FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN...

23
FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLI I GUSTI AGUNG BAGUS SURYADA JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016

Transcript of FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN...

Page 1: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDEKABUPATEN BANGLI

I GUSTI AGUNG BAGUS SURYADA

JURUSAN ARSITEKTURFAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANADENPASAR

2016

Page 2: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat

rahmatNyalah maka tulisan berjudul FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE

KABUPATEN BANGLI ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan kewajiban dalam

melaksanakan tri darma perguruan tinggi

Penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya diberikan kepada

Prof. Ir. Ngakan Putu Gede Suardana, MT., PhD selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas

Udayana, Prof. Dr. Ir. Anak Agung Ayu Oka Saraswati, MT selaku Ketua Jurusan Arsitektur

Universitas Udayana, dan pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian tulisan ini yang

tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Segala kritik

dan saran yang membangun, sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan selanjutnya.

Denpasar, Juli 2016

Penulis

Page 3: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

ABSTRAK

Desa Bayung Gede merupakan salah satu desa tradisional di Bali yang memilikikeunikan budaya dan lingkungan fisiknya. Pola desa Bayung Gede memiliki karakteristikpola desa pegunungan pada umumnya, tetapi mungkin pula memiliki kekhususan karenaunsur-unsur lokal terutama sosial budaya, yang sangat berpengaruh terhadap wujud poladesa.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan, disamping denganpengamatan dan dokumentasi serta wawancara dengan beberapa informan.

Pada pola desa Bayung Gede menunjukkan orientasi hulu-teben dengan arah kaja(gunung) sebagai hulu dan teben pada arah selatan (kelod) dengan filosofi arah kaja(gunung) lebih utama sebagai tempat beratananya Tuhan, para Dewa dan roh leluhur, danarah selatan sebagai tempat yang lebih nista. Tata guna lahan terbagi menjadi zone utamapada bagian hulu (kaja) sebagai zone tempat suci, zone madya pada bagian tengah sebagaizone hunian, dan zone nista pada bagian teben sebagai zone kuburan. Sirkulasi membentangdari utara ke selatan dengan filosofi keselarasan dengan alam, fisik desa yang membentangdari utara keselatan.

Kata Kunci: filosofi, pola desa,

Page 4: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

DAFTAR ISI

I . PENDAHULUAN…………………………………………………………………………….1

II. POLA-POLA DESA TRADISIONAL BALI………………………………………………. .2

2.1.Pola Pempatan Agung………………………………………………………………………..2

2.2.Pola Linier……………………………………………………………………………………3

2.3. Pola Desa di Pegunungan……………………………………………………………………5

III. POLA DESA BAYUNG GEDE……………………………………………………………..5

3.1. Orientasi …………………………………………………………………………………….5

3.2. Tata Guna Lahan ……………………………………………………………………………5

3.3. Pola Sirkulasi………………………………………………………………………………..7

IV. FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE………………………………………………...11

4.1. Filosofi Arsitektur Masyarakat Bali…………………………………………………………11

4.2. Filosofi Orientasi……………………………………………………………………………12

4.3. Filosofi Pola Tata Ruang……………………………………………………………………14

4.4. Filosofi Sirkulasi…………………………………………………………………………….17

V. KESIMPULAN………………………………………………………………………………18

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………19

Page 5: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

1

I . PENDAHULUAN

Desa Bayung Gede merupakan salah satu desa tradisional di Bali yang secara

geografis berada di daerah pegunungan. Aspek yang menarik adalah wujud lingkungan

fisiknya dan keunikan budaya, yang tercermin dalam kehidupan sehari – harinya.

Menurut Habraken(1976), tatanan fisik permukiman merupakan suatu kesatuan sistem

yang terdiri dari :

a. Spatial system: sistem yang berkaitan dengan organisasi ruang mencakup hubungan

ruang, orientasi, pola hubungan ruang dan sebagainya.

b. Physical system: sistem konstruksi dan penggunaan material

c. Stylistic system: Kesatuan yang mewujudkan bentuk, meliputi: bentuk fasade, bentuk

pintu, bentuk jendela, serta unsur-unsur ragam hias didalam atau diluar bangunan.

Salah satu wujud spatial system lingkungan fisik adalah pola desa. Pola desa dipegunungan

memiliki karakteristik yang khas yang terlihat dari adanya pemilahan tipologi perdesaan di

Bali (Greetz dalam Parimin:1986) kedalam perdesaan Bali aga dan Bali dataran.

Rapopot (1969) mengemukakan hipotesisnya bahwa bentuk perumahan tidaklah

sederhana, terjadi hanya akibat pengaruh kekuatan fisik semata atau disebabkan oleh hal yang

berdiri sendiri, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sosial budaya. Bayung Gede

sebagai desa di pegunungan, mungkin memiliki karakteristik perdesaan Bali Aga secara

umum tetapi mungkin pula memiliki kekhususan terutama dalam hal pola desa dimana unsur-

unsur lokal terutama sosial budaya, akan sangat berpengaruh terhadap wujud pola desa.

Adapun permasalahan yang ingin dijawab adalah : apakah filosofi pola Desa Bayung

Gede menyangkut orientasi, tata guna lahan dan sirkulasi.

Penulisan ini bertujuan untuk menggali filosofi yang terkandung pada pola Desa

Bayung Gede sebagai suatu kearifan lokal untuk menambah wawasan kita tentang pola desa

tradisional Bali.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan, disamping dengan

pengamatan dan dokumentasi terhadap pola Desa Bayung Gede serta wawancara dengan

beberapa informan. Metode analisa dilakukan dengan pendekatan deskriptif rasionalistik.

Page 6: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

2

II . POLA-POLA DESA TRADISIONAL BALI

Pola desa tradisional Bali adalah pola desa adat yang sekarang disebut juga desa

pekraman. Menurut Alit (1997), desa di Bali memiliki pengertian sebagai suatu areal

geografis, dengan batas-batas tertentu yang berfungsi sebagai wadah kehidupan bagi

masyarakat yang diatur menurut pranata yang telah dibuat dan diberlakukan bagi keseluruhan

anggota masyarakat. Didalam pranata desa terdapat adanya hak , kewajiban, serta sangsi-

sangsi, yang dijalankan para pemimpin desa. Di Bali desa yang dibentuk oleh masyarakat

yang tergabung dalam satu kesatuan adat-istiadat yang disebut desa adat atau desa pekraman.

Sebagai ciri suatu desa adat/desa pekraman adalah kehidupan sosial masyarakat berhubungan

erat dengan keagamaan (Hindu), yang tercermin dalam kegiatan keagamaan , maupun suka

duka. Secara fisik pola desa terdiri dari parahyangan, pawongan dan palemahan.

Parahyangan adalah areal yang diperuntukkan untuk bangunan suci (pura), pawongan adalah

adanya warga desa dengan huniannya, dan palemahan berupa areal desa sebagai tempat

bertani, berkebun dengan batas-batas gografis tertentu.

Menurut Gelebet (1986) pola-pola perkampungan (desa) di Bali dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Faktor tata nilai ritual yang menempatkan zone sakral di bagian

kangin(timur) arah terbitnya matahari sebagai arah yang diutamakan. Faktor kondisi dan

potensi alam , nilai utama pada arah gunung dan kearah laut dinilai lebih rendah. Sebagai

gambaran akan diuraikan beberapa pola desa tradisional Bali.

2 . 1. Pola Pempatan Agung

Di Bali pola perkampungan (desa) umumnya berpola pempatan agung yaitu pola

dengan jalan utama menyilang desa, timur dan barat serta utara dan selatan membentuk silang

perempatan sebagai pusat desa. Balai banjar sebagai pelayanan sub lingkungan, menempati

keempat arah sisi desa dengan jalan-jalan sub lingkungan sebagai cabang-cabang jalan utama.

Di pempatan agung sebagai pusat lingkungan pura Desa dan Pura puseh atau puri

menempati zone kaja kangin, balai banjar atau wantilan desa menempati zone kaja kauh,

lapangan desa menempati zone kelod kangin dan zone kelod kauh ditempati oleh pasar desa.

Page 7: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

3

Kuburan desa ditempatkan diluar desa pada arah kelod atau kauh yang merupakan zone

dengan nilai lebih rendah (Gelebet, 1986).

Gambar 1. Pola desa Pempatan AgungSumber : N. Gelebet dalam Budiharjo,

Architectural Conservation in Bali, 1990:57

2 . 2 . Pola linier

Menurut Gelebet (1986), beberapa desa di Bali berpola khusus yaitu: plasa di desa

Tenganan, plasa dengan lingkar sisi (desa Julah), plasa dengan lorong-lorong dari plasa

kearah tepi (desa Bugbug) dan lain-lain. Menurut Budiharjo (1990) , pola ini dikelompokkan

kedalam pola linier yang merupakan bentuk yang sederhana dari pola desa di Bali , biasanya

ditemukan pada pola-pola desa di perbukitan atau pegunungan. Pola linier banyak muncul

pada permukiman tradisional Bali yang merupakan peninggalan jaman Bali aga. Pola ini

mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

suci(utama), daerah tengah merupakan unit hunian (madya) dan daerah teben merupakan

daerah nista yang biasanya diperuntukkan untuk daerah kuburan.

Page 8: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

4

Gambar 2. Pola Desa LinierSumber : Budiharjo, Architectural Conservation in Bali,1990:57

Gambar 3. Variasi pola desa linierSumber: Parimin, Fundamental StudyOn spatial Formation of Island Village:

Environmental Hierarcy of Sacred Frofan ConceptIn Bali, 1986:91

Page 9: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

5

2 . 3 . Pola Desa di Pegunungan

Pola desa dipegunungan umumnya cenderung berorientasi ke arah puncak gunung ,

lintasan jalan-jalan yang membentuk pola lingkunan disesuaikan dengan transis, lokasi,

kemiringan dan lereng-lereng alam. Orientasi pada arah yang lebih tinggi pada zone masing-

masing, atau puncak tertinggi sebagai orientasi bersama. Tempat suci bersama atau tempat

suci untuk pemujaan pada masing-masing keluarga ditempatkan pada bagian yang lebih

tinggi atau kearah orientasi bersama. Lokasi yang berlereng kesegala arah menjadikan

orientasi tempat suci tidak hanya kearah kaja atau kangin (Gelebet, 1986).

III . POLA DESA BAYUNG GEDE

3 . 1. ORIENTASI

Di Desa Bayung Gede ada dua orientasi penting, yaitu arah utara (kaja) -

selatan(kelod) dan timur - barat, yang menurut Jero Mangku Kendri, arah utara (kaja)

merupakan arah yang lebih suci/utama karena diutara/kaja menurut leluhur mereka terdapat

gunung Toh Langkir (gunung Agung), Gunung Nerajong (Bukit Penulisan), dan Gunung

Lebah (Gunung Batur) dimana gunung ini dipercayai sebagai tempat payogan Ida Betara,

sedangkan makin keselatan (kelod/kearah laut) dianggap zone nista. Arah timur (kangin)

dianggap lebih utama karena arah timur merupakan arah terbitnya matahari (Betara Surya)

dan arah barat arah tenggelamnya matahari merupakan zone nista.

3 . 2. TATA GUNA LAHAN

Desa Bayung Gede merupakan desa Bali aga yang merupakan bagian dari

peninggalan jaman Bali kuno, yang pusat-pusat permukiman dan pemerintahannya berada

pada daerah pedalaman atau pegunungan dan penghidupan masyarakatnya sebagian besar

sebagai petani dan peternak (Dwijendra dan Manik, 2007). Desa Bayung Gede terletak di

daerah pegunungan (Gunung Batur) yang membentang dari utara ke selatan dengan

Page 10: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

6

kemiringan yang cukup tajam kearah selatan, dan pada arah utara adalah Gunung Batur. Luas

Desa Bayung Gede ± 11.81 ha dengan tata guna lahan sebagai berikut (lihat tabel 1).

Tabel 1. Tata Guna Lahan Pada lingkungan Perumahan Tradisional

No. Tata Guna Lahan Luas

1 Rumah/Pekarangan 7,62 Ha

2 Jalan 1,76 Ha

3 Pura 0,84 Ha

4 Pekuburan 0,14 Ha

5 Lain-lain 1,45 Ha

Jumlah 11,81 Ha

Sumber : Hasil Pemetaan Dinas PU Tahun 2006(dalam Gaharu Sempana,2007)

Disamping lahan perumahan dan lingkungannya terdapat pula tegalan seluas 512 Ha

(monografi desa, 2006 dalam Dwijendra dan Manik 2007).

Dari tata guna lahan yang ada dilingkungan perumahan , dapat dikelompokkan

kedalam tiga zone pokok yaitu : zone utama / hulu, yang terdapat pura : Pura Bale Agung,

Pura puseh, Pura Pasek Gelgel, Pura Penyimpenan, Pura Panti Kayu Selem, Pura Ibu, Pura

Tangkas, Pura Puseh Pingit dan Tegal suci , pada zone madya di bagian tengah terdapat

pekarangan rumah, bale banjar, bale kulkul, karang sisian (Zone perumahan yang

diperuntukkan bagi orang yang melakukan pelanggaran adat, antara lain menikahi kerabat

seperti sepupu misalnya) dan pada zone nista / teben terdapat Setra ari-ari, Setra Anak, Setra

Gede, Pura Pelampuan, Pura Dalem, dan Setra Pengerancab.

Page 11: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

7

Keterangan :1 . Pura Bale Agung2 . Pura Puseh Pingit3 . Pura Tangkas4 . Tegal Suci5 . Pura Pasek Gelgel6 . Bale Banjar7 . Bale Kulkul8 . Karang Sisian9 . Setra Ari-ari10. Pura Dalem11. Setra Gede,Setra Anak12. Setra Pengerancab

Zone utama / tempat suci

Zone madya/ pekarangan asli

Zone madya/pekaranganpengembangan

Zone nista/ kuburan

Gambar 4. Pembagian zone pada lingkunganperumahan tradisional

3 . 3 . POLA SIRKULASI DESA BAYUNG GEDE

Pola jaringan jalan yang membentuk lingkungan perumahan tradisional Desa Bayung

Gede terdiri dari jalan utama dari arah utara (Pura Bale Agung) kearah selatan menuju setra

(Setra ari-ari , Setra gede dan Setra anak-anak). Disamping jalan utama ini yang juga

berfungsi sebagi core(pusat) ada juga jalan-jalan kecil / gang-gang kearah utara selatan dan

juga timur barat . Selain jalan utama tersebut terdapat juga jalan besar lainnya yaitu dari Pura

Bale Agung ke timur menuju pura Puseh Pingit dan kebarat menuju SD.

123

45

67

8

9

101112

U

Page 12: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

8

Jalan utama (rurung gede)

Jalan kecil (gang) untukpencapaian ke pekarangan

Gambar 5. Pola sirkulasi

Pola kehidupan bertani dan berladang menyebabkan masyarakat lebih banyak

menghabiskan waktunya di ladang atau kebun, sehingga pergerakan setiap harinya

kebanyakan hanya pergerakan anak-anak kecuali kalau ada upacara adat. Adapun rute jalan /

rurung untuk perjalanan ritual adalah sebagai berikut:

Bila menyambut tamu dari 28 desa yang terkait dengan upacara piodalan, diterima di

pempatan (dengan upacara penyambutan) disebelah utara Pura Bale Agung, masuk ke jalan

suci (sebelah timur pempatan) melewati tegal suci , menuju jaba Pura Bale Agung, dan

Page 13: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

9

masuk ke Pura Bale Agung. Ketika mengantar tamu pulang , keluar dari Pura Bale Agung

menuju ke jaba Pura, ke rurung Gede, ke pempatan dan pulang ke desa masing-masing.

Gambar 6. Sirkulasi Tamu(terkait dengan upacara piodalan)

Poros/core rurung gede dari Pura Bale Agung menuju kearah selatan sampai di Pura

Pelapuan dipakai medeheng teruna-teruni untuk upacara ritual lainnya.

Gambar 7. Sirkulasi medeheng

Pura Bale Agung

Peyambutan

Pura Puseh Pingit

Pura pelapuan

Pura Bale Agung

pulangPempatan

Pura Bale Agung

Sirkulasi medeheng

Page 14: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

10

Upacara penguburan mayat prosesnya yaitu kalau ada yang meninggal mayatnya

ditempatkan di paon(dapur), setelah mendapat upacara pembersihan mayat dibawa kekuburan

dengan diusung diatas asagan oleh 4 orang, melalui rurung gede menuju ke setra. Kemudian

dilakukan bea tanem yaitu penguburan mayat (tidak ada pembakaran mayat).

Gambar 8. Sirkulasi penguburan

Upacara mianin yaitu upacara sejenis ngaben yang dilakukan dengan pembakaran

adegan, jalurnya adalah dari rumah melaui rurung gede, adegan (disebut cangku) dan sarana

upacara lain dibawa ke Pura Bale Agung, kemudian dibawa ke Tegal Suci untuk diupacarai.

Cangku diprelina dengan berbagai bantennya, sebagian sarana upacaranya(sagi) dibawa oleh

teruna-nya saja ke setra dan di setra dilakukan upacara sesuai dengan drestanya.

Jalan utama

Jalan kecil (gang)

Setra Gede, Setra Anak,Setra Penyampingan .

Use the Text BoxTools tab tochange theformatting of thepull quote textbox.]

Pura Bale Agung

Page 15: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

11

Gambar 9. Sirkulasi pengantaran Bakti

IV . FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE

4 . 1. FILOSOFI ARSITEKTUR MASYARAKAT BALI

Dalam upaya penelusuran filisofi pola desa Bayung Gede perlu ditinjau dulu filosofi

arsitektur masyarakat Bali secara umum karena meskipun desa Bayung Gede merupakan desa

Bali aga (Dwijendra dan Manik, 2007) , tetapi dalam perkembangannya banyak dipengaruhi

oleh unsur-unsur dalam perkembangan agama Hindu di Bali berikutnya, seperti adanya

Kayangan Tiga(Pura Puseh, Pura desa dan Pura Dalem), adanya pura panti Pasek Gelgel,

Pura Pasek Kayu Selem dan Pura Tangkas. Hal ini menunjukkan permukiman di Desa

Bayung Gede telah mengalami perkembangan .

Masyarakat Bali pada umumnya memiliki jiwa keagamaan (Hindu) dan segala

filosofis diturunkan dari ajaran Hindu seperti mengenai Tuhan, manusia dan Alam. Dalam

Upadesa (dalam Alit, dkk, 1997) Tuhan adalah Ia yang maha kuasa sebagai pencipta,

pemelihara dan pelebur segala yang ada di alam ini. Kekuatan manusia dalam

menggambarkan Tuhan sangat terbatas, maka para maha resi memberikan sebutan dengan

banyak nama menurut sinar sucinya beserta fungsinya yaitu : Brahma , Wisnu dan Ciwa.

Dewa Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Ciwa sebagai pelebur. Tuhan

menciptakan manusia yaitu makhluk yang mampu berfikir dan menggunakan pikirannya

Tegal suci

Pura Puseh Pingit

Jalur pengantaran sagi

Setra

[Typ

e a

quot

e

from

the

docu

men

t or

the

sum

mary

of an

inter

estin

g

poin

t.

You

can

posit

ion

the

text

box

any

wher

e in

the

docu

men

Jalur pengantaran bakti

ype a quote from

the document or

the summary of

an interesting

point. You can

position the text

box anywhere in

the document.

Use the Text Box

Tools tab to

change the

formatting of the

pull quote text

box.]

Pura Bale Agung

Page 16: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

12

dalam meningkatkan kehidupanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan memiliki unsur-unsur

yang sama dengan alam yaitu panca maha bhuta. Panca maha butha yang berada di alam

besar (macrocosmos) membentuk tri loka (bhur loka, bhwah loka dan swah loka) sedangkan

pada alam kecil (microcosmos) membentuk stula sarira (badan kasar), suksma sarira (badan

halus) dan anta karana sarira ( badan penyebab) . Tubuh manusia memiliki susunan : kepala

(utama angga), badan (madya angga), dan kaki (nista angga). Berdasarkan bagian – bagian

tubuh manusia dapat diambil ukuran dasar yang dipergunakan sebagai sikut (ukuran) dalam

membangun yang kelipatannya disesuaikan dengan pola gerak alam semesta seperti silklus

wewaran (Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma). Selanjutnya diuraikan bahwa

alam (bhuana) juga memiliki unsur-unsur panca maha bhuta seperti : air (apah), angin

(bayu), panas (teja), zat padat (pertiwi), dan ether (akasa). Dengan demikian alam memiliki

hakekat sama dengan manusia yaitu panca maha bhuta. Jadi secara filosofis manusia

memiliki unsur yang sama dengan alam dan kehidupan memerlukan keserasian antara

bhuana alit dan bhuana agung serta penciptanya yang disebut tri hita karana.

Disamping tri hita karana , juga ada rwa bhineda yang dalam lontar asta kosali

(dalam Oka, 2004) dikatakan Ang-Ah adalah aksara yang merupakan suara burung merdu,

huruf Ang adalah simbol dari Sang Hyang Prajapati, sedangkan Ah adalah simbol dari

Bhagawan Wiswakarma. Filosofi rwa bhineda ini kemudian diimplementasikan dalam

konsep hulu-teben.

4 . 2. FILOSOFI ORIENTASI

Menurut Sularto (1987) orientasi memegang peranan penting dalam kehidupan , yang

menunjukkan setiap tahap dari kemajuan . Segala sesuatu dalam kehidupan memiliki tujuan

(orientasi), dalam arah tertentu. Orientasi dapat menciptakan keharmonisan antara manusia

sebagai microcosmos dangan alam sebagai macrocosmos. Selanjutnya menurut Alit dkk

(1997), manusia memerlukan pegangan agar mereka mengenal arah, oleh karena itu mereka

memerlukan pegangan berupa orientasi. Orientasi berangkat dari nilai yang bersifat magis

melalui suatu simbol tapak dara, yang disempurnakan menjadi swastika. Orientasi

merupakan suatu sikap yang tegas ditengah – tengah cosmos yang serba tidak terbatas . Hal

ini telah melahirkan suatu tata nilai ruang: kangin-kauh simbol sumbu spiritual aktifitas

keagamaan , kaja-kelod sumbu bumi aktifitas kemanusiaan , atas-bawah , alam dewa,

manusia dan bhuta. Sulistyawati dkk (dalam acwin,2003), menyatakan bahwa falsafah tri hita

Page 17: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

13

karana memberikan turunan konsep ruang yang disebut tri angga yaitu utama angga, madya

angga, dan nista angga dalam alam semesta, bhur, bhwah , swah, pada manusia kepala,

badan , kaki, yang memberikan arahan tata nilai secara vertikal yaitu hulu-teben yang

memiliki orientasi antara lain: 1) berdasarkan sumbu bumi: kaja (gunung)-kelod(laut). 2) arah

kangin (terbitnya matahari) – kauh (arah terbenamnya matahari). Tata nilai berdasarkan

sumbu bumi memberikan nilai utama pada arah kaja (gunung) dan nilai nista pada arah kelod

(laut), sedangkan berdasarkan sumbu matahari nilai utama pada arah matahari terbit dan nilai

nista pada arah matahari terbenam.

Orientasi pada pola desa Bayung Gede adalah menurut sumbu bumi yaitu nilai utama

pada arah kaja (gunung) dan nilai nista pada arah kelod (laut) dimana menurut Jro Mangku

Kendri, arah kaja (utara) utama karena kaja (gunung) adalah suci karena merupakan tempat

payogan ida betara. Diutara menurut mereka adalah Gunung Toh Langkir/Gunung Agung

(padahal Gunung Agung letaknya dari Bayung Gede tidak diutara, mereka tidak bisa

menyebutkan alasannya), Gunung Nerajong (Bukit Penulisan) dan Gunung Lebah ( Gunung

Batur). Dan zone nista adalah kearah laut (kelod/selatan). Dalam pola desa yang lama (

sebelum tahun 1970-an, (menurut tokoh desa Wayan Suwela) pada bagian hulu(utara)

terdapat pura Bale Agung dan yang lainnya, pada bagian tengah terdapat permukiman dan

pada bagian paling selatan (teben) terdapat setra(kuburan). Jadi tidak terlihat penerapan

secara nyata orientasi timur barat, meskipun mereka menganut nilai orientasi timur barat,

dengan arah timur merupakan arah utama karena arah timur merupakan arah terbitnya

matahari (menurut mereka Bhatara Surya), ini juga terlihat pada orientasi pekarangan

mereka, zone tempat suci mereka tidak sama dengan orientasi bersama mereka yaitu arah

kaja (utara ), tempat suci mereka terdapat pada zone yang berjauhan dari pintu masuk

pekarangan dan berada pada arah utara, timur dan barat. Yang menarik bahwa tidak ada

tempat suci yang berada diarah selatan. Hal ini menjadi sangat menarik karena pada

masyarakat desa (tradisional) pada umumnya mereka sangat taat pada nilai-nilai yang mereka

anut, apalagi yang terkait dengan ideologi seperti yang dikemukakan oleh Sukanto (1990)

yaitu: kehidupan warga di perdesaan cenderung kearah agama (religious trend), juga menurut

Soelaeman (1995) bahwa penduduk yang hidup di desa akan banyak ditentukan oleh

kepercayaan-kepercayaan, dan hukum-hukum alam seperti dalam pola berfikir dan falsafah

hidupnya. Orientasi pekarangan di Desa Bayung gede terlihat tidak sama dengan orientasi

bersama mereka (orientasi pada pola desa), menurut mereka yang mentoleransi orientasi

Page 18: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

14

pekarangan mereka adalah adanya arca catur muka (arca berkepala empat menghadap

keempat arah mata angin) yang dulu tersimpan di Pura Ibu (telah lenyap saat bencana

Gunung Agung meletus) yang menurut tetua mereka mengandung filosofi bahwa keempat

arah yang ada memiliki nilai yang setara. Hal ini terlihat sebagai hal yang mentoleransi

keberadaan tempat suci pada pekarangan mereka pada ketiga arah sesuai dengan apa yang

dikatakan Jro Mangku Kendri kecuali selatan, tidak ada pekarangan yang memiliki tempat

suci diarah selatan karena arah selatan berlawanan dengan orientasi bersama. Orientasi timur

bagi mereka juga merupakan utama terlihat dalam persembahyangan mereka menghadap ke

timur dan ke utara, jadi masih terlihat dalam penataan tempat pemujaan mereka, di dalam

areal tempat suci.

Orientasi pada pola desa Bayung Gede memiliki filosofi arah utara(kaja) / gunung /

tempat yang lebih tinggi sebagai tempat berstananya para dewa, tempat yang lebih utama dan

arah selatan(kelod) / laut / tempat yang lebih rendah, alamnya makluk yang lebih rendah,

tempat yang lebih nista.

KONSEPSI ARAH DALAM POLADESA

Gambar 10. Arah orientasi

4. 3. FILOSOFI POLA TATA RUANG

Sampai saat ini belum ditemukan sumber tertulis mengenai filosofi tata ruang di Desa

Bayung Gede, untuk itu perlu ditinjau filosofi tata ruang pada desa-desa di Bali secara umum

untuk dapat menelusuri filosafi pola tata ruang Desa Bayung Gede. Menurut Alit (2004) ciri

khas permukiman adat (desa adat) di Bali adalah daerah tinggi (gunung, bukit) sebagai daerah

hulu/luan dan area rendah sebagai hilir/teben. Ciri khas pola rumah tinggal dari unit terkecil

sampai pola-pola permukiman skala regional diteladani dari kondisi geografis alam Bali

KAJA/GUNUNG

DATARAN

KELOD/LAUT

[Type a

quote from

the

document

or the

summary

of an

interesting

point. You

can

position

the text

box

anywhere

in the

document.

MADYA

UTAMA

NISTA

KONSEPSI ARAH ORIENTASI RUANG

Page 19: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

15

dimana deretan bukit dan gunung yang membelah Bali menjadi bagian selatan dan bagian

utara ikut membentuk tatanan mereka bermukim. Tatanan dan pola tradisi mereka bermukim

dilandasi konsep tri hita karana yang mendudukkan parahyangan, pawongan dan palemahan

secara serasi dan harmonis dalam pola permukimannya. Pada pola desa pegunungan

cerminan polanya tampak berkonotasi dualistik (luan - teben, Kiwa - tengen), faktor geografis

memberikan peranan penting dalam pola permukimannya. Tanah desa yang bertofografi

bervariasi, yang terdiri dari tanah landai, bukit, jurang memberikan pengaruh sehingga pola

permukiman linier diterapkan mengikuti transis. Menurut Dwijendra (2003) juga

menyebutkan bahwa tri hita karana melandasi terwujudnya susunan cosmos dari yang makro

(alam semesta/bhuana agung) sampai hal yang paling mikro yaitu (buana alit/manusia).

Dalam alam semesta jiwa adalah parama atma (Tuhan yang Maha Esa), tenaga adalah

berbagai kekuatan alam dan jasad adalah panca maha bhuta. Dalam perumahan jiwa adalah

parahyangan / Tuhan, tenaga adalah pawongan/masyarakat, dan jasad adalah

palemahan/wilayah desa. Pada manusia jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda, bayu, idep

dan jasad adalah tubuh manusia. Keharmonisan ketiga unsur ini menurunkan konsep tri

angga: Utama angga, madya angga, nista angga atau kepala, badan, kaki. Dalam pola desa

tempat suci merupakan kepala/utama, perumahan penduduk merupakan badan/madya dan

kuburan merupakan daerah nista/kaki. Menurut Oka (2004) pola - pola desa kuno di Bali

yang umumnya terdapat di daearah pegunungan cenderung berpola linier yaitu dimana desa

dibelah oleh jalan desa dari utara keselatan seperti di desa Penglipuran Bangli dan Desa Julah

Buleleng.

Pola tata ruang di desa Bayung Gede pada awalnya terbagi atas tiga zone tata ruang

dimana pada bagian paling utara/kaja (daerah paling tinggi) merupakan zone utama dimana

pada zone ini terdapat Pura Bale Agung dan dan Pura Puseh Pingit. Juga terdapat Tegal Suci

yang berfungsi sebagai tempat upacara mianin yang menurut Wayan Suwela lokasi tegal suci

berada di zone utama karena, meskipun sebagai tempat upacara mianin (sejenis ngaben)

tetapi yang diupacarai adalah pitra yang sudah dianggap suci.

Pada bagian tengah disebelah selatan zone utama terdapat areal permukiman pada

zone madya beserta bale banjar , bale kulkul dan karang sisian, daerah ini secara tofografis

berada pada posisi yang lebih rendah dari zone utama . Balai banjar dan balai kulkul berada

di jalan utama (rurung gede) di jaba pura Bale Agung, yang menurut Wayan Suwela posisi

Page 20: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

16

ini dipilih adalah berdasarkan kesepakatan bersama warga, supaya memudahkan pencapaian

dari seluruh tempekan yang ada yaitu : tempek Susut, tempek Kangin, tempek Abuan dan

tempek Kaja (merupakan areal pengembangan). Pada bagian paling selatan areal permukiman

terdapat karang sisian yang merupakan areal permukiman bagi yang melanggar aturan adat,

ditempatkan pada bagian lebih di teben dari permukiman biasa.

Kuburan dan Pura Dalem teletak pada zone nista yang secara tofografis

kedudukannya adalah paling rendah. Yang berbeda dengan desa yang berpola sejenis adalah

adanya Setra Pengerancab pada bagian paling rendah (dipinggir sungai) , setra ini berfungsi

untuk penguburan warga desa yang meninggal secara tidak wajar seperti bunuh diri dan

dikuburkan tanpa diupacarai. Menurut Wayan Suwela lokasi ini erat kaitannya dengan

mitologi jaman dulu tentang seorang warga desa yang bersalah dan terbunuh dan

dimakamkan disini, kebenaran dari mitologi ini masih belum dapat dipastikan. Lokasi ini

berada di zone nista dan secara tofografis daerah ini merupakan daerah yang paling rendah

karena berada ditepi sungai. Jadi kalau diamati pola desa lama terlihat ada kemiripan dengan

pola-pola desa Bali Aga yang menganut pola hulu- teben dengan filosofi keselarasan antara

micro cosmos (desa) dan macro cosmos (kawasan/pulau Bali).

Kalau dilihat tata guna lahan yang sekarang terlihat bahwa zone permukiman juga

terdapat dibagian utara (kaja) desa, disebelah barat pura Bale Agung. Menurut Wayan

Suwela pengembangan permukiman ini terjadi sekitar tahun 1970-an karena pertambahan

warga desa sehingga memerlukan pekarangan baru . Lokasi ini mulanya adalah merupakan

laba (aset) milik daha teruna yang direlakan untuk dijadikan permukiman.

Tata guna lahan pada mulanya Tata guna lahan sekarang

Madya/badan/permukiman

Utama/kepala/t. suci

Madya/badan/permukiman

Nista/kaki/kuburan

Utama/kepala/t.suci

Madya/badan/permukiman

Nista/kaki/kuburan

Page 21: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

17

Gambar 11. Konsep tata guna lahan

Pada tata guna lahan yang sekarang terlihat bahwa perkembangan permukiman diarah

barat yang diakibatkan terbatasnya lahan permukiman menunjukkan kebijaksanaan yang

telah dimiliki oleh leluhur mereka yaitu konsep catur muka dan konsep permukiman nabuan

yaitu pengaturan permukiman disesuaikan dengan situasi dan ketersediaan lahan (menurut

Jro Mangku Kendri).

Filosofi tata guna lahan yaitu di hulu diletakkan tempat suci sebagai tempat pemujaan

Tuhan, Dewa, Pitara, yaitu pada bagian kaja (utara)/arah gunung/tofografi yang lebih tinggi ,

bagian tengah sebagai tempat pekarangan tempat tinggal manusia dan paling selatan (kelod),

tofografi paling rendah adalah kuburan, tempat jasad orang yang sudah meninggal.

4 . 4. FILOSOFI SIRKULASI

Kalau dilihat kondisi desa sebelum pengembangan areal permukiman (sebelum

tahun1970-an) terlihat bahwa sirkulasi terdiri dari jalan utama (rurung gede) dan jalan kecil

(gang) yang sebagian besar memanjang dari utara keselatan. Menurut Wayan Suwela (2008)

tetua mereka memandang munduk (bumi) membentang dari utara (kaja) ke selatan

(kelod/laut) munduk (juga berarti jalan) juga membentang dari utara ke selatan, Desa Bayung

Gede secara fisik juga membentang dari utara keselatan sedangkan pekarangan sebagian

besar memanjang timur-barat dengan kata lain pekarangan posisinya megat munduk (dalam

posisi melintang jalan) supaya tidak boros (meskipun belum bisa dibuktikan). Kalau dilihat

jalan yang ada dengan kondisi memanjang utara selatan merupakan jalur yang penting untuk

menghubungkan tempat suci, permukiman dan setra terkait dengan prosesi upacara terutama

upacara penguburan dan mianin.

Secara umum ada dua jalan masuk ke desa, yaitu yang disebelah barat merupakan

jalan masuk yang digunakan sehari-hari dan jalan suci disebelah timur melewati tegal suci

untuk kegiatan upacara agama. Hal ini memilki filosofi tentang pembedaan antara aktifitas

yang berhubungan dengan manusia dan aktifitas yang berhubungan dengan Tuhan, Dewa

atau Pitara.

Page 22: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

18

Secara geografis Desa Bayung Gede terletak di punggung bukit memanjang dari utara

ke selatan dikelilingi jurang, dimana disebelah timur terdapat sungai Cau-cau, disebelah barat

sungai pludu , kedua sungai ini bertemu disebelah selatan desa. Desa terletak pada bagian

yang landai dengan kemiringan kearah selatan. Dengan jalan memanjang utara-selatan, lahan

yang tersedia sempit dengan pekarangan memanjang timur barat maka pembagian lahan

sangat efisien disamping tidak banyak memerlukan cut and fill . Hal ini sebagai cerminan

filosofi keselarasan dengan alam secara fisik dalam hal ini kondisi tofografis.

V . KESIMPULAN

Orientasi pada pola desa bayung Gede memiliki filosofi arah utara(kaja) / gunung /

tempat yang lebih tinggi sebagai tempat berstananya para dewa, tempat yang lebih utama dan

arah selatan(kelod) / laut / tempat yang lebih rendah, tempat yang lebih nista .

Orientasi pada pola pekarangan rumah tidak sama dengan orientasi pada pola desa

namum tidak bertentangan. Hal ini menunjukkan filosofi keserasian antara bhuana alit dan

bhuana agung, yaitu keserasian antara pola pekarangan dan pola desa.

Filosofi tata guna lahan yaitu di hulu diletakkan tempat suci sebagai tempat pemujaan

Tuhan, Dewa, Pitara, yaitu pada bagian kaja (utara)/arah gunung/tofografi yang lebih tinggi ,

bagian tengah sebagai tempat pekarangan tempat tinggal manusia dan paling selatan

(kelod/teben), tofografi paling rendah adalah kuburan, tempat jasad orang yang sudah

meninggal. Hal ini selaras dengan tri loka yaitu, bhur loka : sebagai alam bawah(nista),

bhwah loka : sebagai dunia manusia(madya) dan swah loka: alamnya dewa (utama).

Jalan masuk desa ada dua yaitu : jalan masuk disebelah barat digunakan untuk

kegiatan sehari-hari dan jalan masuk disebelah timur (melalui tegal suci) digunakan sebagai

jalan untuk kegiatan ritual dengan filosofi pemisahan antara kegiatan manusia biasa dengan

kegiatan yang lebih suci terkait dengan upacara untuk Tuhan , Dewa dan leluhur.

Jalan – jalan membentang dari utara keselatan memiliki filpsofi keselarasan antara

bhuana agung yang membentang dari utara keselatan dari gunung ke laut dan desa / munduk

(yang berarti juga jalan) juga membentang dari utara ke selatan.

Page 23: FILOSOFI POLA DESA BAYUNG GEDE KABUPATEN BANGLIerepo.unud.ac.id/id/eprint/2934/1/fce2f00b3ef3c6b4dde805...mengacu pada orientasi arah hulu-teben, dimana daerah hulu merupakan kawasan

19

DAFTAR PUSTAKA

Alit, I.K.dkk. 1997. Arsitektur Masyarakat Bali dalam Berbhuana. Materi Pameran dalamrangka Pesta Kesenian Bali tahun 1997. Denpasar : Universitas Udayana.

Alit, I K. 2004. Morfologi Pola Mukiman Adati Bali. Jurnal Permukiman Natah. Vol.2. No.2.Agustus, 2004: 96-107.

Budiharjo, E. 1990. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gajah Mada UniversityPress.

Dwijendra, N.K.A. 2003. Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali. Jurnal PermukimanNatah. Vol.1. No.1. 1 Februari 2003: 8-24.

Dwijendra, N.K.A. dan Manik, I.W.Y. 2007. Transformasi Tipo-Morfologi Hunian di DesaBayung Gede, Bali. Makalah seminar Departemen P.U. Propinsi Bali.

Gaharu Sempana, PT. 2007. Penyusunan Rencana Tindak Revitalisasi LingkunganPerumahan Tradisional Desa Bayung Gede. Denpasar: Depatemen P.U. Propinsi Bali.

Gelebet,I. N. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikandan Kebudayaan.

Habraken. N.J. 1976. Variations: The Systemic Design at Support. Massachusetts: M.I.TCambridge.

Oka, I.G.B. 2004. Konsep Penataan Kawasan Suci Margi Agung Pura Besakih. JurnalPermukiman Natah. Vol.2. No. 2. Agustus 2004: 56-66.

Parimin, A.P. 1986. Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village:Environmental Hierarcy of Sacred-profane Consept in Bali. (desertasi) Japan: OsakaUniversity.

Rapopot, A. 1969. House Form and Culture. London: Pentice-Hall.

Sastrowardoyo, R.S. 2001. A Brief Introduction Traditional Architecture of Bali. Dalam :Salain P.R. editor. Robi Sularto dalam Untaian Kenangan. Denpasar: PT. Cipta Paduraksa.

Sulaiman, M.M. 1995. Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: PT.Eresco.

Sukanta, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.