Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

13
Filosofi Pajak Pertambahan Nilai Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Namun belum banyak yang mengenal filosofi di balik pengenaan PPN. Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk dalam kategori: (1) pajak objektif, (2) pajak atas konsumsi umum dalam negeri, dan (3) pajak tidak langsung. Menurut pakar PPN, Untung Sukardji, pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek pajak. PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat penghasilan tertentu. Siapa pun yang mengonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN, akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang atau jasa tersebut. Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama. Hal ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak Penghasilan (PPh), yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah. Saat ini, PPN memiliki peranan yang strategis dan signifikan dalam porsi penerimaan negara dari sektor perpajakan. Penerimaan PPN pada tahun 2010 adalah sebesar Rp.230,605 triliun, naik menjadi Rp.298,441 triliun pada tahun 2011, dan ditargetkan menjadi Rp.350,343 triliun di tahun 2012 ini, atau 34% dari total target penerimaan pajak tahun 2012 sebesar Rp.1.019,333 triliun. Pemerintah terus berupaya mencegah kebocoran penerimaan pajak dari sektor PPN, diantaranya dengan menerbitkan aturan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP) di tahun 2012 ini. Kebijakan ini diarahkan untuk mencegah penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya oleh PKP yang tidak bertanggung jawab. Hingga saat

description

PPN

Transcript of Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

Page 1: Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Namun belum banyak yang mengenal filosofi di balik pengenaan PPN. Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk dalam kategori: (1) pajak objektif, (2) pajak atas konsumsi umum dalam negeri, dan (3) pajak tidak langsung.

Menurut pakar PPN, Untung Sukardji, pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek pajak. PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat penghasilan tertentu. Siapa pun yang mengonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN, akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang atau jasa tersebut.

Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama.

Hal ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak Penghasilan (PPh), yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah.

Saat ini, PPN memiliki peranan yang strategis dan signifikan dalam porsi penerimaan negara dari sektor perpajakan. Penerimaan PPN pada tahun 2010 adalah sebesar Rp.230,605 triliun, naik menjadi Rp.298,441 triliun pada tahun 2011, dan ditargetkan menjadi Rp.350,343 triliun di tahun 2012 ini, atau 34% dari total target penerimaan pajak tahun 2012 sebesar Rp.1.019,333 triliun. Pemerintah terus berupaya mencegah kebocoran penerimaan pajak dari sektor PPN, diantaranya dengan menerbitkan aturan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP) di tahun 2012 ini. Kebijakan ini diarahkan untuk mencegah penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya oleh PKP yang tidak bertanggung jawab. Hingga saat ini, Dirjen Pajak telah mencabut status pengukuhan PKP terhadap 202.132 perusahaan. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan masyarakat lebih sadar, peduli serta mendukung target penerimaan pajak demi kelangsungan pembangunan nasional dan penyelenggaraan negara.

Pengertian PPN dan PPnBM dan Nilai TambahPajak pertambahan nilai atas barang dan jasa adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan

barang kena pajak di dalam daerah pabean Indonesia yang dilakukan oleh pengusaha, impor barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean Indonesia yang dilakukan oleh pengusaha, pemanfaatan barang kena pajak tidak terwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean Indonesia, pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean Indonesia, atau ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

PPN secara efektif mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 April 1985, walaupun berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Januari 1984. PPN ditetapkan dengan Undang- undang Nomor 18 Tahun 2000 merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen.

Page 2: Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa tanah, upah kerja, dan laba perusahaan adalah merupakan unsur nilai tambah. Jadi nilai tambah dapat diperoleh dalam kegiatan industri maupun perdagangan, bukan diperoleh dari perubahan bentuk atau sifat barang.

Nilai tambah dapat dirumuskan sebagai hasil penjumlahan unsur-unsur biaya dan laba dalam proses produksi atau distribusi barang atau jasa. Dalam dunia perdagangan nilai tambah dapat diketahui dari pengurangan harga jual dengan harga beli.

Pajak pertambahan nilai ditetapkan untuk mengganti peranan pajak penjualan, karena PPN tidak mengenal pengenaan pajak berganda. Hal ini dikarenakan jumlah PPN yang disetor kepada negara adalah selisih lebih antara PPN yang dipungut PKP dengan PPN yang dibayar ke PKP pada waktu membeli barang atau jasa. Selisih tersebut yang disetor ke kas negara adalah pajak yang dikenakan atas nilai tambah.

Pajak pertambahan nilai yang lebih menunjukkan sebagai identitas dari suatu sistem pemungutan pajak atas konsumsi daripada nama suatu jenis pajak, mengenakan pajak atas nilai tambah yang timbul pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi. Namun sebelum barang atau jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN telah dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan pajak secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode perolehan kembali pajak yang telah dibayar (kredit bayar) oleh Pengusaha Kena Pajak sehingga persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa panjang pendek jalur produksi atau distribusi tidak mempengaruhi persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen.

Dengan mengenakan PPN atas nilai tambah dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak maka kekhawatiran timbul efek pengenaan pajak berganda dapat dihindarkan. Adapun yang dimaksud dengan nilai tambah adalah suatu nilai yang merupakan hasil penjumlahan biaya produksi atau distribusi yang meliputi penyusutan, bunga modal, gaji, upah, sewa telepon, listrik serta pengeluaran lainnya dan laba yang diharapkan oleh pengusaha. Secara sederhana, nilai tambah di bidang perdagangan dapat juga diartikan sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli barang dagangan.

Pajak penjualan atas barang mewah merupakan pajak yang dikenakan atas penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean Indonesia dalam usaha atau pekerjaannya dan impor barang yang tergolong mewah.

PPnBM merupakan pungutan tambahan di samping PPN. PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu pada saat impor atau pada saat penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha kena pajak pabrikan. Penyerahan berikutnya tidak lagi dikenakan PPnBM. Hal ini membuat PPnBM tidak dapat dikreditkan, sehingga diperlakukan sebagai biaya. Dengan demikian pembayaran PPnBM oleh pengusaha kena pajak yang menerima penyerahan atau yang melakukan impor barang kena pajak yang tergolong mewah dapat dimasukkan ke dalam harga jual barang tersebut. Dalam hal barang kena pajak yang tergolong mewah diekspor, maka PPnBM yang telah dibayar pada saat perolehannya dapat diminta kembali atau direstitusi oleh wajib pajak.

Pengenaan PPnBM atas impor barang kena pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor barang kena pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja. Selain itu, pengenaan PPnBM terhadap suatu penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari bagian dari barang kena pajak tersebut telah dikenakan atau tidak dikenakan PPnBM pada transaksi sebelumnya.

Page 3: Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

Dari uraian di atas tampak bahwa walaupun yang membayar PPnBM adalah pengusaha kena pajak yang menerima penyerahan ataupun pihak yang melakukan impor kena pajak yang tergolong mewah sebenarnya pada akhirnya bukan mereka yang menanggung beban pajak tersebut. Karena PPnBM yang terutang tersebut pada akhirnya dimasukkan sebagai unsur biaya yang menambah harga barang maka yang menanggung beban pajak tersebut pada akhirnya adalah konsumen terakhir. Karena pembebanan pajak yang dapat digeserkan kepada pihak lain merupakan ciri dari pajak tidak langsung maka PPnBM merupakan salah satu jenis pajak tidak langsung yang saat ini diberlakukan di Indonesia.

Legal Karakter Pajak Pertambahan Nilai (PPN)Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai

dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya. Berikut adalah legal karakter dari Pajak Pertambahan Nilai :

1. PPN adalah pajak tidak langsung

PPN ditinjau dari sudut ilmu hukum yaitu suatu jenis pajak yang menempatkan kedudukan pemikul beban pajak dengan kedudukan penanggung jawab pembayaran pajak ke kas Negara pada pihak-pihak yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk melindungi pembeli atau penerima jasa dari tindakan sewenang-wenang negara (pemerintah).

2. PPN adalah pajak objektif

Sebagai pajak objektif mengandung pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak di bidang PPN sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. PPN tidak mempertimbangkan kondisi subjektif subjek pajak. Hal ini menimbulkan dampak regresif. Regresivitas PPN mengandung pengertian, semakin tinggi kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul. Untuk mengurangi regresivitas PPN adalah dengan diberlakukannya PPnBM (Pajak Penjualan Atas Barang Mewah) sebagai pendamping PPN.

3. PPN bersifat Multi Stage Levy

Multi Stage Levy mengandung pengertian bahwa PPN dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. PPN dikenakan berulang-ulang pada setiap mutasi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Meskipun demikian,PPN tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (non kumulasi).

4. Penghitungan PPN terutang untuk dibayar ke kas negara menggunakan Indirect Substraction Method

Indirect Substraction Method adalah metode penghitungan PPN yang akan disetor ke kas negara dengan cara mengurangkan pajak atas perolehan dengan pajak atas penyerahan barang dan

Page 4: Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

jasa. UU PPN Indonesia menganut indirect subtraction method. Persyaratan mutlak dari metode ini adalah adanya Faktur Pajak. Dalam hukum pajak, kegiatan mengurangkan pajak dengan pajak dinamakan “taxcredit”, oleh karena itu metode ini juga dinamakan credit method yaitu mengkreditkan pajak yang dibayar kepada penjual atau pengusaha jasa yang dinamakan “Pajak Masukan” dengan pajak yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan Pajak Keluaran.

5. PPN bersifat non kumulatif

Sifat non kumulatif dari Pajak Pertambahan Nilai terletak pada mekanisme pemungutannya yang dikenakan pada Nilai Tambah (Added Value) dari Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak dan tidak diperhitungkan di akhir tahun. Diharapkan dengan sifat seperti ini akan mengurangi hasrat para wajib pajak untuk menghindari bahkan menyelundupkan Pajak Pertambahan Nilai yang menjadi kewajibannya. Nilai tambah adalah penjumlahan unsur-unsur biaya dan laba dalam rangka proses produksi atau distribusi barang atau jasa. Untuk mengenakan PPN atas nilai tambah dapat dilakukan melalui tiga metode:a. Subtraction method yaitu dengan cara mengalikan tarif PPN dengan selisih antara harga jual dengan harga belib. Indirect subtraction method yaitu dengan cara mengurangkan PPN yang dipungut oleh penjual atau pengusaha jasa atas penyerahan barang atau jasa,dengan PPN yang dibayar kepada penjual atau pengusaha jasa lain atas perolehan barang atau jasa.c. Addition method yaitu mengalikan tarif PPN dengan hasil penjumlahan unsur-unsur nilai tambah.

6. PPN Indonesia menganut tarif tunggal

PPN Indonesia menganut tarif tunggal sebesar 10%. Dengan Peraturan Pemerintah tarif ini dapat dinaikkan paling tinggi menjadi 15% atau diturunkan paling rendah menjadi 5%. Sisi negatif tarif tunggal adalah mempertajam regresivitas PPN. Untuk memperkecil sisi negatif ini, UU PPN Indonesia mengenakan PPnBM sebagai pajak tambahan di samping atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Sisi positif menerapkan tarif tunggal adalah sederhana baik dalam pelaksanaan maupun pengawasan. Penyebutan tarif tunggal sebenarnya tanpa mempertimbangkan tarif 0% yang dikenakan atas ekspor Barang Kena Pajak dan pengecualian terhadap beberapa objek yang dipandang sangat esensial untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk kebutuhan akan perawatan kesehatan. Tarif 0% merupakan tarif teknis berdasarkan pertimbangan ekonomi yang dikenakan atas ekspor Barang Kena Pajak dimaksudkan supaya Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang dapat dikreditkan sehingga tidak perlu dibebankan sebagai biaya.

7. PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri

PPN hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi dalam daerah pabean Republik Indonesia. Ini sesuai dengan destination principle (prinsip tempat tujuan) yang digunakan dalam pengenaan yaitu PPN dikenakan di tempat tujuan barang atau jasa akan dikonsumsi.

8. PPN yang diterapkan di Indonesia adalah PPN tipe konsumsi

PPN Indonesia termasuk tipe konsumsi artinya seluruh biaya yang dikeluarkan untuk perolehan barang modal dapat dikurangi dari dasar pengenaan pajak. Pajak Masukan atas perolehan barang modal dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sehingga barang modal dikenakan

Page 5: Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

PPN hanya satu kali. PPN sebagai pajak atas konsumsi memberikan indikasi bahwa PPN bukan pajak atas kegiatan bisnis.

Latar Belakang Penggantian Pajak Penjualan (PPN) Dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax) untuk pertama kali diperkenalkan oleh Carl

Friedriech von Siemens, seorang industrialis dan konsultan pemerintah Jerman pada tahun 1919. Namun ironisnya justru pemerintah Prancis yang pertama kali menerapkan PPN dalam sistem perpajakannya pada tahun 1954, sedangkan Jerman baru menerapkannya pada awal tahun 1968. Indonesia baru mengadopsi PPN pada tanggal 1 April 1985 menggantikan Pajak Penjualan (PPn) yang sudah berlaku di Indonesia sejak tahun 1951. Dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951, Pajak Penjualan berlaku di Indonesia sejak 1 Oktober 1951. Undang-undang ini dinamakan UU PPn 1951. Kemudian dengan UU Nomor 35 Tahun 1953, UU Darurat tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. UU PPn 1951 yang sudah memberikan dedikasinya selama lebih dari 30 tahun, dalam Reformasi Sistem Perpajakan Nasional 1983 yang lebih dikenal dengan sebutan Tax Reform 1983, diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai. Adapun latar belakang penggantian ini, adalah :

1. UU PPn 1951 telah berulang kali diubah sehingga sulit dipahami dan dilaksanakan.2. Dalam pelaksanaannya UU PPn 1951 menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga

PPn menjadi tidak netral baik dalam perdagangan di dalam negeri maupun internasional.3. Mengandung dualisme sistem pemungutan, yaitu bagi wajib pajak yang mampu

menyelenggarakan pembukuan menggunakan self assessment system sedangkan bagi yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan menggunakan official assessment system.

4. Variasi tarif yang cukup banyak, sampai 9 macam tarif, menyulitkan tindakan pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak. Sisi negatif PPn ini, terutama pengenaan pajak berganda mendorong wajib pajak untuk menghindar dari pengenaan PPn bahkan kalau perlu mereka melakukan penggelapan pajak. Menghindar dari pengenaan pajak (tax avoidance) masih tergolong sebagai tindakan legal misalnya beberapa perusahaan dalam satu rangkaian beberapa mata rantai jalur produksi atau distribusi yang sejenis melakukan peleburan usaha, sehingga beberapa mata rantai produksi atau distribusi lolos dari pengenaan PPn. Misalnya perkebunan kapas, pabrik benang, pabrik tekstil, perusahaan garmen meleburkan diri menjadi satu perusahaan garmen terpadu. Dengan demikian, maka penyerahan bahan baku antar divisi tersebut tidak dapat dikenakan PPn karena berada dalam satu perusahaan terpadu. Bagi pengusaha yang lain yang lebih suka mengambil jalan pintas, lebih memilih menyelundupkan atau menggelapkan pajak dengan cara melaporkan jumlah peredaran bruto lebih rendah daripada yang sebenarnya.

Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Dasar hukum pengenaan pajak pada awalnya diatur dalam UU no.8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1984 yang merupakan salah satu produk reformasi sistem perpajakan di Indonesia (tax reform) tahun 1983 sebagai pengganti UU NO 19 tahun 1951 Drt. jo UU no. 35 tahun 1953 tentang Pajak Penjualan. Kemudian diubah menjadi UU no. 11 tahun 1994. Perubahan ke II terjadi pada tahun 2000 dalam UU no. 18 tahun 2000, yang kemudian terakhir kali disempurnakan dalam UU no. 42 tahun 2009 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah. Adapun tujuan perubahan ini adalah:

Page 6: Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

a. Lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan.b. Menciptakan sistem perpajakan sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara.

Latar belakang perubahan Undang-Undang Perpajakan :a. Belum adil walaupun sudah dilaksanakan sesuai ketentuanb. Kurang memberikan hak-hak wajib pajakc. Kurang memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannyad. Kurang memberikan kepastian hukum serta kurang sederhana

Dasar Pengenaan Pajak

Untuk menghitung besarnya pajak (PPN dan PPn BM) yang terutang perlu adanya dasar Pengenaan Pajak (DPP), yang menjadi DPP adalah:

1. Harga jual2. Penggantian3. Nilai impor4. Nilai ekspor5. Nilai lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan

Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN uang dipungut menurut UU PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.

Penggantian adalah berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN tahun 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak atau berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP Tidak Berwujud karena pemanfaatan BKP tidak Berwujud dari luar daerah Pabean di dalam daerah pabean.

Nilai impor adalah nilai yang berupa uang yang menjadi dasar penghitung bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPn BM yang dipungut menurut UU PPN 1984.

Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.Penerapan DPP diatur dalam berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang sebagai berikut:

1. Untuk penyerahan atau penjualan BKP, yang menjadi DPP adalah jumlah harga jual2. Untuk penyerahan JKP, yang menjadi DPP adalah pergantian3. Untuk impor, yang menjadi DPP adalah nilai impor4. Untuk ekspor, yang menjadi DPP adalah nilai ekspor5. Atas kegiatan membangun sendiri bangunan permanen dengan luas 300M² atau lebih , yang

dilakukan oleh orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya. DPPnya adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun (tidak termasuk harga peroleh tanah).

6. Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah dikurang laba kotor.

7. Untuk pemberian Cuma-Cuma BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor

8. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata

Page 7: Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

9. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film10. Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran

Sistematika Dan Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) wajib memungut PPN dari pembeli atau penerima Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan sebesar 10% dari Harga Jual atau penggantian, dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutannya.

2. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran (Out Put Tax) bagi PKP Penjual BKP atau JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang harus dibayar (hutang pajak).

3. Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian atau perolehan BKP atau JKP yang dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan (In Put Tax), yang sifatnya sebagai pajak yang dibayar di muka, sepanjang BKP atau JKP yang dibeli tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.

4. Untuk setiap masa pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara. Dan sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar dari pada Pajak Keluaran, maka selisih tersebut dapat diminta kembali (restitusi) atau dikompensasi ke masa pajak berikutnya.

5. Pengusaha Kena Pajak di atas wajib menyampaikan Laporan Perhitungan PPN setiap bulan (SPT Masa PPN) ke Kantor Pelayanan Pajak terkait.

Contoh :

a. Pada bulan Juni 2012, PT AMKA melakukan penyerahan BKP sebesar Rp 100 Milyar, PPN yang dipungut sebesar 10% atau Rp 10 Milyar. Pembelian BKP atau JKP yang dilakukan PT AMKA adalah Rp 80 Milyar, sehingga PPN yang dibayar atas pembelian BKP atau JKP tersebut sebesar 10 % dari 80 Milyar atau Rp 8 Milyar. Penghitungan dan pengkreditan PPN yang dilakukan PT AMKA untuk masa pajak Juni 2012 adalah :

Pajak Keluaran : Rp10 MilyarPajak Masukan : Rp 8 MilyarPPN Kurang bayar : Rp 2 Milyar

Jumlah PPN kurang bayar sebesar Rp 2 Milyar tersebut harus disetorkan ke kas negara melalui Bank Persepsi paling lambat tanggal 30 Juni 2012. Dan penghitungan tersebut dituangkan dalam SPT Masa PPN Masa Juni 2012 yang harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak dimana PT. AMKA terdaftar paling lambat tanggal 30 Juni 2012.

b. Pada bulan Juli 2012, PT AMKA melakukan penyerahan BKP sebesar Rp 120 Milyar, PPN yang dipungut sebesar 10% atau Rp 12 Milyar. Pembelian BKP atau JKP yang dilakukan PT AMKA adalah Rp 140 Milyar, sehingga PPN yang dibayar atas pembelian BKP atau JKP tersebut sebesar 10 % dari 140 Milyar atau Rp 14 Milyar. Penghitungan dan pengkreditan PPN yang dilakukan PT AMKA untuk Masa Pajak Juli 2012 adalah:

Pajak Keluaran : Rp 12 MilyarPajak Masukan : Rp 14 MilyarPPN Lebih bayar : Rp 2 Milyar

Page 8: Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

Jumlah PPN lebih bayar sebesar Rp 2 Milyar tersebut dapat dimintakan kembali (restitusi) atau dikompensasikan ke Masa Pajak Agustus 2012 .Penghitungan tersebut dituangkan dalam SPT Masa PPN Masa Juli 2012 yang harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak di mana PT. AMKA terdaftar paling lambat tanggal 30 Agustus 2012.

Pajak EksporBerkembangnya dunia perdagangan sekarang ini membuat batas-batas alur dagang semakin

kecil dan terasa perlunya adanya kerja sama dalam hal perdagangan dengan dunia internasional. Suatu negara untuk dapat mencukupi kebutuhan di mana tidak bisa diproduksi sendiri harus mengimpor, sebaliknya ketika dunia luar mengharap produk dari negara lain maka negara yang memiliki produk dalam kapasitas tertentu akan melakukan ekspor.

Namun, dalam kegiatan ekspor, pemerintah perlu mengawasi dan membuat peraturan-peraturan yang bersifat mengatur agar ekspor terkendali, termasuk peraturan dalam hal perpajakan bagi kegiatan ekspor. Di bagian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pajak ekspor. Pajak Ekspor adalah pungutan resmi dari pemerintah untuk kegiatan ekspor. Ekspor adalah kegiatan menjual barang ke luar negeri.

Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa kena pajak ke luar daerah pabean. Jenis jasa Kena pajak yang atas ekspornya dikenai PPN adalah :

1. Jasa maklon.

Jasa maklon adalah jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.Batasan Jasa maklon yang termasuk Ekspor JKP :

a. Pemesan atau penerima JKP berada di luar daerah pabean dan merupakan Wajib Pajak Luar Negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap.

b. Spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima JKP.c. Bahan adalah bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang

akan diproses menjadi Barang Kena Pajak yang dihasilkan.d. Kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak; dane. Pengusaha Jasa maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan

pemesan atau penerima JKP ke luar Daerah Pabean.

Atas kegiatan ekspor barang yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon, tidak dilaporkan sebagai ekspor BKP dalam SPT Masa PPN.

2. Jasa perbaikan dan perawatan batasannya :

a. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean.

b. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.

3. Jasa Konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Batasannya :

a. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean.

Page 9: Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

b. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.

Untuk menghitung Besarnya PPN adalah Tarif X DPP, di mana :a. Tarifnya adalah 0%b. DPP nya adalah Penggantian.

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena ekspor JKP, tetapi tidak termasuk PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Saat terutangnya PPN adalah pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai penghasilan.

PKP yang melakukan Ekspor JKP wajib membuat Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak. Pemberitahuan Ekspor JKP yang dilampiri dengan invoice sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Yang dimaksud dengan tarif adalah pajak ekspor atau impor yang dikenakan oleh suatu negara terhadap produk ekspor atau impor dari negara lain yang dibawa ke dalam atau ke luar daerah pabeanJenis-jenis tarif pajak, yaitu:

1. Ad Valorum atau bea Harga, besarnya pajak yang dipungut ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari nilai produk atau harga tarif tertinggi.

2. Tarif Spesifik, besarnya pajak diterapkan untuk tiap unit produk atau harga satuan atas suatu barang, dipakai untuk barang-barang tertentu, misalnya kemeja (dihitung per satuan kemeja dengan tarif dalam nominal Rupiah yang sudah pasti). Digunakan untuk melindungi industri dalam negeri sebagai bentuk proteksi.

3. Compound Tarif merupakan kombinasi dari tarif Ad Valorum dan Tarif Spesifik. Tarif ini biasanya diterapkan di bidang cukai (dari 10% hingga 250%) juga berdasarkan spesifik menurut jumlah produk yang dihasilkan sehingga dapat diketahui, misalnya harga per batang hasil tembakau.

4. Tarif Antidumping, merupakan penambahan besar tarif daripada yang berlaku untuk perhitungan bea masuk. Hal ini diterapkan sebagai suatu hukuman atau sanksi atas produk tertentu suatu negara yang diekspor ke negara yang menggunakan tarif tersebut.

5. Tarif Pembalasan atau tarif Restorsi, merupakan penerapan tarif yang bersifat resiprokal, berkaitan dengan pengenaan tarif yang sama.

6. Tarif Diferensial, merupakan tarif maksimum dan tarif minimum atas produk-produk tertentu antara negara-negara yang mempunyai hubungan baik atau memiliki kemitraan misalnya antara 2 anggota Asean, seperti Indonesia-Malaysia.

7. Tarif Preferensi adalah tarif yang berlaku untuk negara-negara yang tergabung dalam uni atau asosiasi dan berbeda dengan tarif bea masuk untuk negara lainnya.Dengan adanya Udang-Undang Nomor 7 tahun 1994, tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization dan dilanjutkan dengan World Customs Organization, besaran tarif pajak maksimum yang ditetapkan sebagai dasar perhitungan bea masuk adalah 0% paling tinggi 40%. Di mana penerapan besaran tarif, yaitu:a. Pembebasan bea masuk atau keringanan bea masuk antara 0% hingga 5% dikenakan

untuk bahan kebutuhan pokok seperti gula, beras, mesin-mesin dan alat-alat pertahanan.

b. Tarif sedang antara 5% sampai 20%, dikenakan untuk bahan setengah jadi dan barang-barang lain di mana produksi dalam negeri sudah mencukupi.

c. Tarif tinggi di atas 20% dikenakan untuk barang mewah dan barang-barang lainnya yang sudah diproduksi di dalam negeri dan bukan barang kebutuhan pokok.

Page 10: Filosofi Pajak Pertambahan Nilai

Kesimpulan Hubungan Filosofis Antara PPN dengan Kegiatan Ekspor