forensik p1

44
LAPORAN HASIL DISKUSI MODUL FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL PEMICU 1 KELOMPOK DISKUSI 1 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2015

description

dfg

Transcript of forensik p1

Page 1: forensik p1

LAPORAN HASIL DISKUSIMODUL FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

PEMICU 1

KELOMPOK DISKUSI 1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURAPONTIANAK

2015

Page 2: forensik p1

I. PemicuSebuah keluarga yang menganut saksi yehova, dimana dalam ajaran saksi yehova tidak memperbolehkan adanya transfusi darah. Mereka mempunyai 1 orang anak, dan suatu ketika terjadi kecelakaan lalu lintas, dimana anak mereka memerlukan tindakan bedah dan juga mengalami perdarahan yang hebat dan memerlukan transfusi darah untuk menyelamatkan jiwanya. Dokter yang merawatnya sudah menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa anak mereka memerlukan pertolongan darah dengan segera, karena bila tidak diberikan transfusi darah anak mereka akan meninggalyang disebabkan oleh kehilangan banyak darah.Tetapi orang tua pasien menolak untuk melakukan transfusi darah dengan alasan apapun, karena menurut ajaran agama mereka transfusi darah tidak diperbolehkan. Dan mereka pun menandatangani surat penolakan tindakan medis. Tetapi karena sang Dojter tidak tega, tanpa sepengetahuan orang tua anak tersebut sang dokter tetap memberikan transfusi darah. Tetapi ternyata beberapa saat setelah transfusi darah dilakukan anak tersebut menderita demam sampai menggigil dan orang tua si pasien mencurigai bahwa dokter tersebut telah melakukan kelalaian dalamoperasi dan mencurigai alat-alat operasi tidak steril. Padahal demam yang di alami oleh sang anak merupakan salah satu reaksi transfusi darah dan akan membaik setelah atau beberapa saat transfusi selesai. Kemudian orang tua anak tersebut mempertanyakan kepada dokter tersebut.

II. Klarifikasi dan definisi1. Transfusi darah : Pemindahan darah dari donor kedalam

peredaran darah recipient.

III. Kata kunci1. Kecelakaan lalu lintas2. Perdarahan hebat3. Transfusi darah4. Menandatangani informed consent5. Saksi yehova6. Demam menggigil

Page 3: forensik p1

IV. Rumusan masalahSeorang anak penganut ajaran saksi yehova mengalami perdarahan hebat yang memerlukan transfusi darah dan orang tua menandatangani surat penolakan tindakan medis tetapidokter memberikan transfusi darah sehingga pasien demam menggigil.

V. Analisis masalah

Anaka

Kecelakaan

Memerlukan tindakan bedah

Perdarahan hebat

Ditanda tangani surat penolakan tindakan medis

Diberikan transfusi darah

Pelanggaran hukum medikolegal

Penganut saksi yehova

Penolakan

Memerlukan transfusi darah

Dokter

- Kaidah bioetik

- Sumpah hipokrates

Tuntutan pidana dan perdata

Page 4: forensik p1

VI. Hipotesis Dokter memberikan transfusi darah berdasarkan kaidah bioetik yaitu beneficence dan non-maleficence tetapi melanggar kaidah bioetik autonomy dan dapat menyebabkan pelanggaran hukum medikolegal.

VII. Pertanyaan diskusi1. Jelaskan mengenai sumpah hipokrates!2. Apa saja hak dan kewajiban dokter pasien?3. Sebutkan pengaturan informed consent!4. Apa fungsi dan tujuan dari informed consent!5. Apa saja bentuk-bentuk dari informed consent!6. Apa saja akibat yang dapat timbulkan oleh adanya informed consent?7. Sebutkan UU yang mengatur tentang pelanggaran hukum

medikolegal!8. Jelaskan tentang transfusi darah!9. Apa saja pelanggaran hukum yang dilakukan oleh dokter?10. Apa saja pelanggaran bioetik yang dilakukan oleh dokter?

PEMBAHASAN

1. Sumpah hipokrates

2. Hak dan kewajiban dokter-pasienHak-hak pasien dalam UU No. 36 tahun 2009 itu diantaranya meliputi:

a. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan

(kecuali tak sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat).

b. Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, ijin ybs,

kepentngan ybs, kepentingan masyarakat).

c. Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan

penyelamatan nyawa atau cegah cacat).

Pada UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya pada pasal

52 juga diatur hak-hak pasien, yang meliputi:

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3

Page 5: forensik p1

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain.

c. Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis.

d. Menolak tindakan medis.

e. Mendapatkan isi rekam medis.

Terkait rekam medis, Peraturan Menteri kesehatan No.269 pasal 12

menyebutkan:

a. Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan.

b. Isi rekam medis merupakan milik pasien.

c. Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk

ringkasan rekam medis.

d. Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat

diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi

kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang

berhak untuk itu.

Hak Pasien dalam UU No 44 / 2009 tentang Rumah Sakit (Pasal 32 UU

44/2009) menyebutkan bahwa setiap pasien mempunyai hak sebagai berikut:

a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang

berlaku di Rumah Sakit.

b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien.

c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa

diskriminasi.

d. Memperoleh pelayanan kesehatan bermutu sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional.

e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien

terhindar dari kerugian fisik dan materi;

f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan.

g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan

peraturan yang berlaku di rumah sakit.

Page 6: forensik p1

h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter

lain (second opinion) yang memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) baik di

dalam maupun di luar rumah sakit.

i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk

data-data medisnya.

j. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan

dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.

k. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan

medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan

komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan

yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.

l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.

m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya

selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.

n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam

perawatan di Rumah Sakit.

o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit

terhadap dirinya.

p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama

dan kepercayaan yang dianutnya.

q. Menggugat dan atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit itu

diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik

secara perdata ataupun pidana.

r. Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar

pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Sementara itu kewajiban pasien diatur diataranya dalam UU No 29 tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran, terutama pasal 53 UU, yang meliputi:

Page 7: forensik p1

a. Memberi informasi yg lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatannya.

b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter dan dokter gigi.

c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di saryankes.

d. Memberi imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Terkait kewajiban pasien seperti disebut di atas, sebenarnya ada “pesan”

implisit terkait hal itu, diantaranya:

a. Masing-masing pihak, dalam hal ini pasien dan tenaga medis, harus

selalu memberi informasi yang tepat dan lengkap, baik sebelum

maupun sesudah tindakan preventif/diagnostik/terapeutik/rehabilitatif).

b. Keputusan di tangan pasien, dokter mengadvokasi prosesnya (kecuali

keadaan darurat yang tak bisa ditunda).

c. Layanan medis harus sesuai kebutuhan medisnya.

Hak dan Kewajiban Tenaga Medis

Di dalam UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pada pasal 50

disebutkan adanya hak-hak dokter, yakni:

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang sesuai standar profesi dan

SOP.

b. Memberikan layanan medis menurut standar profesi (SP) dan standar

operasional prosedur (SOP).

c. Memperoleh info yg jujur & lengkap dari pasien atau keluarga pasien.

d. Menerima imbalan jasa.

Adanya perlindungan hukum bagi dokter ini mengingat bahwa pekerjaan

dokter dianggap sah sepanjang memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Dan bahwa dalam bekerja seorang dokter harus bebas dari intervensi pihak

lain, dan bebas dari kekerasan. Jika pun terdapat dugaan “malpraktik” harus

melalui proses pembuktian hukum terlebih dahulu, termasuk diantaranya tentu

saja seorang dokter bebas memperoleh pembelaan hukum.

Page 8: forensik p1

Pada pasal 52 UU yang sama diatur pula mengenai kewajiban dokter, yang

meliputi:

a. Memberi pelayanan medis sesuai SP & SOP, serta kebutuhan medis

pasien.

b. Merujuk pasien bila tak mampu.

c. Menjamin kerahasiaan pasien.

d. Pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila yakin ada

orang lain yg bertugas dan mampu.

e. Menambah / ikuti perkembangan iptek kedokteran.

3. Pengaturan informed consentLandasan hukum tindakan medis termasuk di dalamnya mencakup

Informed consent terdapat pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran. Pasal 45 UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran ayat (5) menyatakan bahwa “ Setiap tindakan kedokteran atau

kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan

persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan

persetujuan.” Umumnya disebutkan bahwa contoh tindakan yang berrisiko

tinggi adalah tindakan invasif (tertentu) atau tindakan bedah yang secara

langsung mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh. Informed consent

dibutuhkan dalam setiap tindakan medis, hal ini untuk menghindari:2

a. Hukum Pidana

Menyentuh atau melakukan tindakan terhadap pasien tanpa persetujuan

dapat dikategorikan sebagai “penyerangan” (assault). Hal tersebut dapat

menjadi alasan pasien untuk mengadukan dokter ke penyidik polisi, meskipun

kasus semacam ini sangat jarang terjadi.

b. Hukum Perdata

Page 9: forensik p1

Untuk mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap dokter, maka

pasien harus dapat menunjukkan bahwa dia tidak diperingatkan sebelumnya

mengenai hasil akhir tertentu dari tindakan dimaksud - padahal apabila dia

telah diperingatkan sebelumnya maka dia tentu tidak akan mau menjalaninya,

atau menunjukkan bahwa dokter telah melakukan tindakan tanpa persetujuan

(perbuatan melanggar hukum).

c. Pendisiplinan oleh MKDKI

Bila MKDKI menerima pengaduan tentang seorang dokter atau dokter

gigi yang melakukan hal tersebut, maka MKDKI akan menyidangkannya dan

dapat memberikan sanksi disiplin kedokteran, yang dapat berupa teguran

hingga rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi.

Seseorang dianggap dapat memberikan informed consent jika:2

1. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang

yang berumur 21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang

dewasa dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan

2. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka

setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang

sudah bukan anak-anak. Dengan demikian mereka dapat diperlakukan

sebagaimana orang dewasa yang kompeten, dan oleh karenanya dapat

memberikan persetujuan

3. Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang

masih tergolong anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak

individu untuk berpendapat sebagaimana juga diatur dalam UU No 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak, maka mereka dapat diperlakukan seperti

orang dewasa dan dapat memberikan persetujuan tindakan kedokteran

tertentu, khususnya yang tidak berrisiko tinggi. Untuk itu mereka harus dapat

menunjukkan kompetensinya dalam menerima informasi dan membuat

Page 10: forensik p1

keputusan dengan bebas. Selain itu, persetujuan atau penolakan mereka dapat

dibatalkan oleh orang tua atau wali atau penetapan pengadilan.

Pasal 45 UU Praktik Kedokteran memberikan batasan minimal informasi

yang selayaknya diberikan kepada pasien, yaitu:1

1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis,

2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan,

3. Alternatif tindakan lain dan risikonya,

4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan

5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

4. Fungsi dan tujuan informed consentFungsi dari Informed Consent adalah :

a. Promosi dari hak otonomi perorangan;

b. Proteksi dari pasien dan subyek;

c. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;

d. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan

introspeksi terhadap diri sendiri;

e. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;

f. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai

suatu nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan

biomedik.

Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan/ tujuannya dibagi tiga,

yaitu:

a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek

penelitian).

b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.

c. Yang bertujuan untuk terapi.

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :

Page 11: forensik p1

a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan

tanpa sepengetahuan pasien;

b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang

tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment

yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan

semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

5. Bentuk-bentuk informed consentAda 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :

1. Implied Consent (dianggap diberikan)

Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya

dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang

diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan

dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak

bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka

dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.

2. Expressed Consent (dinyatakan)

Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis

yang bersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan

persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit

sebagai surat izin operasi.

6. Akibat yang dapat ditimbulkan informed consent

7. UU yang mengatur tentang pelanggaran hukum medikolegalTuntutan Pidana :

KELALAIAN : 359-361 KUHP

KETERANGAN PALSU : 267-268 KUHP

ABORSI ILEGAL : 347-349 KUHP

PENIPUAN : 382 BIS KUHP

Page 12: forensik p1

PERPAJAKAN : 209, 372 KUHP

EUTHANASIA : 344 KUHP

PENYERANGAN SEKS : 284-294 KUHP

Tuntutan Perdata :

PS 1365 KUH PERDATA :

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

menggantinya

PS 1366 KUH PERDATA : Juga akibat kelalaian

PS 1367 KUH PERDATA : Juga respondeat superior

Ps 55 UU KESEHATAN :

Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang

dilakukan tenaga kesehatan

8. Transfusi darah1. Definisi

Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang

sehat (donor) ke orang sakit (resipien) yang diberikan secara intravena

melalui pembuluh darah4. Darah yang dipindahkan dapat berupa darah

lengkap dan komponen darah. Transfusi darah dapat dikelompokkan

menjadi 2 golongan utama berdasarkan sumbernya,yaitu transfusi

allogenic dan transfusi autologus. Transfusi allogenic adalah darah yang

disimpan untuk transfusi berasal dari tubuh orang lain. Sedangkan

transfusi autologus adalah darah yang disimpan berasal dari tubuh donor

sendiri yang diambil 3 unit beberapa hari sebelumnya, dan setelah 3 hari

ditransferkan kembali ke pasien1.

2. Tujuan Transfusi Darah

1. Memperbaiki kemampuan mengangkut oksigen

2. Mengembalikan volume cairan yang keluar

Page 13: forensik p1

3. Memperbaiki faal pembekuan darah

4. Memperbaiki kemampuan fagositosis dan menambah sejumlah protein

dalam darah5

3. Indikasi Transfusi Darah

1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr% atau Ht <30%

Pada orang tua, kelainan paru, kelainan jantung Hb <10 g/dl

2. Pada pembedahan mayor kehilangan darah >20% volume darah

3. Pada bayi anak yang kehilangan darah >15%, dengan kadar Hb yang

normal

Pada bayi anak, jika kehilangan darah hanya 10-15% dengan kadar Hb

normal tidak perlu transfusi darah, cukup dengan diberi cairan kristaloid

atau koloid, sedang >15% perlu transfusi karena terdapat gangguan

pengangkutan Oksigen.

4. Pada orang dewasa yang kehilangan darah sebanyak 20%, dengan

kadar Hb normal

Kehilangan darah sampai 20% dapat menyebabkan gangguan faktor

pembekuan1

4. Komplikasi Transfusi Darah

Risiko transfusi darah sebagai akibat langsung transfusi merupakan bagian

situasi klinis yang kompleks. Jika suatu operasi dinyatakan potensial

menyelamatkan nyawa hanya bila didukung dengan transfusi darah, maka

keuntungan dilakukannya transfusi jauh lebih tinggi daripada risikonya.

Sebaliknya, transfusi yang dilakukan pasca bedah pada pasien yang stabil

hanya memberikan sedikit keuntungan klinis atau sama sekali tidak

menguntungkan. Dalam hal ini, risiko akibat transfusi yang didapat

mungkin tidak sesuai dengan keuntungannya. Risiko transfusi darah ini

dapat dibedakan atas reaksi cepat, reaksi lambat, penularan penyakit

infeksi dan risiko transfusi masif.10

1. Reaksi Akut

Page 14: forensik p1

Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam

setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu

ringan, sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi

ringan ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi

ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat

ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea

ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya

warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi

sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat,

demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit,

protein, trombosit), kontaminasi pirogen dan/atau bakteri.3 Pada reaksi

yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri di

sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri

kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah,

hipotensi (turun ≥20% tekanan darah sistolik), takikardia (naik ≥20%),

hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini disebabkan

oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik,

kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.3

a. Hemolisis intravaskular akut

Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan

inkompatibilitas sel darah merah. Antibodi dalam plasma pasien akan

melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah

inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan

reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan

semakin meningkatkan risiko.3,11

Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi

akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari

pasien ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label

pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum

Page 15: forensik p1

transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam

plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain golongan

darah ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau

Duffy.3,11,12,13 Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam

beberapa menit awal transfusi, kadang-kadang timbul jika telah diberikan

kurang dari 10 ml. Jika pasien tidak sadar atau dalam anestesia, hipotensi

atau perdarahan yang tidak terkontrol mungkin merupakan satu-satunya

tanda inkompatibilitas transfusi. Pengawasan pasien dilakukan sejak awal

transfusi dari setiap unit darah.3

b. Kelebihan cairan

Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini

dapat terjadi bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi

terlalu cepat, atau penurunan fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama

terjadi pada pasien dengan anemia kronik dan memiliki penyakit dasar

kardiovaskular.3,11

c. Reaksi anafilaksis

Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam

plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan

vasokonstriksi pada resipien tertentu. Selain itu, defisiensi IgA dapat

menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan

produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi ini terjadi dalam

beberapa menit awal transfusi dan ditandai dengan syok (kolaps

kardiovaskular), distress pernapasan dan tanpa demam. Anafilaksis dapat

berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan agresif.3,11,12,13

d. Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung

injury = TRALI)

Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung

antibodi yang melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru biasanya

timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfusi, dengan gambaran foto toraks

Page 16: forensik p1

kesuraman yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun diperlukan

bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.3,11

2. Reaksi Lambat

a. Reaksi hemolitik lambat

Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala

dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik

lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan

DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan

laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan pemilihan

sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut.3,11,12,13

b. Purpura pasca transfusi

Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi

potensial membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit.

Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung yang melawan antigen

spesifik trombosit pada resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala

dan tanda yang timbul adalah perdarahan dan adanya trombositopenia

berat akut 5-10 hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila hitung

trombosit <100.000/uL. Penatalaksanaan penting terutama bila hitung

trombosit ≤50.000/uL dan perdarahan yang tidak terlihat dengan hitung

trombosit 20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan

trombosit yang kompatibel dengan antibodi pasien.3,11

c. Penyakit graft-versus-host

Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan. Biasanya

terjadi pada pasien imunodefisiensi, terutama pasien dengan transplantasi

sumsum tulang; dan pasien imunokompeten yang diberi transfusi dari

individu yang memiliki tipe jaringan kompatibel (HLA: human leucocyte

antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah. Gejala dan tanda,

seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis, pansitopenia,

Page 17: forensik p1

biasanya timbul 10-12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi spesifik,

terapi hanya bersifat suportif.3,11

d. Kelebihan besi

Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu

panjang akan mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis).

Biasanya ditandai dengan gagal organ (jantung dan hati). Tidak ada

mekanisme fisiologis untuk menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat

besi seperti desferioksamin, diberikan untuk meminimalkan akumulasi

besi dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.3,11

e. Supresi imun

Transfusi darah dapat mengubah sistem imun resipien dalam beberapa

cara, dan hal ini menjadi perhatian karena adanya pendapat yang

menyatakan bahwa angka rekurensi tumor dapat meningkat. Selain itu

juga terdapat pendapat yang menyatakan bahwa transfusi darah

meningkatkan risiko infeksi pasca bedah karena menurunnya respons

imun: sampai saat ini, penelitian klinis gagal membuktikan hal ini.3

Busch dkk14 (1993) melakukan randomized trial terhadap 475 pasien

kanker kolorektal. Penelitian membandingkan prognosis antara pasien

kanker kolorektal yang dilakukan transfusi autolog dengan transfusi

allogenik. Didapatkan hasil bahwa risiko rekurensi meningkat secara

bermakna pada pasien yang dilakukan transfusi darah, baik allogenik

maupun autolog, bila dibandingkan dengan yang tidak dilakukan transfusi;

risiko relatif rekurensi adalah 2,1 dan 1,8; angka tersebut tidak berbeda

bermakna satu dengan yang lain.

Jensen dkk15 melakukan penelitian randomized prospektif terhadap 197

pasien yang akan menjalani operasi elektif kolorektal. Fungsi sel natural

killer diteliti sebelum operasi, tiga, tujuh dan 30 hari pasca operasi pada

60 pasien. Didapatkan hasil bahwa fungsi sel natural killer mengalami

ketidakseimbangan secara bermakna (p<0,001) sampai 30 hari pasca

Page 18: forensik p1

operasi pada pasien yang dilakukan transfusi darah lengkap. Data di atas

merupakan satu kasus kuat yang menentang penggunaan transfusi darah

lengkap pada pasien yang akan menjalani operasi kolorektal elektif.

Penelitian tentang hubungan antara transfusi darah perioperatif dan

rekurensi tumor padat telah menimbulkan kontroversi. Analisis pada

pasien yang dilakukan transfusi menyatakan bahwa rekurensi

berhubungan dengan transfusi darah lengkap namun tidak demikian

halnya dengan transfusi konsentrat sel darah merah. Analisis selanjutnya

dilakukan pada pasien dengan kanker kolon, rektum, serviks dan prostat

untuk menentukan apakah terdapat perbedaan antara pasien yang

menerima darah lengkap, sel darah merah, atau tidak dilakukan transfusi.

Pasien yang menerima ≥1 unit darah lengkap didapatkan keluaran yang

jauh lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang tidak dilakukan

transfusi (p<0,001). Sebaliknya, pasien yang hanya menerima sel darah

merah mengalami rekurensi progresif dan angka kematiannya meningkat

sesuai dengan jumlah transfusi; hal ini menggambarkan adanya hubungan

dengan jumlah transfusi. Berdasarkan analisis multivarian, transfusi darah

≤3 unit darah lengkap berhubungan bermakna dengan rekurensi tumor

yang lebih cepat (p=0,003) dan kematian akibat kanker (p=0,02).

Transfusi ≤3 unit konsentrat sel darah merah tidak meningkatkan risiko

rekurensi dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima transfusi

(p=0,05). Perbedaan nyata terlihat antara pasien yang menerima beberapa

unit sel darah merah dan dibandingkan dengan pasien yang menerima satu

unit darah lengkap, hal tersebut sesuai dengan hipotesis bahwa transfusi

plasma darah simpan menyebabkan rekurensi tumor lebih awal pada

beberapa kasus.10

Agarwal dkk16 (1993) menganalisis data 5.366 pasien yang dirawat di

rumah sakit selama >2 hari pada 8 rumah sakit selama 2 tahun untuk

menentukan apakah transfusi darah mempengaruhi terjadinya infeksi

Page 19: forensik p1

setelah trauma. Dinyatakan bahwa insidens infeksi berhubungan bermakna

dengan mekanisme cedera. Hasil analisis regresi logistik bertahap

menunjukkan bahwa jumlah darah yang diterima dan skor tingkat

keparahan cedera merupakan dua variabel prediktor infeksi yang

bermakna. Meskipun pasien sudah dikelompokkan berdasarkan derajat

keparahan, ternyata angka infeksi meningkat secara bermakna sesuai

dengan jumlah darah yang ditransfusikan. Transfusi darah pada pasien

cedera merupakan variabel prediktor bebas penting akan terjadinya

infeksi. Hal ini tidak dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin atau mekanisme

dasar yang mempengaruhi tingkat keparahan cedera.

Moore dkk17 dalam penelitian kohort prospektif terhadap 513 pasien

trauma yang dirawat di ICU dengan kriteria usia >16 tahun, skor

keparahan trauma >15 dan bertahan hidup >48 jam menyimpulkan bahwa

transfusi darah merupakan faktor risiko untuk terjadinya gagal organ

multipel (multiple organ failure = MOF) yang tidak bergantung pada

indeks syok lainnya.

Zallen dkk18 melakukan studi kohort prospektif terhadap 63 pasien yang

berisiko menderita MOF pasca trauma untuk mengetahui apakah umur

PRC yang ditransfusikan merupakan faktor risiko timbulnya MOF pasca

trauma. Dalam penelitian ini terdapat 23 pasien yang diidentifikasi

menderita MOF dan menerima 6-20 unit PRC dalam 12 jam pertama

setelah trauma. Umur PRC yang ditransfusikan pada 6 jam pertama dicatat

dan dilakukan regresi logistik multipel terhadap pasien yang menderita

MOF maupun tidak. Disimpulkan bahwa umur PRC yang ditransfusikan

pada 6 jam pertama merupakan faktor risiko tidak bergantung

(independent) atas terjadinya MOF.

3. Penularan Infeksi

Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada

berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan

Page 20: forensik p1

skrining yang digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit

darah.11 Saat ini dipergunakan model matematis untuk menghitung risiko

transfusi darah, antara lain untuk penularan HIV, virus hepatitis C,

hepatitis B dan virus human T-cell lymphotropic (HTLV). Model ini

berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit terutama timbul pada saat

window period (periode segera setelah infeksi dimana darah donor sudah

infeksius tetapi hasil skrining masih negatif).19

a. Transmisi HIV

Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali diketahui pada akhir

tahun 1982 dan awal 1983. Pada tahun 1983 Public Health Service

(Amerika Serikat) merekomendasikan orang yang berisiko tinggi

terinfeksi HIV untuk tidak menyumbangkan darah. Bank darah juga mulai

menanyakan kepada donor mengenai berbagai perilaku berisiko tinggi,

bahkan sebelum skrining antibodi HIV dilaksanakan, hal tersebut ternyata

telah mampu mengurangi jumlah infeksi HIV yang ditularkan melalui

transfusi. Berdasarkan laporan dari Centers for Disease Control and

Prevention (CDC) selama 5 tahun pengamatan, hanya mendapatkan 5

kasus HIV/tahun yang menular melalui transfusi setelah dilakukannya

skrining antibodi HIV pada pertengahan maret 1985 dibandingkan dengan

714 kasus pada 1984.19

Pengenalan pemeriksaan antibodi HIV tipe 2 ternyata hanya sedikit

berpengaruh di Amerika Serikat, yaitu didapatkan 3 positif dari 74 juta

donor yang diperiksa. Perhatian terhadap kemungkinan serotipe HIV tipe

1 kelompok O terlewatkan dengan skrining yang ada sekarang ini, timbul

setelah terdapat 1 kasus di Amerika Serikat, sedangkan sebagian besar

kasus seperti ini terjadi di Afrika Barat dan Perancis. Di Amerika Serikat,

dari 1.072 sampel serum yang disimpan tidak ada yang positif menderita

HIV tipe 1 kelompok O.24 Untuk mengurangi risiko penularan HIV

melalui transfusi, bank darah mulai menggunakan tes antigen p24 pada

Page 21: forensik p1

tahun 1995. Setelah kurang lebih 1 tahun skrining, dari 6 juta donor hanya

2 yang positif (keduanya positif terhadap antigen p24 tetapi negatif

terhadap antibodi HIV).19

b. Penularan virus hepatitis B dan virus hepatitis C

Penggunaan skrining antigen permukaan hepatitis B pada tahun 1975

menyebabkan penurunan infeksi hepatitis B yang ditularkan melalui

transfusi, sehingga saat ini hanya terdapat 10% yang menderita hepatitis

pasca transfusi. Makin meluasnya vaksinasi hepatitis B diharapkan

mampu lebih menurunkan angka penularan virus hepatitis B. Meskipun

penyakit akut timbul pada 35% orang yang terinfeksi, tetapi hanya 1-10%

yang menjadi kronik.19

Transmisi infeksi virus hepatitis non-A non-B sangat berkurang setelah

penemuan virus hepatitis C dan dilakukannya skrining anti-HCV. Risiko

penularan hepatitis C melalui transfusi darah adalah 1:103.000 transfusi.

Infeksi virus hepatitis C penting karena adanya fakta bahwa 85% yang

terinfeksi akan menjadi kronik, 20% menjadi sirosis dan 1-5% menjadi

karsinoma hepatoselular. Mortalitas akibat sirosis dan karsinoma

hepatoselular adalah 14,5% dalam kurun waktu 21-28 tahun.22 Prevalensi

hepatitis B di Indonesia adalah 3-17% dan hepatitis C 3,4% sehingga perlu

dilakukan skrining hepatitis B dan C yang cukup adekuat.21

c. Transmisi virus lain

Di Amerika Serikat prevalensi hepatitis G di antara darah donor adalah 1-

2%.17 Banyak orang yang secara serologik positif virus hepatitis G juga

terinfeksi hepatitis C. Meskipun infeksi hepatitis G dapat menimbulkan

karier kronik akan tetapi tidak ada bukti yang menyatakan bahwa infeksi

hepatitis G dapat menyebabkan hepatitis kronis maupun akut.20 Infeksi

yang disebabkan kontaminasi komponen darah oleh organisme lain seperti

hepatitis A dan parvovirus B19, untuk darah donor yang tidak dilakukan

Page 22: forensik p1

skrining serologis, telah dicatat tetapi perkiraan angka infeksi melalui

transfusi tidak ada.18

Infeksi karena parvovirus B19 tidak menimbulkan gejala klinis yang

bermakna kecuali pada wanita hamil, pasien anemia hemolitik dan

imunokompromais. Di Amerika Serikat, penularan virus hepatitis A

melalui transfusi darah hanya terjadi pada 1: 1 juta kasus.19

Di Kanada 35-50% darah donor seropositif terhadap sitomegalovirus

(CMV).23 Di Irlandia didapatkan angka 30%, tetapi hanya sebagian kecil

dari yang seropositif menularkan virus melalui transfusi. Risiko penularan

CMV melalui transfusi terutama terjadi pada bayi dengan berat badan

sangat rendah (<1200 g), pasien imunokompromais terutama yang

menjalani transplantasi sumsum tulang dan wanita hamil pada trimester

awal yang dapat menularkan infeksi terhadap janin. Penularan CMV

terjadi melalui leukosit yang terinfeksi; oleh sebab itu teknik untuk

mengurangi jumlah leukosit dalam produk darah yang akan ditransfusikan

akan mengurangi risiko infeksi CMV. Komponen darah segar mempunyai

risiko infeksi CMV yang lebih tinggi daripada produk darah yang

disimpan beberapa hari.20

HTLV-I dapat menyebabkan penyakit neurologis dan leukemia sel T pada

dewasa. Biasanya penyakit timbul beberapa tahun setelah infeksi dan

hanya sedikit yang pada akhirnya menderita penyakit tersebut. HTLV-I

dapat ditularkan melalui transfusi komponen sel darah. Prevalensi

tertinggi ada di Jepang dan Kepulauan Karibia.10 Sedangkan hubungan

antara HTLV-II dengan timbulnya penyakit masih belum jelas, tetapi

infeksi dapat ditemukan pada pengguna narkotika intravena. Dikatakan

bahwa infeksi akan timbul pada 20-60% resipien darah yang terinfeksi

HTLV-I dan II. Transmisi dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan darah

dan jumlah sel darah merah dalam unit tersebut. Darah yang telah

Page 23: forensik p1

disimpan selama 14 hari dan komponen darah nonselular seperti

kriopresipitat dan plasma beku segar ternyata tidak infeksius.19

d. Kontaminasi bakteri

Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah merah dan

1-2% konsentrat trombosit.3 Kontaminasi bakteri pada darah donor dapat

timbul sebagai hasil paparan terhadap bakteri kulit pada saat pengambilan

darah, kontaminasi alat dan manipulasi darah oleh staf bank darah atau

staf rumah sakit pada saat pelaksanaan transfusi atau bakteremia pada

donor saat pengambilan darah yang tidak diketahui.20

Jumlah kontaminasi bakteri meningkat seiring dengan lamanya

penyimpanan sel darah merah atau plasma sebelum transfusi.

Penyimpanan pada suhu kamar meningkatkan pertumbuhan hampir semua

bakteri. Beberapa organisme, seperti Pseudomonas tumbuh pada suhu 2-

6°C dan dapat bertahan hidup atau berproliferasi dalam sel darah merah

yang disimpan, sedangkan Yersinia dapat berproliferasi bila disimpan

pada suhu 4°C. Stafilokok tumbuh dalam kondisi yang lebih hangat dan

berproliferasi dalam konsentrat trombosit pada suhu 20-40°C. Oleh karena

itu risiko meningkat sesuai dengan lamanya penyimpanan.3 Gejala klinis

akibat kontaminasi bakteri pada sel darah merah timbul pada 1: 1 juta unit

transfusi. Risiko kematian akibat sepsis bakteri timbul pada 1:9 juta unit

transfusi sel darah merah. Di Amerika Serikat selama tahun 1986-1991,

kontaminasi bakteri pada komponen darah sebanyak 16%; 28% di

antaranya berhubungan dengan transfusi sel darah merah. Risiko

kontaminasi bakteri tidak berkurang dengan penggunaan transfusi darah

autolog.20

Penularan sifilis di Kanada telah berhasil dihilangkan dengan

penyeleksian donor yang cukup hati-hati dan penggunaan tes serologis

terhadap penanda sifilis.20

Page 24: forensik p1

e. Kontaminasi parasit

Kontaminasi parasit dapat timbul hanya jika donor menderita parasitemia

pada saat pengumpulan darah. Kriteria seleksi donor berdasarkan riwayat

bepergian terakhir, tempat tinggal terdahulu, dan daerah endemik, sangat

mengurangi kemungkinan pengumpulan darah dari orang yang mungkin

menularkan malaria, penyakit Chagas atau leismaniasis.20

f. Penyakit Creutzfeldt-Jacob

Pasien yang berisiko terinfeksi penyakit Creutzfeldt-Jacob seperti pasien

dengan riwayat graft durameter atau kornea, injeksi hormon pertumbuhan

atau gonadotropin yang berasal dari otak manusia atau ada riwayat

keluarga kandung garis keturunan pertama yang menderita penyakit

Creutzfeldt-Jacob secara permanen tidak boleh menyumbangkan darah.

Hal ini dilakukan meskipun penularan penyakit Creutzfeld-Jacobs melalui

transfusi belum pernah dilaporkan. Riwayat transfusi darah telah

dilaporkan pada 16 dari 202 pasien dengan penyakit Creutzfeldt-Jacob,

angka ini sama dengan yang terdapat pada kelompok kontrol.20

4. Transfusi Darah Masif

Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih

banyak dari total volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa: 70

ml/kg, anak/bayi: 80-90 ml/kg). Morbiditas dan mortalitas cenderung

meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan oleh banyaknya

volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena trauma awal, kerusakan

jaringan dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia. Seringkali

penyebab dasar dan risiko akibat perdarahan mayor yang menyebabkan

komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri. Namun, transfusi

masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.3

a. Asidosis

Page 25: forensik p1

Asidosis lebih disebabkan terapi hipovolemia yang tidak adekuat. Pada

keadaan normal, tubuh dengan mudah mampu menetralisir kelebihan asam

dari transfusi. Pemakaian rutin bikarbonat atau obat alkalinisasi lain tidak

diperlukan.3

b. Hiperkalemia

Penyimpanan darah menyebabkan konsentrasi kalium ekstraselular

meningkat, dan akan semakin meningkat bila semakin lama disimpan.3

c. Keracunan sitrat dan hipokalsemia

Keracunan sitrat jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada transfusi

darah lengkap masif. Hipokalsemia terutama bila disertai dengan

hipotermia dan asidosis dapat menyebabkan penurunan curah jantung

(cardiac output), bradikardia dan disritmia lainnya. Proses metabolisme

sitrat menjadi bikarbonat biasanya berlangsung cepat, oleh karena itu tidak

perlu menetralisir kelebihan asam.3

d. Kekurangan fibrinogen dan faktor koagulasi

Plasma dapat kehilangan faktor koagulasi secara progresif selama

penyimpanan, terutama faktor V dan VIII, kecuali bila disimpan pada

suhu -25°C atau lebih rendah. Pengenceran (dilusi) faktor koagulasi dan

trombosit terjadi pada transfusi masif.3

e. Kekurangan trombosit

Fungsi trombosit cepat menurun selama penyimpanan darah lengkap dan

trombosit tidak berfungsi lagi setelah disimpan 24 jam.3

f. DIC

DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih

disebabkan alasan dasar dilakukannya transfusi (syok hipovolemik,

trauma, komplikasi obstetrik). Terapi ditujukan untuk penyebab dasarnya.3

g. Hipotermia

Page 26: forensik p1

Pemberian cepat transfusi masif yang langsung berasal dari pendingin

menyebabkan penurunan suhu tubuh yang bermakna. Bila terjadi

hipotermia, berikan perawatan selama berlangsungnya transfusi.3

h. Mikroagregat

Sel darah putih dan trombosit dapat beragregasi dalam darah lengkap yang

disimpan membentuk mikroagregat. Selama transfusi, terutama transfusi

masif, mikroagregat ini menyebabkan embolus paru dan sindrom distress

pernapasan. Penggunaan buffy coat-depleted packed red cell akan

menurunkan kejadian sindrom tersebut.3

F. Tatalaksana Reaksi Transfusi

1. Reaksi transfusi hemolitik

a. Hentikan transfusi segera dan diganti infus NaCl 0,9%

b. Atasi shock dengan dopamine drip intravena 5-10 mg/kgBB per menit

sampai tekanan darah sistolik > 100 mmHg dan perfusi jari-jari terasa

hangat

c. Bila urine < 1 cc/kgBB/jam, maka segera berikan furosemide 1-2

mg/kgBB untuk mempertahankan urine > 100 cc/jam

d. Atasi demam dengan antipiretik

e. Periksa faal hemostasis untuk mengatasi kemungkinan DIC

2. Reaksi transfusi alergi

a. Transfusi dihentikan dan diganti dengan infus NaCl 0,9%

b. Antihistamin (IM atau IV)

Setelah gejala hilang transfusi dapat dilanjutkan, sebaiknya dengan unit

darah yang lain.

3. Reaksi anafilaksis

a. Tinggikan kedua tungkai untuk memperbaiki venous return

b. Hentikan transfusi dan diganti dengan infus NaCl 0,9%

Page 27: forensik p1

c. Adrenalin 0,1-0,2 mg IV diulang tiap 5-15 menit sampai sirkulasi

membaik. Mungkin perlu dilanjutkan dopamine drip.

d. Berikan antihistamin (IM atau IV)

e. Steroid (hidrokortison 100 mg IV, deksametason 4-5 mg IV)

f. Aminofilin 5 mg/kgBB setelah tekanan darah membaik

g. Oksigen

4. Kelebihan cairan

a. Hentikan transfusi

b. Posisi penderita setengah duduk dan berikan oksigen

c. Furosemid 1-2 mg/kgBB IV dan digitalisasi cepat

d. Pertimbangkan phlebotomy, darah dikeluarkan 500 cc

e. Pada edema paru berat perlu diberikan morfin IV dengan titrasi pelan

1 mg pelan-pelan, diulang tiap 10 menit sampai sesak mereda. Sedikit

overdosis morfin akan menyebabkan depresi nafas/apnea.5

9. Apa saja pelanggaran hukum yang dilakukan oleh dokter?Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh dokter tersebut selain melanggar

perundang-undangan mengenai praktek kedokteran yaitu pasal 52 UU no. 29

tahun 2004 ayat 4 yaitu menolak tindakan medis, juga dapat dituntut dengan

pasal 351 KUHP mengenai perbuatan penganiayaan apabila anak tersebut

mengalami luka berat ataupun meninggal akibat tindakan medis dokter

tersebut.

10. Apa saja pelanggaran bioetik yang dilakukan oleh dokter?

Kesimpulan

Page 28: forensik p1

DAFTAR PUSTAKA