Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

55
2004 PT Remaja BosdaKarya, Bandung Bab 2 - Pengetahuan sain Bab 3 – Pengetahuan Filsafat

Transcript of Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Page 1: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

2004

PT Remaja BosdaKarya, Bandung

Bab 2 - Pengetahuan sain

Bab 3 – Pengetahuan Filsafat

Page 2: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

BAB 2

Bab 2 - PENGETAHUAN SAIN

Pada Bab 2 ini dibicarakan ontologi, epistemologi, dan aksiologi sain.

Uraian mengenai ontologi sain membahas hakikat dan struktur sain. Uraian

tentang struktur sain tidak terlalu bagus. Hal itu disebabkan oleh begitu banyak

macam sain, karena banyaknya maka banyak yang tidak saya ketahui.

Epistemologi sain difokuskan pada cara kerja metode ilmiah. Sedangkan

pembahasan aksiologi sain diutamakan pada cara sain menyelesaikan masalah

yang dihadapi manusia.

A. Ontologi Sain

Di sini dibicarakan hakikat dan struktur sain. Hakikat sain menjawab

pertanyaan apa sain itu sebenarnya. Struktur sain seharusnya menjelaskan cabang-

cabang sain, serta isi setiap cabang itu. Namun di sini hanya dijelaskan cabang-

cabang sain dan itupun tidak lengkap.

1. Hakikat Pengetahuan Sain

Pada Bab 1 telah dijelaskan secara ringkas bahwa pengetahuan sain adalah

pengetahuan rasional empiris. Masalah rasional dan empiris inilah yang dibahas

berikut ini. Pertama, masalah rasional. Saya berjalan-jalan di beberapa kampung. Banyak hal yang menarik

perhatian saya di kampung-kampung itu, satu diantaranya ialah orang-orang di

kampung yang satu sehat-sehat, sedang di kampung yang lain banyak yang sakit.

Secara pukul-rata penduduk kampung yang satu lebih sehat daripada penduduk

kampung yang lain tadi. Ada apa ya? Demikian pertanyaan dalam hati saya.

Kebetulan saya mengetahui bahwa penduduk kampung yang satu itu

memelihara ayam dan mereka memakan telurnya, sedangkan penduduk kampung

yang lain tadi juga memelihara ayam tetapi tidak memakan telurnya, mereka

menjual telurnya. Berdasarkan kenyataan itu saya menduga, kampung yang satu

itu penduduknya sehat-sehat karena banyak memakan telur, sedangkan penduduk

kampung yang lain itu banyak yang sakit karena tidak makan telur. Berdasarkan

Page 3: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

ini saya menarik hipotesis semakin banyak makan telur akan semakin sehat, atau

telur berpengaruh positif terhadap kesehatan.

Hipotesis harus berdasarkan rasio, dengan kata lain hipotesis harus

rasional. Dalam hal hipotesis yang saya ajukan itu rasionalnya ialah: untuk sehat

diperlukan gizi, telur banyak mengandung gizi, karena itu, logis bila semakin

banyak makan telur akan semakin sehat.

Hipotesis saya itu belum diuji kebenarannya. Kebenarannya barulah

dugaan. Tetapi hipotesis itu telah mencukupi dari segi kerasionalannya. Dengan

kata lain, hipotesis saya itu rasional. Kata “rasional” di sini menunjukkan adanya

hubungan pengaruh atau hubungan sebab akibat.

Kedua, masalah empiris. Hipotesis saya itu saya uji (kebenarannya)

mengikuti prosedur metode ilmiah. Untuk menguji hipotesis itu saya gunakan

metode eksperimen dengan cara mengambil satu atau dua kampung yang disuruh

makan telur secara teratur selama setahun sebagai kelompok eksperimen, dan

mengambil satu atau dua kampung yang lain yagn tidak boleh makan telur, juga

selama setahun itu, sebagai kelompok kontrol. Pada akhir tahun, kesehatan kedua

kelompok itu saya amati. Hasilnya, kampung yang makan telur rata-rata lebih

sehat.

Sekarang, hipotesis saya semakin banyak makan telur akan semakin sehat

atau telur berpengaruh positif terhadap kesehatan terbukti. Setelah terbukti –

sebaiknya berkali-kali – maka hipotesis saya tadi berubah menjadi teori. Teori

saya bahwa “Semakin banyak makan telur akan semakin sehat” atau “Telur

berpengaruh positif terhadap kesehatan,” adalah teori yang rasional-empiris. Teori

seperti inilah yang disebut teori ilmiah (scientific theory). Beginilah teori dalam

sain.

Cara kerja saya dalam memperoleh teori itu tadi adalah cara kerja metode

ilmiah. Rumus baku metode ilmiah ialah: logico-hypothetico-verificatif (buktikan

bahwa itu logis, tarik hipotesis, ajukan bukti empiris). Harap dicatat bahwa istilah

logico dalam rumus itu adalah logis dalam arti rasional.

Pada dasarnya cara kerja sain adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat

atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sain ialah tidak

ada kejadian tanpa sebab.Asumsi ini oleh Fred N. Kerlinger (Foundation of

Page 4: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Behavior Research, 1973:378) dirumuskan dalam ungkapan post hoc, ergo propter hoc (ini, tentu disebabkan oleh ini). Asumsi ini benar bila sebab akibat itu

memiliki hubungan rasional.

Ilmu atau sain berisi teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan

sebab akibat. Sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, halal atau haram,

sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah; sain hanya memberikan nilai benar

atau salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan ada orang menyangka bahwa sain

itu netral. Dalam konteks seperti itu memang ya, tetapi dalam konteks lain belum

tentu ya.

2. Struktur Sain

Dalam garis besarnya sain dibagi dua, yaitu sain kealaman dan sain sosial.

Contoh berikut ini hendak menjelaskan struktur sain dalam bentuk nama-nama

ilmu. Nama ilmu banyak sekali, berikut ditulis beberapa saja diantaranya:

1) Sain Kealaman

• Astronomi; • Fisika: mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir;

• Kimia: kimia organik, kimia teknik;

• Ilmu Bumi: paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogi,

geografi;

• Ilmu Hayati: biofisika, botani, zoologi;

2) Sain Sosial

• Sosiologi: sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan

• Antropologi: antropologi budaya, antropologi ekonomi, entropologi

politik.

• Psikologi: psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal;

• Ekonomi: ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan;

• Politik: politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional

Agar sekaligus tampak lengkap, berikut ditambahkan Humaniora.

3) Humaniora

• Seni: seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari;

• Hukum: hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat (mungkin

dapat dimasukkan ke sain sosial);

Page 5: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

• Filsafat: logika, ethika, estetika;

• Bahasa, Sastra;

• Agama: Islam, Kristen, Confusius;

• Sejarah: sejarah Indonesia, sejarah dunia (mungkin dapat dimasukkan ke

sain sosial).

Demikian sebagian kecil dari nama ilmu (sain). Ditambahkan juga

pengetahuan Humaniora (yang mungkin dapat digolongkan dalam sain sosial)

dalam daftar di atas hanyalah dengan tujuan agar tampak lengkap. (Bahan diambil

dari Ensiklopedi Indonesia).

B. Epistemologi Sain

Pada bagian ini diuraikan obyek pengetahuan sain, cara memperoleh

pengetahuan sain dan cara mengukur benar-tidaknya pengetahuan sain.

1. Objek Pengetahuan Sain

Objek pengetahuan sain (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua

objek yang empiris. Jujun S. Suriasumantri (Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, 1994: 105) menyatakan bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang

berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman di

sini ialah pengalaman indera.

Objek kajian sain haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti

yang harus ia temukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini

diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.

Apakah objek yang boleh diteliti oleh sain itu bebas? Artinya, apakah sain

boleh meneliti apa saja asal empiris? Menurut sain ia boleh meneliti apa saja, ia

ebas; menurut filsafat akan tergantung pada filsafat yang mana; menurut agama

belum tentu bebas.

Objek-objek yang dapat diteliti oleh sain banyak sekali: alam, tetumbuhan,

hewan, dan manusia, serta kejadian-kejadian di sekitar alam, tetumbuhan, hewan

dan manusia itu; semuanya dapat diteliti oleh sain. Dari penelitian itulah muncul

teori-teori sain. Teori-teori itu berkelompok atau dikelompokkan dalam masing-

masing cabang sain. Teori-teori yang telah berkelompok itulah yang saya sebut

Page 6: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

struktur sain, baik cabang-cabang sain maupun isi masing-masing cabang sain

tersebut.

2. Cara Memperoleh Pengetahuan Sain

Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat

dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah

pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan itu berkembang pula

pengetahuan sain dan pengetahuan mistik.

Perkembangan sain didorong oleh paham Muhanisme. Humanisme ialah

paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan

alam. Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).

Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk

mengatur manusia. Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur

itu sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya

kehidupan yang teratur itu diperlukan aturan.

Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia

menunjukkan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan

manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan

sebaiknya – kalau dapat – manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya.

Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.

Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa

yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia

itulah yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu

mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat

aturan untuk mengatur manusia dan alam.

Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat

berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang

disepakati.

Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat

aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk

dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau begitu, apa

sumber aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya ialah agama

mana? Masing-masing agama menyatakan dirinya benar, yang lain salah. Jadi,

Page 7: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang

menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang.

Begitulah kira-kira mereka berpikir.

Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada

sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama,

karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja

berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal

setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka,

Humanisme melahirkan Rasionalisme.

Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari

dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur

dengan akal pula.

Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal

artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah.

Nah, dengan aal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini

juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal.

Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali

bertentangan. Kata seseorang ini logis, tetapi kata orang lain itu logis juga.

Padahal ini dan itu itu tidak sama, bahkan kadang-kadang bertentangan. Orang-

orang sophis pada zaman Yunani Kuno dapat membuktikan bahwa bergerak sama

dengan diam, kedua-duanya sama logisnya. Apakah anak panah yang melesat dari

busurnya bergerak atau diam? Dua-duanya benar. Apa itu bergerak? Bergerak

ialah bila sesuatu pindah tempat. Anak panah itu pindah dari busur ke sasaran.

Jadi, anak panah itu bergerak. Anak panah itu dapat juga dibuktikan diam. Diam

ialah bila sesuatu pada sesuatu waktu berada pada suatu tempat. Anak panah itu

setiap saat berada di suatu tempat. Jadi, anak panah itu diam. Ini pun benar,

karena argumennya juga logis. Jadi, bergerak sama dengan diam, sama-sama

logis.

Apa yang diperoleh dari kenyataan itu? Yang diperoleh ialah berpikir logis

tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang disepakati. Padahal, aturan itu

seharusnya disepakati. Kalau begitu diperlukan alat lain. Alat itu ialah Empirisme.

Page 8: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar

ialah yang logis dan ada bukti empiris.

Nah, dalam hal anak panah tadi, menurut Empirisisme yang benar adalah

bergerak, sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak.

Coba saja perut Anda menghadang anak panah itu, perut anda akan tembus, benda

yang menembus sesuatu haruslah benda yang bergerak. Ya, memang, sesuatu

yang diam tidak akan mampu menembus. Logis juga.

Nah dengan Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam)

itu dibuat. Tetapi nanti dulu, ternyata Empirisisme masih memiliki kekurangan.

Kekurangan Empirisisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya

sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata Empirisisme, air kopi yang baru

diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih ini sangat panas.

Kata Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi,

matahari sangat besar. Demikianlah seterusnya. Empirisisme hanya menemukan

konsep yang sifatnya umum. Konsep itu belum operasional, karena belum terukur.

Jadi, masih diperlukan alat lain. Alat lain itu ialah Positivisme.

Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti

empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme. Jadi,

hal panas tadi oleh Positivisme dikatakan air kopi ini 80 derajat celcius, air

mendidih ini 100 derajat celcius, besi mendidih ini 1000 derajat celcius, ini satu

meter panjangnya, ini satu ton beratnya, dan seterusnya. Ukuran-ukuran ini

operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan pendapat. Sebagaimana

Anda lihat, aturan untuk mengatur manusia dan aturan untuk mengatur alam yang

kita miliki sekarang bersifat pasti dan rinci. Jadi, operasional. Bahkan dada dan

pinggul sekarang ini ada ukurannya, katanya, ini dalam kerangka ukuran

kecantikan. Dengan ukuran ini maka kontes kecantikan dapat dioperasikan.

Kehidupan kita sekarang penuh oleh ukuran.

Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan

untuk mengatur manusia dan mengatur alam. Kata Positivisme, ajukan logikanya,

ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih

memerlukan alat lain. Alat lain itu ialah Metode Ilmiah. Sayangnya, Metode

Ilmiah sebenarnya tidak mengajukan sesuatu yang baru; Metode Ilmiah hanya

Page 9: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

mengulangi ajaran Positivisme, tetapi lebih operasional. Metode Ilmiah

mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut:

logico-hypothetico-verificartif. Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis,

kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan

pembuktian hipotesis itu secara empiris.

Dengan rumus Metode Ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode

Ilmiah itu secara teknis dan rinci menjelaskan dalam satu bidang ilmu yang

disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan Model-model Penelitian. Nah,

Model-model Penelitian inilah yang menjadi instansi terakhir – dan memang

operasional – dalam membuat aturan (untuk mengatur manusia dan alam) tadi.

Dengan menggunakan Model Penelitian tertentu kita mengadakan

penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah yang kita warisi sekarang berupa

tumpukan pengetahuan sain dalam berbagai bidang sain. Inilah sebagian dari isi

kebudayaan manusia. Isi kebudayaan yang lengkap ialah pengetahuan sain,

filsafat dan mistik. Urutan dalam proses terwujudnya aturan seperti yang

diuraikan di atas ialah sebagai berikut:

Humanisme

Rasionalisme

Empirisme

Positivisme

Metode Ilmiah

Metode Riset

Model-model Penelitian

Aturan untukMengatur Alam

Aturan untukMengatur Manusia

Page 10: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

3. Ukuran Kebenaran Pengetahuan Sain

Ilmu berisi teori-teori. Jika Anda mengambil buku Ilmu (sain) Pendidikan,

maka Anda akan menemukan teori-teori tentang pendidikan. Ilmu Bumi

membicarakan teori-teori tentang bumi, Ilmu Hayat membahas teori-teori tentang

makhluk hidup. Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu ialah teori. Jika kita bertanya

apa ukuran kebenaran sain, maka yang kita tanya ialah apa ukuran kebenaran

teori-teori sain.

Ada teori Sain Ekonomi: bila penawaran sedikit, permintaan banyak, maka

harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena kuatnya maka ia ditingkatkan

menjadi hukum, disebut hukum penawaran dan permintaan. Berdasarkan hukum

ini, maka barangkali benar dihipotesiskan: Jika hari hujan terus, mesin pemanas

gabah tidak diaktifkan, maka harga beras akan naik. Untuk membuktikan apakah

hipotesis itu benar atau salah, kita cukup melakukan dua langkah. Pertama, kita uji

apakah teori itu logis? Apakah logis jika hari hujan terus harga gabah akan naik?

Jika hari hujan terus, maka orang tidak dapat menjemur padi, penawaran

beras akan menurun, jumlah orang yang memerlukan tetap, orang berebutan

membeli beras, kesempatan itu dimanfaatkan pedagang beras untuk memperoleh

untung sebesar mungkin, maka harga beras akan naik. Jadi, logislah bila hujan

terus harga beras akan naik. Hipotesis itu lolos ujian pertama, uji logika. Kedua,

uji empiris. Adakan eksperimen. Buatlah hujan buatan selama mungkin, mesin

pemanas gabah tidak diaktifkan, beras dari daerah lain tidak masuk. Periksa pasar.

Apakah harga beras naik? Secara logika seharusnya naik. Dalam kenyataan

mungkin saja tidak naik, misalnya karena orang mengganti makannya dengan

selain beras. Jika eksperimen itu dikontrol dengan ketat, hipotesis tadi pasti

didukung oleh kenyataan. Jika didukung oleh kenyataan (beras naik) maka

hipotesis itu menjadi teori, dan teori itu benar, karena ia logis dan empiris.

Jika hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika sesuatu

teori selalu benar, yaitu jika teori itu selalu didukung bukti empiris, maka teori itu

naik tingkat keberadaannya menjadi hukum atau aksioma.

Agaknya banyak mahasiswa menyangka bahwa hipotesis bersifat mungkin

benar mungkin salah, dengan kata lain, hipotesis itu kemungkinan benar atau

salahnya sama besar, fifty-fifty. Prasangkaan itu salah.

Page 11: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Hipotesis (dalam sain) ialah pernyataan yang sudah benar secara logika,

tetapi belum ada bukti empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah

merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada

atau tidak ada bukti empirisnya adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa

kelogisan suatu hipotesis – juga teori – lebih penting ketimbang bukti empirisnya.

Harap dicatat, bahwa kesimpulan ini penting.

C. Aksiologi Sain

Pada bagian ini dibicarakan tiga hal saja, pe tama kegunaan sain; kedua,

cara sain menyelesaian masalah; ketiga, netralitas sain. Sebenarnya, yang kedua

itu merupakan contoh aplikasi yang pertama.

r

1. Kegunaan Pengetahuan Sain

Apa guna sain? Pertanyaannya sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah karena sain (ilmu) isinya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang

beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis, ini teori filsafat; berupa

argumen perasaan atau keyakinan dan kadang-kadang empiris, ini teori dalam

pengetahuan mistik; berupa argumen logis-empiris, ini teori sain.

Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain: sebagai alat membuat

eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol.

1) Teori Sebagai Alat Ekspalanasi

Berbagai sain yang ada sampai sekarang ini secara umum berfungsi

sebagai alat untuk membuat eksplanasi kenyataan. Menurut T. Jacob (Manusia, Ilmu dan Teknologi, 1993: 7-8) sain merupakan suatu sistem eksplanasi yang

paling dapat diandalkan dibandingkan dengan sistem lainnya dalam memahami

masa lampau, sekarang, serta mengubah masa depan. Bagaimana contohnya?

Akhir tahun 1997 di Indonesia terjadi gejolak moneter, yaitu nilai rupiah

semakin murah dibandingkan dengan dolar (kurs rupiah terhadap dolar menurun).

Gejala ini telah memberikan dampak yang cukup luas terhadap kehidupan di

Indonesia. Gejalanya ialah harga semakin tinggi. Bagaimana menerangka gejala

ini?

Teori-teori ekonomi (mungkin juga politik) dapat menerangkan

(mengeksplanasikan) gejala itu. Untuk mudahnya, teori ekonomi mengatakan

Page 12: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

karena banyaknya utang luar negeri jatuh tempo (harus dibayar), hutang itu harus

dibayar dengan dolar, maka banyak sekali orang yang memerlukan dolar, karena

banyak orang membeli dolar, maka harga dolar naik dalam rupiah. Nah, ini baru

sebagian gejala itu yang dieksplanasikan. Sekalipun baru sebagian, namun gejala

itu telah dapat dipahami ala kadarnya, sesuai dengan apa yang telah

dieksplanasikan itu.

Ada orang tiga bersaudara, dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka

nakal, sering mabuk, membuat keonaran, sering bolos sekolah, tidak naik kelas,

pindah-pindah sekolah. Mereka ditinggal oleh kedua orang tuanya, ayah dan

ibunya masing-masing kawin lagi dan pindah ke tempat barunya masing-masing.

Biaya hidup tiga bersaudara itu bersama pembantu mereka, tidak kurang.

Dapatkah Anda membuat eksplanasi mengapa anak-anak itu nakal?

Anda akan dapat menjelaskan (mengeksplanasikan) jika Anda menguasai

teori yang mapu menjelaskan gejala (nakal) itu. Menurut teori Sain Pendidikan,

anak-anak yang orang tuanya cerai (biasanya disebut broken home), pada

umumnya akan berkembang menjadi anak nakal. Penyebabnya ialah karena anak-

anak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya. Padahal

pendidikan dari kedua orang tua amat penting dalam pertumbuhan anak menuju

dewasa.

Sebenarnya saya amat tertarik membicarakan topik ini; senang sekali

rasanya menambahkan banyak contoh lain, tetapi kedua contoh itu agaknya

mencukupi untuk menjelaskan kegunaan teori sebagai alat membuat eksplanasi.

2) Teori Sebagai Alat Peramal

Tatkala membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah mengetahui juga

faktor penyebab terjadinya gejala itu. Dengan “mengutak-atik” faktor penyebab

itu, ilmuwan dapat membuat ramalan. Dalam bahasa kaum ilmuwan ramalan itu

disebut prediksi, untuk membedakannya dari ramalan dukun.

Dalam contoh kurs dolar tadi, dengan mudah orang ahli meramal.

Misalnya, karena bulan-bulan mendatang hutang luar negeri jatuh tempo semakin

banyak, maka diprediksikan kurs rupiah terhadap dolar akan semakin lemah.

Ramalah lain dapat pula dibuat, misalnya, harga barang dan jasa pada bulan-bulan

mendatang akan naik. Pada contoh dua tadi dapat pula dibuat ramalan. Misalnya,

Page 13: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

pada musim paceklik ini banyak pasangan suami istri yang cerai, maka

diramalkan kenakalan remaja akan meningkat. Ramalan lain: akan semakin

banyak remaja putus sekolah, akan semakin banyak siswa yang tiak naik kelas.

Tepat dan banyaknya ramalan yang dapat dibuat oleh ilmuwan akan ditentukan

oleh kekuatan teori yang ia gunakan, kepandaian dan kecerdasan; dan

ketersediaan data di sekitar gejala itu.

3) Teori Sebagai Alat Pengontrol

Eksplanasi merupakan bahan untuk membuat ramalan dan kontrol.

Ilmuwan, selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga

dapat membuat kontrol. Kita ambil lagi contoh tadi.

Agar kurs rupiah menguat, perlu ditangguhkan pembayaran hutang yang

jatuh tempo, jadi, pembayaran utang diundur. Apa yang dikontrol? Yang dikontrol

ialah kurs rupiah terhadap dolar agar tidak naik. Kontrolnya ialah kebutuhan

terhadap dolar dikurangi dengan cara menangguhkan pembayaran hutang dalam

dolar.

Agar kontrol lebih efektif sebaiknya kontrol tidak hanya satu macam.

Dalam kasus ekonomi ini dapat kita tambah kontrol, umpamanya menangguhkan

pembangunan proyek yang memerlukan bahan import. Kontrol sebenarnya

merupakan tindakan-tindakan yang diduga dapat mencegah terjadinya gejala yang

tidak diharapkan atau gejala yang memang diharapkan.

Ayah dan ibu sudah cerai. Diprediksi: anak-anak mereka akan naik.

Adakah upaya yang efektif agar anak-anak itu tidak nakal? Ada, upaya itulah yang

disebut kontrol. Dalam kasus ini mungkin pamannya, bibinya, atau kakeknya,

dapat mengganti fungsi ayah dan ibunya mereka.

Perbedaan prediksi dan kontrol ialah prediksi bersifat pasif; tatkala ada

kondisi tertentu, maka kita dapat membuat prediksi, misalnya akan terjadi ini, itu,

begini atau begitu. Sedangkan kontrol bersifat aktif; terhadap sesuatu keadaan,

kita membuat tindakan atau tindakan-tindakan agar terjadi ini, itu, begini atau

begitu.

2. Cara Sain Menyelesaian Masalah

Page 14: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Ilmu atau sain – yang isinya teori – dibuat untuk memudahkan kehidupan.

Bila kita menghadapi kesulitan (biasanya disebut masalah), kita menghadapi dan

menyelesaikan masalah itu dengan menggunakan ilmu (sebenarnya menggunakan

teori ilmu).

Dahulu orang mengambil air di bawah bukit, orang Sunda menyebutnya di

lebak. Tatkala akan mengambil air, orang melalui jalan menurun sambil

membawa wadah air. Tatkala pulang ia melalui jalan menanjak sambil membawa

wadah yang berisi air. Itu menyulitkan kehidupan. Untuk memudahkan, orang

membuat sumur. Air tidak lagi harus diambil di lebak. Air dapat diambil dari

sumur yang dapat dibuat dekat rumah.

Membuat sumur memerlukan ilmu. Tetapi sumur masih menyusahkan

karena masih harus menimba, kadang-kadang sumur amat dalam. Orang mencari

teori agar air lebih mudah diambil. Lantas orang menggunakan pompa air yang

digerakkan dengan tangan. Masih susah juga, orang lantas menggunakan mesin.

Sekarang air dengan mudah diperoleh, hanya memutar kran. Ilmu memudahkan

kehidupan.

Sejak kampung itu berdiri ratusan tahun yang lalu, sampai tahun-tahun

belakangan ini penduduknya hidup dengan tenang. Tidak ada kenakalan. Anak-

anak dan remaja begitu baiknya, tidak berkelahi, tidak mabuk-mabukan, tidak

mencuri, tidak membohongi orang tuanya. Senang sekali bermukim di kampung

itu. Tiba-tiba jalan raya melintas kampung itu. Listrik dipasang, penduduk

mendapat listrik dengan harga murah. Penduduk senang.

Beberapa tahun kemudian, anak mereka nakal. Anak remaja sering

berkelahi, sering mabuk, sering mencuri, sering membohongi orang tuanya.

Penduduk sering bertanya “Mengapa keadaan begini?” Mereka menghadapi

masalah.

Mereka memanggil ilmuwan, meminta bantuannya untuk menyelesaikan

masalah yang mereka hadapi. Apa yang akan dilakukan oleh ilmuwan itu?

Ternyata ia melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, ia mengidentifikasi masalah. Ia ingin tahu seperti apa kenakalan

remaja yang ada di kampung itu. Ia ingin tahu lebih dahulu, secara persis,

misalnya berapa orang, siapa yang nakal, malam atau hari apa saja kenakalan itu

Page 15: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

dilakukan, penyebab mabuk, berkelahi dengan siapa, dan apa penyebabnya, dan

sebagainya. Ia ingin tahu sebanyak-banyaknya atau selengkap-lengkapnya tentang

kenakalan yang diceritakan oleh orang kampung kepadanya, ia seolah-olah tidak

percaya begitu saja pada laporan orang kampung tersebut. Ia mengidentifikasi

masalah itu. Identifikasi biasanya dilakukan dengan cara mengadakan penelitian.

Hasil penelitian itu ia analisis untuk mengetahui secara persis segala sesuatu di

seputar kenakalan itu tadi.

Kedua, ia mencari teori tentang sebab-sebab kenakalan remaja. Biasanya

ia cari dalam literatur. Ia menemukan ada beberapa teori yang menjelaskan sebab-

sebab kenakalan remaja. Diantara teori itu ia pilih teori yang diperkirakannya

paling tepat untuk menyelesaikan masalah kenakalan remaja di kampung itu.

Sekarang ia tahu penyebab kenakalan remaja di kampung itu.

Ketiga, ia kembali membaca literatur lagi. Sekarang ia mencari teori yang

menjelaskan cara memperbaiki remaja nakal. Dalam buku ia baca, bahwa

memperbaiki remaja nakal harus disesuaikan dengan penyebabnya. Ia sudah tahu

penyebabnya, maka ia usulkan tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh

pemimpin, guru, organisasi pemuda, ustadz, orang tua remaja dan polisi serta

penegak hukum.

Demikian biasanya cara ilmuwan menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Itu adalah cerita tentang cara sain menyelesaikan masalah. Cara filsafat dan mistik

tentu lain lagi. Langkah baku sain dalam menyelesaikan masalah: identifikasi

masalah, mencari teori, menetapkan tindakan penyelesaian.

Janganlah hendaknya terlalu mengandalkan sain tatkala timbul masalah.

Ada dua sebab. Pertama, belum tentu teori sain yang ada mampu menyelesaikan

masalah yang dihadapi. Teori itu mungkin memadai pada zaman tertentu,

digunakan untuk menghadapi masalah yang sama pada zaman yang lain, belum

tentu teori itu efektif. Kedua, belum tentu setiap masalah tersedia teori untuk

menyelesaikannya. Masalah selalu berkembang lebih cepat daripada

perkembangan teori. Ilmu kita ternyata tidak pernah mencukupi untuk

menyelesaikan masalah demi masalah yang diharapkan kepada kita.

Apabila sain gagal menyelesaikan suatu masalah yang diajukan

kepadanya, maka sebaiknya masalah itu dihadapkan ke filsafat, mungkin filsafat

Page 16: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

mampu menyelesaikannya. Tentu dengan cara filsafat atau mungkin pengetahuan

mistik dapat membantu. Yang terbaik ialah setiap masalah diselesaikan secara

bersama-sama oleh sain, filsafat dan mistik, yang bekerjasama secara terpadu.

3. Bonus

Netralitas Sain

Pada tahun 1970-an terjadi polemik antara Mukti Alin (IAIN Yogyakarta)

dengan Sadali (ITB). Mukti Ali menyatakan bahwa sain itu netral, sementara

Sadali berpendapat sain tidak netral. Ternyata Mukti Ali hanya memancing, ia

tidak sungguh-sungguh berpendapat begitu.

Dalam ujaran Mukti Ali, waktu itu, sain itu netral, seperti pisau, digunakan

untuk apa saja itu terserah penggunannya. Pisau itu dapat digunakan untuk

membunuh (salah satu perbuatan jahat) dan dapat juga digunakan untuk perbuatan

lain yang baik. Begitulah teori-teori sain, ia dapat digunakan untuk kebaikan dan

dapat pula untuk kejahatan. Kira-kira begitulah pengertian sain netral itu.

Netral biasanya diartikan tidak memihak. Dalam kata “sain netral”

pengertian itu juga terpakai. Artinya: sain tidak memihak pada kebaikan dan tidak

juga pada kejahatan. Itulah sebabnya istilah sain netral sering diganti dengan

istilah sain bebas nilai. Nah, bebas nilai (value free) itulah yang disebut sain

netral; sedangkan lawannya ialah sain terikat, yaitu terikat nilai (value bound).

Sekarang, manakah yang benar, apakah sain seharusnya value free atau value bound? Apakah sain itu sebaiknya bebas nilai atau terikat nilai?

Pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa persoalan ini bukanlah

persoalan kecil. Ia persoalan besar karena banyak sekali aspek kehidupan manusia

yang diatur secara langsung oleh sain. Jadi, paham bahwa sain itu netral atau sain

itu terikat (tidak netral, memihak), akan mempengaruhi kehidupan manusia secara

langsung. Karena itu sebaiknya kita berhati-hati dalam menetapkan paham kita

tentang ini.

Apa untungnya bila sain netral? Bila sain itu kita anggap netral, atau kita

mengatakan bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sain

akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala

peneliti (1) memilih dan menetapkan objek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti,

dan (3) tatkala menggunakan produk penelitian.

Page 17: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Orang yang menganggap sain tidak netral, akan dibatasi oleh nilai dalam

(1) memilih objek penelitian, (2) cara meneliti, dan (3) menggunakan hasil

penelitian.

Tatkala akan meneliti kerja jantung manusia, orang yang beraliran sain

tidak netral akan mengambil – mungkin – jantung kelinci atau jantung hewan

lainnya yang paling mirip dengan manusia. Orang yang beraliran sain netral –

mungkin – akan mengambil orang gelandangan untuk diambil jantungnya. Orang

yang beraliran sain value bound, dalam epistemologi akan meneliti jantung itu

tidak dengan menyakiti kelinci itu, sementara orang yang menganut sain value free tidak akan mempedulikan apakah subjek penelitian menderita atau tidak.

Orang yang beraliran sain netral akan menggunakan hasil penelitian itu secara

bebas, sedang orang yang bermazhab sain terikat akan menggunakan produk itu

hanya untuk kebaikan saja. Jadi, persoalan netralitas sain itu terdapat baik pada

epistemologi, maupun aksiologi sain. Sebenarnya dalam ontologi pun demikian.

Dalam contoh di atas objek dan metode penelitian adalah epistemologi, sedang

penggunaan hasil penelitian adalah aksiologi. Ontologinya ialah teori yang

ditemukan itu. Ontologi itu pun netral, ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini

kebenarannya oleh peneliti.

Apa kerugiannya bila kita ambil paham sain netral? Bila kita paham sain

netral? Bila kita pilih paham sain netral maka kerugiannya ialah ia akan melawan

keyakinan, misalnya keyakinan yang berasal dari agama. Percobaan pada manusia

mungkin akan diartikan sebagai penyiksaan kepada manusia. Maka, penganut sain

tidak netral akan memilih objek penelitian yang mirip dengan manusia. Untuk

melihat proses reproduksi, tentu harus ada pertemuan antara sperma an ovum.

Untuk itu peneliti dari kalangan penganut sain netral tidak akan keberatan

mengambil sepasang lelaki-perempuan yang belum nikah untuk mengadakan

hubungan kelamin yang dari situ diamati bertemunya sperma dan ovum. Peneliti

yang menganut sain tidak netral akan melakukan itu terhadap pasangan yang telah

menikah. Ini pada aspek epistemologi.

Yang paling merugikan kehidupan manusia ialah bila paham sain netral itu

telah menerapkan pahamnya pada aspek aksiologi. Mereka dapat saja

Page 18: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

menggunakan hasil penelitian mereka untuk keperluan apapun tanpa

pertimbangan nilai.

Paham sain netral sebenarnya telah melawan atau menyimpang dari

maksud penciptaan sain. Tadinya sain dibuat untuk membantu manusia dalam

menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya telah bermakna bahwa

sain itu tidak netral, sain memihak pada kegunaan membantu manusia

menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu, paham sain

netral justru akan memberikan tambahan kesulitan bagi manusia. Kata kunci

terletak dalam aksiologi sain, yaitu ini: tatkala peneliti akan membuat teori,

sebenarnya ia telah berniat akan membantu manusia menyelesaikan masalah

dalam kehidupannya, mengapa justru temuannya menambah masalah bagi

manusia? Karena ia menganut sain netral padahal seharusnya ia menganut sain

tidak netral.

Berdasarkan uraian sederhana di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa

yang paling bijaksana ialah kita memihak atau memilih paham bahwa sain

tidaklah netral. Sain itu bagian dari kehidupan, sementara kehidupan itu secara

keseluruhan tidaklah netral.

Paham sain tidak netral adalah paham yang sesuai dengan ajaran semua

agama dan sesuai pula dengan niat ilmuwan tatkala menciptakan teori sain. Jadi,

sebenarnya tidak ada jalan bagi penganut sain netral.

Berikut dikutipkan sebagian dari tulisan Prof. Herman Soewardi, guru

besar Filsafat Ilmu Universitas Padjadjaran Bandung. Kutipan ini dapat digunakan

untuk menambah bahan pertimbangan dalam menentukan apakah sain sebaiknya

netral atau tidak netral.

Menurut Herman Soewardi (Orasi Ilmiah pada Dies Natalis IAIN Sunan

Gunung Djati Bandung ke-36 8 April 2004), dari sudut pandang epistemologi,

sain terbagi dua, yaitu Sain Formal dan Sain Emperikal. Menurutnya, Sain Formal

itu berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol-

simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain

Formal itu netral karena ia berada di dalam kepala kita dan ia diatur oleh hukum-

hukum logika.

Page 19: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Sain Emperikal merupakan wujud

konkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah jalinan-jalinan sebab akibat. Sain

Emperikal itu tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma

yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan

terhadap jagad raya. Benar bahwa Sain Emperikal itu terdiri atas logika (jalinan

sebab akibat), namun ia dimulai dari suatu pijakan yang bermacam-macam.

Pijakan itu tentulah nilai. Maka sifatnya tidak netral. Tidak netral karena

dipengaruhi oleh pijakannya itu.

Selanjutnya Herman Soewardi menambahkan uraian berikut. Barangkali

kita menyangka bahwa kausalitas itu dimana-mana sama, biasanya dirumuskan

dalam bentuk proposisi X menyebabkan Y (X Y). Memang begitu. Namun,

bila diamati lebih dalam, ternyata hal itu tidaklah sederhana itu. Baiklah kita

periksa pandangan David Hume, Immanuel Kant dan Al-Ghazali.

David Hume mengatakan bahwa dalam alam pikiran Empiricisme tidak

dapat dibenarkan adanya generalisasi sampai munculnya hukum X Y. Dari

suatu kejadian sampai menjadi hukum (teori) diperlukan adanya medium yang

berupa reasoning jalinan sebab akibat yang banyak sekali. Dan reasoning itu tidak

mungkin. Tidak mungkin karena rumitnya itu. Karena itu, hanyalah kebiasaan

orang saja (tidak ada dasar logikanya) untuk menyimpulkan setiap X akan diikuti

Y. Pendapat ini terkenal dengan istilah skeptisisme Hume. Jadi, menurut Hume,

sebab akibat itu sebenarnya tidaklah diketahui.

Immanuel Kant membantah skeptisisme Hume itu dengan mengatakan

bahwa ada pengetahuan bentuk ketiga, yaitu a priori sintetik. Ini menurut Herman

Soewardi, adalah suatu jalinan sintetik yang sudah ada, yang keadaannya itu

diterangkan oleh Kant secara transendental. Inilah medium yang dicari oleh

Hume, yang bagi orang Islam jalinan sintetik itu adalah ciptaan Tuhan yang sudah

ada sejak semula. Suatu kejadian X → Y sebenarnya terjadi di atas medium itu,

kejadian X → Y itulah yang selanjutnya menjadi hukum yang general.

Tampak pada kita bahwa dengan mengikuti acara Emperisisme, siapapun

tidak akan mampu menunjukkan medium itu. Sehubungan dengan ini Kant

mengatakan bahwa Tuhan lah yang menciptakan medium tersebut.

Page 20: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Tentang kemahakuasaan Tuhan itu Al-Ghazali menyatakan lebih tandas

lagi sehubungan dengan hukum X → Y. Kata Al-Ghazali, kekuatan X

menghasilkan Y bukan pada atau milik X itu, melainkan pada atau milik Tuhan.

Bila kapas diletakkan di atas api, kekuatan untuk terjadinya terbakar atau tidak

terbakar kapas itu bukan pada api melainkan pada Tuhan. Terbakarnya kapas oleh

api merupakan suatu regularitas atau kebiasaan atau adat, adat itu dari Tuhan,

namun pada kejadian khusus seperti pada Nabi Ibrahim, api tidak membakar.

Karena Tuhan pada waktu itu tidak memberikan kekuatan membakar pada api. Ini

merupakan hukum kausalitas yang sangat fundamental, bahwa kekuatan pada

penyebab (X) adalah kekuatan Tuhan. Sekarang, istilah yang mendunia untuk

menyatakan kekuatan Tuhan itu ialah faktor Z.

Kekuatan dari atau pada Tuhan itu, baiklah kita sebut faktor Z,

menghasilkan suatu pengertian bahwa kausalitas itu sifatnya berubah dari cukup

(sufficient) menjadi tergantung (contingent) pada faktor lain (dalam hal ini

Tuhan).

Dari kesimpulan itu akan muncul kesimpulan lain, yaitu kausalitas atau

linkage menjadi bergeser dari tidak memperhitungkan kehendak Tuhan ke

memperhitungkan kehendak Tuhan. Dari sini muncul beberapa pergeseran, yaitu:

• Dari deterministik (pasti) bergeser ke stokastik (mungkin);

• Dari sebab akibat terjadi pada waktu yang sama ke sebab akibat terjadi pada

waktu yang berlainan;

• Dari cukup (sufficient) bergeser ke tergantung (contingent) pada faktor Z;

• Dari niscaya (necessary) bergeser ke berganti (sustitutable).

Sain Formal dikatakan netral karena hukum-hukumnya bukan dibuat oleh

manusia. Hukum-hukumnya dibuat oleh Tuhan. Hukum-hukumnya itu ada di

dalam kepala kita.

Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Tidak netral karena ia dibangun

berdasarkan pijakan seseorang pakar yang mungkin berada dengan pakar lain.

Tentang ini Thomas Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut.

Page 21: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

NORMALSCIENCE 1

Netral?

ANOMALI NORMALSCIENCE 2

Netral?KRISISANOMALI NORMAL

SCIENCE 3Netral?KRISIS

DULU KINI KELAK

PARADIGMA 1 PARADIGMA 2 PARADIGMA 3

Sain Emperikal disebut Kuhn Sain Normal (Normal Science). Sain Normal

muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seseorang pakar. Dalam

perkembangannya Sain Normal mengahadapi fenomena yang tidak dapat

diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anomali. Selanjutnya anomali ini

menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga

akan timbul paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah

dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain. Karena itu Sain Normal itu

tidak netral.

Masalah utama Sain Normal ialah masalah penginderaan. Padahal kita

tahu bahwa metode andalan – bahkan metode satu-satunya bagi Sain Normal ialah

observasi (dalam arti luas), sementara observasi itu sangat mengandalkan

penginderaan. Tetapi pada penginderaan inilah kelemahan utama Sain Normal.

Menurut cara berpikir Empirisisme penginderaan adalah modal

fundamental bagi manusia untuk mengetahui jagad raya. Tetapi, seperti dikatakan

Kuhn, yang orang ketahui itu tidaklah bersifat tetap, melainkan sementara dan

akan berubah setelah terjadi anomali. Kini pertanyaannya ialah: Mengapa

pengideraan itu ada cacatnya sehingga pendapat para pakar itu sering tidak sama

dan sering berubah? Ini dijawab oleh Richard Tarnas. Tarnas mengatakan bahwa

di depan mata manusia itu ada “lensa” yang memfilter penglihatan “lensa” itu

dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, keterbatasan, trauma dan harapan. Maka, kata

Tarnas, sama dengan Kant, yang ada di benak manusia itu bukanlah jagad raya

yang sebenarnya melainkan sesuatu jagad raya ciptaan manusia itu. Karena itu

kausalitas yang dibangun oleh akal manusia itu menjadi kausalitas yang terlalu

sederhana. Bila manusia mengubah jagad raya (jagad raya buatannya), memang

manusia akan memperoleh apa yang diharapkannya, akan tetapi seringkali disertai

Page 22: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

oleh akibat-akibat yang tidak diharapkannya. Kejadian ini (muncul akibat yang

tidak diharapkan) disebut antitetikal dan akibat-akibat yang berupa antitetikal inilah yang menimbulkan kerusakan-kerusakan di planet kita seperti bolongnya

lapisan ozon.

Kekurangan dalam penginderaan manusia itu, menurut Herman Soewardi,

dapat disempurnakan oleh firman Tuhan. Menurut Herman Soewardi, bila Sain

Normal itu netral ia akan menimbulkan 3R (resah, renggut, rusak). Kayaknya

sekarang kita telah menyaksikan kebenaran thesis Herman Soewardi itu. Karena

itu thesis tersebut perlu mendapat perhatian.

Krisis Sain Modern

Sain modern ialah sain empirikal, yaitu sain normal menurut Kuhn.

Tulisan ini esensinya diambil dari buku Herman Soewardi Tiba Saatnya Islam Kembali Kaffah Kuat d n Berijtihad (Suatu Kognisi Baru tentang Islam), 1999,

Bagian Tiga Bab 14 yang berjudul Tarnas The C isis of Modern Science.

ar

f Pada tahun 1993, buku Tarnas yang berjudul The Passion of the Western Mind, terbit. Dalam buku itu ada sebuah bab yang berjudul The Crisis o Modern Science.

Menurut Tarnas, sedikitnya ada enam hal yang menarik perhatian tentang

sain modern. Pertama, postulatat dasar sain modern ialah space, matter, causality, dan observation, ternyata semuanya dinyatakan tidak benar. Kedua, dianutnya

pendapat Kant bahwa yang orang katakan jagad raya, bukanlah jagad raya yang

sebenarnya, tetapi jagad raya sebagaimana diciptakan oleh pikiran manusia.

Ketiga, determinisme Newton kehilangan dasar, orang pindah ke stochastic. Keempat, partikel-partikel sub-atomatik terbuka untuk interpretsi spiritual.

Kelima, adanya uncertainty sebagaimana ditemukan oleh Heisenberg. Keenam,

kerusakan ekologi dan atmosfir yang menyeluruh yang disebut Tarnas planetary ecological crisis.

Dari enam hal yang menarik di atas Tarnas menyimpulkan bahwa orang

merasa tahu tentang jagad raya, padahal tidak: tidak ada jaminan orang dapat tahu;

yang dikatakan jagad raya sebenarnya menunjukkan hubungan orang dengan

jagad raya itu, atau jagad raya sebagaimana diciptakan oleh orang itu.

Page 23: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Tentu saja kesimpulan Tarnas itu sangat menggetarkan. Mengapa sampai

demikian? Tarnas menjawab sendiri: Landasan ilmiah untuk menggambarkan

jagad raya dalam sain modern adalah sangat terbatas bahkan landasan itu cukup

berbahaya.

Maka kita bertanya, bagaimana kelanjutan sain modern itu bila postulat-

postulat dasarnya dibuktikan tidak benar, dan terutama bila landasan ilmiahnya

terbatas bahkan berbahaya? Tetapi baiklah kita lihat lebih rinci mengenai

kesalahan-kesalahan sain modern itu.

Pertama, tentang space atau jagad raya. Pandangan sekarang yang berlaku

ialah bahwa space itu terbatas (finite), tetapi lepas bentuknya lengkung (tidak

linier) sehingga garis edar benda-benda angkasa berbentuk elips, bukan karena

tertarik gravitasi ke arah matahari melainkan memang bentuknya lengkung. Kini,

berlaku pandangan empat dimensi space-time, bukan hanya tiga seperti pada

geometri Eucled.

Jagad raya yang kita ketahui bukanlah jagad raya yang sebenarnya, ia

adalah jagad raya ciptaan manusia. Inilah pandangan Kant. Sekarang, terbukti

penemuan-penemuan pada mekanika kuantum menyokong pandangan Kant itu.

Maka, yang dikatakan jagad raya (space) itu hanyalah hubungan manusia dengan

jagad raya, atau jagad raya sebagaimana tampak menurut apa yang dipertanyakan

oleh manusia.

Kedua, tentang matter atau materi. Baik Democritus maupun Newton,

memandang materi itu solid. Pandangan sekarang menyatakan materi itu kosong.

Mekanika kuantum membuktikannya.

Ketiga, tentang kausalitas. Sain modern menganggap kausalitas itu

sederhana. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel saling mempengaruhi tanpa

dapat dipahami bagaimana hubungan kausalitas di antara mereka; kausalitas itu

kompleks.

Keempat, tentang unce tainty dari Heisenberg. Ternyata observasi tdh

elektron hanya dapat dilakukan terhadap salah satu posisi atau kecepatannya,

selain itu observer tidak dapat mengobservasinya tanpa merusaknya. Heisenberg

menemukan bahwa gerakan atom tidak dapat keduanya ditetapkan sekaligus,

posisi atau kecepatannya. Ini mempertanyakan tentang kelemahan observasi.

r

Page 24: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Kelima, tentang partikel sub-atomatik. Capra mendapati bahwa ada

semacam kecerdasan elektron, sehingga kini fisika terbuka untuk menerima

interpretasi spiritual.

Keenam, kerusakan ekologi menyeluruh. Ini adalah tanda-tanda konkret

adanya dampak buruk sain, ia merupakan kebalikan dari yang diharapkan dari

sain. Dampak itu antara lain berupa kontaminasi air, udara, tanah, efek buruk

berganda pada kehidupan tetumbuhan dan hewan, kepunahan berbagai species,

kerusakan hutan, erosi tanah, pengurasan air tanah, akumulasi ilmiah yang toksik,

efek rumah kaca, bolongnya ozon, salah satu ujungnya ialah ekonomi dunia

semakin runyam.

Pengembangan Ilmu

Bila Anda bertemu dengan seseorang yang baru dilantik menjadi rektor

sesuatu perguruan tinggi dan Anda bertanya apa program utamanya, maka Anda

akan mendapat jawaban bahwa program utamanya ialah pengembangan ilmu.

Tentu saja, karena perguruan tinggi pada umumnya adalah gudang ilmu. Namun,

yakinlah Anda banyak orang yang tidak memahami secara tepat apa sebenarnya

pengembangan ilmu itu, termasuk banyak juga dari kalangan rektor yang sedang

menjabat sebagai rektor. Berikut adalah uraian yang tepat mengenai

pengembangan ilmu, bila Anda setuju.

Jika Anda membuka Ilmu Bumi, Anda akan melihat bahwa isinya ialah

teori tentang bumi; buku Ilmu Hayat isinya adalah teori tentang makhluk hidup;

buku Sejarah isinya teori tentang kejadian masa lalu; buku Filsafat isinya teori

filsafat, dan begitulah selanjutnya. Jadi, isi ilmu adalah teori.

Secara umum teori ialah pendapat yang beralasan. Semakin banyak makan

telor akan semakin sehat atau telor berpengaruh positif terhadap kesehatan, adalah

teori dalam sain. Bila permintaan meningkat maka harga akan naik, juga adalah

teori sain. Menurut Plato, penjaga negara (presiden dan menteri) haruslah filosof

dan mereka tidak boleh berkeluarga, jika berkeluarga maka mereka tidak akan

beres menjaga negara. Ini teori filsafat. Jika penduduk suatu negara beriman

bertakwa maka Tuhan akan menurunkan berkah bagi mereka dari langit. Ini salah

satu teori dalam agama Islam. Jin dapat disuruh melakukan sesuatu. Ini teori

dalam pengetahuan mistik. Teori adalah pendapat (yang beralasan).

Page 25: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Karena isi ilmu adalah teori, maka mengembangkan ilmu adalah teorinya.

Ada beberapa kemungkinan dalam mengembangkan teori. Pertama, menyusun

teori baru. Dalam hal ini memang belum pernah dari teori yang muncul, lantas

seseorang menemukan teori baru. Kedua, menemukan teori baru untuk mengganti

teori lama. Dalam kasus ini, tadinya sudah ada teorinya tetapi karena teori ini

sudah tidak mampu menyelesaikan masalah yang mestinya ia mampu

menyelesaikannya, maka teori itu diganti dengan teori baru. Ketiga, merevisi teori

lama. Dalam hal peneliti atau pengembang, tidak membatalkan teori lama, tidak

juga menggantinya dengan teori baru, ia hanya merevisi, ia hanya

menyempurnakan teori lama itu. Keempat, membatalkan teori lama. Ia hanya

membatalkan, tidak menggantinya dengan teori baru. Ini aneh: ia mengurangi

jumlah teori yang sudah ada, ia membatalkan teori dan tidak menggantinya

dengan teori baru, tetapi tetap dikatakan ia mengembangkan ilmu.

Bagaimana prosedur serta langkah-langkah pengembangan ilmu akan amat

ditentukan oleh jenis ilmunya. Itu memerlukan organisasi, ada managernya. Itu

memerlukan biaya tinggi kadang-kadang memerlukan tenaga yang sedikit atau

banyak; memerlukan waktu, ada yang sebentar dari yang lama, bahkan ada yang

sangat lama.

Page 26: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

BAB 3

PENGETAHUAN FILSAFAT

Pada bab ini dibicarakan antologi, epistemologi dan aksiologi filsafat.

Ontologi membicarakan hakikat, objek dan struktur filsafat. Epistemologi

membahas cara memperoleh dan ukuran kebenaran pengetahuan filsafat.

Aksiologi mendiskusikan masalah kegunaan filsafat dan cara filsafat

menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dibicarakan juga pada bab ini masalah

netralitas filsafat yang akan membahas apakah filsafat itu sebaiknya netral (value free) atau terikar (value bound).

A. Antologi Filsafat

Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa pengetahuan

filsafat itu sebenarnya. Struktur filsafat dibahas juga di sini. Yang dimaksud

struktur di sini ialah cabang-cabang filsafat serta isi (yaitu teori) dalam setiap

cabang itu. Yang dibicarakan di sini hanyalah cabang-cabang saja, itupun hanya

sebagian. Teori dalam setiap cabang tentu sangat banyak dan itu tidak dibicarakan

di sini. Struktur dalam arti cabang-cabang filsafat sering juga disebut sistematika

filsafat.

1. Hakikat Pengetahuan Filsafat

Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan

lebih dulu; nanti bila orang telah banyak mempelajari filsafat orang itu akan

mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu (Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1966,I:3)

Langeveld juga berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri,

barulah ia maklum apa filsafat itu, makin dalam ia berfilsafat akan semakin

mengerti ia apa filsafat itu (Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat, 1961:9).

Pendapat Hatta dan Langeveld itu benar, tetapi apa salahnya mencoba

menjelaskan pengertian filsafat dalam bentuk suatu uraian. Dari uraian ini

diharapkan pembaca mengetahui apa filsafat itu, sekalipun belum lengkap. Dan

dari situ akan dapat ditangkap apa itu pengetahuan filsafat.

Poedjawijatna (Pembimbing ke Alam Filsafat, 1974:11) mendefinisikan

filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-

Page 27: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Hasbullah Bakry

(Sistematik Filsafat, 1971:11) mengatakan bahwa filsafat sejenis pengetahuan

yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam

semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang

bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana

sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

Definisi Poedjawijatna dan Hasbullah Bakry menjelaskan satu hal yang

penting yaitu bahwa filsafat itu pengetahuan yang diperoleh dari berpikir. Seperti

yang sudah dijelaskan pada Bab 1, memang ciri khas filsafat malah ia diperoleh

dengan berpikir dan hasilnya berupa pemikiran (yang logis tetapi tidak empiris).

Apa yang diingatkan oleh Hatta dan Langeveld memang ada benarnya.

Kita sebenarnya tidak cukup hanya dengan mengatakan filsafat ialah hasil

pemikiran yang tidak empiris, karena pernyataan itu memang belum lengkap.

Bertnard Russel menyatakan bahwa filsafat adalah the attempt to answer ultimate question critically (Joe Park, Selected Reading in the Philosophy of Education,

1960:3). D.C. Mulder (Pembimbing ke Dal m Ilmu Filsa at, 1966:10)

mendefinisikan filsafat sebagai pemikiran teoritis tentang susunan kenyataan

sebagai keseluruhan. William James (Encyclopedia of Philosophy, 1967:219)

menyimpulkan bahwa filsafat ialah a collective name for question which have not been answered to the satisfication of all that have asked them. Namun, dengan

mengatakan bahwa filsafat ialah hasil pemikiran yang hanya logis, kita telah

menyebutkan inti sari filsafat. Pada Bab 1 telah saya jelaskan (cobalah lihat

kembali matrik itu) bahwa pengetahuan manusia ada tiga macam yaitu

pengetahuan sain, pengetahuan filsafat dan pengetahuan mistik; pengetahuan

filsafat ialah pengetahuan yang logis dan tidak empiris. Jika Anda orang pemula

dalam filsafat pegang saja ini.

a f

2. Struktur Filsafat

Hasil berpikir tentang yang ada dan mungkin ada itu tadi telah terkumpul

banyak sekali, dalam buku tebal maupun tipis. Setelah disusun secara sistematis,

itulah yang disebut sistematika filsafat. Yang inilah yang saya maksud dengan

struktur filsafat.

Page 28: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yaitu : antologi, epistemologi, dan

aksiologi. Ketiga cabang itu sebenarnya merupakan satu kesatuan:

• antologi, membicarakan hakikat (segala sesuatu) ini berupa pengetahuan

tentang hakikat segala sesuatu;

• epistmologi, cara memp oleh pengetahuan itu; er

a

• aksiologi, membicarakan guna pengetahuan itu.

Antologi mencakupi banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk di sini,

misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika,

Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain. Epistemologi hanya mencakup

satu bidang saja yang disebut Epistemologi yang membicarakan cara memperoleh

pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi setiap cabang filsafat. Sedangkan aksiologi

hanya mencakup satu cabang filsafat yaitu Aksiologi yang membicarakan guna

pengetahuan filsafat. Inipun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka

struktur filsafat.

Salah satu filsafat yang masih “baru” ialah Filsafat Perennial. Karena baru,

filsafat itu diuraikan ala kadarnya berikut ini.

Filsafat Perennial1

Istilah perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang kemudian

diadopsi ke dalam bahasa Inggris perennial yang berarti kekal (Kommaruddin

Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan : Perspektif Filsaf t Perennial, 1995:1). Dengan demikian, Filsafat Perennial (Philosophia Perennis)

adalah filsafat yang dipandang dapat menjelaskan segala kejadian yang bersifat

hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalani hidup yang benar,

yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi besar spiritualitas manusia (lihat

Kommaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, 1995:xx). Hakikat itu menjadi inti

pembicaraan Filsafat Perennial, yaitu adanya yang suci (The Sacred) atau yang

satu (The One) dalam seluruh manifestasinya seperti dalam agama, filsafat, seni,

dan sain. Jadi, dalam definisi teknisnya Filsafat Perennial ialah pengetahuan

filsafat tentang yang selalu ada (Budy Munawar Rahman dalam Komaruddin

Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, hal xii, xxix).

1 Diadopsi dari makalah Adeng Muchtar Ghazali, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan

1997/1998

Page 29: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Berkaitan dengan itu, Aldous Huxley yang dalam pertengahan abad 19

mempopulerkan istilah perennial melalui bukunya The Perennial Philosophy

mengemukakan bahwa hakikat Filsafat Perennial, ada tiga yaitu metafi ika, psikologi dan etika (The Perennial Philosophy, 1945:vii).

s

Metafisika untuk mengetahui adanya hakikat realitas Ilahi yang

merupakan substansi dunia ini baik yang material, biologis maupun intelektual.

Psikologi adalah jalan untuk mengetahui adanya sesuatu dalam diri manusia (yaitu

soul) yang identik dengan Realitas Ilahi. Dan etika adalah yang meletakkan tujuan

kahir kehidupan manusia. Dengan demikian, maka Filsafat Perennial

memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semester ini dengan

Realitas Ilahi itu. Realitas pengetahuan tersebut hanya dapat dicapai melalui apa

yang disebut Plotinus intelek atau soul atau spirit yang jalannya pun hanya

melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang diyakini

oleh kalangan perennialis sebagai berasal dari Tuhan (lihat Komaruddin Hidayat,

1995:xxix).

Pengenalan metafisika lebih dahulu sebelum pengetahuan lainnya

mungkin disebabkan karena perkembangan filsafat pada awalnya adalah

metafisika, sehingga untuk memahami isi alam harus dipahami lebih dahulu

wujud Tuhan. Mengenai psikologi sebagai hal kedua yang harus dikenali adanya

karena kenyataan bahwa Tuhan sebagai tujuank merupakan sesuatu yang tidak

terbatas yang hanya dapat diketahui oleh bagian dari unsur “dalam” manusia.

Atas dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa pembicaraan tentang cara

mengetahui (epistemologi) objek Filsafat Perennial sama artinya dengan

pembicaraan tentang proses batin manusia “menangkap” Realitas Absolut itu.

Metafisika. Filsafat Perennial mengatakan bahwa eksistensi-eksistensi

tertata secara hirarkis (Frithjof Schoun, The Trancendent Unity of Religion,

1975:19). Realitas selalu saling terkait, jumlahnya meningkat ketika level-nya

naik. Semakin tinggi eksistensi semakin real ia (Houston Smith, Beyond Post-Modern, 1979:8).

Melalui Filsafat Perennial disadari adanya Yang Infinite dibalik kenyataan

ini (level of reality). Juga dalam diri manusia (level of selfhood) yang terdiri dari

body, mind, dan soul, dipercayai adanya yang disebut spirit (roh). Alam semesta

Page 30: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

dan manusia pada dasarnya hanyalah tajalli atau penampakan infinite atau spirit yang dalam Islam disebut al-Haqq (Komaruddin Hidayat, 1995:xxxii). Karena

adanya dua level ini maka diyakini dunia ini bersifat hirarkis.

Tingkat-tingkat eksistensi ini menjelaskan bahwa tradisi (agama misalnya)

adalah jalan yang memberi tahu kita tentang cara menempuh “pendakian” dan

tingkat eksistensi yang lebih rendah, yaitu kehidupan sehari-hari, ke tingkat yang

lebih tinggi, yaitu Tuhan melalui pengalaman mistis atau pengalaman kesatuan.

Wujud real ini dapat disamakan dengan klaim Realisme mengenai apa

yang tampak nyata. Tetapi real di sini adalah real dengan sendirinya. Bagi orang

yang telah terbiasa dengan Rasionalisme atau Empirisme pembedaan ini agak sulit

dilakukan. Bukankah manusia sudah real lalu ada realitas lain yang lebih real yang

tampak?

Mengenai hal ini Houston Smith mengemukakan alegori Plato sebagai

analognya. Mengenai alegori Plato bacalah uraian Plato mengenai manusia guna

(cave man) lihat misalnya dalam Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (1990:49-50).

Dalam legenda Plato itu orang yang punya bayangan orang itu adalah sesuatu

yang real, tetapi orang yang punya bayangan adalah lebih real dibandingkan

dengan bayangannya.

Di dalam alegori itu hendak digambarkan juga (oleh Plato) bahwa manusia

yang tidak dilengkapi dengan “cahaya” akan terus berkutat pada bentuk tertentu

dan tidak akan tiba pada dimensi yang lebih tinggi. Hanya dengan “cahaya” itulah

manusia akan mampu melihat adanya dimensi lain yang lebih real daripada ia

lihat sekarang.

Inti alegori itu adalah untuk menggambarkan kemungkinan adanya sesuatu

kehidupan yang lebih tinggi yang sekarang sulit dipahami karena manusia tidak

mampu ikut serta dalam penampakannya. Manusia dikelilingi oleh benda-benda,

benda-benda itu membatasi manusia untuk meningkat ke kualitas lebih tinggi.

Manusia mampu meningkat ke tingkat lebih tinggi itu dengan kemampuan

“cahaya”. Dengan demikian, jelaslah bahwa ada hirarki realitas.

Realitas tanpa batas hanya dapat diungkapkan melalui citra-citra. Melalui

pencitraan itu realitas tanpa batas dapat diukur dalam enam hal yakni energi,

durasi, ruang lingkup, kesatuan, nilai penting, dan kebaikan (lihat Komaruddin

Page 31: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Hidayat, 1995:10). Energi atau kekuatan misalnya, merupakan suatu pengaruh

yang menyebabkan yang lain memberikan respon atas keberadaannya. William

James mengatakan bahwa dikatakan real jika sesuatu menyebabkan kita

berkewajiban untuk berurusan dengannya (William James, Some Problems of Philosophy, 1971:101).

Suatu wujud dikatakan tak terhingga jika ia memasuki enam kategori di

atas. Misalnya jika energi atau power tak terhingga, ia Maha Kuasa, jika durasi

tak terhingga, artinya durasinya tak terputus, maka ia Abadi; jika ruang

lingkupnya tak terbatas, ia Ada dimana-mana; jika kesatuannya tanpa syarat, ia

Murni (tidak memuat apapun); jika nilai pentingnya diutamakan, ia menjadi

Mutlak; jika kebaikannya ditonjolkan, ia Mahasempurna. Kesemuanya itu adalah

Tuhan.

Pembicaraan mengenai objek utama Filsafat Perennial tentu akan sulit bila

tidak dihubungkan dengan alam sebagai citraan Tuhan. Tuhan dan alam sesuai

dengan hirarkinya masing-masing harus dibicarakan. Pembicaraan ini berakibat

pada penciptaan eksistensi yang hirarkis dari atas ke bawah, yang lebih atas

berarti lebih real yaitu Godhead atau Yang Tak Terhingga, yaitu Tuhan

menyatakan adanya level lebih real bukan berarti level di bawahnya tidak real

melainkan kurang real dibandingkan dengan eksistensi level di atasnya.

Psikologi. Manusia adalah makhluk yang mencerminkan alam raya,

demikian juga sebaliknya. Manusia suatu saat dapat menjadi makrokosmos pada

saat yang lain menjadi mikrokosmos. Kedua kemungkinan itu akan berpengaruh

pada penilaian mana yang lebih baik dalam hirarki kemanusiaan. Yang terbaik

dalam diri manusia adalah yang paling “dalam”, ia adalah basis dan dasar bagi

wujud manusia. Pada basis yang paling dalam inilah kaum sufi menemukan suatu

lokus percakapan antara mansuia dengan Tuhan (lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX, 1983:58).

Untuk memahami lebih jauh tentang kondisi “dalam” manusia, Filsafat

Perennial melihat dua kecenderungan dalam manusia, yaitu Aku-Objek (me) yang

bersifat terbatas dan Aku-Subyek (I) yang dalam kesadarannya tentang

keterbatasan ini mampu membuktikan bahwa dalam dirinya sendiri ia bebas dari

keterbatasannya.

Page 32: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Filsafat Perennial yang mencoba mencari keabadian, memilih Aku-Subyek

yang tak terhingga yang menenggelamkan diri pada pusat diri yang paling dalam,

menutup segala permukaan inderawi, persepsi maupun pemikiran, dibungkus

dalam kantung jiwa yang bersifat Ilahi, sehingga masuk pada suatu pencapaian

yang bukan jiwa, bukan personal, melainkan Segala-Diri (all-self) yang

melampaui segala kedirian. Filsafat Perennial menggariskan bahwa di dalam

manusia “menginkarnasi” Tuhan yang tak terhingga, jika manusia mampu

membuang penutup-penutup akal indrawi, membuang kerangkeng materi dan

terbang melampaui ruang dan waktu. Kondisi semacam itulah mungkin yang

diungkapkan oleh Gabriel Marcel “Semakin dalam aku menjangkau diriku,

semakin tampak ia melampaui diriku” (lihat Mathias Haryadi, Membina Hubungan antar Pribadi Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan dan Cinta Menurut Gabriel Marcel, 1996:49-57).

Manusia mampu menangkap limpahan Aku-Subyek yang tak terbatas di

saat sedang tenggelam dalam tugas yang tidak memberikan sedikitpun perhatian

pada kepentingan pribadi. Dalam bahasa I-Me tidak ada lagi me yang tersisa.

Maqam itu dapat dicapai melalui empat level. Pertama, sebuah kehidupan yang

secara primer diidentikkan dengan kesenangan dan kebutuhan fisik (memberi atau

menerima, hidup sekedar menghabiskan umur) akan bersifat atau bernilai

pinggiran; kedua seseorang yang dapat mengembangkan perhatian pada akal, ini

dapat menjadi diri yang menarik; ketiga, jika manusia dapat beralih pada hati, ia

akan menjadi orang baik; keempat, jika ia dapat melewatinya dan sampai ke roh,

yang menjaga dari lupa diri dan mempertahankan egalitarianisme yakni

kepentingan pribadi sama dengan kepentingan orang lain, ia akan menjadi orang

sempurna (Houston Smith, 1979:18).

Filsafat Perennial bukan berarti tidak menghargai akal. Namun dalam

menghargai akal itu yang dihargai ialah orang yang menggunakannya bukan pada

kemampuan akal itu.

Etika. Suasana batin tertentu pada tataran psikologis ternyata sanggup

menembus sampai kesejatiannya. Itu diperoleh melalui metode-metode tertentu.

Metode itu ialah metode yang biasanya digunakan oleh pejalan mistik atau suluk.

Tetapi Filsafat Perennial tidak membahas itu secara rinci.

Page 33: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Etika adalah kumpulan untuk mengefektifkan usaha transformasi diri yang

akan memungkinkan untuk mengalami dunia dengan cara baru. Melakukan

perubahan, reformasi dan pengaturan akan membawa ke arah kondisi diri yang

baru, mencakup bagaimana prinsip-prinsip untuk mengetahui dunia secara lebih

sejati dari sekedar penampakannya apa adanya.

Isi etika adalah bentuk-bentuk kerendahatian, kedermawanan, ketulusan.

Kerendahhatian merupakan kapasitas untuk membuat jarak diri dengan

kepentingan pribadinya, menjauhkan ego sehingga ia dapat melihatnya secara

objektif dan akurat. Tiga kebaikan utama ini masing-masing berkaitan dengan

tatanan manusia. Ketulusan adalah kemampuan untuk mengetahui benda-benda

secara aktual dan objektif. Kedermawanan adalah melihat orang lain seperti pada

dirinya sendiri, sedangkan kerendahhatian adalah melihat diri sendiri seperti orang

lain.

Filsafat Post Modern (Post Modern Philosophy)

Di dalam literature filsafat, biasanya babakan sejarah filsafat dibagi tiga.

Pertama, Filsafat Yunani Kuno (Ancient Philosophy) yang didominasi

Rasionalisme, kedua Filsafat Abad Tengah (Middle Ages Philosophy), disebut

juga The Dark Ages Philosophy (Filsafat Abad Kegelapan), yang didominasi oleh

pemikiran tokoh Kristen, ketiga Filsafat Modern (Modern Philosophy) yang

didominasi lagi oleh Rasionalisme.

Akhir-akhir ini agaknya telah muncul babakan keempat, yaitu Filsafat

Pascamodern (Post Modern Philosophy).

Jika periode pertama didominasi rasio, periode kedua didominasi

pemikiran tokoh Kristen, periode ketiga didominasi rasio lagi, maka pada periode

keempat itu apa yang mendominasi?

Pada intinya, filsafat Pascamodern (anak-anak sering menyebutnya

Posmo) mengkritik Filsafat Modern. Orang-orang Posmo mengatakan Filsafat

Modern itu harus didekonstruksi. Karena Filsafat Modern itu didominasi

Rasionalisme, maka yang didekonstruksi itu adalah Rasionalisme itu.

Rasionalisme ialah paham filsafat yang mengatakan akal itulah alat

pencari dan pengukur kebenaran. Nah, paham itulah yang didekonstruksi oleh

Filsafat Posmo.

Page 34: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Sebenanrya, budaya Barat (yang ternyata mengglobal) adalah budaya yang

secara keseluruhan dibangun berdasarkan Rasionalisme itu. Dan kata Capra,

memang hanya berdasarkan Rasionalisme.

Pada tahun 1880-an Nietzsche telah menyatakan bahwa budaya barat (ya,

budaya rasional itu) telah berada di pinggir jurang kehancuran, itu disebabkan

oleh terlalu mendewakan rasio. Pada tahun 1990-an Capra menyatakan bahwa

budaya Barat itu telah hancur, itu disebabkan oleh terlalu mendewakan rasio.

Sepertinya, tokoh-tokoh Filsafat Posmo itu ingin menyelematkan budaya

Barat. Menurut mereka budaya dapat diselamatkan bila budaya Barat disusun

ulang tidak hanya berdasarkan Rasionalisme. Orang-orang Posmo berpendapat

bahwa sumber kebenaran tidak hanya rasio, ada sumber kebenaran lain selain

rasio. Agama, misalnya. Jika digunakan agama, maka penggunaan rasio telah

termasuk di dalamnya.

Kayaknya ada baiknya budaya disusun berdasarkan ajaran agama tetapi

harus dipilih agama yang benar-benar berasal dari Tuhan Yang Maha Pintar.

B. Epistemologi Filsafat

Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang

dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran

(pengetahuan) filsafat.

1. Objek Filsafat

Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang

terdalam. Jika hasil pemikiran itu disusun, maka susunan itulah yang kita sebut

sistematika Filsafat. Sistematika atau Struktur Filsafat dalam garis besar terdiri

atas antologi, epistemologi dan aksiologi.

Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti

(dipikirkan)nya. Jika ia memikirkan pendidikan maka jadilah Filsafat Pendidikan.

Jika yang dipikirkannya hukum maka hasilnya tentulah Filsafat Hukum, dan

seterusnya. Seberapa luas yang mungkin dapat dipikirkan? Luas sekali. Yaitu

semua yang ada dan mungkin ada. Inilah objek filsafat. Jika ia memikirkan

pengetahuan jadilah ia Filsafat Ilmu, jika memikirkan etika jadilah Filsafat Etika,

dan seterusnya.

Page 35: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya

meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin

ada. Sebenarnya masih ada objek lain yang disebut objek forma yang menjelaskan

sifat kemendalaman penelitian filsafat. Ini dibicarakan pada epistemologi filsafat.

Perlu juga ditegaskan (lagi) bahwa saink meneliti objek-objek yang ada

dan empiris; yang ada tetapi abstrak (tidak empiris) tidak dapat diteliti oleh sain.

Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang mungkin

ada, sudah jelas abstrak itu pun jika ada. Cobalah lihat lagi matrik kita pada

Bab 1.

2. Cara Memperoleh Pengetahuan Filsafat

Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggung jawabkan)

cara mereka memperoleh pengetahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat

kepada para filosof antara lain ialah karena ketelitian mereka, sebelum mencari

pengetahuan mereka membicarakan lebih dahulu (dan mempertanggungjawabkan)

cara memperoleh pengetahuan tersebut. Sifat itu sering kurang dipedulikan oleh

kebanyakan orang. Pada umumnya orang mementingkan apa yang diperoleh atau

diketahui, bukan cara memperoleh atau mengetahuinya. Ini gegabah, para filosof

bukan orang yang gegabah.

Berfilsafat ialah berpikir. Berpikir itu tentu menggunakan akal. Menjadi

persoalan, apa sebenarnya akal itu. John Locke (Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, II, 1973:111) mempersoalkan hal ini. Ia melihat, pada zamannya akal

telah digunakan secara terlalu bebas, telah digunakan sampai di luar batas

kemampuan akal. Hasilnya ialah kekacauan pemikiran pada masa itu.

Sejak 650 SM sampai berakhirnya filsafat Yunani, akal mendominasi.

Selama 1500 tahun sesudahnya, yaitu selama Abad Tengah Kristen, akal harus

tunduk pada keyakinan Kristen; akal di bawah, agama (Kristen) mendominasi.

Sejak Descartes, tokoh pertama filsafat Modern, akal kembali mendominasi

filsafat.

Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo sumnya berusaha melepaskan

filsafat dari dominasi agama Kristen. Ia ingin akal mendominasi filsafat. Sejak ini

filsafat didominasi oleh akal. Akal menang lagi.

Page 36: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Voltaire telah berhasil memisahkan akal dengan iman. Francis Bacon amat

yakin pada kekuatan Sain dan Logika. Sain dan Logika dianggap mampu

menyelesaikan semua masalah (Will Durant, The Story of Philosophy, 1959:254).

Condoret mendukung Bacon : Sain dan Logika itulah yang penting. Kemudian

pemikiran ini diikuti pula oleh pemikir Jerman Christian Wolff dan Lessing.

Bahkan pemikir-pemikir Prancis mendramatisasi keadaan ini sehingga akal telah

dituhankan (lihat Durant, 1959:254). Spinoza meningkatkan kemampuan akal

tatkala ia menyimpulkan bahwa alam semester ini laksana suatu sistem

matematika dan dapat dijelaskan secara a priori dengan cara mendeduksi aksioma-

aksioma. Filsafat ini jelas memberikan dukungan kepada kepongahan manusia

dalam menggunakan akalnya. Karena itu tidaklah perlu kaget tatkala Hobbes

meningkatkan kemampuan akal ini menjadi Atheisme dan Materalisme yang

nonkompromis.

Sejak Spinoza sampai Diderot kepingan-kepingan ima telah tunduk di

bawah kaidah-kaidah akliah. Helvetius dan Holbach menawarkan idea yang

“edan” itu di Prancis, dan La Mettrie, yang menyatakan manusia itu seperti mesin,

menjajakan pemikiran ini di Jerman. Tatkala pada tahun 1784 Lessing

mengumumkan bahwa ia menjadi pengikut Spinoza, itu telah cukup sebagai

pertanda bahwa iman telah jatuh sampai ke titik hadirnya dan akal telah berjaya

(Lihat Durant, 1959:255).

David Hume (1711-1776) tidak begitu senang pada keadaan ini. Ia

menyatakan bila akal telah menentang manusia, maka akan datang waktunya

manusia menantang akal. Apa akal itu sebenarnya?

Locke (1632-1704) telah meneliti akal. Ia berhasil tampil dengan

argumennya tentang kerasionalan agama Krsiten. Pengetahuan kita datang dari

pengalaman, begitu katanya. Teorinya tabula rasa menjelaskan pandangannya itu.

Ia berkesimpulan bahwa yang dapat kita ketahui hanya materi, karena itu

materialisme harus diterima. Bila penginderaan adalah asal usul pemikiran, maka

kesimpulannya haruslah materi adalah material jiwa.

Tidak demikian kita Uskup George Berkeley (1684-1753) analisis Locke

itu justru membuktikan materi itu sebenarnya tidak ada. David Hume seorang

Uskup Irlandia berpendapat lain. Katanya, kita mengetahui apa jiwa itu, sama

Page 37: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

dengan kita mengenal materi, yaitu dengan persepsi, jadi secara internal.

Kesimpulannya ialah bahwa jiwa itu bukan substansi, suatu organ yang memiliki

idea-idea; jiwa sekedar suatu nama yang abstrak untuk menyebut rangkaian idea.

Hasilnya, Hume sudah menghancurkan mind sebagaimana Barkeley

menghancurkan materi.

Sekarang tidak ada lagi yang tersisa, dan filsafat menemukan dirinya

berada di tengah-tengah reruntuhan hasil karyanya sendiri. Jangan kaget bila Anda

mendengar kata-kata begini: No matter never mind. Semua ini gara-gara akal.

Akal telah digunakan melebihi kapasitasnya.

Oleh karena itu Locke menyelidiki lagi, apa sebenarnya akal itu. Di lain

pihak, memang Locke berpendapat bahwa kita belum waktunya membicarakan

masalah hakikat sebelum kita mengetahui dengan jelas apa akal itu sebenarnya.

Tetapi baiklah, kita terima saja bahwa akal itu ada dan ia bekerja

berdasarkan suatu cara yang tidak begitu kita kenal. Aturan kerjanya disebut

Logika. Sejauh akal itu bekerja menurut aturan Logika, agaknya kita dapat

menerima kebenarannya.

Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan filsafat? Dengan berpikir

secara mendalam, tentang sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek

pemikirannya sesuatu yang konkret, tetapi yang hendak diketahuinya ialah bagian

“di belakang” objek konkret itu. Dus abstrak juga.

Secara mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian yang abstrak

sesuatu itu, ia ingin mengetahui sedalam-dalamnya. Kapan pengetahuannya itu

dikatakan mendalam? Dikatakan mendalam tatkala ia sudah berhenti sampai tanda

tanya. Dia tidak dapat maju lagi, disitulah orang berhenti, dan ia telah mengetahui

sesuatu itu secara mendalam. Jadi jelas, mendalam bagi seseorang belum tentu

mendalam bagi orang lain.

Seperti telah disebut di muka, Sain mengetahui sebatas fakta empiris. Ini

tidak mendalam. Filsafat ingin mengetahui di belakang sesuatu yang empiris itu.

Inilah yang disebut mendalam. Tetapi itupun mempunyai rentangan. Sebagaimana

hal abstrak di belakang fakta empiris itu dapat diketahui oleh seseorang, akan

banyak tergantung pada kemampuan berpikir seseorang. Saya misalnya

mengetahui bahwa gula rasanya manis (ini pengetahuan empirik); dibelakangnya

Page 38: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

saya mengetahui bahwa itu disebabkan oleh adanya hukum yang mengatur

demikian. Ini pengetahuan filsafat, abstrak, tetapi baru satu langkah. Orang lain

dapat mengetahui bahwa hukum itu dibuat oleh Yang Maha Pintar. Ini sudah

langkah kedua, lebih mendalam daripada sekedar mengetahui adanya hukum.

Orang lain masih dapat melangkah ke langkah ketiga, misalnya ia mengetahui

bahwa Yang Maha Pintar itu adalah Tuhan, ia masih dapat maju lagi misalnya

mengetahui di belakang fakta empiris itu dapat bertingkat-tingkat, dan itu

menjelaskan kemendalaman pengetahuan filsafat seseorang. Untuk mudahnya

mungkin dapat dikatakan begini: berpikir mendalam inilah berpikir tanpa bukti

empirik.

Pada uraian di atas kita mengetahui akal itu diperdebatkan oleh ahli akal

dan orang-orang yang secara intensif menggunakan akalnya. Kerja akal, yaitu

berpikir mendalam, menghasilkan filsafat. Apakah dengan demikian berarti teori-

teori filsafat itu tidak ada gunanya atau nilai kebenarannya amat rendah? Tidak

juga. Ya, itulah filsafat, kadang-kadang filsafat diragukan oleh filsafat itu sendiri.

Jika kita ingin mengetahui sesuatu yang tidak empirik, apa yang kita

gunakan? Ya, akal itu. Apapun kelemahan akal, bahkan sekalipun akal amat

diragukan hakikata keberadaannya, toh akal telah menghasilkan apa yang disebut

filsafat. Kelihatannya, ada satu hal yang penting di sini: janganlah hidup ini

digantungkan pada filsafat, janganlah hidup ini ditentukan seluruhnya oleh

filsafat, filsafat itu adalah produk akal dan akal itu belum diketahui secara jelas

identitasnya.

3. Ukuran Kebenaran Pengetahuan Filsafat

Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris.

Pernyataan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya

pengetahuan itu. Bila logis benar, bila tidak logis, salah.

Ada hal yang patut Anda ingat. Anda tidak boleh menuntut bukti empiris

untuk membuktikan kebenaran filsafat. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan

yang logis dan hanya logis. Bila logis dan empiris, itu adalah pengetahuan sain.

Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran

logis tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan

(teori) itu. Fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting, sama dengan fungsi

Page 39: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

data pada pengetahuan sain. Argumen itu menjadi kesatuan dengan konklusi,

konklusi itulah yang disebut teori filsafat. Bobot teori filsafat justru terletak pada

kekuatan argumen, bahkan pada kehebatan konklusi. Karena argumen itu menjadi

kesatuan dengan konklusi, maka boleh juga diterima pendapat yang mengatakan

bahwa filsafat itu argumen. Kebenaran konklusi ditentukan 100% oleh

argumennya.

C. Aksiologi Pengetahuan Filsafat

Di sini diuraikan dua hal, pertama kegunaan pengetahuan filsafat dan

kedua cara filsafat menyelesaikan masalah.

1. Kegunaan Pengetahuan Filsafat

Apa guna pengetahuan filsafat? Atau apa kegunaan filsafat? Tidak setiap

orang perlu mengetahui filsafat. Tetapi orang yang merasa perlu berpartisipasi

dalam membangun dunia perlu mengetahui filsafat. Mengapa? Karena dunia

dibangun oleh dua kekuatan: agama dan filsafat.

Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat memulainya dengan

melihat filsafat sebagai tiga hal, pe t ma filsafat sebagai kumpulan teori filsafat,

kedua filsafat sebagai metode pemecahan masalah, ketiga filsafat sebagai

pandangan hidup (philosophy of life).

r a

Mengetahui teori-teori filsafat amat perlu karena dunia dibentuk oleh teori-

teori itu. Jika Anda tidak senang pada Komunisme maka Anda harus mengetahui

Marxisme, karena teori filsafat untuk Komunisme itu ada dalam Marcisme. Jika

Anda menyenangi ajarah Syi’ah Dua Belas di Iran, maka Anda hendaknya

mengetahui filsafat Mulla Shadra. Begitulah kira-kira. Dan jika Anda hendak

membentuk dunia, baik dunia besar maupun dunia kecil (diri sendiri), maka Anda

tidak dapat mengelak hati dari penggunaan teori filsafat. Jadi, mengetahui teori-

teori filsafat amatlah perlu. Filsafat sebagai teori filsafat juga perlu dipelajari oleh

orang yang akan menjadi pengajar dalam bidang filsafat.

Yang amat penting juga ialah filsafat sebagai methodology, yaitu cara

memecahkan masalah yang dihadapi. Di sini filsafat digunakan sebagai satu cara

atau model pemecahan masalah secara mendalam dan universal. Filsafat selalu

mencari sebab terakhir dan dari sudut pandang seluas-luasnya. Hal ini diuraikan

pada bagian lain sesudah ini.

Page 40: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Filsafat sebagai pandangan hidup tentu perlu juga diketahui. Mengapa

misalnya salah seorang Presiden Amerika (Bill Clinton, 1998), telah mengaku

berzina, dan masyarakatnya tetap banyak yang memberikan dukungan?

Mungkinkah hal seperti itu untuk Indonesia? Presiden Indonesia yang mengaku

berzina pasti akan dicopot oleh masyarakat Indonesia. Mengapa berbeda? Karena

masyarakat Indonesia berbeda pandangan hidupnya dengan masyarakat Amerika.

Filsafat sebagai philosophy of life sama dengan agama, dalam hal sama

mempengaruhi sikap dan tindakan penganutnya. Bila agama dari Tuhan atau dari

langit, maka filsafat (sebagai pandangan hidup) berasal dari pemikiran manusia.

Berikut uraian yang membahas kegunaan filsafat dalam menentukan

philosophy of life. Banyak orang memiliki pandangan hidup, banyak orang yang

menganggap philosophy of life itu sangat penting dalam menjalani kehidupan.

Kegunaan Filsafat bagi Akidah2

Akidah adalah bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan.

Pusatnya ialah keyakinan kepada Tuhan. Posisinya dalam keseluruhan ajaran

Islam sangat penting, merupakan fondasi ajaran Islam secara keseluruhan, di atas

akidah itulah keseluruhan ajaran Islam berdiri dan didirikan. Keterangan seperti

ini berlaku juga bagi agama selain Islam.

Karena kedudukan akidah seperti itu, maka akidah seseorang muslim

haruslah kuat, dengan kuat akidah akan kuat pula keislamannya secara

keseluruhan. Untuk memperkuat akidah perlu dilakukan sekurang-kurangnya dua

hal, pertama mengamalkan keseluruhan ajaran Islam secara sungguh-sungguh,

kedua mempertajam pengertian ajaran Islam itu. Jadi, akidah dapat diperkuat

dengan pengalaman dan pemahaman (ajaran Islam). Dapatkah filsafat

memperkuat pemahaman kita tentang Tuhan?

Thomas Aquinas (1225-1274) berusaha menyusun argumen logis untuk

membuktikan adanya Tuhan. Dalam bukunya Summa Theologia ia berhasil

penyusun lima argumen tentang adanya Tuhan.

2 Diadopsi dari makalah M. Fahrudin Kaha, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan 1997/1998

Page 41: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Pertama, argumen gerak. Alam ini selalu bergerak. Gerak itu mungkin

berasal dari alam itu sendiri, gerak itu menunjukkan adanya Penggerak. Tuhan

adalah Penggerak Pertama.

Kedua, arguman kausalitas. Tidak ada sesuatu yang mempunyai penyebab

pada dirinya sendiri, sebab itu harus di luar dirinya. Dalam kenyataannya ada

rangkaian penyebab. Penyebab pertama adalah Tuhan yang tidak memerlukan

penyebab yang lain.

Ketiga, argumen kemungkinan. Adanya alam ini bersifat mungkin:

mungkin ada dan mungkin tidak ada. Kesimpulan diperoleh dari kenyataan alam

ini dimulai dari tidak ada, lalu muncul atau ada kemudian berkembang, akhirnya

rusak dan hilang atau tidak ada. Kenyataan ini menyimpulkan bahwa alam ini

tidak mungkin selalu ada. Dalam diri alam itu ada dua kemungkinan atau ada dua

potensi, yaitu ada dan tidak ada, tetapi dua kemungkinan itu tidak akan muncul

bersamaan pada waktu yang sama. Mula-mula alam ini tidak ada, lalu ada.

Diperlukan Yang Ada untuk mengubah alam dari tiada menjadi ada, sebab tidak

mungkin muncul sesuatu dari tiada ke ada secara otomatis. Jadi, Ada Pertama itu

harus ada. Akan tetapi Ada Pertama yang harus ada itu dari mana? Kembali lagi

kita menghadapi rangkaian penyebab (tasalsul). Kita harus berhenti pada Ada

Pertama yaitu yang Harus Ada.

Keempat, argumen tingkatan. Isi alam ini ternyata bertingkat-tingkat

(levels). Ada yang dihormati, lebih dihormati, terhormat. Ada indah, lebih indah,

sangat indah, dan seterusnya. Tingkat tertinggi menjadi penyebab tingkat di

bawahnya. Api yang mempunyai panas yang tinggi menjadi penyebab panas yang

rendah di bawahnya, begitu seterusnya. Yang Maha Sempurna adalah penyebab

yang sempurna, yang sempurna adalah penyebab yang kurang sempurna. Yang

atas menjadi penyebab yang bawah. Tuhan adalah Yang Tertinggi, Ia Penyebab

yang di bawah-Nya.

Kelima, argumen teologis. Ini adalah argumen tujuan. Alam ini bergerak

menuju sesuatu, padahal mereka tidak tahu tujuan itu. Ada sesuatu Yang

Mengatur alam menuju tujuan Alam. Itu adalah Tuhan (lihat Ahmad Tafsir,

Filsafat Umum, 1997:86-88).

Page 42: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Argumen yang dikemukakan Thomas Aquinas itu sebenarnya tidak akan

membawa kita memahami Tuhan secara sempurna. Argumen-argumen itu

memiliki kelemahan. Karena itu Kant menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat

dipahami melalui akal (ia menyebutnya akal teoritis) Tuhan dapat dipahami

melalui suara hati yang disebut moral. Adanya Tuhan itu bersifat harus, hati saya

kata Kant, yang mengatakan Tuhan harus ada. Kant mengatakan bahwa adanya

Tuhan bersifat imperatif. Siapa yang memerintah? Ya, suara hati atau moral itu.

Menurut Kant indera dan akal itu terbatas pada kemampuannya. Indera

dan akal (maksudnya: rasio) hanya mampu memasuki daerah fenomena, bila

indera masuk ke daerah noumena maka ia akan sesat dalam antinomi, akal bila

memasuki daerah noumena ia akan tersesat dalam paralogism. Daerah noumena

itu hanya mungkin diarungi oleh akal praktis, demikian kata Kant (lihat Ahmad

Tafsir, 1997:159). Akal praktis adalah moral atau suara hati.

Menurut Kant akal teoritis (akal rasional) tidak melarang kita

mempercayai Tuhan, kesadaran moral (suara hati) kita memerintahkan untuk

mempercayai-Nya. Roussenau benar ketika ia mengatakan bahwa di atas akal

rasional di kepala ada perasaan hati: Pascal benar tatkala ia menyatakan bahwa

hati mempunyai akal miliknya sendiri yang tidak pernah dapat dipahami oleh akal

rasional (Will Durant, The Story of Philosophy, 1959:278).

Argumen-argumen akliah tentang adanya Tuhan, juga tentang yang gaib

lainnya, yaitu objek-objek metar ional, tidak dapat dipegang kebenarannya; bila

akal (rasio) masuk ke daerah ini ia akan tersesat ke dalam paralogisme. Inilah

pendirian Kant. Argumen akliah tentang ini lemah. Kant mengemukakan contoh

argumen yang sering dikemukakan theolog rasioinalis untuk membuktikan adanya

Tuhan, yaitu argumen pengaturan alam semesta.

as

Di dalam argumen ini dikatakan bahwa alam ini teratur, yang mengatur

adalah Maha Pengatur, yaitu Tuhan. Alam teratur, memang kata Kant. Banyak isi

alam ini yang begitu teratur yang dapat membawa kita kepada kesimpulan adnaya

Tuhan yang mengaturnya. Akan tetapi, kata Kant, kita juga menyaksikan bahwa

alam ini mengandung juga banyak ketidakteraturan, kekacauan, bahkan

menyebabkan kesulitan dan kematian. Jadi, terdapat perlawanan. Inilah salah satu

contoh paralogisme, itu. Kant mengakui bahwa keteraturan itu memang ada bila

Page 43: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

alam itu dilihat secara keseluruhan, akan tetapi itupun tidak kuat untuk dijadikan

bukti adanya Sang Pengatur. Tuhan tidak dapat dibuktikan adanya dengan akal

teoritis (maksudnya rasio). Inilah thesis utama Kant dalam hal ini (lihat lebih jauh

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, 1997:162).

Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa filsafat (dalam hal ini akal

logis) dapat berguna untuk memperkuat keimanan, ini menurut sebagian filosof,

seperti Thomas Aquinas; tetapi menurut filosof lain, seperti Kant, bukti-bukti

akliah (dalam arti rasio) tentang adanya Tuhan sebenarnya lemah, bukti yang kuat

adalah suara hati. Suara hati itu memerintah, bahkan rasio pun tidak mampu

melawannya.

Berikut adalah uraian lain yang mengupas kegunaan filsafat bagi

pengembangan hukum islami.

Kegunaan Filsafat bagi Hukum3

Istilah hukum islami sering rancu. Kadang-kadang hukum islami itu

diartikan syari’ah, kadang-kadang fikih (fiqh). Yang dimaksud di sini ialah fikih.

Fikih secara bahasa berarti mengetahui. Al-Qur’an menggunakan kata

al-fiqh dalam pengertian memahami atau paham. Pada zaman Nabi Muhamamd

SAW kata al-fiqh itu tidak hanya berarti paham tentang hukum tetapi paham

dalam arti umum. Faqiha artinya paham, mengerti, tahu.

Dalam perkembangan terakhir fikih dipahami oleh kalangan pakar ushul al-fiqh sebagai hukum praktis hasil ijtihad. Sementara di kalangan pakar fikih, al-fiqh dipahami sebagai kumpulan hukum islami yang mencakup semua aspek

syar’iy baik yang tertuang secara tekstual maupun hasil penalaran terhadap

sesuatu teks. Itulah sebabnya di kalangan ahli ushul al-fiqh konsep syariah

dipahami sebagai teks yar’iy yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah yang tetap dan tidak

pernah mengalami perubahan.

s

Butir-butir aturan dan ketentuan hukum yang ada dalam fikih pada garis

besarnya mencakup tiga unsur pokok. Pertama, perintah seperti sholat, zakat,

puasa dan sebagainya. Kedua, larangan seperti larangan musyrik, zina dan

sebagainya. Ketiga, petunjuk seperti cara sholat, cara puasa, dan sebagainya.

3 Diadopsi dari makalah Didi Mashudi, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan 1997/1998

Page 44: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Keseluruhan unsur pokok di atas bila dilihat dari sudut sifatnya, ia dapat

dibagi dua. Pertama, bersifat tetap, tidak berpengaruh oleh kondisi tertentu, seperti

sebagai aqidah dan seluruh ibadah mahdhah; dalam hal ini ijtihad tidak berlaku

padanya. Kedua, yang bersifat dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu,

inilah bidang ijtihad.

Tujuan utama diturunkannya hukum islami (fikih) ialah untuk

menciptakan kemaslahatan hidup manusia, yang dimaksud kemaslahatan ialah

kebaikan. Jelasnya, pembentukan fikih itu sejalan dengan tuntutan kemaslahatan

manusia.

Untuk menjamin kemaslahatan itu ditetapkan beberapa asas hukum islami,

yaitu:

Adam al-haraj, artinya tidak sulit dalam melaksanakannya (QS. 7:157)

Al-Takhlif, ringan serta mampu dilaksanakan (QS. 2:286; 4:28)

Al-Taysir, mudah sesuai kemampuan (QS. 2:185; 22:78)

Itu berarti hukum islami dibentuk atas dasar prinisp menghilangkan

kesempitan karena kesempitan itu menyebakan kesulitan. Prinsip lain yang

mendasari hukum islami ialah daf’ al-dlarar, menghilangkan bahaya (QS. 2:25;

195; 4:12; 2:231). Prinsip lain lagi ialah al ta’assuf fi isti’mal al-haqq yakni boleh

melakukan sesuatu asal tidak membahayakan yang lain (QS. 2:223; 65:6; 7:31;

5:87). Dari sini lahirlah kaidah ushul al-fiqh yang berbunyi “menolak bahaya

didahulukan daripada mengambil maslahat”.

Hukum islami yang dijadikan aturan beramal ada di dalam fikih sebagai

kumpulan hukum. Fikih (dalam arti kumpulan hukum) itu dibuat berdasarkan

kaidah-kaidah hukum (yang berfungsi sebagai teori) yang digunakan dalam

menetapkan hukum tersebut. Ternyata kaidah-kaidah pembuatan hukum (ushul al-fiqh) itu dibuat berdasarkan teori-teori filsafat. Karena itu manthiq (mantik,

logika) amat penting bagi ulama ushul al-fiqh.

Selain itu dalam ushul al-fiqh filsafat berguna juga dalam menafsirkan teks

dan memberikan kritik ideologi.

Dalam menafsirkan teks wahyu atau teks hadis yang akan dijadikan

sumber aturan hukum. Misalnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan

Page 45: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

al-Sunnah yang zhanniy yang penafsirannya kadang-kadang memerlukan ta’wil dan penafsiran metaforis.

Dalam memberikan kritik ideologi, yakni menggunakan fungsi kritis

filsafat. Pemikiran cara filsafat amat diperlukan dalam menganalisis ideologi

secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya dan

membuka kedok yang mungkin berada di belakangnya. Dalam hal ini filsafat itu

dapat melakukan dua hal. Pertama, kritik terhadap ideologi saingan yang akan

merusak Islam atau masyarakat Islam, kedua kritik terhadap hukum islami,

misalnya mempertanyakan apakah hukum itu seperti itu, apakah itu sesuai dengan

esensi yang dikandung oleh teks yang dijadikan dasar hukum tersebut.

Kesimpulannya, memang benar, filsafat, khususnya filsafat sebagai

metodologi, berguna bagi pengembangan hukum dalam hal ini hukum islami.

Bagi perkembangan bahasa pun filsafat ada gunanya. Cobalah renungkan

uraian berikut ini.

Kegunaan Filsafat bagi Bahasa4

Disepakati oleh para ahli bahwa bahasa berfungsi sebagai alat untuk

mengekspresikan perasaan dan pikiran. Terlihat adanya hubungan yang erat antara

bahasa dan pikiran. Ahmad Abdurrahman Hamad (Al-alaqah byan alLughah wa al-Fikr, dan al-Ma’rifah al-Jami’iyyah, 1985:17) menggambarkan hubungan itu

bagaikan satu mata uang yang mempunyai dua sisi. Aristoteles, sebagaimana

dikutip Hamad (1985:32) menggambarkan hubungan antara bahasa dan pemikiran

(logika) sebagai hubungan antara hitungan dan angka, hubungan itu adalah

hubungan interdependen.

Tatkala bahasa berfungsi sebagai alat berpikir ilmiah muncul problem

yang serius, ini diselesaikan antara lain dengan bantuan filsafat. Begitu juga

tatkala pemikiran (filsafat) sampai pada rumusan konsep yang rumit, bahasa juga

mengalami persoalan, yaitu bahasa sering kurang mampu menggambarkan isi

konsep itu. Bahasa dalam hal ini harus mencari kata dan susunan baru untuk

menggambarkan isi konsep itu.

4 Diadopsi dari makalah Tarmana Abdul Qasim, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan

1997/1998

Page 46: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Di antara problem yang dihadapi bahasa ialah dalam pemeliharaannya.

Bahasa sering tidak mampu membebaskan diri dari gangguan pemakainya. Orang

awam sering merusak bahasa, mereka menggunakan bahasa tanpa mengikuti

kaidah yang benar. Kerusakan bahasa tersebut biasanya disebabkan oleh tidak

digunakannya kaidah logika. Logika itu filsafat.

Filosof adalah “protoype” orang bijaksana. Orang bijaksana tertentu harus

menggunakan bahasa yang benar. Bahasa yang benar itu akan mampu mewakili

konsep logis yang dibawakannya. Karena itu pada logikalah kita menemukan

kaitan erat antara bahasa dan filsafat. Dan pada logika pula kita temukan manfaat

konkret bahasa. Peran logika dalam bahasa ialah memperbaiki bahasa, logika

dapat mengetahui kesalahan bahasa. Peran ini diakui oleh Ibrahim Madkur

sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Samirra’i (Fiqh al-Lugah al-Muqararn, tt:18)

yang mengatakan bahwa kaidah bahasa khususnya bahasa Arab, tepatnya Nahwu

telah dipengaruhi oleh Logika Aristoteles dalam beberapa hal. Pertama,

menggunakan kias atau analogi sebagai kaidah dalam Nahwu sebagaimana

digunakan dalam logika. Pembagian kata menurut Sibawayh menjadi ism, fi’il,hurf mungkin dipengaruhi oleh pembagian Aristoteles kata benda, kata kerja dan

adat. Kedua, munculnya Nahwu Siryani pada sekolah Nashibayn pada abad ke-6

Masehi bersamaan dengan munculnya pakar Nahwu yang pertama.

Kekeliruan dalam berbahasa melahirkan kekeliruan dalam berpikir.

Berikut beberapa contohnya (lihat Mundiri, Logika, 1994:194). Pertama,

kekeliruan karena komposisi. Misalnya kekeliruan dalam menetapkan sifat pada

bagian untuk menyifati keseluruhan, seperti “Setiap kapal perang suatu negara

telah siap tempur, maka keseluruhan angkatan laut telah siap tempur” atau “Mur

ini sangat ringan karena itu mesin ini sangat ringan pula, Kedua, kekeliruan dalam

pembagian atau devisi, yaitu kekeliruan karena menetapkan sifat keseluruhan

maka keliru pula dalam menetapkan sifat bagian. Misalnya, “Kompleks

perumahan ini dibangun pada daerah yang sangat luas tentulah kamar-kamar

tidurnya luas juga”, Ketiga, kekeliruan karena tekanan. Ini terjadi dalam

pembicaraan tatkala salah dalam memberikan tekanan dalam pengucapan.

Misalnya, “Karena kekenyangan ia tertidur”, bila tekanan pada kekenyangan

(“karena kekenyangan ia tertidur”) maka arti kalimat itu akan berbeda dari kalimat

Page 47: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

yang pertama: yang pertama biasa yang kedua mengejek. Keempat, kekeliruan

karena amfiboli. Amfiboli terjadi bila kalimat itu mempunyai arti ganda.

Contohnya seperti “Mahasiswa yang duduk di kursi paling depan …” Mahasiswa

yang paling depan atau kursinya, dua-duanya mungkin.

Kesimpulannya ialah filsafat sangat berperan dalam menentukan kausalitas

bahasa. Tanpa peran serta filsafat (logika) kekeliruan dalam bahasa tidak mungkin

dapat diperbaiki.

Selain itu perkembangan berpikir atau filsafat akan diikuti oleh

perkembangan bahasa. Kata al-muru’ah asalnya ialah al-mar’u yang berarti

seorang lelaki tulen (al mar’u al-muktamil). Jadi kata itu hanya menunjukkan pada

seseorang. Tetapi dalam filsafat kata itu sudah mengandung banyak arti seperti

potensi, kekuatan, semangat, perasaan, lelaki, pemberani, amanah dan lain-lain.

Kata al-‘aql arti awalnya ialah tali, alat pengikat. Kata Nabi SAW i’qilha wa tawakkal, ikat untamu lalu tawakkal. I’qil dari kata al-‘aql. Dalam filsafat, akal

memiliki pengertian jauh lebih luas daripada itu. Kata akidah (aqidah) demikian

juga.

Contoh-contoh itu menjelaskan bahwa filsafata berhubungan dengan

bahasa. Hubungan itu sangat erat bahkan menjelaskan bahwa perkembangan

filsafat mempengaruhi perkembangan bahasa, mungkin juga sebaliknya.

Kesimpulannya: filsafat berguna bagi bahasa.

2. Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah

Kegunaan filsafat yang lain ialah sebagai methodology, maksudnya

sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai

metode dalam memandang dunia (world show).

Dalam hidup kita, kita menghadapi banyak masalah. Masalah artinya

kesulitan. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah itu terselesaikan. Ada

banyak cara dalam menyelesaikan masalah, mulai dari yang amat sederhana

sampai yang rumit.

Ada rapat di sebuah RT, yang dibicarakan masalah keamanan. Pak Ketua

RT menyatakan bahwa akhir-akhir di kampung kita banyak pencurian, tidak

seperti biasanya. Menanggapi itu hampir semua orang yang hadir mengusulkan

Page 48: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

agar ronda malam dipergiat. Inilah kira-kira cara orang awam menyelesaikan

masalah.

Di situ ada seorang yang berpendapat lain. Ia bertanya apa saja barang

yang biasanya dicuri, sejak bulan apa, pada pukul berapa biasanya terjadi. Lantas

ia mengusulkan selain menggiatkan ronda, sebaiknya digiatkan juga pengajian. Ia

melakukan identifikasi lebih dahulu, lantas ia melihat penyebab lebih mendasar.

Ia pikir, bila perondanya bermoral buruk, bisa-bisa peronda itu sendiri yang

mencuri. Orang ini ilmuwan. Kira-kira beginilah penyelesaian Sain. Filsafat pun

memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah.

Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam

dan universal. Penyelesaian filsafat bersifat mendalam, artinya ia ingin mencari

asal masalah. Universal, artinya filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan

seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin.

Banyak orang Islam tidak menyenangi sebagian budaya Barat, khususnya

tentang kebebasan seks. Mereka mengatakan kebebasan seks harus diberantas. Ini

penyelesaian langsung. Sedikit mendalam bila kita mengusulkan perketat

masuknya informasi dari Barat terutama yang menyangkut kebebasan seks, atau

kita mengusulkan sensor film diperberat. Filsafat belum puas dengan penyelesaian

itu. Lalu bagaimana?

Filsafat mempelajari asal usul kebebasan seks itu. Ditemukan, itu muncul

dari paham Hedonisme. Maka kita perangi paham itu. Filosof lain belum juga

puas, karena menurutnya Hedonisme itu belum penyebab paling awal, Hedonisme

itu sebenarnya turunan Pragmatisme. Pragmatisme itu bersama dengan

Liberalisme lahir dari Rasionalisme. Karena itu filosof ini mengatakan yang

paling strategis ialah memerangi Rasionalisme itu. Apakah rasionalisme itu

penyebab pertama munculnya kebebasan seks? Untuk sementara, agaknya ya.

Maka untuk memberantas kebebasan seks kita harus menjelaskan bahwa

Rasionalisme itu adalah pemikiran yang salah.

Penyelesaian ini mendalam, karena telah menemukan penyebab yang

paling asal. Penyelesaian itu juga universal, karena yang akan diperbaiki pada

akhirnya kelak bukan hanya persoalan kebebasan seks, hal-hal lain yang

merupakan turunan Rasionalisme juga akan dengan sendirinya hilang.

Page 49: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Bonus

Tulisan berikut ini tidak lagi masuk Bab Aksiologi. Ini merupakan konsep-konsep

tercecer. Dikumpulkan di sini karena dirasa perlu, diberi judul bonus.

Cara Orang Umum Menilai

Ada tiga cara orang menilai suatu pendapat atau pernyataan. Pertama, ia menilai

berdasarkan ketidaktahuan tentang itu, ketidaktahuannya itulah yang dijadikannya

ukuran. Kedua, menilai dengan menggunakan pendapatnya sebagai ukuran.

Ketiga, menilai dengan menggunakan pendapat umumnya pakar sebagai alat ukur.

Sebagai contoh, ada orang mengatakan bahwa jin dapat disuruh. Orang

tipe pertama langsung menyatakan “itu tidak mungkin” dan alasannya ialah

memang ia tidak tahu bahwa jin dapat disuruh melakukan sesuatu.

Ketidaktahuannya (dalam hal ini bahwa jin dapat disuruh) yang dijadikan alasan

menolak pernyataan itu. Anehkan? Menolak pendapat dengan alasan

ketidaktahuan bahwa itu memang begitu.

Sebenarnya bila kita tidak hanya ada dua hal yang layak dilakukan,

pertama, diam, kedua mempelajarinya.

Tipe kedua mengadakan studi tentang jin. Hasil yang ia peroleh

menyatakan bahwa jin memang tidak dapat disuruh. Nah, pendapatnya inilah yang

dijadikan alasan menolak pernyataan tadi (jin dapat disuruh). Cara kedua inipun

masih lemah. Lemah, karena ia sebenarnya tidak punya alasan, mandat, untuk

menggunakan pendapatnya sebagai pengukur kebenaran suatu pernyataan. Dus, ia

berpendapat berdasarkan pendapatnya. Tipe ketiga adalah golongan yang sedikit,

mereka mempelajari pendapat para ahli bidang jin. Mereka kumpulkan pendapat

para pakar pada umumnya mereka menerima atau menolak pernyataan bahwa jin

dapat disuruh.

Jadilah orang tipe pertama: diam. Jadilah tipe kedua: mempelajarinya.

Terbaik: jadilah tipe ketiga, yaitu mempelajarinya secara luas dan mendalam,

lantas mengemukakan pendapat berdasarkan pendapat pakar pada umumnya

dalam bidang itu.

Page 50: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Netralitas Filsafat

Tatkala menjelaskan netralitas sain kita berkesimpulan seharusnya sain itu tidak

netral artinya sain itu seharusnya tidak bebas nilai. Filsafat bagaimana?

Ada berbagai hal yang menarik untuk diperhatikan mengenai pertanyaan

itu. Pertama, dalam filsafat ada Filsafat Nilai atau Etika. Filsafat Etika adalah

cabang filsafat yang khusus membicarakan nilai, yaitu nilai baik buruk. Karena

etika membicarakan nilai maka pastilah etika itu tidak bebas nilai. Adalah

mungkin nilai yang digunakan dalam etika itu bukan nilai dari agama, tetapi tetap

saja ia tidak netral karena ia telah membicarakan buruk dan baik.

Kedua, filsafat itu adalah pemikiran orang, karena pemikiran orang maka

tidaklah mungkin orang itu netral dalam berpikir; sekurang-kurangnya hasil

pemikiran itu telah berpihak pada pemikir itu. Berbeda dengan sain. Peneliti sain

tidak berpikir, teori sain disusun berdasarkan data yang terkumpul bukan disusun

berdasarkan pemikiran peneliti.

Ketiga, masih ada kemungkinan netralnya filsafat, yaitu pada logika.

Mungkin saja logika itu netral. Untuk memastikan ini kita dapat menganggap

logika itu esensinya sama dengan esensi matematika. Nah, jika matematika dapat

dianggap netral, maka logika juga dapat netral.

Seandainya Logika kita anggap netral, itu bukan berarti filsafat itu netral,

sebab masih menjadi persoalan apakah logika itu filsafat atau bukan filsafat. Jika

Anda termasuk yang berpandangan bahwa logika itu adalah bagian dari filsafat,

maka Anda harus berpendapat bahwa sebagian dari filsafat adalah netral.

Page 51: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah M.E., Konci Rijki, Jakarta: Hasanah, 1985.

Abu al-Siraj al-Thusy, Al-Luma, Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1996.

Abu Abdullah Ma’luf, al-Munjid al-Lughah wa al-‘Alam, Beirut: Dar al-Masyirq, 1975.

Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tashawwuf, Ramadhani, 1989.

Abdul Qadir Zailani, Koreksi terhadap Ajaran Tashawuf, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Abdul Khaliq al-Anthar, al-Sihr wa al-Saharah wa al-Mashurum, Terjemahan Tarmana, Bandung: Hidayah, 1996.

Ahmad Abdurrahman Hamad, al-‘Alaqah bayn al-Lughah wa al-Fikr, Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyyah, 1985.

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung: Rosdakarya, 1997.

Aldous Huxley, ThePerennial Philosophy, New York: Harper and Row, 1945.

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Terjemahan, Pustaka Firdaus, 1986.

Ali Abu Hayullah al-Marzuqy, Al-Jawahir al Lama’ah, tt.

A.S. Hornby, A Leaner’s Dictionary of Current English, London: Oxford University Press, 1957.

Al-Ghazali, Al-Aufaq: Kumpulan Ilmu Ghaib, Diterjemahkan oleh Masroh al-Khusaeni, Surabaya: Mahkota, 1984.

Badrudi Subkhi, Bid'ah-bid'ah di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Clifford Geertz, Abangan Sntri dan Priyai, Pustaka Jawa, 1983.

C. Mulder, Pembimbing ke dalam Ilmu Filsafat, Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966.

Davis L. Silis, International Encyclopedia of the Social S iences. New York: MacMillan Company, 1972.

c

Elias, Modern Dictionary English Arabic, 1968.

Ensiklopedi Islam.

Page 52: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Fred N. Kerlinger, Foundation of Behavior Research, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1973.

Frithjof Schoun, The Trancendent Unity of Religion, New York : Harper and Row, 1975.

Hamka, Tasauf Perkembangan dan Kemurnian, Jakarta: Nurul Islam, 1980.

Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tinta Mas, 1966.

Hasan Ayub, Tabsith al-‘Aqidah al-Islamiyah, Kuwait: Dar al-Buhuts al-‘Ilmiyah, 1979.

Ha’iri, Ilmu Hudluri: Prnsip-prnsip Epistemologi dalam Islam, Bandung: Mizan, 1999.

Herman Soewardi, Tiba Saatnya I lam Kembali Kaffah Kuat dan Berijtihad (Suatu Kognisi Baru tentang Islam), Bandung: Diterbitkan sendiri oleh Pengarangnya, 1999.

s

Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, Jakarta: Widjaja, 1971.

Houston Smith, Beyond Post-Modern, 1979. (?)

Ibn Khaldun, Muqaddimah, Dar al-Fikr, 1981.

Ibrahim Samirra’i, Fiqh al-Lughah al Muqarran, Beyrut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyyah, tt.

Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Aklaq, terjemahan, Mizan, Bandung, 1994.

Ibnu Mandzur Jamaluddin al-Anshari, Lisan al-‘Arab Kairo: Dar al-Mishiriyyah li al-Taklif wa al-Tarjamah, tt.

Jauhar Salim Abbay (penerjemah), Al-Thibb Awasin al Kaey, Jakarta: Yayasan Ibnu Ruman, tt.

Joe Park, Selected Reading in The Philosophy of Education, New York: The MacMillan Company, 1960.

Jujus S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1994.

J. Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya, I, Jakarta: Gramedia, 1987.

James Drever, Kamus Antropologi, Penerjemah Nancy Simanjuntak, Jakarta: Bina Aksara, 1986.

Kamus Umum Bahasa Sunda, Panitia Kamus LBSS, Bandung: Tarate, 1992.

Page 53: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

K. Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1983.

Kerlinger, Foundation of Behavior Research, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1973.

Karl Jasper, Philosophical Faith and Revelation, London: Colin, 1967.

Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Paramadina, 1995.

Langeved, Menuju ke Pemikiran Filsafat, Djakarta: PT. Pembangunan, 1961.

Lembaga Seni Bela Diri Hikmatul Iman, Buku Pegangan Anggota, Bandung: LSBDHI, 1993.

Louis Ma’luf, al Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, Beirut: Dar al-Marsyriq, 1975.

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Junani, Djakarta: Tintamas, I, 1966.

Mathias Haryadi, Membina Hubungan Antar Pribadi Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persektuan dan Cinta Menurut Gabriel Marcel, Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Mundiri, Logika, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1994.

Murtadla Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1995.

Muhammad Isa Daud, Hiwar al-Syawafy ma’a Jinniy al-Mu lim, Terjemahan Afif Muhammad dan H. Abdul Adhiem, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

s

- -

Muhammad bin Abdul Wahab, al-Tauhid alladzi huwa Haqqullah ‘ala al-‘Abid, Libanon: Dar al-‘Arabiyyah, 1969.

Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syari’ah, Mesir: Dar al-Qalam, 1996.

Maria Susuei Dhavamony, Fenomenologi Agama, Jakarta: Kanisius, 1997.

Poedjawijatna, Pembimbing ke Alam Filsafat, Djakarta: PT. Pembangunan, 1974.

Reymond Firth, Human Types, Terjemahan, Bandung: Sumur Bandung, 1960.

Samudi Abdullah, Takhayyul dan Magic dalam Pandangan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1997.

Sihristany, al Milal wa al Nihal, Dar al-Fikr, tt.

Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1996.

Syihabuddin Yahya al-Syuhrawadi, Hikayat-hikayat Mistis, Bandung: Mizan, 1992.

Page 54: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

Syaikh Wahid Abdul Salam Bali, al-Sharim al-Battar fi Tashaddi li Saharat al-Asrar, Terjemahan, Jakarta: Rabbani Press, 1995.

Suroso Orakas, White Magic, Pekalongan: Bahagia, 1989.

Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Djakarta: Bulan Bintang, II, 1973.

Suyono Ariyono, Kamus Antropologi, Jakarta: Akademika Press, 1985.

T. Jacob, Manusia, Ilmu dan Teknologi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.

Umar Hasyim, Setan sebagai Tertuduh dalam Masalah Sihir, Takhayyul, Pedukunan dan Azimat, Surabaya: Bina Ilmu, tt.

Webster’s New Twentith Century Dictionary of English Language, 1980.

Wahid Abdul Salam, Wiqayat al-Insan min al-Jinny wa al-Syaithan, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998.

Will Durant, The Story of Philosophy, New York: Simon and Schuster, Inc., 1959.

William James, Encyclopedia of Philosophy, 1967, (?)

Wililam James, Some Problems of Philosophy, New York: Longman, 1971.

Wadji Muhammad al-Syahawi, Memanggil Roh dan Menaklukkan Jin, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.

Page 55: Filsafat ilmu-prof-dr-ahmad-tafsir

TENTANG PENULIS

AHMAD TAFSIR, lahir di Bengkulu tahun 1942. Pendidikannya diawali

di Sekolah Rakyat (sekarang SD) di Bengkulu, melanjutkan sekolah di PGA

(Pendidikan Guru Agama) 6 tahun di Yogyakarta. Selanjutnya belajar di Fakultas

Tarbiyah IAIN Yogyakarta, dan menyelesaikan Jurusan Pendidikan Umum tahun

1969. Tahun 1975-1976 (selama 9 bulan) mengambil Kursus Filsafat di IAIN

Yogyakarta. Tahun 1982 mengambil Program S-2 di IAIN Jakarta. Tahun 1987

sudah menyelesaikan S-3 di IAIN Jakarta juga.

Sejak tahun 1970, Tafsir mengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung,

sampai sekarang. Tahun 1993, Guru Besar Ilmu Pendidikan ini mempelopori

berdirinya Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam (ASPI). Sejak Januari 1997

diangkat menjadi Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung.

Karya tulisnya tersebar pada berbagai media. Umumnya menulis tentang

pendidikan dan filsafat. Akhir-akhir ini kerap juga menulis tentang tasawuf. Buku

terakhir ini, Filsafat Ilmu: Menuju Pengetahuan Mistik ialah salah satu kajian

beliau tentang mistik. Buku lain yang sudah dipublikasikan di antaranya: Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Rosdakarya, Bandung cetak

ulang kesembilan Februari, 2001; Metodologi Pendidikan Agama Islam,

Rosdakarya Bandung, sudah cetakan keenam; Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Rosdakarya, Bandung, cetakan kelima (2002).