki.

Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat adat Papua boleh dikatakan

merupakan pengetahuan warisan turun temurun, dimana walaupun sifatnya sederhana

dengan peralatan dan teknologi apa adanya sesuai dengan kemampuan mereka, akan

tetapi toh mereka telah dapat mengembangkan pengetahuan dan cara-cara yang efektif

untuk mempertahankan wilayah hutan adat mereka, dengan mengelola sumberdaya

alamnya dan mengelola lingkungannya secara arif berdasarkan pengetahuan mereka

yang sederhana itu.

Salah satu sistem yang dibangun berdasarkan konsep adat istiadat orang Papua

adalah tata cara mereka membagi beberapa kawasan adat dalam lingkungannya sesuai

dengan unsur dan kandungan yang terdapat didalamnya serta bagaimana memanfaatkan

dan mengelola sumberdaya tersebut sesuai dengan tujuannya. Pembagian kawasan lahan

adat yang dimaksud disini adalah hutan adat yang menjadi topik utama konsep

Page 49: FORESTER-TABAM-baik

pembahasan dalam kajian ini. Pembagian kawasan hutan adat dalam konsep adat orang

Papua ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem sebagai plasma nutfah

yang nantinya mensuplai oksigen dunia, karena hutan dengan segala isinya merupakan

bagian-bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat adat Papua

itu sendiri. Bagi masyarakat adat Papua, menganggap hutan bukan sekedar sebagai

tempat mereka mencari makan atau sebagai tempat memenuhi kebutuhan sehari-hari,

melainkan hutan adat mereka juga merupakan faktor penentu keseimbangan hidup

mereka dengan lingkungan adat sekitar mereka yang hubungannya dengan hal-hal ikwal

kausal. Pembagian kawasan hutan adat seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat

Papua tersebut dimaksudkan supaya ikut melestarikan sumberdaya-sumberdaya yang

ada tanpa terkecuali sehingga diharapkan mampu memberi suplai oksigen bagi dunia.

Hutan adat Papua sebagai salah satu bagian yang termasuk dalam pembagian kawasan

menurut adat istiadat masyarakat pribumi Papua yang dijadikan sebagai unsur paling

pokok yang perlu dijaga, dirawat, dan dilestarikan demi anak cucu mereka kelak di

kemudian hari.

Sayangnya, bahwa cara pengelolaan dan pemanfaatan lahan seperti itu harus

bersaing dengan tata cara pengelolaan moderen yang masuk kedalam lingkungan orang

Papua melalui pendidikan formal, agama dan sistem pengetahuan moderen yang

berkembang pesat saat ini. Seiring dengan semakin berkembangnya manusia dalam

menggunakan teknologi moderen, dan pemenuhan kebutuhan hidup yang terus

berkembang dari hari perhari, menyebabkan berbagai cara dan upaya telah dilakukan

guna memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu cara yang masih dilakukan oleh

masyarakat adat Papua adalah memanfaatkan lahan hutan adat mereka yang ada, yakni

kayu dan hasil ikutannya. Karena di pulau Papua terdapat beberapa jenis kayu tertentu

yang dianggap memiliki nilai ekonomis yang tinggi, seperti kayu besi, kayu linggua,

kayu matoa. Dalam beberapa tahun terakhir ini, jenis-jenis kayu tersebut telah

memberikan kontribusi ekonomi yang cukup signifikan kepada sebagian warga yang

sering memanfaatkannya, yakni sebagai sumber penghasil devia khususnya uang tunai

untuk keberlanjutan hidup mereka.

Berdasarkan kondisi dan kenyataan riil seperti itu, diduga bahwa penyebab

utama kerusakan hutan adat Papua yang menyusut adalah diakibatkan oleh semakin

meluasnya lahan-lahan kritis, pengambilan kayu secara terus menerus untuk dijual dan

Page 50: FORESTER-TABAM-baik

alih fungsi lahan dari pola perladangan yang takberkelanjutan (unrewable) menjadi

lahan persawahan yang berkelanjutan (rewables). Hasil pengamatan menunjukkan

bahwa kondisi hutan yang ada saat ini di Pulau Papua mengalami tingkat penyusutan

yang cukup besar dari hari ke hari, sedang pada bagian-bagian lain telah terjadi

peningkatan luasan lahan-lahan kritis. Laju penebangan kayu dalam wilayah Pulau

Papua menunjukkan volume dan tingkatan yang terus meningkat. Begitupun dengan

praktek perladangan berpindah terus dilakukan oleh penduduk sebagai imbas atas

kondisi kesuburan tanah yang kian menurun serta masa istirahat (bera) yang pendek

sehingga hutan terus saja dibuka untuk dijadikan lahan-lahan baru bagi perladangan.

Pada sisi yang lain, dengan masuknya teknologi moderen, sistem pengetahuan dan

perkembangan baru dari luar membuat sistem nilai adat yang mengatur tentang cara

pengelolaan dan pemanfaatan lahan (hutan adat) yang selama ini dijadikan pegangan

oleh asyarakat adat Papua sepertinya mulai semakin kurang diperhatikan, bahkan

ditinggalkan dan tidak digunakan lagi oleh masyarakat adat Papua.

Merujuk pada hal-hal diatas, kita akan berupaya mengungkapkan beberapa hal

yang berkaitan dengan pengelolaan pemanfaatan lahan (hutan adat) yang dilakukan oleh

masyarakat tradisional Papua di wilayah Pulau Papua. Sorotan utama adalah dititik

beratkan pada hal-hal yang ada antara lain: Kondisi lingkungan masyarakat adat Papua,

Pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan hutan adat, Pembagian kawasan menurut

adat dan implikasinya terhadap pengelolaan lahan hutan dan kegagalan pelestarian

hutan, issu global tentang global warming dan pelestarian hutan sebagai alternatif

pembatasannya.

Pada bagian kondisi lingkungan orang Papua, akan bahas tentang bagaimana

masyarakat adat Papua memandang dan melihat lingkungan alam sekitarnya yang

berhubungan erat dengan mereka. Bagaimana mereka membagi kawasan hutan adat

mereka yang ada dengan tatanan nilai-nilai budaya lokal mereka, serta implikasinya

terhadap cara pengelolaan dan pemanfaatan lahan hutan adat mereka. Beberapa sorotan

juga yang menyoroti kegagalan pemerintah daerah maupun beberapa pranata-pranata

adat istiadat setempat dalam melestarikan hutan adat mereka di Papua.

Secara komunal konsep berpikir masyarakat adat Papua menganggap bahwa

hubungan timbal balik antara manusia dengan alam lingkungan hidup dapat

dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan jenis. Adanya suatu proses interaksi dan

Page 51: FORESTER-TABAM-baik

interelasi orang Papua dengan alam sekitarnya, Ini terjadi karena mereka merasa perlu

untuk melangsungkan hidupnya sehingga melakukan berbagai upaya untuk

memanfaatkan berbagai unsur yang ada dalam lingkungan hidup mereka. Setiap

aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam rangka kelangsungan hidupnya, akan

selalu menimbulkan dampak pada lingkungan hidup dalam bentuk dan skala yang

berbeda-beda.

Salah satu lingkungan sumberdaya yang selalu menjadi andalan bagi

peningkatan ekonomi manusia adalah hutan. Masyarakat adat Papua secara turun

termurun mengembangkan hidup mereka dengan mendapat dukungan dari lingkungan

hutan mereka. Pola hidup, Karakter, dan sistem tatanan Masyarakat adat Papua secara

komunal juga dibentuk oleh lingkungan alam dimana mereka hidup. Hutan sebagai

bagian dari sumberdaya alam, mempunyai berbagai macam fungsi serta manfaat yang

sangat besar bagi manusia maupun makhluk hidup didalamnya maupun untuk

mengembani faktor iklim global warming. Fungsinya selain sebagai hutan lindung,

hutan produksi, hutan suaka alam dan hutan wisata, juga mampu menyediakan lapangan

pekerjaan bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya, bahkan lebih penting lagi sebagai

penyedia dan pensuplai oksigen. Manfaat hutan bagi kehidupan manusia pun sangat

besar, yakni sebagai penghasil Oksigen, kayu, rotan dan hasil ikutan lainnya yang dapat

menunjang perekonomian sebuah negara. Dalam memanfaatkan hutan dengan hasil-

hasilnya, sering melahirkan berbagai pandangan yang berbeda-beda baik yang bersifat

positif maupun negatif. Pandangan Masyarakat adat Papua secara komunal terhadap

lingkungan hutan adat mereka adalah sebagai lahan produksi, sebagai tempat hidup

hewan, sebagai tempat kediaman alam roh ghaib, sebagai lahan berburu, sebagai

tempat-tempat berziarah. Pandangan yang berbeda-beda ini sangat dipengaruhi oleh

tingkah laku manusia itu sendiri dalam melihat fungsi dan manfaat hutan yang ada.

Perbedaan dalam cara memandang hutan tersebut tidak terjadi pada masyarakat

adat Papua saja, melainkan terjadi pada setiap masyarakat adat di belahan dunia lainnya.

Cara memandang hutan bahwa hutan akan menghasilkan dampak dalam cara

pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang berbeda pula. Mungkin pengelolaan dan

pemanfaatan lahan hutan yang ada disatu sisi tidak merusak, namun di sisi yang lain

justru bisa merusak, atau secara tradisi masyarakat adat Papua mempercayai bahwa

didalam hutan mistic (hutan pamali) akan mengakibatkan malapetaka, atau

Page 52: FORESTER-TABAM-baik

mendatangkan bahaya kepada setiap orang yang dengan sengaja mengganggu atau

masuk ke wilayah hutan magic/hutan pamali itu. Apalagi dalam pemanfaatannya

dilakukan tanpa memprhatikan azas kelestarian yang ditetapkan secara komunal bahkan

yang telah diketahui sebagai tata aturan hutan adat. Secara komunal masyarakat adat

Papua membagi hutan dalam beberapa bagian antara lain: Hutan produksi ladang, hutan

buruan dan hutan mistic.

Dalam kehidupan masyarakat tradisional Papua, sistem dan tata cara

pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan sumberdaya alam (hutan adat) sangat

dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya lokal yang mereka miliki. Nilai-nilai budaya dan

kearifan lokal atau local wisdom pada masyarakat tradisional Papua ini tumbuh dan

berkembang menurut tradisi budaya lokal mereka. Tradisi budaya lokal di Papua

berfariatif sebanyak jumlah sebaran suku yang ada, dimana dalam tradisi tersebut,

terdapat beberapa aturan-aturan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan adat untuk

melindungi lingkungan dari kerusakan. Tradisi dan budaya lokal tersebut telah menjadi

semacam prasyarat mutlak (conditio sine quo non) bagi masyarakat adat Papua sesuai

adat mereka untuk tetap menghargai tradisi-tradisi tersebut. Namun pada satu sisi,

tradisi lokal seperti itu kadangkala juga dilupakan oleh masyarakat yang memiliki

tradisi itu sendiri. Akibatnya secara lambat laun tradisi tersebut mulai tergeser akibat

kemajuan teknologi, yang menuntut semua cara pengelolaan dan pemanfaatan hutan

harus bersifat moderen.

Terdapat kurang lebih 251 kelompok suku bangsa yang hidup dan mendiami

pulau Papua. Kelompok masyarakat ini tergabung dalam sebuah komunitas etnis/suku

yang diklasifikasikan menjadi 251 suku. Kelompok masyarakat ini telah menetap dan

berkumpul dalam suatu komunitas yang dinamakan kampung/desa. Kegiatan pertanian

utama mereka adalah bertani (ladang), nelayan dan memburu. Kegiatan pertanian

mereka ini sifatnya subsisten, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-

hari. Sistem perladangan mereka yang cukup dikenal adalah perladangan Umbi-umbian

(kasbi), ketala (keladi), dan ketala rambat (petatas), yang telah melalui beberapa

modifikasi dalam cara pengolahannya sehingga untuk saat ini hasilnya sudah dapat

dijual untuk mendapatkan uang tunai. Dalam hal tradisi, boleh dikatakan bahwa

masyarakat adat Papua adalah pemegang teguh tradisi dan budaya lokal mereka. Hal ini

Page 53: FORESTER-TABAM-baik

dapat dilihat dari tata cara pergaulan atau sistem kekerabatan, sistem perkawinan, sistem

perekonomian dan lain sebagainya.

Salah satu bagian dari tradisi budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat

Papua adalah bahwa mereka telah membagi kawasan darat (lahan-lahan) pada

lingkungan dimana mereka tinggal dan tempati berdasarkan kandungan sumberdaya

alam yang terdapat di dalamnya serta tujuan pemanfaatan sumberdaya tersebut.

Tentunya tradisi itu tumbuh dan berkembang melalui sebuah proses yang telah

berlangsung lama sesuai dengan hasil kreasi mereka terhadap alam lingkungan dimana

mereka tempati. Tradisi tersebut dilestarikan bukan hanya untuk dimanfaatkan demi

ketahanan hidup mereka hingga saat ini, tetapi demi anak cucu mereka di kemudian

hari. Tradisi ini berbasis pada pengalaman, kearifan serta keteraturan hukum adat yang

membagi hutan wilayah adat mereka masing-masing sesuai pengetahuan lokal mereka

masing-masing.

Dalam perkembangan akhir-akhir ini, tradisi lokal khususnya yang berkaitan

dengan pembagian wilayah kawasan hutan adat, telah mengalami pergeseran makna,

nilai dan penerapannya dalam bingkai pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang telah

diatur menurut adat istiadat suku-suku masyarakat adat masing-masing. Kondisi ini bisa

dimungkinkan karena munculnya aksi penebangan kayu di hutan yang sekarang ini

sedang marak-maraknya. Juga oleh sistem perladangan berpindah yang terus

diupayakan oleh penduduk dari hari kehari, bahkan juga alih fungsi ruang dari

fungsinya sebagai areal ladang menjadi areal persawahan, areal perkebunan kelapa

sawit, yaitu dari sistem pertanian tidak menetap menjadi sistem pertanian menetap.

Faktor-faktor inilah yang diduga mengakibatkan meluasnya lahan-lahan kritis di pulau

Papua.

Faktor lain yang diduga turut berperan dalam kegagalan pelestarian hutan adalah

peran nyata pemerintah daerah dan pranata adat istiadat setempat dalam mensiasati

persoalan yang ada terlihat begitu sangat kurang. Jika kedua unsur ini berperan secara

aktif, maka kondisi hutan adat Papua yang ada tidaklah seperti saat ini yang mengalami

penyusutan cukup besar. Salah satu tugas utama yang diembani oleh pemerintah daerah

khususnya dinas dan jawatan terkait adalah penyuluhan kepada masyarakat adat

setempat dengan penanaman kembali hutan yang rusak dan dibatasinya dengan sistem

perladangan berpindah dan pengambilan kayu secara serampangan oleh Penduduk atau

Page 54: FORESTER-TABAM-baik

industri tertentu. Inilah produk dan upaya yang perlu dilakukan dalam usaha melindungi

dan melestarikan hutan adat Papua yang ada sekarang untuk menghindari kerusakan

hutan adat yang lebih parah. Dengan melestarikan hutan adat menjadi hutan yang subur

maka sudah pasti sebagai penyumbang oksigen yang baik.

Page 55: FORESTER-TABAM-baik

PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT ADAT PAPUA

alam kehidupan tradisional, masyarakat adat Papua, tidak dapat

melepaskan diri mereka dari lingkungan hidup mereka. Masyarakat adat

Papua selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan alam

sekitar hutan adatnya secara terus menerus. dari hubungan timbal balik

ini, Masyarakat adat Papua memperoleh pengalaman-pengalaman sehingga mereka

mendapatkan gambaran atau ciri lingkungan hidup mereka sehingga menjadi

lingkungan hutan adat.

DSalah satu hubungan atau interaksi komunal masyarakat adat Papua, dengan

lingkungan hutan adat mereka bisa tampak dalam apa yang terjadi dalam hidup mereka

dengan hutan adat mereka. Masyarakat adat selalu mendapatkan inspirasi dan pengaruh

besar dari hutan adat mereka. Hal ini terjadi karena hutan adat mereka dapat berfungsi

sebagai pelindung fauna, flora, tanah dan tata air, serta suplai oksigen. Masyarakat adat

Papua mempunyai tradisi yang mengharuskan mereka untuk selalu menjaga hutan adat

mereka, karena menurut mereka hutan adat mereka jikalau tidak dijaga atau dirawat

dengan baik maka air, tanah, hewan, serta tumbuhan kecil lainnya yang hidup di sekitar

wilayah hutan adat mereka akan mengalami kerusakan, terutama hal yang sangat dijaga

adalah berkaitan dengan mitologi alam ghaib. Pada tataran tradisional semacam ini,

masyarakat adat Papua tidak pernah memikirkan manfaat hutan untuk suplai oksigen,

namun secara komunal bahwa mereka telah memiliki aturan hidup yang mengatur

tentang ketahanan tata hutan adat, maka secara sadar dapat dikatakan mereka telah ikut

memberikan kontribusi besar bagi kehidupan dunia secara global dengan adanya

pelestarian hutan adat mereka yang utuh maka sudah pasti sebagai penyumbang

oksigen.

Masyarakat adat Papua selalu berdisiplin terhadap hutan adat mereka, terutama

terhadap pengerusakan hutan secara tak beraturan, karena akan mempengaruhi

ekosistem terutama tempat-tempat ritus mereka akan tidak berguna karena penghuninya

akan pergi atau berpindah ketempat lain karena merasa lingkungannya sudah tidak

layak baginya. Secara harfiah, dikatakan bahwa jika hutan mengalami kerusakan maka

Page 56: FORESTER-TABAM-baik

akan berakibat pada gundulnya hutan dan mengakibatkan turunnya debit air, serta

berpindahnya penghunia lingkungan hutan. Hutan bagi masyarakat adat Papua sebagai

areal produksi, mistik, dan hunian makhluk ghaib. Secara universal hutan dianggap

memiliki nilai ekonomis, dimana hasil hutan seperti kayu dapat diambil untuk dijual

guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sebenarnya orang Papua tidak pernah

berpikir tentang menebang pohon untuk dijual sebagai penghasil ekonomi. Ini menurut

mereka adalah sesuatu hal yang baru, dan kemungkinan masyarakat adat Papua mulai

mengenal fungsi kayu sebagai nilai ekonomis ketika masuknya industri. Industri ketika

masuk ke jantung kehidupan orang Papua, juga yang bersama-sama dengannya adalah

teknologi. Secara tidak sadar bahwa suatu teknologi akan dikenal pada wilayah terpencil

karena disana memiliki hasil tertentu yang mengharuskan adanya alat-alat teknologi

tertentu. Hutan juga mempunyai manfaat yang dikenal secara komunal oleh orang

Papua dengan hasilnya seperti madu, rotan, buah, burung, tikus, rusa dan hewan-hewan

yang bisa dimakan lainnya. Selain itu hutan juga menarik minat orang untuk

mengunjunginya karena memiliki nilai keindahan yang disebut sebagai hutan wisata.

Masyarakat adat Papua menganggap hutan sebagai tempat persembunyian mereka dari

musuh, hutan sebagai tempat yang memberikan inspirasi dan semangat hidup bagi

mereka.

a. Hutan Dalam Berbagai Pandangan

Society of American Foresters memberikan definisi tentang hutan sebagai

berikut: A Plant association predominationly of foresst or other woody vegetation,

occupyng an extensive area of land. Yang didefinisikan sebagai berikut bahwa hutan

merupakan sebuah ekosistem yang terdiri atas komponen yang hidup maupun yang

tidak hidup.

Hutan menurut Rimbauwan adalah sesuatu yang terdiri dari susunan jenis, umur

dan bentuk yang sama. Hutan dibagi atas hutan alam dan hutan buatan. Secara ekologii

hutan merupakan sukesi, yaitu proses pergantian vegetasi karena perubahan habitatnya.

Sedangkan menurut simon, hutan adalah suatu asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan

dan binatan yang didominasi oleh pohon dan vegetasi berkayu yang mempunyai luasan

tertentu sehiingga dapat membentuk iklim makro dan kondisi ekologi yang spesifik.

Dalam perkembangannya, hutan menyediakan berbagai macam barang dan jasa untuk

Page 57: FORESTER-TABAM-baik

memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti kayu bakar, kayu pertukangan, pangan, air,

dan kebutuhan lainnya yang sangat diperlukan oleh manusia.

Menurut kami, hutan merupakan rumah hunian hewan liar, payung pelindung

bagi penghuni alam, ekosistem, air, hewan, hutan juga menurut kami sebagai pabrik

alami yang menyediakan, dan memberi nafkah kehidupan baik secara materil maupun

imaterial seperti tempat ritus dan tempat-tempat ghaib, serta oksigen.

Hutan menurut Leuherry (1989) hutan merupakan sumberdaya alam yang

mempunyai berbagai fungsi antara lain sebagai hutan lindung, hutan produk, hutan

suaka alam dan hutan wisata. Disamping itu hutan juga dapat menyediakan lapangan

pekerjaan bagi mereka yang berada di sekitar hutan produksi. Masyarakat disekitar

kawasan hutan juga mendapat manfaat darinya seperti kayu, hasil hutan ikutan dan jasa

hutan, misalnya hutan wisata.

Hutan sebagai bagian dari sumberdaya alam nasional memiliki arti dan peranan

penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup.

Telah diterima sebagai kesepakatan internasional bahwa hutan yang berfungsi penting

bagi kehidupan dunia haru dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang akan

berakibat merusak ekosistem dunia.

Berbagai tulisan dan dokumen etnografi tentang indonesia menyatakan bahwa

hutan hujan tropis indonesia seringkali dilukiskan seperti emas hijau (green gold) dan

mungkin yang pantas disebut green gold di Indonesia adalah Papua dan Kalimantan

sebagai rangkaian permata hijau yang melingkari negeri khatulistiwa. Potret keindahan

dan kekayaan wilayah yang tercermin dari keberadaan sumberdaya hutannya tersebut

oleh para penulis dan peneliti barat seringkali dilukiskan tiada ternilai sekaligus tiada

terbayangkan keindahannya.

Secara holistik, masyarakat adat Papua menganggap hutan adat mereka sebagai

alam yang mengandung mitos dan legenda yang berbeda-beda sesuai dengan ceritera

masing-masing masyarakat setempat sesuai dengan tahapan perkembangan sistem dan

tata nilai sosial budaya mereka. Masyarakat adat Papua meyakini bahwa hutan

merupakan sebuah kawasan yang menakutkan karena terdiri dari belantara yang lebat

yang dihuni oleh berbagai jenis binatang buas. Dalam perkembangannya, orang Papua

menganggap hutan secara arif yakni sebagai sebuah ekosistem yang tidak terpisahkan

dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya bahkan religiusitas mereka. Berbagai jenis

Page 58: FORESTER-TABAM-baik

tumbuh-tumbuhan baik berupa kayu maupun berupa getah, akar, daun, serta kulit kayu

telah lama dimanfaatkan oleh nenek moyang kelompok masyarakat adat Papua secara

tradisi guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sementara di era pembangunan

ekonomi sebagian kelompok masyarakat justru memandang makna hutan hanya dari

sudut pandang sempit, yaitu seolah-oleh hanya sebagai penghasil kayu semata.

Sumberdaya hutan secara global dipandang sebagai sumberdaya penghasil oksigen

terbesar dunia yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap kehidupan umat

manusia dan keseimbangan planet bumi. Secara komunal, masyarakat adat Papua

menganggap hutan sebagai kekuatan, sosial budaya, religi dan ekonomi dalam

kehidupan mereka. Fungsi dan peran hutan sebagai penyeimbang ekosistem, baik tanah,

air maupun udara. Fungsi lainnya adalah sebagai penghasil devisa bagi negara atau

wilayah dimana hutan itu berada. Hasil-hasil hutan yang sering dimanfaatkan adalah

kayu, rotan, dan tumbuhan untuk obat-obatan.

Fungsi dan peran hutan selama ini seringkali dilihat hanya dari segi ekonomi,

sebagai penghasil kayu dan hasil hutan lainnya seperti rotan, damar, dan lain-lain.

Padahal selain bernilai ekonomi, hutan memiliki fungsi politis, sosial budaya dan

ekologis yang tidak terpisahkan. Secara tradisi, masyarakat tradisional Papua membagi

hutan adat mereka secara politik, sosial, budaya, religi dan ekonomi, sebagaimana telah

secara komunal di tetapkan dalam hukum adat mereka. Selama ini belum muncul

kesadaran yang berubah pada sebuah kebijaksanaan bahwa secara ekologis hutan

berfungsi sebagai penjaga siklus hara tanah, reservasi air, serta penahan erosi, juga

sebagai tempat untuk mempertahankan keaneka ragaman hayati. Secara global, hutan

juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi situasi global, salah satu

pengaruhnya terkait global warming. Salah satu eksistensi dari hutan adalah memainkan

peranan yang begitu besar dalam proses pembersihan udara aneka polusi, akibat

kemajuan industri dan memberi keseimbangan pada iklim dunia.

Kebijakan pengembangan hutan menurut Simon (1994) tertuju kepada empat

sasaran, yaitu pertama, membina hubungan yang selaras antara manusia dengan

lingkungan. Artinya bahwa bagian dari tujuan pembangunan adalah untuk membina

manusia seutuhnya yang memiliki ciri-ciri keselarasan antara lain, 1) manusia dengan

masyarakat, 2). Manusia dengan lingkungan, 3). Manusia dengan Tuhan penciptanya.

Kedua, melestarikan sumber-sumber alam agar dimanfaatkan terus menerus oleh

Page 59: FORESTER-TABAM-baik

generasi demi generasi. Ketiga, mencegah kemerosotan mutu dan meningkatkan mutu

lingkungan sehingga meningkatkan kualitas hidup manusia. Keempat, membimbing

manusia dari posisi “perusak lingkungan” menjadi “pembina lingkungan”.

Dalam perkembangannya, hutan juga mengalami kerusakan, baik yang

diakibatkan karena ulah dan kegiatan manusia maupun karena kondisi alam seperti

panas bumi dan gejala alam lainnya. Namun yang menjadi faktor utama kerusakan

hutan yang selama ini terjadi adalah karena ulah dari aktivitas manusia itu sendiri.

Pencurian dan pengambilan kayu dan perambahan hasil hutan lainnya merupakan

faktor-faktor penting yang menyembabkan hutan mengalami kerusakan. Motivasi paling

menonjol mengapa masyarakat adat Papua mengeksploitasi sumberdaya hutan adat

mereka adalah faktor ekonomi sehari-hari atau kita sebut saja dengan proses

perekonomian terbatas melengkapi kebutuhan pokok (pangan dan papan) tidak secara

komersial sebagai industri sehingga menjadi ukuran utama mengapa sangat tegas dalam

hukum adat, mereka melarang adanya pengambilan hasil hutan yang terkandung dalam

hutan adat mereka oleh orang bukan keluarga inti ahli waris hutan adat. Secara luas

setiap manusia atau suku bangsa melakukan aktivitas yang sama, sehingga dapat

dikatakan bahwa motivasi paling menonjol mengapa manusia mengeksploitasi

sumberdaya hutan adalah faktor ekonomi, sehingga proses pengolahan lahan (hutan)

seringkali tidak diperhatikan dan dalam pemanfaatannya cenderung tidak terkendali,

dan tidak lagi memperhatikan asas kelestariannya, selain itu juga karena ekonomi suatu

negara mengakibatkan pengabaian terhadap asas hukum adat yang mengatur hutan

secara tradisional.

Secara historis, sejak awal peradaban manusia (Manusia Papua) antara manusia

dengan hutan telah memiliki kaitan yang berdimensi sosial budaya. Dalam masyarakat

tradisional Papua, jalinan hubungan tersebut tampak dalam perilaku sosial, ekonomi,

dan budaya mereka secara tradisi semenjak nenek moyang mereka secara turun

temurun. Hakekat masyarakat adat Papua yang selalu mencari keselarasan dengan alam

sekitar ditandai dengan pemahaman bahwa mereka (manusia) merupakan salah satu

unsur dalam ekosistem yang menduduki tempat terpenting, dengan akal yang dimiliki

oleh mereka (manusia) dalam memenuhi kebutuhan hidup harus senantiasa

menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Ini merupakan salah satu tata aturan

Page 60: FORESTER-TABAM-baik

dalam sistem pengolahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat Papua sepanjang

kehidupan mereka secara tradisi.

Dalam setiap pembangunan, selalu saja ada kecenderungan manusia untuk

merubah lingkungannya, sementara pada sisi yang lain, suatu lingkungan akan

mempengaruhi kehidupan manusia, baik itu menguntungkan atau merugikan. Dalam

posisi yang demikian, kadangkala pembangunan telah melampaui ukuran perencanaan,

dan akibatnya sering terjadi efek lingkungan yang tidak diperkirakan sebelumnya.

Sebagai akibatnya, suatu upaya merubah lingkungan tersebut akan membawa efek

negatif terhadap kesejahteraan makhluk hidup termasuk manusia.

Manusia bukan hanya sebagai objek semata, melainkan juga sebagai subjek

yang berperan aktif dalam pembangunan yang dalam upaya pembangunan itu harus

selalu memperhatikan kondisi sosial ekonomi warga setempat sebagai konsekwensi dari

pendekatan bahwa sumber segala perubahan yang terjadi berasal dari manusia, maka

muncul dua pandangan dalam melihat unsur manusia dalam konteks perubahan

lingkungan, yaitu pertama, bersifat manipulatif, kedua, berlandaskan pada potensi

manusia guna mengembangkan pemecahan dan pengelolaan suatu lingkungan. Ini

mungkin suatu konsep pembangunan moderen, berbeda dengan apa yang telah

berlangsung secara tradisional dalam kehidupan masyarakat adat dahulu dan kini pada

daerah-daerah terisolir, mereka selalu melakukan hal-hal yang sama sekali tidak

berpotensi merusak hutan secara terstruktur seperti menjadikan suatu lokasi hunian,

industri, atau persawahan yang dikelola secara berkelanjutan.

Pendekatan yang menekankan pentingnya unsur manusia dalam pengelolaan

suatu lingkungan memiliki dasar argumentasi dan sekaligus konsekwensi yang berbeda.

Pada pendekatan pertama, terkandung konsep ‘rekayasa sosial’, dalam hal ini suatu

pengelolaan lingkungan dipandang sebagai upaya mengelola segala kegiatan manusia

agar dapat mencapai batas toleransi lingkungan. Pendekatan ini bersifat dari atas ke

bawah (top-down), sehingga kurang memberikan peluang kreativitas kepada warga

masyarakat. Pendekatan seperti ini sering dipraktekkan oleh pemerintah baik di pusat

maupun daerah.

Kreativitas warga masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan lingkungan

dimungkinkan dapat dilakukan melalui cara pendekatan yang kedua. Dalam konteks

tersebut, kreativitas dalam pengelolaan dan pengembangan lingkungan yang berasal dari

Page 61: FORESTER-TABAM-baik

warga masyarakat, lebih dipandang sebagai suatu proses belajar (menurut pandangan

moderen) namun sebagai suatu pekerjaan profesional dalam pandangan tradisional. Ini

berarti pendekatan tersebut dapat diartikan sebagai upaya masyarakat dalam

menserasikan pengelolaan dan pengembangan lingkungan yang top-down. Dengan kata

lain, melalui pendekatan ini berbagai kepentingan yang berasal dari atas dan bawah

dapat dipertemukan melalui suatu proses profesional atau belajar menurut pandangan

moderen. Namun dalam perkembangannya, hutan juga mengalami perubahan bahkan

kerusakan yang sangat parah akibat dari ulah manusia itu sendiri, baik secara tradisi

maupun moderen. Perkembangan ilmu pengetahuan pada satu sisi ikut memberikan

andil yang sangat besar bagi kelestarian maupun kerusakan hutan.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju dan moderen telah

menjadi pemicu lahirnya pola kebiasaan baru yang menyebabkan status sosial,

hubungan-hubungan dalam keluarga dan sistem politik ikut berubah. Proses perubahan

kebudayaan mengacu pada mekanisme sosial yang aktual dan faktual dimana perubahan

itu muncul. Dasar perubahan pada kebudayaan orang Papua terletak pada perubahan

sikap dan tingkah laku individu masyarakat adat Papua sebagai masyarakat yang ingin

bergerak dan berubah. Di sisi yang lain perubahan hak-hak mendasar dalam lingkungan

adat Papua terletak pada kebijakan Pemerintah, seperti perubahan lahan dari sistem

pertanian ladang yang sifatnya tebas bakar, menjadi sistem persawahan yang sifatnya

tidak memberikan kesempatan kepada ekosistem untuk bertumbuh.

b. Masyarakat Adat Papua dan Perubahan Sosial Budaya

Secara gamlang, para ahli antropologi membagi sistem pengetahuan masyarakat

adat Papua dalam 7 unsur adat budaya (Etnografi Papua, 1982 - Koenjaraningrat, dkk).

Dari ketujuh unsur budaya tersebut diantaranya adalah pengetahuan tentang alam

sekitarnya dan alam flora di daerah tempat tinggal tanah adat mereka. Pengetahuan

masyarakat adat Papua tentang alam sekitarnya sangat tepat, misalnya tentang musim,

sifat atau gejala alam dan sebagainya. Pengetahuan tersebut biasanya muncul dari

kebututhan praktis yang berhubungan dengan mata pencaharian hidup mereka, seperti

bertani, dan berburu. Selain itu, pengetahuan tentang alam flora kiranya juga cukup

penting bagi kehidupan mereka. Khususnya yang bermata pencaharian pokok sebagai

petani dan pemburu. Dalam tradisi masyarakat adat Papua, mereka harus bisa

Page 62: FORESTER-TABAM-baik

mengetahui tentang alam secara utuh, gejala-gejala alam, jenis tumbuh-tumbuhan,

fungsi tumbuh-tumbuhan, alam mistik, hutan produksi, yang ada disekitar mereka.

Inilah yang menjadi ukuran bagi masyarakat adat Papua sehingga terbentuklah tatanan

peraturan yang mengatur tentang hutan yang disebut hutan adat. Hutan adat itu sendiri

dalam kehidupan masyarakat adat Papua dimaknai sebagai sumber kehidupan, sumber

penghidupan, tempat hunian hewan, tempat tinggal nenek moyang, tempat asal usul

masyarakat adat itu sendiri, tempat mistik. Ada mitologi yang berkembang dalam

kehidupan masyarakat adat Papua yang mengatakan bahwa setiap masyarakat adat telah

lahir atau diciptakan dari tanah adatnya masing-masing sehingga mereka mengenalnya

secara arif tentang tanah atau hutan adatnya serta dihargai sebagai ibu mereka yang

harus dilestarikan dan dirawat, dijaga. Dengan demikian masyarakat adat Papua

mengatakan bahwa tanah adat mereka adalah yang bercikal bakal.

Lebih lanjut, bahwa didalam setiap kelompok masyarakat adat Papua, terdapat

sejumlah nilai budaya yang telah diatur, dimana diantaranya nilai budaya dari

masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat yang lain saling berkaitan sehingga

membentuk sistem tatanan adat yang dapat digunakan oleh kelompok masyarakat adat

itu sendiri dalam melakukan segala sesuatu, termasuk didalamnya tatanan adat dalam

usaha melestarikan hutan adat mereka. Masyarakat adat Papua itu sendiri dibedakan

berdasarkan marga/keret/fam yang diurutkan sesuai dengan garis keturunan laki-laki

(Patrilineal), dan yang termasuk dalam pemilik tanah adat adalah marga/keret/fam lain

yang diangkat, dipelihara, dibesarkan oleh marga/keret/fam pemilik tanah adat.

Misalnya Marga/keret/fam, Sagrim Hamah, di wilayah Maybrat, Papua, adalah

marga/keret/fam yang mempunyai hak ulayat tanah adat Hamah, Sehenti, dan mereka

telah mengangkat, mengasuh, memelihara, marga/keret/fam Safkaur, marga/keret/fam

Duwit, sehingga kedua marga/keret/fam ini menjadi bagian daripada keluarga Sagrim

Hamah, yang diberi kebebasan untuk berladang, dan berburu di hutan adat keluarga

Sagrim Hamah. Selain daripada mereka yang dianggap sebagai keluarga, tidak

diperbolehkan untuk berladang, dan berburu di sekitar areal hutan adat marga/keret/fam

Sagrim Hamah, ini merupakan tatanan adat istiadat yang ditetapkan secara komunal.

Kumpulan berbagai nilai budaya yang hidup dalam masyarakat adat Papua merupakan

pendoman dari konsep ideal dalam kebudayaan sebagai pendorong terhadap arah

kehidupan masyarakat adat Papua terhadap objek tertentu, dalam hal ini lingkungan

Page 63: FORESTER-TABAM-baik

hidup hutan adat mereka. Dengan demikian nilai budaya menentukan sikap setiap

warga masyarakat adat Papua tehadap objek seperti manusia, hewan, atau benda yang

dihadapinya. Setiap bangsa didunia, baik yang hidup di negara maju, dengan

kebudayaannya yang kompleks, maupun bangsa atau suku bangsa yang masih hidup

dengan budaya sederhana, semuanya mempunyai sistem pengetahuan yang didalamnya

termasuk sistem pengetahuan tentang pelestarian hutan.

Budaya atau kebudayaan masyarakat adat Papua itu terkait dengan pengetahuan

yang diperoleh melalui pengalaman hidup yang mana datang melalui proses dan hasil

pencapaian pemikiran mereka, perilaku serta tindakan mereka yang makin bertambah

bagi generasi selanjutnya sebagai warisan bersama. Sebenarnya budaya adat dalam

masyarakat adat Papua mengandung hakekat akan keperluan dalam memenuhi

kehendak mereka yang mendasar, yaitu agar masyarakat adat Papua sebagai manusia

yang mampu bertahan hidup, menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupa (alam hutan

adat mereka) dan menata serta memanfaatkan lingkungan hutan adat mereka guna

keberlanjutan generasi mereka. Secara tradisi, masyarakat adat Papua memenuhi segala

keperluan organik mereka secara baik, seperti menggunakan teknologi, kemudian telah

mengubah pembawaan anatomi dalam kaitannya dengan lingkungan hutan adat mereka.

Perubahan sosial budaya masyarakat telah diuraikan secara global pada masa

lampau. Jauh sebelum terbitnya buku the Origin of Species (1859) dari Charles Darwin,

terdapat tiga pandangan di kalangan orang Eropa dalam melihat masyarakat dan

kebudayaan manusia. Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa pada dasarnya

manusia memang diciptakan beraneka ragam. Kedua, ada yang meyakini bahwa

sebenarnya makhluk manusia itu hanya pernah diciptakan sekali saja (monogenesis),

yakni dari satu makhluk induk, dan bahwa semua manusia merupakan keturunan Adam.

Ketiga, ada pendapat yang mengatakan bahwa sebenarnya manusia dan kebudayaan

tidak mengalami proses pergeseran degenerasi. Tetapi jika pada masa kini terdapat

perbedaan, hal itu lebih disebabkan karena tingkat kemajuan mereka yang berbeda.

Sebenarnya catatan tertua mengenai perubahan sosial budaya manusia sudah ditulis

lebih dulu oleh kitab injil sebelum ilmu lainya memuat dalam konsep pengetahuan.

Secara teoritis global, perubahan yang terjadi dari sisi budaya dapat dilihat dari

bangkitnya studi kesusastraan dan ilmu pengetahuan Yunani dan Romawi yang terjadi

pada abad XVI di Eropa atau yang dikenal dengan nama masa Renaisance, telah

Page 64: FORESTER-TABAM-baik

menimbulkan munculnya aliran rasionalisme sebagai awal kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi di Eropa. Pada masa itu Eropa mengalami zaman ‘pencerahan’. Berbagai

bidang kajian banyak dilakukan, termasuk upaya untuk meneliti tentang

keanekaragaman manusia dan kebudayaan di berbagai tempat di muka bumi.

Agaknya pola pikir para cenekiawan masa ‘pencerahan’ yang memandang

masyarakat dan kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang mana bagian-bagian dan

unsur-unsurnya saling terkait antara satu dengan yang lainnya sebagai suatu sistem yang

bulat sampai sekarang ini masih tetap relevan dalam kajian-kajian antropologi, terutama

yang mengacu pada metode pendekatan holistik. Sedangkan pada masyarakat adat

Papua dan perubahan sosial budaya mereka disebabkan pada sejarah masyarakat adat

masing-masing suku adat di Papua, dan juga kebudayaan masyarakat adat Papua telah

menerima pengaruh dari lingkungan alam hutan adat mereka dan struktur interen

lingkungan hutan adat yang memberikan inspirasi hidup sebagai suatu nuansa dalam

membentuk sistem tatanan budaya adat istiadat mereka. Oleh karena unsur dan adat

istiadat dalam kebudayaan mereka inilah yang membuat perubahan sosial budaya

masyarakat adat Papua tidak hanya dinilai dari kebudayaan lain. Perubahan sosial

budaya pada masyarakat adat Papua dipengaruhi oleh empat unsur utama yaitu;

pertama, Gereja, kedua, Pemerintah, ketiga, Ilmu pengetahuan, keempat, Teknologi dan

Industri. Keempat unsur ini yang menjadi ukuran utama perubahan sosial budaya

masyarakat adat Papua. Perubahan sosial budaya masyarakat adat Papua yang

dipengaruhi oleh Gereja adalah tampak dalam pola hidup mereka yang awalnya sangat

lekat dengan nuansa spiritualitas yang mana selalu melakukan hubungan timbal balik

antar alam hutan adat dengan manusia telah dihapuskan dengan pandangan baru yang

disubtitusikan dengan injil sebagai jaminan ketenteraman manusia dengan alam.

Sedangkan perubahan sosial budaya masyarakat adat Papua yang dipengaruhi oleh

Pemerintah adalah pada tatanan hutan yang dilakukan secara tradisi telah disabotase dan

digantikan dengan sistem penanganan baru yang keseluruhannya diatur oleh Pemerintah

dengan memberikan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) kepada kelompok tertentu yang

mengelolanya dengan sistem pengetahuan moderen sehingga memaksa pola penanganan

dan pengolahan tradisional yang tadinya secara adat disusun secara komunal

tergantikan. Sedangkan perubahan sosial budaya masyarakat adat Papua yang

dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan adalah dimana ketika masyarakat adat yang tadinya

Page 65: FORESTER-TABAM-baik

dengan pengetahuan sebatas ilmu pengetahuan sederhana yang mereka tau untuk

mereka lakukan, kini telah mengalami suatu benturan dan juga tergantikan oleh sistem

pengetahuan moderen dengan pola perilaku yang moderen. Ilmu pengetahuan

merupakan suatu faktor yang membawa perubahan besar bagi kehidupan sosial budaya

masyarakat adat Papua. Sedangkan yang berikut adalah perubahan sosial budaya

masyarakat adat Papua karena pengaruh teknologi dan industri. Ini diakibatkan karena

pengolahan hutan adat dan hasil tambang sudah tidak lagi secara sederhana, akan tetapi

telah dilakukan suatu sistem moderen yaitu teknologi yang dilakukan secara saksama

sebagai alat kerja industri. Teknologi dan industri telah membuat nuansa lokal sosial

budaya masyarakat adat Papua berubah, dan masyarakat adat mau tidak mau harus

menerimanya sebagai konsekwensi perkembangan baru dalam kehidupan mereka.

Karena masyarakat adat Papua dengan unsur kebudayaan dalam kehidupan mereka

maka terbentuklah sistem sosial kebudayaan adat dengan sistem nilai tersendiri yang

ada dalam adat istiadat mereka sendiri. Atas dasar itulah kebudayaan masyarakat adat

Papua berkembang melalui tingkatan evolusi kehidupan mereka. Perkembangan

kebudayaan masyarakat adat Papua terdiri atas tiga jenis evolusi terpenting dalam

sejarah perkembangan kebudayaan mereka, yaitu perkembangan kebudayaan

masyarakat adat Papua yang cukup pesat, atau yang selalu disebut sebagai evolusi

pertama dalam revolusi kebudayaan manusia yaitu dimana manusia (masyarakat adat

Papua) mulai mengenal cara bercocok tanam. Sebagaimana catatan sejarah mengatakan

bahwa semenjak munculnya manusia yang termasuk Homo Sapiens pada sekitar 80.000

tahun yang lalu, manusia masih hidup dari berburu dan meramu. Kepandaian bercocok

tanam baru muncul sekitar 10.000 tahun yang lalu berawal dari sekitar sungai Tigris

dan Eufrat atau di lembah Mesopotamia. Dimana setelah ia (manusia) mengenal sistem

permukiman kota, artinya ia mulai juga bertempat tinggal di kota-kota pada enam ribu

tahun yang lalu di Pulau Kereta (crete) Yunani, terjadilah suatu revolusi kebudayaan

kedua dalam sejarah perkembangan revolusi kebudayaan manusia di dunia. Masyarakat

adat Papua sendiri masuk dalam perubahan kebudayaan kedua semenjak abad-18,

artinya mereka mulai hidup bersatu membentuk komunitas dalam satu kawasan yang

disebut kampung. Masyarakat adat Papua masuk dalam perubahan kebudayaan ketiga

pada abad-19, artinya mereka mulai mengenal teknik memproduksi barang secara

massal, karena tenaga manusia digantikan dengan tenaga mesin. Sejak itulah,

Page 66: FORESTER-TABAM-baik

kebudayaan masyarakat adat Papua semakin tumbuh dan berkembang dengan pesat.

Kini seolah-olah mereka mualai melepaskan diri dari proses revolusi organik atau

evolusi biologis manusia.

Perubahan-perubahan budaya yang demikian, juga tercermin pada cara

pengelolaan dan pemanfaatan lahan secara tradisional di daerah lain, yang tampaknya

cenderung berubah dari tahun ke tahun. Juga terjadi perubahan dalam cara berpikir yang

didorong oleh perkembangan pengetahuan serta pengaruh lainnya yang berasal dari

lingkungan luarnya. Seperti yang terjadi pada masyarakat adat Papua yang cenederung

berubah, hal ini seiring dengan adanya perubahan dan pergeseran alam sistem

stratifikasi sosial komunitas masyarakat adat Papua yang cenderung berlomba-lomba

mengetahui hal-hal baru yang cenderung dari luar. Selain itu, sistem perladangan

berpindah pada masyarakat adat Papua juga berubah, yang ditandai dengan tidak

diizinkannya pola hunian sendiri-sendiri pada lingkungan hutan adat masing-masing,

yang mana ketika itu pemerintahan Hindia Belanda melakukan operasi pengusiran dan

pembongkaran rumah-rumah di setiap wilayah hutan adat dan menangkap orang-orang

adat yang berada dan dibawa ke suatu lokasi yang telah disiapkan sebagai areal hunian

bersama (kampung-camp), ini terjadi pada abad-19 yang mana dilakukan secara

serempak di wilayah kepala burung, (Sorong, Maybrat, Teminabuan, Sorong, Misol,

Sausapor, Mega) wilayah bagian tengah (Serui, Biak, Ansus, Waropen), dan bagian

ekor (Jayapura, Engros, Keerom, Merauke, Mimika). Menurut kami, dengan runtuhnya

organisasi sosial adat ini, maka sistem pertanian tradisional pun mulai berubah.

Sistem perladangan masyarakat adat Papua sudah sepantasnya ditinjau kembali.

Secara teoritis dan dalam konteks ekologi mikro, sistem perladangan ini dapat

dibenarkan, namun secara praktis dan dalam konteks ekologi mikro mungkin tidak

seluruhnya benar, karena justru sistem perladangan masyarakat Papua sudah tidak

adaptif atau cenderung gagal beradaptasi dengan lingkungan alamnya yang dalam hal

ini hutan dan tanah. Karena itu, sistem peladangan seperti ini berpotensi kuat untuk

merusak lingkungan alam hutan adat Papua itu sendiri.

Sistem perladangan masyarakat adat Papua cepat atau lambat pasti akan

berubah, karena disebabkan oleh faktor-faktor berikut: (1) adanya tekanan penduduk

disekitarnya, (2) semakin berkurangnya tenaga kerja ladang karena memilih menekuni

pola baru, (3) perkembangan mekanisme teknologi pertanian semakin berkembang dan

Page 67: FORESTER-TABAM-baik

tergantikan dengan pola baru (4) adanya gangguan dalam daur ulang unsur hara alami

(ekologis, ekosistem ladang) dan (5) etnoekologi perladangan yang tidak lagi berfungsi

sebagai pedoman perilaku dalam pengolahan perladangan mereka (masyarakat adat

Papua).

Dalam sistem kepemilikan hutan, sebagaimana diperintahkan oleh hukum

nasional merupakan hal yang relatif baru. Sampai beberapa puluh tahun terakhir ini,

sebagian besar lahan hutan adat Papua yang digunakan atau dihuni oleh penduduk asli

(pribumi) atau sangat arif bagi mereka kalau disebut masyarakat adat yang diatur

menurut kewenangan dan hukum adat disabotase oleh pemerintah dengan memberikan

Hak Pengolahan Hutan (HPH) kepada oknum budaya masyarakat adat setempat –

(Abdurrahman, 1984; Sudiyat, 1981 dalam Barber Charles, dkk, 1999 : 32). Di tengah

kehidupan orang Papua, adat istiadat masih dipegang teguh sebagai kewenangan yang

mengalir bukan dari negara melainkan dari masyarakat adat itu sendiri. Secara tradisi,

tatanan adat masyarakat Papua, menganggap bahwa cara adat mereka sebagai aturan

yang lebih sah, lebih sehat secara ekologis, dan lebih adil, dan telah mampu berjalan

dan seimbang dalam penerapan hidup mereka.

Beberapa paham atas hak milik tanah adat menurut adat istiadat masyarakat

Papua yang berbeda dan agaknya bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan secara

mengandaikan oleh Negara, dimana menurut adat istiadat bahwa:

1. Tanah adat mereka memiliki makna sosio-religius, dan tanah adat itu sangat erat

kaitannya dengan jati diri masyarakat adat sebagai kelompok pemilik tanah adat

tersebut. Masalah-masalah yang menyangkut tanah adat mereka, tidak dapat

dipisahkan dari masalah-masalah kekerabatan, kekuasaan dan kepemimpinan, cara-

cara menyambung hidup dan upacara.

2. Secara komunal, diwilayah masing-masing, tanah adat dan sumber-sumbernya

mendukung serangkaian luas kegiatan yang digelar menurut sistem adat istiadat

mereka. Pertanian yang bergulir berpindah-pindah, berburu, menangkap ikan, dan

mengumpulkan produk hutan lazimnya lebih penting daripada pertanian intensif.

3. Adanya hak perseorangan dan kelompok atas tanah yang diwariskan sebagai

warisan adat, walaupun kebanyakan ‘hak atas tanah’ secara perorangan itu entah

merupakan hak pemanfaatan yang lebih rendah daripada hak kelompok yang lebih

unggul atau hak-hak terhadap sumberdaya tertentu. Hak warisan adat semacam

Page 68: FORESTER-TABAM-baik

tanah adat dan lainnya secara turun temurun diturunkan menurut garis keturunan

laki-laki (patrilineal), walaupun ada sedikit menurut garis keturunan permpuan

(matrilineal), mungkin karena ada sebab akibat sehingga alur pewarisan menurut

garis keturunan perempuan (matrilineal) itu terjadi.

4. Lahan-lahan tidur, atau disebut juga daerah kosong tak terkunjungi, sama-sama

mempunyai hak pemilik seperti halnya masing-masing pembagian tanah adat yang

mempunyai ahli warisnya. Dalam kehidupan masyarakat adat Papua, tanah-tanah

mereka jarang dianggap ‘kosong’, atau semuanya ada pemilik hak adat.

5. Hak adat atas tanah dan sumberdaya dalam masyarakat adat Papua jarang dicatat

dalam peta-peta atau dengan rekaman tertulis, dengan pengecualian tanda hak milik

yang ditaruh di pohon, atau tanda hak yang ditanam berupa tumbuhan tertentu, atau

gua (lubang batu), atau teluk, atau pulau, atau juga kumpulan bebatuan, dan sumber-

sumber tertentu lainnya yang dimiliki secara pribadi sebagai tanda. Bahkan juga

batas-batas ditentukan berdasarkan bentuk alam, menurut kesepakatan bersama. Ini

merupakan suatu bentuk perjanjian adat yang disepakati sebagai tatanan hidup

masyarakat dalam menghuni dan meramu hutan adat mereka.

Kelestarian hutan adat Papua sangat berkaitan erat dengan adanya kepercayaan

dan tata nilai adat isitiadat yang dimiliki oleh masyarakat adat Papua. Sistem nilai adat

istiadat yang dimiliki oleh masyarakat adat Papua sangat besar pengaruhnya terhadap

usaha pelestarian lingkungan (hutan adat) mereka. Kecenderungan terhadap peran nilai

budaya yang begitu besar, membuat masyarakat adat disekitarnya mengolah dan

memanfaatkan hutan adat mereka, dengan selalu memandang dari sisi nilai adat istiadat

budaya mereka terutama sistem adat yang berkaitan dengan hutan tanah adat mereka.

Hal itu sebagai tatanan utama sehingga usaha pelestarian lingkungan hutan adat

khususnya hutan adat Papua cukup baik. Dengan demikian maka hubungan antara

masyarakat adat Papua (manusia) dengan alam lingkungan hutan adatnya sangat besar

pula dipengaruh oleh nilai-nilai dan pola-pola kebudayaan adat istiadat yang dimiliki

oleh masyarakat adat Papua itu sendiri.

Ekologi kebudayaan adat istiadat masyarakat adat Papua pada intinya

memahami hubungan antara masyarakat, subsistensi, dan lingkungannya. Penekanannya

dalam ekologi kebudayaan adat istiadat masyarakat adat Papua adalah merupakan

Page 69: FORESTER-TABAM-baik

aktivitas subsistensi, dimana yang diperhatikan adalah hubungan antara manusia dengan

lingkungan adat mereka secara fisik, teknologi dan organisasi sosial mereka.

Page 70: FORESTER-TABAM-baik

IMPLIKASI KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN ADAT PAPUA SEBAGAI

KERUSAKAN GLOBAL

A. Implikasi kerusakan hutan Papua

ertumbuhan penduduk di pulau Papua apabila tidak diseimbangkan dengan

persediaan tanah adat mereka, makan pertumbuhannya akan semakin cepat

dan memadati lingkungan tanah dan hutan adat Papua sehingga

ekosistemnya akan menurun. Selain pertambahan penduduk, pada sisi yang

lain untuk menanggulangi hidup, manusia memerlukan bahan pangan. Semakin banyak

penduduk maka semakin sedikit lahan penghasil pangan. Oleh karena itu, menurut kami

hutan adat Papua itu akan menurun jika laju pertumbuhan penduduk selalu meningkat.

Untuk persoalan ini, memiliki hubungan yang sangat erat, yaitu antara manusia, alam

dan hidup. Dapat kita gambarkan dalam skema keterkaitan hubungan hidup manusia

dan hutan sebagai berikut.

P

Gambar skema keterkaitan hubungan hidup

manusia dan hutan digambarkan dengan pola siklus

melingkar karena selalu berkelanjutan dengan pola yang

sama. Tak ada satupun manusia di dunia yang bisa

mengatakan bahwa ia dapat melanjutkan hidupnya

tanpa mendapat suplai dari tanah dan hutan. Manusia

ataupun hewan pasti mengatakan hal yang sama bahwa

untuk melanjutkan hidup mereka, pasti ada

ketergantungannya dengan hutan alam sekitar mereka

sebagai areal penghasil kebutuhan pangan sehari-hari. Selain pangan, tak lupa juga kita

membutuhkan udara yang segar, maka hutan juga mempunyai peran penting dalam

mereduksi panas dan menyeimbangkan panas dengan mensuplai oksigen yang baik bagi

makhluk lainnya.

Terjadinya penurunan hutan dan pangan karena pertumbuhan penduduk sangat

pesat sehingga menyebabkan meningkatnya kebutuhan dasar sehingga trerjadi

Manusia

hutan, alam,

sebagai suplai

pangan

Hidup

Gambar: Skema Hubungan manusia dan

alam

Page 71: FORESTER-TABAM-baik

pengekploitasian terhadap hasil hutan dan yang terutama terjadi pengerusakan hutan

sebagai lahan bercocok tanam. Hal semacam ini kebanyakan dilakukan pada masyarakat

pedesaan yang dikenal selalu berhubungan langsung dengan lingkungan hutan adat

mereka yang mana terpaksa harus dimanfaatkan hutan besar-besaran sehingga terjadi

kerusakan yang semakin meningkat.

Dari sisi politis, seringkali hutan adat Papua menjadi persengketaan antara

warga masyarakat adat atas dasar haknya pada hutan adat mereka yang tidak diberikan

bagian oleh para pengelola baru yang diberi Hak Pengelola Hutan (HPH) dan

Perusahaan Penambangan sebagaimana yang seringkali terjadi di wilayah Mimika

antara suku adat Kamoro dan suk adat Amungme sebagai pemilik tanah adat penghasil

emas yang dikelola oleh PT.Freeport. Bukan hanya pemegang HPH dan Pengusaha

pertambangan, tetapi juga pejabat-pejabat publik yang menduduki jabatan politis pada

beberapa instansi baik di pusat maupun daerah.

Hutan adat Papua merupakan ekosistem yang sangat beragam dan mampu

menunjang kehidupan jutaan spesies, mensuplai oksigen dan menyediakan berbagai

sumberdaya lainnya. Hutan lebat diseluruh dunia memiliki luas 29 juta kilometer

persegi, dari 29 juta kilometer persegi hutan yang masih lebat, ini diantaranya 32

persenya adalah hutan sub artik, 26 persen hutan daerah beriklim sedang dan 42 persen

hutan tropis. Sedangkan hutan adat Papua berkisar antara 3.16.100 kilometer dari

perbandingan luas wilayah pulau Papua yaitu 4.16.800 kilometer dibagi areal hunian

penduduk (kota dan pedesaan) yang masing-masing ukuran jarak hunian penduduk per

KK 15 meter dari letak suatu bangunan ke bangunan yang lain, ditambahlagi dengan

areal industrial dan persawahan serta perkebunan dan ladang. Perkembangan hutan

dunia akhir ini mengalami penyusutan dan perusakan yang cukup parah. Hampir 15

persen hutan penghasil kayu di 17 negara Eropa telah menderita kerusakan, mulai dari

yang sedang hingga yang pling parah, akibat pencemaran udara. Di Amerika Latin,

penyebab utama penggundulan hutan adalah peternakan dengan sistem ranch, spekulasi

tanah, pemukiman tak berencana menyusul pembangunan jalan dan perladangan

berpindah yang tidak berkelanjutan. Di Asia dan Afrika, yang umum menjadi penyebab

utama adalah sistem perladangan berpindah yang tak berkelanjutan (sustensi), konversi

untuk pertanian komersial dan daerah kering, penebangan tanahnya tanpa istirahat

merupakan penyebab terbesar hilangnya hutan di daerah tropis. Sehingga setiap tahun

Page 72: FORESTER-TABAM-baik

sekurangnya 180.000 km² (2%) hutan tropis terus digunduli untuk perladangan

berpindah yang tak berkelanjutan, untuk permukiman, untuk padang penggembalaan

dan kegiatan pertanian lainnya (IUCN, 1993: 144). Di Papua, yang menjadi penyebab

terjadinya kerusakan hutan adat Papua adalah terjadinya kebakaran akibat gesekan

antara benda pada waktu kemarau, ini kebanyakan terjadi pada tanah adat Papua yang

kering (zona tinggi hiik zone dan zona kaki gunung food zone), menyusul perladangan

berpindah-pindah, dan permukiman, dan pengolahan pertanian besar seperti kelapa

sawit, dan menyusul penggundulan untuk pengolahan tambang.

Green (1992) dalam Hadiwiyono Nur (1998) mengatakan bahwa Asia

mengalami laju kerusakan hutan paling cepat, yaitu 2,1% per tahun, sementara Amerika

Latin 0,9% per tahun, dan Afrika 0,8% per tahun. Negara-negara yang kehilangan lebih

dari setengah juta hektar hutan per tahun antara tahun 1981-1985 terbanyak adalah

Brasil, Colombia, Indonesia, Mexico dan Sudan. Indonesia memiliki areal hutan seluas

kurang lebih 144 juta hektar atau kira-kira 75 persen dari total luas tanah di Indonesia.

Menurut penggunaannya, hutan di Indonesia dibagi ke dalam empat peruntukan, yaitu:

hutan konservasi alam dan sumber plasma nuthfa termasuk riset dan rekreasi (18,89 juta

ha), hutan lindung yang diperuntukan untuk pengawetan tanah dan air (30,30 juta ha),

hutan produksi untuk produksi kayu dan non-kayu (64,40 juta ha), dan hutan konservasi

yang dapat dialihkan peruntukannya menjadi kawasan pertanian dan penggunaan tanah

lainnya (30,50 juta ha), [Prakosa M, 1996; 19].

Demikian besarnya luas hutan adat Papua yang disebut sebagai green Gold telah

kini mengalami kerusakan yang kian lama semakin menancap tajam. Secara umum,

hutan di Indonesia mengalami kerusakan sekitar 2 juta ha, setiap tahun. Perhitungan

semacam ini diambil dari laju kerusakan hutan Jawa sebagai ukuran utama kerusakan

hutan Indonesia. Dengan kerusakan demikian, sehingga adanya usaha pembangunan

kembali hutan untuk reboisasi atau penghijauan kembali hutan gundul di pulau Jawa,

yang diusahakan melalui berbagaimacam proses namun kualitasnya tidak mampu

mengimbangi laju kerusakan hutan yang terjadi di Jawa. Di Papua, laju kerusakan hutan

adat sangat lamban dibandingkan dengan daerah Jawa karena disebabkan oleh beberapa

faktor, yaitu (1) faktor Geografis, (2) faktor masyarakat dan sistem tata aturan (3) faktor

transportasi dan isolasi. Oleh karena itu dikhawatirkan dengan adanya rencana

pengembangan trans Papua dari sorong sampai samarai, akan menjadi suatu ancaman

Page 73: FORESTER-TABAM-baik

pengerusakan hutan adat Papua yang diberi julukan nama green gold oleh bangsa

Spanyol itu. Di Papua, kerusakan hutan adat mula-mula banyak terjadi karena

disebabkan oleh adanya sistem perladangan berpindah-pindah dengan pembalakan

hutan yang salah dan pembukaan hutan untuk areal pertanian yang cenderung

berpindah-pindah. Pola perladangan ini cenderung merusak hutan adat dan ekosistem

yang ada lebih cepat ketimbang pertumbuhan rehabilitasi ekosistem di lokasi

perladangan lama yang ditinggalkan.

Hasil temuan kami dalam kajian ini menunjukkan bahwa penyebab kerusakan

hutan adat Papua terdiri atas lima bagian, yaitu: Pertama, Konversi hutan menjadi lahan

pertanian, termasuk perladangan berpindah; Kedua, Pembangunan proyek-proyek

pemerintah termasuk pertambangan, Ketiga, loging, Keempat, Pembakaran atau

kebakaran, kelima, Pemekaran wilayah Perkampungan dan kota.

Hasil temuan bank Dunia 1990, menunjukkan bahwa penyebab kerusakan hutan

di Indonesia dapat dikelomokkan menjadi empat, yaitu: Pertama, konversi hutan

menjadi lahan pertanian, termasuk perladangan berpindah-pindah; kedua, pembangunan

proyek-proyek pemerintah; ketiga, loging, keempat, Pembakaran. Dari keempat faktor

tersebut, selama periode 1982-1989, konversi hutan menjadi lahan pertanian

mempunyai peran terbesar dalam kerusakan hutan Indonesia. Di Papua, faktor utama

yang membuat kerusakan hutan adat Papua adalah konversi hutan sebagai ladang

berpindah-pindah dan terjadinya kebakaran hutan ulah manusia maupun terjadi gesekan

akibat kekeringan.

Secara global, kerusakan hutan terjadi akibat alih fungsi hutan menjadi areal

permukiman, terutama terjadi pada kota-kota besar (grand city), selain itu terjadinya

penghancuran pada ozon akibat daripada terbentuknya kota serta kebanyakan aktifitas

pengembangan kota serta mobilitas kerja dalam kota menggunakan mesin sebagai alat

utama pengganti tenaga manusia yang berpotensi menghasilkan emisi terbesar

sepanjang sejarah penghancuran ozon. Dalam temuan green Peace 2003, Kota

Surabaya, Jawa Timur Indonesia, merupakan kota dengan penghasil emisi terbesar di

Asia dan sangat memprihatinkan, sedangkan di Jakarta, Indonesia, merupakan kota

dengan beban terbesar yang siap tenggelam bila terjadi pergeseran pada patahan

lempeng disekitarnya.

Page 74: FORESTER-TABAM-baik

Kerusakan hutan di daerah Kais hingga Kamundang Kabupaten Sorong Selatan

dan Kabupaten Maybrat, diakibatkan pencurian kayu yang selama ± 4 tahun dilakukan

secara ilegal di wilayah tersebut, hingga akhirnya terungkap kasusnya yang

mengakibatkan perusahaan kayu lapis play wood “ARAR” di Kabupaten Sorong gulung

tikar akibat suplai bahan baku yang terbatasi hingga akhirnya tutup total. Didaerah

Papua lainnya juga terjadi pengerusakan hutan sehingga mengakibatkan degradasi hutan

adat Papua semakin mengkhawatirkan, karena dengan adanya perkembangan penduduk

serta industri serta pembukaan lahan-lahan perkebunan baru seperti perkebunan kelapa

sawit di daerah Merauke Kabupaten Merauke, lahan kelapa sawit di Keerom Kabupaten

Keerom, dan pembukaan perkebunan coklat di daerah Moswaren Kabupaten Sorong

Selatan, pembukaan lokasi hutan dari hutan tutupan menjadi alih fungsi sebagai areal

hunian transmigrasi di wilayah Aimas Sorong, SP Moswaren Sorong Selatan, SP di

Manokwari, SP di Nabire, SP di Merauke, dan beberapa kota lainnya, merupakan

potensi besar yang ikut merusak hutan adat Papua.

Eksploitasi hutan secara berlebihan akan menimbulkan kerusakan hutan yang

berlebihan. Keadaan air dan tanah di Papua disekitar areal hutan adat yang tadinya baik

menjadi rusak. Misalnya air sungai di daerah hutan adat Papua, semasa saya, langsung

di minum dari sumbernya tanpa harus melalui proses pengolahan. Inilah yang harus di

jaga agar kadar air ph-nya jangan menurun. Suatu apresiasi yang baik karena

pemerintah telah berusaha untuk melindungai sumberdaya alam dengan mengeluarkan

kebijakan berupa Undang-Undang No. 4 tahun 1982 yang memuat ketentuan pokok

tentang cara pengelolaan hutan lingkungan yang sesuai dengan kepentingan

masyarakat, terutama masyarakat adat Papua. Oleh karen itu, diharapkan agar dalam

perencanaan pembangunan sektor kehutanan, dua prinsip yang selalu dipakai sebagai

pedoman yaitu distribusi manfaat hutan adat antar generasi dan kelestarian sumberdaya

hutan. Prinsip ini menekankan pada pemanfaatan yang berkesinambungan dan hak

generasi sekarang dan generasi yang akan datang untuk mendapat manfaat dari

sumberdaya hutan. Sumberdaya yang dimaksudkan disinia adalah suberdaya berupa

material maupun imaterial, yang terutama menyangkut penghasil oksigen sebagai

penyeimbang iklim global.

Kasus yang selama ini terjadi secara umum adalah terjadinya proses penebangan

hutan secara liar yang telah merusak hutan serta ekosiste lain yang hidup di dalamnya.

Page 75: FORESTER-TABAM-baik

Penjarahan, penghancuran, penebangan liar terhadap hutan, seperti di beberapa daerah

Papua, Jambi, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan yang kini masih terus

berlangsung bahkan semakin dahsyat dan mengerikan. Kasus-kasus pencurian kini tidak

hanya terjadi di areal HPH, tetapi juga pada areal hutan lindung, suaka alam dan ataman

nasional. Pencurian tersebut banyak terjadi karena alasan ekonomi akibat adanya krisis

ekonomi dan moneter yang menghantam Indonesia beberapa tahun lalu.

Barangkali inilah implementasi dari pola eksploitasi hutan yang paling jahat di

duni pada umumnya dan khususnya bagi hutan adat Papua. Dalam retorika politik,

pandangan pemerintah menganggap hutan adat di Papua sebagai rumah persembunyian

orang-orang pergerakan Papua Merdeka “OPM” atau sering dimunculkan secara masive

sebagai GPK sehingga direncanakan trans Papua. Sebenarnya pembangunan kehutanan

lebih diarahkan pada konsep sustainable forest management. Konsep ini mengharuskan

luas hutan tumbuh sebesar lima persen dari keadaan awal dalam rentang waktu tertentu,

misalnya 40 tahun. Secara tradisi, masyarakat adat Papua telah secara turun temurun

melakukan pemanfaatan hutan adat mereka dengan pola tatanan manajemen proteksi,

rehabilitasi, konservasi dan eksploitasi yang teratur dalam tatacara mereka sehari-hari.

Sebenarnya tatacara tersebut harus dipertahankan serta dikembangkan oleh pemerintah

guna keberlanjutan ketahanan hutan yang berkelanjutan.

Akibat dari kesalahan manajemen eksploitasi itu, kini selain hutan adat Papua

semakin surut, hijau hutan Papua yang pernah diberi nama sebagai green gold mulai

redup dan berbagai fungsi hutan adat lainnya mulai hilang sama sekali. Secara nasional,

menurut catatan Departemen Kehutanan, setiap menit hutan di Indonesia menyusut

seluas lapangan sepakbola. Deforestasi semakin runyam setelah terjadinya penebangan-

penebangan pohon pada kawasan-kawasan yang secara spesifik membutuhkan adanya

tegakan hutan untuk melindungi air (hutan lindung). Demikian juga pada hutan suaka

alam atau Taman Nasional Kutai, Gunung Leuser di Aceh Sumatera Utara, Taman

Nasional Kerinci Seblat di Sumatera Bagian Selatan, Meru-Betiri di Jawa Timur,

Gunung Meja di Manokwari-Papua bagian barat, Bahari Laut Raja Ampat Papua Barat,

serta perusakan miniatur hutan tropis dunia di Pulau Laut, Kalimantan Selatan.

Penebangan dan pembakaran hutan untuk ladang berpindah-pindah sebagaimana

secara tradisional dilakukan sepanjang dekade keturunan masyarakat adat Papua,

praktek sistem pertanian yang tidak mempertahankan konsep dan usaha pengawetan

Page 76: FORESTER-TABAM-baik

(konservasi) tanah dan alih fungsi hutan tutupan, serta kebakaran hutan adalah faktor

utama yang menyebabkan hutan adat Papua akan terus menjadi rusak sehingga

mengakibatkan lahan kritis.

Sebagaimana juga apa yang terjadi di daerah Kais dan Kamundang Kabupaten

Sorong Selatan dan Kabupaten Maybrat, bahwa proses pengambilan kayu yang secara

terus menerus dilakukan oleh para pemegang HPH telah mengakibatkan hak-hak

masyarakat adat atas hutan adat mereka menjadi hilang. Akibatnya karena tidak terjalin

pengertian antara pemegang HPH dan masyarakat adat setempat, sehingga terjadi

bentrokan antara warga masyarakat adat dengan para pemegang HPH yang

mengakibatkan cacat dan luka beberapa orang.

Dibalik ceritera kegagalan anak negeri Papua (masyarakat adat) yang terdidik

secara formal dalam mengelola lahan hutan adat, para pemegang HPH dan para

akademisi yang selalu memberikan ide-ide untuk pengelolaan hutan yang baik, adapula

ceritera sukses masyarakat tradisional Papua dalam pengelolaan hutan adat mereka.

Keberhasilan masyarakat adat Papua itu didasari oleh kesadaran akan adanya saling

ketergantungan antara manusia dengan sumberdaya alam serta adanya mitos tentang

cikal bakal hutan sebagai ibu dari mereka. Sehingga secara sadar, mereka

memperlakukan hutan adat mereka beserta sumberdayanya dengan baik serta penuh

keteraturan, agar kelak dapat menjadi sumber kehidupan bagi mereka dan keturunan

mereka. Bagi masyarakat adat Papua, hutan adat mereka bukan hanya sebagai penghasil

barang tetapi juga jasa, karena juga diperuntukkan untuk melindungi sumber-sumber

air, dan selain itu perlu dimasukkan juga bahwa sebagai produk oksigen.

B. Implikasi Kerusakan Dalam Pandangan Global

Abad ke-21 telah diproyeksikan sebagai 'Era Bencana Ekologis' Kelompok

Lingkungan EKOLOGI. Tantangan ini realitas malang sebagaimana yang dibahas

dalam Peringatan Konferensi Asia Afrika yang ke-55 di Cape Town Afrika Selatan –

Yogyakarta Indonesia 2010.

"Keanekaragaman Kelompok Lingkungan Hidup 'dalam fokus pembahasan ini

adalah" Keanekaragaman Hayati,' berarti jumlah dan kelimpahan spesies yang sangat

relatif berbeda di suatu daerah/habitat termasuk Planet Bumi. Berbagai spesies

(tanaman, hewan, mikro-organisme, dll), melalui interaksi antara mereka sendiri dan

Page 77: FORESTER-TABAM-baik

dengan lingkungan abiotik mereka, terdiri dari berbagai tingkat ekosistem, di antaranya

yang terbesar adalah biosfer. Ekosistem membuat habitat Bumi kita dengan

menyediakan layanan seperti oksigen untuk bernapas, air bersih untuk minum, tanah di

mana tumbuh tanaman, dan dikelola dan diatur pola iklim. Namun, Keanekaragaman

Hayati dalam status belum pernah terjadi sebelumnya seperti yang dilaporkan akhir-

akhir ini: "dunia kini di tengah-tengah kepunahan massal spesies yang paling tercepat

hidup dalam sejarah 4,5-miliar-tahun planet" Tidak mengherankan., Ini penurunan

planet tercepat pada sistem kehidupan yang telah membuat sehingga para ahli

memberikan suatu peringatan bahwa adanya suatu penurunan yang cepat dari

Keberlanjutan ekosfer dan penderitaan dramatis dari spesies manusia, dengan beratusan

juta jiwa, dan sebagian besar di benua Afrika dan Asia, yang diproyeksikan untuk

mengalami kehausan, kelaparan, dan kematian prematur dalam waktu dekat .

faktor A pusat untuk bencana ekologis ini telah menjadi-laba yang beragam, dan

ledakan fenomena yang disebut 'Globalisasi' Meskipun ada banyak definisi sengketa.,

para sarjana mengakui bahwa Globalisasi mencakup beberapa hal yaitu; 1) ekspansi

spasial arus melampaui bangsa-negara dan benua, 2) intensifikasi seperti antar-koneksi,

3) percepatan transformasi kecepatan sistem, 4) memperdalam konsekuensi sosial yang

sering tidak sama/tidak adil, dll Globalisasi adalah variabel penjelas kunci

Keanekaragaman Hayati menghilang dengan cepat terutama melalui empat proses yang

disebut 'Hippo' : Habitat kerusakan (hutan, terumbu karang), spesies invasif (dari luar

negeri), Pencemaran (atmosfer, laut, tanah), manusia Penduduk ledakan, dan over-panen

(oleh budidaya yang berlebihan, eksploitasi air, berburu/memancing). Oleh karena itu,

kebangkitan Globalisasi, mengakibatkan penurunan Keanekaragaman Hayati dan

Keberlanjutan ekologi, dan proyeksi penderitaan manusia (di Asia dan Afrika) yang

melibatkan semua fenomena kausal semakin urgent.

Sementara ilmu pengetahuan sulit mencari informasi terbaru dari ',' kelompok

Lingkungan juga menjajaki 'Paradigma', atau "model memayungi dunia yang

membentuk pandangan dunia kita dan membimbing interpretasi kita tentang bagaimana

hal-hal yang" Dilaporkan., Lebih dari 99% dari generasi manusia bertahan dengan

Paradigma holistik-dan-seimbang sebagai pengumpul dan pemburu, yang tidak secara

radikal memisahkan 1) materi vs spiritual, 2) vs masa depan sekarang, 3) manusia vs

non-manusia, 4) vs perempuan laki-laki, dll. Namun, ribuan tahun terakhir, terlihat

Page 78: FORESTER-TABAM-baik

bahwa munculnya Paradigma dualistik di mana Material, Present, Manusia, dll, telah

dibuat dalam suatu oposisi, dan ditempatkan di atas rekan-rekan mereka. Sejauh yang

muncul dari Globalisasi, aspek materialistis tempo-sentris, antroposentris, dan maskulin

Paradigma Barat modern, mungkin penting untuk dicounter.

Jadi kelompok Lingkungan hidup mengeksplorasi peningkatan eksplorasi materi

tentang Keanekaragaman Hayati dan Globalisasi ke dalam, sosio-politik psiko-budaya,

domain religio-filosofis dalam pencarian untuk Agribisnis ekologis dan kesejahteraan

manusia. Kontribusi ditarik dari Afrika-Asia terutama didorong, bukan hanya karena

subjudul "Peran Afrika dan Asia," tetapi karena daerah ini kaya akan Keanekaragaman

Hayati, diproyeksikan untuk menjadi korban utama dari penurunan tersebut, dan

berkualitas baik untuk menyediakan alternatif Paradigma yang berlaku Globalisasi.

Globalisasi artinya lebih kurang tanpa batas. Ini memungkinkan Negara-negara

maju untuk melakukan investasi di negara ketiga terutama Negara-negara di Asia Afrika

untuk memenuhi kebutuhan raw material mereka seperti kayu, tambang, kertas,

makanan dan lain-lain yang sulit didapatkan didaerah mereka.

Dengan kondisi seperti ini, memungkinkan terjadi pengrusakan kawasan secara

besar-besaran untuk ditambang. Otomatis kawasan yang dirusak akan melepaskan

karbon yang cukup besar sehingga berpengaruh pada climate, dan kawasan tersebut

menjadi labil sehingga memunkginkan terjadi longsor, banjir di hilir dan sebagainya.

Juga penggunaan bahan kimia akan meracuni sungai-sungai dan sebagainya.

Raw material yang tadi diproduksi di asia atau afrika kemudian harus dibawa

kenegara maju untuk diolah lebih lanjut. Otomatis transportasi yang digunakan akan

menyumbang pada emisi global. Sampai saat ini, rata-rata makanan di amerika

menyumbang 2000 kg karbon untuk setiap 1 kg makanannya. Ini terjadi karena

perpindahan makanan dari satu tempat ke tempat yang lain. Sama halnya ketika anda

mencoba makan indomie atau pizza. Bahan baku keduanya berasal dari gandum yang

asalnya dari amerika. Ada perjalanan panjang gandum itu ke indonesia. pake

transportasi yang menyumbang pada iklim dunia. Globalisasi akan memudahkan proses

perpindahan ini.

Berkurangnya lapisan ozon di bumi juga membuat oksigen di bumi kurang baik

terutama untuk dihirup. apalagi hidup di kota-kota besar mendapat kesegaran alami itu

susah dan panas tidak hujan,mungkin hujan hanya sewaktu-waktu saja.

Page 79: FORESTER-TABAM-baik

SELAMATKAN HUTAN ADAT PAPUA

DALAM DIMENSI KULTURAL DAN GLOBAL

SEBAGAI SUPLAI OKSIGEN DUNIA

ANUSIA, hidup dari lingkungannya. Demikian halnya bahwa

masyarakat adat Papua mengandalkan hutan adat mereka sebagai

pusat kehidupan mereka secara turun temurun sebagaimana diatur

dalam sistem tatanan hidup mereka sepanjang sejarah kehidupan

mereka hingga sekarang. Masyarakat adat Papua menganggap lingkungan hutan adat

mereka sebagai sumberdaya baik yang berkaitan dengan kausal maupun biasa. Mereka

mendapatkan air, udara, oksigen yang baik, makanan, serta kebutuhan spiritualitas, dan

lain sebaginya dari hutan adat mereka tersebut.

MA. Hutan Dalam Konteks Cultural

Sejarah kehidupan makhluk, tidak terlepas dari hutan alam mereka dan selalu

memerlukan hutan, atau juga dikatakan bahwa Tiada Hidup Tanpa Hutan alam mereka.

Ini merupakan suatu aksioma alam raya dalam kehidupan yang tak mungkin

dibantahkan tentang fungsinya dalam ruang dan waktu yang ada. Semenjak penjadian

manusia untuk hidup dalam dunia ini, mereka membutuhkan hutan alam sebagai areal

memperpanjang hidup mereka. Karena didalam hutan alam terdapat persediaan

makanan dan minum serta oksigen. Siapa yang hidup tidak membutuhkan makan dan

minum? Sebagaimana dalam konsep Alkitab, bahwa; Allah ketika merencanakan

kehidupan kepada manusia pertama Adam dan Efa, Ia terlebih dahulu menyediakan

persediaan makanan bagi mereka, dan menyediakan hutan alam bagi mereka yaitu

menciptakan sebuah taman di Eden. Taman di Eden sebagai Hutan adat manusia

Pertama. Oleh karena itu, arti penting hutan alam ini telah disadari oleh Manusia

semenjak Adam dan Efa di alam Taman di Eden, dan sebelumnya Allah sudah

memikirkan hal ini sebelum manusia pertama itu menikmatinya. Hutan alam juga telah

disadari oleh manusia sejak awal peradaban dimulai. Hal ini terbukti bahwa dalam

Page 80: FORESTER-TABAM-baik

kontek kultural sejak zaman dahulu kala, hutan telah mempunyai posisi sentral yaitu

dengan adanya predikat hutan, aturan dan tata hutan, mitologi hutan, konsep penamaan,

Pemali, alegori, prosesi tradisional dan juga ritus kepercayaan, yang mana diuraikan

sebagai berikut:

1. Predikat Hutan

Berbagai suku Bangsa di dunia menempatkan hutan alam pada posisi yang

sangat tinggi dan prestisius, hal ini dapat dilihat dari cara pemredikatan mereka

terhadap hutan. Dalam bahasa Latin, mengatakan bahwa setiap air yang mengalir

ditengah hutan alam sebagai sumber kehidupan atau yang disebut fons vitaé “air

kehidupan”, Bangsa Yunani menyebut air dari hutan dengan Nectar dan ambrosia

“minuman dan makanan Dewa”. Orang Inggris menyebutnya The elixir of life dan

orang Jerman menyebut Lebens elixer “sesuatu yang mutlak diperlukan untuk

hidup”. Orang Perancis menyebutnya dengan la source de vie, Orang Belanda

menyebutnya Levens Water orang Arab menyebutnya Maul Khayat dan orang

Maybrat di Papua menamakan Aya mamos yang semuanya berarti sumber

kehidupan dan orang Maybrat Papua menyebutnya juga aya marak tanik bo beta

mhai yang maksudnya tiada air semuanya akan mati. Hutan sebagai ekosistem

penyedia air dan makan sekaligus penyeimbang kehidupan.

2. Aturan dan Tata Hutan

Sejak dahulu kala diberbagai daerah terutama di Papua, secara turun temurun

menempatkan hutan sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan mereka. Secara

tradisional, masyarakat adat Papua telah menetapkan tata aturan dalam

memperlakukan hutan adat mereka.

Dalam aktivitas produksi perladangan, masyarakat Papua biasanya

menggunakan hutan tertentu yang sudah dinilai sebagai ladang yang tepat untuk

produksi. Adanya suatu indikasi tata aturan yang berkembang ditengah kehidupan

masyarakat adat Papua, bahwa hanya lokasi tempat yang pernah dijadikan sebagai

perladangan oleh nenek moyang saja yang boleh di lanjutkan sebagai ladang

mereka. Selain daripada hutan tidak diperbolehkan untuk di rusak. Itu merupakan

suatu tata aturan yang baku dalam kehidupan tradisional masyarakat adat Papua

yang harus diperhatikan dan jaga hingga era apapun secara turun temurun.

Page 81: FORESTER-TABAM-baik

3. Konsep Penamaan Hutan Adat Papua

Papua merupakan salah satu Pulau dengan 270-an suku bangsa dan mempunyai

kemiriban seperti suku bangsa lainnya di dunia ini, yaitu mereka sejak zaman

dahulu kala telah menciptakan budaya penghargaan maupun pengharapan terhadap

hutan adat mereka. Hal ini dapat dilihat dari proses pembentukkan kata atau

ethimological process menjadi hutan, lahan, dan wilayah adat. Orang Papua

terutama suku bangsa Maybrat menamakan hutan dengan sebutan safom yang

artinya hijau, tabam, yang artinya tanah atau dunia, rabin, yang artinya negeri atau

wilayah, atau dusun, remo, yang artinya negeri besar, tanah besar. Konsep ini dapat

dipahami mengingat pada era peradaban dimulai, dengan menempatkan hutan

sebagai sumber mata pencaharian baik agraris maupun pertanian, yang

konsentrasinya pada bidang pertanian dan perikanan maka hutan merupakan

kebutuhan mutlak yang bukan saja memberi hidup secara langsung terhadap

manusia namun juga berfungsi dalam penyediaan oksigen bagi sarana hidup

manusia secara global.

4. Hutan Pamali

Di berbagai daerah di dunia ini terdapat bermacam hutan pamali yaitu hutan

tersebut dipercaya dan diyakini akan mengakibatkan suatu petaka atau manusia yang

menyentuhnya akan mendapat bencana baginya karena tidak mengindahkan hutan

pamali (hutan ghaib). Sebagai contoh, suku bangsa Maybrat, melihat suatu tempat

Pamali yang relevan dengan masalah hutan, karena dianggap sebagai sesuatu yang

tabu bila merusak hutan Pamali atau hutan ritus, walau telah menemukan suatu hasil

di sekitar hutan pamali itu sudah memang tidak boleh masuk dalam hutan pamali

tersebut, sebab diyakini akan mendapatkan celaka bila hal tersebut dilakukan.

Secara saintifik dianalisis sebagai suatu upaya penyelamatan hutan agar tetap eksist,

hingga sebagai pemasok oksigen. Konsep ini merupakan suatu dasar penyelamatan

hutan adat di Papua semenjak dahulu.

5. Alegori Hutan adat Papua

Nama, secara filosofis dapat diartikan dalam konotasi negatif atau positif yang

berarti buruk atau baik. Di bidang konservasi hutan adat dalam konsep Papua, telah

tercipta pula alegori atau kiasan hutan untuk mendidik “memberitahukan”.

Penamaan hutan adat Papua dibedakan berdasarkan isi, fungsi dan situasi. Misalnya

Page 82: FORESTER-TABAM-baik

di wilayah adat Maybrat, mengatakan ketiga hal itu dengan ỏ mkeir, (tempat pamali)

atau sebagai tempat yang ditakuti, disegani, tidak disentuh manusia secara kauran.

Atau ỏ sebagai kata umum menyebut tempat atau daerah.

Bila diselidiki secara saksama disetiap hutan adat Papua, maka akan kita dapati

nama-nama hutan adat yang diberi oleh pemiliknya berdasarkan filosofis, mitologi,

religi, dan klen atau keret-marga. Setiap alegori filosofi hutan adat mengandung

makna yang menjelaskan hutan tersebut masing-masing. Misalnya di daerah hutan

adat pada suku Maybrat, di wilayah Ayamaru, diberi nama Ayamaru yang

diterjemahkan sebagai berikut; aya yang berarti air, dan maru artinya danau. Secara

sadar, masyarakat adat Ayamaru, menamakan tempat mereka demikian karena

disana terdapat sebuah danau. Tak jauh dari itu, bahwa setiap hutan adat Papua

memiliki nama-nama yang mengandung arti tertentu. Begitupun disetiap hutan adat

Papua memiliki nama sendiri-sendiri berdasarkan religi tentang hutan, mitologi,

kandungan dan Marga, keret, klen-fam.

6. Prosesi tradisi adat istiadat

Tradisi pelibatan alam sebagai syarat upacara penting dengan maksud menjaga

kelestarian alam itu sendiri agar menjadi eksis sejalan dengan peradaban itu.

Sebagai elaborasi, tentang pemberi kehidupan, dan tempat perlindungan terhadap

kekuatan supranatural. Suatu contoh dalam kehidupan tradisional masyarakat

Maybrat, Imian, Sawiat, dan Tehit, ketika melakukan upacara-upacara tradisional

selalu melibatkan hutan dan alam raya sebagai sumber kekuatan. Misalnya ketika

melakukan suatu janji atau pembicaraan dengan arwah tertentu (maut hdan, shafla,

tgif bo), mereka selalu menggunakan tanah dan air sebagai media utama yang

menghubungkan mereka dengan roh. Tanah dan air disini melambangkan kunci atau

syarat mutlak untuk melakukan pembicaraan degan roh nenek moyang, dan ini

dianggap sangat penting, karena tanpa air dan tanah, doa mereka tidak berfalidasi.

7. Ritual Keagamaan

Hampir semua agama menggunakan alam sebagai media dalam prosesi

ritualnya. Sebagai suatu contoh, umat kristen menggunakan roti dan cawan (anggur)

sebagai lambang tubuh dan darah daripada Yesus Kristus, yang dilakukan dengan

doa pengurapan Rohul kudus. Juga sebagai syarat pembersihan kotoran atau dosa

menjadi suci diri agar berkomunikasi vertikal antara manusia dengan Allah Bapa

Page 83: FORESTER-TABAM-baik

tidak terhambat karena dosa. Selain itu, dalam ekaristi umat Kristen Katolik,

sebelum misa suci dimulai, imam berjalan berkeliling memercikkan air kudus

kepada umat dan disambut bersama dengan nyanyian asperges me (perciki daku)

yang maknanya adalah mohon percikan air suci agar bersih putih bagai salju.

Penganut agama Islam mengambil air wudhu dengan tujuan membersihkan diri dari

segala kotoran pada raga maupun jiwa sebagai syarat suci diri sebelum

berkomunikasi vertikal dengan Allah SWT. Pemeluk agama Hindu selalu

menggunakan percikan air diakhir proses sembahyang sebagai air suci atau tirta

amerta yang semuanya bertujuan untuk keselamatan dan kesejahteraan umat.

Demikian juga proses pemberkataan dalam agama Budha, diakhiri dengan

memercikkan air dengan maksud kebaikan, keselamatan dan kesejahteraan. Ini

berarti Tuhan sendiri telah mengingatkan secara implikasi bahwa alam raya hutan

adalah merupakan elemen penting bagi kehidupan yang harus dijaga keberadaannya

yaitu dengan dijadikannya media-media sebagai syarat yang cukup sebagai suatu

proses religia.

Page 84: FORESTER-TABAM-baik

TRADISI PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN LAHAN HUTAN OLEH

MASYARAKAT ADAT PAPUA

ada hakekatnya, ketika manusia memasuki pentas ekologi ini, selalu

bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya. Namun kelebihan

manusia dalam sistem ekologi adalah bahwa manusia itu dibekali dengan

kelebihan vital yakni budaya sebagai manifestasi dari hasil karya

otaknya. Demikian sebagaimana orientasi dalam hidup masyarakat adat Papua, yang

mampu melakukan hal-hal yang membawa keberhasilan mereka mengarungi

lingkungan alam fisik hutan adat disekitarnya. Ini dimungkinkan karena kebudayaan

mereka. Karena dengan kemampuan, sehingga manusia (masyarakat adat Papua) dapat

melakukan dan menciptakan berbagai sarana untuk dapat beradaptasi dengan baik

terhadap lingkungan dimana ia tinggal.

P

Dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam rangka kelangsungan

hidupnya, selalu menimbulkan dampak pada lingkungan dimana ia tinggal dan tempati.

Dampak yang ditimbulkan tidak saja bersifat positif, tetapi juga bersifat negatif.

Dampak dari aktivitas manusia dapat terjadi pada komponen lingkungan hidup alami,

seperti kerusakan hutan, tanah longsor, kepunahan satwa liar, serta penghancuran rumah

kaca yang berakibatkan efek pada penipisan lapisan ozon, maupun dampak yang terjadi

pada lingkungan hidup binaan seperti pencemaran udara, air dan lahan.

Permasalahan lingkungan hidup yang terjadi dalam berbagai bentuk pencemaran

dan kerusakan lingkungan hidup sudah dirasakan sejak awal peradaban manusia.

Penurunan kualitas lingkungan hidup itu bisa juga terjadi secara alami maupun bisa

disebabkan karena aktivitas manusia itu sendiri. Meski pada kenyataannya, kerusakan

yang ditimbulkan oleh manusia justru lebih dominan daripada yang diakibatkan oleh

alam.

Dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, masyarakat adat Papua mengenal

pemanfaatan hutan atas empat bagian yaitu; pertama, Pemanfaatan Lahan hutan adat

untuk Perladangan. Kedua, pemanfaatan lahan hutan adat sebagai areal panen dan

buruan (pangkur sagu, panen hasil buah-buahan dan memburu hewan dan ikan). Ketiga,

Page 85: FORESTER-TABAM-baik

hutan Religi, yaitu Pemanfaatan hutan adat sebagai areal pemujaan. Keempat, hutan

sebagai tempat persembunyian. Keempat sistem pemanfaatan hutan tersebut dapat kita

uraikan sebagai berikut:

1. Pemanfaatan Lahan Hutan Adat Untuk Perladangan

Pandangan sosial budaya masyarakat adat Papua menunjukkan bahwa, sistem

perladangan berpindah-pindah secara umum dianggap sebagai satu-satunya sistem

pertanian yang sesuai dengan sistem pengetahuan masyarakat adat Papua dan hal itu

sesuai dengan ekosistem hutan tropis. Ciri perladangan berpindah-pindah dalam sistem

meninggalkan tempat itu terlebih dahulu ia akan memberi tanda (saraf dalam tradisi

perladangan orang Maybrat, Imian, Sawiat) atau felif pada lokasi tersebut. Setelah

kembali, orang tersebut selanjutnya menghubungi keluarga, khususnya kepada

marganya, selanjutnya mereka akan melakukan doa di lokasi yang akan dibersihkan

sebagai ladang dengan tujuan meminta izin, memohon berkat agar kelak menghasilkan

hasil ladang yang baik dan sehat serta sebagai berkat.

Dalam memilih lokasi ladang (tein ‘dalam sebutan bahasa suku Maybrat’),

masyarakat adat Papua selalu mempertimbangkan beberapa faktor serta tempat yang

baik dan potensial untuk dijadikan sebagai lokasi tempat berladang. Masyarakat adat

Papua selalu memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut kondisi tempat serta hak

milik atas tempat yang akan diolah tersebut. Mengenai hak milik, walaupun lahan itu

berada pada tanah adat suatu keluarga yang terdiri atas banyak orang pada satu marga

tersebut, mereka tidak mungkin sewenangnya membongkar ladang punya Bapak lain,

walaupun satu marga/keret/fam. Akan tetapi mereka bisa mengambil lahan tersebut

dengan cara meminta persetujuan dari Bapak yang lain sebagai pemilik. Bapak lain

yang dikatakan sebagai pemilik adalah dia yang pertama membuka lahan yang tadinya

tidak sebagai lahan perladangan, sehingga ia dihargai sebagai pemilik lahan tersebut.

Kepemilikan atas ladang potensial tertentu selalu berada menurut lokasi ladangnya, ada

yang berada di pinggir kampung (desa), dan ada yang berada pada kawasan daur ulang

dan terutama berada pada kawasan produksi tetap (tein, dalam sebutan bahasa suku

Maybrat).

Tradisi masyarakat adat Papua, sebelum memilih ladang yang potensial, yang

terutama diperhatikan adalah lokasi/tempat atau ladang tersebut harus berada di wilayah

Page 86: FORESTER-TABAM-baik

adat mereka. Ini merupakan hal yang sangat penting dan terutama, karena jikalau berada

pada wilayah adat marga/klen/fam/keret lain maka sudah pasti akan terjadi

persengketaan. Yang berikut daripada itu adalah lokasinya tidak terletak diatas bukit

atau gunung karena banyak bebatuan. Kebanyakan lokasi perladangan masyarakat adat

Papua berada di lereng perbukitan yang tidak mengandung bebatuan, khususnya pada

kawasan daur ulang sebagai lahan produksi tetap. Selain karena pertimbangan tanahnya

subur juga karena tidak mengandung bebatuan. Mereka biasanya menginap di ladang

untuk menjaga ladang mereka dan juga menginap untuk melanjutkan pekerjaan yang

masih sisa. Selain itu, bila dilakukan suatu acak balik pada kehidupan mula-mula, maka

akan kita temukan bahwa masyarakat adat Papua mula-mula menghuni di hutan adat

mereka masing-masing dan ditemukan di lokasi perladangan mereka. Selanjutnya lalu

mereka mengenal pola permukiman dusun dan kampung pada abad ke-18 dan hunian

komersial perkampungan di perkenalkan semenjak pemerintahan Kolonial Belanda.

a. Ukuran Ladang yang Ditandai (saraf)

Pada umunya, ukuran ladang yang dibuka dan diolah oleh masyarakat adat

Papua bervariasi, dan kebanyakan disesuaikan dengan ukuran lahan yang mana

batas-batasnya dibentangi oleh gunung, tebing, sungai dan bukit-bukit berbatuan.

Jika ukuran lahannya luas, maka melibatkan banyak orang kerabat yang berladang

dan juga melibatkan banyak orang untuk bekerja.

Ada dua aspek rujukan pada luas tanah yang akan diolah menjadi ladang

pertanian oleh masyarakat adat Papua. Pertama, luas ladang, kedua, setiap lahan

adat mereka yang ditebas setiap tahun. Ukuran ladang yang diolahpun bervariasi

sesuai dengan kebutuhan peladang. Selain lokasi ladang tetap yang di garap secara

turun temurun, juga adanya pembukaan lahan baru pada hutan primer. Biasanya

ladang yang dibuka oleh masyarakat adat Papua pada kawasan hutan primer

didasarkan atas beberapa kriteria, yaitu; tidak mengandung bebatuan, memiliki

tanah yang tebal dan subur. Pada lahan primer dibutuhkan penggarapan dan

penanganan sebagai olahan yang intensif agar menghasilkan suatu hasil yang

memuaskan ketika panen.

Ukuran ladang masyarakat adat Papua juga dipengaruhi oleh efisiensi kerja

maupun tenaga kerja. Ini berkaitan dengan ukuran lahan yang luas, sehingga

membutuhkan banyak tenaga kerja. Selain daripada itu, tenaga kerja yang banyak

Page 87: FORESTER-TABAM-baik

juga dibutuhkan untuk membuka lahan di areal hutan primer. Dibutuhkan banyak

tenaga kerja karena areal tersebut masih homogen dan banyak pohon besar serta

hutannya lebat, maka dibutuhkan banyak tenaga kerja untuk menebas dan menebang

agar pekerjaannya dapat terselesaikan dengan cepat dengan waktu yang dibutuhkan

relatif efisien. Pada kenyataannya bahwa di kawasan hutan primer Papua pada

umumnya kuat dan keras. Sedangkan pembukaan di kawasan hutan sekunder

tenaganya lebih sedikit karena kondisi kayu dan tumbuhan yang ada pada umumnya

lunak dan kecil.

b. Menebas (mhais)

Salah satu pekerjaan utama perladangan masyarakat adat Papua adalah tahapan

siklus kerja perladangan, yaitu dengan cara menebas (pemiri, mhais). Menebas

hutan dimaksudkan untuk mematikan tumbuh-tumbuhan dan semak lalu dibiarkan

beberapa waktu hingga mengering agar mudah dibakar. Hal ini dianggap penting

dan merupakan alur kerja perladangan yang dikembangkan oleh masyarakat adat

Papua secara membudaya. Sistem tebas ini penting bagi masyarakat adat Papua

karena tumbuh-tumbuhan yang ditebas nantinya akan ikut membantu pembakaran

pohon-pohon besar yang sulit dikeringkan dan dibakar. Tujuan lain adalah untuk

mempersiapkan tempat terbuka dan bebas dari semak belukar sehingga mereka bisa

menebang dengan mudah dan bebas serta terhindar dari ancaman robohnya pohon

sewaktu ditebang. Dalam proses menebang ini, masyarakat adat Papua biasanya

menggunakan parang sebagai alat tebas utama, kemudian disusul dengan

menggunakan kapak sebagai alat menebang pohon besar yang tidak bisa ditebang

dengan parang.

Selama tahapan siklus berladang, biasanya dibagi dalam beberapa tahapan kerja

yaitu; waktu tebas, waktu menebang pohon besar, waktu pengeringan, waktu

membakar, waktu istirahat, waktu menanam.

Setelah hutan ditebas maka dibiarkan beberapa waktu, dengan tujuan agar semak

yang ditebas mengering. Pekerjaan ini melibatkan tenaga kerja laki-laki, perempuan

dan anak.

c. Menebang (mfat)

Tahap penebangan di sesuaikan dengan tahap menebas, yaitu ketika semak yang

ditebas sudah mengering, maka selanjutnya tahap berikut adalah tahap penebangan

Page 88: FORESTER-TABAM-baik

pohon-pohon besar. Tahap kerja ini hanya dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki

(ayah dan anak laki-laki) karena alat yang digunakan adalah kapak. Cara

penebangan biasanya serampangan dan harus semua pohon yang ada pada ladang

ditebang. Setelah ditebang, selanjutnya dibiarkan dalam beberapa waktu dengan

tujuan agar kering. Sebenarnya tidak sampai begitu mengering, namun tetapi

setidaknya pada daun dan dahan-dahan kecil sudah bisa mengering. Selain waktu

pengeringan, waktu tersebut ini juga di manfaatkan oleh pemilik ladang untuk

mengumpul bahan sembako sebagai persiapan untuk pemberian upah kepada

pekerja pada tahap pembakaran.

d. Membakar (mkah)

Setelah proses menebas dan menebang, selanjutnya dibakar. Dalam prosesi ini,

melibatkan tenaga kerja laki-laki dan perempuan termasuk anak-anak. Dalam

bekerja, sudah secara tradisi bahwa tenaga kerja laki-laki yang memotong kayu dan

wanita yang mengumpulkannya, sedangkan untuk kayu yang berukuran besar

biasanya di kumpulkan dan diangkat oleh tenaga kerja laki-laki untuk dibakar.

Setelah proses pembakaran, selanjutnya dibiarkan beberapa waktu dengan

maksud bahwa tanah yang baru saja dibakar masih menyimpan unsur panas dari api,

jadi tidak boleh ditanami bibit-bibit yang dipersiapkan karena akan mati.

e. Menanam (myim, maso)

Ladang yang di biarkan beberapa waktu dengan maksud untuk menstabilkan

unsur hara ketika dibakar dan menyimpan panas, selanjutnya akan ditanam bibit

tanaman yang telah disiapkan oleh pemilik ladang. Dalam proses ini, kebanyakan

dilakukan oleh tenaga kerja perempuan dan anak perempuan.

Selain permpuan menanam, tenaga kerja laki-laki mengumpulkan kayu untuk

membuat pagar sebagai suatu usaha menjaga tanaman dari hewan liar seperti babi

dan rusa.

f. Panen (matu)

Setelah semuanya dilakukan, maka akhirnya ladang tersebut dipanen.

Kebanyakan yang melakukan panen adalah tenaga kerja perempuan. Sedangkan

tenaga kerja laki-laki berburu untuk mencari lauk.

Untuk lebih jelasnya lihat siklus kerja pemanfaatan lahan hutan adat oleh

masyarakat adat Papua berikut:

Page 89: FORESTER-TABAM-baik

Lahan

Gambar : Skema Kerja Perladangan Masyarakat adat Papua (hasil analisis peneliti)

2. Pemanfaatan Hutan Adat Sebagai Areal Panen dan Areal Perburuan

Sebagaimana pemanfaatan hutan adat sebagai areal perladangan, masyarakat adat

Papua juga menggunakan hutan adat mereka sebagai areal panen dan areal perburuan.

Areal panen yang kami maksudkan adalah bahwa masyarakat adat Papua selalu

menikmati hasil hutan adat mereka dengan langsung memanen hasil yang ada. Hasil-

hasil yang dipanen tersebut secara alami terdapat di hutan adat mereka. Hasil-hasil

tersebut seperti Sago, Ikan, Buah-Buahan, dan hewan liar (rusa, burung, tikus, babi dll).

Hutan bagi masyarakat adat Papua dianggap sebagai gudang penyedia makan,

tinggal bagaimana mengambilnya. Pada tataran hutan adat Papua, kebanyakan

ditumbuhi oleh Sago yang merupakan makanan pokok mereka. Sago merupakan

tumbuhan liar yang selalu di panen sebagai bahan makanan pokok. Sago tidak ditanam

atau dibudidaya, ia tumbuh sebagai habitasi alam. Selain itu, terdapat buah-buahan

sebagai makanan seperti buah merah, buah matoa, buah pala, dan masih banyak jenis

buah-buahan yang di ambil dari hasil hutan sebagai penyedia kepada masyarakat adat

Papua. Selain itu hutan adat sebagai penyedia pauk, seperti ikan, burung, tikus, babi,

rusa dll. Yaitu masyarakat Papua hanya dengan masuk hutan kawasan adat mereka,

maka sudah pasti mendapat hewan-hewan ini sebagai lauk.

Ukuran Ladang yang

ditandai (saraf)

Menebas

Menebang

Membakar Menanam

Panen

Page 90: FORESTER-TABAM-baik

Inilah mengapa masyarakat adat Papua menganggap hutan adat mereka sebagai

jantung hidup mereka. Hutan dianggap sebagai areal produksi, sehingga setiap marga

menjaga dengan ketat hak ulayat tanah adat mereka tanpa diganggu oleh siapapun

kerabat lain. Setiap konflik yang terjadi antar kerabat di suatu kampung diakibatkan

karena kerabat yang satu mencari hasil hutan di hutan adat kerabat lain sehingga terjadi

konflik atas hak hasil hutan adat mereka. Pada bagian ini, tidak ada siklus kerja, karena

pemilik tanah adat bekerja sebagai penikmat tanpa melakukan budi daya.

3. Hutan Religi (Pemanfaatan Hutan Adat Sebagai Tempat Pemujaan)

Tradisi masyarakat adat Papua mengatakan bahwa hutan adat sebagai tempat

pemujaan kepada yang ilahi. Dalam hutan adat mereka, selain terdapat areal

perladangan, dan sebagai areal panen, ada juga tempat-tempat tertentu yang dijadikan

sebagai tempat kudus atau tempat sakral (pamali) yang mana tempat tersebut hanya

disentuh ketika mengadakan upacara pemujaan kepada sang realitas tertinggi (Tuhan).

Ada mitos yang kental dalam tradisi masyarakat adat Papua bahwa, bila mana

bersentuhan dengan daerah-daerah sakral (tempat pamali), kita akan kena sangsi yang

berakibat fatal sehingga berakibatkan hilang nyawa, atau cacat tubuh. Bersyukur jikalau

ketika itu kita hanya cacat, karena bisa di sembuhkan oleh ketua ritual setempat.

Masyarakat adat Papua menganggap hutan adat mereka sebagai cikal bakal hidup

dan juga asal mu asal manusia (terutama pemilik tanah adat) lahir atau diciptakan atau

keluar dari tanah adat mereka masing-masing. Selain itu, hutan adat dianggap sebagai

tempat berdiamnya arwah nenek moyang mereka, sehingga ketika melakukan ritual-

ritual, mereka selalu percaya bahwa nenek moyang mereka sedang berkumpul dan

mendengar permintaan mereka.

4. Pemanfaatan Hutan Adat Sebagai Tempat Persembunyian

Sejarah kehidupan masyarakat adat Papua mengiktiarkan bahwa ketika terjadi

peperangan suku dimana ketika itu mereka masih hidup sebagai manusia masive, sering

terjadi peperangan antar suku.

Kebanyakan masyarakat adat Papua melakukan persembunyian dengan

memanfaatkan hutan adat mereka sebagai tempat persembunyian. Selain sebagai tempat

persembunyian untuk menyelamatkan diri, hutan adat mereka juga sebagai tempat

Page 91: FORESTER-TABAM-baik

jebakan terhadap musuh seperti membuat ranjau atau semacam perangkap untuk

membunuh musuh mereka. Tempat-tempat persembunyian seperti gua, gunung yang

sisi-sisinya terdapat tebing terjal, dan tempat atau daerah yang jauh semak belukar atau

dalam istilah suku Maybrat disebut snek.

Sebagai mana fungsi pemanfaatan hutan menurut masyarakat adat Papua sehingga

ada filosofi hutan yang kental disebut-sebut oleh masyarakat adat Papua, sebagaimana

yang dikatakan oleh masyarakat adat di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, Tehit adalah

“ỏ, yo sawro yo remo roji to tamos roji to, tkar roji ro mkah bofi boit. Ra ro twok yno

bo kbik-kbak mam remo roji to reto mfibo ait twok yktan tkar oh meto” dapat

diterjemahkan demikian bahwa, hutanku adalah jantung pertahanan hidup saya. jikalau

ada yang merusak hutan adat saya itu sama halnya dengan dia telah masuk dan

menyobek jantung saya.

Inilah hal-hal yang membuat sehingga mengapa masyarakat adat Papau selalu

bersengketa dan terjadinya persengketaan ini tidak lain diakibatkan karena saling

mempertahankan hutan adat mereka masing-masing. Hingga sekarang ini, hal itu masih

kental dipertahankan. Kebanyakan terjadi pemalangan atau ada masyarakat adat yang

sering mengejar orang yang melakukan penggusuran hutan adat mereka dengan tombak

dan pana atau jubi. Ini tidak lain karena didasarkan atas hak kepemilikan hutan adat

mereka dengan tujuan agar jangan ada yang mengganggu ketenteraman hutan adat

mereka sebagaimana yang digariskan dalam filosofi hutan sebagai jantung kehidupan

mereka.

Dalam uraian empat poin pemanfaatan hutan yang dilakukan secara tradisi oleh

masyarakat adat Papua ini dapat kita simpulkan bahwa pada poin ke satu yaitu

pemanfaatan hutan sebagai areal perladangan yang lebih dominan sebagai pola

pengerusakan hutan, disusul poin kedua, yaitu pemanfaatan hutan sebagai hutan panen,

yang mana ketika itu mereka melakukan penebangan terhadap phon sago, dan juga ada

pula beberapa pohon yang berbuah namun susah dipanjat sehingga mereka menebang.

Sedangkan poin ke tiga dan keempat, merupakan hutan yang tidak bisa di bongkar, dan

itu tidak diperbolehkan.

Melalui kesimpulan ini maka dapat kita berikan apresiasi kepada masyarakat adat

Papua, karena mereka tidak semena-mena membongkar hutan adat mereka, namun hal

itu akan dilakukan hanya karena mereka membutuhkannya. Secara tidak sadar bahwa

Page 92: FORESTER-TABAM-baik

mereka telah membantu memberikan suatu sumbangsih terbesar kepada dunia dengan

memelihara habitat ekosistem maka mereka telah menyumbah oksigen yang besar bagi

kehidupan manusia di dunia. Ini harus ada suatu penghargaa yang diberikan oleh dunia

kepada masyarakat adat Papua, karena selain mereka memanfaatkan hutan adat mereka

sebagai areal perladangan, seringkali juga mereka melakukan penanaman pohon pada

bekas pohon besar yang ditebang, apabila pohon itu dianggap sebagai tempat

bersemayam roh, maka sudah pasti ada upacara penebangan pohon dan selain upacara

penebangan harus ada anakan pohon yang ditanam sebagai pengganti ketika dilakukan

upacara.

Mencermati tata cara pemanfaatan hutan adat yang di praktekkan oleh masyarakat

adat Papua sepeti dikemukakan diatas, menunjukkan bahwa masyarakat adat Papua

sebelum membuka ladang atau memanfaatkan hutan adat mereka, harus terlebih dahulu

memulainya dengan mengikuti rangkaian-rangkaian atau proses seperti disebut diatas.

Ini menunjukkan bahwa hal-hal yang menyangkut tanah adat, sebagai hak ulayat adat

kepemilikan hutan-tanah, kecocokan tempat, adalah merupakan sebuah pandangan yang

merujuk pada perspektif tata ruang kosmologis dan waktu secara ekologis yang

mentradisi menurut sistem pengetahuan mereka atas dasar norma pemanfaatan hutan

dalam tata aturan adat mereka. Sistem pemanfaatan hutan adat seperti ini merupakan

bagian dari contoh kebudayaan lokal dan merupakan pola strategi adaptasi masyarakat

adat Papua terhadap ekosistem lingkungan alam hutan adat mereka untuk memperoleh

makanan dan juga untuk mendapat perlindungan hidup. Dalam memandang hutan adat

mereka tersebut, masyarakat adat Papua juga membuat sistem klasifikasi jenis hutan

adat mereka sebagaimana yang dipraktekkan oleh mereka, sebagaimana pada tabel

berikut dibawah ini:

Page 93: FORESTER-TABAM-baik

Tabel: klasifikasi jenis hutan adat Papua berdasarkan klasifikasinya

No Klasifikasi Hutan adat Dasar Klasifikasi1 Semak Belukar lokasi atau Umur Lokasi bekas ladang dan

2bekas PerladanganHutan Sekunder

ukuran besar kecilnya pohonUmur dan Besar Pohon

3 Hutan Primer Umur dan Besar Pohon4 Hutan Produksi Kandungan hasil5 Hutan Religi Tempat sakral (hutan pamali)6 Gunung Perbukitan Ketinggian, mengandung Batu

dan Tumbuhan yang hidup di dalamnya

7 Hutan Persembunyian Lokasi dan Tumbuhan yang Hidup

8 RawaTanah dan tumbuhan yang Hidup di dalamnya

Suber: Hasil analisis Peneliti.

Page 94: FORESTER-TABAM-baik

PEMBAGIAN KAWASAN HUTAN ADAT MENURUT ADATISTIADAT

PAPUA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMELIHARAAN HUTAN

ADAT MEREKA

ebagian besar pakar antropologi bersepakat, bahwa kebudayaan sebagai

sesuatu yang bercikal bakal dalam pembentukkan watak dan perilaku

manusia dan bukan alam. Walaupun alam sebagai lingkungan yang

memaksa manusia harus menyesuaikan diri. Keberhasilan manusia

dalam menaklukkan alam sekitarnya adalah bukti keberhasilan manusia

dalam mencapai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi. Manusia selalu berusaha

menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya sehingga melahirkan suatu pola

tingkah laku yang baru.

SPerubahan suatu lingkungan dapat pula mengakibatkan terjadinya perubahan

kebudayaan dan perubahan kebudayaan dapat pula terjadi karena adanya penemuan

baru, difusi dan akulturasi. Pergerakan manusia dari satu ruang ke ruang yang lain

menyebabkan terjadinya persebaran kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain.

Nilai-nilai dasar kemanusiaan berlaku dan bersifat universal, artinya setiap

masyarakat memilikinya sebagai acuan dalam tatanan kehidupan mereka. Nilai-nilai

kemanusiaan yang menghidupkan asas perikemanusiaan tersimpan cukup banyak dalam

khasanah budaya lokal dan regional. Budaya mengandung hakekat akan keperluan guna

memenuhi kehendak mendasar, yakni agar manusia dapat dan mampu terus hidup,

menyesuaikan diri dengan lingkungan, menata serta memanfaatkannya dalam

melanjutkan generasinya. Manusia dengan memenuhi segala keperluan organik secara

tidak langsung, seperti menggunakan teknologi, kemudian telah mengubah pembawaan

anatomi dalam kaitannya dengan lingkungan alam hutan mereka.

Organisasi manusia yang dibentuknya itu mengandung aturan, teknik atau cara, dan

kekayaan tradisi yang dapat ditransformasikan dari satu kelompok ke kelompok lain.

Penentuan nilai-nilai adat motif manusia yang teratur yang dengan pedoman itu

mendorong manusia bekerja sama, memenuhi dan memelihara tradisi dan kepercayaan

Page 95: FORESTER-TABAM-baik

dengan penuh emosi. Dengan kebudayaan yang dimilikinya, suatu masyarakat akan

mengatur perilaku mereka dalam hubungannya dengan lingkungan hutan alam

sekitarnya, demikian pula dalam interaksi dan interelasi sosial maupun dengan dunia

supranatural mereka.

Perubahan sosial dan kebudayaan ini dapat berakibatkan hal yang menguntungkan

atau sebaliknya merugikan. Suatu perubahan yang terjadi mengharuskan perlunya

memodifikasi pola tingkah laku. Dalam menghadapi lingkungan fisik, maka manusia

selalu dan cenderung mendekatkan diri mereka dengan lingkungan alam dan hutan

mereka melalui budaya yang dimilikinya, yaitu melalui sibol, makanan, tata

penggunaan, dan sisitem nilai.

Dalam hubungan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan dan agar mampu terus

hidup, menyesuaikan diri dengan lingkungan, menata serta memanfaatkannya dalam

melanjutkan generasinya, maka dalam kehidupan masyarakat adat Papua pun terdapat

beberapa cara dan praktek pengelolaan kawasan hutan adat mereka khususnya hutan

menurut adat istiadat dan budaya yang dimiliki mereka masing-masing.

a. Pembagian Kawasan menurut adat Papua

Pola dasar pembagian kawasan atau hutan adat oleh masyarakat adat Papua pada

dasarnya dibagi dalam beberapa kawasan dan diberi nama sesuai kandungan

sumberdaya alam yang terdapat didalamnya serta tujuan pemanfaatan sumberdaya

tersebut. Pembagian lahan hutan adat oleh masyarakat adat Papua sebenarnya

merupakan salah satu pola pengaturan tata ruang yang dimaksudkan untuk menjaga

hutan, tanah dan air agar tetap lestari serta untuk menjaga agar dalam ruang tersebut

tidak terjadi konflik terutama dalam hal pemanfaatannya.

Pembagian kawasan hutan adat oleh nenek moyang/leluhur masyarakat adat Papua

ini merupakan salah satu konsep dasat tata ruang yang dibangun berdasarkan pemikiran

lokal (local think), namun tetap memiliki artikulasi yang sangat besar dalam

pemanfaatan ruang (lahan) hutan adat mereka yang ada. Karena sebelum masyarakat

moderen yang dibekali dengan pengetahuan dan teknologi menyusun konsep tata ruang

ditengah masyarakat adat Papua, ini juga terjadi pada masyarakat adat atau masyarakat

tradisional di daerah lain. Kelihatannya masyarakat adat Papua sudah terlebih dahulu

Page 96: FORESTER-TABAM-baik

memperkenalkan sebuah sistem tata ruang berdasarkan pola pikir dan tradisi adat

istiadat yang mereka miliki.

Pembagian ini dimaksudkan agar supaya jangan sampai terjadi overlap antara

berbagai kepentingan dalam kehidupan masyarakat adat Papua di kemudian hari,

mengingat tata aturan dan kegunaan hutan sebagai hal yang diproposisikan sebagai hal

yang menduduki predikat kehidupan utama.

Dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan lahan hutan adat ini, salah satu bagian

yang tidak terpisahkan dalam tata aturan hutan adat Papua adalah sistem kepemilikan.

Sistem kepemilikan hutan adat ini menurut masyarakat adat Papua merupakan

kepemilikan komunal.

Dasar hak milik di kalangan masyarakat adat Papua terletak pada hutan-hutan dan

batas-batas keret/fam/marga yang secara turun temurun di jaga dan dilestarikan oleh

nenek moyang sehingga merupakan hak milik dan hak pakai mereka hingga kapanpun.

Inilah yang disebut sebagai hak adat atau hak komunal, yaitu wilayah, hutan-hutan yang

harus dijaga dan dilestarikan sesuai dengan tata aturan hutan yang telah mereka

terapkan sepanjang hidup mereka.

Sistem kepemilikan tanah adat menurut masyarakat adat Papua ini sudah diatur

berdasarkan kesepakatan-kesepakatan adat yang sudah diterapkan secara bersama-sama.

Pembagian sistem kepemilikan tanah adat ini didasarkan kepada hak penguasa tanah

adat yang sudah diwariskan turun-temurun. Pembagian ini berdasarkan silsilah asal mu

asal marga tersebut yang mana sering mengatakan bahwa mereka keluar atau diciptakan

dari tanah adat mereka dan mereka hidup di wilayah adat mereka. Sistem pembagian

hutan adat ini tidak diatur secara formal, berupa pembuatan akte tanah, tetapi cukup

berdasarkan kesepakatan bersama yang sudah diatur dari nenek moyang.

Secara teknis, garis tapal batas tanah adat Papua antara pemilik tanah biasanya

ditarik melalui titik tertentu dengan menggunakan tanda-tanda alam, seperti pohon

besar, aliran sungai, puncak bukit, jejeran tebing, tumpukan batu berupa pagar, tanaman

bunga dan lain sebagainya, yang disepakati bersama atau yang menurut legenda

masyarakat adat Papua masing-masing diyakini kebenarannya oleh semua warga

masyarakat adat setempat. Pola dasar tata guna lahan adat di Papua terbagi dalam

beberapa kawasan yang berbeda dan diberi nama sesuai dengan kandungan sumberdaya

alam yang terdapat di dalamnya serta fungsi dan tujuan dan pemanfaatan sumberdaya

Page 97: FORESTER-TABAM-baik

tersebut. Batas setiap kawasan hutan adat Papua ditentukan dengan dibuatnya tanda-

tanda khusus atau dibatasi oleh tanda-tanda alam seperti sungai, pohon besar, batu

besar, bukit, tebing berjejer dan lain sebagainya.

Pandangan masyarakat adat Papua mengenai hutan adat mereka dapat dilihat pada

pengelompokan atau kategorisasi tentang hutan-hutan adat mereka sebagaimana adanya.

Terdapat beberapa kategori yang didasarkan pada fungsi lahan hutan adat itu sendiri.

Didalam kategori ini juga terdapat hutan adat sebagai bagian penting dalam praktek

pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang ada. Masyarakat adat Papua memandang

bahwa setiap hutan adat mereka harus dilihat secara intensif hingga maknanya dalam

kehidupan mereka sehari-hari. Olehkarena itu, dalam mengelola dan memanfaatkan

hutan adat, masyarakat adat Papua selalu memperhatikan aturan-aturan adat yang sudah

ditetapkan untuk menjadi pijakan bagi pelaksanaan pengelolaan kawasan tersebut.

Karena itu terciptalah pokok-pokok pandangan hidup masyarakat adat Papua mengenai

lingkungan hutan adat mereka dengan sumberdaya alamnya selalu terangkum dalam

filosofi-filosofi tertentu, misalnya seperti yang diungkapkan oleh masyarakat adat Papua

dari suku Maybrat sebagai beriktu;

Anu bhou mam remo wanu to bhou bit bo tna bta aya mbam tabam reto

Anu bhou mam remo wanu bmat sas bawya ro wanu ro mhou mweto

Anu krek safo tabam wanu mkah vito beta

Anu bhou bmat sas remo wanu kaket tna bno bo ro mkah riof tna bhaha anya afo kbe o,

tabam, remo wanu mkah bombra beta msiwian weya k’anu

Artinya:

Kita mendiami tempat dimana kita hidup dan makan dari tanahnya

Kita menempati tempat kita dan tetap menjaga apa yang menjadi bagian hak kita

Kita memikul semua kepentingan tanah adat kita dengan hukum-hukum adat

Kita hidup dengan menghargai hutan adat kita dengan melakukan hal-hal yang jujur

penuh hormat agar tanah adat leluhur memberikan kita kebahagiaan dan berkat

Makna dari filosofi di atas adalah bahwa sesungguhnya masyarakat adat Papua

mempunyai suatu pandangan dan sikap yang arif terhadap tata lingkungan dan

sumberdaya alam disekitarnya sebagai sumber kehidupan yang tidak hanya sekedar

diambil hasilnya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, tetapi juga menjadi sebuah

Page 98: FORESTER-TABAM-baik

keharusan dan wajib untuk dipelihara dan dihormati sebagai sesama makhluk ciptaan

Tuhan yang mendiami planet ini.

Masyarakat adat Papua juga mengenal adanya hutan keramat atau hutan pamali.

Hutan pamali ini selalu dihubungkan dengan kehidupan nenek moyang mereka yang

hidup dalam dunia atau dimensi alam lain diluar kehidupan moral umat manusia.

Masyarakat adat Papua meyakini bahwa nenek moyang mereka menempati daerah

tertentu di sekitar hutan adat mereka. Karena itu tempat tersebut tidak boleh diolah,

disentuh, diganggu ataupun dijamah oleh siapapun, karena akan terjadi petaka jika

dilanggar.

Jalinan tradisi adat istiadat masyarakat adat Papua dalam tata kelola hutan adat

mereka, selalu mengikuti tata aturan dan fungsi areal hutan yang sudah ditentukan oleh

keturunan terdahulu. Misalnya hutan pamali, selalu dijadikan sebagai tempat dimana

mereka menghubungkan diri mereka dengan Yang Maha Kuasa, yang mempunyai dan

menciptakan dunia ini. Masyarakat adat Papua percaya bahwa didalam dunia ini ada

yang memiliki kuasa melebihi kuasa manusia, karena itu manusia perlu menyembah dan

memohon segala sesuatu hanya kepada-Nya. Selain kepada Yang Maha Kuasa,

masyarakat adat Papua juga menyadari bahwa kehidupan mereka juga sangat tergantung

kepada lingkungan dimana mereka tinggal. Karena itu, lingkungan hutan adat mereka

itu selalu dan perlu dijaga, dirawat dan dilestarikan berdasarkan aturan-aturan adat yang

dimilikinya. Lingkungan hutan adat mereka memberikan mereka makan, tempat tinggal,

tempat bertapa, tempat mereka hidup sebagai bagian dari ciptaan Yang Maha Kuasa.

Lihat gambar relasi hubungan sibernitas antar manusia dengan Tuhan, manusia dengan

manusia, manusia dengan alam lingkungan hutan adat, manusia dan leluhur, berikut ini:

Gambar: Sibernitas relasi antar manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dengan lingkungan dan

dengan Leluhur menurut masyarakat adat Papua. (sumber hasil analisis peneliti)

Tuhan

Manusia

Leluhur

Hutan adat lingkungan hidup

Page 99: FORESTER-TABAM-baik

AKUMULASI AKIBAT KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN DAN

EFEKNYA MENURUT BEBERAPA PANDANGAN

ebagian ilmuwan telah memprediksikan bahwa dunia ini akan tiba pada

ambang kehancuran, itu disebabkan karena tidak adanya keseimbangan

lingkungan alam sebagai pengatur utama yang memberikan kekebalan pada

kulit ozon planet bumi sehingga terjadi ancaman penghancuran rumah kaca

yang terkenal dengan kejadian elnino. Selain dari pada itu, marilah kita mencoba

membuat suatu acak pandangan dari beberapa perspektif tentang kerusakan lingkungan

alam dan efeknya.

Sa. Menurut Alkitab.

Sebagaimana yang di kampanyekan oleh umat kristiani bahwa, mengasihi,

memelihara, melindungi dan melayani adalah merupakan hukum terbesar sepanjang

sejarah perjalanan keimanan umat kristiani.

Dalam catatan biblikal mengatakan bahwa dunia akan tiba pada titik kehancuran

bukan karena umurnya, melainkan karena ulah manusia itu.

Sebagaimana tersirat dalam kitab Yesaya 24: 3-6 yang bunyinya sebagai berikut:

(3) Bumi akan ditanduskan setandus-tandusnya, dan akan dijarah sehabis-habisnya,

sebab TUHANlah yang mengucapkan firman ini. (4) Bumi berkabung dan layu, ya,

dunia merana dan layu, langit dan bumi merana bersama. (5) Bumi cemar karena

penduduknya, sebab mereka melanggar undang-undang, mengubah ketetapan dan

mengingkari perjanjian abadi. (6) sebab itu sumpah serapah akan memakan bumi, dan

penduduknya akan mendapat hukuman; sebab itu penduduk bumi akan hangus lenyap,

dan manusia akan tinggal sedikit. Secara keimanan Kristen, telah tercatat secara jelas

bahwa Tuhan akan membuat perhidungan dengan manusia sebagai penghuni planet

bumi. Sepertinya Ia akan menyiksa manusia karena melanggar aturan dan janji Allah

tentang alam ciptaan-Nya.

Page 100: FORESTER-TABAM-baik

b. Menurut Pandangan Global

Sebagaimana sains mengukurnya bahwa, dunia semakin panas karena batas

kekuatan dan kekebalan kulit bumi yang bergantung pada keseimbangan dan suplai

oksigen yang baik, namun akhirnya mulai terganggu dan mengakibatkan terjadinya

panas global. Lihat uraian rincinya berikut:

- Pemanasan Global

Pemanasan global atau Global

Warming adalah adanya proses

peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut,

dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global

pada permukaan Bumi telah meningkat

0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama

seratus tahun terakhir. Intergovernmental

Panel on Climate Change (IPCC)

menyimpulkan bahwa, "sebagian besar

peningkatan suhu rata-rata global sejak

pertengahan abad ke-20 kemungkinan

besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas

manusia melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh

setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari

negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju

dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu

permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun

1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-

skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-

model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus

pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air lautdiperkirakan akan

terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca

telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-

perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas

Anomali temperatur permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan dibandingkan pada

temperatur rata-rata dari 1940 sampai 1980

Page 101: FORESTER-TABAM-baik

fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-

akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya

gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah

pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan

serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke

daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia

mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau

membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-

konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah

menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan

emisi gas-gas rumah kaca.

- Penyebab Pemanasan Global

1) Efek Rumah Kaca

Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian

besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak.

Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang

menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan

memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah

gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di

atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon

dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini

menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan

akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus

menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.

Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin

meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang

terperangkap di bawahnya.

Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di

bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-

rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F)dari

temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga

Page 102: FORESTER-TABAM-baik

es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas

tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

2) Efek Umpan Balik

Analisis penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses

umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus

pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada

awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena

uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan

menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi

uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat

gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di

udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena

udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan

karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.

Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat

ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke

permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari

atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke

angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya

menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail

tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit

direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila

dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar

125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke

Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila

dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan)

dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan

cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat

kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya

es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air

memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es,

Page 103: FORESTER-TABAM-baik

dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah

pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus

yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah

beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan.

Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan

balik positif.

Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia

menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic

sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan

penyerap karbon yang rendah.

3) Variasi Matahari

Variasi Matahari selama 30 tahun

terakhir. Artikel utama untuk bagian ini

adalah: Variasi Matahari Terdapat

hipotesa yang menyatakan bahwa variasi

dari Matahari, dengan kemungkinan

diperkuat oleh umpan balik dari awan,

dapat memberi kontribusi dalam

pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek

rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer

sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer

bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila

aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan

ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi

mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan

aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-

industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.

Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari

mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University

mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50%

peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35%

Page 104: FORESTER-TABAM-baik

antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim

yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas

rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan

bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang

remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan

meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar

pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah

kaca.

Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss

menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan"

dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi

peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun

terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah

penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara

pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari

output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.

4) Mengukur Pemanasan Global

Hasil pengukuran konsentrasi CO2

di Mauna Loa. Pada awal 1896, para

ilmuan beranggapan bahwa membakar

bahan bakar fosil akan mengubah

komposisi atmosfer dan dapat

meningkatkan temperatur rata-rata global.

Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957

ketika para peneliti yang bekerja pada

program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel

atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.

Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon

dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat.

Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan

konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.

Page 105: FORESTER-TABAM-baik

Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat,

tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus

bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu

bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu

kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan

kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak

dapat dipercaya.

Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga

pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan

dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak

1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari

perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat,

terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih

akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-

benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat

selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi

setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.

Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on

Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat

0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan

tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah

kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan

meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.

IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer

tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode

tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap

berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya

kembali.

Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi

karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-

22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan

iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi

Page 106: FORESTER-TABAM-baik

beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan

risiko populasi yang sangat besar.

5) Model Iklim

Prakiraan peningkatan temperature

terhadap beberapa skenario kestabilan

(pita berwarna) berdasarkan Laporan

Pandangan IPCC ke Empat. Garis hitam

menunjukkan prakiraan terbaik; garis

merah dan biru menunjukkan batas-batas

kemungkinan yang dapat terjadi.

Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim

berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang

dilakukan untuk mengurangi emisi.

Artikel utama untuk bagian ini

adalah: Model iklim global Para ilmuan

telah mempelajari pemanasan global

berdasarkan model-model computer

berdasarkan prinsip-prinsip dasar

dinamikan fluida, transfer radiasi, dan

proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan

kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas

rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat. Walaupun digunakan asumsi-asumsi

yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya

masih akan berada pada suatu rentang tertentu.

Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas

rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C

hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Model-model iklim

juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi

saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model

terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.

Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan

perubahan temperature global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi

Page 107: FORESTER-TABAM-baik

tidak mensimulasi semua aspek dari iklim. Model-model ini tidak secara pasti

menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan

oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa

pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.

Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan

berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap

Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang

dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon;

yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih

belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan

200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.

Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan

ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah

ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini. Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi

yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek

umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.

6) Dampak Pemanasan Global

Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan

sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut,

para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global

terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan

kesehatan manusia.

7) Iklim Mulai Tidak Stabil

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian

Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari

daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan

akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-

daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya

lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin

sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa

area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Page 108: FORESTER-TABAM-baik

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang

menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut

malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini

disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan

meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga

akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya

matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan

(lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-

rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di

seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai

akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah.

Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan

bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane)

yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar.

Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin

mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.

8) Peningkatan Permukaan Laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut

diukur dari daerah dengan lingkungan yang

stabil secara geologi.

Ketika atmosfer menghangat, lapisan

permukaan lautan juga akan menghangat,

sehingga volumenya akan membesar dan

menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan

juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih

memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat

10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi

peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.

Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah

pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda,

17,5 persen daerah Bangladesh, pulau Jakarta Indonesia, sebagian bagian Surabaya dan

banyak pulau-pulau di dunia yang akan tenggelam. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit

Page 109: FORESTER-TABAM-baik

pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air

pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang

sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin

mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem

pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai

di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan

dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar

dari Florida Everglades.

9) Suhu Global Cenderung Meningkat

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih

banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa

tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan

dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan

pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh.

Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh

dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai

reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman

pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

10) Gangguan Ekologis

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek

pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan

global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan.

Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat

lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi

perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi

oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies

yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

11) Dampak Utama

Page 110: FORESTER-TABAM-baik

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-

penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang

panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan

malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat

mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan

dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma.

Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-

tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi

mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.

Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit

melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-

borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya

ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adanya perubahan

iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri,

plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang targetnya adalah

organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksikan bahwa ada beberapa spesies yang

secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang

ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change) yang bisa

berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau

panjang/kebakaran hutan, demam berdarah, ini berkaitan dengan musim hujan tidak

menentu).

Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga

berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula

dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan

berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi,

coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

12) Perdebatan Tentang Pemanasan Global

Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global.

Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat.

Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa

masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan

seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia

Page 111: FORESTER-TABAM-baik

terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga

meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan

berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.

Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan

tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global

dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung

berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa

pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan

selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer,

lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi,

pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan

tersebut.

Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi

udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat

ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke

angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi

karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.

Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi

disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama

memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada

tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)

memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di

seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan

adanya kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi

0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun

terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.

Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit

pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus,

pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan

Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh

National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa

Page 112: FORESTER-TABAM-baik

pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran

troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.

13) Pengendalian Pemanasan Global

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun.

Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang

dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah

mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah

semakin berubahnya iklim di masa depan.

Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat

dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara

lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang

lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan

dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang

belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan

berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.

Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas

rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan

menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut

carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah

kaca.

14) Menghilangkan Karbon

Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah

dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama

yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak,

memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh

dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di

banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan

kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian

atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan

penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas

rumah kaca.

Page 113: FORESTER-TABAM-baik

Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan

menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong

agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa

dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak,

lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran

lepas pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama

gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali

ke permukaan.

Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan

bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri

pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk

kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20,

energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren

penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi

jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida

lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan

batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih

mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial

karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas

karbon dioksida sama sekali.

15) Persetujuan Internasional

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Protokol Kyoto Kerjasama

internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di

tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk

menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini

dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara

merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.

Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-

negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas

rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun

1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya,

Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius,

Page 114: FORESTER-TABAM-baik

menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa,

yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6

persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk

berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.

Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih,

George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida

tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan

bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan

karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara

industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca

pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun

2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan

untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.

Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian

ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi

gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti,

terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan

menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini

memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat

terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-

perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para

penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan

Protokol Kyoto dapat mencapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya

energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan

hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan

dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses

industri yang lebih effisien.

Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat

terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi

emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara

industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai

Page 115: FORESTER-TABAM-baik

macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi

karbon dioksida.

Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto

bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti

peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk

memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu

negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan

dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut

perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya,

seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan

biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila

sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas

rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya

lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit

emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.

Page 116: FORESTER-TABAM-baik

USULAN KONSEP DAN REKOMENDASI

PENANGANAN LINGKUNGAN HIDUP

SEBAGAI PENGENDALIAN PEMANASAN GLOBAL

Telah banyak kita ulas tentang sistem tata lingkungan dan pola perladangan

tradisional yang dikembangkan oleh masyarakat adat Papua dan secara global telah

diuraikan pengaruh kerusakan ekosistem lingkungan hidup dan pengaruhnya secara

global, maka di usulkan beberapa konsep dan rekomendasi penanganan lingkungan

hidup secara komunal dan global sebagai berikut:

1. Sistem komunal menyangkut, tata laksana pelestarian lingkungan hidup alam

sekitar yang diterapkan secara turun temurun oleh masyarakat adat Papua,

harus mendapt perhatian dan perlu adanya dukungan global, karena terancam

disubtitusikan dengan pola pemberian Hak Pengelolaan Hutan (HPH) oleh

Pemerintah kepada pihak tertentu, (bukan masyarakat adat) sehingga proses

kerusakan hutan semakin cepat. Karena yang dilakukan oleh HPH adalah

eksploitasi, bukan pelestarian.

Ini merupakan usulan dan rekomendasi konsep penanganan lingkungan

hidup hutan adat di Papua yang secara komunal sudah fasih diterapkan oleh

masyarakat adat Papua sehingga hutan adat lingkungan hidup mereka tetap

utuh. Boleh dijadikan sebagai suatu rujukan global dalam pola penanganan

lingkungan hidup secara global dari komunal.

2. Di usulkan agar Konsep penanganan tata lestari lingkungan hidup dan

ekosistem ditangani secara sistem adat atau pola komunal. Karena secara

sistem adat, masyarakat adat di lingkungan adat mereka sangat mengerti dan

begitu memahami tentang betapa berharga dan betapa pentingnya hubungan

hidup mereka dengan lingkungan alam hutan adat mereka (terutama yang

berhubungan dengan hutan leluhur mereka). Ini merupakan usulan dan

rekomendasi.

3. Diharapkan agar isi pasal dan ayat dalam perjanjian protokol Kyoto, supaya

memasukkan konsep penanganan tata laksana pelestarian lingkungan hidup

dengan pola komunal, sebagai strategi penanganan resmi. Selain itu, konsep

Page 117: FORESTER-TABAM-baik

penanganan secara komunal ini terutama diterapkan pada negara-negara yang

masih kental dengan budaya adat istiadat komunal dalam penanganan tata

laksana pelestarian lingkungan hutan alam mereka secara turun temurun.

4. Diusulkan agar supaya selain negara-negara industri bertanggung jawab

menyumbang beberapa persen dari emisi gas rumah kaca, dan membeli kredit

polusi di pasar saja, akan tetapi juga adanya kompensasi langsung yang

diberikan tersendiri kepada daerah atau kepulauan tertentu yang secara

komunal menjaga pelestarian lingkungan alam mereka secara baik. Misalnya

seperi pulau Kalimantan dan pulau Papua, di Indonesia. Kompensasi selain

diberikan kepada Pemerintah, juga ada yang diberikan khusus kepada kedua

pulau tersebut.

Konsep usulan ini sebagai salah satu motifasi agar supaya masyarakat

setempat semakin bersemangat dalam menangani dan melestarikan

lingkungan alam mereka. Pemberian kompensasi ini diberikan langsung

terutama kepada masyarakat yang berada dan bersentuhan langsung dengan

lingkungan alam sekitarnya.

Mengapa harus diberikan kompensasi? Konsep ini menurut kami sebagai

syarat utama untuk menjawab kebutuhan ekonomi masyarakat setempat, yang

diharapkan sebagai pemutus mata rantai ketergantungan mereka terhadap

lingkungan alam sebagai pensuplai utama hasil ekonomi mereka. Karena

disadari bahwa, kerusakan lingkungan alam di akibatkan oleh adanya tekanan

ekonomi yang memaksa masyarakat adat sehingga terpaksa lingkungan alam

disekitarnya menjadi fokus sasaran yang harus di eksploitasi sebagai alternatif

pemenuhan ekonomi mereka.

Semoga konsep ini bisa menjadi alternatif baik dan juga sebagai suatu berkat

yang luar biasa bagi keberlanjutan hidup manusia.

Akhir kata saya titip beban pikiran pribadi saya kepada kawan seperjuangan

yang lain, yaitu ingatlah bahwa: “ semua berhak untuk

diselamatkan ”. Dengan menyelamatkan alam merupakan proses

menyelamatkan hidup kita.

Page 118: FORESTER-TABAM-baik