FIKSASI NITROGEN DAN ASOSIASI TANAMAN LEGUM
Transcript of FIKSASI NITROGEN DAN ASOSIASI TANAMAN LEGUM
DOKUMENTASI
FIKSASI NITROGEN DAN ASOSIASI TANAMAN LEGUM
Oleh : Anak Agung Istri Kesumadewi NIP. 19681223 199303 2001
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA 2016
ii
DAFTAR ISI
Nomer Judul Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................................. iv
I. PENDAHULUAN I ........................................................................................................................ 1
II. KEANEKARAGAMAN HAYATI MIKROBA DALAM SIKLUS NITROGEN ................. 4
2.1. Fiksasi N2 dan Suplai Nitrogen oleh Tanaman Legum ......................................... 9
2.2. Mineralisasi Nitrogen ........................................................................................................12
III. TRANSFER NITROGEN DARI TANAMAN LEGUM KE TANAMAN NON LEGUM .14
3.1. Mekanisme Transfer N Jangka Pendek ..................................................................15
3.2. Mekanisme Transfer N Jangka Panjang .............................................................17
IV. ASOSIASI TANAMAN LEGUMINOSE .................................................................................20
4.1. Definisi dan Sistem Klasifikasi .....................................................................................20
4.2. Aspek Positif Asosiasi Tanaman ...........................................................................21
4.3. Interaksi dalam Asosiasi Tanaman .....................................................................22
4.4. Asosiasi Tanaman Legum .......................................................................................23
V. KESIMPULAN ................................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................26
iii
DAFTAR TABEL
Nomer Judul Halaman 1. Siklus Nitrogen : Alur Proses dan Mikroba yang Terlibat .......................................... 6
2. Genus dan Spesies Rhizobium serta Tanaman Inang .................................................11
3. Kadar N di Bagian Akar dan Atas Tanaman Legum .....................................................17
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomer Judul Halaman 1. Siklus Nitrogen .............................................................................................................................. 5
2. Beberapa Contoh Organisme Perombak Bahan Organik ............................................ 8
3. Contoh Komponen Sistem Penambatan N2 oleh Rhizobium ...........................................10
4. Transfer N dari Tanaman Legum ke Tanaman Non Legum ......................................16
5. Transfer N Jangka Panjang dari Tanaman Legum ke Tanaman Non Legum .......19
I. PENDAHULUAN Tanaman leguminose merupakan salah satu komponen fungsional
ekosistem daratan. Jenis tanaman tersebut merupakan bagian dari 3 besar
kelompok tanaman berbunga. Leguminose mampu menghasilkan bahan organik
dalam jumlah tinggi, mencegah bahaya erosi dan meningkatkan kesuburan
tanah. Kemampuan tanaman leguminose memfiksasi nitrogen dari udara dapat
meningkatkan kandungan N di dalam tanah. Leguminose dapat digunakan
sebagai tanaman penutup tanah dan mempunyai fungsi konservasi tanah dan
air serta menekan pertumbuhan gulma dan serangga hama. Budidaya campuran
tanaman leguminose dengan tanaman pangan lainnya berpotensi untuk
meningkatkan jumlah dan kualitas bahan kering.
Tanaman leguminose sangat menentukan produktivitas dan proses
sinergis yang terjadi dalam suatu asosiasi tanaman karena leguminose
umumnya tidak berkompetisi dalam memperoleh nitrogen. Sebaliknya, N2 yang
difiksasi oleh tanaman leguminose juga disumbangkan kepada tanaman lainnya
yang berada di sekitarnya (Paynel et al., 2001; Trannin et al., 2000). Transfer
Nitrogen yang dapat dilakukan oleh tanaman legum secara langsung maupun
tidak langsung kepada tanaman lain di sekitarnya memungkinkan pertumbuhan
tanaman yang berdekatan dengan legum untuk tumbuh dengan lebih baik. Hal
tersebut dapat mendorong terjadinya asosiasi antar tanaman legum dan non
legum. Asosiasi tersebut juga mempengaruhi keragaman mikroba di dalam
tanah terutama yang berhubungan dengan siklus nitrogen karena keragaman
2
eksudat akar keragaman jenis serta kualitas serasah bahan organik yang
dihasilkan dari kelompok tanaman yang berbeda.
Tanaman leguminose terdiri dari beragam spesies yang memiliki
peranan dan nilai ekonomis berbeda. Beberapa jenis leguminose dibudidayakan
untuk tujuan konservasi hutan, atau rehabilitasi lahan kritis, misalnya tanaman
sengon dan akasia. Kedua tanaman tersebut dipilih karena mampu
menghasilkan biomasssa kayu dengan cepat serta bernilai ekonomis. Beberapa
kelompok lainnya digunakan sebagai tanaman peneduh, misalnya flamboyan.
Tanaman leguminose yang tergolong perdu atau semak dapat digunakan
sebagai penutup tanah atau bahan pupuk hijau, misalnya clover dan lucerne.
Leguminose yang dapat digunakan sebagai bahan pangan memiliki nilai
ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya. Beberapa jenis
leguminose tersebut antara lain adalah kedelai, kacang hijau, kacang tanah,
kacang polong, buncis, dan bangkuang.
Budidaya leguminose secara monokultur maupun tumpangsari dapat
memberikan keuntungan ekologis dan ekonomis. Keuntungan ekologis terbesar
adalah kemampuannya menambat N2 dan menyuplainya kepada tanaman yang
berada di sekitarnya. Tanaman leguminose pada kondisi tertentu dapat
menyetimulir terbentuknya keanekaragaman hayati yang lebih tinggi melalui
asosiasi antar tingkatan tropik. Fungsi ekologis tersebut akan sangat mendukung
keberlanjutan suatu fungsi ekosistem.
Keuntungan ekonomis yang seringkali dapat diupayakan dari budidaya
tanaman legum tersedianya komoditas yang bernilai ekonomis sebagai bahan
baku industri kerajinan, pangan, dan pakan. Beberapa jenis akasia adalah
3
sumber utama industri kerajinan patung tradisional karena memiliki
pertumbuhan yang cepat dan dapat dibudidayakan pada berbagai jenis tanah
dan iklim. Tanaman kacang-kacangan seperti kedelai, kacang tanah, kacang
bogor, buncis, ercis dan bengkuang merupakan sumber pendapatan penting
bagi petani lahan kering dan sebagian di antaranya adalah sumber utama bahan
baku industri, misalnya kecap, kedelai dan tahu. Disisi lain, gamal dan lamtoro
adalah jenis tanaman legum yang potensial digunakan sebagai pakan ternak.
Makalah ini merupakan suatu review pustaka yang mengulas peranan
tanaman leguminose dalam menyuplai nitrogen bagi pertumbuhan tanaman
non leguminose di sekitarnya. Berbagai mekanisme yang berhubungan dengan
topik tersebut dibahas secara relatif detail.
4
II. KEANEKARAGAMAN HAYATI MIKROBA DALAM SIKLUS NITROGEN
Keanekaragaman hayati yang meliputi keragaman genetik, spesies dan
fungsional sangat menentukan fungsi ekosistem (Tilman et al., 1996). Fungsi
ekosistem dipengaruhi oleh keberadaan dan aktivitas kelompok organisme
fungsional. Kelompok fungsional merupakan suatu kesatuan spesies yang
menunjukkan respons (respons grup) atau pengaruh (efek grup) yang sama
terhadap proses utama dalam ekosistem (Hooper et al., 2005). Setiap tingkatan
tropik dalam suatu ekosistem memiliki kelompok fungsional spesifik. Salah satu
contoh kelompok fungsional yang berpengaruh dalam proses biogeokimia
adalah mikroba yang terlibat di dalam siklus unsur nitrogen, yang meliputi
mikroba heterotrof, nitrifier, denitrifer dan penambat N2. Salah satu contoh
produser yang berperan dalam menentukan siklus N adalah tanaman
leguminose.
Perubahan ketersediaan nitrogen sangat menentukan keanekaragaman
hayati dalam suatu ekosistem. Nitrogen adalah unsur hara makro yang
diperlukan dalam jumlah terbesar oleh tanaman. Nitrogen memiliki beberapa
bentuk, yaitu gas bebas (N2), nitrogen organik (asam-asam amino, protein,
peptide), dan anorganik (ammonia, ammonium, nitrat, nitrit, dll). Perubahan
bentuk unsur nitrogen terjadi melalui proses berbeda dalam siklus nitrogen
(Gambar 1). Siklus nitrogen secara umum meliputi penambatan N2, sinthesis
nitrogen organik, perombakan serasah organik, mineralisasi nitrogen dan
denitrifikasi.
5
Gambar 1. Siklus Nitrogen
Perubahan bentuk nitrogen dilakukan oleh beberapa organisme dari
tingkatan tropik yang berbeda. Berbagai bentuk nitrogen, proses
transformasinya dan organisme yang terlibat di dalam siklus nitrogen
ditampilkan dalam Tabel 1.Gas nitrogen merupakan komponen terbesar gas
yang ada di atmosfer (72 %). Akan tetapi, nitrogen dalam bentuk gas N2 tidak
dapat dimanfaatkan secara langsung dalam proses biokimia sebagian besar
mahluk hidup. Beberapa kelompok organisme fungsional berperan dalam
transformasi bentuk N2 sehingga dapat dimanfaatkan dalam metabolisme
Serapan dan Fiksasi N2
Perombakan Serasah/ Limbah Organik
Denitrifikasi
Sinthesis Nitrogen organik
Mineralisasi Nitrogen Organik
6
mahluk hidup. Oleh karena itu, kehilangan salah satu atau beberapa kelompok
fungsional dalam siklus N akan mengubah atau menghentikan proses yang
terlibat di dalam siklus N.
Tabel 1. Siklus Nitrogen : Alur Proses dan Mikroba yang Terlibat
Proses Mikroba yang Terlibat Substansi
N2
Fiksasi Biologi N2 Rhizobium (legume), Azospirillum, Azolla, Azotobacter, Frankia, dll
Protein (tanaman dan
mikroba)
Perombakan Detrivora (siput, cacing tanah, dll) Detritus
Pelapukan Dekomposer (Aspergillus, Trichoderma, Bacillus, dll) Ammonifier
Ammonia (NH3)
Nitritasi Nitrosomonas, Nitrosococcus Nitrosospira
Nitrit (NO2-)
Nitratasi Nitrobacter Nitrat (NO3
-)
Denitrifikasi Pseudomonas stutzeri, Pseudomonas
aeruginosa, Paracoccus denitrificans N2
Gas nitrogen merupakan komponen terbesar gas yang ada di atmosfer
(72 %). Akan tetapi, nitrogen dalam bentuk gas N2 tidak dapat dimanfaatkan
secara langsung dalam proses biokimia sebagian besar mahluk hidup. Beberapa
kelompok organisme fungsional berperan dalam transformasi bentuk N2
7
sehingga dapat dimanfaatkan dalam metabolisme mahluk hidup. Oleh karena
itu, kehilangan salah satu atau beberapa kelompok fungsional dalam siklus N
akan mengubah atau menghentikan proses yang terlibat di dalam siklus N.
Bakteri penambat N2 dapat mengkonversi N2 menjadi ammonia (NH3).
Ammonia selanjutnya dimetabolisme oleh mikroba dan tanaman menjadi
protein sebagai salah satu penyusun tubuhnya. Nitrogen organik yang terikat
dalam tubuh mahluk hidup yang sudah mati akan dirombak oleh detritivora
(Gambar 2). Perombakan serasah organik dilanjutkan dengan pelapukan oleh
mikroba sehingga terjadi perubahan N-organik menjadi N-anorganik melalui
proses ammonifikasi dan mineralisasi N oleh bakteri nitrifikasi membentuk
senyawa nitrat. Nitrat kemudian diabsobsi oleh mikroba maupun tanaman dan
diubah menjadi N-organik, atau nitrat juga dapat mengalami denitrifikasi pada
suasana reduktif menjadi gas N2.
Keanekaragaman hayati tanaman sangat menentukan siklus N (Oelman
dan Wilcke, 2004). Keragaman hayati tanaman dapat mempengaruhi serapan
total N karena pemanfaatan sumberdaya secara sinergis atau kompetitif.
Apabila nutrisi diperoleh dari sumber tersedia yang berbeda (ruang, waktu dan
bentuk yang berbeda) maka serapan N total oleh tanaman akan meningkat
sehingga peluang terjadinya leaching lebih kecil (Hooper dan Vitousek, 1997).
Spesies tanaman yang tumbuh lambat tidak terlalu banyak membutuhkan N.
Tanaman yang berbeda kandungan N-nya akan memiliki serasah dengan
kandungan N yang berbeda sehingga waktu dan jenis organisme yang
diperlukan untuk proses dekomposisinya juga akan berbeda sehingga pada
akhirnya mempengaruhi siklus N (Wedin dan Pastor, 1993).
8
Gambar 2. Beberapa Contoh Organisme Perombak Bahan Organik
Keanekaragaman hayati yang lebih besar juga dapat menimbulkan efek
kompetitif. Efek kompetitif dapat terjadi apabila tanaman memanfaatkan sumber
nutrisi, ruang habitat pada waktu yang bersamaan atau efek
sinergis/komplementer akan terjadi apabila spesies tanaman memanfaatkan
nutrisi, sinar matahari, habitat dan air dengan cara berbeda.
keluwing
Cacing tanah Lipan
Siput Rayap
Kumban
g
9
Keberadaan tanaman leguminose dalam suatu ekosistem umumnya
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar N (nitrat dan total) tanah.
Peningkatan kadar nitrat tanah disebabkan karena adanya suplai N dari N2 yang
difiksasi oleh tanaman leguminose (Marquard et al., 2009; Olemann dan Wilcke,
2004; Zak et al., 2003). Peningkatan kadar nitrat tanah dapat berpengaruh
positif ataupun negatif bagi lingkungannya. Suplai N oleh tanaman leguminose
dapat meningkatkan produksi dan biomassa tumbuhan di sekitarnya (Spehn, et
al., 2002; Weigelt et al., 2009) atau deposisi N yang terlalu besar dapat
menurunkan produksi sporokap cendawan mikorhiza (Lileskov dan Bruns,
2001). Berkurangnya produksi sporokap akan menurunkan populasi mikorhiza
di dalam tanah.
2.1. Fiksasi N2 dan Suplai Nitrogen oleh Tanaman Legum
Leguminose tergolong kelompok Fabaceae atau leguminoceae. Tanaman
leguminose terdiri dari hampir 20.000 spesies yang tergabung dalam 750 genus.
Hanya sekitar 3.500 spesies tanaman leguminose yang diketahui menambat N2
(Moreira, 2007) dan hanya 15 % spesies yang sudah diuji kemampuannya
untuk bersiombiosis dengan rhizobia (Allen dan Allen, 1981). Leguminose
memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang penting karena merupakan salah
satu kelompok fungsional dalam memelihara kesuburan tanah suatu ekosistem
dan sumber protein bagi manusia dan ternak serta bahan kayu yang berkualitas.
Fiksasi N2 dari atmosfer merupakan proses biologi terpenting kedua
setelah fotosintesis. Dalam proses tersebut terjadi reduksi gas N2 menjadi 2
molekul ammonia yang dilakukan oleh mikroba yang memiliki enzim
nitrogenase. Fiksasi N2 dapat terjadi secara simbiosis antara tanaman legum
10
dengan rhizobia penambat N2. Proses tersebut dapat menyumbangkan lebih
dari 100 juta m3 ton N per tahun dan memenuhi 66 % kebutuhan nitrogen
untuk lahan pertanian.
Penambatan N2 melalui tanaman leguminose hanya terjadi di dalam
bintil akar efektif yang mengandung bakteroid rhizobium. Tanaman leguminose
yang tidak membentuk bintil akar atau memiliki bintil akar yang tidak efektif
tidak dapat menambat N2. Bintil akar efektif terbentuk apabila perakaran
tanaman leguminose diinfeksi oleh spesies rhizobium yang sesuai secara genetik.
Jumlah spesies Rhizobium yang telah dikenal selama ini terdiri dari 16 spesies
yang tergolong ke dalam 4 genus (Tabel 2). Pembentukan bintil akar
dikendalikan oleh gen nod A, B, C, dan D yang terdapat pada seluruh Rhizobia
(Gambar 3), sedangkan gen yang menyandi kesesuaian rhizobia dengan inang
adalah nod E, F, G, H, I, J, K, L, M, P, Q.
Gambar 3. Contoh Komponen Sistem Penambatan N2 oleh Rhizobium
11
Tabel 2. Genus dan Spesies Rhizobium serta Tanaman Inang
Spesies Tanaman Inang
Rhizobium
R. leguminosorum Pea, field bean, lentil, phaseoli R. loti Lotus, trefoil R. tropici Leucaena, ipil-ipil R. etli Phaseolus R. galegae Galega, Leucaena R. buakuii Astragalus R. ciceri Cicer R. medditerraneum Cicer
Sinorhizobium.
S. meliloti Alfalfa S. fredii Kedelai S. saheli Sesbania S. teranga Sesbania, acacia
Bradyrhizobium
B. japonicum Kedelai B. elkanii Glycine B. liaoningense Glycine
Azorhizobium
A. caulinodans Sesbania Sumber : Graham (1998)
Penambatan N2 oleh rhizobia terjadi melalui reduksi molekul N2 menjadi
ammonia dengan reaksi berikut :
N2 + 8H+ + 8e- + 16 MgATP 2NH3 + H2 + 16MgADP + 16Pi
12
Ammonia yang terbentuk kemudian ditransfer dari bakteroid ke dalam sel akar
inang dan dikonversi menjadi aspargin. Aspargin selanjutnya ditranslokasikan
ke bagian atas tanaman, sedangkan tanaman menyuplai nutrisi dalam bentuk
fotosintat untuk mendukung aktivitas Rhizobia. Minchin dan Pate (1973 dalam
Bergensen, 1977) menyatakan bahwa 32 % fotosintat dialirkan ke dalam bintil
akar yang digunakan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan bintil (5 %), untuk
respirasi (12 %) serta dikembalikan kepada tanaman dalam bentuk kombinasi
dengan nitrogen (15 %).
Nitrogen yang difiksasi melalui tanaman leguminose dapat secara
langsung dan tidak langsung ditransfer kepada tanaman lainnya yang tumbuh
di sekitar tanaman leguminose. Proses transfer nitrogen oleh tanaman
leguminose dapat melalui beberapa mekanisme. Transfer N terbesar dapat
dilakukan setelah proses mineralisasi N organik menjadi N anorganik. Dengan
adanya proses transfer N tersebut merupakan salah satu faktor pendukung
terbentuknya asosiasi tanaman leguminose dengan jenis tanaman lainnya.
2.2. Mineralisasi Nitrogen
Tanaman pada umumnya menyerap N dalam bentuk N anorganik
(ammonium dan nitrat) untuk mendukung pertumbuhannya. N anorganik
terbentuk dari proses mineralisasi senyawa-senyawa organik yang mengandung
N. Proses mineralisasi N organik terjadi melalui 2 tahapan reaksi, yaitu
ammonifikasi dan nitrifikasi. Ammonifikasi adalah proses perombakan senyawa
N organik secara enzimatik menjadi ammonium. Beberapa enzim yang terlibat
adalah proteinase, protease, peptidase, khitinase, ketobiase. lisozim,
endonuklease, eksonuklease dan urease. Ammonia yang terbentuk selanjutnya
13
dikonversi menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi dengan reaksi sebagai
berikut :
NH3 1,5O2 + NO2- + H+ + H2O
NO2- + ½ O2 NO3
-
Beberapa jenis mikroba yang terlibat dalam proses nitrifikasi antara lain adalah
Nitrosomonas, Nitrosococcus, Nitrobacter, dan Nitrospira.
14
III. TRANSFER NITROGEN DARI TANAMAN LEGUM KE TANAMAN NON LEGUM
Transfer nitrogen (N) adalah pemindahan N dari tanaman legum ke
tanaman non legum yang umumnya adalah rumput (Bropy et al., 1987). Istilah
tersebut juga digunakan untuk menggambarkan pengaruh menguntungkan
residu N tanaman legum yang sudah mati (Ofori dan Stern, 1987). Proporsi N
pada tanaman rumput yang berasal dari leguminose yang ditanam secara
tumpangsari sangat bervariasi tergantung kepada lama waktu pengamatan,
spesies tanaman, umur tanaman, metodologi yang digunakan, serta kondisi
lingkungan dan penelitian. Bropy et al (1987) menemukan bahwa 68 %
nitrogen yang terkandung di dalam rumput kanari (Phalaris arundinacea L.)
berasal dari alfalfa (Medicago sativa L.) dan 79% nitrogen dari tanaman Lotus
corniculata L. Jumlah tersebut merupakan 17 dan 13 % dari total N yang
difiksasi berturut-turut oleh alfalfa dan Lotus corniculata L. Penelitian Haystead
dan Marriot (1979) membuktikan terjadinya transfer N sebesar 6 – 12 % dari
tanaman white clover ke tanaman ryegrass (Lolium perens L.). Jumlah nitrogen
yang ditransfer oleh tanaman alfalfa ke bromegrass adalah 14 kg/ha/th dengan
proporsi 5 kg/ha/th berasal dari tanah dan 9 kg/ha/th berasal dari fiksasi N2.
Pada hamparan rumput di New Zealand, 50 % kebutuhan N rumput disuplai
oleh tanaman white clover (Ledgard, 1991 dalam Tomm, 1993).
Suplai N oleh tanaman leguminose kepada tanaman non leguminose
menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan dan produksi tanaman non
leguminose. Salah satu contohnya adalah jumlah produksi pakan ternak dari
campuran rumput dan tanaman leguminose sama besarnya dengan produksi
15
rumput monokultur dengan pemupukan lebih dari 100 kg N/ha (Knight, 1984
dalam Tomm, 1993).
Berdasarkan kajian terhadap beberapa hasil penelitian, mekanisme
transfer nitrogen dapat digolongkan ke dalam 2 kelompok , yaitu mekanisme
transfer jangka pendek (short term) dan jangka panjang (long term). Transfer N
jangka pendek tidak melibatkan proses dekomposisi jaringan tanaman,
sedangkan transfer N jangka panjang melibatkan proses dekomposisi bahan
organik.
3.1. Mekanisme Transfer N Jangka Pendek
Mekanisme transfer N jangka pendek terdiri dari beberapa proses, yaitu
(1) ekskresi senyawa nitrogen oleh tanaman yang kemudian diasimilasi oleh
tanaman lainnya yang berasosiasi dengan tanaman tersebut (Gambar 4), (2)
transfer N yang difasilitasi oleh mikoriza, dan (3) proses leaching N terlarut dari
daun tanaman. Beberapa tanaman leguminose yang membentuk nodul
mengeksresikan senyawa N yang kemudian digunakan oleh tanaman lainnya
yang tidak mampu menambat N2 (Ruschel et al., 1979). Whitney dan Kanehiro
(1967) menyatakan, sejumlah besar proporsi N dilepaskan dari akar tanaman
leguminose tropis dalam waktu 1 minggu setelah rontoknya daun. Laju dan
jumlah N terfiksasi yang dilepaskan oleh perakaran tanaman leguminose
semakin besar pada tanaman yang merana karena proses perontokan daun dan
akibat perlakuan pemupukan (Wilman, 1970).
Interaksi interspesifik asosiasi tanaman leguminose dan rumput
dipengaruhi oleh mikorhiza vesicular arbuscular (MVA) (Hetrick et al., 1989).
Asosiasi tersebut meningkatkan zone serapan akar sehingga memperbesar
16
penyerapan unsur hara. Jaringan hifa yang terbentuk pada tanaman yang
membentuk MVA dapat juga menginfeksi dan membentuk MVA pada tanaman
lain yang berada didekatnya sehingga memungkinkan terjadinya transfer unsur
hara termasuk N. Selain itu, keberadaan MVA dapat menambah jumlah
ketersediaan P sehingga meningkatkan laju fiksasi N2 (Barea dan Azcon Aguilar,
1983) yang pada akhirnya mungkin meningkatkan ketersediaan dan transfer N.
Van Kessel et al. (1985) menemukan terjadinya peningkatan transfer N dari
tanaman kedelai ke tanaman jagung apabila kedua tanaman tersebut
dikolonisasi oleh cendawan mikorhiza.
Sebagian besar kandungan N tanaman pakan ternak terakumulasi di
dalam daun. Nitrogen tersebut dapat mengalami leaching dari daun karena
pengaruh hujan terutama pada saat pertumbuhan atau penuaan daun (Whitney
dan Kanehiro, 1967). Senyawa nitrogen yang terkandung di dalam air
presipitasi dapat diserap secara langsung oleh kanopi tanaman (Harper et al.,
1987) atau diserap langsung oleh akar tanaman.
Sumber : Tarui et al. (2013)
Gambar 4. Transfer N dari Tanaman Legum ke Tanaman Non Legum
Transfer N dari tanaman legum ke rumput
Vetch berbulu
17
3.2. Mekanisme Transfer N Jangka Panjang
Mekanisme transfer N jangka panjang meliputi proses dekomposisi akar ,
bintil akar, batang daun dan bunga, dan serasah tanaman leguminose (Gambar
5), serta pelepasan N dari kotoran ataupun urin ternak pemakan leguminose.
Jumlah N yang dilepaskan dari proses tersebut sangat tergantung kepada
kandungan N tanaman leguminose. Setiap jenis tanaman leguminose memiliki
kandungan N yang berbeda (Tabel 3). Tidak seluruh N tersebut diperoleh dari
hasil fiksasi N2. Tanaman leguminose pakan ternak dapat memenuhi 90 %
kebutuhan N-nya dari fiksasi N2, sedangkan tanaman leguminose penghasil biji
hanya mampu memenuhi 50 % dari kebutuhan N-nya dari fiksasi N2 (Paul dan
Clark, 1996). Tanaman leguminose pakan ternak umumnya dibudidayakan
dalam waktu yang lebih lama, sedangkan leguminose penghasil biji dipanen
lebih cepat sehingga waktu untuk memfiksasi N2 sepanjang siklus hidupnya
lebih lama pada tanaman leguminose pakan ternak.
Tabel 3. Kadar N di Bagian Akar dan Atas Tanaman Legum
Tanaman Kadar N di Bagian Atas Tanaman (kg/ha)
Kadar N di Akar Tanaman (kg/ha)
Total N (kg/ha)
Legum Biji Lupin putih 448 93 541 Faba bean 320 57 377 Filed Pea 291 40 331 Spring vetch 238 36 274
Legum Pakan Ternak Red clover 381 118 499 White clover 322 131 453 Lucerne 469 157 626 Sainfoin 184 140 324
Sumber : Paul dan Clark (1996)
18
Setelah tanaman leguminose penghasil biji dipanen, tanah tempat
tumbuhnya mungkin memiliki kandungan N anorganik yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman yang tidak memfiksasi N2. Terdapat
kemungkinan leguminose tidak memanfaatkan N anorganik tanah dalam
jumlah besar. Hal tersebut disebabkan oleh 2 hal yang berbeda. Pertama, sistem
perakaran tanaman legume penghasil biji yang lunak dan serabut tidak
memungkinkan pemanfaatan ammonium dan nitrat di lapisan bawah tanah
secara efisien. Kedua, rendahnya rasio C/N akar tanaman legumniosa dan
deposisi nutrisi di akar menyebabkan total mineralisasi tanaman leguminose
lebih besar.
Proses pengguguran atau pemangkasan daun dapat menyebabkan
terjadinya peluruhan akar dan bintil akar tanaman leguminose yang diikuti
dengan pertumbuhan kembali jaringan akar dan bintil akar yang baru (Herriot
dan Wells, 1960). Akar dan bintil akar yang mati mengandung sebagian besar
N yang dapat ditransfer. Daun tanaman leguminose yang sudah tua dan
kemudian gugur dapat mengalami proses dekomposisi dan merupakan sumber
N bagi tanah dan tanaman di sekitarnya (Whitney dan Kanehiro, 1967). Sebagai
contoh adalah nitrogen yang dikembalikan ke dalam tanah melalui daun
tanaman alfalfa dan bromegrass yang jatuh berturut-turut adalah 13 dan 14
kg/ha/th (Tomm, 1993).
Beberapa jenis tanaman leguminose yang berperan sebagai mulsa atau
penutup tanah hidup sering difungsikan ganda sebagai sumber pupuk hijau.
Pada periode tertentu tanaman tersebut dipanen dan dibenamkan ke dalam
tanah. Dekomposisi serasah tanaman leguminose berlangsung lebih cepat
19
karena memiliki rasio C/N yang rendah. Eason dan Newman (1990)
melaporkan bahwa 60 % N dan 70 % P dari ryegrass dilepaskan ke dalam tanah
dalam waktu 3 minggu setelah dekomposisi. Peningkatan jumlah N dan P yang
dilepaskan dalam proses dekomposisi tersebut meningkat nyata dalam kurun
waktu 30 hari.
Pembudidayaan tanaman leguminose semusim yang dipanen untuk
pakan ternak akan menyumbangkan residu N dalam jumlah lebih kecil
dibandingkan tanaman pakan ternak yang dibudidayakan dalam sistem
penggembalaan. Pada sistem penggembalaan, jumlah bahan organik yang
dipanen dan keluar dari sistem tersebut lebih kecil karena adanya pengembalian
dalam bentuk kotoran dan urin ternak. Dekomposisi kotoran dan ekskresi urin
ternak mengandung sejumlah N yang dikembalikan ke dalam tanah sehingga
dapat digunakan kembali oleh tanaman lain yang berasosiasi dengan tanaman
leguminose.
Diadopsi dari : http://www.biopowerlanka.com/super-seed.html (diunduh pada tanggal 22 Juli 2016)
Gambar 5. Transfer N Jangka Panjang dari Tanaman Legum ke Tanaman Non Legum
Residu Tanaman
Nitrogen Anorganik
Fiksasi
Biologi
Nitrogen
Dekomposisi
20
IV. ASOSIASI TANAMAN LEGUMINOSE
4.1. Definisi dan Sistem Klasifikasi
Salah satu cara untuk memahami ekosistem dan menerapkan prinsip-
prinsip pengelolaan ekosistem adalah berdasarkan sistem klasifikasi ekologis.
Klasifikasi memungkinkan pengelompokan, pembandingan, sintesis, pemetaan
dan inventarisasi informasi serta menyediakan bahan dan media komunikasi
mengenai hasil klasifikasi. Berbagai sistem klasifikasi telah dikembangkan
dengan tujuan dan cara berbeda, misalnya Biogeoclimatic Ecosystem
Classification (MacKenzie, 2004) di Kanada dan National Vegetation
Classification System (NVCS) di Amerika (Christy, 2004). Akan tetapi,
pendekatan yang umumnya digunakan adalah berdasarkan konsep asosiasi
tanaman.
Asosiasi menggambarkan munculnya kembali komunitas tanaman yang
memiliki diagnose spesies yang spesifik, yaitu suatu karakteristik yang bervariasi
dalam komposisi spesies dan skala yang tegas mengenai kondisi atau struktur
habitatnya. Asosiasi tanaman merupakan kumpulan satu spesies relatif tanaman
dalam satu hamparan lahan tertentu. Misalnya, asosiasi tanaman pada lahan
basah di daerah barat daya Oregon. Berdasarkan kunci dan deskripsi khusus
(National Vegetation Classification System) ditemukan 122 jenis asosiasi
tanaman yang meliputi 14 jenis hutan dan tanaman berkayu, 28 semak, 78
tanaman herba, dan 2 kelompok tanaman nonvaskular. Suatu jenis tanaman
monotipik dinyatakan sebagai asosiasi apabila menempati areal minimal seluas
100 m2. Untuk membedakan asosiasi pohon dan semak dengan asosiasi herba,
21
maka hamparan asosiasi yang dinyatakan sebagai asosiasi herba adalah
hamparan dengan minimal 20 % tutupan oleh tanaman herba. Asosiasi hutan
yang ditemukan di Kanada terdiri dari 236 asosiasi. Sebagian besar (190 atau
80%) memiliki paling tidak 1 asosiasi yang serupa (tingkat kesamaan > 60 %)
dan 60 (25 %) dari bagian tersebut tergolong sangat mirip (tingkat kesamaan >
70 %).
4.2. Aspek Positif Asosiasi Tanaman
Setiap jenis tanaman secara genetik dan fenotip memiliki kemampuan
untuk berasosiasi dengan tanaman lainnya. Seperti tanaman lainnya, tanaman
leguminose dapat berasosiasi dengan tanaman lainnya. Salah satu bentuk
prinsip asosiasi tanaman legum yang diterapkan secara luas adalah dalam sistem
agroforestry. Dalam sistem tersebut, tanaman legum sebagai tanaman utama
ataupun sela dikombinasikan dengan jenis tanaman lainnya dalam suatu
hamparan tertentu.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh oleh tanaman dalam suatu
asosiasi adalah : penambahan N dari proses fiksasi N2, penekanan pertumbuhan
serangga hama secara biokimia, interaksi spasial fisik, dan habitat yang
menguntungkan. Fiksasi N2 yang dilakukan oleh rhizobia akan meningkatkan
ketersediaan N bagi tanaman leguminose maupun tanaman lainnya.
Beberapa jenis tanaman tertentu dapat menghasilkan eksudat kimia dari
akar maupun bagian atas tanaman yang dapat menekan atau mengundang
serangga hama sehingga tanaman yang berada di sekitarnya terlindung dari
serangan hama tersebut. Salah satu contohnya adalah thiopene yang dihasilkan
22
oleh tanaman marigold Afrika merupakan suatu repelen bagi nemathoda
patogen.
Tanaman yang tumbuh tinggi, memerlukan lebih banyak matahari dan
dapat berbagi ruang tumbuh dengan tanaman yang lebih pendek serta tidak
terlalu banyak memerlukan pencahayaan sehingga kedua tanaman tersebut
dapat memberikan total hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman
yang sama yang tumbuh secara homogen. Interaksi spasial tersebut juga dapat
melindungi tanaman dari serangan hama tanaman. Tanaman yang memiliki
tegakan tinggi atau kanopi rapat dapat melindungi tanaman yang lebih lemah
yang berada di bawahnya dengan efek naungan atau melindunginya dari
hembusan angin yang kuat.
4.3. Interaksi dalam Asosiasi Tanaman
Setiap jenis tanaman memiliki kanopi. Kanopi merupakan arsitektur
komunitas yang mengandung komposisi spesies dan tempat terjadinya siklus
unsur hara, transfer energi, interaksi tanaman-binatang, dan mewadahi aspek
konservasi dari permukaan tanah sampai dengan perbatasan komunitas dengan
atmosfer (Rinker dan Lowman, 2001). Keberadaan kanopi merupakan tempat
interaksi tanaman dengan organisme lainnya. Komponen kanopi antara lain
meliputi bagian atas tanaman, organisme setempat (epifit dan epifil), organsime
dengan mobilitas tinggi (misalnya burung, mamalia dan serangga) dan proses
yang terjadi di dalam kanopi (misalnya siklus unsur hara).
Habitat yang lebih menguntungkan secara biologis dapat terbentuk
dalam suatu asosiasi tanaman. Beberapa jenis tanaman dapat menyediakan
23
tempat hidup yang baik bagi beberapa serangga dan arthropoda musuh alam
sehingga dapat menekan serangan hama pada tanaman di sekitarnya. Asosiasi
tanaman menyediakan habitat tempat tumbuhnya beragam organisme dari
berbagai tingkatan tropik. Interaksi nyata terdapat antara herbivora di bagian
kanopi tanaman dengan fauna tanah dan proses dekomposisi bahan organik
sehingga mempengaruhi ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Beberapa
kelompok herbivora dapat mempengaruhi laju dekomposisi dan siklus unsur
hara karena mengkonsumsi bagian-bagian tertentu tanaman (Pastor dan Cohen,
1997). Penurunan jumlah daun karena serangan serangga herbivora
menyebabkan terjadinya translokasi unsur hara terutama nitrogen dari tegakan
tanaman (Reynolds et al., 2000).
Akar setiap jenis tanaman akan menghasilkan eksudat akar yang
memiliki komposisi kimia berbeda. Senyawa kimia tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai nutrisi oleh beberapa jenis mikroba tertentu sehingga terbentuk asosiasi
tanaman dengan mikroba tanah. Beberapa kelompok dekomposer dapat
memanfaatkan serasah atau bahan organik tanah sebagai sumber karbonnya.
Beberapa organisme pathogen dapat memangsa organisme tertentu di dalam
tanah.
4.4. Asosiasi Tanaman Legum
Tanaman leguminose dapat berasosiasi dengan beberapa jenis tanaman
lainnya, seperti kelompok rumput-rumputan, biji-bijian (Alvey et al., 2003),
semak, dan ditumpangsarikan dengan beberapa jenis tanaman pangan (Alvey et
al., 2003; Mustafa et al., 2004) dan perkebunan (Liphadzi dan Reinhardt, 2004;
24
Pound et al., 1980). Leguminose berinteraksi secara spesifik dengan mikroba
fungsional penambat N2 dan kadangkala dengan cendawan mikorhiza.
Setiap jenis tanaman leguminose memiliki kandungan N berbeda satu
sama lain sehingga rasio C/N-nya juga berbeda. Perbedaan rasio C/N serasah
tanaman tersebut menyebabkan proses dekomposisi yang berbeda dengan
melibatkan populasi dekomposer yang berbeda. Hasil penelitian Oyun et al
(2006) menunjukkan, bahwa populasi terbesar dekomposer ditemukan pada
kombinasi serasah Acacia yang memiliki rasio C/N tinggi dengan Gliricida yang
memiliki rasio C/N lebih rendah. Populasi dekomposer pada serasah murni
gliricida maupun acacia lebih rendah daripada populasi dekomposer pada
serasah campuran.
Tanaman leguminose penutup tanah juga mampu menyediakan habitat
yang sesuai untuk perkembangan musuh alam bagi hama arthropoda
(Hokkanen, 1991). Penelitian lain menyebutkan bahwa pemilihan spesies
tanaman leguminose untuk penutup tanah perlu dikaji supaya tidak menjadi
sumber hama bagi tanaman lainnya. Lapointe (2003) menemukan bahwa
tanaman Cajanus cajan tidak sesuai digunakan sebagai tanaman penutup tanah
di sela-sela pertanaman jeruk citrun karena berdampak positif terhadap
pertumbuhan larva hama Diaprepes abbreviatus (Coleoptera: curculionidae)
yang menyerang akar tanaman citrun..
25
V. KESIMPULAN
Tanaman leguminose merupakan tanaman fungsional yang mampu
menambat N2 dan mensuplai nitrogen kepada tanaman non leguminose yang
ada di sekitarnya. Penambatan N2 merupakan salah satu bagian dari siklus
nitrogen. Suplai nitrogen yang dilakukan oleh tanaman leguminose kepada
tanaman non leguminose dapat melalui beberapa mekanisme, yaitu mekanisme
jangka pendek tanpa melalui proses dekomposisi (ekskresi senyawa nitrogen
oleh tanaman yang kemudian diasimilasi oleh tanaman lainnya yang berasosiasi
dengan tanaman tersebut, transfer N yang difasilitasi oleh mikoriza, dan proses
leaching N terlarut dari daun tanaman) dan mekanisme jangka panjang
(dekomposisi akar dan bintil akar tanaman leguminose, dekomposisi batang
daun dan bunga tanaman leguminose, serasah tanaman leguminose, dan
pelepasan N dari kotoran ataupun urin ternak pemakan leguminose).
Suplai nitrogen yang dilakukan oleh tanaman leguminose kepada
tanaman non leguminose dapat membantu memenuhi sebagian kebutuhan N
tanaman non leguminose. Suplai nitrogen oleh tanaman leguminose kepada
lingkungannya merupakan salah satu faktor pendukung terbentuknya asosiasi
tanaman leguminose dengan tanaman lainnya atau dengan organisme dari
tingkatan tropik lainnya..
26
DAFTAR PUSTAKA
Alvey, S., C.H. Yang., A. Buerkert, D.E. Crowley. 2003. Cereal/legume rotation effects on rhizosphere bacterial community structure in west African soils. Biol Fertil Soils. 37:72-82.
Barea, J.M., F. El-Atrach, and R. Azcon. 1989. Mycorrhiza and phosphate interactions as affecting plant development, N2-fixation, N-transfer and N-uptake from soil in legume-grass mixtures by using a 15N dilution technique. Soil Biol. Biochem. 21:581-589.
Brophy, L.S., G.H. Heichel, and M.P. Risselle. 1987. Nitrogen transfer from forage legumes to grass in a systematic planting design. Crop Sci. 27:753-758.
Christy, J.A. 2004. Native Freshwater Wetland Plant Associations of Northwestern Oregon. Natural Heritage Information Center, Oregon State University. USA.
Eason, W.R. and E.I. Newman. 1990. Rapid cycling of nitrogen and phosphorous from dying roots of Lolium perenne. Oecologia. 82:432-436.
Graham, P.H. 1998. Biological Dinitrogen Fixation : Symbiotic. In. Principles and Apllications of Soil Microbiology. D.M. Sylvia, J.J. Fuhrman, P.G. Hartel and. D.A. Zuberer (Eds.). Prentice Hall. UK. Pp:322-345.
Harper, L.A., R.R. Shape, G.W. Langdale, and J.E. Giddens. 1987. Nitrogen cycling in awheat crop: soil, plant, and aerial transport. Agron. J. 79:965-973.
Hetrick, B.A.D., G.W.T. Wilson, and D.C. Harnett. 1989. Relationship between mycorrhizal dependence and competitive ability of two tallgrass prairie grasses. Can. J. Bot. 67:2608-2615.
Hokkanen, H.M.T. 1991. Trap cropping in pest management. Annu. Rev. Entomol. 36:119-138.
Hooper, D.U. and Vitousek, P.M. 1997. The effects of plant composition and diversity on ecosystem processes. Science 277:1302-1305.
Hooper DU, FS Chapin III, JJ Ewel, A Hector, P Inchausti, S Lavorel, JH Lawton, DM Lodge, M Loreau, S Naeem, B Schmid, H Setälä, AJ Symstad, J Vandermeer and DA Wardle. 2005. Effects of biodiversity on ecosystem functioning: a consensus of current knowledge. Ecol Monog75:3-35.
27
Lapointe, S. 2003. Leguminose cover crops and their interactions with citrus and Diaprepes abbreviatus (Coleoptera: Curculionidae).
Lilleskov, E.A. and T.D. Bruns. 2001. Nitrogen and ectomycorrhizal fungal communities: what we know, what we need to know. New. Phytologist. 149:154-158.
Liphadzi, K.B. and C.F. Reinhardt. 2006. Using companion plants to assist Pinus patula establishment on former agricultural lands. openUP.
MacKenzie, W.H. 2004. Plant associations as ecosystem : Issues in application at-risk status. In Hooper, T.D. (Ed) Proceedings of The Species at Risk. Victoria, B.C.
Marquard, E., Weigelt, A. Temperton, V.M., Roscher, C., Schumacher, J,m Buchmann, N, Fischer, M., Weisser, W.W. and Schmid, B. 2009. Plant species richness and functional composition drive overyielding in a 6-year grassland experiment. J. Ecol. Accepted.
Moreira, F.M. D.S. 2007. Soil biodiversity: genetic resources to enhance nitrogen fixation in agriculture and forestry. Lotus Newsletter. Vol : 37(3): 112-113.
Mustafa, TAN, Y. Serin, H. Ibrahim Erkovan. 2004. Effects of Barley as a companion crop on the hay yield and plant density of red clover and the botanical composition of Hay. Turk J. Agric. For. 28 :35-41.
Oelman, Y. dan Wilcke, W. 2004. The effect of biodiversity on nitrogen in the soil : species number versus presence of legumes. Geophysical Research Abstracts, Vol. 6, 05406. European Geosciences Union.
Ofori, F. and W.R. Stern. 1987. Cereal-legume intercropping systems. Adv. Agron. 41:41-90.
Oyun, M.B., Akharayi, F.C. and Adetuyi, F.C. 2006. Microbial population in decomposing legume litter of differing quality. American Journal of Agric. And Biol. Sci. 1(1):22-26.
Paynel F., Murray, P.J., and Cliquet, J.B. 2001. Root exudates: a pathway for short-term N transfer from clover and ryegrass. Plant and Soil, 229:235-243.
Pound, B. A. Santana, and G. Ruiz. 1980. Effect of companion crops on establishment and subsequent yield of Leucaena leucocephala. Trop. Anim. Prod. 5:3.
28
Rinker, H.B. and M. D. Lowman. 2001. Literature Review: canopy herbivory and soil ecology, the top-down impact of forest processes. Selbyana, 22(2):225-231.
Ruschel, A.P., E. Salati and P.B. Vose. 1979. Nitrogen enrichment symbiosis. Plant Soil. 51:425-429.
Tarui, A., A. Matsumura, S. Asakura, K. Yamawaki, R. Hattori and H. Daimon. 2013. Enhancement of nitrogen uptake in oat by cutting hairy vetch grown as an associated crop. www.plant.org: 83-91
Tilman D. Wedin D., and Knops J. 1996. Productivity and Sustainability influenced by biodiverfsity in grassland ecosystems. Nature. 379:718-720.
Tomm, G.O. 1993. Nitrogen Transfer in An Alfalfa-Bromegrass Mixture. Thesis. Dept. of Crop Science. And Plant Ecology University Saskatchewan Saskatoon, Saskatchewan, Canada.
Trannin, W.S. Urquisa, S., Guerra, G. Ibijbijen, J. and Cadisch, G. 2000. Interspecies competition an d N transfer in a tropical grass-legume mixture. Biol. Fertil. Soils. 32:441-448.
Van Kessel, C., J.P. Roskoski, and K. Keane. 1988. Ureide production by N2-fixing and non-N2-fixing leguminous trees. Soil Biol. Biochem. 20:891-897.
Wedin, D. and Pastor J. 1993. Species effects on nitrogen cycling : a test with perennial grasses. Oecologia 84:433-441.
Weigelt, A., W.W. Weisser, N. Buchmann, and M. Scherer-Lorenzen. 2009. Biodiversity for multifunctional grasslands: equal productivity in high-diversity low-input and low-diversity high-input systems. Biogeosciences Discuss., Vol. 6, 3187-3214.
Whitney, A.S., and Y. Kanehiro. 1967. Pathways of nitrogen transfer in some tropical legume-grass associations. Agron. J. 59:585-588.
Zak, D.R., W.E. Holmes, D.C. White, A.D. Peacock, and D. Tilman. 2003. Plant diversity, soil microbial communities and ecosystem function: are there any links. Ecology:84(8):2042-2050.