Fikosianin Viper Mode

14

Transcript of Fikosianin Viper Mode

Page 1: Fikosianin Viper Mode
Page 2: Fikosianin Viper Mode

Kel Berat Jumlah Aquades Total FiltratOD 615

OD 652

KF Yield WarnaBio Massa Kering(g)

yang ditambahkan(ml)

yang diperoleh

(mg/ml) (mg/ml) Sebelum diOven Sesudah diOven

C1 8 80 56 0,1490 0,0575 2,280 15,960 +++ +C2 8 80 56 0,1460 0,0594 2,207 15,449 +++ +C3 8 80 56 0,1437 0,0574 2,181 15,267 +++ +C4 8 80 56 0,1410 0,0593 2,114 14,798 ++ +C5 8 80 56 0,1440 0,0588 2,175 15,225 ++ ++

1. HASIL PENGAMATAN

Keterangan Warna+ Biru Muda++ Biru+++ Biru Tua

Berdasarkan Tabel 1. Dapat dilihat fikosianin dari 8 gr berat biomasa spirulina yang dicampur dengan 80 ml aquades memiliki warna

untuk kelompok C1-C3 yaitu birut tua sebelum dioven dan warna biru muda setelah dioven, sedangkan C4 dan C5 memiliki warna

biru sebelum dioven dan utnuk C4 menjadi biru muda setelah dioven, dan tidak ada perubahan warna untuk kelompok C5. Dari data

diatas dapat diketahui pula bahwa nilai OD615 terkecil dari kelompok C4 yaitu sebesar 0,1410 dan nilai OD615 terbesar dari kelompok

C1 yaitu sebesar 0,1490. Pada nilai OD652 yang terbesar yaitu 0,0594 pada kelompok C2 dan yang terkecil yaitu pada kelompok C3

yaitu sebesar 0,0574. Nilai KF terbesar yaitu 2,280 mg/ml pada kelompok C1 sehingga yield yang dihasilkan juga paling besar yaitu

15,960 mg/g, sedangkan nilai KF paling rendah yaitu 2,114 mg/ml pada kelompok C4 sehingga yield yang dihasilkan juga paling kecil

yaitu 14,798 mg/g.

Page 3: Fikosianin Viper Mode

2. PEMBAHASAN

Steinkraus (1983) berpendapat bahwa warna merupakan salah satu indikator mutu yang akan

dipertimbangkan dalam produksi produk pangan. Warna menjadi indikator yang penting karena

warna akan mempengaruhi penampilan dari suatu produk pangan dimana penampilan

keseluruhan dari produk merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan konsumen

dalam membeli suatu produk pangan disamping faktor-faktor penting lainnya. Oleh karena itu

untuk memperoleh suatu produk pangan dengan warna yang menarik pada umumnya industri

pangan akan menggunakan pewarna alami maupun sintetis dalam produk pangan. Jika pada

umumnya zat warna sintesis lebih sering digunakan oleh industri pangan karena harganya relatif

lebih murah, mudah didapat, stabilitas lebih tinggi dan tahan lama selama penyimpanan tetapi

memiliki tingkat keamanan pangan yang lebih rendah. Syah et al. (2005) menyatakan bahwa

pengunaan zat warna alami jauh lebih aman jika dibandingkan dengan penggunaan zat pewarna

sintetis. Oleh karena itu salah satu tujuan dalam praktikum ini adalah untuk menghasilkan zat

warna biru alami (fikosianin) dari Spirulina sp. yang dapat diaplikasikan ke dalam bahan/produk

pangan.

Zat pewarna alami dapat diperoleh dari beberapa spesies alga. Berdasarkan teori dari Sutomo

(2005), mikroalga laut mempunyai potensi dalam menghasilkan senyawa-senyawa aktif yang

dapat dimanfaatkan dalam bidang pangan masa kini. Spirulina sendiri dapat membantu

mengurangi kadar kolesterol dalam tubuh (Tang & Suter, 2011). Senyawa-senyawa aktif tersebut

adalah pigmen, asam lemak, klorofil, dan lain-lain. Salah satu spesies alga yang mampu

menghasilkan warna yakni Spirulina sp. yang menghasilkan pigmen fikosianin yang

menghasilkan warna biru alami. Pigmen warna ini memiliki sifat yang larut dalam pelarut polar

seperti air hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Spolaore et al. (2006).

Tietze (2004) menyatakan bahwa Spirulina sendiri merupakan organisme yang termasuk dalam

golongan alga hijau biru atau yang sering disebut dengan blue green algae. Spirulina sendiri

terdiri dari 18 jenis asam amino diantaranya glutamin, glisin, lisin, methionin dan lain-lain

(Kumar et al., 2009). Alga laut memiliki kemampuan fotosintesis dengan menangkap panjang

gelombang dari cahaya visible (De Wit et al., 2008). Jika spirulina berada pada koloni besar

maka akan menghasilkan warna hijau tua atau biru kehijauan (agak gelap) dikarenakan

Page 4: Fikosianin Viper Mode

keberadaan klorofil yang tinggi. Pada praktikum ini terlihat spirulina tersebut berwarna hijau

pekat sebelum dilakukan sentrifugasi sehingga dapat dikatakan bahwa spirulina tersebut

mengandung pigmen klorofil dan membentuk koloni. Spirulina merupakan salah satu jenis alga

mesofilik, yang artinya akan tumbuh secara maksimal pada suhu 35-40 °C Richmond (1988).

Cara Kerja

Dalam praktikum ini langkah awal yang dilakukan adalah biomassa spirulina sebanyak 8 gram

dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan aquades sebanyak 100 ml lalu diaduk

dengan stirrer selama ± 2 jam. Pengadukan ini bertujuan untuk mengekstrak fikosianin yang

terkandung dalam spirulina. Menurut Syah et al. (2005), aquades merupakan pelarut yang

bersifat polar sehingga dapat melarutkan fikosianin karena fikosianin merupakan salah satu

pigmen yang memiliki sifat larut di dalam air. Pengadukakan dengan stirrer ini bertujuan agar

terjadi homogenisasi spirulina dengan aquades sehingga memaksimalkan ekstraksi pigmen

fikosianin. Hal ini didukung oleh Silveira et al. (2007), oleh karena ini langkah awal yang

digunakan selama praktikum untuk mengekstrak fikosianin menggunakan aquades sudah tepat

dan sesuai dengan teori yang ada.

Setelah itu dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit lalu supernatan

yang terbentuk diambil. Proses ini sesuai dengan pendapat Kamble et al. (2013) bahwa spirulina

yang sudah dilarutkan kemudian diberi perlakuan sentrifugasi. Proses sentrifugasi ini bertujuan

untuk memisahkan endapan dan supernatan dari larutan dimana supernatan pada tahap ini

merupakan cairan yang mengandung fikosianin. Selain itu menurut Silveira et al. (2007) , proses

sentrifugasi ini juga berfungsi untuk memisahkan fase padatan dan fase cair dari fikosianin yang

telah terekstrak sehingga pada proses pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer

tidak akan terganggu oleh karena keberadaan zat-zat/padatan pengotor. Supernatan kemudian

diukur kadar fikosianinnya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 615 nm

dan 652 nm. Kadar fikosianin dapat diketahui dari nilai absorbansi yang terbaca oleh

spektrofotometer. Panjang gelombang yang digunakan pada tahap spektrofotometri ini sudah

sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Silviera et al. (2007) dimana di dalam analisa

fikosianin, kadar fikosianin dapat dilakukan dengan cara spektrofotometri absorbansi dengan

panjang gelombang 615 nm dan 652 nm. Kemudian sebanyak 8 ml supernatan diambil dan

Page 5: Fikosianin Viper Mode

dicampurkan dengan dekstrin sebanyak 10 gram hingga merata dan dituang dan diratakan di atas

permukaan loyang kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 45oC hingga benar-benar

kering dan dihancurkan dengan alat penumbuk hingga menjadi bentuk serbuk. Parameter yang

diamati adalah warna baik sebelum dan sesudah proses pengeringan dengan oven. Tujuan

penambahan dekstrin ke dalam supernatan yang ada menurut Murtala (1999), bertujuan untuk

mempercepat proses pengeringan serta mencegah kerusakan yang dapat terjadi akibat panas,

selain itu juga dapat melapisi komponen flavor yang dihasilkan serta meningkatkan total padatan

dan untuk memaksimalkan volume fikosianin yang dihasilkan pada tahap akhir.

Menurut Suparti (2000), dekstrin merupakan polisakarida yang diperoleh dari proses hidrolisa

pati yang diatur oleh enzim tertentu atau dengan cara hidrolisis asam. Dekstrin memiliki

penampakan warna yang putih hingga kuning dengan sifat mudah larut dalam air, mudah

terdispersi, tidak kental, dan stabiliasinya lebih baik jika dibandingkan dengan pati. Fungsi

dekstrin ini pada umumnya dapat meningkatkan berat produk apabila produk tersebut dalam

bentuk bubuk. Struktur molekul dekstrin ini berbentuk spiral, sehingga dekstrin memiliki

kemampuan untuk memerangkap molekul-molekul flavor (Arief, 1987). Suparti (2000) juga

menambahkan bahwa dekstrin dapat mengurangi penguapan komponen selama terjadinya proses

pengolahan.

Temperatur pengeringan dengan oven yang digunakan adalah 45oC hal ini sesuai dengan teori

dari Metting dan Pyne (1986) yang menyatakan jika suhu pengeringan fikosianin dilakukan pada

suhu diatas 60oC maka akan mengakibatkan degradasi fikosianin dan dapat memacu reaksi

maillard. Pengeringan dengan matahari langsung sangat tidak direkomendasikan karena akan

menimbulkan aroma yang tidak diinginkan serta dapat meningkatkan kontaminasi bakteri pada

produk yang dihasilkan. Berdasarkan teori tersebut maka pengeringan yang dilakukan selama

praktikum idak menggunakan energi matahari secara langsung melainkan menggunakan oven

dengan suhu yang diatur di bawah suhu 60oC agar tidak terjadi penurunan kualitas fikosianin.

Hasil percobaan

Page 6: Fikosianin Viper Mode

Pada hasil pengamatan yang diperoleh dapat dilihat konsentrasi fikosianin, yield serta perubahan

warna sebelum dan setelah dilakukan pengeringan dengan oven. Nilai konsentrasi fikosianin ini

dapat dihitung dengan rumus:

Konsentrasi fikosianin (KF) = OD615−0,474 (OD652)

5,34

(Zhang et al., 2015)

Pada hasil pengamatan dapat dilihat bahwa meskipun seluruh kelompok melakukan perlakuan

yang sama, tetapi nilai OD yang didapat berbeda-beda. Menurut Fox (1991) nilai OD (optical

density) dipengaruhi dari konsentrasi serta kejernihan larutan.Semakin keruh suatu larutan maka

nilai OD yang didapat akan semakin tinggi. Untuk nilai KF dan yield pada setiap kelompok

menghasilkan hasil perhitungan yang berbeda pula namun perbedaanya tidak terlalu jauh. Tetapi

untuk kelompok C4 mendapat hasil perbedaannya cukup jauh sehingga dapat dilihat nilai yield

untuk kelompok C4 satu-satunya yang mendapat nilai 14, sedangkan kelompok lain berada

dikisaran 15. Hal ini dapat dikarenakan karena perbedaan OD615 dan OD652 anatara kelompok C4

dengan kelompok lain yang cukup jauh.

Sedangkan nilai yield didapatkan dengan rumus ini:

Yield = KF × Vol(total filtrat )gram(berat biomassa )

Dari rumus di atas dapat disimpulkan jika nilai yield berbanding lurus dengan konsentrasi

fikosianin yang dihasilkan dimana nilai fikosianin ditentutkan dari nilai OD615 dan OD625.

Sehingga semakin rendah jarak nilai antara OD615 dan OD625 maka semakin rendah nilai KF yang

mana akan mempengaruhi nilai yield menjadi lebih kecil. Pada praktikum ini juga dilihat bahwa

setelah dilakukan pengeringan dalam oven, seluruh kelompok menghasilkan parameter warna

yang lebih muda dan pucat dibandingkan dengan bahan sebelum dioven (kecuali C5).

Berdasarkan pendapat Angka dan Suhartono (2000), penambahan konsentrasi dekstrin yang

tinggi akan mengakibatkan bubuk fikosianin yang dihasilkan memiliki warna yang cenderung

lebih muda dan pucat. Oleh karena itu hasi pengamatan yang diperoleh sudah sesuai dengan teori

yang ada dimana warna fikosianin setelah dioven lebih pudar/muda/pucat jika dibandingkan

dengan warna sebelum dipanaskan/dikeringkan dalam oven.

Page 7: Fikosianin Viper Mode

Pada dasarnya fikosianin yang diperoleh dari Spirulina merupakan pewarna alami yang memiliki

kelemahan antara lain yaitu bersifat tidak stabil karena sangat dipengaruhi oleh faktor intensitas

cahaya, pH, dan perlakuan temperatur. Perlu diberikan perlakuan khusus untuk meminimalkan

fikosianin kontak dengan cahaya karena sifatnya yang yang sangat sensitif terhadap cahaya.

Selain sensitif terhadap cahaya, pewarna alami fikosianin memiliki sifat yang sensitif terhadap

suhu yang tinggi atau terlalu panas, tidak stabil pada pH rendah (cenderung asam), serta tidak

stabil dalam larutan jika terkena cahaya dan pemanasan yang berlebihan dan bersamaan. Hal ini

sesuai dengan hasil pengamatan yang diperoleh, dimana warna fikosianin yang telah dipanaskan

dengan oven mengalami perubahan warna menjadi lebih muda atau pucat. Namun di samping

itu, pewarna fikosianin tetap memiliki kelebihan dibanding pewarna biru sintetis yaitu sifatnya

yang lebih tahan terhadap reaksi oksidasi (anti oksidatif), oleh karena itu pewarna fikosianin

cenderung lebih aman untuk kesehatan dan dapat digunakan sebagai penangkal radikal bebas.

Banyak fikosianin yang diaplikasikan dalam pembuatan makanan dan minuman sebagai pewarna

alami (Boussiba dan Richmond, 1979).

Page 8: Fikosianin Viper Mode

3. KESIMPULAN Warna merupakan salah satu indikator mutu yang akan dipertimbangkan dalam produksi

produk pangan.

Pengunaan zat warna alami jauh lebih aman jika dibandingkan dengan penggunaan zat

pewarna sintetis.

Zat pewarna alami dapat diperoleh dari beberapa spesies alga.

Spesies alga yang mampu menghasilkan warna yakni Spirulina sp. Yang menghasilkan

pigmen fikosianin yang menghasilkan warna biru alami.

Dekstrin dapat mengurangi penguapan komponen selama terjadinya proses pengolahan.

Dekstrin merupakan polisakarida yang diperoleh dari proses hidrolisa pati yang diatur oleh

enzim tertentu atau dengan cara hidrolisis asam.

OD (optical density) dipengaruhi dari konsentrasi serta kejernihan larutan.

Konsentrasi dekstrin yang tinggi akan mengakibatkan bubuk fikosianin yang dihasilkan

memiliki warna yang cenderung lebih muda dan pucat.

Banyak fikosianin yang diaplikasikan dalam pembuatan makanan dan minuman sebagai

pewarna alami

Semarang, 21 Oktober 2015Praktikan, Asisten Dosen

- Deanna Suntoro- Ferdyanto Juwono

Ming Jen13.70.0149

Page 9: Fikosianin Viper Mode