FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN...
Transcript of FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN...
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
ANEMIA PADA BALITA USIA 12-59 BULAN DI INDONESIA
(ANALISIS DATA RISKESDAS 2013)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
ANJAR NOFIANI
1111101000052
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1463 H/ 2015 M
i
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, Juni 2015
Anjar Nofiani, NIM : 1111101000052
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Balita Usia 12-59 Bulan di
Indonesia (Analisis data Riskesdas 2013)
xvi + 122 halaman, 9 tabel, 2 bagan, 3 lampiran
ABSTRAK
Prevalensi anemia pada balita di Indonesia mengalami peningkatan dari
tahun 2006 sebesar 26,3% menjadi 28,1% pada tahun 2013. Diketahui bahwa
anemia dapat berdampak pada perkembangan dan fungsi kognitif yang terhambat
serta menurunkan fungsi imun. Hasil penelitian menunjukkan anemia balita dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor baik disebabkan karena karakteristik balita itu
sendiri, faktor maternal, maupun sosiodemografi. Namun masih terdapat hasil
penelitian yang kontradiktif sehingga penelitian ini perlu dilakukan agar dapat
diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia balita di Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan faktor
yang berhubungan dengan anemia pada balita. Penelitian ini merupakan analisis
lanjut dari Riskesdas tahun 2013. Desain yang digunakan adalah cross-sectional
dengan jumlah responden 884 ibu balita. Kemaknaan hubungan dilihat
menggunakan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) yang diperoleh
dari uji chi square.
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa prevalensi anemia balita
mencapai 31,56%. Umur balita kurang dari 36 bulan [OR 2,62 (1,96-3,50)],
BBLR [OR 2,62 (1,96-3,50)], sunting [OR 1,36 (1, 01-1,85)], dan tidak Imunisasi
DPT [OR 1,80 (1,15-2,84)] berhubungan signifikan dengan kejadian anemia
balita.
Oleh karena itu disarankan kepada Dinas Kesehatan di kabupaten/kota
untuk melakukan pemeriksaan anemia usia 9-12 bulan dan usia 15-18 bulan atau
pemeriksaan tambahan setiap 1 tahun sekali pada usia 2-5 tahun sebagai bagian
dari upaya penyelenggaraan Kesehatan Ibu dan Anak.
Daftar Bacaan :64 (1997 – 2015)
Kata Kunci : Anemia, balita, prevalensi, faktor yang berhubungan
iii
ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
SPECIALIZATION OF EPIDEMIOLOGY
Undergraduate Thesis, June 2015
Anjar Nofiani, NIM : 1111101000052
Associated Factors with Anemia Among Toddler 12–59 Months Old In Indonesia
(Basic Health Survey 2013)
xvi+ 122 pages, 9 tables, 2 chart,3 attachments
ABSTRACT
The prevalence with Anemia in Indonesia has increased from 26,3% in
2006 to 28,1% in 2013. It is well known that anemia leads to damaging
consequences such as hindered physical and cognitive development and weakened
immune system. The results showed anemic children can be affected by various
factors caused both children characteristic, maternal and sociodemographic
factors. Previous study showed contadictive result, so that this research needs to
be done in order to know the associated factors of anemia among toddler in
Indonesia.
The purpose of this study were to determine the prevalence and associated
factors with anemia among toddler. This study is a further analysis of basic health
survey 2013. The design was cross-sectional with a number of respondents was
884 mothers. Significance relationship seen using 95% Confidence Interval (CI)
were obtained from the chi square test.
Based on the result, prevalence of anemia was 31,56%. Aged less than 36
months [OR 2.62 (1.96 to 3.50)], LBW [OR 2.62 (1.96 to 3.50)], stunting [OR
1.36 (1, 01- 1.85)], and no Immunization DPT [OR 1.80 (1.15 to 2.84)] were
significantly associated with anemia.
It is recommended to the Health Department in the district to check
hemoglobin initially between the ages of 9 to 12 months and 15-18 months or
screening between the ages of 1 and 5 years to effort implementation of Maternal
and Child Health Care.
References : 64 (1997 – 2015)
Keywords : Anemia, toddlers, prevalence, associated factors
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA PADA
BALITA USIA 12-59 BULAN DI INDONESIA TAHUN 2013 (ANALISIS
DATA RISKESDAS 2013)
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Juli 2015
Mengetahui
v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Identitas Pribadi
Nama : Anjar Nofiani
TTL : Bogor, 22 November 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Direktorat Polisi Satwa RT 02/ RW 14 No. 32 Depok
No.Tlp : 081806215939
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
2011-sekarang : S1- Peminatan Epidemiologi, Program Studi Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
2008-2011 : SMK Analis Kesehatan DITKESAD, Jakarta Timur
2005-2008 : SMPN 103 Jakarta Timur
1999-2005 : SDN Tugu 5 Kota Depok
Publikasi Jurnal
2015 : Pengetauan, Sikap dan Perilaku Ibu Terkait Pemberian
Imunisasi pada anak 12-48 bulan di Kecamatan Pamulang,
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013 (Presentasi oral di
Bangkok, Thailand)
vii
Pengalaman Penelitian
2015 : Faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada balita
usia 12-59 bulan di Indonesia (Analisis data Riskesdas 2013)
2014 : Masalah kesehatan perempuan dan pencarian pengobatan pada
mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2014
2014 Penyusunan Rencana Program Penanggulangan Status Gizi
Kurang Dan Gizi Buruk Pada Balita Di Kelurahan Bakti Jaya,
Muncul Keranggan Kecamatan Setu, Kota Tanggerang
Selatan Tahun 2014 (pendekatan one health)
2014 Cakupan Layanan Posyandu Terkait Gizi dan Analisis Spasial
Luas Jangkauan Layanan Posyandu Pada Kasus Gizi Kurang
dan Gizi Buruk Balita (Studi Ekologi Di Kelurahan
Keranggan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan Tahun
2014)
2014 : Peran Pusat Penanggulangan Krisis Regional Jakarta dalam
Manajemen Bencara tahun 2013
2013 : Pelaksanaan Surveilans Kanker Payudara di Suku Dinas
Kesehatan Jakarta Selatan Tahun 2013
2013 : Pengetauan, Sikap dan Perilaku Ibu Terkait Pemberian
Imunisasi pada anak 12-48 bulan di Kecamatan Pamulang,
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
Pengalaman Organisasi
2013-2014 : Anggota Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia
Epidemiologi Student Assosiation (ESA)
Pengalaman Kepanitiaan
2014 : Anggota tim riset Seminar Profesi Kesehatan Masyarakat
Peminatan Epidemiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengalaman Kerja
2015 : Praktik Kerja Lapangan di Dinas Kesehatan Kota Depok
2014 : Pengalaman Belajar Lapangan di Puskesmas Ciputat Timur,
Kota Tanggerang Selatan
viii
2014 : Orientasi Kerja di Suku Dinas Kesehatan Kota Jakarta Selatan
2011 : Freelancer tenaga analis kesehatan di Tirta Medical Center
Laboratorium Kuningan
2011 : Freelancer tenaga pengajar di Rumah Baca Panter, Depok
2010 : Praktik Kerja Lapangan di Laboratorium Rumah Sakit Haji
Jakarta
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT. atas rahmat dan karuniaNya sehingga laporan
penelitian ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan skripsi dengan
judul ―Faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada balita usia 12-59
bulan di Indonesia tahun 2013” ditujukan untuk menjelaskan secara ilmiah faktor-
faktor apa saja yang berhubungan dengan anemia pada balita di Indonesia,
sehingga kedepannya diharapkan dapat dilaksanakan penanggulangan dan
pengendalian yang tepat.
Penulis sangat menyadari bahwa laporan skripsi ini tidak akan terselesaikan
tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Orangtua yang senantiasa memberikan dukukungan moral, materi dan doa
yang tiada henti sehingga penulis menjadi lebih bersemangat dalam
menyelesaikan proposal skripsi ini.
2. Ibu Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D dan Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku
dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran, arahan dan
motivasi.
3. Laboratorium data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik
Indonesia yang telah memenuhi permintaan data Riskesdas tahun 2013
sebagai bahan penelitian.
4. Ibu Febrianti , M.Si, ibu Catur Rosidati, MKM, dan Ibu Farihah Sulasiah,
MKes, selaku dosen penguji sisang skripsi yang telah memberikan saran dan
arahan untuk perbaikan.
x
5. Ibu Iting Shofwati, MKKK selaku dosen penasihat akademik yang telah
memberikan saran dan motivasi selama proses perkuliahan.
6. Seluruh teman-teman kesmas angakatan 2011 khususnya untuk peminatan
epidemiologi yang selalu memberikan dukungan dan motivasi.
7. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan skripsi
ini, dimana tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Dalam pembuatan skripsi ini tentu masih memiliki keterbatasan dan perlu
perbaikan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kemajuan penelitian selanjutnya.
Ciputat, Juni 2015
Anjar Nofiani
xi
LEMBAR PERSEMBAHAN
Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT sang
pencipta alam semesta kupersembahkan tulisan ini untuk
setiap tetes keringat dan letih bapak yang tiada terhitung
untukku dan untuk setiap doa dan pelukan hangat dari
mama. Terimakasih atas kasih sayang yang selalu kalian
berikan untukku, tiada kata yang mampu menggambarkan
rasa syukurku memiliki orangtua seperti kalian. Tak
mungkin dapat terbalaskan hanya dengan selembar kertas
ini. Namun semoga ini menjadi langkah awal untuk
membuat kalian bangga…
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................. Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK .......................................................................................................... ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ...................................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix
LEMBAR PERSEMBAHAN .............................................................................. xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xii
DAFTAR BAGAN ............................................................................................ xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 17
A. Latar Belakang ........................................................................................ 17
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 3
C. Pertanyaan Penelitian ................................................................................ 4
D. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1. Tujuan Umum ........................................................................................ 5
2. Tujuan Khusus ....................................................................................... 5
E. Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
1. Manfaat bagi Kementrian Kesehatan ...................................................... 6
2. Manfaat bagi Dinas Kesehatan di Indonesia ........................................... 6
3. Manfaat bagi Peneliti Selanjutnya .......................................................... 6
F. Ruang lingkup ........................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 7
A. Anemia ..................................................................................................... 7
1. Definisi Anemia ..................................................................................... 7
2. Etiologi Anemia ..................................................................................... 7
B. Karakteristik Balita ................................................................................. 10
1. Umur Balita ......................................................................................... 10
2. Jenis Kelamin ...................................................................................... 11
3. Berat Badan Lahir ................................................................................ 12
xiii
4. Riwayat Penyakit Malaria .................................................................... 12
5. Status Gizi ........................................................................................... 14
6. Status Pemberian Vitamin A ................................................................ 16
7. Status Imunisasi DPT ........................................................................... 17
C. Faktor Maternal ....................................................................................... 17
1. Pendidikan Ibu ..................................................................................... 17
2. Pekerjaan Ibu ....................................................................................... 19
3. Umur Ibu ............................................................................................. 20
D. Sosiodemografi ....................................................................................... 21
1. Jumlah Keluarga .................................................................................. 21
2. Tempat Tinggal ................................................................................... 22
E. Kerangka Teori ....................................................................................... 24
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPRASIONAL DAN HIPOTESIS
.......................................................................................................................... 25
A. Kerangka Konsep .................................................................................... 25
B. Definisi Oprasional ................................................................................. 26
C. Hipotesis ................................................................................................. 30
BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 31
A. Desain penelitian ..................................................................................... 31
B. Waktu dan lokasi penelitian ..................................................................... 31
C. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................... 31
D. Metode Pengumpulan Data...................................................................... 35
E. Pengukuran Variabel Penelitian ............................................................... 36
F. Manajemen Data ..................................................................................... 39
G. Analisis Data ........................................................................................... 44
BAB V HASIL .................................................................................................. 46
A. Prevalensi Kejadian Anemia pada Balita di Indonesia Tahun 2013 .......... 46
B. Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Karakteristik Balita di Indonesia
Tahun 2013 .................................................................................................... 46
C. Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Faktor Maternal dan Faktor
Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ............................... 48
D. Hubungan Kejadian Anemia dengan Karakteristik Balita di Indonesia
Tahun 2013 .................................................................................................... 50
xiv
E. Hubungan Kejadian Anemia dengan Faktor Maternal dan Faktor
Sosiodemografi pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ..................................... 52
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................. 55
F. Keterbatasan Penelitian ........................................................................... 55
G. Prevalensi Kejadian Anemia pada Balita di Indonesia Tahun 2013 .......... 56
H. Gambaran Kejadian Anemia Berdasarkan Karakteristik Balita di Indonesia
Tahun 2013 .................................................................................................... 59
D. Gambaran Kejadian Anemia Berdasarkan Faktor Maternal dan
Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ............................... 64
E. Hubungan Kejadian Anemia Berdasarkan Karakteristik Balita di Indonesia
Tahun 2013 .................................................................................................... 68
F. Hubungan Kejadian Anemia Berdasarkan Faktor Maternal dan
Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ............................... 81
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 89
A. Simpulan ................................................................................................. 89
B. Saran ....................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 92
LAMPIRAN ...................................................................................................... 97
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2. 1 Kaerangka Teori ............................................................................... 24
Bagan 3. 1 Kerangka Konsep ............................................................................. 25
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 4. 1 Jumlah Sampel Penelitian ................................................................. 34
Tabel 4. 2 Variabel dan Kuesioner .................................................................... 40
Tabel 4. 3 Pengkodean Ulang Data Penelitian ................................................... 41
Tabel 4. 4 Variabel Baru dalam Data Penelitian ................................................ 43
Tabel 5. 1 Prevalensi Kejadian Anemia pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ... 46
Tabel 5. 2 Distribusi Kejadian Anemia berdasarkan Karakteristik Balita di
Indonesia Tahun 2013....................................................................... 46
Tabel 5. 3 Distribusi Kejadian Anemia berdasarkan Faktor Maternal dan Faktor
Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ................. 49
Tabel 5. 4 Hubungan Kejadian Anemia dengan Karakteristik Balita di Indonesia
Tahun 2013 ...................................................................................... 50
Tabel 5. 5 Hubungan Kejadian Anemia dengan Faktor Maternal dan Faktor
Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013 ................. 53
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara global, prevalensi anemia pada anak-anak usia pra-sekolah
berdasarkan laporan WHO tahun 1993-2005 mencapai 47,4% (WHO,2008),
sedangkan di Indonesia berdasarkan survei masalah gizi mikro di 10 provinsi
pada tahun 2006 menemukan 26,3% balita mengalami anemia (Kemenkes,
2013). Prevalensi anemia balita di Indonesia mengalami peningkatan pada
tahun 2013 menjadi 28,1% berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) (Kemenkes RI, 2013). Selain itu hasil South East Asian
Nutritional Survey (SEANUTS) pada tahun 2011 menemukan angka
prevalensi anemia di Indonesia pada anak berusia < 2 tahun sebesar 55%
(Sandjaja dkk, 2013).
Penelitian Santos (2011) menjelaskan bahwa anemia mengakibatkan
kurangnya asupan oksigen ke jaringan tubuh terutama jaringan otak. Pada
anak-anak di bawah usia lima tahun kekurangan oksigen ke jaringan otak
dapat mengakibatkan menurunnya fungsi kognitif, menghambat pertumbuhan
dan perkembangan psikomotorik. Hal ini juga telah dibuktikan dengan
eksperimen pada hewan percobaan, hasilnya menunjukkan bahwa hewan yang
anemia mengalami penurunan aktivitas spontan (Booth dan Auket, 1997).
Anemia pada balita juga dapat menganggu sistem imun sehingga mudah
terserang penyakit infeksi (Sanou dan Ngnie-Teta, 2012).
2
Anemia pada balita dipengaruhi oleh berbagai faktor. Fakor yang dapat
mempengaruhi terjadinya anemia yaitu karakteristik balita itu sendiri seperti
usia (Ayoya dkk, 2013; Leite dkk, 2013; Ewusie dkk, 2014; Santos dkk, 2011)
jenis kelamin (Habte dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014), berat badan lahir (Leite
dkk, 2013), riwayat penyakit malaria (Ewusie dkk, 2014; Green dkk, 2011),
status gizi balita berdasarkan indikator berat badan per usia (BB/U) (Leite
dkk, 2013), tinggi badan per usia (TB/U) (Ayoya dkk, 2013), berat badan per
tinggi badan (BB/TB) (Leite dkk, 2013), vitamin A (Semba dkk, 2002; Habte
dkk, 2013; Amati dkk, 2013) dan imunisasi DPT (Habte dkk, 2013). Namun,
beberapa penelitian tidak menemukan hubungan antara usia balita (Habte dkk,
2013), jenis kelamin (Kumar dkk, 2014; Ewusie dkk, 2014), berat badan lahir
(Ewusie dkk, 2014), riwayat penyakit malaria (Kounnavong dkk, 2011; Leite
dkk, 2013), BB/U (Ayoya dkk, 2013), TB/U (Leite dkk, 2013) BB/TB (Ayoya
dkk, 2013) dan vitamin A (Woodruff dkk, 2005).
Selain karakteristik balita, faktor maternal dapat menjadi fakor risiko
anemia balita. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa prevalensi anemia
balita ditemukan lebih besar pada ibu yang tidak sekolah (Leite dkk, 2013;
Habte dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014). Pada penelitian di populasi lain, anak-
anak akan semakin berisiko tinggi mengalami anemia apabila memiliki ibu
yang buta huruf (Assefa dkk, 2014; Guatema dkk, 2014). Selain itu, anemia
balita ditemukan lebih tinggi pada ibu yang bekerja (Baranwal dkk, 2014).
Akan tetapi tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara anemia
balita dengan status pekerjaan ibu (Kounnavong dkk, 2011). Anemia pada
balita juga ditemukan lebih besar pada kelompok usia ibu yang lebih muda,
3
yaitu 15-19 tahun (Habte dkk, 2013). Namun, berdasarkan penelitian di Brazil
dan Kuwait tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anemia pada balita
dengan usia ibu (Konstantyner dkk, 2011; Al-Qaoud dkk, 2014).
Selain faktor maternal, status sosial dan demografi juga dapat
mempengaruhi anemia pada balita. Jumlah keluarga 5 juga memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia pada balita (Leite dkk,
2013) anak-anak yang berasal dari jumlah keluarga <5 memiliki efek proteksi
terhadap anemia (Guatema dkk, 2014). Prevalensi anemia di Indonesia pada
wilayah perkotaan ditemukan lebih tinggi yaitu 30,3% dibandingan dengan
wilayah pedesaan yaitu sebesar 25,8% (Kemenkes RI, 2013). Akan tetapi
penelitian di negara Malaysia, India dan Kenya menemukan bahwa wilayah
pedesaan lebih berisiko untuk menimbulkan anemia (Ngui dkk, 2012; Foote
dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, masih terdapat hasil yang
kontradiktif, sehingga penelitian ini perlu dilakukan agar dapat diketahui
dengan jelas faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia balita di
Indonesia. Penelitian ini menggunakan data survei Riskesdas tahun 2013 yang
dapat mencakup seluruh wilayah di Indonesia sebagai bahan analisis. Analisis
ini dapat memberikan gambaran awal faktor yang dapat mempengaruhi
anemia pada balita di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Prevalensi anemia pada balita di Indonesia mengalami peningkatan
berdasarkan survei dari tahun 2006 dan tahun 2013. Hasil penelitian
menunjukkan anemia balita dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik
4
disebabkan karena karakteristik balita itu sendiri, faktor maternal, maupun
sosiodemografi. Walaupun begitu beberapa peneilitian justru menunjukkan
hasil yang kontradiktif terhadap hal tersebut sehingga belum ada konsistensi
terkait faktor risiko anemia balita, sehingga penelitian untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia balita di Indonesia dirasa
penting untuk dilakukan.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimankah prevalensi kejadian anemia balita di Indonesia berdasarkan
data Riskesdas tahun 2013?
2. Bagaimanakah distribusi kejadian anemia balita berdasarkan karakteristik
balita (jenis kelamin, usia, berat badan lahir, riwayat penyakit malaria,
status gizi, status pemberian vitamin A dan status imunisasi DPT) di
Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013?
3. Bagaimanakah distribusi kejadian anemia balita berdasarkan faktor
maternal (pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan usia ibu) dan faktor
sosiodemografi (jumlah keluarga dan tempat tinggal) di Indonesia
berdasarkan data Riskesdas tahun 2013?
4. Bagaimanakah hubungan antara kejadian anemia balita dengan
karakteristik balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat penyakit
malaria, status gizi, status pemberian vitamin A dan status imunisasi DPT)
di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013?
5. Bagaimanakah hubungan antara kejadian anemia balita dengan faktor
maternal (pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan usia ibu) dan faktor
5
sosiodemografi (status ekonomi, jumlah keluarga, tempat tinggal) di
Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada
balita usia 12-59 bulan di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun
2013.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya prevalensi kejadian anemia balita di Indonesia
berdasarkan data Riskesdas tahun 2013
b. Diketahuinya distribusi kejadian anemia balita berdasarkan
karakteristik balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat
penyakit malaria, status gizi, status status pemberian vitamin A dan
status imunisasi DPT) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun
2013
c. Diketahuinya distribusi kejadian anemia balita berdasarkan faktor
maternal (pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan usia ibu) dan faktor
sosiodemografi (jumlah keluarga dan tempat tinggal) di Indonesia
berdasarkan data Riskesdas tahun 2013
d. Diketahuinya hubungan antara kejadian anemia balita dengan
karakteristik balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat
penyakit malaria, status gizi, status status pemberian vitamin A dan
status imunisasi DPT) di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun
2013
6
e. Diketahuinya hubungan antara kejadian anemia balita dengan faktor
maternal (pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan usia ibu) dan faktor
sosiodemografi (jumlah keluarga dan tempat tinggal) di Indonesia
berdasarkan data Riskesdas tahun 2013
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Kementrian Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam
pembuatan program pencegahan dan penanggulangan masalah anemia di
Indonesia, khususnya dalam menentukan program yang tepat untuk
kesehatan balita.
2. Manfaat bagi Dinas Kesehatan di Indonesia
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam
memberikan intervensi yang tepat dalam menyelesaikan masalah anemia
pada balita di masing-masing wilayah otoritas dinas kesehatan.
3. Manfaat bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan referensi terkait faktor
risiko kejadian anemia pada balita sebagai dasar pengembangan penelitian
lebih lanjut.
F. Ruang lingkup
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain
cross sectional. Penelitian ini dan menggunakan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 sebagai bahan analisis lanjut untuk menjawab
pertanyaan penelitian dan dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2015.
7
Responden dalam penelitian ini adalah wanita usia 10-54 tahun dan unit
analisisnya adalah balita usia 12-59 bulan yang berjumlah 884.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anemia
1. Definisi Anemia
Menurut WHO, anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel
darah merah atau kapasitas oksigen tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis, yang bervariasi menurut umur, jenis kelamin,
ketinggian, merokok, dan status kehamilan (WHO, 2014). Anemia adalah
penurunan jumlah sel darah merah atau penurunan konsentrasi hemoglobin
di dalam sirkulasi darah. Anemia dapat terjadi pada semua tahap
kehidupan, tetapi lebih umum terjadi pada anak-anak dan wanita hamil.
Berikut adalah kategori status anemia berdasarkan kadar hemoglobin pada
balita usia 6-59 bulan (WHO, 2008):
a. Normal : 11 gr/dl
b. Anemia ringan : 10-10,9 gr/dl
c. Anemia sedang : 7-9,9 gr/dl
d. Anemia berat : < 7 gr/dl
2. Etiologi Anemia
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu gangguan
pembentukan eritrosit, perdarahan dan hemolisis. Gangguan pembentukan
eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi tertentu seperti mineral
(besi, tembaga), vitamin (A, B12, asam folat), asam amino, serta gangguan
pada sumsum tulang. Kemudian perdarahan baik akut maupun kronis
9
mengakibatkan penurunan total sel darah merah dalam sirkulasi darah
yang menyebabkan anemia serta hemolisis yaitu proses penghancuran
eritrosit (Hensbroek dkk, 2010).
Pendapat lain mengatakan bahwa anemia dapat diklasifikasikan
menurut produksi eritrosit (eritropoiesis) yaitu sebagai akibat gangguan
proliferasi prekursor-sel darah merah atau saat pematangan eritrosit,
meningkatnya proses penghancuran sel darah merah (hemolisis) atau
kehilangan darah atau keduanya. Proses ini secara umum ditentukan oleh
gizi, penyakit menular, dan genetik. Meskipun defisiensi besi diduga
menjadi penyebab utama anemia, namun keterbatasan indikator dalam
mengukur status zat besi pada tingkat populasi dan keterbatasan data yang
ada, sehingga defisiensi besi hanya diperkirakan saja (Balarajan, 2011).
Sembulingan dkk (2011) juga berpendapat bahwa secara umum
anemia disebabkan karena penurunan produksi sel darah merah,
peningkatan hemolisis dan perdatahan. Klasifikasi anemia dapat dibagi
menjadi dua, yaitu berdasarkan morfolgi dan etiologinya. Morfologi
klasifikasi yaitu berdasarkan ukuran dan warna sel darah merah.
Sedangkan berdasarkan etiologinya anemia dibagi menjadi anemia
hemoragik, anemia hemoloitk, anemia defisiensi zat gizi, anemia aplastik
dan anemia akibat penyakit kronis.
10
B. Karakteristik Balita
1. Umur Balita
Umur balita memiliki keterikatan dengan kejadian anemia. Balita
yang memiliki usia lebih tua dapat memiliki tingkat toleransi yang lebih
baik terhadap makanan yang mengandung besi serta peningkatan
kekebalan tubuh sehingga terlindungi dari penyakit infeksi yang dapat
menyebabkan anemia (Habte dkk, 2013). Beberapa penelitian menemukan
hubungan yang signifikan dengan umur balita (Leal dkk, 2011; Ayoya
dkk, 2013; Ewusie dkk, 2014; Santos dkk, 2011) dan balita yang berumur
<24 bulan lebih berisiko menderita anemia (Foote dkk, 2013). Pada hasil
penelitian di kota Gaza, Palestina, rata-rata anak-anak dalam komunitas ini
adalah 1,75 tahun, penjelasan mengenai penurunan kadar hemoglobin pada
anak-anak ini yaitu anak-anak sedang berada pada periode ledakan
pertumbuhan yang cepat tetapi kebutuhan gizi untuk pembentukan sel
darah merah tidak terpenuhi (Alzain, 2012).
Kelompok umur dibawah 24 bulan berisiko 2,6 kali lebih besar
mengalami anemia (p : 0,000 CI 1,7-3,8) (Assefa dkk, 2014). Berdasarkan
hasil penelitian, semakin tua umur anak maka akan memiliki efek proteksi
terhadap anemia (Leite dkk, 2013). Hal ini juga didukung oleh hasil
penelitian Shinoda (2012), semakin muda umur anak maka semakin tinggi
risikonya mengalami anemia. Anemia juga lebih banyak ditemukan pada
anak-anak usia 12-17 bulan dibandingkan dengan anak-anak usia 36-59
bulan (Singh dan Patra, 2014).
11
Namun penelitian di Ethiopia tidak menemukan hubungan yang
signifikan antara umur balita dengan anemia (Habte dkk, 2013). Penelitian
di Kuwait juga menemukan bahwa kelompok umur 5 tahun secara statistik
lebih tinggi di bandingkan dengan kelompok umur 4 tahun (p:0,038) (Al-
Qaoud dkk, 2014).
2. Jenis Kelamin
Salah satu faktor risiko anemia yaitu anak yang berjenis kelamin
laki-laki memiliki peningkatan risiko anemia dibandingkan dengan anak
perempuan. Seorang anak laki-laki ditemukan memiliki risiko lebih tinggi
untuk menderita anemia dari anak perempuan (OR: 1,215 (1,083, 1,362) p-
value <0.001) (Ngesa dan Mwambi, 2014). Penelitian lain juga
menemukan hubungan yang signifikan antara anemia dengan jenis
kelamin balita (Habte dkk, 2013; Baranwal dkk, 2014). Anak-anak laki-
laki lebih rentan terhadap anemia (Alzain, 2012). Pada anak laki-laki
rentan mengalami defisiensi zat besi dibanding anak perempuan karena
pertumbuhan yang lebih cepat pada bulan-bulan pertama kehidupan (Pita
dkk, 2014). Namun beberapa penelitian tidak menemukan hubungan
antara anemia dan jenis kelamin (Kumar dkk, 2014; Ewusie dkk, 2014).
Penelitian di Haiti menemukan bahwa anemia terjadi sedikit lebih
tinggi pada anak laki-laki di bandingkan dengan anak perempuan (Ayoya
dkk, 2013). Meskipun hasil penelitian tidak menemukan hubungan yang
signifikan, Penelitian Santos dkk (2011) juga menemukan prevalensi
anemia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Pada
anak-anak kebutuhan terhadap besi cukup tinggi, tetapi mereka tidak dapat
12
mengatur pola makannya sendiri. Begitupun dengan penelitian di Papua
New Ginea tidak menemukan hubungan secara statistik antar jenis kelamin
balita dengan anemia (Shinoda dkk, 2012).
3. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir berhubungan dengan faktor maternal, ibu yang
mengalami anemia selama kehamilan cenderung untuk melahirkan anak
dengan berat badan lahir rendah (Leite dkk, 2013). Pada periode posnatal,
zat besi digunakan untuk pertumbuhan, proses konsumsi dan penyerapan
besi pada periode ini sangat cepat. Semakin cepat pertumbuhan, semakin
berisiko mengalami defisiensi zat besi. Anak-anak dengan berat lahir
rendah memiliki risiko lebih banyak. Pada kondisi ini mereka mulai
tumbuh dengan cadangan besi yang rendah, sedangkan terjadi
pertumbuhan posnatal yang cepat. Hubungan yang diamati antara berat
badan lahir rendah dan anemia pada anak usia 6-23 bulan menunjukkan
bahwa pencegahan berat bayi lahir rendah dapat mengurangi risiko
kematian dan anemia (Pita dkk, 2014). Namun penelitian lain tidak
menemukan hubungan antara anemia dan berat badan lahir rendah
(Konstantyner dkk, 2012).
4. Riwayat Penyakit Malaria
Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan antara anemia
dan riwayat penyakit malaria (Green dkk, 2011; Ewusie dkk, 2014).
Malaria merupakan penyumbang utama anemia di dunia. Meskipun
penyebab utama anemia dalam konteks malaria adalah hemolitik,
13
penelitian telah menunjukkan bahwa anemia akibat peradangan memiliki
peran penting dalam menimbulkan perubahan dalam distribusi dan
penyerapan zat besi (Shaw dan Frieman, 2011). Malaria memiliki
hubungan yang kuat dengan peningkatan prevalensi anemia karena
mekanisme penghancuran sel darah merah oleh parasit plasmodium. Akan
tetapi penelitian di Ethiopia tidak menemukan hubungan antara anemia
dan infeksi malaria. Hal ini dikarenakan rendahnya prevalensi malaria di
area penelitian. Meskipun begitu, anak yang menderita malaria 4,02 lebih
berisiko mengalami anemia (Gutema dkk, 2014).
Infeksi Plasmodium sp. menjadi infeksi yang dominan secara
signifikan menurunkan kadar hemogoblin dan meningkatkan risiko anemia
terlepas dari infeksi lain, umur dan jenis kelamin. Hasil analisis regresi
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan ketika anak-anak
terinfeksi > 5000 parasit/mikro liter darah. Semakin berat infeksinya
semakin berdampak pada rendahnya level hemoglobin. Siklus hidup
parasit plasmodium meningkatkan hemolisis sel darah merah secara
langsung atau pada proses inflamasi cytokine sehingga pada individu yang
terinfeksi, proses produksi sel darah merah yang baru tidak akan
mencukupi untuk mengganti sel darah yang rusak. Hasil penelitian lainnya
juga menemukan hubungan yang signifikan antara malaria dan anemia
0,001 di Lake Albert dan 0,004 di Lake Victoria.(Green dkk, 2011).
Pada penelitian di Sudan, sebagian besar anak-anak terinfeksi lebih
dari satu jenis malaria dalam periode satu tahun. Meskipun begitu, hasil
penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antar malaria
14
dan anemia. Malaria dapat menyebabkan anemia karena membuat sel
darah merah lisis atau hancur (Hussein dan Mohamed, 2014).
5. Status Gizi
Status gizi seorang anak dapat dilakukan melalui pengukuran
berdasarkan umur, berat badan dan tinggi badan. Balita yang kerdil atau
pendek cenderung mengalami anemia lebih cepat dibandingkan dengan
anak-anak yang normal, tinggi, atau kelebihan berat badan. Pada masa
balita, asupan nutrisi yang tepat dibutuhkan untuk menghambat
perkembangan anemia. Secara keseluruhan, kekurangan gizi anak-anak
terutama mereka yang termasuk dalam kelompok usia yang lebih rendah,
beresiko terhadap anemia (Gorospe dkk, 2014).
Stunting juga dapat dikaitkan dengan fraksi besar kasus anemia
ringan hingga anemia berat, stunting juga dapat terjadi karena adanya
infeksi di usus pada anak-anak (Foote dkk, 2013). Kemudian dari hasil
penelitian juga ditemukan bahwa anemia dengan tinggi rata-rata di semua
kelompok umur berhubungan secara signifikan (p <0,05). Begitupun
antara anemia dengan berat rata-rata di semua kelompok umur (p <0,05)
(Alzain, 2012). Hasil penelitian di Papua New Ginea, balita yang kurus
dan memiliki berat kurang berhubungan dengan anemia (Shinoda dkk,
2012). Hasil penelitian lain juga menemukan hubungan yang signifikan
antara anemia dengan indikator BB/U Leite dkk, 2013), TB/U (Ayoya
dkk, 2013) BB/TB (Leite dkk, 2013). Risiko anemia pada balita yang
kerdil dan kurus dengan kemungkinan 1,39 dan 1,23 (Gorospe dkk, 2014).
15
Anemia dan malnutisi biasanya muncul bersamaan, satu individu
dapat mengalami masalah gizi yang kompleks. Risiko balita stunting
mengalami anemia adalah 2,3 kali dibandingkan dengan balita yang
normal. Kemudian balita yang memiliki kelebihan berat badan (z score>
2,0) cenderung tidak mengalami anemia (Al-Qaoud dkk, 2014).
Peningkatan obesitas merupakan hasil dari transisi status gizi dan
epidemiologi. Meskipun anemia lebih dominan ditemukan pada anak yang
memiliki berat kurang, tetapi anemia juga ditemukan pada anak yang
memiliki berat lebih. Pola diet anak-anak yang memiliki berat lebih
biasanya cenderung mengkonsumsi kalori berlebihan dan kekurangan
asupan vitamin dan mineral. Penelitian di Brazil menemukan bahwa anak
yang menderita anemia juga memiliki tinggi badan yang pendek dan berat
kurang, meskipun hasil penelitian tidak menemukan hubungan yang
signifikan (Oliveira dkk, 2010). Penelitian lainnya di Brazil juga tidak
menemukan hubungan yang signifikan antara status gizi dengan anemia.
Konstantinyer dkk (2012) menjelaskan studi antara anemia dan berat
lebih/obesitas juga telah dilaporkan di Brazil. Tingginya konsumsi
makanan yang berlebihan mengakibatkan kekurangan penyerapan dan
penyimpanan besi. Akan tetapi, pengukuran antropometri untuk indikator
obesitas yang digunakan dalam studi ini juga tidak menunjukkan
hubungan yang signifikan terhadap risiko anemia.
16
6. Status Pemberian Vitamin A
Kekurangan vitamin A pada anak juga memiliki risiko
kemungkinan yang lebih tinggi untuk menderita anemia. Selain itu, asupan
riboflavin yang cukup dapat mencegah infeksi saluran pernapasan atas
serta faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko
anemia (Gorospe dkk, 2014). Hasil penelitian lainnya juga mengatakan hal
yang sama (Semba dan Bloem, 2002; Konstantinyer dkk, 2011; Habte dkk,
2013; Amati dkk, 2013). Penelitian lainnya menyebutkan bahwa
kekurangan vitamin A tidak berhubungan dengan anemia (Woodruff dkk,
2005; Foote dkk, 2013)
Survei gizi menunjukkan bahwa tingginya prevalensi defisiensi
vitamin A dan anemia biasanya terjadi bersama-sama dalam populasi yang
sama. Pada populasi berisiko kekurangan vitamin A, ada kemungkinan
mengalami kekurangan vitamin lainnya yang dapat menyebabkan anemia.
Bukti bahwa kekurangan vitamin A menyebabkan anemia yaitu melalui
modulasi metabolisme besi yang kuat dan didukung dengan pengamatan
dari hewan percobaan dan studi pada manusia. Defisiensi vitamin A
berkontribusi menimbulkan anemia melalui kekebalan tubuh terhadap
infeksi dan peningkatan anemia kronis. Namun indeks sel darah merah
mungkin tidak konsisten selama anemia defisiensi vitamin A karena faktor
lain, termasuk kekurangan zat besi, malaria, infeksi dan obat-obatan
lainnya (Semba dan Bloem, 2002). Kekurangan vitamin A dan anemia
berhubungan dengan angka kematian yang tinggi terutama pada balita
(Amati dkk, 2013).
17
7. Status Imunisasi DPT
Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit saluran pernapasan yang
sangat menular. Bordetella pertussis adalah agen penyebab batuk rejan
yang terjadi pada balita. Bakteri ini menempel pada selaput lendir di
saluran pernapasan dan menyebabkan peradangan dalam tubuh. B.
pertussis menghasilkan toksin pertusis dan endotoksin, pada kasus yang
parah komplikasi seperti demam tinggi, radang otak, kejang, pneumonia
dan kematian dapat terjadi (WHO, 2010). Hasil penelitian menemukan
bahwa toksin yang ditimbulkan oleh B. pertussis dapat meningkatkan
aktifitas hemolitik pada sel darah merah manusia (Bodade dkk, 2009).
Pemberian imunisasi DPT dapat menurunkan risiko penyakit menular
sehingga dapat menurunkan risiko anemia (Habte dkk, 2013).
C. Faktor Maternal
1. Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan ibu secara bermakna dikaitkan dengan risiko
anemia pada anak-anak (p-value, 0,001). Ibu dengan pendidikan menengah
memiliki efek proteksi terhadap risiko anemia pada anak-anak mereka.
Anemia berisiko 1,5 kali lebih besar pada anak-anak yang ibunya tidak
sekolah dibandingkan dengan anak yang ibunya memiliki tingkat
pendidikan menengah. Kemudian terjadi pengurangan risiko anemia pada
anak yang ibunya telah menyelesaikan pendidikan menengah menjadi 1,2
kali pada ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dibanding tingkat
pendidikan menengah (Ngesa dan Mwambi, 2014).
18
Hasil penelitian di Ethiopia menemukan bahwa pendidikan ibu
yang tinggi memiliki efek protektif terhadap anemia balita. Hal ini
disebabkan karena praktek pemberian makan dan perawatan anak yang
baik oleh ibu yang berpendidikan (Habte dkk, 2013). Berbagai penelitian
lainnya juga menunjukkan bahwa prevalensi anemia balita ditemukan
lebih besar pada ibu yang tidak sekolah (Leite dkk, 2013; Baranwal dkk,
2014) dan semakin tinggi risikonya apabila memiliki ibu yang buta huruf
(Assefa dkk, 2014; Guatema dkk, 2014).
Ibu dengan pendidikan rendah akan berpengaruh pada status gizi
anak, kurangnya kesadaran ibu tentang pemberian nutrisi dan kebiasaan
mengkonsumsi makanan yang tidak sehat. (Assefa dkk, 2014). Penelitian
di daerah pedesaan Malaysia juga menemukan bahwa pendidikan formal
ibu yang kurang dari 6 tahun berhubungan signifikan (p: 0,002) dengan
anemia balita dan meningkatkan risiko sebesar 2,52 kali. Dalam kondisi
ini pendidikan orangtua khususnya ibu memiliki peranan penting dalam
kesehatan seorang anak, hasil penelitian menemukan bahwa anak-anak
yang memiliki ibu dengan pendidikan rendah cenderung mengalami
anemia defisisensi besi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki ibu
dengan latar pendidikan yang tinggi.(Ngui dkk, 2012)
Meskipun begitu ada hasil penelitian yang menemukan antara
anemia pada anak-anak secara statistik tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan tingkat melek huruf (Hussein dan Mohamed, 2014).
Penelitian di daerah pedesaan Lao juga tidak menemukan hubungan yang
signifikan dengan anemia. Kemungkinan hal ini disebabkan karena variasi
19
pendidikan yang sedikit, dalam populasi studi tingkat angka melek
hurufnya rendah (Kounnavong dkk, 2011). Begitupun penelitian di Brazil
juga tidak menemukan hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian
anemia (Konstantyner dkk, 2012).
2. Pekerjaan Ibu
Pekerjaan yang sering disebut sebagai profesi adalah sesuatu yang
dilakukan manusia yang dilakukan dengan cara yang baik dan benar
dengan tujuan mendapatkan imbalan berbentuk uang untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Berdasarkan hasil penelitian, anemia balita ditemukan
lebih tinggi pada ibu yang bekerja (Baranwal dkk, 2014). Ibu yang bekerja
memiliki efek negatif pada status gizi dan kesehatan anak-anak mereka.
Beban kerja dapat mempengaruhi gizi ibu itu sendiri dan kesehatannya,
akibatnya terjadi penurunan kapasitas untuk melakukan kegiatan lain
seperti mengasuh anak. Kemudian karena keterbatasan waktu untuk
bekerja, kebutuhan gizi anak-anaknya kurang diperhatikan. Selain itu ada
kemungkinan untuk ibu yang bekerja, anak-anak mereka akan diasuh oleh
orang lain yang mungkin kurang baik dalam mengasuh anak (Abbie dkk,
2014).
Akan tetapi tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan
antara anemia balita dengan status pekerjaan ibu (Kounnavong dkk, 2011).
Begitupun dengan hasil penelitian di Cuba menemukan bahwa balita yang
ibunya tidak bekerja memiliki pola makan tidak teratur. Akibatnya balita
tersebut tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhannya. Pada penelitian ini, tempat penitipan anak memiliki efek
20
proteksi terhadap kejadian anemia balita. Tempat penitipan anak biasanya
akan memberikan pengasuhan yang baik dan pola makan yang seimbang
(Pita dkk, 2014).
3. Umur Ibu
Keterkaitan antara anemia dan umur ibu yaitu apabila seorang
perempuan menikah dan hamil di usia remaja akan meningkatkan
kebutuhan besi. Hal ini disebabkan karena besi diperlukan untuk
perkembangan janin dan untuk pertumbuhan ibu itu sendiri yang masih
dalam usia remaja. Apabila kebutuhan besi yang tinggi ini tidak terpenuhi
maka dapat meningkatkan risiko anemia pada ibu muda dan bayinya
sebesar 68% (Unniceff, 2007).
Berdasarkan hasil penlitian, anemia pada balita ditemukan lebih
besar pada kelompok usia ibu yang lebih muda, yaitu 15-19 tahun (Habte
dkk, 2013). Ibu yang berusia < 20 tahun memiliki hubungan yang
signifikan baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan dengan kejadian
anemia pada balita (Leal dkk, 2011). Al-Qaoud dkk (2014) menemukan
bahwa umur ibu yang kurang dari 30 tahun cenderung memiliki anak yang
anemia dibandingkan dengan ibu yang lebih tua. Hasil penelitian ini juga
berkorelasi dengan pengalaman ibu serta kualitas pengasuhan anak.
Namun, berdasarkan penelitian di Brazil, tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara anemia pada balita dengan usia ibu (Konstantyner dkk,
2012)
21
D. Sosiodemografi
1. Jumlah Keluarga
Berdasarkan hasil penelitian, balita dengan jumlah keluarga yang
besar 1,96 kali berisiko mengalami anemia. Jumlah keluarga secara
bermakna dikaitkan dengan tingginya prevalensi anemia adalah ukuran
keluarga besar (> 6 anggota). Pada penelitian ini, setengah dari subjek
anemia memiliki saudara kandung yang usianya tidak jauh berbeda dalam
satu rumah. Makanan pokok di lokasi penelitian ini adalah beras,
sedangkan makanan yang memiliki kandungan besi lebih tinggi seperti
kacang-kacangan dan produk daging dikonsumsi lebih sedikit serta
biasanya tidak tersedia. Meskipun distribusi pangan dalam rumah tangga
tampaknya sama, laki-laki dewasa dari keluarga cenderung untuk
mendapatkan lebih banyak manfaat daripada anak-anak karena norma-
norma budaya. Penduduk disini menganggap makanan selain nasi adalah
lauk, dan mereka tidak mempertimbangkan jumlah tertentu yang
diperlukan untuk setiap anggota keluarga (Kounnavong dkk, 2011). Hal
ini didukung oleh hasil berbagai penelitian lainnya yaitu jumlah keluarga >
5 juga memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia (Leite
dkk, 2013; Guatema dkk, 2014).
Penelitian di India juga menemukan bahwa prevalensi anemia
berhubungan signifikan dengan jumlah keluarga yang besar. Hal ini
disebabkan karena kurangnya perhatian dari anggota keluarga pada anak-
anak karena kesibukan mereka. Akibatnya anak-anak tidak mendapatkan
perhatian untuk makanan dan nutrisi yang tepat (Baranwal dkk, 2014).
22
Jumlah anggota keluarga yang besar dan banyaknya anak-anak (lebih dari
3) memiliki hubungan yang positif terhadap anemia. Pada negara
berkembang hal ini dapat dihubungkan dengan buruknya akses ke
perawatan antenatal dan nutisi saat kehamilan (Al-Qaoud dkk, 2014).
2. Tempat Tinggal
Wilayah tempat tinggal merupakan penggolongan unit wilayah
administrasi yang terkecil yaitu desa/kelurahan dimana seseorang
bertempat tinggal dan dibedakan menjadi wilayah perkotaan dan
perdesaan. Perkotaan adalah suatu wilayah administrasi setingkat desa/
kelurahan yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan.
Perdesaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat
desa/kelurahan yang belum memenuhi kriteria klasifikasi wilayah
perkotaan (BPS, 2010).
Hasil penelitian mengatakan bahwa wilayah pedesaan/rural lebih
berisiko untuk menimbulkan anemia (Foote dkk, 2013; Baranwal dkk,
2014). Penelitian di Lao menemukan tingginya prevalensi anemia
khususnya pada anak-anak yang jumlah anggota keluarganya banyak dan
tinggal di desa terpencil dimana prevalensi stunting juga tinggi,
kemiskinan, sulitnya akses ke sumber pangan dan rendahnya pengetahuan
tentang sumber pangan gizi yang baik (Kounnavong dkk, 2011). Menurut
Ngui dkk (2012) status sosioekonomi memiliki dampak terhadap status
gizi anak-anak di daerah pedesaan.
Penelitian di Brazil menemukan bahwa tempat tinggal memiliki
hubungan yang signifikan terhadap anemia (p: 0,004) (Konstantiyer dkk,
23
2012). Konstantiyer dkk (2012) menjelaskan meskipun berbeda dengan
hasil penelitian-penelitian sebelumnya, anak-anak yang berusia kurang
dari 24 bulan yang tinggal di daerah perkotaan berisiko tinggi mengalami
anemia. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh migrasi penduduk dari desa
ke kota dalam dekade baru-baru ini. Akibatnya penduduk hidup dalam
kondisi miskin di kota besar dan juga terjadi perubahan gaya hidup di
daerah perkotaan seperti moderenisasi, banyaknya industri makanan,
menurunnya kesadaran dan pengetahuan kebutuhan makanan balita serta
ketiadaan pengasuhan yang diberikan orang dewasa. Hal ini
mengakibatkan kualitas hidup dan kesehatan populasi di wilayah
perkotaan khususnya di kota bersiko karena adanya perubahan gaya hidup
dan mudahnya akses terhadap makanan hasil olahan indutri. Namun
penelitian di Papua New Ginea tidak menemukan hubungan yang
signifikan antara tempat tinggal dengan kejadian anemia (Shinoda dkk,
2012).
24
E. Kerangka Teori
Bagan 2. 1
Kaerangka Teori
Pemberian
Vitamin A
Mobilisasi besi
Jumlah keluarga
Tempat tinggal
Status gizi
Kekurangan nutrisi Malaria
Pertumbuhan
yang cepat
Anemia
Eritropoesis
Imunisasi
DPT
Pendidikan Ibu
Infeksi
Defisiensi besi
Jenis makanan Praktik mengasuh
balita
Praktik
pemberian makan
Ketahanan Pangan
Berat badan
lahir rendah
Umur
balita
Umur ibu
Anemia maternal
Jenis
kelamin
Hemolisis
Perdarahan
Pekerjaan Ibu
Sumber : (Hensbroek dkk, 2010; Habte
dkk, 2013; Abbie dkk, 2013; Uniceff,
2007; Kounnavong dkk, 2011; Pita dk,
2014; Alzain, 2012; Shaw dan Friedman,
2011; Semba dan Bloem, 2013)
25
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPRASIONAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Penelitian ini akan meneliti karakteristik balita dan faktor maternas serta
sosiodemografi dengan anemia.
Bagan 3. 1
Kerangka Konsep
Faktor Maternal
1. Pendidikan ibu
2. Pekerjaan ibu
3. Umur ibu
Karakteristik Balita
1. Jenis kelamin
2. Umur balita
3. Berat badan lahir
4. Riwayat malaria
5. Status gizi
a. BB/U
b. TB/U
c. BB/TB
6. Status pemberian
vitamin A
7. Status imunisasi
DPT
Status Anemia
Sosiodemografi
1. Jumlah keluarga
2. Tempat tinggal
26
B. Definisi Oprasional
No Variabel Definisi Operasional Cara dan Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1 Status
anemia
Hasil pengukuran kadar hemoglobin
dengan menggunakan darah kapiler, cut-
of point anemia mengacu pada standar
kadar hemoglobin balita usia 6-59 bulan
(WHO,2008)
Pengukuran
menggunakan alat
Hemocue
1. Tidak anemia : hb 11
gr/dL
2. Anemia : <11 gr/dL
Ordinal
2 Jenis
Kelamin
Jenis kelamin anak berdasarkan
pengakuan dari pendamping saat
wawancara
Wawancara
menggunakan kuesioner
1. Perempuan
2. Laki-laki
Nominal
3 Umur
balita
Jumlah bulan kehidupan balita terhitung
sejak tanggal lahir hingga kegiatan
wawancara dilakukan berdasarkan
kalender Masehi dengan pembulatan ke
bawah
Wawancara
menggunakan kuesioner
atau observasi dokumen
Usia dalam Bulan Rasio
4 Berat
badan
lahir
Berat badan yang ditimbang dalam kurun
waktu 24 jam setelah bayi lahir
Observasi dengan
melihat catatan/dokumen
berat badan lahir
1. Tidak BBLR : ≥2500 gram
2. BBLR : <2500 gram
Ordinal
5 Riwayat
penyakit
malaria
Pernah didiagnosis menderita Malaria
yang sudah dipastikan dengan
pemeriksaan darah oleh tenaga kesehatan
Wawancara
menggunakan kuesioner
1. Tidak
2. Ya, < 12 bulan saat
wawancara
Ordinal
27
No Variabel Definisi Operasional Cara dan Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
(dokter/ perawat/ bidan)
6 Status gizi
balita
berdasark
an
indikator
BB/U
Status gizi pada balita yang diukur
berdasarkan berat badan dan umur
kemudian angka berat badan setiap balita
dikonversikan ke dalam nilai terstandar
(Zscore) menggunakan baku
antropometri anak balita WHO tahun
2005
Wawancara
menggunakan kuesioner
dan timbangan digital
merek Fesco
1. Gizi buruk : Zscore <-3,0
2. Gizi kurang : Zscore -3,0
s/d Zscore < -2,0
3. Gizi baik : Zscore -2,0 s/d
2,0
4. Gizi Lebih : Zscore >2,0
Ordinal
7 Status gizi
balita
berdasark
an
indikator
BB/U
Status gizi pada balita yang diukur
berdasarkan tinggi badan dan umur
kemudian tinggi berat badan setiap balita
dikonversikan ke dalam nilai terstandar
(Zscore) menggunakan baku
antropometri anak balita WHO tahun
2005
Wawancara
menggunakan kuesioner
dan alat pengukur
tinggi/panjang badan
multifungsi
1. Sangat pendek : Zscore <-
3,0
2. Pendek : Zscore -3,0 s/d
Zscore < -2,0
3. Normal : Zscore -2,0 s/d
2,0
4. Tinggi : Zscore >2,0
Ordinal
8 Status gizi
balita
berdasark
an
indikator
BB/U
Status gizi pada Balita yang diukur
berdasarkan berat badan dan tinggi badan
kemudian angka berat badan dan tinggi
badan setiap balita dikonversikan ke
dalam nilai terstandar (Zscore)
menggunakan baku antropometri anak
balita WHO tahun 2005
Timbangan digital merek
Fesco dan alat pengukur
tinggi/panjang badan
multifungsi
1. Sangat kurus : Zscore <-3,0
2. Kurus : Zscore ≥-3,0 s/d
Zscore <-2,0
3. Normal : Zscore ≥-2,0 s/d
Zscore ≤ 2,0
4. Gemuk : Zscore >2,0
Ordinal
28
No Variabel Definisi Operasional Cara dan Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
9 Status
pemberian
vitamin A
Status pemberian kapsul vitamin A pada
anak dalam 6 bulan terakhir saat
wawancara dilakukan
Wawancara
menggunakan kuesioner
1. Ya
2. Tidak
Ordinal
10 Status
imunisasi
DPT
Status pemberian imunisasi DPT 1, DPT
2, dan DPT 3
Observasi cacatan
imunisasi atau
Wawancara
menggunakan kuesioner
1. Lengkap : 3 kali imunisasi
DPT
2. Tidak lengkap : <3 kali
imunisasi DPT
3. Tidak diberikan imunisasi
DPT
Ordinal
11 Pendidika
n ibu
Status pendidikan tertinggi yang
ditamatkan oleh ibu dari balita
Wawancara
menggunakan kuesioner
1. Tamat perguruan tinggi
2. Tamat SMA/Sederajat
3. Tamat SMP
4. Tamat SD
5. Tidak memiliki ijazah
Ordinal
12 Pekerjaan
ibu
Status pekerjaan ibu balita atau kegiatan
terbanyak yang dilakukan ibu balita baik
di rumah maupun di luar rumah dan
memperoleh penghasilan/imbalan.
Wawancara
menggunakan kuesioner
1. Bekerja
2. Tidak bekerja
Nominal
13 Umur ibu Jumlah tahun yang dihitung sejak lahir
hingga ulang tahun terakhir berdasarkan
Wawancara
menggunakan kuesioner
Usia dalam tahun Rasio
29
No Variabel Definisi Operasional Cara dan Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
kalender Masehi dengan pembulatan ke
bawah
14 Jumlah
keluarga
Jumlah semua orang yang bertempat
tinggal di suatu rumah tangga sudah ≥6
bulan atau < 6 bulan, tetapi berniat
tinggal hingga ≥6 bulan termasuk
pembantu rumah tangga, sopir, tukang
kebun yang tinggal dan makan di rumah
majikannya
Wawancara
menggunakan kuesioner
1. <5 anggota keluarga
2. 5 anggota keluarga
Ordinal
15 Tempat
tinggal
Klasifikasi tempat tinggal anak saat
wawancara dilakukan sudah ≥6 bulan
atau < 6 bulan, tetapi berniat tinggal
hingga ≥6 bulan.
Penetuan daerah perkotaan atau
perkotaan sesuai dengan catatan
penggolongan kota/desa pada form
RKD13.BANGSEN
Wawancara
menggunakan kuesioner
1. Desa
2. Kota
Ordinal
30
C. Hipotesis
1. Adanya hubungan antara kejadian anemia balita dengan karakteristik
balita (umur balita, jenis kelamin balita, berat bayi lahir, status gizi, status
pemberian vitamin A dan status imunisasi DPT) di Indonesia berdasarkan
data Riskesdas tahun 2013.
2. Adanya hubungan antara kejadian anemia balita dengan faktor maternal
(pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan usia ibu) dan faktor
sosiodemografi (jumlah keluarga dan tempat tinggal) di Indonesia
berdasarkan data Riskesdas tahun 2013.
31
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain
cross sectional. Desain penelitian ini mengikuti desain penelitian Riskesdas.
Penelitian ini merupakan analisis lanjutan dengan memanfaatkan data
Riskesdas tahun 2013 untuk meperoleh penjelasan awal mengenai faktor-
faktor yang berhubungan dengan anemia pada Balita di Indonesia tahun 2013.
B. Waktu dan lokasi penelitian
Riskesdas 2013 dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2013.
Selanjutnya, data Riskesdas yang dimanfaatkan peneliti akan dianalisis pada
bulan April hingga Juni 2015.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang berusia 12-
59 bulan dari setiap rumah tangga di Indonesia yang terpilih sebagai
responden Riskesdas tahun 2013 tingkat nasional. Adapun jumlah balita
tersebut adalah 986 balita sebagai unit analisis. Sedangkan responden
dalam penelitian ini adalah wanita berusia 10-54 tahun yang berjumlah
884
32
2. Sampel
a. Sampel Riskesdas
Pada survei Riskesdas tahun 2013, pengukuran kadar
hemoglobin merukapan data biomedis sehingga untuk perhitungan
sampel menggunakan estimasi nasional dengan melakukan penarikan
sampel dua tahap berstrata dan subsampel dari estimasi provinsi.
Tahapan dari metode ini diuraikan sebagai berikut (Kemenkes RI,
2013) :
1) Tahap pertama, memilih 250 kabupaten/kota secara probability
proportional to size with replacement (PPS WR). Metode ini
memanfaatkan informasi jumlah rumah tangga
perkabupaten/kota hasil SP 2010 sebagai ukuran (size) yang
dijadikan sebagai dasar peluang dalam pemilihan sampel. Dari
hasil penarikan sampel, jumlah realisasi sampel yang efektif
(effective sample size) sebanyak 177 kabupaten/kota.
2) Tahap kedua, dari setiap kabupaten/kota terpilih, dilakukan
pemilihan blok sensus (BS) secara systematic sampling dari
daftar BS sampel Riskesdas Modul MDG’s. Dengan demikian,
BS terpilih Modul Biomedis merupakan subsampel dari BS yang
digunakan dalam Modul Provinsi sejumlah 1000 BS. Rumah
tangga yang menjadi sampel dalam Riskesdas Modul Biomedis
adalah sebanyak 25 rumah tangga yang terpilih pada Modul
Provinsi di BS sampel Modul Biomedis.
33
b. Sampel penelitian
Jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah semua sampel penelitian yang terkumpul dalam Riskesdas
2013, yaitu balita yang berusia 12-59. Akan tetapi, balita sebagai unit
analisis belum memiliki pemahaman yang cukup untuk menjawab
pertanyaan di lembar kuesioner, maka ibu dari setiap balita tersebut
yang menjadi responden dalam penelitian ini. Untuk keperluan
analisis dalam penelitian ini, peneliti hanya menganalisis balita
termuda yang dimiliki oleh responden. Berikut adalah kriteria inklusi
dan eksklusi dalam penelitian ini :
1) Kriteria inklusi
Wanita 10-54 tahun yang memiliki balita termuda berusia
12-59 bulan.
2) Kriteria eksklusi
a) Responden tidak melengkapi jawaban kuesioner atau terdapat
data variabel yang diteliti pada balita dalam dataset tidak
lengkap (missing) maka akan dikeluarkan (drop out).
b) Terdapat nilai ekstrimitas yang tinggi pada variabel numerik.
Variabel yang kemungkinan terdapat nilai ekstrimitas yaitu
variabel status anemia dengan standar dari WHO tahun 2008
dan variabel status gizi dengan standar buku saku
antropometri tahun 2010.
34
Setelah menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi, jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 4. 1
Jumlah Sampel Penelitian
No. Variabel Jumlah (n) Missing
1 Status Anemia 884 0
2 Jenis Kelamin Balita 884 0
3 Usia Balita 884 0
4 Berat Badan Lahir 842 42
5 Riwayat Malaria 883 1
6 Status gizi BB/U 868 16
7 Status gizi BB/U 848 36
8 Status gizi BB/U 841 43
9 Pemberian vitamin A 852 32
10 Imunisasi DPT 836 48
11 Pendidikan Ibu 884 0
12 Pekerjaan Ibu 884 0
13 Usia Ibu 884 0
14 Jumlah Keluarga 884 0
16 Tempat Tinggal 884 0
Perhitungan sampel dilakukan kembali untuk memperoleh nilai
kekuatan uji dan derajat kemaknaan yang sesuai dengan besar sampel
penelitan ini. Hal ini karena penelitian ini bertujuan untuk menguji
hipotesis. Oleh karena itu, rumus perhitungan besar sampel minimal
yang digunakan adalah uji beda dua proporsi, pada data survei maka
harus dikalikan dengan efek desain (design effect/deff). Efek desain
merupakan perbandingan (rasio) antara varians yang diperoleh pada
pengambilan sampel secara kompleks dengan varians yang diperoleh
jika pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple
random sampling). Oleh karena itu, rumus perhitungan besar sampel
sebagai berikut:
35
n = Z1-α/2 2P(1-P)+Z1-β P1(1-P1)+ P2(1-P2)
2
P1- P2 2x 𝑑𝑒𝑓𝑓
Keterangan:
N : Jumlah sampel minimal
Zα : Nilai Z pada derajat kemakanaan α
Digunakan nilai Z pada derajat kemakanaan α sebesar 5% (Zα=1,96)
Zβ : Nilai Z pada kekuatan uji 1-β
Digunakan nilai Z pada kekuatan uji 1-β dengan β sebesar 80%
(0,84)
P1 :Proporsi anemia pada kelompok 1 yang bersumber dari
kepustakaan/ penelitian sebelumnya
P2 :Proporsi anemia pada kelompok 2 yang bersumber dari
kepustakaan/ penelitian sebelumnya
P : Proporsi total = (P1+P2)/2
deff : 2
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus tersebut
diketahui bahwa dengan jumlah sampel sebesar 884, proporsi anemia
pada laki-laki dan perempuan secara berturut-turut sebesar 0,65 dan 0,35
(Habte dkk, 2013) sehingga derajat kemaknaan yang diperoleh adalah
sebesar 5% dengan kekuatan uji sebesar 96%.
D. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil Riskesdas tahun 2013.
Peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara observasi data yang
36
diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes)
Kementerian Kesehatan Indonesia.
E. Pengukuran Variabel Penelitian
1. Variabel status anemia
Pengukuran kadar Hemoglobin dalam Riskesdas tahun 2013
dilakukan di lapangan dengan menggunakan alat Hemocue dan dilakukan
oleh tenaga analis/perawat serta didampingi oleh dokter pendamping.
Penggunaan instumen ini telah dilakukan uji validitas terlebih dahulu.
2. Variabel jenis kelamin balita
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada
blok IV dengan kode B4K4. Enumerator Riskesdas tahun 2013
menentukan jenis kelamin berdasarkan observasi langsung dan kartu
keluarga serta bertanya langsung pada responden.
3. Variabel usia balita
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada
blok IV dengan kode B4K7BLN Riskesdas 2013. Usia ditanyakan
langsung pada responden dan dihitung dengan pembulatan ke bawah
berdasarkan kalender masehi. . Enumerator Riskesdas 2013 melakukan
probing melalui dokumen atau catatan kelahiran/akte kelahiran dan kartu
pengenal seperti KTP, SIM, dan sebagainya ketika responden tidak
mengetahui usianya dengan pasti atau lupa.
37
4. Variabel berat badan lahir
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas
2013 dengan melihat catatan atau dokumen berat lahir anak dengan
menanyakan pada responden.
5. Variabel riwayat malaria
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas
2013 dengan kode A09 dan A10. Pertanyaan A09 adalah apakah anak
anda pernah di diagnosis malaria oleh tenaga medis dengan pilian dalam
satu bulan terakhir, dua belas bulan terakhir atau tidak pernah. Kemudian
kode A10 merupakan pertanyaan jenis malaria yang ditemukan apabila
pernah terdiagnosis malaria yaitu malaria tropicana (P. falciparum),
malaria tertiana (P. vivax) dan malaria lainnya.
6. Variabel Status gizi
Untuk pengukuran berat badan Riskesdas 2013 menggunakan
timbangan digital merek Fesco dengan ketepatan 0,1 kg. Tinggi badan
diukur menggunakan alat ukur tinggi badan multifungsi dengan kapasitas
ukur dua meter dan ketelitian 0,1 cm. Alat ukur tersebut dikalibrasi setiap
hari. Kemudian untuk menentukan status gizi berdasarkan indikator BB/U,
TB/U dan BB/TB, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak
balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku
antropometri anak balita WHO 2005.
7. Varibel status pemberian vitamin A
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas
2013 dengan kode Ja27. Pertanyaan yang ditanyakan pada responden
38
adalah apakah anak anda mendapat kapsul vitamin A dengan menunjukkan
kartu peraga.
8. Variabel status imunisasi DPT
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas
2013 dengan cara observasi dokumen imunisasi kemudian mencatat
tanggal imunisasi DPT 1 sampai 3.
9. Variabel pendidikan ibu
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada
blok IV dengan kode B4K8. Enumerator Riskesdas menanyakan langsung
pada responden terkait pendidikan apa yang terakhir kali ditamatkan
responden.
10. Variabel pekerjaan ibu
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga
Riskesdas 2013 pada blok 4 dengan kode B4K9 dan B4K10. B4K9
memuat pertanyaan terkait status pekerjaan responden yang ditujukan pada
responden yang berusia ≥10. Sedangkan, B4K10 memuat pertanyaan
tentang status pekerjaan utama bagi yang menjawab ―bekerja‖ pada B4K9.
Jenis pekerjaan yang diukur adalah PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD,
pegawai swasta, wiraswasta, petani, nelayan, buruh, dan lainnya, apabila
tidak termasuk dalam kode 1 s/d 6.
11. Variabel usia ibu
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga
Riskesdas 2013 pada blok IV dengan kode B4K7THN. Usia ditanyakan
langsung pada responden dan dihitung dengan pembulatan ke bawah atau
39
ulang tahun yang terakhir berdasarkan kalender masehi. . Enumerator
Riskesdas 2013 melakukan probing melalui dokumen atau catatan
kelahiran/akte kelahiran dan kartu pengenal seperti KTP, SIM, dan
sebagainya ketika responden tidak mengetahui usianya dengan pasti atau
lupa
12. Variabel jumlah keluarga
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga
Riskesdas 2013 pada blok IV pertanyaan BR2R. jumlah anggota rumah
tangga ditanyakan langsung pada responden.
13. Variabel tempat tinggal
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga
Riskesdas 2013 pada blok I dengan kode B1R5. Penentuan desa atau
kotamengikuti dari hasil sensus penduduk tahun 2010 (SP2010).
F. Manajemen Data
Berikut beberapa kegiatan manajemem data yang dilakukan peneliti
setelah menerima dataset Riskesdas tahun 2013 sebelum data dianalisis lebih
lanjut:
1. Filter (menyaring data)
Peneliti menyaring data yang tidak dibutuhkan dalam penelitian.
Hal ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi pertanyaan pada kuesioner
Riskesdas 2013 yang berkaitan dengan kejadian anemia Balita berdasarkan
hasil penelitian-peelitian sebelumnya. Berikut adalah variabel yang
dibutuhkan dalam penelitian ini :
40
Tabel 4. 2
Variabel dan Kuesioner
No. Variabel Kode Variabel Kuesioner
1 Status Anemia O01-02 RKD13.IND
2 Pendidikan Ibu B4K8 RKD13.RT
3 Pekerjaan Ibu B4K9, B4K10 RKD13.RT
4 Usia Ibu B4K7THN RKD13.RT
5 Jumlah Keluarga BR2R RKD13.RT
6 Tempat Tinggal B1R5 RKD13.RT
7 Jenis Kelamin Balita B4K4 RKD13.RT
8 Usia Balita B4K7BLN RKD13.RT
9 Berat Badan Lahir JA01,JA02 RKD13.IND
10 Riwayat Malaria A09,A10 RKD13.IND
11 Status gizi K01A, K01B, K02A,
K02B
RKD13.IND
12 Pemberian vitamin A JA27 RKD13.IND
13 Imunisasi DPT JA20C_K2,
JA20D_K2,
JA20E_K2, JA21H
RKD13.IND
2. Cleaning (pembersihan data)
Peneliti memeriksa data dengan cara dilakukan tabulasi frekuensi
dari masing-masing variabel independen (faktor maternal, sosiodemografi,
dan karakteristik Balita,) dan variabel dependen (status anemia).
Kemudian, secara otomatis software pengolah data akan menampilkan
nilai missing. Setiap variabel yang memiliki nilai missing akan ditinjau
kembali untuk kemudian dihilangkan missing data dengan memanfaatkan
menu select data pada software sehingga dapat terseleksi secara otomatis.
Setelah dilakukan tabulasi frekuensi faktor maternal dan sosiodemografi
tidak ditemukan missing data. Namun, pada faktor karakteristik Balita
ditemukan missing data pada variabel berat badan lahir, riwayat penyakit
malaria, status gizi, status pemberian vitamin A dan status imunisasi DPT.
Setelah itu, penghilangan dilakukan pada masing-masing variabel yang
41
ditemukan missing data sehingga ketika melakukan analisis, jumlah
sampel pada tiap variabel berbeda. Jumlah sampel dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 4.1.
3. Recoding (Pengkodean ulang)
Peneliti membuat kode baru atau pengkodean ulang pada beberapa
variabel yang membutuhkan perubahan tetentu sesuai kebutuhan
penelitian. Beberapa variabel numerik yang dikategorikan membutuhkan
kode baru yaitu variabel status anemia, jumlah keluarga, usia ibu, usia
Balita dan berat badan lahir. Kemudian variabel lainnya yang
membutuhkan pengkodean ulang yaitu pekerjaan ibu dan pendidikan ibu.
Pengkodean ulang disesuaikan dengan definisi oprasional penelitian agar
memudahkan dalam analisis data. Tabel 4.5 menjelaskan pengkodean yang
dilakukan peneliti.
Tabel 4. 3
Pengkodean Ulang Data Penelitian
No. Variabel Kode Awal Kode Akhir Keterangan
1 Status
Anemia
Data Numerik
(gram/dL)
1. Tidak anemia : hb 11
gr/dL
2. Anemia : <11 gr/dL
Kategorisasi data
numeric
2 Pendidikan
Ibu
1. Tidak
sekolah/belum
pernah sekolah
2. Tidak tamat
SD/MI
3. Tamat SD/MI
4. Tamat
SLTP/MTs
5. Tamat
SLTA/MA
6. Tamat D1, D2,
D3
7. Tamat
1. Tamat perguruan tinggi
2. Tamat SMA/Sederajat
3. Tamat SMP
4. Tamat SD
5. Tidak memiliki ijazah
Penggabungan kategori
tidak sekolah (5) dan
tidak tamat SD/MI (2)
menjadi satu kategori,
yaitu ―tidak memiliki
ijazah‖ (5)
Penggabungan kategori
tamat D1, D2, D3 (6)
dengan kategori tamat
perguruan tinggi (7)
menjadi ―tamat
perguruan tinggi‖ (1)
42
No. Variabel Kode Awal Kode Akhir Keterangan
perguruan tinggi
3 Usia Ibu Data numerik
(tahun)
1. 45-54 tahun
2. 35-44 tahun
3. 25-34 tahun
4. 15-24 tahun
Kategorisasi data
numerik
4 Jumlah
Keluarga
Data Numerik
(individu)
1. <5 anggota keluarga
2. 5 anggota keluarga
Kategorisasi data
numeric
5 Usia Balita Data Numerik
(bulan)
1. 47-59
2. 36-47
3. 24-35
4. 12-23
Kategorisasi data
numerik
6 Berat
badan lahir
Data Numerik
(gram)
1. Tidak BBLR : ≥2500
gram
2. BBLR : <2500 gram
Kategorisasi data
numeric
7 Riwayat
penyakit
malaria
1. Ya, dalam ≤ 1
bulan saat
wawancara
dilakukan
2. Ya, dalam > 1
bulan sampai <
12 bulan saat
wawancara
3. Tidak
1. Tidak
2. Ya, < 12 bulan saat
wawancara
Penggabungan kategori
Ya, dalam ≤ 1 bulan
saat wawancara
dilakukan (1) dan Ya,
dalam > 1 bulan sampai
< 12 bulan saat
wawancara (2) menjadi
―ya, , < 12 bulan saat
wawancara (1).
Perubahan kategori
tidak (3) menjadi ―tidak
(2)‖.
4. Compute
Peneliti membuat variabel baru dari beberapa variabel yang ada
pada data sesuai dengan kebutuhan penelitian yaitu variabel indikator
status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) yang terdiri dari variabel berat
badan, tinggi badan dan usia balita serta variabel. Variabel status imunisasi
DPT dengan mengobservasi catatan tanggal imunisasi DPT 1 sampai 3
43
kemudian membuat variabel baru jumlah sampel melakukan imunisasi
DPT.
Tabel 4. 4
Variabel Baru dalam Data Penelitian
No. Variabel Data Awal Variabel Baru Keterangan
1 Status gizi
balita
Data numerik
BB : kilogram
TB : sentimeter
Usia : bulan
A. Indikator BB/U
1. Gizi buruk :
Zscore <-3,0
2. Gizi kurang :
Zscore -3,0 s/d
Zscore < -2,0
3. Gizi baik : Zscore
-2,0 s/d 2,0
4. Gizi Lebih :
Zscore >2,0
B. Indikator TB/U
1. Sangat pendek :
Zscore <-3,0
2. Pendek : Zscore -
3,0 s/d Zscore < -
2,0
3. Normal : Zscore -
2,0 s/d 2,0
4. Tinggi : Zscore
>2,0
C. Indikator BB/TB
1. Sangat kurus :
Zscore <-3,0
2. Kurus : Zscore ≥-
3,0 s/d Zscore <-
2,0
3. Normal : Zscore ≥-
2,0 s/d Zscore ≤
2,0
4. Gemuk : Zscore
>2,0
A. Status gizi berdasarkan berat
badan dan usia setiap balita
dikonversikan ke dalam nilai
terstandar (Zscore)
menggunakan baku
antropometri anak balita
WHO 2005
B. Status gizi berdasarkan Tinggi
badan dan usia setiap balita
dikonversikan ke dalam nilai
terstandar (Zscore)
menggunakan baku
antropometri anak balita
WHO 2005
C. Status gizi berdasarkan berat
badan dan tinggi badan setiap
balita dikonversikan ke dalam
nilai terstandar (Zscore)
menggunakan baku
antropometri anak balita
WHO 2005
2 Imunisasi
DPT 1, 2, 3
Tanggal
imunisasi DPT
1, 2, 3
Status imunisasi DPT
1. Lengkap : 3 kali
imunisasi DPT
2. Tidak lengkap : <3
kali imunisasi DPT
3. Tidak diberikan
imunisasi DPT
Ketegori tidak lengkap apabila
balita tidak diberikan imunisasi
DPT, kategori tidak lengkap
apabila balita hanya diberikan 1
sampai 2 kali imunisasi DPT dan
ketegori lengkap apabila balita
diberikan 3 kali imunisasi DPT
44
G. Analisis Data
Data penelitian yang sudah dikumpulkan dan diolah kemudian dianalisis.
Analisis yang dilakukan ada dua macam, yaitu analisis univariat dan bivariat.
Analisis data dilakukan dengan mengggunakan program komputer,
yaitu software komputer khusus untuk uji statistik.
1. Univariat
Analisis univariat digunakan untuk menyajikan dan
mendeskripsikan karakteristik dari setiap variabel dependen yaitu
prevalensi anemia dengan variabel independen seperti karakterisrik balita
yaitu berat badan lahir, riwayat malaria dan jenis malaria yang diderita,
status gizi (berdasarkan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB), status
pemberian vitamin A serta Status imunisasi DPT. Faktor maternal yaitu
pendidikan ibu, pekerjaan ibu (status dan jenis pekerjaan) dan rata-rata
usia ibu. Kemudian faktor sosiodemografi yaitu jumlah keluarga, dan
tempat tinggal. Hasil analisis univariat berupa distribusi frekuensi atau
persentase dan disajikan dalam bentuk tabel.
2. Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk membuktikan hipotesis
penelitian. Semua variabel dependen dan independen pada penelitian ini
berbentuk kategorik, maka analisis bivariat yang digunakan adalah dengan
membuat tabel silang antara variabel dependen (status anemia) dan
variabel independen seperti karakterisrik balita yaitu berat badan lahir,
status gizi (berdasarkan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB), status
pemberian vitamin A serta Status imunisasi DPT. Faktor maternal yaitu
45
pendidikan ibu, status pekerjaan ibu dan kategori usia ibu. Kemudian
faktor sosiodemografi yaitu jumlah keluarga dan tempat tinggal.
Pada variabel usia balita dikelompokan kembali menjadi 2 kategori
yaitu usia 12-35 bulan dan usia 36-59 bulan. Kemudian variabel status gizi
dikelompokan menjadi underweight, stunting dan wasting.
Pengelompokan status gizi tersebut berdasarkan nilai zscore <-2 pada
masing-masing indikator. Untuk mengetahui adanya kemaknaan hubungan
antara dua variabel maka dilihat berdasarkan odds ratio (OR) dengan
menggunakan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) yang
diperoleh dari uji chi square. Hasil analisis akan disajikan dalam bentuk
tabel yang memuat persentase, nilai OR dan 95% CI.
46
BAB V
HASIL
A. Prevalensi Kejadian Anemia pada Balita di Indonesia Tahun 2013
Hasil penelitan menemukan bahwa prevalensi anemia pada balita di
Indonesia mencapai 31,56% dan disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5. 1
Prevalensi Kejadian Anemia pada Balita di Indonesia Tahun 2013
Status Anemia Frekuensi (n) Persentase (%)
Anemia 279 31,56
Tidak Anemia 605 68,44
Jumlah 884 100
B. Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Karakteristik Balita di
Indonesia Tahun 2013
Karakteristik balita yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu jenis
kelamin, umur balita, status berat badan lahir, riwayat penyakit malaria, status
gizi, status pemberian vitamin A dan status imunisasi DPT. Analisis ini
bertujuan untuk mengetahui distribusi kejadian anemia berdasarkan
karakteristik balita dan dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5. 2
Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Karakteristik Balita di
Indonesia Tahun 2013
Variabel
Status Anemia
Anemia
n (%)
Tidak Anemia
n (%)
Jenis Kelamin
1. Perempuan 132 (47,31) 312 (51,57)
2. Laki-laki 147 (52,69) 293 (48,43)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
47
Variabel
Status Anemia
Anemia
n (%)
Tidak Anemia
n (%)
Umur Balita 1. 48-59 Bulan 69 (24,73) 220 (36,36)
2. 36-47 Bulan 50 (17,92) 180 (29,75)
3. 24-35 Bulan 81 (29,03) 124 (20,49)
4. 12-23 Bulan 79 (28,32) 81 (13,40)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
Status Berat Badan Lahir
1. Tidak BBLR 211 (79,62) 545 (94,45)
2. BBLR 54 (20,38) 32 (5,55)
Jumlah 265 (100,00) 577 (100,00)
Riwayat Penyakit Malaria 1. Tidak 276 (98,92) 598 (99,00)
2. Ya 3 (1,08) 6 (1,00)
Jumlah 279(100,00) 604 (100,00)
Jenis Malaria
1. Vivax 0 (0,00) 2 (33,33)
2. Falcifarum 2 ( 66,67) 2 (33,33) 3. Falcifarum dan Vivax 1 (33,33) 1 (16,67)
4. Lainnya 0 (0,0) 1 (16,67)
Jumlah 3 (100,00) 6 (100,00)
Status Gizi Balita (BB/U)
1. Gizi Lebih 1 (0,37) 14 (2,36) 2. Gizi Baik 221 (80,07) 440 (74,32)
3. Gizi Kurang 44 (15,94) 112 (18,93)
4. Gizi buruk 10 (3,62) 26 (4,39)
Jumlah 276 (100,00) 592 (100,00)
Status Gizi Balita (TB/U)
1. Tinggi 6 (2,25) 9 (1,55) 2. Normal 158 (59,18) 389 (66,95)
3. Pendek 70 (26,22) 108 (18,59)
4. Sangat pendek 33 (12,35) 75 (12,91)
Jumlah 267(100,00) 581 (100,00)
Status Gizi Balita (BB/TB)
1. Gemuk 8 (3,01) 36 (6,25) 2. Normal 235 (88,68) 487 (84,55)
3. Kurus 16 (6,01) 37 (6,42)
4. Sangat kurus 6 (2,30) 16 (2,78)
Jumlah 265 (100,00) 576 (100,00)
Status Pemberian Vitamin A
1. Ya 199 (73,70) 438 (75,26) 2. Tidak pernah 71 (26,30) 144 (24,74)
Jumlah 270 (100,00) 582 (100,00)
48
Variabel
Status Anemia
Anemia
n (%)
Tidak Anemia
n (%)
Status Imunisasi DPT 1. Lengkap 198 (73,06) 449 (79,47)
2. Tidak lengkap 34 (12,55) 67 (11,86)
3. Tidak Diberikan 39 (14,39) 49 (8,67)
Jumlah 271 (100,00) 565 (100,00)
Berdasarkan Tabel 5.2, anemia lebih banyak terjadi pada anak laki-laki
(52,7%) dan paling banyak terjadi pada kelompok umur 24-35 bulan (29%).
Meskipun begitu, proporsi pada masing-masing kelompok umur hampir
terdistribusi sama besar. Kemudian sebagian besar balita dengan anemia tidak
memiliki riwayat BBLR (79,6%) dan riwayat penyakit malaria (98,9%).
Berdasarkan status gizi BB/U, anemia lebih banyak terjadi pada balita dengan
gizi baik (80%) hanya 3,6% yang memiliki status gizi buruk. Begitupun
dengan status gizi berdasrkan TB/U dan BB/TB, anemia lebih banyak terjadi
pada balita dengan tinggi normal (59,2%) dan berat normal (88,7%). Selain
itu, anemia juga lebih banyak terjadi pada balita yang diberikan vitamin A
setiap 6 bulan sekali ( 73,7%) dan memiliki status imunisasi DPT lengkap
(73%).
C. Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Faktor Maternal dan Faktor
Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013
Tabel 5.3 menjelaskan distribusi kejadian anemia berdasarkan faktor
maternal dan sosiodemografi ibu. Faktor maternal yang dianalisis dalam
penelitian ini yaitu pendidikan, pekerjaan, jenis pekerjaan dan umur ibu
sedangkan sosiodemografi yang dianalisis yaitu jumlah keluarga, serta tempat
tinggal.
49
Tabel 5. 3
Gambaran Kejadian Anemia berdasarkan Faktor Maternal dan Faktor
Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013
Variabel
Status Anemia
Anemia
n (%)
Tidak Anemia
n (%)
Pendidikan Ibu
1. Tamat perguruan tinggi 11 (3,94) 36 (5,95)
2. Tamat SMA/Sederajat 72 (25,81) 178 (29,42)
3. Tamat SMP 72 (25,81) 136 (22,48)
4. Tamat SD 87 (31,18) 177 (29,26)
5. Tidak memiliki ijazah 37 (13,26) 78 12,89)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
Pekerjaan Ibu
1. Bekerja 105 (37,64) 209 (34,55)
2. Tidak bekerja 174 (62,36) 396 (65,45)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
Jenis Pekerjaan Ibu 1. PNS/TNI/Polri/BUMD/ BUMN 3 (2,81) 9 (4,31)
2. Pegawai swasta 14 (13,08) 28 (13,40)
3. Wiraswasta 23 (21,49) 56 (26,79)
4. Petani/nelayan/buruh 58 (54,21) 91 (43,54)
5. Lainnya 9 (8,41) 25 (11,96)
Jumlah 107 (100,00) 209 (100,00)
Umur Ibu
1. 45-54 tahun 7 (2,51) 19 (3,14)
2. 35-44 tahun 85 (30,46) 189 (31,24)
3. 25-34 tahun 136 (84,75) 325 (53,71)
4. 15-24 tahun 51 (18,27) 72 (11,91)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
Jumlah Keluarga
1. <5 anggota keluarga 222 (79,57) 472 (78,02)
2. 5 anggota keluarga 57 (20,43) 133 (21,98)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
Tempat Tinggal
1. Desa 139 (49,82) 262 (43,30)
2. Kota 140 (50,18) 343 (56,70)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
50
Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui bahwa hanya 4% balita anemia yang
memiiki ibu dengan pendidikan tamat perguruan tinggi. Meskipun begitu,
proporsi balita yang anemia hampir terdistribusi sama besar pada tiap jenjang
pendidikan yang ditamatkan ibu. Selain itu, 37,64% ibu yang bekerja memiliki
balita yang mengalami anemia dan sebagain besar bekerja sebagai
petani/nelayan/buruh (54,2%). Kemudian anemia balita lebih banyak terjadi
pada ibu dengan kelompok umur 25-34 tahun (84,7%) dan pada jumlah
anggota keluarga <5 (79,5%). Begitupun berdasarkan tempat tinggal,
sebanyak 50,18% balita anemia tinggal di kota.
D. Hubungan Kejadian Anemia dengan Karakteristik Balita di Indonesia
Tahun 2013
Tabel 5.4 menunjukkan hubungan antara kejadian anemia dengan
karakteristik balita. Pada variabel riwayat penyakit malaria tidak dilakukan
analisis bivariat karena hampir seluruh balita tidak memiliki riwayat malaria
(homogen). Kemudian pada variabel status gizi BB/U dikelompokan menjadi
normal dan berat kurang, dan pada variabel status gizi TB/U juga
dikelompokan menjadi normal dan stunting. Begitu juga pada variabel status
gizi BB/TB dikolpokan menjadi normal dan kurus.
Tabel 5. 4
Hubungan Kejadian Anemia dengan Karakteristik Balita di Indonesia
Tahun 2013
Variabel
Status Anemia
OR (95% CI) Anemia
n (%)
Tidak Anemia
n (%)
Jenis Kelamin
1. Perempuan 132 (47,31) 312 (51,57) 1,00 (Reference)
2. Laki-laki 147 (52,69) 293 (48,43) 1,18 (0,89 - 1,57)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
51
Variabel
Status Anemia
OR (95% CI) Anemia
n (%)
Tidak Anemia
n (%)
Umur Balita 1. 36-59 Bulan 119 (42,63) 400 (66,10) 1,00 (Reference)
2. 12-35 Bulan 160 (57,37) 205 (33,90) 2,62 (1,96-3,50)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
Status Berat Badan Lahir
1. Tidak BBLR 211 (79,62) 545 (94,45) 1,00 (Reference)
2. BBLR 54 (20,38) 32 (5,55) 4,36 (2,74 -6,94)
Jumlah 265 (100,00) 577 (100,00)
Status Gizi Balita (BB/U)
1. Normal 222 (80,47) 454 (76,76) 1,00 (Reference)
2. Berat kurang 54 (19,53) 138 (23,24) 0,80 (0,56- 1,14)
Jumlah 276 (100,00) 592 (100,00)
Status Gizi Balita (TB/U)
1. Normal 164 (61,38) 389 (68,50) 1,00 (Reference)
2. Stunting 103 (38,72) 183 (31,50) 1,36 (1, 01-1,85)
Jumlah 267(100,00) 581 (100,00)
Status Gizi Balita (BB/TB)
1. Normal 243 (91,66) 523 (90,79) 1,00 (Reference) 2. Kurus 22 (8,34) 53 (9,21) 0,89 (0,53-1,50)
Jumlah 265 (100,00) 576 (100,00)
Status Pemberian Vitamin A
1. Ya 199 (73,70) 438 (75,26) 1,00 (Reference)
2. Tidak pernah 71 (26,30) 144 (24,74) 0,92 (0,66-1,28)
Jumlah 270 (100,00) 582 (100,00)
Status Imunisasi DPT
1. Lengkap 198 (73,06) 449 (79,47) 1,00 (Reference) 2. Tidak lengkap 34 (12,55) 67 (11,86) 1,15 (0,74-1,79)
3. Tidak Diberikan 39 (14,39) 49 (8,67) 1,80 (1,15-2,84)
Jumlah 271 (100,00) 565 (100,00)
Hubungan antara kejadian anemia dengan karakteristik balita dilihat
berdasarkan odds rasio dan 95% CI yang diperoleh dari uji chi square. Hasil
analisis menemukan bahwa risiko anemia pada anak laki-laki ditemukan
sedikit lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan namun secara
statistik tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan kejadian
anemia OR 1,18 (95%CI 0,89 - 1,57). Kemudian berdasarkan umur balita,
52
terjadi peningkatan risiko pada kelompok umur balita yang lebih muda (12-35
bulan) sebesar 2,62 kali dibandingkan kelompok umur 36-59 bulan dan secara
statistik ditemukan hubungan yang signifikan antara kejadian anemia dengan
umur balita (95% CI 1,96-3,50). Begitupun dengan balita yang BBLR berisiko
4,36 lebih tinggi mengalami anemia dibandingkan dengan balita yang tidak
BBLR (95%CI 2,74-6,94).
Berdasarkan status gizi balita, hanya status gizi berdasarkan indikator
TB/U yang secara statistik ditemukan adanya hubungan yang signifikan
dengan kejadian anemia OR 1,36 (95% CI 1, 01-1,85), sedangkan berdasarkan
BB/U (95% CI 0,56- 1,14) dan BB/TB (95% CI 0,53-1,50) tidak ditemukan
hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia. Begitupun antara kejadian
anemia dan status pemberian vitamin A secara statistik juga tidak ditemukan
hubungan yang signifikan (5% CI 0,66-1,28). Namun berdasarkan status
imunisasi DPT, terjadi peningkatan risiko anemia pada balita yang memiliki
status imunisasi DPT tidak lengkap (OR 1,15) dan semakin meningkat pada
balita yang tidak diberikan imunisasi DPT (OR 1,80) meskipun hanya pada
kategori tidak diberikan imunisasi DPT yang ditemukan berhubungan dengan
anemia secara statistik (95% CI 1,15-2,84).
E. Hubungan Kejadian Anemia dengan Faktor Maternal dan Faktor
Sosiodemografi pada Balita di Indonesia Tahun 2013
Tabel 5.5 menunjukkan hasil analisis bivariat antara kedanian anemia
dengan faktor maternal dan sosiodemografi. Pada variabel pekerjaan ibu,
hanya menganalisis status pekerjaan saja sedangkan jenis pekerjaan hanya
dilakukan analisis univariat.
53
Tabel 5. 5
Hubungan Kejadian Anemia dengan Faktor Maternal dan Faktor
Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013
Variabel
Status Anemia
OR (95% CI) Anemia
n (%)
Tidak Anemia
n (%)
Pendidikan Ibu
1. Tamat perguruan tinggi 11 (3,94) 36 (5,95) 1,00 (Reference)
2. Tamat SMA/Sederajat 72 (25,81) 178 (29,42) 1,32 (0,64-2,74)
3. Tamat SMP 72 (25,81) 136 (22,48) 1,73 (0,83-3,60)
4. Tamat SD 87 (31,18) 177 (29,26) 1,69 (0,78-3,31)
5. Tidak memiliki ijazah 37 (13,26) 79 12,89) 1,55 (0,71-3,89)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
Pekerjaan Ibu
1. Bekerja 106 37,64) 209 (34,55) 1,00 (Reference)
2. Tidak bekerja 174 (62,36) 396 (65,45) 0,87 (0,65-1,17)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
Umur Ibu
1. 45-54 tahun 7 (2,51) 19 (3,14) 1,00 (Reference)
2. 35-44 tahun 85 (30,46) 189 (31,24) 1,22 (0,295-3,01)
3. 25-34 tahun 136 (84,75) 325 (53,71) 1,14 (0,47-2,76)
4. 15-24 tahun 51 (18,27) 72 (11,91) 1,92 (0,75-4,91)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
Jumlah Keluarga
1. <5 anggota keluarga 222 (79,57) 472 (78,02) 1,00 (Reference)
2. 5 anggota keluarga 57 (20,43) 133 (21,98) 0,91 (0,64-1,29)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
Tempat Tinggal
1. Kota 139 (49,82) 262 (43,30) 1,00 (Reference)
2. Desa 140 (50,18) 343 (56,70) 1,30 (0,98-1,72)
Jumlah 279 (100,00) 605 (100,00)
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa balita dengan ibu yang hanya
menamatkan pendidikan SMP memiliki risiko paling besar (OR 1,73) menderita
anemia dibandingkan jenjang pendidikan lainnya dan risikonya semakin menurun
apabila semakin tinggi tingkat pendidikan ibu. Meskipun demikian, secara
54
statistik tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kejadian anemia
dengan pendidikan ibu. Begitupun dengan status pekerjaan ibu tidak ditemukan
adanya hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia (95% CI 0,65-1,17).
Kemudian terjadi peningkatan risiko yang signifikan antara anemia balita dengan
umur ibu, kelompok umur ibu 15-24 tahun memiliki risiko paling besar (OR 1,92)
dibandingkan dengan kelompok umur ibu yang lebih tua. Namun kejadian anemia
secara statistik tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan umur ibu pada
setiap kelompok umur.
Kemudian berdasarkan sosiodemografi ibu, tidak ada perbedaan risiko
yang signifikan antara jumlah anggota keluarga <5 dan 5 dengan kejadian
anemia (OR 0,91). Berdasarkan tempat tinggal juga tidak ditemukan adanya
perbedaan risiko yang signifikan antara desa dan kota dengan kejadian anemia
balita (OR 1,3) dan tidak ditemukan adanya hubungan antara tempat tinggal
dengan kejadian anemia (95% CI 0,98-1,72).
55
BAB VI
PEMBAHASAN
F. Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yang menjadi
keterbatasan penelitian dan berpengaruh terhadap hasil penelitian.
Keterbatasan penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pada penelitian ini, beberapa variabel yang berhubungan langsung dengan
anemia seperti praktik pengasuhan dan konsumsi makanan tidak di analisis
karena tidak tersedia dalam dataset Riskesdas 2013.
2. Penelitian ini menggunakan data Riskesdas tahun 2013 dimana ada
beberapa pengukuran variabel yang berpotensi bias informasi karena
dilakukan dengan metode wawancara yaitu pada pengukuran pemberian
vitamin A. Bias pada pengukuran pemberian viatamin A dapat disebabkan
karena responden diharuskan untuk mengingat apakah anaknya diberikan
kapsul vitamin A setiap 6 bulan sekali. Namun untuk memudahkan
responden dibantu dengan kartu peraga. Selain itu bias informasi juga
dapat terjadi pada pengukuran status imunisasi DPT, apabila responden
tidak dapat menunjukkan dokumen/kartu imunisasi maka responden harus
mengingat kembali riwayat imunisasi balita. Pengukuran riwayat penyakit
56
malaria juga berpotensi bias informasi karena hanya berdasarkan hasil
wawancara tanpa validasi pencatatan diagnosis penyakit tersebut. Namun
untuk meminimalisir bias informasi maka dilakukan pertanyaan ulangan
(probing). Selain itu penggunaan instrumen penelitian telah diuji validitas
dan reliabilitasnya.
3. Analisis pada beberapa karakteristik individu tidak dilakukan pada setiap
sampel penelitian yaitu pada variabel berat badan lahir dimana responden
tidak memiliki atau tidak dapat menunjukkan dokumen cacatan kelahiran
balita. Selain itu, terdapat beberapa balita yang tidak dilakukan
pengukuran antropometri. Pada variabel riwayat penyakit malaria,
pemberian vitamin A dan imunisasi DPT juga tidak dilakukan analisis
pada beberapa sampel karena responden tidak mengetahui atau tidak dapat
mengingat jawaban variabel tersebut. Jumlah sampel yang dapat dianalisis
dijelaskan pada Tabel 4.1. Selain itu, Penelitian ini juga terbatas hanya
pada balita termuda yang dimiliki oleh responden.
G. Prevalensi Kejadian Anemia pada Balita di Indonesia Tahun 2013
Anemia adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan jumlah sel darah
merah atau penurunan konsentrasi hemoglobin di dalam sirkulasi darah,
sehingga kapasitas oksigen tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
fisiologis (WHO,2014). Hasil penelitian menemukan bahwa prevalensi anemia
pada balita di Indonesia mencapai 31,56%. Hasil survei prevalensi anemia di
Indonesia lainnya pada tahun 2006 menemukan anemia balita sebesar 26,3%.
Pada penelitian ini, penentuan status anemia menggunakan pengukuran kadar
hemoglobin berdasarkan usia 6-59 bulan. Balita dikatakan mengalami anemia
57
apabila hasil pengukuran kadar hemoglobin <11 gr/dl (WHO,2008).
Hemoglobin merupakan bagian yang ada di dalam sel derah merah, oleh sebab
itu anemia dapat didiagnosis melalui pengukuran kadar hb (Enger dkk, 2007).
Prevalensi anemia balita di Indonesia pada penelitian ini ditemukan lebih
rendah dibandingkan dengan hasil penelitian di Brazil (51,2%) dan di
Banglades (40,9%) (Leite dkk, 2013; Uddin dkk, 2010). Meskipun prevalensi
anemia di Indonesia tidak termasuk masalah kesehatan masyarakat yang berat,
namun berdasarkan hasil survei sebelumnya telah terjadi peningkatan
prevalensi anemia pada penelitian ini. Selain itu, populasi pada penelitian ini
adalah balita berusia 12-59 bulan. Berbeda dengan penelitian lainnya yang
menemukan prevalensi anemia tinggi karena populasi dalam penelitian
tersebut adalah balita yang berusia 6-59 bulan. Seperti diketahui bahwa balita
berusia >12 bulan berisiko anemia lebih besar sehingga hasil penelitian
dengan populasi balita berusia 6-59 bulan berpeluang menemukan prevalensi
lebih tinggi (Habte dkk, 2013; Santos dkk 2011).
Secara teori, anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu gangguan
pembentukan eritrosit, perdarahan dan hemolisis. Gangguan pembentukan
eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi tertentu seperti mineral
(besi, tembaga), vitamin (A, B12, asam folat), asam amino, serta gangguan
pada sumsum tulang. Kemudian perdarahan baik akut maupun kronis
mengakibatkan penurunan total sel darah merah dalam sirkulasi darah yang
menyebabkan anemia serta hemolisis yaitu proses penghancuran eritrosit
(Hensbroek dkk, 2010).
58
Anemia dapat mengakibatkan jaringan tubuh terutama otak kekurangan
asupan oksigen. Pada anak-anak di bawah usia lima tahun kekurangan oksigen
ke jaringan otak dapat mengakibatkan menurunnya fungsi kognitif,
menghambat pertumbuhan dan perkembangan psikomotorik (Santos, 2011).
Hasil ekperimen pada hewan percobaan juga membuktikan bahwa hewan yang
anemia mengalami penurunan aktivitas spontan (Booth dan Auket, 1997).
Selain itu, anemia juga berpengaruh pada sistem kekealan tubuh balita,
sehingga balita yang anemia akan mudah terserang penyakit infeksi (Sanou
dan Ngnie-Teta, 2012).
The American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan melakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) setidaknya satu kali pada
usia 9-12 bulan dan diulang 6 bulan kemudian pada usia 15-18 bulan atau
pemeriksaan tambahan setiap 1 tahun sekali pada usia 2-5 tahun. Pemeriksaan
tersebut dilakukan pada populasi dengan risiko tinggi seperti bayi dengan
kondisi prematur, berat lahir rendah, riwayat mendapat perawatan lama di unit
neonatologi, dan anak dengan riwayat perdarahan, infeksi kronis, etnik
tertentu dengan prevalensi anemia yang tinggi, mendapat asi ekslusif tanpa
suplementasi, mendapat susu sapi segar pada usia dini, dan faktor risiko sosial
lainnya (Kumar, 2001). Dengan demikian, diharapkan bagi pemerintah baik
pusat maupun daerah agar dapat membuat suatu program skrining untuk
mendeteksi anemia pada balita. Hal ini bertujuan untuk melalukan diteksi dini
terhadap anemia dan faktor risikonya, khususnya pada balita sehingga
penanggulangan dapat segera dilakukan.
59
H. Gambaran Kejadian Anemia Berdasarkan Karakteristik Balita di
Indonesia Tahun 2013
1. Jenis Kelamin Balita
Hasil penelitian menemukan bahwa proporsi anemia pada anak
laki-laki lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan. Konsistensi
hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil survei nasional di Brazil
dan di Ghana yang menemukan bahwa anemia paling banyak terjadi pada
anak laki-laki (Leite dkk, 2013; Ewusie dkk, 2014). Penelitian lainnya di
Haiti juga menemukan hal yang sama bahwa anemia terjadi sedikit lebih
tinggi pada anak laki-laki di bandingkan dengan anak perempuan (Ayoya
dkk, 2013). Begitupun dengan penelitian Santos dkk (2011) juga
menemukan prevalensi anemia lebih tinggi pada anak laki-laki
dibandingkan perempuan. Berdasarkan konsistensi hasil penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa anemia cenderung terjadi pada anak
laki-laki.
2. Usia Balita
Berdasarkan karakteristik usia, proporsi balita anemia lebih banyak
ditemukan pada usia 24-35 bulan sedangkan proporsi balita yang tidak
anemia anemia lebih banyak ditemukan pada usia 48-59 bulan. Beberapa
hasil penelitian lainnya juga menemukan hal yang serupa. Proporsi balita
anemia paling banyak terjadi pada kelompok usia ≤35 bulan (Leite dkk,
2013; Ewusie dkk, 2014; Santos dkk, 2011). Begitupun dengan penelitian
Santos dkk (2011) yang menemukan bahwa prevalensi anemia balita
semakin tinggi pada kelompok usia yang lebih muda. Berdasarkan
60
konsistensi hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa anemia balita
cenderung terjadi pada usia ≤35 bulan.
3. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir pada penelitian ini diukur berdasarkan dokumen
catatan kelahiran, hasil analisis pada penelitian ini menemukan bahwa
proporsi anemia lebih bayak ditemukan pada balita yang tidak BBLR.
Namun pada proporsi tidak anemia, mayoritas balita tidak memiliki
riwayat BBLR. Hasil ini juga sesuai dengan hasil survei pada balita
pribudi di Brazil yang menemukan bahwa proporsi anemia pada balita
BBLR dan tidak BBLR sama besar (Leite dkk, 2013). Penelitian Lofoz
dkk (2012) juga menemukan bahwa balita anemia cenderung memiliki
riwayat BBLR.
4. Riwayat Penyakit Malaria
Riwayat penyakit malaria berdasarkan hasil diagnosis dokter yang
dikumpulkan melalui wawancara. Berdasarkan hasil analisis pada
penelitian ini, 98,9% balita yang anemia tidak memiliki riwayat penyakit
malaria. Hal ini dimungkinkan karena daerah endemis malaria di
Indonesia hanya sebesar 15% yaitu provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur,
Papua Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku (Riskesdas, 2013).
Pada dasarnya, malaria merupakan penyumbang utama anemia di
dunia (Shaw dan Frieman, 2011). Malaria memiliki hubungan yang kuat
dengan peningkatan prevalensi anemia karena mekanisme penghancuran
sel darah merah oleh parasit plasmodium. Penyebab anemia pada penderita
61
malaria disebabkan karena parasit menempati sel darah merah sehingga
membuat sel hemolisis. Malaria berat disertai dengan defisit glukosa-6-
fosfat dehidrogenase (G6PDD) sangat berisiko memperparah hemolisis
(Hussein dan Mohammed, 2014).
Penelitian di Ethiopia tidak menemukan hubungan antara anemia
dan infeksi malaria. Hal ini dikarenakan rendahnya prevalensi malaria di
area penelitian (Gutema dkk, 2014). Namun penelitian pada balita di
wilayah rural di Kenya menemukan 32,5% balita anemia terinfeksi malaria
(Foote dkk, 2013).Penelitian di Sudan juga menemukan sebagian besar
balita terkena beberapa serangan malaria pada tahun sebelum tanggal
penelitian. Hal ini disebabkan karena Sudan merupakan wilayah endemis
malaria (Hussein dan Mohammed, 2014).
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa sebesar sebesar 66,7%
balita yang memiliki riwayat penyakit malaria Tropicana/ falcifarum
menderita anemia. Berbagai spesies Plasmodium menyebabkan malaria,
namun P. falciparum adalah yang paling sering menimbulkan anemia pada
anak-anak. Bertentangan dengan anemia defisiensi besi yang berkembang
perlahan, P. falciparum menyebabkan anemia berat dan mendalam dalam
waktu hanya 48 jam setelah demam. Plasmodium lain juga berkontribusi
terhadap malaria termasuk P. vivax dan P malaria namun tidak separah P.
falciparum (Sanou dan Ngnie-Teta, 2012)
Menurut teori, infeksi Plasmodium sp. menjadi infeksi yang
dominan secara signifikan menurunkan kadar hemogoblin dan
meningkatkan risiko anemia. Semakin berat infeksinya semakin
62
berdampak pada rendahnya level hemoglobin. Siklus hidup parasit
plasmodium meningkatkan hemolisis sel darah merah secara langsung atau
pada proses inflamasi cytokine sehingga pada individu yang terinfeksi,
proses produksi sel darah merah yang baru tidak akan mencukupi untuk
mengganti sel darah yang rusak (Green dkk, 2011).
5. Status Gizi Balita
Status gizi balita dihitung berdasarkan indikator usia, berat badan
dan tinggi badan menggunakan alat timbangan digital dan alat pengukur
tinggi badan. Kemudian angka berat badan dan tinggi badan setiap balita
dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku
antropometri anak balita WHO 2005 sehingga terdapat 4 kategori pada
masing-masing indikator. Berdasarkan hasil analisis status gizi BB/U,
anemia lebih banyak terjadi pada balita dengan gizi baik hanya 3,6% yang
memiliki status gizi buruk. Begitupun dengan status gizi berdasrkan TB/U
dan BB/TB, anemia lebih banyak terjadi pada balita dengan tinggi normal
dan berat normal.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan di Maroko yang menemukan distribusi balita anemia lebih
banyak memiliki status gizi yang baik (Houi, 2008). Begitupun dengan
hasil penelitian sebelumnya di wilayah Indonesia juga menemukan hal
yang serupa, hanya sebagian kecil balita anemia yang memiliki status gizi
buruk, sangat pendek dan sangat kurus (Howard dkk, 2007; Semba dkk,
2008). Namun hasil penelitian lainnya menemukan bahwa distribusi
63
anemia lebih banyak pada balita yang stunting dan kurus (Foote dkk,
2013; Shinoda dkk, 2012).
6. Status Pemberian Vitamin A
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi anemia lebih banyak
terjadi pada balita yang diberikan vitamin A setiap 6 bulan sekali. Hasil ini
serupa dengan penelitian sebelumnya di Indonesia yang menemukan
bahwa 55,9% anemia ditemukan pada balita yang mendapat suplementasi
vitamin A (Sougandis dkk, 2012). Berbeda dengan hasil penelitian di
Kenya menemukan bahwa 75,9% anemia terjadi pada balita yang
defisiensi vitamin A (Foote dkk, 2013).
Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan karena perbedaan
pengukuran, penelitian di Kenya mengukur defisiensi vitamin A
berdasarkan kadar retinol di plasma darah sedangkan penelitian ini hanya
mengukur status pemberian vitamin A setiap 6 bulan sekali. Secara teori,
defisiensi vitamin A berpotensi menyebabkan anemia yang disebabkan
infalamasi kronis karena vitamin A berperan dalam imunitas (Semba,
2008). Selain itu vitamin A juga berperan penting dalam eritropoesis yang
menghasilkan hemoglobin (Balarajan dkk, 2011).
7. Status Imunisasi DPT
Hasil penelitian menemukan bahwa proporsi anemia lebih banyak
terjadi pada balita yang diberikan imunisasi DPT lengkap. Hasil penelitian
ini berbeda dengan hasil penelitian di Ethiopia yang menemukan bahwa
anemia lebih banyak terjadi pada balita yang tidak mendapatkan imunisasi
64
DPT (Habtde dkk, 2013). Namun apabila dibandingkan dengan antara
proporsi anemia dan tidak anemia, pada balita yang tidak berikan
imunisasi DPT cenderung mengalami anemia lebih besar. Hal ini juga
didukung oleh hasil penelitian Ozkaya dkk (2013) yang menemukan
bahwa anemia lebih banyak terjadi pada balita yang tidak memiliki
imunisasi DPT lengkap.
D. Gambaran Kejadian Anemia Berdasarkan Faktor Maternal dan
Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013
1. Pendidikan Ibu
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa hanya 4% balita anemia
yang memiiki ibu dengan pendidikan tamat perguruan tinggi. Meskipun
begitu, proporsi balita yang anemia hampir terdistribusi sama besar pada
tiap jenjang pendidikan yang ditamatkan ibu. Hal ini dapat diartikan
bahwa balita yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi
cenderung tidak mengalami anemia. Hasil ini juga diperkuat dengan
temuan bahwa ibu yang tingkat pendidikan formalnya <6 tahun cenderung
memiliki balita yang anemia (84,9%) (Ngui dkk, 2012). Begitupun dengan
hasil penelitian lainnya di Indonesia, proporsi anemia balita paling banya
ditemukan pada ibu yang pendidikannya hanya 1-6 tahun (Suganidia dkk,
2012). Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar anemia balita terjadi
ketika memiliki ibu yang hanya lulus SMP. Hasil penelitian lainnya juga
menemukan bahwa sebagian besar anemia balita memiliki ibu dengan
tingkat pendidikan terbawah (Al-Qoud dkk, 2014).
65
2. Pekerjaan Ibu
Analisis pekerjaan berdasrkan status pekerjaan ibu dan jenis
pekerjaan ibu. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa 37,64% ibu
yang bekerja memiliki balita yang mengalami anemia dan sebagain besar
bekerja sebagai petani/nelayan/buruh. Hasil ini juga sesuai dengan temuan
di Maroko, pada balita anemia lebih banyak ditemukan pada ibu yang
bekerja kasar./buruh (Houi dkk, 2008). Penelitian cross-sectional di
wolayah Ghana juga menemukan bahwa pada ibu yang bekerja, proporsi
anemia balita sebagian besar terjadi pada ibu yang bekerja sebagai
petani/pedagang/pemgrajin (Vanbuskirk dkk, 2014)
Selain itu penelitian di Cuba juga menemukan proporsi anemia
balita hanya sebesar 34,6% pada ibu yang bekerja (Pita dkk, 2014).
Begitupun dengan penelitian di Kuwait, proporsi anemia pada ibu yang
bekerja ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan iu yang tidak
bekerja (Al-qaoud dkk, 2014). Sejalan dengan hasil penelitian lainnya,
proporsi anemia balita lebih banyak ditemukan pada ibu yang bekerja di
luar rumah (Kounnavong dkk, 2011). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa anemia cenderung terjadi pada ibu yang tidak bekerja.
3. Usia Ibu
Hasil penelitian menemukan bahwa proporsi anemia balita
mayoritas terjadi pada ibu dengan usia 25-34 tahun. Hasil penelitian
lainnya justru menemukan proporsi anemia terbanyak yaitu pada ibu usia
15-19 tahun (Habte dkk, 2013). Penelitian sebelumnya di wilayah
perkotaan Indonesia juga menemukan sebesar 27% anemia balita memiliki
66
ibu berusia 25-28 tahun (Semba dkk, 2008). Penelitian lainnya di
Indonesia justru menemukan bahwa proporsi anemia balita paling besar
pada kelompok usia ≤24 tahun (Souganidis dkk, 2012). Penelitian Al-
Qaoud dkk (2014) menemukan bahwa usia ibu yang kurang dari 30 tahun
cenderung memiliki anak yang anemia dibandingkan dengan ibu yang
lebih tua. Perbedaan hasil penelitian dimungkinkan karena karateristik ibu
pada penelitian ini mayoritas adalah berusia 25-34 bulan.
4. Jumlah Keluarga
Hasil penelitian menemukan bahwa sebagian besar anemia balita
ditemukan pada jumlah anggota keluarga <5 orang. Penelitian Al-Qaoud
dkk (2014) juga menemukan hasil yang sama. Namun hal ini berbeda
dengan hasil berbagai penelitian lainnya yang menemukan bahwa anemia
balita lebih banyak terjadi pada jumlah keluarga >5 (Leite dkk, 2013;
Guatema dkk, 2014; Kounnavong dkk, 2011). Penelitian di India juga
menemukan bahwa prevalensi anemia cenderung terjadi pada keluarga
yang besar. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian dari anggota
keluarga pada anak-anak karena kesibukan mereka. Akibatnya anak-anak
tidak mendapatkan perhatian untuk makanan dan nutrisi yang tepat
(Baranwal dkk, 2014).
Perbedaan hasil ini mungkin dikarenakan mayoritas proporsi
jumlah keluarga pada penlitian ini berjumlah <5 anggota keluarga. Hal ini
mungkin juga disebabkan karena pemerintah di Indonesia memiliki
program untuk menekan laju pertumbuhan penduduk yaitu dengan
melakukan program keluarga berencana (KB). Program KB menganjurkan
67
hanya memiliki 2 anak saja. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, penduduk
yang melakukan KB sebesar 597%, sehingga kemungkinan berdampak
pada karakteristik jumlah keluarga di Indonesia yang berjumlah 4 anggota
keluarga termasuk ayah dan ibu serta 2 orang anak.
5. Tempat Tinggal
Hasil penelitian menemukan bahwa proporsi anemia balita 50,18%
tinggal di wilayah pedesaan. Hail ini menunjukkan bahwa proporsi anemia
balita baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan tidak berbeda. Hasil
penelitian lainnya juga menemukan hal yang sama, 51,6% balita anemia
tinggal di desa (Habte dkk, 2013). Hasil penelitian juga mengatakan
bahwa anemia terjadi di wilayah pedesaan/rural sebesar 62,4% (Foote dkk,
2013; Baranwal dkk, 2014). Begitupun dengan hasil penelitian
sebelumnya di Indonesia menemukan bahwa 18,3% anemia ditemukan di
wilayah perkotaan dan 15,5% anemia ditemukan di wilayah pedesaan
(Sougandini, 2012). Penelitian lainnya di Indonesia juga menemukan
prevalensi anemia balita di wilayah pedesaan sebesai 56,1% dan di
wilayah perkotaan sebesar 58,7% (Howard dkk, 2007; Semba dkk, 2008).
Dapat disimpulkan bahwa anemia dapat terjadi dimana saja dan tidak
bergantung pada karakteristik tempat tinggal.
68
E. Hubungan Kejadian Anemia Berdasarkan Karakteristik Balita di
Indonesia Tahun 2013
1. Jenis Kelamin Balita
Jenis kelamin merupakan karakteristik yang tidak dapat
dimodifikasi dan selalu ada pada individu. Berdasarkan hasil penelitian,
risiko anemia pada anak laki-laki ditemukan sedikit lebih besar
dibandingkan dengan anak perempuan (OR 1,18 ) dan secara statistik tidak
ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
kejadian anemia (95%CI 0,89 - 1,57). Dapat dikatakan bahwa anemia
dapat terjadi baik pada anak laki-laki maupun perempuan dan tidak
terdapat perbedaan risiko yang signifikan antara anak laki-laki dan
perempuan.
Umumnya anak laki-laki lebih berisiko terhadap anemia (Alzain,
2012). Pada anak laki-laki rentan mengalami defisiensi zat besi dibanding
anak perempuan karena pertumbuhan yang lebih cepat pada bulan-bulan
pertama kehidupan (Pita dkk, 2014). Helmyati dkk (2007) menjelaskan
bahwa pertambahan berat bayi laki-laki lebih cepat dibandingkan dengan
bayi perempuan, akibatnya zat besi yang dimiliki lebih cepat terpakai
untuk proses pertumbuhan pada bayi laki-laki.
Besi merupakan zat yang dibutuhkan dalam pembentukan
hemoglobin dalam sel darah merah, khususnya pada saat pembentukan
heme (Sembulingan, 2012). Anemia dapat terjadi apabila seseorang
kekurangan zat besi. Hal ini disebabkan karena besi merupakan inti atom
molekul hemoglobin, seseorang yang mengalami defisisensi zat besi tidak
dapat mencukupi kebutuhan produksi hemoglobin. Oleh sebab itu mereka
69
dapat mengalami anemia meskipun jumlah sel darah merahnya normal
(Enger dkk, 2007).
Teori tersebut juga didukung oleh hasil dari beberapa penelitian
yang menyebutkan bahwa anak laki-laki ditemukan memiliki risiko lebih
tinggi untuk menderita anemia daripada anak perempuan (OR: 1,215
(1,083, 1,362) p-value <0.001 (Ngesa dan Mwambi, 2014). Penelitian lain
juga menemukan adanya hubungan yang signifikan antara anemia dengan
jenis kelamin balita (95% CI 48,9-52,0) (Habte dkk, 2013).
Meskipun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
sebelumnya, namun ada pendapat yang menyebutkan bahwa pada anak-
anak terjadi kebutuhan besi yang cukup tinggi untuk pertumbuhan mereka,
tetapi mereka tidak dapat mengatur pola makannya sendiri. Sehingga
anak-anak menjadi rentan terhadap anemia baik itu pada anak laki-laki
maupun perempuan (Santos dkk, 2011). Hal ini juga didukung oleh hasil
penelitian di Papua New Ginea yang juga tidak menemukan hubungan
secara statistik antara jenis kelamin balita dengan anemia (Shinoda dkk,
2012). Penelitian lainnya juga tidak menemukan hubungan antara anemia
dan jenis kelamin (Kumar dkk, 2014; Ewusie dkk, 2014). Selain itu, hasil
analisis univariat pada penelitian ini juga menemukan bahwa anemia
cenderung terjadi pada anak laki-laki. Oleh karena itu, disarankan kepada
peneleiti selanjutnya untuk melakukan penelitian kembali antara jenis
kelamin dengan anemia, namun peneliti dapat mengkontrol faktor lain
yang dapat mempengaruhi.
70
2. Usia balita
Usia merupakan faktor risiko seseorang untuk terkena anemia.
Menurut WHO (2008) anemia dapat terjadi pada seluruh tahap kehidupan
manusia namun lebih berisiko terjadi pada balita dan ibu hamil. Hasil
penelitian menemukan bahwa terjadi peningkatan risiko pada kelompok
usia balita yang lebih muda (12-35 bulan) sebesar 2,62 kali dibandingkan
kelompok usia 36-59 bulan dan secara statistik ditemukan hubungan yang
signifikan antara kejadian anemia dengan usia balita (95% CI 1,96-3,50).
Hasil penelitian ini telah memenuhi kriteria kausalitas Hill dengan
menunjukkan kekuatan hubungan secara statistik.
Hubungan antara usia balita dengan kejadian anemia dalam
penelitian ini terlihat pada distribusi masing-masing kelompok anemia dan
tidak anemia. Sebanyak 57,4% dari kelompok anemia adalah balita berusia
12-35 bulan. Sedangkan hanya 34% dari kelompok tidak anemia yang
berusia 12-35 bulan. Berdasarkan kemampuan alat pencernaan dan juga
kebutuhan gizinya, balita terbagi menjadi dua, yaitu balita yang berusia
12-35 bulan dan balita berusia 36-60 bulan. Pada anak balita yang berusia
12-35 bulan bisa disebut sebagai konsumen pasif karena hanya menerima
makanan dari pengasuhnya, sedangkan pada balita 36-60 bulan adalah
konsumen aktif karena dapat menentukan makanan dalam variasi yang
berbeda sesuai keinginannya (Prikasih dan Suganti, 2009). Dapat
disimpulkan bahwa anemia pada balita 12-36 bulan kemungkinan juga
disebabkan karena praktik pemberian makanan dari orangtua.
71
Pendapat lain mengatakan bahwa balita yang memiliki usia lebih
tua umumnya memiliki tingkat toleransi yang lebih baik terhadap makanan
yang mengandung besi serta peningkatan kekebalan tubuh sehingga
terlindungi dari penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia (Habte
dkk, 2013). Andriana dan Sumarmi (2006) menjelaskan pada
penelitiannya di Sidoarjo bahwa pada usia 12–23 bulan merupakan masa
peralihan antara penyusuan dan makanan dewasa serta masa yang paling
kritis karena adanya bahaya ketidakcukupan gizi dan penyakit infeksi pada
balita. Selain itu, pada masa di atas satu tahun anak-anak memerlukan
makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya, sehingga balita
rentan mengalami anemia terutama anemia gizi.
Hasil pada penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian
lainnya yang menemukan hubungan yang signifikan antara anemia dengan
umur balita, Leal dkk (2011) menemukan bahwa balita usia 6-24 bulan
lebih berisiko anemia baik pada wilayah urban [OR 2,4 (95% CI 1.92-
2.94)] maupun wilayah rural [OR 3.0 (95% CI 2.46-3.63)]. Hasil
penelitian lainnya juga menemukan hal yang sama (Ayoya dkk, 2011;
Foote dkk, 2013). Kelompok umur dibawah 24 bulan berisiko 2,6 kali
lebih besar mengalami anemia (p : 0,000 CI 1,7-3,8) (Assefa dkk, 2014).
Pada hasil penelitian di kota Gaza Palestina, rata-rata anemia balita
dalam komunitas ini terjadi pada usia 1,75 tahun. Penjelasan mengenai
penurunan kadar hemoglobin pada anak-anak ini yaitu anak-anak sedang
berada pada periode ledakan pertumbuhan yang cepat tetapi kebutuhan
gizi untuk pembentukan sel darah merah tidak terpenuhi (Alzain, 2012).
72
Berdasarkan hasil penelitian, semakin tua umur anak maka akan memiliki
efek proteksi terhadap anemia (Leite dkk, 2013). Hal ini juga didukung
oleh hasil penelitian Shinoda (2012), semakin muda umur anak maka
semakin tinggi risikonya mengalami anemia. Anemia juga lebih banyak
ditemukan pada anak-anak usia 12-17 bulan dibandingkan dengan anak-
anak usia 36-59 bulan (Singh dan Patra, 2014). Penelitian Ewusie dkk
(2014) juga mengatakan bahwa prevalensi anemia pada balita usia <3
tahun ditemukan paling tinggi (95% CI 8,44-8,98).
Meskipun usia balita merupakan faktor risiko anemia yang tidak
bisa dimodifikasi, bukan berarti tidak dapat dilakukan upaya pencegahan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang pemeriksaan anemia
pada balita pada setiap kelompok usia risiko, disarankan kepada
pemerintah khususnya pemerintah daerah untuk dapat melakukan kegiatan
skrining tersebut di Puskesmas atau Posyandu di masing-masing wilayah
sebagai bagian dari kegiatan penyelenggaraan kesehatan anak.
3. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir adalah pengukuran yang dilakukan sesaat setelah
bayi lahir. Standar berat badan lahir pada penelitian ini menggunakan
standar dari WHO, yaitu dikatakan BBLR apabila berat lahir <2500 gram
(WHO, 2015). Hasil analisis menunjukkan bahwa BBLR berhubungan
dengan kejadian anemia, balita yang BBLR berisiko 4,36 lebih tinggi
mengalami anemia dibandingkan dengan balita yang tidak BBLR (95% CI
2,74-6,94). Hal ini menunjukkan bahwa BBLR merupakan faktor risiko
trjadinya anemia pada balita.
73
Pada dasarnya berat bayi saat lahir merupakan akibat langsung
dari status kesehatan dan gizi ibu sebelum dan selama kehamilan
(Uniceff, 2012). Berat badan lahir berhubungan dengan faktor maternal,
ibu yang mengalami anemia selama kehamilan cenderung untuk
melahirkan anak dengan BBLR (Leite dkk, 2013). Anemia merupakan
masalah yang sangat penting selama kehamilan karena dampak buruk yang
ditimbulkan yaitu BBLR. Hal ini disebabkan karena pada ibu hamil yang
anemia tidak mampu membawa nutrisi dan oksigen untuk kecukupan
perkembangan janin (Uchimura dkk, 2003).
Hasil penelitian di Brazil menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi
hemoglobin pada balita dengan BBLR adalah 9,7 gr/dl. Selain itu, balita
BBLR memiliki risiko 3,03 kali lebih besar menderita anemia. Hal ini
menunjukkan bahwa anak-anak dengan berat lahir di bawah 2.500 gram
tiga kali lebih mungkin mengalami anemia dibandingkan dengan berat
lebih dari 2.500 gram (Uchimura dkk, 2003). Penelitian di Cuba pada
tahun 2011 juga menemukan hubungan yang signifikan antara BBLR dan
anemia yaitu OR 1.74 (95% CI 1.04–2.92) (Pita dkk, 2011). Begitupun
dengan penelitan Konstantyner dkk (2012) juga menemukan hubungan
antara BBLR dan anemia (95% CI 3.23-3.33). Meskipun begitu, pada
penelitian lainnya tidak menemukan hubungan antara BBLR dengan
kejadian anemia baik diwilayah urban OR 1.2 (0.84;1.65) maupun di
wilayah rural OR 1.0 (0.66;1.38) (Leal dkk, 2011). Begitupun dengan
penelitian Assis dkk (2004) juga tidak menemukan hubungan antara
BBLR dan anemia (95% CI 0.82 0.49-1.37).
74
Uchimura dkk (2003) menjelaskan bahwa dalam studi berbasis
populasi, BBLR dan anemia selalu berkorelasi. Berat lahir merupakan
faktor yang sangat penting dalam penentuan anemia dan ketika terjadi
pertumbuhan yang cepat dari seorang balita BBLR maka juga dapat terjadi
anemia. Hal ini dapat dikarenakan bayi yang lahir dengan berat lahir
normal memiliki simpanan besi yang lebih banyak dibandingkan bayi
yang berat lahirnya kurang dari normal. Selain hal tersebut, berat bayi lahir
kurang memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan bayi
yang lahir dengan berat normal, sehingga simpanan besi yang mereka
miliki lebih cepat habis terpakai untuk proses metabolisme dibandingkan
bayi yang lahir dengan berat normal. Bayi yang BBLR mempunyai
cadangan besi lebih rendah dibandingkan dengan bayi normal. Oleh sebab
itu kebutuhan zat besi pada bayi ini lebih besar dari pada bayi normal. Jika
bayi BBLR mendapat makanan yang cukup mengandung zat besi, maka
pada usia 9 bulan kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal
(Helmyati dkk, 2007).
Pada periode posnatal, zat besi digunakan untuk pertumbuhan,
proses konsumsi dan penyerapan besi pada periode ini sangat cepat.
Semakin cepat pertumbuhan, semakin berisiko mengalami defisiensi zat
besi. Anak-anak dengan berat lahir rendah memiliki risiko lebih banyak.
Pada kondisi ini mereka mulai tumbuh dengan cadangan besi yang rendah,
sedangkan terjadi pertumbuhan posnatal yang cepat (Pita dkk, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian, pencegahan terhadap BBLR dapat
mengurangi risiko kematian dan anemia (Pita dkk, 2014). Suplementasi
75
tablet besi merupakan salah satu cara yang bermanfaat dalam mengatasi
anemia khususnya anemia akibat kekurangan zat besi. Salah satu upaya
unuk mencegah terjadianya kekurangan gizi pada balita adalah yaitu
dengan program taburia. Taburia merupakan suplementasi multivitamin
dimana salah satu kandungannya adalah zat besi (Kemenkes, 2013). Oleh
sebab itu, disarankan kepada pemerintah untuk dapat memberikan taburia
kepada balita dengan faktor risiko yang tinggi seperti BBLR. Selain itu,
menurut IDI (2011) balita dengan berat lahir rendah yang tidak mendapat
formula yang difortifikasi besi perlu dipertimbangkan untuk melakukan
pemeriksaan Hb sebelum usia 6 bulan. Hal tersebut dilakukan untuk
menditeksi dan menanggulangi masalah anemia pada balita sehingga tidak
menimbulkan dampak yang buruk.
4. Status Gizi Balita
Pada penelitian ini, penentuan status gizi balita berdasarkan standar
baku antropometri anak balita WHO tahun 2005. Status gizi pada balita
yang diukur berdasarkan tinggi badan dan umur kemudian tinggi berat
badan setiap balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore).
Kemudian untuk penentuan status underweight yaitu apabila BB/U <-2
Zscore, stunting yaitu TB/U <-2 Zscore dan wasting yaitu BB/TB <-2
Zscore. Hasil penelitian menemukan bahwa stunting yang secara statistik
ditemukan adanya hubungan yang signifikan dengan kejadian anemia OR
1,36 (95% CI 1, 01-1,85), sedangkan underweight (95% CI 0,56- 1,14)
dan wasting (95% CI 0,53-1,50) tidak ditemukan hubungan yang
signifikan dengan kejadian anemia.
76
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya,
Ayoya dkk (2013) menemukan hubungan yang signifikan antara stunting
dan anemia (95% CI 1,4-3,6), namun underweight (95% CI 0,4-2,2) dan
wasting (95% CI 0,4-3,3) tidak berhubungan secara statistik dengan
anemia. Begitupun dengan penelitian di Palesina yang hanya menemukan
hubungan signifikan antara stunting dan anemia (95%CI 1.22-2.04) dan
serupa dengan penelitian di Ghana, balita stunting berisiko 2 kali lebih
besar mengalami anemia dan ditemukan hubungan signifikan dengan
keduanya (95%CI1.03, 2.00) (Halileh dan Gordon, 2005; VanBuskirk dkk,
2014).
Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan
terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang, sedangkan
wasting dan underweight merupakan hasil dari kekurangan nutrisi pada
jangka waktu yang lebih pendek. Wasting dan underweight merupakan
status gizi yang menggambarkan besarnya masalah gizi pada saat ini
(Kemenkes, 2013). Berdasarkan hasil penelitian, hanya stunting yang
berhubungan dengan kejadian anemia.
Diketahui bahwa umumnya anemia dan malnutrisi biasanya
muncul bersamaan, satu individu dapat mengalami masalah gizi yang
kompleks (Al-Qaoud dkk, 2014). Masalah stunting berhubungan dengan
1000 hari pertama kehidupan, balita yang mengalami kekurangan gizi
pada saat itu kemungkinan akan menderita masalah gizi yang kompleks
termasuk anemia (Kemenkes, 2013). Defisiensi mikronutrien lainnya juga
dapat meningkatkan perkembangan anemia (Oliviera dkk, 2010).
77
Pada masa balita, asupan nutrisi yang tepat dibutuhkan untuk
menghambat perkembangan anemia (Gorospe dkk, 2014). Kemenkes
sendiri memiliki program untuk perbaikan gizi pada 1000 hari pertama
kehidupan yaitu 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pada kehidupan
pertama bayi yang dilahirkan. Oleh karena itu, disarankan kepada
pemerintah daerah untuk mendukung kegiatan tersebut dengan cara
memberikan alokasi anggaran untuk mendukung program kesehatan ibu
dan anak. Alokasi anggaran dapat digunakan untuk memberikan PMT
pada ibu hamil kekurangan energi kronis (KEK), pemberian tablet Fe pada
ibu hamil dan pemeriksaan antenatal care (ANC) untuk mencegah
malnutrisi pada saat kehamilan. Pemberian suplementas zat gizi juga dapat
dilakukan pada balita usia 6-59 bulan apabila berisiko tinggi anemia.
5. Status Pemberian Vitamin A
Pada penelitian ini, hanya menganalisis status pemberian kapsul
vitamin A setiap 6 bulan sekali yang diberikan pada balita usia 12 bulan.
Hasil penelitian menemukan bahwa kejadian anemia dan status pemberian
vitamin A secara statistik tidak ditemukan adanya hubungan yang
signifikan (95% CI 0,66-1,28). Selain itu, juga tidak terdapat perbedaan
risiko anemia antara balita yang mendapat kapsul vitamin A dan yang
tidak mendapat kapsul vitamin A. Pada dasarnya, kekurangan vitamin A
pada anak memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita anemia. Hal
ini disebabkan karena asupan riboflavin yang cukup dapat mencegah
infeksi saluran pernapasan atas serta faktor-faktor lain yang berkontribusi
terhadap peningkatan risiko anemia (Gorospe dkk, 2014).
78
Survei gizi menunjukkan bahwa tingginya prevalensi defisiensi
vitamin A dan anemia biasanya terjadi bersama-sama dalam populasi yang
sama. Pada populasi berisiko kekurangan vitamin A, ada kemungkinan
mengalami kekurangan vitamin lainnya yang dapat menyebabkan anemia.
Bukti bahwa kekurangan vitamin A menyebabkan anemia yaitu melalui
modulasi metabolisme besi. Vitamin A membantu mangangkut besi dari
liver ke sumsum tulang untuk proses eritropoesis atau pembentukan sel
darah merah. Apabila tubuh mengalami defisiensi vitamin A, maka proses
eritopoesis akan terganggu dan mengakibatkan anemia.
Selain itu defisiensi vitamin A juga berkontribusi menimbulkan
anemia melalui kekebalan tubuh terhadap infeksi dan peningkatan anemia
kronis. Namun indeks sel darah merah mungkin tidak konsisten selama
anemia defisiensi vitamin A karena faktor lain, termasuk kekurangan zat
besi, malaria, infeksi dan obat-obatan lainnya (Semba dan Bloem, 2002).
Kekurangan vitamin A dan anemia berhubungan dengan angka
kematian yang tinggi terutama pada balita (Amati dkk, 2013). Teori ini
juga didukung dengan hasil penelitian lainnya yang menemukan bahwa
kekurangan vitamin A berisiko 16,3 kali lebih tinggi mengalami anemia
dan ditemukan hubungan yang signifikan antara keduannya (95% CI 13.6
- 19.0) (Foote dkk, 2013). Penelitian Habte dkk (2013) juga menemukan
bahwa balita yang tidak diberikan vitamin A setiap 6 bulan sekali 1,24
berisiko lebih tinggi mengalami anemia dan terdapat hubungan yang
signifikan antara keduanya (95% CI 1,12-1,36).
79
Meskipun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
sebelumnya, namun hasil penelitian lainnya juga mengatakan hal yang
sama. Penelitian Konstantinyer dkk (2011) tidak menemukan hubungan
yang signifikan antara anemia dan vitamin A (95% CI 0.86; 3.65).
Begitupun dengan penelitian di Benin juga tidak menemukan hubungan
yang signifikan antara anemia dan vitamin A (p value 0,209) ( Amati dkk,
2013). Perebedaan hasil penelitian ini dimungkinkan karena pengumpulan
data vitamin A hanya berdasarkan status pemberiannya saja tanpa
memperhatikan kadar retinol dalam darah. Kemungkinan dapat terjadi
gangguan metabolisme penyerapan vitamin A sehingga meskipun sudah
diberikan suplementasi masih berpotensi mengalami anemia.
6. Status Imunisasi DPT
Imunisasi DPT merupakan salah satu imunisasi dasar yang wajib
diberikan pada bayi yang baru lahir. Imunisasi DPT berguna untuk
mencegah penyakit Diphtheria, Pertusis, dan Tetanus. Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko anemia pada
balita yang memiliki status imunisasi DPT tidak lengkap (OR 1,15) dan
semakin meningkat pada balita yang tidak diberikan imunisasi DPT (OR
1,80). Namun hanya pada balita yang tidak diberikan imunisasi DPT yang
ditemukan berhubungan dengan anemia secara statistik (95% CI 1,15-
2,84). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di
Ethiopia yang menyatakan bahwa pemberian imunisasi DPT dapat
menurunkan risiko penyakit menular sehingga dapat menurunkan risiko
anemia (Habte dkk, 2013).
80
Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit saluran pernapasan yang
sangat menular. Bordetella pertussis adalah agen penyebab batuk rejan
yang terjadi pada balita. Bakteri ini menempel pada selaput lendir di
saluran pernapasan dan menyebabkan peradangan dalam tubuh. B.
pertussis menghasilkan toksin pertusis dan endotoksin, pada kasus yang
parah komplikasi seperti demam tinggi, radang otak, kejang, pneumonia
dan kematian dapat terjadi (WHO, 2010). Hasil penelitian menemukan
bahwa toksin yang ditimbulkan oleh B. pertussis dapat meningkatkan
aktifitas hemolitik pada sel darah merah manusia. Aktifitas hemolitik
menyebabkan anemia karena menyebabkan peningkatan penghancuran sel
darah merah. Jika penghancuran sel darah merah melebihi
pembentukannya, maka akan terjadi anemia (Bodade dkk, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian pada balita yang pernah diimunisasi
meskipun tidak lengkap tidak menunjukkan hubungan yang signifikan
secara statistik dengan kejadian anemia. Balita yang sudah pernah
diimunisasi akan memiliki kekebalan tubuh lebih baik dibandingkan balita
yang tidak pernah diberikan imunisasi sama sekali. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa pemberian imunisasi DPT dapat menurunkan
risiko terinfeksi B. pertussis sehingga dapat menurunkan risiko anemia.
Oleh sebab itu, disarankan kepada pemerintah daerah untuk
mengoptimalkan kegiatan penyuluhan imunisasi di tingkat Puskesmas dan
Posyandu dengan pemberdayaan masyarakat (kaderisasi imunisasi).
81
F. Hubungan Kejadian Anemia Berdasarkan Faktor Maternal dan
Sosiodemografi Ibu pada Balita di Indonesia Tahun 2013
1. Pendidikan Ibu
Pada penelitian ini, pendidikan ibu diukur berdasarkan jenjang
pendidikan formal di Indonesia yang ditamatkan ibu. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa secara statistik tidak ditemukan adanya hubungan
yang signifikan antara kejadian anemia dengan pendidikan ibu. Ibu yang
hanya menamatkan pendidikan SMP memiliki risiko paling tinggi
menderita anemia dibandingkan jenjang pendidikan lainnya dan risikonya
semakin menurun apabila ibu menamatkan pendidikannya hingga
perguruan tinggi.
Pada dasarnya tingkat pendidikan seorang ibu berpengaruh pada
kesehatan anak. Ibu berperan penting dalam pengasuhan balita termasuk
praktek pemberian makan. Pendidikan ibu juga dikaitkan dengan
pengetahuan tentang gizi. Pada umumnya semakin tinggi pendidikan
seseorang maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya. Ibu
dengan pendidikan yang relatif tinggi cenderung memiliki kemampuan
untuk menggunakan sumber daya keluarga yang lebih baik dibandingkan
dengan ibu yang berpendidikan rendah. Semakin tinggi pendidikan ibu
maka semakin tinggi pengetahuan tentang variasi makanan Variasi
makanan digunakan untuk mencukupi kebutuhan gizi pada balita
(VanBuskirk dkk, 2014).
Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
ibu secara bermakna dikaitkan dengan risiko anemia pada anak-anak (p
value 0,02). Ibu dengan pendidikan menengah memiliki efek proteksi
82
terhadap risiko anemia pada anak-anak mereka. Anemia berisiko 1,5 kali
lebih besar pada anak-anak yang ibunya tidak sekolah dibandingkan
dengan anak yang ibunya memiliki tingkat pendidikan menengah (Ngesa
dan Mwambi, 2014). Hasil penelitian di Ethiopia menemukan bahwa
pendidikan ibu yang tinggi memiliki efek protektif terhadap anemia balita.
Hal ini disebabkan karena praktek pemberian makan dan perawatan anak
yang baik oleh ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (Habte dkk,
2013).
Ibu dengan pendidikan rendah akan berpengaruh kesadaran ibu
tentang pemberian nutrisi dan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang
tidak sehat. (Assefa dkk, 2014). Hasil penelitian lainnya juga menemukan
bahwa anak-anak yang memiliki ibu dengan pendidikan rendah cenderung
mengalami anemia defisisensi besi dibandingkan dengan anak-anak yang
memiliki ibu dengan latar pendidikan yang tinggi (Ngui dkk, 2012).
Penelitian di daerah pedesaan Malaysia juga menemukan bahwa
pendidikan formal ibu yang kurang dari 6 tahun berhubungan signifikan
dengan anemia balita dan meningkatkan risiko sebesar 2,52 kali (p value
0,002).
Meskipun berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, namun
hasil penelitian ini menemukan bahwa ibu yang tamat perguruan tinggi
cenderung memiliki balita yang tidak anemia. Beberapa hasil penelitian
lain juga menemukan antara anemia pada balita secara statistik tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan pendidikan ibu, dalam
penelitian ini pendidikan diukur berdasarkan tingkat melek huruf (Hussein
83
dan Mohamed, 2014). Penelitian di daerah pedesaan Lao juga tidak
menemukan hubungan yang signifikan dengan anemia. Kemungkinan hal
ini disebabkan karena variasi pendidikan yang sedikit, dalam populasi
penelitian ini (Kounnavong dkk, 2011). Begitupun penelitian di Brazil
juga tidak menemukan hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian
anemia (Konstantyner dkk, 2012).
Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan karena
pendidikan ibu tidak berhubungan secara langsung dengan anemia pada
balita. Hal ini karena adanya peran pengetahuan, dimana tingkat
pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan seseorang, pengetahuan yang
baik kemudian akan menimbulkan kesadaran. Kesadaran ibu tentang
pemberian gizi yang baik pada balita (Konstantyner dkk, 2012). Oleh
sebab itu, disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan
kembali penelitian antara pendidikan dan anemia balita dengan
mengkontrol variabel lainnya.
2. Pekerjaan Ibu
Hasil penelitian menemukan bahwa antara pekerjaan ibu dengan
anemia balita tidak ditemukan hubungan yang signifikan. Hasil penelitian
juga ini sesuai dengan penelitian lainnya yang tidak menemukan adanya
hubungan yang signifikan antara anemia balita dengan status pekerjaan ibu
(Kounnavong dkk, 2011). Hasil univariat juga menunjukkan bahwa
anemia balita cenderung lebih banyak terjadi pada ibu yang tidak bekerja.
Begitupun dengan hasil penelitian di Cuba menemukan bahwa balita yang
84
ibunya tidak bekerja memiliki pola makan tidak teratur. Akibatnya balita
tersebut tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhannya. Pada penelitian ini, tempat penitipan anak memiliki efek
proteksi terhadap kejadian anemia balita. Tempat penitipan anak biasanya
akan memberikan pengasuhan yang baik dan pola makan yang seimbang
(Pita dkk, 2014).
Ibu yang bekerja pada pada penelitian ini cenderung memiliki
balita yang tidak anemia. Hal ini bisa disebabkan karena adanya faktor lain
yang menunjang ibu yang bekerja memiliki anak dengan gizi yang baik
yaitu pendapatan keluarga. Dengan adanya ibu yang bekerja maka dapat
menambah pendapatan keluarga sehingga mempengaruhi daya beli
keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi balita. Keluarga dengan
pendapatan lebih kemungkinan besar akan baik bahkan berlebihan dalam
memenuhi kebutuhan makanan, sebaliknya keluarga dengan pendapatan
terbatas kemungkinan besar akan kurang dalam memenuhi kebutuhan
makanan terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi (Kounnavong dkk,
2011). Berbagai hasil penelitian juga menemukan bahwa anemia
berkorelasi dengan status ekonomi dimana ekonomi yang rendah
berpengaruh terhadap kejadian anemia (Habte dkk, 2013; Leite dkk, 2013;
Baranwal dkk, 2014; Asserfa dkk, 2014; Guatema dkk, 2014).
3. Umur Ibu
Berdasarkan hasil penelitian, terjadi peningkatan risiko yang
signifikan antara anemia balita dengan umur ibu, kelompok umur ibu 15-
24 tahun memiliki risiko paling besar dibandingkan dengan kelompok
85
umur ibu yang lebih tua. Meskipun hasil penelitian ini tidak menemukan
hubungan secara statistik, tetapi secara substansial usia ibu berkorelasi
dengan pengalaman serta kualitas pengasuhan anak. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena ibu yang lebih tua cenderung memiliki anak lebih dari
satu sehingga pengetahuan dan praktik pengasuhan anak menjadi lebih
baik (Konstantyner dkk, 2012). Hasil penelitian menemukan bahwa ibu
yang berusia < 20 tahun memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian anemia pada balita (Leal dkk, 2011). Al-Qaoud dkk (2014)
menemukan bahwa umur ibu yang kurang dari 20 tahun cenderung
memiliki anak yang anemia dibandingkan dengan ibu yang lebih tua.
Disisi lain, antara usia ibu dan anemia balita juga memiliki
keterikatan dengan anemia maternal. Hasil penelitian menunjukkan
prevalensi anemia ibu cenderung terjadi antara usia <20 tahun dan usia
>35 tahun (Sugea dkk, 2001). Penelitian lainnya juga menemukan bahwa
ibu yang anemia juga berisiko memiliki balita anemia 1,8 kali lebih besar
(Ayoya dkk, 2013). Bayi yang lahir dari ibu yang anemia lebih besar
kemungkinannya mengalami anemia juga. Hal ini disebabkan karena
kebutuhan nutrisi janin pada ibu yang anemia tidak terpenuhi sehingga
terjadi gangguan perkembangan (Sougandis dkk, 2012)
4. Jumlah Keluarga
Hasil analisis berdasarkan sosiodemografi ibu, tidak menemukan
adanya perbedaan risiko yang signifikan antara jumlah anggota keluarga
<5 dan 5 dengan kejadian anemia dan secara statistik juga tidak
ditemukan adanya hubungan antara jumlah keluarga dengan kejadian
86
anemia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anemia balita cenderung
terjadi pada jumlah keluarga >5. Hal ini didukung oleh hasil penelitian lain
mengatakan bahwa jumlah keluarga yang besar dapat menurunkan risiko
anemia pada balita. Efek proteksi ini disebabkan karena semakin banyak
anggota keluarga maka semakin banyak pendapatan yang diterima oleh
keluarga tersebut (Foote, 2012).
Namun, Kounnavoung (2013) memiliki pendapat yang berbeda,
hasil penelitiannya menemukan bahwa balita dengan jumlah keluarga yang
besar 1,96 kali berisiko mengalami anemia. Jumlah keluarga secara
bermakna dikaitkan dengan tingginya prevalensi anemia adalah ukuran
keluarga besar. Pada penelitian ini, setengah dari subjek anemia memiliki
saudara kandung yang usianya tidak jauh berbeda dalam satu rumah
(Kounnavong dkk, 2011).
Penelitian di India juga menemukan bahwa prevalensi anemia
berhubungan signifikan dengan jumlah keluarga yang besar. Hal ini
disebabkan karena kurangnya perhatian dari anggota keluarga pada anak-
anak karena kesibukan mereka. Akibatnya anak-anak tidak mendapatkan
perhatian untuk makanan dan nutrisi yang tepat (Baranwal dkk, 2014).
Jumlah anggota keluarga yang besar dan banyaknya anak-anak memiliki
hubungan yang positif terhadap anemia. Pada negara berkembang hal ini
dapat dihubungkan dengan buruknya akses ke perawatan antenatal dan
nutisi saat kehamilan (Al-Qaoud dkk, 2014). Selain itu pada jumlah
keluarga yang besar, distribusi pangan dalam rumah tangga cenderung
lebih banyak untuk laki-laki dewasa dibandingkan anak-anak karena
87
norma dan budaya mereka. Penduduk dalam penelitian ini menganggap
makanan selain nasi adalah lauk, dan mereka tidak mempertimbangkan
jumlah tertentu yang diperlukan untuk setiap anggota keluarga
(Kounnavong dkk, 2011).
5. Tempat Tinggal
Hasil analisis berdasarkan tempat tinggal tidak menemukan adanya
perbedaan risiko yang signifikan antara kota dan desa dengan kejadian
anemia balita dan secara statistik juga tidak ditemukan adanya hubungan
antara tempat tinggal dengan kejadian anemia. Hasil ini didukung dengan
hasil penelitian di Papua New Ginea yang juga tidak menemukan adanya
hubungan antara tempat tinggal dengan kejadian anemia (Shinoda dkk,
2012).
Konstantiyer dkk (2012) berpendapat bahwa balita yang tinggal di
daerah perkotaan berisiko tinggi mengalami anemia. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh migrasi penduduk dari desa ke kota dalam dekade baru-
baru ini. Di Indonesia, diperkirakan pertambahan penduduk kota akan
mencapai 95% dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2025 (Santoso,
2006). Akibatnya adanya urbanisasi ini, penduduk hidup dalam kondisi
miskin di kota besar dan juga terjadi perubahan gaya hidup di daerah
perkotaan seperti moderenisasi, banyaknya industri makanan,
menurunnya kesadaran dan pengetahuan kebutuhan makanan balita serta
ketiadaan pengasuhan yang diberikan orang dewasa. Hal ini
mengakibatkan kualitas hidup dan kesehatan populasi di wilayah
perkotaan khususnya di kota bersiko karena adanya perubahan gaya hidup
88
dan mudahnya akses terhadap makanan hasil olahan industri (Konstantiyer
dkk 2012).
Selain itu, faktor risiko terjadinya anemia di perkotaan adalah
adanya polusi timbal. Timbal yang terhirup pada saat bernafas akan masuk
ke dalam pembuluh darah paru-paru. Logam timbal yang masuk ke paru-
paru akan terserap dan berikatan dengan darah. Sekitar 95% timbal dalam
darah diikat oleh sel darah merah. Hal ini dapat mengakibatkan keracunan
timbal yang berdampak pada biosintesis hem dan menghambat eritroblas
sehingga menimbulkan anemia. Pencemaran timbal di udara biasanya
disebabkan oleh industri dan gas buang kendaraan bermotor, seperti yang
terjadi di kota-kota Indonesia (Gusnita, 2010). Hal ini dapat meningkatkan
prevalensi anemia di wilayah perkotaan.
Akan tetapi hasil penelitian tidak menemukan hubungan antara
tempat tinggal dan anemia, pendapat lainnya mengatakan bahwa wilayah
pedesaan/rural lebih berisiko untuk menimbulkan anemia (Foote dkk,
2013; Baranwal dkk, 2014). Penelitian di Lao menemukan tingginya
prevalensi anemia pada balita yang tinggal di desa disebabkan karena
akses ke sumber pangan yang sulit dan rendahnya pengetahuan tentang
sumber pangan gizi yang baik (Kounnavong dkk, 2011).
89
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Prevalensi anemia pada balita di Indonesia berdasarkan data Riskesdas
tahun 2013 mencapai 31,56%
2. Distribusi kejadian anemia balita lebih banyak terjadi pada anak laki-laki
dan pada usia 24-35 bulan. Kemudian anemia balita sebagian besar tidak
memiliki riwayat BBLR dan mayoritas tidak memiliki riwayat penyakit
malaria. Berdasarkan status gizi BB/U, anemia lebih banyak terjadi pada
balita dengan gizi baik. Begitupun dengan status gizi berdasarkan TB/U
dan BB/TB, anemia lebih banyak terjadi pada balita dengan tinggi normal
dan berat normal. Proporsi anemia juga lebih banyak terjadi pada balita
yang diberikan vitamin A setiap 6 bulan sekali dan memiliki status
imunisasi DPT lengkap.
3. Distribusi anemia balita paling banyak terjadi pada balita yang memiliki
ibu tamat SD. Hanya sebagian kecil anemia balita terjadi pada ibu yang
bekerja dan sebagian besar anemia balita terjadi pada ibu yang bekerja
sebagai petani/nelayan/buruh. Kemudian anemia balita lebih banyak
terjadi pada ibu dengan kelompok usia 25-34 tahun. Distribusi kejadian
anemia mayoritas terjadi pada jumlah anggota keluarga <5, sedangkan
berdasarkan tempat tinggal, tidak ada perbedaan proporsi anemia balita di
desa atau kota.
90
4. Berdasarkan karakteristik balita, usia, BBLR, stunting dan tidak diberikan
imunisasi DPT berhubungan signifikan dengan kejadian anemia. Jenis
kelamin, underweight, wasting dan status pemberian vitamin A tidak
berhubungan secara statistik dengan kejadian anemia balita di Indonesia
berdasarkan data Riskesdas tahun 2013
5. Berdasarkan faktor maternal dan sosiodemografi pendidikan ibu, usia ibu,
jumlah anggota keluarga dan tempat tinggal tidak berhubungan secara
statistik dengan kejadian anemia balita di Indonesia
B. Saran
1. Bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Sebaiknya Kementerian Kesehatan membuat standar rekomendasi
pemeriksaan anemia berdasarkan usia pada balita sebagai upaya diteksi
dini dan pencegahan anemia (pedoman skrining anemia balita) serta
tatalkasana penderita anemia.
2. Bagi Dinas Kesehatan di Indonesia
a. Sebaiknya Dinas Kesehatan membuat kebijakan untuk melakukan
pemeriksaan anemia usia 9-12 bulan dan usia 15-18 bulan atau
pemeriksaan tambahan setiap 1 tahun sekali pada usia 2-5 tahun di
Puskesmas atau Posyandu masing-masing wilayah sebagai bagian dari
upaya penyelenggaraan Kesehatan Ibu dan Anak. Apabila ditemukan
balita yang mengalami anemia dapat ditatalaksana dengan memberikan
suplemen tambahan, selain itu skrining terhadap faktor risiko anemia
91
balita juga perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah
berkembangnya anemia.
b. Sebaiknya Dinas Kesehatan mendukung program pemerintah pusat
yaitu perbaikan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan dengan cara
mengalokasikan anggaran untuk pengadaan PMT ibu hamil KEK,
tablet fe dan pemeriksaan ANC sebagai upaya pencegahan kekurangan
gizi pada awal kehidupan.
c. Sebaiknya Dinas Kesehatan dapat memberikan taburia kepada balita
dengan faktor risiko yang tinggi seperti BBLR dan melakukan
pemeriksaan Hb sebelum usia 6 bulan. Taburia merupakan suplemen
gizi yang berisi asam folat, vitamin A, vitamin B kompleks dan zat
besi. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan anemia balita.
d. Sebaiknya Dinas Kesehatan mengoptimalkan kegiatan penyuluhan
imunisasi di tingkat Puskesmas dan Posyandu dengan cara
pemberdayaan masyarakat (kaderisasi imunisasi)
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan pengukuran
analisis multivariat untuk mengontrol variabel confounding faktor yang
paling berpengaruh terhadap kejadian anemia pada balita di Indonesia.
92
DAFTAR PUSTAKA
Abbi, Rita, dkk. 2014. The Impact of Maternal Work Status on The Nutrition and
Health Status of Children. Online Acces at
http://archive.unu.edu/unupress/food/8f131e/8f131e03.htm.
Al-Qaoud, Nawal Mubarak, Dkk. 2014 Anemia And Associated Factors Among
Kuwaiti Preschool Children And Their Mothers. Alexandria Journal Of
Medicine.
Alzain, Bassam. 2012. Anemia and Nutritional Status of Pre-School Children in
North Gaza, Palestine. International Journal of Scientific & Technology
Research. Volume 1 Issue 11. Issn 2277-8616.
Amati, AO. dkk. 2013. Relationship Between Vitamin A Status And Anaemia
Among School Age Children In Benin. Niger Journal Paed. Volume 40
Number 4, pages 379-383.
Andriana, Dwi Dan Sri Sumarmi. 2006. Hubungan Konsumsi Protein Hewani dan
Zat Besi Dengan Kadar Hemoglobin pada Balita Usia 13–36 Bulan. The
Indonesian Journal Of Public Health, Vol. 3, No. 1, hal: 19-23
Assefa, Selomon. dkk 2014. Prevalence And Severity Of Anemia Among School
Children In Jimma Town, Southwest Ethiopia. Biomed Central
Hematology. Volume 14. Number 3.
Assis, Ana Marlúcia O, dkk. 2004. Childhood Anemia Prevalence And Associated
Factors In Salvador, Bahia, Brazil. Cad. Saúde Pública, Rio De Janeiro,
20(6) hal :1633-1641
Ayoya, Mohamed Ag. dkk. 2013. Prevalence And Risk Factors Of Anemia Among
Children 6–59 Months Old In Haiti. Hindawi Publishing Corporation.
Badan Pusat Statistik. 2010. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37
Tahun 2010 Tentang Klasifikasi Perkotaan Dan Perdesaan Di Indonesia.
Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS).
Balarajan, Yarlini. dkk. 2011. Anaemia In Low-Income and Middle-Income
Countries. The Lancet Journal Volume 378
Baranwal, Annu. dkk. 2014. Association Of Household Environment And
Prevalence Of Anemia Among Children Under-5 In India. Frontiers In
Public Health Child Health And Human Development Volume 2.
Bodade, R.D. dkk. 2009. Comparative study of hemolytic activity of Bordetella
species. Iranian Journal of Microbiology. Volume 1 Number 2, pages 26-
31
93
Booth, I W, dan M A Aukett. 1997. Iron Deficiency Anaemia In Infancy And
Early Chilhood. Archives of Disease in Childhood , Volume 76, pages
549–554.
Dia Sanou dan Ismael Ngnie-Teta. 2012. Risk Factors for Anemia in Preschool
Children in Sub-Saharan Africa, Anemia, Dr. Donald Silverberg (Ed.).
ISBN: 978-953-51-0138-3, InTech, Available from:
http://www.intechopen.com/books/anemia/risk-factors-for-anemia-in-
preschool-children-in-sub-saharan-africa
Enger, Eldon D. 2007. Concepts In Biology. New York : Mcgraw Hill
Ewusie, Joycelyne E. dkk. 2014. Prevalence Of Anemia Among Under-5 Children
In The Ghanaian Population: Estimates From The Ghana Demographic
And Health Survey. BMC Public Health. Volume 14:626.
Foote, Eric M, dkk. 2013. Determinants Of Anemia Among Preschool Children In
Rural, Western Kenya. American Journal Tropical Medicine And Hygiene.
Volume 88 Number 4, pages 757-767 .
Gorospe, Junero, dkk. 2014. Ordinal Logistic Regression Analyses On Anemia
For Children Aged 6 Months To 5 Years Old In The Philippines. DLSU
Research Congres. Manila: De La Salle University, Manila, Philippines.
Green, Helen K, dkk. 2011. Anaemia In Ugandan Preschool-Aged Children: The
Relative Contribution Of Intestinal Parasites And Malaria. Cambridge
University Press. Volume 138, pages 1534-1546.
Gutema, Bekele, dkk. 2012. Anemia And Associated Factors Among School-Age
Children In Filtu Town, Somali Region, Southeast Ethiopia. Biomed
Central Hematology. Volume 14 Number 13.
Gusnita, Desy. 2012. Pencemeran Logam Berat Timbal (PB) di Udara dan Upaya
Penghapusan Bensin Bertimbal. Berita Dirgantara Vol. 13 No. 3
Habte, Dereje, dkk. 2013. Maternal Risk Factors For Childhood Anaemia In
Ethiopia. African Journal Of Reproductive Health September. Volume 17
Number 3.
Halileh, S Dan N.H. Gordon. 2005. Determinants of Anemia in Pre-School
Children in The Occupied Palestinian Territory. Journal Of Tropical
Pediatrics Vol. 52, No. 113 page 12-18
Helmyati, Siti Dkk, 2007. Kejadian Anemia Pada Bayi Usia 6 Bulan Yang
Berhubungan Dengan Sosial Ekonomi Keluarga Dan Usia Pemberian
Makanan Pendamping Asi. Berita Kedokteran Masyarakat Vol. 23, No. 1
Hensbroek, Michae¨ L Boele Van, dkk. 2010. Pathophysiological Mechanisms Of
Severe Anaemia In Malawian Children. Plos One, 2010: Volume 5, Issue
9.
94
Howard, Caitlin T dkk. 2007. Association Of Diarrhea With Anemia Among
Children Under Age Five Living In Rural Areas Of Indonesia. Journal Of
Tropical Pediatrics Vol. 53, No. 4
Hussein, M.D., dan S. Mohamed. Prevalence Of Anaemia In Preschool Children
In Karma Albalad Area, Northern State, Sudan. Eastern Mediterranean
Health Journal. Volume 20 Number 1, pages 33-38
IDI. 2011. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia Suplementasi Besi Untuk
Anak. Jakarta : Badan Penerbit Idai
Kai, O. K. Dan Roberts, D. J. 2008. The pathophysiology of malarial anaemia:
where have all the red cells gone? BMC Medicine. Volume 6.
Kemenkes RI. 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Badan
Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
.______. 2013. Rencana Kerja Pembinaan Gizi Masyarakat Tahun 2013.
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan RI
Konstantyner, Tulio, 2012. Risk Factors For Anemia Among Brazilian Infants
From The 2006 National Demographic Health Survey. Hindawi
Publishing Corporation.
Kounnavong, Sengchanh, dkk. 2011. Anemia And Related Factors In Preschool
Children In The Southern Rural Lao People’s Democratic Republic.
Tropical Medicine And Health. Volume 39 Number 4, pages 95-103,
Kumar, Mudra Kohli. 2001. Screening for Anemia in Children: AAP
Recommendations—A Critique. Pediatrics Vol. 108 No. 3
Kumar, R., dkk. 2014. Prevalence And Etiology Of Nutritional Anemia In
Children Aged 6 Months To 60 Months In Fatehabad District Of Haryana.
International Journal Of Basic And Applied Medical Sciences. Volume 4
Number 1, pages 317-321
Leal, Luciana Pedrosa, dkk. 2011. Prevalence Of Anemia And Associated Factors
In Children Aged 6-59 Months In Pernambuco,Northeastern Brazil. Rev
Saúde Pública. Volume 45 Number 3.
Leite, Maurício S, dkk. 2013. Prevalence Of Anemia And Associated Factors
Among Indigenous Children In Brazil: Results From The First National
Survey Of Indigenous People’s Health And Nutrition. Bmc Nutrition
Journal, Vol :12 (69).
Nababan, Donal. 2015. Mother and Child Nutrition; (A Review of Stunting
Studies). 2015. IJSBAR vol 22 no 1
95
Ngesa, Oscar, dan Henry Mwambi. Prevalence And Risk Factors Of Anaemia
Among Children Aged Between 6 Months And 14 Years In Kenya. Plos
One | Doi:10.1371/Journal.Pone.0113756.
Ngui, Romano, dkk. 2012. Association Between Anaemia, Iron Deficiency
Anaemia,Neglected Parasitic Infections And Socioeconomic Factors In
Rural Children Of West Malaysia. Plos Negleted Tropical Disease, 2012:
Vol 6.
Oliveira, M. D. N., dkk. 2010. Risk factors associated with hemoglobin levels and
nutritional status among Brazilian children attending daycare centers in
Sao Paulo city, Brazil. Archivos latinoamericanos de nutricion, vol :60.
Prikasih, Nining dan Anti Apriliyanti Sugiarti.2009. Menu Sehat Balita. Jakarta :
Suka Buku
Sandjaja, Sandjaja, dkk. 2013. Food Consumption And Nutritional And
Biochemical Status Of 0·5–12-Year-Old Indonesian Children: The Seanuts
Study. British Journal Of Nutrition. Volume 110, S11–S20.
Santos, Rosemary Ferreira Dos, dkk. 2011. Prevalence Of Anemia In Under Five-
Year-Old Children In A Children's Hospital In Recife, Brazil. Rev Bras
Hematol Hemoter. Vol 33 (2), pages 100-104
Schellenberg, D. dkk 2003. The silent burden of anaemia in Tanzanian children:
a community-based study. Bulletin of the World Health Organization.
Volume 81.
Selenius, Olle dkk. 2013. Essentials Of Medical Geology: Revised Edition.
London : Springer
Semba, Rd, dan Mw Bloem. 2002. The Anemia Of Vitamin A Deficiency:
Epidemiology And Pathogenesis. European Journal Of Clinical Nutrition ,
Vol. 56, page: 271-281.
Semba, Richard D dkk. 2008. Diarrhea And Fever As Risk Factors For Anemia
Among Children Under Age Five Living In Urban Slum Areas Of
Indonesia. International Journal Of Infectious Diseases (2008) 12, 62—70
Sembulingan K. 2012. Essentials Of Medical Physiology Sixth Edition. New
Delhi : Jaypee Brothers Medical Publisher
Shaw, Julia G., dan Jennifer F. Friedman. 2011. Iron Deficiency Anemia: Focus
On Infectious Diseases In Lesser Developed Countries. Hindawi
Publishing Corporation.
Shinoda, N. dkk. 2012. Relationship between markers of inflammation and
anaemia in hildren of Papua New Guinea. Public Health Nutrition.
96
Singh, R. K. dan Patra, S. 2014. Extent of Anaemia among Preschool Children in
EAG States, India: A Challenge to Policy Makers. Hindawi Publishing
Corporation.
Souganidis, Ellie S dkk, 2012. Determinants Of Anemia Clustering Among
Mothers and Children In Indonesia. Journal of Tropical Pediatrics, Vol.
58, No. 3
Uddin, MK dkk. 2010. Prevalence of Anaemia in Children of 6 Months to 59
Months in Narayanganj, Bangladesh. Journal of Dhaka Medical Collage.
Vol 19. No 2
Uchimura, Taqueco T dkk. 2003. Anemia And Birthweight. Rev. Saúde
Pública Vol.37 No.4
Uniceff. 2007. National Strategy For Anaemia Prevention And Control In
Bangladesh. Diakses pada tanggal 18 Januari 2015 di
http://www.unicef.org/bangladesh/anaemia_strategy.PDF.
VanBuskirk, Kelley M. dkk. 2014. Pediatric Anemia In Rural Ghana: A Cross-
Sectional Study Of Prevalence And Risk Factors. Journal Of Tropical
Pediatrics Vol. 60, No. 4
WHO, 2015. Standard Formula For Low-Birth-Weight Infants Following
Hospital Discharge. Dikases pada tanggal 15 Juni 2015
Http://Www.Who.Int/Elena/Titles/Formula_Infants/En/
.____. 2014. Anaemia Prevention And Control. Dikases Pada Tanggal 12 Januari
2015 http://www.who.int/medical_devices/initiatives/anaemia_control/en/.
.____. 2010. The Immunological Bassis for Immunization Series. Department of
Immunization, Vaccines and Biologicals. Geneva : WHO.
._____.2008. Worldwide Prevalence Of Anaemia 1993-2005, Who Global
Database On Aanaemia. Geneva: WHO.
Woldie, Halie Dkk. 2015. Factors Associated With Anemia Among Children Aged
6–23 Months Attending Growth Monitoring At Tsitsika Health Center,
Wag-Himra Zone, Northeast Ethiopia Journal Of Nutrition And
Metabolism Volume 2015
Woodruff, Bradley A. dkk. 2005 "Anaemia, Iron Status And Vitamin A
Deficiency Among Adolescent Refugees In Kenya And Nepal." Public
Health Nutrition. Pages 26-34 Vol 9 No. 1.
Zulaekah, Siti Dkk. 2014. Anemia Terhadap Pertumbuhan Dan Perkembangan
Anak Malnutrisi. Jurnal Kemas 9 (2) hal.106-114
97
LAMPIRAN
Hasil uji validitas dan reliabilitas Riskesdas 2013
98
99
Kuesioner
12 Terpilih sampel nasional 1. Ya 2. Tidak
Keterangan rumah tangga
1 Alamat rumah (Tulis dengan huruf kapital)
2 Banyaknya anggota rumah tangga : [ ] [ ]
Keterangan anggota rumah tangga
No. Urut ART
Nama anggota rumah tangga
Hubungan dengan kepala rumah tangga
[KODE]
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir
Umur Jika umur <1bln isikan
dalam kotak“Hari” Jika
umur <5thn isikan dlm kotak“Bulan” Jika umur ≥5 thn isikan dlm kotak
“Tahun” dan umur ≥ 97 thn
isikan “97
Khusus ART >5 tahun
Status
Pendidikan tertinggi
yang ditamatkan
[KODE]
Khusus ART ≥ 10
tahun
Status Pekerjaan
[KODE]
Khusus ART ≥ 10 tahun
Jika Status
Pekerjaan=2 Sebutkan
Jenis Peker- jaan utama
[KODE]
[ ] [ ] [ ] Tgl : [ ] [ ] Bln : [ ] [ ] Thn: [ ][ ][ ][ ]
a. [ ] [ ] hr b. [ ] [ ] bln c. [ ] [ ] thn
[ ] [ ] [ ]
Kesehatan Lingkungan
2 Jenis sumber air utama untuk kebutuhan minum? 01 Air kemasan 05 Sumur bor/pompa 09 Mata air tidak terlindung 02 Air isi ulang 06 Sumur gali terlindung 10 Penampungan air hujan 03 Air ledeng/PDAM 07 Sumur gali tak terlindung 11 Air sungai/danau/irigasi 04 Air ledeng eceran/membeli 08 Mata air terlindung
[ ]
12 Apa jenis bahan bakar/energi utama yang digunakan untuk memasak?
1. Listrik 3. Minyak tanah 5. Kayu bakar 2. Gas/elpiji 4. Arang/briket/batok kelapa
[ ]
Pemukiman dan ekonomi
1 Apakah status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati?
1.Milik sendiri 4. Bebas sewa (milik orang lain) 2.Kontrak 5. Bebas sewa (milik orang tua/sanak/saudara 3. Sewa 6. Rumah dinas 7. Lainnya
[ ]
2 a. Luas Lantai bangunan rumah …………………m2
[ ] [ ] [ ] [ ]
4 Jenis lantai rumah terluas: 1. Keramik/ ubin/ marmer/ semen 2. Semen plesteran retak 3. Papan/ bambu/ anyaman bambu/ rotan 4. Tanah
[ ]
5 Jenis dinding terluas: 1. Tembok 3. Bambu 2. Kayu/papan/triplek 4. Seng
[ ]
6 Jenis plafon/langit-langit rumah terluas:
1. Beton 4. Kayu/ tripleks 2. Gypsum 5. Anyaman bambu 3. Asbes/GRC board 6. Tidak ada
[ ]
7 Apa jenis sumber penerangan rumah?
1. Listrik PLN 3. Petromaks/ aladin 5. lainnya 2. Listrik Non-PLN 4. Pelita/ sentir/ obor
[ ]
8 a. Penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah tangga:
1. Milik sendiri 3. Umum
2. Milik bersama 4. Tidak ada P.8c
[ ]
b. Jenis kloset yang digunakan: 1. Leher angsa 3. Cemplung/ cubluk/ lubang tanpa lantai 2. Plengsengan 4. Cemplung/ cubluk/ lubang dengan lantai
[ ]
100
c. Tempat pembuangan akhir tinja:
1. Tangki septik 5. Lubang tanah
2. SPAL 6. Pantai/tanah lapang/kebun 3. Kolam/sawah 7. Lainnya 4. Sungai/danau/laut
[ ]
9 Apakah [RUMAH TANGGA] memiliki barang-barang sebagai berikut:
a. Sepeda 1. Ya 2. Tidak [ ] f. pemanas air 1. Ya 2. Tidak [ ] b. Sepeda motor 1. Ya 2. Tidak [ ] g. tabung gas 12kg/lebih 1. Ya 2. Tidak [ ] c. Perahu 1. Ya 2. Tidak [ ] h. Lemari Es/Kulkas 1. Ya 2. Tidak [ ] 2. TV/ TVkabel 1. Ya 2. Tidak [ ] i. Perahu motor 1. Ya 2. Tidak [ ] 3. AC 1. Ya 2. Tidak [ ] j. Mobil 1. Ya 2. Tidak [ ]
PENGENALAN TEMPAT
Prov
[ ] [ ]
Kab/Kota
[ ] [ ]
Kec
[ ] [ ] [ ]
Des/Kel
[ ] [ ] [ ]
D/K
[ ]
Nomer Kode Sampel
[ ] [ ] [ ] [ ] [ ] [ ] [ ]
No. bangunan sensus
[ ] [ ] [ ]
No.Urut Art
[ ] [ ]
Identifikasi Responden
1 Nama dan nomor urut ART Nama ………………………. Nomer Urut ART [ ] [ ]
2 Nama dan nomor urut Ibu kandung Nama ………………………. Nomer Urut ART [ ] [ ]
A. Penyakit menular
Malaria
A09 Apakah [NAMA] pernah didiagnosis menderita Malaria yang sudah dipastikan dengan pemeriksaan darah oleh tenaga kesehatan (dokter/ perawat/ bidan)?
1. Ya, dalam ≤ 1 bulan terakhir A14 2. Ya, > 1 bulan – 12 bulan A14 3. Tidak 8. Tidak tahu
[ ]
A10 Jenis malaria apa yang ditemukan dalam pemeriksan darah? (JAWABAN BISA > 1, JIKA > 1 JUMLAHKAN KODE JAWABAN)
1. Malaria tropica (P. falciparum) 2. Malaria tertiana (P. vivax) 3. Malaria lainnya 8. Tidak tahu
[ ]
Kesehatan Anak dan Imunisasi (0-59 bulan)
Ja01 Apakah [NAMA] mempunyai catatan/dokumen berat badan lahir? (Berat badan lahir adalah berat badan yang ditimbang dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan)
1. Ya
2. Tidak Ja03
[ ]
Ja02 Salin dari catatan/dokumen berat badan lahir [NAMA] ……………….. gram [ ] [ ] [ ] [ ]
Imunisasi
Ja14 Apakah [NAMA] pernah mendapat imunisasi 1. Ya Ja16 2. Tidak
8. Tidak tahu Ja16
[ ]
Ja19 Apakah di dalam KMS/ Buku KIA/ Buku Catatan Kesehatan Anak [NAMA] ada catatan imunisasi
1. Ya
2. Tidak Ja21 [ ]
Ja20 Salin dari KMS/Buku KIA/Buku Catatan Kesehatan Anak, tanggal/ bulan/ tahun, untuk setiap jenis imunisasi KODE KOLOM (2):
1. Diberikan imunisasi 2. Tidak diberikan imunisasi KE JENIS IMUNISASI BERIKUTNYA 7. Belum waktunya diberikan karena umur anak KE JENIS IMUNISASI BERIKUTNYA 8. Ditulis diberi imunisasi tetapi tgl/ bln/ thn tidak ada KE JENIS IMUNISASI BERIKUTNYA
101
Jenis imunisasi Ket TGL/BLN/THN IMUNISASI a. DPT-HB Combo 1 [ ] [ ] [ ]/ [ ] [ ]/ [ ] [ ] b. DPT-HB Combo 2 [ ] [ ] [ ]/ [ ] [ ]/ [ ] [ ] c. DPT-HB Combo 3 [ ] [ ] [ ]/ [ ] [ ]/ [ ] [ ]
Ja21 Apakah [NAMA] pernah mendapat imunisasi berikut: (INFORMASI BERDASARKAN INGATAN RESPONDEN)
h. Imunisasi DPT-HB combo (Diphteri Pertusis Tetanus-Hepatitis B combo) yang biasanya disuntikkan di paha dan biasanya mulai diberikan pada saat anak berusia 2 bulan bersama dengan Polio 2?
1. Ya 2. Tidak Ja21k 7. Belum waktunya (umur≤ 2
bulan)Ja21k 8. Tidak Tahu Ja21k
[ ]
i. Pada umur berapa (NAMA) pertama kali diimunisasi DPT-HB Combo. JIKA TIDAK TAHU ISIKAN KODE ”88”
……….bulan
[ ] [ ]
j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo? ……….kali [ ]
Ja27 Apakah dalam 6 bulan terakhir [NAMA] pernah mendapatkan kapsul vitamin A? (GUNAKAN KARTU PERAGA)
1. Ya 2. Tidak pernah 7. Belum waktunya (umur ≤ 6 bulan) 8. Tidak Tahu
[ ]
Berat badan dan tinggi badan K01 a. Apakah ART ditimbang ? 1. Ya 2. Tidak [ ]
b. Berat Badan (kg) …………………kg [ ] [ ] [ ], [ ]
K02 a. Apakah ART diukurTinggi/Panjang Badan? 1. Ya 2. TidakK03 [ ]
b. Tinggi/Panjang Badan (Cm) …………………cm [ ] [ ] [ ], [ ]
c. KHUSUS UNTUK BALITA, (Posisi pengukuran TB/PB) 1. Berdiri 2. Terlentang [ ]
Pengambilan spesimen darah
O01 Apakah diambil spesimen darah 1. Ya 2. TidakO03 [ ]
O02 STIKER NOMOR DARAH TEMPEL STIKER DI SINI (XXXXXX)
102
status anemia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid anemia 279 31.6 31.6 31.6
tidak anemia 605 68.4 68.4 100.0
Total 884 100.0 100.0
Jenis kelamin * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
Jenis kelamin Laki-laki Count 147 293 440
% within status anemia 52.7% 48.4% 49.8%
Perempuan Count 132 312 444
% within status anemia 47.3% 51.6% 50.2%
Total Count 279 605 884
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.385(b) 1 .239
Continuity Correction(a)
1.220 1 .269
Likelihood Ratio 1.386 1 .239
Fisher's Exact Test .248 .135
Linear-by-Linear Association 1.384 1 .240
N of Valid Cases 884
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 138.87. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for Jenis kelamin (Laki-laki / Perempuan)
1.186 .893 1.575
For cohort status anemia = anemia 1.124 .925 1.365
For cohort status anemia = tidak anemia .948 .866 1.037
N of Valid Cases 884
103
umur balita * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
umur balita 12-35 Count 160 205 365
% within status anemia 57.3% 33.9% 41.3%
36-59 Count 119 400 519
% within status anemia 42.7% 66.1% 58.7%
Total Count 279 605 884
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 43.364(b) 1 .000
Continuity Correction(a)
42.402 1 .000
Likelihood Ratio 43.069 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 43.315 1 .000
N of Valid Cases 884
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 115.20. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for umur balita (12-35 / 36-59) 2.623 1.961 3.509
For cohort status anemia = anemia 1.912 1.572 2.325
For cohort status anemia = tidak anemia .729 .658 .807
N of Valid Cases 884
104
status BBLR * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
status BBLR
BBLR Count 54 32 86
% within status anemia 20.4% 5.5% 10.2%
tidak BBLR Count 211 545 756
% within status anemia 79.6% 94.5% 89.8%
Total Count 265 577 842
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 43.559(b) 1 .000
Continuity Correction(a)
41.957 1 .000
Likelihood Ratio 40.058 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 43.507 1 .000
N of Valid Cases 842
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27.07. D MALARIA * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
D MALARIA Ya Count 3 6 9
% within status anemia 1.1% 1.0% 1.0%
Tidak Count 276 598 874
% within status anemia 98.9% 98.8% 98.9%
Total Count 279 605 884
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for status BBLR (BBLR / tidak BBLR)
4.359 2.737 6.941
For cohort status anemia = anemia 2.250 1.844 2.745
For cohort status anemia = tidak anemia .516 .391 .682
N of Valid Cases 842
105
Chi-Square Tests
Value Df Asymp. Sig.
(2-sided)
Pearson Chi-Square .418(a) 2 .811
Likelihood Ratio .420 2 .811 Linear-by-Linear Association
.061 1 .805
N of Valid Cases 884
a 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.10.
Jenis malaria apa yang ditemukan dalam pemeriksan darah? * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
Jenis malaria apa yang ditemukan dalam pemeriksan darah?
Malaria Tertiana (P.Fivak) Count 0 2 2
% within status anemia .0% 33.3% 22.2%
Malaria Tropica (P.Falsiparum)
Count 2 2 4
% within status anemia 66.7% 33.3% 44.4%
malaria tropika dan tertiana
Count 1 1 2
% within status anemia 33.3% 16.7% 22.2%
Malaria lainnya Count 0 1 1
% within status anemia .0% 16.7% 11.1%
Total Count 3 6 9
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
status gizi berdasarkan BB/U * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
status gizi berdasarkan BB/U
gizi buruk Count 10 26 36
% within status anemia 3.6% 4.4% 4.1%
gizi kurang Count 44 112 156
% within status anemia 15.9% 18.9% 18.0%
gizi baik Count 221 440 661
% within status anemia 80.1% 74.3% 76.2%
gizi lebih Count 1 14 15
% within status anemia .4% 2.4% 1.7%
Total Count 276 592 868
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
106
Crosstab
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
status berat kurang
underweight Count 54 138 192
% within status anemia 19.6% 23.3% 22.1%
tidak Count 222 454 676
% within status anemia 80.4% 76.7% 77.9%
Total Count 276 592 868
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.533(b) 1 .216
Continuity Correction(a)
1.323 1 .250
Likelihood Ratio 1.558 1 .212
Fisher's Exact Test .254 .125
Linear-by-Linear Association 1.531 1 .216
N of Valid Cases 868
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 61.05. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for status berat kurang (underweight / tidak)
.800 .562 1.139
For cohort status anemia = anemia .856 .667 1.100
For cohort status anemia = tidak anemia 1.070 .965 1.186
N of Valid Cases 868
107
status gizi berdasarkan TB/U * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
status gizi berdasarkan TB/U
sangat pendek Count 33 75 108
% within status anemia 12.4% 12.9% 12.7%
pendek Count 70 108 178
% within status anemia 26.2% 18.6% 21.0%
normal Count 158 389 547
% within status anemia 59.2% 67.0% 64.5%
tinggi Count 6 9 15
% within status anemia 2.2% 1.5% 1.8%
Total Count 267 581 848
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
Crosstab
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
status stunting anak balita
stunting Count 103 183 286
% within status anemia 38.6% 31.5% 33.7%
tidak Count 164 398 562
% within status anemia 61.4% 68.5% 66.3%
Total Count 267 581 848
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 4.102(b) 1 .043
Continuity Correction(a)
3.791 1 .052
Likelihood Ratio 4.057 1 .044
Fisher's Exact Test .050 .026
Linear-by-Linear Association 4.097 1 .043
N of Valid Cases 848
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 90.05.
108
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for status stunting anak balita (stunting / tidak)
1.366 1.010 1.848
For cohort status anemia = anemia 1.234 1.009 1.509
For cohort status anemia = tidak anemia .904 .816 1.000
N of Valid Cases 848
status gizi berdasarkan BB/TB * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
status gizi berdasarkan BB/TB
sangat kurus Count 6 16 22
% within status anemia 2.3% 2.8% 2.6%
kurus Count 16 37 53
% within status anemia 6.0% 6.4% 6.3%
normal Count 235 487 722
% within status anemia 88.7% 84.5% 85.9%
gemuk Count 8 36 44
% within status anemia 3.0% 6.3% 5.2%
Total Count 265 576 841
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
Crosstab
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
ststus kekurusan anak
wasting Count 22 53 75
% within status anemia 8.3% 9.2% 8.9%
tidak Count 243 523 766
% within status anemia 91.7% 90.8% 91.1%
Total Count 265 576 841
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
109
Chi-Square Tests
Value Df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .181(b) 1 .671
Continuity Correction(a)
.087 1 .768
Likelihood Ratio .183 1 .669
Fisher's Exact Test .795 .389
Linear-by-Linear Association .181 1 .671
N of Valid Cases 841
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 23.63. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for ststus kekurusan anak (wasting / tidak)
.893 .531 1.502
For cohort status anemia = anemia .925 .641 1.334
For cohort status anemia = tidak anemia 1.035 .888 1.207
N of Valid Cases 841
Apakah dalam 6 bulan terakhir [NAMA] pernah mendapatkan kapsul vitamin A? (GUNAKAN KARTU PERAGA) * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
Apakah dalam 6 bulan terakhir [NAMA] pernah mendapatkan kapsul vitamin A? (GUNAKAN KARTU PERAGA)
Ya Count 199 438 637
% within status anemia 71.3% 72.4% 72.1%
Tidak Pernah Count 71 144 215
% within status anemia 25.4% 23.8% 24.3%
Tidak Tahu Count 9 23 32
% within status anemia 3.2% 3.8% 3.6%
Total Count 279 605 884
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
110
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .236(b) 1 .627
Continuity Correction(a)
.161 1 .688
Likelihood Ratio .235 1 .628
Fisher's Exact Test .672 .343
Linear-by-Linear Association .236 1 .627
N of Valid Cases 852
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 68.13. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for Apakah dalam 6 bulan terakhir [NAMA] pernah mendapatkan kapsul vitamin A? (GUNAKAN KARTU PERAGA) (Ya / Tidak Pernah)
.921 .663 1.282
For cohort status anemia = anemia .946 .757 1.182
For cohort status anemia = tidak anemia 1.027 .922 1.143
N of Valid Cases 852
j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo? * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
tidak imunisasi Count 39 49 88
% within status anemia 14.4% 8.7% 10.5%
tidak lengkap Count 34 67 101
% within status anemia 12.5% 11.9% 12.1%
lengkap Count 198 449 647
% within status anemia 73.1% 79.5% 77.4%
Total Count 271 565 836
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
111
j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo? * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
tidak imunisasi Count 39 49 88
% within j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
44.3% 55.7% 100.0%
lengkap Count 198 449 647
% within j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
30.6% 69.4% 100.0%
Total Count 237 498 735
% within j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
32.2% 67.8% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 6.670(b) 1 .010
Continuity Correction(a)
6.057 1 .014
Likelihood Ratio 6.381 1 .012
Fisher's Exact Test .015 .008
Linear-by-Linear Association 6.661 1 .010
N of Valid Cases 735
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28.38. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo? (tidak imunisasi / lengkap)
1.805 1.148 2.838
For cohort status anemia = anemia 1.448 1.115 1.881
For cohort status anemia = tidak anemia .802 .661 .973
N of Valid Cases 735
112
j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo? * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
tidak lengkap Count 34 67 101
% within j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
33.7% 66.3% 100.0%
lengkap Count 198 449 647
% within j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
30.6% 69.4% 100.0%
Total Count 232 516 748
% within j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo?
31.0% 69.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .382(b) 1 .536
Continuity Correction(a)
.253 1 .615
Likelihood Ratio .378 1 .539
Fisher's Exact Test .564 .305
Linear-by-Linear Association .382 1 .537
N of Valid Cases 748
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 31.33. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for j. Berapa kali [NAMA] diimunisasi DPT-HB Combo? (tidak lengkap / lengkap)
1.151 .737 1.796
For cohort status anemia = anemia 1.100 .817 1.481
For cohort status anemia = tidak anemia .956 .824 1.108
N of Valid Cases 748
113
status pendidikan ibu * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
status pendidikan ibu
tamat sma Count 72 178 250
% within status pendidikan ibu 28.8% 71.2% 100.0%
tamat PT Count 11 36 47
% within status pendidikan ibu 23.4% 76.6% 100.0%
Total Count 83 214 297
% within status pendidikan ibu 27.9% 72.1% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .572(b) 1 .449
Continuity Correction(a)
.335 1 .562
Likelihood Ratio .589 1 .443
Fisher's Exact Test .485 .286
Linear-by-Linear Association .570 1 .450
N of Valid Cases 297
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.13. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for status pendidikan ibu (tamat sma / tamat PT)
1.324 .639 2.743
For cohort status anemia = anemia 1.231 .708 2.139
For cohort status anemia = tidak anemia .930 .779 1.109
N of Valid Cases 297
114
status pendidikan ibu * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
status pendidikan ibu
tamat smp Count 72 136 208
% within status pendidikan ibu 34.6% 65.4% 100.0%
tamat PT Count 11 36 47
% within status pendidikan ibu 23.4% 76.6% 100.0%
Total Count 83 172 255
% within status pendidikan ibu 32.5% 67.5% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 2.195(b) 1 .138
Continuity Correction(a)
1.714 1 .190
Likelihood Ratio 2.298 1 .130
Fisher's Exact Test .169 .093
Linear-by-Linear Association 2.186 1 .139
N of Valid Cases 255
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.30. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for status pendidikan ibu (tamat smp / tamat PT)
1.733 .832 3.607
For cohort status anemia = anemia 1.479 .853 2.563
For cohort status anemia = tidak anemia .854 .708 1.029
N of Valid Cases 255
115
status pendidikan ibu * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
status pendidikan ibu
tamat sd Count 87 177 264
% within status pendidikan ibu 33.0% 67.0% 100.0%
tamat PT Count 11 36 47
% within status pendidikan ibu 23.4% 76.6% 100.0%
Total Count 98 213 311
% within status pendidikan ibu 31.5% 68.5% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.686(b) 1 .194
Continuity Correction(a)
1.273 1 .259
Likelihood Ratio 1.764 1 .184
Fisher's Exact Test .234 .129
Linear-by-Linear Association 1.681 1 .195
N of Valid Cases 311
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.81. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for status pendidikan ibu (tamat sd / tamat PT)
1.609 .781 3.313
For cohort status anemia = anemia 1.408 .816 2.429
For cohort status anemia = tidak anemia .875 .732 1.047
N of Valid Cases 311
116
status pendidikan ibu * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
status pendidikan ibu
tidak punya ijazah Count 37 78 115
% within status pendidikan ibu 32.2% 67.8% 100.0%
tamat PT Count 11 36 47
% within status pendidikan ibu 23.4% 76.6% 100.0%
Total Count 48 114 162
% within status pendidikan ibu 29.6% 70.4% 100.0%
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for status pendidikan ibu (tidak punya ijazah / tamat PT)
1.552 .711 3.388
For cohort status anemia = anemia 1.375 .769 2.458
For cohort status anemia = tidak anemia .886 .724 1.084
N of Valid Cases 162
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.231(b) 1 .267
Continuity Correction(a)
.846 1 .358
Likelihood Ratio 1.266 1 .261
Fisher's Exact Test .344 .179
Linear-by-Linear Association 1.223 1 .269
N of Valid Cases 162
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.93.
117
kategori umur ibu * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
kategori umur ibu
15-24 Count 51 72 123
% within status anemia 18.3% 11.9% 13.9%
25-34 Count 136 325 461
% within status anemia 48.7% 53.8% 52.2%
35-44 Count 85 189 274
% within status anemia 30.5% 31.3% 31.0%
45-54 Count 7 18 25
% within status anemia 2.5% 3.0% 2.8%
Total Count 279 604 883
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
kategori umur ibu * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
kategori umur ibu
35-44 Count 85 189 274
% within status anemia 92.4% 90.9% 91.3%
45-54 Count 7 19 26
% within status anemia 7.6% 9.1% 8.7%
Total Count 92 208 300
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .188(b) 1 .665
Continuity Correction(a)
.044 1 .833
Likelihood Ratio .192 1 .661
Fisher's Exact Test .825 .426
Linear-by-Linear Association .187 1 .665
N of Valid Cases 300
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.97.
118
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for kategori umur ibu (35-44 / 45-54) 1.221 .495 3.013
For cohort status anemia = anemia 1.152 .597 2.224
For cohort status anemia = tidak anemia .944 .738 1.208
N of Valid Cases 300
kategori umur ibu * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
kategori umur ibu
25-34 Count 136 325 461
% within status anemia 95.1% 94.5% 94.7%
45-54 Count 7 19 26
% within status anemia 4.9% 5.5% 5.3%
Total Count 143 344 487
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .079(b) 1 .779
Continuity Correction(a)
.004 1 .953
Likelihood Ratio .080 1 .777
Fisher's Exact Test 1.000 .487
Linear-by-Linear Association .079 1 .779
N of Valid Cases 487
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.63. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for kategori umur ibu (25-34 / 45-54) 1.136 .467 2.764
For cohort status anemia = anemia 1.096 .573 2.096
For cohort status anemia = tidak anemia .965 .758 1.227
N of Valid Cases 487
119
kategori umur ibu * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
kategori umur ibu
15-24 Count 51 72 123
% within status anemia 87.9% 79.1% 82.6%
45-54 Count 7 19 26
% within status anemia 12.1% 20.9% 17.4%
Total Count 58 91 149
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.909(b) 1 .167
Continuity Correction(a)
1.346 1 .246
Likelihood Ratio 1.987 1 .159
Fisher's Exact Test .191 .122
Linear-by-Linear Association 1.896 1 .169
N of Valid Cases 149
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.12. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for kategori umur ibu (15-24 / 45-54) 1.923 .753 4.911
For cohort status anemia = anemia 1.540 .790 3.001
For cohort status anemia = tidak anemia .801 .607 1.056
N of Valid Cases 149
120
Tempat tinggal * status anemia Crosstabulation
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
Tempat tinggal
desa Count 140 343 483
% within Tempat tinggal 29.0% 71.0% 100.0%
kota Count 139 262 401
% within Tempat tinggal 34.7% 65.3% 100.0%
Total Count 279 605 884
% within Tempat tinggal 31.6% 68.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 3.270(b) 1 .071
Continuity Correction(a)
3.012 1 .083
Likelihood Ratio 3.264 1 .071
Fisher's Exact Test .081 .041
Linear-by-Linear Association 3.266 1 .071
N of Valid Cases 884
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 126.56. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for Tempat tinggal (desa / kota) .769 .579 1.023
For cohort status anemia = anemia .836 .689 1.015
For cohort status anemia = tidak anemia 1.087 .992 1.191
N of Valid Cases 884
Crosstab
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
Tempat tinggal
desa Count 140 343 483
% within status anemia 50.2% 56.7% 54.6%
kota Count 139 262 401
% within status anemia 49.8% 43.3% 45.4%
Total Count 279 605 884
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
121
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 3.270(b) 1 .071
Continuity Correction(a)
3.012 1 .083
Likelihood Ratio 3.264 1 .071
Fisher's Exact Test .081 .041
Linear-by-Linear Association 3.266 1 .071
N of Valid Cases 884
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 126.56. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for Tempat tinggal (desa / kota) .769 .579 1.023
For cohort status anemia = anemia .836 .689 1.015
For cohort status anemia = tidak anemia 1.087 .992 1.191
N of Valid Cases 884
Crosstab
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
Status pekerjaan Tidak bekerja Count 174 396 570
% within status anemia 62.4% 65.5% 64.5%
Bekerja Count 105 209 314
% within status anemia 37.6% 34.5% 35.5%
Total Count 279 605 884
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%
122
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .795(b) 1 .372
Continuity Correction(a)
.666 1 .414
Likelihood Ratio .792 1 .374
Fisher's Exact Test .406 .207
Linear-by-Linear Association .795 1 .373
N of Valid Cases 884
a Computed only for a 2x2 table b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 99.10. Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval
Lower Upper Lower
Odds Ratio for Status pekerjaan (Tidak bekerja / Bekerja)
.875 .651 1.174
For cohort status anemia = anemia .913 .748 1.114
For cohort status anemia = tidak anemia 1.044 .949 1.148
N of Valid Cases 884
Crosstab
status anemia Total
anemia tidak anemia anemia
Pekerjaan utama
PNS/TNI/Polri/BUMD Count 3 9 12
% within status anemia 2.8% 4.3% 3.8%
Pegawai swasta Count 14 28 42
% within status anemia 13.1% 13.4% 13.3%
Wiraswasta Count 23 56 79
% within status anemia 21.5% 26.8% 25.0%
Petani Count 27 64 91
% within status anemia 25.2% 30.6% 28.8%
Buruh Count 31 27 58
% within status anemia 29.0% 12.9% 18.4%
lainnya Count 9 25 34
% within status anemia 8.4% 12.0% 10.8%
Total Count 107 209 316
% within status anemia 100.0% 100.0% 100.0%