Filsafat Hukum Legal Realism

43
LEGAL REALISM Oleh: Ahsanul Minan (1006827524) Indah Sari Septiani Putri Adi Muchtar (1006828432) Tugas Kuliah Filsafat Hukum Magister Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Angkatan 2010

Transcript of Filsafat Hukum Legal Realism

Page 1: Filsafat Hukum Legal Realism

LEGAL REALISM

Oleh:

Ahsanul Minan (1006827524)

Indah Sari Septiani Putri Adi Muchtar (1006828432)

Tugas Kuliah Filsafat Hukum

Magister Hukum Tata Negara

Universitas Indonesia

Angkatan 2010

Page 2: Filsafat Hukum Legal Realism

2 | P a g e

I. PENGANTAR

Terminologi “mafia hukum dan mafia peradilan” kembali mencuat dan

menghiasi wacana publik dalam satu dekade terakhir ini. Berbagai kasus dari model

pelecehan atas keagungan proses hukum seperti yang dilakukan oleh Gayus

Tambunan, dugaan rekayasa peradilan terhadap Antasari Azhar, vonis bebas terhadap

banyak koruptor oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hingga penjatuhan sanksi

pidana terhadap pelanggaran kecil seperti yang dialami seorang nenek di Purbalingga,

Jawa Tengah. Proses hukum dan tindakan pengadilan seringkali tidak bijak dan tidak

mampu memberi kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan

adil pada setiap pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur yang benar.

Perkara diputuskan dengan undang-undang yang telah dipesan dengan kerjasama

antara pembuat Undang-undang dengan pelaku kejahatan yang kecerdasannya mampu

membelokkan makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga berkembanglah

“mafia peradilan”1.

Dahsyatnya intervensi politik, lemahnya pengaturan undang-undang, dan

merosotnya integritas aparatur penegak hukum menjadi kombinasi tiga faktor yang

akhirnya memunculkan disorientasi hukum2. Akibatnya hukum menjadi kehilangan

daya dalam mencapai tujuan untuk menegakkan keadilan, kebenaran, maupun

kemanfaatan.

Dalam konteks kegagalan hukum tersebut, filsafat hukum berguna untuk

menjawab berbagai macam problematika dan masalah-masalah umum abstrak

(hakekat, tujuan, ketaatan hukum), dan juga soal-soal kongkret mengenai hubungan

antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga

1 Bismar Siregar, Rasa Keadilan, PT. Bina Ilmu, Tunjungan S3E, Surabaya, 1989, hal. 78

2 Muchsan, , Hukum Tata Pemerintahan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1985, hal 42

Page 3: Filsafat Hukum Legal Realism

3 | P a g e

hukum di suatu negara. Filsafat hukum merupakan alat bantu untuk melakukan

refleksi dan menemukan kembali cara pandang, metode berpikir serta substansi

pemahaman atas nilai-nilai dasar yang harus dicapai melalui instrument hukum.

Roscoe Pound 3

menyatakan, bahwa ahli filsafat berupaya untuk memecahkan

persoalan tentang gagasan untuk menciptakan suatu hukum yang sempurna yang

harus berdiri teguh selamalamanya, kemudian membuktikan kepada umat manusia

bahwa hukum yang telah selesai ditetapkan, kekuasaannya tidak dipersoalkan lagi.

Filsafat hukum memegang peranan penting dalam kegiatan penalaran dan penelaahan

asas dan dasar etik dari pengawasan sosial, yang berkaitan dengan (a). tujuan-tujuan

masyarakat, (b) masalah-masalah hak asasi, (c) kodrat alam 4.

II. PERKEMBANGAN DAN ANATOMI ALIRAN FILSAFAT HUKUM

SEBELUM REALISM

Filsafat hukum tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh dialektika sejarah,

yang tidak terlepas juga dari berbagai pengaruh lingkungan baik lingkungan

pemikiran, politik, sosial dan budaya. Perkembangan lingkungan yang mempengaruhi

sistem hukum yang berlaku selalu menjadi titik picu untuk mempertanyakan landasan

filosofis dari sistem hukum yang berjalan. Ketidakefektifan atau kegagalan sistem

hukum dalam memenuhi rasa keadilan, kebenaran dan kemanfaatan seringkali

menjadi titik pijak dalam melakukan refleksi untuk menggugat kembali fondasi

pemikiran yang melandasinya.

Evolusi kemunculan aliran-aliran dalam filsafat hukum (sebagaimana

kemunculan aliran filsafat ilmu) dapat dipotret melalui perspektif sejarah yang selalu

terkait dengan perkembangan dan perubahan sosial, politik ekonomi dan budaya

masyarakat. Aliran hukum alam misalnya muncul dalam konteks sosial dimana

3 Resceu Pond, Interpretations of Legal History, Havu, L.R, Holland, 1972, hal 3

4 Leon Duguit, Law in the Modern State, Limited Amsterdam University, 1919, hal 47

Page 4: Filsafat Hukum Legal Realism

4 | P a g e

konstruksi masyarakat masih sangat sederhana, sehingga konsepsi-konsepsi nilai yang

abstrak masih dianggap memadai untuk melandasi sistem hukum dalam masyarakat

yang homogen dan sederhana. Ketika perkembangan masyarakat semakin maju,

kompleksitas persoalan semakin membesar sehingga memunculkan sistem

pemerintahan yang lebih modern, maka konsepsi aliran hukum alam dianggap tidak

lagi memadai, sehingga memicu lahirnya aliran positivisme hukum.

Begitu juga ketika perkembangan masyarakat politik bergerak ke arah

semakin kuatnya peran penguasa dan kemudian memunculkan absolutisme kekuasaan

dan otoritarianisme, memicu lahirnya aliran filsafat hukum yang baru yakni

sociological jurisprudence, yang kemudian berlanjut ke arah aliran legal realisme dan

seterusnya. Dengan demikian terlihat bahwa dialektika sejarah yang diwarnai oleh

alur perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya selalu memiliki keterkaitan

dan bahkan menjadi sumber inspirasi bagi perkembangan aliran filsafat hukum.

Dalam kata lain, perkembangan filsafat hukum bukan merupakan entitas tersendiri,

yang lahir dan berkembang hanya sebatas pada perkembangan pemikiran intelektual

di ruang hampa, namun selalu dipengaruhi dan terinspirasi oleh perkembangan

masyarakat.

Guna melacak kembali perkembangan aliran filsafat hukum dan sekaligus

mengantarkan pemahaman kita kepada aliran legal realisme, ada baiknya kita

melakukan kilas balik (flash back) untuk sedikit menelusuri siklus perkembangan

aliran filasafat hukum.

1. ALIRAN HUKUM ALAM

Page 5: Filsafat Hukum Legal Realism

5 | P a g e

Aliran ini merupakan fase pertama dalam perkembangan aliran filsafat

hukum, yang muncul dalam periode-periode awal sejarah peradaban manusia.

Aliran ini muncul dalam konstruksi sosial masyarakat yang masih sederhana.

Menurut aliran hukum alam, kaidah hukum adalah hasil dari titah tuhan

dan langsung berasal dari tuhan. Oleh karena itu, aliran ini mengakui adanya

suatu hukum yang benar dan abadi, sesuai dengan ukuran kodrat, serta selaras

dengan alam. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari pada hukum yang sengaja

dibentuk oleh manusia 5.

Dalam perkembangannya, aliran hukum alam ini terbagi ke dalam dua

kelompok. Mulai menguatnya pengaruh gereja dalam tata kehidupan sosial politik

yang berhadapan dengan kekuasaan raja banyak menginspirasi perkembangan

aliran hukum alam ini. Sebagai contoh dapat kita lihat bahwa pemikiran-

pemikiran Dante Alighieri (1265-1321), Piere Dubois, yang lebih cenderung

memberikan legitimasi filosofis atas kewenangan Raja, berseberangan dengan

pemikiran John Salisbury yang memberikan dukungan kepada otoritas gereja.

Pertama aliran hukum alam irasional, yang berpendapat bahwa hukum

yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari tuhan secara langsung.

Pendukung aliran hukum alam irasioanal antara lain adalah: Thomas Aquinas 6,

John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wycliffe.

5 Menurut Friedman, hukum alam itu mempunyai fungsi jamak, yakni:

Sebagai instrument utama dalam transformasi dari hukum sipil kuno pada zaman Romawi kesuatu sistem yang luas

dan cosmopolitan.

Digunakan sebagai senjata oleh kedua belah pihak dalam pertikaian antara Gereja pada abad pertengahan dan para

kaisar Jerman.

sebagai latar belakang pemikiran untuk mendukung berlakunya hukum internasional, dan menuntut kebebasan

individu dari absolutisme.

prinsip-prinsip hukum alam juga digunakan oleh para hakim Amerika (yang berhak untuk menafsirkan konstitusi)

guna menentang usaha peundang-undangan Negara untuk memodifikasi dan mengurangi kebebasan mutlak individu

dalam bidang ekonomi. 6 Filsafat Thomas aquinus berkaitan erat dengan teologia, ia mengakui bahwa di samping kebenaran wahyu juga terdapat

kebenaran akal. Menurut Aquinas ada dua pengetahuan yang berjalan bersama, yaitu: pertama, pengetahuan alamiah

(berpangkal pada akal), kedua, pengetahuan iman (berpangkal pada wahyu ilahi).

Page 6: Filsafat Hukum Legal Realism

6 | P a g e

Kedua aliran hukum alam rasional. Sebaliknya aliran hukum alam rasional

berpendapat, bahwa hukum yang universal berasal dari rasio manusia. Tokoh-

tokoh aliran hukum alam rasional antara lain adalah: Hugo de Groot (Grotius),

Christian Thomasius, Immanuel Kant, Samuel von Pofendrof. Menurut Grotius,

sumber hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik yang membedakan

manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan

manusia harus berdasarkan pada kemampuan akal (rasio) itu. Sedangkan

Pufendorf berpendapat, bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal

pikiran yang murni. Dalam dalam hal ini unsur naluriah manusia lebih berperan.

Akibatnya, ketika manusia mulai hidup di mayarakat timbul pertentangan

kepentingan satu dengan yang lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan maka

dibuatlah suatu perjanjian secara sukarela diantara rakyat. Baru setelah itu,

diadakan perjanjian berukutnya berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Dengan

adanya perjanjian itu, berarti tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua kekuasaan

itu dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan, dan tujuan dari Negara yang

didirikan.

2. POSITIVISME HUKUM

Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca

mata positivis, tiada hukum kecuali perintah penguasa (law is a commandand of

the lawgivers). Bahkan, bagian dari aliran hukum positif yang dikenal dengan

nama legalisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan

undang-undang.

Positivisme hukum dibedakan dalam dua corak: pertama, aliran hukum

positif analitis (Analytical jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin,

Page 7: Filsafat Hukum Legal Realism

7 | P a g e

kedua, aliran hukum murni (Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans

Kelsen.

Austin (1790 - 1859) menggariskan bahwa hukum adalah perintah dari

penguasa Negara. Hakikat hukum sendiri, menurut Austin, terletak pada unsur

“perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap logis, dan

tertutup. Hukum adalah perintah yang memaksa yang dapat saja bijaksana dan

adil,ataupun sebaliknya. Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua

jenis: pertama, hukum dari tuhan untuk manusia (the devine laws), dan hukum

yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia dapat

dibedakan lagi: pertama adalah, hukum yang sebenarnya, hukum ini disebut juga

dengan hukum positif, meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum

yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang

diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur: (1)

Perintah (command), (2) sanksi (sanction), (3) kewajiban (duty), (4) kedaulatan

(severeignty). Kedua adalah hukum yang tidak sebenarnya, mengenai hukum

yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga

tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan hukum dari suatu

organisasi olahraga.

Sedangkan Kelsen (1881 - 1973), menganggap bahwa hukum harus

dibersihkan dari anasir-anasir nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis,

histories, bahkan etis. Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma),

bukan isi (materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Suatu

hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena

dikeluarkan oleh penguasa. Selain Kelsen disebut sebagai pencetus Teori Hukum

Murni, ia juga berjasa mengembangkan Teori Jenjang (stufentheori) yang mana

Page 8: Filsafat Hukum Legal Realism

8 | P a g e

semulanya dikemukakan oleh Adolf Merkl (1836 - 1896). Teori ini melihat

hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida.

Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebih

tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan

sebaliknya, semakin rendah suatu norma, akan semakin konkret norma tersebut.

Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen

dengan namaGroundnorm (norma dasar) atau Ursprungnorm.

Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin,

walaupun demikian pemikiran Kelsen dengan pemikiran Austin berbeda. Kelsen

mendasarkan pemikirannya pada Neokantinisme sedangkan Austin mendasarkan

pemikirannya pada Utilitarianisme.

3. UTILITARIANISME

Aliran positivism yang meletakkan hukum murni sebagai hukum yang

harus dipisahkan dari unsur moral mendapatkan reaksi dari beberapa ahli filsafat

hukum lainnya. Penempatan hukum secara bebas nilai dianggap menghilangkan

relevansi hukum dalam konteks untuk membingkai kehidupan manusia. Hal ini

melatari munculnya aliran utilitarianisme atau Utilisme yakni aliran yang

meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini

diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya

suatu hukum, bergantung pada apakan hukum itu memberikan kebahagiaan

kepada manusia atau tidak. Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah

Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering.

Bentham lebih menekankan kepada tujuan hukum untuk memberikan

jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, meskipun dia tidak menyangkal

pentingan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan von Jhering

Page 9: Filsafat Hukum Legal Realism

9 | P a g e

merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan Positivisme Hukum

dari John Austin. Perlu diketahui bahwa pemikiran yang gemilang dari Jhering

memang setelah ia melakukan studi mendalam tentang hukum Romawi. Bagi

Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam

mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya

sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi kepentingan

individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan

pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.

4. MAZHAB SEJARAH 7

Tokoh penting mazhab sejarah adalah von Savigny, Puchta, dan Henry

Sumner Maine. Mazhab sejarah timbul sejalan dengan gerakan nasionalisme di

Eropa. Jika sebelumnya para ahli hukum memfokuskan perhatiannya pada

individu, penganut mazhab sejarah sudah mengarah kepada bangsa, tepatnya jiwa

bangsa (volkgeist).

Menurut Savigny, Hukum timbul bukan karena perintah dari penguasa

atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam

jiwa bangsa itu (instinktif). Dia mengatakan, “Law is expression of the common

consciousness or spirit of people.” Pendapat Savigny seperti ini bertolak

belakang pula dengan pandangan positivisme hukum. Ia mengingatkan, untuk

membangunkan hukum, studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak perlu

dilakukan.

7 Mazhab sejarah merupakan reaksi terhadap tiga hal:

rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya

berperan pada filsafat hukum, dengan terutama mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta

sejarah, kekhususan dan kondisi nasional.

semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada

rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya), yaitu seruannya ke segala penjuru dunia.

pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat

memecahkan semua masalah hukum. Code civil dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai

suatu sistem hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alas an-alasan

yang murni.

Page 10: Filsafat Hukum Legal Realism

10 | P a g e

Puchta menambahkan bahwa Hukum dapat berbentuk: pertama,

langsung berupa adat istiadat, kedua, melalui undang-undang, ketiga, melalui

ilmu hukum dalam bentuk karya ilmu hukum.Lebih lanjut Puchta membedakan

pengertian “bangsa” ini dalam dua jenis: pertama, bangsa dalam pengertian etnis,

yang disebutnya “bangsa alam,” dan kedua, bangsa dalam arti nasional sebagai

kesatuan organis yang membentuk suatu negara. Adapun yang memiliki hukum

yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan

“bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka. Keyakinan hukum

yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum

masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negara mengesahkan hukum itu

dengan membentuk undang-undang. Puchta mengutamakan pembentukan hukum

dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi

sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik hukum dalam adat istiadat bangsa

dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Adat-istiadat bangsa hanya

berlaku sebagai hukum ketika sudah disahkan oleh negara.

5. SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE 8

Bagi aliran ini, hukum yang baik adalah hukum yang hidup di masyarakat.

Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup.

Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) Positivisme Hukum dan

8 Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton, kurang tepat dan adapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih

senang menggunakan istilah “metode fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut Sociological

Jurisprudence ini dengan Functional Anthropological. Dengan menggunaka istilah “metode fungsional” seperti

diungkapkan di atas, Paton ingin menghindari kerancuan antaraSociological Jurisprudence dan sosiologi hukum.

Menurut Lili Rasyidi, perbedaan antara Sociological Jurisprudence dan sosiologi hukum adalah sebagai berikut.

Pertama,Sociological Jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah

merupakan cabang dari sosiologi. Kedua, walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbak

balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Sociological Jurisprudence mengunakan

pendekatan hukum ke masyaarakat, sedangkan sosiologi hukum menggunakan pendekatan masyarakat ke hukum.

Page 11: Filsafat Hukum Legal Realism

11 | P a g e

(antitesis) Mazhab Sejarah. Tokoh-tokoh aliran Sociological Jurisprudence antara

lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscou Pound.

Menurut Ehrlich, hukumpositif baru akan memiliki daya berlaku yang

efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam

masyarakat. Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada

kekuatan social-sosial tertentu. Hukum sendiri tidak mungkin efektif, oleh karena

ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan social terhadap hukum,

dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh negara.

Poun terkenal dengan teorinya bahwa hukum merupakan alat untuk

memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engenering).

Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu membuat

penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum

yakni: a. Kepentingan umum (public interes) yang meliputi kepentingan negara

sebagai badan hokum, dan kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan

masyarakat.b. Kepentingan masyarakat (social interes) yang meliputi

kepentingan akan kedamaian dan ketertiban, perlindungan lembaga-lembaga

social, pencegah kemerosotan akhlak, pencegah pelanggaran hak, kesejahteraan

sosial. c. Kepentingan pribadi (private interes) yang terdiri atas kepentingan

individu, kepentingan keluarga, dan kepentingan hak milik.

III. LEGAL REALISM

A. Sejarah kemunculan

Qodri Azizy mengatakan bahwa aliran realisme muncul bermula dari

adanya penolakan terhadap aliran positivisme. Gagasan yang dilontarkan adalah

pernyataan bahwa kalau positivisme hukum merupakan teori hukum yang benar

maka teori itu akan mencakup semua hukum, termasuk menangani kasus-kasus

Page 12: Filsafat Hukum Legal Realism

12 | P a g e

berat (hard cases). Ternyata kasus-kasus berat ini tidak diatur oleh aturan-aturan

yang ada. Atau dengan pertanyaan: “apakah legal positivism menyediakan teori

yang benar mengenai putusan peradilan, khususnya dalam menyelesaikan kasus-

kasus berat?” ternyata pertanyaan ini merupakan problem yang sukar dipecahkan

bagi pengikut positivism.9

Sebagaimana diuraikan dimuka, Austin sebagai pelopor positivisme

hukum, menyatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat,

sedangkan Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum adalah kehendak dari negara.

Atau dengan kata lain, menyatakan bahwa hukum adalah sesuatu yang positif

yakni Undang-Undang (positive law) dan hukum kebiasaan (positive morality).

Tetapi positive morality bisa menjadi hukum apabila telah dikukuhkan menjadi

Undang-Undang oleh pejabat yang berwenang (Badan Legislatif).

Menanggapi hal ini, tokoh-tokoh legal realism yang berasal dari

kalangan praktisi hukum, yakni Holmes (1841-1935), Jerome Frank (1859- 1957)

dan seorang ahli ilmu sosial, Karl Nickerson Llewellyn (1893-1962), melihat

kenyataan bahwa tidak semua kasus yang ada di pengadilan, khususnya kasus-

kasus berat diatur dalam Undang-Undang. Sehingga pada kenyataannya hakim

mempunyai peranan yang lebih bebas untuk memilih dan menentukan serta lebih

kreatif didalam penerapan hukum dari pada sekadar mengambil didalam aturan-

aturan yang dibuat oleh penguasa (Undang-Undang). Dalam praktiknya ternyata

faktor seperti temperamen psikologis hakim, kelas sosial dan nilai-nilai yang ada

9 Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Gama

Media Offset, Yogyakarta, 2002, cet I h. 205.

Page 13: Filsafat Hukum Legal Realism

13 | P a g e

pada hakim lebih berfungsi dalam pengambilan keputusan hukum dari pada

aturan-aturan yang tertulis 10

.

Sehubungan dengan hal ini, W. Friedmann menjelaskan bahwa

menjelang abad kesembilan belas terjadi sikap skeptisisme yang sehat, yang

mengecam rasa puas diri para penganut ilmu hukum analitik. idealisme hukum

baru yang terdiri dari sebagian metafisis dan sebagian sosiologis, membelok dan

mulai menentang positivisme analitis dan berbalik mulai menyelidiki realitas

dalam masyarakat modern dalam hubungannya dengan hukum modern.11

Pragmatisme merupakan rumusan baru dari filsafat yang sangat tua, yang

mendorong kearah pendekatan baru pada hukum yang melihat ke arah barang-

barang yang terakhir, hasil-hasil dan akibat-akibat.12

Gerakan realis mulai melihat apa sebenarnya yang dikehendaki hukum

dengan menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta dalam kehidupan

sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat menjelaskan bagaimana

pengadilan membuat putusan. Penemuan mereka mengembangkan formula dalam

memprediksi tingkah laku hakim (peradilan) sebagai suatu fakta (kenyataan).

Jadi, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah “gerakan dalam

pemikiran dan kerja tentang hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn

menyebut beberapa hal, yang terpeting diantaranya:

1. Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan

kerja tentang hukum.

10

Azizy, A. Qadri, Op Cit, h. 206. 11

Friedmann, W., alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas Teori-Teori

Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, !990) Cet ke 1 h. 187. 12

Ibid, h. 189

Page 14: Filsafat Hukum Legal Realism

14 | P a g e

2. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-

tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme

mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada

hukum.

3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada

dan yang seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang

nilai harus selalu diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama

penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-

keinginan pengamatan atau tujuan-tuan etis.

4. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi- konsepsi

hukum, sepanjang ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang

sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme

menerima peraturan-peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa

yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”

5. Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat

akibatnya.13

Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa

perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara pengetahuan-

pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan keadaan masyarakat. Hukum

merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup kebiasaan, sikap-

sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke

generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum merupakan bagian kebudayaan

yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga tersebut telah terorganisir dan

13

Lihat, Friedmann, W. OpCit, h.191-192.

Page 15: Filsafat Hukum Legal Realism

15 | P a g e

harapannya terwujud di dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta

didukung oleh para ahli.14

Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam Undang-

Undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh

hakim di pengadilan yang pada umumnya didasarkan pada kenyataan di

lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum ketika menjatuhkan

putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal tidak selalu

sama dengan apa yang tertulis dalam Undang-Undang atau aturan lainnya.

Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum yang

merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk

mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena belum ada hukum

tertulis yang mengaturnya,15

Pokok-pokok pendekatan kaum realis yang digariskan oleh Llewellyn

antara lain:

1. Hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan

hukum yang diciptakan oleh pengadilan.

2. Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.

3. Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum, karenanya selalu diperlukan

penyelidikan untuk mengetahui bagaimana hukum itu menghadapi problem-

problem sosial yang ada.

4. Guna keperluan studi harus ada perbedaan antara “is” dan “ought”

14

Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, Cet I h.

33 15

Azizy, A. Qadri, Op Cit. h. 207-208

Page 16: Filsafat Hukum Legal Realism

16 | P a g e

5. Tidak mempunyai anggapan bahwa peraturan-peraturan dan konsep hukum

itu sudah mencukupi apa yang harus dilakukan oleh pengadilan. Hal ini

selalu merupakan masalah utama dalam pendekatan terhadap hukum.

6. Sehubungan dengan butir di atas, mereka juga menolak teori tradisional yang

mengatakan bahwa peraturan hukum itu merupakan faktor utama dalam

mengambil keputusan.

7. Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit sehingga

lebih nyata. Peraturan-peraturan hukum itu meliputi situasi-situasi yang

banyak dan berbeda-beda, karena itu ia bersifat umum, tidak konkret dan

tidak nyata.

8. Hendaknya hukum itu dinilai dari efektifitasnya dan kemanfaatannya untuk

menemukan efek-efek tersebut16

Akhirnya secara ringkas, Llewellyn sendiri membuat sebuah

ungkapan yang paling tepat menurutnya, “realisme bukanlah suatu filosufi,

tetapi suatu teknologi, suatu metoda, bukan yang lain”.17

B. Gerakan Kelompok Realis dalam Hukum

Frank mengklasifikasikan kelompok realis ke dalam 2 kubu, pertama

kubu "rule skeptic", yakni kelompok yang menganggap ketidakpastian hukum

hanya ada di dalam undang-undang dan berusaha menemukan keseragaman

dalam pola perilaku peradilan. Kubu kedua "fact-skeptic" yang beranggapan

bahwa unpredictabilitas putusan pengadilan hanya ada dalam fakta-fakta yang

sukar dipahami. Pengklasifikasian ke dalam 2 kelompok oleh Frank ini,

16

Azizy, A. Qadri, Op Cit, h.209. 17

Leod, Ian Mc, Legal Theory, Macmillan Press Ltd, 1999, h. 123

Page 17: Filsafat Hukum Legal Realism

17 | P a g e

mendapatkan respon dari Rumble yang menemukan ada satu kelompom lagi

yakni "oppinion-skepticism" atau yang lebih dimenal dengan "judicial hunch".

Kelompok ini meyakini bahwa penalaran hukum hanyalah sebuah pengambilan

keputusan ex post facto, rasionalisasi belaka, dan dimaksudkan untuk membuat

kuputusan hakim tampak masuk akal, legal, dan tak terelakkan. Untuk

meperkuat thesisnya, Frank membuat statement yang efektif dengan

mengatakan bahwa pendekatan text-book, yang memperlakukan hukum haya

sebagai kumpulan norma yang abstrak, adalah salah arah, dan bahwa

ketidakpastian hukum adakah sesuatu yang inhern, bukan kesalahan yang

disengaja.

Aliran Legal Realisme sebagai suatu gerakan dapat dibedakan dalam

dua kelompok, yaitu Realisme Amerika, dan Realisme Skandinavia.

Pengelompokan berdasarkan zona ini sebenarnya bukan hal yang lazim.

Realisme Skandinavia lebih luas cakupannya daripada Realisme Amerika, sebab

realisme skandinavia tidak memusatkan perhatiannya kepada para fungsionaris

hukum (khususnya hakim), akan tetapi justru orang-orang yang ada di bawah

hukum. Realisme Scandinavia ini banyak menggunakan dalil-dalil psikologi

dalam menjelaskan pandangannya.

C. AMERICAN LEGAL REALISM

Realisme Amerika Serikat adalah merupakan pendekatan seara

pragmatis dan behaviouristis terhadap lembaga-lembaga sosial. Para ahli hukum

Amerika mengembangkan cara pendekatan tersebut dengan meletakkan tekanan

pada putusan-putusan pengadilan dan tindakan-tindakan hukum.

Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim, hakim lebih

sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan

Page 18: Filsafat Hukum Legal Realism

18 | P a g e

perundang-undangan, apabila dibandingkan dengan cara berpikir aliran

positivisme sangat bertentangan karena memang aliran relisme ini merupakan

reaksi dari aliran positivisme yang lebih menekan hukum hanya sebagai segala

sesuatu yang tertuang dalam undang-undang dan aliran realisme ini berusaha

untuk merubah cara pandang para ahli hukum di Amerika. Kaum realisme

Amerika menganggap bahwa hukum itu sebagai praktek (law in action) hukum

itu adalah suatu pengalaman dan menganggap hukum itu harus bebas dari nilai-

nilai.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Llewellyn, suatu institusi hukum

harus memiliki pengalaman yang banyak dan para pekerja hukum dituntut untuk

memiliki kemampuan/keahlian untuk mengintepretasi hukum. Tokoh realisme

Amerika lain yaitu Oliver Wendell Holmes berpendapat yang dimaksud dengan

hukum adalah tindakan dari pengadilan terhadap fakta hukum yang terjadi,

pandangan hukum sebagai prediksi apa yang akan diputuskan oleh pengadilan

ini yang menekankan realisme di Amerika bersifat pragmatis dan empiris.

Menurut John Dewey Tujuan dari realisme di Amerika ini

dimaksudkan untuk menyelidiki bagaimana hukum bekerja dan bagaimana

dipergunakan dengan sesungguhnya hukum, yaitu dengan cara mengaitkan

hukum dengan fakta kehidupan yang ada dalam masyarakat. Aliran realisme di

Amerika ini menuntut pemenuhan kebutuhan hukum terhadap gejolak-gejolak

yang terjadi dalam masyarakat jadi apabila hukum itu hanya mengacu pada

suatu aturan yang tetap maka seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika,

dengan prinsip tersebut hakim menjatuhkan putuskan. Jerome Frank dalam

tulisannya “Law and The Modern Mind” hukum itu harus selalu ditemukan,

karena apabila hakim dalam memutuskan suatu perkara hanya didasarkan pada

Page 19: Filsafat Hukum Legal Realism

19 | P a g e

undang-undang sesungguhnya hakim itu hanya menipu dirinya dengan

menyembunyikan fakta bahwa tiap-tiap perkara berbeda-beda jenis fakta

hukumnya dan menuntut suatu putusan yang berbeda-beda pula. Frank juga

menyatakan bahwa dalam mengambil keputusan hakim dipengaruhi faktor

politik, ekonomi, moral, simpati, dan antipati namun itu semua hanya sekedar

dijadikan pertimbangan.

Aliran realisme di Amerika juga mendapat pengaruh yang sangat besar

dari tokoh Llewellyn, dalam bukunya The Common Law Traditional, Llewellyn

mengembangkan suatu pemikiran bahwa setiap institusi hukum (hakim, jaksa,

pengacara dan pemerinntah) harus memiliki keterampilan dalam menafsirkan

hukum dan disini Llewelly menuntut dibutuhkannya logika, dan dalam bukunya

tersebut Llewellyn membagi dua konsep pemikiran yang dapat diprektekan di

pengadilan Amerika yaitu “Grand style”, tipe ini diterapkan pada saat

pengadilan tingkat banding dimana hakim di Amerika dalam membuat suatu

keputusan lebih menekankan pada logika dan keadaan disekitarnya, dan hakim

pada tingkat banding tidak meniru putusan hakim terdahulu dan mempelajari

kembali yang melatarbelakangi hakim terdahulu dalam menjatuhkan putusan.

“Formal Style” seebaliknya tipe ini lebih bersifat otoriter, formal dan logika,

hakim dalam membuat suatu keputusan diberikan ruang untuk menggunakan

logika namun hanya sebatas sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang ,

Formal Style tidak perduli pada fakta-fakta sosial.

Pada selanjutnya pemikiran Grand Style dan Formal Style ini sangat

mempengaruh situasi perkembangan hukum di Amerika, pada abad 19 Grand

Style sempat diterapkan di pengadilan Amerika dan berkembang kebentuk

Formal Style, hal ini memunculkan komentar dari Llewellyn yang

Page 20: Filsafat Hukum Legal Realism

20 | P a g e

mengharapkan pengadilan di Amerika kembali kepada Grand Style karena

hakim dalam memutuskan perkara perlu melihat situasi yang ada di dalam suatu

masyarakat. Namun sayangnya dari pemikiran Llwellyn ini memunculkan suatu

tanggaapan bahwa dengan hakim diberikan kesempatan untuk menggunakan

logika dan mempertimbangkan kondisi yg ada dimasyarakat dalam menjatuhkan

keputusan menimbulkan keanekaragaman putusan hukum terhadap satu perkara

sehingga tidak ada patokan hukum yang baik itu seperti apa sehingga

masyarakat dapat menerimanya.

Grand Style Formal Style

Model aturan hukum untuk menghasilkan efek z

atau untuk alasan z jika x

Jika x kemudian y

Prinsip proposisi umum mewujudkan

kebijakan fungsinya adalah

untuk memandu tetapi tidak

untuk mengendalikan

interpretasi

aturan dari jenis umum yang

dapat digunakan sebagai

premis dasar dari silogisme

Diagnosis masalah yang

melibatkan permasalahan

hukum

lingkup x adalah diragukan ruang lingkup aturan jelas

tetapi aplikasi adalah

diragukan

Konsep peranan

pengadilan

untuk menyelesaikan

ketidakadilan dengan

menggunakan kebijaksanaan

dan akal yang bersumber

otoritatif

untuk menemukan dan

menyatakan aturan yang

berlaku dan untuk

menerapkannya pada fakta-

Page 21: Filsafat Hukum Legal Realism

21 | P a g e

fakta dari kasus ini

Sumber-sumber yang

dapat dijadikan dasar

pembenaran dalam

memutuskan perkara

1. Sumber otoritatif seperti

negara dan kasus-kasus

2. Prinsip

3. Kebijakan akal dan alasan

4. temenuan penelitian di

sosial

1. sumber otoritatif seperti

undang-undang dan kasus

2. prinsip

3. logika

Tipe teknik interpretasi 1. kerusakan aturan

2. interpretasi terhadap kasus

dilakukan berdasarkan akal

dan alasan kebijakan

1. literatur aturan

2. “Simple cites”

Estetika Berfungsi untuk memperbaiki

tujuan

Cara elegan

Menurut K. Llewellyn dalam bukunya Using The New Jurisprudence

apa yang telah dikatakan mungkin dapat disimpulkan bahwa hakim dan para

pejabat ini tidak sepenuhnya bebas dan tidak harus sepenuhnya bebas membagi

pada analisis dan pemeriksaan lebih dekat menjadi dua fakta. Satu fakta yang

berkaitan dengan kontrol menahan diri, menahan hakim dan pejabat, fakta lain

yang bersangkutan dengan memungkinkan untuk mereka dari tingkat yang

terbatas dan jenis terbatas dari kelonggaran dan meletakkan pada mereka tugas

untuk latihan mereka ujung keterampilan dan penilaian dalam kelonggaran

Page 22: Filsafat Hukum Legal Realism

22 | P a g e

dalam menterjemahkan satu kasus. Kedua fakta ini harus dilihat dan keduanya

harus diperhitungkan oleh yurisprudensi yang bertujuan untuk menutupi fakta

yang jelas dan kebijakan diselesaikan dari sistem hukum kita, karena ada dua

jenis kebebasan pejabat pengadilan atau lainnya yang datang dalam pertanyaan

dan jenis kedua yang sangat berbeda itu adalah fakta dalam sistem hukum kita

bahwa hakim tidak berarti bebas untuk menjadi sewenang-wenang dan

kebutuhan vital kita bahwa mereka tidak harus gratis menjadi sewenang-wenang

telah tertangkap ke dalam alasan-alasan atau doktrin tentang hukum dan bukan

laki-laki dan tentang aturan menentukan kasus tetapi juga kenyataan bahwa

sistem hukum kita tidak menyesuaikan dengan kasus individu dan perubahan

kondisi kita dan lembaga-lembaga dan fakta itu berarti bahwa hakim dan pejabat

lainnya bebas untuk beberapa derajat nyata untuk bersikap adil dan bijaksana

dan bahwa kita memiliki kebutuhan vital bahwa para hakim dan pejabat lainnya

akan terus menjadi nyata untuk beberapa derajat bebas untuk menjadi bijaksana

dan hanya fakta yang terjadi namun tidak telah terjebak ke sebuah alasan yang

sama tajam atau sama berharga atau doktrin. Namun hal yang tidak kalah

penting dari sistem hukum kita dan tugas hakim kita, ada hukum yang kita

rasakan juga impersonal dan dianggap sebagai hasil pemikiran keras untuk

menemukan hukum.

Llwellyn dalam bukunya yg berjudul “My Philosophy of Law”

menjelaskan ada waktu ketika hukum menjadi perhatian para filsuf dan

dipahami sebagai bagian dari filosofi ada kekhawatiran baru-baru ini antara para

ilmuwan sosial dengan hukum sebagai ilmu sosial. Pengacara menganggap

hukum sebagai kerajinan dan sebagai profesi. Negarawan telah mengenal

hukum sebagai salah satu aspek kunci dari masyarakat sebagai panduan, sebagai

Page 23: Filsafat Hukum Legal Realism

23 | P a g e

alat. Dalam hukum kebenaran masing-masing hal-hal yang telah disebutkan

adalah hal yang lebih pada bagian besar dari perselisihan antara jurisprudes

kehilangan banyak makna dan jika fase hukum yang secara khusus untuk satu

dan lain menjadi hubungan dengan hukum secara keseluruhan.

Hal yang dianggap penting adalah lembaga yang berkembang, dan

lembaga yang diperlukan dalam masyarakat. Sebuah lembaga tentu saja tidak

pernah terdiri dari aturan sendiri ataupun cita-cita saja, aturan sebagai salah satu

bagiannya. Dalam kasus hukum, institusi mengandung salah satu bagian tubuh

yang luar biasa dan sangat penting dari aturan, terorganisir (cukup longgar) di

sekitar konsep dan ditekankan melalui prinsip-prinsip. Paduan aturan-aturan dan

prinsip-prinsip hukum yang tepat, ada aturan lain dan konsep lainnya, teknik

dirumuskan preseden konstruksi dan sejenisnya untuk membimbing manipulasi

lembaga hukum. Setiap lembaga hukum akan mengandung ideologi dan ide

meresap kuat dan tidak secara eksplisit. Sebagian besar implisit, dan yang lulus

hampir tidak disebutkan dalam buku.

Llwellyn juga mengatakan apabila masyarakat menginginkan

keadilan ditegakkan dan dijunjung tinggi maka setiap “The Law Job” perlu

dilakukan pendekatan-pendekatan fungsional hukum. Sebuah institusi adalah

suatu aktivitas yang teratur yang dibuat menurut suatu pekerjaan (job) atau

sekumpulan pekerjaan suatu institusi mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang

harus dilakukan dan yang paling penting adalah untk melihat bahwa pekerjaan-

pekerjaan itu dilakukan dengan baik secara efektif. Ada 5 katagori yang harus

diperhatikan ketika “The Law Job” menjalankan fungsi dan tugasnya yaitu :

Page 24: Filsafat Hukum Legal Realism

24 | P a g e

1. Penentuan kasus-kasus bermasalah : kesalahan-kesalahan, keluhan-keluhan,

dan sengketa. Hal ini dianggap the law job adalah merupakan tempat/pusat

untuk memperbaiki hukum yang dianggap rusak atau tidak sesuai lagi dengan

tuntutan perkembangan yang ada di masyarakat.

2. Pencegahan, sekaligus memberikan harapan untuk menghindari kesulitan.

3. Menghimpun peratura-peraturan hukum oleh penguasa dan mengatur

prosedur-prosedur yang menandai tindakan-tindakan apa yang tergolong

untuk itu, termasuk konstitusi;

4. Bagian positif dari pekerja (law work) melihat bagaimana mestinya (tidak

detail) secara keseluruhan organisasi masyarakat, agar dapat melakukan

penyantunan-penyantunan, arahan-arahan dan rangsangan-rangsangan;

5. Membuat metode hukum yang dapat dipergunakan sebagai acuan untuk

menyelesaikan masalah-masalah hukum dan dapat dipergunakan setersunya

dikemudian hari.

Dalam rangka melakukan tugas dan fungsi law job tersebut masyarakat

membentuk suatu institusi yang disebut law and government.

D. SCANDINAVIAN LEGAL REALISM

Aliran Scandinavia condong pada ideologi social welfare, dimana hal

ini terlihat jelas dalam tulisan-tulisan Lundstedt, meskipun dia tidak pernah

mengakui bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh ideologi. Hagerstorm

dipandang sebagai Bapak dari aliran ini, meskipun masih terdapat beberapa

tokoh lain yang sangat berpengaruh dan terkenal yakni Olivecrona, Lundstet dan

Ross.

Page 25: Filsafat Hukum Legal Realism

25 | P a g e

Menurut Lloyd D. dan Freeman, terdapat beberapa pokok-pokok

pikiran penting yang menjadi mainstream dari aliran ini, antara lain:

1) Law as Fact. Aliran ini berkeyakinan bahwa hukum hanya bisa dijelaskan

melalui fakta-fakta yang bisa diobservasi, dan studi tentang fakta ini –yang

disebut dengan ilmu pengetahuan hukum- karenanya merupakan sebuah

ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu pengetahuan lain yang peduli dan

memfokuskan diri pada fakta dan kejadian dalam hubungan sebab-

akibat.oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran

hukum, eksistensi hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property

dipisahkan dari khayalan dan dunia metafisika.

Bagi Olivecrona, aturan hukum merupakan “perintah yang independen”

yang termanifestasikan dalam bentuk perintah, namun tidak seperti perintah

yang berasal dari seseorang. Hukum termanifestasikan dalam “rasa” dari

rangkaian kaliman dalam undang-undang, dan ditangkap oleh alam pikiran

manusia dan selanjutnya mempengaruhi tingkah laku manusia. Lundstedt

menambahkan bahwa aturan hukum hanyalah sebuah prosedur untuk

mencapai tujuan tertentu (dalam hal ini adalah kesejahteraan sosial).

Lundstedt memandang bahwa hak dan kewajiban hanyalah merupakan

konklusi hukum. Dia mencontohkan bahwa hak atas property sebenarnya

hanyalah tiadanya resiko hukum bagi pemilik property untuk melakukan

tindakan-tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right

tidak muncul dari das sollen, melainkan dari das Sein.

2) Theory of Law. Ross membedakan 2 jenis ilmu hukum, pertama hukum

dalam arti yang dimuat dalam undang-undang, dan kedua kalimat-kalimat

dalam buku dimana hukum dinyatakan. Kategori pertama bersifat

Page 26: Filsafat Hukum Legal Realism

26 | P a g e

menentukan, sedangkan yang kedua lebih mengarah kepada pengetahuan

tentang apa hukum yang sebenarnya yang berisi pernyataan dan penjelasan.

Bagi Ross, validitas hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide

normatif yang disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena

hukum dalam kenyataan, yang dimaksdukan untuk memprediksikan

aktifitas para hakim. Dia menyatakan bahwa norma hukum utamanya

ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan petunjuk

kepada hakim. Aturan hukum adalah aturan tentang penggunaan kekuatan

dan ditujukan kepada para pejabat terkait. Contoh, larangan membunuh,

merupakan petunjuk bagi hakim dan beberapa instansi pemerintah dalam

berurusan dengan kasus-kasus pembunuhan yang diajukan kepada mereka.

Dalam pandangan Ross, semakin efektif pemenuhan aturan oleh

masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya,

karena pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan

reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika

hakim menganggapnya mengikat. Namun, pemikiran Ross ini dianggap

banyak menimbulkan persoalan karena dianggap sulit untuk menyelidiki

pemikiran hakim.

3) Prinsip-prinsip verifiabilitas. Fakta, bagi aliran realis merupakan hal yang

tidak bisa ditawar, dan menolak metafisika. Dalam hal ini, terdapat

kemiripan antara aliran ini dengan legal positivism. Ross mengatakan

bahwa hanya ada satu dunia dan satu kognisi (kesadaran). Seluruh ilmu

pengetahuan (termasuk ilmu pengathuan hukum) hanya memustakan

perhatian kepada fakta, seluruh dalil ilmu pengetahuan menyangkut realitas,

dan seluruh yang tidak sepenuhnya logis -matematis- selalu merujuk kepada

Page 27: Filsafat Hukum Legal Realism

27 | P a g e

uji pengalaman. Studi hukum doktrinal bagi Ross dianggap sebagai ilmu

pengetahuan sosial empirik. Dia juga mengatakan bahwa makna diberikan

terhadap fakta yang dapat diferivikasi, sehingga dalil-dalil yang tidak dapat

diverifikasi maka tidak bermakna. Namun demikian, Lloyd D. Dan

Freeman menganggap bahwa pandangan Ross ini bermasalah dengan

pemahaman tentang kegunaan bahasa, yang menurutnya bersifat tunggal.

Padahal dalam kenyataannya kegunaan bahasa dapat bermacam-macam.

Meskipun demikian, dalam perkembangan berikutnya, aliran ini lebih

bersikap toleran terhadap keragamaan kegunaan bahasa. MacCormak

mengatakan bahwa keragaman fungsi bahasa dan realitas psikologis dari

keyakinan dan perasaan adalah elemen utama dari penjelasan Ross dan

Olivecrona mengenai aturan hukum dan viliditasnya, dan juga hak-hak

hukum. Ross membuat 3 perbedaan atas perkataan yang digunakan dalam

aturan hukum: indicative, directive dan emotive. Sedangkan Olivecrona

membedakan bahasa hukum ke dalam 2 kategori: technical (yang bersifat

pasif), dan performative (yang bersifat kreatif).

4) Asal mula hukum. Dalam pandangan Olivecrona, asal mula hukum

sejatinya adalah pertanyaan tentang asal mula histori dan faktual tentang

perkembangan “aturan yang luar biasa, bersifat magis-religius yang

ditemukan dalam masyarakat kuno”.

5) Reductionism dan legal concept. Menurut Ross, konsep dapat selalu

direduksi dengan analisa atas serangkaian dalil yang setara, atau dapat

disubtitusikan.

6) Feature of law. Menurut Olivecrona, kinerja sistem hukum tidaklah mistis,

atau didasarkan pada enititas yang fiktif, misalnya negara atau sifat

Page 28: Filsafat Hukum Legal Realism

28 | P a g e

mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa hukum diproduksi oleh

sekumpulan orang yang berada dalam sebuah organisasi negara yang

mampu menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa yang dimilikinya,

dan sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat menghadirkan

tekanan psikologis terhadap masyarakat.

7) Hukum dan moralitas. Dalam pemikiran aliran Skandinavia, gagasan-

gagasan moral sebenarnya dibentuk oleh hukum. Hukum menjadi faktor

utama yang mempangaruhi standard moral, terutama karena

kemampuannya untuk menggunakan kekuatan untuk menegakkanya. Teori

ini memang sangat rentan untuk diperdebatkan, terutama jika dipertanyakan

tentang mana yang lebih dulu hadir, apakah moral ataukah hukum.

8) Ideologi hukum-method of Justice dan Social Welfare. Kebanyakan

kelompok realis mendukung konsep legal ideology atau method of justice

dengan menyandarkan diri pada tujuan material hukum, mengutamakan

sistem hukum yang aktual, sehingga menolak aspek metafisika, atau

penggunaan hukum alam atau nilai keadilan sebagai parameter penilaian

objective, karena menurut aliran realis, sebuah penilaian pastilah subjectif.

Bagi Lundstedt, jurisprudence haruslah berdasarkan observasi atas fakta,

bukannya berdasarkan atas penilaian individual atau metafisika.

1. Perbedaan Realisme Amerika dan Skandinavia

Meskipun sama-sama dalam satu aliran Realisme, namun terdapat

sedikit perbedaan antara aliran Scandinavian Realism dan Amerika. Lloyd

D. dan Freeman mencatat perbedaan antara keduanya sebagai berikut:

1. Realisme Amerika lebih memfokuskan diri pada kerja praktis untuk

mengkaji proses hukum, berbeda dengan Realisme Skanidnavia yang

Page 29: Filsafat Hukum Legal Realism

29 | P a g e

lebih berfokus kepada operasi teoritis atas sistem hukum secara

keseluruhan.

2. Skandinavia memang merepresentasikan aliran empiris yang ekstrem,

namun Amerika justru yang paling depan dalam menekankan

pentingnya sutdi faktual dalam rangka mencari solusi atas problem

hukum. Skandinavia tampak lebih mengandalkan pada argumen apriori

dalam menemukan solusi atas problem hukum.

3. Gerakan Realisme Skandinavia dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa,

sedangkan realisme Amerika lebih dipengaruhi oleh karakter empirisme

Inggris.

2. Pemikiran Tokoh Scandinavian Realism

Aliran Realisme Skandinavia digawangi oleh banyak tokoh,

seperti Axel Hagerstrom yang dianggap sebagai Bapak dari aliran ini.

Hagerstrom bukanlah ahli hukum, melainkan ahli filsafat yang

memfokuskan perhatian kepada hukum dan etika sebagai sumber yang

subur bai metafisika. Dia berambisi untuk menjadikan hukum sebagai alat

bantu untuk mereorganisasi masyarakat sebagaimana ilmu pengetahuan

alam telah berhasil mentransformasikan kehidupan manusia. Untuk

mencapainya, dia menganggap bahwa ilmu hukum harus dibebaskan dari

mitos, teologi dan metafisika. Logika dan bahasa hukum menurutnya

dipenuhi oleh konsep-konsep palsu. Oleh karena itu, untuk menghancurkan

pengaruh metafisika transedental, maka jalan untuk memulainya paling

tepat adalah melalui hukum.

Hak, kewajiban, kehendak negara, dan lain-lain merupakan

permainan kata-kata belaka, namun tampaknya ilmu hukum tidak bisa

Page 30: Filsafat Hukum Legal Realism

30 | P a g e

melepaskan diri darinya. Kesalahan ini harus diperbaiki, dan teori obyektif

tentang pengetahuan harus ditegakkan. Filsafat hukum baginya adalah

sebuah sosiologi hukum tanpa investigasi empirik, tapi dibangun di atas

analisis konseptual, historis dan prikologis. Tulisan Hagerstrom kebanyakan

merupakan kritik atas kesalahan cara berpikir hakim.

Di samping itu, terdapat beberapa tokoh lain, yakni Ross,

Olivecrona, Julius Stone, Jhon Rawls, dan lain-lain. Makalah ini akan

mencoba untuk lebih menyoroti secara lebih mendalam atas pemikiran

Olivecrona, dan dilanjutkan ringkasan gagasan utama dari tokoh lainnya.

a. Karl Olivecrona (1897 - 1980)

Olivecrona adalah seorang ahli hukum dan filsafat yang

berkebangsan Swedia. Dia belajar hukum di Universitas Upsala (1915-

1920) dan menjadi murid Hagerstrom. Selanjutnya dia menjadi

professor di bidang prosedur hukum dan filsafat hukum di Universitas

Lund. Tulisan-tulisan beliau banyak menekankan kepada arti penting

psikologi dalam gagasan hukum.

Beberapa pemikiran penting Olivecrona antara lain:

1) Hukum sebagai fakta

Dalam tulisan yang dipublikasikan pertama pada tahun

1939, terdapat beberapa pemikiran penting yang termuat di

dalamnya, yakni:

a) Binding force of law. Olivecrona meyakini bahwa hukum

berasal dari kreasi manusia. Hukum dibuat melalui proses

legislasi atau oleh orang biasa. Dengan kata lain, hukum dibuat

melalui proses alami, yang menghasilkan dampak yang alami

Page 31: Filsafat Hukum Legal Realism

31 | P a g e

juga dalam bentuk tekanan kepada masyarakat. Aturan hukum

dianggap sebagai tindakan hakim dalam memeriksa kasus-

kasus terkait dengan perilaku masyarakat dalam hubungannya

dengan masyarakat yang lain. Dengan demikian, para pembuat

hukum sebenarnya mempengaruhi dan membentuk perilaku

masyarakat.

Hukum merupakan kaitan antara sebab dan akibat, hukum

berada di antara waktu dan tempat. Sehingga baginya hukum

yang dianggap berada dalam proses alami dan efek alami, tidak

dapat berada pula dalam di luar itu (sesuatu yang metafisik).

Aturan hukum adalah gagasan tentang aksi imaginatif dari

hakim dalam situasi yang imaginatif. Hukum tidak berada di

ruang hampa, namun selalu terkait dengan situasi dan aturan

lainnya, dimana keterkaitan ini selalu dapat diteliti. Sebagai

contoh, tuduhan terhadap pelaku pembunuhan harus dikaitkan

dengan persyaratan umur dari tertuduh, pemahaman dia tentang

tuduhan yang diarahkan kepadanya,

Dalam kontruksi pemikian yang demikian, maka daya mengikat

dari hukum muncul dari gagasan dalam alam pikiran manusia.

b) Aturan hukum bukanlah perintah yang tepat/jelas. Ada 2

pertanyaan mendasar yang berusaha dijawab oleh Olivecrane.

Dari mana perintah hukum berasal ? dan bagaimana perintah

hukum seharusnya mengambil bentuk dalam aturan hukum ?

Sebagaimana kaum relais lainnya Olivecrona meyakini bahwa

perintah hukum tidak berasal dari luar manusia. Namun untuk

Page 32: Filsafat Hukum Legal Realism

32 | P a g e

menjelaskan hal ini, konotasi yang dibangun untuk menjelaskan

karakteristik manusia yang mampu memberikan perintah

hukum tidak mungkin diasosiasikan kepada manusia secara

perseorangan, karena pemberi perintah hukum haruslah

memenuhi kualifikasi super-human. Secara empirik, konotasi

ini diarahkan kepada negara.

Namun, dalam kenyataannya, negara bukanlah manusia.

Negara adalah sebuah organisasi pemerintahan yang

menjalankan negara. Tidak mungkin negara –dengan

sendirinya- mengeluarkan perintah. Oleh karena itu, Olivecrona

mengatakan bahwa pemahaman yang tepat adalah bahwa

perintah hukum muncul dari individu-individu di dalam

organisasi negara.

Terkait dengan aturan hukum sebagai perintah, pada dasarnya

perintah itu tidak sama dengan perintah yang diberikan oleh

seseorang kepada orang lain. Perintah individual ini biasanya

terwujud dalam kalimat yang jelas sesuai keinginan pemberi

perintah, sehingga perintah individual ini menimbulkan

implikasi berupa munculnya hubungan personal. Model ini

tidak muncul dalam aturan normatif hukum. Perintah dalam

aturan hukum muncul dalam dalam bentuk perintah imaginatif

yang dipahami oleh alam pikiran manusia.

c) Ordinary legislation. Olivecrona berusaha menjawab

pertanyaan klasik tentang proses legislasi, bagaimana sebuah

draft peraturan yang pada dasarnya hanya merupakan

Page 33: Filsafat Hukum Legal Realism

33 | P a g e

serangkaian kalimat fiktif, dapat menjadi aturan hukum dan

memiliki dayat ikat ? Dia menjelaskan bahwa kekuatan dari

peraturan muncul dari kesepakatan awal yang tertuang dalam

konstitusi yang dipergunakan oleh negara-negara modern.

Konstitusi disepakati sebagai pedoman dasar dalam pengaturan

masyarakat, dan mengikat seluruh warga negara. Konstitusi

menjelaskan prosedur pendelegasian kepada pihak tertentu

untuk menjalankan legislasi. Kesepakatan inilah yang

selanjutnya menjadi kerangka pemahaman dalam pemikiran

warga negara yang menghasilkan kepatuhan atas produk dari

proses legislasi.

d) Penggunaan kekuatan dalam organisasi negara. Penggunaan

kekuatan oleh organisasi negara dalam penerapan hukum

merupakan sebuah kepastian, baik untuk hukum pidana

maupun perdata. Dalam konteks hukum perdata, penggunaan

kekuatan dimungkinkan jika terjadi pengingkaran terhadap

putusan hukum. Menurut Olivecrona, upaya untuk

menanggalkan penggunaan kekuatan negara atau menjadikan

penggunaan kekuatan negara sebagai prioritas kedua dalam

penegakan hukum adalah sesuatu yang naif dan tidak berguna.

Meskipun demikian, Olivecrona juga mengatakan bahwa

penggunaan kekuatan negara tidak harus selalu dikedepankan,

kekuatan atau kekerasan dapat disimpan sebagai background,

namun hal ini dapat berhasil jika kondisi masyarakat telah

berada pada situasi kedewasaan hukum.

Page 34: Filsafat Hukum Legal Realism

34 | P a g e

e) Hukum mengandung aturan tentang kekuatan. Pandangan

Olivecrona mengenai hal ini pada dasarnya memperjelas relasi

antara hukum dengan penggunaan kekuatan negara. Pada

intinya, dia ingin mengatakan bahwa kekuatan negara bukanlah

penopang atau penjaga hukum. Namun, baginya, justru

penggunaan kekuatan negara itu menjadi bagian yang inheren

dalam aturan hukum. Bagaimana dalam koteks hukum perdata

? Memang dalam konteks hukum perdata yang ditekankan

adalah penggunaan unsur etis untuk memunculkan kepatuhan.

Namun, bagi Olivecrona faktor etis ini adalah merupakan

bagian lain dari kekuatan negara. Dan dalam hal ini,

masyarakat harus mengupayakan agar perilaku mereka sesuai

dengan aturan hukum (dalam hukum perdata).

f) Standard moral dan hukum. Bagi oleivecrona, asumsi bahwa

moral menjadi landasaan hukum, atau sumber inspirasi hukum,

adalah tidak tepat. Bahkan perdebatan tentang apakah ide

keadilan itu menjadi landasan dan rujukan bagi hukum juga

dianggap tidak penting. Baginya, justru yang penting untuk

didiskusikan adalah apakah ide keadilan menjadi faktor utama

dalam hukum, ataukah ide keadilan justru dibentuk oleh

hukum. Dalam hal ini, Olivecrona meyakini bahwa hukum

menjadi instrument pembentuk moralitas masyarakat, meskipun

dalam hal tertentu, karena hukum tidak bisa memprediksikan

perkembangan moral, maka dalam proses perubahan hukum,

fakta tentang ide moral juga dapat menjadi inspirasi perubahan.

Page 35: Filsafat Hukum Legal Realism

35 | P a g e

Dia menggarisbawahi pentingan pengaruh moral dari hukum

untuk mengoptimalkan efektifitasnya. Namun, dia juga

mengingatkan bahwa kita tidak boleh mengandalkan dampak

moral yang terkandung dalam aturan hukum, karena dampak

moral ini bersifat sangat individual. Oleh karena itu, untuk

memaksimalkan daya atau pengaruh moral dari hukum agar

dapat meluas kepada masyarakat, maka dalam proses

pembuatan hukum diperlukan upaya untuk memastikan bahwa

aturan hukum yang dibuat harus reasonable bagi mayoritas

masyarakat, ditunjang dengan penerapan sanksi secara

konsisten dan imparsial. Dan penggunaan kekuatan negara

harus dilakukan dalam konteks propaganda untuk menyiapkan

kondisi psikologis masyarakat agar dapat menyerap dan

melaksanakan perintah hukum.

2) Bahasa Hukum dan Realitas

Hukum, keputusan pengadilan, maupun kontrak

berfungsi untuk mempengaruhi perilaku manusia, sehingga

penggunaan bahasa hukum harus didasarkan kepada upaya

pencapaian tujuan tersebut. Hal ini disebut Olivecrona sebagai

directive language, sebagai kebalikan dari reporting language. oleh

karena itu dia menyarankan agar dalam konteks hukum,

dipergunakan directive language dan menghindari reporting

language.

Dalam penggunaan bahasa hukum, dia juga menekankan

pentingnya peltakan konteks yang tepat, karena dengannya, akan

Page 36: Filsafat Hukum Legal Realism

36 | P a g e

mampu menghasilkan efek psikologis yang kuat. Peletakan konteks

ini termasuk juga penggunaan institusi atau orang yang tepat untuk

melakukannya. Ibaratnya, pembuatan perintah oleh orang yang tidak

memiliki kekuasaan untuk itu, tidak akan mampu menghasilkan efek

psikologis yang mampu mendorong masyarakat untuk

mengikutinya. Untuk mengilustrasikan pemikirannya ini,

Olivecrona merujuk ilustrasi yang dibuat oleh Austin dalam

penamaan kapal Queen Elizabeth. Di samping itu, dia juga membuat

ilutrasi dalam bentuk pesta pernikahan. Terkait dengan ilustrasi ini,

dia menjelaskan lebih jauh bahwa pesta pernikahan memiliki efek

psikologis yang mengikat pasangan yang menikah, dan juga negara.

b. Alf Ross (1899 - 1979)

Ross (ahli hukum Denmark) berpendapat, bahwa hukum

adalah suatu relaitas sosial. Ross berusaha membentuk suatu teori

hukum yang empiris belaka, tetapi yang dapat

mempertanggungjawabkan keharusan normatif sebagai unsur mutlak

dari gejala hukum. Hal ini hanya mungkin, kalau berlakunya normatif

dari peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau

ungkapan simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam

realitas terdapat hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normatif

yang berupa rasionalisasi dari simbol itu, bukan realitas, melainkan

bayangan manusia tentang realitas.

Perkembangan hukum , menurut Ross, melewati empat

tahapan. Pertama, hukum adalah suatu sistem paksaan yang actual.

Page 37: Filsafat Hukum Legal Realism

37 | P a g e

Kedua, hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecendrungan

dan keinginan anggota komunitas. Tahapan ini baru diterapkan apabila

orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu

mulai ditinggalkan. Ketiga, hukum adalah suatu yang berlaku dan

mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota

komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum.

Keempat, supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-

orang yang membentuknya.

c. H.L.A. HART (1907 - 1992)

Herbert Lionel Adolphus Hart mengatakan, hukum harus

dilihat, baik dari aspek eksternal maupun internalnya. Dari segi

eksternal, berarti hukum dilihat sebagai perintah dari penguasa,

sebagaimana dikatakan Austin. Di samping itu, ada aspek internal,

yaitu keterikatan terhadap perintah dari penguasa itu secara batiniah.

Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu norma primer

dan skunder. Norma primer adalah norma yang menetukan kelakuan

subjek-subjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus dilakukan

dan apa yang dilarang. Nnorma sekunder ini memsatikan syarat-syarat

mengenai berlakunya norma primer dan dengan demikian

menampakkan sifat yuridis dari norma itu. Sebab itu, mereka disebut

petunjuk pengenal (rule of recognation). Disamping itu mereka

memastikan syaratbagi perubahan norma-norma itu (rule of

change) dan bagi dipecahkannya konflik dalam rangka norma-norma

itu (rule of adjudication).

Page 38: Filsafat Hukum Legal Realism

38 | P a g e

Tiga sifat dari norma sekunder seperti disebutkan di atas

merupakan norma dasar. Di sini pendapat Hart agak mirip dengan

Kelsen, dalam membahas tentang Groundnorm. Menurut Hart, norma

dasar ini hanya berhubungan dengan pandangan eksternal terhadap

hukum dan dianggap sekedar suatu kenyataan. Jadi tidak mengikat

secara batiniah sepertiGroundnorm.

Dalam memandang materi hukum, Hart berpendapat bahwa

materi hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip

dari kenyataan hidup tertentu. Sekalipun demikian, sebagaiman

penganut Positivisme Hukum, Hart membedakan secara tegas antara

hukum (dalam arti das Sein) dan moral (das Sollen). Adapun yang

disebut hukum, hanyalah yang menyangkut aspek formal. Artinya,

suatu hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak

layak untuk ditaati karena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.

d. Julius Stone

Julius Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan

sosial. Makna drai kenyataan sosial ini dapat ditangkap melalui suatu

penyelidikan logis-analitis, sebagaimanana telah dipraktikkan dalam

mazhab hukum Austin dan kawan-kawan. Stone bermaksud

mengerjakan suatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi

tata hukum yang berlaku. Hal ini merupakan kemajuan, sebab secara

tradisional dalam mazhab hukum analitis norma-norma hukum sama

sekali tidak dipelajari.

Page 39: Filsafat Hukum Legal Realism

39 | P a g e

Pandangan Stone tentang hukum tidak berbeda dengan Hart.

Ia juga berpendapat hukum harus dibedakan dari moral. Hukum adalah

semua aturan, yang menagndung aspek moral maupun tidak.

e. John Rawls (lahir 1921)

Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip

etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat

yang adil. Rawls mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat

yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori

Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak

terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme.

Uraian tentang keadilan yang berasal dari John Rawls,

dipandang sebagai teori yang komprehansif sampai saat ini. Teori

Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran

Utilitarianisme. Sekalipun demikian, Rawls sendiri sering dimasukkan

dalam kelompok penganut Realisme Hukum.

Rawls berpendapat, perlu ada keseimbangan antara

kepentingan pribadi dengan kepentingan kepentingan bersama.

Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang

disebut dengan keadilan . keadilan merupakan nilai yang tidak dapat

ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan stbilitas

hidup manusia.

Hukum, menurut pendapat Rawls, dalam hal ini tidak boleh

dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati

dengan orang lain, sebagaimana diajarkan Utilitarisme. Hal ini tidaklah

cukup. Menurut Rawls, hukum justru harus menjadi penuntun agar

Page 40: Filsafat Hukum Legal Realism

40 | P a g e

orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan

kepentingan individunya.

Secara garis besar ada tiga prinsip yang dikemukakan oleh

Rawls, yaitu prinsip: Pertama, kebebasan yang sama besarnya. Kedua,

perbedaan, dan Ketiga, persamaan yang adil atas kesempatan.

IV. PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut

ini:

1. Filsafat hukum memiliki peran penting dalam membantu merenungkan kembali

penerapan sistem hukum serta membantu mengembalikan fungsi hukum ke arah

yang seharusnya.

2. Kemunculan dan perkembangan aliran-aliran dalam filsafat hukum selalu berjalan

seiring dengan dialektika sejarah terutama menyangkut peran hukum dalam proses

kehidupan kenegaraan. Perkembangan politik, dan relasi kekuasaan dengan

masyarakat selalu menjadi latar belakang penting yang membayangi evolusi aliran

filsafat hukum.

3. Aliran Legal Realism muncul sebagai reaksi atas aliran hukum alam dan legal

positivism. Konsepsi yang dibangun oleh aliran ini dipengaruhi sebagian oleh

pandangan-pandangan dari aliran utilaterianism.

4. Aliran legal realism dapat dibagi menjadi 2 bagian; pertama aliran legal realism

Amerika, dan kedua, aliran legal realism Skandinavia.

5. Aliran legal realism Amerika menitik beratkan pandangan bahwa :

A. hukum tidak statis dan selalu bergerak secara terus menerus sesuai dengan

perkembangan jamannya dan dinamika masyarakat dan menempatkan hakim

sebagi titik pusat perhatian dan penyelidikan hukum sehingga hakim harus

menggali hukum dan menemukan hukum.

Page 41: Filsafat Hukum Legal Realism

41 | P a g e

B. Aliran legal realism Amerika memandang bahwa hal penting yang berpengaruh

dalam pembentukan hukum adalah logika, prasangka, dan gejolak yang terjadi

dalam masyarakat.

C. Aliran Legal realism Amerika adalah merupakan hasil pendekatan secara

pragmatis, empiris dan menganggap hukum itu harus bersih dari nilai-nilai

6. Aliran legal realism Scandinavia menitikberatkan pandangan bahwa:

A. Hukum adalah fakta dan hanya bisa dijelaskan melalui fakta-fakta yang bisa

diobservasi. Oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran

hukum, eksistensi hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak property

dipisahkan dari khayalan dan dunia metafisika. Hak dan kewajiban hanyalah

merupakan konklusi hukum, bukan sesuatu yang muncul dari kekuatan di luar

manusia. Dia mencontohkan bahwa hak atas property sebenarnya hanyalah

tiadanya resiko hukum bagi pemilik property untuk melakukan tindakan-

tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right tidak muncul

dari das sollen, melainkan dari das Sein.

B. Validitas hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide normatif yang

disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena hukum dalam

kenyataan, yang dimaksudkan untuk memprediksikan aktifitas para hakim.

Norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun

merupakan petunjuk kepada hakim. Semakin efektif pemenuhan aturan oleh

masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas (hukum) nya,

karena pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan reaksinya.

Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika hakim

menganggapnya mengikat.

C. Kinerja sistem hukum tidaklah mistis, atau didasarkan pada enititas yang fiktif,

misalnya negara atau sifat mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa

hukum diproduksi oleh sekumpulan orang yang berada dalam sebuah

Page 42: Filsafat Hukum Legal Realism

42 | P a g e

organisasi negara yang mampu menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa

yang dimilikinya, dan sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat

menghadirkan tekanan psikologis terhadap masyarakat.

D. Hukum menjadi faktor utama yang mempangaruhi standard moral, terutama

karena kemampuannya untuk menggunakan kekuatan untuk menegakkanya.

7. Meskipun sama berada dalam satu aliran, terdapat perbedaan antara realisme Amerika

dan Skandinavia sebagai berikut:

A. Realisme Amerika lebih memfokuskan diri pada kerja praktis untuk mengkaji

proses hukum, berbeda dengan Realisme Skanidnavia yang lebih berfokus kepada

operasi teoritis atas sistem hukum secara keseluruhan.

B. Skandinavia memang merepresentasikan aliran empiris yang ekstrem, namun

Amerika justru yang paling depan dalam menekankan pentingnya sutdi faktual

dalam rangka mencari solusi atas problem hukum. Skandinavia tampak lebih

mengandalkan pada argumen apriori dalam menemukan solusi atas problem

hukum.

C. Gerakan Realisme Skandinavia dipengaruhi oleh tradisi filsafat Eropa, sedangkan

realisme Amerika lebih dipengaruhi oleh karakter empirisme Inggris.

Page 43: Filsafat Hukum Legal Realism

43 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

Bismar Siregar, 1989, Rasa Keadilan, PT. Bina Ilmu, Tunjungan S3E, Surabaya.

Muchsan, 1985, Hukum Tata Pemerintahan, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Leon Duguit, 1919, Law in the Modern State, Limited Amsterdam University

Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum

Umum, Gama Media Offset, Yogyakarta, 2002

Friedmann, W., alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis atas

Teori-Teori Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, !990)

Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali,

Jakarta, 1985

Leod, Ian Mc, Legal Theory, Macmillan Press Ltd, 1999