FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

18
1 Universitas Indonesia FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS TERHADAP ONTOLOGI FILM RUDOLF ARNHEIM Taufik Rahman dan Embun Kenyowati Ekosiwi Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Film sebagai seni terdiri dari unsur-unsur formal yang artistik. Industri film memiliki peran besar untuk menghadirkan film ke tengah-tengah masyarakat. Namun, film yang dihadirkan industri film cenderung tidak memiliki kualitas seni yang baik. Film hanya sebagai komoditas. Hal ini dikarenakan film yang dihadirkan hanya sekedar film cerita lewat bahasa verbal. Akibatnya penonton menerima pemahaman film seni yang keliru. Ontologi dasar film adalah gambar bergerak yang mampu menciptakan bahasa visual yang artistik. Pada film hiburan, dialog justru mendominasi sehingga mempersingkat proses interpretasi penonton. Berbeda dengan film bisu yang memaksimalkan gambar bergerak sebagai medium berekspresi. Kata kunci: film; dialog; ekspresi; film bisu; Gestalt Film as Visual Art: A Philosophical Reflection To Rudolf Arnheim’s Film Ontology Abstract Film as art consists of artistic formal elements. Film industry has a major role in bringing film to the society. However, the film presented by film industry tend not to art. The film simply as a commodity which considers telling stories more important then expression. Consequently, the audience received wrong understanding of film as art. Basic ontology of film is motion picture which has capabilities to create visual language. Dialog in film dominates picture thus shortening the audience interpretation. Unlike the silent film which maximize motion picture as medium of expression. Keywords: film; dialog; expression; silent film; Gestalt Pendahuluan Bagi masyarakat umum, film merupakan salah satu bentuk hiburan berupa tontonan dengan variasi cerita dan visualisasi. Sebagian masyarakat menikmati film dengan genre action, sebagian lagi menikmati film drama tentang percintaan. Ada juga film yang menumpahkan imajinasi dan fantasi tentang hal-hal yang mungkin tidak benar-benar kita pikirkan karena dirasa tidak nyata seperti penjelajahan waktu atau manusia dengan kekuatan super. Semua genre film tersebut hadir di bioskop sebagai alternatif hiburan untuk masyarakat umum. Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Transcript of FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

Page 1: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

1    

Universitas Indonesia  

FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS TERHADAP ONTOLOGI FILM RUDOLF ARNHEIM

Taufik Rahman dan Embun Kenyowati Ekosiwi

Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,

Depok, 16424, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak Film sebagai seni terdiri dari unsur-unsur formal yang artistik. Industri film memiliki peran besar untuk menghadirkan film ke tengah-tengah masyarakat. Namun, film yang dihadirkan industri film cenderung tidak memiliki kualitas seni yang baik. Film hanya sebagai komoditas. Hal ini dikarenakan film yang dihadirkan hanya sekedar film cerita lewat bahasa verbal. Akibatnya penonton menerima pemahaman film seni yang keliru. Ontologi dasar film adalah gambar bergerak yang mampu menciptakan bahasa visual yang artistik. Pada film hiburan, dialog justru mendominasi sehingga mempersingkat proses interpretasi penonton. Berbeda dengan film bisu yang memaksimalkan gambar bergerak sebagai medium berekspresi. Kata kunci: film; dialog; ekspresi; film bisu; Gestalt

Film as Visual Art: A Philosophical Reflection To Rudolf Arnheim’s Film Ontology

Abstract

Film as art consists of artistic formal elements. Film industry has a major role in bringing film to the society. However, the film presented by film industry tend not to art. The film simply as a commodity which considers telling stories more important then expression. Consequently, the audience received wrong understanding of film as art. Basic ontology of film is motion picture which has capabilities to create visual language. Dialog in film dominates picture thus shortening the audience interpretation. Unlike the silent film which maximize motion picture as medium of expression. Keywords: film; dialog; expression; silent film; Gestalt

Pendahuluan

Bagi masyarakat umum, film merupakan salah satu bentuk hiburan berupa tontonan dengan

variasi cerita dan visualisasi. Sebagian masyarakat menikmati film dengan genre action,

sebagian lagi menikmati film drama tentang percintaan. Ada juga film yang menumpahkan

imajinasi dan fantasi tentang hal-hal yang mungkin tidak benar-benar kita pikirkan karena

dirasa tidak nyata seperti penjelajahan waktu atau manusia dengan kekuatan super. Semua

genre film tersebut hadir di bioskop sebagai alternatif hiburan untuk masyarakat umum.

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 2: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

2    

Universitas Indonesia  

Besarnya industri film sekarang ini merupakan bagian dari sejarah film itu sendiri yang sejak

awal ditemukannya perekam gambar bergerak, potensi untuk menjadikan film sebagai sebuah

industri sangatlah besar. Hal ini dikarenakan tuntutan dari masyarakat sendiri untuk membuat

film yang lebih menarik dan meningkatnya teknologi perekam gambar bergerak itu sendiri.

Pada awal tahun 1920, yang merupakan awal berkembangnya film di Amerika, muncul

beberapa rumah produksi film sebagai jawaban atas meningkatnya permintaan terhadap

kehadiran film di sebuah teater. Tahun itu merupakan masa kejayaan film bisu, dari yang

awalnya hanya berupa rekaman beberapa adegan sederhana berkisar puluhan detik hingga

berkembang menjadi film yang mampu menyajikan cerita dan adegan-adegan yang sifatnya

menghibur. Film pun mulai dibuat dengan jalan cerita, kostum, setting tempat dan waktu,

serta penciptaan karakter-karakter fiksi. Sampai akhirnya pada sekitar tahun 1930-an film

menjadi sebuah karya yang semakin “sempurna” dengan dimasukkannya suara yang

kemudian disebut film talkies. Selain itu genre film juga semakin banyak. Inilah cikal bakal

film hiburan yang sekarang ini beredar di seluruh dunia.

Industri film berkembang sangat pesat. Pesatnya perkembangan film melahirkan banyak

kajian tentang film, baik yang sifatnya teknis atau non-teknis. Institut film misalnya yang

mengambil peran dalam kajian film secara teknis, seni dalam kajian estetika, dan filsafat

dalam kajian estetika (filsafat seni) dan muatan filosofis, film sebagai filsafat. Masyarakat

umum sebagai penikmat film tentu tidak perlu melakukan kajian mendalam terhadap film,

bahkan untuk tahu teori tentang film pun tidak begitu diperlukan karena sebagian besar film

yang kita tonton sifatnya adalah hiburan.

Namun tidak demikian dengan kajian film sebagai seni. Adanya kaitan yang erat antara film

dan fotografi, yang merupakan seni visual, merupakan landasan beberapa filsuf seni

menjadikan film sebagai sebuah karya seni. Terus berkembangnya pemikiran tentang seni

membuat anggapan tentang film sebagai seni juga berkembang. Terlebih lagi film itu sendiri

semakin hari menyajikan visualisasi dan karakter yang tak terbatas sehingga membuat film

terlihat sekedar hasil dari perkembangan teknologi, tak lebih. Berbeda dengan film tradisional

yang menurut Rudolf Arnheim (1904-2007) berhasil memuat abstraksi artistik lewat

fokusnya dalam menyajikan gambar bergerak. Namun, hal itu hilang ketika film mulai

mempekerjakan dialog.

Film-film yang diproduksi oleh industri hiburan, khususnya Hollywood, tidak lagi

menyajikan film sebagai seni tetapi sebagai komoditas. Apabila menengok kembali kepada

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 3: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

3    

Universitas Indonesia  

sejarah film maka ada pergeseran yang terjadi dalam usaha memasyarakatkan film. Awal

kemunculan rumah produksi di Amerika merupakan sebuah upaya bagi penggiat film untuk

membawa film ke tengah-tengah masyarakat. Pada saat yang bersamaan pula film yang

semula dinilai sekedar hasil dari penemuan teknologi dibawa ke ranah seni sebagai seni

visual. Cara ini pada awalnya cukup berhasil karena kondisinya bahwa pembuat film bekerja

secara independen dalam menghasilkan film seni. Tidak banyak campur tangan rumah

produksi dalam proses pembuatan film.

Ketika film sudah mulai dimasuki oleh suara baik dialog atau musik, sebagian masyarakat

merasa film lebih menarik untuk ditonton. Permintaan film meningkat. Disisi lain ada kondisi

dimana sebagian para pekerja film merasa film mulai kehilangan esensi sebagai seni karena

beberapa sebab, misalnya lunturnya kekuatan interpretasi penonton yang disebabkan oleh

penyampaian dialog yang harfiah. Disinilah potensi menjadikan film sebagai komoditas

muncul.

Semakin baru teknologi yang digunakan dalam pembuat film tersebut, maka semakin

menarik film tersebut bagi masyarakat yang membuat permintaan terhadap film semacam itu

meningkat. Peran rumah produksi yang pada awalnya untuk menghadirkan film seni ke

tengah-tengah masyarakat mulai bergeser menjadi menjual film.

Industri film memiliki peran yang besar dalam pergeseran ini. Tidak hanya bagi film sebagai

seni tetapi juga bagi masyarakat penikmat film. Mind-set penonton terhadap film bergeser

karena industri film menghadirkan film-film talkies yang telah kehilangan nilai artistik film.

Masyarakat umum menerima begitu saja konteks “film seni” yang dihadirkan oleh industri

film. Padahal film seni sebenarnya terpinggirkan ke layar yang lebih “kecil” seperti festival

film.

Mengetahui fakta bahwa film sekarang berada pada posisi industri hiburan membuat pelaku

film berupaya agar film laris di pasaran. Biaya produksi fim yang membesar menuntut author

untuk menghasilkan film yang komersil agar bisa disponsori oleh rumah produksi. Bahkan

dengan mengenyampingkan muatan nilai estetika yang dapat dihasilkan dari sebuah

penciptaan film sebagai sebuah karya seni. Salah satu caranya adalah dengan menghadirkan

cerita yang menarik. Banyak film yang diangkat dari novel best seller atau dari kisah nyata

kehidupan yang tragis sehingga menarik jiwa melankolis penontonnya. Tetapi terkadang film

dibuat tidak dengan visualisasi yang kaya dan mengandalkan dialog untuk menjelaskan jalan

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 4: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

4    

Universitas Indonesia  

cerita film tersebut. Hal ini jelas mengurangi pengalaman berkesenian secara visual bagi

penontonnya.

Tinjauan Teoritis

Pandangan penulis tentang lunturkan nilai seni film oleh dialog yang lurus (harfiah)

merupakan pengaruh besar dari Rudolf Arnheim. Arnheim yang lebih dikenal sebagai

seorang psikolog seni telah memberikan kontribusi yang besar tidak hanya bagi dunia film,

tetapi juga bagi filsafat seni dan filsafat film. Pemikiran Arnheim termasuk sebuah gebrakan

atas pandangan beberapa filsuf sebelumnya yang menganggap bahwa beberapa unsur yang

terdapat dalam film sekarang merupakan bagian dari perkembangan film itu sendiri. Itu

adalah jalan yang pasti dilalui sebuah film seiring dengan berkembangnya teknologi film.

Sebelumnya, penulis berusaha meletakkan dasar film sebagai seni visual lewat pemikiran

Gombrich. Di dalam bukunya The Story of Art (1950) Gombrich menjelaskan bagaimana

sebuah karya buatan manusia bisa dikatakan sebagai karya seni, yaitu representasi seni.

Apabila dalam membuat sebuah karya tidak memuat representasi seni, maka kegiatan

tersebut bisa dikatakan sebagai meniru realitas semata. Namun, representasi seni melakukan

hal yang lebih dari itu karena representasi seni dapat merepresentasi sesuatu dalam bentuk

yang sama sekali berbeda dengan apa yang dimaksudkan. Jadi, representasi bukan sekedar

menghadirkan sesuatu akan tetapi menghadirkan interpretasi subjektif ke dalam sebuah

karya. Pemikiran Gombrich tersebut membawa penulis kepada dasar bahwa film adalah karya

seni visual.

Selain itu pemikiran Rudolf Arnheim tentang perbedaan antara film dan realitas juga

merupakan teori dasar film sebagai karya seni visual. Bahkan Arnheim menganggap film

sebagai seni visual murni yang tidak dapat dimasuki oleh dialog. Di dalam bukunya Film as

Art (1957) Arnheim mengungkapkan bagaimana film talkies telah kehilangan nilai seni.

Penyatuan dua medium dalam film talkies, audio dan visual, dapat menciptakan distraksi.

Kedua medium ini tidak dapat menjadi kesatuan yang saling mendukung. Kemudian dialog

yang lurus dinilainya tidak dapat menghasilkan visualisasi artistik. Hal ini dikarenakan

gerakan dan dialog dalam film berbeda dengan apa yang terjadi dalam realita. Ketika

seseorang bicara sambil menggerak-gerakkan tangannya, hal itu terjadi secara alami. Namun,

film seharusnya tidak demikian. Film seharusnya memuat visualisasi, dan audio, dengan

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 5: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

5    

Universitas Indonesia  

tujuan estetika (fine art) dan hal itulah yang pada akhirnya akan membedakan film dan dunia

nyata. (Rudolf Arnheim, 1957)

Pemikiran Arnheim tentang film yang cenderung merujuk kepada film tradisional digunakan

untuk “mengembalikan” ontologi dasar film sebagai seni visual karena film dibawa ke ranah

seni atas gambar bergeraknya. Ketika dialog mulai masuk maka peran gambar bergerak

sebagai kekuatan artistik film tergeserkan. Dialog memang berpotensi merusak penciptaan

bahasa visual yang mampu dilakukan oleh film. Tetapi tetap saja sebagai bagian dari

perkembangan teknologi, suara (baik dialog maupun bunyi) dapat bekerja dengan gambar

bergerak.

Adalah pemikiran Siegfried Kracauer (1889-1966) yang menjadi bagian dari proses refleksi

terhadap pemikiran Arnheim. Di dalam bukunya Theory of Film: The Redemption of Physical

Reality (1960) Kracauer mengatakan bahwa suara dimungkinkan untuk dimasukkan ke dalam

film dalam beberapa kondisi. Yang paling penting bahwa suara yang dimasukkan ke dalam

film tidak boleh membuat penonton mengalihkan pandangan dari visualisasi film.

Pemahaman atas dialog yang dimasukkan harus ringan dan mendukung visualisasi tetapi

tidak mengulang makna yang disampaikan gambar bergerak sehingga gambar bergerak tetap

memiliki peran utama dalam penyampaian isi film. Dengan demikian proses interpretasi

penonton tetap berlangsung utuh dan penonton tidak mengalami gagal paham.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi pustaka terhadap sumber-sumber

bacaan terkait film, filsafat seni, dan filsafat film. Kemudia penelitian ini ditulis dengan

penjabaran film terkait unsur formalnya (formalisme). Cara ini dipakai untuk dapat melihat

ontologi film sebagai seni visual sekaligus melihat potensi unsur non-visual untuk

dimasukkan ke dalam film.

Lewat pemikiran beberapa tokoh yang menjadi acuan penelitian ini, penulis mencoba

mengkritisi estetika film yang dirasa semakin pudar karena penggunaan dialog yang harfiah.

Beberapa buku acuan utama penulis antara lain Film as Art (1957) oleh Rudolf Arnheim,

Philosophy of the Arts: An Introduction to Aesthetics (2005) oleh Gordon Graham, Theory of

Film (1960) oleh Siegfried Kracauer, dan Philosophy of The Film: Epistemology, Ontology,

Aesthetics (1987) oleh Ian Jarvie. Selain buku-buku yang telah disebutkan, penulis juga

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 6: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

6    

Universitas Indonesia  

menggunakan beberapa buku penunjang lain dan juga sumber internet sebagai pelengkap

dalam penilitan ini. Hal ini berguna untuk mempertajam analisa penulis tentang film sebagai

seni.

Film Sebagai Seni Visual

Film adalah sebuah hasil dari penemuan teknologi dan sepertinya fakta ini membuat posisi

film tidak lebih baik dari lukisan yang sering dianggap sebagai karya seni visual

sesungguhnya. Lukisan merupakan karya seni yang tidak tersentuh oleh teknologi.

Klaim film sebagai seni banyak dianggap tidak masuk akal bagi sebagian orang. Dasarnya

adalah bahwa film merupakan pengembangan dari fotografi yang merupakan mechanical

process, proses kausal, dimana seni tidak bisa masuk ke dalamnya. Terlebih lagi dalam

sejarahnya gambar bergerak digunakan untuk merekam pertunjukan seni, seperti drama atau

tarian. Tujuannya agar orang-orang yang tidak berkesempatan menonton langsung

pertunjukan tersebut dapat ikut menyaksikannya di lain waktu. (www.filmsite.org, 20 Juni

2013) Tentu saja hal ini tidak lantas membuat gambar bergerak tersebut menjadi karya seni.

Selain itu karena dalam fotografi membutuhkan objek yang kemudian ditangkap sebagaimana

objek tersebut ada. Tidak seperti melukis yang bisa dilakukan dengan hanya mengandalkan

imajinasi. Imajinasi yang artistik.

Namun, pemikiran skeptis tentang film sebagai sebuah karya seni banyak dibantah oleh para

pelaku film dengan berbagai sudut pandang. Rudolf Arnheim adalah salah seorang tokoh

yang pemikirannya cukup kuat dalam menepis pandangan skeptis tersebut. Arnheim memulai

dengan mengatakan bahwa film menjadi sebuah karya seni ketika tujuan dari film tersebut

tidak sekedar menangkap gambar yang ada tetapi lebih dari itu menghadirkan representasi

objek lewat cara khusus, yang hanya bisa dilakukan oleh film.

Arnheim mengatakan bahwa film dapat meninggalkan mechanical process tersebut.

Maksudnya, film dapat keluar dari konsep mechanical process tersebut dengan tujuan

menghadirkan representasi sebuah objek. Film memiliki hal itu. Lewat teknik montage,

sebuah film dapat mengarahkan penontonnya pada gambar-gambar yang dikehendaki oleh

sang pembuat film sebagai upaya untuk menghadirkan representasi objek. Hal semacam ini

tidak bisa dikatakan sebagai sekedar menangkap gambar realitas karena kita sejatinya tidak

pernah melihat realitas dalam bagian-bagian yang terpisah seperti yang disajikan dalam

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 7: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

7    

Universitas Indonesia  

teknik montage. Kita selalu melihat realitas secara utuh seperti yang dilakukan dalam teknik

long shot. Teknik montage memungkinkan sutradara mengarahkan perhatian penonton pada

gambar-gambar yang dikehendakinya. Arnheim menganggap ini adalah hal yang esensial

dalam film. (Rudolf Arnheim, 1957, hal. 94-95)

Peralihan Film Bisu Menjadi Film Talkies

Peralihan film bisu menjadi film talkies merupakan masa yang krusial dalam sejarah film.

Penonton di Amerika terpecah menjadi dua kelompok, yaitu yang menolak kehadiran film

talkies dan yang menyambut baik kehadiran film tersebut. Penonton yang menolak kehadiran

film talkies beranggapan bahwa perubahan tersebut tidak dapat menutup masa adaptasi

terhadap film bisu. Sebelum film bisu diterima dan masuk ke ranah seni, para penonton

memiliki masa adaptasi terhadap film bisu dimana film yang dihadirkan hanya berupa visual

tanpa suara sehingga dalam menonton perlu interpretasi yang kuat karena pengalaman seperti

ini tidak di dapat di dunia nyata. Namun, ketika film kemudian bersuara maka mereka harus

beradaptasi kembali disaat mereka telah nyaman dengan film bisu.

Di sisi lain, kelompok penonton yang menyambut baik kehadiran film talkies beranggapan

bahwa film talkies adalah bentuk kemajuan yang menghadirkan film yang lebih menghibur

dan semakin nyata. Bahkan beberapa orang juga menganggap nilai artistik sebuah film akan

lebih kaya dengan masuknya suara. Film talkies dinilai tidak hanya menghadirkan dialog

tetapi juga musik, penyanyi, dan orkestra. Selain itu juga komedi akan menjadi lebih hidup

dengan tambahan dialog.

Terlepas dari kedua perbedaan dari sudut pandang penonton tersebut, para pembuat film

maupun film theorist juga berseberangan dengan lahirnya inovasi suara dalam film ini.

Ketakutan mereka adalah visualisasi film akan tergeser oleh dialog yang mampu

menyampaikan pemaknaan dengan lebih “jelas”. Film sebagai seni visual akan mati. Hal itu

yang kemudian dibahas lebih lanjut oleh Arnheim tentang kualitas visual film dan potensi

dialog dalam menggeser kualitas tersebut.

Ontologi Film Rudolf Arnheim

Ketertarikan Arnheim dalam mengkaji film sebagai seni dari kacamata psikologi, terutama

Gestalt, berasal dari penglihatannya atas kemampuan gambar dalam menyampaikan ekspresi.

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 8: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

8    

Universitas Indonesia  

Teori Gestalt menyatakan bahwa manusia mempersepsi sesuatu bukan sebagai agregasi

kualitas objek yang bersangkutan, namun cenderung lebih menyeluruh dan general. Teori

Gestalt lebih menekankan kepada kekuatan formatif dan inteligensi dalam setiap proses

sensorik; penglihatan, pendengaran, sentuhan, dan sebagainya, daripada sinkronisasi terhadap

pengalaman empiris. Sekarang kita akan melihat bagaimana aplikasi teori Gestalt ini dalam

kaitannya dengan kemampuan persepsi manusia terhadap objek seni.

Kaitan pertama teori Gestalt dengan persepsi artistik yang dibahas oleh Rudolf Arnheim

adalah mengenai konsep keseimbangan (balance) yang selalu muncul di dalam karya seni.

Mengutip Wolfgang Kohler, Arnheim menjelaskan bahwa kecenderungan orang untuk dapat

menemukan satu pola sederhana dari suatu objek yang ia persepsi terkait erat dengan

kecenderungan objek tersebut (karya seni) untuk menghasilkan sebuah keseimbangan.

Kecenderungan ini bisa kita lihat, misalnya, pada fenomena-fenomena organik (alam)

maupun inorganik. Contoh yang paling jelas adalah penemuan teknik menggambar perspektif

di era Renaissance, atau pola simetris dan fraktal mendelbrot di dalam banyak kaligrafi Arab.

Keterkaitan yang kedua adalah mengenai teori ekspresi di dalam seni. Arnheim menolak

gagasan empiris yang menyatakan bahwa manusia mampu mengenali ekspresi karena ada

keterkaitan perseptual antara suatu ekspresi dengan pengetahuan/pengalaman kita mengenai

ekspresi tersebut. Jadi, menurut teori ekspresi empiris, kita mengetahui suasana hati Monalisa

adalah bahagia karena kita menciptakan ekspresi wajah yang sama ketika sedang berbahagia.

Hal ini karena menurut Arnheim, tidak ada kaitan yang kuat antara pola penampakan fisik

dengan kondisi psikologis seseorang. Menurut Arnheim, penjelasan terbaik mengenai relasi

antara ekspresi wajah cemberut dengan perasaan sedih adalah relasi sebab-akibat. Kita dapat

mengenalinya bukan karena konklusi logis maupun pengalaman inderawi, namun secara

spontan sebagaimana kita mengenali bentuk fisik atau warna dari sebuah objek.

Maka, menurut Arnheim, teori ekspresi tidak bekerja secara kognitif sebagaimana dipahami

oleh kaum empiris. Kita dapat memahami suasana muram di dalam lukisan Van Gogh bukan

karena lekuk-lekuk awan yang digambarkan sang pelukis memiliki kesesuaian empiris

dengan ekspresi wajah seseorang yang sedang sedih. Persepsi muram itu didapat si pengamat

karena ia mempersepsi lukisan tersebut secara utuh dan komprehensif.

Teori Gestalt menjelaskan bahwa ekspresi dalam seni tidak harus berupa representasi

terhadap proyeksi antropomorfik tetapi lebih kepada pemaknaan langsung terhadap

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 9: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

9    

Universitas Indonesia  

bagaimana lengkungan garis dan bentuk-bentuk yang digambarkan oleh seorang seniman

dapat merepresentasi realitas. Dengan teori Gestalt ini maka pemaknaan terhadap sebuah

karya seni, khususnya seni visual, tidak selalu berupa proyeksi terhadap dunia nyata, tetapi

pemaknaan langsung secara utuh terhadap apa yang disajikan sebuah karya seni.

Tiga modalitas utama dalam film menurut Rudolf Arnheim, yaitu kata yang diucapkan (the

spoken word), gambar bergerak (the image in motion), dan musik (the musical sound).

Arnheim membahas beberapa aturan tentang modalitas-modalitas tersebut dalam sebuah

karya seni hybrid. Maksudnya karya seni yang terdiri dari berbagai medium namun tetap

dapat bekerja dalam kesatuan (sesuai teori Gestalt), seperti teater dan tari. (Rudolf Arnheim,

1957, hal 199-202)

Esensi film adalah bahwa ia sebenarnya gambar yang bergerak. Namun, apa yang

membedakan seni film dengan media-media seni yang lain yang juga berpijak pada

dinamisitas gerak seperti teater dan seni tari? Menurut Arnheim, film sebagai representasi

realitas memiliki dua level koherensi antara gambar dan suara (di dalam film talkies) Level

pertama, yakni paralelisme, hanya merupakan sinkronisasi aksi (gerak) yang ada di dalam

gambar dengan suara sebagai konsekuensi logisnya. Artinya, pada level ini gambar dan suara

merupakan dua entitas yang sebetulnya terpisah. Terkadang, ada momen di mana suara

mendistorsi gambar, dan begitu juga sebaliknya.

Sedangkan pada level yang lebih dalam, yakni kombinasi sempurna (perfect fusion) antara

gambar dan suara, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Misalnya ketika ketiadaan

suara di dalam film horror justru meningkatkan intensitas pengalaman sinematik. Pada

momen semacam itu, suara adalah elemen yang tidak terpisahkan dari gambar yang sedang

disajikan. Sama seperti ruang kosong yang menjadi latar belakang sebuah lukisan.

Arnheim melihat film tradisional, bisu dan hitam putih, merupakan bentuk ideal dari film

sebagai karya seni visual. Kehadiran film talkies justru dinilainya membuat unsur visual

dalam film dibatasi. Gambar bergerak tidak lagi memiliki ruang yang besar untuk

menciptakan seni tetapi telah “dibantu” oleh dialog yang mempermudah dan mempersingkat

proses interpretasi film.

Namun, ada aturan umum yang menurut Arnheim berlaku pada gambar bergerak (film) yaitu

ketidakmungkinan penggabungan gambar dan suara. Dalam dunia nyata, kita mengamati

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 10: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

10    

Universitas Indonesia  

fenomena dengan tujuan praktis, mendengar sekaligus melihat atau sebaliknya. Pengamatan

lebih kepada ide otentik terhadap fenomena empiris. Dalam tujuan praktis tersebut tidak akan

menimbulkan gangguan (disturbances) ketika terjadi ketidakselarasan warna, bentuk, atau

impurity dari sebuah pernyataan karena hal tersebut memang tidak perlu. Berbeda dengan

objek seni yang dihadirkan dengan presisi formal. Kombinasi yang tidak seimbang antara

gambar dan suara akan berakibat pada proses pemahaman, misalnya pergerakan yang tidak

konsisten atau penempatan frase yang buruk dalam sebuah adegan visual.

Selain faktor presisi formal, Arnheim juga menjelaskan tentang potensi nilai artistik film

lewat ilusi yang mampu diciptakan oleh film. Misalnya hilangnya warna pada film hitam

putih. Ketika warna yang ditangkap dalam proses pembuatan film tereduksi menjadi hitam

dan putih hal ini sekaligus merubah nilai pembanding yang biasanya kita gunakan di dunia

nyata. (Dibahas lebih lanjut pada bagian 3.3.1) Penyimpangan (deviasi) lain yang dapat

terjadi dalam film adalah dengan menghilangkan kontinuitas ruang dan waktu yang biasa kita

jumpai di dunia nyata. Dengan teknik montage film dapat menciptakan rangkaian adegan

dengan mengenyampingkan kontinuitas ruang dan waktu. (Dibahas lebih lanjut pada bagian

3.3.2) Namun hal ini tetap diterima karena film hadir sebagai seni. Beberapa contoh ini

memperlihatkan bahwa film dapat menciptakan ilusi parsial (partial illusion) yang

menjadikannya tempat untuk memuat nilai seni.

Arnheim menggunakan dasar teori Gestalt ini untuk membahas kerja yang lebih besar dalam

film. Pembahasan Arnheim tentang film sebagai seni lebih ke arah perbandingan antara

realitas dan film berdasarkan unsur-unsur formal film.

Kritik Arnheim Terhadap Dialog Dalam Film

Masuknya dialog dalam film justru memungkinkan audio menggeser posisi visual sebagai

ontologi film. Gestur dan ekspresi wajah seseorang yang sedang berpidato merupakan iringan

atas reaksi terhadap kata-kata yang diucapkannya. Namun, bila pidato tersebut dimuat dalam

film bisu, tentu penonton tidak akan mengerti dengan apa yang diucapkannya sehingga

ekspresi wajah dan gestur tubuh berperan sebagai bahasa visual untuk menyampaikan

kualitas emosional sang aktor. Dialog dalam film bisu bukan semata-mata dialog yang

diucapkan secara verbal. Jika serangkaian dialog diucapkan tanpa suara maka ada

kemungkinan penonton akan gagal memahaminya. Dalam film bisu, mulut tidak digunakan

sebagai medium dialog dengan kata-kata tetapi dengan ekspresi visual, misalnya membuka

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 11: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

11    

Universitas Indonesia  

mulut sebagai tanda bersemangat terhadap sesuatu atau ocehan-ocehan yang menandakan

ketidakpuasan. Bahkan dua adegan dengan representasi yang sangat berbeda bisa dilakukan

dengan satu bentuk visualisasi yang hampir sama. Contohnya seorang tentara yang tiba-tiba

menggila di tengah latihan perang dan tiba-tiba tertawa dengan mulut terbuka lebar

dibandingkan dengan seorang tentara yang tewas akibat gas beracun yang mana membuat

mulutnya terbuka lebar dan kaku yang menggambarkan kematian yang mengerikan.

Ketiadaan dialog pada film bisu membuat penonton lebih terfokus pada visualisasi yang

ditampilkan sehingga dapat membuat sebuah adegan yang sangat sederhana menjadi begitu

impresif. Apabila dialog tersebut dapat didengar oleh penonton, kemampuan gestur tubuh dan

ekspresi wajah tidak akan maksimal bahkan perhatian penonton pada visualisasi film tersebut

tidak akan besar.

Arnheim menyadari bahwa perkembangan teknologi pembuatan film lambat laun akan

membuat film sebagai proses meniru realitas secara mekanik menjadi semakin ekstrem.

Masuknya suara (film talkies) adalah langkah awal menuju ke arah tersebut. Posisi Arnheim

yang menganggap film sebagai bentuk karya seni visual murni membuatnya mengkritik film

talkies.

Teori Gestalt yang menjadi dasar pemikiran Arnheim pada pembahasan tentang film sebagai

seni memiliki hukum dasar bahwa persepsi terhadap karya seni harus bersifat utuh, bukan

gabungan dari persepsi parsial dari elemen-elemen dalam karya seni tersebut. Ketika gambar

bergerak pada film dimasuki oleh dialog, ada ketidaksesuaian dengan teori tersebut. Arnheim

melihat dialog dan gambar pada film talkies tidak membentuk kesatuan kerja. Sebaliknya

penonton dihadirkan dua medium yang saling bertabrakan, antara gambar dan dialog, yang

masing-masing mempunyai kapasitas dalam menghadirkan makna. Akibatnya, penonton

melakukan persepsi parsial. Penonton dihadapkan pada pilihan mempersepsikan gambar dan

atau dialog sekaligus. Pada keadaan ini Arnheim melihat ketidakstabilan penggabungan dua

medium tersebut.

Film bisu dengan teknik montage sebenarnya telah bekerja secara utuh dalam menghasilkan

rangkaian gambar bergerak. Potongan adegan-adegan yang diambil dalam waktu terpisah

merupakan rangkaian visualisasi yang bekerja dengan beberapa prinsip misalnya kesamaan

(similarity) atau paralel (parallelism). Dengan cara itu, gambar yang dihasilkan oleh film

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 12: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

12    

Universitas Indonesia  

mampu melahirkan persepsi yang independen tanpa merujuk pada pengalaman empiris

bahkan tanpa dialog.

Pengharapan akan sebuah karya seni yang lebih kaya dan utuh ketika menggabungkan

beberapa medium tidaklah identik dengan penangkapan seluruh persepsi rasa dalam

berpengalaman di dunia nyata. Penggabungan dua medium, misalnya audio dan visual, di

dalam sebuah karya seni justru kadang tidak dimungkinkan. Alasannya karena ketika

menggabungkan dua medium tersebut ke dalam karya seni, kedua medium tersebut tidak

boleh hadir sebagaimana kehadirannya di dunia nyata yang lebih bersifat biologis.

Penggabungan beberapa medium di dalam seni harus bersifat intrinsik agar dapat

menciptakan nilai artistik.

Dialog cenderung membatasi gambar bergerak. Tentu saja masuknya medium suara tersebut

membuat film semakin lengkap dan ditambah dengan warna-warna maka film bisa dibuat

menyerupai dunia nyata. Namun, bukankah justru hal ini membawa film menjadi sekedar

proses meniru realitas?

Menggabungkan gambar dan dialog dalam sebuah karya seni seharusnya tidak sekedar untuk

tujuan menyerupai dunia nyata. Musik dan teater boleh dikatakan sebagai karya seni yang

berhasil menggabungkan keduanya. Lebih dari itu, harus ada tujuan artistik dalam

menggabungkan keduanya. Artinya ketika menggabungkan keduanya, ada kondisi yang

membuat satu medium saja tidak dapat mengekspresikan apa yang dikehendaki oleh seorang

seniman. Penggabungan ini tidak bisa dilakukan jika keduanya justru menyampaikan hal

yang sama. Keduanya harus saling melengkapi lewat perbedaanya dalam menjelaskan subjek

yang sama. Tiap-tiap medium melakukannya dengan cara masing-masing.

Arnheim menemukan bahwa dialog dalam film tidak membentuk seni yang baru, lepas dari

visualisasi film, tetapi memperjelas yang sudah ada. Walaupun ada tujuan yang jelas namun

dialog yang diucapkan dalam film dinilainya berbahaya yang pada akhirnya akan membuat

film sebagai pekerjaan membuat dialog atas sebuah penggambaran dibandingkan penciptaan

dialog melalui gambaran-gambaran. Di dalam film bisu sebuah vas bunga yang pecah

dikatakan Arnheim memiliki potensi berdialog yang sama dengan dua orang yang berbicara.

Hal inilah yang menurut Arnheim dihancurkan oleh film talkies. Aktor “diberkahi” dengan

dialog dan sejak saat itu semua hal lain, visualisasi, terdorong menjadi subjek yang minor.

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 13: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

13    

Universitas Indonesia  

Batasan ekspresi visual yang bisa diciptakan dari sosok aktor menjadi semakin besar ketika

gambar dipekerjakan bersama dialog. Film bisu, sebagai bentuk film sebagai karya seni

visual yang lebih baik, menghindari dialog karena kegiatan berbicara ada dalam dunia nyata.

Aktor berekspresi lewat gesture dan mimik wajah. Kemudian didukung oleh setting lainnya

seperti pencahayaan, tempat, dan waktu yang akhirnya menghasilkan konteks yang utuh

terhadap penggambaran sebuah plot cerita. Pergerakan mulut ketika mengucapkan dialog

membuat visualisasi aktor menjadi monoton dan tidak berarti karena perhatian penonton

terhadap visualisasi film diambil alih oleh dialog.

Dialog tidak dapat dimasukkan ke dalam gambar diam, misalnya lukisan dan foto. Oleh

karena itu, menurut Arnheim, dialog juga tidak dapat dimasukkan ke dalam film karena film

menyerupai lukisan dalam hal cara merepresentasi, yaitu lewat visual. Ketiadaan dialog

dalam film bisu sebenarnya justru membuat film bisu memiliki ciri khas sendiri, mampu

menciptakan situasi dramatis yang kuat lewat visualisasi. Situasi seperti berteman atau

bermusuh dapat direpresentasi dengan adegan-adegan sederhana, misalnya seorang yang

membungkuk terhadap orang lain. Sederhana tetapi kuat. Lagipula harus ada sebuah medium

yang dominan dalam setiap bentuk karya seni. Dalam hal ini film seharusnya didominasi oleh

gambar bergerak bukan dialog karena walaupun film menjadi lengkap sebagai sebuah karya

seni akan tetapi film menjadi miskin dalam visualisasi.

Kemungkinan Dialog Dalam Film

Industri film hiburan menyajikan begitu banyak judul film dengan berbagai genre. Tetapi, apa

yang mereka lakukan kadang tidak menghasilkan film yang baik secara seni. Banyak faktor

yang menyebabkan hal tersebut, salah satunya muatan dialog yang menjadikan film yang

mereka buat seolah-olah bercerita sendiri tanpa memberi kesempatan penonton untuk

melakukan interpretasi yang dalam terhadap film tersebut. Apabila melihat respon penonton,

tidak selamanya film yang tidak bagus secara seni memiliki respon yang buruk. Namun, film

yang dilempar ke pasar secara masal memiliki penonton dengan latar belakang yang berbeda-

beda yang membuat validasi film oleh penonton, sebagai film yang bagus atau tidak,

menyumbang peran cukup besar dalam menggeser film sebagai seni. Oleh karena itu, perlu

ada usaha untuk mengembalikan film. Salah satunya dengan melihat kembali ontologi dasar

film sebagai seni. Dengan kata lain, kembali melihat film tradisional yang sukses menjadikan

gambar bergerak sebagai elemen utama film.

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 14: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

14    

Universitas Indonesia  

Arnheim berupaya untuk mengembalikan posisi film sebagai seni visual murni dengan dasar

teori film tradisional. Di satu sisi, apa yang dilakukan Arnheim ini memiliki peran yang

cukup besar untuk melihat film sebagai seni. Pasalnya apa yang terjadi dengan film sekarang

ini justru sebaliknya. Kekuatan visual film melemah akibat dialog yang menguasai seluruh

jalan cerita. Bahkan film terlihat sekedar bercerita lewat dialog dengan kehadiran gambar

bergerak sebagai pelengkap. Apalagi jika melihat film yang diadaptasi dari novel terlaris

sepanjang tahun. Tak jarang pecinta novel dan film kecewa dengan hasil adaptasi yang dinilai

kurang bisa merepresentasi seperti apa yang mampu dilakukan mereka ketika membaca novel

tersebut karena mereka dapat menginterpretasi penuh novel tersebut.

Kembali kepada teori film tradisional menciptakan pemahaman awal posisi film dalam seni.

Film sebagai seni visual. Film harus memiliki kekuatan representatif pada gambar bergerak.

Menciptakan bahasanya sendiri lewat gambar bergerak bukan lewat bahasa verbal.

Penggunaan bahasa verbal pastinya akan mempermudah proses pemahaman tetapi

mengurangi nilai artistik jika hal tersebut dilakukan di dalam film.

Arnheim terlihat sangat menutup kemungkinan potensi suara, baik dialog maupun suara latar,

sebagai pelengkap film. Pelengkap yang sebenarnya. Menambah kekayaan film dengan tidak

menghancurkan kekuatan visualisasi film. Kritikus film dan para penggiat film lainnya telah

lama fokus terhadap apa yang diutarakan Arnheim, yaitu tentang bahaya dialog bagi film.

Tetapi, sebagian juga melihat dialog sebagai alat yang baik dalam menghindari pemahan

yang bias terhadap gambar bergerak. Siegfried Kracauer mengatakan bahwa dialog tetap

memiliki tempat di dalam film yang tidak merusak film sebagai seni visual. Pemikiran ini

terlihat memberikan gagasan yang berbeda dari Arnheim yang sama sekali tidak melihat

kemungkinan dialog dan gambar bergerak bekerja secara bersamaan.

Siegfried Kracauer setuju bahwa dialog menjadi masalah ketika menguasai sebagian besar

film, seperti film kebanyakan. Tetapi dialog tetap dimungkinkan di dalam film. Kesadaran

tentang bahaya dialog di dalam film membuat banyak pembuat film memahami beberapa

prinsip dasar agar dapat memasukkan dialog ke dalam film mereka. Salah satunya penciptaan

dialog yang konversional, bukan dialog-dialog harfiah. Penyampaian dialog harus ringan

untuk tujuan mengimbangi perpindahan gambar visual yang cepat. Dialog harus diciptakan

dengan tidak mengalihkan pandangan penonton dari gambar bergerak namun harus tetap

sinkron baik dalam penyampaian makna paralel atau yang sama sekali berbeda dengan apa

yang ditunjukkan oleh visualisasi film tersebut. Dialog dengan tingkat pemahaman yang sulit

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 15: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

15    

Universitas Indonesia  

akan mengalihkan perhatian penonton dari visualisasi film. (Siegfried Kracauer, 1960, hal.

124-125)

Para pembuat film juga harus mengubah cara menggunakan dialog sebagai penyampai makna

komunikasi menjadi manisfetasi visual. Dialog akan lebih baik ketika memiliki karakteristik

material dibandingkan sebagai penyampai makna secara langsung. Ini menyambung

pemikiran sebelumnya bahwa dialog tidak dibuat secara harfiah. Film tetap harus di dominasi

oleh visual agar tujuran sinematik film tercapai. Kracauer mencontohkan beberapa adegan

yang dapat mempertajam pemahaman tersebut.

1. Bayangkan ketika kita menonton sebuah adegan berdialog akan tetapi peran

visual lebih dominan dibandingkan dialog. Apa yang diucapkan oleh aktor tidak

memberi makna tambahan atau justru menduplikasi terhadap visual tetapi

menyampaikan makna paralel yang sebenarnya tanpa dialog pun telah

tersampaikan secara jelas oleh gambar bergerak. Misalnya ketika seorang aktor

menyatakan perang secara verbal dalam sebuah adegan yang mengambil tempat

di medan perang. Dialog verbal menjadi tidak berguna dan terkesan diletakkan

secara asal yang justru menganggu perhatian penonton dari gambar bergerak.

2. Sebuah adegan dari film Alfred Hitchcock (Blackmail, 1929) ketika gadis muda

kembali ke kedai ibunya setelah melakukan pembunuhan terhadap seorang pria

yang ditemuinya. Di kedai tersebut ia bertemu dengan ibu-ibu penggosip yang

berbicara panjang lebar tetapi kamera tetap fokus ke wajah gadis muda tersebut

sampai pada akhirnya ibu penggosip tersebut menyebutkan kata “pisau” yang

membuat ekspresi dan gestur gadis muda tersebut berubah karena mengingat

kejadian pembunuhan yang dilakukannya menggunakan pisau. Adegan dibuat

seolah-olah ibu-ibu penggosip tersebut mengulang-ulang kata pisau sampai

akhirnya gadis muda itu tersentak melempar pisau roti yang dipegangnya.

Pengucapan kata pisau yang tidak dimaksudkan secara harfiah merupakan

penggunaan dialog yang sinematik. Selain itu juga pengulangan dialog pisau

tersebut merupakan representasi dari sebuah adegan lain yang tidak

menerjemahkan adegan visual yang sedang berlangsung.

Selain dialog, bunyi-bunyian juga bisa saja dimasukkan ke dalam film tanpa menciderai

visual film. Justru pada awalnya walaupun sebagian pembuat film tradisional mengkritik

penemuan suara dalam film, bunyi-bunyian merupakan suara yang paling mungkin

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 16: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

16    

Universitas Indonesia  

dimasukkan ke dalam film tanpa resiko menggeser peran gambar bergerak, seperti yang

mungkin dilakukan dialog. Sifat bunyi yang natural membuat ia dapat disandingkan dengan

gambar bergerak tanpa mengubah atau mengulang makna tetapi menjadi menjadi pelengkap.

Bunyi (noises) memiliki potensi sebagai penyampai makna simbolik atas sebuah fenomena

material yang divisualisasi dalam film. Penggunaan bunyi juga dapat menimbulkan duplikasi

makna, apalagi ketika digabungkan dengan dialog, misalnya seorang aktor mengucapkan

dialog “Penulis mendengar bunyi petir.” dan seketika itu pula kita mendengar bunyi petir.

Penggunaan bunyi yang sinematik bisa dilihat dari contoh berikut: ketika terdengar suara

tangisan seorang perempuan, sutradara memberikan kita visualisasi kepadatan jalan raya,

bunyi klakson mobil, bunyi mesin kendaraan, dan kamera bergerak seolah-olah mencari

sumber suara yang terengar sebagai tangisan meminta pertolongan. Bunyi-bunyian di

kepadatan jalan raya membantu memberikan pemahaman bahwa tangisan perempuan tersebut

memiliki arti permintaan tolong dan jika tanpa visualisasi dan bunyi-bunyian tersebut

penonton dirasa akan terjebak dalam pemahaman yang salah. (Siegfried Kracauer, 1960, hal.

125-126)

Bahkan bunyi dapat memberikan pemahaman terhadap visualisasi yang “tak nampak” secara

sinematik. Misalnya, ketika kamera menyorot wajah seorang perempuan yang sedang melihat

keluar jendela tanpa kita tahu apa yang terjadi diluar jendela tersebut. Ketika bunyi pintu

mobil terdengar maka kita tahu bahwa sebuah mobil datang. Penonton mendapatkan

pemahaman sebuah adegan pelengkap yang ditangkap hanya dengan sebuah bunyi. Hal ini

terjadi karena bunyi di dalam film berasosiasi dengan pengalaman kita sehari-hari.

Kesimpulan

Realitas dan film jelas berbeda. Film adalah bagian terpisah dari dunia nyata. Meskipun

kadang film menangkap realitas secara sangat baik, tetapi tetap saja dunia nyata dan dunia

film berbeda. Ketika fenomena di dunia nyata masuk ke dalam dunia film, kita tidak dapat

mengatakan bahwa apa yang terjadi di dalam film tersebut adalah “kenyataan”. Dunia nyata

adalah dunia yang kita alami sedangkan dunia film adalah dunia yang kita apresiasi sebagai

karya seni. Jadi, walaupun warna-warna dalam film membuat film terlihat seperti dunia

nyata, sesungguhnya pemahaman seperti itu adalah keliru. Film menghadirkan dunia nyata

sebagai representasi terhadap sesuatu dan dunia nyata adalah fasilitas untuk melakukan

interpretasi terhadap film tersebut.

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 17: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

17    

Universitas Indonesia  

Suara dalam film juga terlihat berpotensi untuk menggeser posisi gambar bergerak dalam

menciptakan bahasa visual, seperti yang mampu dilakukan oleh film bisu. Tetapi, dengan

beberapa kondisi suara dapat berjalan bersamaan dengan gambar bergerak dengan tidak

mendominasi gambar bergerak. Suara, baik dialog maupun bunyi, justru dapat menambah

pemahaman penonton terhadap adegan-adegan visual yang ditampilkan.

Film, dan karya seni lainnya, juga tidak bisa hanya dilihat sebagai bentuk artefak semata

karena film melibatkan penonton dalam proses menuju kesenian tersebut. Selain itu,

berbicara karya seni secara umum, banyak faktor lain yang membuat sebuah karya layak

dikatakan sebagai karya seni, misalnya dimana tempat karya tersebut ditunjukkan, orang

yang membuat karya tersebut, dan juga siapa yang menikmati karya tersebut. Bayangkan

ketika penonton tidak memiliki pemahaman awal bahwa film adalah film. Realitas yang

tampak di dalam film bukanlah dunia nyata. Penikmat seni inilah yang membuat film tidak

sekedar diputar dan dilihat di layar datar tetapi untuk diinterpretasi, musik tidak sekedar

diputar tetapi untuk didengarkan, dan lukisan tidak sekedar dipajang dalam pameran tetapi

untuk diinterpretasi. Faktor-faktor lain diluar artefak karya seni tersebut juga memegang

peranan penting dalam pencapaian sebuah karya seni. Penikmat seperti ini memberikan

apresiasi terhadap sebuah karya dalam kacamata seni yang akan menjadikannya bernilai seni.

Daftar Acuan

Buku:

Arnheim, Rudolf. (1957). Film as Art. California: University of California Press

Arnheim, Rudolf. (1969). Visual Thinking. California: University of California Press

Carroll, Noel. (2000). Theories of Art Today. Madison: University of Winconsin Press

Carroll, Noel. (1996). Theorizing The Moving Image. New York: Cambridge University Press

Graham, Gordon. (2005). Philosophy of The Arts: An Introduction To Aesthetics. London dan

New York: Routledge

Jarvie, Ian. (1987). Philosophy of The Film: Epistemology, Ontology, Aesthetics. New York

dan London: Taylor & Francis Routledge

Kracauer, Siegfried. (1960). Theory of Film: The Redemption of Physical Reality. New York:

Oxford University Press

Verstegen, Ian. (2005). Arnheim, Gestalt and Art: A Psychological Theory. New York:

Springer Wien

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013

Page 18: FILM SEBAGAI SENI VISUAL: SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS ...

18    

Universitas Indonesia  

Jurnal:

Arnheim, Rudolf. (1943). “Gestalt and Art” The Journal of Aesthetics and Art Criticism 2:

71-75

Bazin, Andre. (1960). “The Ontology of the Photograpic Image” Film Quarterly 13: 4-9

Danto, Arthur. (1964). “The Artworld” Journal of Philosophy 61: 571-584

Danto, Arthur. (1973). “Artwork and Real Things” Theoria 39: 1-17

Lehar, Steven. (2004). “Gestalt Isomorphism and the Primacy of Subjective Conscious

Experience: A Gestalt Bubble Model” Behavioral and Brain Sciences 26: 375-444.

Sesonske, Alexander. (1974). “Aesthetics of Film, or a Funny Thing Happened on The Way

to The Movies” Journal of Aesthetics and Art Criticism 33: 51-57.

Internet:

http://www.filmsite.org

http://plato.stanford.edu

http://www.wikipedia.com

http://cabinetmagazine.org/issues/2/rudolfarnheim.php

Film sebagai…, Taufik Rahman, FIB UI, 2013