FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK...
Transcript of FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK...
Perspektif Vol. 13 No. 2 /Des 2014. Hlm 75 -89
ISSN: 1412-8004
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 75
FENOMENA PENGANGKATAN AIR DAN PROSPEK
PENGEMBANGAN BIOIRIGASI PADA PERTANIAN LAHAN KERING
DI INDONESIA Hydraulic Lift Phenomenon and Prospects of Bioirrigation Development in Dryland
Farming in Indonesia
JOKO PITONO
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute
Jalan Tentara Pelajar No 3 Bogor, 16111 Telp (0251) 8321879, Faks (0251) 83107010
E-mal: [email protected]; [email protected]
Diterima: 25 Oktober 2014; Direvisi: 17 November 2014; Disetujui: 24 November 2014
ABSTRAK
Diperkirakan pertanian nasional ke depan akan
semakin bertumpu pada lahan suboptimal, mengingat
alih fungsi lahan produktif ke sektor di luar pertanian
semakin tidak terkendali dengan laju konversi
mencapai ± 132 ribu ha per tahun. Dari 91,9 juta ha
lahan suboptimal nasional sekitar 76,6% berupa lahan
kering. Keterbatasan air merupakan kendala utama
pada pertanian lahan kering, dan kurangnya investasi
irigasi teknis menyebabkan sebagian besar lahan
kering masih menggantungkan pada sumber air hujan.
Bioirigasi merupakan alternatif pengelolaan air lahan
kering dengan memanfaatkan kemampuan hydraulic
lift tanaman tertentu untuk mengangkat air tanah dari
lapisan dalam yang lebih lembab dan mengisi ulang air
tanah pada lapisan dangkal yang kering. Selanjutnya
air tanah hasil pengisian ulang di lapisan dangkal
tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
transpirasi dan pertumbuhan, baik untuk tanaman
yang melakukan hydraulic lift maupun tanaman sela
(cash crops) lain yang ditanam di sekitarnya. Kajian
hydraulic lift hingga saat ini masih terbatas pada tataran
ekologi, dan untuk menuju langkah implementasinya
mendukung bioirigasi di sektor pertanian perlu
mempertimbangan aspek teknis seperti pemilihan
kombinasi jenis tanaman, arsitektur pertanaman,
keberadaan air tanah dalam, sifat fisik tanah, dan
komponen penguatan fungsi hydraulic lift. Tujuan
review ini adalah memberikan perspektif penelitian
dan pengembangan bioirigasi sebagai alternatif
pengelolaan air dan prospek pemanfaatannya pada
pertanian lahan kering di Indonesia.
Kata kunci: lahan kering, air tanah, bioirigasi, tanaman
hydraulic lift
ABSTRACT
It is estimated that the national agriculture in the
future will increasingly rely on suboptimal land, given
the productive land conversion to non-agricultural
sector is increasingly out of control with the conversion
rate to ± 132 thousand hectares per year. Of the 91.9
million ha of national suboptimal around 76.6% in the
form of dry land. Limitations of water is a major
constraint on the dry land agriculture, and lack of
technical irrigation investments led to most of the dry
land still dependent on rain water source. Bioirrigation
is an alternative dry land water management by
utilizing the ability of certain plant hydraulic lift to lift
water from the soil layers in the more humid and
recharge groundwater at dry shallow layer.
Furthermore, the results of recharging groundwater in
the shallow layers can be used to meet the needs of
transpiration and growth, both for plants that do
hydraulic lifts and intercrops (cash crops) that planted
in the vicinity. Study of hydraulic lift is still limited at
the level of ecology, and for leading the
implementation in the agricultural sector need to
consider the technical aspects such as the selection of a
combination of the type of crop, crop architecture, the
presence of water in the soil, soil physical properties,
and strengthening the function of hydraulic lift
components. The purpose of this review is to provide
an alternative perspective of research and development
on bioirrigation as water management and utilization
prospects in dryland farming in Indonesia.
Key word: dry land, soil water, bioirrigation, hydraulic
lift crops
76 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
PENDAHULUAN
Diperkirakan pertanian nasional ke depan
akan semakin bertumpu pada lahan suboptimal,
mengingat alih fungsi lahan produktif ke sektor
di luar pertanian semakin tidak terkendali
dengan laju konversi mencapai ± 132 ribu ha per
tahun (Agus dan Irawan, 2006). Kemtan (2013)
memperkirakan luas lahan suboptimal nasional
mencapai 91,9 juta ha yang meliputi (a) lahan
kering masam seluas 62,6 juta ha setara dengan
68,1%; (b) lahan kering beriklim kering seluas 7,8
juta ha setara 8,5%; (c) lahan rawa pasang-surut
seluas 14 juta ha setara 15,2%; dan d) lahan rawa
lebak seluas 7,5 juta ha setara 8,2%. Namun
pemanfaatan lahan suboptimal tersebut hingga
saat ini belum sepenuhnya diiringi dengan
penerapan inovasi teknologi secara memadai,
menyebabkan produktivitas lahan yang rendah.
Kendala utama budidaya pertanian lahan
kering adalah faktor keterbatasan sumberdaya air
akibat pola distribusi hujan yang kurang ideal.
Sekitar 81,6% lahan kering di wilayah Bali dan
Nusa Tenggara memiliki curah hujan tahunan
kurang dari 2000 mm (Las et al., 2000). Meskipun
jumlah curah hujan tahunan pada lahan kering
tersebut secara kuantitatif relatif mencukupi
untuk budidaya pertanian, namun karena
kejadian hujannya hanya terkonsentrasi pada
musim hujan yang pendek, maka hanya dapat
mendukung masa tanam komoditas semusim < 6
bulan (Las et al., 1991). Perkiraan ini didasari hasil
evaluasi kebutuhan air tanaman semusim pada
lahan kering yang mencapai 120 mm/bulan
(Oldemen et al, 1980). Hasil analisis ketersediaan
dan kebutuhan air selama musim kemarau di
pulau Jawa dan Bali pada tahun 2003 mengalami
defisit 13,1 milyar meter kubik, sedangkan
wilayah Nusa Tenggara mengalami defisit
sebesar 100 juta meter kubik (Kartiwa dan
Dariah, 2012).
Pengelolaan air lahan kering yang tepat
sangat krusial untuk mengatasi ketimpangan
antara kebutuhan air tanaman dan
ketersediaannya dalam perspektif ruang dan
waktu. Pengelolaan air lahan kering umumnya
dilakukan secara rekayasa teknis melalui
penampungan air permukaan dalam bangunan
tandon air, embung, dan waduk untuk
selanjutnya disalurkan pada target hamparan
lahan budidaya dengan memasang prasarana
saluran air atau jaringan pipa. Pendekatan ini
sering terbentur dengan kebutuhan pembiayaan
konstruksi yang tidak murah dan sedikitnya
pemerintah melalui program tugas pembantuan
daerah memerlukan dana lebih dari Rp. 27,5
milyar tiap tahunnya (Ditjen PSP, 2011). Oleh
karena itu, untuk mempercepat pengembangan
pertanian pada lahan kering diperlukan alternatif
lain untuk pengelolaan air yang efektif, mudah,
dan murah dalam penerapannya. Makalah ini
bertujuan untuk menguraikan alternatif
pengelolaan air lahan kering dengan bioirigasi
melalui pemanfaatan kemampuan tanaman
tertentu melakukan pengisian ulang air pada
tanah lapisan atas.
PERTANIAN LAHAN KERING
Di antara jenis lahan suboptimal yang
tersedia, lahan kering merupakan yang terluas
dan sangat potensial digarap untuk
pengembangan pertanian nasional ke depan.
Abdurachman et al. (2008) memperkirakan lahan
kering yang sesuai untuk budidaya pertanian
mencapai 76,2 juta ha. Sekitar 93% dari luasan
lahan kering tersebut yang setara 70,7 juta ha,
berada di dataran rendah dan sisanya di dataran
tinggi. Luas lahan kering dataran rendah tersebut
merupakan lahan datar hingga bergelombang
(lereng <15%) dan yang sesuai untuk
pengembangan tanaman pangan mencapai 23,3
juta ha. Sisa lahan kering dataran rendah seluas
47,5 juta ha yang berlereng 15-30% hanya sesuai
untuk pengembangan tanaman tahunan. Untuk
lahan kering dataran tinggi yang sesuai untuk
budidaya tanaman pangan hanya 2,1 juta ha dan
sisanya dapat digunakan untuk pengembangan
tanaman tahunan. Dalam perspektif makro,
peran lahan kering bagi pembangunan pertanian
nasional ke depan ditengarai justru lebih unggul
dibandingkan lahan sawah. Menurut Irawan
(2012) beberapa keunggulan daerah lahan kering
dibanding daerah lahan sawah adalah 1) daerah
lahan kering lebih tersebar di seluruh wilayah
nusantara sehingga upaya pemerataan
pembangunan pertanian antar daerah lebih
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 77
efektif dilakukan melalui pemberdayaan lahan
kering, 2) konversi lahan pertanian ke fungsi lain
di luar pertanian relatif dapat ditanggulangi,
sehingga keberlanjutan lahan pertanian lebih
terjamin, 3) tanaman pertanian yang
dikembangkan lebih beragam sehingga sektor
pertanian di lahan kering lebih resisten terhadap
fluktuasi harga komoditas, 4) distribusi
penguasaan lahan kering lebih merata dibanding
distribusi penguasaan lahan sawah, sehingga
upaya pemerataan pendapatan petani lebih
efektif jika dilakukan melalui pemberdayaan
lahan kering, dan 5) ketersediaan lahan pertanian
per keluarga pertanian relatif lebih luas, sehingga
upaya peningkatan pendapatan petani akan lebih
efektif jika dilakukan melalui pemberdayaan
lahan kering.
Pemanfaatan potensi keunggulan lahan
kering yang sangat besar untuk mendukung
program pengembangan pertanian nasional
masih dihadapkan pada beberapa kendala seperti
kesuburan lahan yang rendah, sumber air yang
terbatas, topografi berbukit yang rawan erosi,
kemiskinan petani, dan infrastruktur ekonomi
yang terbatas, menyebabkan penerapan teknologi
usahatani menjadi mahal (Miardi, 2009; Irawan,
2012). Kendala tersebut menyebabkan
produktivitas lahan kering jauh lebih rendah
dibandingkan lahan basah. Sebagai contoh,
fluktuasi rerata produktivitas padi nasional
selama periode tahun 1950 - 2010 untuk padi
gogo lahan kering adalah sangat rendah hanya
berkisar 1.0 – 2.9 ton/ha dibandingkan produksi
padi sawah yang berkisar 1,8 – 4,7 ton/ha
(Suradisastra, 2012). Selain itu, masih banyak
hasil kajian lapang yang membuktikan bahwa
melalui penyediaan irigasi dapat meningkatkan
produktivitas tanaman bernilai ekonomi di lahan
kering secara signifikan seperti cabai, tembakau,
dan bawang merah (Kurnia, 2004). Namun
demikian, untuk membangun dan memelihara
jaringan irigasi tersebut diperlukan biaya yang
tidak murah, dan faktanya sebagian besar
pertanian lahan kering belum mendapat fasilitas
irigasi.
STATUS TEKNOLOGI PENGELOLAAN
AIR LAHAN KERING
Penguasaan teknologi pengelolaan air
sangat diperlukan untuk pengembangan
pertanian lahan kering. Hingga saat ini telah
banyak dihasilkan teknologi pengelolaan air, dan
sebagian telah diimplementasikan pada
usahatani lahan kering. Kartiwa dan Dariah
(2012) secara detail menguraikan ragam teknologi
pengelolaan air lahan kering seperti teknologi
identifikasi potensi sumberdaya air baik untuk
air permukaan maupun air dalam; teknologi
karakterisasi sumberdaya air dengan isotop;
teknologi panen hujan dan aliran permukaan
dengan embung dan dam parit; dan teknologi
irigasi yang meliputi irigasi parit, irigasi tetes,
irigasi curah bergerak, dan irigasi lahan
bertopografi terjal. Pengembangan teknologi
identifikasi potensi air permukaan pada
prinsipnya mengacu pada data curah hujan dan
dinamika ketersediaannya selama satu siklus
hidrologi, sedangkan untuk identifikasi potensi
air dalam adalah berdasarkan pada karakteristik
geohidrologinya. Melalui teknologi aplikasi
isotop memungkinkan dapat diketahui
karakteristik sumberdaya air permukaan dan
sumber air tanah seperti kecepatan aliran, pola
dispersi, transport sedimen, rembesan air, dan
tingkat polutan air tanah. Penerapan teknologi
panen aliran permukaan dan irigasi tersebut
dilaporkan nyata membantu meningkatkan
produktivitas lahan kering. Sebagai contoh
penerapan teknologi embung di Bantul,
Yogyakarta diketahui secara nyata meningkatkan
hasil usahatani sawah tadah hujan dari setara
4.230 kg gabah/ha/tahun menjadi 11.700 kg
gabah/ha/tahun atau sebesar 176% (Irawan et al.,
2012). Demikian juga dengan teknologi irigasi
tetes dengan debit emmiters 0,25 liter/jam
terbukti efektif meningkatkan hasil jagung
hingga mencapai 20 ton/ha (Assouline, 2002).
Defisit kebutuhan air untuk pertumbuhan
dan produksi tanaman pada musim kemarau di
sebagian besar lahan kering tidak
memungkinkan dipenuhi dari tambahan air
irigasi akibat tidak adanya fasilitas jaringan
irigasi teknis dan atau sumber airnya. Pada
situasi yang demikian, pengelolaan air lahan
78 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
kering hanya tertumpu pada tindakan konservasi
air. Tindakan konservasi air lahan kering dapat
dilakukan diantaranya melalui 1) cara mekanik
(pembuatan saluran resapan, rorak, mulsa,
embung, sistem drainase, dan pengolahan tanah),
2) cara vegetatif (penanaman tanaman penutup
tanah, pola pergiliran tanaman, penanaman
strip/alley cropping, sistem penanaman agroforestry
dan pemanfaatan sisa-sisa tanaman sebagai
mulsa dan bahan organik), dan 3) pemanfaatan
bahan pembenah tanah baik alami maupun
sintetik (Arsyad, 2000; Subagyono et al., 2004).
Lebih lanjut, keuntungan penggunaan bahan
pembenah tanah antara lain adalah a) kebutuhan
air irigasi dapat dikurangi dengan meningkatnya
kapasitas menahan air, b) meningkatkan
ketersediaan air bagi tanaman, c) meningkatkan
kapasitas tanah menahan hara terlarut dalam air,
d) memperbaiki aerasi, dan e) mengurangi biaya
operasional irigasi (Subagyono et al., 2004).
Selain teknologi pengelolaan air lahan
kering yang telah diuraikan di atas, beberapa
studi sebelumnya pada bidang agroforestry dan
ekologi gurun memperlihatkan adanya peluang
pemanfaatan aktivitas akar tanaman tertentu
untuk fungsi bioirigasi pada tanah lapisan
dangkal. Fenomena dan prospek pemanfaatan
bioririgasi tersebut untuk pertanian lahan kering,
diuraikan pada bahasan berikut.
FENOMENA HYDRAULIC LIFT
Pada malam hari saat transpirasi
tanaman sangat rendah, jenis tanaman tertentu
yang berperakaran dalam mampu membasahi
partikel tanah lapisan dangkal yang sebelumnya
telah mengering melalui mekanisme hydraulic lift
(Caldwell et al., 1998). Pembuktian pertama kali
adanya hydraulic lift di lapangan melalui
pengamatan fluktuasi potensial air tanah (Ψs)
pada spesies semak besar Artemisia tridentate
dalam siklus 24 jam (Richards and Caldwell
1987). Fluktuasi Ψs nampak jelas mengikuti siklus
siang-malam, dimana Ψs meningkat pada malam
hari seiring dengan kenaikan lengas tanah dan
menurun pada siang hari menyertai kehilangan
lengas tanah akibat proses evapotranspirasi.
Secara teori pada siang hari, ketika stomata daun
terbuka, air bergerak dari tanah lembab yang
potensial airnya lebih tinggi menuju ke perakaran
tanaman yang potensial airnya lebih rendah,
selanjutnya masuk ke aliran transpirasi (Caldwell
et al. 1998). Sebaliknya pada malam hari, ketika
stomata tertutup, air dari tanah diangkut melalui
akar tunggang menuju ke daun. Seiring dengan
mengecilnya transpirasi, potensial air tanaman
semakin meningkat hingga di atas potensial air
tanah di lapisan dangkal yang kering, selanjutnya
air akan mengalir keluar dari akar menuju ke
tanah (efflux). Berdasarkan prinsip tersebut, air
bergerak dari lapisan tanah bawah yang lembab
melalui sistem perakaran menuju ke permukaan
tanah lapisan atas yang lebih kering, sehingga
dapat meningkatkan kelengasan tanah di zona
akar secara efektif (Gambar. 1).
Gambar 1. Pola aliran air melalui sistem
perakaran selama periode siang
dan malam hari menurut hipotesis
hydraulic lift (Caldwell et al., 1988)
Transfer air dari akar ke tanah melalui
mekanisme hydarulic lift ini dipandang mampu
menyediakan air untuk disimpan di tanah
lapisan dangkal, sekaligus berfungsi sebagai
penyangga saat terjadi kekeringan (Richards and
Caldwell 1987), dan mencegah putusnya kolom
kapiler (cavitation) pada jaringan vascular akar
(Scholz et al. 2002). Kehadiran hydraulic lift
berkontribusi meningkatkan daya toleransi
tanaman terhadap situasi kekeringan yang
ekstrim dengan memperpanjang kelangsungan
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 79
hidup akar dan mendorong pembentukan akar
halus baru di permukaan tanah kering (Espeleta
et al. 2004). Banyaknya akar halus yang terbentuk
menyebabkan semakin besar air yang dapat
ditransfer ke tanah melalui proses hydraulic lift,
sehingga tanah lapisan dangkal menjadi semakin
lembab, dan serapan hara semakin meningkat
(Dawson 1998). Hydraulic lift membantu menjaga
ketersediaan air pada kolom tanah lapisan
dangkal setiap harinya untuk selanjutnya tidak
hanya dikonsumsi oleh tanaman berperakaran
dalam yang melakukan hydraulic lift saja, tetapi
juga dapat dimanfaatkan oleh tanaman lain di
sekitarnya yang berperakaran dangkal dan tidak
mampu melakukan hydraulic lift (Caldwell et al.,
1998; Sekiya and Yano, 2004). Bukti lain
menunjukkan bahwa air yang terangkut ke atas
dan dilepaskan ke tanah lapisan dangkal oleh
Arthemisia tridentata dapat dikonsumsi oleh
rerumputan lain yang akarnya bercampur
dengan akar A. tridentata di tanah lapisan atas
yang kering (Caldwell and Richards, 1989). Pada
tegakan pinus ponderosa, adanya air dari
hydraulic lift nampak jelas meningkatkan
kelangsungan hidup bibit pinus ponderosa
selama periode kering di musim panas (Brooks et
al., 2002). Dawson (1993) melakukan studi
hydraulic lift pada pohon maple (Acer saccharum)
dewasa selama periode kering di musim panas di
bagian utara New York, menemukan bahwa
vegetasi lain yang hidup di sekitarnya dan tidak
dapat menyerap langsung ke sumber air tanah
dalam, juga mendapatkan sebagian air yang
diangkat melalui hydraulic lift pohon maple.
Proporsi air dari hydraulic lift maple yang
digunakan oleh vegetasi lain tersebut adalah
berkisar 3-60% (Caldwell et al., 1998).
Pada awalnya, mekanisme transfer air dari
jaringan akar menuju ke tanah belum
sepenuhnya dipahami mekanismenya. Namun,
akhirnya diketahui bahwa proses aliran air pada
jaringan tanaman dan antara akar dan tanah
merupakan peran penting dari aquaporins, yaitu
membran protein saluran air yang memfasilitasi
gerakan pasif molekul air pada saat gradien
potensial air turun (Jackson et al., 2000).
Aquaporins dikodekan oleh banyak gen yang
diatur secara temporal dan spasial selama
perkembangan tanaman terutama untuk
merespon stres kekeringan (Kjellbom et al., 1999).
Kapasitas Hydraulic Lift
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa
melalui proses hydraulic lift memungkinkan
tanaman tertentu mampu melakukan pengisian
ulang air tanah pada lapisan dangkal pada
periode malam hari. Hasil beberapa studi
menunjukkan bahwa jumlah air tanah yang
terangkut ke atas untuk proses pengisian ulang
tersebut cukup besar pada setiap malamnya.
Diperkirakan proses hydraulic lift dapat
mengangkat air tanah dari kisaran 14% dari
kebutuhan evapotranspirasi harian (Wan et al.,
1993) menjadi sekitar 33% (Richards and
Caldwell, 1987), bahkan di beberapa kasus
mencapai 50% (van Bavel and Baker, 1985 ) dan
bahkan 100% (Kurz-Besson et al., 2006; Warren et
al., 2007). Nilai 33% setara dengan 1 liter air per
m2 luas permukaan tanah per malam yang
diangkat oleh semak A. tridentata. Tanaman
Acacia (Acacia Tortilis), yang tumbuh di habitat
sangat kering di Afrika, mampu mengangkat 70-
235 liter air setiap malam (Ludwig et al., 2003).
Emerman dan Dawson (1996) memperkirakan
pohon maple dewasa (tinggi 20 m) mampu
mengangkat 102 ± 54 liter air per malam; dan
proses hydraulic lift dapat mengisi ulang sekitar
25 % dari jumlah air tanah di lapisan dangkal
yang digunakan oleh pohon tersebut. Dilaporkan
juga bahwa jumlah air yang diangkat ke tanah
kering lapisan dangkal oleh akar rumput
Bermuda dan kapas diperkirakan mampu
menyumbang 31% hingga 42% dari kebutuhan
transpirasi hariannya (van Bavel and Baker, 1985;
Baker and van Bavel 1988). Pengamatan di bawah
pohon Oak (Quercus suber L.) pada padang
savana di Portugal, memperkirakan hydraulic lift
dapat memasok 17% - 81% dari jumlah air yang
akan ditranspirasikan pada hari berikutnya saat
terjadi puncak musim kering, yakni sekitar 0,1-14
liter per pohon per hari (Kurz-Besson et al., 2006).
Tanaman Hydraulic Lift
Sekitar 30 spesies dan varietas dilaporkan
memiliki kemampuan hydraulic lift baik pada
skala laboratorium maupun lapangan (Caldwell
80 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
et al., 1998) (Tabel 1 dan 2). Banyak laporan
tentang hydraulic lift berasal dari studi rumah
kaca yang menggunakan bibit atau individu
tanaman tertentu, memperlihatkan adanya pola
perubahan potensial air tanah sebagai indikator
utamanya. Kemampuan melakukan hydraulic lift
tidak terbatas pada spesies tanaman tertentu
pada lingkungan kering dan semi kering saja,
namun juga meluas pada taksa dan ekosistem
yang berbeda (Caldwell et al., 1998). Perbedaan
Tabel 1. Spesies tanaman hydraulic lift menurut bukti empiris di laboratorium (NMR nuclear
magnetic resonance), Caldwell, et al. (1998)
Species Nature of evidence
Triticum vulgare (wheat/gandum),
Zea mays (maize/jagung),
Water transfer between soil compartments
Circidium torreyana (palo verde),
Acacia greggii (catclaw/akasia),
Lycopersicon esculentum (tomato/tomat)
Water transfer between soil compartments
Phaseolus vulgaris (bean/buncis) Water efflux from hypocotyl
Populus species (poplar) Water transfer between roots of Neighboring seedlings
Cynodon dactylon
C. transvaalensis (bermudagrass/rumput bermuda)
Water transfer between soil compartments
Medicago sativa (alfalfa/rumput alfalfa) Water transfer to maize plants in same pot
Gossypium hirsutum (cotton/kapas) Water transfer between soil compartments
Prunus persica (peach) Water transfer between soil compartments
Eucalyptus viminalis (eukaliptus) Water transfer between soil compartments
Zea mays (maize/jagung) Water efflux from individual roots
Acer saccharum (sugar maple) Water transfer between soil compartments, deuterium
labeling
Artemisia tridentata (sagebrush/artemisia) Water transfer between soil compartments,
proton NMR imaging
Tabel 2. Spesies dengan fungsi hydraulic lift di lapangan, Caldwell, et al. (1998)
Species Nature of evidence
Artemisia tridentata (sagebrush/artemisia) Ψs fluctuations, daytime bagging experiment,deuterium
labeling, nighttime lighting experiments
Agropyron desertorum (crested wheatgrass) Ψs fluctuations, nighttime lighting
experiments
Gutierrezia sarothrae (broom snakeweed) Water accumulation in upper root zone, soil water content
fluctuations
Acer saccharum (sugar maple) Ψs fluctuations, natural abundance of Deuterium
Dipterocarps (three species) Natural abundance of stable isotopes
Quercus douglasii (blue oak) Ψs fluctuations
Sarcobatus vermiculatus (greasewood),
Quercus douglasii (blue oak),
Artemisia filifolia (sand sagebrush/artemisia)
Ψs fluctuations
Yucca schidigera (Mojave yucca),
Larrea tridentata (creosote bush),
Ephedra nevadensis (Nevada joint-fir),
Ambrosia dumosa (white bur sage)
Lycium pallidum (pale thornbush)
Ψs fluctuations, nighttime lighting and daytime bagging
experiments
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 81
aktivitas hydraulic lift antar spesies atau tidak
munculnya hydraulic lift, mungkin tidak hanya
berhubungan dengan faktor kedalaman
perakaran saja, tetapi bisa terkait dengan faktor
cepatnya penuaan jaringan permukaan akar
halus; seperti yang ditunjukkan Savana
Bunchgrass (West et al., 2003;. Espeleta et al.,
2004). Hambatan transportasi air ke tanah lapisan
dangkal akibat kendala hydraulic atau perbedaan
permeabilitas membran akar untuk
mengeluarkan air, dimungkinkan yang
menyebabkan perbedaan aktivitas hydraulic lift
diantara spesies (Espeleta et al., 2004). Spesies
pengangkat air tanah ke lapisan atas bisa
memiliki pola hydraulic lift yang berbeda secara
temporer.
LANGKAH MENUJU APLIKASI
BIOIRIGASI PADA LAHAN KERING
Sebagaimana diuraikan di atas, pengertian
bioirigasi pada konteks ini adalah proses
pendistribusian air diantara lapisan tanah yang
digerakkan oleh aktivitas biologis tanaman
tertentu terutama pada jaringan perakaran.
Pemanfaatan secara maksimal potensi bioirigasi
akan sangat berguna untuk meningkatkan
produktivitas lahan kering, khususnya pada
wilayah yang tidak terjangkau sarana irigasi
teknis dan faktor geografis yang tidak
memungkinkan dilakukan rekayasa irigasi. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk
menerapkan bioirigasi pada lahan kering, seperti
pemilihan jenis tanaman, arsitektur pertanaman,
keberadaan air tanah dalam, sifat fisik tanah, dan
penguatan fungsi tanaman hydraulic lift.
Pemilihan Jenis Tanaman
Prinsip dasar penyusunan cropping system
dengan fungsi bioirigasi adalah memaksimalkan
pemanfaatan sumber air melalui pemilihan
kombinasi jenis tanaman yang dapat saling
melengkapi dalam memenuhi kebutuhan airnya
tanpa disertai kompetisi air yang merugikan.
Oleh karena itu efektivitas bioirigasi pada lahan
kering sangat ditentukan oleh kompatibilitas
jenis tanaman hydraulic lift dan tanaman sela (cash
crop) yang dipilih (Smith et al., 2004). Mengingat
kerja biorigasi bertumpu pada pemanfaatan
sumber air tanah lapisan dalam, maka pemilihan
jenis tanaman perlu memperhatikan arsitektur
perakarannya. Khusus tanaman yang akan
difungsikan sebagai tanaman hydraulic lift agar
dipilih jenis tanaman berperakaraan dalam yang
mampu mengakses ke sumber air dari lapisan
tanah dalam (Jackson et al., 2000; Espeleta et al.,
2004; Schenk and Jackson, 2002). Tanaman
dengan fungsi hydraulic lift tersebut akan lebih
baik jika sekaligus memiliki nilai ekonomi.
Namun hingga saat ini belum tersedia informasi
secara memadai tentang kemampuan hydraulic lift
dari sejumlah komoditas pertanian yang adaptif
pada lahan kering. Misalnya jambu mete yang
telah dibudidayakan secara meluas di kawasan
timur Indonesia. Potensi aktual fungsi hydraulic
lift belum dievaluasi, namun melihat
kemampuan adaptasinya yang tinggi pada lahan
kering diduga kuat memiliki fungsi tersebut.
Demikian juga pada tanaman kemiri sunan.
Berdasarkan pengalaman pengembangannya di
wilayah Ngada, NTT, menunjukkan keberadaan
tanaman kemiri sunan tersebut dapat
menyebabkan air tanah di lapisan dangkal
menjadi lebih tersedia, dan diduga kuat juga
memiliki fungsi hydraulic lift (Wahyudi,
komunikasi personal).
Menurut Smith et al. (2004) penerapan
hydraulic lift yang ideal memerlukan informasi
yang lengkap untuk keseluruhan jenis tanaman
yang akan diterapkan, seperti serapan air dan
hara oleh sistem perakaran keseluruhan tanaman
tersebut baik menurut spasial sumber dan
waktunya. Karakteristik kedalaman perakaran
komoditas pertanian yang dapat dikembangkan
pada lahan kering, secara garis besar dapat
dibedakan menurut kelompok komoditasnya,
seperti tanaman sayuran < tanaman umbi <
tanaman serelia < tanaman perkebunan. Strata
kedalaman akar beberapa contoh tanaman yang
biasa dikembangkan pada lahan kering adalah
seperti pada Tabel 3.
Selanjutnya untuk tanaman sela (cash crop)
dapat dipilih jenis tanaman berumur pendek
lainnya yang bernilai ekonomi. Khususnya untuk
tanaman sela yang konsumsi airnya cukup tinggi
dapat dialokasikan hanya pada periode musim
82 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
hujan, sedangkan untuk periode musim kering
dapat dipilih jenis tanaman yang rendah
konsumsi airnya, seperti kacang tunggak, kacang
tanah, kedelai, cabai, dan jenis tanaman lainnya
(Tabel 4).
Arsitektur Pertanaman
Untuk mendapatkan efek maksimal dari
penerapan bioirigasi di lapangan perlu
memperhatikan arsitektur pertanamannya.
Konfigurasi antara tanaman utama dengan fungsi
hydraulic lift dan tanaman sela (cash crops) harus
mempertimbangkan kecukupan akses pada sinar
matahari dan air tanah pada lapisan rizosper
untuk mendukung aktivitas fotosintesis dan
pertumbuhan tanaman. Untuk itu, perlu
dikalkulasi kebutuhan lebar lorong antar
tanaman hydraulic lift yang akan diisi dengan
tanaman sela. Penentuan lebar lorong tersebut
perlu mempertimbangkan jangkauan efek
hydraulic lift tanaman utama dalam mengisi ulang
Tabel 3. Strata kedalaman akar beberapa contoh jenis komoditas yang biasa dibudidayakan pada lahan
kering
Komoditas Tanaman Distribusi Akar (m)
Sumber Referensi Vertikal Horizontal
Sayuran Bayam 0,3-0,6 - Gopalakrishnan, 2007
Cabai 0,9-1,2 - Gopalakrishnan, 2007
Tomat 1,2-1,8 - Gopalakrishnan, 2007
Aneka ubi dan kacang Ubi jalar 1,2-1,8 - Gopalakrishnan, 2007
Kacang Tanah 0,4-0,8 - Pandey et al., 1984
Kedelai 0,68-0,95 - Dwyer et al., 1988
Serelia Jagung 0,86-1,15 - Dwyer et al., 1988
Sorgum ≤2,0 ≤1,0 Plessis, 2008
Padi ≤0,4 - Beyrouty et al., 1997
Perkebunan Kopi 0,45-0,50 2,0-3,0 Hulupi dan Mulyadi (2007);
Kakao 1,5-2,0 ≤5 Susanto (1994); Carr dan
Lockwood, 2011
Jambu mete 15,0 8,0-10,0 Salam, 1995
Kemiri sunan 20,0 >10,0 Wahyudi (komunikasi
personal)
Tabel 4. Tingkat konsumsi air dan nilai ekonomi beberapa alternatif tanaman sela pada sistem
biokonservasi air tanah di lahan kering
Tanaman Konsumsi Air
(mm/musim)
Nilai Ekonomi Sumber Referensi
Jagung 400-750 Sedang Doorenbos dan Kassam, 1979
Tomat 300-600 Sedang Doorenbos dan Kassam, 1979
Cabai 355-455 Sedang Kurnia, 2004
Kopi 3,7-5,2 * Tinggi Gutierrez and Meinzer, 1994
Kakao <2 - 6 * Tinggi Carr and Lockwood, 2011
Kacang Tunggak 325-360 Sedang Asim et al., 2006
Kacang Tanah 360,6 Sedang Peixi et al., 2002
Kedelai 450-825 Kurnia, 2004; Kasam et al., 2005
Padi gogo 550-650 Sedang Yang Xiaoguang et al., 2002
Keterangan: * unit konsumsi air mm/hari
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 83
air tanah lapisan atas yang akan dimanfaatkan
oleh tanaman sela dan nilai ekonominya.
Misalnya dengan pengaturan lorong baris pada
arah timur-barat. Penggunaan simulasi modeling
sangat disarankan untuk membantu
mendapatkan susunan arsitektur pertanaman
yang optimal.
Keberadaan Air Tanah Dalam (Ground Water)
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam
implementasi bioirigasi pada lahan kering adalah
faktor air tanah dalam (ground water), mengingat
keberadaannya cukup beragam di lapangan.
Khusus pada lahan yang air tanah dalamnya
ekstrim, maka sebagai tanaman hydraulic lift
harus dipilih spesies pohon yang benar-benar
memiliki perakaran dalam. Tanaman hydraulic lift
yang sistem perakarannya tidak memiliki akses
ke air tanah dalam, sejalan dengan berkurangnya
kandungan air tanah di rizosper, tidak dapat
melakukan pengangkatan air atau bahkan
mendistribusikan air dari permukaan tanah ke
bagian bawah (Smith et al., 2004). Lebih lanjut
dinyatakan bahwa pemompaan air tanah oleh
spesies pepohonan pada periode kering dan
wilayah tertentu yang tidak memiliki sumber air
tanah dalam, justru akan memperparah stres
kekeringan dan menyebabkan kehilangan hasil
panen. Seperti halnya pada kasus alley cropping
system antara jagung dengan spesies pohon
Croton sp., Gliricidia sp., Gravillea sp., Senna sp.,
dan Melia sp. yang menurunkan hasil jagung
antara 39-95% (Govindarajan et al. 1996; McIntry
et al, 1997 dalam Smith et al, 2004) (Gambar 2).
Oleh karena itu, memastikan adanya akses ke air
tanah dalam atau sumber air lainnya yang
mencukupi adalah kunci untuk keberhasian
pemanfaatan hydraulic lift untuk tujuan bioirigasi
pada lahan kering secara berkelanjutan. Untuk
keperluan identifikasi sumber air tanah tersebut
dapat dilakukan dengan survei geolistrik
menggunakan terrameter dan geoscanner untuk
menggambarkan karakteristik sebaran aquifer
(Kartiwa dan Dariah, 2012).
Crop only
CrotonGliricidia
Grevillea
Senna
Melia
0
600
1200
0 40 80
Tree water use (mm)
Gambar 2. Korelasi hasil jagung dengan kebutuhan
air spesies pohon yang ditanam
berdampingan di Machakos, Kenya
pada musim tanam yang bercurah hujan
rendah, 250 mm (Smith et al., 2004)
Sifat Fisik Tanah
Faktor fisik tanah turut menentukan
efektifitas fungsi bioirigasi di lapangan. Jenis dan
kepadatan tanah memberikan pengaruh yang
besar terhadap proses pemindahan air dari akar
menuju ke tanah. Struktur tanah yang lebih
dipadatkan berkorelasi langsung dengan
peningkatan pelepasan air oleh akar (Schippers et
al., 1967), sedangkan tanah yang bertekstur kasar
berpasir berpengaruh negatif terhadap proses
hydraulic lift, akibat kurangnya kontak antara
akar dan tanah dibandingkan dengan tanah yang
bertekstur halus (Yoder and Nowak, 1999).
Dengan demikian, pengaturan komposisi
tanaman hydraulic lift dan tanaman sela dalam
sistem bioirigasi di lahan kering tidak bisa
disamakan antar lokasi satu dengan lainnya.
Khususnya untuk lokasi yang memiliki tanah
bertekstur kasar sebaiknya dipilih jenis tanaman
utama yang fungsi hydraulic lift nya kuat dan
dipadukan dengan jenis tanaman sela yang
kebutuhan airnya relatif rendah. Selain itu,
penambahan bahan organik pada tanah
bertekstur kasar, dapat meningkatkan daya
pegang air tanah dan kontak antar permukaan
akar dengan partikel tanah, sehingga pelepasan
air oleh akar ke tanah pada proses hydraulic lift
dapat lebih efektif.
Maiz
e y
ield
(k
g/h
a)
84 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
Penguatan Fungsi Tanaman Hydraulic Lift
Fungsi tanaman hydraulic lift untuk
menyediakan air tanah bagi tanaman cash crop
pada periode kering dapat diperkuat melalui
beberapa cara. Salah satu cara penguatan tersebut
adalah melalui penambahan tanaman hydraulic
lift dari jenis lain dengan tetap memperhatikan
efektivitas arsitektur pertanaman secara
keseluruhan. Pada prinsipnya jenis tanaman
hydraulic lift dapat dipilih dari semua jenis
lintasan photosintesis, baik C3, C4 maupun
crassulacean acid metabolism (CAM). Namun
berbeda dengan tumbuhan C3 dan C4, studi pada
spesies Mojave Desert (Yucca Schidigera) dengan
jalur fotosintesis CAM menunjukkan bahwa
tanaman ini justru melepas air ke tanah lapisan
dangkal pada siang hari ketika tidak ada
transpirasi, untuk selanjutnya air tersebut diserap
pada malam harinya ketika tanaman CAM
tersebut memulai transpirasinya (Yoder and
Nowak 1999). Pengangkatan air oleh tanaman
CAM dipandang sebagai tanaman hydraulic lift
yang sempurna karena tanaman CAM mampu
melepaskan air kembali ke partikel tanah pada
siang hari, yakni ketika tanaman C3 dan C4
mengekstrak dan mentranspirasikan air yang
besar, sehingga dapat menghindari persaingan
penggunaan air. Jenis tanaman CAM seperti
nenas memungkinkan dimanfaatkan untuk
penguatan fungsi tanaman hydraulic lift di lahan
kering.
Selain itu, penguatan fungsi hydraulic lift
dapat dilakukan melalui pemanfaatan
mikroorganisme untuk meningkatan kinerja
serapan hara dan air tanaman. Jamur mikoriza
merupakan salah satu dari jenis mikroorganisme
menguntungkan yang berasosiasi dengan
perakaran pada hampir semua famili tanaman,
termasuk sebagian besar tanaman budidaya (Sen,
2000). Simbiosis mikoriza dapat meningkatkan
serapan hara dan air tanaman, serta menekan
patogen sehingga dapat meningkatkan
pertumbuhan dan kesehatan tanaman. Namun,
kondisi kekeringan pada tanah berpengaruh
negatif pada mikoriza dengan berkurangnya
panjang hifa tanah dan biomasnya (Querejeta et
al., 2007). Adanya pengisian ulang air pada tanah
lapisan atas oleh tanaman hydraulic lift akan
melindungi kerusakan hifa jamur dari bahaya
stres air (Caldwell et al. 1998). Lebih lanjut
Querejeta et al. (2007) dalam studinya
menunjukkan bahwa air hydraulic lift membantu
ektomikorisa dan vesikular arbuskular mikoriza
(MVA) menghadapi stres kekeringan pada
tegakan Oak di California. Pada tahap lebih
lanjut, dengan meningkatnya kemampuan
menyerap P, memproduksi hormon tanaman,
meningkatnya transportasi air akibat
meluaskannya bidang muka akar oleh hifa jamur
VAM, dan kemampuan osmotik adjustment daun
tanaman yang berafiliasi dengan jamur VAM,
maka ketahanan terhadap stres kekeringan dari
simbiosis tanaman dan jamur VAM tersebut akan
meningkat (Peña et al., 1988).
MODEL PENGEMBANGAN BIOIRIGASI
PADA LAHAN KERING DI INDONESIA
Pengembangan bioirigasi pada lahan kering
di Indonesia masih memerlukan dukungan hasil
penelitian baik di laboratorium maupun
lapangan. Aspek penelitian yang diperlukan
untuk membangun model pengembangan
bioirigasi pada lahan kering tersebut terangkum
dalam struktur model seperti pada Gambar 3.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
kondisi lahan kering bervariasi antar wilayah dan
tergantung pada karakteristik faktor iklim dan
tanahnya. Bagian penting dari model
pengembangan bioirigasi lahan kering adalah
penyusunan peta pewilayahan potensi bioirigasi
yang akan digunakan untuk memandu
implementasi bioirigasi secara tepat di suatu
wilayah lahan kering. Melalui bantuan peta
pewilayahan bioirigasi ini dapat diketahui
rekomendasi sistem pertanaman dan pilihan jenis
tanaman yang tepat baik untuk cash crops
maupun tanaman hydraulic lift nya. Adapun
dasar penyusunan peta bioirigasi tersebut adalah
dari hasil estimasi kuantitatif neraca air tanah
dengan basis perhitungan kapasitas biorigasi dan
tingkat konsumsi air tanaman.
Lebih lanjut, keteraturan pola hubungan
antara kapasitas biorigasi dengan variabel kunci
yang mempengaruhinya seperti air tanah dalam
(ground water), sifat fisik tanah, kapasitas
hydraulic lift dan arsitektur pertanaman dapat
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 85
disusun dalam model simulasi. Demikian juga
untuk faktor iklim yang meliputi sifat hujan,
suhu udara, kelembaban udara, dan radiasi
surya, serta faktor tanaman yang meliputi jenis
dan fase pertumbuhannya turut menentukan
tingkat kebutuhan air tanaman secara
keseluruhan, dan nilainya dapat diduga dengan
model simulasi. Pada tahapan model selanjutnya
dengan memperhitungkan luas wilayah target,
jenis tanaman yang dipilih dan disertai nilai
dugaan produksinya, memungkinkan diketahui
estimasi peningkatan produktivitas tanaman di
suatu wilayah lahan kering. Demikian juga nilai
peningkatan produktivitas lahan kering di
wilayah tersebut dengan mudah dapat diduga
melalui model ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
Aplikasi tanaman hydraulic lift yang mampu
mengangkat air ke tanah lapisan atas menjadi
opsi yang menarik, layak, dan murah sebagai
alternatif rekayasa sistem irigasi yang berbasis
aktivitas biologis tanaman (bioirigasi) pada
pertanian lahan kering ke depan. Adanya
tanaman hydraulic lift yang bisa mengangkat air
dari lapisan tanah yang lebih dalam dan mengisi
ulang air di tanah lapisan dangkal yang mudah
mengalami kekeringan, diharapkan dapat
menjamin keberlanjutan budidaya tanaman sela
(cash crops) di lahan kering. Prinsip model
penerapan bioririgasi di lapangan adalah
meminimalkan sifat kompetisi dan
memaksimalkan sifat komplementer atas
penggunaan air antara tanaman hydraulic lift dan
tanaman sela (cash crops) dengan
mempertimbangkan kapasitas sumber air dalam
(ground water) yang ada. Aspek teknis yang perlu
diperhatikan dalam pemodelan bioirigasi pada
pertanian lahan kering antara lain a) ketepatan
pemilihan jenis tanaman, baik yang berfungsi
sebagai tanaman hydraulic lift maupun tanaman
sela, b) pembentukan arsitektur pertanaman yang
dapat mendukung pertumbuhan dan hasil
Gambar 3. Model pengembangan bioirigasi untuk meningkatkan produktivitas lahan kering di
Indonesia. HL adalah hydraulic lift.
86 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
tanaman secara maksimal, c) mengetahui
keberadaan sumber air dalam (ground water)
sebagai dasar penetapan jenis tanaman hydraulic
lift, d) mengetahui sifat fisik tanah wilayah
setempat yang berpengaruh pada efektifitas
fungsi hydraulic lift, dan e) bila dipandang perlu
dapat dilakukan penguatan fungsi tanaman
hydraulic lift melalui penambahan tanaman
hydraulic lift dari jenis lain dan mensinergikan
dengan peran mikroorganisme bermanfaat
seperti mikoriza. Sementara untuk penyusunan
model kebutuhan air tanaman diperlukan input
penting berupa keragaan iklim serta fase
perkembangan dan jenis tanaman baik pada cash
crops maupun tanaman hydraulic lift.
Mengingat prospek pemanfaatan bioirigasi
pada pertanian lahan kering cukup besar,
disarankan segera dilakukan penelitian secara
komprehensif untuk dasar penyusunan model
pewilayahan potensi bioirigasi lahan kering di
Indonesia. Penelitian mendasar terkait dengan
estimasi kuantitatif neraca air bioirigasi dengan
basis perhitungan kapasitas biorigasi dan tingkat
konsumsi air tanaman sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Dariah, A. Mulyadi. 2008.
Strategi dan teknologi pengelolaan
lahan kering mendukung pengadaan
pangan nasional. J. Litb Pertanian 27 (2).
Agus, F. and Irawan, 2006. Agricultural land
conversion as a threat to food security
and environmental quality. p. 101-121.
Prosiding seminar Multifungsi dan
Revitalisasi Pertanian. Kerjasama Badan
Litbang Pertanian, MAFF, dan ASEAN
Secretariat.
Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air.
Departemen Ilmu- Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Asim, M., M. Aslam, N.I. Hashmi, and N.S.
Kisana. 2006. Mungbean (Vigna radiata)
in wheat based cropping system: an
option for resource conservation under
rainfed ecosystem. Pak J. Bot 37(4):
1197-1204
Assouline, S. 2002. The effects of microdrip and
conventional drip irrigation on water
distribution and uptake. Soil Sci. Soc.
Am. J 66: 1630-1636
Baker, J.M and C.H.M. van Bavel. 1988. Water
transfer through cotton plants
connecting soil regions of differing
water potential. Agron J 80:993–997
Beyrouty, C.A., R.J. Norman, B.R. Wells, N.A.
Slaton, B.C. Grigg, Y.H. Teo, and E.E.
Gbur. 1997. Distribution and dynamics
of the rice root systems. In Abe, J., and
S. Morita (Eds) Root System
Management that Leads to maximize
Rice Yield. JSRR, Tokyo: 14-15
Brooks, J.R, F.C. Meinzer, R. Coulombe, and J.
Gregg. 2002. Hydraulic redistribution of
soil water during summer drought in
two contrasting Pacific Northwest
coniferous forests. Tree Physiol 22:1107–
1117
Caldwell, M.M, and J.H. Richards. 1989.
Hydraulic lift: water efflux from upper
roots improves effectiveness of water
uptake by deep roots. Oecologia 79:1–5
-------------------, T.E. Dawson, and H. Richards.
1998. Hydraulic lift: consequences of
water efflux from the roots of plants.
Oecologia. (113): 151-161.
Carr, M.K.V. and G. Lockwood. 2011. The water
relations and irrigation requirements of
cocoa (Theobroma cacao L): a review.
Exp. Agric. 47(4): 653-676
Dawson, T.E. 1993. Hydraulic lift and water use
by plants: implications for water
balance, performance and plant– plant
interactions. Oecologia 95:565–574
------------.. 1998. Water loss from tree roots
influences soil water and nutrient status
and plant performances. In: Flores HE,
Lynch JP, Eissenstat DM (eds) Radical
biology: advances and perspectives in
the function of plant roots (current
topics in plant physiology no. 18).
American Society of Plant Physiologists,
Rockville, MD, pp 235–250
Ditjen PSP (Prasarana dan Sarana). 2011. edoman
teknis pengembangan irigasi tanah
dangkal dan irigasi tanah dalam.
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 87
Direktorat Pengelolaan Air Irigasi,
Ditjen PSP, Kementerian Pertanian, RI.
23 Hal.
Doorenbos, J. and Kassam. 1979. Yield response
to water. FAO Irrigation and drainage
paper No. 33. FAO-UN, Rome.
Dwyer, C.M., D.W. Stewart, and D. Balchin. 1988.
Rooting characteristics of corn,
soybeans and barley as a function of
available water and soil physical
characteristics. Can.J.Soil Sci. 68:121-132
Emerman, S.H and T.E. Dawson, 1996. Hydraulic
lift and its influence on the water
content of the rhizosphere: an example
from sugar maple, Acer saccharum.
Oecologia 108:273–278
Espeleta J.F, J.B. West, and L.A. Donovan, 2004.
Species-specific patterns of hydraulic
lift in co-occurring adult trees and
grasses in a sandhill community.
Oecologia 138:341–349
Gopalakhrisnan, T.R. 2007. Vegetable crops. New
india Publishing Agency, New Delhi,
India. 341 p.
Gutierrez, M.V. and F.C. Meinzer. 1994.
Estimating water use and irrigation
requirements of coffee in Hawaii. J.
Amer.Soc.Hort.Sci. 119(3): 652-657
Hulupi, R. dan Mulyadi. 2007. Sebaran populasi
nematoda Radopholus similis dan
Pratylenchus coffeae pada lahan
perkebunan kopi. Pelita Perkebunan 23
(3): 176-182
Irawan, B. 2012. Prospek pengembangan tanaman
pangan lahan kering. Dalam: Dariah A.,
B. Kartiwa, N. Sutrisno, K. Suradisastra,
M. Syarwani, H. Suparno, dan E.
Pasandaran (Eds) Prospek pertanian
lahan kering mendukung ketahanan
pangan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian, RI. Hal: 164-186
Jackson, R.B., J.S. Sperry, and T.E. Dawson. 2000.
Root water uptake and transport: using
physiological processes in global
predictions. Trends Plant Sci. 5: 482–
488.
Kasam, F., R. Masaad, T. Sfeir, O. Mounzer, Y.
Rouphael. 2005. Evapotranspiration and
seed yield of field grown soybean under
deficit irrigation conditions. Agric.
Water Management 75(3): 226-244
Kartiwa, B dan A. Dariah. 2012. Teknologi
pengelolaan air lahan kering. Dalam:
Dariah A., B. Kartiwa, N. Sutrisno, K.
Suradisastra, M. Syarwani, H. Suparno,
dan E. Pasandaran (Eds) Prospek
pertanian lahan kering mendukung
ketahanan pangan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian, RI. Hal: 103-122
Kemtan [Kementerian Pertanian]. 2013. Peran
Inovasi Teknologi pada Pembangunan
Ketahanan Pangan Nasional. Bahan
presentasi Kepala Badan Litbang
Pertanian pada Rakornas Ristek 2013.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Kjellbom, P., C. Larsson, I. Johansson, M.
Karlsson, and U. Johanson. 1999.
Aquaporins and water homeostasis in
plants. Trends Plant Sci. 4: 308–314.
Kurnia, U. 2004. Prospek pengairan pertanian
tanaman semusim lahan kering. J. Litb
Pertanian 23(4):130-138.
Kurz-Besson, C., D. Otieno, R. Lobo do Vale, R.
Siegwolf, M. Schmidt, A. Herd, C.
Nogueira, T.S. David, J.S. David, J.
Tenhunen, and J.S. Pereira, and M.
Chaves. 2006. Hydraulic lift in cork oak
trees in a savannah-type Mediterranean
ecosystem and its contribution to the
local water balance. Plant Soil. 282: 361–
378.
Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A.K. Karama,
dan I. Manwan. 1991. Peta agroekologi
utama tanaman pangan di Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor.
---------, G. Irianto, D. Syarifudin, dan L. Istiqlal
Amien. 2000. Pendekatan agroklimat
dalam membangun pertanian tangguh:
status, potensi, kendala, dan teknologi
analisis iklim untuk mengurangi resiko
pertanian. Proseding Seminar Nasional
Sumber daya tanah, Iklim, dan pupuk.
Lido-Bogor, 6-8 Desember. 55-94.
Ludwig, F., T.E. Dawson, H. Kroon, F. Berendse,
and H.H. Prins. 2003. Hydraulic lift in
88 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89
Acacia tortilis trees on an East African
savanna. Oecologia. 134: 293–300.
Minardi, S. 2009. Optimalisasi pengelolaan lahan
kering untuk pengembangan pertanian
tanaman pangan. Pidato pengukuhan
guru besar ilmu tanah pada Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret, 28
Pebruari 2009. 41 Hal.
Oldemen, L.R., I. Las, and Muladi, 1980. The
agroclimatic maps of Kalimantan,
Maluku, Irian Jaya and Bali, West and
east Nusa Tenggara. Contributions no.
60, Central Research Institue for
Agriculture, Bogor. 32 p.
Pandey R.K., W.A.T. Herrera, A.N. Villegas, and
J.W. Pendleton. 1984. Drought response
of grain legumes under irrigation.
American Journal 76(4):557-560
Peña, JI., M. Sánchez-Díaz, J. Aguirreolea, and M.
Becana, 1988. Increased stress tolerance
of nodule activity in the Medicago–
Rhizobium–Glomus symbiosis under
drought. J Plant Physiol 133:79–83
Peixi, S., D. Minguu, A. Aifen, and Z. Xiaojun.
2002. Study on water requirement law
of some crops and different planting
mode in oasis. Agric. Res. Arid Areas
20(2):79-85
Plessis, J.D. 2008. Sorghum production.
Departement Agriculture, Republic of
South Africa. 22 p.
Querejeta, JI., L.M. Egerton-Warburton, and M.F.
Allen, 2007. Hydraulic lift may buffer
rhizosphere hyphae against the
negative effects of severe soil drying in
a California Oak savanna. Soil Biol
Biochem 39:409–417
Richards, J.H. and M.M. Cadwell. 1987.
Hydraulic lift: Substantial noctural
water transport between soil layers by
Artemisia tridentata roots. Oecologia. 73:
486-489.
Salam, M.A., P.B. Pushpalatha, and A. Suma.
1995. Root distribution pattern of
seedling raised cashew tree. J.
Plantation Crops. 23(1): 59-61.
Schenk, HJ., and RB. Jackson, 2002. Rooting
depths, lateral root spreads and below-
ground/above-ground allometries of
plants in water-limited ecosystems. J
Ecol 90:480–494
Schippers, B., M.N. Schroth, and D.C.
Hildebrand. 1967. Emanation of water
from underground plant parts. Plant
Soil. 27: 81–91.
Scholz, FG., S.J. Bucci, G. Goldstein, F.C. Meinzer,
and A.C. Franco. 2002. Hydraulic
redistribution of soil water by
neotropical savanna trees. Tree Physiol.
22: 603–612.
Sekiya, N and K. Yano. 2004. Do pigeon pea and
sesbania supply groundwater to
intercropped maize through hydraulic
lift? Hydrogen stable isotope
investigation of xylem waters. Field
Crops Res. 86: 167–173.
Sen, R. 2000. Budgeting for the wood-wide web.
New Phytol 145:161–165
Smith M., S.S.O. Burgess, D. Suprayogo, and B.W.
Lusiana, 2004. Uptake, partitioning, and
redistribution of water by roots in
mixed-species agroecosystems. In: van
Noordwijk M, Cadisch G, Ong CK (eds)
Below-ground interactions in tropical
agroecosystems – concepts and models
with multiple plant components. CABI,
Oxfordshire, pp 157–170
Subagyono, K., U. Haryati, dan S.H. Tala’ohu.
2004. Teknologi konservasi air pada
pertanian lahan kering. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian. 145-
181
Suradisastra, K. 2012. Peran pemerintah otonom
dalam upaya pemanfaatan lahan
kering. Dalam: Dariah A., B. Kartiwa,
N. Sutrisno, K. Suradisastra, M.
Syarwani, H. Suparno, dan E.
Pasandaran (Eds) Prospek pertanian
lahan kering mendukung ketahanan
pangan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian, RI. Hal: 61-73
Susanto, FX. 1994. Tanaman Kakao: Budidaya
dan Pengolahan Hasil. Kanisius,
Yogyakarta. 185 ha.
Fenomena Pengangkatan Air dan Prospek Pengembangan Bioirigasi .... (JOKO PITONO) 89
van Bavel, C.H.M, and J.M. Baker, 1985. Water
transfer by plant roots from wet to dry
soil. Naturwissenschaften 72:606–607
Wan, C., R.E. Sosebee, and B.L. Mc Michael. 1993.
Does hydraulic lift exist in shallow-
rooted species? A quantitative
examination with a half-shrub
Gutierrezia sarothrae. Plant Soil. 153:
11–17.
Warren, J.M., F.C. Meinzer, J.R. Brooks, J.C.
Domec, and R. Coulombe, 2007.
Hydraulic redistribution of soil water in
two oldgrowth coniferous forests:
quantifying patterns and controls. New
Phytol 173:753–765
West, J.B., J.F. Espeleta, and L.A. Donovan, 2003.
Root longevity and phenology
differences between two-co-occurring
savanna bunchgrasses with different
leaf habits. Funct Ecol 17:20–28
Yang Xiaoguang, H. Huaqi, W. Zhimin, Z.
Junfang, C. Bin, and BAM. Bouman.
2002. Yield of aerobic rice (Han Dao)
under different water regimes in North
China. In Tuong, TP., BAM. Bouman,
and M. Martimer. 2005. More rice, less
water irrigated approaches for
increasing water productivity in
irrigated rice-based system in Asia.
Plant Prod. Sci 8(3): 231-241
Yoder, C.K, and R.S. Nowak. 1999. Hydraulic lift
among native plant species in the
Mojave Desert. Plant Soil. 215: 93–102.
90 Volume 13 Nomor 2, Des 2014 : 75 -89