PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA TAHUN...

116
PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1960 SKRIPSI Oleh: Arif Permana Putra NIM: K 4405007 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

Transcript of PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA TAHUN...

PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA

TAHUN 1960

SKRIPSI

Oleh:

Arif Permana Putra

NIM: K 4405007

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009

ii

PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA

TAHUN 1960

Oleh :

Arif Permana Putra

NIM: K 4405007

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan

mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009

iii

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum

NIP. 19650627 199003 1 003

Drs. Djono, M. Pd

NIP. 19630702 199003 1 005

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program

Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan

dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada Hari :

Tanggal :

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Saiful Bachri, M.Pd ………………

Sekretaris : Drs. A. Arif Musadad, M.Pd ………………

Anggota I : Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum ………………

Anggota II : Drs. Djono, M.Pd ………………

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Dekan,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd.

NIP. 19600727 198702 1 001

v

ABSTRAK

Arif Permana Putra. K4405007. PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK

DI INDONESIA TAHUN 1960. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Agustus 2009.

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan: (1) Perkembangan

partai politik di Indonesia sebelum penyederhanaan partai politik tahun 1960, (2)

Penyederhanaan partai politik di Indonesia tahun 1960, (3) Pengaruh

diberlakukannya penyederhanaan partai politik terhadap stabilitas politik di

Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan

adalah sumber surat kabar yang terbit pada tahun 1960-an, diantaranya adalah

Koran Suara Rakyat, Suara Masyarakat, Suluh Indonesia, Harian Umum, Sin Min,

Nasional dan Obor Rakyat. Buku-buku literature yang digunakan antara lain:

”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965” dan ”Soekarno - Militer Dalam

Demokrasi Terpimpin”, karangan Herbert Feith; “Perkembangan Militer Dalam

Politik Di Indonesia 1945-1966”, karangan Yahya A. Muhaimin; dan “Politik

Militer Indonesia 1945-1967”, karangan Ulf Sundhaussen. Teknik pengumpulan

data menggunakan studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan teknik

analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dalam mengolah

suatu data sejarah. Prosedur penelitian dengan melalui empat tahap kegiatan yaitu:

heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Kehidupan partai

masa demokrasi terpimpin berdasar pengalaman pada masa demokrasi

parlementer terjadi ketidakstabilan politik karena adanya persaingan antara partai

politik dalam meraih kekuasaan. Jumlah partai politik masa demokrasi terpimpin

surut menjadi sepuluh yaitu: Partai Nasional Indonesia-PNI, Nahdlatul Ulama-

NU, Partai Komunis Indonesia-PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia-Partindo,

Partai Murba, Partai Sarekat Islam Indonesia-PSII, Ikatan Pendukung

Kemerdekaan Indonesia-IPKI, Partai Kristen Indonesia-Parkindo dan Persatuan

Tarbiyah Islam-Perti. PKI menjadi salah satu partai besar dan akhirnya

dibubarkan oleh pemerintah setelah peristiwa G 30 S, (2) Dalam rangka

menciptakan stabilitas politik masa demokrasi terpimpin pemerintah menyusun

rencana penyederhanan partai politik, dengan Penetapan Presiden No.7 tahun

1959 (tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian) dan Peraturan

Presiden No.13 tahun 1960 (tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran

partai-partai), (3) Dengan penyederhanaan partai politik, stabilitas terkesan semu,

karena partisipasi kekuatan politik tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Pemerintah lebih menitikberatkan pembangunan politik, sehingga pembangunan

ekonomi mengalami kemunduran dan mengakibatkan ambruknya sistem

demokrasi terpimpin.

vi

ABSTRACT

Arif Permana Putra. K4405007. SIMPLIFICATION OF POLITICAL

PARTIES IN INDONESIA IN 1960s. Skripsi, Surakarta: Faculty of

Education and Teacher Training, Sebelas Maret University, October 2009.

This research for describing: 1) the development of political party before

simplification of political parties in Indonesia in 1960s, 2) simplification of

political party in Indonesia in 1960s, 3) the effect of simplification of political

party to the political stability in Indonesia.

This research uses the historical method. Source data are newspapers

which printed in 1960s, such as Koran Suara Rakyat, Suara Masyarakat, Suluh

Indonesia, Harian Umum, Sin Min, Nasional and Obor Rakyat. Literary books

also used, such as “Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965” and “Soekarno –

Militer Dalam Demokrasi Terpimpin”, (Herbert Feith); ”Perkembangan Militer

Dalam Politik Di Indonesia 1945-1966”, (Yahya A. Muhaimin); and “Politik

Militer Indonesia 1945-1967”, (Ulf Sundhaussen). Collecting data technique uses

bibliography study. Analysis data uses technique of historical analysis which

emphasis on the sharpness of the historical data processing. The analysis using 4

step of way, i.e.: heuristic, criticism, interpretation, and historiography.

Based on the analysis, it can be concluded as 1) The life of party in the

Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) based on the experience in Demokrasi

Parlementer (Parliamentary Democracy) used to unstably politic because of

competition between the parties to get the position or power in Government. The

number of party decrease to 10 in demokrasi terpimpin, that is: Partai Nasional

Indonesia-PNI (the Indonesian Nationalist Party), Nahdlatul Ulama-NU (the

Orthodox Muslim Scholars), Partai Komunis Indonesia-PKI (the Indonesian

Communist Party), Partai Katolik (the Catholic Party), Partai Indonesia-Partindo

(the Indonesian Party), Partai Murba (the Murba Party), Partai Sarekat Islam

Indonesia-PSII (the Islamic Association Party Indonesia), Ikatan Pendukung

Kemerdekaan Indonesia-IPKI (League of Upholders of Indonesian

Independence), Partai Kristen Indonesia-Parkindo (the Indonesian Christian

Party), and Persatuan Tarbiyah Islam-Perti (Islamic Educators Association). PKI

became the only big party and was dismissed by the government after the G 30 S.

2) in order to make politic stability in demokrasi terpimpin Government arrange

the simplification of political party, in Penetapan Presiden No.7 tahun 1959

(about the parties qualification and simplification) and Peraturan Presiden No.13

tahun 1960 (parties acknowledgement, scouting, and dismissal), 3) with the

simplification of political party, the stability looks apparent because the

participation of political power does not work regularly. The government focuses

on political development, so that economic development decreased and caused the

Guided Democracy system felt down.

vii

MOTTO

Perdamaian tidak dapat dijaga dengan kekuatan,

Hal itu hanya dapat diraih dengan pengertian.

Einstein

Terkadang memenangkan suatu pertarungan lebih berakibat buruk

daripada menerima kekalahan.

Lord Chesterfield

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

Ayah dan ibu tercinta

Adikku tersayang, Dian Ratna Pertiwi

Teman-teman Pendidikan Sejarah 2005

Almamater

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat

dan hidayah-Nya, skripsi dengan judul “Penyederhanaan Partai Politik Di

Indonesia Tahun 1960” ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian

persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada kesempatan ini dengan penuh penghargaan dan keindahan hati yang

paling dalam, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta, yang telah memberi ijin penelitian.

2. Ketua Jurusan P.IPS, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberi ijin penelitian

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan P.IPS, Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang

telah memberi ijin penelitian

4. Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum, selaku pembimbing I yang telah memberikan

masukan dan pengarahan sehingga penulisan skripsi ini dapat

terselesaikan.

5. Drs. Djono, M.Pd, selaku pembimbing II yang telah memberikan

penjelasan dengan sabar sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan dari

Allah SWT.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak

kekurangan, karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Penulis berharap

skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Surakarta, 3 Oktober 2009

Penulis

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN PENGAJUAN............................................................................ ii

HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

ABSTRACT .................................................................................................... vi

HALAMAN MOTTO .................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... viii

KATA PENGANTAR .................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................... x

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Perumusan Masalah ................................................................. 6

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ................................................................... 7

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 8

1. Konsep Partai Politik ........................................................ 8

2. Konflik Kepentingan ......................................................... 13

3. Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin .................... 20

4. Stabilitas Politik ................................................................ 22

B. Kerangka Berfikir..................................................................... 28

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 30

B. Metode Penelitian..................................................................... 31

C. Sumber Data ............................................................................. 32

xi

D. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 33

E. Teknik Analisis Data ................................................................ 34

F. Prosedur Penelitian................................................................... 35

BAB IV. HASIL PENELITIAN

A. Perkembangan Partai Politik Sebelum Penyederhanaan Partai

Politik Tahun 1960 .................................................................. 39

1. Masa Demokrasi Liberal ................................................... 39

2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1960) ......................... 49

B. Penyederhanaan Partai Politik ................................................. 51

1. Ide Penyederhanaan Partai Politik .................................... 51

2. Perombakan Sistem Kepartaian Melalui Penyederhanaan

Partai Politik ...................................................................... 54

3. Partai Politik Pasca Penyederhanaan ................................ 58

4. Pembubaran Partai Masyumi dan Partai Sosialis

Indonesia (PSI) .................................................................. 65

C. Pengaruh Diberlakukannya Penyederhanaan Partai Politik

Terhadap Stabilitas Politik ...................................................... 82

BAB V. PENUTUP

A. Simpulan .................................................................................. 88

B. Implikasi ................................................................................... 89

C. Saran ......................................................................................... 91

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xii

DAFTAR TABEL

TABEL HALAMAN

Tabel 1. Tabel pemecahan konflik .................................................................. 19

Tabel 2. Tabel hasil pemilihan umum 1955 .................................................... 45

xiii

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR HALAMAN

Gambar 1. Gambar kerangka berfikir ............................................................. 28

Gambar 2. Gambar prosedur penelitian .......................................................... 36

xiv

LAMPIRAN

LAMPIRAN HALAMAN

Lampiran 1. Political Parties: A Cross-National Surve ............................... 103

Lampiran 2. Indonesia - Political Parties .................................................... 106

Lampiran 3. Confrontation With Indonesia 1962-1966 ............................... 109

Lampiran 4. Maklumat Pemerintah Tentang Pembentukan Partai-Partai

Politik ...................................................................................... 110

Lampiran 5. Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959 Tentang Syarat-Syarat

Dan Penyederhanaan Kepartaian ............................................ 111

Lampiran 6. Peraturan Presiden No.13 Tahun 1960 Tentang Pengakuan,

Pengawasan Dan Pembubaran Partai-Partai ........................... 118

Lampiran 7. Keputusan Presiden No.128 Tahun 1961 Tentang Pengakuan

Partai-Partai: PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partindo, Partai

Murba, PSII - Arudji dan IPKI ................................................ 122

Lampiran 8. Keputusan Presiden No.129 Tahun 1961 Tentang Penolakan

Partai-partai: PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) -

Abikusno, PRN (Partai Rakyat Nasional) - Bebasa, PRI

(Partai Rakyat Indonesia) dan PRN (Partai Rakyat Nasional)

- Djody .................................................................................... 124

Lampiran 9. Keputusan Presiden No-440 Tahun 1961 Tentang Pengakuan

Parkindo dan Perti ................................................................... 126

Lampiran 10. Surat Kabar Harian Umum ..................................................... 128

Lampiran 11. Surat Kabar Nasional .............................................................. 129

Lampiran 12. Surat Kabar Obor Rakyat ........................................................ 136

Lampiran 13. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi .............................. 137

Lampiran 14. Surat Ijin Penyusunan Skripsi ................................................. 138

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah

menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur politik. Pada awal

kemerdekaan, pemuda dan aktivis partai menginginkan kehidupan politik

Indonesia berlanjut dengan sistem kepartaian antara satu partai atau multi partai.

PPKI sebagai Dewan Konstituante Indonesia pertama meletakkan dasar politik

pada sistem satu partai yaitu pembentukan Partai Nasional Indonesia. Tujuan

partai itu di antaranya memperkuat persatuan bangsa dan negara serta membela

Republik Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. PPKI memandang dengan

adanya sistem multi partai akan memecah belah rakyat dan menimbulkan

pertentangan (Osman Raliby, 1953: 15). Pembentukan PNI sebagai partai tunggal

mengalami penundaaan dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 31

Desember 1945. Maklumat ini muncul karena adanya pertentangan pemimpin-

pemimpin partai yang modern. Sistem partai tunggal dianggap tidak demokratis,

karena Indonesia sendiri menganut sistem demokrasi. Penggunaan sistem partai

tunggal mengalami penundaan sampai terbentuknya BPKNIP yang mengambil

langkah liberalisasi dalam kehidupan politik dengan memberikan kesempatan

seluas-luasnya untuk mendirikan partai politik (Imam Pratignyo, 1983: 19).

Wilopo dalam Rusli Karim (1983: 65) berpendapat bahwa negara yang sedang

berkembang diperlukan pemerintahan yang kuat dan dapat bertahan lama. Untuk

itu diperlukan partai dan organisasi politik yang cukup untuk mewakili aliran

paham penting dalam masyarakat agar dapat berfungsi benar. Partai adalah sarana

penting dan pangkal permulaan pendemokrasian negara.

Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 yang ditandatangani oleh

Wakil Presiden Muhammad Hatta merupakan wujud dari pendirian partai-partai

politik. Maklumat ini memuat dan menegaskan bahwa pemerintah mengijinkan

berdirinya partai-partai politik. Partai politik diharapkan mampu mengarahkan ke

1

2

jalan yang teratur segala aliran paham yang ada di masyarakat, mempertahankan

kemerdekaan Indonesia serta diharapkan juga partai-partai tersebut dapat tersusun

sebelum pemilihan anggota badan perwakilan rakyat bulan Januari 1946 (Osman

Raliby, 1953: 74).

Kehidupan politik di Indonesia antara tahun 1945-1950 telah berdiri

sebanyak 25 partai, sedangkan menjelang pemilihan umum 1955 tidak kurang dari

70 partai maupun perorangan mengambil bagian. Melalui pemilihan umum terjadi

seleksi, tetapi sebanyak 27 partai dan perorangan tetap melangsungkan

kegiatannya (Ali Murtopo, 1974: 71). Arbi Sanit (2003: 24) membuat klasifikasi

partai masa Demokrasi Liberal dengan Dasar KeTuhanan, Dasar Kebangsaan, dan

Dasar Marxisme. Partai besar di antaranya Masyumi, PKI, Partai Sosialis

Indonesia dan Partai Nasional Indonesia.

Sistem pemerintahan masa Demokrasi Liberal ditandai dengan adanya

persaingan berbagai kekuatan dari partai politik, militer tidak ikut campur dalam

sistem parlemen dan Soekarno tidak mempunyai kekuatan penuh. Dari tiga ciri

tersebut menunjukkan kelemahan dari sistem Demokrasi Liberal (Leo

Suryadinata, 2002: 25).

Pemikiran politik di Indonesia masa peralihan Demokrasi Liberal ke

Demokrasi Terpimpin menunjukkan ada lima pemikiran politik diantaranya:

nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokratis dan

komunisme. Partai-partai politik yang ada mewakili dari aliran-aliran tersebut.

Pengklasifikasian ini mengalami kesulitan karena sangat bersifat heterogen.

Adanya lima pandangan politik mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan politik,

di mana masing-masing partai mengunggulkan ideologinya, sebagai contoh,

perbedaan pandangan antara PNI yang beraliran nasionalisme radikal dan

Masyumi yang beraliran Islam. Kedua partai ini memiliki pandangan yang

berbeda tentang dasar tujuan negara dan bangsa. Masyumi menginginkan negara

berdasarkan Islam, sedangkan menurut PNI dasar keagamaan itu sebaiknya yang

telah ada dalam Pancasila yang hanya menyatakan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pemimpin Masyumi menyangkal tuduhan negara berdasarkan Islam bertentangan

dengan Pancasila. Dilain pihak, PNI juga sama kerasnya menuduh Masyumi

3

menentang simbol-simbol nasionalis. Kampanye ideologis dari partai-partai

mengarah dan mempertajam polarisasi dalam masyarakat yang menimbulkan

perpecahan (Herbert Feith, 1999: 16). Partai-partai saling bersaing dalam menarik

anggota dengan cara, memberi gambaran yang masuk akal tentang keadaan

politik, serta merumuskan kembali nilai-nilai yang patut dipertahankan. Konflik

yang terjadi antara partai politik lebih di dorong oleh konflik golongan yang

berhaluan kiri dan golongan yang berhaluan kanan (Herbert Feith & Lance

Castles, 1988: iv).

Presiden Soekarno mengambil langkah untuk mengatasi hal tersebut

dengan mengganti sistem politik yang ada dengan sistem baru yang dikatakan

ideal dengan kepribadian Indonesia. Sistem ini disebut sistem demokrasi

musyawarah-mufakat atau Demokrasi Terpimpin dengan dikeluarkannya Dekrit

Presiden 5 Juli 1959 (Yahya A. Muhaimin, 1982: 93).

Pengaruh Soekarno masa Demokrasi Terpimpin semakin besar dalam

politik Indonesia. Hal ini disebabkan ketidakmampuan partai politik membendung

percekcokan antar sesama partai yang akhirnya menimbulkan ketidakstabilan

politik. Penyebab lainnya adalah keinginan Soekarno untuk memainkan peranan

yang paling besar dan berarti dalam politik, bukan sekedar lambang seperti

dikehendaki UUDS 1950. Selain itu, karena keinginan tokoh militer untuk

berperan di dalam politik yang disebabkan oleh semakin menurunnya kepercayaan

militer terhadap partai politik atau politisi sipil dalam menjalankan roda

pemerintahan (Alfian, 1980: 30-31).

Sejak tahun 1957, peranan partai di dalam kehidupan politik Indonesia

mulai menurun. Fungsi partai mulai dibatasi menjadi hanya sebagai penyalur

formal suara masyarakat. Peranan partai di dalam mengambil keputusan mulai

diambil alih, dan mengarah ke arah orang-orang di sekeliling Soekarno, supaya

partai lebih menjadi penyokong daripada penentang, maka restu presiden mulai

mempunyai peranan di dalam penyusunan Dewan Pimpinan Partai (DPP) (Arbi

Sanit, 2003: 35).

Tindakan Soekarno terkesan jauh, tetapi tidak terdengar nada memprotes

dari rakyat, karena partai-partai awal kemerdekaan atau masa Demokrasi Liberal

4

belum menampilkan pimpinan besar, sehingga posisi presiden masa Demokrasi

Terpimpin memberi pegangan pada rakyat Indonesia yang sedang berkembang

(Sartono Kartodirjo, Marwati Djoned Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,

1975: 101).

Perubahan terjadi dalam bidang politik masa Demokrasi Terpimpin, partai-

partai politik yang sebelumnya menjadi pusat pengaruh yang kuat dalam

pembangunan bangsa di sektor politik dan ekonomi relatif tidak berfungsi. Hal ini

sebagai akibat peraturan penyederhanaan sistem kepartaian, banyak organisasi

politik kehilangan hak hidup dalam menentukan tujuan politik dasar ideologinya.

Sepuluh partai (PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba,

PSII, IPKI, Parkindo, Perti) yang memperoleh pengakuan presiden masih boleh

aktif dalam kegiatan politik, tetapi di daerah-daerah partai diawasi militer.

Kegiatan politik dalam konteks demokrasi Indonesia masih boleh berjalan asal

tidak bertentangan dengan manifesto politik (Herbert Feith & Lance Castles,

1988: 111).

Soekarno masa Demokrasi Terpimpin tetap membiarkan sejumlah partai

berdiri, hal ini untuk menjaga keseimbangan kekuatan antara Soekarno dan

militer. Partai-partai dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan ikatan

kerjasama yang didominasi oleh ideologi. Dengan demikian partai-partai politik

tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang

diwakilinya (Rusli Karim, 1983: 141). Di dalam situasi Demokrasi Terpimpin,

partai-partai politik diharuskan tunduk pada manifesto politik yang bertujuan

mencapai cita-cita nasional yang satu yaitu terwujudnya rencana masyarakat

sosialis Indonesia yang bersumber pada norma politik yaitu Presiden Soekarno

(Herbert Feith & Lance Castles, 1988: 113).

Salah satu prinsip pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka

kembali UUD 1945 adalah menyederhanakan partai dengan mengurangi jumlah

partai politik lalu dikeluarkan Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 tanggal 31

Desember 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan partai (R. Wiyono,

1982: 29). Penetapan Presiden Soekarno tentang penyederhanaan partai politik di

berlakukan pertama kali ketika beberapa pemimpin Partai Masyumi, PSI, IPKI,

5

Partai Katolik dan Parkindo memutuskan membentuk Liga Demokrasi. Liga ini

menentang ide pembentukan DPR Gotong Royong dan pengaruh Komunis. Sikap

Liga Demokrasi ini menjadikan Soekarno mengambil langkah untuk

membubarkan partai-partai yang masuk dalam Liga Demokrasi, terutama PSI dan

Masyumi. Kedua partai ini terlalu jelas dalam menentang Soekarno dan anti

komunis. Dalam bulan Agustus 1960 pemerintah menyatakan kedua partai

tersebut terlarang dan pimpinan tertinggi Masyumi dan PSI dimasukkan ke dalam

tahanan (Herbert Feith, 2001: 51). Pembubaran Partai Masyumi dan PSI di

dasarkan pada Keputusan Presiden No. 200 Tahun 1960 dan No. 201 Tahun 1960

pada tanggal 17 Agustus 1960.

PSI dan Masyumi dibubarkan oleh pemerintah melalui Keputusan

Presiden No. 128, sehingga jumlah partai di Indonesia menjadi delapan partai

yaitu: PNI, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan IPKI.

Pada tahun 1961 melalui Keputusan Presiden No. 440 tahun 1961 telah diakui

sebagai partai politik yaitu Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan

Tarbiyah Islam (Perti) (R. Wiyono, 1982: 29).

Dalam pidato Presiden Soekarno pada hari kemerdekaan tahun 1965

dinyatakan bahwa alat-alat negara, organisasi massa, dan partai-partai politik

revolusioner sangat efektif untuk mengikutsertakan dan menggerakkan Indonesia,

seperti Partai Murba yang menyeleweng dan memecah belah persatuan Indonesia.

Tanggal 21 September 1965 dengan Keputusan Presiden No. 291 Tahun 1965

Partai Murba di bubarkan sebelumnya dengan Keputusan Presiden No.

1/KOTI/1965 tanggal 6 Januari 1965 (Sekretariat Negara Republik Indonesia,

1977: 527).

Soekarno masa Demokrasi Terpimpin mempunyai kekuatan besar, di

samping militer dan PKI. Soekarno bermain seimbang dalam dua kekuatan antara

militer dan PKI, karena kekuatan tersebut saling bermusuhan dalam

mempengaruhi pemikiran Soekarno. Dibubarkannya PKI pada tahun 1965 dan

antek-anteknya merupakan akhir dari tumbangnya kekuasaan Orde Lama.

Tema ini menarik dan penting untuk diteliti karena penyederhanaan partai

politik di Indonesia tahun 1960 merupakan permasalahan mendasar di mana

6

keberadaan partai politik semakin hilang. Penyederhanaan partai politik yang

terjadi pada tahun 1960 mempengaruhi perkembangan partai selanjutnya. Hal ini

dapat dilihat pada tubuh masing-masing partai yang mengalami berbagai konflik,

baik konflik ideologi dalam partai maupun konflik ekstern antar partai.

Keberadaan partai politik di Indonesia mengalami pasang surut. Hal ini

disebabkan kondisi perpolitikan di Indonesia yang selalu berubah dan kebijakan-

kebijakan baru pemerintah.

Oleh karena itulah maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih

dalam tentang Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia Tahun 1960.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan partai politik di Indonesia sebelum

penyederhanaan partai politik tahun 1960 ?

2. Bagaimana penyederhanaan partai politik di Indonesia tahun 1960 ?

3. Bagaimana pengaruh diberlakukannya penyederhanaan partai politik

terhadap stabilitas politik di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai dari penulisan

ini adalah :

1. Untuk mengetahui perkembangan partai politik di Indonesia sebelum

penyederhanaan partai politik tahun 1960.

2. Untuk mengetahui penyederhanaan partai politik di Indonesia tahun

1960.

3. Untuk mengetahui pengaruh diberlakukannya penyederhanaan partai

politik terhadap stabilitas politik di Indonesia.

7

.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat :

a. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam

rangka pengembangan ilmu sejarah.

b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para

pembaca tentang Penyederhanaan Partai Politik di Indonesia Tahun 1960

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini bermanfaat:

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana

Kependidikan Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Dapat memberikan acuan bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Partai Politik

Dalam teori demokrasi modern, partai politik dipandang sebagai sarana

kelembagaan yang utama untuk menjembatani hubungan antara masyarakat

dengan pemerintah. Partai dianggap memainkan peranan menyeluruh, baik

sebelum dan sesudah pemilu (Hans Dieter et al, 2000: 392).

Dalam suatu negara demokrasi, rakyat berhak untuk mengeluarkan

pendapatnya, berhak menyatakan keinginannya dan cita-citanya tentang

kenegaraan selaras dengan dasar negara yang bersangkutan. Akan tetapi pada

umumnya rakyat mempunyai pendirian yang berbeda-beda. Pendapat dan

pendirian yang berbeda itu menimbulkan berbagai aliran politik dalam

masyarakat. Meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu

diperlihatkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik lahir

dan berkembang sebagai manifestasi dari suatu sistem politik yang sudah modern

(Miriam Budiarjo, 2008: 280). Tiap partai politik menganut aliran tertentu, yang

berbeda dari partai politik lain. Melalui partai politik, pendapat dan keinginan

rakyat dapat dikemukakan bahwa dapat pula menjadi kenyataan dalam

pemerintahan negara, apabila suatu partai mendapat kepercayaan rakyat untuk

memegang pemerintahan (C.S.T. Kansil, 1979 : 17).

Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk

mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu,

memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta

menyediakan sarana suksesi kepemimpinan secara absah (legitimate) dan damai.

Partai politik dalam pengertian modern dapat didefinisikan sebagai suatu

kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh

rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan

8

9

pemerintah. Menurut Mark N. Hopian dalam Ichlasul Amal (1996: xv) partai

politik adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan

karakter kebijaksanaan publik dalam rangka prinsip-prinsip dan kepentingan

ideologis tertentu melalui kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam

pemilihan.

Mengingat pentingnya partai politik dalam perjalanan politik suatu negara

maka perlu dimengerti terlebih dahulu konsep dari partai politik. Miriam Budiarjo

(2008: 403) berpendapat bahwa partai politik merupakan suatu kelompok yang

terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-

cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik merebut kedudukan

politik untuk dapat melaksanakan programnya.

Menurut Sigmund Neuwman dalam Rafael Raga Maran (2001: 85) partai

politik adalah organisasi penghubung yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang

aktif dalam masyarakat, yang memusatkan perhatiannya dalam pengendalian

kekuasaan pemerintahan dan bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat,

dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.

Menurut Carl J. Fredrich yang dikutip oleh Miriam Budiarjo (2008: 404)

partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan

tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi

pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota

partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.

Menurut R. Wiyono (1982: 1) ”partai politik adalah sekolompok orang

yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar dapat

melaksanakan program-programnya dan menempatkan anggota-anggotanya dalam

jabatan pemerintahan”.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa partai

politik adalah sekelompok warga negara yang terorganisir, dimana anggota-

anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama serta

bertujuan untuk menguasai atau mempertahankan kekuasaan politik atau

pemerintah, baik melalui cara-cara yang konstitusional, misalnya dengan

perebutan kekuasaan.

10

Menurut Miriam Budiarjo (2008: 405) partai politik mempunyai beberapa

fungsi yaitu :

a. Partai politik sebagai komunikasi politik.

Salah satu tugas partai politik adalah menyalurkan pendapat

dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sehingga

kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Dalam

masyarakat modern pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu

kelompok akan hilang apabila tidak ditampung dan digabung

dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang sama. Proses ini

dinamakan ”penggabungan kepentingan”. Setelah digabung

kemudian diolah dan dirumuskan dalam bentuk ”perumusan

kepentingan”. Partai politik selanjutnya merumuskan sebagai usul

kebijaksanaan yang dimasukkan dalam program partai yang

dijadikan kebijakan umum.

b. Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik.

Sosialisasi politik diartikan sebagai proses melalui nama

seseorang memperoleh sikap orientasi terhadap fenomena politik,

yang umumnya berlaku dalam masyarakat. Sosialisasi politik juga

mencakup proses masyarakat menyampaikan norma-norma dan

nilai-nilai dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dalam usaha

memperoleh dukungan yang luas, partai menciptakan ”image”

bahwa dapat memperjuangkan kepentingan umum. Selain

menanamkan solidaritas dengan partai, partai politik juga mendidik

anggota-anggota menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawab

sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri di

bawah kepentingan nasional.

c. Partai politik sebagai sarana recruitment politik.

Partai politik berfungsi untuk mencari dan mengajak orang

yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai

anggota partai (political recruitment), yang berarti ikut

memperluas partisipasi politik, melalui kontak pribadi, persuasi

11

dan juga diusahakan untuk menarik golongan muda untuk di didik

menjadi kader yang dimasa mendatang akan mengganti pemimpin

lama (selection of leadership).

d. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik (conflict

management).

Dalam negara demokrasi, pertentangan, persaingan dan

perbedaan pendapat yang terjadi dalam masyarakat merupakan hal

yang biasa dan jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha

untuk mengatasinya. Dalam keadaan seperti itu, partai politik

mempunyai posisi strategis untuk mengatur perbedaan pendapat,

persaingan bahkan konflik-konflik tersebut.

Menurut Maurice Duverger (1981: 21-37) sistem partai diklasifikasikan

menjadi :

a. Sistem Partai Tunggal.

Partai tunggal merupakan satu-satunya partai dalam suatu

negara, maupun partai yang mempunyai kedudukan yang dominan

diantara partai yang mempunyai kedudukan yang dominan di

antara partai lainnya. Suasana kepartaian sering bersifat non

kompetitif, oleh karena partai-partai yang ada harus menerima

pimpinan dari partai yang dominan yang tidak dibenarkan secara

bebas melawan partai yang dominan tersebut. Dalam suatu partai

tunggal, ideologi dan kepentingan partai dalam negara berbeda

antara satu dengan yang lain. Hal ini dipengaruhi oleh struktur

internal negara, orientasi politik, tingkat pengembangan ekonomi.

Sistem partai tunggal dapat mengarahkan pada perkembangan

sosial dan ekonomi yang cepat (David L. Sills, 1968: 439).

b. Sistem Dwi Partai.

Sistem dwi partai diartikan adanya dua partai atau lebih,

sedangkan partai lainnya merupakan partai minoritas yang

peranannya kecil. Dalam partai ini ada partai yang berkuasa, yaitu

partai yang menang dalam pemilu dan partai yang kalah sebagai

12

pengecam utama tapi setia (loyal opposition) terhadap

kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan dengan

pengertian bahwa sewaktu-waktu kedua partai itu dapat bertukar

tangan.

c. Sistem Multi Partai.

Sistem ini sering disebut dengan sistem banyak partai.

Negara yang menganut banyak partai biasanya terjadi pada

masyarakat yang mempunyai keanekaragaman atau kemajemukan.

Sifat kemajemukan yang terdapat pada suatu masyarakat terdiri

dari ras, agama, lapisan sosial, dan sebagainya. Hal ini

menimbulkan suatu ikatan primordial yang kuat. Primodialisme

tersebut akan memunculkan organisasi-organisasi sosial politik

yang berdasar pada primordial.

Sistem multi partai digunakan dalam sistem kepartaian di Indonesia.

Menurut Rusadi Kantaprawira (1997: 84) sistem multi partai mendapatkan

landasan formal berdasarkan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945

yang berisi anjuran pembentukan partai-partai politik, melalui partai politik

diharapkan agar segala aspirasi yang hidup dalam masyarakat dapat tersalur

dengan baik, dan juga agar partai politik dapat memperjuangkan mempertahankan

kemerdekaan.

Partai politik merupakan simbol kemajuan sebuah masyarakat politik,

tetapi juga tidak jarang partai politik sering menimbulkan permasalahan maupun

kemacetan baik di bidang ekonomi, sosial, bahkan politik itu sendiri sebagai

penyebab rendahnya etika kultural. Oleh karena itu, keberadaan partai politik di

dalam masyarakat yang tengah berkembang sangat tepat untuk dikaitkan dengan

persoalan pembangunan dinamika politik.

Demikian pula yang terjadi dalam mayarakat Indonesia dengan melihat

fakta-fakta yang ada selalu disertai dengan dinamika politik yang terus berubah

dan berkembang menimbulkan konsekuensi tersendiri bagi suatu partai politik

yang berperan dalam perjalanan partai politik Indonesia.

13

2. Konflik Kepentingan

Konflik menandakan dalam kehidupan manusia terdapat berbagai macam

kepentingan yang beraneka ragam, kadang-kadang berbenturan satu dengan yang

lain. Konflik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan

manusia. Konflik dalam kadar rendah berupa perbedaan ide, visi, perbedaan

pendapat, sedangkan pada kadar tinggi berupa kekerasan, antara lain:

pertumpahan darah, revolusi dan kudeta. Konflik pada kadar tinggi kalau

dibiarkan berlarut-larut akan merobek masyarakat itu sendiri, yang akhirnya,

membawa manusia ke jurang kebinasaan, sehingga keharmonisan dan keserasian

yang dibutuhkan untuk stabilitas masyarakat tidak tercapai (Alfian, 1992: 109).

Dalam struktur negara sering terjadi pertentangan antar kelompok politik,

partai politik, kelompok kepentingan dan kelompok sosial. Pertentangan pendapat

muncul sebagai isu, opini dan pernyataan terbuka yang memancing publik untuk

menanggapinya. Kelompok masyarakat, kelompok kepentingan dan kekuatan

sosial yang ada akan berjuang untuk mencapai tujuannya. Dalam posisi inilah

sering terjadi benturan-benturan yang disebut konflik (Sudijono Sastroatmodjo,

1995: 247).

Konflik berasal dari kata confligere yang berarti saling memukul. Dalam

pengertian sosiologi, konflik didefinisikan sebagai proses sosial dimana dua orang

atau kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan

atau membuat tidak percaya (D. Hendropuspito O.C., 1983: 247).

Menurut Maswadi Rauf (2001: 2) ”konflik adalah sebuah gejala sosial

yang ada di masyarakat dalam kurun waktu dan merupakan produk dari hubungan

sosial untuk memperjuangkan tuntutannya”.

Kartini Kartono (1990: 173) berpendapat konflik sebagai oposisi, interaksi

yang antagonis atau pertentangan, benturan antar macam-macam faham,

perselisihan, pergesekan, perkelahian, perlawanan dengan senjata dan perang.

Konflik diartikan sebagai perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan dalam

usaha mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang

dibuat dan dilaksanakan pemerintah.

14

Dalam International Encyclopedia Of The Social Sciences Volume 3,

konflik didefinisikan sebagai pertentangan kedudukan, pertentangan golongan,

pertentangan kepentingan antara individu dan individu, organisasi dengan

individu atau kelompok, antara suatu organisasi satu dengan yang lain atau antara

bagian dari organisasi (David L. Sills, 1968: 226).

Menurut Abu Ahmadi (1975: 93) konflik adalah usaha yang sengaja untuk

menentang, melawan atau memaksa kehendak orang lain. Konflik ditimbulkan

oleh kepentingan yang berbeda. Sedangkan K.J. Holtsi (1988: 169) berpendapat

konflik merupakan ketidaksesuaian sasaran, nilai, kepentingan atau pandangan

yang berlawanan, sikap bermusuhan antara dua pihak atau lebih.

Lewis A Coser dalam K.J. Veeger (1986: 211) dijelaskan konflik adalah

perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan

status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang terbatas, dimana pihak yang

bertentangan tidak hanya bermaksud memperoleh kekayaan, melainkan juga

merugikan atau menghancurkan pihak lawan.

Dari pendapat yang dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa konflik

adalah semua bentuk ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perselisihan

dan oposisi yang terjadi antara individu dengan individu, antara kelompok yang

terjadi karena adanya perbedaan kepentingan, sehingga mengakibatkan kedua

belah pihak saling menjatuhkan dan menyingkirkan satu dengan yang lainnya.

Menurut K.J. Holtsi (1988: 174) terdapat enam tipe utama konflik sebagai

berikut :

1). Konflik wilayah terbatas, di dalamnya terdapat pandangan yang

tidak cocok dengan acuan pada pemilikan suatu bagian khusus

wilayah atau pada hak-hak yang dinikmati oleh satu negara di

wilayah negara atau dekat wilayah negara tersebut.

2). Konflik yang berkaitan dengan komposisi pemerintah. Tipe ini

sering mengandung nada tambahan ideologi yang kuat, maksudnya

menjatuhkan suatu rezim yang berkuasa dan sebagai gantinya

mendirikan suatu pemerintahan yang cenderung lebih

menguntungkan kepentingan pihak yang melakukan intervensi.

15

3). Konflik kehormatan nasional, dengan cara pemerintah mengancam

atau bertindak untuk membersihkan pelanggaran tertentu yang tidak

terduga.

4). Imperialisme regional, di mana suatu pemerintah berusaha

menghancurkan kemerdekaan negara lain.

5). Konflik pembebasan atau perang revolusioner yang dilakukan suatu

negara untuk membebaskan rakyat negara lain, biasanya karena

alasan-alasan etnik atau ideologis.

6). Konflik yang timbul dari tujuan suatu pemerintah untuk

mempersatukan suatu daerah yang pecah.

Dipandang dari segi terjadinya suatu konflik, konflik terbagi menjadi

coorperate conflict yaitu konflik antar kelompok dan personal conflict yaitu

konflik yang terjadi antar individu yang disebabkan oleh sex, prestise, kekayaan,

kekuasaan dan lain-lain (Abu Ahmadi, 1975: 94).

Sedangkan menurut W.F.G. Mastenbroek (1985: 191) terdapat tiga jenis

konflik di antaranya adalah :

1). Konflik instrumental. Konflik ini berpusat pada tujuan dan cara-

cara dalam penentuan struktur dan prosedur agar dapat memenuhi

tujuan yang ditentukan. Konflik ini biasa terjadi karena tidak hanya

adanya pengertian, penyesuaian dan kurangnya komunikasi.

2). Konflik sosial emosional. Konflik ini berkaitan dengan citra diri

seseorang. Perasaan saling terikat dan identifikasi dengan nilai-nilai

yang dianut kelompok atau organisasi sering menjadi taruhan.

3). Konflik kepentingan. Konflik muncul ketika terjadi ketegangan

dalam menyangkut pembagian uang, ruang, wewenang. Konflik

kepentingan erat dengan kekuatan posisi dengan menuntut bagian

yang diperlukan.

Menurut Alfian (1981: 58) konflik kepentingan di negara berkembang

lebih disebabkan adanya perbedaan kultural daripada perbedaan struktural.

Konflik lebih disebabkan pada kebudayaan politik, ideologi maupun agama.

Konflik semacam itulah yang pada akhirnya akan merusak sistem politik yang

16

dikembangkan. Pluralisme yang disebabkan oleh budaya politik lebih

menyebabkan sistem politik menjadi goyah daripada pluralisme struktural.

Negara-negara maju lebih mempertahankan sistem politiknya walaupun

dilanda krisis maupun pertentangan yang dilatarbelakangi perbedaan sosial

ekonomi (Nazaruddin Syamsudin, 1993: 27). Dengan keselarasan antara sistem

politik dan budaya politik. Pertentangan antara golongan buruh, petani maupun

majikan tidak sampai mengganggu sistem politik karena mempunyai budaya

politik yang sama, sehingga masalah ideologi relatif tidak menjadi persoalan.

Kesamaan budaya politik menyebabkan negara-negara maju dapat

melokalisasi persoalan yang dihadapi sehingga tidak sampai membahayakan

sistem politik. Di sisi lain belum matangnya budaya politik di negara berkembang

mengakibatkan konflik ideologis, dalam rangka menciptakan identitas nasional

dengan cara mereka masing-masing (Nazarudin Syamsudin, 1993: 77).

Menurut Gabriel Almond (1990: 40) untuk terpeliharanya sistem politik,

maka harus ada keselarasan antara budaya politik dengan struktur politik. Belum

matangnya budaya politik menyebabkan terjadinya benturan sub-sub budaya

politik masing-masing. Dengan kata lain, titik temu merupakan hal yang pokok

dalam meredakan konflik ideologis.

Padahal titik temu sangat penting untuk menjembatani budaya politik

campuran, seperti yang tercermin di negara-negara berkembang. Belum adanya

titik temu (kosensus) yang melembaga akan menyebabkan terjadinya benturan-

benturan di antara sub-sub budaya politik, tinggal variabel mana yang dominan

dialah yang pada akhirnya akan menyebabkan tuntutan pelembagaan dalam sistem

politik (Rusadi Kantaprawira, 1997: 37-38).

Konflik antara sub budaya politik pada dasarnya adalah memperebutkan

”kekuasaan” (Alfian, 1992: 26). Fakta ini tampak, sebelum negara ini merdeka

relatif terkontrol dalam menangani konflik. Sewaktu kekuasaan berada di tangan

penjajah tidak menjadi persoalan lagi, karena rezim yang berkuasa otoriter atau

totaliter. Konflik antar sub budaya politik dapat diredam, kadang-kadang terjadi

persatuan kembali dengan tujuan melawan penjajah. Dengan demikian konflik

tidak sampai menjadi konfrontasi fisik yang membahayakan. Faktor kekuasaan

17

atau lebih tepatnya otoritas menjadi masalah yang rumit semenjak tercapai

kemerdekaan, konsekuensinya masyarakat dituntut untuk mengatur, membagi,

mengontrol kekuasaan secara efektif.

Banyaknya lowongan struktur kekuasaan yang menyebabkan terjadinya

persaingan sengit diantara kelompok kepentingan. Persaingan ini diperparah

dengan adanya praktek-praktek yang tidak sehat, di mana dalam seleksi

kedudukan lebih dititik beratkan pada ikatan primordia (Alfian, 1981: 7). Metode

ini dilakukan dengan alasan lebih menjamin loyalitas, karena secara alamiah

mereka mempunyai perasaan yang sama, baik segi bahasa, agama, ras, daerah

bahkan ideologi (Clifford Gertz, 1992: 77). Alasan lain karena belum adanya

aturan permainan yang melembaga, dengan kata lain aturan dalam tahap proses.

Menurut Ramlan Surbakti (1999: 109) konflik kepentingan terjadi karena

adanya sumber yang langka, berupa kekuasaan atau sumber-sumber ekonomi

yang diperebutkan berbagai kelompok kepentingan. Konflik terjadi apabila

kelompok tertentu merasa diperlakukan tidak adil atau saat pihak tertentu

menyentuh titik kemarahan pihak lain.

Dengan demikian kekuasaan merupakan barang yang langka, sehingga

wajar apabila diperebutkan berbagai kelompok kepentingan. Orientasi kekuasaan

yang berlebihan ini telah merangsang perbedaan kultural yang ada di masyarakat.

Masyarakat tergiring ke dalam kotak-kotak ideologis yang sempit, dimana

ideologi itu sendiri mengeksploitasi ikatan primordial yang ada di masyarakat.

Kondisi yang demikian sukar sekali untuk mempunyai visi ”Nation” yang

luas. Kuatnya ideologi mempersukar kelompok kepentingan dalam menentukan

konsensus yang tepat, sehingga kerjasama sukar diciptakan. Menurut Maurice

Duverger (2003: 26), ideologi yang berhubungan dengan kekuasaan dan

pelaksanaannya di samping cenderung menyatukan komunitas, juga dapat

membagi komunitas, jika titik temu sukar di capai.

Menurut Arbi Sanit (2003: 32) kelemahan ideologi dalam hal ini, karena

dipakai sebagai alat pengukur tingkah laku politik, bukan sebagai gambaran

kehidupan manusia baik secara individu maupun kelompok yang penuh

keterbatasan, bahkan dijadikan sebagai hukum yang menentukan benar dan salah.

18

Dengan demikian, sumber konflik masih berkisar perbedaan yang menyangkut

bentuk dan tujuan negara sementara masyarakat menunggu hasil konkrit di dalam

bentuk keperluan hidup.

Kemantapan dari suatu ideologi dapat dilihat dari segi realita dalam

mencapai titik keseimbangan atau konsensus yang tepat. Disamping itu krisis

ideologi dapat pula dilihat melalui dimensi idealisme, bersumber pada nilai dasar

yang gagal memelihara hubungan yang bermakna dengan realita perkembangan

masyarakat maka ideologi sedang mengalami krisis (Alfian, 1992: 74).

Bersikap terlalu berlebihan terhadap idealisme bukan saja cenderung

menjadi idealisme itu sebagai ideologi yang sempit, melainkan bisa mendorong

lahirnya sikap mau benar dan menang sendiri yang pada akhirnya melahirkan

mentalitas otoriter atau anarkis yang tidak sekedar memonopoli kebenaran

(Alfian, 1980: 225).

Dalam sistem demokrasi liberal dan sistem demokrasi terpimpin terlihat

suasana konflik yang bersifat antagonistis, di satu sisi memperlihatkan suasana

konflik yang berlarut-larut, di sisi lain menekan konflik. Konflik yang terjadi pada

demokrasi liberal, melahirkan sikap mental oposisi yang tidak sehat cenderung

kearah anarkis, sehingga sulit untuk melahirkan konsensus. Sementara itu, dalam

suasana demokrasi terpimpin sikap monopoli kebenaran sendiri mengarah pada

suasana totaliter, yang justru akan menekan konflik itu sendiri.

Dalam pandangan D. Hendropuspito O.C. (1989: 191) konflik biasanya

memberikan dampak negatif. Bentrokan yang terjadi antara individu dengan

individu, kelompok dengan kelompok, bangsa dengan bangsa, golongan agama

dengan golongan agama lain. Umumnya konflik mendatangkan kerugian kedua

belah pihak baik secara materi dan spiritual serta berdampak pada tumbuhnya

kebencian dan balas dendam. Akibat lainnya yaitu terhentinya kerjasama antara

kedua pihak yang terlibat konflik dan yang lebih parah lagi menghambat

persatuan bangsa serta integrasi sosial dan nasional.

Pemecahan konflik menurut W.F.G. Mastenbroek (1985: 193)

digambarkan melalui tabel berikut ini :

19

No Jenis konflik Strategi pihak yang berkonflik Hasilnya

1.

2.

3.

Konflik

Instrumental

Konflik sosial

emosional

Konflik

kepentingan

Analisis masalah, perilaku dan

norma dalam berunding dan

mengambil keputusan.

Saling mengerti dan

memahami dan komunikasi

yang terbuka.

Berunding

Pemecahan

konflik

Pengertian

kedua belah

pihak.

Kompromi.

Menurut D. Hendropuspito O.C. (1989: 250), cara penyelesaian konflik

yang biasa dipakai adalah :

1). Konstilasi (perdamaian), yaitu cara untuk mempertemukan pihak-

pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk

berdamai. Dalam proses ini pihak-pihak yang terlibat dalam konflik

dapat meminta bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga hanya

memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dianggap baik

kepada kedua pihak yang berselisih untuk menghentikan sengketa.

2). Mediasi, yaitu suatu cara untuk menyelesaikan konflik dengan

menggunakan seorang perantara (mediator). Seorang mediator

mempunyai kewenangan untuk memberikan keputusan yang

sifatnya mengikat.

3). Arbritasi, yaitu suatu cara menyelesaikan konflik melalui

pengadilan dengan seorang hakim sebagai pengambil keputusan.

Arbriter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang

berselisih, dan keputusan itu harus ditaati.

4). Coertion (paksaan), yaitu suatu cara menyelesaikan konflik dengan

menggunakan paksaan fisik atau psikologis. Apabila paksaan

psikologis tidak berhasil, maka digunakan paksaan fisik.

5). Detente, yaitu mengurangi ketegangan di antara pihak-pihak yang

berkonflik. Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan

20

pendekatan dalam rangka pembicaraan tentang langkah-langkah

perdamaian di antara pihak-pihak yang berkonflik.

3. Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin

Sistem adalah bagian-bagian yang saling tergantung, yang merupakan

suatu kesatuan dengan lingkungannya (Sukarna, 1990: 1). Sedangkan menurut

Abu Daud Busroh (1989: 7), sistem adalah suatu susunan atau tatanan berupa

sruktur yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang berkaitan

satu dengan yang lainnya secara teratur dan terencana untuk mencapai tujuan.

Suatu sistem selalu terkait dengan suatu keadaan dimana bagian-bagiannya

satu sama lain bergantung secara fungsional, yang mempunyai batas-batas tertentu

tetapi merupakan komponen dari pada suatu keutuhan yang bulat. Jika salah satu

bagian dari sistem itu berubah, maka bagian-bagian yang lainya juga pasti

berubah (Afan Gaffar, 1989: 3).

Kata pemerintahan menurut S.E. Finer yang dikutip oleh S. Pamudji

(1994: 5), mempunyai 4 arti :

1). Menunjukkan kegiatan atau proses memerintah, yaitu melaksanakan

kontrol atas pihak lain.

2). Menunjukkan masalah-masalah (hal ikhwal) negara di mana

kegiatan / proses diatas dijumpai.

3). Menunjukkan orang-orang (maksudnya pejabat-pejabat) yang

dibebani tugas-tugas untuk memerintah.

4). Menunjukkan cara, metode atau sistem dimana suatu masyarakat

tertentu di perintah.

Menurut S. Pamudji (1994: 6), arti pemerintahan ada dua, yaitu

pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit. Pemerintahan

dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ

atau badan-badan legeslatif, eksekutif dan yudikatif dalam rangka mencapai

tujuan pemerintahan negara (tujuan nasional). Sedangkan pemerintahan dalam arti

21

sempit adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan

jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara.

Demokrasi Terpimpin terdiri dari kata demokrasi dan terpimpin.

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, ”demos” yang berarti rakyat dan

”kratos/kratein” yang berarti kekuasaan/berkuasa. Jadi demokrasi berarti rakyat

berkuasa atau government or rule by the people (Miriam Budiarjo, 2008: 105).

Pengertian terpimpin dalam Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Darji Darmodiharjo, 1991:

174).

Menurut Tuk Setyohadi (2002: 109-111) Demokrasi Terpimpin adalah

merupakan “Demokrasi Gotong-Royong” yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dengan demikian

pelaksanaan Demokrasi Terpimpin harus diikuti dengan kembali pada Undang-

Undang Dasar 1945.

Menurut Soekarno (Tujuh Bahan Indoktrinasi RI, 1960: 60) Demokrasi

Terpimpin adalah suatu demokrasi di dalam segala soal kenegaraan dan

kemasyarakatan, yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi dan sosial di

samping itu juga sebagai alat untuk mencapai tujuan revolusi, yaitu menciptakan

masyarakat yang adil dan makmur penuh dengan kebahagiaan materiil dan

spiritual.

Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang disesuaikan dengan

kepribadian bangsa Indonesia yang meliputi semua bidang kenegaraan dan

kemasyarakatan termasuk juga bidang politik, ekonomi dan sosial. Demokrasi

Terpimpin merupakan demokrasi Indonesia yang berasal dari pengertian

terpimpin dalam sila ke empat Pancasila yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi Terpimpin

merupakan demokrasi yang disesuaikan dengan Pancasila (Sartono Kartodirjo,

Marwati Djoned Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1975: 150).

Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang disesuaikan dengan kepribadian

bangsa Indonesia yang meliputi bidang-bidang kenegaraan dan kemasyarakatan

22

serta bidang politik, ekonomi, sosial di samping itu sebagai alat untuk

melaksanakan konsep Soekarno untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Konsep Demokrasi Terpimpin telah dilontarkan oleh Presiden Soekarno

pada tanggal 21 Februari 1957 yang dikenal dengan Konsepsi Presiden (Yahya A.

Muhaimin, 1982: 86). Pokok ideologi politik Demokrasi Terpimpin ditegaskan

pada tanggal 17 Agustus 1959 berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang

kemudian dianggap sebagai Manifesto politik (G. Moedjanto, 2001: 115). Sistem

Demokrasi Terpimpin didasarkan pada keseimbangan kekuatan-kekuatan dengan

Presiden sebagai tumpu tempat kekuatan lainnya berkisar. Sebagai pelaksananya,

Presiden membentuk badan-badan baru yaitu Dewan Pertimbangan Agung

Sementara (DPAS), Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), dan

Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan Front Nasional. Ide

pembentukan Front Nasional tersebut sebagai jabaran dari prinsip gotong royong.

Pelaksanaan politik Demokrasi Terpimpin pada perkembangan selanjutnya

memunculkan tiga kekuatan besar dalam kehidupan politik Indonesia. Presiden

sebagai pencetus ide, PKI yang ajarannya termasuk dalam salah satu konsep

Nasakom yang kemudian berhasil mendekatkan diri pada kekuatan Presiden, TNI-

AD adalah kekuatan ketiga sebagai penyeimbang dua kekuatan lainnya.

Pelaksanaan politik cenderung mengarah kepada terpusatnya kekuasaan

pada diri Soekarno, selaku Pemimpin Besar Revolusi sehingga menjadi demokrasi

yang dipimpin Soekarno.

4. Stabilitas Politik

Stabilitas politik berasal dari kata ”stabilitas” dan ”politik”. Jack. C. Plano,

(1989: 249) stabilitas berasal dari kata ”stability” berarti suatu kondisi dari sebuah

sistem yang komponennya cenderung tetap atau suatu hubungan yang sudah

mantap. Stabilitas sama dengan tiadanya perubahan yang mendasar dalam suatu

sistem, atau adanya perubahan dengan batas-batas yang telah disepakati bersama.

W.J.S. Poewadarminta (2003: 1144) stabilitas merupakan ”kemantapan,

kestabilan, keamanan politik dan ekonomi perlu bagi terlaksananya pembangunan

23

dalam suatu negara”. Berdasarkan pengertian di atas, maka stabilitas merupakan

kemantapan dari suatu proses dalam suatu sistem.

Sedangkan pengertian ”politik’ mengandung pengertian yang bervariasi,

antara lain kenegaraan, kekuasaan, kebijaksanaan. Secara etimologis politik

berasal dari kata ”polity” yang mengandung pengertian semua kegiatan yang

berkaitan dengan kenegaraan, termasuk didalamnya organisasi politik. Bisa juga

mengacu pada warga negara, suatu negara tertentu, berbagai bentuk dan proses

kelembagaan yang memerintah negara (Jack C. Plano, 1989: 183). Dalam arti luas

”polity” adalah nama lain dari sistem politik. Menurut Depertemen Penerangan

(1991: 151) polity adalah semua aktivitas dalam suatu masyarakat yang

terorganisasi, yang menyangkut pengambilan keputusan, baik mengenai tujuan-

tujuan sistem itu, maupun mengenai pelaksanaannya. Menurut Isjwara (1982: 38)

dengan tiga pendekatan yang terkenal, yaitu pendekatan institusional, pendekatan

fungsional dan pendekatan hakekat politik, merupakan pendekatan untuk

membahas pengertian politik.

Secara institusional, politik adalah hal yang berkaitan dengan lembaga-

lembaga politik, negara, pemerintah, dewan perwakilan rakyat. Termasuk

didalamnya bagaimana asal-usul negara, bentuk-bentuk, proses, atribut-atribut

yang esensial, cara bekerjanya pemerintah dan fungsi-fungsi pemerintah. Dengan

demikian, golongan pendefinisian institusional, negara menjadi titik perhatian

yang dimulai dari asal-usul negara, bentuk-bentuk negara, tujuan negara yang

pada akhirnya sampai pada penyusunan deduksi-deduksi tentang pertumbuhan

dan perkembangan negara.

Secara fungsional, pendekatan ini merupakan reaksi terhadap

pendefinisian institusional yang menitikberatkan struktur formil lembaga-lembaga

politik dengan tinjauan dogmatis yuridis dan menitikberatkan pada dokumen

hukum daripada kenyataan politik ditinjau sebagai sesuatu yang dinamis yang

tidak luput dari pengaruh-pengaruh faktor riil, pengaruh faktor-faktor non-yuridis,

seperti pressure grups, lobbying, pendapat umum.

Peninjauan menurut hakekat politik menggaris bawahi bahwa politik

adalah kekuasaan. Menurut Ramlan Surbakti (1999: 31) politik adalah interaksi

24

antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan

pelaksanaan keputusan yang mengikat kebaikan bersama masyarakat yang

bertempat tinggal dalam wilayah tertentu. Definisi ini mengindikasikan politik

sebagai suatu sistem. Dengan demikian, stabilitas politik adalah kemantapan dari

suatu sistem politik atau lingkungan di sekitarnya dalam suatu proses politik.

Dari pengertian-pengertian ini suatu makna bahwa stabilitas politik terbagi

menjadi dua, yaitu stablilitas jangka pendek dan stabilitas politik jangka panjang.

Kesinambungan stabilitas jangka pendek pada akhirnya akan mencerminkan

stabilitas jangka panjang.

Stabilitas jangka pendek lebih bersumber pada kelemahan untuk bekerja

sama satu sama lain (Arbi Sanit, 2003: 6-7). Model stabilitas ini lebih banyak di

tentukan oleh kewibawaan pemerintah. Bagaimana masyarakat, baik massa

maupun elit merupakan pendukung pemerintah maupun oposisi memberikan

kesempatan kepada pemerintah maupun oposisi memberikan kesempatan kepada

pemerintah untuk melaksanakan programnya, sangat berpengaruh terhadap

stabilitas politik. Dengan kata lain, stabilitas politik jangka pendek dipengaruhi

oleh seni dan keahlian berpolitik, kemampuan berkompromi di antara aktor

politik, dan kemampuan birokrasi pemerintahan dalam jangka waktu kurang lebih

satu kali masa pemilihan umum.

Sementara itu, stabilitas jangka panjang lebih disebabkan belum

melembaganya struktur dan prosedur politik yang mampu memberi tempat kepada

masyarakat luas untuk mengambil bagian di dalam proses politik. Baik

melembaganya struktur dan prosedur politik, baik infrastruktur maupun

suprastruktur masyarakat secara luas untuk mengambil peranan dalam penentuan

kebijaksanaan pemerintah, yang langsung maupun tidak langsung akan

berdampak pada masyarakat.

Ketidakberdayaan lembaga politik dalam menampung aspirasi masyarakat

akan menimbulkan krisis partisipasi yang memperkecil pemerintah untuk

melaksanakan pembangunan ekonomi. Dengan demikian, pembangunan politik

merupakan prakondisi untuk melaksanakan pembangunan ekonomi.

25

Pembangunan politik yang mantap merupakan syarat bagi kelangsungan

pembanguanan ekonomi (Arbi Sanit, 2003: 5).

Penekanan pembangunan politik sebelum melaksanakan pembangunan

sosial telah mengilhami negara yang mengadakan modernisasi untuk

melaksanakan pranata politik, partisipasi politik dan pelembagaan politik yang

memadai. Prakondisi dalam hal ini, berfungsi sebagai balance problema

keamanan, kesejateraan dan keteraturan berdasarkan kepada konstitusi, dengan

tingkat pertumbuhan ekonomi. Teori yang demikian pada hakikatnya patut

dicermati dalam rangka mengadakan penataan politik di negara dunia ketiga,

karena masalah di negara tipe ini persoalan politik lebih dahulu bergerak dari pada

persoalan ekonomi, yang merupakan kebalikan negara maju yang mendasarkan

diri pada teori neo marxis (Samuel P. Huntington, 2004: 59).

Adanya krisis partisipasi dalam rangka mengadakan proses modernisasi,

pada akhirnya menggoyahkan stabilitas politik. Menurut Huntington (2004: 5-6),

instabilitas politik, disebabkan oleh: (1) lemahnya integrasi politik dan asimilasi

politik, (2) lemahnya adaptasi politik, pelembagaan politik dalam mengimbangi

partisipasi politik.

Menurut Alfian (1992: 259) instabilitas politik di negara berkembang

disebabkan ketidakberhasilan memelihara pelembagaan politik dalam

mengimbangi kapasitas partisipasi politik. Secara formal negara-negara ini,

mempunyai pelembagaan politik yang lazim ditemui di negara-negara yang

menganut paham demokrasi, tetapi pelembagaan politik ini tidak berfungsi benar

sehingga sistem politik menjadi rapuh. Kondisi seperti ini, lazim disebut

pembusukan politik.

Pembusukan politik (Samuel P. Huntington, 2004: 99) terjadi karena: (1)

lembaga politik yang dibentuk tanpa melibatkan keikutsertaan rakyat, sehingga

setiap kebijaksanaan yang diambil oleh elit politik sedikit banyak kurang adanya

ikatan batin dengan sebagian rakyat; (2) volume dan tuntutan rakyat tidak

mendapat tempat yang cukup, dalam lembaga politik. Dengan kata lain, tuntutan

yang beraneka ragam dari masyarakat melebihi kapasitas dan kapabilitas yang

tersedia (Rusadi Kantaprawira, 1997: 180).

26

Belum tertampungnya tindakan dan peran dari masyarakat melalui dewan

perwakilan rakyat, organisasi sosial politik, lembaga-lembaga pemerintahan,

lembaga yang sah lainnya akan menghasilkan partisipasi politik yang bersifat

destruktif yang berwujud huru-hara, revolusi atau kudeta. Krisis partisipasi terjadi,

bila pemerintah menganggap tidak sah tuntutan-tuntutan tingkah laku individu

atau kelompok yang ingin berperan di dalam sistem politik.

Partisipasi dan pelembagaan politik yang rendah akan mengalami

instabilitas politik, kecuali jika pembangunan pranata politik menyelaraskan diri

dengan derajat ekspansi peran serta politik. Pada bagian lain, masyarakat yang

telah membangun pranata politik modern dalam skala luas serta diimbangi dengan

adanya kemampuan tinggi dalam mengendalikan perluasan basis peran serta

politik dibandingkan waktu-waktu sebelumnya, dianggap lebih stabil. Masyarakat

yang derajat partisipasi politiknya telah melampaui pelembagaan, pasti stabil.

Negara yang memiliki keseimbangan antara partisipasi dan pelembagaan

politik pada derajat tinggi pasti akan lebih stabil, sistem politik yang demikian

dianggap maju dan modern. Mereka memiliki pranata-pranata politik yang

menampilkan kapasitas untuk menyerap kekuatan-kekuatan sosial baru ke dalam

sistem politik dan meningkatkan peran serta politik bersamaan dengan

modernisasi (Samuel P. Huntington, 2004: 91-92).

Menurut Arbi Sanit (2003: 6) kestabilan politik dapat dipelihara dengan

mempertahankan tingkat pelembagaan politik yang rendah serta diimbangi

partisipasi politik yang rendah pula.

Keseimbangan dua variabel ini, merupakan dukungan bagi pemerintah

untuk menjabarkan program-program pembangunan, terutama pembangunan

ekonomi. Oleh karena itu, stabilitas politik memungkinkan lahir dan

berkembangnya suasana kondusif bagi pembangunan, padahal pembangunan itu

sendiri membawa akibat adanya perubahan, yang pada gilirannya akan

mempengaruhi stabilitas politik itu sendiri. Dengan demikian, stabilitas politik

akan memperlancar pembangunan ekonomi dan pembangunan ekonomi akan

memperkuat stabilitas politik.

27

Stabilitas politik dan pembangunan ekonomi merupakan dua instrumen

yang saling memperkuat. Goyahnya stabilitas politik akan mempengaruhi

pembangunan ekonomi dan sebaliknya. Stabilitas, ketertiban, keamanan sebagai

obyek pembangunan itu sendiri yang berguna untuk membuat masyarakat aman,

tenang, bebas dari ancaman dan gangguan yang merupakan syarat untuk

melaksanakan program pembangunan (Yuwono Sudarsono, 1991: 24-25).

Stabilitas harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika pembangunan

dikhawatirkan stabilitas politik akan terganggu, yang pada gilirannya menghambat

gerak laju pembangunan itu sendiri. Dengan demikian, stabilitas yang dinamis

sangat diperlukan, artinya suatu stabilitas mampu memberi tempat yang wajar

bagi perubahan sosial dan politik, dengan kata lain stabilitas yang tidak mampu

menampung perubahan sosial-politik menjadi instabilitas politik. Jadi, secara

teoritis stabilitas politik ditentukan oleh tiga variabel, yaitu pembangunan

ekonomi yang memadai, pelembagaan politik, partisipasi politik (Arbi Sanit,

2003: 10).

Instabilitas politik yang terjadi pada masa demokrasi liberal disebabkan

besarnya partisipasi politik dan lemahnya pelembagaan politik, lemahnya

prosedur politik yang berakibat belum melembaganya oposisi yang loyal, sistem

kompromi, serta bebasnya birokrasi dari pengaruh politik. Belum adanya syarat

ini menjadikan pemerintah tidak bisa merealisasikan apa yang menjadi program

pembangunannya. Sementara itu, pada masa demokrasi terpimpin instabilitas

politik ditandai dengan lemahnya kekuatan politik untuk berperan serta di dalam

sistem politik ditambah dengan kemerosotan pembangunan ekonomi

menyebabkan ambruknya sistem demokrasi terpimpin. Untuk tahap selanjutnya,

yaitu menciptakan stabilitas politik dalam menunjang pembangunan.

28

Instabilitas Politik

B. Kerangka Berpikir

Keterangan :

Pada masa sistem demokrasi liberal, pemerintah menerapkan sistem multi

partai. Sistem ini didasarkan pada keanekaragaman kultural yang ada di

Indonesia. Keanekaragaman itulah yang menjadi pokok pertikaian diantara partai-

partai politik. Ideologi lebih ditonjolkan daripada program pembangunan yang

bersifat pragmatis. Akibatnya usia rata-rata kabinet tidak panjang, karena adanya

mosi tidak percaya dari lawan politiknya. Dengan demikian, kabinet tidak dapat

merealisasikan program pembangunannya.

Sistem Multi Partai

dan Konflik Kepentingan

Demokrasi Liberal

Kebijakan Politik

Demokrasi Terpimpin

Penyederhanaan

Partai Politik Tahun 1960

Stabilitas Politik

29

Kondisi seperti ini, pada akhirnya membawa instabilitas politik, pada masa

sistem multi partai demokrasi liberal. Instabilitas ini ditandai dengan: (1) belum

efektifnya lembaga eksekutif, karena mudah sekali dijatuhkan lembaga legeslatif;

(2) besarnya partisipasi politik, sedangkan lembaga politik tidak mampu

mengimbanginya; (3) kelemahan pembangunan ekonomi.

Adanya instabilitas pada masa sistem multi partai demokrasi liberal,

menyebabkan sistem ini mudah dijatuhkan kekuatan ekstra parlementer, dalam hal

ini Soekarno dan militer. Masa kepemimpinan Soekarno ini, disebut demokrasi

terpimpin, yang menempatkannya sebagai pelaku politik yang dominan. Hal ini,

ditunjukkan dengan mulai menyederhanakan partai politik, membentuk ideologi

Nasakom yang harus dijadikan sebagai pijakan terhadap organisasi sosial-politik

yang ada. Sedangkan sisi lain, Soekarno memberi angin untuk tumbuh dan

berkembangnya Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sementara itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha mematikan lawan

politiknya, khususnya yang anti komunis. Kondisi ini, mengakibatkan

pembangunan mengalami stagnasi, karena pelaku politik lebih menfokuskan diri

pada aktivitas politik dari pada program pembangunan ekonomi. Dengan

demikian, instabilitas politik juga tidak terelakkan, karena: (1) terkekangnya

partisipasi politik; (2) lembaga politik yang terbentuk tidak sesuai dengan

keinginan rakyat; (3) dominannya partai tunggal, dalam hal ini Partai Komunis

Indonesia (PKI) yang berusaha mematikan lawan politiknya; (4) pembangunan

ekonomi mengalami stagnasi. Instabilitas politik mengalami puncaknya dengan

adanya prahara G 30 S/PKI, yang pada akhirnya berhasil menjatuhkan karir

politik Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Soekarno berusaha menciptakan stabilitas politik dengan penataan struktur

politik, yang pada puncaknya adalah struktur kepartaian melalui penyederhanaan

partai politik untuk mengatasi konflik antar partai. Setelah penyederhanaan partai

politik, maka stabilitas politik dapat tercapai walaupun terkesan semu. Tingkat

stabilitas politik ini dapat dilihat bagaimana kesinambungan antara partisipasi

politik dengan lembaga politik, khususnya infrastruktur dalam rangka menunjang

program-program pembangunan.

30

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data melalui studi

pustaka. Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data baik berupa

dokumen, buku, karangan, tulisan, catatan maupun sumber tertulis lain yang

diperoleh dari museum-museum, perpustakaan, instansi pemerintahan, koleksi

swasta maupun perorangan dan di tempat-tempat yang menyimpan dokumen-

dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan (Dudung

Abdurrahman, 1999: 55). Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai berikut:

a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

e. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.

f. Perpustakaan Ignatius College Yogyakarta.

g. Perpustakaan Daerah Malioboro Yogyakarta.

2. Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan untuk penelitian ini mulai dari disetujuinya judul

skripsi yaitu pada bulan Februari 2009, sampai dengan selesainya penulisan

skripsi ini yaitu pada bulan Oktober 2009.

31

B. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena

keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang

tepat. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau

jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara

kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977: 16).

Menurut Helius Sjamsuddin (1996: 6), yang dimaksud dengan metode

adalah suatu prosedur teknik atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis

yang dipakai oleh suatu ilmu (sains), seni atau disiplin ilmu yang lain.

Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan,

mendiskripsikan dan memaparkan penyederhanaan partai politik di Indonesia

tahun 1960. Mengingat peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa

masa lampau, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Dengan

metode sejarah ini, penulis mencoba merekonstruksi kembali suatu peristiwa di

masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Hadari Nawawi (1995: 78-79) mengemukakan bahwa metode penelitian

sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu

atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan

yang berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan masa sekarang.

Gilbert J. Garraghan yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 43),

mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan

prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif,

menilai secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam

bentuk tertulis.

Menurut Louis Gottschalk yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 44),

menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian

sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha

sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.

Menurut Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 61), yang dimaksud metode

32

sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan-

peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-

data yang ada sehingga menjadi penyajian dan ceritera sejarah yang dapat

dipercaya.

Nugroho Notosusanto (1971: vii) menyatakan pengertian tentang metode

penelitian sejarah yaitu :

“Metode penelitian sejarah merupakan proses pengumpulan, menguji,

menganalisis secara kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian

masa lampau menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya, metode ini

merupakan proses merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau,

sehingga menjadi kisah yang nyata”.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode

penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan

sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji.

Sehingga dapat memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan

menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam

bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut, agar dapat dijadikan suatu cerita

sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data

sejarah. Sumber data sejarah sering disebut juga data sejarah. Menurut

Kuntowijoyo (1994: 94) kata ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal

datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan.

Helius Sjamsuddin (1996: 73) mengemukakan tentang pengertian sumber

sejarah, yaitu:

”Segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada

kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu

(past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw

materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang

telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas

mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata

yang diucapkan (lisan)”.

33

Dalam usaha untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan sumber

tertulis. Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 31), sumber tertulis merupakan

data verbal yang berbentuk tulisan, yang dapat berupa artefak, foto, buku-buku,

dokumen, arsip, laporan, surat, maupun catatan. Sumber tertulis dibedakan

menjadi dua, yaitu sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Louis

Gottshalck (1986: 35) mengemukakan bahwa sumber tertulis primer adalah

kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri. Sumber tertulis primer

juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan dari masa yang sejaman dan

berasal dari orang yang sejaman. Sedangkan sumber tertulis sekunder merupakan

kesaksian dari pada siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari

seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis

sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak

sejaman dengan peristiwa yang dikisahkannya.

Sumber primer yang penulis gunakan di dalam penelitian ilmiah ini berupa

koran yang terbit pada tahun 1960-an, diantaranya adalah Koran Suara Rakyat

tahun 1954, Suara Masyarakat tahun 1955, Suluh Indonesia tahun 1955, Harian

Umum tahun 1956, Sin Min tahun 1957, Nasional tahun 1960 dan Obor Rakyat

tahun 1960. Sumber primer yang berasal dari koran berisi tentang penyederhanaan

partai politik di Indonesia.

Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa

buku-buku literature, maupun artikel-artikel yang relevan dengan penelitian.

Sumber tertulis sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain:

”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”, karangan Herbert Feith; ”Soekarno -

Militer Dalam Demokrasi Terpimpin”, karangan Herbert Feith; “Perkembangan

Militer Dalam Politik Di Indonesia 1945-1966”, karangan Yahya A. Muhaimin;

“Politik Militer Indonesia 1945-1967”, karangan Ulf Sundhaussen.

D. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka

dalam melakukan teknik pengumpulan data digunakan teknik kepustakaan atau

34

studi pustaka. Koentjaraningrat (1986: 3) menyatakan studi pustaka penting

sebagai proses bahan penelitian. Tujuannya sebagai pemahaman secara

menyeluruh tentang topik permasalahan. Teknik studi pustaka adalah suatu

metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau

fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau

arsip, surat kabar atau brosur yang tersimpan di dalam perpustakaan, museum

ataupun instansi yang menyediakan sumber tertulis lainya.

Pengumpulan dengan studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan

jalan mengumpulkan buku dan bentuk data lainnya tentang peristiwa masa lampau

di beberapa perpustakaan. Buku atau data yang telah terkumpul kemudian diteliti

dan disesuaikan dengan tema penelitian. Untuk memperoleh data-data dalam

penelitian ini, peneliti melakukan studi tentang sumber-sumber primer dan sumber

yang berupa buku-buku, koran dan majalah yang tersimpan di perpustakaan

Dalam penelitian ini langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam

mengumpulkan data adalah sebagai berikut :

1) Mengumpulkan buku-buku, surat kabar, artikel-artikel internet yang

relevan dengan masalah yang diteliti.

2) Membaca dan mencatat sumber-sumber data yang diperlukan baik itu

sumber primer maupun sumber sekunder.

3) Memfotokopi dan mencatat literatur kepustakaan yang dianggap

penting dan relevan dengan masalah yang diteliti.

E. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik

analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman

(1999: 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan juga

analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis

berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang

sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut Helius Sjamsuddin

(1996: 89), teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang

35

menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang

digunakan dalam penulisan sejarah.

Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64),

analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh

dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta

itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Menurut Sartono Kartodirdjo

(1992: 2) mengatakan bahwa analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka

pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang

akan dipakai dalam membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh

diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka

teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan

penelitian.

Di dalam penelitian ini setelah dilakukan pengumpulan data, peneliti

melakukan analisis data dan membandingkan data satu dengan yang lain sesuai

data yang diinginkan sehingga didapatkan fakta-fakta sejarah yang benar-benar

relevan fakta-fakta itu kemudian di seleksi, diklarifikasi dan ditafsirkan, baru

kemudian merangkaikan fakta-fakta tersebut untuk dijadikan bahan penulisan

penelitian yang utuh dalam sebuah karya ilmiah.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu

persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena

penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus

dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan

historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

36

Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi

Fakta Sejarah

Keterangan :

a. Heuristik

Heuristik berasal dari kata Yunani yang artinya memperoleh. Dalam

pengertiannya yang lain adalah suatu teknik yang membantu kita untuk mencari

jejak-jejak sejarah. Menurut G. J Rener (1997: 37), heuristik adalah suatu teknik,

suatu seni dan bukan suatu ilmu. Heuristik tidak mempunyai peraturan-peraturan

umum, dan sedikit mengetahui tentang bagian-bagian yang pendek. Sidi Gazalba

(1981: 15) mengemukakan bahwa heuristik adalah kegiatan mencari bahan atau

menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil penelitian. Dengan demikian

heuristik adalah kegiatan pengumpulan jejak-jejak sejarah atau dengan kata lain

kegiatan mencari sumber sejarah.

Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber

tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan

penelitian. Sumber tertulis primer, berupa surat kabar, dan majalah; maupun

sumber sekunder berupa buku-buku dan literatur yang diperoleh dari beberapa

perpustakaan, dan di antaranya: Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret,

Perpustakaan Jurusan FKIP, Perpustakaan Program Studi Sejarah FKIP UNS,

Perpustakaan Monumen Pers Surakarta dan Perpustakaan Ignatius College

Yogyakarta.

b. Kritik

Pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, setelah

selesai dilakukan. Tahap berikutnya adalah kritik, yaitu dengan memeriksa

37

keaslian sumber (otentisitas) dan kredibilitas (kesahihan sumber). Hal ini dapat

dilakukan dengan menggunakan kritik sumber secara ekstern dan intern. Adapun

yang dimaksud dengan kritik ekstern dan kritik intern adalah sebagai berikut:

Kritik ekstern adalah kritik yang meliputi apakah data itu otentik, yaitu

kenyataan identitasnya, bukan tiruan, turunan, palsu, kesemuanya dilakukan

dengan meneliti bahan yang dipakai, ejaan, tahun terbit, jabatan penulis. Dalam

penelitian ini dilaksanakan dengan menyeleksi bentuk sumber data sejarah tertulis

berupa buku-buku literatur, ensiklopedia, majalah. Berbagai bentuk sumber data

tersebut dikelompokkan ke dalam jenis sumber data tertulis primer atau sekunder.

Aspek fisik ke-2 jenis sumber data sejarah tersebut, diidentifikasi meliputi

pengarang, tahun, dan tempat penulisan, atau penerbitan sumber data sejarah

tertulis, orisinalitas, penulisan apakah ditulis pengarang tersebut atau tidak.

Kritik intern adalah kritik yang berkaitan dengan isi pernyataan yang

disampaikan oleh sejarahwan. Kritik intern juga menyangkut apakah sumber

tersebut dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Setelah sumber dinilai

keasliannya, kemudian dilakukan kritik intern untuk dapat memastikan kebenaran

isi sumber, yang dapat ditempuh dengan cara membandingkan sumber sejarah

yang satu dengan sumber sejarah yang lain. Kebenaran isi dari sumber tersebut

dapat dilihat dari isi pernyataan dan berita yang ditulis dari sumber yang satu

dengan sumber yang lain. Kritik intern dalam penelitian ini dilaksanakan dengan

studi komparatif berbagai sumber. Langkah ini ditempuh untuk menyoroti

pengarang atau pembuat sumber, yang memberikan informasi mengenai masa

lampau yang ingin diketahui, dan harus ada kepastian bahwa kesaksiannya dapat

dipercaya. Kerja kritik adalah membandingkan isi sumber. Hasil dari kritik

sumber ialah fakta yang merupakan unsur-unsur bagi penyusunan atau

rekonstruksi sejarah. Setelah dilakukan kritik, maka langkah selanjutnya adalah

melakukan interpretasi.

c. Interpretasi

Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan

atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga

38

dapat diketahui hubungan sebab-akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang

menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna

dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut

sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji.

Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan

fakta sejarah atau sintesis sejarah.

d. Historiografi

Historiografi merupakan bagian terakhir dan klimaks dari serangkaian

kegiatan penelitian sejarah. Langkah ini dapat ditempuh sesudah menentukan

masalah yang diteliti, dan diusahakan sumber-sumber yang lolos dari seleksi

(lolos kritik), serta ditafsirkan dengan pertimbangan-pertimbangan logis. Dari

fakta-fakta yang telah diperoleh kemudian dikisahkan secara harmonis. Fakta-

fakta disusun dalam cerita sejarah yang berupa deskripsi, bila tidak berkembang

diperlukan imajinasi dan eksplanasi agar menjadi cerita utuh. Dalam rangka

mengkisahkan atau menulis sejarah dalam metodologi sejarah disebut Langkah

Historiografi. Dalam penelitian ini, historiografi diwujudkan dalam bentuk karya

ilmiah berupa skripsi dengan judul “Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia

Tahun 1960”

39

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Perkembangan Partai Politik di Indonesia Sebelum Penyederhanaan

Partai Politik Tahun 1960

1. Masa Demokrasi Liberal.

Pasca kemerdekaan, perkembangan politik dan sosial Indonesia telah

mengubah kelompok-kelompok semu yang terbentuk atas dasar suku bangsa,

agama dan kedaerahan menjadi berbagai kelompok kepentingan. Salah satu

kelompok kepentingan yang khusus sifatnya adalah partai politik. Kelompok

kepentingan pada awalnya memusatkan perhatian pada kegiatan sosial budaya

daripada bersifat politis. Kelompok yang ingin memperjuangkan harkat dan taraf

hidup yang tanpa melalui wadah partai politik, menyebutkan kelompok ini sebagai

golongan-golongan. Golongan tersebut diantaranya buruh, petani, sosialis,

pemuda, Islam, Kristen, nasional demokrat dan Tionghoa (Andreas Pandiangan,

1996: 85). Sejak dikeluarkannya Maklumat 3 November 1945 tentang anjuran

pembentukan partai politik, maka muncullah partai-partai baru yang

mengelompok berdasarkan ideologi atau dasar kepentingan yang lain. Keputusan

untuk membentuk sistem multi partai, karena adanya pluralitas kultural yang ada

di Indonesia. Dengan sistem ini diharapkan berbagai pendapat, visi yang ada di

masyarakat dapat tersalurkan secara tertib lewat mekanisme yang telah ditetapkan

(Arbi Sanit, 2003: 24).

Indonesia menganut Sistem Pemerintahan Parlementer sejak 14

November 1945, yaitu pada saat terbentuknya Kabinet Syahrir I. Sedangkan

secara konstitusional, pelaksanaan sistem demokrasi parlementer adalah sejak

diberlakukannya UUD-S 1950 pada tanggal 17 Agustus 1950. Dalam sistem

parlementer, Presiden berkedudukan sebagai Kepala Negara dan kekuasaan yang

dimiliki oleh Presiden ini tidak dapat diganggu gugat. Kekuasaan pemerintahan

dipegang oleh Perdana Menteri, yang bertanggung jawab terhadap parlemen.

Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dukungan dari parlemen. Apabila

40

mayoritas suara yang ada dalam parlemen tidak mendukung kabinet, maka kabinet

harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Selain itu, parlemen dapat

membubarkan kabinet sewaktu-waktu dengan suara mayoritas, namun

kebalikannya dalam sistem ini Presiden juga dapat membubarkan parlemen setiap

waktu (Yahya A. Muhaimin, 1982: 66-68).

Pemerintahan parlementer pertama di Indonesia beranggotakan wakil-

wakil dari beberapa negara bagian yang diciptakan oleh Belanda selama masa

perjuangan kemerdekaan, anggota-anggota KNIP dan anggota-anggota yang

ditunjuk oleh Presiden Soekarno berdasarkan kekuatan partai. Pada tahun 1952,

dalam parlemen terdapat wakil-wakil partai diantaranya: Masyumi, PNI, PKI dan

PSI. Dari keempat partai tersebut, wakil terbanyak berasal dari Masyumi (Liddle,

1992: 176).

Pada masa kabinet Wilopo, parlemen memberikan dampak besar bagi

tubuh TNI Angkatan Darat, yaitu terjadi perpecahan dalam tubuh TNI AD, di satu

kelompok perwira TNI tidak ingin terlibat dalam politik, satu kelompok yang lain

perwira dan komandan di daerah menginginkan adanya peran politik dari TNI AD

dalam pemerintahan. Bagi perwira yang pro berpolitik dalam pemerintah

menganggap AD bahwa sumbangan tentara dalam masa revolusi tetap

memberikan hak yang sama dalam meneruskan peran politik di masa sebelum dan

sesudah kemerdekaan. Pemerintah yang sering berganti karena koalisi yang rapuh

cenderung selalu berada di bawah serangan parlemen, sementara kelompok yang

menguasai Markas Besar TNI AD tidak mampu mengatasi gejolak-gejolak di

daerah. Dalam keadaan ini, persaingan antar kelompok di kalangan tentara akan

dilibatkan dalam pertentangan antara pemerintah dan oposisi di parlemen dan

masing-masing mencari sekutu sendiri (Arif Yulianto, 2002: 219).

Konfrontasi pertama secara terbuka antara golongan sipil dengan golongan

militer di Indonesia terjadi pada masa kabinet Wilopo. Pada masa ini dilaksanakan

kebijakan penghematan di seluruh sektor, termasuk pada bidang militer. Kepala

Staf Angkatan Darat (KSAD) Nasution memberlakukan program yang bertujuan

untuk efisiensi dan modernisasi Angkatan Perang. Seperti yang terjadi pada

kabinet Hatta, program itu ditentang oleh perwira-perwira Angkatan Darat (AD),

41

terutama oleh mereka yang terancam demobilisasi. Puncak ketidaksenangan AD

terhadap pemerintah terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952, dimana para perwira

AD yang radikal memobilisasi massa untuk melakukan unjuk rasa menuntut

pembubaran parlemen dan meminta segera diadakan Pemilu (Hidayat Mukmin,

1992: 22). AD berpendapat kabinet tidak bisa memperbaiki perekonomian yang

semakin memburuk. Selain itu mereka juga tidak senang karena parlemen

didominasi oleh para kolaborator Belanda, diantaranya: Dr. Mansur (Negara

Sumatera Timur); Assaruddin (Negara Pasundan); Suwarno (Negara Jawa Timur),

yang merupakan para politisi dari negara-negara federal ciptaan Belanda (Ulf

Sundhaussen, 1986: 121).

Peristiwa 17 Oktober 1952 menunjukkan bahwa tentara tetap terpecah

dalam kelompok-kelompok yang kurang lebih seimbang, para perwira akan

memanfaatkan kesempatan-kesempatan politik yang ditimbulkan oleh persaingan

kelompok-kelompok sipil untuk melanjutkan kepentingan kelompok (Arif

Yulianto, 2002: 221). Peristiwa 17 Oktober 1952 tidak menyebabkan Kabinet

Wilopo jatuh, karena adanya kekuatan partai-partai PNI, PSII, Murba, PKI dan

campur tangan Soekarno yang mempunyai wibawa melebihi kabinet. Meskipun

Peristiwa 17 Oktober 1952 tidak membawa hasil, tetapi mempunyai pengaruh

baik yaitu berakhirnya pemerintahan parlemen dengan adanya penyelenggaraan

Pemilu (G. Moedjanto, 2001: 89).

Perkembangan partai politik tahun 1950-an gejolak banyak terjadi di tubuh

Masyumi (A. Gaffar Karim, 1995: 56). Pasca kemerdekaan Masyumi merupakan

satu-satunya partai politik bagi umat Islam di Indonesia. NU, Muhammadiyah,

Perserikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam merupakan organisasi

pertama yang masuk Masyumi. Sejak awal Masyumi tidak bisa utuh, seringkali

organisasi-organisasi yang menjadi anggota Masyumi mengundurkan diri dan

mendirikan partai sendiri, terbukti dengan keluarnya PSII pada tahun 1947 dan

muncul sebagai partai politik sendiri (Miriam Budiarjo, 2008: 436). Hal ini juga

dialami oleh NU yang memutuskan keluar dari Masyumi yang menyatakan

sebagai partai politik pada tahun 1952. Keluarnya NU dari Masyumi dipicu oleh

keberadaan Majelis Syuro dipegang tokoh NU yang tidak dianggap fungsinya di

42

Masyumi. Selain itu, adanya kekecewaan NU terhadap jabatan Menteri Agama

yang seharusnya milik NU, tetapi pihak Masyumi juga mengajukan Fakih Usman

sebagai calon Menteri Agama.

Soekarno mendirikan PNI (tahun 1927) dan menjadi ketuanya yang

pertama. PNI dengan Soekarno mempunyai keterkaitan historis-ideologis. Sejak

kembali ke UUD 1945 dan diberlakukannya UU Darurat (SOB), kegiatan partai-

partai dibatasi dengan sangat ketat. Tokoh-tokoh partai yang duduk dalam

Kabinet, harus menyatakan keluar dari partainya masing-masing, sehingga

menutup kemungkinan bagi partai-partai membuat keputusan besar di tingkat

nasional. Dalam sistim Demokrasi Terpimpin, yang mengendalikan kegiatan

politik adalah Presiden. Dan karena berlakunya UU SOB, maka dalam prakteknya

Angkatan Darat yang menjalankan kekuasaan, berperan membatasi kegiatan

partai-partai politik (Rocamora, 1991: 436).

Peran partai kemudian berangsur-angsur dilonggarkan, tetapi PNI sudah

cukup menjadi lemah, terutama karena adanya Peraturan Presiden No. 2/1959

yang melarang semua pegawai negeri golongan F-1 ke atas menjadi anggota

partai. Di sini PNI sangat dirugikan, karena anggota-anggotanya banyak yang

menduduki jabatan tinggi di jajaran birokrasi. Ini memang harus diakui juga

sebagai akibat satu kelemahan di bidang managemen organisasi partai (Rocamora,

1991: 345).

Ditambah lagi dengan persoalan intern yang memperlemah posisi partai,

yaitu beberapa tokoh tertentu dari PNI ikut dalam gerakan "Liga Demokrasi"

bersama dengan Masyumi, PSI, IPKI dan Partai Kristen menentang pembubaran

DPR hasil Pemilu 1955. Sikap ini tentu saja merugikan PNI ke dalam, karena

partai sudah menentukan sikap tidak menolak pembentukan DPR-GR sebagai

pengganti DPR hasil Pemilu.

Perbedaan pendapat dalam tubuh PNI, sebetulnya bukanlah sesuatu yang

perlu menjadi sensasi, jika saja hal itu dipahami sebagai kewajaran dalam sistim

demokrasi. Tetapi kalau perbedaan pendapat tidak lagi dapat dianggap sebagai

kewajaran, maka sangat mudah dimanfaatkan oleh pihak ke tiga dan

dimungkinkanlah terjadinya perubahan nilai (Rocamora, 1991: 436).

43

Golongan oposisi dalam PNI mengundang pihak ke tiga untuk

membantunya dan tanpa disadari justru pihak ke tiga inilah yang memetik

keuntungan dan melemahkan PNI (Rocamora, 1991: 383).

PNI sebagai partai besar dalam kegiatannya bersedia bekerjasama dengan

golongan manapun baik golongan agamais atau golongan komunis untuk

melanjutkan revolusi nasional. Adanya alasan tersebut PNI dan kabinet Ali

Wongso-Arifin mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif yang tidak

suka menjadi ekor dari negara manapun dan tidak mendukung salah satu blok

(Suara Rakyat, 2 Januari 1954).

Pada tahun 1954 partai politik menunjukkan keberadaannya dengan

memperluas ruang gerak dengan membuka ranting baru di berbagai daerah.

Pendirian ranting baru tersebut merupakan agenda dalam rangka persiapan pemilu

I tahun 1955. Partai politik tersebut diantaranya PSI, Murba. Pada tanggal 5

Januari 1954 di Probolinggo berdiri PSI Ranting Bantaran (Suara Rakyat, 13

Januari 1954). Partai Murba mendirikan Ranting Partai Murba di Desa Babadan

Sumber Tjaking Kabupaten Kediri pada tanggal 9 Januari 1954 (Suara Rakyat, 20

Januari 1954).

PSI sering melakukan kritik terhadap pemerintahan Kabinet Ali.

Pemerintah dianggap hanya mengutamakan ”politik kuasa” terbukti dengan

adanya kepincangan dalam politik mutasi yang dijalankan pemerintah, di mana

pegawai oposisi dipindah sewenang-wenang, keuangan dan ekonomi negara

merosot. Solusi yang diberikan PSI di antaranya: politik memerangi kemiskinan

dan kebodohan rakyat dengan menggantinya dengan kecerdasan dan

kesejahteraan rakyat, menetapkan anggaran belanja dan melibatkan rakyat dalam

berpartisipasi dalam pembangunan dan hendaknya dasar politik pemerintah benar-

benar digunakan untuk rakyat (Suara Rakyat, 13 Februari 1954).

Masyumi dan NU dalam kegiatannya lebih mengarah dalam bidang

masyarakat, hal ini terlihat dalam tanggapannya mengenai masalah perkawinan

yang dilakukan di daerah Mojokerto oleh lurah setempat. Perkawinan yang

diselenggarakan lurah tersebut membahayakan ketertiban rumah tangga penduduk

dan merendahkan derajat kaum ibu. Permasalahan ini bermula dari tindakan lurah

44

Desa Modopuro yang mengawinkan dua pasangan yang berasal dari dua desa

yang berbeda. Setelah 3 bulan kedua pasangan tersebut diceraikan oleh lurah

dengan alasan kedua desa tersebut sedang tidak aman (Suara Rakyat, 21 Januari

1954).

PSII dalam menghadapi pemilu 1955 mengadakan rapat di Kebayoran

Lama. Dalam agenda rapat tersebut dijelaskan bahwa berhasil tidaknya cita-cita

umat Islam dalam perjuangan yang mengkehendaki agar hukum Islam berlaku di

Indonesia tergantung umat Islam sendiri dalam memilih calon-calon dalam

Pemilu. Tanda gambar yang dipakai sebagai lambang PSII adalah gambar bintang

sabit (Suara Rakyat, 1 Maret 1954).

PNI optimis menang dalam pemilu 1955, PNI yang berdiri tanggal 4 Juli

1927 tetap mempertahankan azas sosio nasionalisme yaitu, kebangsaan yang

berperikemanusiaan berdasarkan kemasyarakatan yang menghargai tiap-tiap

agama tetapi tidak dijadikan azas politik azas politik marhaenisme sesuai dengan

jiwa rakyat Indonesia yang berdasarkan Pancasila (Suara Masyarakat, 8 Juli

1955).

Menjelang pemilu yang dilaksanakan pada bulan September 1955,

gelanggang persaingan politik semakin besar. Usaha mencari dukungan dari

kekuatan-kekuatan dari parlemen (militer dan parlemen) menjadi penting dalam

rangka menciptakan basis massa seluas-luasnya. Konsekuensinya adalah

disempurnakannya kerangka organisasi partai secara keseluruhan dan hasil pemilu

itu merupakan gambaran mengenai kekuatan partai yang sesungguhnya. Pada

tanggal 8 Oktober 1955 perolehan suara hasil pemilu sudah terlihat, kejutan

terbesar adalah suksesnya NU menaikkan jumlah wakilnya di parlemen dari 8

menjadi 45 kursi (Liddle, 1992: 83). Perubahan NU menjadi partai politik

membawa umat Islam Indonesia dalam dua kepemimpinan politik: kepemimpinan

politik kaum modernis di Masyumi dan kepemimpinan ulama (kyai) tradisional di

NU.

45

Tabel 2

Hasil Pemilihan Umum 1955

No. Nama Partai

Jumlah

Suara

Persentase Jumlah

Kursi

1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57

2. Masyumi 7.903.886 20,92 57

3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45

4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39

5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.091.160 2,89 8

6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1.003.326 2,66 8

7. Partai Katolik 770.740 2,04 6

8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5

9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan

Indonesia (IPKI) 541.306 1,43 4

10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 483.014 1,28 4

11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2

12. Partai Buruh 224.167 0,59 2

13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 219.985 0,58 2

14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2

15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 200.419 0,53 2

16. Murba 199.588 0,53 2

17. Baperki 178.887 0,47 1

18. Persatuan Indonesia Raya (PIR)

Wongsonegoro 178.481 0,47 1

19. Grinda 154.792 0,41 1

20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia

(Permai) 149.287 0,40 1

21. Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1

22. PIR Hazairin 114.644 0,30 1

23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.131 0,22 1

24. AKUI 81.454 0,21 1

25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1

26. Partai Republik Indonesis Merdeka

(PRIM) 72.523 0,19 1

27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 64.514 0,17 1

28. R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1

29. Lain-lain 1.022.433 2,71 -

Jumlah 37.785.299 100,00 257

46

Sumber : Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955 (Ithaca, New York:

Cornell University Press, 1971), 58-59).

Hasil pemilu 1955 menggambarkan empat kekuatan besar bersaing dalam

perolehan suara, PNI unggul dengan suara 8.434.653 (22,3 %) dan 57 kursi di

parlemen; Masyumi memperoleh suara 7.903.886 (20,9 %) dan 57 kursi di

parlemen; NU memperoleh suara 6.955.141 (18,4 %) dan 45 kursi di parlemen;

PKI memperoleh suara 6.176.914 (16,4 %) dan 39 kursi di parlemen (Herbert

Feith, 1962: 434). NU menjadi empat partai besar merupakan keunggulan yang

luar biasa, di mana NU yang masih relatif baru sebagai partai politik. Faktor

terpenting prestasi NU adalah banyaknya jumlah pesantren dan kyai yang

berpengaruh di tiga provinsi basis massa NU, Jawa Tengah, Jawa Timur dan

Kalimantan Selatan. Dalam memperebutkan suara bagi kepentingan kemenangan

politik, kyai mempunyai peranan strategis, khususnya di daerah pedesaan (Syafii

Maarif dalam A. Gaffar Karim, 1995: 58).

Kekalahan PSI dalam pemilu pertama, karena PSI tidak mendapat tempat

di masyarakat Indonesia. Ide PSI yang dianggap maju dan berkembang tidak

sesuai di Indonesia. Masyarakat yang menjadi batu ujian telah mengalami

kegagalan kebudayaan. PSI kurang pengetahuan tentang psikologi perikehidupan

rakyat, kurang studi sosiologi, kurang mengenal rakyat (Suluh Indonesia, 11

Oktober 1955).

Setelah Pemilihan Umum berhasil memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dan Konstituante. Dengan jumlah partai politik yang bertambah hingga

mencapai 28 partai politik. Inilah pemilihan umum yang kelewat demokratis. Jika

itu terjadi maka membuka peluang bagi petualang politik dan manusia profitir

untuk tampil. Hasilnya anarki politik dan ekonomi, korupsi dan demoralisasi

merajalela. Pembangunan demokrasi terhenti karena pertarungan politik (Sri Edi

Swasono dan Fauzie Ridjal, 1992: 116).

Demokrasi yang terjebak dalam percekcokan politik pada akhirnya

memacetkan pembangunan yang sedang berjalan. Kemakmuran rakyat yang

dijanjikan sejak Indonesia merdeka terasa semakin jauh dari kenyataan.

Demokrasi dapat berjalan baik, apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi

47

pada pemimpin-pemimpin politik. Inilah kekurangan pada pemimpin-pemimpin

partai seperti yang telah berkali-kali diperingatkan (Sri Edi Swasono dan Fauzie

Ridjal, 1992: 112).

Pemilihan umum 1955 yang diharapkan sebagai sarana untuk menciptakan

stabilitas politik, ternyata tidak sesuai dengan harapan. Mosi tidak percaya dan

terpecahnya koalisi membuyarkan kabinet untuk melaksanakan programnya.

Perkembangan politik semakin kacau, instabilitas politik terjadi akibat dari

pertentangan keras antara partai politik dalam parlemen. Kemajemukan

masyarakat dengan latar belakang sosial budaya, daerah maupun ideologi

tercermin dalam parlemen yang merupakan perwakilan dari partai-partai politik.

Kerjasama sulit tercapai, partai-partai politik hanya mementingkan kelompok

masing-masing dalam rangka kepentingannya sendiri, sehingga kabinet sering

jatuh bangun dalam waktu singkat (Arif Yulianto, 2002: 221).

Ketidakstabilan politik terjadi akibat dari sistem ketatanegaraan dan politik

yang dipakai, yaitu sistem demokrasi ala barat yang berdasarkan individualisme,

dalam sistem pengambilan keputusan dilakukan dengan sistem voting. Sistem ini

dianggap tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang menganut demokrasi

berdasarkan kekeluargaan yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat dan

yang lebih buruk lagi adalah penerapan lembaga oposisi yang sering bertujuan

menjatuhkan setiap pemerintahan yang sedang berkuasa. Presiden Soekarno

memberikan gagasan untuk menghapuskan partai politik dan menggantikannya

dengan golongan fungsional yang termuat dalam Konsepsi Presiden pada tanggal

21 Februari 1957 (Hidayat Mukmin, 1992: 24). Di hadapan para pemimpin partai

dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka, Soekarno menjelaskan konsepsinya

yang pada hakekatnya berisi :

a. Sistem demokrasi parlementer secara barat tidak sesuai dengan kepribadian

Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan sistem demokrasi terpimpin.

b. Untuk pelaksanaan sistem demokrasi terpimpin perlu dibentuk suatu Kabinet

Gotong Royong yang anggotanya terdiri dari semua partai dan organisasi

berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat, Konsepsi

Presiden menekankan perlu adanya pembentukan ”Kabinet Kaki Empat”

48

yang terdiri dari partai besar yakni; PNI, Masyumi, NU dan PKI untuk

menciptakan kegotong-royongan nasional.

c. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan

fungsional dalam masyarakat demokrasi nasional bertugas memberi nasehat

kepada kabinet baik diminta atau tidak diminta (Sekretariat Negara Republik

Indonesia, 1977: 21 Februari 1957).

Konsepsi Presiden ini secara tegas ditentang oleh Partai Masyumi dan

Partai Katolik. Sedangkan NU, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Ikatan

Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)

dan PSI menolak secara diam-diam. Menurut partai-partai tersebut kebijakan

mengubah sistem pemerintahan dan susunan ketatanegaraan adalah wewenang

konstituante bukan presiden. Dukungan konsepsi sepenuhnya diberikan oleh

Partai Nasional Indonesia dan PKI. Bagi PKI, Konsepsi Presiden sangat

menguntungkan posisinya karena dapat duduk di Kabinet Gotong Royong dan

dapat mempengaruhi presiden dalam pelaksanaan pemerintahan. Suasana semakin

memburuk setelah Konsepsi Presiden mendapat tentangan dari daerah-daerah

yang berakibat adanya gerakan daerah semakin meluas. Tidak lama kemudian

pada bulan Maret 1957 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo jatuh (Arif Yulianto,

1992: 225).

Konsepsi Presiden tidak mungkin dilaksanakan dengan UUDS 1950, oleh

karena itu diusulkan oleh KSAD agar UUD 1945 diberlakukan kembali. Presiden

Soekarno menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945 akan tetapi mengalami

perdebatan yang cukup hangat, lama dalam konstituante dan tidak berhasil

memperoleh keputusan karena adanya pengelompokan partai-partai ke dalam

kelompok Islam dan kelompok Nasionalis/Sosialis/Komunis (Tuk Setyohadi,

2002: 109). Amandemen dari fraksi-fraksi Islam agar Piagam Jakarta dimasukkan

dalam UUD 1945 ditolak dengan suara 201 setuju dan 265 tidak setuju.

Sedangkan keinginan fraksi-fraksi yang setuju kembali ke UUD 1945 telah

memperoleh dukungan suara mayoritas, namun tidak berhasil mencapai mayoritas

2/3 dari peserta yang hadir. Gagalnya konstituante untuk membentuk UU baru

memberikan dampak buruk bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam upaya

49

untuk mengatasi permasalahan tersebut Presiden Soekarno dengan dukungan TNI

mengeluarkan Dekrit Presiden 1959. Munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959,

kembali ke UUD 1945 menjadi titik awal lahirnya Demokrasi Terpimpin (Hidayat

Mukmin, 1992: 25).

2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1960)

Pertentangan diantara partai politik pada akhirnya membuat Soekarno

mengambil tindakan untuk menanggulangi suasana anarkis yang menimpa

integrasi nasional. Harapan tinggi yang diletakkan pada wakil rakyat hasil

pemilihan umum ternyata tidak menjadi kenyataan hanya menjadi impian.

Hilangnya beberapa partai politik setelah pemilihan umum ternyata tidak

mengurangi konflik yang ada (Rusli Karim, 1983: 137).

Dengan diawali keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk

kembali ke UUD 1945, maka mulailah babak baru yang disebut era Demokrasi

Terpimpin. Demokrasi Terpimpin ditandai dengan peranan dominan dari

Soekarno disamping meluasnya peranan militer dan PKI.

Pada masa Demokrasi Terpimpin peran partai politik merosot, partai-partai

politik memindahkan arahnya dari politik praktis ke perjuangan ideologis tentang

dasar negara (Pancasila / Islam) dalam Majelis Konstituante, diantara partai-partai

Islam sebagai dasar negara. Dalam perkembangan Masyumi dan PSI dibubarkan

pada tanggal 17 Agustus 1960, karena dianggap terlibat dalam pemberontakan

PRRI. Bubarnya Masyumi menjadikan NU sebagai partai Islam terbesar di

Indonesia, NU lebih bersikap akomodatif dengan pemerintahan Soekarno,

sehingga mampu bertahan sebagai salah satu partai yang diizinkan hidup. PSII

dan Perti juga mampu bertahan, partai-partai yang tetap bertahan merupakan

partai yang dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan politik (A.

Gaffar Karim, 1995: 60).

Menurut Feith (2001: 43-44) dalam pemerintahannya, Soekarno memiliki

dukungan politik yang terorganisasi untuk mengimbangi kekuatan militer.

Soekarno mencari dukungan dari jajaran partai-partai politik, khususnya PKI.

Soekarno bergantung pada PKI di dalam usaha mempertahankan posisinya

50

menghadapi militer. Ada tiga faktor yang berperan yaitu: a.) Berdasarkan hasil

pemilu yang diadakan di Jawa pada tahun 1955 PKI merupakan partai yang

terbesar; b.) PKI mempunyai perlengkapan keorganisasian yang paling luas di

kalangan pedesaan dan kelas bawah di perkotaan; c.) PKI paling mampu dan

tangkas mengerahkan massanya ke rapat-rapat raksasa dimana Soekarno

berpidato.

Sejak awal militer memandang PKI yang didukung oleh organisasi

massanya sebagai ancaman yang potensial terhadap kelangsungan hidup bangsa,

negara, dan Pancasila. PKI mempunyai sifat atheis, non nasionalis yang

merupakan organisasi komintern yang menganut doktrin perjuangan kelas yang

selalu memecah belah persatuan dan kesatuan (Hidayat Mukmin, 1992: 27).

Menurut D. N. Aidit dalam Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho

Notosusanto (1993: 317) ajaran Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) oleh

Soekarno sangat menguntungkan PKI, karena unsur dalam PKI yaitu komunis

diakui dalam politik Indonesia. Dengan demikian kedudukan PKI semakin kuat.

PKI pada masa kepemimpinan Soekarno memperoleh keuntungan politik.

PKI lambat laun menjadi partai yang terkuat dengan propaganda-propaganda

mampu memiliki anggota yang cukup banyak kenyataan ini meyakinkan PKI

untuk melakukan persiapan dalam rangka perebutan kekuasaan. Biro khusus

dibentuk langsung di bawah D. N. Aidit yang mempunyai tugas mempersiapkan

situasi bagi perebutan kekuasaan dan melakukan infiltrasi ke dalam tubuh TNI

dan partai politik (Arif Yulianto, 2002: 235).

Presiden Soekarno memberi tanggapan terhadap sikap partai yang anti PKI

dengan keras. Kegiatan yang dilakukan partai anti PKI merupakan usaha yang

dikendalikan kaum imperialis untuk membelokkan revolusi Indonesia ke ”kanan”.

Presiden Soekarno dengan Soebandrio meningkatkan kampanye guna

mempertahankan status, dengan berusaha mendapatkan dukungan elite sipil dan

militer serta menarik dukungan massa. Akan tetapi, kedudukan Soekarno sebagai

presiden menjadi lemah, karena mendapat serangan dari berbagai pihak yang kuat

untuk bersikap anti komunis (Yahya A. Muhaimin, 1982: 201).

51

B. Penyederhanaan Partai Politik

1. Ide Penyederhanaan Partai Politik

Presiden Soekarno pada pidato peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun

1956 menyatakan, bahwa apa yang dianjurkan (oleh Pemerintah) pada bulan

November 1945, tentang pembentukan partai politik adalah suatu kesalahan.

Menurut Presiden Soekarno maklumat pemerintah ini akan mengakibatkan

penyakit kepartaian (yang menimbulkan perpecahan), disamping penyakit

kedaerahan dan kesukuan (Herbert Feith & Lance Castles, 1988: 62-66).

Timbulnya partai yang sedemikian banyak disebabkan anjuran untuk

mendirikan partai-partai pada bulan November 1945, dengan maksud membawa

stabilisasi politik dalam menghadapi pemilihan umum yang direncanakan

diadakan pada bulan Januari 1946. Adanya partai-partai itu semakin banyak

sewaktu Komite Nasional Pusat mulai terbentuk, dalam setiap partai yang

mempunyai 24 cabang dalam karesidenan, dapat mempunyai wakilnya dalam

KNP (Osman Raliby, 1953: 529). Semangat seseorang memasuki suatu partai

dalam tahun 1945-1948 mempunyai motif untuk segera menghilangkan pengaruh

Belanda dan mengabadikan kemerdekaan Indonesia. Tetapi belakangan, bahwa

memasuki suatu partai itu yang utama untuk mencari kedudukan. Dengan semakin

banyak partai politik akan memperlambat jalannya pemerintah dan menghambat

kemajuan (Sin Min, 23 Januari 1957).

Sejarah kepartaian Indonesia mulai dipikirkan perombakannya pada tahun

1956 ketika kehidupan politik dan kepartaian dirasa mengalami kekacauan ketika

kehidupan partai-partai politik saling mementingkan kepentingan sendiri/

golongan dan kepentingan nasional diabaikan. Penyederhanaan partai politik

tidaklah berarti matinya partai politik. Dalam rangka pembangunan jumlah partai-

partai politik yang banyak, semua partai politik harus berpijak pada ideologi

nasional Pancasila. Semua partai politik sebagai penegak-penegak demokrasi

ingin mencapai tujuan-tujuan politiknya dengan cara damai dan demokrasi. Oleh

karena itu perbedaan memang ada tinggal soal titik berat perhatian pada salah satu

52

segi pembangunan dan penentuan cara tepat untuk pencapaian (Harian Umum, 30

Oktober 1956).

Menurut Sofian Siradj anjuran pemerintah pada bulan November 1945 itu

bukan suatu kesalahan tetapi suatu tindakan yang sangat bijaksana sebab anjuran

itu dikeluarkan justru pada saat rakyat Indonesia tidak mengenal kehidupan

demokrasi, akibat penjajahan yang merenggut ratusan ribu rakyat Indonesia.

Perpecahan dan kekecewaan rakyat bukan karena adanya partai-partai politik,

melainkan karena adanya avonturir-avonturir koruptor yang berjiwa budak

kolonial dan menunggangi partai politik. Anasir-anasir inilah yang menjadi sebab

dari kekecewaan dan perpecahan (Harian Umum, 31 Oktober 1956).

Presiden menginginkan agar pemimpin-pemimpin partai mengadakan

pertemuan dan bermusyawarah serta mengambil keputusan untuk mengubur partai

(Harian Umum, 30 Oktober 1956). Menurut Sudarjo Tjokrosisworo anjuran

mengenai penguburan partai-partai disebabkan timbulnya kekacauan dalam

kepartaian dan bukan mempunyai maksud untuk melenyapkan partai-partai

politik. Jika kekacauan dalam kepartaian dibiarkan akan membawa akibat yang

mudah menimbulkan hal-hal yang merugikan bangsa dan negara (Sin Min, 23

Januari 1957).

Anjuran Presiden Soekarno yang memimpikan adanya pertemuan antara

pemimpin-pemimpin untuk mengubur partai, yaitu sebagai reaksi terhadap

keadaan kehidupan kepartaian yang sangat ruwet. Menurut Pimpinan PNI

Mangunsarkoro terhadap ekses-ekses yang banyak timbul, karena ada pihak yang

memikirkan kepentingan individu, dengan tidak memikirkan kepentingan bangsa

dan negara. Ide pokok Presiden Soekarno adalah agar persatuan diantara

pemimpin-pemimpin sebagai syarat untuk mempersatukan seluruh rakyat agar

dengan secara jujur dan sungguh-sungguh dapat dilaksanakan semua tuntutan

revolusi Agustus 1945 (Harian Umum, 31 Oktober 1956).

Reaksi pelaksanaannya dalam kehidupan kepartaian yang penting adalah

jalannya, yaitu pertama, menyederhanakan dan menyehatkan sistem kepartaian

yang harus didahului oleh tiap partai, membersihkan orang-orang yang korup dan

orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Kedua, sebagaimana dianjurkan

53

Presiden Soekarno ialah membubarkan partai-partai dan membentuk badan

persatuan yang lebih luas dan bersih dari orang-orang yang korup yang

mementingkan diri sendiri (Harian Umum, 31 Oktober 1956).

Keputusan yang ditempuh dalam mengubur partai adalah soal penting,

karena menyangkut hak asasi rakyat dan hak demokrasi bagi rakyat. Jika jalan

yang ditempuh tidak cocok dengan kebutuhan objektif dari pada bagian terbesar

dari rakyat. Maka bisa berakibat perasaan, pikiran serta hasrat rakyat tidak bisa

dinyatakan secara wajar. Secara formal tidak ada partai-partai tetapi pada

hakekatnya partai-partai tetap ada dan masalah tetap tidak teratasi. Inilah

sebabnya D.N. Aidit memilih jalan pertama, yaitu menyederhanakan dan

menyehatkan sistem kepartaian (Harian Umum, 31 Oktober 1956).

Menurut Sofian Siradj, bahwa Partai Islam (Perti) dapat menerima ide

presiden untuk mengadakan pertemuan pemimpin-pemimpin partai tetapi bukan

untuk mengambil keputusan mengubur partai-partai, melainkan untuk

“zelfkorreksi” (Harian Umum, 31 Oktober 1956).

Penguburan partai-partai adalah hal yang terlalu idealis dan tidak sesuai

dengan struktur demokrasi pada waktu itu. Dengan tidak adanya partai-partai

dikuatirkan, bahwa kesukuan dan kedaerahan akan semakin kuat. Struktur-

struktur vertikal yang dibentuk oleh partai-partai, mulai daerah sampai pusat

adalah salah satu tiang mengikat antar daerah sampai pusat. Jika ikatan itu tidak

ada, daerah akan tercerai berai kembali pada kedaerahannya, kembali pada

kedaerahan masing-masing (Sin Min, 23 Januari 1957). Meskipun sudah ada

partai-partai yang mempunyai susunannya mulai daerah sampai pusat tetapi masih

ada tendens-tendens kedaerahan, bahkan kadang cabang-cabang partai di daerah

bersatu menghadapi suatu hal dan bertentangan dengan pusatnya masing-masing,

adalah bukti betapa besar rasa kedaerahan itu. Hal itu membuktikan bahwa partai-

partai belum berhasil meniadakan rasa kedaerahan dan semestinya menjadi

cambuk untuk memperbaiki politiknya, tetapi bukan caranya mengikat daerah-

daerah dengan mengubur partai-partai (Sin Min, 23 Januari 1957).

Rasa ketidakpuasan daerah kadang lebih kuat daripada kesetiaannya

terhadap partainya, inilah satu hal kemasyarakatan yang harus menjadi bahan

54

pelajaran partai-partai. Karena partai-partai terlalu menyimpang dari apa yang

dijadikan cita-cita sendiri. Terlalu bercakar-cakaran sehingga mengakibatkan

kemacetan pembangunan daerah. Karena itulah menjadikan tendens kedaerahan

“ondanks” (sekalipun) adanya partai-partai.

Seruan Presiden Soekarno agar para pemimpin-pemimpin partai

mengadakan pertemuan dimana mereka mengubur partai-partai, karena menurut

Presiden Soekarno bahwa kepartaian di Indonesia tidak sehat dan terlalu banyak.

Mengingat aliran-aliran yang ada dalam masyarakat dapat dirumuskan dalam

beberapa saja, semestinya kepartaian di Indonesia dapat disederhanakan,

dikembalikan dalam jumlah terbatas, kemudian partai-partai itu harus membuat

suatu “cease fire” dan menyusun program pembangunan nasional, dimana

dipertemukan cita-cita nasional semua partai (Harian Umum, 30 Oktober 1956).

2. Perombakan Sistem Kepartaian Melalui Penyederhanaan Partai Politik

Pada tanggal 18 Desember 1959 Kabinet setujui rancangan peraturan

tentang syarat-syarat penyederhanaan kepartaian, serta pembentukan Front

Nasional dengan beberapa perubahan. (Nasional, 26 November 1959). Panitia

Adhoc yang diketuai Mr. Wirjono Prodjodikoro menyusun 3 peraturan yaitu

tentang MPRS, penyederhanaan kepartaian dan Front Nasional. (Nasional, 18

Desember 1959).

Menurut Ruslan Abdulgani bahwa Undang-Undang Kepartaian dan

Penyederhanaan Kepartaian merupakan masalah yang penting selain menyangkut

garis kehidupan partai di Indonesia juga merupakan masalah pelaksanaan sistem

kepartaian dalam rangka Demokrasi Terpimpin (Nasional, 26 November 1959).

Pada tanggal 13 Januari 1960 Departemen Penerangan mengumumkan

bahwa Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959 tentang syarat-syarat dan

penyederhanaan kepartaian yang memuat pokok-pokok ketentuan sebagai berikut:

partai harus mempunyai cabang-cabang yang tersebar paling sedikit di seperempat

jumlah Daerah Tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya

seperempat dari jumlah Daerah Tingkat II di seluruh wilayah R.I. Partai tidak

55

diperbolehkan mempunyai orang asing dalam pengurus dan pengurus kehormatan

maupun sebagai anggota (Nasional, 13 Januari 1960).

Partai tidak diperbolehkan tanpa izin dari pemerintah mendapat bantuan

dalam bentuk dan dengan cara apapun juga. Yang berhak menjadi anggota partai

adalah warga negara Indonesia yang telah berumur 18 tahun atau lebih. Presiden

berwenang mengawasi dan memerintahkan untuk memeriksa tata usaha, keuangan

dan kekayaan partai-partai. Presiden sesudah mendengar Mahkamah Agung dapat

melarang dan/atau membubarkan partai yang: a.) Bertentangan dengan azas dan

tujuan negara; b.) Programnya berusaha merombak azas dan tujuan negara; c.)

Sedang melaksanakan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta

dalam pemberontakan-pemberontakan atau jelas memberikan bantuan sedangkan

partai itu dengan tidak resmi menyalahkan perbuatan anggotanya itu; d.) Tidak

memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Penetapan Presiden ini. Partai

yang dibubarkan berdasarkan ketentuan ini harus dibubarkan dalam waktu

selama-lamanya 30 hari 24 jam terhitung mulai tanggal berlakukannya Keputusan

Presiden yang menyatakan pembubaran itu (Obor Rakyat, 15 Januari 1960).

Yang dapat diakui sebagai partai pada waktu mulai berlakunya Penetapan

Presiden ini ialah partai-partai yang telah berdiri pada waktu Dekrit Presiden /

Panglima Tertinggi Angkatan Perang R.I., dikeluarkan dan memenuhi syarat-

syarat tersebut dalam Penetapan Presiden ini. Demikian pokok-pokok ketentuan-

ketentuan dalam Penetapan Presiden No. 7 Tahun 1959 yang diundangkan tanggal

31 Desember 1959 (Nasional, 13 Januari 1960).

Presiden Soekarno menyatakan bahwa partai-partai yang memenuhi syarat

mempunyai hak hidup, sebaliknya partai yang tidak memenuhi syarat akan

dibubarkan setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang mengenai penyederhanaan kepartaian (Nasional, 19 Desember 1959).

Pada tahun 1955 diselenggarakan pemilihan umum pertama dengan 100 tanda

gambar menunjukkan bahwa jumlah partai bertambah dari 21 Partai (ditambah

wakil tak berfraksi) sebelum pemilihan umum menjadi 28 partai (termasuk

perorangan) mendapatkan kursi di parlemen (Herbert Feith, 1962: 434-435).

56

Pemerintah menyusun Pengaturan Kepartaian dengan Penetapan Presiden

No.7 Tahun 1959. Dalam prakteknya, kepentingan Pengaturan Kepartaian tersebut

sudah cukup terbukti, mengingat ada kemungkinan yang selalu dipakai oleh

golongan partai untuk merubah susunan negara dengan mengorbankan rakyat

yang tidak sedikit jumlahnya. Demikian pula ada yang dipakai untuk kepentingan

diri sendiri, kedudukan sendiri, kepuasan sendiri. Dalam pelaksanaan Penetapan

Presiden ini, dilaksanakan secara bijaksana. Sebab dikuatirkan subyektifitas bisa

merugikan pengaturan kepartaian itu sendiri, dan hal itu tidak boleh tidak

dihindarkan (Nasional, 16 Januari 1960).

Imam Hizbullah Wali Al Fattaah menyatakan bahwa Penetapan Presiden

No.7 Tahun 1959 merupakan dorongan kuat bagi umat Islam untuk meninggalkan

sistem perjuangan Demokrasi Liberal dan kembali ke pangkalan asli perjuangan

umat Islam menegakkan kalimat Allah dengan sistem “Jama‟ah Rasulilah SAW”.

Apabila Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959 diambil segi positifnya tidak

merugikan perjuangan Islam, bahkan sebagai cambuk atas penyelewengan mereka

selama ini (Nasional, 18 Januari 1960).

Wk. Ketua CC-PKI MH. Lukman menyatakan, sejak semula PKI tidak

menentang keinginan dan usaha-usaha penyederhanaan kepartaian, malahan

sampai batas-batas tertentu telah mendorong usaha-usaha penyederhanaan ini

untuk memberikan saluran kepada reaksi-reaksi yang sudah sampai kepada

membangkitkan keinginan untuk membubarkan partai-partai. MH. Lukman

berpendapat, bahwa jalan yang paling wajar dan demokratis menuju kepada

penyederhanaan kepartaian ialah melalui pemilihan umum (Nasional, 19 Januari

1960).

Pada tanggal 5 Juli 1960 Presiden Soekarno menetapkan Peraturan

Presiden No.13 Tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran

partai-partai sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden No.7 Tahun

1959. Isi Peraturan Presiden No. 13 Tahun 1960 hampir bersamaan dengan

Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959 mengenai cara pengawasan terhadap

cabang-cabang partai diperbarui (Nasional, 6 Juli 1960).

57

Dalam penjelasan Peraturan Presiden No.13 Tahun 1960 tentang

pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai dinyatakan bahwa dengan

adanya Peraturan Presiden itu, ada partai-partai yang tidak diakui berdasar Kepres

No.129 tahun 1961 yaitu PSII-Abikusno, PRN-Bebasa, PRI dan PRN-Djody. Atas

partai-partai yang diakui akan diadakan pengawasan oleh pemerintah (Rusadi

Kantaprawira, 2006: 98).

Pembubaran itu akan didahului suatu pemeriksaan oleh Mahkamah

Agung. Dinyatakan dalam Peraturan Presiden itu bahwa jumlah anggota dari

seluruh partai harus sekurang-kurangnya 150.000 orang sedang yang dianggap

sebagai cabang ialah kesatuan organisasi dari partai setempat yang beranggotakan

sedikitnya 50 orang (Nasional, 13 Juli 1960).

Dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959 dan

Peraturan Presiden No.13 Tahun 1960 timbul harapan di kalangan rakyat agar

masyarakat terhindar dari segala macam percekcokan, pertentangan dan segala

potensi dapat diarahkan untuk pembangunan seperti yang dicanangkan oleh

revolusi (Nasional, 16 Juli 1960).

Setelah ditetapkannya Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959 pada tanggal

31 Desember 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian maka

berdasarkan pada pasal 11 Penpres tersebut “setiap partai politik yang sudah ada

di Indonesia berada di dalam status harus bekerja untuk memperoleh pengakuan

resmi dari Presiden / Panglima Tertinggi. Artinya pada saat ini partai-partai politik

belum diakui, tetapi dibubarkanpun tidak“ (Nasional, 25 Agustus 1960).

Untuk dapat diakui sebagai partai politik, maka diperlukan dua syarat

yaitu: a). Telah berdiri pada tanggal 5 Juli 1959 (saat didekritkannya kembali

UUD 1945); b). Harus memenuhi syarat-syarat tersebut di dalam Penpres

No.7/1959. Syarat yang tampaknya kurang diperhatikan pimpinan partai-partai

politik ialah antara lain harus dicantumkannya dengan tegas Anggaran Dasar

partai politik, bahwa organisasi itu: a.) Menerima dan mempertahankan UUD

Negara RI; b.) Bertujuan membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur

menurut kepribadian bangsa Indonesia; c.) Mendasarkan program kerjanya atas

Manifesto Politik Presiden tentang 17 Agustus 1959 (Nasional, 25 Agustus 1960).

58

Sebelum syarat-syarat pokok itu dapat dimasukkan dalam Anggaran Dasar

Partai melalui Kongres Partai, maka pimpinan partai diharuskan menyatakan

menyetujui syarat-syarat pokok itu di dalam suatu pengumuman.

3. Partai Politik Pasca Penyederhanaan

Pada tanggal 12 Maret 1960 Presiden mengajak Suwirjo, Ketua Umum

DPP PNI, K.H. Idham Chalid, Ketua Umum PB NU dan D.N. Aidit, Ketua Umum

CC PKI bersama Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung Roeslan Abdulghani

ke Tampak Siring, Bali, untuk membicarakan masalah susunan anggota DPR

Gotong-Royong, masalah Panitia Persiapan Pembentukan Front Nasional, soal

perjalanan presiden keluar negeri dan pengangkatan pejabat presiden selama

presiden mengadakan perjalanan keluar negeri (Nasional, 26 Maret 1960).

Menurut Maladi pertemuan Tampak Siring adalah merupakan suatu

pertemuan pendapat dan pembulatan pikiran antara presiden dan pimpinan partai-

partai yang penuh dengan pengertian, mengenai segala apa yang dikemukakan

presiden setidaknya dinyatakan pula kesediaan partai-partai untuk melaksanakan

apa yang telah diputuskan oleh presiden (Nasional, 12 Maret 1960).

Tentang pembentukan DPR Gotong Royong Presiden menyatakan, bahwa

anggota DPR Gotong Royong berjumlah 261 orang yang dibagi menjadi dua,

antara golongan partai dan golongan karya termasuk angkatan bersenjata

(Nasional, 24 Maret 1960). Menurut Presiden anggota DPR Gotong Royong

terdiri atas pejuang-pejuang revolusi yang berjiwa Manifesto Politik (yaitu ber-

“USDEK” = UUD 1945 – Sosialisme Ala Indonesia – Demokrasi Terpimpin –

Ekonomi Terpimpin – Kembali Ke Kepribadian Indonesia), yang mengakui selain

unsur-unsur demokrasi juga unsur-unsur “pimpinan” sebagai unsur pokok dalam

alam Demokrasi Terpimpin (Nasional, 21 Maret 1960).

Adapun 261 anggota itu terdiri dari: 130 dari Partai, 35 dari Angkatan

Bersenjata, 95 dari Golongan Karya dan 1 dari Irian Barat. 261 anggota DPR

Gotong Royong itu sbb: 130 dari partai: PNI - 44; NU – 36; PKI – 30; Kristen - 6;

Katolik - 5; PSII - 5; Perti - 2; Murba - 1; Partindo – 1. 35 dari Angkatan

Bersenjata : Angkatan Darat - 15; Angkatan Laut - 7; Angkatan Udara - 7; Polisi -

59

5; OKD/OPR - 1. 95 dari Golongan Karya: Tani - 25, Buruh - 25; Alim Ulama

Islam - 8; Alim Ulama Protestan - 3; Alim Ulama Katolik – 2; Alim Ulama

Hindu Bali - 2; Pemuda - 6 ; Wanita - 6; Cendekiawan - 5; Koperasi - 3;

Pengusaha Nasional - 2; Angkatan „45 - 2; Veteran - 2; Seniman - 2 dan

Wartawan – 2. 1 dari Irian Barat (Nasional, 30 Maret 1960).

Menurut Sudijono Djojoprajitno melihat susunan DPR Gotong Royong

seperti yang telah diumumkan oleh Presiden dimana PNI, NU dan PKI

dipertahankan sebagai tiga besar dari partai-partai dan dari golongan karya terdiri

atas anasir yang pada hakekatnya sealiran dengan PNI-NU-PKI, maka boleh

dipastikan bahwa DPR Gotong Royong tidak akan lepas dari liberalisme

(Nasional, 12 April 1960).

Liberalisme di Indonesia menurut paham Partai Murba adalah aliran

politik yang tidak mengkehendaki sikap radikal, melainkan sikap liberal terhadap

soal monopoli asing di Indonesia, ialah politik yang memberi lapangan gerak bagi

modal monopoli di Indonesia ialah politik “live and let live” bagi modal asing

seperti terbukti dengan berlakunya undang-undang penanaman modal asing di

Indonesia.

Berdasarkan pada pertimbangan itu maka DPR Gotong Royong menurut

pendapat Partai Murba tidak memberi harapan banyak bagi kelancaran

pelaksanaan sosialisme di Indonesia. Tetapi bukan maksud dari Partai Murba

untuk memboikot DPR Gotong Royong yang menurut penilaian Partai Murba

akan ikut aktif di dalamnya dan dengan sekuat tenaga berusaha agar istilah

“gotong-royong” tidak disalahgunakan oleh golongan tertentu untuk “bergotong-

royong” dengan “modal monopoli menegakkan kapitalisme di Indonesia”,

melainkan bergotong-royong untuk melikuidasi fungsi modal monopoli dengan

segera demi kelancaran Sosialisme Ala Indonesia (Nasional, 12 April 1960).

Partai Nahdatul Ulama menerima DPR GR untuk memenuhi Amar Maruf

Nahi Mungkar (menyuruh yang baik mencegah yang jahat) yang menyatakan

dengan syarat memperjuangkan bertambahnya perwakilan umat Islam sehingga

adanya perwakilan yang seimbang (Nasional, 17 Mei 1960).

60

Menteri Penghubung DPR/MPR DS. Rumambi menerangkan bahwa boleh

saja orang membicarakan masalah DPR Gotong Royong, tetapi pemerintah

beranggapan bahwa tidak perlu mempermasalah DPR Gotong Royong, karena

tidak ada gunanya. DPR Gotong Royong bersifat sementara sedang yang penting

adalah selekasnya menyelenggarakan pemilihan umum (Nasional, 21 April 1960).

Dengan tidak diikutsertakan wakil-wakil dari Masyumi, PSI dan juga IPKI

(Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) - sebuah organisasi dengan TNI

Angkatan Darat - dalam DPR GR, bersama dengan Partai Katolik dan Parkindo

(Protestan) memutuskan pada tanggal 24 Maret 1960 membentuk Liga

Demokrasi. Tokohnya antara lain: Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Soebadio

Sastrosatomo (PSI), Soedjatmoko (PSI), I.J. Kasimo (Partai Katolik), Imron

Rosjadi (Ketua Pemuda Ansor) (Herbert Feith, 2001: 50). Liga Demokrasi

dibentuk dengan dua misi. Pertama, sebagai kekuatan penekan terhadap

kepemimpinan Soekarno dalam rangka memulihkan dan menegakkan demokrasi.

Kedua, untuk membendung meluasnya pengaruh PKI. Dalam perjuangannya, Liga

Demokrasi mengajukan berbagai tuntutan dan protes terhadap pemerintah. Di

antara tuntutan mereka adalah pembubaran DPRGR yang dikecam karena

melibatkan unsur-unsur PKI, dipertahankannya sistem Demokrasi Parlementer,

dan memprotes pembubaran partai-partai politik. Menurut Sudijono Djojoprajitno

“lahirnya Liga Demokrasi sebagai reaksi terhadap DPR GR adalah soal yang

wajar, artinya wajar menurut logika perkembangan politik, baik nasional maupun

internasional” (Nasional, 21 Mei 1960).

Presiden Soekarno dengan tajam mengecam Liga Demokrasi, karena

sebagian anggota Liga Demokrasi adalah mereka yang pernah menginjak-injak

demokrasi, bersimpati dan menyokong PRRI/Permesta yang justru merupakan

organisasi yang mengkhianati terhadap demokrasi, membunuh sesama bangsa dan

merupakan fasis (Nasional, 30 Mei 1960).

Pimpinan Pusat Badan Musayawarah Angkatan „45 seluruh Indonesia,

dalam pernyataan yang ditandatangani oleh M.H. Gajo bahwa sepenuhnya

mendukung pelaksanaan manifesto politik dan menyesalkan terhadap kegiatan

61

tokoh-tokoh politik yang tergabung dalam Liga Demokrasi yang ternyata banyak

menimbulkan ketegangan dikalangan rakyat (Nasional, 21 Mei 1960).

Sebagai reaksi atas kecaman tajam Presiden Soekarno di Tokyo, Presidium

Liga Demokrasi menyatakan Liga Demokrasi merupakan gerakan legal dan

menjunjung tinggi norma-norma konstitusional. Ditambahkannya, bahwa sebagai

gerakan rakyat yang demokrasi menentang segala paham fasis dan totaliter,

menentang segala tindakan anasional, serta segala intervensi langsung atau tidak

langsung dari pihak asing. Liga Demokrasi lahir di tengah masyarakat Indonesia

sebagai akibat yang wajar dari ancaman terhadap kehidupan demokrasi yang

ditimbulkan oleh pembentukan DPR GR yang bukan saja tidak demokratis, dan

tidak konstitusional dimana kaum komunis yang jelas anti demokrasi dan

anasional, mendapat tempat terlampau besar melainkan juga tidak akan mengatasi

penderitaan rakyat (Nasional, 31 Mei 1960).

Ketua Umum IPKI Sugirman menyatakan bahwa IPKI maupun Liga

Demokrasi tidak dapat membenarkan terhadap pemberontakan yang bercorak

apapun juga. IPKI sangat menyesalkan pernyataan Presiden. IPKI menyakinkan

bahwa pembentukan DPR GR tidak demokratis dan menguntungkan komunis,

serta IPKI yakin bahwa Liga Demokrasi tidak mendapat bantuan apapun juga dari

bangsa asing (Nasional, 31 Mei 1960). IPKI membenarkan perjuangan Liga

Demokrasi atas kebenaran tujuannya: membela negara, membela agama dan

membela demokrasi. IPKI terus berjuang berpedoman kepada Manifes ke I dan II

dan tetap membenarkan dasar perjuangan Liga Demokrasi.

Kepala Dinas Reserse Kejaksaan Agung, Mayor Dradjat Sudianto

memanggil anggota-anggota Presidium Liga Demokrasi dalam hubungannya

dengan kegawatan situasi politik. Mengingat adanya reaksi dan insiden di

berbagai tempat yang di timbulkan oleh kegiatan politik dari Liga Demokrasi, di

beberapa daerah sudah diterapkan ketentuan-ketentuan/larangan-larangan

terhadap Liga Demokrasi, maka oleh Kejakasan Agung diperingatkan kepada

anggota-anggota Presidium Liga Demokrasi untuk mematuhi ketentuan yang telah

ditetapkan oleh yang berwajib setempat yang berhubungan dengan kegiatan Liga

62

Demokrasi (Nasional, 7 Juni 1960). Peringatan Kejaksaan Agung sebagai suatu

tindakan preventif dalam bidang ketertiban dan keamanan umum.

Pada tanggal 24 Juni 1960 pemerintah dalam pertemuannya dengan

Presidium Liga Demokrasi menganjurkan agar Liga Demokrasi meninjau kembali

cara-cara perjuangannya dalam mencapai tujuannya. Anjuran pemerintah ini

diberikan sesudah terjadi pertukaran pikiran dengan memperoleh kesimpulan,

bahwa pada hakekatnya antara pemerintah dengan Liga Demokrasi tidak ada

perbedaan prinsipil tentang pokok-pokok masalah kenegaraan.

Menurut Menpen Maladi dengan anjuran kepada Liga Demokrasi agar

meninjau kembali cara-cara perjuangannya itu berarti suatu anjuran untuk

merubah atau memperbaiki cara-cara perjuangannya (Nasional, 27 Juni 1960).

Pada tanggal 21 Juli 1960 oleh Presiden/Panglima Tertinggi memanggil ke

Istana Merdeka pucuk pimpinan Partai Masyumi dan pucuk pimpinan PSI dalam

rangka pelaksanaan syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian (Penpres

No.7/1959) dan pengawasan tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran

partai-partai (Perpres No.13/1960) (Nasional, 19 Juli 1960).

Beberapa pokok dari Penetapan Presiden No.7/1959 yang diumumkan

akhir Desember 1959 dan Peraturan Presiden No.13/1960 yang diumumkan Juli

1960.

Pasal 1 Perpres No.13/1960 :

Partai-partai yang telah berdiri pada tanggal 5 Juli 1959 diwajibkan menyesuaikan

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga masing-masing dengan ketentuan-

ketentuan pada pasal-pasal 3, 4, 5, 6, dan 7 dari Penetapan Presiden No.7/1959

(Nasional, 21 Juli 1960).

Disamping itu beberapa Bab yang terpenting ialah Bab VI menjadi Aturan

Peralihan.

Bab VI mengenai pembubaran (Pasal 9) Perpres No.7/1959 :

(1). Presiden sesudah mendengar Mahkamah Agung, dapat melarang

dan/atau membubarkan partai yang :

1. Bertentangan dengan Azas dan Tujuan Negara;

2. Programnya bermaksud merombak Azas dan Tujuan Negara;

3. Sedang melakukan pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas

memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi

menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu;

63

4. Tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Penetapan

Presiden ini.

(2). Partai yang dibubarkan berdasarkan ayat (1) pasal ini, harus dibubarkan

dalam waktu selama-lamanya tiga puluh kali dua puluh empat jam,

terhitung mulai tanggal berlakunya Keputusan Presiden yang

menyatakan pembubaran itu. (Nasional, 21 Juli 1960).

Bab VI mengenai Aturan Peralihan (Pasal II) Penpres No. 7/1959;

Yang dapat diakui sebagai partai pada waktu berlakunya Penetapan

Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia dikeluarkan

dan memenuhi syarat-syarat tersebut dalam Penetapan Presiden ini.

(Nasional, 21 Juli 1960).

Presiden selaku Peperti dalam pertemuan dengan pucuk pimpinan Partai

Masyumi dan PSI di Istana Merdeka tanggal 21 Juli 1960, masing-masing

diwakili oleh tiga orang. Partai Masyumi diwakili oleh Prawoto Mangkusasmito,

Dr. Sukiman Wirjosandjojo dan Yunan Nasution, sedangkan dari pihak PSI hadir

Sutan Syahrir, Subadio Sastrosatomo dan Murod (Nasional, 21 Juli 1960).

Pertemuan dengan Presiden di Istana Merdeka dalam rangka yang menurut

penilaian presiden terkena Penpres No.7/1959 Pasal 9 Ayat 1, untuk menentukan

sikapnya terhadap pemberontakan (Nasional, 19 Juli 1960).

Dalam pertemuan Presiden/Peperti disertai MKN/KSAD Jenderal

Nasution, Menteri/KSAL Komodor Martadinata, Menteri/KSAU Laksamana

Suryadarma, Menteri/Jaksa Agung Mr. Gunawan, Menteri/KKN Sukarno

Djojonegoro, Menpen Maladi, PGS Kepala Staf Peperti Kol. Basuki Rachman dan

Sekretariat Militer Kol. Kretarto (Nasional, 22 Juli 1960).

Presiden Soekarno menyatakan kepada pimpinan Partai Masyumi dan PSI

bahwa ia ingin mengetahui dengan seksama serta bukti-bukti bahwa Partai

Masyumi dan PSI dapat atau tidak dapat terkena oleh ketentuan-ketentuan

larangan dan pembubaran partai-partai, seperti apa yang dimaksud oleh Penpres

No.7/1959 Pasal 9.

Presiden Soekarno mengumumkan ketetapannya mengenai keputusan

terkena atau tidak terkenanya Partai Masyumi dan PSI oleh Penpres No.7/1959

setelah Presiden mendengar pertimbangan terakhir dari Mahkamah Agung.

64

(Nasional, 1 Agustus 1960). Pada tanggal 14 Agustus 1960 Presiden Soekarno

selaku Penguasa Tertinggi mengadakan sidang bersama Inti Kabinet Kerja dan

Badan Pembantu Peperti bertempat di Istana Bogor. Dalam sidang bersama

tersebut Presiden memberitahukan pendapat Mahkamah Agung mengenai

kedudukan Partai Politik Masyumi dan PSI dalam hubungannya dengan Pasal 9

ayat 1 Penetapan Presiden No.7/1959. Presiden minta pendapat Mahkamah Agung

berdasar Pasal 6 Peraturan Presiden No.13/1960 (Nasional, 16 Agustus 1960).

Sebelum mengadakan sidang bersama Kabinet Inti dan Badan Pembantu

Peperti, Presiden Soekarno selaku Ketua Penguasa Perang Tertinggi mengadakan

pertemuan dengan wakil-wakil dari pucuk pimpinan IPKI dan Parkindo yang

masing-masing di wakili oleh Sugirman, Hamara Effendy dan J.L.L. Taulu seta

Mr. Dr. A.M. Tambunan, M. Siregar dan Dominee M. Sondakh.

IPKI dan Parkindo diundang oleh presiden untuk diberitahukan tentang

keluarnya Penetapan Presiden No.7/1959 dan Peraturan Presiden No.13 /1960 dan

diberi penjelasan mengenai pasal 9 Penpres 7/1959 dan Pasal 6/1960 (Nasional,

16 Agustus 1960).

Pada tanggal 21 Agustus 1960 pucuk pimpinan dari IPKI dan Parkindo

hadir di Istana Bogor untuk menyampaikan keterangan dan bukti-bukti yang

diperlukan. Sugirman menerangkan, bahwa IPKI telah menyampaikan surat-surat

bukti yang diminta pada 1 Agustus. (Nasional, 16 Agustus 1960). Pada pertemuan

21 Agustus, pucuk pimpinan Parkindo menyampaikan satu berkas keterangan-

keterangan disertai bukti-bukti tentang terkena atau tidaknya Parkindo oleh Pasal

9 dari Penpres No.7/1959 (Nasional, 23 Agustus 1960).

Pimpinan IPKI Hamara Effendy dalam keterangannya menyatakan, bahwa

partainya telah memenuhi syarat-syarat yang termaktub dalam Pasal 9 Penpres

No.7/1959 dan Peraturan Presiden No.13/1960 Pasal 6. Dalam kongres IPKI di

Lembang pada bulan Mei 1959, dalam resolusi no.3 dinyatakan, bahwa IPKI

mendukung sepenuhnya tindakan tegas pemerintah membasmi pemberontak

DI/TII, PRRI dan Permesta. Di samping itu IPKI sendiri telah menjatuhkan

skorsing kepada anggota-anggotanya yang terlibat dan ikut dalam pemberontakan.

65

Terhadap Manifesto Politik dan USDEK yang telah menjadi haluan negara ini.

IPKI mendukung sepenuhnya (Nasional, 23 Agustus 1960).

Pada tanggal 29 Agustus 1960 di Istana Bogor Peperti telah meneruskan

Parkindo dan IPKI untuk berjalan terus. Keputusan tersebut diberikan oleh

Presiden Soekarno dalam pertemuan dengan wakil-wakil kedua partai. Keputusan

Peperti memperbolehkan Parkindo dan IPKI berjalan terus itu menurut juru bicara

kedua partai Hamara Effendy, disertai dengan syarat harus menandatangani

sebuah pernyataan menghukum dan memecat dengan tidak hormat anggota-

anggota Parkindo dan IPKI yang terlibat dalam pemberontakan (Nasional, 30

Agustus 1960). Kemudian pucuk pimpinan Parkindo dan IPKI di beri waktu satu

bulan dengan fasilitas pemerintah untuk mendatangi daerah-daerah bergolak guna

menyampaikan pernyataan yang telah di tandatangani tersebut.

Dalam Kongres IPKI bukan saja menyalahkan, tetapi telah menghukum

pemberontak. Ketua Umum Parkindo Dr. Mr. Tambunan menjelaskan, partainya

berkeberatan dengan kata-kata mengutuk, karena menurut Partai Kristen tersebut

cukup digunakan kata menyalahkan atau menghukum (Nasional, 30 Agustus

1960).

4. Pembubaran Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Pada tanggal 28 Juli 1960 Presiden selaku Penguasa Perang Tertinggi

mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil pimpinan Partai Masyumi dan Partai

Sosialis Indonesia (PSI). Pimpinan Masyumi diwakili oleh Prawoto

Mangkusasmito dan Yunan Nasution. PSI hadir Sutan Sjahrir, Subadio

Sastrosatomo dan Murod (Nasional, 29 Juli 1960). Dalam pertemuan itu pimpinan

Masyumi dan PSI diminta menyampaikan pernyataan secara tertulis dengan

disertai bukti-bukti mengenai terkena atau tidaknya kedua partai oleh ketentuan

yang dimaksud dalam Pasal 9 Penpres No.7/1959 (Nasional, 22 Juli 1960).

Dalam Rapat Badan Pembantu Peperti diputuskan, bahwa kesimpulan dan

segala pertimbangan dalam rapat diajukan kepada Mahkamah Agung, sesuai

dengan ketentuan yang dimaksud dalam Perpres No.13/1960. Diserahkan pula

kepada Mahkamah Agung surat-surat lainnya yang dapat dipergunakan sebagai

66

bahan pertimbangan. Dalam rapat Presiden mengundang Ketua Mahkamah Agung

Mr. Wirjono Prodjodikoro untuk hadir dan mendengarkan segala pembicaraan,

tanpa diminta memberikan sesuatu pendapat dan pandangan mengenai masalah

yang dibicarakan (Nasional, 1 Agustus 1960).

Dalam amanat ulang tahun ke-15 Proklamasi Kemerdekaan, Presiden

Soekarno memberitahukan kapada rakyat bahwa sebagai Presiden RI sesudah

mendengar pendapat Mahkamah Agung, memerintahkan bubarnya Masyumi dan

PSI. Jika satu bulan sesudah perintah ini diberikan Masyumi dan PSI belum

dibubarkan, maka Masyumi dan PSI dinyatakan sebagai partai terlarang.

Menurut Presiden, pembubaran partai Masyumi dan PSI adalah

berdasarkan masalah Penpres No.7/1959 dan Perpres No.13/1960 yang sudah

berjalan. Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden itu pada pokoknya tegas-

tegas memberikan hak hidup (dengan ketentuan syarat-syarat mengenai organisasi

dan sebagainya) kepada partai-partai yang ber-USDEK, dan melarang partai-

partai yang kontra-revolusioner, ialah suatu pelaksanaan daripada satu universal

principle, satu prinsip umum di negeri manapun juga, bahwa dari penguasa yang

memegang kekuasaan negara, tidak dapat diharapkan memberi hak hidup kepada

kekuatan-kekuatan yang ingin merobohkan negara (Nasional, 18 Agustus 1960).

Keputusan pembubaran Partai Masyumi dan PSI diumumkan oleh

Presiden/Panglima Tertinggi dalam pidato 17 Agustus 1960 di Istana Merdeka.

Dan ditindaklanjuti dengan Kepres No. 200 tahun 1960 tentang pembubaran

Partai Politik Masyumi dan Kepres No. 201 tahun 1960 tentang pembubaran

Partai Politik Sosialis Indonesia (PSI) (Nasional, 19 Agustus 1960).

Pertimbangan membubarkan kedua partai tersebut untuk kepentingan

keselamatan negara dan bangsa karena telah melakukan pemberontakan,

pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan yang disebut dengan

“Pemerintah Revolusioner Indonesia” atau “Republik Persatuan Indonesia” atau

telah jelas memberikan bantuan terhadap pemberontakan sedangkan kedua partai

tersebut, tidak resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggota pimpinannya

(Nasional, 19 Agustus 1960).

67

Berkenaan dengan dikeluarkannnya Keputusan Presiden No. 200 dan 201

Tahun 1960 tentang pembubaran Masyumi dan PSI, dan timbulnya berbagai

golongan yang mengeruhkan ketenangan situasi politik dan ketertiban umum.

Pangdam VII Kolonel Pranoto Reksosamudro menyerukan agar rakyat Jawa

Tengah tetap tenang (Nasional, 12 September 1960).

Peperda (Penguasa Perang Daerah) dan Pedarmilda (Penguasa Daerah

Militer Daerah) mengeluarkan komunike pada tanggal 10 September 1960. Dalam

komunike dinyatakan, tenggang waktu bagi Partai Mayumi dan PSI, dimana

kepada ketua partai ini diberi waktu 30 hari, terhitung mulai 17 Agustus 1960,

hingga batas waktu partai-partai tersebut tidak mengeluarkan pernyataan maka

dijadikan perkumpulan terlarang menurut ketentuan dalam Pasal 8 ayat 3 Perpres

No.13 Tahun 1960 (Nasional, 12 September 1960).

Kepada anggota pimpinan Partai Politik Masyumi dan Partai Sosialis

Indonesia serta organisasi yang bernaung dibawahnya, yaitu: GPII, SBII, STII,

SDII, HMI, PII, GPS, KBSI, STI dan GMS (Nasional, 13 September 1960) dari

tingkat daerah sampai pada tingkat cabang dan rantingnya dikenakan wajib lapor

kepada penguasa setempat ditingkat kedudukannya masing-masing, yakni kepada

Pedarmilda bagi pimpinan tingkat dewan daerah dan kepada Perkuper/Pekudarmil

ataupun Puperkuper/Pupekudarmil bagi pimpinan tingkat cabang dan kepada

B.O.D.M atau Pamong-Praja ataupun Kepolisian di asistenan bagi pimpinan

tingkat ranting (Nasional, 12 September 1960).

Untuk ini diharapkan pengertian yang wajar dikalangan masyarakat dan

turut menjaga serta memelihara ketenangan suasana politik di daerah. Terhadap

tindak pengacauan dan atau penyelewengan dari garis kebijaksanaan pemerintah

Peperda/Pedarmilda diambil tindakan tegas.

Presiden RI selaku Peperti pada tanggal 13 September 1960 mengeluarkan

suatu peraturan yang menghentikan untuk sementara segala kegiatan politik dalam

bentuk Peraturan Peperti Nomor 6 Tahun 1960. Disamping itu dikeluarkan pula

suatu Peraturan Peperti Nomor 1 Tahun 1960 yang menjelaskan tentang apa yang

dimaksud dengan kegiatan politik (Nasional, 14 September 1960).

68

Yang dimaksud dengan kegiatan politik dalam peraturan itu ialah

kegiatan-kegiatan yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi haluan

negara. Kegiatan-kegiatan politik yang dilakukan oleh badan-badan yang dibentuk

oleh pemerintah, tidak termasuk dalam pengertian kegiatan politik yang diatur

dalam peraturan. Yang dimaksudkan dengan kegiatan-kegiatan politik dalam

Peraturan Peperti Nomor 6 adalah setiap perbuatan yang aktif dalam bentuk nyata

secara lahir yang dilakukan baik didepan umum maupun secara tertutup, baik oleh

perseorangan atau secara kerja sama dari jumlah orang yang mempunyai

persamaan paham azas tujuan politik atau azas tujuan golongan yang langsung

atau tidak langsung dapat mempengaruhi haluan negara.

Kegiatan seperti tersebut di atas yang dilakukan oleh badan-badan yang

dibentuk oleh pemerintah atau kegiatan yang berwujud penyiaran oleh siapapun

yang bersumber dari pemerintah yang berwenang untuk itu, serta dimana kegiatan

itu sesuai dengan garis kebijaksanaan yang ditentukan pemerintah, tidak termasuk

dalam pengertian kegiatan politik yang diatur oleh peraturan ini.

Peraturan Peperti Nomor 6 berlaku untuk daerah-daerah yang berlangsung

dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang berlaku mulai berlaku tanggal

13 September 1960 sampai dengan 30 September 1960.

Dalam sidang Badan Pembantu Peperti pada tanggal 17 November 1960

diputuskan bahwa partai-partai dapat melakukan kegiatannya kembali pada

tanggal 1 Desember. Semua partai yang akan melakukan kegiatan itu harus

mengindahkan ketentuan-ketentuan yang ada yaitu diatur dalam peraturan Peperti

No.7/1960, peraturan tersebut merupakan pengganti Peraturan Peperti 6/1960

yaitu peraturan tentang penghentian secara mutlak bagi semua kegiatan partai

yang dengan sendirinya (Nasional, 18 November 1960).

Dalam sidang diputuskan pula bahwa jangka waktu bagi partai-partai

untuk laporan kepada Presiden tentang anggaran dasar dan rumah tangga, jumlah

cabang dan anggota tiap cabang, catatan soal anggota dan organisasi yang

bernaung dibawahnya yang semula ditetapkan hingga tanggal 31 Desember 1960,

telah diperpanjang sampai tanggal 28 Februari 1961. Keputusan yang akan

dituangkan nanti dalam suatu peraturan presiden itu di maksudkan untuk memberi

69

waktu yang cukup bagi partai-partai dalam kewajibannya menyampaikan laporan

kepada Presiden (Nasional, 18 November 1960).

Guna membantu Presiden dalam rangka pelaksanaan Penpres No.7/1959

dan Perpres No.13/1960 dalam sidang ditunjuk MKN Jenderal Nasution, Menteri

DNOD Ipik Gandamana dan Menteri/Wkl. Ketua DPA Ruslan Abdulgani. Partai-

partai dalam mengajukan permohonan kepada presiden untuk pengakuannya maka

ke 3 menteri itu akan membantu presiden. Pelaksanaan teknis baik administratif

maupun soal dokumentasi diserahkan kepada Biro Politik yaitu sebuah aparatur

dalam departemen D.N.O.D. aparatur ini akan diperkuat dan untuk itu semuanya

akan dikeluarkan Keputusan Presiden.

Presiden didampingi Panitia 3 Menteri (MKN Jenderal Nasution, Menteri

DNOD Ipik Gandamana dan Menteri/Wkl. Ketua DPA Ruslan Abdulgani), serta

Menteri Penghubung Organisasi-Organisasi Massa Sudibjo. Pada tanggal 11 April

1961 di Istana Merdeka mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh 9 partai

yaitu: PNI, NU, PKI, PSII (Arudji), Katolik, Parkindo dan Partindo yang masing-

masing diwakili oleh 3 orang anggota pimpinannya, untuk membicarakan sekitar

persoalan pelaksanaan Penpres No.7/1959, mengenai penyederhanaan sistem

kepartaian dalam rangka Demokrasi Terpimpin. Dari 14 partai yang telah

mendaftarkan diri terdapat 5 partai yang “tidak lulus ujian” (Rosian Anwar, 2007:

16), yakni: PRN-Djody, PRN-Bebasa, Perti, PRI dan PSII-Abikusno (Obor

Rakyat, 14 April 1961).

Menteri/Wkl. Ketua DPA Ruslan Abdulgani setelah selesai pertemuan

menerangkan, pada kesembilan partai mendapat “pengakuan sementara” (Rosian

Anwar, 2007: 16) dan kesempatan untuk menyesuaikan beberapa ketentuan dalam

AD dan ART-nya dengan apa yang disyaratkan oleh Penpres 7/1959 (Nasional, 12

April 1961).

Tokoh-tokoh partai yang dipanggil Presiden untuk menghadiri pertemuan

adalah Suwirjo (PRN), Idham Chalid, K.H. Mansyur dan Zaifuddin Zukri (NU),

DN Aidit, MH. Lukman dan Sudisman (PKI), Maruto Nitimihardjo (Murba),

Sugirman (IPKI), Arudji Kartawinata dan Harsono Tjokrominoto (PSI), IJ

70

Kasimo (Partai Katolik), Mr. AM Tambunan (Parkindo), Asmara Hadi dan K

Werdojo (Partindo) (Obor Rakyat, 14 April 1961).

Pada tanggal 15 April 1961 Presiden Soekarno menandatangani

pengakuan terhadap 8 partai politik, yaitu: PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai

Indonesia (Partindo), Partai Murba, PSII (Arudji), IPKI dan menolak pengakuan

atas PSII (Abikusno), PRN (Djody), PRN (Bebasa) dan PRI (Sutomo), sedang

terhadap Perti dan Parkindo ditangguhkan pengakuan atau penolakan

pengakuannya sampai kembali dari perjalanannya keluar negeri (Nasional, 17

April 1961)

Menteri/Wakil Ketua DPA Ruslan Abdulgani, selaku anggota Panitia 3

Menteri, ditugaskan mengumumkan Keputusan Presiden menerangkan, ke-8

partai yang diberi pengakuan dinyatakan telah memenuhi semua ketentuan

Penpres No.7/1959 dan Perpres No.13/1960. Ke-8 partai itu tidak hanya

memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan “nation wide”, tetapi telah

menegaskan pula secara tertulis kepada Panitia 3 Menteri dan telah diteruskan

kepada Presiden, bahwa: 1) tegas azasnya tidak bertentangan dengan azas

Pancasila, dan, 2) programnya tegas tidak hendak merombak azas dan tujuan

negara (Obor Rakyat, 21 April 1960). Kepada partai-partai yang telah diakui itu

diminta untuk mengumumkan dasar-dasar dan tujuan-tujuannya kepada

masyarakat.

Presiden menandatangani penolakan atas pengakuan terhadap 4 partai

yaitu PSII-Abikusno, PRN (Djody), PRN (Bebasa) dan PRI (Sutomo) adalah

berdasarkan laporan Panitia Tiga Menteri karena keempat partai tersebut tidak

memenuhi ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan dari Penpres

No.7/1959 dan Perpres No.13/1960 (Nasional, 17 April 1961). Dan ditindaklanjuti

dengan keluarnya Keputusan Presiden No.129 tahun 1961. Prosedur pembubaran

partai-partai yang tidak diakui sama dengan prosedur pembubaran partai yang

serupa sebelumnya.

Tentang penangguhan pengakuan atas penolakan atau penolakan

pengakuan kepada Perti dan Parkindo, bahwa ke dua partai masih diberi

kesempatan untuk mengadakan beberapa penyesuaian kepada persyaratan dan

71

teknis dari Penpres No.7/1959 dan Perpres No.13/1960, dan presiden mengambil

keputusan menangguhkan pengakuan atau penolakan atas pengakuan terhadap

kedua partai itu sampai presiden kembali dari perjalanan ke luar negeri (Obor

Rakyat, 21 April 1960).

Ruslan Abdulgani menerangkan, kepada 8 partai itu berdasarkan “Djarek”,

diberi hak hidup, bergerak dan perwakilan. Pemberian hak hidup dalam rangka

Demokrasi Terpimpin (Nasional, 17 April 1961).

Presiden Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No.128 Tahun 1961

yang ditetapkan pada tanggal 14 April 1961 telah menetapkan: mengakui sebagai

partai sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 4 Peraturan Presiden

No.13/1960, partai-partai : PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partindo, Partai Murba,

PSII dan IPKI (Nasional, 3 Juni 1961). (Kenneth Janda, 1980: 707-709)

Pengakuan disertai ketentuan bahwa partai-partai tersebut wajib memenuhi

ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab 2 Perpres No.13/1960.

Pasal 5

Setiap partai yang sudah diakui, wajib melaporkan setiap 6 bulan sekali kepada

Presiden;

a. hal-hal yang dimaksudkan pada pasal 2 angka 2, 3 dan 4;

b. kekayaan dan masuk keluarnya keuangan. (Sulindo). (Nasional, 3 Juni 1961).

Dengan pengesahan dan pengakuan 8 partai di Indonesia, berdasarkan

Penpres No.7/1959 dan Perpres No.13/1960, baik Ketua Umum PNI Ali

Sastroamidjojo, Wakil Ketua Umum NU Zainul Arifin, maupun Ketua PKI DN

Aidit menunjukkan rasa leganya agar partai dapat giat bekerja dengan landasan

Manipol dan USDEK (Nasional, 17 April 1961).

Ketua Umum PSII Arudji Kartawinata menerangkan, bahwa dalam rangka

follow-up sesudah diadakan pengakuan terhadap 8 partai termasuk PSII, yang

diakui secara sah oleh Presiden/Panglima Tertinggi, PSII menghendaki adanya

reparasi, herordening serta her-orientasi dalam arti kata yang seluas-luasnya

ditubuh partai (Nasional, 16 Juni 1961).

Dengan Keputusan Presiden No.128 Tahun 1961. Partai Komunis

Indonesia (PKI) telah mendapat pengakuan sebagai partai yang memenuhi syarat-

syarat yang ditentukan dalam Penpres No.7/ 1959 dan Perpres No.13/ 1960. Surat

72

Keputusan Presiden telah diterima oleh Pimpinan PKI pada tanggal 25 April 1961

(Nasional, 28 April 1961).

Syarat-syarat menurut ketentuan-ketentuan Penpres No.7/1959 dan Perpres

No.13/1960, yang dipenuhi oleh PKI adalah sebagai berikut:

a. PKI mempunyai 272 cabang yang terdapat di semua Daerah Tingkat I,

yaitu di 22 Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia. Jumlah cabang PKI ini

melebihi seluruh jumlah Daerah Tingkat II (seluruhnya ada 234 Daerah

Tingkat I), karena dibeberapa Daerah Tingkat II dengan berbagai

pertimbangan didirikan lebih dari satu cabang. Tetapi dari seluruh cabang

yang berjumlah 272, yang sudah mendapatkan surat keterangan polisi baru

175 meliputi 193 cabang menurut hasil pemeriksaan Panitia 3 Menteri,

cabang-cabang PKI yang dinyatakan sah terdaftar ada 187 cabang,

terdapat di 169 Daerah Tingkat II dan meliputi semua Daerah Tingkat I,

termasuk Irian Barat.

b. Jumlah anggota PKI seluruhnya lebih dari 1.5 juta dan mendekati jumlah 2

juta. Dari seluruh jumlah anggota yang sudah selesai terdaftar adalah

694.633 orang. Menurut hasil pemeriksaan Panitia 3 Menteri yang

dinyatakan telah terdaftar ialah 468.814 orang.

c. Sebagai pelaksanaan dari pada penyesuaian dengan ketentuan-ketentuan

Pasal 4 dan 9 Penpres No.7/1959 seperti yang diajukan 11 April 1961,

maka Comite Central PKI pada tanggal 2 April 1961 menyatakan telah

mengambil keputusan untuk mencantumkan dalam anggaran dasar PKI

kalimat-kalimat sebagai berikut :

“Seluruh pekerjaan PKI didasarkan atas Teori Merxisme-Leninisme dan

bertujuan dalam tingkat sekarang mencapai sistem demokrasi rakyat di

Indonesia, sedangkan tujuannya yang lebih lanjut ialah mewujudkan

masyarakat sosialis dan masyarakat komunis di Indonesia. Sistem

demokrasi rakyat ialah sistem pemerintahan gotong royong dari rakyat,

sedangkan masyarakat sosialis ialah masyarakat tanpa penghisapan atas

manusia oleh manusia yang disesuaikan dengan azas dan tujuan PKI tidak

bertentangan dengan azas dan tujuan negara dan programnya tidak

73

dimaksud untuk merombak azas dan tujuan negara. PKI dalam

memperjuangkan tujuannya menggunakan jalan-jalan damai dan

demokratis”.

Berdasarkan pernyataan kalimat-kalimat di atas Panitia Tiga

Menteri dan akhirnya Presiden Soekarno telah menganggap PKI

memenuhi syarat-syarat Penpres No.7/1959 dan karena itu dinyatakan

“lulus” diakui sebagai partai. Akan tetapi jika dibahas dengan teliti, maka

kalimat-kalimat itu merupakan suatu monstreuziteit atau mengandung

pertentangan satu sama lain. PKI sama sekali tidak melepaskan pendirian

dan ideologinya sehingga tidak dapat dikatakan ia mengkhianati ajaran-

ajaran komunis. Sebab dalam permulaan pernyataan tadi secara kategoris

dikatakannya: “seluruh pekerjaan PKI didasarkan atas Teori Marxisme-

Leninisme” (Rosian Anwar, 2007: 26-28).

Dilihat dari segala sudut, sebenarnya tidak dapat diterima dan

disetujui apa yang dinamakan oleh Politbiro CC PKI “perubahan anggaran

dasar PKI setelah disesuaikan kepada syarat-syarat Penpres No.7/1959”.

Dengan mulai mengatakan “seluruh pekerjaan PKI didasarkan atas Teori

Marxisme-Leninisme,” maka pada hakikatnya tidak ada satupun konsepsi

yang telah diberikan oleh PKI. Kaum komunis tetap pada pendirian

mereka sedangkan keterangan lain yang menyusul kemudian itu hanyalah

sekedar taktik belaka.

d. Sesuai dengan penjelasan Penetapan Presiden No.7/1959 Pasal 3. Politbiro

CC PKI dengan suratnya pada tanggal 14 April 1961, menyatakan kepada

paduka yang mulia Presiden dan Panitia 3 Menteri bahwa: “Pernyataan

Politbiro CC PKI yang berjudul “PKI sudah lama menerima UUD 1945

dan Pancasila” tertanggal 5 September 1960, Statement CC PKI

tentang “Memperkuat sikap Politbiro CC PKI terhadap Penetapan

Presiden No.7/1959” tertanggal akhir Desember 1960, dan keputusan CC

PKI dalam suratnya No.356/VII/A/L/61 yang ditujukan kepada PJM

Presiden dan Panitia 3 Menteri tertanggal 12 April 1961, merupakan

perubahan-perubahan terhadap kontitusi PKI termasuk preambulnya, yang

74

akan diajukan kepada Kongres Nasional PKI yang akan datang untuk

mendapat pengesahan. Kami mempunyai keyakinan penuh bahwa

pensahan terhadap persoalan-persoaan tersebut pasti akan di dapat dari

kongres”.

(Nasional, 28 April 1961).

Dengan diakuinya PKI sebagai partai yang sah, maka kepada setiap

anggota PKI dituntut keharusan untuk menjunjung tinggi Tri Panji yaitu Panji

Front Nasional, Panji Pembangunan Partai, dan Panji Revolusi Agustus 1945,

dalam rangka perjuangan untuk melaksanakan secara konsekuen Manifesto Politik

dan amanat pembangunan dengan Djarek sebagai pedoman pelaksanaannya.

(Nasional, 28 April 1961).

Pengurus Besar Nahdatul Ulama dalam pengumumannya yang

ditandatangani oleh Ketua Umum KH. Idham Chalid dan Sekjen H. Saifuddin

Zuhri menegaskan, berkenaan dengan ketentuan-ketentuan yang disampaikan oleh

Presiden kepada partai-partai politik pada tanggal 12 April 1961 di Istana

Merdeka mengenai persyaratan yang telah ditentukan oleh Penpres No.7/1959 dan

Perpres No.13/1960. Pengurus Besar Partai Nahdatul Ulama pada tanggal 13

April 1961 sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya oleh Muktamar ke-22

dengan bulat telah menyatakan sikapnya, bahwa segala ketentuan yang

dipersyaratkan oleh Penpres No.7/1959 dan Perpres No.13/1960 dipenuhi

sepenuhnya.

Dengan dipenuhi segala ketentuan yang dipersyaratkan oleh Penpres

No.7/1959 dan Perpres No.13/1960 membawa konsekuensi yang logis, bahwa

dengan sendirinya menyebabkan adanya perubahan atau penyempurnaan

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Nahdatul Ulama.

Anggaran Dasar Nahdatul Ulama setelah disempurnakan sesuai dengan

persyaratan Penpres No.7/1959, yaitu :

I. Pasal 2 Azas dan Tujuan .

Nahdatul Ulama beraszas agama Islam, dan bertujuan :

a) menegakkan syariat Islam dengan berhaluan salah satu dari empat madzab:

Hanafi, Maliki, Sjafi‟ie dan Hambali;

75

b) mengusahakan berlakunya hukum-hukum islam dalam masyarakat, dengan

ketentuan, bahwa azas dan tujuan tersebut tidak bertentangan dengan azas

dan tujuan negara, dan programnya tidak bermaksud merombak azas dan

tujuan negara.

II. Pasal 5 Penyelenggaraan Bidang-Bidang Pokok Usaha.

1) Oleh karena pokok usaha partai mencakup seluruh hajat kehidupan

pribadi, masyarakat dan negara dan meliputi persoalan-persoalan filsafat

hidup, keimanan, kepercayaan, ideologi, peribadatan, akhlak, pendidikan,

sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya, maka penyelenggaraannya

dilakukan secara bersama, serentak sama imbangannya.

2) Dalam memperjuangkan tujuannya Partai Nahdatul Ulama menggunakan

jalan-jalan damai dan demokratis.

III. Pasal 6 Keanggotaan.

1) Tiap warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam dan sudah

berumur 18 tahun atau lebih, yang berhaluan salah satu dari empat

mahzab: Hanafi, Maliki, Syafi‟ie, dan Hambali yang menyatakan

persetujuannya akan azas tujuan dan haluan Partai Nahdatul Ulama dan

menyatakan kesanggupannya untuk menghasilkan tujuan Partai Nahdatul

Ulama, sedangkan ia tidak menjadi anggota partai politik lain atau sesuatu

organisai yang bertentangan dengan politik Nahdatul, maka ia dapat

diterima menjadi anggota.

2) Cara menerima anggota diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

(Nasional, 3 Mei 1961).

Sikap Partai Nahdatul Ulama tersebut diatas berikut Kitab Anggaran Dasar

dan Rumah Tangga yang telah di sempurnakan telah disampaikan kepada

pemerintah (Presiden dan Panitia 3 Menteri) pada tanggal 14 April 1961.

PB NU mendapat mandat penuh dari Muktamar NU ke-22 di Jakarta untuk

menyesuaikan diri dengan politik pemerintah dalam rangka penertiban partai-

partai termasuk perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

Dengan demikian, PB NU bertindak atas nama kongres (Nasional, 3 Mei 1961).

76

Dewan Pimpinan PNI mengumumkan, menurut Keputusan Presiden

Republik Indonesia No.128 Tahun 1961, tanggal 14 April, PNI telah diakui

sebagaimana dimaksudkan Penetapan Presiden No.7/1959 dan Peraturan Presiden

No.13/1969.

Pengakuan resmi menurut Penpres No.7/1959 dan Perpres No.13/1960

didasarkan atas:

1. Cabang-cabang PNI di seluruh Indonesia terdapat di 21 Daerah Tingkat I

sedangkan di seluruh Indonesia ada 22 Daerah Tingkat I.

2. Dari 256 Daerah Tingkat I, PNI mempunyai cabang-cabang ditiap Daerah

Tingkat II, tetapi yang terdaftar dan dimasukkan pada pemerintah dan

“disahkan” oleh Panitia 3 Menteri adalah 180, yaitu ternyata jumlah

terbanyak didalam pendaftaran resmi diantara partai-partai yang disahkan

oleh pemerintah.

3. Adapun jumlah jumlah anggota PNI diseluruh Indonesia yang dimasukkan

pada Panitia 3 Menteri pada tanggal 10 Januari 1961 (jadi PNI adalah

partai yang pertama memasukkan daftar anggota-anggotanya) dan pada

tanggal 16 Januari 1961 untuk sekedar memenuhi jumlah minimum

menurut Penpres No. 7/1959 dan Perpres No.13/1960 adalah 198.554,

sedang jumlah anggota PNI yang telah “diketahui” dan/atau disahkan oleh

polisi setempat ada 1.995.849.

Azas, tujuan dan usaha-usaha PNI yang tercantum dalam Anggaran Dasar

PNI berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2,

1. PNI adalah partai rakyat.

2. PNI menerima dan mempertahankan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia yang memuat dasar-dasar negara, yaitu: Ketuhanan

Yang Maha Esa, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat, Perikemanusiaan dan

Keadilan Sosial yang bertujuan membangun suatu masyarakat adil dan

makmur menurut kepribadian bangsa Indonesia, serta mendasarkan

program kerjanya atas Manifesto Politik Presiden tertanggal 17 Agustus

1959, yang telah dinyatakan menjadi Haluan Negara.

77

Pasal 4,

Asas PNI ialah Marhenisme.

Pasal 5,

Tujuan PNI ialah: (a) kemerdekaan dan kedaulatan yang sempurna serta

kesentosaan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, (b) masyarakat marhenis,

(c) perdamaian dunia yang menjamin hubungan antar bangsa berdasarkan

persamaan hak.

Pasal 9,

Pokok-pokok usaha partai ialah: (a) menyebar, menanam dan melaksanakan cita-

cita marhenisme, (b) menyusun kekuatan massa yan nyata dalam masyarakat, (c)

menyusun kekuatan dalam badan-badan kenegaraan baik legeslatif maupun

eksekutif, (d) bekerjasama dengan lain-lain golongan dan organisasi baik didalam

maupun diluar negeri, dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan tujuan partai,

(e) dalam memperjuangkan tujuannya, PNI menggunakan jalan-jalan damai dan

demokratis.

(Nasional, 4 Mei 1961).

Azas tujuan dan usaha tersebut diatas tidak saja memenuhi Penpres

No.7/1959 dan Perpres No.13/1960, tetapi juga suara bulat Kongres PNI ke-IX di

Surakarta pada bulan Juli 1960, terutama mengenai pasal-pasal tersebut diatas

dimasukkan dalam Anggaran Dasar PNI, karena sesuai dengan pernyataan

Presiden di dalam pidato sambutannya pada Kongres PNI ke IX (Nasional, 4 Mei

1961).

Partai Murba dengan Keputusan Presiden No.128 Tahun 1961 telah

mendapat pengakuan sebagai partai yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam

Penpres No.7/1959 dan Perpres No.13/1960. Partai Murba didirikan dengan

tujuan mempertahankan dan memperkokoh tegaknya kemerdekaan seutuhnya bagi

Republik dan Rakyat, sesuai dengan Dasar dan Tujuan Proklamasi 17 Agustus

1945, menuju masyarakat sosialis.

Ditinjau atas dasar jumlah anggota maupun cabang yang meliputi Daerah

Tingkat II, Partai Murba adalah partai keempat dari delapan partai yang telah

diakui sah berdasarkan Penpres No.7/1959 dan Perpres No.13/1960. Jumlah

78

anggota dan cabang Partai Murba yang telah disahkan oleh Panitia 3 Menteri

adalah: a) anggota 208.152; b) Daerah Tingkat I berjumlah 18; c) Daerah Tingkat

II berjumlah 91.

I. Azas dan Tujuan Partai Murba:

1. Azas Partai Murba tercantum dalam Pasal II Anggaran Dasar yang

berbunyi sebagai berikut :

“Anti-Fasisme, Anti-Imperialisme dan mendasarkan perjuangannya pada

Aksi Murba Teratur”.

2. Tujuan dan cara-cara perjuangan Partai Murba tercantum dalam Pasal III,

Pasal III-A dan Pasal III-B, yang berbunyi :

Pasal III.

Partai mempertahankan dan memperkokoh tegaknya kemerdekaan 100%

bagi Republik dan Rakyat, sesuai dengan Dasar dan Tujuan Proklamasi 17

Agustus 1945 menuju masyarakat adil dan makmur menurut Kepribadian

Bangsa Indonesia, ialah masyarakat sosialis.

Pasal III-A

Untuk mencapai tujuan itu, partai mempertahankan UUD 1945 yang

memuat Dasar-Dasar Negara yang tercantum dalam pembukaan yang

disimpulkan yaitu: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa. 2). Kebangsaan. 3)

Kedaulatan Rakyat. 4) Perikemanusiaan. 5) Keadilan Sosial.

Untuk menyelesaikan Revolusi 17 Agustus 1945, partai mendasarkan

program kerjanya pada Manifesto Politik Presiden pada tanggal 17

Agustus 1959 yang telah menjadi Haluan Negara.

Pasal III-B

Partai memperjuangkan tujuannya dengan menggunakan jalan-jalan damai

dan demokratis.

I. Organisasi Massa Pendukung :

Dalam Anggaran Rumah Tangga Pasal XIV-A dinyatakan, bahwa Partai

Murba mempunyai/mendapat dukunngan organisasi massa ialah : 1)

PARRI (Pemuda Republik Rakyat Indonesia), 2) PERWAMU (Persatuan

79

Wanita Murba) dan 3) PERTA (Persatuan Rakyat Tani), yang masing-

masing mempunyai otonomi penuh AD/ART sendiri.

II. Kongres Partai

Mengenai kewajiban untuk berkongres, sebagaimana diketahui Partai

Murba sudah mengadakan kongresnya yang ke-V yang khusus merupakan

kongres penyesuaian partai menurut Penpres No.7/1959 dan Perpres

No.13/1960 pada bulan Desember 1960 di Bandung dan dimana PJM

Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno telah

berkenan memberikan amanatnya.

Kongres partai tersebut telah mengadakan keputusan perubahan-perubahan

dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai serta

keputusan kepada Kongres Partai ke-V untuk disahkan.

(Nasional, 5 Mei 1961).

Menurut Keputusan Presiden No.128/1961, Partai Indonesia (Partindo)

telah diakui sebagai partai seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 4 Peraturan

Presiden No.13/1960.

Dengan pengakuan dan anjuran dari Panitia Tiga Menteri agar partai-partai

yang telah mendapat pengakuan untuk mengumumkan azas dan tujuannya, maka

Pengurus Besar Partindo mengeluarkan pengumuman yang ditandatangani oleh

Sekjen II Asnawi Asmara Hadi: azas Partindo ialah marhenisme ajaran Bung

Karno, berpedoman Pancasila, tujuan Partindo ialah: menegakkan dan

mempertahankan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945: a. untuk mewujudkan

masyarakat adil dan makmur dalam pengertian/ketentuan-ketentuan sosialisme

Indonesia; b. untuk menggalang perdamaian dunia, yang mampu menjamin

persahabatan dan kerjasama yang baik dalam segala bidang antara bangsa-bangsa

berdasarkan sama hormat, sama hak dan sama wajib.

Ketua Umum Partindo Asmara Hadi, menyatakan terimakasih kepada

semua golongan dan semua uknum yang telah membantu partai di dalam

usahanya sehingga berhasil mencapai syarat-syarat yang diperlukan untuk

mendapat pengakuan yang berwajib. Dengan 250.000 anggotanya Partindo

80

menduduki tempat ketiga, tetapi dilihat tersebarnya dalam daerah Partindo

menduduki tempat ke 7 (Nasional, 27 April 1961).

Dengan Surat Keputusan No.128 Tahun 1961 yang ditetapkan pada

tanggal 14 April 1961 Presiden telah menetapkan: mengakui sebagai partai

sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 4 Peraturan Presiden No.13/1960,

yaitu: Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdatul Ulama (NU), Partai Komunis

Indonesia (PKI), Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), Partai Murba, Partai

Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

(IPKI).

Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Islam Persatuan Tarbiah

Islamiah (Perti) mendapat pengakuan sebagai partai sesuai dengan dalam Pasal 4

Perpres No.13/1960 pengakuan tersebut tercantum dalam Keputusan Nomor 440 -

61 yang ditetapkan tanggal 27 Juli 1961 (Nasional, 29 Juli 1961).

Berdasarkan Surat Keputusan No.128 dan No. 440 Tahun 1961, 10 partai

politik memperoleh pengakuan Presiden masih boleh aktif dalam kegiatan politik

atau memperoleh hak hidup dengan resmi oleh pemerintah, tetapi di daerah-

daerah partai diawasi militer. Kegiatan politik dalam konteks demokrasi Indonesia

masih boleh berjalan asal tidak bertentangan dengan manifesto politik (Yahya A.

Muhaimin, 1982: 111).

PSII sebagai partai yang mendukung Manipol/USDEK menghendaki dan

merasa perlu semua partai yang telah diakui sah “diherorientir”, sehingga dapat

benar-benar membuktikan kepada masyarakat untuk ikut serta dalam berdharma

bakti kepada negara dan bangsa dan merealisasi cita-cita masyarakat adil dan

makmur (Nasional, 16 Juni 1961).

Menurut Mr. Sartono dengan disahkannya 10 partai di Indonesia maka

dengan resmi partai politik diakui sebagai alat revolusi, yang mempunyai

kedudukan sama dengan alat dan lembaga-lembaga negara lainnya (Nasional, 4

Agustus 1961).

Dalam pidato Presiden Soekarno pada hari kemerdekaan tahun 1965

“Capailah Bintang-Bintang di Langit” yang dikutip oleh Herbert Feith & Lance

Castles (1988: 107) dinyatakan bahwa alat-alat negara, organisasi massa, dan

81

partai-partai politik harus mendukung Manipol Usdek, khususnya partai-partai

politik revolusioner sangat efektif untuk mengikutsertakan dan menggerakkan

massa rakyat. Bagi partai-partai anti revolusioner tidak akan bertahan hidup di

Indonesia. Tanggal 21 September 1965 dengan Keputusan Presiden Nomor 291

Tahun 1965, Partai Murba dibubarkan sebelumnya dengan Keputusan Presiden

No.1/KOTI/1965 tanggal 6 Januari 1965. Partai Murba telah dilarang melakukan

kegiatan apapun, pembubaran Partai Murba adalah salah satu puncak usaha PKI

menyingkirkan lawan politiknya. Sedangkan partai politik dan organisasi massa

yang landasan ideologinya berbeda, dilakukan infiltrasi baik fisik maupun

ideologis, agar dapat dikendalikan. Partai politik dan organisasi massa diusahakan

oleh PKI untuk menetralisirnya sehingga maksimal tidak anti PKI, minimal tidak

menghalangi gerakan PKI (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1977: 527).

Partai politik tampak tidak berdaya karena segala kegiatan yang dilakukan

tidak boleh bertentangan dengan Konsepsi Presiden Soekarno, Penetapan Presiden

(Penpres) adalah senjata Soekarno untuk membatasi apapun yang dinilai

menghalangi jalannya revolusi. Penetapan presiden Soekarno tersebut dapat

dilihat pada Penpres tanggal 31 Desember 1959 yang menyangkut persyaratan

partai politik (Rusli Karim, 1983: 142).

Partai politik bukan lagi menjadi saluran utama dalam mencapai jenjang

yang lebih tinggi dalam pemerintahan. Banyak pemimpin partai politik tidak lagi

berwibawa karena mereka tidak boleh mengerahkan pengikutnya dalam

perkumpulan massal, hanya partai-partai atau pribadi lain yang menonjol dalam

mendukung pemerintahan Soekarno yang mampu menjadi saluran tersebut.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, militer tampak menjadi satu-satunya

kekuatan yang solid dan menentukan dalam perpolitikan Indonesia. Dalam

pandangan masyarakat, militer dianggap sebagai mitra dan pelindung dari

tekanan-tekanan yang selama itu dilakukan oleh PKI. Namun sebaliknya, partai-

partai politik menunjukkan kesan negatif di mata rakyat dan militer, karena

cenderung kacau dan bertikai sendiri dalam memperebutkan kepentingan

kekuasaan bagi kelompoknya masing-masing (Arif Yulianto, 2002: 243). Partai

politik dibatasi Soekarno karena ketidakmampuan partai politik yang berjumlah

82

banyak dalam membendung percekcokan antar partai yang akhirnya menimbulkan

ketidakstabilan politik.

C. Pengaruh Diberlakukannya Penyederhanaan Partai Politik

Terhadap Stabilitas Politik

Sistem politik Indonesia, khususnya sebelum tahun 1959, berlaku sistem

pemerintahan parlementer. Pada periode tersebut, berlaku Undang-Undang Dasar

Sementara 1950 (UUDS 1950). Dengan pemberlakuan UUDS 1950, kehidupan

politik saat itu memberikan angin segar bagi tumbuhnya demokrasi liberal. Partai

politik dengan beragam ideologi kepartaian dapat tumbuh subur. Tentang ideologi

kepartaian, Herbert Feith mengungkapkan bahwa ada lima kelompok aliran

politik. Kelima aliran tersebut meliputi: nasionalisme radikal, tradisionalisme

Jawa, Islam, sosialisme demokratis dan komunisme. (Herbert Feith & Lance

Castles, 1988: xxv).

Kehidupan pemerintah (dalam hal ini kabinet) sangat labil. Selama lima

setengah tahun pemberlakuan UUDS 1950, terjadi lima kali pergantian kabinet.

Hal tersebut terjadi karena terdapatnya instabilitas politik sebagai akibat situasi

saling mencurigai antara partai politik yang tidak terkendali. Konflik antar partai

politik semakin nyata ketika dalam satu kabinet, partai politik tidak mencapai

suara mayoritas. Dalam Pemilihan Umum 1955, empat partai politik terbesar yang

ada, pencapaian suaranya adalah 22.3% untuk PNI, 20.9% untuk Masyumi, 16.4%

untuk NU sedang PKI 16.4% (Miriam Budiarjo, 1998: 234). Sedangkan di dalam

dalam perwakilan di parlemen, pada periode 1956, empat partai politik tersebut

memperoleh kursi sebanyak 57 untuk PNI, 57 untuk Masyumi, 45 untuk NU dan

PKI 39 kursi (P.N.H. Simanjuntak, 2003:155).

(http://www.nationsencyclopedia.com/Asia-and-Oceania/indonesia.html, 15 Juni

2009).

Kabinet yang terbentuk pada periode 1957 merupakan koalisi antara satu

atau dua partai politik besar dengan beberapa partai kecil. Dalam koalisi tersebut,

partai-partai politik tidak segan-segan untuk menarik dukungannya sewaktu-

83

waktu. Kenyataan tersebut mengakibatkan jatuh-bangun kabinet ketika terjadi

keretakan dalam koalisi itu sendiri. Selama pelaksanaan sistem parlementer,

Indonesia belum bahkan tidak pernah mengalami pemerintah yang stabil dan

mantap (Miriam Budiarjo, 2008: 436). Keadaan ini menghambat perkembangan

ekonomi dan politik, karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk

melaksanakan program pembangunan.

Sistem politik oleh Presiden kemudian perlu untuk diadakan pembenahan

ke arah yang lebih baik dan pembaharuan dalam struktur politik. Alternatif yang

dirasa tepat oleh Presiden adalah Demokrasi Terpimpin yang ditandai dengan

keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Sukarna, 1990: 45). Dekrit ini membuka

peluang bagi pelaksanaan demokrasi terpimpin yang menurut Soekarno

merupakan sistem politik yang mencerminkan nilai-nilai Indonesia. Dengan

Dekrit Presiden itu memperkenalkan pula sistem pemerintahan baru. Sistem ini

didasarkan pada keseimbangan kekuatan yang ada dengan presiden sebagai

pusatnya (Kenneth Janda, 1980: 707-709)

Kekuatan politik yang sebelumnya tidak begitu berperan, kini mulai

mengambil-alih jalannya sejarah. Di bawah UUD 1945 yang diberlakukan

kembali, Soekarno yang pada masa Demokrasi Parlementer hanya berkedudukan

sebagai simbol, kini menjadi presiden seutuhnya, tokoh yang menguasai, dan

sumber kepemimpinan ideologi (Kenneth Janda, 1980: 707-709). Diakuinya

kembali UUD 1945 juga menaikkan posisi politik militer, dalam hal ini Angkatan

Darat. Angkatan Darat yang sejak diberlakukannya Staat van Oorlog en Beleg

(SOB) tahun 1957 dengan leluasa terjun di bidang non-militer, kini makin

memantapkan kedudukan politik mereka. Di saat mayoritas partai politik

mengalami delegitimasi yang serius, PKI yang bangkit sepanjang dasawarsa

1950-an, memperoleh kesempatan untuk tampil secara fenomenal di panggung

politik.

Dalam pelaksanaannya Demokrasi Terpimpin, Presiden melontarkan

gagasan politik yang terkenal dengan Konsepsi Presiden. Konsepsi Presiden

tersebut terdiri atas dua bagian, yaitu tentang pembentukan :

84

1. Kabinet Gotong Royong yaitu kabinet yang terdiri atas hampir seluruh

kekuatan politik yang ada dalam DPR.

2. Dewan Nasional yaitu badan penasehat dari pemerintah, yang anggotanya

terdiri atas wakil-wakil golongan fungsional (R. Wiyono, 1982: 26).

Pembentukan dua badan tersebut diatas membawa konsekuensi, yaitu :

pertama, tidak ada satu partai politik yang melakukan oposisi. Keadaan tersebut

terjadi karena pada masa ini, presiden memegang posisi puncak membentuk badan

baru yang akan menampung aspirasi massa. Badan itu adalah Front Nasional yang

merupakan penggalang kekuatan dalam masyarakat. Partisipasi rakyat yang

seharusnya tersalur melalui partai politik tidak terealisir. Hal itu disebabkan partai

politik tergabung dalam Front Nasional (Rusadi Kantaprawira, 2006: 99). Kedua,

diakui golongan fungsionil di dalam Dewan Nasional semakin menaikkan citra

golongan ini. Kenyataan lain yang menunjukkan pengakuan golongan fungsionil

berada dalam keanggotaan MPRS dan DPRGR.

Kekuasaan Sukarno dengan Demokrasi Terpimpin-nya, perilaku partai

politik dan elit-elitnya yang tidak memiliki sikap kenegarawan, kemudian

demokrasi parlementer yang mengusung semangat ultra-demokrasi tidak

sepenuhnya sebagai penyebab krisis demokrasi. Mohammad Hatta menunjukkan

kesalahan pada kediktatoran dan para pemangku negara yang sewenang-wenang

menggunakan kekuasaannya tanpa tanggung jawab. Dua sebab inilah yang

dikatakan Hatta sebagai penyebab krisis demokrasi di Indonesia (Sri Edi Swasono

dan Fauzie Ridjal, 1992: 111-113).

Dalam iklim Demokrasi Terpimpin tampak pemerintah lebih

menitikberatkan pembangunan yang berfungsi untuk memperkuat kekuasaan dan

mencari prestise di luar negeri, sehingga pembangunan ekonomi mengalami

kemunduran (Arbi Sanit, 2003: 9). Hal ini, terlihat setelah perlawanan di berbagai

daerah dapat diselesaikan, pemerintah bukan memecahkan masalah-masalah

ekonomi, tetapi membuat isu yang populer tentang pembebasan Irian Barat (Ulf

Sundhaussen, 1986: 276).

Soekarno berusaha memanipulasi massa yang berguna untuk memperkuat

kedudukannya. Dengan kampanye ini, militer meminta alokasi dana yang cukup

85

guna memodernisasi persenjataannya serta dana bagi militer. Tindakan ini

mendapat tentangan dari PKI, bahwa mereka siap menjadi patriotisme bagi

kekuatan Pimpinan Besar Revolusi (Ulf Sundhaussen, 1986: 332).

Ketika masalah Irian Barat dapat diselesaikan pada tahun 1963, rakyat

berharap adanya penanganan yang serius terhadap pembangunan ekonomi.

Pemerintah memang berusaha mengadakan pembenahan dalam pembangunan

ekonomi, dengan bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) menyusun program

stabilitas ekonomi, lalu diikuti Deklarasi Ekonomi (Dekon) dengan tujuan

pembangunan ekonomi melalui jalan kapitalis-liberal (Mohtar Mas‟oed, 1989:

46).

Usaha untuk membangun ekonomi menemui jalan buntu karena kalah

menarik dengan isu ”Ganyang Malaysia”. Dengan adanya penetangan terhadap

Federasi Malaysia, jelas akan menghambat pembangunan ekonomi, karena

donatur untuk membangun berasal dari negara-negara Barat, antara lain: Inggris,

Amerika. Sedangkan pihak lain, politik Indonesia jauh ke kiri (Ulf Sundhaussen,

1986: 292). (http://www.anzacday.org.au/history/confrontation/overview.htm, 15

Juni 2009).

Taktik ini memang sengaja diciptakan oleh PKI dengan memakai nama

besar Soekarno. PKI menegaskan bahwa Federasi Malaysia yang dibentuk tidak

lain adalah bentuk ”pro kolonialisme” yang hendak diselundupkan Inggris ke

Indonesia (Yahya A. Muhaimin, 1982: 133). Isu ini diangkat PKI dengan harapan

dapat menggalang massa, anti-federasi, anti-Inggris, yang pada akhirnya anti

terhadap Kabinet Juanda yang telah bekerja sama dengan Inggris. Kampanye anti

federasi juga bertujuan untuk menciptakan suasana radikal di dalam masyarakat,

sehingga mereka dengan mudah dapat menyingkirkan lawan politiknya,

menentang kebijaksanaan kabinet, bahkan dapat mengungguli Soekarno dalam hal

propaganda (Ulf Sundhaussen, 1986: 293).

Aktor politik memang memandang masalah-masalah ekonomi sebagai hal

yang kurang penting dibandingkan dengan isu politik. Tiga aktor politik berusaha

untuk memperkuat kedudukan politiknya. Karena itu menurut Rusli Karim (1983:

158) pembangunan politik dijaga dengan mengorbankan pembangunan ekonomi.

86

Pengabaian masalah ekonomi Indonesia nyaris ambruk. Pertama, operasi-

operasi militer melawan pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi selama krisis

1957-1958 memaksa pemerintah mengambil jalan menempuh anggaran defisit

yang sangat besar. Masalah defisit diperburuk oleh adanya pembangunan militer

untuk mendukung kampanye Irian Barat dan Ganyang Malaysia, sehingga pada

tahun 1965 defisit meningkat menjadi 174% (Mohtar Mas‟oed, 1989: 47).

Stagnasi ekonomi diperparah dengan sulitnya bantuan ekonomi

internasional. Hal ini karena, Indonesia keluar dari PBB, sehingga IMF yang

merupakan badan pembantu pembangunan di negara-negara berkembang sulit

memberi bantuan kepada Indonesia. Kesulitan keuangan menyebabkan

pembangunan tidak berjalan dengan normal, harga barang-barang pokok sukar

dikendalikan, kondisi perekonomian rakyat jauh dari standar.

Situasi ekonomi yang memang sengaja dibuat oleh PKI diperparah oleh

tindakan-tindakan politis dari Soekarno dan PKI. Dalam percaturan politik

internasional, Soekarno mendirikan New Emerging Forces (NEFO) yang

mencakup negara-negara baru di Asia dan Afrika, Amerika Latin dan Negara-

Negara Sosialis (Mohtar Mas‟oed, 1989: 50). Soekarno juga mengecam

pembentukan Federasi Malaysia sebagai komplotan neokolonialis yang bertujuan

mengepung Indonesia dan menjamin kepentingan Inggris di Asia Tenggara (Ulf

Sundhaussen, 1986: 295).

Tindakan ini diikuti oleh PKI yang bertujuan merongrong kewibawaan

negara dan masyarakat. Organisasi-organisasi PKI seperti CGMI, Lekra, Pemuda

Rakyat, BTI semakin radikal dan agresif dalam melakukan teror terhadap AD dan

organisasi Islam yang selalu dianggap sebagai lawan politiknya yang utama.

Wujud dari tindakan ini diterapkan dengan kasus Jengkol, Kanigoro, dan Bandar

Betsi, dengan umat Islam sebagai sasaran utamanya. Dengan maksud menegakkan

Undang-Undang Land Reform, PKI membagi-bagikan tanah kepada petani yang

tidak memiliki tanah, yang kebanyakan diambil dari perkebunan pemerintah yang

dikelola militer (Mohtar Mas‟oed, 1989: 51).

PKI juga melancarkan tuntutan agar SOKSI, serikat buruh yang

diorganisasi militer dilarang. Tuntutan ini juga disusul dengan serangan bahwa

87

pimpinan AD banyak yang korupsi dan menuduh militer tidak mendukung

sepenuhnya Operasi Ganyang Malaysia (Ulf Sundhaussen, 1988: 318). Isu-isu

PKI inilah yang mnyebabkan hubungan antara militer dan Soekarno bertambah

buruk.

Satu sasaran yang tidak kalah pentingnya adalah HMI yang dicap sebagai

organisasi kedok Masyumi yang telah dilarang. Tuntutan balik terhadap tindakan

sepihak dari PKI dan kondisi perekonomian negara pernah dilontarkan oleh

perorangan maupun massa, tetapi tidak pernah mendapatkan jawaban yang

memuaskan. Harian Merdeka, Berita Indonesia merupakan pers yang sangat dekat

dalam menyuarakan hati nurani rakyat, tetapi sebagai balasannya PKI

memunculkan isu gagasan Soekarno seperti Nasakom yang harus ditegakkan,

sehingga kandaslah tuntutan yang datang dari rakyat (Yahya A. Muhaimin, 1982:

156).

Tuntutan atau protes pernah dilontarkan oleh tokoh-tokoh Liga Demokrasi

seperti Syahrir, Imron Rosyadi dan H. Princen, tetapi mereka malah dijebloskan

dalam penjara tanpa diadili lebih dahulu. Menanggapi tindakan yang demikian,

sekelompok intelektual yang anti komunis mendirikan manifes kebudayaan

(Manikebu), yang menuntut kebebasan mengekspresikan kebudayaan (Ulf

Sundhaussen, 1988: 288).

Puncak tindakan yang sangat radikal adalah pembantaian para Perwira

AD, sebagai pelampiasan terhadap militer yang selalu menghalangi idenya. (G.

Moedjanto, 1992: 141). Pembantaian ini yang membuat marah AD dan semua

rakyat Indonesia terhadap aksi-aksi yang dilakukan PKI. Rakyat yang tergabung

dalam organisasi, seperti KAMI, KAPI, KAPPI, KABI dengan bantuan Angkatan

Darat menuntut pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur PKI dan

perbaikan ekonomi (Yahya A. Muhaimin, 1982: 184).

Tragedi berdarah PKI, yang mengakhiri karir politik Soekarno dan PKI.

Tinggal militer sebagai satu-satunya kekuatan politik yang memegang hegemoni

kekuasaan dengan masa yang disebut ”Pemerintahan Orde Baru”.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari permasalahan yang telah diuraikan dimuka, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Perkembangan partai politik di Indonesia sebelum penyederhanaan partai

politik tahun 1960 ditandai dengan adanya persaingan dari berbagai macam

kekuatan partai politik dalam parlemen. Kemajemukan masyarakat dengan

latar belakang sosial, budaya dan ideologi tercermin dalam parlemen yang

merupakan perwakilan dari partai-partai politik. Selama pemerintahan

demokrasi liberal tidak kurang 25 kabinet yang memerintah, tanpa hasil yang

memuaskan. Tingkat stabilitas ini ditandai dengan partisipasi yang bersifat

destruktif, karena digunakan untuk menjatuhkan pemerintah yang berkuasa

dengan mengungkit-ungkit kelemahannya, tidak untuk memecahkan masalah

yang terjadi dalam masyarakat. Kerjasama sulit dicapai sehingga kabinet

sering jatuh bangun dalam meraih kekuasaan dan membawa dampak buruk

bagi kestabilan politik Indonesia.

2. Partai politik pada masa Demokrasi Terpimpin kehilangan perannya sebagai

kekuatan sosial-politik yang disebabkan kebijaksanaan Soekarno yang

mengontrol ketat partai politik, dengan alasan banyaknya partai akan

mendatangkan konflik ideologi yang berkepanjangan. Tindakan ini juga

dilengkapi dengan pembentukan MPRS, DPAS, DPR-GR dan Front Nasional

di bawah kontrolnya. Soekarno sebagai Presiden menginginkan perbaikan

keadaan politik dengan menunjukkan kekuatannya mengikutsertakan TNI

dan PKI. TNI menjadi dominan karena berbagai prestasinya dalam

mematahkan pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta. PKI karena diberi

keleluasaan untuk berkembang. Di antara kedua kekuatan ini, Soekarno

bertindak sebagai pusat keseimbangan. Dalam kepemimpinannya diambil

kebijakan bagi partai politik dengan penyederhanaan partai politik melalui

88

89

Penpres No.7 tahun 1959 dan Perpres No.13 tahun 1960, serta membubarkan

Partai Masyumi dan PSI yang dianggap terlibat dalam melakukan

pemberontakan pada pemerintahan Indonesia. Dibubarkannya dua partai

tersebut memperkecil jumlah partai menjadi sepuluh partai, diantaranya: PNI,

NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, IPKI,

Parkindo dan Perti.

3. Pengaruh diberlakukannya penyederhanaan partai politik terhadap stabilitas

politik pada masa demokrasi terpimpin menjadikan tingkat stabilitas politik

tidak dapat diandalkan, karena para aktor politik lebih memfokuskan diri

pada aktivitas politik, sedangkan pembangunan ekonomi diabaikan. Kondisi

ini diperparah oleh berbagai tindakan sepihak PKI melalui CGMI, Lekra,

Pemuda Rakyat, BTI yang sangat merugikan Angkatan Darat, organisasi

Islam dan masyarakat. Pengendalian partai politik yang berlebihan dengan

tujuan kestabilan politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi ternyata

telah menimbulkan kekuasaan politik yang terpusat pada satu tangan yaitu

presiden. Akibatnya pemerintah berjalan tanpa kontrol yang berarti. Partai-

partai politik tidak berfungsi sebagai kekuatan sosial politik, sehingga

partisipasi politik yang diharapkan tidak dapat terwujud. Hal ini

menunjukkan stabilitas politik terkesan semu yang berakibat runtuhnya

keinginan untuk membangun suatu kehidupan politik yang demokratis.

B. Implikasi

1. Teoritis

Partai politik merupakan organisasi yang ditujukan untuk mewakili

kepentingan rakyat dalam beropini atau berpendapat. Negara Indonesia sebagai

negara demokratis menganut sistem multi partai yang mana terdiri dari banyak

partai. Pergantian sistem pemerintahan Indonesia membawa perubahan bagi

kehidupan partai politik. Jumlah partai politik yang banyak semakin dibatasi sejak

pengalaman pengalaman pemerintahan demokrasi liberal yang tidak stabil karena

terjadi persaingan antar partai politik dalam meraih kekuasaan. Konflik sering

90

terjadi karena perbedaan cara pandang dalam penyelesaian masalah yang berdasar

pada ideologi masing-masing partai. Dari perjalanan partai politik sejak 1955-

1965 jumlah partai politik menjadi sepuluh partai yaitu PNI, NU, PKI, Partai

Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, IPKI, Parkindo dan Perti. Pada

masa demokrasi terpimpin pemerintah lebih menitikberatkan pembangunan politik

daripada pembangunan ekonomi sehingga stabilitas politik tidak tercapai.

2. Praktis

Implikasi praktis dari hasil penelitian terutama dikaji mengenai

perkembangan partai politik terhadap kehidupan politik di Indonesia. Pengaruh

tersebut dapat dilihat secara positif dan negatif. Secara positif dapat dilihat bahwa

keberadaan partai politik merupakan wadah yang paling tepat dalam menampung

aspirasi atau kepentingan rakyat, partai politik sebagai wujud bentuk partisipasi

rakyat dalam berpolitik. Sistem multi partai yang dilaksanakan ternyata dalam

pelaksanaannya terlalu berlebihan, dalam arti rakyat Indonesia secara serentak

mulai mendirikan partai dengan ideologi masing-masing. Keberadaan partai yang

banyak membawa pengaruh besar bagi terciptanya konflik.

Implikasi di bidang pendidikan politik yang dapat diambil dari penelitian

ini adalah sebagai wacana baru bagi perkembangan demokrasi di Indonesia,

sehingga mampu menilai, memaknai arti demokrasi Indonesia serta mampu

mendorong masyarakat Indonesia untuk membentuk organisasi politik berkualitas

yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat, mampu membina dan berperan serta

bagi perkembangan politik Indonesia.

Implikasi praktis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai

bahan pertimbangan pemerintah Indonesia dalam mengambil kebijakan tentang

kepartaian. Kehidupan partai Indonesia masih belum stabil dan terarah pada

program. Pasang surutnya jumlah partai politik menjadikan rakyat kurang

memahami arti sebenarnya fungsi keberadaan partai politik. Pemerintah Indonesia

harus mampu mengarahkan dan mengawasi partai politik terkait dengan ideologi

politik yang semakin berkembang yang bisa membawa arah pencerahan.

91

C. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat diajukan saran sebagai

berikut :

1) Bagi Peneliti Lain

Bagi peneliti sejarah yang ingin meneliti tentang sejarah Bangsa Indonesia

terutama yang berkaitan dengan partai politik di Indonesia, ternyata masih

banyak tema-tema penelitian tentang partai politik yang patut ditonjolkan

namun belum terungkap secara mendalam dalam penelitian ini, misalnya

tema mengenai pembubaran Partai Masyumi, PSI dan Partai Murba. Oleh

karena itu bagi peneliti yang tertarik untuk meneliti tema-tema tersebut,

hendaknya dikaji secara mendalam.

2) Bagi Mahasiswa

Dalam negara yang demokratis, kebijakan mengenai penyederhanaan

partai politik seharusnya diimbangi dengan situasi dan kondisi partai-

partai yang ada, sehingga tidak ada unsur pemaksaan kehendak terhadap

partai politik yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik baru diantara

unsur-unsur politik. Partai politik diharapkan lebih dapat mewujudkan

program-programnya dan tidak hanya janji dalam kampanye. Partai politik

harus saling bekerjasama dan memahami perbedaan-perbedaan dalam

rangka mewujudkan Indonesia demokratis. Mahasiswa Program Sejarah

sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat menghargai perbedaaan

yang ada dan terbuka satu sama lain agar tercipta kerukunan dan

menghindarkan terjadinya perpecahan. Karena perpecahan hanya akan

menghancurkan kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendiri

bangsa.

3) Bagi Para Pendidik

Saat ini sering terjadi konflik karena terdapat berbagai macam perbedaan.

Sebagai seorang pendidik diharapkan dapat menanamkan kepada para

pelajar rasa saling menghormati dan menghargai. Dengan rasa saling

menghormati dan menghargai dapat mencegah timbulnya pertentangan

92

yang akan mengakibatkan perpecahan. Selain itu juga perlu ditanamkan

sikap mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi

maupun golongan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Abu Ahmadi. 1975. Pengantar Sosiologi. Solo: Ramadhani.

Abu Daud Busroh. 1989. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia. Jakarta: PT.

Bina Aksara.

Afan Gaffar. 1989. Beberapa Aspek Pembangunan Politik. Yogyakarta: UGM

Press.

Afan Gaffar Karim. 1995. Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia.

Yogyakarta LKIS & Pustaka Pelajar.

Alfian. 1980. Pemikiran Dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

_____.1992. Masalah Dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia. Jakarta:

Gramedia.

Ali Murtopo. 1974. Strategi Politik Indonesia. Jakarta: CSIS

Andreas Pandiangan. 1996. Menggugat Kemandirian Golkar. Yogyakarta: Bigraf

Publishing.

Arbi Sanit. 2003. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik

Dan Pembangunan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Arif Yulianto. 2002. Hubungan Sipil Militer Di Indonesia Pasca Orba. Jakarta:

PT. Grafindo Persada.

Depertemen Penerangan. 1991. Ensiklopedi Politik Populer Pembangunan

Pancasila. Jakarta: PT. Sarana Sejati.

Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos

Wacana.

Feith, Herbert. 1962. The Decline Of Constitusional Democracy In Indonesia.

London : Cornell University Press.

_____________. 1971. The Indonesian Elections of 1955. New York: Cornell

University Press

_____________. 1995. Soekarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta:

Sinar Harapan.

93

94

_____________. 1996. Konstitusi dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES.

_____________. 1999. Pemilihan Umum 1955 Di Indonesia. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.

_____________ & Castle, Lane. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965.

Jakarta: LP3ES.

Gabriel Almond. 1990. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik Dan Demokrasi Di

Lima Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Gertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan. Yoyakarta: Yayasan Kanisius.

Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.

Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM

Press.

Hans, D.K., Richard, I.H., Ian B,. 2000. Partai, Kebijakan Dan Demokrasi.

Terjemahan Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Helius Sjamsuddin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan.

_______________ & Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hendropuspito, D.O.C. 1989. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta : Kanisius.

Hidayat Mukmin, Soebijono, A. S.S Tambunan, Roekmini Koesoemo Astoeti.

1992. Dwifungsi ABRI, Perkembangan & Peranannya Dalam Kehidupan

Politik Di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Holtsi. K.J. 1988. Politik Internasional Kerangka Untuk Analisis. Jakarta:

Erlangga.

Ichlasul Amal (ed). 1996. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara

Wacana Yogya.

Imam Pratignyo. 1983. Lahirnya Golkar. Jakarta: Yayasan Bakti.

Isjwara, F. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Binacipta.

Kansil, C.S.T. 1979. Partai Politik Dan Golkar. Jakarta: Aksara Baru.

95

Kartini Kartono. 1990. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar

Maju.

Koentjaraningrat. 1977. Metode-Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Erlangga.

Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Leo Suryadinata. 1992. Golkar dan Milite: Studi Tentang Budaya Politik. Jakarta:

Pustaka LP3ES.

Liddle, R. Willam. 1992. Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik.

Yogyakarta: Kelompok Studi Batas Kota.

Mastenbroek. W.F.G. 1985. Penanganan Konflik dan Pertumbuhan Organisasi.

Jakarta: UI Press.

Maswadi Rauf. 2000. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta:

Direktoral Jendral Pendidikan Tingi Departemen Pendidikan Nasional.

Maurice Duverger. 1981. Partai-Partai Politik Dan Kelompok-Kelompok

Kepentingan. Terjemahan Laila Hasyim. Jakarta: Rajawali.

Miriam Budiarjo. 1998. Partisipasi Dan Partai Politik. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

_____________ . 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Mohtar Mas’oed. 1989. Ekonomi Dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971.

Jakarta: LP3ES.

Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad Ke 20 Jilid II: Dari Perang Kemerdekaan

Sampai Pelita III. Yogyakarta: Kanisius.

Nazarudin Syamsudin. 1993. Dinamika Sistem Politik Indonesia. Jakarta:

Gramedia.

Nugroho Notosusanto. 1971. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan

Sejarah. Jakarta: Dephankam.

Osman Raliby. 1953. Documenta Historica (Sejarah Dokumenter Dari

Pertumbuhan Dan Perjuangan Negara Republik Indonesia). Djakarta:

Bulan Bintang.

Plano, Jack C., Riggs, R. E., Robin H. S,. 1989. Kamus Analisa Politik. Jakarta:

Rajawali.

96

Poewadarminta, W.J.S. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Rafael Raga Maran. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta.

Ramlan Surbakti. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.

Rener, G.J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Rocamora, J. Elisio. 1991. Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan

Runtuhnya PNI 1946-1965. Terjemahan Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti.

Rosian Anwar. 2007. Soekarno–Tentara–PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum

Prahara Politik 1961-1965. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Rusadi Kantaprawira. 1997. Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar.

Bandung: Sinar Baru.

Rusli Karim. 1983. Perjalanan Partai Politik Indonesia: Sebuah Potret Pasang

Surut. Jakarta: PT. Rajawali.

Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.

Jakarta: Gramedia.

Sartono Kartodirjo, Marwati D.P., & Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah

Nasional Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1977. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-

1965. Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset.

Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara Karya

Aksara.

Sills, David L. (ed). 1968. Internasional Encyclopedia of The Social Sciences

Volume 3. New York: The Macmillan Company & The Free Press.

Simanjuntak, P.N.H. 2003. Kabinet-Kabinet Republik Indonesia Dari Awal

Kemerdekaan Sampai Reformasi. Jakarta: Djambatan.

Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (penyunting). 1992. Mohammad Hatta:

Beberapa Pokok Pikiran. Jakarta: UI Press.

Sudijono Sastroatmojo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Press.

97

Sukarna. 1990. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Mandar Maju.

Sundhaussen, Ulf. 1986. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi

Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.

Tuk Setyohadi. 2002. Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia Dari Masa Ke Masa.

Jakarta: CV. Rajawali Cooporation.

Veerger, K.J. 1986. Realitas Sosial (Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan

Individu dan Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi). Jakarta:

Gramedia.

Wiyono, R. 1982. Organisasi Kekuatan Sosial Politik Di Indonesia. Bandung:

Alumni.

Yahya A. Muhaimin. 1982. Perkembangan Militer Dalam Politik Indonesia 1945-

1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Yuwono Sudarsono. 1991. Pembangunan Politik Dan Perubahan Politik. Jakarta:

Obor.

Jurnal :

Confrontation With Indonesia 1962-1966,

(http://www.anzacday.org.au/history/confrontation/overview.htm, (15 Juni

2009)).

Indonesia - Political Parties, (http://www.nationsencyclopedia.com/Asia-and-

Oceania/indonesia.html, (15 Juni 2009)).

Kenneth Janda. 1980. Political Parties: A Cross-National Surve. New York: The

Free Press. (http://www.janda.org/ICPP/ICPP1980/index.htm, (15 Juni

2009)).

Surat Kabar

Sidik Djokosukarto. 1954. Januari 2 “Golongan Yang Ngrakoti Kemerdekaan”.

Suara Rakyat. 1.

“PSI Ranting Bantaran Dibentuk”. 1954. Januari 13. Suara Rakyat. 2.

“Partai Murba Aktif”. 1954. Januari 20. Suara Rakyat. 2.

98

“Masyumi & NU Mengajukan Resolusi Tentang Perkawinan”. 1954. Januari 21.

Suara Rakyat. 2.

“Resepsi PSI 6 Tahun: Pemerintah Utamakan Politik Kuasa”. 1954. Februari 13.

Suara Rakyat. 2.

“Rapat Serentak PSII”. 1954. Maret 1. Suara Rakyat. 1.

“Perlu Dipertahankan Azas PNI Yang Cocok Dengan Jiwa Masyarakat

Indonesia”. 1955. Juli 8. Suara Masyarakat. 2.

Ms. Anshar. 1955. Oktober 11 “Mengapa PSI Kalah Dalam Pemilu?”. Suluh

Indonesia. 3.

“Presiden Soekarno Sarankan Untuk Mengubur Partai”. 1956. Oktober 30.

Harian Umum. 1.

“Kuburkan Semua Partai?”. 1956. Oktober 30. Harian Umum. 1.

“PKI Setujui Ide Presiden”. 1956. Oktober 31. Harian Umum. 1.

Sudarjo Tjokrosisworo. 1957. Januari 23 “Kepartaian Di Indonesia“. Sin Min. 1.

“Rencana Undang-Undang Kepartaian & Penyederhanaan Kepartaian Diterima

Dengan Bulat Oleh Sidang Dewan Pertimbangan Agung”. 1959.

November 26. Nasional. 1.

“Undang-Undang Kepartaian Untuk Hilangkan Sistem Banyak Partai Dalam

Rangka Demokrasi Terpimpin”. 1959. November 26. Nasional. 1.

“Kabinet Setujui Rancangan Peraturan Tentang Syarat-Syarat Penyederhanaan

Kepartaian: Serta Pembentukan Front Nasional Dengan Beberapa

Perubahan”. 1959. Desember 18. Nasional. 1.

“Presiden Soekarno: Partai-Partai Yang Wajar Punyai Hak Hidup”. 1959.

Desember 19. Nasional. 1.

“Syarat-Syarat Dan Penyederhanaan Kepartaian”. 1960. Januari 13. Nasional. 1.

“Ketua I PNI Dr. Isa: Pelaksanaan PP No.7/’59 Harus Secara Bijaksana”. 1960.

Januari 16. Nasional. 1.

“Wali Al Fattaah: PP No.7 tidak merugikan perjuangan Islam”. 1960. Januari 18.

Nasional. 1.

99

“Jalan Penyederhanaan Kepartaian Yang Paling Wajar Dan Demokrasi,

Menurut PKI Ialah Melalui Pemilihan Umum”. 1960. Januari 19.

Nasional. 1.

“Presiden Soekarno Bersama Suwirjo, Idham Chalid, Aidit Dan Ruslan

Abdulghani Akan Ke Tampak Siring Bicarakan Penyusunan DPR Gotong

Royong”. 1960. Maret 12. Nasional. 1.

“105 Kursi Untuk Partai Dan 145 Kursi Golongan Karya Sekitar Pembentukan

DPR Gotong Royong Susunan Lengkapnya Diumumkan Dalam Waktu

Singkat Sebelum Presiden Kelur Negeri”. 1960. Maret 21. Nasional. 1.

“DPR Gotong-Royong Diumumkan 30 Maret Beranggotakan 261 Orang Juga

Susunan PPP Front Nasional Yang Beranggotakan 28 Orang”. 1960.

Maret 24. Nasional. 1.

“Pertemuan Tampak Siring Merupakan Pertemuan Pendapat Dan Pembulatan

Pikiran”. 1960. Maret 26. Nasional. 1.

“Susunan DPR Gotong Royong“. 1960. Maret 30. Nasional. 1.

“Partai Murba Sekitar Parlemen Gotong-Royong - Keterangan Sudijono

Djojoprajitno”. 1960. April 12. Nasional. 1.

“Pemilihan Umum Direncanakan Berlangsung 1962-Keterangan Menteri DS.

Rumambi Sekitar DPR Gotong-Royong”. 1960. April 21. Nasional. 1.

“NU Menerima DPR GR-Dengan Syarat Minta Ditambahkannya Golongan

Islam”. 1960. Mei 17. Nasional. 1.

“Angkatan 45 Sesalkan Kegiatan Liga Demorasi.- Partai Murba : Lahirnya Liga

Demokrasi Wajar”. 1960. Mei 21. Nasional. 1.

“Presiden Soekarno Mengecam Keras Liga Demokrasi”. 1960. Mei 30. Nasional.

1.

“Liga Demokrasi - Junjung Tinggi Norma-Norma Konstitusionil Tentang Segala

Faham Fasis Dan Totaliter Tidakan Anasional Serta Segala Intervensi”.

1960. Mei 31. Nasional. 1.

“Presidium Liga Demokrasi Dipanggil Kejaksaan Agung - Dalam Hubungannya

Dengan Kegawatan Situasi Politik Dewasa Ini“. 1960. Juni 7. Nasional. 1.

“Pemerintah Anjurkan Liga Demokrasi Tinjau Kembali Cara Perjuangannya”.

1960. Juni 27. Nasional. 1.

100

“Peraturan Presiden Tentang Kepartaian Ditetapkan”. 1960. Juli 6. Nasional. 1.

“Penjelasan Perpres No.13 /1960: Yang Dinamakan Partai Sekurang-Kurangnya

Harus Beranggotakan 150.000 Orang”. 1960. Juli 13. Nasional. 1.

“Partai Diberi Kesempatan Adakan Rapat Tertutup-Instruksi Deputi Peperti

Menteri Keamanan Nasional“. 1960. Juli 16. Nasional. 1.

Mohamad Supardi. 1960. Juli 16 “Masalah Kita: Penetapan Presiden No.7 / 1959

Dan Peraturan Presiden No.13 / 1960”. Nasional. 1.

“Hari Kamis Partai-Partai Yang Kena Penpres Harus Tetapkan Sikap-Mengutuk

Atau Tidak Terhadap Pemberontak-DPA, Hari Ini Bicarakan Penpres

7/’59 Dan Perpres 13/1960“. 1960. Juli 19. Nasional. 1.

“Hari Ini Pimpinan Masyumi Dan PSI Menghadap Presiden-Untuk “Ditanting”

Mengutuk Atau Tidak”. 1960. Juli 21. Nasional. 1.

“Sekitar Penpres No.7/’59 Dan Perpres No.13/’1960”. 1960. Juli 21. Nasional, 1.

4

“Diminta 28 Juli Jam 10.00 Memberi Keterangan Kepada Presiden-Terkena

Penpres No.7/1959 Pasal 9 Apa Tidak”. 1960. Juli 22. Nasional. 1.

“Pimpinan Masyumi Dan PSI Di Minta Menyampaikan Pernyataan Tertulis-

Dengan Disertai Bukti-Bukti Terkena Tidaknya Penpres 7/1959 Pasal 9”.

1960. Juli 29. Nasional. 1.

“Presiden Perintahkan Bubarkan Masyumi Dan PSI”. 1960. Agustus 18 Nasional.

1.

“Penjelasan Peperti Tentang Keputusan Pembubaran Masyumi Dan PSI”. 1960.

Agustus 19. Nasional. 1.

“Presiden Menerima Jawaban Naskah Jawaban Parkindo”. 1960. Agustus 23.

Nasional. 1.

“Beberapa Penjelasan Tentang Penetapan Presiden No.7 / 1959”. 1960. Agustus

25. Nasional. 1.

“Parkindo – IPKI Diperbolehkan Jalan Terus-Dengan Syarat Pecat Tidak

Hormat Anggota-Anggotanya Yang Terlibat Dalam Pemberontakan-

Fasilitet Sebulan Diberikan Untuk Sampaikan Pernyataan Tersebut Di

Daerah Bergejolak”. 1960. Agustus 30. Nasional. 1.

101

“Pandam VII Kolonel Pranoto Reksosamudro - Ada Oknum-Oknum Yang Bersih

Sebar Benih Perpecahan. -Semua Anggota Masyumi Dan Psi Di Kenakan

Wajib Lapor - Umum Diminta Turut Menjaga Dan Memelihara

Ketenangan”. 1960. September 12. Nasional. 1.

“Pimpinan Masyumi Dan PSI Di Rinf 13 Dikenakan Wajib Lapor - Juga

Pimpinan GPII, SBII, STII, SDII, HMI, PII, GBS, KBSI, GTI Dan GMS”.

1960. September 13. Nasional. 1.

“Segala Kegiatan Politik Politik Dihentikan Untuk Sementara - Yang Langsung

Atau Tidak Langsung Dapat Mempengaruhi Haluan Negara - Peperti

Keluarkan 3 Peraturan No.6 Dan 7 Tahun 1960”. 1960. September 14 .

Nasional. 1.

“Masyumi Dan PSI Menyatakan Bubar - Surat Pernyataan Resmi Telah

Disampaikan Kepada Peperti - Sidang Peperti Khusus Bahas Pembubaran

Masyumi, PSI”. 1960. September 17. Nasional. 1.

“Partai Dapat Lakukan Kegiatannya Kembali - Tanggal 1 Desember - Harus

Mengindahkan Ketentuan Dalam Peratuaran Peperti No.7/1960”. 1960.

November 18. Nasional. 1.

“Hanya 9 Partai Yang Diajak Rembugan - Untuk Bicarakan Pelaksanaan

Penpres No.7/1959 - Diberi Kesempatan Beberapa Hari Untuk Sesuaikan

AD Dan ART”. 1961. April 12. Nasional. 1.

“8 Partai Diakui, 4 Partai Ditolak, 2 Partai Ditangguhkan Pengakuannya -

Keputusan Presiden Tentang Pengakuan Kepartaian”. 1961. April 17.

Nasional. 1.

“3 Pemimpin Partai Besar Tentang Pengakuan Pengesahan 8 Partai”. 1961.

April 17. Nasional. 1.

“Partindo Diakui Sebagai Partai Yang Mencukupi Syarat-Syarat Menurut

Perhitungan PB-nya, Mempunyai Harapan Besar Untuk Menjadi Partai

Ketiga”. 1961. April 27. Nasional. 1.

“Pernyataan Politbiro CC PKI - PKI Diakui Menurut Ketentuan-Ketentuan

Penpres No.7/1959 Dan Perpres N0.13/1960”. 1961. April 28. Nasional.

2.

“NU Telah Penuhi Syarat-Syarat Yang Ditentukan Penpres No.7/1959 Dan

Perpres No.13/1960”. 1961. Mei 3. Nasional. 2.

“Pengumuman PNI Tentang Asas Dan Tujuannya”. 1961. Mei 4. Nasional. 2.

102

“Penjelasan D.P “Partai Murba” - Partai Murba Diakui Syah Atas Dasar

Penpres No.7/1959 Dan Perpres No.13/1960”. 1961. Mei 5. Nasional. 2.

“Keputusan Presiden Tentang Pengakuan 8 Partai: PNI-NU-PKI-Katolik-

Partindo-Murba-PSII dan IPKI”. 1961. Juni 3. Nasional. 1.

“Arudji Menghendaki Diadakan Herordening Partai-Partai”. 1961. Juni 16.

Nasional. 1.

“Parkindo dan Perti Dapat Pengakuan Sebagai Partai Sesuai Dengan Perpres

No.13/1960”. 1961. Juli 29. Nasional. 1.

“Mr. Sartono: Partai Politik Alat Revolusi Yang Sah Sebagai Pelaksana

Ketetapan MPRS - PNI Partai Kiri Yang Radikal Revolusioner”. 1961.

Agustus 4. Nasional. 1.

“Rumus Penyederhanaan Kepartaian”. 1960. Januari 15. Obor Rakyat. 1.

“Hanya 9 Partai Di Beri Kesempatan - Menyesuaikan Diri Dengan Penpres

No.7/1959”. 1961. April 14. Obor Rakyat. 1.

“Menurut Keputusan Presiden: 8 Diakui, 4 Tidak, 2 Ditangguhkan - Yang Diakui

Berarti Merubah AD/ART-nya Sesuai Dengan Penpres No.7/1959 Dan

Perpres No.13/1960”. 1961. April 21. Obor Rakyat. 1.