FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK...

16
Perspektif Vol. 13 No. 2 /Des 2014. Hlm 75 -89 ISSN: 1412-8004 Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 75 FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK PENGEMBANGAN BIOIRIGASI PADA PERTANIAN LAHAN KERING DI INDONESIA Hydraulic Lift Phenomenon and Prospects of Bioirrigation Development in Dryland Farming in Indonesia JOKO PITONO Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute Jalan Tentara Pelajar No 3 Bogor, 16111 Telp (0251) 8321879, Faks (0251) 83107010 E-mal: [email protected]; [email protected] Diterima: 25 Oktober 2014; Direvisi: 17 November 2014; Disetujui: 24 November 2014 ABSTRAK Diperkirakan pertanian nasional ke depan akan semakin bertumpu pada lahan suboptimal, mengingat alih fungsi lahan produktif ke sektor di luar pertanian semakin tidak terkendali dengan laju konversi mencapai ± 132 ribu ha per tahun. Dari 91,9 juta ha lahan suboptimal nasional sekitar 76,6% berupa lahan kering. Keterbatasan air merupakan kendala utama pada pertanian lahan kering, dan kurangnya investasi irigasi teknis menyebabkan sebagian besar lahan kering masih menggantungkan pada sumber air hujan. Bioirigasi merupakan alternatif pengelolaan air lahan kering dengan memanfaatkan kemampuan hydraulic lift tanaman tertentu untuk mengangkat air tanah dari lapisan dalam yang lebih lembab dan mengisi ulang air tanah pada lapisan dangkal yang kering. Selanjutnya air tanah hasil pengisian ulang di lapisan dangkal tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan transpirasi dan pertumbuhan, baik untuk tanaman yang melakukan hydraulic lift maupun tanaman sela (cash crops) lain yang ditanam di sekitarnya. Kajian hydraulic lift hingga saat ini masih terbatas pada tataran ekologi, dan untuk menuju langkah implementasinya mendukung bioirigasi di sektor pertanian perlu mempertimbangan aspek teknis seperti pemilihan kombinasi jenis tanaman, arsitektur pertanaman, keberadaan air tanah dalam, sifat fisik tanah, dan komponen penguatan fungsi hydraulic lift. Tujuan review ini adalah memberikan perspektif penelitian dan pengembangan bioirigasi sebagai alternatif pengelolaan air dan prospek pemanfaatannya pada pertanian lahan kering di Indonesia. Kata kunci: lahan kering, air tanah, bioirigasi, tanaman hydraulic lift ABSTRACT It is estimated that the national agriculture in the future will increasingly rely on suboptimal land, given the productive land conversion to non-agricultural sector is increasingly out of control with the conversion rate to ± 132 thousand hectares per year. Of the 91.9 million ha of national suboptimal around 76.6% in the form of dry land. Limitations of water is a major constraint on the dry land agriculture, and lack of technical irrigation investments led to most of the dry land still dependent on rain water source. Bioirrigation is an alternative dry land water management by utilizing the ability of certain plant hydraulic lift to lift water from the soil layers in the more humid and recharge groundwater at dry shallow layer. Furthermore, the results of recharging groundwater in the shallow layers can be used to meet the needs of transpiration and growth, both for plants that do hydraulic lifts and intercrops (cash crops) that planted in the vicinity. Study of hydraulic lift is still limited at the level of ecology, and for leading the implementation in the agricultural sector need to consider the technical aspects such as the selection of a combination of the type of crop, crop architecture, the presence of water in the soil, soil physical properties, and strengthening the function of hydraulic lift components. The purpose of this review is to provide an alternative perspective of research and development on bioirrigation as water management and utilization prospects in dryland farming in Indonesia. Key word: dry land, soil water, bioirrigation, hydraulic lift crops

Transcript of FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK...

Page 1: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

Perspektif Vol. 13 No. 2 /Des 2014. Hlm 75 -89

ISSN: 1412-8004

Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 75

FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK

PENGEMBANGAN BIOIRIGASI PADA PERTANIAN LAHAN KERING

DI INDONESIA Hydraulic Lift Phenomenon and Prospects of Bioirrigation Development in Dryland

Farming in Indonesia

JOKO PITONO

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute

Jalan Tentara Pelajar No 3 Bogor, 16111 Telp (0251) 8321879, Faks (0251) 83107010

E-mal: [email protected]; [email protected]

Diterima: 25 Oktober 2014; Direvisi: 17 November 2014; Disetujui: 24 November 2014

ABSTRAK

Diperkirakan pertanian nasional ke depan akan

semakin bertumpu pada lahan suboptimal, mengingat

alih fungsi lahan produktif ke sektor di luar pertanian

semakin tidak terkendali dengan laju konversi

mencapai ± 132 ribu ha per tahun. Dari 91,9 juta ha

lahan suboptimal nasional sekitar 76,6% berupa lahan

kering. Keterbatasan air merupakan kendala utama

pada pertanian lahan kering, dan kurangnya investasi

irigasi teknis menyebabkan sebagian besar lahan

kering masih menggantungkan pada sumber air hujan.

Bioirigasi merupakan alternatif pengelolaan air lahan

kering dengan memanfaatkan kemampuan hydraulic

lift tanaman tertentu untuk mengangkat air tanah dari

lapisan dalam yang lebih lembab dan mengisi ulang air

tanah pada lapisan dangkal yang kering. Selanjutnya

air tanah hasil pengisian ulang di lapisan dangkal

tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan

transpirasi dan pertumbuhan, baik untuk tanaman

yang melakukan hydraulic lift maupun tanaman sela

(cash crops) lain yang ditanam di sekitarnya. Kajian

hydraulic lift hingga saat ini masih terbatas pada tataran

ekologi, dan untuk menuju langkah implementasinya

mendukung bioirigasi di sektor pertanian perlu

mempertimbangan aspek teknis seperti pemilihan

kombinasi jenis tanaman, arsitektur pertanaman,

keberadaan air tanah dalam, sifat fisik tanah, dan

komponen penguatan fungsi hydraulic lift. Tujuan

review ini adalah memberikan perspektif penelitian

dan pengembangan bioirigasi sebagai alternatif

pengelolaan air dan prospek pemanfaatannya pada

pertanian lahan kering di Indonesia.

Kata kunci: lahan kering, air tanah, bioirigasi, tanaman

hydraulic lift

ABSTRACT

It is estimated that the national agriculture in the

future will increasingly rely on suboptimal land, given

the productive land conversion to non-agricultural

sector is increasingly out of control with the conversion

rate to ± 132 thousand hectares per year. Of the 91.9

million ha of national suboptimal around 76.6% in the

form of dry land. Limitations of water is a major

constraint on the dry land agriculture, and lack of

technical irrigation investments led to most of the dry

land still dependent on rain water source. Bioirrigation

is an alternative dry land water management by

utilizing the ability of certain plant hydraulic lift to lift

water from the soil layers in the more humid and

recharge groundwater at dry shallow layer.

Furthermore, the results of recharging groundwater in

the shallow layers can be used to meet the needs of

transpiration and growth, both for plants that do

hydraulic lifts and intercrops (cash crops) that planted

in the vicinity. Study of hydraulic lift is still limited at

the level of ecology, and for leading the

implementation in the agricultural sector need to

consider the technical aspects such as the selection of a

combination of the type of crop, crop architecture, the

presence of water in the soil, soil physical properties,

and strengthening the function of hydraulic lift

components. The purpose of this review is to provide

an alternative perspective of research and development

on bioirrigation as water management and utilization

prospects in dryland farming in Indonesia.

Key word: dry land, soil water, bioirrigation, hydraulic

lift crops

Page 2: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

76 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89

PENDAHULUAN

Diperkirakan pertanian nasional ke depan

akan semakin bertumpu pada lahan suboptimal,

mengingat alih fungsi lahan produktif ke sektor

di luar pertanian semakin tidak terkendali

dengan laju konversi mencapai ± 132 ribu ha per

tahun (Agus dan Irawan, 2006). Kemtan (2013)

memperkirakan luas lahan suboptimal nasional

mencapai 91,9 juta ha yang meliputi (a) lahan

kering masam seluas 62,6 juta ha setara dengan

68,1%; (b) lahan kering beriklim kering seluas 7,8

juta ha setara 8,5%; (c) lahan rawa pasang-surut

seluas 14 juta ha setara 15,2%; dan d) lahan rawa

lebak seluas 7,5 juta ha setara 8,2%. Namun

pemanfaatan lahan suboptimal tersebut hingga

saat ini belum sepenuhnya diiringi dengan

penerapan inovasi teknologi secara memadai,

menyebabkan produktivitas lahan yang rendah.

Kendala utama budidaya pertanian lahan

kering adalah faktor keterbatasan sumberdaya air

akibat pola distribusi hujan yang kurang ideal.

Sekitar 81,6% lahan kering di wilayah Bali dan

Nusa Tenggara memiliki curah hujan tahunan

kurang dari 2000 mm (Las et al., 2000). Meskipun

jumlah curah hujan tahunan pada lahan kering

tersebut secara kuantitatif relatif mencukupi

untuk budidaya pertanian, namun karena

kejadian hujannya hanya terkonsentrasi pada

musim hujan yang pendek, maka hanya dapat

mendukung masa tanam komoditas semusim < 6

bulan (Las et al., 1991). Perkiraan ini didasari hasil

evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada

lahan kering yang mencapai 120 mm/bulan

(Oldemen et al, 1980). Hasil analisis ketersediaan

dan kebutuhan air selama musim kemarau di

pulau Jawa dan Bali pada tahun 2003 mengalami

defisit 13,1 milyar meter kubik, sedangkan

wilayah Nusa Tenggara mengalami defisit

sebesar 100 juta meter kubik (Kartiwa dan

Dariah, 2012).

Pengelolaan air lahan kering yang tepat

sangat krusial untuk mengatasi ketimpangan

antara kebutuhan air tanaman dan

ketersediaannya dalam perspektif ruang dan

waktu. Pengelolaan air lahan kering umumnya

dilakukan secara rekayasa teknis melalui

penampungan air permukaan dalam bangunan

tandon air, embung, dan waduk untuk

selanjutnya disalurkan pada target hamparan

lahan budidaya dengan memasang prasarana

saluran air atau jaringan pipa. Pendekatan ini

sering terbentur dengan kebutuhan pembiayaan

konstruksi yang tidak murah dan sedikitnya

pemerintah melalui program tugas pembantuan

daerah memerlukan dana lebih dari Rp. 27,5

milyar tiap tahunnya (Ditjen PSP, 2011). Oleh

karena itu, untuk mempercepat pengembangan

pertanian pada lahan kering diperlukan alternatif

lain untuk pengelolaan air yang efektif, mudah,

dan murah dalam penerapannya. Makalah ini

bertujuan untuk menguraikan alternatif

pengelolaan air lahan kering dengan bioirigasi

melalui pemanfaatan kemampuan tanaman

tertentu melakukan pengisian ulang air pada

tanah lapisan atas.

PERTANIAN LAHAN KERING

Di antara jenis lahan suboptimal yang

tersedia, lahan kering merupakan yang terluas

dan sangat potensial digarap untuk

pengembangan pertanian nasional ke depan.

Abdurachman et al. (2008) memperkirakan lahan

kering yang sesuai untuk budidaya pertanian

mencapai 76,2 juta ha. Sekitar 93% dari luasan

lahan kering tersebut yang setara 70,7 juta ha,

berada di dataran rendah dan sisanya di dataran

tinggi. Luas lahan kering dataran rendah tersebut

merupakan lahan datar hingga bergelombang

(lereng <15%) dan yang sesuai untuk

pengembangan tanaman pangan mencapai 23,3

juta ha. Sisa lahan kering dataran rendah seluas

47,5 juta ha yang berlereng 15-30% hanya sesuai

untuk pengembangan tanaman tahunan. Untuk

lahan kering dataran tinggi yang sesuai untuk

budidaya tanaman pangan hanya 2,1 juta ha dan

sisanya dapat digunakan untuk pengembangan

tanaman tahunan. Dalam perspektif makro,

peran lahan kering bagi pembangunan pertanian

nasional ke depan ditengarai justru lebih unggul

dibandingkan lahan sawah. Menurut Irawan

(2012) beberapa keunggulan daerah lahan kering

dibanding daerah lahan sawah adalah 1) daerah

lahan kering lebih tersebar di seluruh wilayah

nusantara sehingga upaya pemerataan

pembangunan pertanian antar daerah lebih

Page 3: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 77

efektif dilakukan melalui pemberdayaan lahan

kering, 2) konversi lahan pertanian ke fungsi lain

di luar pertanian relatif dapat ditanggulangi,

sehingga keberlanjutan lahan pertanian lebih

terjamin, 3) tanaman pertanian yang

dikembangkan lebih beragam sehingga sektor

pertanian di lahan kering lebih resisten terhadap

fluktuasi harga komoditas, 4) distribusi

penguasaan lahan kering lebih merata dibanding

distribusi penguasaan lahan sawah, sehingga

upaya pemerataan pendapatan petani lebih

efektif jika dilakukan melalui pemberdayaan

lahan kering, dan 5) ketersediaan lahan pertanian

per keluarga pertanian relatif lebih luas, sehingga

upaya peningkatan pendapatan petani akan lebih

efektif jika dilakukan melalui pemberdayaan

lahan kering.

Pemanfaatan potensi keunggulan lahan

kering yang sangat besar untuk mendukung

program pengembangan pertanian nasional

masih dihadapkan pada beberapa kendala seperti

kesuburan lahan yang rendah, sumber air yang

terbatas, topografi berbukit yang rawan erosi,

kemiskinan petani, dan infrastruktur ekonomi

yang terbatas, menyebabkan penerapan teknologi

usahatani menjadi mahal (Miardi, 2009; Irawan,

2012). Kendala tersebut menyebabkan

produktivitas lahan kering jauh lebih rendah

dibandingkan lahan basah. Sebagai contoh,

fluktuasi rerata produktivitas padi nasional

selama periode tahun 1950 - 2010 untuk padi

gogo lahan kering adalah sangat rendah hanya

berkisar 1.0 – 2.9 ton/ha dibandingkan produksi

padi sawah yang berkisar 1,8 – 4,7 ton/ha

(Suradisastra, 2012). Selain itu, masih banyak

hasil kajian lapang yang membuktikan bahwa

melalui penyediaan irigasi dapat meningkatkan

produktivitas tanaman bernilai ekonomi di lahan

kering secara signifikan seperti cabai, tembakau,

dan bawang merah (Kurnia, 2004). Namun

demikian, untuk membangun dan memelihara

jaringan irigasi tersebut diperlukan biaya yang

tidak murah, dan faktanya sebagian besar

pertanian lahan kering belum mendapat fasilitas

irigasi.

STATUS TEKNOLOGI PENGELOLAAN

AIR LAHAN KERING

Penguasaan teknologi pengelolaan air

sangat diperlukan untuk pengembangan

pertanian lahan kering. Hingga saat ini telah

banyak dihasilkan teknologi pengelolaan air, dan

sebagian telah diimplementasikan pada

usahatani lahan kering. Kartiwa dan Dariah

(2012) secara detail menguraikan ragam teknologi

pengelolaan air lahan kering seperti teknologi

identifikasi potensi sumberdaya air baik untuk

air permukaan maupun air dalam; teknologi

karakterisasi sumberdaya air dengan isotop;

teknologi panen hujan dan aliran permukaan

dengan embung dan dam parit; dan teknologi

irigasi yang meliputi irigasi parit, irigasi tetes,

irigasi curah bergerak, dan irigasi lahan

bertopografi terjal. Pengembangan teknologi

identifikasi potensi air permukaan pada

prinsipnya mengacu pada data curah hujan dan

dinamika ketersediaannya selama satu siklus

hidrologi, sedangkan untuk identifikasi potensi

air dalam adalah berdasarkan pada karakteristik

geohidrologinya. Melalui teknologi aplikasi

isotop memungkinkan dapat diketahui

karakteristik sumberdaya air permukaan dan

sumber air tanah seperti kecepatan aliran, pola

dispersi, transport sedimen, rembesan air, dan

tingkat polutan air tanah. Penerapan teknologi

panen aliran permukaan dan irigasi tersebut

dilaporkan nyata membantu meningkatkan

produktivitas lahan kering. Sebagai contoh

penerapan teknologi embung di Bantul,

Yogyakarta diketahui secara nyata meningkatkan

hasil usahatani sawah tadah hujan dari setara

4.230 kg gabah/ha/tahun menjadi 11.700 kg

gabah/ha/tahun atau sebesar 176% (Irawan et al.,

2012). Demikian juga dengan teknologi irigasi

tetes dengan debit emmiters 0,25 liter/jam

terbukti efektif meningkatkan hasil jagung

hingga mencapai 20 ton/ha (Assouline, 2002).

Defisit kebutuhan air untuk pertumbuhan

dan produksi tanaman pada musim kemarau di

sebagian besar lahan kering tidak

memungkinkan dipenuhi dari tambahan air

irigasi akibat tidak adanya fasilitas jaringan

irigasi teknis dan atau sumber airnya. Pada

situasi yang demikian, pengelolaan air lahan

Page 4: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

78 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89

kering hanya tertumpu pada tindakan konservasi

air. Tindakan konservasi air lahan kering dapat

dilakukan diantaranya melalui 1) cara mekanik

(pembuatan saluran resapan, rorak, mulsa,

embung, sistem drainase, dan pengolahan tanah),

2) cara vegetatif (penanaman tanaman penutup

tanah, pola pergiliran tanaman, penanaman

strip/alley cropping, sistem penanaman agroforestry

dan pemanfaatan sisa-sisa tanaman sebagai

mulsa dan bahan organik), dan 3) pemanfaatan

bahan pembenah tanah baik alami maupun

sintetik (Arsyad, 2000; Subagyono et al., 2004).

Lebih lanjut, keuntungan penggunaan bahan

pembenah tanah antara lain adalah a) kebutuhan

air irigasi dapat dikurangi dengan meningkatnya

kapasitas menahan air, b) meningkatkan

ketersediaan air bagi tanaman, c) meningkatkan

kapasitas tanah menahan hara terlarut dalam air,

d) memperbaiki aerasi, dan e) mengurangi biaya

operasional irigasi (Subagyono et al., 2004).

Selain teknologi pengelolaan air lahan

kering yang telah diuraikan di atas, beberapa

studi sebelumnya pada bidang agroforestry dan

ekologi gurun memperlihatkan adanya peluang

pemanfaatan aktivitas akar tanaman tertentu

untuk fungsi bioirigasi pada tanah lapisan

dangkal. Fenomena dan prospek pemanfaatan

bioririgasi tersebut untuk pertanian lahan kering,

diuraikan pada bahasan berikut.

FENOMENA HYDRAULIC LIFT

Pada malam hari saat transpirasi

tanaman sangat rendah, jenis tanaman tertentu

yang berperakaran dalam mampu membasahi

partikel tanah lapisan dangkal yang sebelumnya

telah mengering melalui mekanisme hydraulic lift

(Caldwell et al., 1998). Pembuktian pertama kali

adanya hydraulic lift di lapangan melalui

pengamatan fluktuasi potensial air tanah (Ψs)

pada spesies semak besar Artemisia tridentate

dalam siklus 24 jam (Richards and Caldwell

1987). Fluktuasi Ψs nampak jelas mengikuti siklus

siang-malam, dimana Ψs meningkat pada malam

hari seiring dengan kenaikan lengas tanah dan

menurun pada siang hari menyertai kehilangan

lengas tanah akibat proses evapotranspirasi.

Secara teori pada siang hari, ketika stomata daun

terbuka, air bergerak dari tanah lembab yang

potensial airnya lebih tinggi menuju ke perakaran

tanaman yang potensial airnya lebih rendah,

selanjutnya masuk ke aliran transpirasi (Caldwell

et al. 1998). Sebaliknya pada malam hari, ketika

stomata tertutup, air dari tanah diangkut melalui

akar tunggang menuju ke daun. Seiring dengan

mengecilnya transpirasi, potensial air tanaman

semakin meningkat hingga di atas potensial air

tanah di lapisan dangkal yang kering, selanjutnya

air akan mengalir keluar dari akar menuju ke

tanah (efflux). Berdasarkan prinsip tersebut, air

bergerak dari lapisan tanah bawah yang lembab

melalui sistem perakaran menuju ke permukaan

tanah lapisan atas yang lebih kering, sehingga

dapat meningkatkan kelengasan tanah di zona

akar secara efektif (Gambar. 1).

Gambar 1. Pola aliran air melalui sistem

perakaran selama periode siang

dan malam hari menurut hipotesis

hydraulic lift (Caldwell et al., 1988)

Transfer air dari akar ke tanah melalui

mekanisme hydarulic lift ini dipandang mampu

menyediakan air untuk disimpan di tanah

lapisan dangkal, sekaligus berfungsi sebagai

penyangga saat terjadi kekeringan (Richards and

Caldwell 1987), dan mencegah putusnya kolom

kapiler (cavitation) pada jaringan vascular akar

(Scholz et al. 2002). Kehadiran hydraulic lift

berkontribusi meningkatkan daya toleransi

tanaman terhadap situasi kekeringan yang

ekstrim dengan memperpanjang kelangsungan

Page 5: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 79

hidup akar dan mendorong pembentukan akar

halus baru di permukaan tanah kering (Espeleta

et al. 2004). Banyaknya akar halus yang terbentuk

menyebabkan semakin besar air yang dapat

ditransfer ke tanah melalui proses hydraulic lift,

sehingga tanah lapisan dangkal menjadi semakin

lembab, dan serapan hara semakin meningkat

(Dawson 1998). Hydraulic lift membantu menjaga

ketersediaan air pada kolom tanah lapisan

dangkal setiap harinya untuk selanjutnya tidak

hanya dikonsumsi oleh tanaman berperakaran

dalam yang melakukan hydraulic lift saja, tetapi

juga dapat dimanfaatkan oleh tanaman lain di

sekitarnya yang berperakaran dangkal dan tidak

mampu melakukan hydraulic lift (Caldwell et al.,

1998; Sekiya and Yano, 2004). Bukti lain

menunjukkan bahwa air yang terangkut ke atas

dan dilepaskan ke tanah lapisan dangkal oleh

Arthemisia tridentata dapat dikonsumsi oleh

rerumputan lain yang akarnya bercampur

dengan akar A. tridentata di tanah lapisan atas

yang kering (Caldwell and Richards, 1989). Pada

tegakan pinus ponderosa, adanya air dari

hydraulic lift nampak jelas meningkatkan

kelangsungan hidup bibit pinus ponderosa

selama periode kering di musim panas (Brooks et

al., 2002). Dawson (1993) melakukan studi

hydraulic lift pada pohon maple (Acer saccharum)

dewasa selama periode kering di musim panas di

bagian utara New York, menemukan bahwa

vegetasi lain yang hidup di sekitarnya dan tidak

dapat menyerap langsung ke sumber air tanah

dalam, juga mendapatkan sebagian air yang

diangkat melalui hydraulic lift pohon maple.

Proporsi air dari hydraulic lift maple yang

digunakan oleh vegetasi lain tersebut adalah

berkisar 3-60% (Caldwell et al., 1998).

Pada awalnya, mekanisme transfer air dari

jaringan akar menuju ke tanah belum

sepenuhnya dipahami mekanismenya. Namun,

akhirnya diketahui bahwa proses aliran air pada

jaringan tanaman dan antara akar dan tanah

merupakan peran penting dari aquaporins, yaitu

membran protein saluran air yang memfasilitasi

gerakan pasif molekul air pada saat gradien

potensial air turun (Jackson et al., 2000).

Aquaporins dikodekan oleh banyak gen yang

diatur secara temporal dan spasial selama

perkembangan tanaman terutama untuk

merespon stres kekeringan (Kjellbom et al., 1999).

Kapasitas Hydraulic Lift

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa

melalui proses hydraulic lift memungkinkan

tanaman tertentu mampu melakukan pengisian

ulang air tanah pada lapisan dangkal pada

periode malam hari. Hasil beberapa studi

menunjukkan bahwa jumlah air tanah yang

terangkut ke atas untuk proses pengisian ulang

tersebut cukup besar pada setiap malamnya.

Diperkirakan proses hydraulic lift dapat

mengangkat air tanah dari kisaran 14% dari

kebutuhan evapotranspirasi harian (Wan et al.,

1993) menjadi sekitar 33% (Richards and

Caldwell, 1987), bahkan di beberapa kasus

mencapai 50% (van Bavel and Baker, 1985 ) dan

bahkan 100% (Kurz-Besson et al., 2006; Warren et

al., 2007). Nilai 33% setara dengan 1 liter air per

m2 luas permukaan tanah per malam yang

diangkat oleh semak A. tridentata. Tanaman

Acacia (Acacia Tortilis), yang tumbuh di habitat

sangat kering di Afrika, mampu mengangkat 70-

235 liter air setiap malam (Ludwig et al., 2003).

Emerman dan Dawson (1996) memperkirakan

pohon maple dewasa (tinggi 20 m) mampu

mengangkat 102 ± 54 liter air per malam; dan

proses hydraulic lift dapat mengisi ulang sekitar

25 % dari jumlah air tanah di lapisan dangkal

yang digunakan oleh pohon tersebut. Dilaporkan

juga bahwa jumlah air yang diangkat ke tanah

kering lapisan dangkal oleh akar rumput

Bermuda dan kapas diperkirakan mampu

menyumbang 31% hingga 42% dari kebutuhan

transpirasi hariannya (van Bavel and Baker, 1985;

Baker and van Bavel 1988). Pengamatan di bawah

pohon Oak (Quercus suber L.) pada padang

savana di Portugal, memperkirakan hydraulic lift

dapat memasok 17% - 81% dari jumlah air yang

akan ditranspirasikan pada hari berikutnya saat

terjadi puncak musim kering, yakni sekitar 0,1-14

liter per pohon per hari (Kurz-Besson et al., 2006).

Tanaman Hydraulic Lift

Sekitar 30 spesies dan varietas dilaporkan

memiliki kemampuan hydraulic lift baik pada

skala laboratorium maupun lapangan (Caldwell

Page 6: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

80 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89

et al., 1998) (Tabel 1 dan 2). Banyak laporan

tentang hydraulic lift berasal dari studi rumah

kaca yang menggunakan bibit atau individu

tanaman tertentu, memperlihatkan adanya pola

perubahan potensial air tanah sebagai indikator

utamanya. Kemampuan melakukan hydraulic lift

tidak terbatas pada spesies tanaman tertentu

pada lingkungan kering dan semi kering saja,

namun juga meluas pada taksa dan ekosistem

yang berbeda (Caldwell et al., 1998). Perbedaan

Tabel 1. Spesies tanaman hydraulic lift menurut bukti empiris di laboratorium (NMR nuclear

magnetic resonance), Caldwell, et al. (1998)

Species Nature of evidence

Triticum vulgare (wheat/gandum),

Zea mays (maize/jagung),

Water transfer between soil compartments

Circidium torreyana (palo verde),

Acacia greggii (catclaw/akasia),

Lycopersicon esculentum (tomato/tomat)

Water transfer between soil compartments

Phaseolus vulgaris (bean/buncis) Water efflux from hypocotyl

Populus species (poplar) Water transfer between roots of Neighboring seedlings

Cynodon dactylon

C. transvaalensis (bermudagrass/rumput bermuda)

Water transfer between soil compartments

Medicago sativa (alfalfa/rumput alfalfa) Water transfer to maize plants in same pot

Gossypium hirsutum (cotton/kapas) Water transfer between soil compartments

Prunus persica (peach) Water transfer between soil compartments

Eucalyptus viminalis (eukaliptus) Water transfer between soil compartments

Zea mays (maize/jagung) Water efflux from individual roots

Acer saccharum (sugar maple) Water transfer between soil compartments, deuterium

labeling

Artemisia tridentata (sagebrush/artemisia) Water transfer between soil compartments,

proton NMR imaging

Tabel 2. Spesies dengan fungsi hydraulic lift di lapangan, Caldwell, et al. (1998)

Species Nature of evidence

Artemisia tridentata (sagebrush/artemisia) Ψs fluctuations, daytime bagging experiment,deuterium

labeling, nighttime lighting experiments

Agropyron desertorum (crested wheatgrass) Ψs fluctuations, nighttime lighting

experiments

Gutierrezia sarothrae (broom snakeweed) Water accumulation in upper root zone, soil water content

fluctuations

Acer saccharum (sugar maple) Ψs fluctuations, natural abundance of Deuterium

Dipterocarps (three species) Natural abundance of stable isotopes

Quercus douglasii (blue oak) Ψs fluctuations

Sarcobatus vermiculatus (greasewood),

Quercus douglasii (blue oak),

Artemisia filifolia (sand sagebrush/artemisia)

Ψs fluctuations

Yucca schidigera (Mojave yucca),

Larrea tridentata (creosote bush),

Ephedra nevadensis (Nevada joint-fir),

Ambrosia dumosa (white bur sage)

Lycium pallidum (pale thornbush)

Ψs fluctuations, nighttime lighting and daytime bagging

experiments

Page 7: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 81

aktivitas hydraulic lift antar spesies atau tidak

munculnya hydraulic lift, mungkin tidak hanya

berhubungan dengan faktor kedalaman

perakaran saja, tetapi bisa terkait dengan faktor

cepatnya penuaan jaringan permukaan akar

halus; seperti yang ditunjukkan Savana

Bunchgrass (West et al., 2003;. Espeleta et al.,

2004). Hambatan transportasi air ke tanah lapisan

dangkal akibat kendala hydraulic atau perbedaan

permeabilitas membran akar untuk

mengeluarkan air, dimungkinkan yang

menyebabkan perbedaan aktivitas hydraulic lift

diantara spesies (Espeleta et al., 2004). Spesies

pengangkat air tanah ke lapisan atas bisa

memiliki pola hydraulic lift yang berbeda secara

temporer.

LANGKAH MENUJU APLIKASI

BIOIRIGASI PADA LAHAN KERING

Sebagaimana diuraikan di atas, pengertian

bioirigasi pada konteks ini adalah proses

pendistribusian air diantara lapisan tanah yang

digerakkan oleh aktivitas biologis tanaman

tertentu terutama pada jaringan perakaran.

Pemanfaatan secara maksimal potensi bioirigasi

akan sangat berguna untuk meningkatkan

produktivitas lahan kering, khususnya pada

wilayah yang tidak terjangkau sarana irigasi

teknis dan faktor geografis yang tidak

memungkinkan dilakukan rekayasa irigasi. Ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk

menerapkan bioirigasi pada lahan kering, seperti

pemilihan jenis tanaman, arsitektur pertanaman,

keberadaan air tanah dalam, sifat fisik tanah, dan

penguatan fungsi tanaman hydraulic lift.

Pemilihan Jenis Tanaman

Prinsip dasar penyusunan cropping system

dengan fungsi bioirigasi adalah memaksimalkan

pemanfaatan sumber air melalui pemilihan

kombinasi jenis tanaman yang dapat saling

melengkapi dalam memenuhi kebutuhan airnya

tanpa disertai kompetisi air yang merugikan.

Oleh karena itu efektivitas bioirigasi pada lahan

kering sangat ditentukan oleh kompatibilitas

jenis tanaman hydraulic lift dan tanaman sela (cash

crop) yang dipilih (Smith et al., 2004). Mengingat

kerja biorigasi bertumpu pada pemanfaatan

sumber air tanah lapisan dalam, maka pemilihan

jenis tanaman perlu memperhatikan arsitektur

perakarannya. Khusus tanaman yang akan

difungsikan sebagai tanaman hydraulic lift agar

dipilih jenis tanaman berperakaraan dalam yang

mampu mengakses ke sumber air dari lapisan

tanah dalam (Jackson et al., 2000; Espeleta et al.,

2004; Schenk and Jackson, 2002). Tanaman

dengan fungsi hydraulic lift tersebut akan lebih

baik jika sekaligus memiliki nilai ekonomi.

Namun hingga saat ini belum tersedia informasi

secara memadai tentang kemampuan hydraulic lift

dari sejumlah komoditas pertanian yang adaptif

pada lahan kering. Misalnya jambu mete yang

telah dibudidayakan secara meluas di kawasan

timur Indonesia. Potensi aktual fungsi hydraulic

lift belum dievaluasi, namun melihat

kemampuan adaptasinya yang tinggi pada lahan

kering diduga kuat memiliki fungsi tersebut.

Demikian juga pada tanaman kemiri sunan.

Berdasarkan pengalaman pengembangannya di

wilayah Ngada, NTT, menunjukkan keberadaan

tanaman kemiri sunan tersebut dapat

menyebabkan air tanah di lapisan dangkal

menjadi lebih tersedia, dan diduga kuat juga

memiliki fungsi hydraulic lift (Wahyudi,

komunikasi personal).

Menurut Smith et al. (2004) penerapan

hydraulic lift yang ideal memerlukan informasi

yang lengkap untuk keseluruhan jenis tanaman

yang akan diterapkan, seperti serapan air dan

hara oleh sistem perakaran keseluruhan tanaman

tersebut baik menurut spasial sumber dan

waktunya. Karakteristik kedalaman perakaran

komoditas pertanian yang dapat dikembangkan

pada lahan kering, secara garis besar dapat

dibedakan menurut kelompok komoditasnya,

seperti tanaman sayuran < tanaman umbi <

tanaman serelia < tanaman perkebunan. Strata

kedalaman akar beberapa contoh tanaman yang

biasa dikembangkan pada lahan kering adalah

seperti pada Tabel 3.

Selanjutnya untuk tanaman sela (cash crop)

dapat dipilih jenis tanaman berumur pendek

lainnya yang bernilai ekonomi. Khususnya untuk

tanaman sela yang konsumsi airnya cukup tinggi

dapat dialokasikan hanya pada periode musim

Page 8: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

82 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89

hujan, sedangkan untuk periode musim kering

dapat dipilih jenis tanaman yang rendah

konsumsi airnya, seperti kacang tunggak, kacang

tanah, kedelai, cabai, dan jenis tanaman lainnya

(Tabel 4).

Arsitektur Pertanaman

Untuk mendapatkan efek maksimal dari

penerapan bioirigasi di lapangan perlu

memperhatikan arsitektur pertanamannya.

Konfigurasi antara tanaman utama dengan fungsi

hydraulic lift dan tanaman sela (cash crops) harus

mempertimbangkan kecukupan akses pada sinar

matahari dan air tanah pada lapisan rizosper

untuk mendukung aktivitas fotosintesis dan

pertumbuhan tanaman. Untuk itu, perlu

dikalkulasi kebutuhan lebar lorong antar

tanaman hydraulic lift yang akan diisi dengan

tanaman sela. Penentuan lebar lorong tersebut

perlu mempertimbangkan jangkauan efek

hydraulic lift tanaman utama dalam mengisi ulang

Tabel 3. Strata kedalaman akar beberapa contoh jenis komoditas yang biasa dibudidayakan pada lahan

kering

Komoditas Tanaman Distribusi Akar (m)

Sumber Referensi Vertikal Horizontal

Sayuran Bayam 0,3-0,6 - Gopalakrishnan, 2007

Cabai 0,9-1,2 - Gopalakrishnan, 2007

Tomat 1,2-1,8 - Gopalakrishnan, 2007

Aneka ubi dan kacang Ubi jalar 1,2-1,8 - Gopalakrishnan, 2007

Kacang Tanah 0,4-0,8 - Pandey et al., 1984

Kedelai 0,68-0,95 - Dwyer et al., 1988

Serelia Jagung 0,86-1,15 - Dwyer et al., 1988

Sorgum ≤2,0 ≤1,0 Plessis, 2008

Padi ≤0,4 - Beyrouty et al., 1997

Perkebunan Kopi 0,45-0,50 2,0-3,0 Hulupi dan Mulyadi (2007);

Kakao 1,5-2,0 ≤5 Susanto (1994); Carr dan

Lockwood, 2011

Jambu mete 15,0 8,0-10,0 Salam, 1995

Kemiri sunan 20,0 >10,0 Wahyudi (komunikasi

personal)

Tabel 4. Tingkat konsumsi air dan nilai ekonomi beberapa alternatif tanaman sela pada sistem

biokonservasi air tanah di lahan kering

Tanaman Konsumsi Air

(mm/musim)

Nilai Ekonomi Sumber Referensi

Jagung 400-750 Sedang Doorenbos dan Kassam, 1979

Tomat 300-600 Sedang Doorenbos dan Kassam, 1979

Cabai 355-455 Sedang Kurnia, 2004

Kopi 3,7-5,2 * Tinggi Gutierrez and Meinzer, 1994

Kakao <2 - 6 * Tinggi Carr and Lockwood, 2011

Kacang Tunggak 325-360 Sedang Asim et al., 2006

Kacang Tanah 360,6 Sedang Peixi et al., 2002

Kedelai 450-825 Kurnia, 2004; Kasam et al., 2005

Padi gogo 550-650 Sedang Yang Xiaoguang et al., 2002

Keterangan: * unit konsumsi air mm/hari

Page 9: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 83

air tanah lapisan atas yang akan dimanfaatkan

oleh tanaman sela dan nilai ekonominya.

Misalnya dengan pengaturan lorong baris pada

arah timur-barat. Penggunaan simulasi modeling

sangat disarankan untuk membantu

mendapatkan susunan arsitektur pertanaman

yang optimal.

Keberadaan Air Tanah Dalam (Ground Water)

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam

implementasi bioirigasi pada lahan kering adalah

faktor air tanah dalam (ground water), mengingat

keberadaannya cukup beragam di lapangan.

Khusus pada lahan yang air tanah dalamnya

ekstrim, maka sebagai tanaman hydraulic lift

harus dipilih spesies pohon yang benar-benar

memiliki perakaran dalam. Tanaman hydraulic lift

yang sistem perakarannya tidak memiliki akses

ke air tanah dalam, sejalan dengan berkurangnya

kandungan air tanah di rizosper, tidak dapat

melakukan pengangkatan air atau bahkan

mendistribusikan air dari permukaan tanah ke

bagian bawah (Smith et al., 2004). Lebih lanjut

dinyatakan bahwa pemompaan air tanah oleh

spesies pepohonan pada periode kering dan

wilayah tertentu yang tidak memiliki sumber air

tanah dalam, justru akan memperparah stres

kekeringan dan menyebabkan kehilangan hasil

panen. Seperti halnya pada kasus alley cropping

system antara jagung dengan spesies pohon

Croton sp., Gliricidia sp., Gravillea sp., Senna sp.,

dan Melia sp. yang menurunkan hasil jagung

antara 39-95% (Govindarajan et al. 1996; McIntry

et al, 1997 dalam Smith et al, 2004) (Gambar 2).

Oleh karena itu, memastikan adanya akses ke air

tanah dalam atau sumber air lainnya yang

mencukupi adalah kunci untuk keberhasian

pemanfaatan hydraulic lift untuk tujuan bioirigasi

pada lahan kering secara berkelanjutan. Untuk

keperluan identifikasi sumber air tanah tersebut

dapat dilakukan dengan survei geolistrik

menggunakan terrameter dan geoscanner untuk

menggambarkan karakteristik sebaran aquifer

(Kartiwa dan Dariah, 2012).

Crop only

CrotonGliricidia

Grevillea

Senna

Melia

0

600

1200

0 40 80

Tree water use (mm)

Gambar 2. Korelasi hasil jagung dengan kebutuhan

air spesies pohon yang ditanam

berdampingan di Machakos, Kenya

pada musim tanam yang bercurah hujan

rendah, 250 mm (Smith et al., 2004)

Sifat Fisik Tanah

Faktor fisik tanah turut menentukan

efektifitas fungsi bioirigasi di lapangan. Jenis dan

kepadatan tanah memberikan pengaruh yang

besar terhadap proses pemindahan air dari akar

menuju ke tanah. Struktur tanah yang lebih

dipadatkan berkorelasi langsung dengan

peningkatan pelepasan air oleh akar (Schippers et

al., 1967), sedangkan tanah yang bertekstur kasar

berpasir berpengaruh negatif terhadap proses

hydraulic lift, akibat kurangnya kontak antara

akar dan tanah dibandingkan dengan tanah yang

bertekstur halus (Yoder and Nowak, 1999).

Dengan demikian, pengaturan komposisi

tanaman hydraulic lift dan tanaman sela dalam

sistem bioirigasi di lahan kering tidak bisa

disamakan antar lokasi satu dengan lainnya.

Khususnya untuk lokasi yang memiliki tanah

bertekstur kasar sebaiknya dipilih jenis tanaman

utama yang fungsi hydraulic lift nya kuat dan

dipadukan dengan jenis tanaman sela yang

kebutuhan airnya relatif rendah. Selain itu,

penambahan bahan organik pada tanah

bertekstur kasar, dapat meningkatkan daya

pegang air tanah dan kontak antar permukaan

akar dengan partikel tanah, sehingga pelepasan

air oleh akar ke tanah pada proses hydraulic lift

dapat lebih efektif.

Maiz

e y

ield

(k

g/h

a)

Page 10: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

84 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89

Penguatan Fungsi Tanaman Hydraulic Lift

Fungsi tanaman hydraulic lift untuk

menyediakan air tanah bagi tanaman cash crop

pada periode kering dapat diperkuat melalui

beberapa cara. Salah satu cara penguatan tersebut

adalah melalui penambahan tanaman hydraulic

lift dari jenis lain dengan tetap memperhatikan

efektivitas arsitektur pertanaman secara

keseluruhan. Pada prinsipnya jenis tanaman

hydraulic lift dapat dipilih dari semua jenis

lintasan photosintesis, baik C3, C4 maupun

crassulacean acid metabolism (CAM). Namun

berbeda dengan tumbuhan C3 dan C4, studi pada

spesies Mojave Desert (Yucca Schidigera) dengan

jalur fotosintesis CAM menunjukkan bahwa

tanaman ini justru melepas air ke tanah lapisan

dangkal pada siang hari ketika tidak ada

transpirasi, untuk selanjutnya air tersebut diserap

pada malam harinya ketika tanaman CAM

tersebut memulai transpirasinya (Yoder and

Nowak 1999). Pengangkatan air oleh tanaman

CAM dipandang sebagai tanaman hydraulic lift

yang sempurna karena tanaman CAM mampu

melepaskan air kembali ke partikel tanah pada

siang hari, yakni ketika tanaman C3 dan C4

mengekstrak dan mentranspirasikan air yang

besar, sehingga dapat menghindari persaingan

penggunaan air. Jenis tanaman CAM seperti

nenas memungkinkan dimanfaatkan untuk

penguatan fungsi tanaman hydraulic lift di lahan

kering.

Selain itu, penguatan fungsi hydraulic lift

dapat dilakukan melalui pemanfaatan

mikroorganisme untuk meningkatan kinerja

serapan hara dan air tanaman. Jamur mikoriza

merupakan salah satu dari jenis mikroorganisme

menguntungkan yang berasosiasi dengan

perakaran pada hampir semua famili tanaman,

termasuk sebagian besar tanaman budidaya (Sen,

2000). Simbiosis mikoriza dapat meningkatkan

serapan hara dan air tanaman, serta menekan

patogen sehingga dapat meningkatkan

pertumbuhan dan kesehatan tanaman. Namun,

kondisi kekeringan pada tanah berpengaruh

negatif pada mikoriza dengan berkurangnya

panjang hifa tanah dan biomasnya (Querejeta et

al., 2007). Adanya pengisian ulang air pada tanah

lapisan atas oleh tanaman hydraulic lift akan

melindungi kerusakan hifa jamur dari bahaya

stres air (Caldwell et al. 1998). Lebih lanjut

Querejeta et al. (2007) dalam studinya

menunjukkan bahwa air hydraulic lift membantu

ektomikorisa dan vesikular arbuskular mikoriza

(MVA) menghadapi stres kekeringan pada

tegakan Oak di California. Pada tahap lebih

lanjut, dengan meningkatnya kemampuan

menyerap P, memproduksi hormon tanaman,

meningkatnya transportasi air akibat

meluaskannya bidang muka akar oleh hifa jamur

VAM, dan kemampuan osmotik adjustment daun

tanaman yang berafiliasi dengan jamur VAM,

maka ketahanan terhadap stres kekeringan dari

simbiosis tanaman dan jamur VAM tersebut akan

meningkat (Peña et al., 1988).

MODEL PENGEMBANGAN BIOIRIGASI

PADA LAHAN KERING DI INDONESIA

Pengembangan bioirigasi pada lahan kering

di Indonesia masih memerlukan dukungan hasil

penelitian baik di laboratorium maupun

lapangan. Aspek penelitian yang diperlukan

untuk membangun model pengembangan

bioirigasi pada lahan kering tersebut terangkum

dalam struktur model seperti pada Gambar 3.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa

kondisi lahan kering bervariasi antar wilayah dan

tergantung pada karakteristik faktor iklim dan

tanahnya. Bagian penting dari model

pengembangan bioirigasi lahan kering adalah

penyusunan peta pewilayahan potensi bioirigasi

yang akan digunakan untuk memandu

implementasi bioirigasi secara tepat di suatu

wilayah lahan kering. Melalui bantuan peta

pewilayahan bioirigasi ini dapat diketahui

rekomendasi sistem pertanaman dan pilihan jenis

tanaman yang tepat baik untuk cash crops

maupun tanaman hydraulic lift nya. Adapun

dasar penyusunan peta bioirigasi tersebut adalah

dari hasil estimasi kuantitatif neraca air tanah

dengan basis perhitungan kapasitas biorigasi dan

tingkat konsumsi air tanaman.

Lebih lanjut, keteraturan pola hubungan

antara kapasitas biorigasi dengan variabel kunci

yang mempengaruhinya seperti air tanah dalam

(ground water), sifat fisik tanah, kapasitas

hydraulic lift dan arsitektur pertanaman dapat

Page 11: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 85

disusun dalam model simulasi. Demikian juga

untuk faktor iklim yang meliputi sifat hujan,

suhu udara, kelembaban udara, dan radiasi

surya, serta faktor tanaman yang meliputi jenis

dan fase pertumbuhannya turut menentukan

tingkat kebutuhan air tanaman secara

keseluruhan, dan nilainya dapat diduga dengan

model simulasi. Pada tahapan model selanjutnya

dengan memperhitungkan luas wilayah target,

jenis tanaman yang dipilih dan disertai nilai

dugaan produksinya, memungkinkan diketahui

estimasi peningkatan produktivitas tanaman di

suatu wilayah lahan kering. Demikian juga nilai

peningkatan produktivitas lahan kering di

wilayah tersebut dengan mudah dapat diduga

melalui model ini.

KESIMPULAN DAN SARAN

Aplikasi tanaman hydraulic lift yang mampu

mengangkat air ke tanah lapisan atas menjadi

opsi yang menarik, layak, dan murah sebagai

alternatif rekayasa sistem irigasi yang berbasis

aktivitas biologis tanaman (bioirigasi) pada

pertanian lahan kering ke depan. Adanya

tanaman hydraulic lift yang bisa mengangkat air

dari lapisan tanah yang lebih dalam dan mengisi

ulang air di tanah lapisan dangkal yang mudah

mengalami kekeringan, diharapkan dapat

menjamin keberlanjutan budidaya tanaman sela

(cash crops) di lahan kering. Prinsip model

penerapan bioririgasi di lapangan adalah

meminimalkan sifat kompetisi dan

memaksimalkan sifat komplementer atas

penggunaan air antara tanaman hydraulic lift dan

tanaman sela (cash crops) dengan

mempertimbangkan kapasitas sumber air dalam

(ground water) yang ada. Aspek teknis yang perlu

diperhatikan dalam pemodelan bioirigasi pada

pertanian lahan kering antara lain a) ketepatan

pemilihan jenis tanaman, baik yang berfungsi

sebagai tanaman hydraulic lift maupun tanaman

sela, b) pembentukan arsitektur pertanaman yang

dapat mendukung pertumbuhan dan hasil

Gambar 3. Model pengembangan bioirigasi untuk meningkatkan produktivitas lahan kering di

Indonesia. HL adalah hydraulic lift.

Page 12: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

86 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89

tanaman secara maksimal, c) mengetahui

keberadaan sumber air dalam (ground water)

sebagai dasar penetapan jenis tanaman hydraulic

lift, d) mengetahui sifat fisik tanah wilayah

setempat yang berpengaruh pada efektifitas

fungsi hydraulic lift, dan e) bila dipandang perlu

dapat dilakukan penguatan fungsi tanaman

hydraulic lift melalui penambahan tanaman

hydraulic lift dari jenis lain dan mensinergikan

dengan peran mikroorganisme bermanfaat

seperti mikoriza. Sementara untuk penyusunan

model kebutuhan air tanaman diperlukan input

penting berupa keragaan iklim serta fase

perkembangan dan jenis tanaman baik pada cash

crops maupun tanaman hydraulic lift.

Mengingat prospek pemanfaatan bioirigasi

pada pertanian lahan kering cukup besar,

disarankan segera dilakukan penelitian secara

komprehensif untuk dasar penyusunan model

pewilayahan potensi bioirigasi lahan kering di

Indonesia. Penelitian mendasar terkait dengan

estimasi kuantitatif neraca air bioirigasi dengan

basis perhitungan kapasitas biorigasi dan tingkat

konsumsi air tanaman sangat diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., A. Dariah, A. Mulyadi. 2008.

Strategi dan teknologi pengelolaan

lahan kering mendukung pengadaan

pangan nasional. J. Litb Pertanian 27 (2).

Agus, F. and Irawan, 2006. Agricultural land

conversion as a threat to food security

and environmental quality. p. 101-121.

Prosiding seminar Multifungsi dan

Revitalisasi Pertanian. Kerjasama Badan

Litbang Pertanian, MAFF, dan ASEAN

Secretariat.

Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air.

Departemen Ilmu- Ilmu Tanah, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Asim, M., M. Aslam, N.I. Hashmi, and N.S.

Kisana. 2006. Mungbean (Vigna radiata)

in wheat based cropping system: an

option for resource conservation under

rainfed ecosystem. Pak J. Bot 37(4):

1197-1204

Assouline, S. 2002. The effects of microdrip and

conventional drip irrigation on water

distribution and uptake. Soil Sci. Soc.

Am. J 66: 1630-1636

Baker, J.M and C.H.M. van Bavel. 1988. Water

transfer through cotton plants

connecting soil regions of differing

water potential. Agron J 80:993–997

Beyrouty, C.A., R.J. Norman, B.R. Wells, N.A.

Slaton, B.C. Grigg, Y.H. Teo, and E.E.

Gbur. 1997. Distribution and dynamics

of the rice root systems. In Abe, J., and

S. Morita (Eds) Root System

Management that Leads to maximize

Rice Yield. JSRR, Tokyo: 14-15

Brooks, J.R, F.C. Meinzer, R. Coulombe, and J.

Gregg. 2002. Hydraulic redistribution of

soil water during summer drought in

two contrasting Pacific Northwest

coniferous forests. Tree Physiol 22:1107–

1117

Caldwell, M.M, and J.H. Richards. 1989.

Hydraulic lift: water efflux from upper

roots improves effectiveness of water

uptake by deep roots. Oecologia 79:1–5

-------------------, T.E. Dawson, and H. Richards.

1998. Hydraulic lift: consequences of

water efflux from the roots of plants.

Oecologia. (113): 151-161.

Carr, M.K.V. and G. Lockwood. 2011. The water

relations and irrigation requirements of

cocoa (Theobroma cacao L): a review.

Exp. Agric. 47(4): 653-676

Dawson, T.E. 1993. Hydraulic lift and water use

by plants: implications for water

balance, performance and plant– plant

interactions. Oecologia 95:565–574

------------.. 1998. Water loss from tree roots

influences soil water and nutrient status

and plant performances. In: Flores HE,

Lynch JP, Eissenstat DM (eds) Radical

biology: advances and perspectives in

the function of plant roots (current

topics in plant physiology no. 18).

American Society of Plant Physiologists,

Rockville, MD, pp 235–250

Ditjen PSP (Prasarana dan Sarana). 2011. edoman

teknis pengembangan irigasi tanah

dangkal dan irigasi tanah dalam.

Page 13: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 87

Direktorat Pengelolaan Air Irigasi,

Ditjen PSP, Kementerian Pertanian, RI.

23 Hal.

Doorenbos, J. and Kassam. 1979. Yield response

to water. FAO Irrigation and drainage

paper No. 33. FAO-UN, Rome.

Dwyer, C.M., D.W. Stewart, and D. Balchin. 1988.

Rooting characteristics of corn,

soybeans and barley as a function of

available water and soil physical

characteristics. Can.J.Soil Sci. 68:121-132

Emerman, S.H and T.E. Dawson, 1996. Hydraulic

lift and its influence on the water

content of the rhizosphere: an example

from sugar maple, Acer saccharum.

Oecologia 108:273–278

Espeleta J.F, J.B. West, and L.A. Donovan, 2004.

Species-specific patterns of hydraulic

lift in co-occurring adult trees and

grasses in a sandhill community.

Oecologia 138:341–349

Gopalakhrisnan, T.R. 2007. Vegetable crops. New

india Publishing Agency, New Delhi,

India. 341 p.

Gutierrez, M.V. and F.C. Meinzer. 1994.

Estimating water use and irrigation

requirements of coffee in Hawaii. J.

Amer.Soc.Hort.Sci. 119(3): 652-657

Hulupi, R. dan Mulyadi. 2007. Sebaran populasi

nematoda Radopholus similis dan

Pratylenchus coffeae pada lahan

perkebunan kopi. Pelita Perkebunan 23

(3): 176-182

Irawan, B. 2012. Prospek pengembangan tanaman

pangan lahan kering. Dalam: Dariah A.,

B. Kartiwa, N. Sutrisno, K. Suradisastra,

M. Syarwani, H. Suparno, dan E.

Pasandaran (Eds) Prospek pertanian

lahan kering mendukung ketahanan

pangan. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Kementerian

Pertanian, RI. Hal: 164-186

Jackson, R.B., J.S. Sperry, and T.E. Dawson. 2000.

Root water uptake and transport: using

physiological processes in global

predictions. Trends Plant Sci. 5: 482–

488.

Kasam, F., R. Masaad, T. Sfeir, O. Mounzer, Y.

Rouphael. 2005. Evapotranspiration and

seed yield of field grown soybean under

deficit irrigation conditions. Agric.

Water Management 75(3): 226-244

Kartiwa, B dan A. Dariah. 2012. Teknologi

pengelolaan air lahan kering. Dalam:

Dariah A., B. Kartiwa, N. Sutrisno, K.

Suradisastra, M. Syarwani, H. Suparno,

dan E. Pasandaran (Eds) Prospek

pertanian lahan kering mendukung

ketahanan pangan. Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian,

Kementerian Pertanian, RI. Hal: 103-122

Kemtan [Kementerian Pertanian]. 2013. Peran

Inovasi Teknologi pada Pembangunan

Ketahanan Pangan Nasional. Bahan

presentasi Kepala Badan Litbang

Pertanian pada Rakornas Ristek 2013.

Kementerian Pertanian. Jakarta.

Kjellbom, P., C. Larsson, I. Johansson, M.

Karlsson, and U. Johanson. 1999.

Aquaporins and water homeostasis in

plants. Trends Plant Sci. 4: 308–314.

Kurnia, U. 2004. Prospek pengairan pertanian

tanaman semusim lahan kering. J. Litb

Pertanian 23(4):130-138.

Kurz-Besson, C., D. Otieno, R. Lobo do Vale, R.

Siegwolf, M. Schmidt, A. Herd, C.

Nogueira, T.S. David, J.S. David, J.

Tenhunen, and J.S. Pereira, and M.

Chaves. 2006. Hydraulic lift in cork oak

trees in a savannah-type Mediterranean

ecosystem and its contribution to the

local water balance. Plant Soil. 282: 361–

378.

Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A.K. Karama,

dan I. Manwan. 1991. Peta agroekologi

utama tanaman pangan di Indonesia.

Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Pangan. Bogor.

---------, G. Irianto, D. Syarifudin, dan L. Istiqlal

Amien. 2000. Pendekatan agroklimat

dalam membangun pertanian tangguh:

status, potensi, kendala, dan teknologi

analisis iklim untuk mengurangi resiko

pertanian. Proseding Seminar Nasional

Sumber daya tanah, Iklim, dan pupuk.

Lido-Bogor, 6-8 Desember. 55-94.

Ludwig, F., T.E. Dawson, H. Kroon, F. Berendse,

and H.H. Prins. 2003. Hydraulic lift in

Page 14: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

88 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89

Acacia tortilis trees on an East African

savanna. Oecologia. 134: 293–300.

Minardi, S. 2009. Optimalisasi pengelolaan lahan

kering untuk pengembangan pertanian

tanaman pangan. Pidato pengukuhan

guru besar ilmu tanah pada Fakultas

Pertanian Universitas Sebelas Maret, 28

Pebruari 2009. 41 Hal.

Oldemen, L.R., I. Las, and Muladi, 1980. The

agroclimatic maps of Kalimantan,

Maluku, Irian Jaya and Bali, West and

east Nusa Tenggara. Contributions no.

60, Central Research Institue for

Agriculture, Bogor. 32 p.

Pandey R.K., W.A.T. Herrera, A.N. Villegas, and

J.W. Pendleton. 1984. Drought response

of grain legumes under irrigation.

American Journal 76(4):557-560

Peña, JI., M. Sánchez-Díaz, J. Aguirreolea, and M.

Becana, 1988. Increased stress tolerance

of nodule activity in the Medicago–

Rhizobium–Glomus symbiosis under

drought. J Plant Physiol 133:79–83

Peixi, S., D. Minguu, A. Aifen, and Z. Xiaojun.

2002. Study on water requirement law

of some crops and different planting

mode in oasis. Agric. Res. Arid Areas

20(2):79-85

Plessis, J.D. 2008. Sorghum production.

Departement Agriculture, Republic of

South Africa. 22 p.

Querejeta, JI., L.M. Egerton-Warburton, and M.F.

Allen, 2007. Hydraulic lift may buffer

rhizosphere hyphae against the

negative effects of severe soil drying in

a California Oak savanna. Soil Biol

Biochem 39:409–417

Richards, J.H. and M.M. Cadwell. 1987.

Hydraulic lift: Substantial noctural

water transport between soil layers by

Artemisia tridentata roots. Oecologia. 73:

486-489.

Salam, M.A., P.B. Pushpalatha, and A. Suma.

1995. Root distribution pattern of

seedling raised cashew tree. J.

Plantation Crops. 23(1): 59-61.

Schenk, HJ., and RB. Jackson, 2002. Rooting

depths, lateral root spreads and below-

ground/above-ground allometries of

plants in water-limited ecosystems. J

Ecol 90:480–494

Schippers, B., M.N. Schroth, and D.C.

Hildebrand. 1967. Emanation of water

from underground plant parts. Plant

Soil. 27: 81–91.

Scholz, FG., S.J. Bucci, G. Goldstein, F.C. Meinzer,

and A.C. Franco. 2002. Hydraulic

redistribution of soil water by

neotropical savanna trees. Tree Physiol.

22: 603–612.

Sekiya, N and K. Yano. 2004. Do pigeon pea and

sesbania supply groundwater to

intercropped maize through hydraulic

lift? Hydrogen stable isotope

investigation of xylem waters. Field

Crops Res. 86: 167–173.

Sen, R. 2000. Budgeting for the wood-wide web.

New Phytol 145:161–165

Smith M., S.S.O. Burgess, D. Suprayogo, and B.W.

Lusiana, 2004. Uptake, partitioning, and

redistribution of water by roots in

mixed-species agroecosystems. In: van

Noordwijk M, Cadisch G, Ong CK (eds)

Below-ground interactions in tropical

agroecosystems – concepts and models

with multiple plant components. CABI,

Oxfordshire, pp 157–170

Subagyono, K., U. Haryati, dan S.H. Tala’ohu.

2004. Teknologi konservasi air pada

pertanian lahan kering. Badan

Penelitian dan Pengembangan

Pertanian, Departemen Pertanian. 145-

181

Suradisastra, K. 2012. Peran pemerintah otonom

dalam upaya pemanfaatan lahan

kering. Dalam: Dariah A., B. Kartiwa,

N. Sutrisno, K. Suradisastra, M.

Syarwani, H. Suparno, dan E.

Pasandaran (Eds) Prospek pertanian

lahan kering mendukung ketahanan

pangan. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Kementerian

Pertanian, RI. Hal: 61-73

Susanto, FX. 1994. Tanaman Kakao: Budidaya

dan Pengolahan Hasil. Kanisius,

Yogyakarta. 185 ha.

Page 15: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 89

van Bavel, C.H.M, and J.M. Baker, 1985. Water

transfer by plant roots from wet to dry

soil. Naturwissenschaften 72:606–607

Wan, C., R.E. Sosebee, and B.L. Mc Michael. 1993.

Does hydraulic lift exist in shallow-

rooted species? A quantitative

examination with a half-shrub

Gutierrezia sarothrae. Plant Soil. 153:

11–17.

Warren, J.M., F.C. Meinzer, J.R. Brooks, J.C.

Domec, and R. Coulombe, 2007.

Hydraulic redistribution of soil water in

two oldgrowth coniferous forests:

quantifying patterns and controls. New

Phytol 173:753–765

West, J.B., J.F. Espeleta, and L.A. Donovan, 2003.

Root longevity and phenology

differences between two-co-occurring

savanna bunchgrasses with different

leaf habits. Funct Ecol 17:20–28

Yang Xiaoguang, H. Huaqi, W. Zhimin, Z.

Junfang, C. Bin, and BAM. Bouman.

2002. Yield of aerobic rice (Han Dao)

under different water regimes in North

China. In Tuong, TP., BAM. Bouman,

and M. Martimer. 2005. More rice, less

water irrigated approaches for

increasing water productivity in

irrigated rice-based system in Asia.

Plant Prod. Sci 8(3): 231-241

Yoder, C.K, and R.S. Nowak. 1999. Hydraulic lift

among native plant species in the

Mojave Desert. Plant Soil. 215: 93–102.

Page 16: FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK …perkebunan.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/05/N-2... · evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada ... pemerintah melalui

90 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89