Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

14
FILSAFATANALITIS MENURUTLUDWIGWITTGENSTEIN : RELEVANSINYABAGIPENGEMBANGAN PRAGMATIK* Kaelan * * ABSTRAK FilsafatWittgensteindibagimenjadiduaperiode,periodepertamaberjudul Tractatus Logico-Philosophicus ( 1922),yangintinyatentangteorigambar (picture theory)dan mengungkapkantentanglogikabahasa .MenurutWittgenstein,hakikatbahasamerupakan gambaranlogisduniaempiris,yangtersusunatasproposisi-proposisidanmenggambarkan 'keberadaansuatuperistiwa'(state ofof fairs) . FilsafatWittgensteinperiodekeduaadalah Philosophical Investigations (1953),yang memuattentang'permainanbahasa' (language games) .MenurutWittgenstein,bahasa digunakanmanusiadalamberbagaibidangkehidupan,dandalamsetiapkehidupanmanusia itumemilikiaturanpenggunaanmasing-masing . FilsafatWittgensteintersebutrelevanbagipengembangandasarfilosofispragmatik . Prinsipdalampermainanbahasatersebutrelevanbagipengembangandasarfilosofis pragmatik,balkmenyangkutaspekontologis,epistemologis,maupunaksiologis . PENGANTAR P erkembanganfilsafatanalitisdilatar- belakangiolehadanyakekacauan bahasafilsafat .Banyakteoriserta konsepfilsafatdipaparkandenganbahasa yangmembingungkan,bahkansemakinjauh daribahasasehari-hari(Bakker,1984 :122) . Dalammengatasikekacauanbahasafilsafat tersebut,tampillahtokohyangpertamakali meletakkandasar-dasarfilsafatanalitis,yaitu G .E .Moore,yangmengembangkantradisi analitikabahasasebagaireaksiterhadap aliranidealismeyangberkembangdiInggris saatitu,melaluikaryanya Principia Ethica (Moore,1954) . Salahsatutokohfilsafatanalitisyang memilikikonsepyanglengkapdaninovatif adalahLudwigWittgenstein,dengandua buahkaryabesarnya TractatusLogico- Philosophicus dan PhilosophicalInvesti- gations . SeluruhfilsafatmenurutWittgenstein hanyamerupakansuatumetode,yaitu cri- tiqueoflanguage (Bakker,1984 :125) .De- nganmetodeitu,akansemakinterbuka kemungkinanuntukmelakukankritikterha- dappemikiranfilsafatdanakansemakin dapatdiketahuikejelasankonsep-konsep yangbermaknaatautidakbermakna (Charlesworth,1959 :111 ;Bakker,1984 :123, 124) . * Disertasidalambidangfilsafatbahasayangdipertahankandidepandewanpengujitanggal 20Juni2003denganProf .Dr .EndangDaruniAsdisebagaiPromotor,Prof .Dr.R .Soejadi,S .H . sebagaiKo-PromotorI,danProf .Dr.I .DewaPutuWijana, S .U ., M .A .sebagaiKo-PromotorII . **StafPengajarFakultasFilsafat,UniversitasGadjahMada,Yogyakarta 133

Transcript of Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

Page 1: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

FILSAFAT ANALITISMENURUT LUDWIG WITTGENSTEIN :

RELEVANSINYA BAGI PENGEMBANGANPRAGMATIK*

Kaelan * *

ABSTRAK

Filsafat Wittgenstein dibagi menjadi dua periode, periode pertama berjudul TractatusLogico-Philosophicus ( 1922), yang intinya tentang teori gambar (picture theory) danmengungkapkan tentang logika bahasa . Menurut Wittgenstein, hakikat bahasa merupakangambaran logis dunia empiris, yang tersusun atas proposisi-proposisi dan menggambarkan'keberadaan suatu peristiwa' (state of offairs) .

Filsafat Wittgenstein periode kedua adalah Philosophical Investigations (1953), yangmemuat tentang 'permainan bahasa' (language games). Menurut Wittgenstein, bahasadigunakan manusia dalam berbagai bidang kehidupan, dan dalam setiap kehidupan manusiaitu memiliki aturan penggunaan masing-masing.

Filsafat Wittgenstein tersebut relevan bagi pengembangan dasar filosofis pragmatik .Prinsip dalam permainan bahasa tersebut relevan bagi pengembangan dasar filosofispragmatik, balk menyangkut aspek ontologis, epistemologis, maupun aksiologis .

PENGANTAR

P erkembangan filsafat analitis dilatar-belakangi oleh adanya kekacauanbahasa filsafat . Banyak teori serta

konsep filsafat dipaparkan dengan bahasayang membingungkan, bahkan semakin jauhdari bahasa sehari-hari (Bakker, 1984:122) .Dalam mengatasi kekacauan bahasa filsafattersebut, tampillah tokoh yang pertama kalimeletakkan dasar-dasar filsafat analitis, yaituG.E . Moore, yang mengembangkan tradisianalitika bahasa sebagai reaksi terhadapaliran idealisme yang berkembang di Inggrissaat itu, melalui karyanya Principia Ethica

(Moore, 1954) .

Salah satu tokoh filsafat analitis yangmemiliki konsep yang lengkap dan inovatifadalah Ludwig Wittgenstein, dengan duabuah karya besarnya Tractatus Logico-Philosophicus dan Philosophical Investi-gations . Seluruh filsafat menurut Wittgensteinhanya merupakan suatu metode, yaitu cri-tique of language (Bakker, 1984 :125). De-ngan metode itu, akan semakin terbukakemungkinan untuk melakukan kritik terha-dap pemikiran filsafat dan akan semakindapat diketahui kejelasan konsep-konsepyang bermakna atau tidak bermakna(Charlesworth, 1959 :111 ; Bakker, 1984 :123,124) .

* Disertasi dalam bidang filsafat bahasa yang dipertahankan di depan dewan penguji tanggal20 Juni 2003 dengan Prof. Dr. Endang Daruni Asdi sebagai Promotor, Prof . Dr. R . Soejadi, S .H .sebagai Ko-Promotor I, dan Prof. Dr. I . Dewa Putu Wijana, S.U ., M.A. sebagai Ko-Promotor II .

** Staf Pengajar Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

133

Page 2: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

Humaniora Volume 16, No. 2, Juni 2004 : 133-146

Kekacauan dan kekurangjelasan peng-gunaan bahasa dalam filsafat itu sampai saatini masih dirasakan. Berdasarkan pengamatan sementara, filsafat dipandang se-bagai ilmu yang sulit, membingungkan, dankurang jelas makna yang diungkapkannya,sehingga banyak orang mengalami kesulitanmempelajari filsafat . Kekurangjelasan peng-ungkapan konsep filsafat tersebut disebabkanoleh kekacauan penggunaan ungkapanbahasa sehingga jika hal ini berlangsungsecara terus-menerus, dimungkinkan ilmufilsafat akan tersingkir dari khasanah kajianilmiah. Melalui karyanya yang pertama,Wittgenstein mengajukan konsep pemikirantentang bahasa ideal yang merupakanbahasa yang memenuhi formulasi logis, yangdijelaskan sebagai suatu gambaran realitasdunia empiris (Nuchelmans dalam Bakker1984:129). Dalam karya kedua, Wittgensteinmengajukan konsep'tata permainan bahasa'(language games) yang digunakan dalam ber-bagai macam konteks kehidupan manusia .Sejak perkembangan ilmu bahasa modernyang dipelopori oleh Ferdinand de Saussuredengan bukunya Course in Generale Linguis-tics (1916), kajian tentang hakikat bahasalebih menekankan aspek struktur yangterlepas dari konteks kehidupan manusiasebagai penutur bahasa . Ilmu bahasa dalamdua dasawarsa yang silam tidak memberikanperhatian terhadap aspek pragmatis bahasadalam kehidupan manusia (Wijana, 1996:3) .Oleh karena itu, dewasa ini berkembanglahkajian pragmatik bahasa, yaitu kajian bahasayang menekankan pada objek materialbahasa yang digunakan dalam kehidupanmanusia. Berdasarkan perkembangannya,kajian pragmatik diilhami oleh pemikiranfilsafat bahasa, terutama para tokoh filsafatanalitis yang mengembangkan tradisiWittgentsein . Berdasarkan permasalahantersebut, konsep filsafat analitis menurutWittgenstein penting untuk diteliti, kemudiansecara heuristis dikembangkan relevansinyabagi pengembangan filsafat bahasa dandasar filosofis pragmatik .

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan permasalahansebagai berikut.

1 34

1 . Bagaimanakah hakikat realitas bahasamerupakan suatu gambaran realitasdunia dan bagaimana konsekuensinyaterhadap struktur bahasa, batas-batasbahasa, dan ungkapan yang bermakna?

2 . Bagaimanakah hubungan ungkapanbahasa dengan pikiran manusia yangtertuang dalam logika bahasa sertapengaruhnya terhadap struktur bahasa?

3 . Bagaimanakah hakikat kedudukananalitika bahasa sebagai metode dalamfilsafat dan bagaimana konsekuensinyaterhadap penggunaan bahasa dalamfilsafat?

4 . Bagaimanakah hakikat nilai maknabahasa serta peranannya dalam kehidup-an manusia . Bagaimanakah arti danaturan penggunaan bahasa dalamberbagai aspek kehidupan manusia?

5 . Bagaimanakah relevansi filsafat analitisWittgenstein terhadap pengembanganaksiologi bahasa dalam filsafat bahasa?

6 . Bagaimanakah relevansi filsafat analitisWittgenstein terhadap pengembangandasar filosofis pragmatik?

Menurut Koren, dalam bukunya Researchin Philosophy, penelitian ini termasuk jenispenelitian historical studies (Koren, 1966 :151), yang memfokuskan pada pemikiranseorang tokoh filsafat analitis tentang maknabahasa. Namun, penelitian kemudian dilanjut-kan dengan critique of the sciences (Koren,1966:151). Artinya, implikasi pemikiran filo-sofis tersebut memiliki kontribusi terhadappengembangan dalam bidang ilmu bahasa .

Berdasarkan tipologi penelitian tersebut,metode yang digunakan adalah sebagai 'berikut .1 . Metode analisis, yang digunakan untuk

mendeskripsikan, membahas, dan men-jelaskan secara objektif konsep-konsepWittgenstein berdasarkan ciri-ciri, kate-gori, serta kekhususannya .

2 . Metode kesinambungan historis, yaituuntuk mengungkap pemikiran Wittgen-stein sepanjang sejarah (Bakker danZubair, 1990:47), baik menyangkut latarbelakang munculnya pemikiran Wittgen-stein, aliran filsafat yang mempenga-ruhinya, maupun tahapan pemikirannya .

Page 3: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

3. Metode interpretasi, yaitu untuk meng-ungkap makna dan nilai yang terkan-dung dalam konsep karena adanya di-mensi waktu dan penggunaan bahasasebagai ekspresi manusiawi . Metode initidak dapat dipisahkan dengan metodehermeneutika. Dengan demikian, pemi-kiran Wittgenstein dapat dipahamisesuai dengan pemikiran masa kini(Daruni Asdi, 1997 :14).

4 . Metode komparasi, yaitu langkah meto-dis dalam penelitian filsafat untuk mem-bandingkan pemikiran Wittgensteindengan pemikiran filsafat lainnya agardiperoleh pemahaman pemikiranWittgenstein secara utuh .

5 . Metode sintesis diterapkan untuk men-dapatkan pengetahuan yang lengkapdan sistematis, yaitu dengan cara me-nyatukan konsep-konsep yang memilikiciri-ciri serta kategori yang sama .Sintesis dilakukan berdasarkan suatupenalaran induktif aposteriori (Wibisono,1982 :11) .Metode heuristika, yaitu metode untukmenemukan suatu jalan baru dalam su-atu ilmu pengetahuan . Melalui metodeini prinsip-prinsip pemikiran Wittgensteindapat dikembangkan lebih lanjut rele-vansinya bagi filsafat bahasa dan dasarfilosofis pragmatik .Filsafat analitis sebagai objek material

penelitian ini didasarkan pada teori G .E .Moore, yaitu suatu pemikiran baru yangmelakukan analisis bahasa untuk mencarimakna ssuatu ungkapan filsafat (Charles-worth, 1959:12) . Analisis pengertian dilaku-kan dengan bertolak dad definiendum suatuungkapan yang harus ditentukan batasannya,diuraikan menjadi definiens, yaitu batasanyang diperoleh . Penguraian lebih lanjut ber-tolak dari analysandum, yaitu konsep yangdianalisis, yang diuraikan menjadi analysans,yaitu uraian yang lebih jelas yang setarasecara logis (Heraty, 1984 :73) .

Teori tentang filsafat analitis tersebutdigunakan sebagai landasan dalam peneliti-an Filsafat Analitis Wittgenstein . Dalampembahasannya, penelitian juga mendasar-kan pads teori analisis yang mendasarkan

6 .

Kaelan, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein

pada formulasi logika dan analisis yang men-dasarkan pada bahasa sehari-hari . Hal inimengingat tipologi karya filsafat Wittgensteinperiode pertama mendasarkan pada logikabahasa dan kedua mendasarkan pada tatapermainan bahasa sehari-hari .

Dalam hubungannya dengan objek ma-terial berupa ungkapan bahasa, Reichlingmenjelaskan bahwa bahasa memiliki unsurstruktur yang bersifat empiris dan maknayang bersifat abstrak (Reichling, 1971 :15),sedangkan hubungan dengan ilmu bahasabeserta pengembangannya didasarkan padalandasan teori ilmiah filosofis, yaitu landasanontologis, epistemologis, dan aksiologis(Suriasumantri, 1985 :33) .

PEMIKIRAN FILSAFAT WITTGENSTEIN

Pemikiran filsafat analitis Wittgensteinmerupakan karya filsafat yang inovatif, yangdipengaruhi oleh konsep G .E . Moore,Bertrand Russell, dan Gottlob Frege. KaryaFilsafat Wittgenstein dibagi atas dua periode,periode pertama Tractatus Logico-Philoso-phicus (1922) dan periode kedua Philosophi-cal Investigations (1953). Kedua karya filsafattersebut memiliki perbedaan substansial,terutama berkaitan dengan objek materialnya,tetapi diuraikan dalam suatu pemikiran yangsistematis .

Tractatus Logico-Philosophicus merupa-kan suatu karya filsafat yang singkat danpadat, serta disajikan dalam suatu deskripsiyang unik, yaitu dengan sistem notasi angkadengan menunjukkan prioritas logis dariproposisi-proposisinya . Inti filsafat Tractatusadalah picture theory yang menguraikanlogika bahasa . Menurut Wittgenstein hakikatL ahasa merupakan gambaran logis realitasdunia (Wittgenstein, 1961 :67). Hakikat duniamerupakan keseluruhan fakta-fakta danbukannya benda-benda (Wittgenstein,1961 :31), dan dunia terbagi menjadi fakta-fakta (Wittgenstein, 1961 :31). Adapun faktamerupakan states of affairs, yaitu suatukeberadaan peristiwa .

Oleh karena itu, satuan bahasa yangmenggambarkan dunia tersebut merupakansuatu proposisi-proposisi . Proposisi-propo-sisi itu bersifat kompleks dan tidak terbatas,

135

Page 4: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

Humaniora Volume 16, No. 2, Juni 2004 : 133-146

yang tersusun atas proposisi yang paling kecilyang disebut proposisi elementer atauproposisi atomis. Proposisi atomis meng-gambarkan satu fakta atomis (Poerwo-widagdo, 1972 :21). Proposisi elementer ter-susun atas "nama-nama" yang merupakanunsur satuan logis sehingga nama akanmemiliki makna dalam hubungannya denganproposisi . Totalitas dari proposisi adalahbahasa yang menggambarkan realitas dunia .Gambaran tersebut merupakan gambaranlogis dan bentuk pictorial dari realitas yangdiwakilinya (Ayer, 1986 :17). Kesesuaianantara proposisi dengan realitas tersebuttidak hanya menyangkut hubungan pictorialsaja, tetapi juga menyangkut situasinya(Pitcher, 1964:77) .

Sebuah gambaran logis tentang kenya-taan merupakan sebuah pikiran dan di dalamsebuah proposisi sebuah pikiran mendapat-kan sebuah ungkapan yang dapat diamatidengan indra (Wittgenstein, 1961 :3) . Hal inimengandung makna bahwa sebuah proposisiitu menggambarkan sebuah fakta realitasdunia empiris. Konsekuensinya proposisiyang tidak menggambarkan realitas duniaempiris adalah proposisi yang tidak bermak-na karena tidak mengungkapkan apa-apa .

Berdasarkan teori gambar tersebut,Wittgenstein berkeyakinan bahwa ungkapanmetafisis itu tidak mengungkapkan realitasfakta sehingga tidak bermakna . Dalamhubungannya dengan ungkapan yang ber-hubungan dengan Tuhan, estetika, dan etika,Wittgenstein menyebutnya bersifat "mistis".

Pemikiran Wittgenstein periode pertamaini dengan kuat mempengaruhi pahampositivisme logis, suatu kelompok ilmuwanpositif yang berpusat di Wina . Teori gambardan logika bahasa digunakan sebagai dasarprinsip verifikasi dalam ilmu pengetahuanyang sampai saat ini masih besar pengaruh-nya di seluruh dunia. Dalam hubungan denganmetafisika, positivisme logis bersikap lebihradikal dibandingkan Wittgenstein, yaituingin menghilangkan metafisika .

Pemikiran Wittgenstein periode kedua,Philosophical Investigations, tidak mendasar-kan pads logika bahasa, tetapi pada bahasabiasa yang dipakai manusia dalam kehidupansehari-hari . Jika pada periode pertama

136

Wittgenstein mendasarkan pemikirannyapada satu bahasa ideal yang memenuhi sya-rat logika, pemikiran periode kedua justrumendasarkan pada bahasa biasa yang ber-sifat beraneka ragam . Dalam pemikiran ke-dua, Wittgenstein mengakui kelemahankonsep pertamanya dan melakukan kritik,tetapi is meletakkannya pada formulasipemikiran yang sistematis .

Inti pemikiran Wittgenstein periodekedua adalah 'tata pem,ainan bahasa' (lan-guage games) . Hakikat bahasa adalahpenggunaannya dalam berbagai macamkonteks kehidupan manusia. Oleh karena itu,terdapat banyak permainan bahasa yangsifatnya dinamis, tidak terbatas sesuaidengan konteks kehidupan manusia . Setiapkonteks kehidupan manusia menggunakansatu bahasa tertentu, dengan menggunakanaturan penggunaan yang khas dan tidaksama dengan konteks penggunaan lainnya .Berdasarkan macamnya, terdapat banyakpenggunaan bahasa yang masing-masingmemiliki aturan sendiri-sendiri dan hal itumerupakan suatu nilai . Misalnya, pengguna-an bahasa dalam memberikan perintah danmematuhinya, melaporkan suatu kejadian,berspekulasi mengenai suatu peristiwa,menyusun cerita dan membahasnya, ber-main akting, membuat lelucon, berterimakasih, berdoa, menguji suatu hipotesis danpenggunaan bahasa lainnya (Wittgenstein,1983:23) .

Oleh karena itu, Wittgenstein berke-simpulan bahwa makna sebuah kata adalahpenggunaannya dalam kalimat, maknasebuah kalimat adalah penggunaannyadalam bahasa, dan makna bahasa adalahpenggunaannya dalam berbagai kontekskehidupan manusia . Dalam hubungan inikonteks penggunaan logika bahasa sebagai-mana terdapat dalam Tractatus merupakansatu macam permainan bahasa tersendiri .Dalam pemikirannya yang kedua ini,Wittgenstein tidak lagi mendasarkan padabahasa ideal dan logis, tetapi mengembang-kan pemikiran tentang pluralitas bahasadalam kehidupan manusia

Pemikiran filsafat Wittgenstein periodekedua ini berpengaruh terhadap muncul-

Page 5: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

nya aliran filsafat bahasa biasa (OrdinaryLanguage Philosophy) dan postmodemisme .Aliran filsafat bahasa biasa ini berkembangdi Eropa terutama di Inggris dan Amerika,serta memiliki pemikiran filsafat yang ber-aneka ragam. Berdasarkan sejarah per-kembangan linguistik pragmatik, pemikiranfilsafat bahasa biasa inilah yang merupakaninspirasi dikembangkannya pragmatik .

Filsafat analitis Wittgenstein tersebutrelevan bagi pengembangan filsafat bahasa .Secara ontologis dalam hakikat bahasa ter-kandung nilai sehingga relevan jika dikem-bangkan "aksiologi bahasa", yang mendes-kripsikan nilai bahasa dalam berbagai ma-cam konteks kehidupan manusia . Aspek lainyang relevan untuk dikembangkan adalah'Teologi gramatikal', yaitu salah satu bidangkajian bahasa pada penggunaannya dalamkehidupan religius .

Pemikiran Wittgenstein tersebut secaraheuristis relevan bagi pengembangan dasarfilosofis pragmatik yang meliputi aspek onto-logis, epistemologis, dan aksiologis. Bahasasebagai objek material filsafat dan ilmupengetahuan secara objektif memiliki nilai,yang terkandung dalam aturan penggunaanbahasa dalam berbagai konteks kehidupanmanusia. Perspektif nilai yang terkandungdalam bahasa itulah yang secara filosofismerupakan sumber kajian pragmatik sehing-ga selanjutnya dapat dikembangkan sebagaisuatu bidang kajian empiris. Hal itu menun-jukkan bahwa kajian bahasa bersifat'ideogra-fik', yaitu mendeskripsikan suatu objek danbukannya bersifat nomotetik, yaitu mencarihukum-hukum yang bersifat alamiah dantetap .

RELEVANSI FILSAFAT WITTGENSTEINTERHADAP PENGEMBANGANPRAGMATIK

Pemikiran filsafat Wittgenstein periodekedua tentang Philosophical Investigations,yang mengembangkan teori language gamesmerupakan sumber teori bagi perkembanganfilsafat berikutnya yang populer dikenaldengan filsafat bahasa biasa . Bahasa tidakhanya dikaji dari aspek struktural formalbelaka, tetapi juga berdasarkan fungsi hakiki-

Kaelan, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein

nya, yaitu fungsi penggunaannya dalamhidup manusia. Setelah pemikiran Wittgen-stein periode kedua tersebut kemudianbermunculan filsuf-filsuf filsafat bahasa biasa,seperti Gilbert Ryle, J .L. Austin, R F. Straw-son, dan John Wisdom di Inggris, kemudianberkembang juga ke Amerika Serikat dengantokoh-tokohnya, antara lain Max Black, JohnSearle, H .P. Grice, Norman Malcom, danW.P. Alston (Poerwowidagdo, 1972 :34) .Tokoh pragmatik Inggris yang juga seorangfilsuf bahasa menegaskan bahwa linguistikberkembang ke arah suatu bidang yangbelum dikaji oleh kalangan linguis, yaitudisiplin yang menyangkut bentuk, arti, dankonteks (Leech, 1983 :2). Perkembanganyang cukup radikal terjadi di Amerika sebagaireaksi terhadap konsep sintaksisme modelChomsky, yang mengembangkan seluruhilmu linguistik, termasuk fonologi dan seman-tik, dianggap relevan dalam kerangkasintaktik. Reaksi yang keras muncul dariGeorge Lakoff dan Robert Ross yang mene-gaskan bahwa kajian sintaksis tidak dapatdipisahkan dengan pemakaian bahasa(Leech, 1983 :2; Purwo, 1990 :10; dan Wijana,1996:4). Perkembangan pragmatik menemu-kan bentuknya tatkala John Searle mengem-bongkan Speech Act (1969) sehingga bidangini merupakan suatu bidang baru dalambidang kajian bahasa dalam hubungannyadengan penggunaannya dalam komunikasikehidupan manusia.

Ketika pendahulu linguistik, seperti Rossdan Lakoof, menancapkan klaim dalam prag-matik pada akhir tahun 1960-an, merekamenemukan adanya suatu persilangan yangrelevan dari ahli filsafat bahasa yang sejaklama telah mengembangkan aspek peng-gunaan bahasa dalam kehidupan manusia .Kenyataan pengaruh ini diakui oleh Leechbahwa inspirasi perkembangan pragmatiktelah dirintis oleh ahli filsafat bahasa, sepertiAustin (1962), Searl (1969) dan Grice (1975)(Leech, 1983 :2). Sesuatu yang dikembang-kan oleh para ahli filsafat tersebut merupakansuatu lahan yang sangat luas bagi pem-bahasan semantik bagi pengembanganlinguistik terutama pragmatik. Linguistik yangselama ini diwarnai oleh kajian yang bersifatstruktural dan sintaktik menemukan suatu

137

Page 6: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

Humaniora Volume 16, No. 2, Juni 2004: 133-146

wilayah baru yang sangat luas yang merupa-kan bidang kajian makna bahasa dalamhubungannya dengan pragmatik . Wilayahbaru tersebut dalam kenyataannya bukanlahditemukan oleh para ahli linguistik, melainkanoleh para ahli filsafat bahasa . Refleksi merekapada fenomena bahasa memiliki dampaksignifikan dan permanen pada perkembanganlinguistik modern secara khusus pragmatik(Mey, 1993:22) .

Pada awalnya ahli filsafat bahasa me-nyibukkan diri dengan masalah bahasa danmengkonsentrasikan diri pada hubunganantara ungkapan bahasa yang didefinisikansecara logika dengan kalimat dalam bahasaalami . Para tokoh yang mengembangkanpemikiran, ini antara lain Bertrand Russell,Ludwig Wittgenstein, Rudolf Carnap, sertapara tokoh positivisme logis . Para tokoh iniberpendirian bahwa penggunaan bahasayang benar senantiasa dikaitkan denganjustifikasi kebenaran logika .

Pemikiran ini menjadi pudar setelahmunculnya pemikiran filsafat Wittgenstein,philosophical investigations, yang mengem-bangkan paradigma yang berlawanandengan bahasa ideal berdasarkan logika .Pada pemikirannya yang kedua ini, Wittgen-stein justru mendasarkan objek materialfilsafatnya pada bahasa sehari-hari . la me-lakukan pengamatan pada bahasa sehari-hanyang digunakan oleh manusia. Sejak pemi-kiran ini, berkembang paham filsafat yangmendasarkan pada objek material bahasasehari-hari sehingga populer disebut sebagaifilsafat bahasa biasa. Seorang tokoh yangmenentang secara keras terhadap bahasadalam hubungannya dengan logika adalahJ.L. Austin . la mengembangkan filsafatbahasa biasa yang dipelopori oleh Wittgen-stein. Karya yang sangat populer dari Aus-tin adalah How to Do Things with Words(Mey, 1993 :23) . Selain sebagai tokoh filsafatbahasa biasa, is juga berjasa meletakkandasar-dasar pemikiran filosofis pada pengem-bangan linguistik pragmatik (Mey, 1993 :22),bahkan banyak buah pemikirannya diangkatdalam studi linguistik pragmatik, antara lainmacam-macam ungkapan tuturan bahasaseperti tuturan konstatif dan tuturan perfor-

138

matif, kemudian tindak tuturan lokusi, ilokusi,dan perlokusi (Wijana, 1996 :17-19, 29).

Aspek Ontologis

Perkembangan kajian linguistik pragma-tik merupakan suatu kenyataan yang tidakbisa dielakkan oleh para pakar linguistik .Konsep struktural linguistik modern yangbersumber pada teori linguistik Saussuredengan konsep large, langage, dan paroletidak mampu mengungkapkan makna haki-kat bahasa bagi kehidupan manusia(Saussure, 1916) . Kalangan linguis strukturalmengembangkan konsep ontologis, bahwahakikat bahasa sebagai kajian ilmiah meru-pakan suatu entitas yang terlepas denganmanusia. Menurut kalangan strukturalisme,linguistik mengkaji bahasa sebagai bahasa,yang merupakan suatu gejala empiris dandapat diuji secara empiris pula . Secara onto-logis kalangan strukturalis memahami bahasasebagai suatu entitas alamiah yang terlepasdari manusia, seperti gejala-gejala alam lain-nya. Jika demikian halnya, kalangan struktu-ralis gagal mendeskripsikan bahasa secarakausalitas . Tanpa pendekatan kausalitas,bahasa hanya merupakan letupan bunyiyang tidak memiliki makna, baik internalmaupun ekstemal .

Kehadiran bidang pragmatik dalamlinguistik menjanjikan dimensi baru dalambahasa, yaitu dalam hubungannya denganpenggunaan dalam kehidupan manusia . Me-nurut Leech, pragmatik tidak hanya berkaitandengan data fisik bahasa, tetapi juga berkait-an dengan bentuk, makna, dan konteks(Leech, 1983 :2). Sementara itu, Firth mene-kankan bahwa kajian bahasa harus senan-tiasa mempertimbarigkan konteks, situasiyang,meliputi partisipasi, tindakan partisipasibaik tindak verbal maupun nonverbal, ciri-cirisituasi lain yang relevan dengan hal yangsedang berlangsung dan dampak tindakantutur yang diwujudkan dengan bentuk-bentukperubahan yang timbul akibat tindakanpartisipan. Dalam hubungan ini, Halidaymemandang bahwa studi bahasa adalahsistem makna yang membentuk budayamanusia dan berkaitan dengan struktursosial (Haliday & Hasan dalam Wijana,1996 :5) .

Page 7: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

Secara ontologis Wittgenstein meletak-kan dasar-dasar pragmatik yang lebih kom-pleks karena bahasa tidak hanya dipahamidalam hubungannya dengan tindak tutur,konteks, situasi serta akibat dari tindak tutur,tetapi jauh lebih luas. Konsep languagegames memberikan dasar filosofis bahwahakikat makna bahasa adalah pengguna-annya dalam kehidupan manusia yangbersifat kompleks, spontan, tidak terbatas,serta beragam (Wittgenstein, 1983 :23) .Selanjutnya Wittgenstein menjelaskan bah-wa dalam berbagai bidang kehidupan,manusia senantiasa menggunakan suatupermainan bahasa tertentu dan beragam se-hingga antara yang satu dan lainnya memilikiperbedaan . Wittgenstein memberikan bebe-rapa contoh permainan bahasa dalam ke-hidupan manusia, antara lain memberiperintah dan mematuhinya, menjabarkanpenampakan suatu objek atau memberikansuatu pengukuran, melaporkan suatu keja-dian, berspekulasi mengenai suatu peristiwa,membentuk dan menguji suatu hipotesis,menyusun cerita dan membacanya, bermainakting, menyanyi, menebak teka-teki, mem-buat lelucon dan menceritakannya, meme-cahkan soal matematika, bertanya, berterimakasih, memaki, menyambut, dan berdoa(Wittgenstein, 1983 :23). Secara ontologishakikat permainan bahasa menunjukkanhakikat kehidupan manusia dalam hubung-annya dengan diri sendiri, orang lain, masya-rakat, alam serta terhadap Tuhan . Berdasar-kan sifat hakikat permainan bahasa tersebutdapat disimpulkan bahwa Wittgensteinmengembangkari prinsip pluralitas bahasa .Oleh karena itu, kajian bahasa tidak lagiberupaya untuk mencari hukum-hukum,tetapi mendeskripsikan permainan bahasadalam kehidupan manusia . Hal inilah yangmerupakan fungsi hakiki bahasa bagimanusia .

Berdasarkan deskripsi tersebut, secaraontologis hakikat keberadaan bahasa tidakdapat hanya dijelaskan secara empiris par-sial ataupun secara behavioristik, tetapisenantiasa memproyeksikan kehidupanmanusia sebab terdapat banyak dimensibahasa yang tidak dapat dijelaskan melaluisuatu perspektif behavioristik.

Kaelan, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein

Aspek Epistemologis

Pendekatan kalangan strukturalis mene-kankan pada aspek empiris serta strukturformal bahasa sebagai objek kajian . Bahasasebagai objek kajian adalah eksistensibahasa yang tidak memiliki hubungankausalitas dengan hakikat manusia dankehidupannya. Bahasa sebagai objek mate-rial memiliki ciri empiris dan dapat diverifikasisecara empiris pula . Secara tidak langsungpendekatan epistemologis kalangan struk-turalis bersifat positivistik . Menurut kalanganstrukturalis, bahasa sebagai suatu sumberpengetahuan, sepadan dengan gejala-gejalaalam lainnya, sehingga dapat diterapkanverifikasi sebagaimana dilakukan pada ilmu-ilmu alam, menurut istilah positivisme logisadalah prinsip fisikalisme . Model epistemo-logi strukturalisme tampak adanya ciri-cirirealistik, empiris, dan cenderung membangunsuatu teori . Pendekatan epistemologissemacam ini, sebagaimana dikembangkanoleh Reichenbach (1938), menekankanbahwa tugas ilmu pengetahuan pada haki-katnya membangun suatu teori ilmu yangbertolak dari Lebenswelt. Sementara itu,Toulmin (1953) menegaskan bahwa tugasilmu pengetahuan adalah membangun sistemide-ide tentang semesta sebagai suaturpalitas, dan sistem tersebut menyajikanteknik-teknik yang bersifat'ajeg' dalam mem-pr`oses data dan diterima sesuai denganWeltanschauung-nya . Oleh karena itu, tugasilmu pengetahuan adalah membangun teori-teori yang terdiri atas hukum-hukum, hipo-tesis-hipotesis, serta ide-ide tentang semes-ta yang tertata secara hierarki . MenurutTQulmin, teori-teori bersifat instrumentalistik,teori hanyalah hukum-hukum untuk mem-bUat suatu inferensi . Berdasarkan teoripositivistik tersebut, sifat ilmu pengetahuannienjadi nomothetik ( Muhajir, 1996 :13-14) .

Berkaitan dengan tinjauan epistemologistersebut, linguistik struktural berupaya untukmengembangkan teori-teori serta hukum-hukum sintaksis, morfologi, serta fonologisebagai hasil kajian objek bahasa yangbersifat empiris. Jika demikian halnya, sebe-narnya kajian ilmu bahasa tidak pernahmenyentuh tataran semantik . Betapapun

139

Page 8: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

Humaniora Volume 16, No. 2, Juni 2004 : 133-146

kalangan strukturalis memberikan istilahsemantik gramatikal, hal itu merupakan suatupemerkosaan terhadap realitas bahasa yangbersifat ganda.

Dominasi dan pemaksaan ilmu olehkalangan positivisme dan rasionalisme yangmenekankan pada produk hukum-hukumserta teori-teori dan verifikasi atas objekempiris serta kajian ilmu yang bersifat parsialmenimbulkan suatu reaksi yang keras dariberbagai tokoh ilmu pengetahuan khususnyabidang sosial humaniora . Reaksi tersebutdatang dari mazhab Frankfurt, antara lain dariMax Horkheimer (1895-1973), Theodor W .Adomo (1903-1969), Herbert Marcuse (1898-1979), dan Jurgen Habermas (1929) . Teorikritis tersebut menolak dengan tegas pan-dangan positivistik yang hanya mementing-kan fakta-fakta empiris, prinsip verifikasi yangbertujuan memproduksi teori-teori sertahukum-hukum ilmu pengetahuan . Fakta-fakta tersebut sebagian merupakan suatuproduk masyarakat tertentu yang tidak dapatdiverifikasi serta difalsifikasi berdasarkanteori dari produk Iainnya . Bagi teori kritis,tatanan masyarakat serta makna kehidupantidak dapat diverifikasi ataupun difalsifikasisebab tatanan masyarakat serta maknakehidupan tidak dapat ditentukan berdasar-kan teori serta hukum dari tatanan serta mak-na kehidupan masyarakat lainnya (Budi-yanto, 2002:43) .

Perkembangan linguistik pragmatik yangmemperhitungkan aspek penggunaan bahasadalam kehidupan manusia merupakan lang-kah maju dan suatu revolusi paradigmatikdalam bidang linguistik . Nampn demikian,secara epistemologis masih tampak adanyaketerikatan terhadap linguistik struktural,terutama dalam hubungannya dengan episte-mologi bahasa. Hal ini tampak dalam ber-bagai analisis pragmatik mendasarkan padaanalisis kalimat, kemudian berkembang kearah tindak tutur bahasa, sehingga memilikiciri behavioristik.

Aspek struktural dan aspek tindak tuturbahasa memang tidak bisa dilepaskandengan kajian pragmatik bahasa, tetapidimensi bahasa menurut Wittgenstein jauhlebih luas dad itu. Bahasa pada hakikatnyamenunjukkan suatu kehidupan manusia,yang masing-masing memiliki aturan tersen-

140

diri dan berbeda antara satu dengan lainnya .Oleh karena itu, fenomena bahasa yangmenunjukkan kehidupan manusia ini sifatnyasangat beraneka ragam, bersifat spontan dantidak terbatas (Wittgenstein, 1983 :23) .Berdasarkan pengertian itu, seharusnyadalam bidang pragmatik memiliki objek ma-terial kajian bahasa yang sangat luas danbukan hanya terbatas pada analisis kalimatdan tindak tutur bahasa. Misalnya, sebagai-mana diungkapkan Wittgenstein sebagaihasil dari suatu pengamatan, bahwa dalamsuatu komunitas masyarakat tertentu, misal-nya masyarakat pekerja bangunan, meng-gunakan ungkapan-ungkapan bahasa yangbarangkali secara linguistik dapat dikatakantidak memenuhi syarat . Seorang yang meng-ungkapkan 'papan', 'balok', 'tiang' dan 'batu'misalnya dapat ditangkap oleh lawan bicara-nya sebagai suatu makna tertentu, misalnyatiang dipasang di sisi kiri, papan diserut dandipotong yang kesemuanya itu hanyadipahami aturannya pada komunitas tersebut .

Aspek lain dalam linguistik pragmaticadalah masih adanya kecenderunganmengembangkan aspek normatif seperti yangdilakukan oleh linguistik struktural, misalnyaaturan dalam tindakan bahasa, macam-macam tindakan bahasa, norma sopan san-tun, validitas tuturan, prinsip kerja sama, prin-sip kesopanan, serta parameter pragmatik .Jika cara kerja epistemologi linguistikpragmatik demikian, konsekuensinya kajianpragmatik kembali terjerumus pada ilmu yangbersifat nomothetic . Wittgenstein mengem-bangkan suatu paradigma yang jelas, bahwadalam teori tata permainan bahasa tersebutsetiap penggunaan bahasa dalam kehidupanmanusia memiliki aturannya masing-masingyang sangat beragam serta tidak terbatas .Aturan itu sulit jika hanya ditentukan secaranormatif, serta sulit ditentukan batas-batas-nya secara tepat, tetapi manusia memahamibagaimana menggunakan bahasa dalamsetiap aspek kehidupan yang sangat ber-aneka ragam tersebut (Wittgenstein, 1983 :23) . Oleh karena itu, pemikiran Wittgensteintersebut sangat relevan untuk pengembanganobjek kajian linguistik pragmatik pada aspekkualitas bahasa yang digunakan manusiadalam kehidupannya.

Page 9: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

Aspek Aksiologis

Hubungan ilmu pengetahuan dengannilai merupakan suatu persoalan yangmenimbulkan pandangan berbeda dikalangan ilmuwan dan filsuf . Ada aliran yangberpendapat bahwa ilmu pengetahuan padahakikatnya value free, 'bebas nilai', artinyatidak ada hubungan antara ilmu pengetahuandengan nilai (Melsen, 1985 :85) . Aliran yangberpendapat demikian ini, antara lain pahampositivisme logis. Ilmu pengetahuan harusbebas dari segala nilai di luar ilmu pengeta-huan itu sendiri, misalnya emosi manusia,kepentingan serta kekuasaan . Berbedadengan pandangan tersebut, paham fenome-nologi termasuk ilmu-ilmu naturalistik danhumanistik berpendapat bahwa selamamanusia memiliki kepentingan terhadap ilmupengetahuan, ilmu pengetahuan itu bersifatterikat nilai, value bound (Muhadjir, 1996 :117,118). Menurut paham ini, pengenalan kita ber-sifat perspektif, bagaimana dan clan manakita mengenal dan mempengaruhi apa yangkita kenal . Bagi paham ini, teori dan faktaditentukan oleh nilai .

Bagi linguistik pragmatik, persoalanhubungan nilai dengan ilmu bahasa itu sendiribelum banyak dibahas, bahkan tidak diper-soalkan hubungan nilai dengan ilmu bahasaterutama pragmatik. Secara objektif sebenar-nya persoalan nilai dalam kehidupan manusiadituangkan dalam ungkapan bahasa, bahkandapat dikatakan bahwa esensi bahasa itusendiri hakikatnya adalah nilai . Bertolak danprinsip dasar itu, secara ontologis hakikatbahasa memiliki dua unsur pokok, yaitustruktur dan makna yang merupakan suatunilai. Struktur bahasa Iazimnya menyangkutwujud empiris sehingga dalam penelitianbahasa termasuk bidang pragmatik . Wujudempiris ini merupakan objek kajian, tetapimemuat unsur nilai yang merupakan maknabahasa .

Prinsip dasar yang dikembangkanWittgenstein tentang hakikat bahasa, adalahsuatu realitas yang memiliki dimensi empirisdan nonempiris yang berupa nilai . Ungkapanbahasa yang digunakan manusia dalam ber-

Kaelan, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein

komunikasi dalam suatu tindak tutur secaraempiris dapat ditangkap melalui indrapendengar. Ungkapan empiris tersebutmemiliki dimensi makna, yaitu makna infor-masi yang terkandung dalam ungkapanbahasa itu . Menurut Wittgenstein, maknayang merupakan nilai yang terkandung dalamungkapan bahasa terdapat dalam kehidupanmanusia karena pada prinsipnya bahasadigunakan oleh manusia dalam berkomuni-kasi mengungkapkan suatu makna yangmerupakan suatu nilai kehidupan . Maknayang terkandung dalam kehidupan manusiabersifat tidak terbatas dan dalam setiapkonteks kehidupan memiliki ciri khas sertaaturan masing-masing. Aturan tersebutbukan merupakan norma yang baku, misal-nya menyangkut aspek sintaksis ataumorfologis, melainkan merupakan suatu nilaiyang telah dipahami oleh manusia sebagaisubjek penutur bahasa. Makna serta nilalyang terkandung dalam kehidupan manusiayang diungkapkan melalui bahasa bersifattidak terbatas dan beraneka ragam(Wittgenstein, 1983 :23). Untuk mengetahuihakikat makna yang terkandung dalam suatuungkapan bahasa, kita harus memahaminilai-nilai yang terkandung dalam kehidupanmanusia dalam hubungannya dengan peng-gunaan ungkapan bahasa tersebut .

Suatu ungkapan bahasa dalam kontekspragmatik tidak memiliki korelasi logisdengan struktur gramatikal yang merupakanrealitas empiris bahasa . Hal ini berdasarkanpada kandungan nilai yang ada dalamungkapan bahasa dalam hubungannyadengan kehidupan manusia . Suatu ungkapanbahasa yang memiliki norma yang ekuivalensecara sintaksis belum tentu memiliki nilaiyang ekuivalen secara pragmatik karena nilaiyang merupakan esensi makna yangterkandung dalam kehidupan manusia belumtentu sama . Misalnya, dalam suatu ung-kapan berikut .

(1) Amin mempunyai anak kemudianmenikah .

(2) Amin menikah kemudian mem-punyai anak .

141

Page 10: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

Humaniora Volume 16, No . 2, Juni 2004 : 133-146

Dua kalimat tersebut berdasarkanprinsip logika memiliki struktur yang ekui-valen . Kedua kalimat itu merupakan suatuproposisi logika p 'menikah' & q 'memilikianak'. Kedua proposisi itu berdasarkan hu-kum logika memiliki nilai yang ekuivalen balkp & q, maupun q & p. Meskipun kedua kali-mat tersebut memiliki syarat kebenaran yangsama secara logis, secara pragmatik keduakalimat tersebut memiliki nilai dan maknayang berbeda (Levinson, 1983 :35) .

Dua kalimat tersebut secara sintaksismemiliki struktur yang sama, balk secaragramatikal, maupun berdasarkan fungsinya,yaitu subjek maupun predikatnya. Kalimat(1) maupun kalimat (2) masing-masing meru-pakan suatu kalimat luas, yang dihubungkandengan kata penghubung 'kemudian' . Kali-mat (1) tersusun atas kalimat berikut .

(1a) Amin mempunyai anak .(1b) Amin menikah .

Kedua kalimat sederhana tersebut dihu-bungkan dengan melakukan suatu penghe-matan pada subjek (S) Amin, serta dihubung-kan dengan kata penghubung 'kemudian',yang secara gramatikal memiliki maknaperurutan (Rozaq, 1988 :41). Kalimat (2),merupakan suatu kalimat luas yang tersusunatas dua kalimat sederhana .

(2a) Amin menikah .(2b) Amin mempunyai anak .

Kedua kalimat tersebut digabungkanmenjadi suatu kalimat luas dengan mela-kukan penghematan terhadap subjek (S)'Amin', dan dihubungkan dengan katapenghubung'kemudian', yang secara grama-tikal memiliki hubungan perurutan (Razaq,1988:42). Berdasarkan susunannya, secaragrmatikal kedua kalimat tersebut memilikistruktur yang sama dan berdasarkan fungsi-nya juga memiliki susunan yang sama .

Dalam konteks pragmatik, ternyatakedua kalimat tersebut memiliki nilai yangtidak sama . Kalimat (1) dan kalimat (2) me-miliki nilai yang tidak sama, balk nilai moralmaupun nilai religius . Berdasarkan nilai moral,kalimat (1) itu berarti mengandung nilai tidak

142

susila. Adapun kalimat (2) merupakan suatukalimat yang memiliki nilai susila . Ber-dasarkan nilai religius kalimat (1) itu tidaksesuai dengan ajaran agama, sedangkankalimat (2) sesuai dengan ajaran agama .

Data bahasa yang bersifat empirismenyangkut tataran deskriptif dan secaraontologis data bahasa yang bersifat empiristersebut tidak akan memiliki makna apa-apatanpa adanya konteks nilai dalam hubunganpenggunaan ungkapan bahasa dalamkehidupan manusia . Aspek nilai yang meru-pakan dimensi makna bahasa dan bersumberpada kehidupan manusia pada hakikatnyaberada pada dua kutub, yaitu pemahamandan pengetahuan manusia . Atas dasar keber-adaan nilai di antara kedua kutub tersebutmanusia harus menentukan berdasarkanrasa serta akal budi manusia (Budiyanto,2002:95) .

Hakikat bahasa dalam hubungannyadengan penggunaan dalam kehidupan manu-sia menampakkan suatu problema tentangpembenaran makna bahasa yang merupakansuatu nilai . Secara ontologis keberadaanbahasa disebabkan oleh kepentingan manu-sia untuk berkomunikasi . Dengan demikian,terdapat hubungan sebab akibat antaramanusia dengan bahasa, yaitu manusia se-bagai sebab dan bahasa sebagai akibat .Berdasarkan kenyataan ini, nilai yang mele-kat pada bahasa ditentukan oleh eksistensimanusia sebagai subjek .

Terdapat suatu konsep pemikiran ten-tang nilai dalam.hubungannya dengan peran-an manusia. Nilai dapat dipahami manusiamelalui akal budi serta kesadarannya .Seseorang mampu berpikir tentang sesuatu,memiliki suatu imajinasi, serta mampu ber-kreativitas karena is memiliki akal budi dankesadaran . Bagi aliran subjektivisme, letaknilai berada pada tataran akal budi dankesadaran manusia . Segala sesuatu bemilaikarena ditentukan oleh akal budi dan ke-sadaran manusia. Berbeda dengan pandang-an tersebut aliran objektivisme berpendapatbahwa nilai sebenarnya berada pada objekitu sendiri, terlepas dari penilaian akal budiclan kesadaran manusia (Budianto, 2002:96) .Max Scheler tidak mendasarkan pada eksis-tensi subjek ataupun objek, tetapi penger-

Page 11: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

tian nilai harus dipahami berdasarkan hakikatnilai itu sendiri (Driyarkara, 1978 :142) .Menurut Scheler nilai dibedakan atas :(1) nilaiindrawi, (2) nilai vital, yang berkaitan denganhidup manusia seperti kesehatan, kelelahan,kesakitan, dan (3) nilai spiritual yang meliputinilai keindahan, keadilan, nilai kebenaranpengetahuan . Di antara ketiga nilai tersebutterdapat nilai yang tertinggi, yaitu kekudusanyang merupakan nilai religius yang memilikisifat mutlak (Frondizi, 1963 :138, 139; Driyar-kara, 1978:145). Sejalan dengan pandanganScheler tersebut, Notonagoro menambahkannilai kesusilaan atau nilai moral pada nilaikerohanian (Darmodiharjo, 1995:43, 44) .

Berbeda dengan penggolongan terse-but, Everet membedakan nilai menjadidelapan macam, yaitu (1) nilai ekonomis,yaitu nilai yang berkaitan dengan kebutuhanekonomis manusia, (2) nilai kejasmanian,yang berhubungan dengan aspek jasmanimanusia, (3) nilai hiburan, yaitu nilai yangberkaitan dengan permainan manusia untukmemperkaya kehidupan, (4) nilai sosial, yaitunilai yang berhubungan dengan kehidupanmanusia dalam berkomunikasi denganmanusia lain, (5) nilai watak, yaitu nilai yangberhubungan dengan kepribadian manusia,(6) nilai estetis yang berkaitan dengan ke-indahan, (7) nilai intelektual, yaitu nilai yangberhubungan dengan aspek intelektualmanusia, dan (8) nilai religius, yaitu nilai yangberhubungan dengan keagamaan (Darmo-diharjo, 1996:228) .

Untuk mendapatkan suatu kejelasanpengertian tentang makna bahasa yangsering juga disebut aspek semantik, perlupenjelasan yang didasarkan pada sistemepistemologisnya, baru kemudian ditentukantitik temunya . Dalam bidang linguistik, kajiansemantik adalah 'makna internal linguistik'(linguistic meaning) atau 'makna semantik'(semantic sense), sementara yang dikajibidang pragmatik adalah 'maksud penutur'(speaker meaning) atau speaker sense(Verhaar, 1996 ; Parker dalam Wijana,1996:3), dan makna ini berkaitan denganaspek 'eksternal' . Menurut Leech (1983),pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang

Kaelan, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein

mengkaji penggunaan bahasa berintegrasidengan tata bahasa yang terdiri atas fonologi,morfologi, sintaksis, dan semantik melaluipragmatik, seperti terlihat dalam diagramberikut ini .

Fonologi

Morfologi

Sintaksis

Pragmatik

Semantik

(Wijana, 1996 :3).

Berkaitan dengan makna bahasa,Wittgenstein memiliki pendapat yang ber-beda dengan konsep Parker maupunVerhaar. Jika sistem epistemologi pragmatikdemikian, akan menjurus ke arah behavior-isme. Menurut Wittgenstein makna bahasabukan terdapat dalam bahasa atau penuturbahasa, melainkan terdapat dalam kehidup-an manusia itu sendiri . Secara ontologisbahasa merupakan sarana komunikasimanusia dengan manusia lain dalam masya-rakat. Oleh karena itu, untuk mengkaji maknabahasa harus dilakukan pengamatan ter-hsdap kehidupan manusia dalam hubungan-nya dengan aturan penggunaan bahasatersebut. Setiap konteks penggunaan baha-sa memiliki aturan masing-masing . Dalamaturan beserta penggunaannya dalam kehi-dupan manusia itulah akan ditemukan maknabahasa (Wittgenstein, 1983 :90) . Peng-gunaan ungkapan bahasa dalam suatutindakan bahasa senantiasa memiliki nilaiyang beraneka ragam (Allan, 1986 :156,157)sehingga untuk memahami makna eksternalungkapan bahasa yang terdapat dalamkehidupan manusia harus melalui kajian nilai-nilai bahasa .

Berdasarkan analisis pengertian maknatersebut, peranan kajian nilai-nilai bahasadalam kehidupan manusia menjadi sangatpenting agar aspek semantik yang merupa-kan makna bahasa benar-benar dapat dipa-hami secara objektif . Paradigma pragmatikyang dikemukakan Parker dan Verhaar

143

Page 12: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

Humaniora Volume 16, No . 2, Juni 2004: 133-146

memiliki kelemahan aksiologis maupunepistemologis. Paradigma kajian maknabidang pragmatik tersebut akan sangatterbatas pada aspek tingkah laku bahasasehingga mengarah pada behaviorisme .Konsekuensinya bidang pragmatik akanmengalami kesulitan untuk mendeskripsikansecara objektif penggunaan ungkapanbahasa dalam kehidupan manusia yangsangat luas itu. Misalnya, ungkapan bahasadalam konteks religius, mistik, metafisikserta estetik, tidak akan tersentuh olehtingkah laku bahasa .

Menurut Guba (1990), objektivitas ke-benaran suatu ilmu pengetahuan harus dapatdilihat pada kemampuan operasional ilmupengetahuan itu serta kebenaran pragmatisilmu pengetahuan itu dalam kehidupan ma-nusia. Objektivitas kebenaran ilmu pengeta-huan akan tampil, jika para ilmuwan mampumelihat kelemahan atau kekurangan para-digms yang telah ada dan diikuti denganmelakukan suatu rekonstruksi terhadap para-digma tersebut. Paradigma ilmu pengetahu-an akan menjadi kokoh jika dapat diterapkandalam suatu penelitian dan dapat meng-antisipasi berbagai fenomena yang dihadapidalam suatu penelitian . limu pengetahuanharus dilihat sebagai sesuatu yang senan-tiasa berkembang, tidak statis, tidak absolutkebenarannya, serta senantiasa terbuka ter-hadap berbagai kemungkinan, terbuka untukdikritik, bahkan dapat direkonstruksi sehing-ga dapat diperbarui . Objektivitas pada kons-truksi paradigma ilmu pengetahuan dapatdilihat pada bagan berikut ini .

Berdasarkan pemikiran tersebut, perludilakukan suatu rekonstruksi paradigmatikterhadap bidang pragmatik . Objektivitasilmiah akan tercapai manakala ontologi danaksiologi makna bahasa itu tidak tumpangtindih dengan subjek penutur bahasa yaitumanusia, serta realitas empiris bahasa yangberupa aspek bunyi bahasa . Makna bahasayang merupakan aspek semantik dikaji padakehidupan manusia yang merupakan nilaisehingga bahasa dapat digunakan secarapragmatis dalam kehidupan manusia . Padakonstruksi seperti ini akan kita temukan su-sunan bidang kajian sebagai berikut.

144

Objektivitas

Rekonstruksi

M

Penerapan pada fenomena kehidupan manusia

Kebenaran pragmatik l

Kegunaan untuk kehidupan masyarakat

(Guba, 1990:25, 26; Budianto, 2002 :90) .

1 . Bidang fonologi, morfologi, dan sintaksismerupakan konstruksi empiris bahasa,sehingga dapat dideskripsikan berdasar-kan gejala empiris bahasa tersebut .Makna bahasa pada tataran ini terbataspada makna empiris bahasa, yaitu mak-na gramatikal yang berkaitan denganmakna 'internal' bahasa, belum padatingkatan makna 'eksternal' bahasadalam kehidupan manusia .

2 . Perlu dilakukan suatu rekonstruksi ter-hadap paradigma, yaitu berdasarkanparadigma penggunaan makna bahasadalam kehidupan manusia. Berdasarkanparadigma ini, setelah dilakukan kons-truksi empiris bahasa, kemudian dilaku-kan kajian semantik bahasa denganurutan kajian nilai bahasa dalam kehi-dupan manusia . Setelah dilakukan kaji-an nilai-nilai bahasa dalam kehidupanmanusia, barulah aspek makna bahasadapat dipahami. Kajian nilai-nilai bahasaitu dapat pula diistilahkan dengan bidangaksiologi bahasa .

3. Kajian terakhir adalah tentang aspekpragmatik bahasa, yaitu penggunaanbahasa dalam kehidupan manusia . Halini didasarkan pada suatu kenyataanbahwa manusia dapat menggunakansuatu ungkapan bahasa, yaitu aspekpragmatik, jika is telah mengetahui

Page 13: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

aturan penggunaan bahasa, yaitu nilaiserta makna bahasa yang digunakandalam suatu komunikasi dalam masya-rakat. Bahasa tidak mungkin digunakanmanusia tanpa mengkomunikasikanmakna yang terkandung di dalamnya .Makna tersebut bukanlah suatu norma-norma internal linguistis saja, melainkannilai-nilai eksternal linguistis, yangterkandung dalam kehidupan manusiadan diungkapkan melalui bahasa .

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pem-bahasan dapat disimpulkan bahwa filsafatWittgenstein merupakan karya besar yangbersifat inovatif dan mampu mengubahorientasi perkembangan ilmu, balk di Eropamaupun di Amerika . Pemikiran Wittgensteinperiode pertama, Tractatus Logico-Philo-sophicus, merupakan sintesis eklektis pemi-kiran filsafat analitis, empiristis, dan logis .

Menurut Wittgenstein, hakikat realitasbahasa adalah gambaran realitas dunia em-piris . Oleh karena itu, struktur bahasa tersu-sun atas proposisi-proposisi, dan totalitasbahasa merupakan gambaran logis dunia .Kedudukan analitika bahasa dalam filsafatadalah sebagai metode ilmiah untuk meng-ungkapkan realitas fakta empiris . Hasilpemikiran Wittgenstein itu merupakan dasarepistemologis bagi pengembangan ilmupengetahuan modern di Wina, yang kemu-dian berkembang ke seluruh dunia .

Pada karyanya yang kedua, Wittgentseinmengembangkan Philosophical Investiga-tions, .yang mendasarkan pada bahasa se-hari-hari yang bersifat beraneka ragam .Wittgenstein menekankan adanya bermacam-macam penggunaan bahasa dalam berbagaikonteks kehidupan manusia yang setiapkonteks penggunaan tersebut memilikiaturannya masing-masing . Hal ini diistilahkandengan language games .

Prinsip dasar language games dalamsejarah perkembangan filsafat analitismerupakan sumber inspirasi paradigmatisbagi perkembangan pragmatik. Berdasarkanh-asil penelitian lebih lanjut, pemikiranWittgenstein periode kedua tersebut relevan

Kaelan, Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein

bagi pengembangan dasar filosofis prag-matik, balk meliputi aspek ontologis, episte-mologis, maupun aspek aksiologis. Bahasasebagai objek kajian pragmatik memiliki nilaiyang terkandung dalam aturan penggunaanbahasa dalam berbagai konteks kehidupanmanusia. Perspektif nilai yang terkandungdalam bahasa itulah secara filosofis meru-pakan sumber kajian pragmatik, mengingatlinguistik pragmatik tidak bersifat "nomo-tetik", yang hanya mencari hukum-hukumdan dalil-dalil, tetapi bersifat "ideografik",yaitu mendeskripsikan bahasa yang di da-lamnya terkandung nilai-nilai yang sifatnyatidak terbatas dalam berbagai kontekskehidupan manusia .

Atas dasar kajian penelitian filosofistersebut, bidang pragmatik memiliki peluanguntuk mengembangkan dimensi baru dalamkajian bahasa dalam konteks penggunaan-nya dalam berbagai bidang kehidupan manu-sia, yang pada gilirannya dapat dilakukanpenelitian empiris tentang penggunaanbahasa .

DAFTAR RUJUKAN

Allan, Keith. 1986 . Linguistics Meaning . VolumeOne. London and New York: Routledge &Kegan Paul .

A'er. 1956 . The Revolution in Philosophy . London :Mac. Millan & Co .

Bakker, A. 1984 . Metode-metode Filsafat .Jakarta:Ghalia Indonesia.

Bakker, A. dan Achmad Charris Zubair . 1990 .Metodologi Penelitian Filsafat . Yogyakarta:Kanisius.

Budiyanto, Irmiyati M . 2002 . Realitas danObjektivitas :Refleksi Kritis atas Cara KerjaIlmiah . Jakarta: Wedatama Widya Sastra .

Charlesworth, M .J . 1959. Philosophy and LinguisticsAnalysis . Pittsburgh : Duquesne University .

Darmodiharjo, Darji . 1995. "Orientasi SingkatPancasila" . Dalam Darji Darmodiharjo,Nyoman Dekker, A .G. Pringgodigdo, M .Wardoyo, Kuntjoro Purbopranoto, & J .WSulandra . Santiaji Pancasila . Jakarta :Gramedia Pustaka Utama .

145

Page 14: Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein ...

Humaniora Volume 16, No . 2, Juni 2004 : 133-146

Asdi, Endang Daruni 1997 . Imperatif Kategorisdalam Filsafat Immanuel Kant. Yogyakarta:Lukman Offset.

Driyarkara, N . 1978 . Percikan Filsafat . Jakarta:Pembangunan.

Frondizi, Risieri . 1963 . What is Value? New York :Open Court Publishing Company.

Guba, Egon. G. 1990. The Paradigm Dialog . SagePublications . California: Newbury Park .

Haliday, H.P & Raqaiya Hasan. 1985 . LanguageContext, and Text:of Language in SocialSemiotic Perspective. Melbourne : DeakinUniversity.

Heraty, Tuty. 1984. Aku dalam Budaya . Jakarta:Pustakajaya .

Koren, Henry. J . 1966. Research in Philosophy.United States of America : DoquesneUniversity.

Leech, G.N. 1983 . Principles of Pragmatics. NewYork: Longman .

Levinson, Stephen . C . 1983 . "The EssentialInadequacies of Speech Acts Models ofDialogue". In Herman Parret, Marina Sbisaand Jef Verschueren (ed .) . Possibilities andLimitations of Pragmatics . Amsterdam/Philadelphia: Jhon Benyamins .

Van Melsen, A.G.M. 1985. llmu Pengetahuan danTanggungJawab Kita . Jakarta: Gramedia.

Mey, Jacob. L. 1993 . Pragmatics . Oxford &Cambridge: Blackwell .

Moore, George Edward . 1954. "Wittgenstein'sLectures in 1930-1933" in Mind . January.1955. London.

Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi PenelitianKualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasin .

146

Pitcher, George . 1964. The Philosophy ofWittgenstein . New Jersey: Englewood Cliffs .

Poerwowidagdo, Yudowibowo. 1972. An Inguiryinto The Logical Relationship of Teaching andLearning Based on The Linguistic Analysis ofThe Concept of Knowing . Submitted to theGraduate in the School of Education in partialfulfilment of the requirements for the degreof Doctor of Philosophy. University ofPittsburgh .

Reichling, A. 1971 . Bahasa Hukum-hukum danHakikatnya. Ende Flores : Nusa Indah.

Razak, Abdul . 1988 . Kalimat Efektif. Jakarta :Gramedia.

de. Saussure, Ferdinand 1916 . Cours in GeneralLinguistics. (trans.) Wade Baskin . New York :The Philosophical Library Inc .

Suriasumantri, Yuyun . 1985. Filsafat limu.Jakarta:Sinar Harapan .

Verhaar, J .W M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Siswomihardjo, Koento Wibisono. 1982 . ArtiPerkembangan menurut Filsafat PositivismeAugust Comte. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.

Wijana, I Dewa Putu . 1996 . Dasar-dasarPragmatik . Yogyakarta: Andi Offset .

Wittgenstein, Ludwig. 1961 . Tractatus Logico-Philosophicus . London: Routledge & KeganPaul L.T D .

Wittgenstein, Ludwig . 1983 . PhilosophicalInvestigations . Translated by G.E .M .Anscombe. Oxford : Basil Backwell .