forensik ku1.docx

17
Menurut ILCOR (Internasional Liaison Committee on Resuscitation) tenggelam didefinisikan sebagai proses yang menyebabkan gangguan pernafasan primer akibat submersi/imersi pada media cair. Submersi merupakan keadaan dimana seluruh tubuh, termasuk sistem pernafasan, berada dalam air atau cairan. Sedangkan imersi adalah keadaan dimana terdapat air/cairan pada sistem konduksi pernafasan yang menghambat udara masuk. Akibat dua keadaan ini, pernafasan korban terhenti, dan banyak air yang tertelan. Setelah itu terjadi laringospasme. Henti nafas atau laringospasme yang berlanjut dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Tanpa penyelamatan lebih lanjut, korban dapat mengalami bradikardi dan akhirnya henti jantung sebagai akibat dari hipoksia. Di negara maju seperti Amerika Serikat, 15% dari anak sekolah mempunyai risiko meninggal akibat tenggelam dalam air. Ini dihubungkan dengan perubahan musim. Pada musim panas anak-anak lebih tertarik bermain di kolam renang, danau, sungai, dan laut karena mereka menganggap bermain air sama dengan santai sehingga mereka lupa terhadap tindakan pengamanan. Di Indonesia, kita tidak banyak mendengar berita tentang anak yang mengalami kecelakaan di kolam renang sesuai dengan keadaan sosial ekonomi negara kita. Tetapi, mengingat keadaan Indonesia yang dikelilingi air, baik lautan, danau, maupun sungai, tidak mustahil jika banyak terjadi kecelakaan dalam air seperti hanyut dan terbenam yang belum diberitahukan dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. Kejadian hampir tenggelam, 40% terjadi pada sebagian besar anak-anak laki-laki untuk semua kelompok usia dan umumnya terjadi karena kurang atau tidak adanya pengawasan orang tua. Beberapa faktor lainnya yang menyebabkan kejadian hampir tenggelam pada anak adalah tidak ada

Transcript of forensik ku1.docx

Page 1: forensik ku1.docx

Menurut ILCOR (Internasional Liaison Committee on Resuscitation) tenggelam didefinisikan sebagai

proses yang menyebabkan gangguan pernafasan primer akibat submersi/imersi pada media cair. Submersi

merupakan keadaan dimana seluruh tubuh, termasuk sistem pernafasan, berada dalam air atau cairan.

Sedangkan imersi adalah keadaan dimana terdapat air/cairan pada sistem konduksi pernafasan yang

menghambat udara masuk. Akibat dua keadaan ini, pernafasan korban terhenti, dan banyak air yang tertelan.

Setelah itu terjadi laringospasme. Henti nafas atau laringospasme yang berlanjut dapat menyebabkan hipoksia

dan hiperkapnia. Tanpa penyelamatan lebih lanjut, korban dapat mengalami bradikardi dan akhirnya henti

jantung sebagai akibat dari hipoksia.

Di negara maju seperti Amerika Serikat, 15% dari anak sekolah mempunyai risiko meninggal akibat

tenggelam dalam air. Ini dihubungkan dengan perubahan musim. Pada musim panas anak-anak lebih tertarik

bermain di kolam renang, danau, sungai, dan laut karena mereka menganggap bermain air sama dengan santai

sehingga mereka lupa terhadap tindakan pengamanan.

Di Indonesia, kita tidak banyak mendengar berita tentang anak yang mengalami kecelakaan di kolam

renang sesuai dengan keadaan sosial ekonomi negara kita. Tetapi, mengingat keadaan Indonesia yang

dikelilingi air, baik lautan, danau, maupun sungai, tidak mustahil jika banyak terjadi kecelakaan dalam air

seperti hanyut dan terbenam yang belum diberitahukan dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.

Kejadian hampir tenggelam, 40% terjadi pada sebagian besar anak-anak laki-laki untuk semua

kelompok usia dan umumnya terjadi karena kurang atau tidak adanya pengawasan orang tua. Beberapa faktor

lainnya yang menyebabkan kejadian hampir tenggelam pada anak adalah tidak ada

pengalaman/ketidakmampuan berenang, bernapas terlalu dalam sebelum tenggelam, penderita epilepsi,

pengguna obat-obatan dan alkohol, serta kecelakaan perahu mesin dan perahu dayung. Dalam hal ini, maka

pertolongan kegawat daruratan dengan pasien tenggelam harus dilakukan secara cepat dan tepat untuk

menghindari terjadinya kolaps pada alveolus, lobus atas atau unit paru yang lebih besar.

Penatalaksanaan tindakan kegawat daruratan ini tentunya harus dilakukan secara benar dengan tujuan

untuk mencegah kondisi korban lebih buruk, mempertahankan hidup serta untuk peningkatan pemulihan.

DEFINISI TENGGELAM

Tenggelam dapat diartikan sebagai kematian akibat pembenaman di dalam air. Konsep asli mekanisme

kematian akibat tenggelam adalah asfiksia, ditandai dengan masuknya air ke dalam saluran pernapasan.

Penelitian pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an menyebutkan bahwa kematian akibat tenggelam

disebabkan oleh gangguan elektrolit atau aritmia jantung, yang dihasilkan oleh sejumlah besar air yang masuk

ke sirkulasi melalui paru-paru. Sekarang, konsep dasar tersebut benar, dan fisiologi kematian yang terpenting

Page 2: forensik ku1.docx

pada kasus tenggelam adalah asfiksia.1

Diagnosis kematian akibat tenggelam kadang-kadang sulit ditegakkan, bila tidak dijumpai tanda yang

khas baik pada pemeriksaan luar atau dalam. Pada mayat yang ditemukan tenggelam dalam air, perlu pula

diingat bahwa mungkin korban sudah meninggal sebelum masuk ke dalam air.

Beberapa istilah drowning

1. Wet drowning. Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan setelah korban tenggelam.

2. Dry drowning. Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran pernapasan, akibat spasme

laring. Paru-paru tidak menunjukkan bentuk yang bengkak (udem). Tetapi, terjadi hipoksia otak yang

fatal akibat spasme laring. Dry drowning terjadi 10-15% dari semua kasus tenggelam. Teori

mengatakan bahwa sejumlah kecil air yang masuk ke

laring atau trakea akan mengakibatkan spasme laring yang tiba-tiba yang dimediasi oleh

1 2

refleks vagal. ’

3. Secondary drowning/near drowning. Terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam (dan

diangkat dari dalam air) dan korban meninggal akibat komplikasi.

4. Immersion syndrome. Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks

vagal. Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.

FISIOLOGI TENGGELAM

Page 3: forensik ku1.docx

Ketika manusia masuk ke dalam air, reaksi dasar mereka adalah mempertahankan jalan napas mereka.

Ini berlanjut sampai titik balik dicapai, yaitu pada saat seseorang akan menarik napas kembali. Titik balik ini

terjadi karena tingginya kadar CO2 dalam darah dibandingkan dengan kadar O2. Ketika mencapai titik balik,

korban tenggelam akan kemasukan sejumlah air, dan sebagian akan tertelan dan akan ditemukan di dalam

lambung. Selama interval ini, korban mungkin muntah dan mengaspirasi sejumlah isi lambung. Setelah proses

respirasi tidak mampu mengompensasi, terjadilah hipoksia otak yang bersifat ireversibel dan merupakan

penyebab kematian.1

Mekanisme kematian pada korban tenggelam:

1. Asfiksia akibat spasme laring

Gambar 1. Mekanisme hipoksia otak pada kasus tenggelam (dikutip dari kepustakaan 3)

Page 4: forensik ku1.docx

2. Asfiksia karena gagging dan chocking

3. Refleks vagal

4. Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar)

5. Edema pulmoner (dalam air asin)

GEJALA KLINIS

Gambaran klinik korban tenggelam sangat bervariasi berhubungan dengan lamanya tenggelam. Conn dan

Barker mengembangkan suatu klasifikasi yang dianggap bermanfaat untuk pedoman yang sangat berguna bila

digunakan pada 10 menit pertama.

Page 5: forensik ku1.docx

TENGGELAM DALAM AIR TAWAR

Pada keadaan ini terjadi absorpsi cairan yang massif. Karena konsentrasi elektrolit dalam

air tawar lebih rendah daripada konsentrasi dalam darah, maka terjadi hemodilusi darah, air

masuk ke dalam cairan darah sekitar alveoli dan mengakibatkan pecahnya sel darah merah

2

(hemolisis).

Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan ini dengan

melepaskan ion Kalium dari serabut otot jantung sehingga kadar ion dalam plasma Kalium

meningkat, terjadi perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabut otot jantung dan

dapat mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah, yang kemudian

2

menyebabkan kematian akibat anoksia otak. Kematian terjadi dalam waktu 5 menit.

TENGGELAM DALAM AIR ASIN

Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga air akan

ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan interstitial paru yang akan meninbulkan edema

pulmoner, hemokonsentrasi, hipovolemi, dan kenaikan kadar Magnesium dalam darah.

payah jantung. Kematian terjadi kira-kira dalam waktu 8-9 menit setelah tenggelam.2

PENATALAKSANAAN

Prinsip pertolongan di air :

Page 6: forensik ku1.docx

1) Raih ( dengan atau tanpa alat ).

2) Lempar ( alat apung ).

3) Dayung ( atau menggunakan perahu mendekati penderita ).

4) Renang ( upaya terakhir harus terlatih dan menggunakan alat apung ).

Penanganan pada korban tenggelam dibagi dalam tiga tahap, yaitu:

1. Bantuan Hidup Dasar

Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan fokus utama pada

perbaikan jalan napas dan oksigenasi buatan, terutama pada korban yang mengalami penurunan

kesadaran. Bantuan hidup dasar pada korban tenggelam dapat dilakukan pada saat korban masih

berada di dalam air. Prinsip utama dari setiap penyelamatan adalah mengamankan diri

penyelamat lalu korban, karena itu, sebisa mungkin penyelamat tidak perlu terjun ke dalam air

untuk menyelamatkan korban. Namun, jika tidak bisa, penyelamat harus terjun dengan alat bantu

apung, seperti ban penyelamat, untuk membawa korban ke daratan sambil melakukan

penyelamatan. Cedera servikal biasanya jarang pada korban tenggelam, namun imobilisasi

servikal perlu dipertimbangkan pada korban dengan luka yang berat.

2. Penilaian pernapasan

Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan normal setelah

pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu pemberian napas buatan dengan rasio 30:2.

Terdapat tiga cara pemberian napas buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to mask,

dan mouth to neck stoma.

Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian napas bantuan untuk

mengurangi hipoksemia. Pemberian napas buatan inisial yaitu sebanyak 5 kali. Melakukan

pernapasan buatan dari mulut ke hidung lebih disarankan karena sulit untuk menutup hidung

korban pada pemberian napas mulut ke mulut. Pemberian napas buatan dilanjutkan hingga 10 -

15 kali selama sekitar 1 menit. Jika korban tidak sadar dan tenggelam selama <5 menit,

pernapasan buatan dilanjutkan sambil menarik korban ke daratan. Namun, bila korban tenggelam

lebih dari 5 menit, pemberian napas buatan dilanjutkan selama 1 menit, kemudian bawa korban

langsung ke daratan tanpa dKompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak

Page 7: forensik ku1.docx

bernapas dengan normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami henti jantung akibat

dari hipoksia. Pemberian kompresi ini dilakukan di atas tempat yang datar dan rata dengan rasio

30:2. Namun, pemberian kompresi intrinsik untuk mengeluarkan cairan tidak disarankan, karena

tidak terbukti dapat mengeluarkan cairan dan dapat berisiko muntah dan aspirasi.

Selama proses pemberian napas, regurgitasi dapat terjadi, baik regurgitasi air dari paru

maupun isi lambung. Hal ini normal terjadi, namun jangan sampai menghalangi tindakan

ventilasi buatan. Korban dapat dimiringkan dan cairan regurgitasinya dikeluarkaniberikan napas

buatan.

3. Bantuan hidup lanjut

Tersedianya sarana bantuan hidup dasar dan lanjutan ditempat kejadian merupakan hal

yang sangat penting karena beratnya cedera pada sistem saraf pusat tidak dapat dikaji dengan

cermat pada saat pertolongan diberikan.4

Pastikan keadekuatan jalan napas, pernapasan dan Sirkulasi. Cedera lain juga harus

dipertimbangkan dan perlu tidaknya hospitalisasi ditentukan berdasarkan keparahan kejadian dan

evaluasi klinis. Pasien dengan gejala respiratori, penurunan saturasi oksigen dan perubahan

tingkat kesadaran perlu untuk dihospitalisasi. perhatian harus difokuskan pada oksigenasi,

ventilasi, dan fungsi jantung. Melindungi sistem saraf pusat dan mengurangi edema serebri

merupakan hal yang sangat penting dan berhubungan langsung dengan hasil akhir.

Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen dengan tekanan

lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM (Bag Valve Mask)atau tabung Oksigen. Oksigen

yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika setelah pemberian oksigen ini, keadaan korban

belum membaik, dapat dilakukan intubasi trakeal.5

1.

Page 8: forensik ku1.docx

.

Penanganan Rumah Sakit

Pengobatan dilakukan sesuai dengan kategori klinis. Korban pada

pasien kategori A dan B biasanya hanya membutuhkan perawatan medis

supportif, sedangkan pasien kategori C membutuhkan tindakan untuk

mempertahankan kehidupan dan perawatan intensif. Penolong juga harus

mencari dan menangani trauma yang timbul seperti trauma kepala dan leher

serta mengatasi masalah yang melatarbelakanginya seperti masalah kejang.

Kategori A

Pertolongan dimulai dengan memberikan oksigen, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan PaO2 arteri, PaCO2, pH, jumlah sel darah, elektrolit, serta

rontgen thorax. Pada asidosis metabolik yang belum terkompensasi, dapat

diberikan O2, pemanasan, dan pemberian Bik-Nat. Infiltrat kecil pada paru

tidak memerlukan pengobatan apabila cairan yang terhisap tidak

terkontaminasi. Sebagian korban yang tidak mempunyai masalah dapat

dipulangkan sedangkan sebagian lagi yang bermasalah dapat diobservasi dan

diberi pengobatan simptomatik di ruang perawatan sampai baik. Biasanya

korban dirawat selama 12 sampai 24 jam.

Kategori B

Korban ini membutuhkan perawatan dan monitoring ketat terhadap

sistem saraf dan pernapasan. Masalah pernapasan biasanya lebih menonjol

sehingga selain pemberian oksigen perlu diberikan: Bik-Nat untuk asidosis

metabolik yang tidak terkompensasi; Furosemid untuk oedem paru; Aerosol B

simptometik untuk bronchospasme; serta Antibiotik untuk kasus teraspirasi

air yang terkontaminasi.

Pasien yang awalnya diintubasi setelah menampakkan fungsi

pernapasan dan neurologi yang baik dapat dilakukan ekstubasi. Di sini steroid

tidak diindikasikan. Sebagian kecil korban tenggelam mengalami kegagalan

pernapasan. Biasanya terjadi setelah aspirasi masif atau teraspirasi zat kimia

yang mengiritasi sehingga korban ini membutuhkan ventilasi mekanis.

Pemberian infus sering diberikan untuk meningkatkan fungsi hemodinamik.

Cairan yang biasanya digunakan adalah cairan isotonik (Ringer lactat, NaCl

fisiologis) dan cairan yang dipakai harus cukup panas (40-43oC) untuk pasien

hipotermi. Bila cairannya seperti suhu kamar (21oC) bisa memancing

Page 9: forensik ku1.docx

timbulnya hipotermi. NGT harus dipasang sejak pertama pasien ditolong,

yang berguna untuk mengosongkan lambung dari air yang terhisap. Status

neurologis biasanya membaik bila oksigenasi jaringan terjamin. Perawatan

biasanya memakan waktu beberapa hari dan sangat ditentukan oleh status

paru.

Kategori C

Tindakan yang paling penting untuk kategori ini adalah intubasi dan

ventilasi. Vetilasi mekanis direkomendasikan paling tidak 24 sampai 48 jam

pertama, termasuk mereka yang usaha bernapasnya baik setelah resusitasi

untuk mencegah kerusakan susunan saraf pusat akibat hipoksia dari

pernapasan yang tidak efektif. Pedoman ventilasi awal FiO2 1,0 digunakan

selama fase stabilisasi dan transfer. Kecepatan ventilasi awal 1,5 sampai 2 kali

kecepatan pernapasan normal sesuai dengan usia korban, tekanan espirasi 4

sampai 6 Cm H2O. Penyesuaian ini harus dilakukan untuk mendapatkan nilai

gas darah arteri sebagai berikut: PaO2 100 mmHg atau 20-30 mmHg. Bik-Nat,

bronchodilator, diuretik, dan antibiotik diberikan apabila korban tenggelam.

Penelitian membuktikan bahwa mortalitas setelah 5 hari pengobatan menurun

dari 50% menjadi 25% sampai 35%. Surfactan yang sering digunakan adalah

surfactan sintetik (Exosurf) dengan dosis 5 ml/kgBB diberikan melalui

nebulizer terus-menerus selama priode pengobatan.

Disfungsi kardiovaskular harus dikoreksi dengan cepat untuk

menjamin tranfer oksigen yang adekuat ke jaringan. Resusitasi jantung paru

perlu dilanjutkan pada korban yang mengalami hipotensi dan syok setelah

membaiknya ventilasi dan denyut nadi harus diberikan bolus cairan kristaloid

20 ml/kgBB. Tindakan ini harus diulangi bila tidak memberikan respons yang

memuaskan1,5. Apabila tekanan darah tetap rendah, obat inotropik IV harus

diberikan. Dopamin dan Dobutamin harus digunakan pada pasien yang

mengalami takikardi sedangkan epinefrin diberikan pada pasien bradikardi.

Pasien dengan suhu tubuh < 30oC harus segera dipanaskan untuk menjamin

fungsi jantung. Kejang diatasi secara konvensinal: pada awal diberikan

benzodiazepin diikuti dengan pemberian phenobarbital seperti Vecuronium

atau Pancuronium 0,1--0,2 mg/kgBB IV bisa digunakan untuk pasien yang

gelisah agar pemberian ventilasi lebih efisien, mengurangi kebutuhan

metabolik, serta bisa menekan risiko atau ekstubasi yang tak terencana akibat

Page 10: forensik ku1.docx

trauma jalan napas. Bila pasien tetap gelisah, diberikan morfin sulfat 0,1

mg/kgBB IV atau Benzodiazepin 0,1 mg/kgBB IB diberikan setiap 1--2 jam

untuk sedasi. Pasien kategori C3 dan C4 harus mendapat pengawasan dan

tindakan untuk mempertahankan sistem metabolik, ginjal, hematologi,

gastrointestinal, dan neurologis serta dievaluasi dengan ketat setelah

pengobatan dimulai.

KESIMPULAN

Kegawatdaruratan pada korban tenggelam terkait erat dengan masalah

pernapasan dan kardiovaskuler yang penanganannya memerlukan penyokong

kehidupan jantung dasar dengan menunjang respirasi dan sirkulasi korban dari

luar melalui resusitasi dan mencegah insufisiensi. Terhadap air laut atau air

tawar akan mengurangi perkembangan paru, karena air laut bersifat hipertonik

sehingga cairan akan bergeser dari plasma ke alveoli. Tetapi, alveoli yang

dipenuhi cairan masih bisa menjalankan fungsi perfusinya sehingga

menyebabkan shunt intra pulmonary yang luas. Sedangkan air tawar bersifat

hipotonik sehingga dengan cepat diserap ke dalam sirkulasi dan segera

didistribusikan. Air tawar juga bisa mengubah tekanan permukaan surfaktan

paru sehingga ventilasi alveoli menjadi buruk sementara perfusi tetap

berjalan. Ini menyebabkan shunt intrapulmonary dan meningkatkan hipoksia.

Di samping itu, aspirasi air tawar atau air laut juga menyebabkan oedem paru

yang berpengaruh terhadap atelektasis, bronchospasme, dan infeksi paru.

Perubahan kardiovaskuler yang terjadi pada korban hampir tenggelam

terutama akibat dari perubahan tekanan parsial (PaO2) dan keseimbangan

asam basa. Sedangkan faktor lain yang juga berpengaruh adalah perubahan

volume darah dan konsentrasi elektrolit serum. Korban hampir tenggelam

kadang-kadang telah mengalami bradikardi dan vasokonstriksi perifer yang

intensif sebelumnya. Oleh sebab itu, sulit memastikan pada waktu kejadian

apakah aktivitas mekanik jantung terjadi. Bradikardi bisa timbul akibat refleks

divingfisiologis pada air dingin, sedangkan vasokonstriksi perifer bisa juga

terjadi akibat hipotermi atau peninggian kadar katekolamin.

Hipoksia dan iskemia selama tenggelam akan terus berlanjut sampai ventilasi,

oksigenasi, dan perfusi diperbaiki. Sedangkan iskemia yang berlangsung lama

Page 11: forensik ku1.docx

bisa menimbulkan trauma sekunder meskipun telah dilakukan resusitasi

jantung paru yang adekuat. Oedem cerebri yang difus sering terjadi akibat

trauma sitotoksik yang disebabkan oleh anoksia dan iskemia susunan syaraf

pusat yang menyeluruh. Kesadaran yang hilang bervariasi waktunya, biasanya

setelah 2 sampai 3 menit terjadi apnoe dan hipoksia. Kerusakan otak yang

irreversiblemulai terjadi setelah 4 sampai 10 menit anoksia. Ini memberikan

gambaran bahwa hipoksia mulai terjadi dalam beberapa detik setelah orang

tenggelam, diikuti oleh berhentinya perfusi dalam 2 sampai 6 menit. Otak

dalam suhu normal tidak akan kembali berfungsi setelah 8 sampai 10 menit

anoksia walaupun telah dilakukan tindakan resusitasi. Anoksia dan iskemia

serebri yang berat akan mengurangi aktivitas metabolik akibat peninggian

tekanan intrakranial serta perfusi serebri yang memburuk. Ini dipercayai

menjadi trauma susunan saraf pusat sekunder.

Hampir sebagian besar korban tenggelam memiliki konsentrasi

elektrolit serum normal atau mendekati normal ketika masuk rumah sakit.

Hiperkalemia bisa terjadi karena kerusakan jaringan akibat hipoksemia yang

menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA

1. DiMaio VJ, DiMaio D. Death by drowning. DiMaio VJ, DiMaio D, editors. In:

Forensic pathology second edition. USA: CRC Press LLC; 2001.

2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im TWA, Sidhi, Hertian

S, dkk. Kematian akibat asfiksia mekanik. Dalam: Ilmu kedokteran

forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2007: 64-70.

3. Rijal S. Near Drowning.Bagian Ilmu Anak Universitas Sumatera Utara.

2011. Available at: http://www.tempo.co.id/medika/arsip/062001/pus-

2.htm. Accessed: July 2013.

4. Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik edisi pertama. Jakarta:

Binarupa Aksara; 2007: 182-8.

5. Dix J. Asphyxia (suffocation) and drowning. Dix J, editor. In: Color atlas

of forensic pathology. USA: CRC Press LLC; 2000.