FAKTOR FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN …lib.unnes.ac.id/28316/1/6411412045.pdf · namun...
Transcript of FAKTOR FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN …lib.unnes.ac.id/28316/1/6411412045.pdf · namun...
FAKTOR – FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KEJADIAN TB PARU BALITA
DI BKPM WILAYAH SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat
Oleh
Nana Marlina Ekasari
NIM. 6411412045
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
ii
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang
Oktober 2016
ABSTRAK
Nana Marlina Ekasari
Faktor – Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru Balita
di BKPM Wilayah Semarang
xiv+ 130 halaman+ 36 tabel+ 3 gambar+ 16 lampiran
TB merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada anak-anak,
namun kejadian TB Paru pada anak kurang mendapat perhatian dalam epidemiologi TB.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan
dengan kejadian TB Paru Balita di BKPM Wilayah Semarang.
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain
penelitian case control. Jumlah sampel 33 kasus dan 33 kontrol. Analisis data
dilakukan secara univariat dan bivariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia pemberian
imunisasi BCG (p = 0,0048, OR = 5,812), pendidikan ibu (p = 0,038, OR = 0,218 dan
0,595), kepadatan hunian kamar (p = 0,03, OR = 4,126), pencahayaan kamar (p = 0,043,
OR = 2,864 dan 4,136), riwayat merokok orangtua (p = 0,042, OR = 3,32), dan riwayat
kontak dengan keluarga (p = 0,013, OR = 7,75). Sedangkan tidak ada hubungan antara
jenis kelamin, riwayat BBLR, status gizi, keberadaan scar BCG, riwayat pemberian ASI
eksklusif, pekerjaan ibu, status ekonomi, ventilasi kamar, dan riwayat kontak dengan
tetangga.
Saran yang diajukan adalah perlu adanya penyuluhan secara intensif dan
penemuan pasien TB Paru dewasa dengan BTA (+) sebagai penularan kejadian TB Paru
pada balita dengan melakukan screening baik secara aktif maupun pasif.
Kata Kunci : Balita, faktor risiko, TB Paru.
Kepustakaan : 73 (1995 – 2016)
iii
Departement of Public Health Science
Faculty of Sport Sciens
Semarang State University
October 2016
ABSTRACT
Nana Marlina Ekasari
Risk Factors Related to the Incidence of Pulmonary Tuberculosis among
Children under-five in BKPM Semarang
xiv+ 130 pages+ 36 tables+ 3 images+ 16 attachments
Pulmonary Tuberculosis is one of major causes of childhood mordity and
mortality, however it is relatively a neglected disease in the epidemiologi of TB. The
purpose of this study was to determine the risk factors related to the incidence of
Pulmonary Tuberculosis among children under-five in BKPM Semarang.
This was an analytic observational research with case control design.
Number of sampel was 33 cases and 33 controls. Data were analyzed univariate
analysis and bivariate analysis.
The result showed that there were relationship between the age at BCG (p =
0,0048, OR = 5,812), mother’s education (p = 0,038, OR = 0,218 and 0,595), density of
room (p = 0,03, OR = 4,126), lighting of room (p = 0,043, OR = 2,864 and 4,136),
history of smoke parent (p = 0,042, OR = 3,32), and the history of household contact (p
= 0,013, OR = 7,75). Whereas weren’t relationship between gender, history of low birth
weight, the nutritional status, presence of BCG scar, history of exclusive breastfeeding,
mother’s occupation, economic status, ventilation of room, and the history of contact with
neighbors.
This research recommended that it is necessary to elucidation intensively and
invention of adult patient having Pulmonary Tuberculosis with BTA (+) as spread of
incidence of Pulmonary Tuberculosis among children under-five by screening either
trough active and also passive.
Keywords : Children under-five, risk factors, Pulmonary Tuberculosis,
Literature : 73 (1995 – 2016)
iv
v
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
“Yang penting bukan bagaimana caramu hidup, tapi hidup siapa yang kamu ubah
dengan hidupmu (Patricia Neal)”
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila engkau telah
selesai dari sesuatu urusan, tetaplah bekerja keras untuk urusan yang lain, dan
hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap (QS. Al-Insyirah:6-8)”
“There is scarcely any passion without struggle (Albert Camus)”
Persembahan:
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Orangtuaku tercinta, Ibu Ninik S dan Bapak Suroso
2. Kedua adikku tersayang, Frananda dan Tya
3. Saudara-saudaraku
4. Sahabat dan teman-temanku yang selalu membantu,
memotivasi dan menyemangatiku
5. Almamaterku, Universitas Negeri Semarang
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Faktor –
Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru Balita di BKPM
Wilayah Semarang” dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai
salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan
Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri
Semarang.
Skripsi ini dapat diselesaikan atas bantuan dan kerjasama dari berbagai
pihak, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati disampaikan terima kasih
kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr.
Tandiyo Rahayu, M.Pd., atas pemberian ijin penelitian.
2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Semarang, Irwan Budiono, S.KM., M.Kes (Epid), atas
persetujuan penelitian.
3. Pembimbing I, dr. Mahalul Azam, M.Kes., atas bimbingan, arahan, serta
masukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Penguji I ujian skripsi, dr. Arulita Ika Fibriana, M.Kes (Epid), atas arahannya.
5. Penguji II ujian skripsi, dr. Fitri Indrawati, M.P.H., atas arahannya.
6. Bapak dan ibu dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat atas bekal ilmu
pengetahuan yang diberikan selama di bangku kuliah.
viii
7. Keluarga besar BKPM Wilayah Semarang atas ijin penelitian yang diberikan
dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian.
8. Kedua orangtuaku, Ibu Ninik dan Bapak Suroso atas pengorbanannya, doa,
motivasi dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Kedua adikku, Frananda dan Tya atas perhatian, kasih sayang, serta motivasi
dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Saudara-saudaraku, terutama Teguh Santoso yang telah memberikan
dukungan serta bantuannya selama di bangku kuliah.
11. Sahabat-sahabatku yang selalu memberikan bantuan, dukungan, serta
motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2012 atas
bantuan serta motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah membantu
kelancaran penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Semoga amal baik dari semua pihak mendapatkan pahala yang berlipat
ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna, sehingga masukan dan kritikan yang membangun sangat diharapkan
demi sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak
yang berkepentingan.
Semarang, Oktober 2016
Peneliti
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
ABSTRAK ......................................................................................................... ii
ABSTRACT ........................................................................................................ iii
PERNYATAAN ................................................................................................. iv
PENGESAHAN ................................................................................................. v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................... vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 7
1.2.1 Rumusan Masalah Umum ..................................................................... 7
1.2.2 Rumusan masalah Khusus .................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 8 1.3.1 Tujuan Umum ....................................................................................... 8
1.3.2 Tujuan Khusus ...................................................................................... 9
1.4 Manfaat ...................................................................................................... 10 1.4.1 Bagi Peneliti Lain ................................................................................. 10
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan ...................................................................... 10
1.4.3 Bagi Masyarakat ................................................................................... 10
1.4.4 Bagi Pelayanan Kesehatan .................................................................... 10
1.5 Keaslian Penelitian .................................................................................... 11 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 14 1.6.1 Ruang Lingkup Tempat ........................................................................ 14
1.6.2 Ruang Lingkup Waktu .......................................................................... 14
1.6.3 Ruang Lingkup Keilmuan ..................................................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 15
2.1 Landasan Teori .......................................................................................... 15
2.1.1 Tuberkulosis (TB) ................................................................................ 15
2.1.2 Faktor Risiko Penyebab TB Paru Balita ............................................... 29
2.2 Kerangka Teori .......................................................................................... 55
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 53
3.1 Kerangka Konsep....................................................................................... 53
3.2 Variabel Penelitian..................................................................................... 54
3.2.1 Variabel Bebas ...................................................................................... 54
3.2.2 Variabel Terikat .................................................................................... 54
3.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................... 54
x
3.4 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel............................... 56
3.5 Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................. 59
3.6 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................. 61
3.6.1 Populasi Penelitian ................................................................................ 61
3.6.2 Sampel Penelitian.................................................................................. 61
3.7 Sumber Data .............................................................................................. 64
3.7.1 Data Primer ........................................................................................... 64
3.7.2 Data Sekunder ....................................................................................... 65
3.8 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengambilan Data................................. 65
3.8.1 Instrumen Penelitian ............................................................................. 65
3.8.2 Teknik Pengambilan Data ..................................................................... 67
3.9 Prosedur Penelitian .................................................................................... 68
3.10 Pengolahan dan Analisis Data ................................................................... 69
3.10.1 Pengolahan Data ................................................................................... 69
3.10.2 Analisis Data ......................................................................................... 70
BAB IV HASIL PENELITIAN ........................................................................ 71 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................................... 71
4.2 Hasil Penelitian .......................................................................................... 72
4.2.1 Analisis Univariat ................................................................................. 72
4.2.2 Analisis Bivariat.................................................................................... 81
BAB V PEMBAHASAN ................................................................................... 97 5.1 Pembahasan Hasil Penelitian ..................................................................... 97
5.2 Hambatan dan Kelemahan Penelitian ........................................................ 119
5.2.1 Hambatan Penelitian ............................................................................. 119
5.2.2 Kelemahan Penelitian ........................................................................... 120
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 121
6.1 Simpulan .................................................................................................... 121
6.2 Saran .......................................................................................................... 122
6.2.1 Bagi Masyarakat ................................................................................... 122
6.2.2 Bagi Instansi Kesehatan Terkait ........................................................... 123
6.2.3 Bagi Peneliti Lain ................................................................................. 123
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 125
LAMPIRAN ....................................................................................................... 131
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Sebaran Kasus TB Paru Anak Berdasarkan Usia di BKPM
Wilayah Semarang ......................................................................... 5
Tabel 1.2 Keaslian Penelitian ........................................................................ 11
Tabel 2.1 Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan
Penunjang TB di Fasyankes .......................................................... 24
Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ................... 56
Tabel 4.1 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Jenis Kelamin ............ 72
Tabel 4.2 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Riwayat BBLR .......... 73
Tabel 4.3 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Status Gizi ................. 73
Tabel 4.4 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Keberadaan Scar
BCG ............................................................................................... 74
Tabel 4.5 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Usia Pemberian
Imunisasi BCG ............................................................................... 74
Tabel 4.6 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Riwayat Pemberian
ASI Eksklusif ................................................................................. 75
Tabel 4.7 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Ibu .................................................................................................. 75
Tabel 4.8 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Pekerjaan Ibu ............. 76
Tabel 4.9 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Status Ekonomi ......... 76
Tabel 4.10 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Riwayat Merokok
Orangtua ......................................................................................... 77
Tabel 4.11 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Kepadatan
Hunian Kamar ................................................................................ 77
Tabel 4.12 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Ventilasi Kamar ........ 78
Tabel 4.13 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Pencahayaan Kamar .. 79
Tabel 4.14 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Riwayat Kontak
dengan Keluarga Penderita TB ...................................................... 79
Tabel 4.15 Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Riwayat Kontak
dengan Tetangga Penderita TB ...................................................... 80
Tabel 4.16 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Kejadian TB Paru
Balita .............................................................................................. 81
Tabel 4.17 Hubungan Antara Riwayat BBLR dengan Kejadian TB Paru
Balita .............................................................................................. 82
Tabel 4.18 Hubungan Antara Status Gizi dengan Kejadian TB Paru Balita ... 82
Tabel 4.19 Hubungan Antara Keberadaan Scar BCG dengan Kejadian TB
Paru Balita ...................................................................................... 83
Tabel 4.20 Hubungan Antara Usia Pemberian Imunisasi BCG dengan
Kejadian TB Paru Balita ................................................................ 84
Tabel 4.21 Hubungan Antara Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dengan
Kejadian TB Paru Balita ................................................................ 85
xii
Tabel 4.22 Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Kejadian TB Paru
Balita .............................................................................................. 86
Tabel 4.23 Hasil Analisis Chi Square Terhadap Pendidikan Ibu .................... 87
Tabel 4.24 Hubungan Antara Pekerjaan Ibu dengan Kejadian TB Paru
Balita .............................................................................................. 88
Tabel 4.25 Hubungan Antara Status Ekonomi dengan Kejadian TB Paru
Balita .............................................................................................. 88
Tabel 4.26 Hubungan Antara Riwayat Merokok Orangtua dengan
Kejadian TB Paru Balita ................................................................ 89
Tabel 4.27 Hubungan Antara Kepadatan Hunian Kamar dengan Kejadian
TB Paru Balita ............................................................................... 90
Tabel 4.28 Hubungan Antara Ventilasi Kamar dengan Kejadian TB Paru
Balita .............................................................................................. 91
Tabel 4.29 Hubungan Antara Pencahaan Kamar dengan Kejadian TB
Paru Balita ...................................................................................... 92
Tabel 4.30 Hasil Analisis Chi Square Terhadap Pencahayaan Kamar ............ 93
Tabel 4.31 Hubungan Antara Kontak dengan Keluarga Penderita TB
Dewasa dengan Kejadian TB Paru Balita ...................................... 94
Tabel 4.32 Hubungan Antara Kontak dengan Tetangga Penderita TB
Dewasa dengan Kejadian TB Paru Balita ...................................... 95
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Teori Faktor – Faktor Risiko yang Berhubungan
dengan Kejadian TB Paru Balita ................................................... 52
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Faktor – Faktor Risiko yang Berhubungan
dengan Kejadian TB Paru Balita ................................................... 53
Gambar 3.2 Skema Desain Penelitian Case Control ......................................... 60
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Surat Penetapan Dosen Pembimbing........................................... 132
Lampiran 2. Ethical Clearance ........................................................................ 133
Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian dari Fakultas kepada Kesbangpol .............. 134
Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian dari Fakultas kepada BKPM Semarang ...... 135
Lampiran 5. Surat Rekomendasi Survey/ Riset dari Kesbangpol .................... 136
Lampiran 6. Lembar Penjelasan kepada Calon Subjek .................................... 138
Lampiran 7. Persetujuan Keikutsertaan dalam Penelitian ............................... 140
Lampiran 8. Kuesioner Penelitian .................................................................... 141
Lampiran 9. Lembar Observasi ........................................................................ 144
Lampiran 10. Lembar Dokumentasi .................................................................. 145
Lampiran 11. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ............................................. 146
Lampiran 12. Rekapitulasi Data Kasus dan Kontrol.......................................... 148
Lampiran 13. Rekapitulasi Data Hasil Penelitian .............................................. 150
Lampiran 14. Hasil Analisis Univariat .............................................................. 162
Lampiran 15. Hasil Analisis Bivariat ................................................................. 165
Lampiran 16. Dokumentasi Penelitian ............................................................... 190
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masa anak-anak merupakan masa dimana pertumbuhan dan
perkembangan berlangsung dengan pesat, sehingga perlu diperhatikan upaya
pemeliharaan kesehatan anak yang ditujukan untuk membentuk generasi
mendatang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk menurunkan angka
kematian anak. Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak janin masih
dalam kandungan hingga berusia 18 tahun. Sementara itu, anak pada usia 5 tahun
pertama kehidupan masih memiliki sistem imun yang rendah sehingga rentan
terhadap suatu penyakit termasuk penyakit TB Paru (Kemenkes RI, 2015;
Rakhmawati dkk, 2009).
Penyakit TB Paru merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
menjadi salah satu komitmen global dalam MDGs yang harus dikendalikan
(Depkes RI, 2010). TB Paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis dan telah menyerang hampir sepertiga
penduduk dunia. Penyakit ini mudah ditularkan melalui droplet orang yang
terinfeksi basil TB (Kemenkes RI, 2015). TB Paru anak adalah penyakit TB yang
biasanya menyerang anak usia 0 – 14 tahun dengan kelompok umur 0 – 4 tahun
dan 5 – 14 tahun (Kemenkes RI, 2013).
TB merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada anak-
anak, namun kejadian TB Paru pada anak kurang mendapat perhatian dalam
2
epidemiologi TB dikarenakan > 95% anak-anak dengan TB Paru memiliki sputum
BTA (-), sehingga tidak berkontribusi secara langsung dalam menularkan kejadian
TB Paru (Karim et al, 2012; Nguyen et al, 2009; Rie et al, 1999; Seddon dan
Shingadia, 2014). Dari 9 juta kasus baru TB yang terjadi di seluruh dunia setiap
tahun, diperkirakan 1 juta (11%) diantaranya terjadi pada anak-anak dibawah 15
tahun (Rammohan dan Awofeso, 2015). Dari seluruh kasus anak dengan TB Paru,
75% terjadi di 22 negara dengan beban TB Paru tinggi (high burden countries).
Dilaporkan dari berbagai negara, persentase kasus TB Paru pada anak berkisar
antara 3% hingga >25% (Kartasasmita, 2009).
Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki proporsi kasus TB Paru
anak cukup tinggi. Proporsi kasus TB Paru di Indonesia tahun 2015 pada
kelompok umur 0 – 14 tahun mencapai 8,59% dan mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2014 yaitu sebesar 7,10% dan tahun 2013 yaitu sebesar
7,92% (Kemenkes RI, 2016). Jumlah kasus TB tertinggi dilaporkan terdapat di
provinsi dengan jumlah penduduk yang padat yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Jawa Tengah. Kasus TB di tiga provinsi tersebut sebesar 38% dengan kasus baru
BTA (+) mencapai 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Kemenkes
RI, 2015; 2016).
Berdasarkan data pada profil kesehatan Jawa Tengah tahun 2014,
menunjukkan bahwa proporsi kasus TB anak diantara kasus TB Paru tercatat
sebesar 6,63%. Hal ini menunjukkan adanya penularan kasus TB Paru BTA (+)
kepada anak cukup besar, yaitu terdapat 1.386 anak yang tertular TB Paru BTA
3
(+) dari penderita dewasa yang berhasil ditemukan dan diobati (Dinkes Provinsi
Jawa Tengah, 2015).
Berdasarkan data penemuan pasien TB yang tercatat di Jawa Tengah
pada tahun 2014, diketahui bahwa Kota Semarang menempati urutan tertinggi
dalam penemuan kasus TB Paru anak diantara Kabupaten/Kota lainnya di Jawa
Tengah yaitu terdapat 194 kasus pada usia 0 – 4 tahun dan 92 kasus pada usia 5 –
14 tahun (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2014). Sementara itu, pada tahun 2015
penemuan kasus TB Paru anak mengalami peningkatan yaitu sebesar 244 kasus
pada usia 0 – 4 tahun dan 153 kasus pada usia 5 – 14 tahun (Dinkes Provinsi Jawa
Tengah, 2015).
Salah satu upaya mencegah sang anak terhindar dari penyakit TB Paru
adalah dengan memberikan imunisasi BCG tepat waktu yaitu sebelum anak
berusia 3 bulan. Jika diberikan setelah usia 3 bulan, maka disarankan untuk
melakukan tes tuberkulin (mantoux) terlebih dahulu untuk mengetahui apakah
anak sudah membawa kuman Mycrobacterium tuberculosis dalam tubuhnya.
Imunisasi diberikan apabila tes menunjukkan hasil negatif (IDAI, 2008: 98).
Hasil beberapa penelitian yang berhubungan dengan faktor risiko
kejadian TB Paru di Indonesia maupun di negara lain menunjukkan bahwa
kejadian TB Paru anak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan
faktor anak, faktor orangtua, faktor sosial ekonomi, faktor lingkungan dan adanya
kontak dengan penderita TB dewasa (Ajis dkk, 2009; Karim et al, 2012;
Kuswantoro, 2002; Haq et al, 2010).
4
Berdasarkan penelitian Wiharsini (2013), faktor risiko yang
mempengaruhi kejadian TB Paru pada balita antara lain kontak dengan penderita
TB dewasa, karakteristik balita (jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir
(BBL), riwayat ASI eksklusif, status imunisasi BCG, usia saat imunisasi BCG),
karakteristik orangtua (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan) dan
kebiasaaan merokok orangtua (keberadaan perokok, tempat merokok). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kontak
dengan penderita TB dewasa, status gizi balita, status imunisasi BCG dan
pekerjaan ibu dengan kejadian TB Paru balita (Wiharsini, 2013).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikan kejadian TB Paru.
Di tingkat global, telah dibentuk suatu kemitraan global yang bertujuan untuk
meningkatkan upaya pemberantasan TB, mempercepat penurunan angka kematian
dan kesakitan akibat TB serta penyebaran TB di seluruh dunia yaitu dalam bentuk
Stop TB Partnership. Stop TB Partnership telah merencanakan pengendalian TB
global untuk tahun 2011 – 2015 yang kemudian menetapkan target dalam
pencapaian tujuan pembangunan milenium untuk TB. Tujuan tersebut dapat
dicapai melalui strategi akselerasi pengembangan dan penggunaan metode yang
lebih baik dalam pengaplikasian rekomendasi Stop TB yang baru berdasarkan
strategi DOTS dengan standar pelayanan mengacu pada International Standard
for TB Care (ISTC) (Kemenkes RI, 2011).
Di Indonesia sendiri telah menerapkan strategi DOTS dalam
mengendalikan kejadian TB Paru sejak tahun 1995. Strategi DOTS telah efektif
menyembuhkan TB Paru sebesar 91% (Stalker, 2008). Dengan banyaknya
5
pelayanan kesehatan yang telah melaksanakan srategi DOTS, pengendalian dan
penatalaksanaan TB anak dilakukan dengan meningkatkan diagnosis, mutu
pencatatan dan pelaporan kasus TB anak yang berkualitas dan sesuai standar
ISTC. Selain itu juga dapat dilakukan dengan meningkatkan standarisasi sistem
skoring TB anak, pelatihan bagi tenaga kesehatan serta pengadaan monitoring dan
validasi sistem skoring TB anak (Kemenkes RI, 2011).
Data dari Dinkes Kota Semarang tahun 2015, menunjukkan bahwa
BKPM Wilayah Semarang menempati urutan tertinggi kasus TB Paru anak
diantara pelayanan kesehatan lain di Kota Semarang yang tersebar luas di 16
Kecamatan. Kasus TB Paru anak di BKPM Wilayah Semarang menurut data pada
penemuan pasien TB di Kota Semarang tahun 2015 menunjukkan angka sebesar
152 kasus yang dikategorikan menjadi 99 kasus pada usia 0 – 4 tahun dan 53
kasus pada usia 5 – 14 tahun (Dinkes Kota Semarang, 2015). Sedangkan menurut
hasil pencatatan dan pelaporan pasien TB Paru anak yang diobati di BKPM
Wilayah Semarang didapatkan sebaran kasus TB Paru anak berdasarkan usia
dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1.1. Sebaran Kasus TB Paru Anak Berdasarkan Usia di BKPM Wilayah
Semarang
No. Tahun Kasus TB Paru Anak
0 – 4 Tahun 5 – 14 Tahun
1. 2012 30 11
2. 2013 45 28
3. 2014 49 33
4. 2015 99 53
5. 2016 48 (s.d bulan Mei 2016) 23 (s.d bulan Mei 2016)
Berdasarkan hasil studi pendahuluan terhadap 12 balita berusia 0 – 4
tahun di BKPM Wilayah Semarang menunjukkan bahwa, 8 balita berjenis
6
kelamin laki-laki (67%), 3 balita memiliki riwayat BBLR (25%), 5 balita
memiliki status gizi kurang (42%), 5 balita tidak memiliki scar BCG (42%), 8
balita diberikan imunisasi >7 hari (67%), 10 balita memiliki riwayat tidak
diberikan ASI eksklusif (83%), 9 ibu memiliki tingkat pendidikan sedang (75%)
dan 3 ibu memiliki tingkat pendidikan rendah (25%), 7 ibu memiliki aktivitas
bekerja (58%), 8 keluarga memiliki status ekonomi yang rendah (67%), 10 balita
tinggal dalam rumah dengan ventilasi yang buruk/tidak memenuhi syarat (83%), 3
balita tinggal dalam rumah dengan pencahayaan yang tidak terang (25%) dan 6
balita tinggal dalam rumah dengan pencahayaan yang kurang terang (50%), 10
balita memiliki orangtua dengan riwayat merokok (83%), 7 balita memiliki
riwayat kontak dengan keluarga penderita TB (58%), dan 2 balita memiliki
riwayat kontak dengan tetangga penderita TB atau sebesar 17%.
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa
proporsi terbanyak balita yang menderita TB Paru diakibatkan karena faktor
riwayat pemberian ASI eksklusif, riwayat merokok orangtua, dan ventilasi yang
buruk/tidak memenuhi syarat. Selain itu, hasil pengamatan juga menunjukkan
bahwa sebagian besar sampel bertempat tinggal di rumah dengan minimnya
cahaya matahari yang masuk dalam rumah, diakibatkan karena lingkungan tempat
tinggal yang saling berdekatan satu sama lain. Keadaan seperti ini mengakibatkan
rumah menjadi gelap dan lembab, sehingga mempermudah berkembangnya
mikroorganisme termasuk kuman TB (Fatimah, 2008).
Berdasarkan catatan rekam medis BKPM Wilayah Semarang, dapat
diketahui bahwa dari tahun 2012 sampai dengan awal tahun 2016 selalu terdapat
7
kasus TB Paru anak dan cenderung mengalami peningkatan yang tajam pada usia
balita. Untuk mengetahui hubungan faktor-faktor risiko lain terkait kejadian TB
Paru pada balita, maka perlu dilakukan studi mengenai faktor-faktor risiko apa
saja yang berhubungan dengan kejadian TB Paru balita, sehingga dapat dilakukan
upaya pencegahan yang tepat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.2.1 Rumusan Masalah Umum
Rumusan masalah umum dari penelitian ini adalah apakah faktor-faktor
risiko yang terdiri dari karakteristik balita, karakteristik orangtua, lingkungan fisik
rumah, dan riwayat kontak dengan penderita TB dewasa berhubungan dengan
kejadian TB Paru balita?
1.2.2 Rumusan Masalah Khusus
Rumusan masalah khusus dari penelitian ini adalah:
1. Apakah karakteristik balita yang terdiri dari:
1) Jenis kelamin berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?
2) Riwayat Bayi Berat Lahir Rendah berhubungan dengan kejadian TB
Paru balita?
3) Status gizi berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?
4) Keberadaan scar BCG berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?
5) Usia pemberian imunisasi BCG berhubungan dengan kejadian TB
Paru balita?
8
6) Riwayat pemberian ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian TB
Paru balita?
2. Apakah karakteristik orangtua yang terdiri dari:
1) Pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?
2) Pekerjaan ibu berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?
3) Status ekonomi berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?
4) Riwayat merokok orangtua berhubungan dengan kejadian TB Paru
balita?
3. Apakah lingkungan fisik rumah yang terdiri dari:
1) Kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?
2) Ventilasi berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?
3) Pencahayaan berhubungan dengan kejadian TB Paru balita?
4. Apakah riwayat kontak dengan penderita TB dewasa yang terdiri dari:
1) Riwayat kontak dengan keluarga penderita TB berhubungan dengan
kejadian TB Paru balita?
2) Riwayat kontak dengan tetangga penderita TB berhubungan dengan
kejadian TB Paru balita?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor
risiko yang terdiri dari karakteristik balita, karakteristik orangtua, lingkungan fisik
9
rumah, dan riwayat kontak dengan penderita TB dewasa berhubungan dengan
kejadian TB Paru balita.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui karakteristik balita yang terdiri dari:
1) Jenis kelamin berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.
2) Riwayat Bayi Berat Lahir Rendah berhubungan dengan kejadian TB
Paru balita.
3) Status gizi berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.
4) Keberadaan scar BCG berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.
5) Usia pemberian imunisasi BCG berhubungan dengan kejadian TB Paru
balita.
6) Riwayat pemberian ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian TB
Paru balita.
2. Untuk mengetahui karakteristik orangtua yang terdiri dari:
1) Pendidikan ibu berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.
2) Pekerjaan ibu berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.
3) Status ekonomi berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.
4) Riwayat merokok orangtua berhubungan dengan kejadian TB Paru
balita.
3. Untuk mengetahui lingkungan fisik rumah yang terdiri dari:
1) Kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.
2) Ventilasi berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.
10
3) Pencahayaan berhubungan dengan kejadian TB Paru balita.
4. Untuk mengetahui riwayat kontak dengan penderita TB dewasa yang
terdiri dari:
1) Riwayat kontak dengan keluarga penderita TB berhubungan dengan
kejadian TB Paru balita.
2) Riwayat kontak dengan tetangga penderita TB berhubungan dengan
kejadian TB Paru balita.
1.4 Manfaat
Berdasarkan tujuan di atas, maka penelitian ini bermanfaat bagi:
1.4.1 Bagi Peneliti Lain
Sebagai sumber informasi untuk mengembangkan penelitian selanjutnya
yang berkaitan dengan TB Paru balita.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber informasi ilmiah yang dapat bermanfaat dalam materi
pembelajaran dan sebagai sumber pustaka yang berhubungan dengan TB Paru
pada balita.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang faktor-faktor risiko
apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya TB Paru pada balita, sehingga dapat
dilakukan upaya pencegahan dengan tepat.
1.4.4 Bagi Pelayanan Kesehatan
Dapat digunakan sebagai masukan bagi petugas kesehatan dalam
penanggulangan penyakit menular khususnya TB Paru pada balita dan petugas
11
penyuluhan pada pusat pelayanan kesehatan untuk lebih meningkatkan
penyuluhan kepada masyarakat.
1.5 Keaslian Penelitian
Berikut ini beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan
kejadian TB Paru balita:
Tabel 1.2. Keaslian Penelitian
No. Judul Penelitian Nama
Peneliti
Tahun dan
Tempat
Rancangan
Penelitian
Variabel
Penelitian Hasil
1
Risk of Latent
Tuberculosis
Infection in
Children Living
in Households
with Tubercu-
losis Patients: A
Cross Sectional
Survey in Remote
Northern Lao
People's
Democratic
Republic
Nguyen et
al
2009
Laos Utara
Studi
cross
sectional
Variabel bebas: umur, etnis mino-
ritas, jenis kelamin,
pendidikan orang-
tua, pengetahuan
orangtua, kepa-
datan hunian, jarak
ke pusat pelayanan
kesehatan, kebera-
daan scar BCG,
riwayat kontak
Variabel terikat:
kejadian LTBI pada
anak
Ada hubungan yang
signifikan antara
riwayat kontak (OR:
3,3, 95% CI: 1,4-7,7)
dan anak yang tinggal
di etnis minoritas (OR:
5,4, 95% CI: 2,2-13,6).
2 Risk Factors of
Childhood
Tuberculosis: A
Case Control
Study from Rural
Bangladesh
Karim et al 2012
Bangladesh
Studi case
control Variabel bebas:
umur, jenis
kelamin, pendi-
dikan, pekerjaan,
kepadatan hunian,
karakteristik rumah
tangga, status
ekonomi, kebia-
saan tidur, lokasi
dapur, kontak
dengan TB dewasa,
lamanya kontak
Variabel terikat:
Tuberkulosis pada
anak
Terdapat hubungan
yang signifikan antara
umur < 14 tahun (AOR:
0,25, 95% CI: 0,10-
0,66), pendidikan
(AOR: 0,28, 95% CI:
0,10-0,74), pekerjaan
(AOR: 0,24, 95% CI:
0,08-0,72) kepadatan
hunian (AOR: 0.32,
95% CI: 0,14-0,76),
lokasi dapur (AOR:
0.39, 95% CI: 0,16-
0,96) dan kontak
dengan penderita TB
(AOR: 0,28, 95% CI:
0,16-0,70) dengan
kejadian TB pada anak
BTA (+).
3 Risk Factors for
Mycobacterium
Tuberculosis
Infection Among
Children in
Greenland
Soborg et al 2011
Greenland
Studi
cross
sectional
Variabel bebas:
umur, jenis
kelamin, status
sosial ekonomi,
usia ibu saat
melahirkan, jumlah
anak dalam keluar-
ga, jarak dengan
Umur, jarak kelahiran
anak < 1 tahun,
kepadatan hunian dan
tingkat pendidikan ibu
merupakan faktor
risiko yang terkait
dengan kejadian infeksi
TB pada anak di
12
saudara, pendidikan
orangtua, jenis
pemanas yang digu-
nakan, kontak
dengan penderita
TB, daerah tempat
tinggal, kepadatan
hunian
Variabel terikat:
infeksi
Mycobacterium
tuberculosis pada
anak
Greenland.
4 Risk Factors of
Tuberculosis in
Children
Haq et al 2010
Rumah
Sakit Anak,
Pakistan
Institute of
Medical
Sciences
(PIMS)
Studi
cross
sectional
Variabel bebas:
jenis kelamin,
pendidikan orang-
tua, status imuni-
sasi BCG, kontak
dengan penderita
TB dewasa, status
gizi anak, riwayat
measles, penggu-
naan terapi steroid,
status ekonomi,
kepadatan hunian.
Variabel terikat:
TB Paru anak
Ada hubungan yang
signifikan antara status
imunisasi BCG, kontak
dengan penderita TB
dewasa dan pendidkan
orangtua dengan
kejadian TB pada anak-
anak
5 Faktor-faktor
yang Berhubu-
ngan dengan
Kejadian
Tuberkulosis
pada Anak di
Kecamatan
Ngamprah
Kabupaten
Bandung Barat
Rakhmawati
dkk
2009
Kecamatan
Ngamprah
Kabupaten
Bandung
Barat
Studi case
control Variabel bebas: status gizi, status
imunisasi BCG,
riwayat kontak,
status ekonomi
Variabel terikat:
Tuberkulosis pada
anak
Ada hubungan yang
signifikan antara status
gizi (p value = 0,026),
riwayat kontak (p value
= 0,000), status
ekonomi (p value =
0,001) dengan kejadian
TB pada anak, sedang-
kan pada status
imunisasi BCG tidak
ada hubungan yang
signifikan (p value =
0,240).
6 Faktor-Faktor
yang Berhubu-
ngan dengan
Kejadian TB Paru
Primer pada
Anak Balita di
BP4 Purwokerto
Kuswantoro 2002
Balai
Pengobatan
Penyakit
Paru-Paru
(BP4)
Purwokerto
Studi case
control Variabel bebas:
jenis kelamin,
riwayat kontak,
status imunisasi
BCG, riwayat
kehamilan ibu,
faktor kebiasaan
tidur balita,
pengetahuan ibu,
tingkat ekonomi,
kepadatan
penghuni, kelemba-
ban rumah,
ventilasi rumah,
pencahayaan dan
suhu
Variabel terikat:
TB Paru primer
pada anak balita
Terdapat 5 variabel
yang menjadi faktor
risiko TB anak yaitu
riwayat kontak dengan
anggota keluarga
penderita TB Paru
(OR=9,5, CI 95%=3,0-
29,6, p=0,001), riwayat
kontak dengan tetangga
penderita TB Paru
(OR=7,3, CI 95%=2,1-
24,5, p=0,001), penge-
tahuan ibu (OR=2,7, CI
95%=1,1-6,2, p=0,001),
kepadatan penghuni
(OR=4,4, CI 95%=1,1-
16,6, p=0,02), suhu
rumah (OR=2,5, CI
95%=1,0-5,9, p=0,03).
13
7 Faktor Risiko
Kejadian TB Paru
Anak di Wilayah
Kerja Puskesmas
Cempaka
Banjarbaru
Heriyani
Farida
2010 –
2012
Puskesmas
Cempaka
Banjarbaru
Studi case
Control
Variabel bebas:
status gizi, riwayat
imunisasi BCG,
status sosial
ekonomi, riwayat
kontak penderita
TB Paru dewasa,
dan kondisi
lingkungan rumah
Variabel terikat:
kejadian TB Paru
anak
Terdapat hubungan
antara riwayat kontak
dengan penderita TB
Paru dewasa, ventilasi
rumah, pencahayaan
rumah yang tidak
memenuhi syarat
dengan kejadian TB
Paru anak di wilayah
Puskesmas Cempaka.
8 Hubungan Faktor
Kontak,
Karakteristik
Balita dan
Orangtua dengan
Kejadian TB Paru
pada Balita di
RSPI. Prof. Dr.
Sulianti Saroso
Tahun 2012
Wiharsini
Wenny
2013
RSPI. Prof.
Dr. Sulianti
Saroso
Studi case
control Variabel bebas:
kontak, karakteris-
tik balita (jenis
kelamin, status gizi
anak, BBL, riwayat
ASI eksklusif,
status imunisasi
BCG, usia saat
imunisasi BCG),
karakteristik orang-
tua (pendidikan,
pekerjaan, pengha-
silan, pengetahuan),
kebiasaan merokok
orangtua (kebera-
daan perokok,
tempat merokok)
Variabel terikat:
TB Paru balita
Terdapat hubungan
yang signifikan antara
kontak dengan
penderita TB (OR =
3,23), status gizi (OR =
2,38), status imunisasi
(OR = 5,57), pekerjaan
ibu (OR = 0,28)
9 Hubungan Antara
Faktor-Faktor
Eksternal dengan
Kejadian
Penyakit
Tuberkulosis
pada Balita
Ajis dkk 2008
Kabupaten
Kuantan
Singingi,
Provinsi
Riau
Studi case
control Variabel bebas: kebiasaan merokok,
kontak, status sosial
ekonomi, status
imunisasi BCG,
keadaan ventilasi,
kelembaban,
kepadatan hunian
Variabel terikat:
Tuberkulosis pada
balita
Terdapat hubungan
yang bermakna antara
faktor kebiasaan mero-
kok dalam rumah (OR
= 2,436), adanya
riwayat kontak dengan
penderita BTA positif
(OR = 2,629) dan status
sosial ekonomi (OR =
2,458) dengan kejadian
Tuberkulosis pada
balita.
Beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-
penelitian sebelumnya adalah:
1. Tahun dan tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di BKPM Wilayah Semarang, karena penelitian
tentang faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian TB Paru balita di
BKPM Wilayah Semarang masih jarang dilakukan.
14
2. Variabel penelitian
Variabel bebas yang diduga berhubungan kejadian TB Paru balita dalam
penelitian ini lebih banyak. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian
Wiharsini (2013), perbedaannya adalah penelitian ini meneliti lingkungan fisik
rumah dan mengkategorikan adanya riwayat kontak dengan penderita TB dewasa
yang tidak diteliti dalam penelitian Wiharsini.
3. Rancangan penelitian
Penelitian ini hampir sama dengan penelitian Nguyen et al (2009), Haq et
al (2010) dan Soborg et al (2011), yang membedakan adalah dalam penelitian ini
akan menggunakan desain penelitian case control untuk mengetahui faktor-faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadian TB Paru balita, sedangkan pada
penelitian Nguyen et al (2009), Haq et al (2010) dan Soborg et al (2011)
menggunakan desain penelitian cross sectional.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.1 Ruang Lingkup Tempat
Lokasi dan ruang lingkup penelitian ini dilakukan di BKPM Wilayah
Semarang.
1.6.2 Ruang Lingkup Waktu
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2016.
1.6.3 Ruang Lingkup Keilmuan
Materi dalam penelitian ini termasuk dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat
khususnya dalam bidang epidemiologi penyakit menular.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasar Teori
2.1.1 Tuberkulosis (TB)
2.1.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) Paru adalah penyakit infeksi pada jaringan paru yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Sibuea dkk, 2009: 46).
Seseorang yang terinfeksi kuman TB tidak selalu menjadi sakit. Beberapa minggu
(2 – 12 minggu) setelah terinfeksi kuman akan menimbulkan respons imunitas
selular yang dapat ditunjukkan dengan uji tuberkulin (IDAI, 2008: 131). Menurut
Brunner dan Sudart (2002), TB juga dapat ditularkan kebagian tubuh lainnya,
termasuk meninges, ginjal, tulang dan nodus limfe (Efendi, 2012).
TB Paru anak adalah penyakit TB Paru yang mengenai anak berusia 0 –
14 tahun yang digolongkan dalam kelompok umur 0 – 4 tahun dan 5 – 14 tahun
(Kemenkes RI, 2013). Menurut WHO, terdapat lebih dari 8 juta kasus TB baru
dengan jumlah kematian sebesar 3 juta setiap tahun. Dari jumlah kematian
tersebut terdapat sekitar 1,4 juta kasus dengan 450.000 kematian yang terdiri dari
anak-anak (Widagdo, 2011: 167).
2.1.1.2 Epidemiologi
Epidemiologi TB adalah serangkaian informasi yang menjelaskan
beberapa hal yang berkaitan dengan orang, tempat, waktu dan lingkungan
(Kemenkes RI, 2013). Penyakit TB disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
16
tuberculosis) yang hampir sebagian besar menyerang paru, namun dapat
ditemukan juga di organ tubuh selain paru (Mandal dkk, 2008: 220).
Penyakit TB harus diwaspadai, tidak hanya pada orang dewasa tetapi
juga anak-anak, terutama pada balita yang masih memiliki sistem imun rendah.
TB anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah
anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40 − 50% dari jumlah seluruh populasi
(Seddon dan Shingadia, 2014). Sekitar 500.000 anak menderita TB setiap tahun,
sementara 200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak
meninggal setiap tahun akibat TB. Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui
secara pasti karena kurangnya alat diagnostik “child-friendly” dan tidak
adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB anak (Kemenkes RI, 2013).
Anak yang pernah terinfeksi TB mempunyai risiko menderita penyakit ini
sepanjang hidupnya sebesar 10% (Widoyono, 2008: 14).
TB Paru anak dapat ditularkan melalui droplet orang dewasa maupun
anak dengan BTA (+). Anak yang tertular kuman TB dapat mengembangkan
infeksi yang tergantung dari tingkat penularan, lamanya paparan, dan imunitas
anak (Kemenkes RI, 2013; Seddon dan Shingadia, 2014). Berbeda dengan TB
pada orang dewasa, anak yang terkena TB tidak selalu menularkan kuman kepada
orang lain kecuali anak tersebut BTA (+). Diperkirakan banyak anak menderita
TB tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan
ketentuan strategi DOTS. Kondisi seperti ini dapat meningkatkan dampak negatif
pada data kesakitan dan kematian TB anak (Kemenkes RI, 2013).
17
2.1.1.3 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri penyebab terjadinya penyakit
TB yang termasuk dalam famili Mycobacteriaceae. Bakteri ini pertama kali
digambarkan pada tanggal 24 Maret 1882 oleh Robert Koch. Bakteri ini juga
sering disebut Abasilus koch. Bakteri TB berbentuk basil dengan ukuran 0,5 – 4
mikron x 0,3 – 0,6 mikron. Dinding sel mengandung banyak lemak yang
bermanfaat sebagai penghambat bahaya bakterisida dari antibodi dan komplemen.
Basil TB mempunyai sifat tidak membentuk spora, non motil, pleomorf, gram
positif, termasuk dalam bakteri tahan asam dan tidak tahan terhadap panas (Naga,
2012; Widagdo, 2011: 167).
Dalam dahak bakteri ini dapat bertahan selama 20 – 30 jam, sedangkan
basil dalam percikan air ludah dapat bertahan hidup selama 8 – 10 hari. Sementara
itu, bakteri ini dapat mati pada pemanasan 100ºC selama 5 – 10 menit atau pada
pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan mengunakan alkohol 70 – 95% selama 15
– 30 detik (Naga, 2012; Widagdo, 2011: 167; Widoyono, 2008: 15).
2.1.1.4 Patogenesis
Kuman TB yang terhirup akan masuk kedalam alveoli paru-paru dan
mengembangkan lesi kecil yang dinamakan sebagai fokus primer (fokus Ghon).
Selanjutnya infeksi menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional. Penyebaran ini mengakibatkan inflamasi di saluran limfe (limfangitis)
dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang akan membentuk kompleks primer
(Kemenkes RI, 2013; Widagdo, 2011: 168).
18
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuk
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Pada saat
terbentuknya kompleks primer, maka TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
uji tuberkulin positif (Kemenkes RI, 2013). Namun, pada 95% kasus, kompleks
primer dapat sembuh secara spontan dalam 1 – 2 bulan melalui pembentukan
jaringan fibrotik atau perkapuran (Mandal dkk, 2008: 222; Widagdo, 2011: 168).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi (Kemenkes RI, 2013; Mandal dkk,
2008: 222). Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di
jaringan paru (Kemenkes RI, 2013).
Kompleks primer dapat mengalami komplikasi akibat fokus di paru yaitu
akan terjadi pneumonitis yang mengalir ke bronkus dengan meninggalkan suatu
kaverna (Widagdo, 2011: 168). Setelah itu akan terjadi hiperinflasi didalam lobus
medialis akibat pembesaran kelenjar di hilus dan pratakea (sindrom Brock), dapat
pula menimbulkan TB endobronkial akibat erosi dinding bronkus. Lesi dari
pneumonitis dan hiperinflasi dikatakan sebagai lesi segmental atau konsolidasi
kolap (Kemenkes RI, 2013; Widagdo, 2011: 169).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat pula
terjadi penyebaran pada limfogen dan hematogen. Saat penyebaran limfogen,
19
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau
berlanjut menyebar secara limfohematogen. Selain itu, dapat terjadi penyebaran
hematogen secara langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik (Kemenkes RI, 2013).
Kuman TB dapat mencapai berbagai organ di seluruh tubuh dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread) yang
kemudian akan bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, yaitu
paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu,
dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain.
TB luar paru dapat terjadi sekitar 25 – 35% dari kasus TB Paru anak (Kemenkes
RI, 2013; Widagdo, 2011: 169).
Bentuk penyebaran hematogen lain yaitu penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada penyebaran ini,
kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut untuk
menyebabkan lesi diseminata (Kemenkes RI, 2013; Mandal dkk, 2008: 222).
2.1.1.5 Tanda dan Gejala
Seseorang dapat dikatakan menderita penyakit TB Paru apabila
ditemukan gejala klinis utama (cardinal symptom) pada dirinya. Gejala utama
pada seseorang yang terkena TB Paru, diantaranya yaitu:
1. Batuk berdahak lebih dari tiga minggu.
2. Batuk dengan mengeluarkan darah atau pernah mengeluarkan darah.
20
3. Dada terasa sesak pada waktu bernapas.
4. Dada terasa sakit atau nyeri (Naga, 2012; Widoyono, 2008: 16).
Selain gejala utama, terdapat gejala lain seperti keringat pada malam
hari, demam tidak tinggi/meriang, dan penurunan berat badan. Namun,
berdasarkan strategi yang baru (DOTS), gejala utama seseorang terkena TB Paru
adalah batuk berdahak dan/atau terus menerus selama 3 minggu atau lebih.
Berdasarkan keluhan tersebut, maka seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai
penderita TB, sedangkan gejala lainnya merupakan gejala tambahan (Widoyono,
2008; 16)
Menurut Kemenkes RI (2013), gejala sistemik/umum TB anak adalah
sebagai berikut:
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak
mengalami kenaikan dalam kurun waktu satu bulan setelah melalui upaya
perbaikan gizi yang baik.
2. Demam selama lebih dari 2 minggu dan/atau berulang tanpa sebab yang
jelas. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik lainnya.
3. Batuk lebih dari 3 minggu, batuk bersifat non-remitting.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, diikuti kegagalan
dalam pertumbuhan, perasaan lesu atau malaise, sehingga mengakibatkan
anak kurang aktif bermain.
5. Diare persisten selama lebih dari 2 minggu.
21
Menurut Widagdo (2011: 169), TB pada sebagian anak tidak
menunjukkan gejala apapun. Sementara sebagian lainnya menunjukkan gejala
pada penyakit umumnya seperti demam ringan, batuk ringan, malaise, dan gejala
flu yang biasanya akan hilang selama seminggu. Lebih dari 50% bayi dan anak-
anak yang menderita TB primer akan menunjukkan adanya kelainan pada foto
toraks, namun tidak terlihat pada pemeriksaan fisik. Gejala yang sering ditemukan
adalah batuk, sesak nafas ringan, demam, keringat malam, anoreksia, berat badan
turun, dan anak kurang aktif saat bermain. Secara fisik dapat ditemukan adanya
takipnea, suara nafas melemah, mengi, dan disstres nafas.
2.1.1.6 Klasifikasi
Menurut Naga (2012), TB dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu TB
paru dan TB ekstra paru.
1. TB Paru
Penyakit ini merupakan bentuk yang paling sering dijumpai, yaitu sekitar
80% dari semua penderita. TB yang menyerang jaringan paru-paru ini merupakan
satu-satunya bentuk dari TB yang mudah tertular kepada manusia yang kontak
dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis dari penderita.
2. TB Ekstra Paru
Penyakit ini merupakan bentuk penyakit TB yang menyerang organ
tubuh lain selain paru-paru, seperti pleura, kelenjar limfe, persendian tulang
belakang, saluran kemih dan kelamin, serta susunan saraf pusat (Mandal dkk,
2008: 220). Oleh karena itu penyakit TB ini disebut penyakit yang tidak pandang
22
bulu, karena dapat menyerang seluruh organ dalam tubuh manusia secara
bertahap. Penyakit ini sering menimbulkan kematian bagi penderita.
2.1.1.7 Penemuan Pasien TB Paru
Menurut Kemenkes RI (2013), penemuan pasien TB Paru anak dapat
dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1. Anak yang kontak serumah dengan penderita TB menular
Anak yang menderita TB umumnya tinggal serumah atau sering bertemu
dengan penderita TB dewasa yang menular, ditandai dengan hasil pemeriksaan
sputum BTA (+).
2. Anak dengan tanda dan gejala klinis sesuai dengan TB anak
Anak dengan TB Paru biasanya menunjukkan gejala klinis yang tidak
khas, karena pada beberapa penyakit menunjukkan gejala yang serupa dengan TB.
Gejala sistemik TB anak meliputi berat badan turun tanpa sebab yang jelas,
demam lebih dari 2 minggu tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 3 minggu,
anoreksia, malaise, diare persisten, dan keringat malam tanpa melakukan
aktivitas.
2.1.1.8 Diagnosis TB Paru
Menurut Widagdo (2011: 175), dalam menegakkan diagnosis TB Paru,
diperlukan beberapa hal diantaranya:
1) Anamnesis lengkap, meliputi: keluhan dan faktor risiko yang berpengaruh
sebagai sumber penularan seperti kontak dengan penderita dewasa, riwayat
imunisasi, kondisi lingkungan, dan sebagainya.
23
2) Hasil pemeriksaan fisik yang tergantung pada jenis dan tingkat dari
penyakit yang diderita.
3) Pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan Kemenkes RI (2013), penegakan diagnosis TB anak dapat
dilakukan dengan melihat gejala klinis dan melakukan pemeriksaan penunjang
yang tepat. Sumber penularan utama TB Paru anak dapat dilihat dari riwayat
kontak erat dengan penderita TB menular. Selanjutnya, untuk membuktikan anak
telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan beberapa tindakan, yaitu:
1. Uji tuberkulin/ mantoux test
Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitifitas
terhadap antigen yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan
bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah
tertular. Anak dengan uji tuberkulin positif tidak selamanya menderita TB karena
sistem imun yang masih cukup baik. Anak dengan sistem imun yang baik secara
klinis tampak sehat dan keadaan ini disebut sebagai infeksi TB laten. Namun anak
dengan sistem imun yang lemah tidak mampu mengendalikan kuman, sehingga
menimbulkan gejala TB anak.
2. Foto toraks
Penegakan diagnosis melalui gambaran foto toraks pada TB memiliki
kelemahan, yaitu tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.
3. Sistem skoring
Sistem skoring membantu tenaga kesehatan dalam mengumpulkan data
klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat
24
mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular
mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.
2) Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
3) Pasien dengan jumlah skor ≥ 6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT.
Tabel 2.1 Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang
TB di Fasyankes
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak
jelas
- Laporan
keluarga,
BTA (-) / BTA
tidak
jelas/ tidak tahu
BTA (+)
Uji tuberkulin
(mantoux)
Negatif - - Positif (≥10
mm
atau ≥5
mm pada
imunokom-
promais)
Berat Badan/
Keadaan Gizi
- BB/TB<90%
atau
BB/U<80%
Klinis gizi
buruk
atau
BB/TB<70%
atau BB/U<60%
-
Demam yang
tidak diketahui
penyebabnya
- ≥ 2 minggu - -
Batuk penyerta - ≥ 3 minggu - -
25
Pembesaran
kelenjar
limfe kolli,
aksila,
inguinal
- ≥1 cm, lebih
dari 1 KGB,
tidak nyeri
- -
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul,
lutut, falang
- Ada
pembengka-
kan
- -
Foto toraks
Normal/
kelainan
tidak
jelas
Gambaran
sugestif
(mendukung)
TB
- -
Skor Total
Sumber: Kemenkes RI, 2013
Menurut Kemenkes RI (2013), hal yang perlu diperhatikan dalam
parameter sistem skoring pada anak terdiri dari:
1. Kontak dengan pasien TB BTA (+) diberi skor 3 bila ada bukti tertulis
hasil laboratorium BTA dari sumber penularan.
2. Penentuan status gizi dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U,
dengan merujuk pada buku KIA Kemenkes. Apabila BB kurang, diberikan
upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.
3. Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak sembuh
setelah diberikan pengobatan.
4. Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung kejadian TB
Paru anak.
Sementara pada catatan penegakan diagnosis terdiri dari:
1. Penegakan diagnosis dengan sistem skoring dilakukan oleh dokter atau
petugas kesehatan terlatih.
2. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13).
26
3. Anak dengan skor 6 yang kontak dengan pasien BTA (+), hasil uji
tuberkulin positif, dan tanpa gejala klinis harus diberi INH profilaksis.
4. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan harus segera dirujuk ke rumah sakit.
5. Semua bayi dengan reaksi cepat saat imunisasi BCG dicurigai terinfeksi
TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
6. Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
2.1.1.9 Pencegahan Penyakit TB Paru
Menurut Kemenkes RI (2013), beberapa hal yang perlu dilakukan untuk
mencegah kejadian TB Paru anak antara lain:
1. Imunisasi BCG pada Anak
BCG digunakan pada beberapa negara sebagai tindakan perlindungan
untuk infeksi mycobakterium. Berdasarkan pada Program Pengembangan
Imunisasi (PPI), imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur ≤ 2 bulan dengan
hasil uji tuberkulin negatif. Efek proteksi timbul 8 – 12 minggu setelah
penyuntikan. Imunisasi BCG hanya diberikan sekali dan tidak dianjurkan untuk
imunisasi ulang karena tidak terbukti memberikan perlindungan. Secara umum
perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB
milier dan TB meningitis yang sering terjadi pada anak-anak (IDAI, 2008: 132).
2. Skrining dan Manajemen Kontak
Skrining dan manajemen kontak merupakan suatu kegiatan investigasi
secara aktif dan intensif untuk menemukan anak yang mengalami paparan akibat
kontak dengan pasien TB BTA (+) dan orang dewasa yang menjadi sumber
27
penularan bagi anak yang didiagnosis TB. Tujuan utama skrining dan manajemen
kontak adalah:
1) Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan melakukan
pengobatan.
2) Mengidentifikasi kontak pada semua kelompok umur yang berisiko
untuk mengembangkan penyakit TB.
3) Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB.
3. Pencegahan dengan Isoniazid
Anak yang kontak serumah dengan pasien TB Paru dewasa dengan BTA
(+) akan berisiko tertular TB. Infeksi TB Paru pada anak dapat mengakibatkan
kejadian TB berat, sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis sebagai upaya
pencegahan TB Paru pada anak.
Menurut Naga (2012), banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencegah
penyakit TB Paru. Pencegahan-pencegahan berikut dapat dikerjakan oleh
masyarakat khususnya ibu, maupun petugas kesehatan, yaitu:
1. Bagi masyarakat pencegahan penularan dapat dilakukan dengan
meningkatkan ketahanan terhadap bayi, yaitu dengan memberikan
imunisasi BCG.
2. Bagi petugas kesehatan pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
penyuluhan tentang penyakit TB dan bahayanya terhadap anak.
3. Pencegahan penularan juga dapat dicegah dengan melaksanakan
desinfeksi, seperti cuci tangan, menjaga kebersihan rumah, perhatian
khusus terhadap muntahan, atau ludah anggota keluarga yang terjangkit
28
penyakit ini (piring, tempat tidur, pakaian) dan menyediakan ventilasi
rumah dan sinar matahari yang cukup.
4. Melakukan penyelidikan terhadap orang-orang yang kontak, dan
melakukan pengobatan khusus bagi penderita TB aktif selama 6 – 12
bulan.
2.1.1.10 Pengobatan TB Paru
Prinsip pengobatan TB anak adalah menggunakan gabungan dari
beberapa obat dengan tujuan agar memiliki efek penyembuhan dan mencegah
timbulnya resistensi selama pengobatan. Pengobatan TB anak diberikan selama 6
– 12 bulan yang terdiri dari tahap intensif selama 2 bulan pertama dengan 3 jenis
obat dan tahap lanjutan selama 4 – 10 bulan selanjutnya. Paduan OAT Kategori
Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-
KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien (Kemenkes RI, 2013).
Pengobatan TB menggunakan INH dan RIF yang diberikan selama 6
bulan dengan tambahan PZA dalam 2 bulan pertama, alternatif pengobatan dapat
diberikan selama 9 bulan. Pada pengobatan ini tingkat penyembuhan hampir
mencapai 100% dan efek samping 2%. Pemberian obat sebaiknya diawasi
langsung oleh petugas kesehatan. Di daerah resistensi dengan tingkat 5 – 10%
direkomendasikan untuk menambah obat ke 4 (STM, EMB/ ETAHUN) saat awal
rejimen. Pemberian dapat diberikan selama 9 bulan dan dapat diperpanjang 12 –
18 bulan. Resistensi obat pada anak lebih banyak bersifat primer dibandingkan
29
sekunder yang biasanya terjadi pada kasus orang dewasa (Widagdo, 2011: 178-
179).
2.1.2 Faktor Risiko Penyebab TB Paru Balita
Konsep “trial epidemiologi” dari John Gordon mengemukakan bahwa
terjadinya suatu penyakit disebabkan karena tidak seimbangnya ketiga faktor
yaitu agent (penyebab penyakit), host (pejamu), dan environment (lingkungan)
(Budioro, 2001: 38).
2.1.2.1 Agent
Agent (penyebab penyakit) merupakan semua unsur baik hidup atau mati
yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu penyakit (Muaz, 2014; Widoyono,
2008: 3; Budioro, 2001: 38). Agent penyebab penyakit terdiri dari bahan kimia,
nutrient, mekanik, alamiah, kejiwaan, dan biologis (Budioro, 2001: 38). Penyakit
menular biasanya disebabkan oleh agent biologis, seperti infeksi bakteri, virus,
parasit, atau jamur (Widoyono, 2008: 6). Agent yang menjadi penularan penyakit
TB adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis (Widoyono, 2008: 15).
Salah satu faktor yang mempengaruhi agent yaitu virulensi. Virulensi
merupakan kemampuan atau keganasan suatu agent penyebab penyakit dalam
menimbulkan kerusakan pada sasaran (Widoyono, 2008: 6). Berdasarkan sumber
yang sama virulensi kuman TB termasuk dalam tingkat tinggi (Fatimah, 2008).
2.1.2.2 Host
Faktor pejamu adalah manusia atau hewan hidup yang mempunyai
kemungkinan terpapar oleh agent penyakit (Fatimah, 2008; Muaz, 2014). Host
untuk kuman TB Paru adalah manusia dan hewan (Fatimah, 2008). Namun pada
30
penelitian ini, host yang dimaksud adalah manusia. Beberapa faktor host yang
berhubungan dengan kejadian TB Paru pada balita terdiri dari:
2.1.2.2.1 Karakteristik Balita
1. Usia
Penyakit TB Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia
produktif, yaitu 15-50 tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi,
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut >55
tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap
berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru (Naga, 2012).
Usia memainkan salah satu peran yang paling penting dalam menentukan
berkembangnya penyakit pada masa anak-anak. Bayi yang terinfeksi memiliki
risiko sebesar 50% terkena perkembangan penyakit. Sementara itu anak usia 1 – 2
tahun memiliki risiko 20% – 30%, untuk anak berusia 3 – 5 tahun memiliki risiko
5%, anak berusia 5 – 10 tahun berisiko 2% dan risiko terhadap orang dewasa
adalah 5%. Usia anak-anak juga lebih mungkin untuk mengembangkan bentuk
parah dari TB, seperti TB meningitis atau TB milier (Seddon dan Shingadia,
2014).
2. Jenis Kelamin
Menurut WHO sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta
perempuan yang meninggal akibat TB Paru. Dari fakta ini dapat disimpulkan
bahwa kaum perempuan lebih rentan terhadap kematian akibat serangan TB Paru
dibandingkan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada laki-laki penyakit ini
31
lebih tinggi karena rokok dan minuman alkohol karena dapat menurunkan sistem
pertahanan tubuh (Naga, 2012).
Menurut WHO pada tahun 2007, terdapat sebanyak 5,5 juta kasus TB
dilaporkan dari 196 negara dengan kasus TB BTA (+) lebih tinggi terjadi pada
laki-laki daripada perempuan. Perbedaan jenis kelamin di dunia bervariasi pada
setiap usia. Di negara-negara industri, tidak terdapat perbedaan kasus TB di antara
anak-anak, remaja pria dan wanita, namun kasus yang tinggi terjadi pada
perempuan yang berusia 15 – 34 tahun. Sementara itu di negara berkembang,
tidak terdapat perbedaan kasus TB untuk jenis kelamin laki-laki dan perempuan
(Sabawoon dan Sato, 2012).
Meskipun secara fisik laki-laki cenderung lebih kuat dibandingkan
perempuan, namun sejak bayi hingga dewasa perempuan memiliki daya tahan
tubuh lebih kuat dibandingkan laki-laki, baik daya tahan akan rasa sakit maupun
daya tahan terhadap penyakit. Anak laki-laki lebih rentan terhadap berbagai jenis
penyakit dan cacat dibandingkan anak perempuan. Selain itu, secara neurologis
anak perempuan lebih matang dibandingkan anak laki-laki sejak lahir hingga
masa remaja, begitu juga dengan pertumbuhan fisik anak perempuan lebih cepat
daripada laki-laki (Friedman dkk, 2006 dalam Domili dkk, 2014).
Berdasarkan penelitian Madanijah dan Triana (2007), menunjukkan hasil
bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal jenis kelamin pada kelompok
TB dan non TB. Hasil ini sejalan dengan penelitian Herawati dkk (2005), yang
menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
kejadian TB Paru anak (p = 0,191). Sedangkan pada penelitian Kuswantoro
32
(2002), anak balita dengan jenis kelamin laki-laki berisiko 1,26 kali lebih besar
terkena TB Paru primer dibandingkan anak balita dengan jenis kelamin
perempuan.
3. Riwayat Bayi Berat Lahir Rendah
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ialah suatu keadaan dimana berat
badan bayi saat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa kehamilan
(Kemenkes RI, 2015; Proverawati dan Sulistyorini, 2010: 1). Prevalensi BBLR
diperkirakan mencapai 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan kisaran 3,3% –
38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang dengan tingkat sosial
ekonomi yang rendah. Secara statistik, di negara berkembang bayi dengan BBLR
berisiko 35 kali lebih tinggi mengalami kematian dibandingkan bayi dengan berat
lahir lebih dari 2500 gram (Pantiawati, 2010: 3).
BBLR tidak hanya terjadi pada bayi yang lahir prematur, namun juga
pada bayi cukup bulan yang mengalami hambatan pertumbuhan selama kehamilan
(Kemenkes RI, 2015; Pantiawati, 2010: 4; Proverawati dan Sulistyorini, 2010: 1).
Penyebab terjadinya bayi BBLR secara umum bersifat multifaktoral, sehingga
sulit untuk menentukan upaya pencegahan yang tepat (Proverawati dan
Sulistyorini, 2010: 5).
BBLR merupakan salah satu faktor utama dalam peningkatan mortalitas,
morbiditas dan disabilitas pada neonatus, bayi dan anak serta memberikan
dampak jangka panjang terhadap kehidupan dimasa depan (Pantiawati, 2010: 3).
Bayi berat lahir rendah mempunyai kecenderungan ke arah peningkatan terjadinya
penyakit infeksi dan mudah terserang komplikasi. Masalah pada BBLR yang
33
sering terjadi adalah susunan saraf pusat, kardiovaskular, hematologi, gastro
intestinal, ginjal, termoregulasi, dan gangguan pada sistem pernafasan seperti TB
Paru (Kemenkes RI, 2015). Berdasarkan penelitian Wiharsini (2013),
menunjukkan bahwa balita dengan riwayat BBLR berisiko 0,88 kali lebih besar
menderita TB Paru daripada balita dengan riwayat berat lahir normal.
4. Status Gizi
Kekurangan karbohidrat, protein, vitamin, mineral dan zat gizi lainnya
akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang, sehingga rentan terhadap
berbagai penyakit, termasuk TB Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang
berpengaruh di negara berkembang, baik pada orang dewasa maupun anak-anak
(Naga, 2012).
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh
cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara
umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsier, 2009: 9). Sementara itu, balita
dengan keadaan gizi buruk biasanya memiliki tubuh lemah sehingga mudah
terinfeksi dan diserang penyakit terutama kuman TB. Malnutrisi sering tejadi pada
penderita TB Paru yang lama sekitar 70% (Efendi, 2012).
Salah satu penentuan status gizi balita adalah melalui klasifikasi menurut
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk keperluan
Pemantauan Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat badan
terhadap umur. Status gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1) Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD
34
2) Gizi baik : bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD
3) Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD
4) Gizi buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD.
Hasil penelitian Rakhmawati dkk (2008), menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian TB Paru anak. Anak
dengan status gizi kurang mempunyai peluang untuk terkena TB 7,11 kali lebih
besar dibandingkan anak dengan status gizi baik. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Wiharsini (2013), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara status gizi dengan kejadian TB Paru balita (p value = 0,03).
5. Keberadaan Scar BCG
BCG adalah vaksin hidup berasal dari Mycobacterium bovis yang telah
dilemahkan, namun masih mempunyai imunogenitas (IDAI, 2008: 132).
Pemberian imunisasi bertujuan untuk mencegah atau bahkan menghilangkan
terjadinya suatu penyakit tertentu pada kelompok masyarakat (IDAI, 2008: 10).
Pemberian imunisasi BCG akan menghasilkan kekebalan aktif terhadap penyakit
TB. Imunisasi ini hanya diberikan sekali seumur hidup yaitu sebelum anak
berumur dua bulan dan tidak dianjurkan untuk pemberian imunisasi ulang
(Lisnawati, 2011: 56). Vaksin BCG memberikan efek perlindungan sebesar 80%
selama 10 – 15 tahun dan merupakan upaya pencegahan penyakit diseminata pada
anak yang paling baik (Mandal dkk, 2008: 227).
Keberhasilan imunisasi BCG ditandai dengan timbulnya scar (benjolan
merah) minimal setelah 1 – 2 minggu setelah penyuntikan. Kemudian scar ini
membentuk ulserasi dan sembuh setelah 2 – 3 bulan dan akan meninggalkan parut
35
bulat berdiameter 4 – 8 mm (IDAI, 2008: 133; Lisnawati, 2011: 57). Berdasarkan
penelitian Wiharsini (2013), menunjukkan bahwa balita yang tidak memiliki scar
BCG berisiko 5,57 kali lebih besar menderita TB Paru dibandingkan balita yang
memiliki scar BCG (CI 95% 2,48 – 12,54). Dalam penelitian Wiharsini (2013),
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara imunisasi BCG dengan
kejadian TB Paru balita. Hasil ini berbeda dengan penelitian Rakhmawati dkk
(2009), yang menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara imunisasi BCG
dengan kejadian TB Paru anak (p value = 0,240).
6. Usia Pemberian Imunisasi BCG
Salah satu upaya untuk mencegah sang anak terhindar dari penyakit TB
Paru adalah dengan memberikan imunisasi BCG tepat waktu. Berdasarkan jadwal
IDAI (2008), imunisasi BCG sebaiknya diberikan pada anak sebelum berusia 3
bulan. Namun menurut Depertemen Kesehatan, imunisasi BCG sebaiknya
diberikan pada anak umur 0 – 12 bulan guna mencapai cakupan yang lebih luas.
Jika diberikan setelah usia 3 bulan, maka disarankan untuk melakukan tes
tuberkulin (mantoux) terlebih dahulu untuk mengetahui apakah anak sudah
membawa kuman Mycobacterium tuberculosis dalam tubuhnya. Vaksinasi
diberikan apabila tes menunjukkan hasil negatif (IDAI, 2008: 98). Sementara itu
apabila anak kontak erat dengan penderita TB maka imunisasi harus diberikan
segera setelah lahir yaitu kurang dari 7 hari. Hal ini dilakukan untuk menghindari
sang anak terkena TB sebelum mendapat imunisasi BCG (Asuke et al, 2015;
Wammanda et al, 2004).
36
Usia pemberian imunisasi BCG banyak mengalami perdebatan. Beberapa
ahli mengemukakan bahwa imunisasi BCG sebaiknya diberikan pada usia 0 bulan
(3 hari pertama setelah kelahiran). Namun pendapat lain menyatakan bahwa
imunisasi BCG dapat diberikan pada usia 2 – 3 bulan, dikarenakan jika diberikan
pada usia 0 bulan tubuh anak belum dapat membentuk antibodi dengan baik.
Menurut hasil penelitian Suardi (2002), menunjukkan bahwa respon terhadap uji
tuberkulin dan scar BCG yang timbul lebih baik pada vaksinasi yang diberikan
pada 3 bulan pertama dibandingkan imunisasi yang diberikan 3 hari pertama
setelah lahir (Rakhmawati dkk, 2009).
Menurut Pizzo dan Wilfert (1994) mengemukakan bahwa sel-sel
imunokompeten tubuh telah terbentuk sempurna pada waktu bayi lahir, oleh
karena itu dengan memberikan imunisasi BCG lebih dini akan menimbulkan
respon imun yang lebih dini pula, terutama respon imun seluler dibandingkan
respon imun humoral. Hal ini dikarenakan respon imun berkaitan erat dengan
kemampuan tubuh dalam melawan penyakit, sehingga pemberian imunisasi BCG
sejak lahir akan menumbuhkan daya tahan tubuh terhadap penyakit TB, dengan
demikian dapat mencegah TB Paru lebih awal (Murniasih dan Livana, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Wiharsini (2013), menyatakan bahwa balita
yang tidak diimunisasi BCG tepat waktu berisiko 1,08 kali lebih besar menderita
TB Paru dibandingkan dengan balita yang diimunisasi tepat waktu. Hasil berbeda
ditunjukkan oleh penelitian Setyowati (2007) yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara waktu pemberian imunisasi ≤ 1 minggu dengan
kejadian TB Paru anak di Puskesmas Cebongan Salatiga (p value = 0,038).
37
7. Riwayat Penyakit Penyerta
Penyakit penyerta merupakan suatu penyakit yang menyertai penyakit
lain atau sebagai komplikasi dari penyakit yang diderita. Seseorang akan lebih
mudah untuk menderita TB apabila disertai dengan adanya suatu penyakit yang
mengakibatkan rendahnya sistem imun dalam tubuh, seperti adanya penyakit
infeksi HIV/AIDS, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, Diabetes Mellitus, gagal
ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama (Kemenkes RI,
2013; Ketut, 2013).
TB merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada
anak yang terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan
kematian. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak dengan infeksi HIV
disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak.
Sementara itu, meningkatnya kasus HIV pada orang dewasa telah berdampak
terhadap peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada umur yang rentan
sehingga anak tersebut sangat mudah terkena TB terutama TB berat, seperti TB
milier dan meningitis (Kemenkes RI, 2013).
Haq et al (2010), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa dari total 200
kasus anak, 27 anak (13,5%) memiliki riwayat penggunaan kortikosteroid jangka
panjang dan 86 anak (43,0%) memiliki riwayat menderita penyakit campak.
Campak dapat melemahkan sistem imun dalam tubuh dan menyebabkan
kambuhnya penyakit TB. Selain itu, campak juga menyebabkan kejadian
malnutrisi pada anak-anak yang mengakibatkan anak rentan terhadap infeksi TB.
38
8. Riwayat Pemberian ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) eksklusif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
33 Tahun 2012 adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama
enam bulan lamanya, tanpa diberikan makanan atau minuman tambahan lain
(kecuali obat, vitamin dan mineral) (Kemenkes RI, 2015). ASI mengandung
kolostrum yang kaya akan zat antibodi karena mengandung protein yang dapat
membentuk daya tahan tubuh dan sebagai pembunuh kuman dalam jumlah tinggi
sehingga pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi risiko kematian pada bayi.
ASI mengandung zat-zat makanan dan zat penyerap berupa enzim tersendiri yang
tidak akan mengganggu enzim di usus. Kelebihan ASI dibandingkan susu formula
yaitu dalam susu formula tidak terkandung enzim sehingga mengganggu
penyerapan makanan pada enzim yang terdapat di usus bayi (Kemenkes RI, 2015;
Arisman, 2009: 50).
Efektivitas ASI dalam mengendalikan penyakit infeksi dapat dibuktikan
dengan berkurangnya beberapa penyakit spesifik pada bayi yang mendapat ASI
dibanding bayi yang mendapat susu formula (Masela dkk, 2015). Berdasarkan
hasil penelitian Wiharsini (2013), menunjukkan bahwa balita yang tidak diberikan
ASI eksklusif berisiko 1,42 kali lebih besar menderita TB Paru dibandingkan
balita yang diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan, dengan p value = 0,54 yang
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara ASI eksklusif dengan
kejadian TB Paru pada balita.
39
2.1.2.2.2 Karakteristik Orangtua
1. Pendidikan Ibu
Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam bidang
kesehatan. Selain itu juga, pendidikan berkaitan erat dengan pengetahuan.
Semakin rendah pendidikan maka pengetahuan dibidang kesehatan semakin
berkurang yang secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan
kesehatan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi terjadinya penyakit TB
(Muaz, 2014).
Menurut Soetjiningsih (1995), pendidikan ibu merupakan salah satu
faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak karena dengan pendidikan yang
baik, maka mudah bagi ibu untuk menerima segala informasi dari luar terutama
tentang cara pengasuhan anak yang baik dan benar, bagaimana menjaga kesehatan
anak, menentukan pendidikan anak, dan sebagainya (Hamidi, 2011). Di negara
berkembang hampir 50% penderita TB adalah masyarakat yang berpendidikan
rendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi (Crofton dalam Efendi 2012).
Berdasarkan hasil penelitian Herawati dkk (2005), menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kejadian TB Paru
anak, hal ini dikarenakan orangtua dalam kelompok anak yang tidak diimunisasi
BCG mempunyai tingkat pendidikan tinggi (58%) lebih banyak daripada orangtua
dalam kelompok anak yang diimunisasi BCG sehingga akan berpengaruh kepada
perilaku orangtua dalam mencegah sang anak terkena penyakit TB Paru.
Sementara itu hasil penelitian Wiharsini (2013), menunjukkan bahwa ibu dengan
pendidikan rendah berisiko 1,33 kali lebih besar menyebabkan balita menderita
40
TB Paru daripada ibu dengan pendidikan yang tinggi. Berbeda dengan penelitian
Karim et al (2012), yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara
pendidikan ibu dengan kejadian TB Paru anak dengan p value = 0,001.
2. Pekerjaan Ibu
Status pekerjaan merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian
TB Paru anak. Hal ini dikarenakan pada umumnya ibu yang bekerja memiliki
waktu yang lebih sedikit untuk bersama dengan anak-anaknya sehingga kurang
memperhatikan kesehatan anaknya (Nugroho, 2012)
Berdasarkan hasil penelitian Wiharsini (2013), menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan kejadian TB Paru
balita (p value = 0,020) dengan nilai OR = 0,28 yang berarti balita dengan ibu
yang bekerja memiliki risiko 0,28 kali lebih besar menderita TB Paru
dibandingkan balita dengan ibu yang tidak bekerja. Pada penelitian ini, ibu yang
bekerja dihubungkan dengan adanya riwayat kontak dalam mempengaruhi
kejadian TB Paru balita. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang
bekerja tidak menyadari bahwa keluarga yang membantu mengasuh balita mereka
menderita TB Paru. Sedangkan pada ibu yang tidak bekerja, balita tertular TB dari
interaksi dengan kakek/nenek dan orangtua baik ibu maupun ayah.
3. Status Ekonomi
Status ekonomi erat kaitannya dengan pendapatan keluarga yang secara
tidak langsung dapat mengakibatkan mudahnya penularan TB Paru anak. Hal ini
dikarenakan pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak yang
memenuhi syarat-syarat kesehatan (Naga, 2012). Selain itu keadaan ekonomi juga
41
dapat mempengaruhi kemampuan orangtua dalam mencukupi kebutuhan gizi sang
anak serta upaya untuk memberikan imunisasi BCG guna mencegah terjadinya
penyakit TB Paru (Pernanda, 2013).
Masyarakat dengan status ekonomi yang rendah cenderung kurang
memperhatikan kualitas hidup mereka, dan lebih sering mengalami kesulitan
dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Hal ini disebabkan karena
kesibukan mereka yang lebih fokus untuk mencari nafkah untuk menghidupi
keluarganya (Priyadi, 2003). Berdasarkan hasil penelitian Rakhmawati dkk (2009)
menunjukkan bahwa anak dengan latar belakang status ekonomi keluarga yang
rendah berisiko 7,65 kali lebih besar terkena TB Paru dibandingkan anak dengan
latar belakang status ekonomi keluarga yang tinggi, dengan nilai p = 0,001 yang
berarti terdapat hubungan yang bermakna antara status ekonomi keluarga dengan
kejadian TB Paru anak. Hal ini dikarenakan status ekonomi yang rendah dapat
mempengaruhi kemampuan orangtua untuk memenuhi kebutuhan gizi sang anak
yang berisiko mempengaruhi terjadinya TB Paru.
4. Perilaku
Menurut Skiner, perilaku kesehatan merupakan suatu respons seseorang
terhadap rangsangan dari luar yang berkaitan dengan kesehatan (Notoadmojo
dalam Putra, 2011). Teori Blum menyatakan bahwa faktor perilaku merupakan
komponen kedua terbesar yang mempengaruhi derajat kesehatan. Penularan
penyakit TB Paru dapat disebabkan karena perilaku yang kurang memenuhi
kesehatan, seperti: kebiasaan membuka jendela dan kebiasaan membuang dahak
42
penderita yang tidak benar. Alasan inilah yang menyebabkan penularan penyakit
TB Paru dalam keluarga (Agus S. dan Arum P. dalam Hamidi, 2011).
Seseorang dapat menerima perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3
tahap yang terdiri atas: pengetahuan, sikap, dan tindakan.
1) Pengetahuan
Tingkat pengetahuan merupakan proses awal mula terbentuknya
perilaku. Pengetahuan ibu dari penderita TB yang kurang tentang cara penularan,
bahaya, dan cara pencegahan akan mempengaruhi sang anak untuk tertular TB
Paru dari orang disekelilingnya (Astuti, 2013). Berdasarkan hasil penelitian
Kuswantoro (2002), menyatakan bahwa anak balita yang memiliki ibu dengan
tingkat pengetahuan rendah berisiko 2,70 kali lebih besar terkena TB Paru primer
dibandingkan anak balita yang memiliki ibu dengan tingkat pengetahuan tinggi.
2) Sikap
Menurut Notoadmojo (2002), sikap merupakan respon seseorang yang
dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu pengalaman, sosial budaya, agama dan
emosi dalam diri seorang individu dalam membentuk sikap (Putra, 2011). Hasil
penelitain Hamidi (2011) dalam skripsinya menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara sikap mengenai pencegahan TB Paru dengan
kejadina TB Paru anak usia 0 – 14 tahun.
3) Tindakan
Tindakan merupakan tahap akhir dalam pembentukan perilaku seseorang,
sehingga hasil dari tindakan adalah pengaruh dari pengetahuan dan sikap
responden. Berdasarkan hasil penelitai Putra (2011) dalam skripsinya
43
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tindakan
pencegahan dengan kejadian TB Paru di Kota Solok.
Perilaku buruk dari penderita TB dewasa dengan BTA (+) sangat
mempengaruhi terjadinya penularan kuman TB kepada balita. Kebiasaan batuk
tanpa menutup mulut dan meludah sembarangan akan menyebabkan kuman TB
mudah menyebar, sehingga kontak fisik harus dihindarkan dari balita.
Berdasarkan penelitian Madanijah dan Triana (2007), menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara perilaku sumber penularan dengan kejadian TB
Paru anak.
Salah satu perilaku yang berperan penting dalam menyumbangkan
penyakit TB Paru balita adalah kebiasaan merokok orangtua. Prevalensi merokok
di semua negara berkembang mencapai lebih dari 50% yang terjadi pada laki-laki
dewasa, sedangkan pada wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya
kebiasaan merokok pada orangtua, maka semakin mempermudah terjadinya
infeksi penyakit pada balita yang memiliki sistem imun lemah (Astuti, 2013).
Sebuah data di Amerika menunjukkan bahwa terdapat 34,4% anak tinggal
serumah bersama dengan minimal satu perokok, sehingga paparan asap rokok
yang ditimbulkan menyebabkan tingginya prevalensi TB Paru anak (Halim dkk,
2015).
Paparan asap rokok dalam ruangan dapat menyebabkan udara
mengandung nitrogen oksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Nitrogen
oksida yang masuk ke saluran nafas akan berkembang menjadi makrofag dan
menimbulkan infeksi, sehingga dapat menurunkan sistem imun dalam tubuh
44
(Sidhi, 2010). Sementara itu menurut Suradi (1996), partikulat yang terdapat
dalam asap rokok akan menimbulkan dampak yang besar terhadap pembersihan
oleh sistem mukosilier, dimana sebagian partikulat tersebut mengendap pada
lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivitas
silia. Selain itu juga, berkurangnya pergerakan cairan yang melapisi mukosa
bronkus mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa bronkus.
Dengan adanya gangguan refleks pada saluran napas, fungsi silier dan produksi
mukus tersebut akan mengakibatkan penurunan sistem imun dalam tubuh,
sehingga tubuh rentan terkena suatu penyakit (Purnamasari, 2010).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunani dan Ratifah (2014),
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok
orangtua dengan kejadian TB Paru pada balita (p = 0,001). Balita yang tinggal
serumah dengan anggota keluarga yang memiliki kebiasaan merokok berisiko
5,09 kali lebih besar terkena TB Paru dibandingkan balita yang tinggal serumah
dengan anggota keluarga tanpa kebiasaan merokok.
2.1.2.3 Environment
Lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada di sekitar manusia
baik fisik yang bersifat tidak bernyawa, biologis yang bersifat hidup, dan sosial
serta pengaruh-pengaruh luar yang dapat mempengaruhi kehidupan dan
perkembangan manusia (Fatimah, 2008; Muaz, 2014). Beberapa faktor
lingkungan yang berhubungan dengan kejadian TB Paru pada balita terdiri dari:
45
1. Lingkungan Fisik Rumah
Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang berfungsi
sebagai tempat tinggal untuk melindungi diri dari gangguan iklim dan makhluk
hidup lainnya. Sementara itu rumah sehat adalah rumah yang dapat menjadi
tempat yang baik untuk tumbuh dan berkembang, baik secara jasmani, rohani dan
sosial. Kondisi rumah sehat sangat penting untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Rumah dikatakan sehat apabila telah memenuhi empat syarat pokok
berikut ini:
1) Memenuhi kebutuhan fisiologis, seperti: suhu, cahaya, udara, kebisingan,
dan kepadatan.
2) Memenuhi kebutuhan psikologis, seperti: terdapat pembagian ruang yang
baik serta aman untuk ditempati.
3) Terhindar dari penularan atau terjadinya penyakit, seperti: terdapat sarana
air bersih, tempat pembuangan tinja dan air limbah, bebas dari vektor
penyakit, dll.
4) Melindungi/mencegah terjadinya bahaya kecelakaan baik dari dalam
maupun luar rumah, seperti: kuat, tidak mudah terbakar, safety
(Kepmenkes RI, 1999).
Kondisi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan
merupakan faktor risiko sumber penularan penyakit TB. Sumber penularan
penyakit TB erat kaitannya dengan kondisi sanitasi perumahan yang meliputi
penyediaan air bersih dan pengolahan limbah. Faktor risiko dan lingkungan pada
bangunan rumah yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit maupun kecelakaan
46
antara lain ventilasi, pencahayaan, kepadatan hunian, kelembaban ruangan,
binatang penular penyakit, penyediaan air bersih, limbah rumah tangga, hingga
penghuni dalam rumah (Fahreza dkk, 2012).
Dari beberapa penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa parameter
fisik rumah yang mengakibatkan terjadinya penularan penyakit TB Paru, yaitu:
1) Kepadatan Hunian
Semakin padat suatu hunian, maka penularan penyakit melalui udara
akan semakin cepat dan mudah. Keadaan ini semakin diperparah apabila terdapat
anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA (+). Kepadatan hunian tempat
tinggal pada penderita TB Paru anak biasanya berada pada tingkat yang rendah
(Halim dkk, 2015; Sidhi, 2010). Kepadatan penghuni akan berpengaruh terhadap
kadar oksigen, kadar uap air, dan suhu udara dalam ruang tersebut (Kuswantoro,
2002).
Persyaratan kepadatan hunian dapat dinyatakan dengan satuan m2/orang
dengan luas minimum per orang tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas
yang tersedia (Putra, 2011). Berdasarkan pada Kepmenkes RI (1999), kepadatan
hunian rumah dapat diketahui dengan membandingkan luas lantai rumah dengan
jumlah penghuni rumah yaitu minimal 10 m2/orang. Sementara untuk luas kamar
tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur
dalam satu kamar tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
Berdasarkan penelitian Kuswantoro (2002), menunjukkan bahwa anak
balita yang tinggal di rumah dengan tingkat kepadatan yang tidak memenuhi
syarat berisiko 4,4 kali lebih besar terkena TB Paru primer dibandingkan dengan
47
anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat kepadatan yang memenuhi
syarat. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ajis dkk
(2009) dan Halim dkk (2015), yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru pada balita.
2) Ventilasi
Ventilasi bermanfaat sebagai tempat pergantian udara, mengurangi
kelembaban, dan masuknya sinar matahari dalam ruangan (Adnani dan Mahastuti,
2006; Fatimah, 2008). Ventilasi dapat mengurangi jumlah kuman TB dalam
ruangan yang terbawa oleh aliran udara, sehingga dapat memperkecil
kemungkinan penularan TB Paru pada penghuni rumah tersebut (Heriyani, 2012).
Dalam penilaian rumah sehat, luas ventilasi yang memenuhi syarat
kesehatan adalah ≥ 10% dari luas lantai dan luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan adalah < 10% dari luas lantai (Depkes RI, 2007; Kepmenkes RI,
1999). Luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan
timbulnya bau pengap, suhu udara dalam ruangan naik, kelembaban ruangan
bertambah, berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi
karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya (Fatimah, 2008; Halim dkk,
2015).
Berdasarkan penelitian Heriyani (2012), menunjukkan bahwa anak yang
tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat berisiko 35,44 kali
lebih besar menderita TB Paru dibandingkan anak yang tinggal di rumah dengan
ventilasi yang memenuhi syarat. Hasil ini sejalan dengan penelitian Kuswantoro
48
(2002) dalam analisis bivariat, menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
ventilasi dengan kejadian TB primer pada anak balita (p = 0,004).
3) Pencahayaan
Pencahayaan secara alami di dalam rumah dapat mempengaruhi
keberadaan kuman penyebab TB. Hal ini dikarenakan kuman penyebab TB tidak
tahan terhadap panas dan dapat mati oleh sinar matahari langsung (Halim dkk,
2015; Heriyani, 2012). Selain itu, pencahayaan erat kaitannya dengan tingkat
kelembaban. Pencahyaan yang kurang akan menyebaban kelembaban yang tinggi
di dalam rumah dan berpotensi sebagai tempat berkembang biaknya kuman TB
(Putra, 2011).
Pencahayaan harus menerangi seluruh ruangan dan mempunyai intensitas
minimal 60 lux dan tidak menyilaukan, baik alami maupun buatan (Kepmenkes
RI, 1999; Keman, 2005). Sementara itu menurut Depkes RI (2007), dalam
pedoman teknis penilaian rumah sehat yang dilakukan terhadap kelompok
komponen rumah mengkategorikan pencahayaan menjadi 3 kategori, yaitu tidak
terang, kurang terang dan terang dengan mangacu kepada mudah tidaknya
membaca tulisan dalam ruangan tersebut (Depkes RI, 2007).
Pencahayaan yang kurang terang dapat meningkatkan perkembangan
kuman TB Paru dikarenakan cahaya matahari merupakan salah satu faktor yang
dapat membunuh kuman TB Paru, sehingga jika pencahayaan bagus maka
penularan dan perkembangbiakan kuman bisa dicegah. Oleh karena itu rumah
yang sehat sebaiknya memiliki pencahayaan alami sinar matahari yang
mengandung sinar ultraviolet dan dapat menurunkan kadar jasad renik (Halim
49
dkk, 2015; Putra, 2011). Agar diperoleh intensitas cahaya yang cukup, maka
pencahayaan diutamakan dapat menerangi ruang keluarga dan kamar tidur,
mengingat pada tempat tersebut merupakan tempat yang sering digunakan
anggota keluarga dalam menjalin aktifitasnya di dalam rumah (Ayunah, 2008).
Hasil penelitian Putra (2011), menunjukkan bahwa responden yang
memiliki kondisi pencahayaan yang kurang berisiko 5,95 kali lebih besar tertular
TB Paru dibandingkan responden yang mempuyai pencahayaan baik. Hasil ini
sejalan dengan penelitian Heriyani (2012), menunjukkan bahwa anak yang tinggal
di rumah dengan pencahayaan alami yang tidak memenuhi syarat mempunyai
risiko 11,98 kali untuk terinfeksi TB dibandingkan dengan anak yang tinggal di
rumah dengan pencahayaan alami yang memenuhi syarat.
4) Suhu dan Kelembaban Udara
Menurut Kepmenkes (1999), kelembaban udara dalam rumah minimal
40% – 70% dan suhu ruangan yang ideal antara 22°C – 30°C. Hal ini perlu
menjadi perhatian karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah
berkembangnya mikroorganisme seperti: bakteri, ricketsia dan virus. Kuman TB
Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, namun dapat bertahan
hidup selama beberapa jam di tempat gelap dan lembab (Fatimah, 2008; Putra,
2011). Hasil penelitian Putra (2011), yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kelembaban terhadap kejadian TB Paru.
2. Kontak dengan Penderita TB Dewasa
Pasien TB menular adalah pasien TB dengan hasil pemeriksaan sputum
BTA (+) dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa (Kemenkes RI, 2013).
50
Kemenkes RI (2014), menyebutkan bahwa sumber penularan TB berasal dari
droplet atau percikan dahak dari penderita TB dengan BTA (+) yang
menyebarkan kuman ke udara sewaktu bersin atau batuk. Peluang peningkatan
terjadinya penularan kuman TB ditentukan dengan adanya kedekatan kontak
dengan sumber penularan. Riwayat kontak erat dengan pasien TB menular
merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber
penularan pada TB Paru anak.
Anak-anak sering kali terinfeksi melalui orang-orang disekitarnya baik
orang dewasa, remaja, orangtua, kakek, nenek, saudara, maupun pembantu rumah
tangga. Hampir semua bayi dan balita tertular penyakit TB karena kontak serumah
dengan orang yang telah terinfeksi. Orang dewasa dengan penyakit aktif
kemoterapi jarang menginfeksi anak-anak, namun yang lebih berbahaya adalah
orang-orang dengan penyakit TB penyerta yang tidak dapat dikenali karena
pengobatan yang kurang atau kambuh akibat daya tahan tubuh menurun (Efendi,
2012). Menurut Kemenkes RI (2013), balita dikatakan memiliki kontak serumah
dengan penderita TB Paru dewasa apabila telah tinggal bersama-sama selama 3
bulan sebelum diagnosis atau mulai terapi TB.
Dalam penelitian Karim et al (2012), riwayat kontak dibagi menjadi dua
kategori, yaitu kontak dengan anggota keluarga dan kontak dengan
kerabat/tetangga yang menderita TB. Menurut Nguyen et al (2009), riwayat
kontak dengan penderita TB didefinisikan memiliki hubungan erat jika pasien TB
dan anak-anak memiliki kebiasaan berbagi makanan yang sama, tidur secara
bersama-sama dengan penderita TB, dan tinggal serumah dengan penderita.
51
Hasil penelitian Sidhi (2010), menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara riwayat kontak dengan kejadian TB Paru pada anak yang
ditandai dengan hasil tes tuberkulin positif pada anak di Kota Semarang. Anak
yang pernah kontak dengan penderita TB BTA (+) memiliki peluang 3,90 kali
lebih besar untuk terkena TB dibandingkan anak yang tidak pernah kontak dengan
penderita TB BTA (+). Sementara itu, menutut penelitian Kuswantoro (2002)
dalam tesisnya menyebutkan bahwa balita yang memiliki riwayat kontak dengan
tetangga penderita TB berisiko 7,30 kali lebih besar terkena TB Paru
dibandingkan anak balita yang tidak memili riwayat kontak dengan tetangga
penderita TB Paru.
52
2.2 Kerangka Teori
Gambar 2.1. Kerangka Teori Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kejadian TB Paru Balita
(Sumber: Modifikasi Haq et al (2010); Heriyani (2012); Karim et al
(2012); Kuswantoro (2002); Nguyen et al (2009); Rakhmawati dkk
(2009); Soborg et al (2011); Wiharsini (2013))
Kejadian TB
Paru balita
Agent
Paparan Mycobacterium tuberculosis
Host
Karakteristik balita
- Umur
- Jenis kelamin
- Status gizi
- Keberadaan scar BCG
- Usia pemberian imunisasi BCG
- Penyakit penyerta
- Riwayat pemberian ASI eksklusif
- Riwayat BBLR
Karakteristik orangtua
- Pendidikan
- Pekerjaaan
- Status ekonomi
- Perilaku:
a. Pengetahuan
b. Sikap
c. Tindakan
- Riwayat merokok orangtua
Environment
- Lingkungan fisik rumah:
a. kepadatan hunian
b. ventilasi
c. pencahayaan
d. suhu dan kelembaaban
- Kontak dengan penderita TB
dewasa
121
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor-faktor risiko yang berhubugan
dengan kejadian TB Paru balita di BKPM Wilayah Semarang, dapat disimpulkan
bahwa:
1. Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian
TB Paru balita.
2. Tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) dengan kejadian TB Paru balita.
3. Tidak ada hubungan yang bermakana anatara status gizi dengan kejadian
TB Paru balita.
4. Tidak ada hubungan yang bermakna antara keberadaan scar BCG dengan
kejadian TB Paru balita.
5. Ada hubungan yang bermakna antara usia pemberian imunisasi BCG
dengan kejadian TB Paru balita.
6. Tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian TB Paru balita.
7. Ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian TB
Paru balita.
8. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian
TB Paru balita.
122
9. Tidak ada hubungan yang bermakna antara status ekonomi dengan
kejadian TB Paru balita.
10. Ada hubungan yang bermakna antara riwayat merokok orangtua dengan
kejadian TB Paru balita.
11. Ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian
TB Paru balita.
12. Tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian TB
Paru balita.
13. Ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan dengan kejadian TB
Paru balita.
14. Ada hubungan yang bermakna antara riwayat kontak dengan keluarga
penderita TB dengan kejadian TB Paru balita.
15. Tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat kontak dengan
tetangga penderita TB dengan kejadian TB Paru balita.
6.2 Saran
6.2.1 Bagi Masyarakat
1. Diharapkan agar masyarakat khususnya ibu yang memiliki anak balita,
hendaknya melakukan upaya pencegahan terhadap kejadian TB Paru pada
balita, seperti memberikan imunisasi BCG tepat waktu, memberikan
asupan makanan yang bergizi, menciptakan lingkungan rumah yang sehat,
menjauhkan sang anak dari paparan asap rokok, dan menghindari kontak
dengan penderita TB dewasa, sehingga dapat memperkecil kemungkinan
terjadinya TB Paru pada balita.
123
2. Perlu mengenali gejala-gejala awal terjadinya TB Paru pada balita,
sehingga apabila balita ibu mengalami gejala TB Paru dapat segera
memeriksakan anaknya ke pelayanan kesehatan.
6.2.2 Bagi Instansi Kesehatan Terkait
1. Perlu dilakukan upaya penyuluhan secara intensif kepada pengunjung
BKPM Wilayah Semarang khususnya di ruang tunggu maupun saat
melakukan pemeriksaan tentang penyakit TB Paru balita, mengenai:
gejala, cara penularan, faktor-faktor risiko penyebab TB Paru balita, upaya
pencegahan dan pengobatannya.
2. Meningkatkan peran aktif petugas dalam penemuan pasien TB Paru
dewasa dengan BTA (+) sebagai penularan kejadian TB Paru pada balita
dengan melakukan screening baik secara aktif dilapangan maupun secara
pasif saat melakukan pemeriksaan dan segera ditindaklanjuti dengan
pengobatan yang adekuat.
3. Memberikan informasi tentang TB Paru balita melalui beberapa media
cetak seperti pamflet, poster, dan lain-lain.
6.2.3 Bagi Peneliti Lain
1. Melakukan penelitian dengan desain studi yang lebih baik misalnya
dengan studi case control yang dilengkapi dengan studi kualitatif dengan
metode wawancara mendalam untuk mengetahui adanya riwayat kontak
dengan tetangga penderita TB Paru baik pada responden maupun tetangga
yang menderita TB Paru.
124
2. Melakukan penelitian dengan menggunakan alat yang memadai seperti
luxmeter untuk mengukur cahaya dan metlin untuk mengukur bekas/scar
imunisasi BCG, sehingga didapatkan data yang valid.
3. Perlu kajian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas imunisasi BCG untuk mengetahui tingkat protektifitasnya
terhadap penyakit TB Paru.
125
DAFTAR PUSTAKA
Adnani H dan Mahastuti A, 2006, Hubungan Kondisi Rumah dengan Penyakit
TBC Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten
Gunung Kidul Tahun 2003-2006, Jurnal Kesehatan Surya Medika
Yogyakarta.
Ajis E, Nenny SM, Pramono D, 2009, Hubungan Antara Faktor-Faktor Eksternal
dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis pada Balita, Berita Kedokteran
Masyarakat, Vol. 25, No. 3, Hal. 109-116.
Almatsier S, 2009, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Arisman, MB, 2009, Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi Ed. 2,
EGC, Jakarta.
Astuti S, 2013, Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Terhadap
Upaya Pencegahan Penyakit Tuberkulosis di RW 04 Kelurahan Lagoa
Jakarta Utara, Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
Asuke S, Ibrahim J, Ibrahim, Asuke UA, 2015, Survey on Coverage and Factors
Influencing Delays in BCG Immunization in Hayin Mallam Zango, Zaria,
North Western Nigeria, Tropical Medicine & Surgery, Vol. 3, No. 3, hal.
1-4.
Ayunah Y, 2008, Hubungan Antara Faktor-Faktor Kualitas Lingkungan Fisik
Rumah dengan Kejadian TB Paru BTA Positif di Kecamatan Cilandak
Kotamadya Jakarta Selatan Tahun 2008, Skripsi, Universitas Indonesia
Depok.
Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan, 2010, Laporan Nasional Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2010, Departemen Kesehatan RI.
Budiarto E, 2001, Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat,
EGC, Jakarta.
Budioro, 2001, Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta.
126
Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2015, Laporan Penemuan Kasus TB Kota
Semarang, Semarang.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2014, Buku Profil Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2013, Semarang.
_____________, 2015, Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun
2014, Semarang.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2002,
Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
_____________, 2011, Stop TB, Terobosan Menuju Akses Universal, Strategi
Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014, Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
_____________, 2013, Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak, Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
_____________, 2014, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis: Indonesia
Bebas Tuberkulosis, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Domili MFH, Nontji W, Kasim VNA, 2014, Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Global Mongolato.
Efendi M, 2012, Hubungan Kontak dengan Penderita Dewasa dan Imunisasi
BCG dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Balita di Poli Anak RSUD Dr.
M. Yunus Bengkulu Tahun 2012, Skripsi, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Dehasen, Bengkulu.
Fahreza EU, Waluyo H, Novitasari A, 2012, Hubungan Antara Kualitas Fisik
Rumah dan Kejadian Tuberkulosis Paru dengan Basil Tahan Asam
Positif di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang, Jurnal
Kedokteran Muhammadiyah, Vol. 1, No. 1, hal. 9-13.
Fatimah, S, 2008, Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan
dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap (Kecamatan: Sidareja,
Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun
2008, Tesis, Universitas Diponegoro Semarang.
Halim, Naning R, Satrio DB, 2015, Faktor Risiko Kejadian TB Paru pada Anak
Usia 1-5 Tahun di Kabupaten Kebumen, Jurnal Penelitian Universitas
Jambi Seri Sains, Vol. 17, No. 2, hal. 26-39.
127
Hamidi, H, 2011, Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu
Tentang Pencegahan Penyakit TB Paru dengan Kejadian TB Paru Anak
Usia 0-14 Tahun di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Kota Salatiga
Tahun 2010, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.
Haq, S, Hussain M, Krishin J, Abbasi S, 2010, Risk Factors of Tuberculosis in
Children, Ann. Pak. Inst. Med. Sci, Vol. 6, No. 1, hal. 50-54.
Herawati MH, Rohayoe NN, Tarigan LH, Adisasmita AC, 2005, Kejadian
Tuberkulosis Pada Anak Setelah Imunisasi Bacillus Calmette Et Guerrin
di 5 Wilayah Puskesmas Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur Tahun
2000 – 2002, Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 3, No. 1, hal. 32-40.
Heriyani, F, 2012, Faktor Risiko Kejadian TB Anak di Wilayah Kerja Puskesmas
Cempaka Banjarbaru, Universitas Lambung Mangkurat.
IDAI, 2008, Pedoman Imunisasi di Indonesia, Satgas Imunisasi IDAI, Jakarta.
Karim MR, Rahman MA, Mamun S, Alam MA, Akhter S, 2012, Risk Factors of
Childhood Tuberculosis: A Case Control Study From Rural Bangladesh.
WHO South-East Asia Journal of Public Health, Vol. 1 No. 1, hal. 76-84.
Kartasasmita, CB, 2009, Epidemiologi Tuberkulosis, Vol. 11 No. 2, hal. 124-129.
Keman, S, 2005, Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman, Jurnal
Kesehatan Lingkungan, Vol. 2, No. 1, 29 -42.
Kemenkes RI, 2015, Profil Kesehatan Indonesia 2014, Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
_____________, 2016, Profil Kesehatan Indonesia 2015, Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kepmenkes RI, 1999, Persyaratan Kesehatan Perumahan, Jakarta.
Kepmenkes RI, 2002, Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita),
Jakarta.
Keputusan Gubernur Jawa Tengah, 2015, Upah Minimun Pada 35 (Tiga Puluh
Lima) Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2016, Gubernur
Jawa Tengah.
Ketut, Ni LS, 2013, Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB Tahun 2013, Tesis,
Universitas Udayana.
Kuswantoro, 2002, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru
Primer pada Anak Balita di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru
(BP4) Purwokerto, Tesis, Universitas Diponegoro Semarang.
128
Lisnawati, L, 2011, Generasi Sehat Melalui Imunisasi, Trans Info Media, Jakarta
Madanijah S dan Triana N, 2007, Hubungan Antara Status Gizi Masa Lalu Anak
dan Partisipasi Ibu di Posyandu dengan Kejadian Tuberkulosis pada
Murid Taman Kanak-Kanak, Jurnal Gizi Dan Pangan, Vol. 2, No.1, hal.
29-41.
Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon-White RT, 2008, Lecture Note:
Penyakit Infeksi, Erlangga, Jakarta.
Masela HR, Kawengian S, Mayulu N, 2015, Hubungan Antara Pemberian ASI
Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi pada Anak Umur 1-3 Tahun
di Desa Mopusi Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang, Mongondow
Induk, Jurnal E-Biomedik (Ebm), Vol. 3, No. 3, hal. 757-762.
Muaz, F, 2014, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru
Basil Tahan Asam Positif di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang
Kota Serang Tahun 2014, Laporan Penelitian, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Murniasih dan Livana, 2007, Hubungan Pemberian Imunisasi BCG dengan
Kejadian Tuberkulosis Paru pada Anak Balita di Balai Pengobatan
Penyakit Paru-Paru Ambarawa Tahun 2007, Jurnal Kesehatan Surya
Medika, Yogyakarta.
Murti, B, 1997, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Gadjah Mada University
Press, Yogjakarta.
Naga SS, 2012, Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam, Diva Press,
Yogjakarta.
Nguyen TH, Odermatt P, Slesak G, Barennes H, 2009, Risk of Latent
Tuberculosis Infection in Children Living in Households with
Tuberculosis Patients: A Cross Sectional Survey in Remote Northern Lao
People's Democratic Republic, BMC Infectious Diseases.
Nugroho PJ, 2012, Hubungan Tingkat Pengetahuan, Usia dan Pekerjaan Ibu
dengan Status Imunisasi Dasar Bayi di Desa Japanan Kecamatan Cawas
Kabupaten Klaten Tahun 2012, Naskah Publikasi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Pantiawati I, 2010, Bayi dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), Nuha
Medika, Yogyakarta.
Pernanda, S, 2013, Hubungan Antara Pemberian Imunisasi BCG dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru pada Anak Balita di RSUD Panembahan Senopati
Bantul.
129
Priyadi, S, 2003, Analisis Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
TB Paru BTA (+) di Kabupaten Wonosono, Tesis, Universitas
Diponegoro Semarang.
Proverawati A dan Sulistyorini CI, 2010, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah),
Nuha Medika, Yogyakarta.
Purnamasari Y, 2010, Hubungan Merokok dengan Angka Kejadian Tuberkulosis
Paru di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Skripsi, Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Putra, NR, 2011, Hubungan Perilaku dan Kondisi Sanitasi Rumah dengan
Kejadian TB Paru di Kota Solok Tahun 2011, Skripsi, Universitas
Andalas.
Rahmawati RO, 2015, Perbedaan Kejadian Tuberkulosis pada Anak dengan
Pemberian ASI Eksklusif Dibandingkan Non Asi Eksklusif di Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta, Naskah Publikasi,
Universita Muhammadiyah Surakarta.
Rakhmawati W, Fatimah S, Nurhidayah I, 2008, Hubungan Status Gizi, Imunisasi
& Riwayat Kontak dengan Kejadian Tuberkulosis pada Anak di Wilayah
Kerja Puskesmas Ciawi Kabupaten Tasikmalaya, Laporan Akhir
Penelitian Peneliti Muda, Universitas Padjadjaran.
_____________, 2009, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Tuberkulosis pada Anak di Kecamatan Ngamprah Kabupaten Bandung
Barat, Laporan Akhir Penelitian Peneliti Muda, Universitas Padjadjaran.
Ramachandran R, Indu PS, Anish TS, Nair S, Laurence T, Rajasi RS, 2011,
Determinants of Childhood Tuberculosis - A Case Control Study Among
Children Registered Under Revised National Tuberculosis Control
Programme in A District Of South India, Indian Journal of
TuberculosisI, 58: 204-207
Rammohan A dan Awofeso N, 2015, District-Level Variations in Childhood
Immunizations in India: The Role of Socio-Economic Factors and Health
Infrastructure, Social Science & Medicine, 145: 163-172.
Rie V, Beyers, Gie, Kunneke, Zietsman, Donald, 1999, Childhood Tuberculosis in
An Urban Population in South Africa: Burden and Risk Factor, Arch Dis
Child, 80: 433–437.
Sabawoon W dan Sato H, 2012, Sex Difference in Tuberculosis in Afghanistan: A
National Cohort Study, Mycobacterial Diseases, Vol. 2, No. 3.
Sastroasmoro S dan Ismael S, 1995, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,
Binarupa Aksara, Jakarta.
130
Seddon JA dan Shingadia, 2014, Epidemiology and Disease Burden of
Tuberculosis in Children: A Global Perspective, Infection and Drug
Resistance, 7: 153-165.
Setyowati, DL, 2007, Hubungan Antara Waktu dan Tempat Pemberian Imunisasi
BCG dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Anak di Puskesmas Cebongan
Salatiga, Skripsi, Universitas Diponegoro Semarang.
Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP, 2009, Ilmu Penyakit Dalam, Rineka
Cipta, Jakarta.
Sidhi, DP, 2010, Riwayat Kontak Tuberkulosis sebagai Faktor Risiko Hasil Uji
Tuberkulin Positif (History of TB Contact a Risk factor of Positive
Tuberculin Test in Children, Case Study in Semarang Regency, Tesis,
Universitas Diponegoro Semarang.
Soborg B, Andersen AB, Melbye M, Wohlfahrt J, Andersson M, Biggar RJ,
Ladefoged K, Thomsen VO, Koch A, 2011, Risk Factors for
Mycobacterium Tuberculosis Infection Among Children in Greenland,
Bull World Health Organ, 89: 741–748E.
Stalker, P, 2008, Millennium Development Goals, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Sunani A dan Ratifah, 2014, Analisa Determinan yang Berhubungan dengan
Penyakit Tuberkulosis (TBC) di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo,
Bidan Prada: Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 5 No. 1, hal. 103-110.
Wammanda RD, Gambo MJ, Abdulkadir I, 2004, Age at BCG Administration
During Routine Immunization, Journal of Community Medicine &
Primary Health Care, Vol. 16, No. 1, hal. 33-35.
Widagdo, 2011, Masalah Dan Tatalaksana Penyakit Infeksi Pada Anak, Agung
Seto, Jakata.
Widoyono, 2008, Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya, Erlangga, Jakarta.
Wiharsini, W, 2013, Hubungan Faktor Kontak, Karakteristik Balita dan
Orangtua dengan Kejadian TB Paru pada Balita di RSPI. Prof. Dr.
Sulianti Saroso Tahun 2012, FKM UI, (Online), Diakses 9 Februari 2016
(http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-09/S45646-Wenny_Wiharsini).