FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET … · diperdebatkan tersebut adalah Asas dan ciri-ciri...
Transcript of FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET … · diperdebatkan tersebut adalah Asas dan ciri-ciri...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ANALISIS SYARAT DAN MEKANISME PENDIRIAN PARTAI POLITIK
SEBAGAI IMPLEMENTASI HAK ATAS KEBEBASAN BERSERIKAT DAN
BERORGANISASI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Penulisan Hukum
(S K R I P S I)
Disusun dan DiajukanUntuk Melengkapi Persyaratan
Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam IlmuHukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
OLEH :
RATMAWAN ARI KUSNANDAR
NIM. E.0006208
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS SYARAT DAN MEKANISME PENDIRIAN PARTAI POLITIK
SEBAGAI IMPLEMENTASI HAK ATAS KEBEBASAN BERSERIKAT DAN
BERORGANISASI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Disusun oleh :
RATMAWAN ARI KUSNANDAR
NIM. E.0006208
Disusun untuk Dipertahankan
Menyetujui,
M. NIP.
ANIP. 1
Pembimbing I
minah, S.H, M.H 95105131981032001
commit to user
ii
Pembimbing II
Madalina, S.H, M.H 19601024198602201
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS SYARAT DAN MEKANISME PENDIRIAN PARTAI POLITIK
SEBAGAI IMPLEMENTASI HAK ATAS KEBEBASAN BERSERIKAT DAN
BERORGANISASI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Disusun oleh :
RATMAWAN ARI KUSNANDAR
NIM. E.0006208
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari : ..................................................
Tanggal : ..................................................
Panitia Ujian Skripsi
Tim Penguji :
1. Sugeng Praptono, S.H., M.H. : ……………………… NIP. 19520808 198403 1001 Ketua
2. . Aminah, S.H, M.H : ………………………
NIP. 19510513 198103 2001 Pembimbing I
3. M. Madalina, S.H, M.H : ……………………… NIP. 19601024 19860 2201 Pembimbing II
Mengetahui,
Dekan,
(Mohammad Jamin,S.H.,M.Hum NIP. 19610930 198601 1 001
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Motto
Apabila kita mendapat cobaan dan masalah,
bersabarlah, karena sesungguhnya Allah SWT sangat
dekat dengan orang sabar.
Dunia hanyalah tempat naungan, mata hanya melihat
sejauh pandang, kaki hanya melangkah sejauh lelah,
namun dimanapun kaki berpijak jadilah orang yang
setia dan berguna.
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSEMBAHAN
Karya ini Penulis Persembahkan kepada :
Allah SWT Yang Maha Pengasih
Nabi Muhammad SAW sebagai panutan dan tuntunan umat.
Bapak dan Ibu yang tercinta, yang senantiasa selalu memberi kasih sayang pada Penulis dan tiada hentinya memberikan doa tulus demi kesuksesan Penulis.
Saudaraku yang senantiasa memberikan dukungan kepada Penulis.
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga akhirnya kami
dapat menyusun dan menyelesaikan Skripsi yang berjudul “ANALISIS SYARAT
DAN MEKANISME PENDIRIAN PARTAI POLITIK SEBAGAI
IMPLEMENTASI HAK ATAS KEBEBASAN BERSERIKAT DAN
BERORGANISASI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945”. Adapun tujuan dari penyusunan Skripsi ini adalah memenuhi salah satu persyaratan
guna menyelesaikan pendidikan program Strata satu dan mendapatkan gelar Sarjana
Hukum (SH) dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Dengan segala keterbatasan pengetahuan, kami menyadari bahwa karya kami
ini sangat jauh dari sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun guna memperbaiki kualitas karya kami di kesempatan mendatang.
Kami meyakini bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud dan
berjalan lancar tanpa adanya bantuan dari pihak-pihak terkait dalam proses
penyusunan skripsi ini, sehingga melalui kesempatan ini kami menghaturkan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H.,MHum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang
senantiasa memberikan dorongan dan kesempatan kepada penulis untuk
mengembangkan ilmu hukum melalui penelitian.
2. Ibu Aminah S.H,MH selaku Ketua bagian Hukum Tata Negara sekaligus sebagai
pembimbing Utama, yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
3. Ibu Maria Madalina, SH. MH selaku Pembimbing II Penulisan Hukum ( Skripsi )
yang sangat membantu penulis, memberikan arahan serta dorongan sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini..
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Bapak dan Ibu dosen yang telah mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran demi
mendidik penulis.
5. Segenap Pimpinan dan Staf Fakultas Hukum UNS yang telah melayani penulis
selama menempuh kuliah di Fakultas Hukum UNS.
6. Teman-teman seperjuangan angkatan 2006 di Fakultas hukum UNS, terima kasih
atas dorongannya.
7. Dan semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materiil sehingga
proses penyusunan Skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.
Semoga penyusunan Skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak yang membutuhkan dan kami berharap karya ini dapat berguna bagi
perkembangan Ilmu Administrasi Negara.
Surakarta, Januari 2011
Penulis
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ ii
PENGESAHAN PENGUJI.................................................................... iii
MOTTO ................................................................................................ iv
PERSEMBAHAN ................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR............................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... xi
ABSTRAK ............................................................................................ xii
ABSTRACT........................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
B. Perumusan Masalah ..................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ........................................................ 4
D. Manfaat Penelitian ....................................................... 5
E. Metode Penelitian ......................................................... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ...................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori .................................................................. 14
1. Tiniauan Umum tentang Tentang Demokrasi .......... 14
a. Pengertian dan hakikat demokrasi,...................... 14
b. Unsur-unsur penegak demokrasi......................... 16
2. Tinjauan Umum Teori konstitusi dan Konstitusionalisme 19
a. Teori Konstitusi, .................................................. 19
b. Substansi Konstitusi ............................................ 21
c. Teori konstitusionalisme...................................... 22
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Tinjauan tentang pemilihan umum ................................. 25
a. Pengertian tentang Pemilu............................................ 25
a. lembaga-lembaga yang terlibat...................................... 36
b. Kedudukan Undang-Undang No. 10 tahun 2008 dalam
Ketatanegaraan Republik Indonesia............................... 36
4. Tinjauan mengenai Partai Politik....................................... 38
a. Pengertian Partai Politik................................................. 38
b. Fungsi Partai Politik ..................................................... 40
c. Sistem Kepartaian........................................................... 45
d. Infrastruktur dan Suprastruktur Partai Politik .............. 49
5. Tinjauan tentang Kebebasan Berserikat.............................. 57
a. Pengertian Kebebasan Berserikat................................... 57
b. Berbagai Instrumen Internasional.................................. 61
c. Hakikat Kebebasan Berserikat....................................... 64
d. Compeled Association................................................... 67
B. Kerangka Pemikiran............................................................ 68
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Syarat dan mekanisme pendirian partai politik menurut
undang-ungdang dasar negara republik indonesia tahun 1945
dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2008
tentang partai politik ......................................................... 71
B. Syarat dan mekanisme pendirian partai politik berkaitan
prinsip hak atas kebebasan berserikat dan kebebasan
berorganisasi........................................................................ 81
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan .......................................................................... 103
B. Saran ................................................................................ 104
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Gambar Kerangka Pemikiran.................................................... 69
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK RATMAWAN ARI KUSNANDAR, E.0006208, ANALISIS SYARAT DAN MEKANISME PENDIRIAN PARTAI POLITIK SEBAGAI IMPLEMENTASI HAK ATAS KEBEBASAN BERSERIKAT DAN BERORGANISASI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Penulisan Hukum (Skripsi).
Penelitian ini membahas tentang syarat dan mekanisme pendirian partai politik menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik serta syarat dan mekanisme pendirian partai politik tersebut sudah memenuhi prinsip hak atas kebebasan berserikat dan kebebasan berorganisasi.
Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder yaitu bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik studi pustaka atau collecting by library untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan
Analisis data yang dipergunakan adalah analisis isi. kajian isi adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat presosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen, atau teknik penelitian yng dimnfaatkan untuk menarik kesimpulan yang replikastif dan sahih dari data atas konteksnya.
Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu diperbarui.. Sedangkan mekanismenya diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.Hh-02.Ah.11.01 Tahun 2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Partai Politik Menjadi Badan Hukum. Selain itu Pembentukan Partai Politik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 terdapat materi yang dapat diperdebatkan. Materi yang dapat diperdebatkan tersebut adalah Asas dan ciri-ciri partai politik, jumlah kepengurusan partai politik di provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, Affirmative Action dan pembentukan partai politik sebagai badan hukum. Mengenai semua hal tersebut tidak ada yang bertentangan dengan prinsip kebebasan berserikat yang diatur dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kata Kunci: Politik, Organisasi, Kebebasan Berserikat
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
RATMAWAN ARI KUSNANDAR. E.0006208. ANALYSIS OF IMPLEMENTATION OF RIGHTS TOWARD FREEDOM OF ASSEMBLY AND FREEDOM OF ASSOCIATION ACCORDING TO REPUBLIC OF INDONESIA’S CONSTITUTION, 1945. Faculty of Law. Sebelas Maret University. Legal Writing (Minithesis).
This research discussed about the requirement and mechanism of political party establishment according to Republic of Indonesian’s Constitution, 1945 and Republic of Indonesian’s Act Number 2, 2008 about Political Party and the requirement and mechanism of them which fulfilled rights toward freedom of assembly.
Research type which writer utilized to propose this legal writing is normative legal writing or literature legal writing; it was a research that conducted by examined literature material or secondary data. Data included primary and secondary data; those are primary, secondary, and tertiary legal material, respectively. Technique of data collection is literature study. Here, the writer used literature study technique or collecting by library to collect and arrange data which is needed.
Data analysis used here is content analysis. Content review is a research methodology that uses a set of procedure to make conclusion precisely based on book or document, or a research technique to make rejoinder and precise conclusion based on context of data.
Research result concluded that Act Number 31, 2002 about Political Party not yet optimal to accommodate society dynamic and growth which needs political party role in nation life; beside that Act Number 31, 2002 about Political Party require to be renew caused by the demand to make Political Party as national and modern organization. Its mechanism is arranged in Regulation from Minister of Law and Human Rights Republic of Indonesia Number: M. Hh-02.11.01, 2008 about Manual for Registration of Political Party become Corporate Body. Besides that, some materials in Act Number 2, 2008 about Political Party which regulate establishment of political party remains in debate such as ideology and characteristic of political party, number of its management either in province, regency/town or sub district, Affirmative Action and establishment of political party become corporate body. No one of all oppose against freedom of assembly which is regulated in Republic of Indonesia’s Constitution, 1945. Keywords: Political, Organization, Freedom of Assembly.
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan Nasional yang telah dilaksanakan sejak jaman Orde
Baru mempunyai tujuan utama untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan
makmur yang merata materil dan spiritual yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu
dan berkedaulatan rakyat dalam suasana yang berkeprikehidupan bangsa,
aman, tertib dan dinamis dalam pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat,
tertib dan damai. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah
Indonesia telah melakukan pembangunan di segala bidang baik ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam.
Pembangunan yang difokuskan kepada manusia seutuhnya, mestinya
secara adil akan memperhatikan semua potensi sumber daya manusia yang
ada. Kualitas sumber daya manusia yang ada tidak dihitung pada sumber daya
saja, tetapi dihitung pada sumber daya yang tersedia. Oleh karena itu, harus
dilakukan langkah-langkah untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia
dalam pembangunan. Salah satunya adalah peningkatan pemberian hak untuk
mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan, hak untuk berserikat
dan berkumpul serta masih banyak hak-hak lain yang dijamin dengan
Undang-Undang.
Dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia terdapat berbagai macam
kepentingan dan keinginan untuk ikut berpartisipasi mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Maka berbagai ide dan gagasan dari
sekelompok orang diwujudkan sebagai bentuk keikutsertaan dan keperdulian
untuk turut serta mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa ini.
Karenanya tak heran kalau banyak sekali dibentuk perkumpulan-perkumpulan
di Indonesia. Perkumpulan-perkumpulan itu bekerja dan menerapkan ide dan
gagasannya di luar struktur pemerintahan. Demikian juga spesifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
pekerjaannya sangat beragam tergantung dari bidang-bidang yang paling
mampu dilakukan oleh para pendiri dan pengurusnya. Sebut saja misalnya
bidang kesehatan, pendidikan, kependudukan, lingkungan hidup, kebudayaan,
ekonomi, sosial, keagamaan, riset dan kajian, pemberdayaan rakyat di bidang
ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, dan lain-lain
(http://www.indepolis.org/d-tentang-prosedur-pembentukan-partai/).
Indonesia adalah negara yang menganut paham demokrasi yang
artinya kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kemudian
dijalankan melalui mekanisme pelembagaan yang bernama partai politik.
Kemudian partai politik saling berkompetisi secara sehat untuk
memperebutkan kekuasaan pemerintahan negara melalui mekanisme
pemilihan umum. Inilah wujud dari adanya hak asasi manusia yang telah
diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945 yaitu hak merdeka untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pikiran serta pendapat.
Sejalan dengan dinamika politik terutama sejak reformasi, yang diawali
dengan perubahan dan penambahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
upaya pengaturan partai politik terus dilakukan, yang berarti penataan kembali
legislasi partai politik dengan membentuk Undang-Undang partai politik yang
baru merupakan keharusan yang tidak mungkin dihindari.
Momentum pemilu tahun 2009 merupakan saat yang sangat bersejarah
bagi perjalanan demokrasi di negeri ini. Pemilu di tahun 2009 ini menjadi uji
coba kedua pada sistem demokrasi di Indonesia setelah Pemilu tahun 2004.
Semua saluran politik yang begitu beragam telah terbuka lebar untuk
diapresiasi dalam wujud kebebasan dan kemerdekaan menyampaikan
pendapat dan ekpresi.
Di Indonesia, perkembangan partai politik tidak terlepas dari hak
dan kewajiban warga negara dalam memberikan partisipasi politik serta
membentuk karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan
kesatuan bangsa. Bertitik tolak hal tersebut bahwa pendidikan politik
merupakan hak asasi setiap warganegara. Oleh karenanya pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
berkewajiban memenuhi, menjamin, dan melindungi hak asasi tersebut
dengan memberikan kesempatan dalam berpolitik sesuai dengan hak dan
kewajibannya dalam berpolitik sebagai warga negara.
Berdasarkan sistem demokrasi yang telah berjalan melalui
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sejak tahun 2004
merupakan bentuk pendidikan politik bagi masyarakat yang membawa
dalam situasi politik praktis dengan berbagai macam partai politik yang
bermunculan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan
politik bagi masyarakat merupakan bagian yang penting dalam membangun
sistem pemerintahan yang kuat serta berkelanjutan.
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik menyebutkan bahwa partai politik melakukan pendidikan
politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya
dengan memperhatikan keadilan dan keseteraan gender dengan tujuan antara
lain: (Pasal 31 Undan-Undang Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik)
1. meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan
2. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan
3. meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) di atas, maka dapat dinyatakan bahwa
pendidikan politik bagi masyarakat merupakan suatu ruang lingkup dalam
upaya meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajibannya dalam berpolitik
terutama memberikan partisipasi politik dengan kemandirian, kedewasaan
dan membangun karakter bangsa dengan tujuan utama memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu, partai politik diharapkan mampu
membangun iklim berdemokrasi yang berlandaskan pada Pancasila sebagai
wadah bagi masyarakat dalam memberikan hak dan kewajibannya dalam
berpolitik secara praktis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Menyingkapi hal tersebut, maka lahirnya berbagai partai politik
diharapkan akan membawa nuansa budaya politik bagi masyarakat itu
sendiri dalam memenuhi hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Pendidikan politik oleh partai politik penting diimplementasikan kepada
usaha peningkatan kesadaran berdemokrasi sebagai salah satu upaya untuk
menjabarkan pemerintahan dari rakyat dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat
yakni pemerintahan yang kewenangannya pada rakyat. Semua anggota
masyarakat yang memenuhi syarat diikutsertakan dalam kehidupan
kenegaraan dalam aktivitas pemilihan umum. Pelaksanaan dari demokrasi
ini telah dilakukan dari dahulu di berbagai daerah di Indonesia hingga
Indonesia merdeka sampai sekarang ini. Demokrasi di negara Indonesia
bersumberkan dari Pancasila dan UUD ’45 sehingga sering disebut dengan
demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan musyawarah untuk
mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada paham kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
Bersandarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik, dinamika dan perkembangan masyarakat yang
majemuk menuntut peningkatan peran, fungsi dan tanggungjawab Partai
Politik dalam kehidupan demokrasi dan konstitusional sebagai sarana
partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional
bangsa Indonesia, menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan
Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejak 4 Januari 2008 berlaku Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, menggantikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002. Alasan penggantian Undang-Undang lama antara lain adalah belum
optimalnya UU No. 31 Tahun 2002 mengakomodasi dinamika dan
perkembangan masyarakat yang menuntut peran partai politik dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui UU No. 2 Tahun 2008
diharapkan pula pembaharuan yang mengarah pada penguatan sistem dan
kelembagaan partai politik, yang menyangkut domokratisasi internal partai
politik, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan partai
politik, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan partai politik
dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara.
Partai politik merupakan hal yang sangat krusial di negara kita,
Indonesia. Betapa tidak, sebagai negara yang ‘ingin dikatakan’ demokratis,
tentu segala sesuatunya harus diaksanakan dengan demokratis pula,
termasuk dalam hal penentuan pemimpin-pemimpin mulai dari presiden,
gubernur dan kepala pemerintahan lain yang lebih rendah. Dengan jumlah
penduduk yang begitu besar, tentu harus ada pengaturan tentang siapa yang
akan menjadi pemimpin, salah satunya adalah Undang-Undang ini, Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang ini
merupakan perbaruan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002,
mengingat dalam Undang-Undang tersebut tuntutan dan dinamika
masyarakat semakin berkembang. Bahkan pwemerintah sudah bersiap-siap
mengundangkan Undang-Undang Partai Politik yang baru, yang sudah
selesai pembahasannya di tinggkat DPR.
Perubahan regulasi yang menempatkan partai politik sebagai
“organisasi yang bersifat nasional” diharapkan dapat mengubah paradigma
politik sekelompok kecil masyarakat yang gemar mendirikan partai politik.
Undang-Undang berfungsi sebagai “a tool of social engineering”, dalam hal
ini tujuan regulasi partai politik dimaksudkan untuk membatasi kebebasan
warga negara mendirikan partai dengan menetapkan persyaratan yang lebih
ketat. Persyaratan dimaksud antara lain melalui ketentuan mengenai
“pembentukan partai politik” serta organisasi dan kedudukan” partai politik.
Dengan demikian para deklarator politik harus benar-benar berusaha
memperoleh dukungan publik secara nasional sebelum pembentukan partai
diumumkan (http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/439-dampak-
sistim-multipartai-dalam-kehidupan-politik-indonesia.html). Melihat begitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
ketatnya persyaratan pendirian partai politik, ternyata di Indonesia masih
saja muncul partai politik yang begitu banyak. Hal inilah yang menarik
penulis untuk melakukan sebuah penelitian tentang persyaratan pendirian
partai politik terkait dengan Undang-Undang dasar 1945.
Melihat dari latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian yang akan dituangkan dalam sebuah penulisan hukum
(Skripsi) dengan judul “ANALISIS SYARAT DAN MEKANISME
PENDIRIAN PARTAI POLITIK SEBAGAI IMPLEMENTASI HAK
ATAS KEBEBASAN BERSERIKAT DAN BERORGANISASI
MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di paparkan sebelumnya,
penulis merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Adapun
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana syarat dan mekanisme pendirian partai politik menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik?
2. Apakah syarat dan mekanisme pendirian partai politik tersebut sudah
memenuhi prinsip hak atas kebebasan berserikat dan kebebasan
berorganisasi?
C. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan penelitian apalagi penelitian ilmiah selalu memiliki
tujuan-tujuan tertentu. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini
penulis bagi dalam dua kelompok sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
1. Tujuan Obyektif
Tujuan obyektif penelkitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui syarat dan mekanisme pendirian partai politik
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik.
b. Untuk mengetahui syarat dan mekanisme pendirian partai politik
tersebut sudah memenuhi prinsip hak atas kebebasan berserikat dan
kebebasan berorganisasi.
2. Tujuan Subyektif
Tujuan Subyektif penelitian ini adalah:
a. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan, pengetahuan dan
kemampuan penulis mengenai ilmu hukum khususnya hukum tata
negara.
b. Memberikan sumbangan dan masukan guna pengembangan ilmu
hukum khususnya hukum tata negara dalam masalah pembentukan
partai politik.
c. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Nilai dari suatu penelitian dapat dilihat dari manfaat yang dapat
diberikan. Penulis mengharapkan agar dari penelitian ini dapat menghasilkan
suatu informasi yang rinci dan lengkap serta terarah yang memberikan
jawaban atas permasalahan baik secara teoritis maupun praktis. Adapun
manfaat yang akan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang hukum serta pemecahan atas permasalahan
dilihat dari sudut teori.
b. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi di
bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di
penelitian yang akan datang.
c. Penelitian ini merupakan sarana pembelajaran bagi penulis dalam
penerapan ilmu dan teori hukum yang telah diperoleh.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini aalah :
a. Untuk mempraktekkan teori penelitian (hukum) yang penulis dapatkan
di bangku kuliah.
b. Diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang
diteliti penulis.
c. Meningkatkan penalaran, membentuk pola pemikiran yang kritis adan
dinamis serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti perkuiahan
hukum di Universitas Sebelas Maret.
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan,
dan menguji kebenaran suatu pengetahuan,gejala atau hipotesa, usaha mana
dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 1989:4).
Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah cara yang teratur dan
terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang
bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji
kebenaran maupun ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau
hipotesa. Adapun perincian mengenai metode yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan
penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan
tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soerjono
Soekanto, 2006: 10).
Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau
kepustakaan tersebut mencakup:
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum
2. Penelitian terhadap sistematik hukum
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
4. Penelitian terhadap Perbandingan hukum
5. Penelitian terhadap Sejarah hukum ( Soerjono Soekanto 2006:13-14 )
Dari cakupan jenis penelitian hukum normatif oleh Soerjono
Soekanto tersebut penelitian yang dilakukan oleh penulis termasuk dalam
penelitian terhadap asas-asas hukum. Hal ini diidentifikasikan dari kajian
penulis mengenai prinsip kebebasan berserikat yang dikaitkan dengan
pembentukan partai politik di Indonesia dan yang tergolong sebagai
penelitian terhadap asas-asas hokum adalah adanya asas lex specialis
derograt lex generalis antara Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun !945 dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang
memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-
gejala lainnya. Menurut Soerjono Soekanto, maksud penelitian bersifat
deskriptif ini adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat
membantu dalam memperkuat teori atau dalam kerangka menyusun teori
baru (Soerjono Soekanto, 2006: 10). Dalam penulisan hukum ini akan
diurakan mengenai analisis mengenai syarat pendirian partai politik dan
mekanisme pendirian partai politik sebagai implementasi kebebasan
berserikat dan berorganisasi di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian
hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan Undang-Undang
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan
histories (historical approach), pendekatan konseptual (conceptual
approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93). Dari keempat pendekatan
tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah
pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan perbandingan
dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan
historis. Pendekatan peraturan perUndang-Undangan yang dimaksud
adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Dalam
penelitian ini regulasi yang digunakan sebagai acuan adalah Peraturan
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor :
M.Hh-02.Ah.11.01 Tahun 2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pendaftaran Partai Politik Menjadi Badan Hukum, sedangkan legislasi
yang digunakan adalah Undang-Undang No 2 tahun 2008 tentang Partai
Politik. Pendekatan konseptual yang penulis gunakan tersebut karena
adanya isu hukum mengenai syarat dan mekanisme pendirian partai politik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
sebagai implementasi kebebasan berserikat dan berorganisasi di Indonesia.
Oleh karena itulah penulis perlu membangun suatu konsep untuk dijadikan
acuan di dalam penelitian ini. Serta pendekatan komparatif yang penulis
lakukan yaitu dengan membandingkan Undang-Undang Partai Politik
yang pernah dan masih ada di Indonesia. Pendekatan historis dalam
penelitian ini yaitu pendekatan terhadap sejarah sejarah perkembangan
Partai Politik hingga tahun 2009.
4. Jenis data
Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa
data sekunder. Data sekunder yaitu data atau informasi hasil penelaahan
dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan
kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun
arsip-arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas.
5. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari
suatu penelitian dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah
sumber data sekunder berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi
(public documents and official records), yaitu dokumen peraturan
perundangan yang berkaitan dengan pengaturan mengenai sistem
pemilihan umum, serta peraturan yang berkaitan dengan partai politik. Di
samping sumber data yang berupa Undang-Undang Negara maupun
Peraturan Pemerintah, penulis juga memperoleh data dari beberapa jurnal,
buku-buku referensi dan media massa yang mengulas mengenai
pengaturan sistem pemilihan umum, serta peraturan yang berkaitan dengan
partai politik.
Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat, data sekunder di bidang hukum ditinjau
dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan
terkait dengan topik bahasan yaitu terdiri dari;
1). Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945
2). Peraturan Dasar
a). Batang Tubuh UUD 1945
b). Ketetapan MPR
3). Peraturan PerUndang-Undangan
a). Undang-Undang dan peraturan yang setaraf
b). Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf
c). Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf
d). Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf
e). Peraturan-Peraturan Daerah
4). Bahan hukum yang tidak terkodifikasi, seperti, hukum adat
5). Yurisprudensi
6). Traktat
7). Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih
berlaku seperti, KUHP(yang merupakan terjemahan yang secara
yuridis formal bersifat tidak resmi dari Wetboek van Strafrecht).
Dalam hal ini penulis menggunakan bahan hukum primer,
yaitu: Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat, Undang-
Undang No 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-Undang
No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Covenant On Civil
And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil
Dan Politik), dan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor : M.Hh-02.Ah.11.01 Tahun 2008 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Partai Politik Menjadi Badan
Hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, dan terkait dengan topik bahasan yaitu seperti;
8). Rancangan peraturan perUndang-Undangan
9). Hasil karya ilmiah para sarjana
10). Hasil-hasil penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum
sekunder berupa jurnal-jurnal ilmiah dari Jurnal Legislasi Indonesia,
dan Jurnal Konstitusi.
Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, dan terkait dengan topik bahasan
yaitu bahan dari media internet, kamus besar bahasa Indonesia,
ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.
6. Teknik Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
cara pengumpulan (dokumentasi) atau disebut juga studi pustaka terhadap
data sekunder berupa peraturan perundangan, artikel maupun dokumen
lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorisasi menurut
pengelompokan yang tepat. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
teknik studi pustaka atau collecting by library untuk mengumpulkan dan
menyusun data yang diperlukan.
7. Teknik Analisis Data
Analsis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil
penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah proses
pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian
dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan
hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong,
1993:175).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Dalam buku Moleong dikemukakan rumusan beberapa pakar
tentang teknik analasis data ini, diantaranya : Barelson mendefinisikan
kajian isi sebagai teknik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan
secara obyektif, sistemeik dan kuantitatif tentang manifestasi komunikasi.
Weber menyatakan bahwa kajian isi adalah metodologi penelitian yang
memanfaatkan seperangkat presosedur untuk menarik kesimpulan yang
sahih dari sebuah buku atau dokumen. Definisi berikutnya dikemukakan
oleh Krippendorff, yaitu kajian isi adalah teknik penelitian yang
dimnfaatkan untuk menarik kesimpulan yang replikastif dan sahih dari
data atas konteksnya (Lexy J. Moleong, 19893:179). Oleh sebab itu
analisis data yang dipergunakan adalah analisis isi atau content analysis.
Karena content analysis berpijak pada tiga syarat, yaitu:
objektifitas, pendekatan sistemtis, dan generlisasi. Analisis isi
berlandaskan aturan yang dirumuskan secara eksplisit. Untuk memenuhi
syarat sistematis, untuk kategori isi haruslah menyajikan generalisasi,
artinya temuannya haruslah mempunyai sumbangan teoritis. Sehingga
dalam penulisan ini penulis ingin mengkaji isi Undang-Undanga Nomor 2
Tahun 2008 berkaitan dengan syarat dan mekanisme pendirian partai
politik yang dikaitkan dengan kebebasan berserikat dan berorganisasi yang
diatur Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberi gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai
penulisan hukum ini, maka berikut ini kami sajikan sistematika:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab iini akan diuraikan mengenai pendahuluan yang
terdiri dari Latar belakang masalah, Perumusan masalah, Tujuan
penelitian, Manfaat penelitian, Metode penelitian serta
Sistematika penulisan hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisikan sub bab mengenai tinjauan umum
tentang Tentang Demokrasi yang membahas mengenai
Pengertian dan hakikat demokrasi, Unsur-unsur penegak
demokrasi serta Model-model demokrasi. Dijelaskan juga
mengenai Teori konstitusi dan Konstitusionalisme yang
membahas masalah Teori Konstitusi, Substansi Konstitusi dan
juga Teori konstitusionalisme. Juga dijelaskan tentang pemilihan
umum, lembaga-lembaga yang terlibat serta kedudukan UU No.
10 tahun 2008 dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia. Sub
bab berikutnya menjelaskan tentang Tinjauan mengenai Partai
Politik, Pengertian Partai Politik, Fungsi Partai Politik,
Klasifikasi Partai Politik, Sistem Kepartaian, Suprastruktur dan
Infrasturktur partai politik baik pengertian, peranan maupun
keberadaannya serta dibahas juga tentang Kebebasan Berserikat
yang membahas tentang pengertian Kebebasan Bersuyarat,
Instrumen Internasional serta Hakekat Kebebasan Bersyarat
serta Compeled Association dan bagian terakhir adalah
Kerangka Pemikiran.
BAB III : HASIL PENMELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian dan
pembahasan yang berisikan sub bab tentang : syarat dan
mekanisme pendirian partai politik menurut undang-ungdang
dasar negara republik indonesia tahun 1945 dan Undang-Undang
republik indonesia nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik
serta syarat dan mekanisme pendirian partai politik tersebut
sudah memenuhi prinsip hak atas kebebasan berserikat dan
kebebasan berorganisasi.
BAB IV : PENUTUP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Dalam bab ini disampaikan tentang kesimpulan dari hasil
penelitian dan pembahasan, disertai pula dengan saran serta
pendapat penulis.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Demokrasi
a. Pengertian dan Hakikat Demokrasi
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa
(etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis, "demokrasi"
berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu
demos yang berarti rakyat, dan cratos/cratein yang berarti
pemerintahan, sehingga dapat disimpulkan sebagai pemerintahan
rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan
suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara
tersebut. Sedangkan pengertian demokrasi bila ditinjau dari
terminologis (Azyumardi Azra, 2000 : 110), sebagaimana dikemukakan
beberapa para ahli, misalnya :
1) Joseph A. Schmeter, bahwa demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individuindividu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
2) Sidney Hook, bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
3) Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl yang menyatakan bahwa demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.
4) Henry B. Mayo, bahwa demokrasi merupakan suatu sistem politik yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
5) Affan Gaffar, bahwa demokrasi terbagi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif, ialah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh suatu negara, dan pemaknaan secara empirik, yaitu demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu
pengertian dasar bahwa demokrasi merupakan suatu sistem
pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Hal ini
mengandung tiga unsur yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat.
Pemerintahan dari rakyat mengandung pengertian bahwa
pemerintah yang berdaulat adalah pemerintah yang mendapat
pengakuan dan didukung oleh rakyat. Legitimasi suatu pemerintahan
sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintahan yang
berdaulat dapat menjalankan pemerintahannya serta program-program
sebagai wujud dari amanat dari rakyat yang diberikan kepadanya.
Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa pemerintah yang
mendapat legitimasi amanat dari rakyat sudah seharusnya untuk tunduk
pada pengawasan rakyat (social control). Dengan adanya control
tersebut, maka dapat sebagai tindakan preventif mengantisipasi ambisi
keotoriteran para pejabat pemerintah.
Pemerintahan untuk rakyat mengandung arti bahwa kekuasaan
yang diberikan dari dan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan
untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, perlu adanya kepekaan
pemerintah terhadap kebutuhan rakyat dan terhadap aspirasi rakyat
yang perlu diakomodir yang kemudian di follow-up melaluipengeluaran
kebijakan maupun melalui pelaksanaan program kerja pemerintah.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan
legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang
saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu
sama lain. Independensi dan kesejajaran dari ketiga jenis lembaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and
balances.
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti
hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen
secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan
presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak
menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan
rakyat memilih sendiri secara langsung hanyalah sedikit dari sekian
banyak makna kedaulatan rakyat. Walaupun perannya dalam sistem
demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta
demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir (paradigma) lama dari
sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola,
bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil.
Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan
jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji
mampu membangun negara.
b. Unsur-unsur penegak demokrasi
Karena sangat pentingnya demokrasi, maka perlu adanya
faktor-faktor untuk menegakkkan demokrasi itu sendiri (Azyumardi
Azra, 2000 : 117 – 121). Ada empat faktor utama yaitu :
1) Negara hukum (rechtsstaat dan rule of law)
Konsep rechtsstaat adalah adanya perlindungan terhadap
hak asasi manusia (HAM), adanya pemisahan dan pembagian
kekuasaan pada lembaga negara, pemerintahan berdasarkan
peraturan, serta adanya peradilan administrasi. Sedangkan konsep
dari rule of law yaitu adanya supremasi aturan-aturan hukum,
adanya kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the
law), serta adanya jaminan perlindungan HAM.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Berdasarkan dua pandangan di atas, maka dapat ditarik
suatu konsep pokok dari negara hukum yaitu adanya jaminan
perlindungan terhadap HAM, adanya supremasi hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan, adanya pemisahan dan pembagian
kekuasaan negara, dan adanya lembaga peradilan yang bebas dan
mandiri.
2) Masyarakat madani
Masyarakat madani dicirikan dengan masyarakat yang
terbuka, yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara,
masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif, serta masyarakat
yang egaliter. Masyarakat yang seperti ini merupakan elemen yang
sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Demokrasi yang
terbentuk kemudian dapat dianggap sebagai hasil dinamika
masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi. Selain itu,
demokrasi merupakan pandangan mengenai masyarakat dalam
kaitan dengan pengungkapan kehendak, adanya perbedaan
pandangan, adanya keragaman dan konsensus.
3) Infrastruktur
Infrastruktur politik yang dimaksud terdiri dari partai
politik (parpol), kelompok gerakan, serta kelompok kepentingan
atau kelompok penekan. Partai politik merupakan suatu wadah
struktur kelembagaan politik yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai, dan cita-cita yang sama yaitu memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam
mewujudkan kebijakan-kebijakannya. Kelompok gerakan lebih
dikenal dengan organisasi masyarakat, yang merupakan
sekelompok orang yang berhimpun dalam satu wadah organisasi
yang berorientasi pada pemberdayaan warganya. Sedangkan
kelompok kepentingan atau penekan adalah sekumpulan orang
dalam suatu wadah organisasi yang didasarkan pada kriteria
profesionalitas dan keilmuan tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Dikaitkan dengan demokrasi, menurut Miriam Budiardjo,
parpol memiliki empat fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi
politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai recruitment kader
dan anggota politik, serta sebagai sarana pengatur konflik.
Keempat fungsi tersebut merupakan pengejawantahan dari
nilainilai demokrasi, yaitu adanya partisipasi serta kontrol rakyat
melalui parpol. Sedangkan kelompok gerakan dan kelompok
kepentingan merupakan perwujudan adanya kebebasan
berorganisasi, kebebasan menyampaikan pendapat, dan melakukan
oposisi terhadap negara dan pemerintah.
4) Model-model demokrasi
Model-model demokrasi antara lain :
a) Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi Undang-Undang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg.
b) Demokrasi terpimpin, yaitu dimana para pemimpin percaya bahwa segala tindakan mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai “kendaraan” untuk menduduki kekuasaaan.
c) Demokrasi Pancasila, adalah dimana kedaulatan rakyat sebagai inti dari demokrasi. Karenanya, rakyat mempunyai hak yang sama untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi politik yang sama semua rakyat. Untuk itu, Pemerintah patut memberikan perlindungan dan jaminan bagi warga negara dalam menjalankan hak politik.
d) Demokrasi sosial, adalah demokrasi yang menaruh kepedulian pada keadilan sosial dan egaliterianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan publik.
e) Demokrasi langsung, yang mana lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan, sedangkan pemilihan pejabat eksekutif dan legislatif melalui pemilihan umum oleh rakyat secara langsung.
f) Demokrasi tidak langsung, yang mana lembaga parlemen dituntut kepekaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah dan negara. Hal ini berarti rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan pemerintah(Azyumardi Azra, 2000 : 134).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
2. Teori Konstitusi dan Konstitusionalisme
a. Teori Konstitusi
Istilah konstitusi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno,
hanya saja konstitusi itu masih diartikan materiil karena konstitusi
itu belum diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis. Hal Ini
terbukti faham Aristoteles yang membedakan istilah politea dan
nomoi. Politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi
adalah Undang-Undang biasa. Perbedaan di antara dua istilah
tersebut yaitu bahwa politea mengandung kekuasaan yang lebih
tinggi dari pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan
membentuk sedangkan pada nomoi kekuasaan itu tidak ada (Jimly
Asshiddiqie, 2006 : 90).
Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata
kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang
dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung
makna awal (permulaan) dari segala peraturan perUndang-
Undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah
“Grondwet” yaitu berarti suatu Undang-Undang yang menjadi
dasar (ground) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah
Grondwet menjadi Undang-Undang Dasar. Undang Undang Dasar
(Konstitusi) adalah aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, baik tertulis
maupun tidak tertulis. Pembatasan ini adalah kutipan dari alinea
pertama Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Undang-Undang Dasar suatu negara hanya sebagian dari
hukum dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum
dasar yang tertulis sedang disamping Undang-Undang Dasar itu
berlaku juga hukum dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktek penyelenggraan negara, meskipun tidak tertulis”.
Pada prinsipnya hukum Tata Negara merupakan hasil
tejemahan dari kata ”Constitusional Law”. Secara harafiah berarti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Hukum Konstitusi. Menurut Wiryono Projodikoro: ”Istilah
konstitusi berasal dari bahasa Perancis ”constituter” yang berarti
membentuk. Dalam hubunganya dalam kehidupan ketatanegaraan
istilah konstitusi mengandung maksud pembentukan suatu negara
atau menyusun dan menyatakan negara” (B.Hestu Cipto H, 2003:
33).
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan
dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa
hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang dasar
dan dapat pula tidak tertulis. Tidak semua negara memiliki
konstitusi tertulis atau Undang-Undang dasar. Kerajaan Inggris
biasa disebut sebagai negara konstitusional tetapi tidak memiliki
satu naskah Undang-Undang dasar sebagai konstitusi tertulis.
Oleh sebab itu, disamping karena adanya negara yang dikenal
sebagai negara konstitusional tetapi tidak memiliki konstitusi
tertulis, nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam praktek
penyelenggaraan negara juga diakui hukum dasar dan tercakup
pula dalam pengertian konstitusi dalam arti yang luas. Karena itu,
undangundang dasar sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai
dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai
konvensi ketatanegaraan dalam praktek ketatanegaraan sehari-
hari, termasuk ke dalam pengertian konstitusi atau hukum dasar
(droit constitusionnel) suatu negara (Jimli Asshiddiqie, 2006: 35).
Berlakunya konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat
didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang
dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut kedaulatan
rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika
yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang
menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Oleh para ahli
disebut sebagai ”constituent power” yang merupakan kewenangan
yang ada diluar dan sekaligus diatas sistem yang diaturnya. Di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
lingkungan negara-negara demokrasi rakyatlah yang dianggap
menentukan suatu konstitusi.
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan
lebih tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi
itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otoritas
bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan
perundangundangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang
berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang
tingkatnnya berada dibawah Undang-Undang dasar dapat berlaku
dan diberlakukan, peraturan-peraturan ini tidak boleh
bertentanggan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut (Jimli
Asshiddiqie, 2006: 21-23).
b. Substansi Konstitusi
Prinsip negara hukum demokrasi sudah menjadi paradigma
teori ketatanegaraan yang tidak terbantahkan. Dalam dataran
paham konstitusionalisme Indonesia, prinsip semacam ini juga
telah ditegaskan secara eksplisit didalam Undang-Undang dasar
1945 (sebelum dan sesudah amandemen). Prinsip-prinsip yang
dimaksud adalah menghendaki adanya pelindungan terhadap hak
asasi manusia, pemisahan kekuasaan, legalitas pemerintahan dan
peradilan yang bebas. Oleh sebab itulah dalam konteks untuk
memberikan isi atau muatan konstitusi Indonesia, unsur-unsur yang
harus dipergunakan adalah terjaminya perlindungan hak asasi
manusia yang meliputi hak asasi manusia dalam aspek individu
(klasik) maupun aspek sosial politik (Ham modern).
Hal ini memberikan indikasi bahwa persoalan perlindungan
hak asasi manusia disamping dituangkan didalam konstitusi
sifatnya adalah pokok-pokok yang harus menjadi dasar
pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia. Sedangkan yang
dituangkan dalam Undang-Undang adalah perlindungan hak asasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
manusia yang sifatnya lebih terperinci, termasuk didalamnya
mekanisme pelaksanaan untuk melakukan penegakan hukumnya
(B.Hestu Cipto H, 2003: 41).
c. Teori Konstitusionalisme
Walton H . Hamilton memulai artikel yang ditulisnya dengan
judul Constitusionalism yang menjadi entri dalam Encyclopedia Of
Social Scienses tahun 1930 dengan kalimat: ”Constitusionalism is
the name given to the trust which men repose in the power of words
engrossed on parchement to keep a goverment in order”. Untuk
tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan
yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses
pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana
mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan secara
alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespon
perkembangan peran relative kekuasaan umum dalam kehidupan
umat manusia (Walton H. Hamilton dalam bukunya Jimly
Asshiddiqie, 2006: 19).
Konstitusionalisme dizaman sekarang dianggap sebagai
konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Basis pokok
konstitusionalisme adalah kesepakatan umum atau persetujuan
consensus diantara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang
diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara diperlukan
oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama
dapat dilindungi dan dipromosikan melalui pembentukan dan
penggunaan mekanisme yang disebut nagara. Kata kunci consensus
atau general agremeent. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka
runtuh pula legitimasi kekuasaan yang bersangkutan dan pada
giliranya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi.
Sebagai contoh tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia,
yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis tahun 1789, di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Amerika pada tahun 1776 dan Rusia pada tahun 1917, ataupun di
Indonesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme
dizaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga
elemen kesepakatan (consensus), yaitu Kesepakatan tentang tujuan
atau cita-cita bersama (the general goals of society or general
acceptance of the same philosophy of government), Serta
kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan
atau penyelenggara negara (the basis of government), dan
Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan
prosedurprosedur ketatanegaraan (the form of institusion of
prosedures)
Kesepakatan (consensus) pertama adalah berkaitan dengan
cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan
konstitusionalisme suatu negara. Kesepakatan kedua adalah basis
pemerintah didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi yang
sangat prinsipil, dalam suatu negara ada keyakinan bahwa adapun
yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan negara harus
didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama yang
dipelopori oleh A.V.Dicey, sarjana Inggris. Di Amerika Serikat
dikembangkan sebagai jargon, yaitu “The Rule Of law, and not of
Man” pengertian hukumlah yang sebenarnya memerintah atau
memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.
”The rule of law” berbeda dengan istilah ”The Rule by
Law”. Kedudukan hukum digambarkan bersifat instrumentalis atau
alat, sedangkan kepemimpinan tetap ditangan orang atau
pemimpin. Hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem
yang puncaknya terdapat pengertian hukum dasar yaitu konstitusi,
baik dalam naskah tertulis maupun tidak tertulis. Kita kenal adanya
constitusional state yang merupakan ciri penting negara demokrasi
modern. Kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi
dalam memutuskan sesuatu yang didasarkan atas hukum, tanpa ada
konsensus seperti itu konstitusi tidak akan berguna karena hanya
berfungsi sebagai kertas atau dokumen yang mati, hanya bernilai
sematik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagai
mana mestinya.
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan bangunan
organ negara atau prosedur yang berkaitan dengan kekuasaan,
hubungan antar organ negara satu dengan yang lain, serta
hubungan antar organ negara dengan warga negara. Dengan
adanya kesepakatan itu maka isi konstitusi dapat dengan mudah
dirumuskan kerena benarbenar menceminkan keinginan bersama
berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme
ketatanegaraan yang dikembangkan dalam kerangka kehidupan
negara konstitusi. Konstitusi tidak sama dengan Undang-Undang
yang dapat dengan mudah diubah. Prinsip konstitusionalisme
modern menyangkut mengenai pembatasan kekuasaan.
Konstitusionalisme modern mengatur dua hubungan yang saling
berkaitan satu sama lain, yaitu hubungan pemerintah dengan
warga negara, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu
dengan lembaga pemerintahan yang lain. Fungsi konstitusi yang
sangat penting baik dalam akademis atau dalam praktek antara
lain:
1) Menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai suatu
fungsi konstitusionalisme.
2) Memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan.
3) Sebagai instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari
pemegang kekuasaan asal (baik dari rakyat dalam sistem
demokrasi atau Raja dalam sistem Monarki) kepada
organorgan kekuasaan negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa konstitusi dapat
pula difungsikan sebagai sarana kontrol politik, sosial,
danekonomi dimasa depan, dan sebagai sarana perekayasa politik,
sosial dan ekonomi menuju masa depan, fungsi konstitusi antara
lain:
(1) Sebagai fungsi penentu dan pembatas organ negara. (2) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara. (3) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara
dengan warga negara. (4) Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan
negara ataupun kegiatan penyelenggaran kekuasaan negara. (5) Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber
kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara.
(6) Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity). (7) Fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan
kebangsaan (identity of nation). (8) Fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony). (9) Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social
control), baik dalam arti sempit dalam bidang politik maupun dalam arti luas mencakup bidang sosial dan ekonomi.
(10) Fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaharuan masyarakat (social engineering atau social reform), baik dalam arti sempit maupun luas (Jimli Ashhiddiqie, 2006: 40).
3. Tinjauan Umum Tentang Pemilihan Umum
a. Pengertian Tentang Pemilu
Pada dasarnya bahwa Pemilihan Umum selanjutnya disebut
Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahaasia, jujur, dan
adil secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan
kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang
demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi
keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, diselenggarakan pemilihan umum. Disinipun terlihat
peran Dewan Perwakilan Daerah yang proaktif dalam mengawal
sebuah kebijakan yang benar dengan ikut juga mengajukan uji
materi atas Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 dengan
Perkara Nomor 10/PUU-VI/2008 dimohonkan oleh Dewan
Perwakilan Daerah, anggota DPD, perorangan warga negara
Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap pemilu,
parlemen Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah yang terdiri
dari para pegiat Sekretariat Nasional Perlindungan Hak
Konstitusional Masyarakat Hukum Adat (Seknas MHA), Pusat
Reformasi Pemilu atau Center for Electoral Reform (Cetro),
Indonesian Parliamentary Center (IPC), dan Forum Masyarakat
Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) serta warga daerah. Para
pemohon menyatakan, penghapusan syarat domisili dan syarat non-
partai politik dalam Padal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu merupakan
penghilangan norma konstitusi. Ketiadaan kedua syarat dianggap
menyebabkan Undang - undang Pemilu menegasikan norma
konstitusi bahwa calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih
dari setiap provinsi terkait (Pasal 22C ayat (1) UUD 1945) dan
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah berasal dari perseorangan
(Pasal 22E ayat (4) UUD 1945).
Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah
Konstitusi menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu
bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4)
UUD 1945, karena tidak mengandung persyaratan berdomisili di
provinsi bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai
politik. Pemerintah menjungkirbalikkan alasan-alasan uji materiil
Undang - undang Pemilu. Dalam persidangan ketiga ini,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
keterangan Pemerintah yang dibacakan Mardiyanto menyatakan,
pemohon uji materiil tak mampu menjelaskan bentuk kerugian
Dewan Perwakilan Daerah maupun legal standing-nya. “Dalil para
pemohon hanya angan-angan belaka!” kata Mardiyanto. Ia berkali-
kali menyebut, permohonan yang diajukan bersifat spekulatif,
hipotetik, dan berlebihan. Terhadap gugatan uji materiil itu,
Pemerintah mempertanyakan beberapa hal.
Pertama, soal hak dan kewenangan konstitusional Dewan
Perwakilan Daerah yang dilanggar. Menurut Pemerintah,
pertanyaan DPD salah sasaran karena ketentuan yang digugat
hanya berkaitan dengan syarat menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah. Bahwa anggota Dewan Perwakilan Daerah
secara individu dirugikan dengan Pasal-Pasal itu, Mardiyanto
mempertanyakan kerugian anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Sebab saat ini anggota Dewan Perwakilan Daerah menjadi anggota
Dewan Perwakilan Daerah dan tidak terhalangi siapapun. “Bahkan
hak dan kewenangan anggota Dewan Perwakilan Daerah untuk
mencalonkan diri kembali sebagai anggota Dewan Perwakilan
Daerah pada Pemilu 2009 tidak terkurangi dan terhalangi
sedikitpun dengan ketentuan itu,” tegasnya. Mendagri kemudian
mempertanyakan landasan Seknas MHA, Cetro, IPC, dan
Formappi yang ikut menggugat Undang - undang Pemilu.
Mardiyanto berkilah, kedua Pasal yang digugat tidak terkait
kepentingan mereka, apalagi merugikannya. “Jika dalam penerapan
Undang - undang Pemilu ‘seolah-olah’ mengesampingkan atau
mengalahkan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah yang
berasal dari kelompok masyarakat yang diwakili oleh lembaga
swadaya masyarakat (LSM), maka itu tidak terkait dengan
aturannya. Sebab, rakyatlah yang menentukan siapa yang dianggap
layak untuk mewakili daerahnya,” jelasnya Ia menyatakan,
pencalonan untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
melalui pemilu berdasarkan prinsip kesamaan hak dan kedudukan
setiap warga negara menggunakan haknya untuk dipilih, sehingga
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah tidak dipersyaratkan
untuk berdomisili di provinsi yang menjadi daerah pemilihannya
dan tidak dibatasi menurut latar belakang atau status politiknya
(partai politik atau non-partai politik). “Hal ini sesuai dengan
prinsip kesatuan wilayah dan kesamaan kedudukan hukum warga
negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” urai
Mardiyanto. Ia juga mengatakan Pemilu 2009 akan terganggu jika
Mahkamah Konstitusi mengkabulkan permohonan uji materi ini
dan menjadi dasar gugatan hasil Pemilu 2009. “Akan terjadi
kekosongan hukum, terutama syarat-syarat calon Dewan
Perwakilan Daerah,” kata Mardiyanto. Jika ketentuan Pasal 12 dan
Pasal 67 Undang - undang Pemilu dibatalkan maka akan terjadi
kekacauan hukum karena kedua Pasal mengatur syarat-syarat calon
Dewan Perwakilan Daerah yang meniadakan syarat domisili dan
nonpartai politik.( diakses melalui www.kabarindonesia.com 1
Desember 2009)
Dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 ini
mengatur juga mengenai seluruh proses dan tata cara termasuk
didalamnya aturan dan kelengkapan untuk pemilu yang sangat
penting diantaranya adalah tahapan-tahapan pemilu sesuai yang
tercantum dalam Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 4
(empat) diantaranya :
1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.
2) Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi:
a) Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih.
b) Pendaftaran Peserta Pemilu.
c) Penetapan Peserta Pemilu.
d) Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
e) Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.
f) Masa kampanye.
g) Masa tenang.
h) Pemungutan dan penghitungan suara.
i) Penetapan hasil Pemilu, dan
j) Pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD.
Sehubungan dengan pola pengisian keanggotaan Lembaga
Perwakilan Rakyat tersebut, maka mekanisme untuk menentukan
anggota-anggota di Lembaga Perwakilan Rakyat dapat
digolongkan ke dalam dua sistem, yaitu (Bintan R. Saragih, 1988:
171) :
1) Sistem Pemilihan Mekanis.
Sistem pemilihan mekanis berpangkal tolak dari pemikiran
bahwa (http//www.djpp.depkumham.go.id diakses 15 Agustus
2009) :
a. Rakyat di dalam suatu negara dipandang sebagai massa
individu-individu yang sama.
b. Individu-individu inilah yang bertindak sebagai pengendali
hak pilih aktif.
c. Masing-masing individu berhak mengeluarkan satu suara
dalam setiap pemilihan untuk satu Lembaga Perwakilan
Rakyat.
d. Dalam negara liberal mengutamakan individu-individu
sebagai kesatuan otonom dan masyarakat dipandang sebagai
suatu kompleks hubunganhubungan antar individu yang
bersifat kontraktual. Sedangkan di dalam negara sosialis-
komunis lebih mengutamakan totaliteit kolektif masyarakat
dan mengecilkan peranan individu-individu dalam totaliteit
kolektif ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
e. Partai politik atau organisasi politik berperan dalam
mengorganisir pemilih, sehingga eksistensinya
(keberadaannya) sangat diperlukan, baik menurut sistem
satu partai, dua partai ataupun multipartai.
2) Sistem Pemilihan Organis.
Sistem pemilihan organis ini dilandasi oleh pokok pikiran
bahwa :
a. Rakyat dalam suatu negara dipandang sebagai sejumlah
individu yang hidup bersama dalam beraneka ragam
persekutuan hidup, seperti genealogi (keluarga), teritorial
(daerah), fungsional spesialis (cabang industri),
lapisanlapisan sosial (buruh, tani) dan lembaga-lembaga
sosial (LSM/ORNOP).
b. Persekutuan-persekutuan hidup inilah yang bertindak sebagai
pengendali hak pilih. Artinya yang mempunyai kewenangan
atau hak untuk mengutus wakil-wakilnya duduk sebagai
anggota Lembaga Perwakilan Rakyat adalah Persekutuan-
persekutuan hidup tersebut..
c. Partai-partai Politik dalam struktur kehidupan
kemasyarakatan seperti ini tidak dibutuhkan keberadaannya.
Hal ini disebabkan mekanisme pemilihan diselenggarakan
dan dipimpin sendiri oleh masing-masing persekutuan hidup
tersebut.
Berdasarkan pokok pikiran inilah, maka keberadaan
Lembaga Perwakilan Rakyat - menurut sistem pemilihan organis -
tidak lebih hanya merupakan “Lembaga Perwakilan Persekutuan-
persekutuan hidup”. Dengan kata lain Lembaga Perwakilan yang
hanya berfungsi untuk mengurus kepentingan-kepentingan khusus
dari persekutuan-persekutuan hidup yang ada di dalam masyarakat
suatu negara. Dengan demikian melalui sistem pemilihan organis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
ini kedudukan Lembaga Perwakilan menjadi lemah, dan tingkat
representasinya sangat rendah. Oleh sebab itu apabila Lembaga
Perwakilan jenis ini akan menetapkan suatu Undang-Undang yang
menyangkut hak-hak rakyat, maka Undang-Undang tersebut dapat
berlaku efektif jika rakyat telah menyetujui, misalnya melalui
referendum.
Dalam perkembangan lebih lanjut, kedua sistem Pemilihan
Umum ini membuka peluang adanya kombinasi antara keduanya.
Sistem Pemilihan yang mengkombinasikan antara sistem distrik
dan Proporsional adalah sistem Pemilihan Umum yang
dilaksanakan di Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam UU
No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Sistem yang dimaksud adalah
“Sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka”.
a. Sistem Pemilihan Distrik.
Tatanan Pemilihan umum seperti ini dapat
digambarkan sebagai berikut. Wilayah suatu negara yang
menyelenggarakan suatu pemilihan untuk wakil-wakil di
parlemen, dibagi atas distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya
sama dengan kursi yang tersedia di parlemen (kursi di Parlemen
yang diperebutkan dalam Pemilihan umum). Setiap distrik
hanya memilih satu orang wakil untuk duduk di Parlemen dari
beberapa calon untuk distrik tersebut. Jikalau pembagian distrik
dirasa terlalu banyak, maka dapat juga dipergunakan cara
penentuan distrik berdasarkan kursi di Parlemen di bagi dua.
Hal ini berarti untuk masing-masing distrik bisa mengirimkan
dua calon untuk duduk di kursi Parlemen. Contohnya: Jumlah
Kursi di Parlemen adalah 500. Untuk cara yang pertama dapat
ditempuh dengan membagi wilayah negara menjadi 500 distrik.
Jikalau cara seperti ini mengakibatkan jumlah distrik terlalu
banyak, maka dapat ditempuh dengan membagi wilayah negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
menjadi 250 distrik. Cara yang kedua ini mengakibatkan
masing-masing distrik bisa mengirimkan wakil sebanyak 2
(dua) orang. Berdasarkan tatanan (sistem) Pemilihan distrik
semacam ini, maka keuntungan yang dapat diperoleh adalah :
1) Hubungan antara rakyat dengan “sang wakil” relatif dekat.
Hal ini disebabkan partai-partai politik tidak mungkin
mencalonkan calon wakil rakyat yang tidak populer di
masing-masing distrik. Selain itu dalam perkembangan lebih
lanjut sang wakil tidak akan mengatas namakan Partai
Politik, karena dalam Pemilihan distrik, rakyat memilih
orang. Bukan PartaiPolitik.
2) Sistem ini mendorong penyatuan partai-partai (khususnya
jika suatu negara itu mempergunakan sistem multi partai).
Hal ini disebabkan calon yang terpilih di masing-masing
distrik hanya satu atau lebih dari satu, dan terpilihnya
mereka ini semata-mata hanya karena kepopuleran dan
kredibilitasnya. Oleh sebab itulah ada kemungkinan partai-
partai politik itu bergabung untuk mencalonkan seseorang
yang lebih “mumpuni” diantara mereka. Calon yang
mumpuni itu belum tentu berasal dari satu partai. Bahkan
ada kemungkinan adalah calon independen dan non partisan.
3) Organisasi dari penyelenggaraan pemilihan dengan sistem
distrik ini relatif sederhana. Tidak memerlukan banyak
orang dan banyak birokrasi untuk menyusun kepanitiaan
Pemilihan. Biayanya relatif lebih murah dan
penyelenggaraannya relatif singkat. Sisa suara yang
terbuang tidak perlu diperhitungkan.
4) Dengan mempergunakan sistem distrik, maka ada
kemungkinan pertumbuhan Partai Politik yang cenderung
sektarian, ideologis atau aliran, dan primordialisme menjadi
berkurang. Hal ini mengingat tokoh-tokoh politik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
terpilih menjadi wakil masing-masing distrik lebih
mengedepankan kepentingan rakyat di masing-masing
distrik, ketimbang kepentingan kelompok Partai yang justru
kadangkala menyimpang dari kepentingan rakyat banyak.
Sedangkan kelemahan dan sistem pemilihan distrik, dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1) Banyak suara yang terbuang. Bahkan ada kemungkinan terjadi
fenomena Low representative Versus High representative.
Artinya Calon yang menjadi wakil dari suatu distrik, pada
hakikatnya hanya memperoleh suara minoritas atau Low
Representative yang ada di distrik yang bersangkutan, jikalau
dibandingkan jumlah total suara (High Representative) dari
calon- calon lain di distrik tersebut. Contohnya :
Calon A : 40 suara.
Calon B : 39 suara.
Calon C : 25 suara.
Calon D : 20 Suara.
Calon E : 15 suara.
Berdasarkan suara tersebut maka Wakil Rakyat dari Distrik
tersebut adalah A. Akan tetapi bila dilihat jumlah total
perolehan suara (B+C+D+E), maka representasi dari calon A di
distrik tersebut adalah rendah (Low representative).
2) Menyulitkan bagi Partai-partai kecil dan golongan-golongan
minoritas untuk mempunyai wakil di Lembaga Perwakilan
Rakyat. Apalagi mereka ini terpencar dalam berbagai distrik
pemilihan.
b. Sistem Pemilihan Proporsional (Multi member constituency).
Tatanan (sistem) pemilihan umum seperti ini adalah
mempergunakan mekanisme sebagai berikut. Kursi yang tersedia
di Parlemen Pusat diperebutkan dalam suatu Pemilihan Umum,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
dibagi kepada Partai-partai Politik atau golongan-golongan politik
yang ikut serta dalam Pemilihan Umum sesuai dengan imbangan
suara yang diperoleh dalam pemilihan yang bersangkutan.
Misalnya untuk kepentingan ini ditentukan suatu perimbangan 1 :
400.000. Imbangan suara seperti ini, artinya 1 (satu) orang wakil
harus memperoleh dukungan suara 400.000 rakyat pemilih yang
berhak. Dengan kata lain sejumlah 400.000 pemilih mempunyai 1
(satu) orang wakil di Parlemen Dalam sistem ini, negara dianggap
sebagai satu daerah pemilihan, dan tiap suara dihitung. Dalam arti
bahwa suara yang diperoleh dari suatu daerah dapat ditambahkan
dari suara yang diperoleh dari suatu daerah lainnya. Sehingga besar
kemungkinan setiap organisasi peserta Pemilihan Umum (Partai
Politik/ Golongan Politik) memperoleh kursi/wakil di Parlemen
Pusat. Kendatipun negara dianggap satu daerah pemilihan, namun
mengingat luas wilayah suatu negara serta jumlah penduduk yang
besar, maka pada umumnya dalam sistem pemilihan proporsional
ini sering dibentuk daerah pemilihan (bukan distrik pemilihan),
yaitu wilayah negara dibagi dalam daerah-daerah pemilihan.
Kemudian dengan mempertimbangkan wilayah negara,
jumlah penduduk dan faktor-faktor politik lainnya. Akan tetapi
sistem ini mengandung kelemahan yang cukup substansiil, yaitu :
1) Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya
partai-partai baru. Dengan keadaan yang demikian ini, maka
dengan mempergunakan sistem proposional justru menjurus
kearah munculnya bermacam-macam golongan, sehingga lebih
mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada. Kurang
mendorong untuk dipergunakan dalam mencari dan
memanfaatkan persamaan-persamaan. Dengan mempergunakan
sistem ini peta Politik justru mengarah pada politik aliran yang
sarat dengan konflik ideologi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
2) Wakil-wakil yang terpilih justru merasa lebih dekat dengan
induk organisasinya, yaitu Partai Politik. Kurang memiliki
loyalitas kepada rakyat pemilih. Hal ini disebabkan oleh
adanya anggapan bahwa keberadaan Partai Politik dalam
menentukan seseorang menjadi wakil rakyat lebih dominan
dari pada kemampuan individu dari sang wakil. Rakyat hanya
memilih Partai Politik. Bukan memilih seorang wakil.
3) Dengan membuka peluang munculnya banyak partai, maka
sistem ini justru mempersulit terbentuknya pemerintahan yang
stabil, sebab pada umumnya penentuan pemerintahan
didasarkan pada koalisi dari dua partai atau lebih. Disamping
kedua sistem tersebut di atas, masih dijumpai adanya sistem
lain, yaitu sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka.
Sistem semacam ini dikembangkan oleh Indonesia dalam
melaksanakan Pemilu tahun 2004. Mekanisme dari sistem ini
hampir sama dengan sistem proporsional. Akan tetapi dalam
penentuan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, Partai
Politik hanya mengajukan calon-calon dalam daftar yang
disusun berdasarkan abjad. Bukan nomor urut. Kemudian
dalam pelaksanaan pemungutan suara, rakyat pemilih
disamping “mencontreng” Partai Politik yang dikehendaki,
mereka juga memilih nama-nama calon wakil yang diajukan
oleh Partai Politik yang bersangkutan. Cara semacam ini
dimunculkan sebagai respon atas keprihatinan rakyat terhadap
kualitas wakil-wakil rakyat yang lebih condong mementingkan
kepentingan Partai Politik. Sehingga dengan mempergunakan
cara semacam ini, diharapkan wakil rakyat benar-benar mampu
membawa aspirasi rakyat pemilih.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
b. Lembaga-Lembaga yang Terlibat dalam Pemilu
Ada beberapa lembaga yang nantinya akan bertugas dan
mempunyai kewajiban mensukseskan jalannya pemilu itu sendiri
diantaranya (Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 ):
1) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI lembaga negara
yang bermemiliki tugas dan kewenangan untuk menetapkan atau
memutuskn partai calon partai politik menjadi partai politik.
2) Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga penyelenggara Pemilu
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
3) Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disebut Bawaslu, adalah
badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4) Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara yang
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap
Undang – undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilu.
c. Kedudukan UU No. 10 Tahun 2008 dalam Ketatanegraan Hukum
Indonesia
Dalam rangka memperkaya pemahaman terhadap Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD maka pada kesempatan ini akan diselidiki
penerapan dari sudut pandang hukum terutama Hukum Tata Negara.
Menurut Logemann hal-hal yang diselidiki Hukum Tata Negara
adalah: (Soerjono Soekanto dan Mamuji, 1990: 34)
Jabatan-jabatan apakah yang terdapat dalam susunan kenegaraan tertentu, b) siapakah yang mengadakan jabatan-jabatan itu, c) bagaimanakah cara melengkapinya dengan pejabat, d) apakah tugasnya (lingkungan pekerjaannya), e) apakah wewenang hukumnya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
f) dalam batas-batas apakah organisasi negara (dan bagian-bagiannya) menjalankan tugas kewajibannya.
Dengan berpedoman pada pendapat Logemann tersebut
selanjutnya akan diselidiki mengenai Dewan Perwakilan Rakyat
melalui suatu penelitian hukum normatif sederhana. Penelitian hukum
normatif atau kepustakaan tersebut mencakup: 1. Penelitian terhadap
azas-azas hukum; 2. Penelitian terhadap sistematik hukum; 3.
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; 4.
Perbandingan hukum; 5. Sejarah hukum.
Akan tetapi, pada kesempatan ini hanya akan dilaksanakan salah
satu jenis, yaitu penelitian terhadap taraf sinkronisasi terutama taraf
sinkronisasi vertikal, yakni apakah perundang-undangan yang berlaku
bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila
dilihat dari sudut hirarki perundang-undangan tersebut.
Adapun jenis dan hierarki peraturan perundang-undang
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah:
(a)Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b)
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (c)
Peraturan Pemerintah; (d.) Peraturan Presiden; (e.) Peraturan Daerah.
Selanjutnya akan disampaikan ketentuan tentang DPR dalam
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945) dan UU No. 10 Tahun 2008. Fungsi Undang-Undang
adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam
UUD 1945 baik yang tersurat maupun yang tersirat sesuai dengan asas
negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan asas konstitusionalisme.
Sebagaimana telah disampaikan bahwa Fungsi Undang-Undang
adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam
UUD 1945. Dengan demikian, semestinya ketentuan dalam setiap
Undang-Undang harus mampu memenuhi kebutuhan yang diatur
dalam UUD 1945. Jika UUD 1945 mengatur tentang kekuasaan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
fungsi, hak, atau hal-hal lain dari sebuah lembaga negara maka UU
harus dapat mengatur lebih lanjut agar kekuasaan, fungsi, dan hak
tersebut dalam dilaksanakan.
Dari ketentuan tentang DPR dalam UUD 1945 dapat diketahui
bahwa lembaga ini memegang kekuasaan membentuk undang-undang
serta memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan. Sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak
mengajukan usul rancangan undang-undang. Sehubungan dengan itu,
seharusnya Undang-Undang yang menyelenggarakan pengaturan lebih
lanjt tentang DPR harus dapat mengisi lembaga negara ini dengan
orang-orang yang mampu melaksanakan kekuasaan, fungsi, dan hak
yang diberikan. Akan tetapi, dari persyaratan untuk menjadi calon
anggota DPR tidak satu pun yang dapat mematikan anggota DPR pasti
mampu melaksanakan kekuasaan, fungsi, dan hak yang diberikan
UUD 1945. Kenyataan ini akan menyebabkan pemilihan umum hanya
sebagai sarana legitimasi politik. Padahal dalam suatu negara
demokrasi semestinya pemilihan umum bukan sekedar sebagai sarana
legitimasi politik melainkan juga sebagai sarana pendidikan politik
bagi rakyat.
4. Tinjauan Tentang Partai Politik dan Sistem Kepartaian
a. Pengertian Partai Politik
Secara etimologis politik berasal dari kata polis bahasa
Yunani yang artinya kota, sehingga politik dapat diartikan sebagai
hal ihwal mengatur penyelenggaraan suatu kota, atau jika diperluas
penyelenggaraan suatu negara. Pengertian politik lebih sulit
didefinisikan dari berbagai pengertian sosiologi karena politik
(politics) meliputi berbagai kegiatan dalam suatu sistem politik (atau
negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari
sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan
keputusan tentang tujuan sistem perlu skala prioritas dari berbagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
alternatif, sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu
ditentukan berbagai kebijakan umum public policies yang
menyangkut pengaturan dan pembagian distribution atau alokasi
dari sumber-sumber yang ada resources allocation.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah
suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan
kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusionil
untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka (Miriam
Budiardjo, 2007:160).
Dalam praktek kegiatan politik dilaksanakan oleh lembaga-
lembaga politik yang masing-masing memiliki kewenangan tertentu.
Lembagalembaga itu adalah : negara, lembaga-lembaga perwakilan
rakyat, lembagalembaga peradilan, serta partai politik. Bagaimana
praktek politik itu dilaksanakan tergantung pada sistem politik serta
filosofi yang dianut oleh masing-masing negara, mungkin demokratis
dapat pula otoriter, theistik atau atheistik.
Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2008 Tentang Partai Politik memberi pengertian bahwa Partai
Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan
negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Partai politik didirikan dan dibentuk
oleh sekurangkurangnya 50 orang warga negara Republik Indonesia
yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris. Akta notaris yang
dimaksud adalah harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga disertai kepengurusan tingkat nasional. Partai politik di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Indonesia harus mendaftarkan diri pada departemen kehakiman.
Dalam pembentukannya partai politik harus memiliki asas yang tidak
boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. dan setiap
partai politik mempunyai ciri tertentu sesuai dengan kehendak dan
cita-citanya yang tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945
dan Undang-Undang.
b. Fungsi Partai Politik
Konsep fungsi pada dasarnya merupakan suatu bentuk kerja,
yang menurut Poerwadarminta adalah jabatan yang dilakukan dalam
pekerjaan yang dilakukan. (Soejamto, 1972: 16) Lebih lanjut
dikatakan bahwa fungsi adalah suatu yang menjadi pokok (hal yang
besar pengaruhnya terhadap sesuatu), terutama dapat berlangsung
dalam suatu organisasi besar maupun kecil, pemerintah maupun
swasta.
The Liang Gie mengatakan bahwa bila dari jumlah
pekerjaan dalam suatu organisasi telah menjadi sangat banyak, maka
dikelompokkan menjadi kesatuan bidang kerja cukup bulat, masing-
masing bidang kerja ini dapat disebut sebagai fungsi. (A.H Soeharto,
1986: 5). Menurut Sarwoto fungsi dapat pula diwujudkan dalam
sekelompok kegiatan homogen dalam arti satu sama lain terdapat
hubungan yang sangat erat.
Berdasarkan pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa
fungsi merupakan tugas pokok organisasi seperti partai politik dalam
rangka legislasi, anggaran dan pengawasan. Hal ini dipertegas oleh
Rudini bahwa fungsi itu sesungguhnya telah melekat pada tugas dan
wewenang. (Ibrahim Ambong dan Miriam Budiharjo, 1993: 109).
Moekijat mengatakan bahwa “Kecakapan-kecakapan
manusia menunjukkan kenyataan bahwa pelaksanaan daripada
fungsi-fungsi harus diserahkan baik langsung maupun tidak langsung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
kepada manusia”. (Hari Cahyono, 1991: 97). Selanjutnya Moekijat
juga mengatakan ”Fungsi-fungsi pada pekerjaan yang diusulkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan”. (Hari Cahyono,
1991: 98)
Dalam kaitan dengan itu, partai politik mempunyai fungsi
sebagai berikut:
1) Sarana komukasi politik yakni sebagai jembatan arus informasi antara orang yang memerintah (pemerintah) dan orang yang diperintah (rakyat);
2) Sebagai sarana sosialisasi politik yaitu proses dimana seseorang memperoleh pandangan, orientasi, dan nilai-nilai kemasyarakatan dimana dia berada dan juga mewariskan nilai-nilai sosial tadi ke generasi berikutnya;
3) Sarana rekruitmen politik, yaitu proses pencarian anggota baru dan mengajak orang untuk ikut dalam proses politik;
4) Sarana pengatur konflik (conflict management), yakni mengatasi konflik yang disebabkan perbedaan sosial dan budaya di masyarakat agar dampak negatif dapat diminimalisir sekecil mungkin;
5) Sebagai pembinaan dan pengembangan intregitas nasional yaitu sebagai perekat dari berbagai corak daerah, golongan dan budaya agar mempunyai pandangan hidup menjadi satu bangsa. (Haricahyono, 1991: 99)
Sedangkan menurut George H. Sabin mengatakan:
“Fungsi Partai Politik diwujudkan secara konstitusional. Karena itu konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya”. (George H. Sabine, 1961: 517-596)
Fungsi Patai Politik menurut Miriam Budiarjo adalah sebagai
berikut :
a) Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Salah satu tugas partai politik adalah menyalurkan
aneka ragam pendapat dan aspirasi masyrakat yang
mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran
pendapat dalam masyarakat berkurang. Perlu adanya suatu
proses dalam masyarakat untuk menghindari hilangnya aspirasi
dari kelompok minoritas atas dominasi kelompok yang lebih
kuat. Proses ini dinamakan “penggabungan kepentinga”(interest
aggretion). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah
dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini
dinamakan “perumusan kepentingan” (interest articulatiaom).
b) Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Partai politik juga memainkan peranan sebagai sarana
sosialisasi politk (instrument of political socialisation). Di
dalam ilmu politik, sosialisasi politik diartikan sebagai proses
penemuan sikap dan orientasi pribadi terhadap fenomena politik
yang umumnya ditemukan yang umumnya berlaku dalam
masyarakat diamana ia berada. Proses sosialisasi politik
diartikan juga sebagai pembelajaran atau internalisasi nilai-nilai
politik. Dalam proses ini partai politik menegaskan visi dan
misi partai terhadap simpatisan dan partisannya sehngga
memperoleh keyakinan dari masyarakat. Proses sosialisasi
politik merupakan proses yang panjang dalam masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
c) Sebagai Sarana Rekrumen Politik
Partai politik dalam hal ini bergfungsi untuk mencari
dan mengajak orang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai (political recruitment). Dengan
demikian partai turut memperluas partisipasi politiknya.
Caranya ialah melalui kontak pribadi, persuasi dan lain-lain.
Juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik
menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti
pimpinan yang lama (selection of leadership). Kader-kader
tersebut nantinya diseleksi untuk menempati jabatan-jabatan
politik yang tersedia.
d) Sebagai Sarana Pengatur Konflik (Conflict Management)
Dalam sarana demokrasi, persaingan dan perbedaan
pendapat dalam masyarakat merupakan persoalan yang wajar.
Jika sampai terjadi konflik, partai politik harus turut campur
menyelesaikannya. Dalam hal ini partai politik memposisikan
dirinya sebagai sarana agregasi kepentingan (aggregation of
interest), sekaligus yang mengintegrasikan kepentingan-
kepentingan yang muncul di masyarakat untuk selanjutnya
mengarahkan kepentingan-kepentingan yang ada untuk secara
efektif mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan
semata-mata untuk menghindari hal-hal yang bersifat destruktif
ataupun anarki.
Fungsi Partai Politik menurut ketentuan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
adalah:
(1) Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar
menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
(2) Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan
masyarakat;
(3) Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik
masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan
negara;
(4) Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
(5) Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik
melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan
kesetaraan dan keadilan gender
Pada tataran yang lebih teknis, sekiranya perlu untuk
memperhatikan pendapat Yves Meny dan Andrew Knapp
mengenai fungsi Partai Politik, sebagaimana dikutip oleh Jimly
Asshiddiqie sebagai berikut (Jimly Asshiddiqie, 2006:159)
1) Fungsi mobilisasi dan integrasi; 2) Sarana pembentukan terhadap perilaku memilih (voting
pattem); 3) Sarana rekrutmen politik; 4) Sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan
e) Klasifikasi Partai Politik
Ichlasus Amal seperti yang dikutip Mukhtie Fadjar
mengklasifikasikan partai politik dalam lima jenis, yaitu:
(1) Partai Proto, adalaha tipe awal partai politik sebelum mencapai perkembangan seperti dewasa ini yang muncul di Eropa Barat sekitar abad tengah sampai akhir abad ke 19. Ciri paling menonjol partai proto adalah perbedaan antara kelompok anggota (ins) dengan non-anggota (outs). Masih belum nampak sebagai partai politik modern, tetapi hanya merupakan faksi-faksi yang dibentuk berdasarkan pengelompokan ideologi dalam masyarakat.
(2) Partai kader, merupakan perkembangan lebih lanjut partai proto, muncul sebelum diterapkan hak pilih secara luas bagi rakyat, sehingga sangat tergantung masyarakat kelas menengah ke atas memiliki hak pilih, keanggotaan yang terbatas, kepemimpinan, serta pemberi dana. Tingkat organisasi dan ideologi masih rendah. Ideologi yang dianut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
konservatisme ekstrim atau reformisme moderat, partai kader tidak perlu organisasi besar yang memobilisasi massa. Contoh PSI di Indonesia (1950-1960an).
(3) Partai massa, muncul setelah terjadi perluasan hak pilih rakyat, sehingga dianggap sebagai suatu respon politik dan organisasional bagi perluasan hak pilih. Kalau partai peoto dan partai kader muncul dalam lingkungan parlemen (intra-parlemen) dan memiliki basis pendukung kelas menengah ke atas dengan tingkat organisasi dan ideologi rendah. Partai massa terbentuk di luar parlemen (extra-parlemen) dengan basis massa luas, seperti buruh, tani, kelompok agama dan lain-lain dengan ideologi yang kuat untuk memobilisasi massa dengan organisasi yang rapi. Tujuan utamanya bukan hanya memperoleh kemenangan dalam pemilihan umum tetapi juga memberikan pendidikan politik bagi rakyat atau anggota. Contoh: partai-partai politik di Indonesia (1950-1960an), sepeti PNI, Masyumi, PKI, dan lain-lain.
(4) Partai diktatorial, merupakan suatu tipe partai massa tetapi memiliki ideologi yang lebih kaku dan radikal. Kontrol terhadap anggota dan rekrutmen anggota sangat ketat (selektif), karena dituntut kesetiaan dan komitmen terhadap ideologi. Contoh : PKI dan umumnya partai komuni.
(5) Partai catch-all, merupakan gabungan partai kader dan partai massa. Istilah “catch-all” pertama kali dikemukakan oleh Otto Kircheimer untuk memberikan tipologi pada kecenderungan partai politik di Eropa Barat pasca Perang Dunia II. Catch-all artinya “menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak mungkin untuk di jadikan anggotanya”. Tujuan utama partai ini adalah memenangkan pemilihan umum dengan menawarkan program dan keuntungan bagi anggotanya sebagai ganti ideologi yang kaku. Aktivitas Partai ini erat kaitannya dengan kelompok kepentingan dan kelompok penekan. Contoh : Golkar di Indonesia (1971-1998) (Mukhtie Fadjar,2008:17-19).
c. Sistem Kepartaian
Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi pada suatu
sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari
sitem kepartaian yang diterapkan disuatu negara. Dalam suatu
sistem tertentu, partai berinteraksi dengan sekurang-kurangnya satu
partai lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi regulasi yang
diberlakukan. Sistem pkepartaian memberikan gambaran tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
struktur persaingan diantara sesama partai politik dalam upaya
meraih kekuasaan dalam pemerintahan.
Untuk melihat sistem kepartaian suatu negara, ada dua
pendekatan yang dikenal secara umum. Pertama, melihat partai
sebagai unit-unti dan sebagai satu kesatuan yang terlepas dari
kesatuan-kesatuan lain. Pendekatan numerik ini pernah
dikembangkan Maurice Duverger (1950-an), ilmuwan politik
kebangsaan Prancis. Menurut Duverger, sistem kepartaian dapat
dilihat dari pola perilaku dan interaksi anatar sejumlah partai dalam
sistem politik, yang dapat digolongkan menjadi tiga unit, yakni
sistem partai tunggal, sistem dwi partai, sistem multipartai (Agun
Gunandjar Sudarso, 2008: 4).
Dengan kehidupan politik ketatanegaraan suatu negara,
pada prinsipnya dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu:
1) Sistem partai tunggal (the single party system). Istilah ini dipergunakan untuk partai politik yang benar-benar merupakan satu-satunya partai politik dalam suatu negara, maupun untuk partai politik yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai politik lainnya. Kecenderuangan untuk menerapkan sistem partai tunggal disebabkan pimpinan negara-negara baru sering dihadapkan maslah mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya. Karena dikhawatirkan bila keanekaragaman ini diniarkan berkembang akan menimbulkan gejolak-gejolak sosial yang menghambat usaha-usaha pembangunan dan menimbulkan disentegrasi.
2) Sistem dua partai (two party system). Menurut Maurice Duverger, sistem ini adalah khas Anglo Saxon. Dalam sistem ini partai politik dengan jelas dibagi kedalam partai politik yang berkuasa karena menang dalam pemilu dan partai oposisi karena kalah dalam pemilu.
3) Sistem banyak partai (multy party system) pada umumnya sistem kepartaian semua ini muncul karena keanekaragaman sosial budaya dan politik yang terdapat di dalam suatu Negara (Zainal Abidin Saleh, 2008: 73).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Di Indonesia, meskipun sistem kepartaian yang dianut adalah
multy-party, namun yang terjadi ternyata tidak seperti yang diteorikan
(dikonsepsikan) oleh Anderson tersebut. Sampai dengan pelaksanaan
pemilihan umum tahun 1997 (periode setelah itu, terutama setelah
reformasi berhasil merestrukturisasi sistem kepartaian dalam pemilu
1999 tidak termasuk dalam analisis ini) jumlah partai politik yang ada
memang sama dengan yang dicirikan dalam sistem multy-party,
tetapi peran partai dalam proses pembuatan kebijakan publik
cenderung sama dengan yang ada di negara dengan sistem satu-
partai. Dalam kenyataannya, terutama setelah masa Dekrit Presiden
untuk membubarkan Konstituante dan setelah terbentuknya
Demokrasi Terpimpin, pada dasarnya partai politik telah mengalami
reproduksi. Dalam pandangan Fachry Ali “partai politik sebagai
kekuatan di luar birokrasi negara telah dikocok sedemikian rupa
sehingga memproduksikan kekuatan-kekuatan politik yang mudah
dicetak”. (Fahri Ali, 1985: 9)
Bahkan ketika kekuasaan rejim jatuh ke tangan orde baru,
kebijakan memproduksi parpol itu terus berlangsung. Ini terjadi
karena birokrasi dan negara telah tumbuh menjadi sangat dominan
dan sangat kuat, sehingga seakan-akan birokrasi itu sendiri adalah
partai, partai birokrasi. Dalam pandangan Mc Vey, “gerakan
reproduksi itu bahkan tidak hanya terjadi pada organisasi-organisasi
politik, melainkan juga terjadi pada elite pimpinan politik dan
organisasi massa”. (Ruth T. Mc Vey dalam The Army, The Parties
and Elections, in Indonesia, No.11, Edisi April 1971)
Puncak dari gerakan reproduksi itu adalah “dilakukannya
fusi parpol pada tahun 1975. Tragisnya, berbarengan dengan gerakan
reproduksi partai-partai politik, seleksi kepemimpinan partai pun
dilangsungkan”. (Fachry Ali, 1985: 73). Dalam proses seleksi inilah
diproduksi pula para pimpinan partai dengan disain dan rekayasa
yang menguntungkan rejim, dengan harapan tidak akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
menggoyahkan pemerintah yang memang sudah establish. Dengan
demikian partai politik praktis menjadi organ pemerintah di luar
birokrasi. Oleh karena parpol sudah menjadi organ pemerintah maka
parpol kehilangan legitimasi di hadapan publik. Apalagi setelah
lahirnya kebijakan asas tunggal dimana parpol sudah meninggalkan
simbol-simbol yang tadinya mudah dikenali konstituen-nya.
Perkembangan ini akhirnya mempengaruhi penampilan parpol itu
sendiri, terutama dalam hal aksesnya terhadap policy making. Fungsi
parpol sebagai penyalur aspirasi publik untuk mempengaruhi proses
pembuatan kebijakan publik dengan sendirinya terkikis oleh peran
barunya sebagai organ pemerintah.
Karena adanya peranan parpol yang tidak menguntungkan
itu maka tampillah kelompok-kelompok kepentingan (interest
groups; LSM) serta kelompok-kelompok lain dalam masyarakat,
sebagai bentuk baru dari wadah aspirasi publik yang memang masih
aktif. Inilah konsekwensinya, masyarakat lebih mempercayai LSM
dan LSM tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Sayangnya masih
sangat sedikit LSM yang berkualitas dan benar-benar lahir untuk
pemberdayaan masyarakat. Jadi munculnya LSM-LSM di masa
terakhir kepemimpinan rejim orde baru adalah indikasi dari kerdilnya
peran parpol waktu itu. Inilah agaknya yang diramalkan oleh
Anderson sebagai, “… parties have a broader range of policy
concerns than the interest groups”. (Joko Purwono, 1989: 88). . Dan
ini adalah konsekuensi yang positif. Adapun konsekuensi lainnya,
yang cenderung bersifat negatif, adalah munculnya partisipasi
negative dari masyarakat, yang dalam istilah Arbi Sanit disebut
sebagai kegiatan "Non Konvensional", yang dalam banyak kasus
cenderung merugikan masyarakat itu sendiri. (Arbi Sanit, 1987: 14)
Dengan berbagai resening kita jelas tidak menghendaki
kejadian-kejadian itu terulang lagi. Meskipun demikian kita tetap
tidak boleh mencegah fenomena masyarakat yang mengambil sikap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
dan perilaku negatif, karena hal itu adalah realistis. Yang paling bisa
kita lakukan adalah membangun iklim dimana partai politik benar-
benar menjadi pemain dan berperan sesuai dengan fungsinya dalam
mempengaruhi proses perumusan kebijakan publik.
d. Infrastruktur dan Suprastruktur Partai Politik
1) Pengertian Infrastruktur dan Suprastruktur
Infrastruktur dan suprastruktur adalah konsep digunakan
oleh Marx dengan Marxisme untuk membedakan dasar-dasar
perunbahan tatanan sosial yang penting. Dalam pengertian Karl
Marx bahwa superstruktur berarti semua produksi yang bersifat
non-materia yang berasal dari ide masyarakat antara lain.
Lembaga-lemabaga Politik, Hukum atau Undang-undang, agama,
pemikiran, filsafat dan etika sedangkan infrastruktur bagi Karl
Marx bersifat mengacu pada sumber daya antara lain: kondisi
produksi (iklim, sumber daya alam), alat-alat produksi (alat, mesin)
dan hubungan produksi (kelas sosial, dominasi, keterasingan dan
sebagainya). (Gunawan Suryatmaja, 2008: 29)
Korelasi antara Infrastruktur sebagai sebab yang dapat
mengatur kegiatan produksi sedangkan peran suprastruktur
(lembaga-lembaga politik, hukum, agama, pikiran, filsafat,
moralitas) yang menjadi akibat dalam kegiatan produksi dalam hal
ini Marxis bermaksud untuk menjelaskan adanya perubahan sosial
akibat dari dorongan oleh perubahan-perubahan dalam produksi
sistem. Sebaliknya pada struktur yang akan tetap menjaga sistim
produksi, Marx menjelaskan ini berdasarkan teori dari Filsafat
Hegel dan idialisme Jerman pada umumnya dalam pergerakan ide-
ide yang membahas borjuis konvervatif dengan kapitalis produksi.
Ada perbedaan antara suprastruktur dan infrastruktur Politik. Infrastruktur politik adalah suatu set struktur yang menggabungkan antara satu dengan yang lain, lalu membentuk satu rangkaian yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
membantu berdirinya keseluruhan struktur tertentu. Infrastruktur politik terdiri dari: (Gunawan Suryatmaja, 2008: 52) a) Partai Politik; b) Interest Group (kelompok kepentingan); c)Presure Group (Kelompok penekan); d) Media of Political Communication (Media Komunikasi Politik); e) Journalism Group (Kelompok jurnalis); f) Student Group (Kelompok Pelajar); g) Political Figure (Figure-figure politik). Suprastruktur politik, yaitu suasana kehidupan politik di dalam
pemerintahan dan berhubungan dengan peran fungsi lembaga-
lemba pemerintahan. Suprastruktur politik terdiri dari: (Gunawan
Suryatmaja, 2008: 52)
(1) Lembaga eksekutif (pemerintahan/presiden)
(2) Lembaga legislatif (parlemen, DPR)
(3) Lembaga Yudikatif (peradilan , MA);
Supra dan infra saling mempengaruhi, dimana supra sebagai
pembuat keputusan akan mendapat masukan berupa tuntutan dan
aspiasi dari infra. Dan sebaliknya, infra akan melaksanakan yang
ada dalam supra. (Gunawan Suryatmaja, 2008: 53)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Suprastrauktur
berarti semua produksi yang bersifat non-materi yang berasal dari
ide masyarakat antara lain, lembaga-lembaga politik, hukum atau
undang-undang, agama, pemikiran, filsafat dan etika. Sedangkan
infrastruktur bagi Karl Marx bersifat yang mengacu pada sumber
daya antara lain: kondisi produksi (iklim, sumber daya alam), alat-
alat produksi (alat, mesin) dan hubungan produksi (kelas sosial,
dominasi, keterasingan dan sebagainya).
Korelasi antara Infrastruktur sebagai sebab yang dapat
mengatur kegiatan produksi sedangkan peran suprastruktur
(lembaga-lembaga politik, hukum, agama, pikiran, filsafat,
moralitas) yang menjadi akibat dalam kegiatan produksi dalam hal
ini Marxis bermaksud untuk menjelaskan adanya perubahan sosial
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
akibat dari dorongan oleh perubahan-perubahan dalam produksi
sistem. Sebaliknya pada struktur yang akan tetap menjaga sistim
produksi, Marx menjelaskan ini berdasarkan teori dari Filsafat
Hegel dan idialisme Jerman pada umumnya dalam pergerakan ide-
ide yang membahas borjuis konvervatif dengan kapitalis produksi.
Sedangkan Suprastruktur merupakan Fisik dan sosial
adalah dapat didefinisikan sebagai kebutuhan dasar fisik
pengorganisasian sistim struktur yang diperlukan untuk jaminan
ekonomi sektor publik, dan sektor privat, sebagai layanan dan
fasilitas yang diperlukan, agar perekonomian dapat berfungsi
dengan baik, istilah ini umumnya merujuk kepada hal infrastruktur
teknis atau fisik yang mendukng jaringan struktur seperti fasilitas
antara lain dapat berupa jalan, kereta api, air bersih, kanal, waduk,
tanggul, pengelolahan limbah, perlistikan. Telekomunikasi,
infrastruktur selain fasilitas akan tetapi sebagai contoh bahwa jalan
dapat melancarkan transportasi pengiriman bahan baku sampai ke
pabrik kemudian untuk distribusi ke pasar hingga sampai kepada
masyarakat. Dalam beberapa pengertian, istilah infrastruktur
termasuk pula infrastruktur sosial kebutuhan dasar seperti antara
lain termasuk sekolah dan rumah sakit, bila dalam militer, istilah
ini dapt pula merujuk kepada bangunan permanen dan instalasi
yang diperlukan untuk mendukun operasi dan pemindahan.
2) Peranan Infrastruktur Politik dalam Pemilu
Tidak terdapat definisi rinci tentang infrastuktur politik,
kecuali dipertentangkan dengan suprastruktur politik. Namun
demikian sudah merupakan kesepakatan umum menganggap
bahwa partai politik termasuk dalam kelomp[ok inti infrastruktur
politik, kemudian diikuti oleh ormas sebagai pelengkap kelompok
inti yang kehadirannya juga dipandang sebagai keharusan. Karena
dalam konteks Indonesia tanpa ormas infrastruktur politik tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
bermakna sama sekali. Di lain pihak, hubungan komplementer
antara supra dan infrastruktur mengindikasikan pula betapa urgen
yang tersebut terakhir ini dalam proses institusionalisasi politik.
Dalam hubungannya dengan pemilihan umum, patut dicatat
terlebih dahulu pengertian yang diajukan teoritisi klasik sejak
Tocqueville sampai ke Jefferson percaya bahwa partisipasi politik,
lebih-lebih melalui pemberian suara dalam pemilihan umum,
merupakan kunci bagi pemerintahan demokratis, yaitu suatu
mekanisme, yang dengannya kepercayaan rakyat terhadap
pemerintahan diletakkan. (Gunawan Suryatmaja, 2008: 29)
Pemilihan umum merupakan salah satu partisipasi politik
masyarakat. Marger seperti dikutip Sherman dan Kolker dalam
Gunawan Suryatmaja, membagi dua bentuk partisipasi.
Pertama melembaga, yairu metode-metode tindakan warga negara yang sengaja diadakan dan dapat diterima yang dipandang sah oleh sistem politik yang berlaku. Yang termasuk dalam kategori ini adalah pemberian suara dalam pemilu, menulis surat untuk pejabat politik, berkarya untuk suatu partai politik tertentu, berdemonstrasi secara damai dan lain-lain. Kedua, bentuk partisipasi massa yang tidak melembaga yang tidak sah, yaitu tingkah laku warga negara yang menyimpang dari tuntutan suatu jabatan, berupa ketidakpatuhan rakyat, konfrontasi dengan kekerasan terhadap kekuasaan pemerintah dan tindakan sengaja untuk menjatuhkan sistem yang sedang berlaku. (Gunawan Suryatmaja, 2008: 60)
Ahli lainnya, Milbrath, membagi empat bentuk partisipasi
politik, yaitu kegiatan spektator, kegiatan transisi dan kegiatan
gladiator, serta bermasa bodoh, berjenjang dari bawah sampai pada
yang paling tinggi, yakni memegang jabatan publik dan partai.
Dengan pendekatan ini maka pemberian suara dalam pemilu
menduduki ranking nomor dua terbawah dari 14 macam kegiatan
yang disebut sebagai partisipasi politik.
Cara pandang lain, seperti dikemukakan Lipset dalam
Gunawan Suryatmaja, tidak melihat keikutsertaan warganegara di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
dalam pemilihan umum sebagai sesuatu yang penting, terutama di
dalam membicarakan partisipasi politik. Karena partisipasi tidak
diperlukan dan bukan pula merupakan syarat yang harus ada untuk
mempengaruhi organisasi dan kebijakan pemerintah. (Gunawan
Suryatmaja, 2008: 29). Dalam kenyataannya bisa terjadi para
anggota masyarakat menunjukkan suatu tingkat partisipasi yang
rendah di dalam organisasi atau masyarakat, tetapi tetap dapat
mempengaruhi kebijakan dengan kemampuan mereka menarik atau
memberikan dukungan pemilu kepada salah satu penguasa
(birokrasi) yang berbeda yang bersaing merebut kekuasaan. Di
pihak lain, para anggota organisasi atau warga negara dapat selalu
aktif mengikuti rapat-rapat, memasuki berbagai organisasi politik,
dan bahkan memiliki tingkat pemberian suara yang tinggi, tetapi
memiliki sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali pengaruh
terhadap pengambilan kebijakan politik.
Kecuali cara pandang di atas, arti pemilihan umum bagi
suatu sistem politik dapat pula dirujuk pada pandangan yang
dikemukakan aliran pluralis, yang tidak sekedar menganggap
pemberian suara dalam pemilu itu penting, tetapi menekankan pula
arti penting kegiatan kelompok kepentingan. Sementara teori
konflik, sebagaimana tercermin dalam pendapat Lipset diatas,
menganggap kebanyakan bentuk partisipasi nonelite sebagai ritual
simbolik dan bukan tindakan rasional pilihan serta merupakan
tingkah laku yang tidak efektif untuk mengontrol para elite.
Terlepas dari berbagai pandangan tentang esensi pemilu
diatas sepanjang pengetahuan saya pemilu merupakan suatu
mekanisme untuk merealisasikan salah satu fungsi sistem politik,
yaitu rekrutmen politik. Secara rinci, seperti dikemukkan oleh
Nohlen, di negara-negara demokrasi liberal barat kegunaan
pemilihan umum meliputi: (Gunawan Suryatmaja, 2008: 31)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
a) Membentuk basis konsep demokrasi liberal.
b) Memberikan legitimasi bagi sistem politik.
c) Memberikan legitimasi bagi kepemimpinan politik.
d) Merupakan unsur penting partisipasi demokratis.
Dengan demikian jelasa bahwa pemilu bukan sekedar ritual
seremonik. Salah satu pertanyaan pokok adalah: seberapa jauh
pemilu dapat memenuhi keempat fungsinya itu di dalam suatu
sistem politik tertentu? Banyak faktor yang mempengaruhi
berfungsi atau tidaknya pemilu dalam menegakkan tatanan politik
demokratis.
3) Keberadaan Infrastruktur dalam Pemilu
Dalam hal ini harus dibedakan antara partai politik dan
ormas dalam keikutsertaan mereka di dalam pemilu. Keikutsertaan
partai politik di dalam pemilu jelas merupakan salah satu cara
aktualisasi fungsi parpol untuk didudukkan di dalam suprastruktur
politik. Dengan kata lain dibandingkan dengan unsur infrastruktur
lainnya, parpol sebagai kelompok kepentingan memiliki kaitan
langsung dengan pemilu guna mempertahankan statusquonya.
Fungsi-fungsi partai lainnya juga dapat dilaksanakan manakala
partai dapat mendominasi kekuasaan melalui pemilu. Markovic
mencatata delapan fungsi partai sebagai berikut: (M Rusli Karim.
1991: 53)
a) Artikulasi kebutuhan, kepentingan dan aspirasi berbagai kelompok sosial.
b) Menggariskan alternatif jangka panjang dan menengah untuk tujuan-tujuan sosial.
c) Perumusan program untuk mencapai tujuan.
d) Mengintegrasikan sebagian besar penduduk ke arah tujuan bersama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
e) Mencarikan pemecahan kompromis konflik antar kebangsaan, ras, agama dan kelas.
f) Rekrutmen dan pemilihan pemimpin dan fungsionaris politik yang berbakat
g) Pengorganisasian kampanye pemilu untuk mewakili kelompok sosial yang ada.
h) Kontrol dan kritik terhadap pemerintah.
Partai sangat berkepentingan untuk ikut ambil bagian.
Keterlibatan individu di dalam partai menurut Robert H Blank
dalam M Rusli Karim, menjelaskan bahwa memiliki enam jenjang
dari sebagai ikut-ikutan, pendukung umum, pemilih primer,
menjadi anggota, pekerja partai sampai ke jenjang tertinggi,
sebagai pemimpin partai. (M Rusli Karim, 1991: 52)
Dengan demikian partai sangat berkepentingan untuk
terlibat secara intens di dalam pemilu. Melalui suara yang
didapatnya di dalam pemilu. Melalui suara yang di dapatnya di
dalam pemilu suatu partai terwakili di dalam suprastuktur politik.
Persoalannya adalah apakah sistem pemilu memungkinkan adanya
kompetisi politik yang sehat atau tidak di antara masing-masing
kekuatan politik. Manakala pemilu benar-benar berfungsi sebagai
sarana persaingan memperebutkan pengaruh massa maka pemilu
akan mencapai sasarannya, dalam arti keikutsertaan rakyat dalam
pemberian suara akan tinggi. Kendatipun dalam kenyataannya
tidak semua warga negara yang memenuhi syarat menggunakan
hak mereka untuk memilih tetapi partai sangat berkepentingan
terhadap semua pemilih. Aksebilitas partai politik sangat
ditentukan oleh seberapa besar dukungan suara yang diberikan
rakyat kepadanya pada masing-masing pemilu.
Pada bagian lain uraiannya kedua penulis ini menyatakan
bahwa keputusan seseorang untuk memberikan suara dalam pemilu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
tersebut ditentukan oleh pertimbangan singkat tentang situasi
tertentu yang dikaitkan dengan berbagai pertimbangan jangka
panjang lainnya. Dilihat dari identifikasi partainya serta pengaruh-
pengaruh sosial lainnya seperti kelamin, identitas etnis, pendidikan,
status ekonomi sosial dan tekanan dari kelompok primernya.
Sedangkan dilihat dari aspek sosial Lipser mengajukan empat
faktor yang mempengaruhi tingkat pemberian suara dalam pemilu:
(M Rusli Karim, 1991: 54)
(1) Signifikansi kebijakan pemerintah terhadap individu.
(2) Akses kepada informasi.
(3) Tekanan kelompok untuk memberikan suara.
(4) Tekanan-tekanan yang saling berbenturan.
Di negara kita pemilu ditandai oleh tiadanya kompetisi
ketiga kekuatan politik. Sesuai dengan tujuan menciptakan
stabilitas politik maka sejak awal orde baru pemerintah menaruh
kepentingan bagi adanya satu kekuatan politik yang sangat
dominan. Untuk itu diciptakanlah berbagai aturan main dalam
pemilu yang sengaja dirancang agar terjadi pemusatan kekuasaan
pada kekuatan politik yang di dukung oleh birokrasi. Sistem
pemilu, sebagai bagian integral dari rekayasa politik orde baru
tidak memberi peluang bagi kedua partai politik untuk dapat
meraih suara yang memadai. Dimulai dengan Pemilu 1971 sampai
Pemilu 1987 perolehan kedua parpol inii tidak mencapai 40 persen
suara. Parpol mengidap penyakit internal berupa rapuhnya
kohesivitas partai, yang bermulai dari berbagai sumber konflik
internal di satu pihak, sementara sistem Pemilu, di pihak lain, tidak
mendukung bagi berperannya partai secara leluasa untuk
memperebutkan pengaruh melalui Pemilu. Terputsnya komunikasi
partai dengan massa di tingkat kecamatan ke bawah menyebabkan
kedua parpol tidak lagi mengakar di dalam masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Terputusnya hubungan itu ditandai pula oleh makin
langkanya rakyat yang bersedia menjadi aktivis partai di tingkat
kecamatan dan desa. Phobi parpol merupakan akibat logis dari
kebijakan “menganakemaskan” GOLKAR dengan kebijakan
monoloyalitas sehingga semua aparat pemerintah dan pegawai
negeri hanya mendukung partai pemerintah. Partai benar-benar
mengalami kelumpuhan total. Faktor inilah penyebab utama
kekalahan parpol di dua jenjang pemerintahan terbawah tersebut.
5. Tinjauan Tentang Kebebasan Berserikat dan Berorganisasi
a. Pengertian kebebasan berserikat
Secara harfiah, menurut kamus Bahasa Indonesia kebebasan
berpendapat berasal dari kata bebas (kebebasan) yang berarti
suatu keadaan bebas atau kemerdekaan, sedangkan serikat
(berserikat) yakni bersatu merupakan perkumpulan. Berdasarkan
uraian diatas, jelaslah disebutkan berserikat itu merupakan
kemerdekaan, perkumpulan, perhimpunan, persekutuan,
organisasi dan sejenisnya merupakan hak setiap orang.
Syarat adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan
berserikat, merupakan persyaratan mutlak yang lain, yang harus
dimiliki oleh suatu negara demokrasi. Kebebasan ini harus
dijamin pula di dalam Undang-Undang negara yang bersangkutan.
Undang-Undang yang mengatur mengenai kebebasan menyatakan
pendapat dan berserikat itu harus dengan tegas mentakan adanya
kebebasan berpendapat baik secara lisan maupun tertulis. Dalam
rangka kebebasan menyampaikan pendapat tersebut, maka setiap
orang berhak mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkannya,
sehingga harus dijamin haknya untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikannya. Dibalik
itu harus pula ada ketentuan Undang-Undang yang melarang
siapapun, termasuk pemerintah yang ingin mengurangi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
membatasi atau meniadakan kebebasan tersebut (Krisna Harahap,
2003: 70).
Di dalam Pasal 28 UUD 1945 disebutkan mengenai
organisasi dengan istilah berserikat. Tetapi jika kerjasama tersebut
tidak tetap atau permanen, maka organisasi diistilahkan sebagai
berkumpul. Bentuk organisasi ada yang di bawah pemerintahan
dan organisasi di luar pemerintahan atau non pemerintah.
Organisasi pemerintah misalnya departemen-departemen,
lembaga negara dan banyak lagi lainnya. Organisasi non
pemerintah misalnya partai politik, persatuan olahraga, organisasi
masyarakat dan banyak contoh lainnya.
Organisasi memiliki struktur yang jelas dan tersusun.
Struktur ini menjelaskan hak dan kewajiban para anggotanya.
Contohnya, pembagian kerja, cara memilih pimpinan dan jabatan
khusus lainnya. Coba bayangkan, di keluarga saja ada struktur
yang jelas mengenai siapa yang memegang kepemimpinan di
rumah, yaitu ayah. Sedangkan ibu bertugas mengatur rumah
tangga. Begitu pula dengan organisasi yang lebih besar lingkup
tugasnya seperti partai politik.
Organisasi melibatkan banyak orang. Organisasi tidak bisa
berjalan jika orang-orang di dalam organisasi tersebut tidak bisa
bekerja sama dengan baik. Meski pun berbeda jabatan atau
strukturnya, setiap orang dalam organisasi harus mematuhi
peraturan bersama atau tata tertib yang sudah dibuat untuk
kepentingan seluruh anggota organisasi tersebut (Abdullah,
Endang dan Rikayani, 2009:58-59).
Berikut ini adalah pengaturan dan beberapa pendapat oleh
para ahli tentang kebebasan berserikat serta pengertian kebebasan
berserikat menurut undangundang, diantaranya :
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
a) Pasal 28 menyatakan : “kemerdekaan berserikat dan
berkumpul,mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-
Undang.“
b) Pasal 28 E ayat (3) : “setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Dalam Pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa
“Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan
berserikat untuk maksud-maksud damai”.
3) Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
Internasional Covenant On Civil And Political Rights
(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).
Dalam Undang-Undang ini tidak diatur lebih lanjut mengenai
hak-hak sipil dan politik yang ada di Indonesia, sebab
Undang-Undang ini meratifikasi secara keseluruhan dari
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Jadi
apapun yang menjadi substansi dalam Kovenan Internasional
Hak Sipil dan Politik juga merupakan isi dari Undang-
Undang No. 12 Tahun 2005 ini dan merupakan bagian yang
tak terpisahkan, seperti yang tertulis dalam Undang-Undang
tersebut, sehingga pengaturan mengenai kebebasan
menyatakan pendapat diatur dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2)
UU No. 12 Tahun 2005 yang menyatakan “Setiap orang
berhak atas kebebebasan untuk berserikat dengan orang lain,
termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat
pekerja untuk melindungi kepentingannya ”, (ayat 1) dan ayat
(2) menyatakan “Tidak diperkenankan untuk membatasi
pelaksanaan hak ini, kecuali yang telah diatur oleh hukum,
dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk
kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum,
atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain.
Pasal ini tidak boleh mencegah diberikannya pembatasan
yang sah bagi anggota angkatan bersenjata dan kepolisian
dalam melaksanakan hak ini”.
4) Artikel 20 (1) UDHR menentukan, “Everyone has the right to
freedom of peaceful assembly and association”.
5) Amien Rais menyatakan bahwa terdapat 10 kriteria
demokrasi yang harus dipenuhi oleh sebuah Negara. Salah
satunya ialah pemenuhan terhadap empat macam kebebasan,
yakni: kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers,
kebebasan berkumpul, dan kebebasan beragama. Bila rakyat
sudah tidak boleh berbicara atau mengeluarkan pendapat,
maka itu pertanda tiadanya demokrasi.“ (Amien Rais dalam
Krisna Harahap, 2003: 73).
6) Menurut Justice Arthur Goldberg
We hold simply that group which themselves are neither
engaged in subsersive or other illegal or improper activities
nor demonstrated to have any subtansial connection with
such activities are to protected in their rights of free and
private assocaiaton (Justice Arthur Goldberg dalam Jimly
Asshiddiqie, 2006:16).
7) Elfbrandt v. Russell
Seorang individu tidak dapat dihukum karena bergabung atau
bertemu dengan serikat kecuali serikat itu melakukan
kegiatan tidak sah dan individu itu terbukti mengetahui
tentang kegiatan yang tidak sah, dan mempunyai niat spesifik
untuk melanjutkan tujuannya yang tidak sah (Elfbrandt v.
Russell dalam Sandra Coliver, 1993:104)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
b. Berbagai Instrumen Internasional
Sumber rujukan standar kebebasan berserikat, berkumpul
dan berorganisasi ini adalah instrumen-instrumen hak asasi
manusia yang berlaku universal maupun yang berlaku terbatas dan
berlaku dalam lingkup regional. Di antaranya adalah Universal
Declaration of Human Rights (ICCPR).
Artikel 20 (1) UDHR menentukan, “ Ereryone has the right
to freedom of peaceful assembly and association.” Sub-title (2)-
nya lebih lanjut menegaskan, “ No one may be compelled to belong
association.”
ICCPR (International Covenant on Civil and Political
Rights) mengatur lebih lanjut pengakuan dan perlindungan atas “
the right of peaceful assembly” itu dalan artikel 21, sedangkan
“freedom of association” dijamin oleh artikel 22-nya. Artikel 22
clause (1) menentukan: (Jimly Ashiddiqie, 2005: 3).
Everyone shall have the right to freedom of association and
join trade union for the protection of his interests.”
Hak atas kemerdekaan untuk “a peaceful assembly and
association” itu juga diakui dan dijamin dalam Konvensi
Pemberantasan Diskriminasi Rasial (the Convention of the
Elimination of Racial Discrimination of 1966). Perlindungan
mengenai hal ini dijamin tegas dalam artikel 5(d)(ix) Konvensi
Pemberantasan Diskriminasi Rasial tersebut.
Disamping instrumen Hukum Internasional yang berlaku
global dan universal tersebut di atas, di berbagai kawasan tertentu,
berlaku pula beberapa instrumen regional tertentu. Misalnya, dapat
disebutkan di sini “the European Convention on Human Rights”
Tahun 1969 dan “the African Charter on Human and Peoples”
tahun 1981. (Jimly Ashiddiqie, 2005: 4).
Sangat disayangkan bahwa negara-negara Asia belum
mempunyai instrumen regional yang tersendiri. Negara-negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Asia, yang dikenal berpenduduk paling besar dan paling padat,
sangat beranekaragam kebudayaannya, dan demikian banyak
jumlah negaranya, belum pernah menyelenggarakan suatu
konvensi regional yang tersendiri, seperti eropa, Amerika, dan
Afrika. Oleh karena itu, saatnya bagi bangsa-bangsa Asia dan
negara-negara di benua terbesar ini untuk mengupayakannya di
masa yang akan datang.
Kemerdekaan berserikat dalam bidan perburuhan diatur
tersendiri dalam artikel 8”the International Convenant on
Economic, social, and Cultural Rights” (ICESCR). Ketentuan
artikel 8 ini sangat erat kaitannya dengan ketentuan dua instrumen
hukum yang disponsori ILO (International Labour Organization),
yaitu (i) “the Convention concerning Freedom of Association and
Protection of the Rights to Organize”, dan (ii) “the Convention
concernig the Aplication of the Principle of the Rights to Organize
and Bargain Collectively”. (Jimly Ashiddiqie, 2005: 5).
Menurut artikel 2 “Convention Concerning Freedom of
Association” Buruh dan majikan mempunyai hak untuk
membentuk organisasi, untuk menjadi anggota suatu organisasi
berdasarkan pilihannya sendiri tanpa memerlukan persetujuan lebih
dulu dari pihak lain. (Workers and Employers have the rights to
establish and, subject only to the rules of the organizations of their
own choosing without previous authorization).
Organisasi yang demikian berhak menentukan peraturan
dasar dan rumah tangganya (constitutions and rules) untuk
memilih perwakilan mereka dengan kemerdekaan penuh,
menyelenggarakan administrasi dan merumuskan program-
program sendiri tanpa campur tangan pihak yang berwenang.
Organisasi pekerja (buruh) dan organisasi majikan (pengusaha)
juga dilindungi dari tindakan pembubaran atau
pembekuan/penundaan adminstratif (dissolution or suspension of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
administrative authorities) dan diizinkan mendirikan dan
mengikuti federasi, konfederasi, dan organisasi-organisasi
semacamnya. Lebih jauh lagi, federasi dan konfederasi tersebut
juga memiliki hak untuk berafiliasi dengan organisasi perburuhan
dan pengusaha internasional (international organization of workers
and employers).
Konvensi tentang “the Application of the Principles of the
Rights to organize and Bargain Collectively” antara lain
dimaksudkan sebagai penguatan terhadap kemerdekaan berserikat
dalam bidang perburuhan. Hal ini dilakukan dengan
mengupayakan perlindungan terhadap para pekerja yang berserikat
(unionized workers) dari kemungkinan dijadikan korban karena
kegiatan serikat. Konvensi ini antara lain menentukan: (Jimly
Ashiddiqie, 2005: 6).
“(1) Workers shall enjoy adequate protection against acts of anti-
union discrimination in respect of their employment. (2) Such
Protection shall apply more particularly in respect of acts
calculated to (i) make the employment of worker subject to the
condition that he shall not join a union or shall relinguish trade
union membership; (ii) cause the dismissal of or otherwise
prejudice a worker by reason of union membership or because of
participation in union activities outside working hours or, with the
consent of the employer, within working hours.”
Kebebasan berserikat (freedom of associaton) dan
berkumpul (Freedom of Assembly) memang tunduk juga kepada
pembatasan-pembatasan tertentu yang berlaku secara khusus
terhadap kedua jenis kebebasan ini, ataupun pembatasan-
pembatasan yang berlaku umum terhadap hak asasi manusia
(HAM. Semua Instrumen Hukum Internasional selalu menyertakan
persyaratan “peaceful” terhadap frasa “freedom of assembly”,
yaitu menjadi “freedom of peaceful assembly”. Persyaratan ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
terdapat, baik dalam artikel 20 UDHR, artikel 11 ECHR, artikel 21
ICCPR, maupun dalam artikel 15 ACHR.
Satu-satunya instrumen Hukum Internasional yang tidak
menggunakan istilah “Peaceful assembly” ini adalah “the Africab
Charter” tahun 1981. Piagam Afrika ini malah menggunakan
istilah yang lebih tegas menentukan bahwa pelaksanaan kebebasan
untuk berkumpul itu harus tunduk kepada pembatasan yang
ditentukan oleh undang-undang (UU), khususnya yang
berhubungan dengan “the interest of national security and the
safety, health, ethics and the rights and freedoms of others”.
Bahasa yang identik untuk membatasi baik prinsip “Freedom of
assembly” maupun “Freedom of associaton” berdasarkan ICCPR,
ECHR dan ACHR.
c. Hakikat Kebebasan Berserikat
Mengapa Kemerdekaan Berserikat harus dijamin dalam
UUD? Sebagian ahli berpendapat bahwa Freedom of Association
itu merupakan salah satu untuk natural rights yang bersifat
fundamental dan melekat dalam peri kehidupan bersama umat
manusia. Sebabnya ialah bahwa setiap manusia selalu mempunyai
kecenderungan untuk bermasyarakat, dan dalam masyarakat itu
perilaku setiap orang untuk memilih teman dalam hubungan-
hubungan sosial merupakan sesuatu yang alami sifatnya.
Setiap orang dengan sendirinya mempunyai kebebasan dan
dapat memilih sendiri teman atau kawan tanpa harus dipaksa atau
diganggu oleh pihak ketiga. (The ability of an individual to choose
the nature of their relationship with others without interference
with third parties). Apalagi, dalam kehidupan bermasyarakat,
dengan sendiri setiap orang mempunyai naluri alamiahnya sendiri
untuk bergaul dengan sesama warga dimana seseorang hidup
bersama. Dalam pergaulan hidup bersama itu, setiap orang bebasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
memilih teman, tanpa paksaan dari pihak lain. Seseorang, bahkan,
juga bebas untuk tidak bergaul dengan orang lain yang dengannya
ia tidak mau bergaul.
Dalam konstitusi Amerika Serikat, Prinsip kemerdekaan
berserikat (freedom of association) demikian itu, diadopsikan
dalam amandemen pertama, walaupun tidak secara harfiah
dirumuskan dalam kata-kata yang eksplisit. Meskipun demikian,
hak berserikat atau kebebasan berserikat (the rights or the freedom
of association) di Amerika Serikat pada umumnya dipahami
sebagai konsep yang tumbuh dari Amandemen Pertama UUD.
Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat memberikan
jaminan hak kepada setiap orang untuk berserikat secara damai dan
untuk menuntut pemerintah atas pemenuhan hak itu.
Sebagian ahli menganggap “the right of association”
sebagai suatu “penumbra” Amandemen pertama (the First
Amandement) yang melindungi privasi atas jenis-jenis keanggotaan
tertentu dalam organisasi (the privacy of certain kinds of
organizational membership). Sebagian ahli lainnya justru
mengakui freedom of association sebagai suatu hak alami (natural
rights) dan karenanya bersifat fundamental. (Jimly Ashiddiqie,
2005: 23).
Dalam perkembangan awalnya, pada tahun 1600-an,
kerajaan inggris bisa mengatur dan membatasi kebebasan pers
melalui skema perizinan. Pada pertengahan abad ke-17, juga
digunakan “libel laws” untuk maksud yang serupa. Perkumpulan-
perkumpulan politik ketika itu diciptakan dan mulai memberikan
pengaruh yang besar dalam pemebentukan pendapat umum
sehingga dengan demikian juga berpengaruh besar terhadap
parlemen dan kerajaan.
Namun pada tahun 1765, parlemen inggris mulai
membatasi dan melakukan pengekangan terhadap semua bentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
perkumpulan politik. Sampai tahun 1799, kebanyakan
perkumpulan dan partai- partai politik yang tumbuh bebas tersebut
dinyatakan melanggar hukum dan dibubarkan. Pengalaman di
Kerajaan Inggris tersebut juga mempengaruhi tumbuhnya gagasan
perlindungan terhadap kemerdekaan berserikat atau “the freedom
of association” itu, sehingga “Bill of Rights” di Amerika Serikat
diadopsikan pada tahun 1791.
Kemerdekaan berserikat (freedom of association)
melindungi keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi yang
tidak terlibat dalam kegiatan kriminal. Dalam bukunya Treatise
Fragments on Goverment (1776), Jeremy Bentham menyatakan
bahwa pemerintah dapat mengakui bahwa: (Jimly Ashiddiqie,
2005: 24).
“The liberty of public association, or the security with which
malcontents may communicate their sentiments, concert their
plans, and practice every mode of opposition of actual revolt,
before the executive power can be legally justified in disturbing
them”
Thomas Paine dalam ‘The Rights of Man’ dalam
Jimly Ashiddiqie menulis bahwa: (Jimly Ashiddiqie, 2005: 24).
“The end of all political association is, the preservation of the
rights of man, which rights are liberty, property, and security; that
the nation is the source of all soverignity derived from it”
Tujuan dari semua perkumpulan politik adalah untuk
melindungi hak-hak manusia, yaitu liberty, property dan security,
dan bahwa segala kekuasaan tertinggi bagi suatu bangsa bersumber
dari hak-hak itu.
Mahkamah Agung Amerika Serikat juga mengakui adanya
“a constitutionally rights of association” sebagai prinsip yang
melindungi hak-hak setiap individu orang yang terlibat kegiatan
protes selama terjadinya gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
(the civil rights movement). Meskipun demikian, dalam perkara De
Jonge Versus Oregon (1937), Pengadilan Tinggi (High Court)
tidak berpihak kepad De Jonge, dan malah menyatakannya terbukti
bersalah karena asosiasi (guilt by association) dengan Partai
Komunis.
Dalam kasus itu pengadilan mendakwa De Jonge telah
mengadakan satu pertemuan umum yang diasosiasikan dengan
Partai Komunis atau yang diadakan di bawah pengaruh (auspices)
Partai Komunis. Pengadilan tidak membekukan sikap demikian ini
selama hampir tiga dasawarsa.
Karena itu, dapat dikataan bahwa pengadilan Tinggi (The
High Court) di Amerika Serikat memang agak lambat memberikan
pengakuan atas perlindungan yang sama terhadap anggota Partai
Komunis dan Ku Klux Klan, sebagaiamana perlindungan yang
diberikan kepada para anggota”National Association for
Advancement of Colored People” (NAACP).
Diskriminasi yang tersembunyi di balik kemerdekaan
berserikat, seperti dalam kasus United States versus Jaycees and
Rotary Club International, ditolak dengan bulat oleh Mahkamah
Agung. Penolakan itu dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan
putusan yang menyatakan bahwa hak berserikat (associatonal
right) lebih banyak memperlakukan sama antara wanita dan pria.
d. Compeled Association
Kebebasan orang untuk berkumpul dan berserikat
menyangkut kebebasan untuk menentukan pilihan berorganisasi
dengan atau kemana. Artinya, seseorang haruslah secara sukarela
menentukan sendiri kehendak bebasnya itu, tidak karena dipaksa
ataupun digiring orang lain untuk mengikuti suatu organisasi.
Dalam praktek kebebasan semacam ini terkait pula dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
kewajiban membayar yang biasanya dipaksakan oleh suatu
peraturan bagi para anggota organisasi yang bersangkutan.
Misalnya, dalam Abord versus Detroit Board of Education,
Mahkamah Agung membatasi kewenangan pemerintah untuk
menentukan kewajiban pembayaran seperti itu. Dalam putusan
tahun 1977 itu, Mahkamah Agung membedakan “dues for
ideological activities” dari “dues for service charge” pada
umumnya. Baik anggota maupun non-anggota dapat dibebani
kewajiban yang sama untuk membayar “a union service charge”
dalam jumlah yang sama. Orang yang bukan anggota dapat dipaksa
membayar untuk kepentingan subsidi bagi “the collective
bargaining activities of the union”.
Namun, untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat ideologis,
bagi mereka yang bukan anggota yang tidak menyetujui kegiatan
itu, tidak boleh dipaksa untuk membayar secara paksa. Bagi
Mahkamah Agung: (Jimly Ashiddiqie, 2005: 33).
“it was unconstitutional to use the mandatory service charges to
contribute to political candidates and to express political views
unrelated to its duties as exclusive bargaining representative.”
Menurut Mahkamah Agung, jantung amandemen pertama
UUD Amerika Serikat terletak pada pengertian bahwa seseorang
haruslah bebas mempercayai apa yang ia kehendaki (free to believe
as he will) dan bahwa dalam suatu masyarakat yang bebas,
kepercayaan seseorang akan sesuatu dibentuk oleh pikiran dan
kesadarannya sendiri, bukan dipaksakan oleh negara (in a free
society one’s beliefs should be shaped by his mind and his
conscience rather than coerced by the State)
B. Kerangka Pemikiran
Untuk memperjelas alur berpikir penulisan hukum (Skripsi) ini
berikut digambarkan alur kerangka berpikir:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Gambar : 1
Alur Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Kebebasan berserikat
(Pasal 28 dan Pasal 28E Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
Kesesuaian Syarat dan Mekanisme Pendirian Partai
Politik Dengan Pasal 28 dan 28E
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik
Syarat dan Mekanisme Pendirian Partai Politik
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjamin kebebasan berserikat seperti yang diatur dalam Pasal 28 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan :
“kemerdekaan berserikat dan berkumpul,mengeluarkan pikiran dengan lisan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.“ dan Pasal
28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
: “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”
Salah satu bentuk kebebasan berserikat adalah pembentukan Partai
Politik. Keberadaan Partai Politik disebutkan dalam Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945” Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Per wakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik”. Oleh sebab itu, Pemerintah menerbitkan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik. Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik yang di dalamnya terdapat
peraturan mengenai syarat dan mekanisme pendirian partai politik. Sehingga
pembentukan partai politik perlu memperhatikan prinsip-prinsip kebebasan
berserikat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Syarat Dan Mekanisme Pendirian Partai Politik
1. Syarat Pendirian Partai Politik
Partai politik kembali mendapat kebebasan untuk bermunculan
dalam masa reformasi dan menjadi peserta dalam Pemilihan Umum.
Namun jalan untuk menjadi persertan Pemilihan Umum (Pemilu) kita
ambil contoh Pemilu tahun 2004 tidaklah mudah. Partai politik harus
melalui serangkaian proses dengan berbagai persyaratan. Pada tahap awal
parpol harus memiliki akta notaris dan tentu saja nama partai, lambang
tanda gambar partai, serta kantor tetap. Setelah memenuhi berbagai
syarat, parpol diverifikasi oleh Departemen Kehakiman dan HAM.
Setelah diverifikasi dan dinyatakan berbadan hukum, langkah selanjutnya
parpol mendaftar dan diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Lolos verifikasi administrasi tidak menjadi jaminan bagi parpol. Karena
untuk menjadi peserta Pemilu 2004, partai harus lolos verifikasi faktual.
Setelah ditetapkan sebagai peserta Pemilu, barulah partai mendapat
nomor urut.
Schattsheider dalam bukunya Jimly asshiddiqie yang berjudul
“Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara” mengatakan bahwa Partai politik
mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam
setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang
sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara.
Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang yeng
sebetulnya menentukan demokrasi. Oleh karena itu, partai politik
merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat
pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem
politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattsheider dikatakan pula,
“modern democracy is unthinkable save in the terms of the
parties”(Jimly Asshiddiqie 2006: 153).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Namun disayangkan hasil jajak pendapat Kompas, di awal tahun
ini mencatat tetap terpuruknya kinerja partai Politik di mata publik. Dari
berbagai fungsi Partai politik, penilaian paling buruk dialamatkan kepada
fungsi aspirasi dan pendidikan Politik (Kompas, 10 Januari 2011 : 5).
Padahal partai Politik merupakan pilar yang sangat penting. Dengan tidak
diimbanginya kinerja partai politik yang terarah, maka eksistensi
kehadirannya tidak dirasakan sebagai kekuatan politik yang punya
kejelasan orientasinya. Terpuruknya kiprah partai Politik di mata publik,
tidak terlepas dari hiruk pikuk percaturan politik sepanjang tahun 2010.
Banyaknya kasus hukum yang turut mempengaruhi kinerja partai politik,
menjadikan partai politik, sebagai partai yang hanya menguntungkan
partainya sendiri, dan melupakan tujuan awal sebagai sebuah partai yang
didirikan dengan berbagai persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh
Undang-Undang Partai Politik. Dengan demikian praktik partai politik
yang berjalan saat ini tampaknya banyak mereduksi tiingkat kepercayaan
masyarakat kepada institusi partai. Padahal dalam partai Politik,
seharusnya mengakomodir kepentingan masyarakat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia mengakui
persamaan hak dan kewajiban politik bagi segenap bangsa Indonesia.
Partisipasi warga negara dalam bidang politik adalah kemerdekaan
individu yang diakui dalam konstitusi dan diselenggarakan berdasarkan
hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Landasan yuridis atas
pengakuan persamaan hak dan kewajiban politik tersebut, antara lain
dapat diketemukan dalam rumusan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C
ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) dan (3), serta Pasal 28E Ayat (3) Undang-
Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari sekian banyak Pasal dalam Undang-Undang Dasar yang
berkaitan dengan hak dan kewajiban politik warga negara, Pasal yang
paling tegas mengatur mengenai keikutsertaan warga negara dalam
organisasi sosial politik dan/atau keikutsertaannya membentuk atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
mendirikan organisasi sosial politik adala Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat
(3) yang rumusannya masing-masing adalah, Pasal 28: “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal 28E
Ayat (3):”Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat”.
Ketentuan dalam kedua Pasal diatas dapat dipahami sebagai
berikut: Pertama, perihal menggabungkan diri dan atau mendirikan suatu
organisasi mass atau partai politik adalah hak setiap warga negara (Pasal
28E Ayat (3) UUD 1945). Kedua, ketentuan mengenai pendirian partai
politik diakui sebagai kemerdekaan warga negara penyelenggaraanya
diatur dengan undang-undang (Pasal 28 UUD 1945). Ketiga, perlu
dibentuk Undang-Undang (Undang-undang organik) untuk melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Dasar. Undang-undang sebagaimana
dimaksud merujuk pada Undang-Undang yang mengatur tentang
pembentukan partai politik, ketentuan terakhir yang diperbarui mengacu
pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
(LNRI Tahun 2008 Nomor 2, TLNRI Nomor 4801).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
(Undang-Undang Partai Politik) telah mengatur tentang syarat-syarat
pembentukan partai politik dalam Bab II Pasal 2,3, dan 4 Undang-
Undang Partai Politik yang intinya sebagai berikut:
a. Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima
puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua
puluh satu) tahun dengan akta notaris yang menyertakan 30% (tiga
puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
b. Akta notaris sebagaimana dimaksudksn untuk pendirisn partai
politik harus memuat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan. Anggaran Dasar sebagaimana
dimaksud memuat paling sedikit : a) asas dan ciri Partai Politik; b)
visi dan misi Partai Politik; c) nama, lambang, dan tanda gambar
Partai Politik; d) tujuan dan fungsi Partai Politik; e) organisasi,
tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f) kepengurusan
Partai Politik; g) peraturan dan keputusan Partai Politik; h)
pendidikan politik; dan i) keuangan Partai Politik.
c. Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi
badan hukum. Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud
Partai Politik harus mempunyai: a) akta notaris pendirian Partai
Politik; b) nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah
oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; d) kantor tetap; e) kepengurusan paling sedikit 60%
(enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang
bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah
kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang
bersangkutan; dan f) memiliki rekening atas nama Partai Politik.
d. Departemen Hukum dan HAM menerima pendaftaranan
melakukan penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan
kebenaran persyaratan Partai Politik dalam waktu paling lam 45
(empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan
secara lengkap, dan sesudah proses penelitian dan/verifikasi
berakhir memberikan pengesaha Partai Politik sebagai badan
hukum dengan Keputusan Menteri dan diumumkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia (BNRI).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Pembentukan dan pendirian Partai Politik secara prosedural
ditetapkan dalam Undang-Undang. Mukhtie Fadjar dalam bukunya
“Partai Politik Dalam Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia”
mengemukakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun perjalanan Era
Reformasi (1998 – 2008) regulasi mengenai partai politik di Indonesia
telah berganti sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu : Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1999 Tentang Partai Politik (Undang-Undang Partai Politik Tahun
1999), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik
(Undang-Undang Partai Politik Tahun 2002), dan, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (Undang-Undang Partai
Politik Tahun 2008). Jadi, setiap menghadapi pemilihan umum (pemilu)
harus selalu dibuat undang-undang partai politik baru (Mukhtie Fadjar,
2008:84).
Penulis berpendapat bahwa seringnya pergantian regulasi Partai
Politik dalam kurun waktu 10 tahun Era Reformasi (1998 – 2008)
membuktikan bahwa konstruksi politik pada Era Reformasi belum
mampu mengkonsolidasikan keadaan yang ada dengan mantap dan
optimal.
Kondisi sering bergantinya regulasi Partai Politik ini memeliki
kontradiksi dengan teori yang dikemukakan Fuller dalam Soerjono
Soekanto tentang beberapa kondisi yang harus mendasari suatu sistem
hukum agar dapat digunakan dengan baik dalam masyarakat. Kondisi-
kondisi peraturan hukum yang baik tersebut adalah:
1) Hukum merupakan aturan-aturan umum yang tetap, jadi bukan merupakan aturan yang bersifat ad-hoc.
2) Hukum tersebut harus jelas dan diketahui warga masyarakat yang kepentingan-kepentingannya diatur oleh hukum tersebut.
3) Sebaiknya dihindari peraturan yang bersifat retroaktif.
4) Hukum tersebut harus dimengerti oleh umum.
5) Tak ada peraturan-peraturan yang saling bertentangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
6) Pembentukan hukum harus memperhatikan kemampuan warga masyarakat untuk mematuhi hukum tersebut.
7) Perlu dihindarkan terlalu banyaknya perubahan-perubahan pada hukum, oleh karena warga masyarakat dapat kehilangan ukuran dan pegangan bagi kegiatan-kegiatannya.
8) Adanya korelasi antara hukum dengan pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut (Soerjono Soekanto, 2006: 149).
Seringnya pergantian regulasi Partai Politik dalam kurun waktu
10 tahun Era Reformasi (1998 – 2008) sesuai dengan pendapat Hans
Kelsen dalam Maria Farida Indrati yang mengatakan bahwa hukum
adalah termasuk dalam sistem norma yang dinamik (nomodynamics) oleh
karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga
atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk atau menghapusnya,
sehingga dalam hal ini tidak dilihat dari segi norma tersebut, tetapi dilihat
dari segi berlakunya atau pembentukannya (Maria Farida Indrati,
2007:23).
Bangsa Indonesia dalam masa reformasi ini masih terus berproses
untuk mencari jati diri sebagai negara demokrasi yang benar-benar
mengayomi rakyatnya. Namun, posisi bangsa Indonesa yang cenderung
labil dan mudah berubah (transional) ini memang berdampak buruk pada
ketahanan nasional di berbagai sektor kehidupan bangsa dan negara,
sebagaimana pemaparan, namun regulasi Partai Politik yang masih
bersifat ad hoc tersebut juga mencitrakan bahwa kekuatan-kekuatan
politik yang berkembang saat ini sedang sedang mengupayakan
tercapainya konsolidasi demokrasi konsensual yang kokoh, berkeadilan
dan berkemanfaatan untuk dapat dengan secepat mungkin menciptakan
ketahanan nasional dalam berbagai sektor kehidupan bangsa dan negara
(Mukhtie Fadjar, 2008:84).
2. Mekanisme Mendirikan Partai Politik
Pentapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagai
pengganti dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Politik, maka berdasarkan ketentuan Pasal 3, Departemen Hukum dan
HAM mempunyai kewenangan untuk menerima pendaftaran
pembentukan dan pendirian partai politik sebagai badan hukum. Dalam
proses pengesahan Partai Politik sebagai badan hukum Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan penelitian dan/atau verifikasi
kelengkapan dan kebenaran persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 2
dan Pasal 3 undang-undang tersebut di atas. Untuk memberikan
pelayanan yang cepat, tepat dan sederhana perlu ditetapkan petunjuk
pelaksanaan sebagai pedoman bagi para pelaksana dalam melakukan
pendaftaran dan pengesahan partai politik menjadi badan hukum. Selain
itu petunjuk pelaksanaan ini dapat juga digunakan sebagai acuan bagi
partai politik dalam melakukan proses pendaftaran dan pengesahannya
sebagai badan hukum.
Sesuai dengan tugas dan fungsi seorang menteri sesuai Pasal 17
UUD 1945 perubahan yang mengatur tentang 1) Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara; 2) Menteri-menteri itu diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden; 3) Setiap Menteri membidangi urusan
tertentu dalam pemerintahan, maka fungsi dari Peraturan Menteri adalah
sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya.
b. Menyelanggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam
peraturan presiden.
c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam
Undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya.
d. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya (Maria Farida
Indrati, 2007:226-227).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Sesuai dengan fungsi Peraturan Menteri diatas maka Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (Undang-Undang
Partai Politik) memerlukan Peraturan menteri untuk Menyelenggarakan
pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-undang yang tegas-
tegas menyebutnya. Hal ini dikarenakan karena aturan pelaksana
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yaitu
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M-01.HL.01.10 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pendaftaran Ulang, Pendaftaran Pendirian, Pendaftaran Perubahan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Nama, Lambang, Tanda
Gambar, Pengurus Tingkat Nasional, serta Pembubaran dan
Penggabungan Partai Politik sudah tidak dapat digunakan untuk aturan
pelaksana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
Pergantian Undang-Undang Partai Politik ini juga harus diikuti
dengan pergantian aturan pelaksananya yaitu, Keputusan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01.HL.01.10
Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Ulang,
Pendaftaran Pendirian, Pendaftaran Perubahan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga, Nama, Lambang, Tanda Gambar, Pengurus
Tingkat Nasional, serta Pembubaran dan Penggabungan Partai Politik
digantikan dengan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor : M.Hh-02.Ah.11.01 Tahun 2008 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Partai Politik Menjadi Badan Hukum.
Pergantian aturan pelaksana pembentukan partai politik ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Adolf Merkl dalam Maria Farida
Indrati yang mengemukakan teori bahwa suatu norma hukum itu ke atas
ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah
ia juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum
dibawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku
relatif (rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
norma hukum itu tergantung padanorma hukum yang berada diatasnya.
Apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, pada
dasarnya norma-norma hukum yang berada dibawahnya akan tercabut
atau terhapus pula (Maria Farida Indrati, 2007:42).
Tahap-tahap pendaftaran partai politik yang diatur dalam
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor : M.Hh-02.Ah.11.01 Tahun 2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pendaftaran Partai Politik Menjadi Badan Hukum meliputi proses proses
pendaftaran, penelitian dan/atau verifikasi, dan pengesahan partai politik.
1) Pendaftaran
a) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menerima pendaftaran pembentukan dan pendirian partai politik pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
b) Dalam menerima pendaftaran petugas pendaftaran: (1) memberikan tanda terima sementara berkas pendaftaran
pendirian/pembentukan partai politik yang belum lengkap (Lampiran II);
(2) memberitahukan kekurangan persyaratan administratif tersebut kepada pemohon;
(3) memberikan tanda terima bahwa partai politik yang bersangkutan telah melengkapi persyaratan yang kurang (Lampiran III);
(4) memberikan tanda terima pendaf taran pendirian/pembentukan terhadap permohonan yang sudah lengkap (Lampiran IV);
(5) mencatat dalam buku register permohonan pendaftaran pendirian/pembentukan partai politik, yang meliputi: (a) nama pemohon/kuasanya; (b) waktu dan tanggal permohonan; (c) nama partai politik (d) nama pengurus/pimpinan pusat partai politik; (e) alamat tetap sekretariat partai politik;
(6) memproses permohonan pendaftaran pendirian/ pembentukan partai politik yang telah lengkap.
2) Penelitian dan/atau Verifikasi
a) Untuk mengesahkan partai politik menjadi badan hukum Departemen Hukum dan HakAsasi Manusia melakukan penelit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
ian dan/ atau verifikasi terhadap partai politik pendaftar yang telah memenuhi persyaratan.
b) Penelitian dan atau verifikasi partai polit ik dilakukan secara administratif dan periodik bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Polit ik Departemen Dalam Negeri berkaitan dengan penerbitan surat keterangan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik provinsi/kabupaten/kota dan kecamatan.
c) Penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran persyaratan partai politik dilakukan oleh Tim yang dibentuk oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang keanggotaannya terdiri dari unsur Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Departemen Dalam Negeri.
d) Tugas Tim adalah memeriksa dan meneliti, baik secara administratif maupun substansial terhadap persyaratan permohonan pendaftaran partai politik.
e) Dalam melakukan penelit ian dan/atau verifikasi partai politik, Tim dapat melakukan penelit ian/verifikasi langsung kepada instansi atau kantor yang menerbitkan persyaratan administratif pembentukan dan pendirian partai polit ik yang dituangkan dalam berita acara penelitian (Lampiran V)
f) Penelitian dan atau verifikasi partai politik dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap.
3) pengesahan partai politik menjadi badan hukum
a) Pengesahan partai polit ik menj adi badan hukum dilakukan dengan menerbitkan Keputusan Menteri Hukum dan Asasi Manusia dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian dan/atau verifikasi.
b) Keputusan Menteri Hukum dan Asasi Manusia dikirimkan ke Percetakan Negara untuk diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
c) Salinan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia disampaikan kepada:
(1) Mahkamah Agung; (2) Mahkamah Konstitusi; (3) Menteri Dalam Negeri; (4) Komisi Pemilihan Umum.
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor : M.Hh-02.Ah.11.01 Tahun 2008 memberi amanah
kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusi untuk secara periodik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
memverifikasi partai politik pada bulan Februari/Maret dan Juli/Agustus
setiap tahunnnya.
B. Kesesuaian Syarat Dan Mekanisme Pendirian Partai Politik Dengan
Prinsip Hak Atas Kebebasan Berserikat Dan Kebebasan Berorganisasi
Kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan
pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mengkukuhkan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa
yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat,
merdeka dan demokratis berdasarkan hukum. Hak merdeka untuk berserikat,
berkumpul serta mengeluarkan pikiran tersebut diwujudkan dalam pelibatan
masyarakat pada proses politik yaitu melalui pemilihan umum.
Setiap negara harus berlandaskan pada sebuah sistem ketatanegaraan
yang baik yaitu dalam penyelenggaraan pelaksanaan kehidupan
ketatanegaraannya. Sistem ketatanegaraan antara negara yang satu dengan
negara yang lain tentulah tidak sama persis karena setiap bangsa dan negara
memiliki ciri khas dan karakter sendiri-sendiri. Sistem ketatanegaraan
tersebut diantaranya meliputi sistem pemerintahan, bentuk negara, bentuk
pemerintahan, sistem politik, dan lain-lain yang berhubungan dengan
berjalannya suatu negara.
Sistem politik merupakan aktualisasi dari prinsip kedaulatan rakyat
(demokrasi) yang lebih luas dijabarkan dalam bentuk pengakuan hak
berserikat dan berkumpul, termasuk kebebasan untuk membentuk dan
menjadi anggota partai politik. Kebebasan yang demikian tergolong sebagai
komponen Hak Asasi Manusia yang harus diakui dan sekaligus dilindungi
oleh negara. Rakyat berdaulat untuk menentukan arah kebijakan pemerintah
hingga tingkat akhir, demikian pula untuk mempengaruhi dalam penentuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
arah politik negara. Hak-hak politik rakyat harus mendapat perhatian khusus
delam negara yang menganut kedaltan rakyat.
Implementasi kebebasan berserikat dan berkumpul, khususnya
kebebasan mendirikan partai politik di Indonesia, mengalami pasang surut
sejalan dengan dinamika ketatanegaraan dan sistem politik yang berlaku.
Semakin demokratis sistem politik semakin longgar pendirian partai politik,
dan semakin otoriter akan semakin ketat pembentukan partai politik, yang
berarti pula terjadi pergeseran dalam tafsir kebebasan berserikat dan
berkumpul (Mukhtie Fajar: 2008,2-3).
Keberadaan Partai Politik disebutkan dalam Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945” Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Per wakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik”.
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia berkewajiban
untuk mewujudkan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pemerintahan negara diselenggarakan oleh rangkaian kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Perwujudan kekuasaan
legislatif mencerminkan nilai-nilai demokrasi sesuai yang diamanatkan Pasal
28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penerapan nilai demokrasi tersebut memberikan peran yang besar terhadap
lahirnya sistem perpolitikan nasional yang memberi peluang konstitusional
bagi kehadiran partai politik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
sebagai hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan
kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum.
Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut
peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab Partai Politik dalam
kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik
masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia,
menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik belum optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan
masyarakat yang menuntut peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara serta tuntutan mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi
yang bersifat nasional dan modern sehingga Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu diperbarui.
Sejalan dengan tuntutan pembaharuan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2002 tentang Partai Politik maka lahirlah Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik. Sebenarnya wacana (khususnya dari partai
besar) yang muncul terhadap Undang-Undang Partai politik yang baru adalah
semangat untuk membatasi atau mengurangi jumlah partai politik. Hal ini
sama artinya untuk membatasi kebebasan berserikat dan berorganisasi
(Mukhtie Fajar: 2008,65)
Kebebasan berserikat ini tercermin dalam konsideransi Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yaitu :
1. bahwa kernerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. bahwa untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta demokratis dan berdasarkan hukum;
3. bahwa kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab, dan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu diberi landasan hukum;
4. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab;
5. bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik perlu diperbarui sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat;
6. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Partai Politik.
Kebebasan pendirian partai politik juga mendapat dukungan dalam
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusi
yang memberikan pengaturan sebagai berikut:
a. Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
b. Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik,lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalamjalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hakasasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tiada gading yang tak retak. Begitulah pepatah yang tepat dalam
mendeskripsikan Pembentukan Partai Politik yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008 terdapat materi yang dapat diperdebatkan. Materi yang dapat
diperdebatkan tersebut adalah Asas dan ciri-ciri partai politik, jumlah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
kepengurusan partai politik di provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan,
Affirmative Action dan pembentukan partai politik sebagai badan hukum.
a. Asas Dan Ciri-Ciri Partai Politik
Asas dan ciri-ciri partai politik tercantum dalam Anggaran Dasar
setiap Partai Politik. Asas dan ciri Partai Politik merupakan syarat
subtansial dalam pembentukan partai politik. Dengan demikian, Asas dan
ciri Partai Politik merupakan syarat yang mutlak harus ada ketika
mengajukan pendaftaran partai politik.
Asas dan ciri partai politik secara tegas telah diatur dalam Pasal 9
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
1) Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita Partai Politik yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3) Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengaturan mengenai asas dan ciri partai politik memberikan
kelonggaran kepada setiap warga negara Indonesia yang hendak
mendirikan partai politik karena setiap warga negara tidak dibatasi untuk
hanya menggunakan satu asas.
Hal ini berbeda pada massa orde baru. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya ditegaskan bahwa
Pancasila harus menjadi satu-satunya asas bagi semua partai dan Golongan
Karya, tanpa embel-embel lainnya (Miriam Budiardjo, 2007:452).
Namun, Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
mengusulkan penyeragaman asas partai menjadi asas tunggal Pancasila
dalam konsultasi parlemen-pemerintah untuk menyusun inventarisasi
masalah prapenetapan Rancangan Undang-Undang Partai Politik dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Pemilu, memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, khususnya kaukus
partai politik berasas Islam. Dasar argumentasi partai nasionalis, seperti
Partai Golkar-PDIP-Demokrat, untuk mengegolkan asas tunggal partai
disebabkan oleh kekhawatiran akan menguatnya politik primordialisme
dalam kancah perpolitikan nasional/lokal. Seperti halnya saat ini terdapat
peraturan daerah bernapaskan syariat Islam di berbagai daerah ditunjuk
sebagai ekspresi gerakan menentang konsensus nasional, yakni ideologi
Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
(http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=8860&coid=3&caid=31
&gid=3).
Penyeragaman asas partai membuka kembali politik otoritarianisme
era Orde Baru. Sebab, melalui asas tunggal Pancasila akan terjadi proses
hegemoni politik oleh kekuatan partai yang dominan (partai penguasa, the
ruling party). Partai yang berkuasa yang berhak memonopoli tafsir atas
ajaran ideologi Pancasila. Partai yang marginal merupakan pengikut
interpretasi ajaran Pancasila versi partai pemenang pemilu.
Asas tunggal partai politik, jika direalisasi dalam Undang-Undang
Partai Politik, akan mengakhiri dinamika pemikiran ideologi kontemporer
sebagai jawaban krisis multidimensional yang dialami bangsa ini. Sebab,
asas tunggal partai akan membelenggu kebebasan organisasi masyarakat
sipil dan partai politik untuk merekonsepsi program-program kepartaian
yang selaras dengan filosofi nilai yang diyakini oleh para kader dan massa
partai politik.
Komitmen atas ideologi negara, Pancasila, dan NKRI tidaklah harus
ditekstualkan menjadi asas tunggal partai politik yang sama artinya dengan
meredam bangkitnya sebuah konstruksi pemikiran sosial sebagai jawaban
solusi krisis kenegaraan.
Meskipun terdapat kebebasan untuk menetapkan asas Partai Politik,
asas dan ciri Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
merupakan penjabaran dari Pancasila dan UUD 1945, sehingga dalam
Pasal 40 Ayat (3) Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
diatu bahwa Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta
menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.
Pengaturan mengenai larangan menyebarkan ajaran atau paham
komunisme/Marxisme-Leninisme ini dia tur dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No. :
XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. TAP
MPR ini berisi pernyataan organisasi terlarang diseluruh wilayah negara
republik indonesia bagi partai komunis indonesia dan larangan setiap
kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran
komunis/marxisme-leninisme. Konsideransi pelarangan faham atau ajaran
komunis/marxisme-leninisme dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia No. : XXV/MPRS/1966 adalah :
a) Bahwa faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada hakekatnya bertentangan dengan Pancasila;
b) Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang mengenal faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan cara kekerasan.
c) Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengambil tindakan tegas terhadap Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebabkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme.
Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Republik Indonesia No. : XXV/MPRS/1966 mengatur bahwa “Setiap
kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham
atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi
penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut dilarang”
dan Pasal 3 mengatur “Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara
ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila
dapat dilakukan secara terpimpin dengan ketentuan bahwa Pemerintah
dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk
pengamanan”.
Miriam Budiardjo mengutip tulisan Karl Marx menjelaskan bahwa
masyarakat komunis adalah masyarakat yang tidak mengenal kelas sosial,
di mana manusia dibebaskan dari keterikatan kepada milik pribadi, dan
dimana tidak ada eksploitasi, penindasan serta paksaan. Akan tetapi,
merupakan hal awal yang aneh bahwa untuk mencapai masyarakat yang
bebas dari paksaan itu perlu melalui jalan paksaan dan kekerasan, yaitu
dengan perebutan kekuasaan oleh kaum buruh dari tangan kapitalis.
Kekerasan adalah bidan dari setiap masyarakat lama yang sedang hamil
tua dengan masyarakat baru (Force is the midwife of every old society
pregnant with a new one) (Miriam Budiardjo, 2007:145).
Miriam Budiardjo juga mengutip tulisan Lenin yang merupakan inti
dari gagasan Leninisme, beberapa gagasan Lenin tersebut adalah:
1. Melihat pentingnya peranan kaum petani dalam menyelenggarakan revolusi.
2. Melihat peranan suatu Partai Politik yang militan yang terdi dari professional revolutionaries untuk memimpin kaum proletar dan merumuskan cara-cara merebut kekuasan.
3. Melihat empirialisme sebagai gejala yang memperpanjang gejala yang memperpanjang hidup kapitalisme(Miriam Budiardjo, 2007:146).
.Penulis berpendapat bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik merupakan Undang-Undang yang dibentuk untuk
menghindari penyebaran faham atau ajaran komunisme/Marxisme-
Leninisme. Sehingga, sudah selayaknya dalam Undang-undang Nomor 2
Tahun 2008 Tentang Partai Politik terdapat pengaturan mengenai larangan
penggunaan asas komunisme/Marxisme-Leninisme dalam sebuah partai
politik. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
mengaturnya dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dan Pasal ayat 5 yaitu :
“AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. asas
dan ciri Partai Politik” dan “Partai Politik dilarang menganut dan
mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham
komunisme/Marxisme-Leninisme”.
b. Jumlah Kepengurusan Partai Politik Di Provinsi, Kabupaten/Kota
Dan Kecamatan
Pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran degan
lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan degan undang-undang“.
Pasal ini merupakan dasar kebebasan individu dan kolektif untuk
melakukan aktivitas intelektual dan berorganisasi serta berpolitik,
termasuk mendirikan Partai Politik dalam rangka menyalurkan aspirasi
masyarakat secara sehat serta mewujudkan hak-hak politik rakyat dalam
rangka kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan makna yang
terkandung di dalamnya yang bersifat asasi. Pengaturan perundangan
sebagaimana disebut pada akhir kalimat Pasal tersebut, tidak boleh
mengurangi sedikitpun makna kebebasan yang terpancar dari Pasal 28
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kaitan dengan hal itu perlu
diperhatikan pula Pasal-Pasal 27, 28C ayat (2), 28D ayat (1) dan (3), 28 E
ayat (3), 28 H ayat (2), 28 I ayat (1), (2) dan (4) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Jika terjadi pengurangan makna kebebasan sebagaimana
dimaksud Pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka berarti telah
terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Dalam Pasal 3 ayat (2) poin d Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik disebutkan: ” kepengurusan paling sedikit 60%
(enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh
perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang
bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan”.
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tersebut
bisa diartikan bertentangan dengan hak-hak asasi kebebasan berserikat dan
berkumpul sebagaimana dimaksud Pasal 28 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal-Pasal terkait dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Adanya ketentuan persyaratan kepengurusan sekurang-kurangnya
60% dari provinsi yang ada diseluruh Indonesia, 50% dari jumlah
Kabupaten/Kota pada setiap provinsi yang bersangkutan serta 25% dari
jumlah Kecamatan dari Kabupaten/kota yang bersangkutan adalah sangat
memberatkan warga negara yang hendak mendirikan Partai Politik karena
merasa terlalu didesak dan diada-adakan untuk dipenuhi;
Sehubungan dengan penafsiran yang menyatakan bahwa ketentuan
Pasal 3 ayat (2) poin d Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, penulis berpendapat bahwa:
1. Dalam mengimplementasikan amanat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan dalam penyusunan materi
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
Pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin untuk
mengakomodasi berbagai aspek termasuk di dalamnya unsur hak-hak
asasi manusia. Di samping itu, perlu kami jelaskan bahwa kebijakan
pembangunan politik di Indonesia dalam rangka mewujudkan negara
yang demokratis, salah satunya adalah penguatan kapasitas Partai
Politik. Salah satu fungsi Partai Politik adalah sebagai sarana
pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas, serta sebagai
sarana penciptaan iklim yang kondusif dan perekat persatuan dan
kesatuan bangsa untuk kesejahteraan masyarakat.
2. Berkaitan dengan pengaturan dalam Pasal 3 ayat (2) poin d Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dimaksudkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
untuk membangun Partai Politik yang berkualitas, mandiri dan
mengakar di masyarakat. Di samping itu, dengan pengaturan tersebut
diharapkan tercipta suatu Partai Politik yang mempunyai kredibilitas
dan ketersebaran kepengurusan Partai Politik di seluruh Indonesia,
memiliki dukungan massa yang kuat, dan bersifat nasional (Indonesia
sebagai negara kepulauan dan beragam suku bangsa serta agama).
Dengan persyaratan dan kriteria dimaksud pada saatnya nanti akan
terwujud Partai Politik yang dapat merefleksikan keanekaragaman
suku, bangsa, budaya, dan agama dalam satu wadah dan tujuan demi
kepentingan bangsa dan negara.
3. Penetapan mengenai wajib mempunyai kepengurusan sekurang-
kurangnya 60 % (enam puluh persen) dari jumlah Provinsi, 50 %
(lima puluh persen) dari jumlah Kabupaten/Kota pada setiap Provinsi
yang bersangkutan, dan 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah
kabupaten/kota yang bersangkutan, merupakan sesuatu yang wajar
dalam alam demokrasi, mengingat pengaturan tersebut mempunyai
tujuan dan harapan yang ingin dicapai dan diperoleh dari suatu Partai
Politik, melalui peran dan kiprahnya dalam membawa arah bagi
perjalanan bangsa dan negara. Selanjutnya esensi pengaturan tersebut
bukan merupakan pembatasan dan pelanggaran hak asasi manusia
(HAM), tetapi lebih kepada pembelajaran dan pendewasaan politik
bangsa.
4. Kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur dalam Pasal
28 Undang-Udnang dasar Negara Republik Inonesia Tahun 1945 tiak
berarti bebas sebebas-bebasnya, tetapi perlu pengaturan agar
kebebasan tersebut berjalan secara tertib an sesuai engan peraturan
perunang-unangan yang berlaku. Perlu diketahui bahwa pengaturan,
selain mengatur juga membatasi. Pengaturan dan pembatasan masih
apat ibenarkan an sah sepanjang ibuat oleh lembaga yang berwenang
dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Secara formal, suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Undang-Undang sah berlakunya sepanjang telah dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk menapatkan persetujuan bersama. Prosedur ini
telah dipenuhi dalam pembahasan Undang-undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik. Oleh karena itu, Unang-unang Nomor 2
Tahun 2008 tetap merupakan cerminan atau pelaksanaan kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat berdasarkan Pasal
28 Undang-Undang dasar Negara Republik Inonesia Tahun 1945.
5. Pelaksanaan Pemilihan Umum 2009 berasaskan langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, adil. Pengertian asas umum adalah setiap warga
negara tanpa pandang bulu, apakah kaya atau miskin, apapun suku, ras
dan agamanya, apapun warna (kastanya), apapun jenis kelaminnya,
apapun tingkat pendidikannya, dimanapun tempat tinggalnya (dalam
atau luar negeri, di kota atau tempat terpencil), cacat tubuh apapun
yang disandangnya, apapun status perkawinannya, apapun jenis
pekerjaannya, dan apapun ideologi yang diperjuangkannya dalam
bingkai Dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang telah memenuhi
persyaratan objektif seperti umur minimal, tidak hilang ingatan, hak
pilihnya tidak sedang dicabut oleh keputusan pengadilan, dan tidak
sedang menjalani hukuman penjara lima tahun atau lebih, memiliki
hak pilih dan dipilih. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, hal ini dirumuskan sebagai "persamaan
kedudukan setiap warga negara di depan hukum dan pemerintahan”.
Berdasarkan asas umum ini, pengaturan proses pelaksanaan Pemilu,
khususnya mengenai mekanisme pendaftaran dan pemungutan suara,
harus memungkinkan semua warga negara yang elijibel memilih
terdaftar sebagai pemilih dan dapat menggunakan hak pilihnya.
Dengan demikian, para anggota dan pengurus serta konstituen eks
Partai Persatuan Rakyat Indonesia dapat mengikuti Pemilihan Umum
dan tidak kehilangan hak suaranya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Partai Politik sebagai pelembagaan kebebasan warga negara untuk
berserikat dan berkumpul. Hak warga negara yang tercantumkan dalam
Pasal 28 E ayat (3) sangat fundamental. Pengaturan Partai Politik sebagai
perwujudan hak berserikat dan berkumpul tidak boleh mengarah kepada
pembatasan yang demikian berat sehingga menjadikan warga negara
sangat sulit dan sangat terbatas sekali untuk menikmati hak-hak tersebut.
Pembebanan yang berkelebihan terhadap tatacara pendirian partai politik
dalam fungsinya sebagai perwujudan hak berserikat dan berkumpul akan
menjadi penghambat pelaksanaan hak-hak warga negara. Dengan adanya
syarat pendirian Partai Politik, sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat (3)
huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002, maka secara langsung
akan terganggu secara signifikan hak-hak warga negara, karena
persyaratan tersebut tidaklah ringan. Tidaklah jelas alasan mengapa warga
negara yang akan mendirikan Partai Politik sebagai perwujudan hak-
haknya, secara ketat dibatasi oleh pembuat undang-undang. Alasan
pembatasan hak-hak tersebut dibenarkan sebatas apa yang dicantumkan
dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu; Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nila-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pembuat Undang-undang tidak secara tegas-tegas menyebutkan
alasan-alasan untuk membatasi pendirian Partai Politik sebagaimana yang
tercantumkan dalam Pasal 3 ayat (2) poin d Undang-undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik. Namun, berkaitan dengan hal ini
penulis berpendapat bahwa Pasal 3 ayat (2) poin d Undang-undang Nomor
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memenuhi ketentuan Pasal 28 J ayat
(2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
La Palombara dan Weiner dalam Firmansyah mengatakan bahwa
partai politik mempunyai empat karakteristik yang menjadi ciri khas partai
politik. Keempat karakteristik dasar partai politik adalah sebagai berikut :
(Firmansah, 2008:67)
1. Organisasi jangka panjang
Organisasi partai politik harus bersifat jangka panjang, diharapkan
dapat terus hadir meskipun pendirinya sudah tidak ada lagi. Partai
Politik bukan sekedar gabungan dari pendukung yang setia dengan
pemimpin yang kharismatik. Partai politik hanya akan berfungsi
dengan baik sebagai organisasi ketika ada sistem dan prosedur yang
mengatur aktivitas organisasi, dan ada mekanisme suksesi yang dapat
menjamin keberlangsungan partai politik untuk jangka waktu yang
lama.
2. Struktur organisasi
Partai politik hanya akan dapat menjalankan fungsi politiknya apabila
didukung oleh struktur organisasi, mulai dari tingkat lokal sampai
nasional, dan ada pola interaksi yang teratur di antara keduanya. Partai
politik kemudian dilihat sebagai organisasi yang meliputi suatu
wilayah teritorial serta dikelola secara prosedural dan sistematis.
Struktur organisasi partai politik yang sistematis dapat menjamin
aliran informasi dari bawah ke atas maupun dari atas ke bawah,
sehingga ke depannya akan meningkatkan efisiensi serta efektifitas
fungsi kontrol dan koordinasi.
3. Tujuan berkuasa
Partai politik didirikan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan, baik lokal maupun nasional. Siapa yang memimpin
negara, propinsi atau kabupaten? Pertanyaan inilah yang
melatarbelakangi hadirnya partai politik. Ini pula yang membedakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
partai politik dengan bentuk kelompok dan group lain yang terdapat
dalam masyarakat seperti perserikatan, asosiasi, dan ikatan.
4. Dukungan publik luas
Dukungan publik luas adalah cara untuk mendapatkan kekuasaan.
Partai politik perlu mendapatkan dukungan luas dari masyarakat.
Dukungan inilah yang menjadi sumber legitimasi untuk berkuasa.
Karakteristik ini menunjukkan bahwa partai politik harus mampu
diterima oleh mayoritas elemen masyrakat dan sanggup memobilisasi
sebanyak mungkin elemen masyarakat. Semakin besar dukungan
publik yang didapatkan oleh suatu partai politik, semakin besar juga
legitimasi yang diperolehnya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka penulis tidak
sependapat dengan penafsiran yang menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (2)
poin d Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Penulis berpendapat Pasal 3 ayat (2) poin d Undang-undang Nomor
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik merupakan aturan yang dimaksudkan
supaya partai politik mendapatkan legitimasi yang luas dari masyarakat
dan dapat memenuhi karakter dasar partai politik seperti yang
diungkapkan oleh La Palombara dan Weiner.
c. Affirmative Action
Pengertian awal affirmative action adalah hukum dan kebijakan yang
mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian
kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai
representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi.
Ia merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) yang dilakukan
untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana
terpenting untuk menerapkannya adalah hukum, dimana jaminan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan Undang-Undang (We are
Scolty, Vol 2 Tahun 2002). Affirmative action merupakan diskriminasi
positif (positive discrimination) atau langkah-langkah khusus yang
dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah
satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum. Karena
jaminan pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan UU.
Affirmative Action ini dianggap tidak sesuai dengan kebebasan
berserikat karena Affirmative Action merupakan tindakan pengkhususan
terhadap suatu kelompok atau individu tertentu. Sedangkan menurut ajaran
equality before the law semua orang sama dihadapan hukum. Persamaan
kedudukan di hadapan hukum dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia diatur dalam Pasal 27 ayat (1) yang isinya “ segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dam wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”.
Sebenarnya tindakan affirmative terhadap perempuan merupakan
sebagai suatu pemahaman kita terhadap persoalan politik perempuan yang
intinya bukan untuk menguasai, saling menjajah atau saling menjegal.
Tujuan utamanya adalah membuka peluang terhadap perempuan agar
mereka sebagai kelompok yang marginal bisa terintegrasi dalam
kehidupan public secara adil. affirmative action disini bisa kita jadikan
sebagai alat penting untuk mempertahankan paling tidak 30 % perempuan
agar tetap berada pada tingkat pembuatan keputusan sehingga bisa
meminimalisir aturan- aturan yang tidak sah untuk mencapai kesetaraan
gender.
Tindakan affirmative 30% merupakan sebagai alat atau sarana kita
untuk mencapai ”gong” yang lebih besar, yaitu masyarakat yang
demokrartis. Keberhasilan kebijakan tersebut sangat bergantung pada
aktor, diantaranya memerlukan perubahan secara simultan di tingkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
makro dan mikro yang bisa kita sebut sebagai “berpolitik dengan cara
baru”.
Andri Rusta menjelaskan bahwa affirmative mempunyai tiga
sasaran yaitu
1. memeberikan dampak posisitif kepada suatu institusi agar lebih cakap
memahami sekaligus mengeliminasi berbagai bentuk rasisme dan
seksisme di tempat kerja
2. agar institusi tersebut mampu mencega terjadinya bias gender maupun
bias ras dalam segala kesempatan
3. sifatnya lebih sementara tapi konsisten, ketika sasaran untuk mencapai
kegiatan telah tercapai, dan jika kelompok yang telah dilindungi
terintegrasi. Maka kebijakan tersebut bisa dicabut.
Andri Rusta berpendapat yang menjadi penekanan dalam affirmatve
action adalah terhadap affirmative ini adalah adalah persamaan dalam
kesempatan dan persamaan terhadap hasil yang dicapai.
Ketentuan tentang affirmative action diatur, yaitu dalam Bab X A
tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 H ayat (2) yang menyebutkan bahwa
setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakukan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan. Pasal ini didasarkan atas kesadaran bahwa satu
peraturan yang netral, yang diberlakukan sama kepada seluruh kelompok
masyarakat yang berbeda keadaannya, akan menimbulkan kesempatan dan
manfaat yang berbeda yang berdampak lahirnya ketidakadilan. Maka
negara berkewajiban membuat peraturan khusus bagi mereka yang karena
kondisi dan rintangannya tidak dapat menerima manfaat dari ketentuan
yang dabersifat netral tadi. Tindakan ini disandarkan pada fungsi hukum
sebagai sarana untuk mencerminkan ketertiban dan keadilan, serta
melakukan rekayasa sosial untuk merubah perilaku masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Dukungan terhadap affirmative action juga terdapat dalam Pasal 46
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusi yaitu
“Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif,
dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin
keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan”.
Syarat dan mekanisme pembentukan Partai politik yang diatur
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengandung
amanat untuk melakukan affirmative action dalam mendirikan partai
politik. Regulasi penetapan jumlah perempuan dalam pembentukan partai
politik adalah bagian dari affirmative policy atau disebut juga diskriminasi
positif yang bersifat sementara sampai kesenjangan sosial tersebut teratasi.
Secara jelas affirmatif action dalam pembentukan partai politik diatur
dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik yang mengatur: “Pendirian dan pembentukan Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan” dan Pasal 2 Ayat 5 Undang Nomor
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur: “Kepengurusan Partai
Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan
menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan”.
Jadi menurut hemat penulis, partisipasi di partai-partai politik dan
pada kampanye-kampanye politik tingkat nasional maupun lokal juga
merupakan bagian dari partisipasi politik perempuan. Meski sudah banyak
upaya untuk meningkatkan jumlah ‘massa kritis’ (critical mass)
perempuan di dunia politik, usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas
kontak-kontak politik perempuan juga tak kalah pentingnya. Keberhasilan
dari upaya-upaya itu sangat tergantung pada keberhasilan pendekatan
multi-strategi yang mempersatukan langkah berbagai departemen/
kementrian, kantor-kantor sekretariat parlemen, dan kelompok-kelompok
masyarakat madani. Dalam periode transisional seperti sekarang,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
sesungguhnya inilah tantangan utama yang harus dihadapi oleh bangsa
Indonesia, baik lelaki maupun perempuan, yang benar-benar percaya pada
demokrasi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
d. Pembentukan Partai Politik Sebagai Badan Hukum
Dengan sistem multi partai yang sederhana akan lebih mudah
dilakukan kerja sama menuju produktivitas yang sinergis secara nasional.
Mekanisme seperti ini, di samping tidak cenderung menampilkan
monolitisme, juga akan lebih menumbuhkan suasana demokratis yang
memungkinkan Partai Politik dapat berperan secara optimal. Perwujudan
sistem multi partai yang sederhana dilakukan dengan menetapkan
persyaratan kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam pembentukan Partai
Politik maupun penggabungan Partai Politik. Yang dimaksud dengan
persyaratan kualitatif sebuah Partai Politik yaitu berbadan hukum, artinya
dengan berstatus sebagai badan hukum, dengan sendirinya harus
memenuhi persyaratan administratif untuk menjadi badan hukum publik,
dan bertindak sebagai badan yang transparan kepada publik. Di samping
merupakan badan hukum publik, juga harus mempunyai kantor yang tetap.
Sedangkan persyaratan kuantitatif sebuah Partai Politik yaitu mempunyai
kepengurusan dan memiliki dukungan yang kuat dari rakyat serta basis
massa yang luas.
Partai politik harus berbentuk badan hukum karena diatur dalam
Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik:
(1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan hukum.
(2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai:
a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
c. kantor tetap; d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari
jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan
e. memiliki rekening atas nama Partai Politik.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
ini dianggap bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun
1945 yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran degan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan
degan undang-undang“. Pasal 28 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
merupakan dasar kebebasan individu dan kolektif untuk melakukan
aktivitas intelektual dan berorganisasi serta berpolitik, termasuk
mendirikan Partai Politik dalam rangka menyalurkan aspirasi masyarakat
secara sehat serta mewujudkan hak-hak politik rakyat dalam rangka
kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan makna yang
terkandung di dalamnya yang bersifat asasi.
Status badan hukum partai politik merupakan suatu wujud
pengekangan kebebasan berserikat di Indonesia karena Pasal 28 Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 mempunyai kaitan dengan kberadaan hak asasi
manusia yang lain yang perlu diperhatikan pula, yaitu Pasal-Pasal 27, 28C
ayat (2), 28D ayat (1) dan (3), 28 E ayat (3), 28 H ayat (2), 28 I ayat (1),
(2) dan (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jika terjadi pengurangan
makna kebebasan sebagaimana dimaksud Pasal 28 Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, maka berarti telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
Salah satu ancaman serius terhadap prinsip kemandirian partai
adalah adanya penerapan politik perijinan bagi berdirinya sebuah partai.
Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
persoalan yang harus dicermati, yaitu mekanisme pendirian. Wewenang
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam pengesahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
berdirinya sebuah partai politik jelas sangat berlebihan, sebab sebagai
badan hukum dia sudah sah bila dicatat di Notaris. Kalaupun Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia ingin berperan, maka kewenangannya
tidak boleh lebih dari sekedar pencatatan. Terdapat kekhawatiran
masyarakat jika ketentuan perijinan seperti itu masih terus berlaku, maka
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nantinya akan berfungsi pula
sebagai Pembina Politik. Patronase politik seperti itu selain melanggar
prinsip kebebasan berserikat, juga menganggap seolah-olah pemerintah
memiliki superioritas politik (http://www.minihub.org/siarlist/msg0151
html ).
Berkenaan dengan anggapan yang menyatakan bahwa ketentuan
Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, penulis berpendapat bahwa Yang dimaksud dengan badan
hukum di sini adalah badan hukum publik, artinya dengan berstatus
sebagai badan hukum dengan sendirinya harus memenuhi persyaratan
administratif untuk menjadi badan hukum publik, dan bertindak sebagai
badan yang transparan kepada publik. Di samping merupakan badan
hukum publik, juga harus mempunyai kantor yang tetap. Sedangkan
persyaratan kuantitatif sebuah Partai Politik yaitu mempunyai
kepengurusan dan memiliki dukungan yang kuat dari rakyat serta basis
massa yang luas.
Selain itu syarat untuk mendapatkan status badan hukum partai
politik cukup seperti yang diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik, yaitu:
a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan
pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. kantor tetap; d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan
e. memiliki rekening atas nama Partai Politik.
Status badan hukum partai politik melalui mekanisme yang diatur
dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, yaitu:
1. Departemen menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (2).
2. Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap.
3. Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian dan/atau verifikasi.
4. Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 justru merupakan
pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna
menjamin agar penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang
tidak mengganggu kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya.
Ketika kebebasan seseorang bertemu dengan kebebasan orang lain, di
situlah hukum diperlukan. Dengan demikian, Pasal tersebut dapat
ditafsirkan sebagai pengekangan atau pembatasan terhadap kebebasan
untuk mendirikan partai politik, melainkan hanya pengaturan mengenai
persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga partai politik
tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum. Demikian
pula, pengaturan tersebut tidak dapat dipandang diskriminatif karena
berlaku terhadap semua partai politik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1. Syarat dan mekanisme pendirian partai politik menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum
optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang
menuntut peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
serta tuntutan mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat
nasional dan modern sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik perlu diperbarui. Setelah berlakunya Undang –
Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 2008 bermunculan partai politik
yang didirikan dengan beraneka ragam corak namun dengan cita – cita
mulia sesuai dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan adanya berlakunya Undang –
Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik diharapkan
persyaratan dan mekanisme pendiriannya sesuai dengan Pasal 28 dan 28 E
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun
persyaratannya diatur dalam Pasal 2 sampai dengan 4 berlakunya Undang
– Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Sedangkan
mekanismenya diatur dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor : M.Hh-02.Ah.11.01 Tahun 2008
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Partai Politik Menjadi Badan
Hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
2. Syarat dan mekanisme pendirian partai politik tersebut sudah memenuhi
prinsip hak atas kebebasan berserikat dan kebebasan berorganisasi.
Pembentukan Partai Politik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
terdapat materi yang dapat diperdebatkan. Materi yang dapat
diperdebatkan tersebut adalah Asas dan ciri-ciri partai politik, jumlah
kepengurusan partai politik di provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan,
Affirmative Action dan pembentukan partai politik sebagai badan hukum.
Mengenai semua hal tersebut tidak ada yang bertentangan dengan prinsip
kebebasan berserikat yang diatur dalam Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang diatur dalam Pasal 28 dan 28E.Hal
yang diperdebatkan tersebut mengacu pada Pasal 28J ayat (2) Undang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berisi
“Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tututan yang adail
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertuban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan maka, saran yang dapat disampaikan adalah
sebagai berikut.
1. Bagi Pemeraintah :
a. Pendewasaan berpolitik harus diajarkan kepada pemuda sebagai
generasi penerus sehingga cita-cita nasional dapat terwujud.
b. Undang-Undang Partai Politik hendaknya dibuat untuk jangka waktu
yang lama dan bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
2. Bagi DPR dan Pemerintah :
a. Pemerintah dan DPR harus konsekuen atas keputusan yang telah
ditetapkan. Dijalankan penuh dengan tanggungjawab dan loyalitas
kepada negara kesatuan.
b. Segera diundangkan Undang-Undang partai Politik yang baru sebagai
penyempurna Unmdang-Undang Partai Politik yang sudah ada,
sehingga kedepan kehidupan berpolitik akan lebih baik
3. Bagi Partai Politik:
Partai politik tidak hanya menebar janji politik saja namun relitas nyata
bagaimana penerapan AD/ART benar-benar dijalankan untuk
mensejahterakan masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Endang dan Rikayani, 2009, Pendidikan Kewarganegaraan 5 : Untuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah kelas 5, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Agun Gunandjar Sudarsa, Jurnal Legislasi Indonesia, Sistem Multipartai di
Indonesia vol 5 No.1- Maret 2008 AH. Soeharto, 1986, Serba Serbi Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Pendekatan Manajemen. Jakarta: Sekretariat Inspektorat Mendagri
Arbi Sanit. 1987, Partisipasi Politik di Indonesia: Keprihatinan dan Harapan,
dalam Potret Keadilan Indonesia, Jakarta, (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
Azyumardi Azra. 2000, Pendidikan Kewarganegaraan (civic education)
:demokrasi, hak asasi manusia dan mayarakat madani, Jakarta : Prenada Kencana.
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia, Yogyakarta, 2003.
Fachry Ali, 1985, Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara, Jakarta, Inti Sarana
Firmanzah. 2006. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor
George H. Sabine, 1961, “A History of Political Theory”, Third Edition: New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston,
Gunawan Suryatmana, 2008, Infrastruktur dunia Kepartaian, Bandung: Alumni Haricahyono, 1991, Ilmu Politik Dan Perspektifnya, Yogyakarta: Tiara Wacana Ibrahim Ambong dan Miriam Budiharjo, 1993, Fungsi Legislatif dalam System
Politik Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada Indepolis. Prosedur Pembentukan partai. http://www.indepolis.org/d-tentang-
prosedur-pembentukan-partai/ diakses 6 September Pukul 17.00 Jimly Asshiddiqie, 2005, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik
Dan Mahkamah Konstitu., Jakarta: Konstitusi Press
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Joko Purwono,1989, Penjabaran Praktis Komitmen Politis bagi Peneyelenggaraan, (Posyandu, PSKLAH UNS SURAKARTA: Laporan Penelitian
Krisna Harahap.2003. HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia. Bandung:
Grafiti. Lexy J, Moleong. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Raskarya Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan :Jilid I. Yogyakarta:
Kanisius _________________, 2007, Ilmu Perundang-undangan :Jilid II. Yogyakarta:
Kanisius M. Rusli karim, 1991, Pemilu Demokratis Kompetitif, Yogyakarta, Tiara Wacana Miriam Budiarjo, 2007, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama Mukhtie Fadjar, 2008, Partai Politik Dalam Perkembangan Sistem
Ketatanegaraan Indonesia.Malang : Intrans Publishing Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum., Jakarta: Kencana Prenada Media Group Ruth T. Mc Vey, The Army, The Parties and Elections, in Indonesia, No.11, Edisi
April 1971. Sandra Coliver, 1993, Buku Pedoman ARTICLE 19 tentang Kebebasan
Menyampaikan Pendapat. Toronto: International Freedom of Expression Exchange (IFEX)
Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
_______________. 2006, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : Rajawali Pers Soejamto, 1972,Kamus Administrasi, Jakarta, Gunung Agung. Sutrisno Hadi, 1989, Metodologi Riset I, Yogyakarta: Yayasan Penerbit. Fakultas
Psikologi UGM Tim Penyusun.2008.Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional Zafrullah Salim. Dampak Sistim Multipartai dalam Kehidupan Politik
Indonesiahttp://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/439-dampak-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
sistim-multipartai-dalam-kehidupan-politik-indonesia.html. diakses 6 September 2010 Pukul 15.00
Zainal Abidin Saleh, Jurnal Legislasi Indonesia, Demokrasi dan Partai Politik vol
5 No.1- Maret 2008 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD Kompas, 10 Januari 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
LAMPIRAN