file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash...

16
Kaidah Mengikuti Ulama Dalam Pengambilan Hukum Syariah Oleh: Hamad Thabib-Baitul Maqdis Akhir-akhir ini kita melihat makin hangatnya perbincangan tentang keragaman fatwa fuqaha dalam satu persoalan, antara yang mengharamkan dan menghalalkan. Akibatnya, khalayak mengalami kebingungan: ulama manakah yang harus mereka ikuti pendapatnya; seperti apakah standar yang benar dalam mengambil dan menolak suatu pendapat dari para ulama? Untuk menjawab pertanyaan yang sangat penting ini, kita akan membahas topik ini dari beberapa sisi. 1. Prinsip yang ditetapkan oleh syariah dalam memahami dan mengamalkan hukum. Allah SWT telah menyeru setiap Muslim secara langsung untuk memahami nash-nash syariah baik ayat al-Quran ataupun teks-teks as-Sunnah serta mengamalkan tuntutan yang terkandung dalam nash- nash tersebut (Lihat: QS al-Anfal [8]: 20 dan al-A’raf [7]:3). Pada prinsipnya nash-nash syariah adalah ungkapan berbahasa Arab yang memiliki dilalah dan makna yang bisa dipahami. Seorang Muslim bisa memahami bahasa al-Quran, yakni bahasa Arab, secara langsung. Dengan itu ia pun bisa langsung memahami seruan Asy-Syari’ dari nash-nash tersebut dan mengamalkan tuntutan yang ada di dalamnya. Hal seperti ini telah dipraktikkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Itulah prinsip dalam persoalan ini bagi setiap Muslim. Dr. Abdul Karim Zaidan menyatakan dalam kitabnya, Al-Wajiz fi Ushul al- Fiqh: Setiap mukallaf harus menaati Allah dan Rasul-Nya tanpa kecuali . Kewajiban ini tentu menuntut mereka untuk mengetahui perkara yang disyariahkan Allah SWT baik yang termaktub dalam al-Quran ataupun yang terangkai dalam ucapan Rasulullah saw. Mengetahui perkara yang disyariatkan Allah SWT dilakukan dengan merujuk pada

Transcript of file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash...

Page 1: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa

Kaidah Mengikuti Ulama Dalam Pengambilan Hukum Syariah

Oleh: Hamad Thabib-Baitul Maqdis

Akhir-akhir ini kita melihat makin hangatnya perbincangan tentang keragaman fatwa fuqaha dalam satu persoalan, antara yang mengharamkan dan menghalalkan. Akibatnya, khalayak mengalami kebingungan: ulama manakah yang harus mereka ikuti pendapatnya; seperti apakah standar yang benar dalam mengambil dan menolak suatu pendapat dari para ulama? Untuk menjawab pertanyaan yang sangat penting ini, kita akan membahas topik ini dari beberapa sisi.

1.       Prinsip yang ditetapkan oleh syariah dalam memahami dan mengamalkan hukum.

Allah SWT telah menyeru setiap Muslim secara langsung untuk memahami nash-nash syariah baik ayat al-Quran ataupun teks-teks as-Sunnah serta mengamalkan tuntutan yang terkandung dalam nash-nash tersebut (Lihat: QS al-Anfal [8]: 20 dan  al-A’raf [7]:3).

Pada prinsipnya nash-nash syariah adalah ungkapan berbahasa Arab yang memiliki dilalah dan makna yang bisa dipahami. Seorang Muslim bisa memahami bahasa al-Quran, yakni bahasa Arab, secara langsung. Dengan itu ia pun bisa langsung memahami seruan Asy-Syari’ dari nash-nash tersebut dan mengamalkan tuntutan yang ada di dalamnya. Hal seperti ini telah dipraktikkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Itulah prinsip dalam persoalan ini bagi setiap Muslim.

Dr. Abdul Karim Zaidan menyatakan dalam kitabnya, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh:

Setiap mukallaf harus menaati Allah dan Rasul-Nya tanpa kecuali. Kewajiban ini tentu menuntut mereka untuk mengetahui perkara yang disyariahkan Allah SWT baik yang termaktub dalam al-Quran ataupun yang terangkai dalam ucapan Rasulullah saw. Mengetahui perkara yang disyariatkan Allah SWT dilakukan dengan merujuk pada nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, mengambil hukum dari keduanya setelah memahami nash-nash tersebut dan mengetahui maksud yang terkandung di dalamnya. Jika seorang mukallaf tidak menemukan hukum secara jelas dalam nash-nash tersebut, baru dia beralih pada ijtihad sebagaimana yang diperintahkan oleh syariah. Lalu berijtihadlah dia dalam koridor yang ditetapkan syariah. Inilah jalan yang lurus untuk mengetahui dan mengamalkan hukum-hukum (Al-Wajiz, hlm. 411).

Hanya saja, kebanyakan kaum Muslim kesulitan melakukan itu. Hal ini bisa disebabkan mereka tidak mengetahui bahasa Arab atau kurang mengetahui makna-maknanya secara mendalam, khususnya setelah banyak kesalahan dalam tata bahasa dan khalayak sudah tidak mengetahui lagi bahasa Arab yang baik dan benar (fushha). Mereka yang seperti ini membutuhkan orang lain yang lebih memahami nash-nash syariah. Hal seperti itu dibolehkan di mata syariah dengan sejumlah patokan tentunya.

Dulu, sekelompok sahabat Rasulullah saw. saling bertanya satu sama lain tentang beberapa persoalan tertentu yang memang cukup sukar untuk mereka pahami. Rasulullah saw. telah

Page 2: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa

menyebutkan bertingkatnya pemahaman para sahabat terhadap nash-nash syariah. Rasulullah saw. bersabda, “Di antara umatku, orang yang paling sayang kepada umatku adalah Abu Bakar; orang yang paling ketat dalam masalah yang ditetapkan Allah adalah Umar; orang yang paling pemalu adalah Utsman; orang yang paling mahir dalam membaca Kitabullah adalah Ubay bin Kaab; orang yang paling memahami hukum faraidh adalah Zaid bin Tsabit; orang yang paling tahu halal-haram adalah Muadz bin Jabal. Setiap umat memiliki orang kepercayaan dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” (HR at-Tirmidzi).

Abdul Karim Zaidan mengatakan:

Jika seorang mukallaf tidak mampu mengetahui hukum-hukum melalui cara ini (yakni berijtihad sendiri), dia harus bertindak seperti apa yang diperintahkkan Allah SWT, yakni dia harus bertanya kepada orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum Allah dalam persoalan yang ingin diketahui status hukumnya itu. Allah SWT berfirman dalam QS an-Nahl ayat 43 (yang artinya): Bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak tahu (Al-Wajiz, hlm. 411).

2.       Perbedaan pendapat dan keragaman fatwa yang dibolehkan dan yang diharamkan.

Sesungguhnya perbedaan pendapat yang terjadi di antara para sahabat Rasulullah saw. dan diakui oleh beliau adalah dalam persoalan yang memungkinkan adanya keragaman pemahaman terhadap suatu makna. Rasulullah saw., misalnya, bersabda, “Janganlah seorang pun shalat Ashar kecuali di Banu Quraidhah.” (HR al-Bukhari dari Ibnu Umar). Para sahabat Rasulullah saw. berbeda pendapat dalam menyikapi perintah ini: sekelompok sahabat melaksanakan shalat di perjalanan;  sekelompok lainnya tidak melakukan itu karena berketetapan hendak shalat di perkampungan Banu Quraidzah. Rasulullah saw. mengakui dua pemahaman ini dan memujinya (Lihat: Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, 1/203).

Jika nash syariah mengandung keragaman pemahaman maka perbedaan pendapat dalam hal itu dibolehkan. Lain halnya dengan perkara yang qath’i maknanya dan tidak mengandung makna ganda. Perbedaan pendapat di dalamnya adalah diharamkan. Misalnya firman Allah SWT (yang artinya): Dirikanlah shalat (TQS al-Baqarah [2]: 43); Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman (TQS al-Baqarah [2]: 278).

Imam al-Mazari menyatakan dalam kitabnya, Idhah al-Mahshul min Burhan al-Ushul, bahwa nash yang tidak memberikan ruang ijtihad adalah teks yang menunjukkan hukum dengan jelas (sharih), disampaikan dalam redaksi yang tidak mengandung kemungkinan lain (Al-Idhah, hlm. 305).

Al-Asnawi menyatakan dalam kitab Nihayat as-Sul, “Hukum yang memberikan ruang ijtihad adalah hukum syariah yang bersifat zann menurut syariah. Karena itu keharaman zina dan meminum khamar serta seluruh persoalan agama yang mutlak (dharuri) berada di luar ruang ijtihad.” (Nihayat as-Sul, 4/530).

3.       Standar syariah dalam memberikan pendapat syar’i atau fatwa.

Page 3: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa

Beberapa standar syariah yang terpenting adalah:

1)       Pendapat tersebut lahir dari dan berpijak pada nash syariah berupa al-Quran dan as-Sunah yang sahih, dan dalil yang ditunjukkan oleh keduanya yakni Ijmak Sahabat dan Qiyas. Siapa saja yang memberikan pendapat syariah maka dia harus mengetahui nash-nash syariah, Ijmak Sahabat dan Qiyas; mengetahui nash-nash yang me-nasakh dan yang di-mansukh; mengetahui tatacara pen-tarjih-an jika ada dua nash yang jelas-jelas bertentangan, sama saja apakah dua nash ini adalah hadis dengan hadis, atau hadis dengan al-Quran (Lihat: Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz, hlm. 402-405).

2)       Harus memahami fakta dengan pemahaman yang tepat dan cermat agar bisa menurunkan nash yang cocok pada fakta tersebut. Karena itu nash-nash yang bercerita tentang  makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa diturunkan pada kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak sampai pada taraf urgen, misalnya mengambil riba untuk membeli mobil dan menganggap itu sebagai dharurat syar’I; hal seperti ini menyalahi metode menurunkan nash-nash terhadap faktanya.

Dalam persoalan maslahat, Allah SWT sajalah yang menetapkan kemaslahatan para hamba, bukan akal manusia, karena akal itu bersifat kurang dan tidak mampu untuk mengetahui segala yang bermanfaat dan yang menimbulkan madarat (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 216).

3)       Pendapat tersebut tidak boleh menyalahi nash atau pendapat yang jelas-jelas shahih, yang berasal dari al-Quran dan as-Sunnah. Tidak ada ruang ijtihad dalam perkara yang sudah ditetapkan oleh nash yang sharih. Jika sebuah ijtihad menyalahi pendapat yang sharih maka pendapat tersebut harus dibuang jauh-jauh. Imam an-Nawawi berkata, “Seorang mufti dan qadhi tidak perlu menghiraukan orang yang menentang dirinya jika memang dirinya tidak menyalahi nash, Ijmak atau Qiyas Jali (Syarh Shahih Muslim, hlam. 2/24).

4.       Tarjih di antara sejumlah pendapat yang berbeda-beda.

Tarjih itu jika dilakukan oleh orang yang mampu mengkomparasikan sejumlah nash, atau mengetahui ilmu pengetahuan syar’i, yang memungkinkan dia mengamalkan dalil, meninjaunya dan men-tarjih salah satu dari dua dalil, maka harus didasarkan pada qarinah tertentu. Misalnya, ketika memperhatikan dua pendapat, orang tersebut melihat salah satu pendapat berpijak pada hadis dha’if, maka dia akan meninggalkan pendapat tersebut dan men-tarjih pendapat yang lain. Contoh lain: orang tersebut memperhatikan dua pendapat, lalu melihat bahwa salah satu pendapat berpijak pada nash yang sudah di-nasakh, maka dia meninggalkan pendapat tersebut dan mengikuti pendapat yang kedua. Al-Juwaini berkata, “Tarjih itu adalah memenangkan sebagian amarat atas sebagian yang lain secara dzanni. (Al-Burhan, 2:175).

Jika tarjih dilakukan oleh orang awam, itu harus dilakukan dengan tidak menuruti hawa nafsu, misalnya karena pendapat tersebut lebih mudah atau di dalamnya ada maslahat. Tarjih-nya harus berpijak pada dua perkara: (1) faktor lebih mengetahui; yakni dengan mendengar dari orang-orang bahwa si alim fulan itu lebih mengetahui dari yang lain; (2) faktor ketakwaan; ini juga dengan cara mendengar dan menelusuri hal-ihwal ketakwaan dan kewaraan si alim ini. Sirajudin

Page 4: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa

al-Armawi menyatakan dalam kitab at-Tahshil min al-Mahshul, “Meminta fatwa tidak boleh dilakukan kecuali dari orang yang diduga kuat sebagai mujtahid dan wara.”  (2/305).

Al-Khudhari berkata dalam kitab Al-Ushul, “Meminta fatwa tidak boleh dilakukan kecuali dari orang yang diketahui sebagai orang yang berilmu dan bersifat adil. Siapa saja yang diketahui tidak memiliki salah satu dari dua sifat ini, maka biasanya dia tidak boleh diikuti.” (hlm. 382).

Karena itu fatwa tidak boleh diambil misalnya dari orang yang terkenal suka canggung terhadap para pelaku kezaliman dan kefasikan, juga dari orang yang suka duduk-duduk dengan mereka karena ketakwaan orang seperti itu diragukan (Lihat: QS al-An’am [6]: 68 dan an-Nisa’ [4]: 140).

Rasulullah saw. bersabda, “Setelahku nanti akan ada para pemimpin; siapa saja yang suka menemui mereka, membenarkan kedustaan mereka, membantu mereka melakukan kezaliman, maka orang itu tidak termasuk golonganku, aku bukan termasuk golongannya, dan dia tidak akan datang kepadaku di telaga.” (HR al-Hakim).

Fatwa juga tidak boleh diambil dari orang yang suka berubah-ubah dalam berfatwa sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan (Lihat: QS Shad [38]: 26).

5.       Pendapat waliyul amri dalam pen-tarjih-an.

Para khalifah radhiyalLahu anhum telah mengadopsi satu pendapat syariah dalam sejumlah persoalan yang diperselisihkan yang dengan itu bisa membentuk dan menjaga persatuan kaum Muslim. Misalnya, selama masa kekhilafahannya, Abu Bakar mengikuti pendapat jatuhnya talak tiga sekaligus; Umar mengambil pendapat yang berbeda dengan pendapat Abu Bakar ketika dia (Umar) memegang jabatan khilafah (tiga talak sekaligus tetap dipandang jatuh satu talak, red.). Abu Bakar juga dalam posisinya sebagai waliyul amri telah mengambil pendapat untuk membagikan fai dan ghanimah berupa tanah untuk tentara yang ikut berperang. Sebaliknya, Umar mengambil pendapat yang berbeda dengan bersandar pada nash syariah, yakni firman Allah SWT dalam surat al-Hasyr: 10).

Seorang waliyul amri boleh mengikuti satu pendapat dalam pen-tarjih-an, kemudian memberlakukan pendapat tersebut kepada seluruh kaum Muslim untuk menyatukan pendapat mereka dengan pendapatnya ini. Syarat waliyul amri yang memiliki wewenang seperti itu adalah orang yang benar-benar mengurus urusan kaum Muslim, yakni amirul mukminin, atau khalifah kaum Muslim. Ketaatan kepada waliyul amri ini dikaitkan dengan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 59). Disyaratkan pula agar terpenuhi sifat waliyul amri dari sisi bahwa dia diserahi urusan kaum Muslim melalui metode yang sah menurut syariah. Juga disyaratkan agar dia adalah seorang Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat in’iqad yang sah menurut syariah.

Imam al-Qarafi menyatakan dalam kitab Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, “Seorang imam ketika memegang otoritas publik terhadap rakyatnya, diharuskan untuk mencegah timbulnya ketidakharmonisan dan pertentangan serta menghilangkan perbedaan di tengah-tengah umat. Inilah salah satu kewajiban terpenting yang dia tanggung.” (2/103).

Page 5: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa

Inilah uraian singkat mengenai tatacara mengambil pendapat yang syar’i.  Seorang Muslim harus memperhatikan betul dari siapa dia mengambil agamanya. Ingatlah, setiap orang akan berdiri di hadapan Allah SWT dan akan ditanyai tentang segala sesuatu baik yang besar ataupun yang kecil. Ketidaktahuannya tidak bisa dijadikan alasan karena dia telah diwajibkan untuk bertanya kepada orang yang tahu dari kalangan orang bertakwa dan berilmu (Lihat: QS an-Nahl [16]: 43).

Kami memohon kepada Allah SWTagar kami termasuk orang yang mendengarkan pendapat dan kemudian mengikuti pendapat terbaik. Akhir doa kami adalah pujian bagi Allah, Tuhan semesta alam. [Hamad Thabib-Baitul Maqdis]; [Diterjemahkan dan disarikan oleh Dede Koswara, Staff Pengajar Ma’had al-Abqary Serang]

Ushul Fiqh: Mencari yang Terkuat di antara Beberapa Dalil (al-Tarjîh bayna al-Adillah)

Apabila terjadi pertentangan antara beberapa dalil; dan di antara dalil-dalil itu tidak ada yang lebih kuat daripada yang lain, kasus seperti ini disebut sebagai al-ta’âdul. Al-Ta’âdul ini tidak akan terjadi pada dalil-dalil yang bersifat qath’iy (pasti). Sebab, tidak akan terjadi pertentangan di antara beberapa nash atau dalil yang qhath’iy. Juga tidak akan terjadi antara dalil yang qhath’iy dengan dalil yang zhanniy (dugaan). Sebab, yang qhath’i harus didahulukan terhadap yanag zhanniy.

Begitu juga al-ta’âdul ini tidak akan terjadi antar dalil-dalil yang zhanniy dilihat dari sisi fakta pensyari’atan  (al-wâqi’ al tasyrî’i), meskipun dilihat dari perkiraan manthiq bisa saja terjadi. Hanya saja hal ini bertentangan dengan fakta pensyari’atan.

Karena dalil-dalil yang zhanniy apabila bertentangan dilihat dari seluruh sisi tanpa terdapat sesuatu yang menguatkan atau melebihkan salah satu diantaranya, maka dalam keadaan seperti ini tidak mungkin bisa mengamalkannya atau mengamalkan dalil zhanniy yang manapun juga.

Apabila mengamalkan seluruhnya sedangkan dalil-dalil tersebut bertentangan satu sama lainnya, maka hal ini sama saja dengan berkumpulnya sesuatu yang berlawanan dengan lawannya, dan  hal seperti ini jelas tidak mungkin terjadi.

Page 6: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa

Apabila kita mengamalkan salah satunya tanpa mengamalkan yang lainnya maka berarti merupakan pentarjihan tanpa adanya faktor yang menguatkannya, karena dalil-dalil tersebut bertentangan dalam seluruh aspeknya.

Apabila kita tidak mengamalkannya berarti nash dalil-dalil tersebut sia-sia (main-main), sedangkan adanya unsur kesia-siaan (main-main) dalam syari’at mustahil bagi Allah.

Berdasarkan penjelasan di atas maka al-ta’âdul sebenarnya tidak akan terdapat di antara dali-dalil syara’.

Sedangkan apabila terjadi pertentangan diantara dalil-dalil syara; dan ada sebagian dalil yang lebih kuat dari yang lainnya, maka kasus seperti ini disebut al-tarjîh. Yaitu menguatkan salah satu diantara dua dalil terhadap yang lainnya untuk agar bisa diamalkan. Secara bahasa,  al-tarjîh berarti mencondongkan (al-tamyîl) dan mengalahkan (al-taghlîb).

Al-Tarjîh hanya ada pada dalil-dalil yang zhanniy (dugaan). Tidak bisa terjadi dalam dalil-dalil yang qhath’iy (pasti), karena tidak akan terjadi pertentangan di antara dali-dalil yang qhathiy.

Mengkompromikan Dalil yang Kelihatan Bertentangan (al-Jam’ bayn al-Adillah)

Yang menjadi asal adalah mengkompromikan di antara berberapa dalil yang kelihatannya bertentangan (al-jam’ bayn al-adillah), yakni mengamalkan kedua dalil (yang kelihatannya bertentangan). Apabila hal itu memungkinkan, maka itulah asalnya (yang harus di ambil). Jika tidak memungkinkan maka baru kita berpegang kepada al-tarjîh, karena ada kaidah: “mengamalkan kedua dalil yang bertentangan lebih utama daripada meninggalkannya”.

Berikut ini kami akan menuturkan sebagian keadaan yang mengharuskan pengamalan diantara dua dalil kemudian setelah itu baru akan dipaparkan tantang kondisi-kondisi al-tarjîh (memilih yang lebih kuat).

Kompromi diantara dua dalil – (mengamalkan dua dalil) :

1. Apabila Rasulullah saw mengerjakan suatu pekerjaan kemudian pada kesempatan lain Rasul mengerjakan pekerjaan lain yang berlawanan dengannya. Kasus seperti ini menunjukan bahwa aktifitas tersebut hukumnya ibahah (boleh dilakukan, boleh ditinggalkan), seperti :

a. Menerima Hadiah.

ة له أو ناقة م هدي ه عليه وسل بي صلى الل ه أهدى للن عن عياض بن حمار أني نهيت عن زبد م أسلمت قال ال قال فإن ه عليه وسل بي صلى الل فقال النالمشركينDiriwayatkan dari Iyad bin Himar bahwasannya Rasulullah tidak pernah menerima hadiah dari seoarng kafir setelah beliau bertanya, “Apakah engkau akan masuk Islam?” Orang kafir itu

Page 7: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa

menjawab, “Tidak.” Rasul bersabda, “Sesungguhnya aku telah dilarang menerima hadiah dari kaum musyrikin.248

Namun ada juga riwayat shahih yang menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah menerima hadiah dari al-Najasyi, Akidar Daumah, dan Muqauqis. Hal ini dikuatkan dengan perkataan Aisyah bahwa Rasulullah saw suka menerima hadiah dan membalasnya.

Mengkompromikan antara kedua dalil tersebut menurut pendapat kami adalah bahwa menerima hadiah itu hukumnya mubah.

b. Ketika dilewati jezanah

اخرج الطبرانى في األوسط أن جنازة مرت على ابن عباس والحسن بن على, فقام أحدهما وقعد األخر. فقال القائم للقاعد أليس قد قام رسول

الله فقال بلى وقعدAl-Thabrani mengeluarkan suatu hadits dalam al-Awasth bahwa suatu ketika ada    jenazah yang melewati Ibnu Abbas dan Hasan bin Ali, kemudian salah satu di antara keduanya berdiri, dan yang lainnya duduk. Orang yang berdiri berkata kepada orang yang duduk : “Bukankan Rasulullah saw ketika dilewati jenazah suka berdiri?” Orang yang duduk menjawab. “Benar, tapi juga beliau pernah duduk. 249.

Maka dari peristiwa itu kita bisa memahami adanya hukum mubah untuk berdiri dan duduk ketika melihat jenazah lewat.

c.   Meminta pertolongan orang kafir

Diriwayatkan dari al-Zuhri bahwa Nabi saw pernah meminta pertolongan kepada sekelompok orang Yahudi pada saat perang Khaibar. Kemudian beliau  memberikan harta rampasan perang kepada mereka.250.

Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw keluar menuju arah Badar, ketika Rasulullah telah sampai di Hurrah al-Wabrah, beliau ditemui oleh seorang lelaki yang dikenal pemberani dan ahli perang. Sehingga sahabat Rasulullah saw merasa gembira ketika melihatnya. Ketika laki-laki itu menyusul Rasulullah saw, dia berkata: “Aku datang untuk mengikutimu dan berperang bersamamu”. Kemudian beliau bersabda kepadanya: “Apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya? Dia berkata: “Tidak”. Beliau bersabda: “Kembalilah kamu aku tidak akan meminta pertolongan kepada orang musyrik“. Aisyah berkata: kemudian Rasululllah saw melanjutkan perjalanannya. Ketika beliau sampai di suatu pohon, beliau disusul kembali oleh laki-laki tadi dan berkata sebagaimana perkataannya yang pertama. Rasulullah saw pun menjawab seperti jawabannya sebelumnya. Kemudian Rasulullah saw kembali dan si laki-laki tadi menyusul beliau di al-Baida. Beliau pun bertanya kepada laki-laki itu, “Apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?” Laki-laki itu menjawab : “Benar”. Kemudian beliau bersabda, “Berangkatlah engkau berperang bersama kami”.251.

Page 8: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa

Dalam salah satu hadits di atas, Rasulullah saw menerima orang kafir untuk berperang dalam barisan kaum muslimin di bawah bendera Islam. Dalam hadits yang lain Rasulullah menolaknya.

Maka dari kedua hadits tersebut dapat dipahami bahwa meminta pertolongan kepada orang-prang kafir untuk berperang di dalam barisan kaum muslimin di bawah panji Islam, hukumnya mubah.

Ini berbeda dengan meminta pertolongan kepada orang kafir di bawah bendera mereka. Yaitu bendera kafir. Maka hal ini tidak boleh. Hal ini disadarkan kepada sabda Rasululllah saw:

ال تستضيئوا بنار المشركينJanganlah kalian meminta penerangan dengan apinya orang-orang musyrik..252

Kata al-nâr (api) di sini adalah kinâyah dari al-kiyân (institusi). Suatu kabilah akan menyalakan api sebagai isyarat pengumuman atas peperangan. Meminta penerangan dengan api orang-orang musyrik berarti berperang di bawah bendera mereka. Inilah yang diharamkan.

Hal ini dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hamid Al Saaidi, dia berkata bahwa Rasulullah saw keluar menuju peperangan. Ketika beliau meninggalkan Tsaniyyah al-Wadâ’ tiba-tiba ada sekelompok orang. Beliau bertanya, “Siapa mereka ?” Para sahabat menjawab, “Mereka adalah Yahudi Banu Qainuqa. Yaitu kelompok Abdullah bin Salam”. Rasul bertanya lagi: “Apakah mereka sudah masuk Islam?” Para Sahabat berkata, “Belum.” Kemudian Rasulullah saw memerintahkan mereka supaya kembali seraya bersabda: Sesungguhnya kami tidak akan meminta pertolongan kepada orang-orang musyrik, maka masuk Islamlah kalian.253.

Bani Qainuqa  tersebut mau keluar untuk berperang di bawah bendera mereka. Adapun permintaan tolong Rasulullah kepada sekelompok Yahudi pada saat perang Khaibar, maka kelompok Yahudi tersebut mau berperang di bawah bendera kaum muslimin sebagaimana telah ditetapkan di dalam sirah.

2.      Apabila Rasulullah saw mengatakan suatu perkataan, kemudian melakukan suatu pekerjaan yang bertentangan dengan perkataannya. Maka pekerjaan itu khusus bagi beliau, sedangkan perkataannya merupakan penjelasan bagi kita. Contohnya:

a. hukum menyentuh wanita setelah berwudhu

Diriwayatkan dari Umar bahwa Rasulullah saw berkata:

القبلة من اللمس فتوضئوا منها“Mencium itu termasuk bersentuhan, maka wudhulah kalian karenanya“254.

Aisyah berkata:

Page 9: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa

Sesungguhnya Nabi saw pernah mencium sebagian istri-istrinya kemudian beliau shalat dan tidak wudhu dulu255.

Maka tidak berwudhu setelah mencium adalah khusus bagi Rasulullah saw. Sedangkan berwudhu karena mencium adalah seruan bagi kita(umatnya).

b. Batasan jumlah wanita yang boleh dipoligami

Diriwayatkan dari Qais bin al-Haris, dia berkata: aku telah masuk Islam sedangkan aku memiliki delapan istri. Kemudian aku datang kepada Rasul saw dan aku menceritakan tentang istri-istriku. Kemudian Rasul bersabda: “Engkau harus memilih empat dari mereka”256.

Sementara itu telah disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa Rasulullah saw menikahi sembilan orang istri257.

Maka itu menunjukan bahwa menikahi lebih dari empat istri secara bersamaan adalah khusus bagi Rasulullah saw.

3.      Apabila Rasulullah mengatakan suatu perkataan kemudian mengatakan perkataan lain yang kelihatannya bertentangan dengan perkataan pertama, maka harus ada upaya mengkompromikan di antara kedua perkataan tsb dengan cara yang memungkinkan. Seperti sabda Rasulullah saw:

ثم يفشو الكذب حتى يشهد الرجل قبل أن يستشهد“Kemudian kelak akan menyebar luaslah kebohongan, sehingga seorang manusia akan bersaksi sebelum diminta untuk jadi saksi”258.

Dalam hadits yang lain Rasullah saw bersabda:

أال أخبركم بخير الشهود فقيل نعم فقال ان يشهد الرجل قبل انيستشهد

“Apakah tidak perlu aku beritakan kepada kalian tentang saksi-saksi yang paling baik”. Para sahabat berkata : “Tentu saja harus”. Rasul bersabda: yaitu apabila seorang manusia bersaksi sebelum diminta untuk menjadi saksi.259.

Cara mengkompromikan kedua hadits tsb adalah sebagai berikut: hadits yang pertama yaitu orang yang bersaksi sebelum diminta untuk menjadi saksi. Inilah persaksian yang dicela di dalam hadits. Hal ini dihubungkan kepada persaksian pada masalah hak sesama manusia sebelum diminta menjadi saksi. Sedangkan hadits yang kedua yaitu tentang persaksian yang dipuji adalah tentang orang yang bersegera menjadi saksi dihubungkan pada hak Allah.

4.      Apabila terdapat  lafadz yang mujmal (lebih dari 1 maksud/plural) dan dijelaskan oleh Rasulullah saw dengan perkataan dan perbuatan yang bertentangan. Contohnya sabda Rasulullah

Page 10: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa

saw setelah ayat Haji: “Barang siapa yang menyertakan Haji terhadap umrah (melaksanakan hajji qiron) hendaklah dia berthowaf satu kali dan bersa’i satu kali” 260.

Dan diriwayatkan juga bahwa Rasulullah saw pernah melakukan Haji qiran kemudian Thawaf dan sa’i masing-masing dua kali.261

Maka cara mengkompromikan dua hadits tersebut adalah seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya tentang mujmal dan mubayyin (konteks yang dijelaskan) (buku ushul fiqih Hafidz Abdurrahman hal. 315).

5.      Al-Muhkam wa al-Mutasyâbih.

Muhkam artinya ayat yang hanya memiliki satu makna.

Mutasyâbih adalah ayat yang mengandung makna lebih dari satu. Al-Muhkam adalah induk bagi al-Mutasyâbih,  Allah berfirman:

ذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر هو المتشابهات

Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihat (QS Ali Imran [3]: 7).

Apabila terdapat dua ayat yang satu muhkam dan satunya lagi mutasyabih maka yang mutasyabih harus ditafsirkan dengan yang muhkam. Contohnya firman Allah:

وأرجلكمفاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برءوسكمإلى الكعبين

Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki (QS al-Maidah [5]: 6).

Kata wa arjulakum bisa juga dibaca wa arjulikum (nashab dan jar). Apabila dibaca nashab, maka pasti di-athf-kan terhadap kata: fa [i]aghsilû (maka basuhlah). Apabila dibaca jar, maka di-jar-kan dengan sebab mujâwarah (bersandingan dengan yang jar), juga mungkin di-athf-kan terhadap kata: Wamsahû (usaplah). Dengan kata lain apabila dibaca nashab, berarti kaki harus dibasuh (muhkam). Apabila dibaca jar, berarti kaki harus diusap (mutasyâbih). Karena itu bacaan makna jar harus ditasirkan dengan bacaan makna nashab sehingga kaki itu harus dibasuh.

(Sumber: Syekh ‘Atha bin Kholil: Taysîr al-Wushûl ilâ al Ushûl)

248 Al tirmidzi :1504, Abu Daud :2657, Ahmad : 16735.

Page 11: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa

249 Telah ditakhrij pada no: 28.

250 At Tirmidzi :4/127 no 1558

251 muslim:1817, Al Tirmidzi:1558.

252 An Nasaai : 5114, Ahmad: 11516.

253 Abu Daud:2356, Ibnu Majah :2822, Ad Darimi: 2385, Ahmad:15203,23250.

254 diriwayatkan oleh Malik, Syafii dan Baihaki:1/124.

255 Bukhori:1972, An nasaai:170, Ibnu Majah: 496.

256 Abu Daud:2241, Ibnu Majah:1952.

257 diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah saw senantiasa menggilir di antara istri-istrinya sebanyak 9 wanita.. Al Bukhori: 260,275, muslim:2656. Dari Anas bin Malik dia berkata tidak pernah tersisa pada waktu sore pada keluarga Muhammad saw satu sha beras atau biji-bijian padahal Rasul mempunyai 9 orangistri, Al Bukhori:1928, At Tirmidzi: 1136.

258 muslim: 4602, Ahmad:6836, At Tirmidzi:2091,2225, Ibnu Majah:2354.

259 Ibnu Majah:2355, Ahmad:20698. Dan terdapat dalam shohih muslim bab menerangkan saksi-saksi yang paling baik.

260 telah ditakhrij pada no. 226

261 telah ditakhrij pada no. 227

Page 12: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._ILMU_EKONOMI_DAN... · Web viewKarena itu nash-nash yang bercerita tentang makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa

TARJIH ADA DI HAL 316 BUKU USHUL FIQIH, HAFIDZH ABDURRAHMAN