Filariasis

31
FILARIASIS 3.1. DEFINISI Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (jaringan limfatik) yang dapat menyebabkan gejala akut dan kronis. 5 Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan diperkirakan menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di 80 negara terutama negara tropis dan subtropis. Penyakit ini merupakan penyebab utama kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial dan penurunan produktivitas kerja individu, keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. 5 3.2. EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO Penyebaran penyakit filariasis hampir merata di seluruh wilayah Indonesia dan di beberapa daerah dengan tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Jumlah kasus penyakit filariasis di Indonesia cukup banyak. Berdasarkan hasil survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.500 orang, tersebar di 1.553 desa, di 231 kabupaten dan 26 propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya 3.020 Puskesmas (42%) dari 7.221 Puskesmas yang menyampaikan laporan. 1 Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan masalah di daerah dataran rendah.

Transcript of Filariasis

Page 1: Filariasis

FILARIASIS

3.1. DEFINISI

Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria

yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (jaringan limfatik) yang dapat menyebabkan

gejala akut dan kronis.5

Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan diperkirakan menginfeksi sekitar

120 juta penduduk di 80 negara terutama negara tropis dan subtropis. Penyakit ini merupakan

penyebab utama kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial dan penurunan produktivitas

kerja individu, keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.5

3.2. EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Penyebaran penyakit filariasis hampir merata di seluruh wilayah Indonesia dan di

beberapa daerah dengan tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Jumlah kasus penyakit filariasis

di Indonesia cukup banyak. Berdasarkan hasil survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis

yang dilaporkan sebanyak 6.500 orang, tersebar di 1.553 desa, di 231 kabupaten dan 26 propinsi.

Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya 3.020 Puskesmas (42%)

dari 7.221 Puskesmas yang menyampaikan laporan.1

Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan masalah di

daerah dataran rendah. Kadang-kadang dapat juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu

tinggi. Di Indonesia, penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan. Yang terdapat di

kota hanya W.bancrofti yang telah ditemukan di kota Jakarta, Tangerang, Pekalongan, Semarang

dan beberapa kota lainnya.6

Daerah endemis filariasis di indonesia tersebar di banyak pulau di seluruh nusantara

seperti Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan

Papua. Prevalensi infeksi sangat variabel; ada daerah yang nonendemis dan ada pula daerah-

daearh dengan derajat endemis yang tinggi seperti di Papua dan Pulau Buru dengan derajat

infeksi yang dapat mencapai 70%. Prevalensi infeksi dapat berubah-ubah dari masa ke masa dan

pada umumnya ada tendensi menurun dengan adanya kemajuan dalam pembangunan yang

menyebabkan perubahan lingkungan.6

Page 2: Filariasis

Survei darah jari untuk filariasis dilakukan sejak tahun 2006 dengan hasil pada tahun

2006, ditemukan 21 kasus positif filariasis, tahun 2007 nol kasus, tahun 2008 sebanyak 5 kasus

dan tahun 2009 ditemukan 6 kasus. Total kasus sampai tahun 2009 ebanyak 32 kasus. Tahun

2010 tidak dilakukan survey karena adanya peengurangan anggaran, tapi ditemukan 5 orang

penderita klinis.7

Pada tahun 2010 dilakukan pengobatan massal filaria pada seluruh kecamatan di Kota

Padang. Sebelum dilakukan pengobatan massal telah dilatih kader sebanyak 2520 orang. Jumlah

sasaran pengobatan 685.452 penduduk dengan hasil capain sebanyak 527.279 penduduk.

Sementara yang ditunda pemberian obatnya sebanyak 118.994 penduduk. Penduduk yang

katagori tunda adalah berusia 2 tahun, keadaan sakit berat, hamil, menyusui dan gizi buruk.7

Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis, perlu diperhatikan faktor-faktor seperti

hospes, hospes reservoar, vektor dan keadaan lingkungan yang sesuai untuk menunjang

kelangsungan hidup masing-masing.6

1. Hospes

Pada dasarnya, semua manusia dapat terjangkit penyakit filariasis apabila digigit

oleh nyamuk vektor yang infektif. Vektor infektif mendapat mikrofilaria dari orang-orang

setempat yang mengidap mikrofilaria dalam darahnya. Namun demikian, dalam

kenyataannya di suatu daerah endemis, penyakit ini tidak menginfeksi semua orang dan dari

semua orang yang terinfeksi tidak semua menunjukkan gejala. Biasanya, pendatang baru ke

daerah endemis lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita daripada

penduduk asli. Pada umumnya, laki-laki banyak yang terkena infeksi karena lebih banyak

kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure).6

2. Hospes reservoar

Hospes reservoar berperan sebagai sumber penyakit. Diantara cacing filaria yang

menginfeksi manusia di Indonesia, hanya B.malayi yang subperiodik nokturna dan

nonperiodik yang juga ditemukan pada hewan lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca

fascicularis) dan kucing (Felis catus) yang dapat menjadi sumber infeksi pada manusia.

Adanya hospes reservoar akan menyulitkan program pemberantasan. Hal ini disebabkan

karena keterbatasan kemampuan untuk mengatasi keberadaan hospes reservoar sebagai

sumber penyakit.6

Page 3: Filariasis

3. Vektor

Vektor penyakit filariasis adalah nyamuk. Di Indonesia telah diketahui 23 spesies

nyamuk dari genus Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang dapat berperan

sebagai vektor dan vektor potensial filariasis. W.bancrofti yang terdapat di perkotaan

vektornya adalah Culex quinquefasciatus yang menggunakan air kotor dan tercemar sebagai

tempat perindukannya. W.bancrofti di pedesaan dapat ditularkan oleh berbagai spesies

nyamuk.6

Di papua, W.bancrofti ditularkan terutama oleh Anopheles farauti yang dapat

menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Selain itu, terdapat

Anopheles koliensis, Anopheles punctulatus, Culex annulirostris, Aedes kochi dan Aedes

subpictus. B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh berbagai

spesies Mansonia seperti Mansonia uniformis, Mansonia bonneae, Mansonia dives dan lain-

lain yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, kalimanytan, Maluku dan lain-lain.

B.malayi yang periodik ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang menggunakan sawah

sebagai tempat perindukannya, seperti di daerah Sulawesi. B.timori hanya ditemukan di

NTT dan Timor, ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang berkembang biak di daerah

sawah, baik di daerah pantai maupun di daerah pedalaman.6

Untuk pemberantasan vektor filariasis, blonomik (tata hidup) vektor harus

diketahui, mencakup perilaku berkembangbiak, perilaku menggigit dan perilaku istirahat.

Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti semak-semak di sekitar

tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Beberapa sifat dari

nyamuk vektor adalah menyukai darah manusia (antropofilik), menyukai darah hewan

(zoofilik), menyukai darah hewan dan manusia (zooantropofilik), menggigit di luar rumah

(eksofagik) dan menggigit di dalam rumah (endofagik). Perilaku nyamuk sebagai vektor

filariasis menentukan distribusi penyakit ini.6

4. Keadaan lingkungan

Keadaan lingkungan sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan transmisi

penyakit filariasis. Biasanya, daerah endemis B.malayi adalah daerah dengan hutan rawa,

sepanjang sungai atau badan air dan tanaman air. Sedangkan daerah endemis W.bancrofti

tipe perkotaan adalah daerah-daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak

Page 4: Filariasis

genangan air kotor sebagai habitat dari vektor penularnya. Daerah endemis W.bancrofti tipe

pedesaan secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis B.malayi.5

a. Lingkungan fisik

Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis,

struktur geologi dan sebagainya. Faktor lingkungan fisik erat kaitannya dengan

kehidupan vektor. Adanya lingkungan yang cocok untuk kehidupan vektor maka akan

sangat potensial untuk terjadi penularan filariasis. Lingkungan fisik penting pula artinya

untuk tempat perindukan dan tempat istirahat vektor. Suhu dan kelembaban

mempengaruhi pertumbuhan dan umur nyamuk serta mempengaruhi tempat perindukan

nyamuk. Lingkungan rawa dan adanya binatang sebagai hospes reservoar sangat

mempengaruhi penyebaran filariasis B.malayi subperiodik nokturna dan nonperiodik.5

b. Lingkungan biologis5

Lingkungan biologis yang erat kaitannya dengan penularan filariasis adalah

lingkungan hayati yang mempengaruhi transmisi.

c. Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya5

Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai

akibat adanya interaksi antarmanusia. Di dalam lingkungan ini termasuk perilaku, adat

istiadat, budaya, kebiasaan dan tradisi penduduk. Sosial, ekonomi dan budaya masyarakat

setempat yang perlu diperhatikan antara lain adalah kebiasaan bertani/berkebun,

kebiasaan bekerja pada malam hari, atau kebiasaan keluar pada malam hari sebelum tidur

dan sewaktu tidur. Kebiasaan-kebiasaan tersebut berkaitan dengan kontak dengan vektor.

Sehubungan dengan pekerjaannnya, laki-laki menunjukkan angka infeksi yang lebih

tinggi daripada perempuan.

3.3. ETIOLOGI DAN PERJALANAN PENYAKIT

Filariasis disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia

timori.6

Daur Hidup dan Morfologi W.bancrofti

Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe. Bentuknya halus

seperti benang dan berwarna putih susu. Yang betina berukuran 65-100 mm x 0,25 mm dan yang

jantan 40 mm x 0,1 mm. cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran

Page 5: Filariasis

250-300 mikron x 7-8 mikron. Mikrofilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah

tepi pada waktu-waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya, mikrofilaria

W.bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah

tepi pada waktu malam hari. Pada siang hari, mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam (paru-

paru, jantung, ginjal).6

Di daerah Pasifik, mikrofilaria W.bancrofti mempunyai periodisitas subperiodik diurna.

Mikrofilaria terdapat di dalam darah siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu

siang. Di Muangthai terdapat suatu daerah yang mikrofilarianya bersifat subperiodik nokturna.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi periodisitas mikrofilaria adalah kadar zat asam dan zat

lemas di dalam darah, aktivitas hospes, irama sirkadian, jenis hospes dan jenis parasit. Secara

pasti, mekanisme periodisitas mikrofilaria tersebut belum diketahui.6

Daur hidup parasit ini memerlukan waktu sangat panjang. Masa pertumbuhan parasit di

dalam nyamuk kurang lebih dua minggu. Pada manusia, masa pertumbuhan tersebut belum

diketahui secara pasti, tetapi diduga kurang lebih 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan

parasit ini di dalam tubuh lutung. Mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk melepaskan sarungnya

di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot toraks. Mula-

mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan disebut larva stadium I. Dalam

waktu kurang lebih seminggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang,

disebut larva stadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva ini bertukar kulit sekali lagi,

tumbuh makin panjang dan lebih kurus dan disebut larva stadium III yang infektif. Gerak larva

stadium III ini sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga abdomen dan kemudian

ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang mengandung larva infektif ini menggigit

manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk ke dalam tubuh hospes dan

bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva ini mengalami dua kali

pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV, stadium V atau cacing dewasa. Umur cacing

dewasa filaria 5-10 tahun.6

Daur Hidup dan Morfologi B.malayi dan B.timori

Cacing dewasa jantan dan betina hidup di jaringan limfatik, bentuknya halus seperti

benang dan berwarna putih susu. Yang betina berukuran 55 mm x 0,16 mm (B.malayi), 21-39

mm x 0,1 m (B.timori) dan yang jantan 22-23 mm x 0,09 mm (B.malayi), 13-23 mm x 0,08 mm

Page 6: Filariasis

(B.timori). Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Ukuran mikrofilaria

B.malayi adalah 200-260 mikron 8 mikron x dan B.timori 280-310 mikron x 7 mikron.6

Periodisitas mikrofilaria B.malayi adalah periodik nokturna, subperiodik nokturna atau

nonperiodik. Sedangkan mikrofilaria B.timori mempunyai sifat periodik nokturna. Daur hidup

kedua parasit ini lebih pendek dari W.bancrofti. Masa pertumbuhannya di dalam nyamuk kurang

lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Di dalam tubuh nyamuk kedua parasit ini

juga mengalami dua kali pergantian kulit, berkembang dari larva stadium I menjadi larva

stadium II dan III, menyerupai perkembangan parasit W.bancrofti. Di dalam tubuh manusia,

perkembangan kedua parasit tersebut juga sama dengan perkembangan W.bancrofti.6

3. 4. DIAGNOSIS

Tanda-tanda filariasis:5

1. Tahap akut

Demam berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan selama 3-4 hari terutama bila bekerja

berat dan sembuh sendiri tanpa diobati.

Teraba ada urat seperti tali yang berwarna merah dan sakit dari pangkal paha atau ketiak

dan berjalan ke ujung kaki atau tangan.

Abses (luka infeksi) filariasis terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah

bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah disertai darah.

Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong buah zakar yang terlihat agak

kemerahan dan terasa panas (limfadema dini)

2. Tahap kronik

Terjadi pembesaran pada kaki, tangan, kantung buah zakar, payudara dan alat

kelamin wanita yang hilang timbul, lama kelamaan menjadi cacat menetap. Limfedema

terbagi dalam 7 stadium atas dasar hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada

tidaknya nodul (benjolan) serta mossy foot (gambaran seperti lumut).

Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria berikut:

Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh kiri dan kanan, lengan dan

tungkai.

Page 7: Filariasis

Penentuan stadium limfedema lengan (atas,bawah) atau tungkai (atas,bawah) dalam satu

sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema.

Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat.

Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh.

Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum/ sesudah pengobatan dan penatalaksanaan

kasus.

No Gejala Stadium1 Stadium

2

Stadium

3

Stadium

4

Stadium

5

Stadium

6

Stadium

7

1. Bengkak

dikaki

Menghilan

g waktu

bangun

tidur

Menetap

, piting

edema

Meneteap

, non

piting

edema

Menetap Menetap

, meluas

Menetap,

meluas

Menetap

, meluas

2. Lipatan

kulit

Tidak ada Tidak

ada

Dangkal Dangkal Dalam,

kadang-

kadang

dangkal

Dalam,

dangkal

Dalam,

dangkal

3. Nodul Tidak ada Tidak

ada

Tidak ada Ada Kadang-

kadang

Kadang-

kadang

Kadang-

kadang

4. Mossy

foot

Tidak ada Tidak

ada

Tidak ada Tidak

ada

Tidak

ada

Ada Kadang-

kadang

5. Hambata

n

Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya

Tabel 1. Stadium dari limfedema

Diagnosis parasitologi 6

1. Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan

kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi Knott, membrane filtrasi

dan tes provokatif DEC. pengambilan darah dilakukan malam hari mengingat periodititas

mikrofilarianya umumnya nokturna. Pada pemeriksaan histopatologi, kadang-kadang

Page 8: Filariasis

potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang

dicurugai sebagai tumor.

2. Diferensiasi spesies dan stadium filarial, yaitu dengan menggunakan pelacak DNA yang

spesies spesifik and antibody monoclonal untuk mengidentifikasi larva filarial dalam

cairan tubuh dan dalam tubuh nyamuk vector sehingga dapat membedakan antara larva

filarial yang menginfeksi manusia dengan yang menginfeksi hewan. Penggunaannya

masih terbatas dalam survey.

Radiologis 6

1. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening

inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dance

sign). Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan.

2. Pemeriksaan limfoskintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai

dengan zat radioaktifmenunjukkan adanya abnormalitas system limfatik sekalipun pada

penderita asimptomatik mikrofilaremia.

Diagnosis Imunologi 6

Dengan teknik ELISA dan immunochromatographic test (ICT). Kedua teknik ini pada

dasarnya menggunakan antibody monoclonal yang spesifik untuk mendeteksi antigen

W.bancrofti dalam sirkulasi. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun

microfilaria tidak ditemukan dalam darah.

Pada stadium obstruktif, microfilaria sering tidak ditemukan lagi di dalam darah.

Kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah, tetapi ada di dalam cairan hidrokel

atau cairan kiluria.

3.5. TATALAKSANA

1. Pencegahan5

A. Pencegahan massal

Kontrol penyakit pada populasi adalah melalui kontrol vektor (nyamuk). Namun hal ini

terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa hidup parasit (4-8 tahun). Baru-baru ini,

Page 9: Filariasis

khususnya dengan dikenalnya pengobatan dosis tunggal, sekali pertahun, 2 regimen obat

(albendazol 400 mg dan Ivermectin 200 mg/kg BB) cukup efektif. Hal ini merupakan pendekatan

alternatif dalam menurunkan jumlah mikrofilaria dalam populasi.5

Pada pengobatan massal (program pengendalian filariasis) pemberian DEC dosis

standar tidak dianjurkan lagi mengingat efek sampingnya. Untuk itu, DEC diberikan dengan

dosis lebih rendah (6 mg/kg BB), dengan jangka waktu pemberian yang lebih lama untuk

mencapai dosis total yang sama misalnya dalam bentuk garam DEC 0,2-0,4 % selama 9-12

bulan. Atau pemberian obat dilakukan seminggu sekali, atau dosis tunggal setiap 6 bulan atau 1

bulan.5

Pengobatan massal dilakukan di daerah endemis (MF rate >1%) dengan menggunakan

obat Diethyl carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albendazole sekali setahun

selama 5 tahun berturut-turut. Untuk mencegah reaksi pengobatan seperti demam maka diberikan

Paracetamol.8

Umur

(Tahun)

DEC

(100mg)

Albendazole

(400mg)

Paracetamol

(500mg)

2-5 1 1 0,25

6-14 2 1 0,5

>14 3 1 1

Tabel.2 Dosis obat (DEC, albendazole, paracetamol) berdasarkan umur.8

B. Pencegahan individu5

Kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi melalui penggunaan obat oles anti

nyamuk, kelambu, atau insektisida.

2. Pengobatan5

A. Perawatan umum

Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah yang dingin akan mengurangu derajat

serangan akut

Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses

Pangikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema

Page 10: Filariasis

B. Pengobatan spesifik

1. Pengobatan infeksi

Fokus pengobatan yang terbukti efektif adalah pengobatan di komunitas. Hal ini

dilakukan melalui penurunan angka mikrofilaremia dengan pemberian dosis satu kali per tahun.

Pengobatan perorangan ditujukan untuk menghancurkan parasit dan mengeliminasi, mengurangi,

atau mencegah kesakitan. Hingga saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendapatkan

Dietilcarbamazine (DEC) sebagai satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah.

Pengobatan dilakukan dengan pemberian DEC 6 mg/kg BB/hari selama 12 hari. Pengobatan ini

dapat diulang 1 hingga 6 bulan kemudian bila perlu, atau DEC selama 2 hari per bulan (6-8

mg/kg BB/hari).5

Obat lain yang dapat digunakan adalah Ivermektin. Meski Ivermektin sangat efektif

menurunkan kadar mikrofilaremia, tampaknya tidak dapat membunuh cacing dewasa, sehingga

terapi tersebut tidak dapat diharapkan menyembuhkan infeksi secara menyeluruh. Albendazil

bersifat makrofilarisidal untuk W. Bancrofti dengan pemberian setiap hari selama 2-3 minggu.

Namun, dari penelitian dikatakan obat ini masih belum optimal. Jadi untuk mengobati individu,

DEC msih digunakan.5

Efek samping DEC dibagi dalam 2 jenis. Yang pertama bersifat farmakologis,

tergantung dosisnya. Yang kedua adalah respons dari hospes yang terinfeksi terhadap kematian

parasit; sifatnya tidak tergantung pada dosis obat, tapi pada jumlah parasit dalam tubuh hospes.5

Ada 2 jenis reaksi:

1. Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada berbagai

bagian tubuh, sendi-sendi, pusing, anoreksia, lemah, hematuria transien, reaksi alergi,

muntah, dan serangan asma. Reaksi ini terjadi karena kematian filaria dengan sepat dapat

menginduksi banyak antigen sehingga merangsang sistem imun dan dengan demikian

menginduksi berbagai reaksi. Reaksi ini terjadi beberapa jam setelah pemberian DEC dan

berlangsung tidak lebih dari 3 hari. Demam dan reaksi sistemik jarang terjadi dan tidak

terlalu hebat pada dosis kedua dan seterusnya. Reaksi ini akan hilang dengan sendirinya.5

2. Reaksi lokal dengan atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, transien

limfedema, hidrokel, funikulitis, dan epididimis. Reaksi ini cenderung terjadi kemudian

Page 11: Filariasis

dan berlangsung lebih lama sampai beberapa bulan, tetapi akan menghilang dengan

spontan.5

Reaksi lokal cenderung terjadi pada pasien dengan riwayat adenolimfangitis;

berhubungan dengan keberadaan cacing dewasa atau larva s tadiuum IV dalam tubuh hospes.

Efek samping pada pemberian Ivermektin, patogenesisnya sama dengan pada pemberian DEC,

hanya lebih ringan pada penderita filariasis malayi dibandingkan filariasis bankrofti.5

2. Pengobatan penyakit

Hidrokel besar yang tidak mengalami regesi sponyan sesudah terpai adekuat harus

dioperasi dengan tujuan drainase cairan dan pembebasan tunika vaginalis yang terjebak untuk

melancarkan aliran limfe. Tindakan untuk mengatasi cairan hidrokel adalah dengan aspirasi dan

operasi. Aspirasi cairan hidrokel dianjurkan karena selain angka kekambuhannya tinggi, kadang

kala dapat menimbulkan penyulit berupa infeksi.5

Terapi bedah dipertimbangkan apabila terapi non bedah tidak memberikan hasil yang

memuaskan.5

2. Pengobatan kasus klinis (individual)5

Pada semua kasus klinis sebelum diberikan DEC, semua gejala klinis akut yang berupa

demam dan gejala peradangan yang lainnya diobati dengan menggunakan oabt-obat: analgesik,

antipiretik dan antibiotik apabila ada infeksi sekunder. Setelah gejala akut diatasi, penderita

tersebut dapat diberikan pengobatan DEC 3x1 tablet 100mg selama 10 hari dan disertai

parasetamol 3x1 tablet 500mg dalam 3 hari pertama untuk dewasa dan untuk anak-anak dosis

disesuaikan dengan BB. Bila penderita berada di daerah endemis maka pada tahun berikutnya

diikutsertakan pengobatan massal dengan DEC 6mg/kgBB ditambah Albendazole 400mg sekali

setahun.

3. Perawatan kasus klinis5

a. perawatan dengan gejala klinis akut

Istirahat yang cukup dan banyak minum

Pengobatan simptomatis (obat demam, penghilang rasa sakit, gatal) bila perlu diberikan

antibiotika/ anti jamur baik lokal maupun sistemik.

Page 12: Filariasis

Pembersihan luka/ lesi kulit dan bila ada abses di insisi.

Pengobatan luka/ lesi kulit dengan salep antibiotik/ anti jamur.

b. Perawatan dengan gejala klinis kronis

Ada 9 komponen dalam perawatan kasus limfedema:

Pencucian

Pengobatan luka/ lesi kulit

Latihan

Meninggikan tungkai/ lengan

Pemakaian alas kaki yang cocok

Pemakaian verban elastik

Pemakaian salep antibiotik/ anti jamur

Antibiotik sistemik

Bedah kosmetik

3.6. PROGNOSIS5

Stadium mikrofilaria, limfangitis, dan limfedema dapat dapat disembuhkan dengan

pengobatan DEC, tetapi kasus lanjut seperti elephantiasis prognosisnya lebih buruk.

3.7. PROGRAM PEMERINTAH UNTUK PENYAKIT FILARIASIS8

Pada tahun 2000, WHO telah menetapkan kesepakatan global untuk mengeliminasi

penyakit kaki gajah (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health

Problem by the Year 2020). Indonesia sepakat untuk melakukan program eliminasi penyakit kaki

gajah yang dilaksanakan bertahap diawali pada tahun 2002 berdasarkan pencanangan oleh

Menteri Kesehatan RI 8 April 2002.

Pemerintah telah menetapkan Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas

nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia

nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004–

2009, Bab 28, D,5. Selain itu diterbitkan Surat Edaran Mendagri No. 443.43/875/SJ tentang

Pedoman Pelaksanaan Pengobatan Massal Filariasis dalam rangka Eliminasi Filariasis di

Indonesia, sehingga diharapkan komitmen dari pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota akan

semakin meningkat.

Page 13: Filariasis

Pengendalian filariasis dengan pemberian obat Diethylcarbamazine Citrat (DEC) sudah

mengalami beberapa kali perubahan metode sejak dimulainya program pengendalian filariasis

pada tahun 1970. Kemudian terbukti bahwa pemberian obat DEC dikombinasikan dengan

Albendazole dalam dosis tunggal secara masal setahun sekali selama minimal 5 tahun berturut-

turut sangat ampuh untuk memutus rantai penularan filariasis. Namun, upaya pengendalian

filariasis terkendala dengan terbatasnya sumber daya walaupun Pemerintah dan pemda telah

berupaya mendukung dan memobilisasi sumber daya untuk eliminasi filariasis tahun 2020.

Pemerintah juga mendorong peran aktif masyarakat di daerah endemis filariasis,

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sektor swasta serta sektor terkait dalam menyikapi

program eliminasi filariasis tersebut.

.

Upaya penanggulangan masalah filariasis dikembangkan atas dasar hukum dan

perundangan yang berlaku serta visi, misi dan strategi Kementerian Kesehatan.

a. Visi, Misi dan Strategi

Strategi dan program kerja untuk eliminasi filariasis di Indonesia mengacu kepada Visi dan Misi

Kementerian Kesehatan RI serta strategi yang telah ditetapkan secara resmi. Visi dan Misi

Kementerian Kesehatan RI tersebut adalah:

1.VISI

Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan.

2. MISI

1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat,

termasuk swasta dan masyarakat madani.

2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang

paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.

3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan.

4. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.

3. STRATEGI KEMENTERIAN KESEHATAN

1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam

pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global.

2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau bermutu dan berkeadilan,

serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif.

Page 14: Filariasis

3. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan

jaminan sosial kesehatan nasional.

4. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan

bermutu.

5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan

serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat

kesehatan dan makanan.

6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdaya guna, dan

berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.

b. Kebijakan Nasional

Adapun kebijakan nasional eliminasi filariasis sampai dengan tahun 2020 adalah :

1) Landasan Hukum Pelaksanaan Program

Produk hukum berupa dokumen penting dikeluarkan pemerintah dan merupakan dasar

pelaksanan program eliminasi filariasis.

i. Undang-undang No. 23 tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1992 No. 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.

3495).

ii. Perpres No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) 2005 – 2009 telah menetapkan Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas

dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit yang bertujuan menurunkan

angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit menular dan tidak menular.

iii. Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 612/MENKES/VI/2004 tanggal 1 Juni 2004 Perihal

Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis) Indonesia.

iv. Kepmenkes RI No. 1582/Menkes/SK/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis

(Penyakit Kaki Gajah)

v. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 443.43/875/SJ tanggal 24 April 2007 Perihal

Pedoman Pelaksanaan Pengobatan Massal Filariasis Dalam Rangka Eliminasi Filariasis

di Indonesia.

Page 15: Filariasis

2) Tujuan Program Eliminasi Filariasis di Indonesia

Secara umum, tujuan program eliminasi filariasis mengacu kepada tujuan pembangunan

kesehatan nasional. Tujuan pembangunan kesehatan nasional adalah meningkatkan kesadaran,

kesediaan dan kemampuan untuk hidup sehat tiap individu agar terwujud tingkat kesehatan

masyarakat yang tinggi.

Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah agar filariasis tidak lagi menjadi

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Sedangkan tujuan khusus program

adalah (a) menurunnya angka mikrofilaria menjadi kurang dari 1% di setiap kabupaten/kota, (b)

mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis.

Program eliminasi filariasis di Indonesia ini menerapkan strategi Global Elimination

Lymphatic Filariasis dari WHO. Strategi ini mencakup pemutusan rantai penularan filariasis

melalui POMP filariasis di daerah endemis filariasis dengan menggunakan DEC yang

dikombinasikan dengan albendazole sekali setahun minimal 5 tahun, dan upaya mencegah dan

membatasi kecacatan dengan penatalaksanaan kasus klinis filariasis, baik kasus akut maupun

kasus kronis.

b. Strategi Program Eliminasi Filariasis 2010-2014

i. Strategi program eliminasi filariasis selama lima tahun ke depan terdiri dari :

ii. Meningkatkan peran kepala daerah dan para pemangku kepentingan lainnya.

iii. Memantapkan perencanaan dan persiapan pelaksanaan termasuk sosialisasi pada

masyarakat.

iv. Memastikan ketersediaan obat dan distribusinya serta dana operasional.

v. Memantapkan pelaksanaan POMP (Pemberian Obat Massal Pencegahan) filariasis yang

didukung oleh sistem pengawasan dan pelaksanaan pengobatan dan pengaman kejadian

ikutan pasca pengobatan.

vi. Meningkatkan monitoring dan evaluasi

3) Kebijakan Upaya Pencegahan dan Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis

Kebijakan dan respon Pemerintah Indonesia dalam eliminasi filariasis diterjemahkan

dalam pelaksanaan program di tingkat daerah. Secara umum ada beberapa daerah yang telah

melaksanakan program eliminasi filariasis, tetapi masih rendah cakupan pelaksanaannya. Situasi

program eliminasi filariasis dari sisi pencapaian dan hambatan adalah sebagai berikut:

Page 16: Filariasis

i. Pemberian obat secara masal untuk pencegahan filariasis

Pencapaian: Upaya memutus rantai penularan dilakukan dengan POMP filariasis dengan

obat dosis tunggal DEC, albendazol dan paracetamol. Sampai tahun 2009 hanya 97

kabupaten/kota yang melaksanakan POMP filariasis dengan sekitar 19 juta orang minum obat.

Pengobatan massal dilaksanakan di daerah endemis yaitu daerah dengan angka

microfilaria (Mf rate) ≥ 1% dengan unit pelaksanaan terkecil adalah kecamatan. Pengobatan

massal menggunakan kombinasi DEC dosis tunggal 6 mg/kgBB, albendazole 400mg (1 tablet)

dan paracetamol (sesuai takaran) yang diberikan sekali setahun selama 5 tahun. Upaya ini

dimaksudkan untuk membunuh semua microfilaria dalam darah dan cacing dewasa.

Tujuan pengobatan massal :

Menurunnya prevalensi (Mf rate) menjadi < 1%

Menurunnya angka kesakitan akut (Acute Disease Rate/ADR) menjadi 0

Menurunnya intensitas infeksi (kepadatan microfilaria di dalam darah)

Sasaran pengobatan massal :

Seluruh penduduk yang tinggal di daerah endemis filariasis. Pengobatan sementara

ditunda untuk :

Anak-anak berusia < 2 tahun (tunggu sampai umur 2 tahun)

Ibu hamil dan menyusui ( tunggu sampai lepas menyusui )

Orang yang sedang sakit (tunggu sampai sembuh)

Penderita filariasis dengan serangan akut (tunggu sampai sembuh)

Orang tua yang lemah

Penderita dalam serangan epilepsi (ayan)

Untuk pengobatan massal di Indonesia diberikan paket obat yang terdiri dari DEC,

albendazole dan paracetamol yang diberikan setahun sekali selama 5 tahun pada penduduk yang

berusia 2 tahun ke atas. Penduduk sebaiknya minum obat anti filariasis sesudah makan dan

dalam keadaan istirahat/tidak sedang bekerja (sore).

Efek samping pengobatan dengan DEC yaitu mual,muntah, pusing, emam, sakit kepala,

sakit otot dan tulang, lymphangitis, lymphadenitis, lymphedema, abses, gatal-gatal, berak-berak,

keluar cacing,dll. Efek samping DEC biasanya ringan, efek samping yang berat bukan

Page 17: Filariasis

disebabkan oleh obatnya tetapi disebabkan oleh hasil pengobatan, yaitu oleh reaksi alergi

terhadap microfilaria yang mati. Penjelasan dan pemahaman mengenai efek samping perlu

dijelaskan kepada masyarakat yang sedang dilakukan pengobatan massal agar penderitaan yang

dialami akibat penyakit kaki gajah tersebut tidaklah sebanding dengan efek karena proses

pengobatan ini. Reaksi efek samping biasanya terjadi 3 sampai 5 hari kemudian menghilang

dengan sendirinya.

Sebelum dilakukan pengobatan massal sebaiknya dilakukan penyiapan masyarakat

melalui penyuluhan yang intensif mengenai pelaksanaan pengobatan massal. Sikap dan perilaku

penduduk yang diharapkan setelah dilakukan penyuluhan adalah :

Penduduk bersedia diperiksa darah jarinya pada malam hari

Penduduk bersedia minum obat anti filariasis satu kali setahun

Penduduk segera datang memeriksakan diri di puskesmas bila setelah pengobatan

ada keluhan dengan tanda-tanda penyakit seperti demam berulang, peradangan

kelenjar/saluran getah bening di lipat paha/ketiak

Penduduk bersedia menyebarluaskan pengetahuan tentang filariasis

Penduduk berusaha secara aktif menghindarkan diri daari gigitan nyamuk

Penduduk bersedia ditunjuk sebagai Tenaga Pembantu Eliminasi (TPE) penyakit

kaki gajah. Syarat menjadi kader adalah dapat membaca dan menulis serta dapat

diterima oleh masyarakat (akan lebih baik bila TPE adalah mantan penderita).

TPE harus dilatih terlebih dahulu oleh petugas kesehatan stempat. Satu TE

bertugas untuk membina 10-20 KK (50-100 orang).

Dalam pelaksanaan pengobatan, perlu dilakukan pencatatan pemberian obat setahun

sekali yang dicatat dalam kartu pengobatan. Alur pelaksanaan pencatatan dalam pelaksanaan

pengobatan massal dapat digambarkan sebagai berikut :

Tingkat desa/ TPE

Rekap laporan

Tingkat puskesmas/kecamatan

Rekap laporan

Tingkat kabupaten/kota

Page 18: Filariasis

Tingkat propinsi

Tingkat pusat

Gambar.3 Alur Pencatatan dan Pelaksanaan Pengobatan Massal

Laporan kegiatan pelaksanaan pengobatan dibuat oleh Puskesmas dilaporkan ke

Kabupaten menggunakan format Laporan Pelaksanaan Pengobatan Massal Fiariasis.

Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pengobatan massal dilakukan 2 macam evaluasi

yaitu :

a. Evaluasi Operasional

Evaluasi ini segera dilakukan setelah selesainya pelaksanaan pengobatan massal.

Evaluasi operasional untuk mengetahui cakupan pengobatan, kebutuhan obat-obat

simptomatik, dan adanya efek samping pengobatan massal. Evaluasi operasional

dilakukan dengan merekapitulasi laporan akhir dari TPE. Evaluasi operasional dinilai

baik apabila penduduk di daerah endemis yang meminum obat anti filarial minimal

cakupannya 90%.

b. Evaluasi epidemiologis

Tujuan evaluasi epidemiologis yaitu :

Mengetahui intensitas infeksi (kepadatan microfilaria) yang dapat dihitung

dengan densitas rata-rata

Mengetahui keberhasilan pengobatan massal dengan indicator microfilaria rate

(Mf rate) dan acute disease rate (ADR)

Untuk menetapkan besarnya transmisi (infeksi) pada anak yang ahir setelah

pengobatan massal.

Evaluasi epidemiologis dilakukan dengan longitudinal monitoring dan evaluasi akhir pengobatan

massal.

Longitudial monitoring

Bertujuan untuk mengetahui penurunan prevalensi (Mf rate) dan kepadatan microfilaria

setelah pengobatan massal dilakukan. Longitudinal monitoring dilakukan setiap tahun di

desa sentinel site dan desa spot check setelah 6 bulan pengobatan massal.

Page 19: Filariasis

Evaluasi akhir

Dilakukan setelah 5 tahun pengobatan massal. Evaluasi ini dilakukan seperti cara

pelaksanaan penentuan daerah endemis yaitu survei klinis dan survey darah jari. Apabila

dari hasil evaluasi ternyata Mf rat kurang dari 1% maka dilakukan pemeriksaan dengan

antigen. Di daerah endemis Wuchereria bancrofti pemeriksaan antigen dengan ICT

(Immuno Chromatographic Test). Di daerah endemis Brugia Malayi dan Brugia Timori

dengan pemeriksaan biologi molekuler (DNA).

ii. Penatalaksanaan Kasus

Pencapaian: Upaya mengurangi dan membatasi kecacatan dilakukan dengan

penatalaksanaan berbasis perawatan mandiri dan rumah sakit.

Tatalaksana kasus klinis penyakit kaki gajah terdiri dari pengobatan dan perawatan kasus

klinis yang harus dikerjakan secara serntak untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Pengobatan kasus klinis (individual)

Pada semua kasus klinis sebelum diberikan DEC, semua gejala klinis akut yang

berupa demam dan gejala peradangan yang lain diobati dengan menggunakan obat-obat

analgesic, antipiretik dan antibiotic apapbila ada sekunder infeksi. Setelah gejala akut

diatasi, penderita tersebut dapat diberikan pengobatan DEC 3x100 mg selama 10 hari dan

disertai paracetamol 3x500 mg dalam 3 hari pertama untuk orang dewasa dan untuk

anak-anak dosisnya disesuaikan dengan BB. Bila penderita berada di daerah endemism

aka pada tahun berikutnya diikutsertakan dalam pengobatan massal.

Perawatan kasus klinis

Perawatan dengan gejala klinis akut

Gejala klinis akut berupa adenolimfangitis, demam berulang, abses, orkitis,

epididimitis, funikulitis. Perawatannya istirahat yang cukup dan banyak minum,

pengobatan simptomatis (obat demam, penghilang rasa sakit, gatal) bila perlu

diberikan antibiotika/ anti jamur baik lokal/ sistemik, pembersihan luka/ esi kulit

dan bila ada abses di insisi, pengobatan luka/lesi di kulit dengan salep antibiotika/

anti jamur.

Perawatan dengan gejala klinis kronis

a. Limfedema

Page 20: Filariasis

Ada 9 komponen dalam perawatan kasus limfedema yaitu : pencucian,

pengobatan luka/lesi di kulit, latihan, meninggikan tungkai/lengan, pemakaian

alas kaki yang cocok, pemakaian verban elastik, pemakaian salep antibiotika/

anti jamur, antibiotika sistemik, bedah kosmetik.

b. Hidrokel

Perawatannya antara lain menjaga kebersihan di bagian skrotum, perawatan

luka/lesi jika ada dan dirujuk ke RS untuk terapi bedah.

c. Kiluria

Perawatannya antara lain diet rendah lemak tinggi protein, banyak minum air,

istirahat yang cukup.

d. Elefantiasis skrotum

Perawatannya antara lain menjaga kebersihan skrotum, perawatan luka/lesi

padda kulit skrotum, krim antibiotika/ anti jamur untuk luka/ lesi di kulit

skrotum, dirujuk ke RS untuk terapi bedah.