fariz rizqiawan

download fariz rizqiawan

of 57

Transcript of fariz rizqiawan

PENGANTAR REDAKSIInformasi Kajian Permasalahan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial Volume 12 Nomor 03 tahun 2007 menyajikan tulisan-tulisan menarik yang ditulis oleh peneliti, praktisi maupun akademisi di bidang kesejahteraan sosial. Secara sosiologis, fenomena konflik sosial dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi, yaitu adanya kelas sosial yang disebut dengan pemilik produksi dan kelas sosial yang disebut dengan kelas buruh, dimana mereka memiliki kepentingan berbeda. Kemudian konflik sosial juga dapat terjadi disebabkan adanya penarikan legitimasi pada pihak yang menguasai oleh pihak yang dikuasai, dimana penarikan legitimasi ini berkaitan dengan masalah kesenjangan mobilitas sosial, dan tertumpuk atau terkonsentrasinya asset ekonomi, kekuasaan dan sosial pada orang atau kelompok yang sama. Selanjutnya, konflik sosial dapat terjadi disebabkan tidak berfungsinya struktur atau institusi tertentu, solidaritas atau integrasi sosial. Akhir-akhir ini konflik sosial di berbagai wilayah tanah air cenderung meningkat, baik intensitas dan skalanya. Salah satu bentuk konflik sosial, yaitu konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat. Konflik ini terjadi karena kebijakan pembangunan yang tidak mampu memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan nyata masyarakat. Pemerintah masih cenderung menerapkan pendekatan keamanan (security approach) ketika menyelesaikan masalah dengan masyarakat. Konflik sosial yang berlarut-larut antar kelompok masyarakat tidak akan menyelesaikan masalah. Masyarakat yang berkonflik sosial tidak akan dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang bertumpu pada kekuatan masyarakat sendiri. Padahal, partisipasi dalam pembangunan ini sangat penting, karena mengedepankan keterlibatan penuh masyarakat mulai tahap perencanaan, sehingga kebijakan pembangunan mampu menjawab kebutuhan yang dirasakan masyarakat. Konflik sosial dapat diatasi, salah satunya dengan memberdayakan modal sosial yang ada di masyarakat. Selain mampu mengatasi konflik sosial, modal sosial apabila diberdayakan secara optimal menjadi wahana bagi masyarakat untuk mengatasi kemiskinan. Melalui penguatan modal sosial, orang miskin dapat mengembangkan segenap potensi yang mereka miliki, sehingga dapat mengeluarkan diri dari berbagai keterbatasan, baik secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. Kemiskinan yang ditandai dengan ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sosial dasar, mendorong anak-anak untuk melibatkan diri pada kegiatan ekonomi di jalanan. Anak-anak tersebut kehilangan hak-hak dasarnya yang akan tumbuh mengganggu tumbuh kembang mereka. Menyadari resiko tersebut, sebuah LSM di Jakarta menyelenggarakan program pemberdayaan keluarga miskin sebagai strategi menarik anakanak dari jalanan.

i

Selain sebagai anak jalanan, sebagian anak-anak juga menghadapi persoalan dengan hukum atau berkonflik dengan hukum. Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masa depan bangsa, di Surabaya telah terbentuk jaringan lembaga sosial kemasyarakatan. Jaringan kerja ini telah menyelenggarakan kegiatan pencegahan dan pelayanan secara terpadu terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum.

REDAKSI

ii

KONSEP DASAR KEBERADAAN MASYARAKAT DAN TERBENTUKNYA INTEGRASI SOSIALOetami DewiAbstract. When I start to write this article, I believed that society could be existed while every actors has their relation with others actors, since this happened we could say that the society give many interaction, consensus among the others. Like what Karl Marx, Weber, Durkheim pointed in their research in many areas, I just want to point that we cant avoid the conflict in every situation as conflict itselves bring many consensus among other actors. Functional Structural also said that in society it seems that conflict as an enemy, but in fact its not appear as to clear like conflict describe the situation. Regarding this article, I would like to persue the readers to know deeply about what is society, conflict and the reason why in every society has appeared conflict and why we need social integration. Key word : Social integration, conflict, society.

I.

PENDAHULUAN

Awal dari tulisan ini karena kegelisahan saya akan banyaknya konflik dan masalah yang muncul akhir-akhir ini. Mungkin kita perlu menyadari bahwa sebagai bangsa yang cinta damai ada baiknya kita memahami bagaimana terbentuknya integrasi sosial. Ketiadaan integrasi sosial, paling tidak hingga tingkat atau level tertentu, sama saja dengan ketiadaan masyarakat (society). Dalam tulisan ini saya akan memaparkan masalah di atas menurut pandangan tokoh sosiologi, yaitu Karl Marx, Max Weber, dan Durkheim. Karl Marx Marx berpendapat, bahwa persoalan yang paling mendasar dalam masyarakat adalah masalah produksi. Ini terjadi sebagai akibat dari kenyataan, bahwa hal yang paling pokok bagi kehidupan manusia itu

adalah soal makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan pokok lainnya. Semua itu akan bisa terpenuhi melalui proses produksi. Dalam proses produksi ini, mau tidak mau akan terjadi persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang penting dan terbatas. Akibatnya, terjadilah konflik sosial dimana Marx sangat menekankan masalah konflik sosial ini dalam teorinya. Dalam pandangan Marx, masyarakat kapitalis itu terdiri atas dua kelas sosial utama. Dasar dari kelas sosial ini adalah hubungan terhadap alat produksi (relation to the means of production). Dengan demikian, maka pada masyarakat kapitalis kedua kelas sosial yang utama atau dominan itu adalah kelas pemilik alat produksi (kapitalis) dan kelas buruh (proletar). Kedua kelas ini selalu mempunyai kepentingan (class interest) yang berlawanan (antagonistic), yang menyebabkan terjadinya konflik. Kelas kapitalis ingin tetap menguasai sumberdaya, sedangkan kelas

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

1

buruh tidak menguasai sumberdaya dan ingin merebut sumberdaya tersebut. Berdasarkan uraian singkat di atas, maka secara implisit Marx berpendapat bahwa dalam masyarakat kapitalis, integrasi terjadi karena adanya penggunaan kekuasaan (power, force) oleh kelas dominan atau kelas kapitalis terhadap kelas buruh. Kelas kapitalis dapat melakukan penindasan dan eksploitasi terhadap kelas buruh. Sementara itu, negara (state), dipandang oleh Marx tidak lebih dari alat kaum kapitalis saja untuk melegitimasi posisi mereka saja. Karena itu, bagi Marx masyarakat itu bersifat dinamis dan akan mengalami perubahan atau revolusi, sehingga pada akhirnya mencapai tahap yang stabil yakni masyarakat komunis. Karena kepemilikan dipandang sebagai dasar kelas sosial, maka bagi Marx penghapusan kepemilikan pribadi merupakan syarat bagi terciptanya masyarakat yang ideal. Pada masyarakat komunis ini tidak lagi berdasarkan kekuasaan atau power, melainkan berdasarkan interaksi sesama manusia yang sama (equal), yang saling menghormati dan mengasihi satu sama lainnya. Negara hanya diperlukan untuk kegiatan administrasi belaka. Max Weber Pandangan Weber tentang integrasi sosial nampaknya cukup rumit. Salah satu unsur yang secara implisit dianggap penting oleh Weber adalah soal legitimasi. Legitimasi, misalnya, dipandang Weber sangat penting dalam menciptakan keharmonisan sosial. Jika pihak yang dikuasai (subordinate) menarik (widraw) legitimasinya terhadap penguasa, maka cenderung akan terjadi konflik sosial. Sementara itu, penarikan legitimasi itu sendiri berkaitan pula dengan berbagai masalah lainnya, seperti kesenjangan

(dalam hal ekonomi, politik, dan sosial atau wealth, power, and prestige), sulitnya mobilitas sosial, dan tertumpuk atau terkonsentrasinya ketiga rewards itu (ekonomi, kekuasaan dan sosial) pada orang atau kelompok yang sama. Legitimasi ini juga berkaitan dengan masalah penggunaan kekuasaan. Kekuasaan yang dianggap sah (legitimate) disebut sebagai otoritas (authority). Adanya otoritas ini sangat penting dalam mewujudkan integrasi sosial, termasuk dalam organisasi atau birokrasi. Dalam hal ini, pihak yang dikuasai merasa wajar atau sah saja penggunaan kekuasaan itu oleh si penguasa. Oleh sebab itu, mereka dapat menerima dan memelihara sistem sosial dan masyarakat yang ada. Dalam kaitan dengan otoritas ini, Weber membedakan antara kekuasaan (otoritas) tradisional, karismatik, dan birokratik. Di lain pihak, Weber sebenarnya juga menekankan pentingnya tindakan sosial yang dapat pula diartikan sebagai interaksi sosial. Dalam tindakan sosial ini, makna subjektif (subjective understanding atau meaning) dari masing-masing individu yang berinteraksi itu sangat penting. Tindakan sosial yang didasarkan pada kepentingan (instrumental atau means/ends rationality), misalnya, akan menghasilkan kelompok sosial yang ia sebut sebagai asosiasi, sedangkan tindakan sosial yang berdasarkan nilai-nilai tradisional akan menghasilkan kelompok komunal. Bagi Weber, masyarakat kapitalis atau masyarakat modern yang ditandai oleh dominannya means/ends rationality, akan sangat didominasi oleh birokrasi. Emile Durkheim Durkheim sangat menekankan peranan solidaritas bagi keberlangsungan suatu masyarakat atau integrasi sosial. Bagi Durkheim, masyarakat tradisional diikat

2

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

oleh solidaritas sosial yang disebut solidaritas mekanis (mechanical solidarity), sedangkan masyarakat modern diikat oleh solidaritas sosial organis (organic solidarity). Bagi Durkheim, agar sebuah masyarakat bisa tetap eksis, maka harus ada struktur atau institusi tertentu yang berfungsi untuk menjaga solidaritas atau integrasi sosial itu. Dalam masyarakat tradisional, solidaritas sosial itu terjadi atas dasar kesamaan nilai-nilai dasar yang bersifat primordial, seperti kesamaan suku, agama, dan budaya. Kesamaan inilah yang mengikat setiap anggota kelompok secara otomatis (mekanis). Sementara itu, pada masyarakat modern dimana telah terjadi diferensiasi atau division of labor yang rumit, maka solidaritas itu terbentuk karena masing-masing unit atau individu itu saling membutuhkan satu dengan yang lain. Durkheim menekankan pentingnya sistem nilai seperti agama, norma, dan moral bagi integrasi sosial ini. Di sisi lain, kontrol sosial (punishment, misalnya), juga sangat diperlukan agar tercipta solidaritas kelompok dan selanjutnya integrasi sosial. Disinilah perlunya sistem hukum. Durkheim melihat, bahwa sistem hukum itu merupakan refleksi dari tipe solidaritas; hukum represif: solidaritas mekanik; hukum restitutif: solidaritas organik.

masyarakat itu. Dalam pandangan Parsons, misalnya, ada empat masalah atau needs masyarakat (maupun sistem yang lebih kecil) yang harus dipenuhi agar masyarakat tersebut bisa eksis. Keempat needs tersebut adalah adaptation (A), goal attainment (G), Integrasi (I), dan Latency (L). Untuk suatu masyarakat yang makro (negara), misalnya, fungsi A dipenuhi oleh institusi ekonomi, fungsi G oleh pemerintah/politik, fungsi I oleh sistem hukum, dan fungsi L oleh keluarga, pendidikan, dan agama. Pandangan Parson ini mempunyai akar dari para tokoh fungsionalisme klasik khususnya Spencer dan Malinowski. Apabila seluruh komponen AGIL ini berjalan dengan baik, maka akan tercipta keseimbangan sosial (social equilibrium), yang sama saja dengan integrasi sosial yang harmonis. Dalam paradigma ini pula, norma, nilai-nilai, dan konsensus dipandang sangat penting bagi keberlangsungan suatu masyarakat. Oleh sebab itu, masalah sosialisasi, internalisasi, dan kontrol sosial menjadi krusial pula bagi eksistensi dan keberlanjutan masyarakat. Pandangan Konflik Secara umum teori konflik memandang masyarakat itu merupakan arena perjuangan. Setiap orang dan kelompok mempunyai interest dan berupaya mewujudkannya. Karena itu, konflik akan selalu ada dalam masyarakat. Selanjutnya, secara umum dapat dikatakan bahwa teori konflik menekankan peranan kekuasaan (power) dalam menciptakan integrasi sosial, atau yang memungkinkan masyarakat itu tetap ada. Oleh sebab itu, dalam pandangan teori konflik, integrasi sosial itu bersifat temporer atau sementara, dimana kelompok yang dominan berhasil mempertahankan kekuasaannya dan keberlangsungan masyarakat yang ada. Setiap waktu, kesatuan ini terancam dan bisa

II.

KONSEP MASYARAKAT

Fungsionalisme Struktural Paradigma ini memandang masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri atas unit atau bagian yang saling terkait dan tergantung satu sama lain. Selanjutnya, fungsionalisme structural memandang, bahwa masyarakat itu hanya mungkin ada dan berlanjut apabila ada struktur atau institusi tertentu dalam masyarakat yang berfungsi untuk memenuhi needs dari suatu

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

3

runtuh manakala kelompok kekuatan yang tertindas berhasil menghimpun kekuatan dan melawan kelompok atau kelas yang dominan. Dalam teori konflik, ide-ide atau ideologi dan norma dipandang sebagai alat (weapon) kaum penguasa (dominant class) untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri atau sistem sosial yang timpang (unequal) itu. Di sini kita mengenal jargon-jargon seperti hegemony, dan ruling idea is the idea of the ruling class. Pertukaran Sosial Paling mendasar dari teori ini, bahwa masyarakat ada karena terjadi pertukaran sosial antara berbagai aktor dalam masyarakat. Tanpa adanya pertukaran sosial, maka integrasi sosial atau masyarakat tidak akan bisa eksis. Malinoski, misalnya menunjukkan bahwa ritual yang disebut kula ring, yakni pertukaran gelang dan kalung, berfungsi untuk menciptakan dan memelihara solidaritas dan integrasi sosial pada masyarakat kepulauan yang ia teliti. Pertukaran itu sendiri terjadi karena adanya apa yang disebut Blau sebagai social attraction. Setiap individu mempunyai resource tertentu dan saling membutuhkan satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, maka terjadilah pertukaran sosial antar berbagai individu tersebut. Pertukaran juga terjadi pada tingkat yang lebih makro, baik antar kelompok maupun institusi. Pertukaran sosial ini menciptakan jaringan sosial (social network) bahkan merupakan cikal bakal munculnya norma, struktur atau institusi itu sendiri. Adapun rewards yang bisa diperoleh dari pertukaran ini bisa berupa material, tapi bisa juga non-material seperti pertemanan, respect, esteem, cinta, dan sebagainya.

Interaksionisme Simbolik Paradigma ini sangat menekankan interaksi antar individu atau aktor sebagai proses paling mendasar yang membentuk suatu masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat ada, karena ada interaksi simbolik yang terjadi antar individu manusia. Tanpa interaksi sosial, mustahil society bisa eksis dan berkelanjutan. Sementara itu, mereka menekankan, bahwa interaksi itu sendiri terjadi dengan menggunakan simbol-simbol, seperti bahasa, gerak-gerik tubuh, gambar, dan sebagainya. Pendeknya, interaksi sosial terjadi dengan pemakaian simbol atau tanda-tanda (oleh sebab itu disebut interaksi simbolik). Penggunaan simbol dalam berinteraksi ini memungkinkan para aktor itu mempunyai common understanding atau definisi situasi yang kurang lebih sama. Kesamaan cara pandang ini sangat penting dalam menciptakan solidaritas dan integrasi sosial. Dalam berinteraksi ini, mereka menekankan pentingnya role taking. Interaksi sosial akan berjalan lancar manakala masing-masing individu yang berinteraksi itu dapat melakukan role taking, yang mengandung pengertian antara lain menempatkan diri pada posisi orang lain, atau memahami dari kacamata orang lain. Dengan kemampuan role taking ini maka setiap individu dapat melakukan tindakan yang cocok (proper), sehingga interaksi berjalan dengan baik.

III. PENUTUPKonsep dasar masyarakat dan integrasi sosial tidak bisa dilepaskan dari perjalanan terbentuknya masyarakat itu sendiri. Konflik tidak harus selalu dimaknai

4

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

buruk tapi sebaiknya dipakai sebagai penyeimbang didalam memaknai suatu keadaan. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang benar-benar harmonis dan tanpa konflik, kecuali masyarakat itu sendiri sudah tidak ada lagi. Memandang dari pengalaman dan tulisan yang ada tampaknya ke tiga tokoh besar sosiologi ini berusaha memaknai masyarakat sebagai suatu kehidupan dan keadaan yang dinamis, wajar jika Karl Marx gelisah dengan persoalan mendasar dalam masyarakat yakni faktor produksi dan hubungan didalamnya, serta terbentuknya kelas dalam masyarakat, dan melihat bahwa kepemilikan dipandang sebagai dasar kelas sosial. Max Weber dalam tindakan sosial memaknai subjective understanding atau meaning dari masing-masing individu yang berinteraksi itu sangat penting karena tindakan sosial yang didasarkan pada kepentingan (instrumental atau means/ends rationality), hanya akan menghasilkan kelompok sosial yang ia sebut sebagai asosiasi, sementara tindakan sosial yang berdasarkan nilai-nilai tradisional akan menghasilkan kelompok komunal. Dan menurutnya masyarakat kapitalis atau masyarakat modern yang ditandai oleh dominannya means/ends rationality, akan sangat didominasi oleh birokrasi. Sementara Durkheim sangat menekankan peranan solidaritas bagi keberlangsungan suatu masyarakat atau integrasi sosial. Dengan memaknai pandangan ke tiga tokoh besar tersebut kita bisa melihat bahwa terbentuknya dan hancurnya masyarakat bisa dimaknai melalui pandangan-pandangan tersebut, meskipun untuk kondisi saat ini dimungkinkan sekali sudah mulai berkurang relevansinya, tapi paling tidak pemaknaan sebagai awal dari masyarakat itu sendiri bisa dipakai sebagai pisau untuk alat analisa keadaan sekarang yang serba dibalut romantisme keharmonisan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKATurner, Jonathan H, 1998, The Structure of Sociological Theory. United States of America: Wadsworth Publishing Company. Farganis, James, 2004, Reading in Social Theory, The Classic Traditional to PostModernism. New York: McGraw-Hill. Mohan, Giles, Ed Brown, Bob Milward And Alfred B.Zak-Williams, 2000, Structural Adjusment, Theory, Practice And Impacts. London: NewYork, Routledge.

DR. Oetami Dewi, M.Si. Doktor Sosiologi dari Universitas Indonesia. Bekerja pada Biro Perencanaan, Departemen Sosial RI. Aktif mengikuti dan menjadi pembicara seminar/diskusi ilmiah di dalam maupun di luar negeri tentang pembangunan kesejahteraan sosial.

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

5

BIROKRASI DAN KEDAMAIAN SOSIALRevitalisasi Birokrasi dalam Resolusi Damai Konflik SosialSuradiAbstract. Conflict as a social phenomena is never ending in human history. Moreover for the plurality in Indonesian people, conflict is a potential condition as a trigger to social conlict. In Sociologist, the factor of social conflict are caused by treatened for the resource access, basic human right among the people, or maybe people and the government. Conflict social among people and government could be happened since the public policy and development program didnt have affirmative action to community welfare. Thus we need government bureaucracy revitalitation to reform the model and development approach to the community welfare, for arising social peaceful life. Key word : social conflict, bureaucracy, social peaceful.

I.

PENDAHULUAN

Persoalan bangsa yang sampai saat ini masih seringkali terjadi di berbagai wilayah di Indonesia adalah konflik sosial. Fenomena sosial ini terjadi silih berganti, dari satu daerah ke daerah lain. Satu kasus belum juga diselesaikan secara permanen, kasus baru sudah terjadi. Oleh karena itu, konflik sosial ini telah banyak menyita waktu, pikiran dan anggaran negara. Sementara itu pada saat yang sama negara dihadapkan dengan kasus kemiskinan dan busung lapar yang juga perlu perhatian serius karena mengancam kelangsungan hidup banyak jiwa. Secara sosiologis, terjadinya konflik sosial ini sebagai fenomena yang wajar, karena konflik sebagai proses yang dilalui dalam setiap jaman untuk mencapai perubahan pada taraf kehidupan manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Paul Wehr (Miall, Oliver and Tom, 2002), bahwa dilihat

dari segi proporsi sentral, konflik merupakan pembawaan sejak lahir pada binatang sosial; konflik ditimbulkan oleh sifat masyarakat dan cara mereka dibentuk; dan bahwa konflik merupakan proses alami yang umum bagi semua masyarakat. Meskipun demikian, konflik juga akan menjadi bencana yang membawa dampak kehancuran pada masyarakat yang berkonflik, apabila konflik yang terjadi tidak terkendali dan menggunakan caracara kekerasan. Contoh konflik dimaksud seperti yang pernah terjadi di Sambas, Sampit, Ambon, Poso maupun NAD. Sebagaimana dikemukakan seorang pendeta di Singkawang (Suradi, 2005), bahwa akibat konflik sosial dengan caracara kekerasan tersebut ratusan jiwa manusia menjadi korban sia-sia, selain kerugian harta benda. Ratusan anak tidak berdosa kehilangan orangtuanya, dan menjalani kehidupan di panti-panti sosial.

6

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

Kemajemukan bangsa, selain merupakan sumber daya sosial, pada kenyataannya juga merupakan salah satu kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik sosial di Indonesia. Isu yang terkait dengan itu adalah semakin longgarnya rasa kebangsaan dan lunturnya nilai-nilai serta kearifan lokal pada masyarakat. Sebaliknya, semakin menguatnya gagasan yang berkaitan dengan kesukuan dan kedaerahan, misalnya dalam pemilihan kepala daerah atau pimpinan instansi pemerintah daerah. Kondisi ini sebenarnya merupakan bahaya laten, dan pada saatnya nanti akan terjadi konflik sosial secara terbuka sebagai bentuk perlawanan dari kelompok masyarakat yang merasa tidak memperoleh hak-hak dasarnya. Berbagai media massa hampir setiap hari melaporkan terjadinya konflik sosial, baik antar kelompok masyarakat (konflik horizontal) maupun masyarakat dengan pemerintah (konflik vertikal). Pada konflik antar kelompok masyarakat, konflik yang terjadi bisa benar-benar murni bersumber dari kelompok masyakarat, tetapi bisa juga terjadi karena ada intervensi dari oknum-oknum birokrasi pemerintah. Permasalahannya, bahwa bentuk konflik ini lebih banyak menggunakan cara-cara kekerasan, sehingga mengakibatkan kerugian harta milik dan jiwa manusia. Konflik dengan cara kekerasan ini mencerminkan betapa masih rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik dari pihak masyarakat maupun dari unsur birokrasi pemerintah. Menurut perspektif psikologi, bahwa sumber daya manusia yang berkualitas dicerminkan dengan kecerdasan, budi pekerti atau akhlak mulia dan solidaritas sosial. Dikemukakan oleh Azar (lihat Miall, Oliver and Tom, 2002), sumber-sumber terjadinya konflik sosial yang berlarut-larut (Protected Social Conflict PSC), karena

adanya perampasan kebutuhan manusia. Kegagalan penguasaan mengatasi masalah ini memperbesar terjadinya konflik sosial yang berlarut-larut. Tidak seperti kepentingan, kebutuhan manusia bersifat antologis dan tidak dapat dinegosiasikan, sehingga konflik muncul yang bersifat kejam, keras dan irrasional. Menurut Azar, kebutuhan keamanan, pengembangan, akses politik, dan identitas (ekspresi budaya dan religius), berhubungan dengan hak dasar, untuk mencari nafkah dan kebebasan. Artinya, apabila kondisi tersebut tidak dapat dipenuhi, maka terjadinya konflik sosial tidak dapat dihindari lagi. Berdasarkan pemikiran tersebut, konflik bisa bersumber dari birokrasi berkaitan dengan kebijakan dan program yang belum menyentuh pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Selama masih ada kesenjangan antara pemenuhan dan hak-hak dasar masyarakat dengan kebijakan birokrasi, maka selama itu pula sulit mewujudkan kedamaian sosial.

II.

PERILAKU BIROKRASI DAN PEMBANGUNAN SOSIAL

Birokrasi dapat dipahami sebagai serangkaian jabatan dan tugas yang diorganisasikan secara formal yang dikaitkan dengan perincian yang hirarkhis, serta berada di bawah peraturan yang juga formal. Birokrasi dalam pengertian ini paling banyak dipraktekkan pada pemerintah. Maka tidak dapat terelakkan, birokrasi selalu dikonotasikan dengan pemerintah (Soetrisno, 1995). Pandangan masyarakat, bahwa birokrasi itu adalah (dikonotasikan) pemerintah membawa implikasi pada sikap dan perilaku masyarakat terhadap pemerintah. Kesalahan yang terjadi di jajaran birokrasi dilihat oleh masyarakat sebagai kesalahan pemerintah, dan begitu sebaliknya.

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

7

Berbagai literatur akhirnya mengakomodasi berbagai pemikiran dan pandangan ini, bahwa birokrasi yang dimaksud yaitu pemerintah atau eksekutif. Dalam tulisan ini pun digunakan istilah birokrasi untuk mendeskripsikan prosesproses dan hasil kerja yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam rangka mendalami konflik sosial di Indonesia yang dikaitkan dengan birokrasi, perlu melihat ke belakang apa yang pernah dilakukan oleh birokrasi, terutama menyangkut pilihan strategi pembangunan. Pengalaman Indonesia selama lebih 30 tahun merupakan guru yang bijak. Pendekatan pembangunan yang dipilih pemerintah masa Orde Baru, yakni bersifat sentralisitis, top-down atau dominasi pada birokrasi pemerintah dan sarat dengan pendekatan keamanan (security approarch); pada kenyatannya membawa pengaruh yang kurang menguntungkan bagi kehidupan masyarakat, khususnya secara sosio-kultural maupun politik. Birokrasi pemerintah masa Orde Baru memilih strategi pertumbuhan pada awal pelaksanaan pembangunan, dan kemudian dikoreksi dengan strategi pemenuhan kebutuhan dasar, meskipun masih ada prioritas di bidang ekonomi. Pilihan strategi ini pada kenyataannya tidak mampu menciptakan kedamaian yang hakiki dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultur. Sebaliknya, sebagian kebijakan pembangunan semakin mengurangi kohesivitas sosial dalam kehidupan masyarakat, antara lain ditandai dengan semakin longgarnya ikatan masyarakat terhadap nilai-nilai dan kearifan lokal. Dikemukakan oleh Korten (Moelyarto, 1995), bahwa pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui centrally imposed blueprint plan, yang dirumuskan oleh teknokrat, dan alokasi sumber pembangunan yang

sentralistis cenderung mengkerdilkan (to cripple) potensi masyarakat. Kecenderungan menerapkan pendekatan pembangunan yang demikian, menumbuhkan hubungan ketergantungan antara rakyat dengan birokrat. Karena itu sifatnya menjadi disempowering, menekan kemampuan masyarakat untuk mengaktualisasikan kemampuannya. Fleksibilitas dan arus komunikasi menjadi terhambat, dan birokrasi menjadi sangat kaku dan lamban. Hal ini sebagai wujud terjadinya bias-bias pemikiran pada administrator pembangunan di Indonesia, yang menurut Bryant dan White (1989) merupakan bukti terjadinya phatologi birokrasi. Indikasi terjadinya phtologi birokrasi ini, yaitu (1) terpisahnya organisasi pemerintah dengan lembaga lain dari masyarakat dan dari tujuan tradisional; (2) kecenderungan birokrasi untuk menjadi kaku dan rutin. Organsiasi hirarkhis cukup kuat menekan para anggota agar berdisiplin, mendefinisikan loyalitas dalam hubungannya dengan ketaatan terhadap peraturanperaturan; dan (3) semua keputusan dibuat di puncak, dan dengan demikian mengurangi otoritas pada pejabat dalam berbagai tingkatan. Terjadinya konflik sosial mencerminkan, bahwa negara tidak mampu memuaskan atau mengecewakan keinginan dasar individu dan kelompok identitas. Sebagaimana dikemukakan Azar (Miall, Oliver and Tom, 2002), kebanyakan negara yang mengalami konflik sosial yang berlarut-larut cenderung dicirikan oleh pemerintahan yang tidak mampu, picik, rapuh dan otoriter yang gagal memenuhi kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, menurut Drucker (Ginanjar, 1996) dalam bukunya Management : Task, Responsibilitas, Practices, apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyarakat, hendaknya jangan dilakukan oleh

8

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

pemerintah. Pemikiran Drucker ini diperkuat oleh Gidden (1999), di mana ia tidak percaya bahwa perubahan ke arah masyarakat yang lebih adil dapat dicapai dengan meningkatkan peran negara. Gidden menunjukkan bukti empiris yang jelas tentang gagalnya rezim komunis di Uni Soviet, Eropa Timur, dan Republik Rakyat Cina. Kemudian dalam pembahasan Negara dan Civil Society, Gidden menegaskan kembali, bahwa isunya bukan peranan pemerintah yang lebih besar atau lebih kecil, tetapi adanya pengakuan bahwa pemerintah harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru abad global, dan bahwa otoritas, termasuk legitimasi negara harus diperbaharui secara aktif. Menurut Bowman dan Hamton (Supriyatna, 1997), munculnya tuntutan debirokratisasi, desentralisasi, dekonsentrasi, devolusi dan privatisasi dikarenakan ketidakpedulian pemerintah pusat untuk melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan pembangunan sampai ke daerah. Pemikiran Bowman dan Hamton ini diperkuat oleh Bintoro (1992), bahwa adanya tuntutan tersebut karena aktivitas pembangunan tidak mengembangkan keswadayaan dan keswakaryaan masyarakat. Berbagai pemikiran tersebut dapat menjadi alat untuk melihat bagaimana birokrasi di Indonesia memilih model dan strategi pembangunan, dikaitkan dengan terjadinya konflik sosial. Selain itu juga dapat menjadi inspirasi bagi birokrasi untuk mengembangkan model dan strategi pembangunan yang menjamin kedamaian sosial bagi seluruh rakyat. Visi pembangunan kesejahteraan sosial yang di dalamnya termasuk kedamaian sosial, bahwa kesejahteraan sosial menjadi hak semua orang dalam semangat social welfare for all. Meskipun negara tidak menganut model welfare state murni, namun menjadi kewajiban negara untuk

mewujudkan kesejahteraan sosial sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945.

III. KONFLIK BIROKRASI DENGAN MASYARAKATKonflik sosial yang akhir-akhir ini seringkali terjadi, adalah konflik antara birokrasi dengan masyarakat. Contohnya, konflik sosial antara birokrasi dengan masyarakat di DKI Jakarta pada kasus pembebasan lahan untuk jalan tol dalam kota, relokasi korban kebakaran rumah penghuni di bawah jalan tol, rehabilitasi sungai Ciliwung di Jakarta, dan penggusuran terhadap penghuni liar di lahan pemerintah. Selain itu, hampir di semua daerah konflik sosial pada penertiban pedagang kaki lima (PKL) , dan konflik antara birokrasi dengan komunitas adat terkait dengan hak-hak ulayat. Apabila fenomena konflik sosial tersebut dilihat dari perspektif teoritis, situasi ini menggambarkan pemilihan kebijakan birokrasi yang tidak tepat. Atau sekurang-kurangnya ada intervensi oleh oknum dalam suatu birokrasi yang mempengaruhi pilihan kebijakan, sehingga kebijakan yang dirumuskan tidak tepat. Hal ini menegaskan, bahwa birokrasi mengalami phatologi dan terjadinya biasbias pemikiran pada para administrator. Kondisi yang dapat diamati adalah pendekatan keamanan dan ketertiban lebih dominan (security approarch), dibandingkan dengan pendekatan kesejahteraan (prospority approarch), seperti yang pernah diterapkan pada era Orde Baru. Pendekatan ini tentu saja tidak efektif, karena pada prakteknya menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks, seperti: hilangnya tempat tinggal, hilangnya sumber nafkah, tidak diperoleh pelayanan sosial dan hak-hak dasar untuk kelangsungan hidup masyarakat (korban).

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

9

Di sisi lain, warga yang mendiami lahan terlarang atau membangun rumah liar, diwajibkan membayar pajak bumi dan bangunan (PBB), membayar bea pemasangan dan pemakaian listrik resmi (PLN) dan air (PDAM) serta bagi PKL membayar retribusi. Mereka yang memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut telah bertahun - tahun membangun jejaring kerja secara luas, baik di bidang ekonomi maupun sosial; dan bahkan sudah tiga generasi menempati lahan tersebut. Setelah bertahun-tahun kewajiban dipenuhi, atas nama pembangunan mereka harus meninggalkan lahan usaha maupun tempat tinggalnya, dan menjalani hidup dalam ketidakpastian. Maka dari itu, konflik sosial antara birokrasi dengan masyarakat tidak dapat dihindari, disebabkan adanya ancaman terhadap sumber nafkah, kelangsungan hidup dan hak-hak dasar pada masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Azar terdahulu, bahwa konflik sosial antara birokrasi dengan masyarakat merupakan situasi yang tidak dapat dicegah, meskipun sebenarnya tidak dikehendaki. Konflik antara birokrasi dengan masyarakat akhirnya menjadi fakta sosial yang ada dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Selama birokrasi masih mengedepankan pendekatan keamanan dan ketertiban, maka selama itu pula konflik sosial antara birokrasi dengan masyarakat akan terus terjadi, dan tidak akan pernah berakhir. Dampaknya cukup luas, yaitu kerugian pada masyarakat, dan kerugian yang harus dibayar oleh pemerintah, baik karena kerusakan sarana prasarana maupun perginya investor ke luar negeri karena merasa tidak aman. Situasi ini menggambarkan, bahwa konflik sosial yang terjadi di tanah air, dampaknya tidak hanya dirasakan secara lokal tetapi berdampak luas secara nasional. Dilihat dari

kurun waktunya, dampak konflik sosial tidak hanya dalam jangka pendek, tetapi juga akan dirasakan dalam jangka panjang dan bersifat laten. Hal ini yang perlu dipahami oleh birokrasi, dan menjadi pertimbangan ketika sebuah kebijakan diimplementasikan di masyarakat.

IV. REVITALISASI BIROKRASI UNTUK KEDAMAIAN SOSIALIstilah revitalisasi, menurut Kamus Bahasa Indonesia (Wojowasito, 1987), berarti menghidupkan kembali atau menguatkan kembali. Atas dasar pengertian ini, maka pengertian revitalisasi dalam konteks birokrasi, dipahami dalam pengertian reposisi dan reorientasi fungsi dan peranan birokrasi dalam pembangunan. Dalam pengertian ini, bagaimana seharusnya birokrasi mendistribusikan kekuasaan dan sumber-sumber yang dimiliki, untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Dengan demikian dominasi birokrasi pemerintah dalam kebijakan maupun program, akan menjadi berkurang secara proporsional. Birokrasi menyerahkan sebagian kekuasaan dan sumber-sumber yang dimiliki kepada masyarakat, kemudian mengambil posisi dan peranan sebagai fasilitator dan regulator. Dalam kerangka ini birokrasi tetap diperlukan untuk menetapkan standar dan normanorma yang mengatur perilaku masyarakat. Sebagimana dikemukakan oleh Wilson (Ginanjar, 1996) dalam bukunya Bureaucracy : What Government Agencies Do and Why They Do it, bahwa birokrasi tetap diperlukan, tetapi harus tidak birokratis. Konflik sosial merupakan fenomena yang multidimensi. Banyak kondisi yang melatarbelakangi terjadinya konflik sosial ini, yaitu: faktor ekonomi, sosial, budaya, politik, agama dan lingkungan. Faktor-

10

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

faktor tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi satu sama lain saling berkaitan. Pada beberapa kasus seringkali sulit diketahui akar utama penyebab konflik sosial, karena faktor-faktor tersebut telah membangun jejaring yang kompleks. Oleh karena itu, penyelesaian konflik sosial tidak dapat dilakukan oleh satu atau dua instansi pemerintah. Tetapi berbagai instansi perlu secara bersama-sama melakukan tindakan nyata menangani konflik sosial tersebut sesuai dengan bidangnya masing-masing. Sebagai contoh, Departemen Sosial memiliki program bantuan sosial bagi korban bencana sosial (termasuk di dalamnya korban konflik sosial), program kajian ketahanan sosial masyarakat dan program penyuluhan sosial bagi masyarakat di daerah rawan konflik sosial. Meskipun ketiga program ini memiliki tujuan khusus yang berbeda, namun tujuan umumnya adalah sama, yaitu terwujudnya kedamaian sosial. Program ini tentu akan lebih efektif apabila disinergikan. Membangun sinergi ini mudah dalam tataran teori, akan tetapi sangat sulit dalam tataran praktis. Sinergitas program pembangunan akan dapat terwujud, apabila birokrasi memiliki komitmen dan amanah untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Pemahaman terhadap hakikat dan karakterisitik konflik sosial sangat penting, dalam upaya menemukan akar masalah dan anatomi konflik sosial tersebut. Pemahaman ini akan menjadi dasar untuk menetapkan sumber daya yang tersedia, dan sumber daya yang diperlukan guna menangani konflik sosial. Pemahaman ini juga menjadi dasar bagi birokrasi untuk melakukan revitalisasi secara luas terhadap fungsi dan peranannya dalam penyelenggaraan pembangunan, khususnya dalam rangka mewujudkan kedamaian sosial.

Berdasarkan pemikiran di atas, revitalisasi birokrasi dalam upaya mewujudkan kedamaian sosial dimulai dari: Pertama, pemilihan model dan pendekatan pembangunan yang berpihak kepada kepentingan dan hajat hidup masyarakat. Model buttom-up dan pendekatan kesejahteraan (prospority approach), merupakan model dan pendekatan yang tepat dalam mewujudkan kedamaian sosial, karena model dan pendekatan ini bertumpu pada kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat. Model ini akan mampu membangun kohesivitas sosial yang kuat antar kelompok masyarakat, maupun masyarakat dengan birokrasi, dan mendorong berkembangnya partisipasi masyarakat di berbagai bidang pembangunan. Pemilihan model dan pendekatan pembangunan ini hendaknya sudah menjadi komitmen nasional, dan telah melembaga pada semua instansi sektoral di pusat maupun di daerah. Di dalam model dan pendekatan tersebut secara tegas ditetapkan standar operasional yang harus diikuti oleh para administrator pembangunan. Kedua, visi welfare for all menyangkut hak dasar masyarakat, dan birokrasi hendaknya mampu menterjemahkan visi itu ke dalam kebijakan publik yang responsif terhadap hajat hidup masyarakat. Misalnya, kebijakan publik yang berkaitan dengan kenaikan tarif dasar listik, kenaikan harga BBM, kesehatan (obatanobatan), pendidikan, kenaikan harga kebutuhan pokok (terutama beras dan minyak goreng), dan penggusuran tempat usaha (PKL) maupun penguasaan tanah adat.

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

11

Ketiga, program-program kesejahteraan sosial perlu ditelaah kembali, terutama yang berkaitan dengan konsep dan implementasinya. Isu yang seringkali mengemuka terkait dengan programprogram sosial, seperti : bantuan sosial tidak sesuai kebutuhan nyata klien, prosedur bantuan birokratis, pendistribusian bantuan tidak tepat sasaran, pelayanan sosial bersifat pukul rata dan terjadi ketidakadilan. Terkait dengan ketiga hal di atas, maka perlu ada perubahan perilaku birokrasi, baik di pusat maupun di daerah, sehingga tujuan fungsional program dapat tercapai secara optimal. Kajian-kajian terhadap kebutuhan nyata (real need) masyarakat perlu dilakukan dengan benar, karena data dan informasi yang dihasilkan melalui kajian itu berkaitan dengan jenis bimbingan, pelayanan dan bantuan sosial yang akan didistribusikan kepada masyarakat. Kegiatan monitoring dan evaluasi juga perlu dilakukan dengan serius oleh pihak independen, guna memperoleh data dan informasi yang obyektif terkait dengan kinerja program yang dilaksanakan. Pemikiran revitalisasi birokrasi tersebut akan menjadi dokumen di atas kertas, dan akan tetap menjadi sebuah wacana politik pembangunan sosial, apabila tidak ada kemauan politik di lingkungan birokrasi untuk berubah. Jika demikian, maka bangsa ini tidak akan bisa berharap banyak terjadinya kedamaian sosial di negeri ini.

DAFTAR PUSTAKABryant, Louise and G. White, 1989, Manajemen Pembangunan di NegaraNegara Berkembang, Jakarta: LP3ES. Gidden, Anthony, 1999, The Third Way/Jalan Ketiga: Pembaruan Demokraasi Sosial (Ketut Arya Mahardika: peterjemah), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dengan Pemerataan, Jakarta: CIDES. Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham and Tom Woodhouse, 2002, Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras (Tri Budhi Satrio: penterjemah), Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Moelyarto, Tjokrowinoto, 1995, Politik Pembangunan: Sebuah Analisis, Konsep, Arah dan Strategi, Tiara Wacana: Yogyakarta. Soetrisno, Loekman, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta: Kanisius Press. Supriyatna, Tjahya, 1997, Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan, Bandung: HUP-Press. Suradi, 2003, Pemberdayaan Birokrasi dan Masyarkat : Revitalisasi Fungsi Dan Tugas Birokrasi Pemerintah dalam Pembangunan Masyarakat, INFORMASI, Volume 8 Nomor 4 Tahun 2003, Jakarta: Puslitbang Kesejahteraan Sosial.

12

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

, 2005, Pelayanan dan Perlindungan Anak di Kalimantan Barat (tidak diterbitkan). Tjokroamidjojo, Bintoro, 1992, Perspektif Pembangunan Menjelang Tahun 2000 dan Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaya AR, Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan: Perkembangan teori dan Penerapan, LP3ES : Jakarta. Wojowasito, 1987, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia.

Drs. Suradi, M.Si. Magister Sosiologi kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial dari Universitas Indonesia. Peneliti Madya bidang kepakaran Kebijakan Sosial. Ketua dewan redaksi INFORMASI, anggota penilai peneliti instansi, ketua tim penelitian, anggota tim teknis pemberdayan sosial KAT; aktif menulis di berbagai jurnal dan majalah ilmiah bidang kesejahteraan sosial.

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

13

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DI PEDESAANTelaahan atas tulisan David C. KortenBadrun SusantyoAbstract. Participation is like a small coin, one side to assume the shape of participation with their whole and the other side to show the spirit of participation. Community participation are a develop paradigm to focusing the involved of community, beginning from planning. Community participation has an opportunity to influence the policy of development, to answered what the people needed. Through the participation, people knowing their problem and how to solved. Besides it, they have resources to improved their live good. Key words : Participation, local community, rural development.

I.

PENDAHULUAN

Dalam tulisannya tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan di Perdesaan, David C. Korten mengulas tentang pentingnya partisipasi aktif yang penuh kesadaran dari masyarakat dalam setiap program pembangunan di perdesaan. Korten menunjukkan 3 (tiga) contoh keberhasilan program pembangunan perdesaan dengan basis partisipasi masyarakat, yang sebelumnya didahului kegagalan-kegagalan. Ketiga contoh kasus keberhasilan program pembangunan perdesaan dengan basis partisipasi masyarakat tersebut adalah: 1) Kasus pada Badan Pengembangan Produk Susu Nasional India (National Dairy Development Board/NDDB); 2) Komite Pembangunan Pedesaan Bangladesh (BRAC) dan; 3) Pelayanan Keluarga Berencana Berbasis Desa di Thailand. Keberhasilan yang dicapai oleh ketiga contoh kasus tersebut merupakan anti klimaks atas kejenuhan masyarakat akan

penyelenggaraan program pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Kejenuhan ini bisa saja berasal dari adanya pelanggaran etis normatif oleh para pelaksana dalam organisasi pembantu, masyarakat sebagai sasaran program merasa tidak atau kurang dilibatkan, sehingga menggores minat serta adanya ketidaksesuaian dengan nilai maupun tradisi setempat. Atau masyarakat merasa program pembangunan yang dijalankan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Di sini terlihat, bahwa partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan merupakan hal strategis. Dengan demikian, dalam setiap pembangunan (terlebih pada area perdesaan), amatlah penting menggali kembali aspek-aspek strategis dari partisipasi masyarakat. Karena hal ini akan semakin mempermudah proses belajar bagi para perencana dan pelaksana pembangunan dalam memahami segenap aspek strategis dari partisipasi masyarakat.

14

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

Ulasan Korten menjadi menarik, manakala kita mencermati pada programprogram pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan di Indonesia selama ini. Meskipun belum pernah dilakukan evaluasi menyeluruh atas semua kegiatan pemberdayaan masyarakat, boleh jadi pihak-pihak terkait akan mengklaim program yang telah dikemas sedemikian rupa berhasil mencapai tujuan. Namun sejauhmana pengukuran tingkat keberhasilan program itu dan ketepatan paramaternya, masih perlu dikaji ulang.

II.

PARTISIPASI MASYARAKAT

Dalam mendefinisikan partipasi masyarakat perlu dilakukan dengan hatihati, karena istilah partisipasi masyarakat memiliki pengertian yang relatif dan dapat dimasuki oleh berbagai kepentingan. Ada tiga variasi dalam pelaksanaan partisipasi. Pertama, pendapat bahwa perencanaan ekonomi harus dilaksanakan oleh para ahli. Konsumsi pada waktu sekarang perlu dikorbankan demi penanaman modal di masa datang, dan karena itu kebijaksanaan yang paling tepat untuk mencapai itu haruslah dilaksanakan oleh suatu pemerintahan yang otoriter tapi progresif, yang bebas dari tekanan umum. Partisipasi masyarakat diperlukan disini, tetapi lebih dalam bentuk mobilisasi untuk mendukung program pemerintah. Kedua, partisipasi dibangkitkan oleh pemerintah tetapi secara terbatas (limited political participation). Untuk mendukung program perdesaan partisipasi perlu didorong, tetapi partai politik tetap tidak diizinkan. Pemerintah membutuhkan dukungan rakyat, tetapi membatasi partisipasi mereka. Ketiga, partisipasi dilaksanakan dalam skala penuh (full scale participation). Dalam partisipasi skala penuh ini rakyat diperbolehkan untuk ikut dalam pembangunan di berbagai tingkatan (Weiner dalam Rahardjo, 1989). Oleh karena

itu, mereka mempunyai peluang untuk mempengaruhi jalannya kebijakan pembangunan dan mengajukan tuntutan perbaikan nasib. Selanjutnya, Bintoro Tjokroamidjojo (Rahardjo, 1986) mengemukakan pengertian partisipasi dalam hubungannya dengan proses pembangunan, bidang ekonomi khususnya, yaitu : 1) keterlibatan dalam penentuan arah, strategi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini bukan saja berlangsung dalam proses politik, tetapi juga dalam proses sosial yaitu hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat; 2) keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan dalam bentuk sumbangan dalam mobilisasi pembiayaan pembangunan, kegiatan produktif yang serasi, pengawasan sosial atas jalannya pembangunan, dan lain-lain; dan 3) keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Dari banyak pengertian partisipasi, Bintoro melihat ada dua cara berpartisipasi yaitu : 1) mobilisasi kegiatan-kegiatan masyarakat yang serasi untuk kepentingankepentingan pencapaian tujuan pembangunan; dan 2) peningkatan oto aktivitas, swadaya, dan swakarsa masyarakat sendiri, terutama ditujukan kepada sektor swasta, bidang pertanian dan sebagainya melalui mekanisme pasar dan harga. Sehubungan dengan pembangkitan swadaya dan swakarsa masyarakat, Sayogyo menjelaskan partisipasi masyarakat meliputi arti ikut melaksanakan dan ikut mengenyam hasil pembangunan, serta hal penting yang melampaui makna tersebut, yaitu dengan memberikan tanggung jawab yang dikerjakan secara berkelompok atau usaha bersama yang mereka bentuk sendiri. Agar dengan kekuatan dan kesadaran yang dibina,

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

15

lapisan yang tertinggal dalam pembangunan dapat mengangkat diri kepada martabat yang lebih tinggi. Orang lain tak dapat melakukan proses itu untuk mereka (Sitorus, dkk, ed, 1996). Terkait dengan hal tersebut, Uphoff dan Cohen menyebutkan empat kegiatan dalam partisipasi, yaitu membuat keputusan, pelaksanaan, memperoleh hasil (keuntungan), dan penilaian terhadap seluruh kegiatan (Soelaiman, 1998). Dengan demikian pengertian ini menunjukan sifat kelembagaan dari partisipasi itu, atau juga dikenal dengan istilah pelembagaan teknik sosial (Cernea, 1993). Pelembagaan teknik sosial ini selanjutnya dijadikan sarana yang berasal dari kepedulian publik untuk menginvestasikan sumber daya manusia (human capital). Termasuk di dalamnya pengembangan co-manajemen partisipasi yang mengandung sistem intensif untuk pengawasan kelembagaan, pengenalan inovasi, peningkatan kohesi sosial, dan solidaritas kepercayaan organisasi yang mandiri, serta nilai-nilai yang menyatukan kelompok. Sebagai salah satu aspek dari teknik sosial, partisipasi juga sebagai sarana untuk memelihara dan meningkatkan sumberdaya. Memperhatikan beberapa pengertian partisipasi masyarakat tersebut, maka unsur penting yang perlu dipertimbangkan dalam partisipasi masyarakat ialah inisiatif dan proses pengambilan keputusan yang dipusatkan pada masyarakat atau yang berakar dari bawah; baik komunitas yang ada di perdesaan maupun perkotaan. Partisipasi sebagai sarana aktualisasi budaya, sumberdaya manusia, aspirasi politik, kegiatan produksi yang digerakkan secara bersama, aktif dan bertanggung jawab, dilakukan secara optimal oleh masyarakat. Sehubungan dengan itu, posisi masyarakat sebagai faktor kontrol, produk

nilai, memiliki kekuatan untuk memelihara keseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya. Oleh karena itu, pembangkitan partisipasi masyarakat akan memberikan sumbangan bagi keberlanjutan pembangunan.

III. ASPEK STRATEGIS PARTISIPASI MASYARAKATSalah satu bagian penting dari aspek strategis partisipasi masyarakat, bahwa masyarakat memiliki pengalaman tersendiri berupa kearifan yang timbul dari proses interaksi terus menerus dengan sumber alam dan lingkungannya, merespon dan mendinamisasi sekaligus mengendalikan hubungan-hubungan antar kelompok untuk mewujudkan sistem jaringan sosial yang kuat dan saling melindungi serta saling memberi manfaat (Susantyo, 2002). Sebagaimana sejarah mencatat, bahwa pengalaman-pengalaman masyarakat dalam bekerjasama secara internal maupun eksternal dalam kelompok, kurang mengalami keteganganketegangan yang berlangsung lama dan berakibat pada pengurasan sumber ekonomi, dominasi kekuatan atas sumbersumber agraria, tetapi justru sebaliknya, terlihat adanya penghormatan terhadap batas-batas teritorial di antara penyebaran komunitas-komunitas lokal. Sebagaimana dicontohkan oleh Korten pada ketiga studi kasusnya tersebut di atas. Demikian juga Dove (Susantyo, 2002) telah menggambarkan hal ini. Dimana terdapat keunikan sekaligus kandungan nilai-nilai inovatif dari pengalamanpengalaman masyarakat yang tercerminkan pada kebudayaan tradisionalnya. Secara garis besar, Dove menyebut ada empat pengalaman dasar yang dimiliki masyarakat, yaitu : 1) sistem kepercayaan tradisional mengandung sistem pengetahuan

16

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

yang bersifat empiris tentang dunia nyata; 2) sistem ekonomi tradisional, perladangan berpindah, berburu dan meramu, pengumpul sagu, mengandung pengetahuan tentang bagaimana mengeksploitasi lingkungan setempat, juga mengandung sumbangan kepada ekonomi nasional. Konsumsi komunal melalui upacara tradisional memainkan peranan penting dalam memelihara organisasi sosial; 3) di bidang lingkungan, sistem kepercayaan tradisional mengatur suatu keseimbangan terbaik antara populasi manusia, binatang dan sumber-sumber tanah; 4) norma masyarakat tradisional tidak statis, melainkan merupakan suatu penyesuaian dan perubahan terus menerus. Masyarakat tradisional dapat menerima perubahan yang mendasar dan diprakarsai dari luar, jika perubahan itu sesuai dengan kepentingan masyarakat yang bersangkutan. Pengalaman-pengalaman dasar yang dimiliki masyarakat tersebut tentu merupakan sumber-sumber motivasi, kreatifitas, dan kontrol. Yang kesemuanya itu secara keseluruhan membentuk potensi kekuatan gagasan yang berguna bagi proses identifikasi kebutuhan, perumusan atau pemilihan kebijakan yang tepat, serta pelaksanaan kebijakan tersebut dalam program pembangunan. Segala upaya pembangunan yang tidak mempertimbangkan pengalaman-pengalaman dasar dari masyarakat telah terbukti tidak menghasilkan suatu kemampuan atau daya dukung lingkungan dan ketahanan sosial. Degradasi sumber daya alam dan konflik sosial yang ditimbulkan oleh proses pembangunan merupakan contoh dari kegagalan ini. Faktor strategis lain yang dimiliki masyarakat ialah kekuatan politis, dimana masyarakat sesungguhnya merupakan realitas politis. Pemerintah mau tidak mau memerlukan dukungan masyarakat untuk

menguji atau melegitimasi kebijaksanaan yang mereka jalankan. Aspek ini berkaitan dengan fungsi organisasi sosial yang dimiliki masyarakat. Masyarakat memiliki infrastruktur sosial, termasuk di dalamnya sistem kepemimpinan tradisional (Ostrom, 1993). Beberapa isyarat yang diberikan oleh Ostrom dkk, bahwa kelembagaan tradisional mempunyai suatu sistem pengambilan keputusan yang dapat mendistribusikan hak dan tanggung jawab anggota masyarakat dalam proses pemeliharaan dan pembagian manfaat yang lebih adil, dan berkesinambungan terhadap fasilitas pembangunan. Contoh pengalaman Korten pada kasus Badan Pengembangan Produk Susu Nasional di India serta Pelayanan Keluarga Berencana Berbasis Desa di Thailand, merupakan sebuah bukti keniscayaan itu, dimana masyarakat mengelola suatu institusi yang mandiri dan cenderung lebih menampakkan keberlanjutan manfaat dari fasilitas pembangunan yang ada. Dari aspek pokok yang diuraikan di sini ialah pengalaman-pengalaman yang terwujud dalam kearifan budaya dan kepemimpinan lokal, merupakan faktor strategis untuk mengorbitkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Perlunya kejelasan hal-hal strategis ini, untuk memberi arah yang jelas terhadap intervensi kepentingan yang kadang mengacaukan arti dan pelaksanaan partisipasi masyarakat.

IV. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESAMitchell (1994) menggunakan salah satu pendekatan yang disebutnya stresses on , yaitu tekanan dan kemampuan orangorang serta lingkungan perdesaan. Disebut juga dalam tulisan Korten (Syahrir dan

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

17

Korten, 1988), bahwa konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat salah satu bagian pentingnya adalah memberi perhatian terhadap daerah perdesaan. Sayogyo (1997) mengatakan, bahwa keberlanjutan penghidupan keluarga (keberlanjutan dalam bernafkah) harus didalami bersama arti pembangunan masyarakat desa berkelanjutan. Dengan demikian, pembangunan perdesaan merupakan bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan. Tentunya hal ini perlu dipahami bersama, bahwa wilayah dan komunitas di perdesaan ternyata belum diletakkan pada prioritas yang tinggi dalam kebijaksanaan pembangunan dibanding pembangunan di wilayah perkotaan. Ada banyak studi yang menerangkan keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi di kota dengan masalah-masalah yang muncul di perdesaan. Misalnya masalah migrasi, menurunnya daya dukung lahan dan degradasi sumber alam yang disebabkan eksploitasi dalam penguasaan dan pengusahaan tanah, hutan, tambang dan air. Di lain pihak, populasi penduduk secara umum terdapat di wilayah perdesaan vis-a-vis menurunnya distribusi dalam pemanfaatan sumber daya alam yang semakin sempit. Kemudian melemahnya kreativitas budaya disebabkan oleh pergeseran nilai dalam pola kerja dan pandangan hidup modern, menjadi satu aspek tersendiri dari hadirnya masalahmasalah kemiskinan di perdesaan. Sesungguhnya, pembangunan perdesaan bukan upaya yang baru di Indonesia. Bahkan hal ini telah dicanangkan dalam berbagai kebijaksanaan pembangunan nasional sejak awal kemerdekaan, dengan sasaran yang sama yaitu berupaya mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Suatu hal yang telah menyadarkan kita, bahwa persoalan

penting yang dihadapi ialah belum tepatnya strategi pembangunan perdesaan. Sebagaimana yang telah dikemukakan, bahwa jalan pemikiran yang dianggap relevan dengan berbagai kondisi yang dihadapi saat ini, ialah melaksanakan strategi pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini, wilayah dan komunitas perdesaan menempati prioritas yang tinggi dalam kebijaksanaan pembangunan nasional, khususnya dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Pembangunan perdesaan yang memberi fokus pada upaya penanggulangan kemiskinan, jika diorientasikan untuk mewujudkan keberlanjutan proses dan manfaatnya di masa depan, maka strategi yang penting dilaksanakan ialah menumbuhkan pembangunan yang berdasarkan kepercayaan diri (self-reliant development) (Tjokrowinoto, 1996). Strategi ini sebenarnya sudah tercermin dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan melalui program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Sebagaimana dikemukakan Budi Soeradji dan Mubyarto (1998), upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui proses penguatan penduduk miskin yang mencakup lima aspek yaitu; pengembangan sumber daya manusia, penyediaan modal kerja, penciptaan peluang dan kesempatan berusaha, mengembangkan kelembagaan penduduk miskin, dan penciptaan sistem pelayanan kepada penduduk miskin yang sederhana dan efisien. Melalui jalur pendekatan tersebut, penduduk miskin diharapkan mampu dengan kekuatannya sendiri menanggulangi kemiskinannya, serta meningkatkan kesejahteraannya secara memadai dan berkelanjutan. Namun keberhasilan strategi atau pendekatan ini tentu saja tidak mudah. Laporan-laporan program IDT telah memberikan gambaran tentang banyak hal

18

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

yang sudah dilakukan melalui pelaksanaan program pemerintah. Misalnya, pemberian kredit, pembentukan kelompok, pelatihanpelatihan usaha kecil, pelestarian lingkungan melalui pengelolaan hutan rakyat, dan lain-lain sebagaimana dilaporkan oleh Budi dan Mubyarto, (Mubyarto, 1998). Tetapi, dibalik itu kita tidak pernah mendengar suatu laporan dari masyarakat yang secara langsung dan kontinyu menggambarkan perkembangan mereka dari tahun ke tahun. Sehingga semua pihak dapat menjadi yakin bahwa keberhasilan masyarakat bukan hanya bertepatan dengan saat-saat dimana peneliti, LSM, penyuluh pertanian tinggal di desa. Setelah itu kemajuan mereka atau bahkan kegagalan mereka tidak terpantau lagi ketika para peneliti dan fasilitatorfasilitator itu telah habis jangka waktu kontraknya dan pulang ke kota. Banyak informasi yang kita terima secara meyakinkan adanya sengketa pertanahan antara petani dan pengusaha perkebunan, kegagalan panen, raibnya bantuan dana kelompok, dan sebagainya. Secara konsepsional pendekatan yang dicanangkan sudah mengarah pada jalan yang tepat, tetapi salah satu hal yang perlu disadari bahwa hasil dari pendekatan yang digunakan itu secara umum belum mencapai kondisi yang diinginkan, yaitu kemandirian masyarakat perdesaan. Aspek yang ingin dikemukakan di sini ialah pelaksanaan partisipasi masyarakat. Kita telah memiliki konsep yang standar mengenai model partisipasi, tentunya telah dapat memenuhi pertimbangan logika ilmiah, karena digali berdasarkan pengalaman-pengalaman dalam pembangunan di perdesaan. Namun ada yang perlu dipertimbangkan secara serius, yaitu apakah pelaksanaan partisipasi masyarakat itu telah sesuai dengan aspek-aspek yang strategis yang terkandung dalam sistem

komunitas lokal. Yang dimaksudkan dengan aspek strategis tersebut ialah pembangkitan partisipasi masyarakat berdasarkan pengalaman-pengalaman yang terwujud dalam kearifan budaya dan kepemimpinan lokal. Di sini hendak dikatakan, bahwa aspek strategis partisipasi harus diletakkan dalam konteks yang berbeda dengan konsep-konsep ilmiah yang kita miliki, khususnya bila diterapkan pada tingkat lapangan. Karena banyak kasus menunjukkan, bahwa implementasi konsep-konsep partisipasi inipun masih mengalami kegagalan. Terutama bila dilihat dari gambaran berkelanjutan suatu program yang dilak-sanakan. Untuk mewujudkan sistem pertanian yang baik, dalam teknik pengelolaan maupun pemeliharaan, tidak cukup hanya dengan memperagakannya melalui unit percontohan agar masyarakat secara bersama-sama mempelajarinya, atau sekedar memfasilitasi mereka untuk merumuskan sendiri cara-cara mengorganisasikan suatu proses pembelajaran. Faktor strategis yang perlu dipertimbangkan ialah kearifan budaya dalam praktek-praktek bertani. Mereka perlu terlibat untuk membuat keputusan dalam hal penggunaan waktu, memperhitungkan; bahaya, ancaman, dan tekanan, mempertimbangkan benda-benda apa atau tindakan bagaimana yang boleh atau tidak digunakan, kapan dan di mana suatu kegiatan dapat dilaksanakan. Secara ekstrim dapat dikatakan jika bentuk inovasi pertanian yang datang dari luar, kemudian ditolak oleh masyarakat, hal ini merupakan bentuk partisipasi dipandang dari sudut kearifan budaya. Sebab mereka telah menyumbangkan suatu upaya menghindari malapetaka jika dikemudian hari hasil dari inovasi tersebut ternyata mendatangkan kerugian bagi masyarakat, baik secara fisik maupun mental.

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

19

Kepemimpinan lokal juga merupakan faktor strategis dari partisipasi masyarakat. Hal ini berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembentukan suatu kelembagaan ekonomi dan saluran pendapat publik terhadap kebijaksanaan pembangunan. Kita tidak hanya cukup meyakinkan diri, bahwa pemimpin lokal lebih mempunyai pengaruh secara informal dari pada pemimpin formal terhadap anggota masyarakat. Oleh karena itu, dengan menggunakan pengaruh ini masyarakat dapat dilibatkan dalam program ekonomi dan memberi dukungan terhadap suatu kebijakan. Hal yang paling mendasar di sini ialah ketaatan masyarakat terhadap adat yang menyatukan mereka, dimana pemimpin sebagai simbol adat dan memiliki kaidah-kaidah tersendiri dalam memutuskan masalah-masalah yang dihadapi anggota masyarakat. Pengalamanpengalaman yang berbeda di masyarakat dilihat dari kesatuan-kesatuan adat, perlu mengilhami cara-cara pelibatan masyarakat dalam pembentukan kelompok, atau dalam proses penggalian pendapat umum. Pelibatan masyarakat dalam proses pembentukan kelembagaan apapun harus mempertimbangkan cara-cara di mana mereka menunjukkan ketaatan terhadap adat. Dengan demikian mereka dapat lebih meyakini manfaat-manfaat yang timbul dari tugas dan kewajiban dalam memelihara, melindungi, dan mengembangkan hal-hal yang dimiliki oleh kesatuan adatnya. Makna yang penting ditarik dari sini ialah pelibatan mereka dalam proses pembangunan perdesaan didasarkan pada komitmen adat untuk mengatur suatu organisasi sosial yang mandiri.

V.

PENUTUP

Pembangunan perdesaan merupakan salah satu bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan, terutama untuk menciptakan ketahanan sosial. Oleh karena itu peranan masyarakat menjadi sangat sentral dalam pelaksanaan strategi ini. Salah satu aspek penting dari usaha untuk menciptakan ketahanan sosial itu ialah menumbuhkan partisipasi masyarakat. Perkembangan pemikiran mengenai partisipasi telah melahirkan konsep standar karena telah digali dari pengalamanpengalaman kegagalan pembangunan perdesaan di masa lalu. Secara konseptual partisipasi telah diletakkan pada peranan komunitas lokal dalam seluruh proses pembangunan. Untuk memberi arah yang jelas pada pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan perdesaan, maka perlu mempertimbangkan faktor strategis partisipasi masyarakat dalam sistem komunitas lokal. Di antara faktor strategis tersebut ialah pengalaman-pengalaman masyarakat yang terwujud dalam kearifan budaya dan kepemimpinan lokal. Dengan mempertimbangkan faktor strategis dalam sistem komunitas lokal itu, diharapkan pelaksanaan partisipasi masyarakat akan menyumbang pada usaha mencapai kemandirian masyarakat. Dalam program pembangunan perdesaan, pengetahuan tentang apa yang dibutuhkan masyarakat serta kemampuan kelembagaan (organisasi pembantu) juga sangat terbatas. Untuk itu, upaya pendekatan untuk senantiasa selalu belajar kepada masyarakat melalui pendekatan proses belajar dalam proses pembangunan yang terjadi, merupakan sebuah keharusan.

20

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

DAFTAR PUSTAKACernea, Michel M. 1993, The Sociologis Approach to Sustainable Development in Marking Development Sustainable: From Concept to Action. Ismail Serageldin dan Andrew Steer (ed). Papare Series No. 2 World Bank. Korten, D.C. dan Syahrir (ed). 1988, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta; Yayasan Obor Indonesia. Mitchel, Bruce. 1994, Sustainable Development at Village Level in Bali, Indonesia Human Ecology an Interdiciplinary Journal. Vol. 22 (3) pp. 189-211. Ostrom, Elinor, Larry Schroode dan Susan Wynne. 1993, Institutional Incentive and Sustainable Development: Infrastructure Policies in Perspective. Oxford; Westview Press. Rahardjo, Dawam. 1983, Esei-esei Ekonomi Politik. Jakarta; LP3ES. Sayogyo. 1997, Pembangunan Masyarakat Desa Berkelanjutan, Makalah pada Semiloka Gerakan Mandiri Mem-bangun Desa di Palu Sulawesi Tengah. Sayogyo dalam Sitorus Dkk. ed. 1996, Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Soelaiman, Munandar. Dinamika Masyarakat Transisi, Mencari Alternatif Sosiologi dan Arah Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soeradji, Budi dan Mubyarto. 1998, Gerakan Penanggulangan Kemiskinan. Laporan Penelitian di Derah-daerah. Jakarta: Aditya Media.

Susantyo, Badrun. 2002, Aspek Strategis Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Ilmiah pekerjaan Sosial PEKSOS. Vol 1 No. 1, Mei 2002. Bandung: STKS. . 2003, Mencoba Memahami Partisipasi Gaya Lain Dalam Komunitas Adat Terpenil (KAT). Jurnal SIKAT. Edisi I Tahun 2003. Jakarta. Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PKAT). Departemen Sosial RI. Tjokrowinoto. 1996, Pembangunan, Dilema dan Tantangan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Drs.

Badrun Susantyo, M.Si. Menyelesaikan S2 dari Institute Perstanian Bogor. Staf pada Puslitbang Kesejahteraan Sosial. Saat ini sebagai kandidat Doktor bidang Ilmu Pekerjaan Sosial di Penang Malaysia.

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

21

PENGUATAN KELUARGA MISKIN MELALUI PEGEMBANGAN MODAL SOSIALBambang RustantoAbstract. Poverty as a social Phenomena related with economy, social, culture and political dimension. Therefore, need all this dimension to handle that matter so that the poor people could release from the poverty circle. The approaching that should be done by strengthening social capital such social groups that create and develop in their environment. Throught this, they could develop all their potencial to release them from the poverty. Key word : poverty, empowernment, social capital.

I.

PENDAHULUAN

Kemiskinan merupakan persoalan multi-dimensional, karena tidak saja berkaitan dengan faktor ekonomi, akan tetapi juga berkaitan dengan faktor sosial, budaya dan politik. Untuk itu, dalam penanganannya akan menghadapi kesulitan apabila fenomena kemiskinan ini diobyektifkan dalam bentuk angka-angka. Sebagai contoh, pada pengukuran dan penentuan garis batas kemiskinan yang sampai kini menjadi perdebatan. Dengan kata lain, tidaklah mudah untuk menentukan berapa rupiah pendapatan yang harus dimiliki oleh setiap orang, agar terhindar dari batas garis kemiskinan. Jadi, kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan-persoalan kuantitatif dengan menghitung pendapatan rumah tangga, tetapi juga kualitatif yang berkenaan dengan sosial-budaya, seperti: nilai nrimo, takdir dan nasib. Biro Pusat Statistik (2005) untuk program kompensasi BBM memberikan pengukuran garis kemiskinan berdasarkan

besarnya kalori yang dibutuhkan bagi setiap keluarga. Keluarga miskin di perkotaan membutuhkan 2100 kalori setiap umpi dengan satu keluarga antara 3 - 5 umpi atau setara dengan Rp. 275.000,. Sedangkan di perdesaan membutuhkan 1.700 kalori setiap umpi dengan satu keluarga antara 3 - 5 umpi atau setara dengan Rp.175.000,-. Oleh karena ukuran obyektif kemiskinan sangat bervariasi, maka perlu berhati-hati, dan kritis terhadap penggunaan alat ukur. Selain ukuran yang diajukan cukup banyak, pada kenyataannya kebutuhan manusia tidak hanya diukur secara ekonomi semata. Maka dari itu, pada penentuan garis kemiskinan yang direduksi dari aspek ekonomi semata tidak akan memberikan pemecahan masalah pada persoalan dimensi lainnya seperti budaya dan politik. Khusus pada kemiskinan di perkotaan, para ahli berpendapatan, bahwa berbagai dimensi dapat ditemukan di dalam konsep kemiskinan, yaitu (Ellis,1994) :

22

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

1.

Dimensi Ekonomi. Dimensi ini menjelma dalam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material seperti pangan, sandang, perumahan dan kesehatan.

2.

Dimensi Sosial dan Budaya. Dimensi ini menjelma dalam budaya kemiskinan yang dapat ditunjukkan dalam nilai-nilai apatis, apolitis, fatalistik dan ketidakberdayaan.

3.

Dimensi Struktural dan Politik.

struktur politik telah memendam potensi dan modal sosial kelompok keluarga miskin, menyebabkan mereka tidak dapat mengeluarkan dirinya dari jebakan kemiskinan. Pengembangan modal sosial melalui kelompok-kelompok sosial ini dapat menjangkau, baik pada level mikro, messo maupun makro. Semakin tinggi pengembangan modal sosial yang dimiliki keluarga miskin, maka semakin tinggi pula akses ekonomi dan akses sosial maupun politik. A. Modal Sosial sebagai Penguatan Sosial

Dimensi ini menjelma dalam kekuatankekuatan politik terutama saluransaluran dan kedudukan politik. Dimensi-dimensi kemiskinan di perkotaan tersebut merupakan landasan bahwa dalam upaya penanganan kemiskinan (khususnya di perkotaan), perlu mempertimbangkan ketiga dimensi tersebut secara simultan. Jika tidak, maka penanganan kemiskinan tidak akan memberikan hasil yang optimal.

II.

MODAL SOSIAL DAN PENANGANAN KEMISKIANAN

Menangani kemiskinan di perkotaan pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan orang miskin, sehingga mereka dapat hidup secara mandiri. Memberdayakan orang miskin ini dapat dilakukan dengan pendekatan pengembangan modal sosial melalui kelompok-kelompok yang secara alamiah mereka tumbuhkan. Pemberdayaan melalui kelompok ini dalam pengembangan modal sosial dalam pengertian ekonomi, institusi, sosial, dan lingkungan serta budaya dan politik. Keluarga miskin di perkotaan pada dasarnya merupakan lapisan yang mempunyai potensi dan modal sosial yang belum dikembangkan. Tetapi karena

Modal sosial merupakan prasyarat bagi keberhasilan proyek pembangunan, terutama terlihat dari kemampuan komunitas dalam merajut institusi dan pranata (crafting institution) (Ostrom, 1992). Studi tentang modal sosial banyak dikembangkan oleh Bank Dunia, karena dipercaya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (World Bank 1999). Selain itu, menurut Putnam (2000) modal sosial mempunyai kekuatan dan akibat yang dapat diperhitungkan pada banyak aspek yang berbeda dalam kehidupan manusia. Kekuatan dan akibat yang dapat diperhitungkan tersebut meliputi rendahnya angka kejahatan (Halpem, 1999, Putnam, 2000), derajat kesehatan yang lebih baik (Wilkinson, 1996), peningkatan usia harapan hidup (Putnam, 2000) pencapaian prestasi bidang pendidikan (Coleman, 1988), peningkatan derajat pendapatan (Wilkinson, 1996), pencapaian prestasi ekonomi melalui peningkatan kepercayaan dan penurunan biaya transaksi (Fukuyama, 1995), serta meningkatkan kesejahteraan keluarga (Grotaert, 1998) (lihat en.wikipedia.org/ wiki/Social_capital). Robert Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

23

norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust), yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk kepentingan bersama. Hal ini juga mengandung pengertian bahwa diperlukan adanya suatu social networks networks of civic engagement-ikatan/ jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, dan norma yang mendorong produktivitas komunitas. Bahkan lebih jauh, Putnam melonggarkan pemaknaan asosiasi horisontal, tidak hanya yang memberi desireable outcome (hasil pendapatan yang diharapkan) melainkan juga undesirable outcome (hasil tambahan). Pierre Bourdie (1970) mendefinisikan modal sosial sebagai sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif. Bourdie (1970) menegaskan tentang modal sosial sebagai sesuatu yang berhubungan satu dengan yang lain, baik ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk social capital (modal sosial) berupa institusi lokal maupun kekayaan sumber daya alamnya. Ia menegaskan tentang modal sosial mengacu pada keuntungan dan kesempatan yang didapat seseorang di dalam masyarakat melalui keanggotaannya dalam entitas sosial tertentu, seperti : paguyuban, kelompok arisan, asosiasi tertentu.

Berbagai pandangan tentang modal sosial tersebut bukan sesuatu yang bertentangan. Ada keterkaitan dan saling mengisi sebagai sebuah alat analisa penampakan modal sosial di masyarakat. Modal sosial bisa berwujud sebuah mekanisme yang mampu mengolah potensi menjadi sebuah kekuatan riil guna menunjang pengembangan masyarakat. Menyimak berbagai pengertian modal sosial yang sudah dikemukakan di atas, kita bisa mendapatkan pengertian modal sosial yang lebih luas yaitu berupa jaringan sosial, atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban, serta oleh norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut. Di sini, dalam level mekanismenya, modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama. Kerjasama sendiri adalah upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik ketika tingkah laku seseorang atau kelompok dianggap menjadi hambatan oleh orang atau kelompok lain. Berdasarkan eksplorasi di atas bisa ditemukan komponen modal sosial dalam tiga level yaitu pada level nilai, institusi, dan mekanisme. Secara ringkas hubungan ketiga level modal sosial tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

24

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

Woolcook : Social Bounding Nilai, Kultur, Persepsi: Simpati dan kepercayaan

Social linking Institusi : (kelompok) Ikatan yang terdapat dalam komunitas lokal, jaringan dan asosiasi

Social Bridging Mekanisme : (aksi kelompok) Tingkah laku kerjasama, sinergi

Selanjutnya Woolcock (2001) membedakan tiga tipe modal sosial: 1. Perekat Sosial (Social Bounding) Pengertian social bounding adalah, tipe modal sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang kuat (adanya perekat sosial) dalam suatu sistem kemasyarakatan. Misalnya, kebanyakan anggota keluarga mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga yang lain. Hubungan kekerabatan ini bisa menyebabkan adanya rasa empati atau kebersamaan. Bisa juga mewujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yang mereka percaya. Rule of law merupakan kesepakatan bersama dalam masyarakat, bentuk aturan ini bisa formal dengan sanksi yang jelas seperti aturan perundang-undangan.

Namun ada juga sanksi nonformal yang akan diberikan masyarakat kepada anggota masyarakat berupa pengucilan, rasa tidak hormat, bahkan dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan komunitasnya. Ini menimbulkan suatu ketakutan dari setiap anggota masyarakat yang tidak melaksanakan bagian dari tanggung jawab sosialnya. Norma-norma tersebut tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan itu, perlu diingat bahwa modal sosial ada yang memberikan pengaruh yang baik dan kurang baik. Kemudian, berkenaan dengan tradisi atau adat-istiadat (custom) yang masih tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat. Adat-istiadat (custom) merupakan tata kelakuan yang kekal serta memiliki integrasi yang kuat dengan pola-pola perilaku

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

25

masyarakat, mempunyai kekuatan untuk mengikat dengan sanksi. 2. Institusi atau Mekanisme (Social Bridging) Social Bridging merupakan suatu ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompok. Jembatan sosial ini muncul karena adanya berbagai macam kelemahan yang ada di masyarakat Stephen Aldidge menggambarkan sebagai pelumas sosial, yaitu pelancar dari roda-roda penghambat jalannya modal sosial dalam sebuah komunitas. Wilayah kerjanya lebih luas daripada social bounding. Dia bisa bekerja lintas kelompok etnis, maupun kelompok kepentingan. Social Bridging bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum, sebagai warga negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan potensi yang ada dalam masyarakat agar mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki, baik SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA (Sumber Daya Alam) dapat dicapai. Ketercapaiannya melalui interaksi sosial sebagai modal utama. Dengan demikian institusi sosial tetap eksis sebagai tempat artikulasi kepentingan bagi masyarakat. Interaksi yang terjalin bisa berwujud kerjasama atau sinergi antar kelompok, sebagai upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik. Kapasitas modal sosial yang termanifestasikan dalam ketiga bentuk modal sosial tersebut (nilai, institusi, dan mekanisme) dapat memfasilitasi dan menjadi arena dalam hubungan antar kelompok yang berasal dari latar

belakang berbeda, baik dari sudut etnis, agama, maupun tingkatan sosial ekonomi. Ketidakmampuan untuk membangun nilai, institusi, dan mekanisme bersifat lintas kelompok akan membuat masyarakat yang bersangkutan tidak mampu mengembangkan modal sosial untuk membangun integrasi sosial. 3. Hubungan atau jaringan sosial (Social Linking) Merupakan hubungan sosial yang dicirikan dengan adanya hubungan di antara beberapa kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya, hubungan antara elite politik dengan masyarakat umum. Dalam hal ini elite politik yang dipandang khalayak sebagai public figure, dan mempunyai status sosial lebih tinggi dari pada masyarakat kebanyakan. Namun mereka samasama mempunyai kepentingan untuk mengadakan hubungan. Elite politik membutuhkan massa untuk mendapatkan suara dan mendukungnya. Sementara masyarakat berusaha mendapatkan orang yang dipercaya sebagai penyalur aspirasinya. Pada dasarnya tipe modal sosial ini dapat bekerja tergantung dari keadaannya. Ia dapat bekerja dalam kelemahan maupun kelebihan dalam suatu masyarakat. Ia dapat digunakan dan dijadikan pendukung sekaligus penghambat dalam ikatan sosial tergantung bagaimana individu dan masyarakat memaknainya. Pengembangan modal sosial dalam penguatan sosial adalah terkait dengan prinsip pengembangan kelompok sosial sebagai bentuk pelayanan masyarakat (community service). Artinya, pelayanan yang harus dapat memberikan kepuasan

26

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

kepada semua kelompok dalam masyarakat secara keseluruhan tanpa membedakan kelas sosialnya. Menurut Narayanan (2003; lihat en.wikipedia.org/wiki/ Sosial_capital), ada tiga prinsip penguatan sosial meliputi : 1. Demand Response Approach Artinya, adanya kelompok sosial sebagai respon atas tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang bersifat kondisional, seperti masyarakat yang membutuhkan sekolah dasar jangan disediakan puskesmas. Atau sekolah dasar didirikan di lingkungan masyarakat yang memiliki anak usia wajib belajar. Jadi tidak serta merta pelayanan sekolah dasar didirikan padahal masyarakat setempat tidak membutuhkannya. Community As Stakeholder Artinya, masyarakat adalah pihak yang berkepentingan atau masyarakat menjadi pemilik dari kelompok sosial tersebut. Dengan demikian masyarakat akan ikut membiayai, menentukan kebijakan, menentukan standar prosedur operasional dan fasilitas penyelenggaraan pelayanan. Masyarakat diharapkan akan merasa ikut memiliki pelayanan tersebut, dan dengan sendirinya akan ikut memelihara. Sebagi contoh, kalau masyarakat memerlukan sekolah dasar, maka mereka juga harus merasa memelihara sekolah dasar tersebut. Participatory Action Artinya, masyarakat perlu terlibat menentukan keputusan dalam setiap kegiatan untuk penyelenggaraan pelayanan. Untuk mengatur keterlibatan masyarakat tersebut, perlu membentuk forum

masyarakat atau sejenisnya yang menjadi wadah dan berperanan menjembatani kepentingan masyarakat dengan lembaga pelayanan. Untuk menjalankan ketiga prinsip dasar pengembangan kelompok sosial tersebut diperlukan pelibatan berbagai pihak. Menurut Netting (1999) pelibatan berbagai pihak tersebut dapat dilakukan melalui beberapa tingkatan relasi institusional sebagai berikut: 1. Komunikasi Pada tingkat ini relasi institusional baru sebatas di lingkungan kelompok sosial itu sendiri. Penyebaran informasi dilakukan di dalam interaksi anggota kelompok sosial, baik yang bersifat formal maupun informal dan komunikasi terbatas lainnya. Kooperasi Relasi institusional ini sudah melibatkan kelompok sosial lainnya, terutama perangkat sosial yang sejenis untuk melaksanakan programprogram yang mempunyai tujuan sama. Dengan demikian satu kelompok sosial akan memperkuat kelompok sosial lainnya. Koordinasi Relasi institusional diperluas lagi, dimana dua atau lebih kelompok sosial saling berkoordinasi dan saling memberikan informasi, memberikan saran dan saling membuat rujukan. Kolaborasi Relasi institusional dilakukan oleh dua atau lebih kelompok sosial dimana mereka membangun koalisi. Koalisi adalah suatu asosiasi yang berkembang secara longgar dari institusi yang memiliki pelayanan yang

2.

2.

3.

3.

4.

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

27

sama dan tertarik untuk melakukan kerja sama. 5. Konfederasi Relasi institusional dilakukan oleh dua atau lebih kelompok sosial yang terbentuk secara horizontal maupun vertikal. Penguatan Sosial bagi Keluarga Miskin 3.

kebiasaan kebiasaan kerja dan caracara hidup yang lain. Pengalaman dalam kelompok sosial memberi pengaruh yang besar terhadap persepsi anggota terhadap situasi tertentu. Kelompok sosial cenderung menyediakan dukungan-dukungan psikologis bagi individu dan membantu mereka dalam mengemukakan dirinya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Penguatan melalui kelompok sosial dapat menjadikan dukungan sosial, munculnya motivasi, dan untuk mampu menerima perubahanperubahan.

4.

B.

Penguatan sosial dalam tinjauan sosiologi merupakan obyek utama dari studi kemasyarakatan. Setiap orang atau keluarga melakukan pengelompokkan sosial atas dasar masalah dan kebutuhan masingmasing. Kelompok sosial dianggap sebagai alat sosial bagi warga masyarakat untuk memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya secara lebih efisien, dengan cara mengkoordinasikan sejumlah tindakan. Dikemukakan oleh Etzioni (1992), bahwa melalui kelompok sosial dapat dikoordinasikan sejumlah besar tindakan manusia, baik sebagai warga maupun keluarga. Kelompok sosial dapat menjadi alat sosial yang handal untuk melayani, serta memenuhi berbagai kebutuhan suatu masyarakat secara lebih efisien, dibandingkan hanya dilakukan sendirisendiri. Keikutsertaan warga dalam kelompok sosial dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan keluarga, dan pengalaman ikut dalam kelompok sosial dapat mempengaruhi tindakan sosial dari masingmasing anggota kelompok sosial tersebut. Trecker (1990) mengemukakan pengaruh keikutsertaan di dalam kelompok sosial terhadap tindakan sosial anggota kelompok, sebagai berikut: 1. Pengalaman dalam kelompok sosial dapat merubah aspirasi-aspirasi dan pola-pola tingkah laku anggota. Pengalaman yang diperoleh dalam kelompok sosial dapat mengubah

5.

2.

Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata juga telah membawa paradigma baru yang lebih memberi tempat kepada masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan termasuk pembangunan kesejahteraan sosial. Pemerintah telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri melalui kelompok-kelompok sosial. Jim Ife (2002) menjelaskan bahwa terjadi Change from Below dalam arti pemerintah telah memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil keputusan dalam rangka menentukan nasibnya sendiri. Mereka dipandang sebagai aktor yang memiliki potensi dan kemampuan untuk mengatasi masalahnya sendiri. Pernyataan di atas sesuai dengan pandangan Jim Ife tentang pemberdayaan. Ife mendefinisikan pemberdayaan sebagai suatu proses pendistribusian kekuasaan dari yang memiliki kepada yang tidak/ kurang memiliki baik secara individu, kelompok, maupun masyarakat. Dengan pendistribusian tersebut terkandung makna adanya suatu keyakinan bahwa pihak yang menerima pendistribusian kekuasaan

28

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

memiliki potensi dan kekuatan serta sumber-sumber untuk mengambil keputusan dalam menentukan nasibnya sendiri. Pendekatan partisipatif dalam pengembangan masyarakat mengarahkan penyadaran kepada warga masyarakat untuk mengelompokkan diri dalam kelompok sosial. Melalui kelompok sosial akan dapat ditumbuhkan adanya prinsip hubungan kesetaraan dan kebersamaan antara warga masyarakat dengan pemerintah, swasta, maupun organisasi sosial. Aspek penyadaran inilah yang membedakan antara proses pendekatan pengembangan masyarakat yang mengandalkan pola hubungan subjek-objek (masyarakat pasif) dengan proses pendekatan partisipatif yang mengedepankan pola hubungan subjek-subjek (masyarakat aktif). Menurut Ashley (1999) dan Mukherjee (2002), Sustainable Livelihood (Sli) merupakan salah satu teknik penguatan kelompok secara partisipatif dalam pengembangan modal sosial bagi keluarga miskin. Sli memiliki prinsip dasar dalam pengembangan modal sosial bagi keluarga miskin yaitu : 1. People Centered, diartikan sebagai bentuk pengentasan kemiskinan hanya dapat dilakukan melalui keterlibatan keluarga miskin itu sendiri Responsive and Participatory, diartikan sebagai cara bagi keluarga miskin itu sendiri yang menjadi aktor utama didalam memprioritaskan kegiatan bagi kehidupannya. Multi Level, diartikan sebagai bentuk program pengentasan bagi keluarga miskin dapat dilakukan dalam beberapa tingkat yaitu tingkat mikro dalam penguatan kelompok, tingkat messo dalam organisasi pelayanan

sosial dan tingkat makro dalam kebijakan sosial. 4. Conducive In Partnership, diartikan sebagai rancangan program dapat dilakukan dengan melibatkan sektor pemerintah maupun swasta. Sustainable, yang diartikan bahwa ada 4 dimensi dalam kegiatan pengentasan keluarga miskin yaitu kegiatan ekonomi, institusi, sosial, dan lingkungan dan keempatnya mempunyai porsi yang seimbang. Dynamic, yang diartikan program pengentasan keluarga miskin yang mengikuti situasi dinamis yang berkembang secara terus menerus dalam perubahan sosial masyarakat.

5.

6.

Ada 3 alat utama dalam penguatan kelompok dengan teknik Sli dalam pengembangan modal sosial bagi keluarga miskin yaitu: 1. Pemetaan Sosial (Social Mapping) Ada dua kegiatan yang dilakukan dalam social mapping, ini yaitu: a Melakukan asesmen tentang modal sosial yang dimiliki oleh keluarga miskin. Hasil asemen modal sosial tersebut dibuat pemetaan potensi dan masalah dari keluarga miskin yang dilihat dari 3 aspek, yaitu : 1). Aset keluarga Yaitu melihat potensi dan masalah yang terkait dengan kondisi kehidupan di dalam rumah tangga dari keluarga miskin. 2). Kontek kerentanan Yaitu melihat potensi dan masalah yang terkait dengan kondisi kehidupan di luar rumah tangga

b

2.

3.

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

29

keluarga miskin terutama di lingkungan masyarakat. 3). Struktur dan proses transformasi. Yaitu melihat potensi dan masalah yang terkait dengan kebijakan dan program pengentasan bagi keluarga miskin. Hasil pemetaan sosial pada keluarga miskin ini kemudian dianalisis untuk dijadikan bahan rujukan bagi rancangan kegiatan selanjutnya. 2. Rencana Aksi Adapun langkah-langkah perencanaan untuk program-program strategis yang terkait dengan pengentasan keluarga miskin dalam empat dimensi utama, yaitu kegiatan ekonomi, institusi, sosial dan lingkungan hidup. Rencana program tersebut dilakukan dengan langkahlangkah, sebagai berikut: a. Merumuskan nama program Program yang dirumuskan bersifat spesifik, terukur, mudah untuk dicapai, sesuai dengan realita, ada limit waktunya (SMART) b. Merumuskan tujuan program Tujuan yang ingin dicapai juga memungkinkan untuk dicapai berdasarkan sumber daya yang dimiliki c. d. e. Menentukan sasaran program . Sasarannya jelas, terfokus, dan real.

3.

Monitoring dan Evaluasi

Yaitu kegiatan untuk menilai dan memantau pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang disusun oleh kelompok keluarga miskin. Kegiatan ini terbagi dua yaitu: a. Monitoring proses Yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memantau keberlangsungan proses dari tahap pemetaan sosial, perencanaan dan implementasi. b. Evaluasi hasil Yaitu kegiatan yang dilakukan untuk menilai hasil yang telah dicapai dari proses-proses kegiatan yang dilaksanakan.

III. PENUTUPPenguatan modal sosial yang tumbuh dan berkembang dalam bentuk kelompokkelompok sosial, merupakan salah satu pendekatan yang perlu dikembangkan dalam penanganan kemiskinan. Berdasarkan pengalaman dari negara-negara berkembang, pendekatan ini dinilai efektif, karena mampu memberdayakan rumah tangga miskin, baik dalam aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Di dalam pendekatan ini, individu-individu sebagai anggota kelompok mengalami proses belajar sosial, bagaimana mengembangkan potensi dan sumber daya yang dimiliki. Selain itu, melalui pendekatan ini, setiap individu akan terlibat belajar mengembangkan perilaku pro sosial secara efektif guna mengatasi masalah maupun memenuhi kebutuhannya.

Merumuskan Rincian kegiatan untuk merealisasikan program Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi kegiatan. Kegiatan apa saja yang dibutuhkan untuk merealisasikan dan mencapai kesuksesan program.

30

Informasi, Vol. 12, No. 03, tahun 2007

DAFTAR PUSTAKAAncok, Djamaludin, 2003, Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat, Pidato pengukuhan jabatan guru besar UGM, Yogyakarta, 3 Mei 2003. Ashley,1999, Social Structure In Development Country, Singapore: Sun Glass. Bungin, Burhan, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta: Prenada Media. Coleman, James S, 1988, Social Capital in Creation of Human Capital, American: Journal of Sociology, 94, S 95 S 120. Dasgupta, Partha dan Serageldin, Ismail, 2000, Social