FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN...
Transcript of FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN...
FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDEKABUPATEN BANGLI
I GUSTI AGUNG BAGUS SURYADA
JURUSAN ARSITEKTURFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANADENPASAR
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat
rahmatNyalah maka tulisan berjudul FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE
KABUPATEN BANGLI ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan kewajiban dalam
melaksanakan tri darma perguruan tinggi
Penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya diberikan kepada
Prof. Ir. Ngakan Putu Gede Suardana, MT., PhD selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas
Udayana, Prof. Dr. Ir. Anak Agung Ayu Oka Saraswati, MT selaku Ketua Jurusan Arsitektur
Universitas Udayana, dan pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian tulisan ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Segala kritik
dan saran yang membangun, sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan selanjutnya.
Denpasar, Juli 2016
Penulis
ABSTRAK
Desa Bayung Gede merupakan salah satu desa tradisional di Bali yang memilikikeunikan budaya dan lingkungan fisiknya. Pola desa Bayung Gede memiliki karakteristikpola desa pegunungan pada umumnya, tetapi mungkin pula memiliki kekhususan karenaunsur-unsur lokal terutama sosial budaya, yang sangat berpengaruh terhadap wujud poladesa.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan, disamping denganpengamatan dan dokumentasi serta wawancara dengan beberapa informan.
Pada pola desa Bayung Gede menunjukkan orientasi hulu-teben dengan arah kaja(gunung) sebagai hulu dan teben pada arah selatan (kelod) dengan filosofi arah kaja(gunung) lebih utama sebagai tempat beratananya Tuhan, para Dewa dan roh leluhur, danarah selatan sebagai tempat yang lebih nista. Tata guna lahan terbagi menjadi zone utamapada bagian hulu (kaja) sebagai zone tempat suci, zone madya pada bagian tengah sebagaizone hunian, dan zone nista pada bagian teben sebagai zone kuburan. Sirkulasi membentangdari utara ke selatan dengan filosofi keselarasan dengan alam, fisik desa yang membentangdari utara keselatan.
Kata Kunci: filosofi, pola desa,
DAFTAR ISI
I . PENDAHULUAN…………………………………………………………………………….1
II. POLA-POLA DESA TRADISIONAL BALI………………………………………………. .2
2.1.Pola Pempatan Agung………………………………………………………………………..2
2.2.Pola Linier……………………………………………………………………………………3
2.3. Pola Desa di Pegunungan……………………………………………………………………5
III. POLA DESA BAYUNG GEDE……………………………………………………………..5
3.1. Orientasi …………………………………………………………………………………….5
3.2. Tata Guna Lahan ……………………………………………………………………………5
3.3. Pola Sirkulasi………………………………………………………………………………..7
IV. FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE………………………………………………...11
4.1. Filosofi Arsitektur Masyarakat Bali…………………………………………………………11
4.2. Filosofi Orientasi……………………………………………………………………………12
4.3. Filosofi Pola Tata Ruang……………………………………………………………………14
4.4. Filosofi Sirkulasi…………………………………………………………………………….17
V. KESIMPULAN………………………………………………………………………………18
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………19
1
I . PENDAHULUAN
Desa Bayung Gede merupakan salah satu desa tradisional di Bali yang secara
geografis berada di daerah pegunungan. Aspek yang menarik adalah wujud lingkungan
fisiknya dan keunikan budaya, yang tercermin dalam kehidupan sehari – harinya.
Menurut Habraken(1976), tatanan fisik permukiman merupakan suatu kesatuan sistem
yang terdiri dari :
a. Spatial system: sistem yang berkaitan dengan organisasi ruang mencakup hubungan
ruang, orientasi, pola hubungan ruang dan sebagainya.
b. Physical system: sistem konstruksi dan penggunaan material
c. Stylistic system: Kesatuan yang mewujudkan bentuk, meliputi: bentuk fasade, bentuk
pintu, bentuk jendela, serta unsur-unsur ragam hias didalam atau diluar bangunan.
Salah satu wujud spatial system lingkungan fisik adalah pola desa. Pola desa dipegunungan
memiliki karakteristik yang khas yang terlihat dari adanya pemilahan tipologi perdesaan di
Bali (Greetz dalam Parimin:1986) kedalam perdesaan Bali aga dan Bali dataran.
Rapopot (1969) mengemukakan hipotesisnya bahwa bentuk perumahan tidaklah
sederhana, terjadi hanya akibat pengaruh kekuatan fisik semata atau disebabkan oleh hal yang
berdiri sendiri, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sosial budaya. Bayung Gede
sebagai desa di pegunungan, mungkin memiliki karakteristik perdesaan Bali Aga secara
umum tetapi mungkin pula memiliki kekhususan terutama dalam hal pola desa dimana unsur-
unsur lokal terutama sosial budaya, akan sangat berpengaruh terhadap wujud pola desa.
Adapun permasalahan yang ingin dijawab adalah : apakah filosofi pola Desa Bayung
Gede menyangkut orientasi, tata guna lahan dan sirkulasi.
Penulisan ini bertujuan untuk menggali filosofi yang terkandung pada pola Desa
Bayung Gede sebagai suatu kearifan lokal untuk menambah wawasan kita tentang pola desa
tradisional Bali.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan, disamping dengan
pengamatan dan dokumentasi terhadap pola Desa Bayung Gede serta wawancara dengan
beberapa informan. Metode analisa dilakukan dengan pendekatan deskriptif rasionalistik.
2
II . POLA-POLA DESA TRADISIONAL BALI
Pola desa tradisional Bali adalah pola desa adat yang sekarang disebut juga desa
pekraman. Menurut Alit (1997), desa di Bali memiliki pengertian sebagai suatu areal
geografis, dengan batas-batas tertentu yang berfungsi sebagai wadah kehidupan bagi
masyarakat yang diatur menurut pranata yang telah dibuat dan diberlakukan bagi keseluruhan
anggota masyarakat. Didalam pranata desa terdapat adanya hak , kewajiban, serta sangsi-
sangsi, yang dijalankan para pemimpin desa. Di Bali desa yang dibentuk oleh masyarakat
yang tergabung dalam satu kesatuan adat-istiadat yang disebut desa adat atau desa pekraman.
Sebagai ciri suatu desa adat/desa pekraman adalah kehidupan sosial masyarakat berhubungan
erat dengan keagamaan (Hindu), yang tercermin dalam kegiatan keagamaan , maupun suka
duka. Secara fisik pola desa terdiri dari parahyangan, pawongan dan palemahan.
Parahyangan adalah areal yang diperuntukkan untuk bangunan suci (pura), pawongan adalah
adanya warga desa dengan huniannya, dan palemahan berupa areal desa sebagai tempat
bertani, berkebun dengan batas-batas gografis tertentu.
Menurut Gelebet (1986) pola-pola perkampungan (desa) di Bali dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor tata nilai ritual yang menempatkan zone sakral di bagian
kangin(timur) arah terbitnya matahari sebagai arah yang diutamakan. Faktor kondisi dan
potensi alam , nilai utama pada arah gunung dan kearah laut dinilai lebih rendah. Sebagai
gambaran akan diuraikan beberapa pola desa tradisional Bali.
2 . 1. Pola Pempatan Agung
Di Bali pola perkampungan (desa) umumnya berpola pempatan agung yaitu pola
dengan jalan utama menyilang desa, timur dan barat serta utara dan selatan membentuk silang
perempatan sebagai pusat desa. Balai banjar sebagai pelayanan sub lingkungan, menempati
keempat arah sisi desa dengan jalan-jalan sub lingkungan sebagai cabang-cabang jalan utama.
Di pempatan agung sebagai pusat lingkungan pura Desa dan Pura puseh atau puri
menempati zone kaja kangin, balai banjar atau wantilan desa menempati zone kaja kauh,
lapangan desa menempati zone kelod kangin dan zone kelod kauh ditempati oleh pasar desa.
3
Kuburan desa ditempatkan diluar desa pada arah kelod atau kauh yang merupakan zone
dengan nilai lebih rendah (Gelebet, 1986).
Gambar 1. Pola desa Pempatan AgungSumber : N. Gelebet dalam Budiharjo,
Architectural Conservation in Bali, 1990:57
2 . 2 . Pola linier
Menurut Gelebet (1986), beberapa desa di Bali berpola khusus yaitu: plasa di desa
Tenganan, plasa dengan lingkar sisi (desa Julah), plasa dengan lorong-lorong dari plasa
kearah tepi (desa Bugbug) dan lain-lain. Menurut Budiharjo (1990) , pola ini dikelompokkan
kedalam pola linier yang merupakan bentuk yang sederhana dari pola desa di Bali , biasanya
ditemukan pada pola-pola desa di perbukitan atau pegunungan. Pola linier banyak muncul
pada permukiman tradisional Bali yang merupakan peninggalan jaman Bali aga. Pola ini
mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan
suci(utama), daerah tengah merupakan unit hunian (madya) dan daerah teben merupakan
daerah nista yang biasanya diperuntukkan untuk daerah kuburan.
4
Gambar 2. Pola Desa LinierSumber : Budiharjo, Architectural Conservation in Bali,1990:57
Gambar 3. Variasi pola desa linierSumber: Parimin, Fundamental StudyOn spatial Formation of Island Village:
Environmental Hierarcy of Sacred Frofan ConceptIn Bali, 1986:91
5
2 . 3 . Pola Desa di Pegunungan
Pola desa dipegunungan umumnya cenderung berorientasi ke arah puncak gunung ,
lintasan jalan-jalan yang membentuk pola lingkunan disesuaikan dengan transis, lokasi,
kemiringan dan lereng-lereng alam. Orientasi pada arah yang lebih tinggi pada zone masing-
masing, atau puncak tertinggi sebagai orientasi bersama. Tempat suci bersama atau tempat
suci untuk pemujaan pada masing-masing keluarga ditempatkan pada bagian yang lebih
tinggi atau kearah orientasi bersama. Lokasi yang berlereng kesegala arah menjadikan
orientasi tempat suci tidak hanya kearah kaja atau kangin (Gelebet, 1986).
III . POLA DESA BAYUNG GEDE
3 . 1. ORIENTASI
Di Desa Bayung Gede ada dua orientasi penting, yaitu arah utara (kaja) -
selatan(kelod) dan timur - barat, yang menurut Jero Mangku Kendri, arah utara (kaja)
merupakan arah yang lebih suci/utama karena diutara/kaja menurut leluhur mereka terdapat
gunung Toh Langkir (gunung Agung), Gunung Nerajong (Bukit Penulisan), dan Gunung
Lebah (Gunung Batur) dimana gunung ini dipercayai sebagai tempat payogan Ida Betara,
sedangkan makin keselatan (kelod/kearah laut) dianggap zone nista. Arah timur (kangin)
dianggap lebih utama karena arah timur merupakan arah terbitnya matahari (Betara Surya)
dan arah barat arah tenggelamnya matahari merupakan zone nista.
3 . 2. TATA GUNA LAHAN
Desa Bayung Gede merupakan desa Bali aga yang merupakan bagian dari
peninggalan jaman Bali kuno, yang pusat-pusat permukiman dan pemerintahannya berada
pada daerah pedalaman atau pegunungan dan penghidupan masyarakatnya sebagian besar
sebagai petani dan peternak (Dwijendra dan Manik, 2007). Desa Bayung Gede terletak di
daerah pegunungan (Gunung Batur) yang membentang dari utara ke selatan dengan
6
kemiringan yang cukup tajam kearah selatan, dan pada arah utara adalah Gunung Batur. Luas
Desa Bayung Gede ± 11.81 ha dengan tata guna lahan sebagai berikut (lihat tabel 1).
Tabel 1. Tata Guna Lahan Pada lingkungan Perumahan Tradisional
No. Tata Guna Lahan Luas
1 Rumah/Pekarangan 7,62 Ha
2 Jalan 1,76 Ha
3 Pura 0,84 Ha
4 Pekuburan 0,14 Ha
5 Lain-lain 1,45 Ha
Jumlah 11,81 Ha
Sumber : Hasil Pemetaan Dinas PU Tahun 2006(dalam Gaharu Sempana,2007)
Disamping lahan perumahan dan lingkungannya terdapat pula tegalan seluas 512 Ha
(monografi desa, 2006 dalam Dwijendra dan Manik 2007).
Dari tata guna lahan yang ada dilingkungan perumahan , dapat dikelompokkan
kedalam tiga zone pokok yaitu : zone utama / hulu, yang terdapat pura : Pura Bale Agung,
Pura puseh, Pura Pasek Gelgel, Pura Penyimpenan, Pura Panti Kayu Selem, Pura Ibu, Pura
Tangkas, Pura Puseh Pingit dan Tegal suci , pada zone madya di bagian tengah terdapat
pekarangan rumah, bale banjar, bale kulkul, karang sisian (Zone perumahan yang
diperuntukkan bagi orang yang melakukan pelanggaran adat, antara lain menikahi kerabat
seperti sepupu misalnya) dan pada zone nista / teben terdapat Setra ari-ari, Setra Anak, Setra
Gede, Pura Pelampuan, Pura Dalem, dan Setra Pengerancab.
7
Keterangan :1 . Pura Bale Agung2 . Pura Puseh Pingit3 . Pura Tangkas4 . Tegal Suci5 . Pura Pasek Gelgel6 . Bale Banjar7 . Bale Kulkul8 . Karang Sisian9 . Setra Ari-ari10. Pura Dalem11. Setra Gede,Setra Anak12. Setra Pengerancab
Zone utama / tempat suci
Zone madya/ pekarangan asli
Zone madya/pekaranganpengembangan
Zone nista/ kuburan
Gambar 4. Pembagian zone pada lingkunganperumahan tradisional
3 . 3 . POLA SIRKULASI DESA BAYUNG GEDE
Pola jaringan jalan yang membentuk lingkungan perumahan tradisional Desa Bayung
Gede terdiri dari jalan utama dari arah utara (Pura Bale Agung) kearah selatan menuju setra
(Setra ari-ari , Setra gede dan Setra anak-anak). Disamping jalan utama ini yang juga
berfungsi sebagi core(pusat) ada juga jalan-jalan kecil / gang-gang kearah utara selatan dan
juga timur barat . Selain jalan utama tersebut terdapat juga jalan besar lainnya yaitu dari Pura
Bale Agung ke timur menuju pura Puseh Pingit dan kebarat menuju SD.
123
45
67
8
9
101112
U
8
Jalan utama (rurung gede)
Jalan kecil (gang) untukpencapaian ke pekarangan
Gambar 5. Pola sirkulasi
Pola kehidupan bertani dan berladang menyebabkan masyarakat lebih banyak
menghabiskan waktunya di ladang atau kebun, sehingga pergerakan setiap harinya
kebanyakan hanya pergerakan anak-anak kecuali kalau ada upacara adat. Adapun rute jalan /
rurung untuk perjalanan ritual adalah sebagai berikut:
Bila menyambut tamu dari 28 desa yang terkait dengan upacara piodalan, diterima di
pempatan (dengan upacara penyambutan) disebelah utara Pura Bale Agung, masuk ke jalan
suci (sebelah timur pempatan) melewati tegal suci , menuju jaba Pura Bale Agung, dan
9
masuk ke Pura Bale Agung. Ketika mengantar tamu pulang , keluar dari Pura Bale Agung
menuju ke jaba Pura, ke rurung Gede, ke pempatan dan pulang ke desa masing-masing.
Gambar 6. Sirkulasi Tamu(terkait dengan upacara piodalan)
Poros/core rurung gede dari Pura Bale Agung menuju kearah selatan sampai di Pura
Pelapuan dipakai medeheng teruna-teruni untuk upacara ritual lainnya.
Gambar 7. Sirkulasi medeheng
Pura Bale Agung
Peyambutan
Pura Puseh Pingit
Pura pelapuan
Pura Bale Agung
pulangPempatan
Pura Bale Agung
Sirkulasi medeheng
10
Upacara penguburan mayat prosesnya yaitu kalau ada yang meninggal mayatnya
ditempatkan di paon(dapur), setelah mendapat upacara pembersihan mayat dibawa kekuburan
dengan diusung diatas asagan oleh 4 orang, melalui rurung gede menuju ke setra. Kemudian
dilakukan bea tanem yaitu penguburan mayat (tidak ada pembakaran mayat).
Gambar 8. Sirkulasi penguburan
Upacara mianin yaitu upacara sejenis ngaben yang dilakukan dengan pembakaran
adegan, jalurnya adalah dari rumah melaui rurung gede, adegan (disebut cangku) dan sarana
upacara lain dibawa ke Pura Bale Agung, kemudian dibawa ke Tegal Suci untuk diupacarai.
Cangku diprelina dengan berbagai bantennya, sebagian sarana upacaranya(sagi) dibawa oleh
teruna-nya saja ke setra dan di setra dilakukan upacara sesuai dengan drestanya.
Jalan utama
Jalan kecil (gang)
Setra Gede, Setra Anak,Setra Penyampingan .
Use the Text BoxTools tab tochange theformatting of thepull quote textbox.]
Pura Bale Agung
11
Gambar 9. Sirkulasi pengantaran Bakti
IV . FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE
4 . 1. FILOSOFI ARSITEKTUR MASYARAKAT BALI
Dalam upaya penelusuran filisofi pola desa Bayung Gede perlu ditinjau dulu filosofi
arsitektur masyarakat Bali secara umum karena meskipun desa Bayung Gede merupakan desa
Bali aga (Dwijendra dan Manik, 2007) , tetapi dalam perkembangannya banyak dipengaruhi
oleh unsur-unsur dalam perkembangan agama Hindu di Bali berikutnya, seperti adanya
Kayangan Tiga(Pura Puseh, Pura desa dan Pura Dalem), adanya pura panti Pasek Gelgel,
Pura Pasek Kayu Selem dan Pura Tangkas. Hal ini menunjukkan permukiman di Desa
Bayung Gede telah mengalami perkembangan .
Masyarakat Bali pada umumnya memiliki jiwa keagamaan (Hindu) dan segala
filosofis diturunkan dari ajaran Hindu seperti mengenai Tuhan, manusia dan Alam. Dalam
Upadesa (dalam Alit, dkk, 1997) Tuhan adalah Ia yang maha kuasa sebagai pencipta,
pemelihara dan pelebur segala yang ada di alam ini. Kekuatan manusia dalam
menggambarkan Tuhan sangat terbatas, maka para maha resi memberikan sebutan dengan
banyak nama menurut sinar sucinya beserta fungsinya yaitu : Brahma , Wisnu dan Ciwa.
Dewa Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Ciwa sebagai pelebur. Tuhan
menciptakan manusia yaitu makhluk yang mampu berfikir dan menggunakan pikirannya
Tegal suci
Pura Puseh Pingit
Jalur pengantaran sagi
Setra
[Typ
e a
quot
e
from
the
docu
men
t or
the
sum
mary
of an
inter
estin
g
poin
t.
You
can
posit
ion
the
text
box
any
wher
e in
the
docu
men
Jalur pengantaran bakti
ype a quote from
the document or
the summary of
an interesting
point. You can
position the text
box anywhere in
the document.
Use the Text Box
Tools tab to
change the
formatting of the
pull quote text
box.]
Pura Bale Agung
12
dalam meningkatkan kehidupanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan memiliki unsur-unsur
yang sama dengan alam yaitu panca maha bhuta. Panca maha butha yang berada di alam
besar (macrocosmos) membentuk tri loka (bhur loka, bhwah loka dan swah loka) sedangkan
pada alam kecil (microcosmos) membentuk stula sarira (badan kasar), suksma sarira (badan
halus) dan anta karana sarira ( badan penyebab) . Tubuh manusia memiliki susunan : kepala
(utama angga), badan (madya angga), dan kaki (nista angga). Berdasarkan bagian – bagian
tubuh manusia dapat diambil ukuran dasar yang dipergunakan sebagai sikut (ukuran) dalam
membangun yang kelipatannya disesuaikan dengan pola gerak alam semesta seperti silklus
wewaran (Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma). Selanjutnya diuraikan bahwa
alam (bhuana) juga memiliki unsur-unsur panca maha bhuta seperti : air (apah), angin
(bayu), panas (teja), zat padat (pertiwi), dan ether (akasa). Dengan demikian alam memiliki
hakekat sama dengan manusia yaitu panca maha bhuta. Jadi secara filosofis manusia
memiliki unsur yang sama dengan alam dan kehidupan memerlukan keserasian antara
bhuana alit dan bhuana agung serta penciptanya yang disebut tri hita karana.
Disamping tri hita karana , juga ada rwa bhineda yang dalam lontar asta kosali
(dalam Oka, 2004) dikatakan Ang-Ah adalah aksara yang merupakan suara burung merdu,
huruf Ang adalah simbol dari Sang Hyang Prajapati, sedangkan Ah adalah simbol dari
Bhagawan Wiswakarma. Filosofi rwa bhineda ini kemudian diimplementasikan dalam
konsep hulu-teben.
4 . 2. FILOSOFI ORIENTASI
Menurut Sularto (1987) orientasi memegang peranan penting dalam kehidupan , yang
menunjukkan setiap tahap dari kemajuan . Segala sesuatu dalam kehidupan memiliki tujuan
(orientasi), dalam arah tertentu. Orientasi dapat menciptakan keharmonisan antara manusia
sebagai microcosmos dangan alam sebagai macrocosmos. Selanjutnya menurut Alit dkk
(1997), manusia memerlukan pegangan agar mereka mengenal arah, oleh karena itu mereka
memerlukan pegangan berupa orientasi. Orientasi berangkat dari nilai yang bersifat magis
melalui suatu simbol tapak dara, yang disempurnakan menjadi swastika. Orientasi
merupakan suatu sikap yang tegas ditengah – tengah cosmos yang serba tidak terbatas . Hal
ini telah melahirkan suatu tata nilai ruang: kangin-kauh simbol sumbu spiritual aktifitas
keagamaan , kaja-kelod sumbu bumi aktifitas kemanusiaan , atas-bawah , alam dewa,
manusia dan bhuta. Sulistyawati dkk (dalam acwin,2003), menyatakan bahwa falsafah tri hita
13
karana memberikan turunan konsep ruang yang disebut tri angga yaitu utama angga, madya
angga, dan nista angga dalam alam semesta, bhur, bhwah , swah, pada manusia kepala,
badan , kaki, yang memberikan arahan tata nilai secara vertikal yaitu hulu-teben yang
memiliki orientasi antara lain: 1) berdasarkan sumbu bumi: kaja (gunung)-kelod(laut). 2) arah
kangin (terbitnya matahari) – kauh (arah terbenamnya matahari). Tata nilai berdasarkan
sumbu bumi memberikan nilai utama pada arah kaja (gunung) dan nilai nista pada arah kelod
(laut), sedangkan berdasarkan sumbu matahari nilai utama pada arah matahari terbit dan nilai
nista pada arah matahari terbenam.
Orientasi pada pola desa Bayung Gede adalah menurut sumbu bumi yaitu nilai utama
pada arah kaja (gunung) dan nilai nista pada arah kelod (laut) dimana menurut Jro Mangku
Kendri, arah kaja (utara) utama karena kaja (gunung) adalah suci karena merupakan tempat
payogan ida betara. Diutara menurut mereka adalah Gunung Toh Langkir/Gunung Agung
(padahal Gunung Agung letaknya dari Bayung Gede tidak diutara, mereka tidak bisa
menyebutkan alasannya), Gunung Nerajong (Bukit Penulisan) dan Gunung Lebah ( Gunung
Batur). Dan zone nista adalah kearah laut (kelod/selatan). Dalam pola desa yang lama (
sebelum tahun 1970-an, (menurut tokoh desa Wayan Suwela) pada bagian hulu(utara)
terdapat pura Bale Agung dan yang lainnya, pada bagian tengah terdapat permukiman dan
pada bagian paling selatan (teben) terdapat setra(kuburan). Jadi tidak terlihat penerapan
secara nyata orientasi timur barat, meskipun mereka menganut nilai orientasi timur barat,
dengan arah timur merupakan arah utama karena arah timur merupakan arah terbitnya
matahari (menurut mereka Bhatara Surya), ini juga terlihat pada orientasi pekarangan
mereka, zone tempat suci mereka tidak sama dengan orientasi bersama mereka yaitu arah
kaja (utara ), tempat suci mereka terdapat pada zone yang berjauhan dari pintu masuk
pekarangan dan berada pada arah utara, timur dan barat. Yang menarik bahwa tidak ada
tempat suci yang berada diarah selatan. Hal ini menjadi sangat menarik karena pada
masyarakat desa (tradisional) pada umumnya mereka sangat taat pada nilai-nilai yang mereka
anut, apalagi yang terkait dengan ideologi seperti yang dikemukakan oleh Sukanto (1990)
yaitu: kehidupan warga di perdesaan cenderung kearah agama (religious trend), juga menurut
Soelaeman (1995) bahwa penduduk yang hidup di desa akan banyak ditentukan oleh
kepercayaan-kepercayaan, dan hukum-hukum alam seperti dalam pola berfikir dan falsafah
hidupnya. Orientasi pekarangan di Desa Bayung gede terlihat tidak sama dengan orientasi
bersama mereka (orientasi pada pola desa), menurut mereka yang mentoleransi orientasi
14
pekarangan mereka adalah adanya arca catur muka (arca berkepala empat menghadap
keempat arah mata angin) yang dulu tersimpan di Pura Ibu (telah lenyap saat bencana
Gunung Agung meletus) yang menurut tetua mereka mengandung filosofi bahwa keempat
arah yang ada memiliki nilai yang setara. Hal ini terlihat sebagai hal yang mentoleransi
keberadaan tempat suci pada pekarangan mereka pada ketiga arah sesuai dengan apa yang
dikatakan Jro Mangku Kendri kecuali selatan, tidak ada pekarangan yang memiliki tempat
suci diarah selatan karena arah selatan berlawanan dengan orientasi bersama. Orientasi timur
bagi mereka juga merupakan utama terlihat dalam persembahyangan mereka menghadap ke
timur dan ke utara, jadi masih terlihat dalam penataan tempat pemujaan mereka, di dalam
areal tempat suci.
Orientasi pada pola desa Bayung Gede memiliki filosofi arah utara(kaja) / gunung /
tempat yang lebih tinggi sebagai tempat berstananya para dewa, tempat yang lebih utama dan
arah selatan(kelod) / laut / tempat yang lebih rendah, alamnya makluk yang lebih rendah,
tempat yang lebih nista.
KONSEPSI ARAH DALAM POLADESA
Gambar 10. Arah orientasi
4. 3. FILOSOFI POLA TATA RUANG
Sampai saat ini belum ditemukan sumber tertulis mengenai filosofi tata ruang di Desa
Bayung Gede, untuk itu perlu ditinjau filosofi tata ruang pada desa-desa di Bali secara umum
untuk dapat menelusuri filosafi pola tata ruang Desa Bayung Gede. Menurut Alit (2004) ciri
khas permukiman adat (desa adat) di Bali adalah daerah tinggi (gunung, bukit) sebagai daerah
hulu/luan dan area rendah sebagai hilir/teben. Ciri khas pola rumah tinggal dari unit terkecil
sampai pola-pola permukiman skala regional diteladani dari kondisi geografis alam Bali
KAJA/GUNUNG
DATARAN
KELOD/LAUT
[Type a
quote from
the
document
or the
summary
of an
interesting
point. You
can
position
the text
box
anywhere
in the
document.
MADYA
UTAMA
NISTA
KONSEPSI ARAH ORIENTASI RUANG
15
dimana deretan bukit dan gunung yang membelah Bali menjadi bagian selatan dan bagian
utara ikut membentuk tatanan mereka bermukim. Tatanan dan pola tradisi mereka bermukim
dilandasi konsep tri hita karana yang mendudukkan parahyangan, pawongan dan palemahan
secara serasi dan harmonis dalam pola permukimannya. Pada pola desa pegunungan
cerminan polanya tampak berkonotasi dualistik (luan - teben, Kiwa - tengen), faktor geografis
memberikan peranan penting dalam pola permukimannya. Tanah desa yang bertofografi
bervariasi, yang terdiri dari tanah landai, bukit, jurang memberikan pengaruh sehingga pola
permukiman linier diterapkan mengikuti transis. Menurut Dwijendra (2003) juga
menyebutkan bahwa tri hita karana melandasi terwujudnya susunan cosmos dari yang makro
(alam semesta/bhuana agung) sampai hal yang paling mikro yaitu (buana alit/manusia).
Dalam alam semesta jiwa adalah parama atma (Tuhan yang Maha Esa), tenaga adalah
berbagai kekuatan alam dan jasad adalah panca maha bhuta. Dalam perumahan jiwa adalah
parahyangan / Tuhan, tenaga adalah pawongan/masyarakat, dan jasad adalah
palemahan/wilayah desa. Pada manusia jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda, bayu, idep
dan jasad adalah tubuh manusia. Keharmonisan ketiga unsur ini menurunkan konsep tri
angga: Utama angga, madya angga, nista angga atau kepala, badan, kaki. Dalam pola desa
tempat suci merupakan kepala/utama, perumahan penduduk merupakan badan/madya dan
kuburan merupakan daerah nista/kaki. Menurut Oka (2004) pola - pola desa kuno di Bali
yang umumnya terdapat di daearah pegunungan cenderung berpola linier yaitu dimana desa
dibelah oleh jalan desa dari utara keselatan seperti di desa Penglipuran Bangli dan Desa Julah
Buleleng.
Pola tata ruang di desa Bayung Gede pada awalnya terbagi atas tiga zone tata ruang
dimana pada bagian paling utara/kaja (daerah paling tinggi) merupakan zone utama dimana
pada zone ini terdapat Pura Bale Agung dan dan Pura Puseh Pingit. Juga terdapat Tegal Suci
yang berfungsi sebagai tempat upacara mianin yang menurut Wayan Suwela lokasi tegal suci
berada di zone utama karena, meskipun sebagai tempat upacara mianin (sejenis ngaben)
tetapi yang diupacarai adalah pitra yang sudah dianggap suci.
Pada bagian tengah disebelah selatan zone utama terdapat areal permukiman pada
zone madya beserta bale banjar , bale kulkul dan karang sisian, daerah ini secara tofografis
berada pada posisi yang lebih rendah dari zone utama . Balai banjar dan balai kulkul berada
di jalan utama (rurung gede) di jaba pura Bale Agung, yang menurut Wayan Suwela posisi
16
ini dipilih adalah berdasarkan kesepakatan bersama warga, supaya memudahkan pencapaian
dari seluruh tempekan yang ada yaitu : tempek Susut, tempek Kangin, tempek Abuan dan
tempek Kaja (merupakan areal pengembangan). Pada bagian paling selatan areal permukiman
terdapat karang sisian yang merupakan areal permukiman bagi yang melanggar aturan adat,
ditempatkan pada bagian lebih di teben dari permukiman biasa.
Kuburan dan Pura Dalem teletak pada zone nista yang secara tofografis
kedudukannya adalah paling rendah. Yang berbeda dengan desa yang berpola sejenis adalah
adanya Setra Pengerancab pada bagian paling rendah (dipinggir sungai) , setra ini berfungsi
untuk penguburan warga desa yang meninggal secara tidak wajar seperti bunuh diri dan
dikuburkan tanpa diupacarai. Menurut Wayan Suwela lokasi ini erat kaitannya dengan
mitologi jaman dulu tentang seorang warga desa yang bersalah dan terbunuh dan
dimakamkan disini, kebenaran dari mitologi ini masih belum dapat dipastikan. Lokasi ini
berada di zone nista dan secara tofografis daerah ini merupakan daerah yang paling rendah
karena berada ditepi sungai. Jadi kalau diamati pola desa lama terlihat ada kemiripan dengan
pola-pola desa Bali Aga yang menganut pola hulu- teben dengan filosofi keselarasan antara
micro cosmos (desa) dan macro cosmos (kawasan/pulau Bali).
Kalau dilihat tata guna lahan yang sekarang terlihat bahwa zone permukiman juga
terdapat dibagian utara (kaja) desa, disebelah barat pura Bale Agung. Menurut Wayan
Suwela pengembangan permukiman ini terjadi sekitar tahun 1970-an karena pertambahan
warga desa sehingga memerlukan pekarangan baru . Lokasi ini mulanya adalah merupakan
laba (aset) milik daha teruna yang direlakan untuk dijadikan permukiman.
Tata guna lahan pada mulanya Tata guna lahan sekarang
Madya/badan/permukiman
Utama/kepala/t. suci
Madya/badan/permukiman
Nista/kaki/kuburan
Utama/kepala/t.suci
Madya/badan/permukiman
Nista/kaki/kuburan
17
Gambar 11. Konsep tata guna lahan
Pada tata guna lahan yang sekarang terlihat bahwa perkembangan permukiman diarah
barat yang diakibatkan terbatasnya lahan permukiman menunjukkan kebijaksanaan yang
telah dimiliki oleh leluhur mereka yaitu konsep catur muka dan konsep permukiman nabuan
yaitu pengaturan permukiman disesuaikan dengan situasi dan ketersediaan lahan (menurut
Jro Mangku Kendri).
Filosofi tata guna lahan yaitu di hulu diletakkan tempat suci sebagai tempat pemujaan
Tuhan, Dewa, Pitara, yaitu pada bagian kaja (utara)/arah gunung/tofografi yang lebih tinggi ,
bagian tengah sebagai tempat pekarangan tempat tinggal manusia dan paling selatan (kelod),
tofografi paling rendah adalah kuburan, tempat jasad orang yang sudah meninggal.
4 . 4. FILOSOFI SIRKULASI
Kalau dilihat kondisi desa sebelum pengembangan areal permukiman (sebelum
tahun1970-an) terlihat bahwa sirkulasi terdiri dari jalan utama (rurung gede) dan jalan kecil
(gang) yang sebagian besar memanjang dari utara keselatan. Menurut Wayan Suwela (2008)
tetua mereka memandang munduk (bumi) membentang dari utara (kaja) ke selatan
(kelod/laut) munduk (juga berarti jalan) juga membentang dari utara ke selatan, Desa Bayung
Gede secara fisik juga membentang dari utara keselatan sedangkan pekarangan sebagian
besar memanjang timur-barat dengan kata lain pekarangan posisinya megat munduk (dalam
posisi melintang jalan) supaya tidak boros (meskipun belum bisa dibuktikan). Kalau dilihat
jalan yang ada dengan kondisi memanjang utara selatan merupakan jalur yang penting untuk
menghubungkan tempat suci, permukiman dan setra terkait dengan prosesi upacara terutama
upacara penguburan dan mianin.
Secara umum ada dua jalan masuk ke desa, yaitu yang disebelah barat merupakan
jalan masuk yang digunakan sehari-hari dan jalan suci disebelah timur melewati tegal suci
untuk kegiatan upacara agama. Hal ini memilki filosofi tentang pembedaan antara aktifitas
yang berhubungan dengan manusia dan aktifitas yang berhubungan dengan Tuhan, Dewa
atau Pitara.
18
Secara geografis Desa Bayung Gede terletak di punggung bukit memanjang dari utara
ke selatan dikelilingi jurang, dimana disebelah timur terdapat sungai Cau-cau, disebelah barat
sungai pludu , kedua sungai ini bertemu disebelah selatan desa. Desa terletak pada bagian
yang landai dengan kemiringan kearah selatan. Dengan jalan memanjang utara-selatan, lahan
yang tersedia sempit dengan pekarangan memanjang timur barat maka pembagian lahan
sangat efisien disamping tidak banyak memerlukan cut and fill . Hal ini sebagai cerminan
filosofi keselarasan dengan alam secara fisik dalam hal ini kondisi tofografis.
V . KESIMPULAN
Orientasi pada pola desa bayung Gede memiliki filosofi arah utara(kaja) / gunung /
tempat yang lebih tinggi sebagai tempat berstananya para dewa, tempat yang lebih utama dan
arah selatan(kelod) / laut / tempat yang lebih rendah, tempat yang lebih nista .
Orientasi pada pola pekarangan rumah tidak sama dengan orientasi pada pola desa
namum tidak bertentangan. Hal ini menunjukkan filosofi keserasian antara bhuana alit dan
bhuana agung, yaitu keserasian antara pola pekarangan dan pola desa.
Filosofi tata guna lahan yaitu di hulu diletakkan tempat suci sebagai tempat pemujaan
Tuhan, Dewa, Pitara, yaitu pada bagian kaja (utara)/arah gunung/tofografi yang lebih tinggi ,
bagian tengah sebagai tempat pekarangan tempat tinggal manusia dan paling selatan
(kelod/teben), tofografi paling rendah adalah kuburan, tempat jasad orang yang sudah
meninggal. Hal ini selaras dengan tri loka yaitu, bhur loka : sebagai alam bawah(nista),
bhwah loka : sebagai dunia manusia(madya) dan swah loka: alamnya dewa (utama).
Jalan masuk desa ada dua yaitu : jalan masuk disebelah barat digunakan untuk
kegiatan sehari-hari dan jalan masuk disebelah timur (melalui tegal suci) digunakan sebagai
jalan untuk kegiatan ritual dengan filosofi pemisahan antara kegiatan manusia biasa dengan
kegiatan yang lebih suci terkait dengan upacara untuk Tuhan , Dewa dan leluhur.
Jalan – jalan membentang dari utara keselatan memiliki filpsofi keselarasan antara
bhuana agung yang membentang dari utara keselatan dari gunung ke laut dan desa / munduk
(yang berarti juga jalan) juga membentang dari utara ke selatan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Alit, I.K.dkk. 1997. Arsitektur Masyarakat Bali dalam Berbhuana. Materi Pameran dalamrangka Pesta Kesenian Bali tahun 1997. Denpasar : Universitas Udayana.
Alit, I K. 2004. Morfologi Pola Mukiman Adati Bali. Jurnal Permukiman Natah. Vol.2. No.2.Agustus, 2004: 96-107.
Budiharjo, E. 1990. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gajah Mada UniversityPress.
Dwijendra, N.K.A. 2003. Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal PermukimanNatah. Vol.1. No.1. 1 Februari 2003: 8-24.
Dwijendra, N.K.A. dan Manik, I.W.Y. 2007. Transformasi Tipo-Morfologi Hunian di DesaBayung Gede, Bali. Makalah seminar Departemen P.U. Propinsi Bali.
Gaharu Sempana, PT. 2007. Penyusunan Rencana Tindak Revitalisasi LingkunganPerumahan Tradisional Desa Bayung Gede. Denpasar: Depatemen P.U. Propinsi Bali.
Gelebet,I. N. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikandan Kebudayaan.
Habraken. N.J. 1976. Variations: The Systemic Design at Support. Massachusetts: M.I.TCambridge.
Oka, I.G.B. 2004. Konsep Penataan Kawasan Suci Margi Agung Pura Besakih. JurnalPermukiman Natah. Vol.2. No. 2. Agustus 2004: 56-66.
Parimin, A.P. 1986. Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village:Environmental Hierarcy of Sacred-profane Consept in Bali. (desertasi) Japan: OsakaUniversity.
Rapopot, A. 1969. House Form and Culture. London: Pentice-Hall.
Sastrowardoyo, R.S. 2001. A Brief Introduction Traditional Architecture of Bali. Dalam :Salain P.R. editor. Robi Sularto dalam Untaian Kenangan. Denpasar: PT. Cipta Paduraksa.
Sulaiman, M.M. 1995. Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: PT.Eresco.
Sukanta, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.