FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT KEPATUHAN ...digilib.unila.ac.id/60625/3/3. SKRIPSI FULL...
Transcript of FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT KEPATUHAN ...digilib.unila.ac.id/60625/3/3. SKRIPSI FULL...
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT KEPATUHAN
PEMERIKSAAN MATA PADA PASIEN RETINOPATI DIABETIK
YANG TELAH MENJALANI SKRINING DI
PUSKESMAS KEDATON
OLEH
(SKRIPSI)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2020
JOVANKA RIS NATALIA
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT KEPATUHAN
PEMERIKSAAN MATA PADA PASIEN RETINOPATI DIABETIK
YANG TELAH MENJALANI SKRINING DI
PUSKESMAS KEDATON
OLEH
JOVANKA RIS NATALIA
1618011149
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2020
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 24 Desember 1998 sebagai anak kedua dari pasangan
Bapak Berdikarim Sinaga dan Ibu Erniwati Purba. Penulis menamatkan pendidikan
dasar di SDK. IGN. Slamet Riyadi I yang diselesaikan pada tahun 2010, SMPN 09
Jakarta yang diselesaikan pada tahun 2013, dan SMAN 48 Jakarta yang
diselesaikan pada tahun 2016.
Pada tahun 2016, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SBMPTN) Tertulis. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam
organisasi PMPATD Pakis Rescue Team dan menjadi anggota dalam Divisi
Keuangan PMPATD Pakis Rescue Team.
JOHN 13 : 7 (NIV)
Jesus replied, “You do not realize now
what I am doing, but later you will
understand.”
Skripsi ini kupersembahkan untuk Papa,
Mama, Abang Josh, dan Tutua Ester
SANWACANA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Mahakuasa yang selalu
memberikan kasih dan berkat tanpa batas sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
tepat waktu.
Skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat
Kepatuhan Pemeriksaan Mata pada Pasien Retinopati Diabetik yang Telah
Menjalani Skrining di Puskesmas Kedaton” adalah salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus yang telah memberkati dan melimpahkan kasih yang luar
biasa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Prof. Dr. Karomani, M.Si, selaku Rektor Universitas Lampung
3. Dr. Dyah Wulan Sumekar RW, S.K.M., M.Kes, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Univesitas Lampung
4. dr. M. Yusran, S.Ked., M.Sc., Sp.M(K), selaku Pembimbing Utama atas
kesediannya untuk memberi bantuan, motivasi, bimbingan, arahan, saran dan
kritik dalam penyusunan skripsi ini.
5. dr. Rodiani, S.Ked., M.Sc., Sp.OG., selaku Pembimbing Kedua atas
kesediannya untuk memberi bantuan, motivasi, bimbingan, arahan, saran dan
kritik dalam penyusunan skripsi ini.
6. dr. Rani Himayani, S.Ked., Sp. M(K), selaku Pembahas atas waktu, ilmu, saran
dan pelajaran yang diberikan selama ini.
7. dr. Agustyas Tjiptaningrum, S.Ked., Sp. PK., selaku Pembimbing Akademik
atas bimbingan dan nasihat yang diberikan selama masa perkuliahan ini.
8. Seluruh Staff Dosen dan Karyawan FK Unila atas ilmu dan kerjasama yang
telah diberikkan selama ini.
9. Kepala Puskesmas Kedaton kota Bandar Lampung beserta staff dan tenaga
medisnya karena telah mengizinkan penulis untuk meneliti di Puskesmas
Kedaton dan membantu selama berlangsungnya penelitian.
10. Papa, Mama, Abang Josh, dan Tutua Ester yang selalu mendoakan, mengasihi,
memotivasi, dan mengorbankan banyak hal untuk mendukung penulis selama
perkuliahan berlangsung dan menyelesaikan skripsi ini.
11. Kel. TB. Purba yang selalu mendoakan dan mendukung penulis selama
perkuliahan.
12. Kel. JK. Sinaga yang selalu mendoakan dan mendukung penulis selama
perkuliahan.
13. Batak Jaya yang terdiri dari Rika Mutiara, Shinta Melia Desiana, Marlaokta,
Asri Pandiangan, Jessica Sindy Sirait, Revina Rifda Amelia, Kristian Pieri
Ginting, Samuel Gunawan Hutajulu atas kebersamaan nya semenjak
mahasiswa baru, berbagi ilmu dan pengalaman, membantu selama penelitian
dan penyusunan skripsi berlangsung, dan selalu ada dalam suka duka selama
perkuliahan.
14. Permako Medis Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk waktu,
dukungan dan doanya selama masa perkuliahan.
15. Kelompok kecil KK Uye yang terdiri dari Kak Febe, Jessica dan Brigitta,
terimakasih atas doa dan dukungan rohaninya selama perkuliahan ini.
16. Fajar.com atas kesigapan dalam membantu mengurus tugas kuliah dan berkas-
berkas yang dibutuhkan selama proses perkuliahan dari mahasiswa baru
sampai akhir.
17. PMPATD Pakis Rescue Team dan teman-teman dari SC 11 untuk
kebersamaan, ilmu dan waktunya.
18. Teman-teman seperjuangan, FK Unila angkatan 2016 “TR16EMINUS” yang
tidak dapat disebutkan namanya satu persatu karena telah membantu melewati
suka duka selama perkuliahan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi
ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bandar Lampung, Januari 2020
Penulis,
Jovanka Ris Natalia
ABSTRACT
FACTORS AFFECTING PATIENT ADHERENCE TO EYE EXAMINATION
IN DIABETIC RETINOPATHY PATIENTS WHO HAVE
SCREENED IN KEDATON PRIMARY HEALTH CENTER
By
Jovanka Ris Natalia
Background: Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disease which is a collection
of symptoms that arise in a person due to an increase in blood glucose levels above
the normal value. The prevalence of DM both in the world and in Indonesia
continues to increase. One complication that can occur as a result of DM is diabetic
retinopathy.
Objective: This study aims to determine the factors, according to the Health Belief
Model theory that affect the level of eye examination adherence in diabetic
retinopathy patients at the Kedaton Health Center.
Method: The method used in this study was analytic observational with cross
sectional design using total sampling as the sampling method. There were 34
respondents in this study. Data analysis used chi- square and fisher exact and
continued using logistic regression analysis.
Result: The result conducted from 34 respondents was found that the factors that
influenced the compliance of eye examination were perceived benefits with p value
0,002, perceived barriers with p value 0,005 and self-efficacy with p value 0,000.
The results of multivariate analysis showed that the high perceived benefits and
high self-efficacy was the most likely factor for compliance with eye examinations
with a probability of 20% with self-efficacy being the strongest factor (OR=75,585).
Conclusion: There is a significant relationship between perceived benefits,
perceived barriers, and self-efficacy in eye examinations compliance. The most
influencing factor is self-efficacy.
Keywords: diabetic retinopathy, eye examination compliance, health belief model
theory
ABSTRAK
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT KEPATUHAN
PEMERIKSAAN MATA PADA PASIEN RETINOPATI DIABETIK
YANG TELAH MENJALANI SKRINING DI
PUSKESMAS KEDATON
Oleh
Jovanka Ris Natalia
Latar belakang: Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolisme yang
merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya
peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Prevalensi DM baik di dunia
maupun di Indonesia terus meningkat. Komplikasi yang dapat terjadi akibat DM
salah satunnya adalah retinopati diabetik.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor menurut teori
Health Belief Model yang memengaruhi tingkat kepatuhan pemeriksaan mata pada
pasien retinopati diabetik di Puskesmas Kedaton.
Metode: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
observasional dengan desain cross sectional. Metode pengambilan sampel
menggunakan total sampling dengan responden sebanyak 34 orang. Analisis data
menggunakan uji chi-square dan uji fisher exact. Analisis dilanjutkan
menggunakan analisis regresi logistik.
Hasil: Hasil penelitian yang dilakukan pada 34 responden didapatkan bahwa faktor-
faktor yang memengaruhi kepatuhan pemeriksaan mata adalah persepsi manfaat
dengan p value 0,002, persepsi hambatan dengan p value 0,005 dan efikasi diri
dengan p value 0,000. Hasil analisis multivariat menunjukkan persepsi manfaat dan
efikasi diri tinggi merupakan faktor yang paling memungkinkan terjadinya
kepatuhan pemeriksaan mata dengan probabilitas sebesar 20% dengan efikasi diri
sebagai faktor terkuat dengan OR sebesar 75,585.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara persepsi manfaat, persepsi
hambatan, dan efikasi diri terhadap kepatuhan pemeriksaan mata. Faktor yang
paling memengaruhi adalah efikasi diri.
Kata kunci: kepatuhan pemeriksaan mata, retinopati diabetik, teori health belief
model
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum ...................................................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus...................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5
1.4.1 Bagi Masyarakat ................................................................................... 5
1.4.2 Bagi Peneliti ......................................................................................... 6
1.4.3 Bagi Pelayanan Kesehatan ................................................................... 6
1.4.4 Bagi Bidang Keilmuan dan Peneliti Lain ............................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus ............................................................................................ 7
2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus................................................................. 7
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus ................................................................ 8
2.1.3 Etiologi Diabetes .................................................................................. 9
2.1.4 Patogenesis Diabetes .......................................................................... 10
2.1.5 Patofisiologi Diabetes ........................................................................ 13
2.1.6 Manifestasi Klinis .............................................................................. 14
2.1.7 Diagnosis Diabetes ............................................................................. 17
ii
2.1.8 Pencegahan Diabetes .......................................................................... 18
2.1.9 Komplikasi Diabetes .......................................................................... 22
2.2 Retinopati Diabetik ...................................................................................... 25
2.2.1 Definisi ............................................................................................... 25
2.2.2 Etiologi dan Patogenesis .................................................................... 25
2.2.3 Patofisiologi ....................................................................................... 27
2.2.4 Gejala Klinik ...................................................................................... 28
2.2.5 Diagnosis dan Klasifikasi ................................................................... 31
2.2.6 Penatalaksanaan ................................................................................. 32
2.2.7 Komplikasi ......................................................................................... 34
2.3 Pemeriksaan Mata Diabetes ......................................................................... 37
2.4 Kepatuhan .................................................................................................... 38
2.4.1 Pengertian ........................................................................................... 38
2.4.2 Faktor-faktor yang memengaruhi ....................................................... 40
2.5 Kerangka Teori ............................................................................................ 48
2.6 Kerangka Konsep......................................................................................... 49
2.7 Hipotesis ...................................................................................................... 49
2.7.1 Hipotesis Nol (Ho) ............................................................................. 49
2.7.2 Hipotesis Kerja (H1) .......................................................................... 50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian................................................................................... 51
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 51
3.2.1 Tempat Penelitian ............................................................................... 51
3.2.2 Waktu Penelitian ................................................................................ 51
3.3 Populasi dan Sampel .................................................................................... 51
3.3.1 Populasi Penelitian ............................................................................. 51
3.3.2 Sampel Penelitian ............................................................................... 52
3.3.3 Kriteria Sampel .................................................................................. 52
3.4 Identifikasi Variabel .................................................................................... 53
3.5 Instrumen Penelitian .................................................................................... 53
3.6 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 55
3.7 Pengumpulan Data ....................................................................................... 55
3.8 Definisi Operasional .................................................................................... 56
3.9 Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................... 57
3.9.1 Pengolahan Data ................................................................................. 57
3.9.2 Analisis Data ...................................................................................... 58
iii
3.10 Etika Penelitian ............................................................................................ 59
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ............................................................................................ 60
4.1.1 Analisis Univariat ............................................................................... 61
4.1.2 Analisis Bivariat ................................................................................. 66
4.1.3 Analisis Multivariat ............................................................................ 70
4.2 Pembahasan ................................................................................................. 73
4.2.1 Analisis Univariat ............................................................................... 73
4.2.2 Analisis Bivariat ................................................................................. 78
4.2.3 Analisis Multivariat ............................................................................ 85
4.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 87
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 88
5.2 Saran ............................................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori.................................................................................................. 48 2. Kerangka Konsep .............................................................................................. 49 3. Prosedur Penelitian............................................................................................ 55
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Definisi Operasional ....................................................................................... 56
2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pasien DM yang mengikuti Prolanis di
Puskesmas Kedaton Bandar Lampung Tahun 2019 ...................................... 61
3. Distribusi Frekuensi Usia Pasien DM yang mengikuti Prolanis di
Puskesmas Kedaton Bandar Lampung Tahun 2019 ...................................... 61
4. Distribusi Frekuensi Status Retinopati Pasien DM yang mengikuti Prolanis
di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung Tahun 2019 .................................. 62
5. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Pemeriksaan Mata di Puskesmas Kedaton
Bandar Lampung Tahun 2019 ....................................................................... 62
6. Distribusi Frekuensi Persepsi Kerentanan Responden di Puskesmas
Kedaton Bandar Lampung ............................................................................. 63
7. Distribusi Frekuensi Persepsi Keseriusan Responden di Puskesmas
Kedaton Bandar Lampung ............................................................................ 63
8. Distribusi Frekuensi Persepsi Manfaat Responden di Puskesmas Kedaton
Bandar Lampung .......................................................................................... 64
9. Distribusi Frekuensi Persepsi Hambatan Responden di Puskesmas
Kedaton Bandar Lampung ............................................................................ 64
10.Distribusi Frekuensi Efikasi Diri Responden di Puskesmas Kedaton
Bandar Lampung .......................................................................................... 65
11.Distribusi Frekuensi Petunjuk untuk Berperilaku Responden di
Puskesmas Kedaton Bandar Lampung ......................................................... 65
12.Hubungan Persepsi Kerentanan, Persepsi Keseriusan, Persepsi Manfaat,
Persepsi Hambatan, Efikasi Diri dan Petunjuk Untuk Berperilaku
Terhadap Kepatuhan Pemeriksaan Mata di Puskesmas Kedaton Bandar
Lampung ........................................................................................................ 66
13.Tabel Langkah Awal Analisis Multivariat yang Berhubungan dengan
Kepatuhan Pemeriksaan Mata pada pasien DM di Puskesmas Kedaton ....... 70
14. Categorical Variable Coding ....................................................................... 71
15. Hasil Analisis Multivariat ............................................................................ 71
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Penjelasan Penelitian 2. Lembar Informed Consent 3. Kuesioner Penelitian
4. Hasil Uji Validitas 5. Hasil Analisis Data
6. Dokumentasi Penelitian
7. Surat-surat Perizinan Penelitian
8. Surat Ethical Clearance
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu
kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan
kadar glukosa darah di atas nilai normal (KEMENKES, 2013). Penyakit DM
merupakan salah satu penyakit tidak menular yang prevalensi kejadiannya
semakin meningkat setiap tahunnya (PERKENI, 2015).
Prevalensi terjadinya DM terdiagnosis dokter atau gejala di Indonesia sebesar
2,1 persen. Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di
DI Yogyakarta (2,6%), sedangkan provinsi Lampung memiliki presentase
yang berada dibawah prevalensi nasional sebesar 0,7% untuk diabetes yang
terdiagnosis dokter dan 0,8% untuk diabetes yang terdiagnosis dokter atau
gejala (KEMENKES, 2013). Prevalensi diabetes di Provinsi Lampung yang
terdiagnosis dokter tertinggi di Kota Metro (1,2%), Pesawaran (1%),
Lampung Selatan(1%) dan Kota Bandarlampung (0,8%). Sedangkan untuk
yang terdiagnosis dokter atau gejala tertinggi Kota Metro (1,2%), Lampung
Selatan (1,1%), Tulang Bawang (1%), dan Kota Bandarlampung (0,9%)
(RISKESDAS, 2013).
2
Retinopati diabetik (RD) merupakan komplikasi mikrovaskular paling umum
akibat diabetes dan salah satu penyebab kebutaan di era industrial terutama
usia pekerja. Hiperglikemia kronik, hipertensi sistemik, hiperkolesterolemia,
dan merokok merupakan faktor risiko dari perkembangan dan progresi dari
retinopati (Augsburger, 2018). Menurut presentase komplikasi DM di Rumah
Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) tahun 2011,
retinopati diabetik merupakan komplikasi tertinggi kedua setelah neuropati
dengan prevalensi 33,40% (KEMENKES RI, 2014). Klasifikasi retinopati
diabetik adalah nonproliferative diabetic retinopathy (NPDR) dan
proliferative diabetic retinopathy (PDR). Prevalensi retinopati tipe NPDR
dan PDR lebih tinggi pada penderita DM tipe 1 dibandingkan DM tipe 2
(77,3% tipe 1 dan 25,2% tipe 2 untuk kasus NPDR; 32,4% tipe 1 dan 3% tipe
2 untuk PDR) (Lee et al, 2015). Berdasarkan Riskesdas tahun 2008,
prevalensi kejadian retinopati diabetik di Bandarlampung berdasarkan
klasifikasinya yang paling besar adalah PDR dengan angka kejadian 62,5%,
sedangkan berdasarkan hasil penelitian presentase pasien yang didiagnosis
keduanya (PDR + NPDR) adalah 12,5% (RISKESDAS, 2008).
Berdasarkan prevalensi diatas pemeriksaan mata secara rutin penting
dilakukan untuk mencegah komplikasi retinopati diabetik. International
Council of Ophthalmology (ICO) menyarankan pemeriksaan mata anual
untuk pasien DM untuk mencegah komplikasi retinopati diabetik.
Pemeriksaan mata ini 90% efektif untuk menurunkan kejadian kehilangan
penglihatan yang parah (Sheppler et al., 2018). Menurut Paz et al. (2006),
3
65% pasien tidak patuh terhadap pedoman periksaan mata dari American
Diabetes Association (ADA) untuk pasien DM tipe 2 yang dipengaruhi oleh
pendidikan rendah, tidak adanya asuransi kesehatan, tidak adanya
pemeriksaan mata rutin, dan DM tipe 2 yang tidak terkontrol dan menurut
Murchison et al. (2017) dari keseluruhan 1968 pasien, 41,6% pasien patuh
terhadap rekomendasi pemeriksaan mata inisial yang dipengaruhi oleh tingkat
keparahan DR, gangguan penglihatan, kadar glukosa darah dan HbA1c,
merokok, etnis, dan asuransi. Penelitian Pratiwi (2018) yang dilakukan di
Puskesmas Kedaton menunjukkan hanya 27,5% pasien DM yang patuh
terhadap pemeriksaan mata yang dipengaruhi oleh pengetahuan tinggi,
informasi oleh tenaga kesehatan, dan biaya kesehatan.
Menurut teori Health Belief Model, faktor-faktor yang memengaruhi perilaku
individu bersedia atau tidak untuk melakukan suatu program kesehatan yang
direkomendasikan, dalam hal ini adalah kepatuhan untuk pemeriksaan mata
tahunan, adalah persepsi kerentanan atau risiko terhadap penyakit (perceived
susceptibility), persepsi tingkat keparahaan apabila menderita penyakit
tersebut (perceived severity), persepsi keuntungan apabila melakukan
program kesehatan tersebut (perceived benefits), persepsi hambatan dalam
melakukan program (perceived barriers), karakteristik individu yang
memengaruhi persepsi personal (modifying factor), petunjuk tindakan yang
membuat orang mengubah tindakannya (cues to action) dan kepercayaan
kemampuan diri seseorang dalam melakukan sesuatu (self-efficacy)
(Abraham dan Sheeran, 2015). Berdasarkan penelitian Sheppler et al. (2018),
faktor yang paling memengaruhi kepatuhan adalah persepsi hambatan yang
4
didalamnya terdapat komponen biaya pemeriksaan mata, pemeriksaan mata
bukan suatu prioritas, adanya hambatan yang mempersulit pemeriksaan mata
dan juga persepsi manfaat yang salah satu komponennya adalah apakah
pemeriksaan mata dapat menemukan penyakit mata akibat diabetes.
Pada penelitian yang dilakukan Ria Arisandi pada Oktober – November 2016
di Puskesmas Kedaton Bandarlampung, didapatkan adanya 30% pasien DM
Tipe 2 yang mengikuti Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis)
menderita NPDR (Arisandi, 2017). Berdasarkan penelitian ini, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian pada pasien sampel penelitian tersebut
apakah dalam jangka waktu kurang lebih tiga tahun setelah skrining pasien
patuh melakukan pemeriksaan mata anual dan faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan apabila pasien tidak patuh melakukan pemeriksaan mata anual.
1.2 Rumusan Masalah
Retinopati diabetik adalah komplikasi mikrovaskular diabetes melitus yang
disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah di retina dan memicu kebutaan
sifatnya ireversibel. Bandarlampung merupakan kota yang prevalensi
diabetes melitusnya tergolong cukup tinggi diantara kota/kabupaten di
Provinsi Lampung. Pemeriksaan mata secara berkala penting untuk
mencegah terjadinya retinopati diabetik ini. Setelah dilakukan penelitian di
Puskesmas Kedaton pada tahun 2016, terdapat 30% pasien NPDR dari 40
orang pasien DM Tipe 2 yang mengikuti Prolanis. Berdasarkan latar belakang
diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian pada pasien yang menjadi
responden penelitian tersebut untuk melihat :
5
Apakah faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kepatuhan pasien retinopati
diabetik yang telah diskrining untuk melakukan pemeriksaan mata di
Puskesmas Kedaton Bandarlampung?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kepatuhan
pemeriksaan mata pada pasien retinopati diabetik di Puskesmas
Kedaton.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui prevalensi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat
kepatuhan pemeriksaan mata pada pasien retinopati diabetik yang
telah diskrining di Puskesmas Kedaton
b. Menganalisis faktor-faktor yang paling memengaruhi kepatuhan
pemeriksaan mata pada pasien retinopati diabetik yang telah
diskrining di Puskesmas Kedaton.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Masyarakat
Memberi informasi tentang faktor-faktor yang memengaruhi tingkat
kepatuhan dan pentingnya pemeriksaan mata pada pasien retinopati
diabetik dan diabetes melitus tipe 2.
6
1.4.2 Bagi Peneliti
Mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang pernah didapatkan,
meningkatkan kemampuan dalam mengolah, menganalisis dan
menginterpretasi data.
1.4.3 Bagi Pelayanan Kesehatan
Meningkatkan kesadaran untuk follow up pasien dengan diabetes
melitus atau retinopati diabetik untuk melakukan pemeriksaan mata
secara berkala.
1.4.4 Bagi Bidang Keilmuan dan Peneliti Lain
Sebagai sumber pustaka guna menunjang pendidikan atau menjadi
acuan dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang
memengaruhi tingkat kepatuhan pemeriksaan mata pada pasien
retinopati diabetik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes adalah penyakit kronik serius yang tejadi ketika pankreas
tidak memproduksi cukup insulin (hormon yang meregulasi gula
darah atau glukosa), atau tubuh tidak efektif menggunakan insulin
yang telah diproduksi (WHO, 2016).
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes dalam jangka panjang akan
menyebabkan kerusakan, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah
(Purnamasari, 2014).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan DM adalah
penyakit metabolik yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa
darah akibat kerusakan produksi insulin, fungsi insulin maupun
8
keduanya dan berisiko menyebabkan kerusakan atau disfungsi pada
beberapa organ tubuh.
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi diabetes melitus menurut etiologinya adalah sebagai
berikut: (PERKENI, 2015; ADA, 2018a)
1. Tipe 1. Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut karena autoimun maupun idiopatik.
2. Tipe 2. Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin atau defisiensi insulin progresif
secara cepat.
3. DM gestasional. Disebabkan pengaruh hormon kehamilan yang
dapat meningkatkan kadar glukosa saat kehamilan, dan
didiagnosis pada trimester dua atau tiga.
4. Diabetes karena penyebab lain. Sindrom diabetes monogenik
(MODY) ; penyakit pada kelenjar eksokrin pankreas (fibrosis
kistik dan pankreatitis) dan diabetes karena obat atau zat kimia
(missal glukokortikoid yang diberikan pada pasien HIV/AIDS
atau setelah transplantasi organ). Endokrinopati, defek genetik
fungsi sel beta dan kerja insulin, infeksi, sebab imunologi yang
jarang, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
9
2.1.3 Etiologi Diabetes
Etiologi diabetes mellitus belum diketahui secara pasti. Secara umum
diabetes mellitus disebabkan oleh kekurangan insulin sebagai
penyebab utama dan faktor herediter sebagai pemegang peranan
penting. Terdapat dua jenis DM sesuai etiologinya sebagai berikut:
(Smeltzer dan Bare, 2010)
a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Diabetes dengan
jenis ini sering terjadi pada usia kurang dari 30 tahun atau biasanya
disebut sebagai Juvenille Diabetes. Faktor genetik dan lingkungan
merupakan faktor utama pencetus IDDM, misalnya
Coxsackievirus B dan Streptococcus akan menyerang pulau-pulau
langerhans pankreas yang membuat hilangnya kemampuan untuk
memproduksi insulin. Selain virus dan bakteri, respon autoimun
juga dapat menyerang sel beta pankreas sehingga dapat
menurunkan produksi insulin.
b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Faktor yang
berperan besar dalam terjadinya NIDDM adalah faktor herediter.
Risiko besar terjadinya NIDDM adalah pada klien dengan riwayat
keluarga menderita DM. Faktor determinan lain terjadinya
NIDDM adalah obesitas, karena pada obesitas membutuhkan
lebih banyak insulin untuk metabolisme. Hiperglikemia akan
terjadi ketika pankreas tidak dapat mencukupi kebutuhan insulin
atau ketika jumlah reseptor insulin menurun atau mengalami
kerusakan. Pencegahan utama yang dapat dilakukan adalah
10
dengan mempertahankan berat badan ideal dan untuk pencegahan
sekundernya dapat berupa program penurunan berat badan, diet,
dan olahraga.
2.1.4 Patogenesis Diabetes
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan
lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver
dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting
dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas
kinerja obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah
terjadi pada penyandang gangguan toleransi glukosa.
11
DeFronzo pada tahun 2013 menyampaikan bahwa DM tipe 2 adalah
gangguan metabolisme/kardiovaskular kompleks dengan
abnormalitas patofisiologi multipel. Resistensi insulin di otot/liver
dan kegagalan sel beta pankreas muncul diawal perjalanan penyakit
DM tipe 2 dan menyebabkan kerusakan paling inti. Diluar dari ketiga
organ tersebut ada tambahan organ lain yang berperan dalam
terjadinya DM tipe 2, yaitu sel lemak (berperan dalam meningkatnya
proses lipolisis), traktus gastrointestinal (berperan dalam
defisiensi/resistensi inkretin), sel alfa pankreas (berperan dalam
hiperglukagonemia), ginjal (berperan dalam peningkatan reabsorbsi
glukosa, dan otak (berperan dalam resistensi insulin dan disregulasi
neurotransmitter). Dari ominous octet ini dapat muncul beberapa hal
penting yaitu : 1) kombinasi obat yang diberikan kepada pasien
bertujuan untuk memperbaiki kerusakan patofisiologis yang multipel
2) tatalaksana harus diberikan berdasarkan abnormalitas patogenik
bukan sekedar menurunkan HbA1c 3) terapi harus segera diberikan
untuk mencegah/memperlambat progresivitas kegagalan sel beta
pankreas (DeFronzo et al., 2013).
Berikut adalah obat-obatan untuk DM tipe 2 sesuai ominous octet:
1. Kegagalan sel beta pankreas: Obat anti diabetik yang bekerja
melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis
dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver: Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin,
yang menekan proses glukoneogenesis.
12
3. Otot: Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan
tiazolidindion.
4. Sel lemak: Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus: Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui
kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan
berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-
glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pankreas: Obat yang menghambat sekresi glukagon
atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis,
DPP4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal: Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal
sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang
bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin
adalah salah satu contoh obatnya.
8. Otak: Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis,
amylin dan bromokriptin (PERKENI, 2015).
13
2.1.5 Patofisiologi Diabetes
Berikut ini adalah patofisiologi terjadinya diabetes :
1. Patofisiologi diabetes tipe 1
Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan
sel beta pankreas yang memproduksi insulin, kondisi tersebut
merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan
ditemukannya anti insulin atau antibodi sel antiislet dalam darah.
(Punthakee et al., 2018). National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) tahun 2014 menyatakan
bahwa autoimun menyebabkan infiltrasi limfositik dan
kehancuran islet pankreas. Kehancuran memakan waktu tetapi
timbulnya penyakit ini cepat dan dapat terjadi selama beberapa
hari sampai minggu. Akhirnya, insulin yang dibutuhkan tubuh
tidak dapat terpenuhi karena adanya kekurangan sel beta pankreas
yang berfungsi memproduksi insulin. Oleh karena itu, diabetes
tipe 1 membutuhkan terapi insulin, dan tidak akan merespon
insulin yang menggunakan obat oral (NIDDK, 2014).
2. Patofisiologi diabetes tipe 2
Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak
mutlak. Ini berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi
insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai
dengan kurangnya sel beta atau defisiensi insulin resistensi insulin
perifer. Resistensi insulin perifer berarti terjadi kerusakan pada
reseptor-reseptor insulin sehingga menyebabkan insulin menjadi
14
kurang efektif mengantar pesan-pesan biokimia menuju sel-sel.
Dalam kebanyakan kasus diabetes tipe 2 ini, ketika obat oral gagal
untuk merangsang pelepasan insulin yang memadai, maka
pemberian obat melalui suntikan dapat menjadi alternatif
(NIDDK, 2014).
3. Patofisiologi diabetes gestasional
Gestational diabetes terjadi ketika ada hormon antagonis insulin
yang berlebihan saat kehamilan. Hal ini menyebabkan keadaan
resistensi insulin dan glukosa tinggi pada ibu yang terkait dengan
kemungkinan adanya reseptor insulin yang rusak (Punthakee et
al., 2018).
2.1.6 Manifestasi Klinis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Menurut
PERKENI (2015) kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila
terdapat keluhan seperti:
1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Berikut penjelasan lebih lanjut tentang manifestasi klinis diabetes
melitus: (Tandra, 2008; Smeltzer dan Bare, 2010)
a. Poliuria. Hiperglikemia yang terjadi pada diabetes menyebabkan
hiperosmolaritas atau peningkatan serum plasma, karena
15
peningkatan ini cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau
cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai
akibat dari hiperosmolaritas dan akibatnya akan terjadi diuresis
osmotik (poliuria).
b. Polidipsia. Meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam
vaskuler menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga
efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut
menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan
seseorang haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia).
c. Poliphagia. Menurunnya kadar insulin menyebabkan glukosa
tidak dapat masuk ke dalam sel, akibatnya produksi energi
menurun dan penurunan energi ini akan menstimulasi rasa lapar,
sehingga seseorang dengan diabetes akan lebih banyak makan
(polifagia).
d. Penurunan berat badan. Penurunan insulin pada diabetes
menyebabkan glukosa tidak dapat ditransport ke dalam sel
akibatnya sel kekurangan cairan dan tidak mampu mengadakan
metabolism, hal ini menyebabkan sel menciut sehingga seluruh
jaringan, terutama otot, akan mengalami atrofi dan penurunan
secara otomatis.
e. Rasa lemah. Pada penderita diabetes, glukosa bukan lagi sumber
energi karena glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel untuk
menjadi energi.
16
f. Mata kabur. Hiperosmolaritas akibat glukosa darah yang tinggi
juga akan menarik cairan dalam lensa mata yang meneybabkan
lensa mata menipis, akhirnya mata akan mengalami kesulitan
untuk focus dan penglihatan menjadi kabur.
g. Luka yang sukar sembuh. Mikroorganisme penyebab infeksi
seperti bakteri atau jamur mudah tumbuh pada kondisi gula darah
yang tinggi. Pada diabetes akan terjadi kerusakan dinding
pembuluh darah dan aliran darah yang tidak lancar sehingga
menghambat penyembuhan luka ditambah dengan kerusakan
pada saraf menyebabkan luka tidak terasa sehingga menurunkan
perhatian terhadap lukanya, hal ini menyebabkan pertumbuhan
organisme penyebab infeksi terus bertumbuh sampai dapat
menyebabkan bagian yang terkena luka tersbut membusuk.
h. Rasa kesemutan. Kadar glukosa yang tinggi akan menyebabkan
gangguan nutrisi pada sel-sel saraf, apabila yang rusak adalah
saraf sensoris keluhan yang paling sering muncul adalah rasa
kesemutan atau baal terutama pada kaki dan tangan.
i. Mudah terkena infeksi. Konsentrasi glukosa darah meningkat
menyebabkan peran leukosit dalam melawan infeksi menurun,
sehingga pasien penderita diabetes mudah terkena infeksi.
j. Gatal pada kemaluan. Kadar glukosa yang tinggi menjadi media
yang baik untuk pertumbuhan jamur. Gatal atau pruritus pada
kemaluan disebabkan oleh pertumbuhan jamur pada vagina yang
17
ditandai oleh rasa gatal dan keluarnya cairan kental putih
kekuningan.
2.1.7 Diagnosis Diabetes
Diabetes dapat didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma,
glukosa darah puasa (GDP) atau glukosa darah postpandrial (G2PP)
saat melakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO), atau kriteria
HbA1c (ADA, 2018a). Kriteria diagnosis DM yang ditetapkan oleh
PERKENI (2015) adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah
kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. Atau
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75
gram. Atau
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan
keluhan klasik. Atau
4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode
yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin
Standarization Program (NGSP).
Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard
NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap
hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia,
hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-
kondisi yang memengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal
18
maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun
evaluasi.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria
DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi:
toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu
(GDPT).
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan
glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan
TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan
glukosa plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl
dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
2.1.8 Pencegahan Diabetes
Pencegahan DM terdiri dari pencegahan primer, sekunder, dan tersier
menurut PERKENI (2015):
1. Pencegahan Primer Terhadap Diabetes Melitus Tipe 2
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok
yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena,
tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi
glukosa.
19
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi
glukosa yaitu :
a. Faktor Risiko yang Tidak Bisa Dimodifikasi :
1. Ras dan etnik. Risiko DM tipe 2 lebih besar terjadi pada
hispanik, kulit hitam, penduduk asli Amerika, dan Asia
(ADA, 2018a).
2. Riwayat keluarga dengan DM. Seorang anak dapat
diwarisi gen penyebab DM orang tua. Biasanya, seseorang
yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang
juga terkena penyakit tersebut (ADA, 2018a). Fakta
menunjukkan bahwa mereka yang memiliki ibu penderita
DM tingkat risiko terkena DM sebesar 3,4 kali lipat lebih
tinggi dan 3,5 kali lipat lebih tinggi jika memiliki ayah
penderita DM. Apabila kedua orangtua menderita DM,
maka akan memiliki risiko terkena DM sebesar 6,1 kali
lipat lebih tinggi.
3. Umur. Risiko untuk menderita intolerasi glukosa
meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia >45
tahun harus dilakukan pemeriksaan DM.
4. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000
gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional
(DMG).
5. Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5
kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko
20
yang lebih tinggi dibanding dengan bayi yang lahir
dengan BB normal.
b. Faktor Risiko yang Bisa Dimodifikasi :
1. Berat badan lebih (IMT ≥23 kg/m2 ).
2. Kurangnya aktivitas fisik
3. Hipertensi (>140/90 mmHg)
4. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida >250
mg/dl)
5. Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa
dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita
prediabetes/intoleransi glukosa dan DMT2.
c. Faktor Lain yang Terkait dengan Risiko Diabetes Melitus :
1. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau
keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin
2. Penderita sindrom metabolik yang memiliki riwayat
toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah
puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.
3. Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular,
seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial
Diseases) (PERKENI, 2015; ADA, 2018a)
2. Pencegahan Sekunder Terhadap Komplikasi Diabetes Melitus
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah terdiagnosis DM.
Tindakan pencegahan sekunder dilakukan dengan pengendalian
21
kadar glukosa sesuai target terapi serta pengendalian faktor risiko
penyulit yang lain dengan pemberian pengobatan yang optimal.
Melakukan deteksi dini adanya penyulit merupakan bagian dari
pencegahan sekunder. Tindakan ini dilakukan sejak awal
pengelolaan penyakit DM. Program penyuluhan memegang peran
penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani
program pengobatan sehingga mencapai target terapi yang
diharapkan. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan
perlu selalu diulang pada pertemuan berikutnya (PERKENI,
2015).
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes
yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya
kecacatan lebih lanjut serta meningkatkan kualitas hidup. Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum
kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan tersier tetap
dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi
penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Pencegahan tersier
memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif dan terintegrasi
antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan.
Kerjasama yang baik antara para ahli diberbagai disiplin (jantung,
ginjal, mata, saraf, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,
rehabilitasi medis, gizi, pediatris, dan lain-lain.) sangat diperlukan
22
dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier (PERKENI,
2015).
2.1.9 Komplikasi Diabetes
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang dapat
menimbulkan berbagai macam komplikasi, antara lain :
1. Komplikasi metabolik akut
Kompikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus terdapat
tiga macam yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan
kadar glukosa darah jangka pendek, diantaranya:
a. Hipoglikemia. Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam
darah) timbul sebagai komplikasi diabetes yang disebabkan
karena pengobatan yang kurang tepat (Smeltzer dan Bare,
2010)
b. Ketoasidosis diabetik. Ketoasidosis diabetik (KAD)
disebabkan defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormone kontra regulator, yang menyebabkan
lipolisis berlbihan dengan akibat terbentuknya badan-badan
keton dengan segala konsekuensinya, hal ini perlu dikenali dan
dikelola segera karena jika terlambat akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas dengan perawatan yang mahal
(Tarigan, 2014).
c. Sindrom HHNK (koma hiperglikemia hiperosmoler
nonketotik). Sindrom HHNK adalah komplikasi diabetes
23
melitus yang ditandai dengan hiperglikemia berat dengan
kadar glukosa serum lebih dari 600 mg/dl (Price dan Wilson,
2006).
d. Efek somogyi. Merupakan komplikasi akut ynag ditandai
penurunan unik kadar glukosa kembali meningkat diikuti
peningkatan rebound pada pagi harinya. Penyebab
hipoglikemia malam hari kemungkinan besar berkaitan
dengan penyuntikan insulin disore harinya. Hipoglikmia itu
sendiri kemudian menyebabkan peningkatan glukagon,
katekolamin, kortisol dan hormone pertumbuhan. Hormon ini
menstimulasi glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya
terjadi hiperglikemia (Corwin, 2009).
e. Fenomena Fajar (dawn phenomena). Hiperglikemia pada pagi
hari (antara jam 5 sampai 9 pagi) yang tampaknya disebabkan
oleh peningkatan sirkadian kadar glukosa di pagi hari.
Fenomena ini dapat dijumpai pada pengidap diabetes tipe
1atau diabetes tipe 2, juga dapat terjadi penurunan sensitivitas
terhadap insulin juga terjadi pada pagi hari, baik sebagai
variasi sirkadian normal maupun atau sebagai respons
terhadap hormon pertumbuhan atau kortisol (Corwin, 2009).
2. Komplikasi metabolik kronik. Komplikasi metabolik kronik pada
pasien DM menurut PERKENI 2015 dapat berupa kerusakan pada
pembuluh darah kecil (mikroangiopati) dan komplikasi pada
pembuluh darah besar (makroangiopati) diantaranya:
24
a. Makroangiopati
1. Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
2. Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering
terjadi pada penyandang DM. Gejala tipikal yang biasa
muncul pertama kali adalah nyeri pada saat beraktivitas
dan berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent),
namun sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik
pada kaki merupakan kelainan yang dapat ditemukan pada
penderita.
3. Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke
hemoragik
b. Mikroangiopati
1. Retinopati diabetik. Kendali glukosa dan tekanan darah
yang baik akan mengurangi risiko atau memperlambat
progresi retinopati.
2. Neuropati. Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal
merupakan faktor penting yang berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus kaki yang meningkatkan risiko amputasi.
Gejala yang sering dirasakan berupa kaki terasa terbakar
dan bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam hari.
Setelah diagnosis DMT2 ditegakkan, pada setiap pasien
perlu dilakukan skrinning untuk mendeteksi adanya
polineuropati distal yang simetris dengan melakukan
pemeriksaan neurologi sederhana (menggunakan
25
monofilamen 10 gram). Pemeriksaan ini kemudian
diulang paling sedikit setiap tahun.
2.2 Retinopati Diabetik
2.2.1 Definisi
Retinopati diabetik adalah salah satu komplikasi mikrovaskular dari
diabetes melitus (DM), yang menyebabkan gangguan penglihatan
mulai dari yang ringan sampai berat bahkan sampai terjadi kebutaan
total dan permanen akibat masalah vaskularisasi retina yang terjadi
secara progresif dan terjadi dalam berbagai tingkatan (Rosenfield et
al., 2009; Pandelaki, 2014).
2.2.2 Etiologi dan Patogenesis
Penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui secara
pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap
sebagai fakto risiko utama. Beberapa proses biokimiawi yang terjadi
pada hiperglikemia dan diduga berkaitan dengan timbulnya retinopati
diabetik yaitu aktivitas jalur poliol, glikasi nonenzimatik dan
peningkatan diasilgliserol yang menyebabkan aktivasi PKC. Selain
itu, hormon pertumbahan dan beberapa faktor pertumbuhan lain
seperti VEGF diduga juga berperan dalam progresifitas retinopati
diabetik (Pandelaki, 2014). Dalam Pandelaki tahun 2014, etio
patogenesis retinopati diabetik adalah sebagai berikut:
26
a. Aktivasi Jalur Poliol
Hiperglikemia kronik pada DM menyebabkan peningkatan
aktivitas enzim aldose reduktase sehingga produksi poliol (suatu
senyawa gula dan alkohol) meningkat dalam jaringan termasuk di
lensa, pembuluh darah dan saraf optik. Salah satu sifat dari
senyawa poliol ialah tidak dapat melewati membrana basalis
sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak di dalam sel
yang akan menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sehingga
menimbulkan gangguan morfologi dan fungsional sel. Percobaan
pada hewan yang diberi inhibitor enzim aldose reduktase
(aminoguanidine) ternyata dapat mengurangi atau memperlambat
terjadinya retinopati diabetik. Namun uji klinik pada pasien
diabetes tipe 1 yang diberi aminoguanidin kemudian diamati
selama 3-4 tahun ternyata tidak memberi pengaruh terhadap
timbulnya maupun perlambatan progresifitas retinopati diabetik.
Sampai saat ini masih terus dilakukan penelitian dengan
menggunakan inhibitor enzim aldose reduktase yang lebih kuat.
b. Glikasi Nonenzimatik
Hiperglikemia kronik menyebabkan terjadinya glikosilasi protein
dan asam deoksiribonukleat (DNA), protein yang terglikosilasi ini
akan membentuk radikal bebas yang mengganggu keutuhan DNA
dan menghambat aktivitas enzim sehingga terjadi perubahan
fungsi sel. Penggunaan aminuguanidin, yaitu suatu bahan yang
juga bekerja menghambat pembentukan advanced glycation end
27
product (AGE) pada tikus diabetes dilaporkan dapat mengurangi
pengaruh diabetes terhadap aliran darah di retina, permeabilitas
kapiler dan parameter mikrovaskular yang lain. Aminoguanidine
terbukti juga dapat menghambat produksi senyawa oksida nirat
yang merupakan vasokonstriktor kuat.
c. Diasilgliserol dan Aktivasi Protein Kinase C
Protein kinase C (PKC) diketahui memiliki pengaruh terhadap
permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis membrana basalis
dan proliferasi sel vaskular. Hiperglikemia yang terjadi pada DM
menyebabkan aktivitas PKC di retina dan sel endotel meningkat
akibat peningkatan sintesis de novo diasilgliserol (suatu regulator
PKC dan glukosa). Pada retina anjing, diasilgliserol terbukti
diproduksi dalam jumlah yang banyak dengan galaktosemia yang
disertai retinopati. Dewasa ini para ahli sedang melakukan uji
klinik penggunaan ruboxistaurin yaitu suatu penghambat PKC β-
isoform pada pasien retinopati diabetik.
2.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi retinopati diabetik kapiler melibatkan lima proses yang
terjadi di tingkat kapiler yaitu : 1) pembentukan mikroaneurisma, 2)
peningkatan permeabilitas, 3) penyumbatan, 4) proliferasi pembuluh
darah baru (neovascular) dan pembentukan jaringan fibrosis, 5)
kontraksi jaringan fibrosis kapiler dan vitreus. Penyumbatan dan
hambatann perfusi (nonperfusion) menyebabkan iskemia retina
sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua komponen darah.
28
Kebutaan akibat retinopati diabetik dapat terjadi melalu beberapa
mekanisme yaitu : 1) edema makula atau nonperfusi kapiler, 2)
pembentukan pembuluh darah baru dan kontraksi jaringan fibrosis
sehingga terjadi ablasio retina (retinal detachment), 3) pembuluh
darah baru yang terbentuk menimbulkan perdarahan preretina dan
vitreus, 4) terjadi glaukoma yang juga merupakan akibat dari
pembentukan pembuluh darah baru. Perdarahan adalah bagian dari
stadium retinopati diabetik proliferatif dan merupakan penyebab
utama kebutaan permanen. Selain itu, kontraksi dari jaringan
fibrovaskxular sehingga terjadi ablasio retina (terlepasnya lapisan
retina) juga merupakan penyebab kebutaan yang terjadi pada
retinopati diabetik proliferatif (Pandelaki, 2014).
2.2.4 Gejala Klinik
Perubahan dini atau apa yang disebut nonproliferative diabetic
retinopathy (NPDR), tidak memberikan keluhan gangguan
penglihatan. Perubahan dini yang reversibel dan tidak mengakibatkan
gangguan penglihatan sentral dinamakan retinopati simpleks atau
background retinopathy. Bila pembuluh darah rusak dan bocor dan
masuknya lipid ke makula, makula akan edem dan penglihatan
menurun.
Retinopati merupakan gejala diabetes melitus utama pada mata,
dimana ditemukan pada retina: (Ilyas dan Sidarta, 2017)
29
1. Mikroaneurismata, merupakan penonjolan dinding kapiler,
terutama daerah vena dengan bentuk berupa binitk merah kecil
yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior.
Kadang-kadang pembuluh darah ini demikian kecilnya sehingga
tidak terlihat sedang dengan bantuan angiografi fluorescein lebih
mudah dipertunjukkan adanya mikroaneurismata ini.
Mikroaneurismata merupakan kelainan diabetes melitus dini pada
mata.
2. Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang
biasanya terletak dekat mikroaneurismata di polus posterior.
Bentuk perdarahan ini merupakan prognosis penyakit dimana
perdarahan yang luas memberikan prognosis yang lebih buruk
dibandingkan kecil. Perdarahan terjadi akibat gangguan
permeabilitas pada mikroaneurisma, atau karena pecahnya
kapiler.
3. Dilatasi pembuluh darah balik dengan lumennya irregular dan
berkelok-kelok, bentuk ini seakan-akan dapat memberikan
perdarahan tapi hal ini tidaklah demikian. Hal ini terjadi akibat
kelainan sirkulasi dan kadang-kadang disertai kelainan endotel
dan eksudasi plasma.
4. Hard exudate, merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina.
Gambarannya khusus yaitu irregular, kekuning-kuningan. Pada
permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung. Eksudat
ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu. Pada
30
mulanya tampak pada gambaran angiografi fluorescein sebagai
kebocoran fluorescein di luar pembuluh darah. Kelainan ini
terutama terdiri atas bahan-bahan lipid dan terutama banyak
ditemukan pada keadaan hiperlipoproteinemia.
5. Soft exudate, yang sering disebut cotton wool patches merupakan
iskemia retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat
bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih.
Biasanya terletak di bagian tepi daerah nonirigasi dan
dihubungkan dengan iskemia retina.
6. Pembuluh darah baru pada retina biasanya terletak di permukaan
jaringan. Neovaskularisasi terjadi akibat proliferasi sel endotel
pembuluh darah. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok,
dalam kelompok-kelompok, dan bentuknya irregular. Hal ini
merupakan awal penyakit yang berat pada retinopati diabetes.
Mula-mula terletak di dalam jaringan retina, kemudian
berkembang ke daerah preretinal, ke badan kaca. Pecahnya
neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan retina, perdarahan subhialoid (preretinal), maupun
perdarahn badan kaca. Proliferasi preretinal dari suatu
neovaskularisasi pada biasanya diikuti proliferasi jaringan ganglia
dan perdarahan.
7. Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama
daerah macula sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan
pasien.
31
8. Hiperlipidemia suatu keadaan yang sangat jarang, tanda ini akan
segera hilang bila diberikan pengobatan.
2.2.5 Diagnosis dan Klasifikasi
Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan
funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography
(FFA) merupakan metode pemeriksaan yang paling dipercaya.
Namun dalam klinik pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih dapat
digunakan untuk pemeriksaan penyaring. Klasifikasi retinopati
diabetik umumnya didasarkan atas beratnya perubahan yang terjadi
pada mikrovaskular retina dan ada atau tidak adanya pembentukan
pembuluh darah yang baru. Early Treatment Diabetic Retinopathy
Research Study Group (ETDRS) membagi retinopati diabetik atas dua
stadium yaitu nonproliferatif (RDNP) hanya ditemukan perubahan
ringan pada mikrovaskular retina. Kelainan fundus pada RDNP dapat
berupa mikroaneurisma atau kelainan intraretinal yang disebut intra-
retinal microvascular abnormalities (IRMA). Penyumbatan kapiler
retina akan menimbulkan hambatan perfusi yang secara klinik
ditandai dengan perdarahan, kelainan vena dan IRMA. Iskemia retina
yang terjadi akibat hambatan perfusi akan merangsang proliferasi
pembuluh darah baru (neovaskular). Pembentukan pembuluh darah
baru merupakan tanda khas dari retinopati diabetik proliferatif (RDP).
(Pandelaki, 2014)
32
Klasifikasi retinopati diabetes menurut Bagian Mata Fskultas
Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo adalah sebagai berikut :
1. Derajat I. terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa eksudat
lemak pada fundus okuli
2. Derajat II. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bitnik dan
bercak dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli
3. Derajat III. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bitnik dan
bercak terdapat neovaskularisasi dan proliferasi pada fundus
okuli.
Jika gambaran fundus mata kiri tidak sama beratnya dengan mata
kanan maka digolongkan pada derajat yang lebih berat (Ilyas dan
Sidarta, 2017).
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan baik dilakukan sebelum penyulit atau komplikasi
memberi kerusakan lebih lanjut, seperti pengobatan laser, suntukan
kortikosteroid atau anti-VEGF kedalam mata dan vitrektomi.
Pengobatan akan sangat berhasil untuk menghentikan penurunan
penglihatan. Pada penderita suntukan triamcinolone memberikan
perbaikan penglihatan terutama bila terdapat edema makula. Berikut
ini penatalaksanaan yang dapat diberikan kepada pasien retinopati
diabetik : 1) Laser : laser fotokoagulasi (dilakukan pada edema
makula); grid laser fotokoagulasi; panretinal fotokoagulasi (untuk
33
mengurangkan daerah iskemia 2) Intravitreal triamcinolone
acetonide : triamcinolone merupakan steroid long acting yang
berguna mengurangkan edema makula, penyulit dapat terjadi
endoftalmitis, katarak dan ablasi; intravitreal anti-VEGF;
Bevacizumab digabung bersama laser vitrektomi; vitrektomi
dilakukan bila terdapat darah dalam badan kaca (Ilyas, 2017).
Pemberian injeksi intravitreal steroid memiliki kekurangan yaitu
sering diikuti dengan komplikasi ocular seperti katarak, peningkatan
tekanan intraocular bahkan dapat mengakibatkan endoftalmitis
(Schwartz, Jr. dan Scott, 2014).
Laser fotokoagulasi saat ini masih menjadi terapi utama untuk RD
terutama tipe PDR atau clinically significant diabetic macular edema
(CSME). Tujuan penatalaksanaan ini adalah untuk mengatasi edema
makula, mencegah berkembangnya retinopati diabetik non proliferatif
menjadi proliferatif, mencegah terjadinya glaucoma neovascular serta
mencegah kebutaan. Diabetic Retinopathy Study (DRS) dan Early
Treatment Diabetes Retinopathy Study (ETDRS) membuat pedoman
tatalaksana laser uuntuk retinopati diabetik. Menurut studi yang
dilakukan oleh DRS, PRP dapat menurunkan angka severe visual loss
(SVL) sebesar 60% dalam 2 tahun, terutama pada pasien dengan PDR
dan yang memiliki karakteristik risiko tinggi (Park dan Roh, 2016)
Tindakan pembedahan vitrektomi diindikasikan pada kasus tractional
retinal detachment, perdarahan vitreus yang menetap, dan extensive
34
fibrous membranes. Prosedur vitrektomi ini juga dapat digunakan
untuk mengangkat premacular posterior hyaloid pada pasien dengan
edema makular difus persisten. Kekurangan dari tindakan ini adalah,
hasil keluaran visual setelahnya tidak dapat diprediksi dan dapat
terjadi beberapa komplikasi seperti katarak, perdarahan vitreus
rekuren, rhegmatogenous retinal detachment, dan glaukoma
neovaskular (Park dan Roh, 2016).
2.2.7 Komplikasi
Berikut ini adalah komplikasi yang dapat terjadi pada retinopati
diabetik: ( Augsburger dan Riordan-Eva, 2018)
1. Rubeosis iridis progresif. Penyakit ini merupakan komplikasi
segmen anterior paling sering. Neovaskularisasi pada iris
(rubeosis iridis) merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia
dan iskemia retina akibat berbagai penyakit, baik pada mata
maupun di luar mata yang paling sering adalah retinopati diabetik.
Neovaskularisasi iris pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai
percabangan kecil, selanjutnya tumbuh dan membentuk
membrane fibrovaskular pada permukaan iris secara radial sampai
ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary body dan sclera
spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat
pembuangan aquous dengan akibat intra ocular presure meningkat
dan keadaan sudut masih terbuka. Suatu saat membrane
fibrovaskular ini konstraksi menarik iris perifer sehingga terjadi
35
sinekia anterior perifer (PAS) sehingga sudut bilik mata depan
tertutup dan tekanan intra okuler meningkat sangat tinggi sehingga
timbul reaksi radang intra okuler. Sepertiga pasien dengan
rubeosis iridis terdapat pada penderita retinopati diabetika.
Frekuensi timbulnya rubeosis pada pasien retinopati diabetika
dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah. Insiden terjadinya
rubeosis iridis dilaporkan sekitar 25-42% setelah tindakan
vitrektomi, sedangkan timbulnya glaukoma neovaskuler sekitar
10-23% yang terjadi 6 bulan pertama setelah dilakukan operasi.
2. Glaukoma neovaskular. Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma
sudut tertutup sekunder yang terjadi akibat pertumbuhan jaringan
fibrovaskuler pada permukaan iris dan jaringan anyaman
trabekula yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat
meningkatkan tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma
neovaskular ini adalah glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif,
glaukoma trombotik dan glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya
berhubugan dengan neovaskular pada iris (rubeosis iridis).
Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) merupakan suatu
respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina akibat
berbagai penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang
paling sering adalah retinopati diabetik. Neovaskularisasi iris
pada awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan kecil,
selanjutnya tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskuler
pada permukaan iris secara radial sampai ke sudut, meluas dari
36
akar iris melewati ciliary body dan sclera spur mencapai jaring
trabekula sehingga menghambat pembuangan akuos dengan
akibat Intra Ocular Presure meningkat dan keadaan sudut masih
terbuka.
3. Perdarahan vitreus rekuren. Perdarahan vitreus sering terjadi pada
retinopati diabetik proliferatif. Perdarahan vitreus terjadi karena
terbentuknya neovaskularisasi pada retina hingga ke rongga
vitreus. Pembuluh darah baru yang tidak mempunyai struktur yang
kuat dan mudah rapuh sehingga mudah mengakibatkan
perdarahan.Perdarahan vitreus memberi gambaran perdarahan
pre-retina (sub-hyaloid) atau intragel.Perdarahan intragel
termasuk didalamnya adalah anterior, middle, posterior, atau
keseluruhan badan vitreous. Gejalanya adalah perkembangan
secara tiba-tiba dari floaters yang terjadi saat perdarahan vitreous
masih sedikit. Pada perdarahan badan kaca yang massif, pasien
biassanya mengeluh kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.
Oftalmoskopi direk secara jauh akanmenampakkan bayangan
hitam yang berlawanan dengan sinar merah pada perdahan
vitreous yang masih sedikit dan tidak ada sinar merah jika
perdarahan vitreous sudah banyak. Oftalmoskopi direk dan
indirek menunjukkan adanya darah pada ruang vitreous.
Ultrasonografi Bscan membantu untuk mendiagnosa perdarahan
badan kaca.
37
4. Ablasio retina. Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan
neurosensori retina dari lapisan pigmen epitelium. Ablasio retina
tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa menyebabkan gambaran
bentuk-bentuk ireguler yang melayang-layang atau kilatan cahaya,
serta menyebabkan penglihatan menjadi kabur.
2.3 Pemeriksaan Mata Diabetes
Annual Diabetic Eye Exams and Prompt Treatment atau pemeriksaan mata
tahunan, dipertimbangkan menjadi kunci strategis untuk mengontrol
kehilangan visus pada pasien diabetes. Deteksi dini dan intervensi retinopati
diabetik dapat mengurangi 90% kebutaan karena diabetes (Hatef et al., 2015).
Menurut ADA (2018b) menyarankan beberapa anjuran untuk skrining mata
pada pasien diabetes untuk mencegah terjadinya retinopati diabetik sebagai
berikut :
1. Orang dewasa dengan diabetes tipe 1 sebaiknya melakukan pemeriksaan
dilatasi mata inisial dan komprehensif ke oftalmologis atau spesialis mata
dalam 5 tahun setelah onset diabetes
2. Pasien dengan diabetes tipe 2 sebaiknya melakukan pemeriksaan dilatasi
mata inisial dan komprehensif ke oftalmologis atau spesialis mata pada
saat terdiagnosis diabetes
3. Jika tidak terdapat bukti retinopati diabetik saat pemeriksaan mata
tahunan dan gula darah terkontrol, lakukan pemeriksaan mata setiap 1-2
tahun. Jika terdapat tanda retinopati diabetik, pemeriksaan dilatasi retina
38
sebaiknya diulangi setiap setahun sekali (annually) ke oftalmologis atau
spesialis mata
4. Foto retina dapat dijadikan alat skrining, tetapi bukan merupakan
pemeriksaan mata komprehensif.
5. Wanita dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2 yang merencanakan kehamilan
atau sedang hamil harus diedukasi tentang risiko perkembangan dan/atau
progresi dari retinopati diabetik
6. Pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan sebelum kehamilan atau saat
trimester pertama pada wanita dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2, dan
selanjutnya pasien harus dimonitor setiap trimester dan 1 tahun
postpartum sebagai indikasi dari derajat retinopati.
2.4 Kepatuhan
2.4.1 Pengertian
Ada beberapa macam terminologi yang biasa digunakan dalam
literatur untuk mendeskripsikan kepatuhan pasien diantaranya
compliance, adherence, dan persistence. Tingkat kepatuhan
(adherence) untuk pasien biasanya dilaporkan sebagai persentase dari
dosis resep obat yang benar-benar diambil oleh pasien selama periode
yang ditentukan (Osterberg & Blaschke dalam (Pratita, 2012)).
Menurut (Kozier et al., 2010) kepatuhan adalah perilaku individu
(misalnya: minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan
gaya hidup) sesuai anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat kepatuhan
39
dapat dimulai dari tindak mengindahkan setiap aspek anjuran hingga
mematuhi rencana.
Di dalam konteks psikologi kesehatan, kepatuhan mengacu kepada
situasi ketika perilaku seorang individu sepadan dengan tindakan yang
dianjurkan atau nasehat yang diusulkan oleh seorang praktisi
kesehatan atau informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi
lainnya seperti nasehat yang diberikan dalam suatu brosur promosi
kesehatan melalui suatu kampanye media massa (Albery dan Munafo,
2011).
Kemudian Fiske (2013), mendefinisikan kepatuhan terhadap
pengobatan adalah perilaku yang menunjukkan sejauh mana individu
mengikuti anjuran yang berhubungan dengan kesehatan atau penyakit.
Dan Delameter (2006) mendefinisikan kepatuhan sebagai upaya
keterlibatan aktif, sadar dan kolaboratif dari pasien terhadap perilaku
yang mendukung kesembuhan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
kepatuhan terhadap pengobatan adalah sejauh mana keterlibatan
seorang individu menunjukkan kesesuaian dengan peraturan atau
anjuran yang diberikan oleh professional kesehatan untuk menunjang
kesembuhannya.
40
Kepatuhan penderita dibedakan menjadi :
a. Kepatuhan penuh (total campliance) dimana penderita berobat
dan melakukan pemeriksaan secara teratur sesuai batas waktu
yang ditetapkan dan juga patuh memakai obat secara teratur sesuai
petunjuk.
b. Penderita yang sama sekali tidak patuh (non compliance) adalah
penderita yang tidak rutin melakukan pemeriksaan sesuai dengan
petunjuk yang telah ditetapkan (Adriono et al., 2011).
2.4.2 Faktor-faktor yang memengaruhi
Kepatuhan merupakan perilaku seseorang menjalankan peraturan atau
anjuran yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Berdasarkan teori
Health Belief Model (HBM) perubahan perilaku ini didasarkan oleh
teori kognitif (seperti keyakinan dan sikap) dan dikaitkan juga dengan
proses berpikir yang terlibat dalam mengambil suatu keputusan.
Faktor-faktor yang dinilai dalam teori HBM ini adalah subjektivitas
individu tentang kerentanan dirinya terhadap penyakit, tingkat
keseriusan penyakit, persepsi keuntungan dan kerugian individu
dalam menjalankan perilaku tersebut (Rosenstock dalam (Orji,
Vassileva dan Mandryk, 2012)). Salah satu bentuk kepatuhan yang
diharapkan pada penelitian ini adalah kepatuhan dalam pemeriksaan
mata.
Teori HBM telah digunakan untuk memprediksi perilaku kesehatan
dalam populasi besar secara luas. Tiga aspek besar yang dapat
41
diidentifikasi yaitu: 1) perilaku pencegahan, termasuk promosi
kesehatan (seperti diet, olahraga), dan risiko kesehatan (contoh risiko
merokok) termasuk juga vaksinasi dan kontrasepsi ; 2) perilaku sakit,
biasanya tentang kepatuhan terhadap anjuran regimen kesehatan ; dan
3) penggunaan klinis, termasuk kunjungan dokter (Abraham dan
Sheeran, 2015).
Faktor atau aspek dalam teori HBM yang memengaruhi perubahan
perilaku adalah sebagai berikut:
1) Perceived susceptibility, persepsi atau keyakinan individu tentang
kerentanan dirinya tehadap komplikasi dari suatu penyakit. Hal ini
mengacu pada sejauh mana seseorang berpikir bahwa ia akan
mengembangkan masalah kesehatan yang terjadi berdasarkan
kondisi mereka. Semakin besar risiko yang dirasakan oleh individu
semakin besar kemungkinan individu tersebut untuk melakukan
perilaku kesehatan (Janz dan Becker, 1984 dalam (Orji, Vassileva
dan Mandryk, 2012)).
2) Perceived severity, persepsi atau keyakinan individu tentang
perasaan akan keseriusan penyakit yang dideritanya sekarang. Hal
ini berkaitan dengan tingkat keseriusan penyakit yang diderita
apakah individu tersebut akan mengembangkan masalah
kesehatannya atau membiarkan penyakitnya tak teratasi. Persepsi
keparahan ini didasari oleh informasi atau pengetahuan pengobatan
dari penyakit yang diderita atau mungkin kepercayaan orang
42
tersebut terhadap dampak apa yang akan terjadi pada kehidupannya
akibat penyakit tersebut (Janz dan Becker, 1984 dalam (Orji,
Vassileva dan Mandryk, 2012))..
3) Perceived benefit, persepsi atau keyakinan individu tentang
efektivitas atau manfaat yang dirasakan apabila melakukan
perilaku sehat. Individu akan cenderung untuk lebih patuh dalam
melakukan perilaku sehat ketika usaha tersebut akan menurunkan
risiko penyakit mereka (Janz dan Becker, 1984 dalam (Orji,
Vassileva dan Mandryk, 2012)).
4) Perceived barrier, persepsi atau keyakinan individu tentang aspek
negatif yang berpotensi menjadi hambatan untuk patuh
menjalankan perilaku sehat (Janz dan Becker, 1984 dalam (Orji,
Vassileva dan Mandryk, 2012)). Individu akan menimbang
efektivitas perilaku sehat terhadap hambatan yang mereka rasakan
seperti biaya yang mahal, berbahaya (misalnya efek samping, hasil
iatrogenik), tidak menyenangkan (misalnya sulit, menyakitkan,
mengecewakan), tidak nyaman, memakan waktu, dan sebagainya
(Rosenstock, 1960 dalam (Orji, Vassileva dan Mandryk, 2012)).
5) Cues to action, faktor yang berperan sebagai sinyal atau pemicu
dalam mengambil keputusan untuk patuh terhadap perilaku sehat.
Faktor ini dapat berasal dari internal (misalnya gejala klinis
penyakit) atau eksternal (komunikasi media massa, komunikasi
tenaga kesehatan, dukungan keluarga, dan sebagainya) (Janz dan
Becker, 1984 dalam (Orji, Vassileva dan Mandryk, 2012)).
43
6) Self-efficacy, kepercayaan diri seseorang akan kemampuannya
dalam melakukan sesuatu. Individu pada umumnya tidak akan
melakukan sesuatu yang baru kecuali merasa mampu untuk
melakukannya (Rosenstock, 1960 dalam (Orji, Vassileva dan
Mandryk, 2012)).
Persepsi hambatan merupakan dimensi teori HBM yang paling kuat,
untuk persepsi kerentanan merupakan kontributor yang kuat dalam
memahami perilaku pencegahan, sedangkan persepsi manfaat baik
untuk memahami perilaku sakit. Persepsi keseriusan memiliki rasio
signifikansi yang paling rendah, tetapi berhubungan kuat dengan
perilaku sakit (Janz dan Becker dalam (Orji, Vassileva dan Mandryk,
2012)).
Hasil telaah sistematik yang dilakukan I Gede Made Saskara Edi tahun
2015 tentang faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan pasien
dalam menggunakan obat adalah sebagai berikut : (Edi, 2014)
1) Sosio Demografi
Faktor sosio demografi yang memengaruhi kepatuhan pasien
dalam penggunaan obat atau terapi antara lain umur, jenis
kelamin, suku atau ras dan budaya. Semakin dewasa usia
seseorang semakin tinggi tingkat kepatuhan dalam pengobatan,
jenis kelamin laki-laki lebi patuh minum obat daripada perempuan
dan semakin meningkat kesesuai suku/ras dan bahasa, kepatuhan
pada pengobatan semakin meningkat. Status perkawinan juga
44
memengaruhi kepatuhan, dimana pasien dengan status kawin akan
lebih patuh dibanding status tidak kawin. Juga diketahui
kepatuhan minum obat dipengaruhi oleh budaya, kondisi ekonomi
dan geografis dari negara tersebut.
2) Sosio Ekonomi
Faktor sosio ekonomi yang dapat memengaruhi kepatuhan pasien
terhadap pengobatan antara lain pendapatan, budaya, kondisi
ekonomi serta geografis. Rendahnya pendapatan dan adanya
kendala keuangan sebagai penyebab ketidakpatuhan pada
pengobatan. Telaah sistematik yang dilakukan oleh Peltzer et al.,
tahun 2013 mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan kepatuhan
dalam penggunaan obat pada pasien di negara yang berpendapatan
rendah dengan negara yang berpendapatan menengah meskipun
tidak diketahui hubungannya.
3) Karakteristik Pasien
Faktor karakteristik pasien yang memengaruhi kepatuhan antara
lain keyakinan kesehatan, kedisiplinan, dan kesadaran.
Keterlibatan pasien dalam mengambil keputusan tentang
pengobatan akan meningkatkan kepatuhan pada pengobatan.
Persepsi pasien terhadap keparahan penyakit akan berpengaruh
pada kepatuhan. Perbaikan klinis, dan hilangnya gejala sakit atau
merasa seolah-olah sudah sembuh akan menurunkan kepatuhan
pengobatan.
45
4) Psiko-sosial
Faktor psiko-sosial yang memengaruhi kepatuhan pengobatan
antara lain kondisi kejiwaan/depresi, kepribadian yang rendah dan
sikap pesimis, wawasan yang sempit, dan malas akan menurunkan
kepatuhan pada pengobatan. Sedangkan faktor yang dapat
meningkatkan kepatuhan antara lain, sikap optimis, mimiliki
harapan, wawasan yang luas, kemampuan mengendalikan diri
dalam menghadapi penyakit dan dalam melakukan terapi.
5) Karakteristik obat
Faktor karakteristik obat yang memengaruhi kepatuhan pada
pengobatan yaitu antara lain regimen obat, lama terapi, jenis obat,
harga obat, efek samping obat, kejadian yang tidak diinginkan dari
obat. Karakteristik penyakit kronis, stadium lanjut dari penyakit
(HIV), akan menurunkan kepatuhan pada pengobatan, sedangkan
rasa nyeri yang lama akan meningkatkan kepatuhan.
6) Karakteristik Fasilitas dan Petugas Kesehatan.
Kemudahan dalam mengakses fasilitas pelayanan kesehatan,
ketanggapan petugas, sikap empati, dan kemampuan petugas
kesehatan untuk menghormati kekhawatiran pasien akan
meningkatkan kepatuhan pengobatan.
7) Komunikasi
Komunikasi yang lebih baik dapat menimbulkan kepatuhan yang
lebih baik, kesamaan bahasa antara pasien dan dokter berpengaruh
kepada kepatuhan pengobatan. Frekuensi, durasi, kualitas dan
46
kemampuan dokter atau tenaga kesehatan dalam memberikan
informasi yang tepat akan meningkatkan kepatuhan pasien pada
pengobatan menurut Kardas et al., 2013.
8) Modal Sosial
Modal Sosial yang memengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan
antara lain dukungan sosial, penyediaan edukasi, program
konseling. Semakin baik komunikasi, penyediaan layanan
konseling dan edukasi serta dukungan sosial menyebabkan
peningkatan pada outcome terapi pasien. Keluarga yang harmonis,
dukungan keluarga dalam hal penyandang dana dan dalam
melaksanakan pengobatan, memiliki orang tua atau orang dewasa
sebagai pengasuh utama dalam keluarga merupakan faktor
pendukung terhadap kepatuhan pengobatan menurut Kardas et al.,
2013. Stigma negatif dari teman di lingkungan sekolah, tempat
kerja, dan keluarga menyebabkan penurunan terhadap kepatuhan
pengobatan. Adanya jaminan dari asuransi kesehatan yang akan
meng “cover” biaya pengobatan akan meningkatkan kepatuhan
pada pengobatan.
9) Intervensi
Telaah sistematik yang dilakukan oleh Hu et al., tahun 2014
mendapatkan hasil bahwa beberapa intervensi seperti
motivasional, interviewing, reminder device, one-time
educational session dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan.
47
Hatef et al. 2015 menyimpulkan beberapa penelitian tentang faktor
yang memengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam pemeriksaan mata
yaitu :
1) Usia tua
2) Status sosio-ekonomi yang rendah
3) Tingkat pendidikan yang rendah
4) Tinggal di daerah pedesaan
5) Kekurangan spesialis mata
6) Kekurangan asuransi kesehatan, dan
7) Mendapatkan perawatan dari keluarga yang seorang dokter.
48
2.5 Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka Teori (Orji, Vassileva dan Mandryk, 2012; Pandelaki, 2014)
49
2.6 Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep
2.7 Hipotesis
2.7.1 Hipotesis Nol (Ho)
Tidak terdapat hubungan antara persepsi kerentanan, persepsi
keseriusan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, efikasi diri dan
petunjuk untuk berperilaku dengan tingkat kepatuhan pemeriksaan
mata pada pasien retinopati diabetik yang telah diskrining di
Puskesmas Kedaton.
Kepatuhan melakukan
pemeriksaan mata
Persepsi kerentanan
Persepsi keseriusan
Petunjuk untuk
berperilaku
Persepsi hambatan
Persepsi manfaat
Efikasi diri
50
2.7.2 Hipotesis Kerja (H1)
1. Ada hubungan antara persepsi kerentanan dengan tingkat
kepatuhan pemeriksaan mata pada pasien retinopati diabetik yang
telah diskrining di Puskesmas Kedaton.
2. Ada hubungan antara persepsi keseriusan dengan tingkat
kepatuhan pemeriksaan mata pada pasien retinopati diabetik yang
telah diskrining di Puskesmas Kedaton.
3. Ada hubungan antara persepsi manfaat dengan tingkat kepatuhan
pemeriksaan mata pada pasien retinopati diabetik yang telah
diskrining di Puskesmas Kedaton.
4. Ada hubungan antara persepsi hambatan dengan tingkat
kepatuhan pemeriksaan mata pada pasien retinopati diabetik yang
telah diskrining di Puskesmas Kedaton.
5. Ada hubungan antara efikasi diri dengan tingkat kepatuhan
pemeriksaan mata pada pasien retinopati diabetik yang telah
diskrining di Puskesmas Kedaton.
6. Ada hubungan antara petunjuk untuk berperilaku dengan tingkat
kepatuhan pemeriksaan mata pada pasien retinopati diabetik yang
telah diskrining di Puskesmas Kedaton.
7. Faktor yang paling memengaruhi tingkat kepatuhan pemeriksaan
mata pada pasien retinopati diabetik yang telah diskrining di
Puskesmas Kedaton.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross
sectional. Dalam penelitian cross sectional, variabel sebab atau risiko dan
akibat kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan
secara simultan dalam waktu bersamaan.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober ‒ Desember 2019.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah seluruh objek penelitian atau objek yang akan diteliti
(Notoatmodjo, 2012). Populasi umum dalam penelitian ini adalah
52
pasien DM tipe 2 yang telah diskrining oleh dokter spesialis mata di
Puskesmas Kedaton kota Bandarlampung.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampling atau teknik pengambilan sampel adalah proses penyeleksian
jumlah dari populasi untuk mewakili populasi tersebut. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling.
Sampel penelitian dalam penelitian ini adalah pasien DM yang telah
diskrining oleh dokter spesialis mata pada penelitian Hubungan kadar
HbA1c dengan Angka Kejadian Retinopati Diabetik pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 yang Mengikuti Prolanis di Puskesmas
Kedaton kota Bandarlampung bulan Oktober – November 2016
sebanyak 40 orang. Total sampling merupakan teknik pengambilan
sampel dimana jumlah populasi sama dengan jumlah sampel. Teknik
total sampling dipilih karena jumlah populasi kurang dari 100,
sehingga semua populasi dijadikan sampel (Sugiyono, 2011).
3.3.3 Kriteria Sampel
Kriteria Inklusi
1. Pasien DM yang telah diskrining oleh dokter spesialis mata pada
penelitian Hubungan kadar HbA1c dengan Angka Kejadian
Retinopati Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 yang
Mengikuti Prolanis di Puskesmas Kedaton kota Bandarlampung
53
bulan Oktober – November 2016 yang bersedia untuk menjadi
sampel penelitian.
Kriteria Eklusi
1. Pasien pindah ke luar kota
2. Pasien telah meninggal dunia
3.4 Identifikasi Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Variabel bebas (independent variable) adalah persepsi kerentanan,
persepsi keseriusan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, efikasi diri, dan
petunjuk untuk berperilaku.
b. Variable terikat (dependent variable) adalah kepatuhan pemeriksaan
mata.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kuesioner
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari jurnal
(Sheppler et al., 2018) yaitu Compliance with Annual Diabetic Eye Exams
Survey (CADEES). Kuesioner telah dilakukan modifikasi dan sudah
dilakukan uji validitas dan reliabilitas kepada 28 responden dengan
karakteristik yang hampir sama dengan populasi penelitian. Uji validitas
dan reliabilitas dilakukan dengan mengguakan software statistik.
54
Uji validitas dilakukan dengan cara mengukur korelasi antara masing-
masing skor butir jawaban dengan skor total dan butir jawaban.
Perhitungan dilakukan menggunakan rumus korelasi pearson product
moment (r). Data dinyatakan valid apabila r hitung lebih besar daripada r
tabel dan sebaliknya. Dari hasil uji validitas 19 butir pertanyaan
dinyatakan valid dengan karena r hitung > r tabel di setiap butir, hasil
validitas dapat dilihat pada Lampiran 4.
Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan nilai alpha cronbach.
Kuesioner dinyatakan reliabel apabila nilai alfa > 0,6. Kuesioner ini dapat
dinyatakan reliabel karena memiliki nilai alfa 0,740.
55
3.6 Prosedur Penelitian
Gambar 3. Prosedur Penelitian
3.7 Pengumpulan Data
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti langsung dari
subjek penelitian. Data primer diperoleh dengan cara membagikan kuesioner
kepada responden sesuai sampel penelitian yang hadir pada saat penelitian
berlangsung dan bersedia menjadi responden, sedangkan data sekunder
berupa rekam medis yang didapat dari Puskesmas Kedaton.
56
3.8 Definisi Operasional
Tabel 1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Skala
Ukur
Persepsi
kerentanan
Persepsi individu
tentang kerentanan
dirinya tehadap
komplikasi dari suatu
penyakit (Janz dan
Becker, 1984 dalam
(Orji, Vassileva dan
Mandryk, 2012)).
Kuesioner Rendah (1-2);
Sedang (3);
Tinggi (4-5)
Kategorik
(Ordinal)
Persepsi
keseriusan
Persepsi individu
tentang perasaan akan
keseriusan penyakit
yang dideritanya
sekarang (Janz dan
Becker, 1984 dalam
(Orji, Vassileva dan
Mandryk, 2012)).
Kuesioner Rendah (3-6);
Sedang (7-11);
Tinggi (12-15)
Kategorik
(Ordinal)
Persepsi
manfaat
Persepsi individu
tentang efektivitas
atau manfaat yang
dirasakan apabila
melakukan perilaku
sehat (Janz dan
Becker, 1984 dalam
(Orji, Vassileva dan
Mandryk, 2012)).
Kuesioner Rendah (5-10);
Sedang (11-19);
Tinggi (20-25)
Kategorik
(Ordinal)
Persepsi
hambatan
Persepsi individu
tentang aspek negatif
yang berpotensi
menjadi hambatan
untuk patuh
menjalankan perilaku
sehat (Janz dan
Becker, 1984 dalam
(Orji, Vassileva dan
Mandryk, 2012)).
Kuesioner Rendah (4-8);
Sedang (9-15);
Tinggi (16-20)
Kategorik
(Ordinal)
Efikasi diri Kepercayaan diri
seseorang akan
kemampuannya
dalam melakukan
sesuatu (Rosenstock,
1960 dalam (Orji,
Vassileva dad
Mandryk, 2012)).
Kuesioner Rendah (5-10);
Sedang (11-19);
Tinggi (20-25)
Kategorik
(Ordinal)
Petunjuk
untuk
berperilaku
Sinyal atau pemicu
dalam mengambil
keputusan untuk
patuh terhadap
perilaku sehat (Janz
dan Becker, 1984
dalam (Orji,
Kuesioner Rendah (1-2);
Sedang (3);
Tinggi (4-5)
Kategorik
(Ordinal)
57
Vassileva dan
Mandryk, 2012)).
Kepatuhan Kesadaran pasien
terhadap kepatuhan
pemeriksaan mata
khususnya penderita
diabetes melitus.
Kuesioner 1. Patuh (pernah
melakukan
pemeriksaan mata
setelah diskrining)
2. Tidak patuh
(tidak pernah
melakukan
pemeriksaan mata
setelah diskrining)
Nominal
3.9 Pengolahan dan Analisis Data
3.9.1 Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data diubah dalam
bentuk tabel-tabel, kemudian data diolah menggunakan program
statistik. Proses pengolahan data menggunakan program komputer
dari beberapa langkah :
1. Editing data, pada tahap ini dilakukan pembersihan data yang
telah masuk seperti kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian,
konsisten setiap jawaban dari kuesioner
2. Koding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang
dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk
keperluan analisis
3. Data entry, memasukkan data-data penelitian kedalam komputer
4. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap
data yang telah dimasukkan kedalam komputer
5. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer
kemudian dicetak.
58
3.9.2 Analisis Data
a. Analisis univariat
Analisis univariat pada penelitian ini adalah memperoleh
gambaran variabel-variabel yang dianalisis untuk mengetahui
gambaran distribusi frekuensi dan presentase untuk persepsi
kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat, persepsi
hambatan, efikasi diri, dan petunjuk untuk berperilaku.
b. Analisis bivariat
Analisis bivariat pada penelitian ini untuk mengetahui hubungan
antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat
dengan menggunakan uji Chi square. Pada uji chi-square akn
diperoleh nilai P, dimana dalam penelitian ini digunakan tingkat
kemaknaan sebesar 0,05. Hubungan antara kedua variabel
dikatakan bermakna apabila nilai p <0,05 dan tidak terdapat
hubungan bermakna apabila nilai p ≥0,05. Uji chi-square tidak
memenuhi syarat parametrik ketika nilai expected count >20%,
maka analisis data dilakukan dengan menggunakan uji alternatif
Fisher exact.
c. Analisis multivariat
Analisis multivariat pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
variabel apa yang paling memengaruhi kepatuhan pemeriksaan
mata dan mengetahui ada atau tidaknya keterkaitan antar variabel.
Analisis multivariat yang digunakan adalah regresi logistik model
prediksi, dengan tingkat kepercayaan 95% dan menggunakan
59
metode menentukan odds ratio variabel kategorik polikontom
dengan salah satu kategori menjadi pembanding dengan
menggunakan chi-square.
3.10 Etika Penelitian
Penelitian ini telah diajukan kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor surat
3881/UN26.18/PP.05.02.00/2019. Surat ini merupakan kelayakan etik yang
digunakan untuk melakukan penelitian.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian faktor-faktor yang memengaruhi tingkat
kepatuhan pemeriksaan mata di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung maka
dapat disimpulkan bahwa :
1. Terdapat hubungan bermakna antara faktor persepsi manfaat, persepsi
hambatan, dan efikasi diri dengan tingkat kepatuhan pemeriksaan mata
pada pasien DM yang telah menjalani skrining retinopati diabetik di
Puskesmas Kedaton Bandar Lampung Tahun 2019.
2. Responden yang telah diskrining yang patuh terhadap pemeriksaan mata
sebanyak 20 (58,8%) lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak
patuh sebanyak 14 (41,2%).
3. Responden yang memiliki persepsi kerentanan rendah sebanyak 14
(41,2%) responden, sedang 0 (0%) responden, sedangkan tinggi
sebanyak 20 (58,8%) responden.
4. Responden dengan persepsi keseriusan tinggi sebanyak 22 (64,7)
responden lebih tinggi dibandingkan yang memiliki persepsi keseriusan
rendah-sedang yaitu sebanyak 12 (35,3%).
89
5. Responden yang memilki persepsi manfaat tinggi lebih banyak yaitu
sebanyak 19 (55,9%) dibandingkan dengan yang memiliki persepsi
manfaat sedang yaitu sebanyak 15 (44,1) responden.
6. Responden dengan persepsi hambatan rendah lebih banyak yaitu
sebanyak 23 (67,6%) responden dibandingkan yang persepsi
hambatannya sedang-tinggi yaitu sebanyak 11 (32,4%).
7. Responden dengan efikasi diri tinggi lebih banyak yaitu sebanyak 24
(70,6%) dibandingkan responden dengan efikasi diri sedang yaitu
sebanyak 10 (29,4%).
8. Responden dengan petunjuk untuk berperilaku tinggi lebih banyak yaitu
sebanyak 29 (85,3%) responden dibandingkan dengan responden dengan
petunjuk untuk berperilaku rendah-sedang yaitu sebanyak 5 (14,7%)
responden.
9. Hasil penelitian menunjukkan faktor yang paling memengaruhi
kepatuhan pemeriksaan mata pada pasien DM yang telah menjalani
skrining retinopati diabetik di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung
adalah efikasi diri dimana pasien dengan efikasi diri tinggi memiliki
peluang 76 kali lebih patuh pemeriksaan mata dibandingkan dengan
efikasi diri sedang. Probabilitas terjadinya kepatuhan pemeriksaan mata
pada pasien dengan persepsi manfaat tinggi dan efikasi diri tinggi adalah
20%.
90
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, peneliti memberikan saran antara
lain :
1. Bagi masyarakat terutama penderita DM tipe 2 untuk meningkatkan
kesadaran akan pentingnya pemeriksaan mata tahunan untuk mencegah
terjadinya komplikasi retinopati diabetik.
2. Bagi Puskesmas Kedaton peneliti menyarankan agar melakukan follow
up pemeriksaan mata setiap tahun pada pasien DM untuk mencegah
adanya komplikasi retinopati diabetik dan melakukan sosialisasi tentang
pemeriksaan mata diabetik annual untuk meningkatkan persepsi manfaat
dan efikasi diri kepada pasien DM terutama tipe 2 untuk meningkatkan
kepatuhan pemeriksaan mata pada pasien DM.
3. Peneliti menyarankan apabila ingin melakukakan penelitian serupa maka
dapat dilakukan dengan melihat faktor-faktor lain yang belum dinilai
dalam penelitian ini atau membuat alat ukur yang mencakup lebih banyak
alasan yang memengaruhi kepatuhan pemeriksaan mata dan dengan
jumlah sampel yang lebih besar agar lebih meminimalisir bias.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham C, Sheeran, P. 2015. The health belief model. Dalam: Conner M, Norman
P, penyunting. Predicting health behaviour: research and practice with social
cognition models. Edisi ke-2. Maidenhead: Open University Press. : 28-80.
Adejoh SO. 2014. Diabetes knowledge, health belief, and diabetes management
among the Igala, Nigeria. SAGE Open. 4(2):1-8
Alatawi YM, Kavookjian J, Ekong G, Alrayees MM. 2015. The association
between health beliefs and medication adherence among patients with type 2
diabetes. Research in Social and Administrative Pharmacy.:1–12.
Adriono G, Wang D, Octavianus C, Congdon N. 2011. Use of eye care services
among diabetic patients in urban Indonesia. Arch Ophthalmol. 129(10):930–5.
Albery IP, Munafo M. 2011. Psikologi kesehatan panduan lengkap dan
komprehensif bagi studi psikologi kesehatan. Yogyakarta: Palmall.
Amelia F dan Sartika RAD. 2015. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan diet DASHI pada penderita hipertensi usia 30-65 tahun di Puskesmas
Bojonggede kabupaten Bogor tahun 2015 [skripsi]. Jakarta : Universitas Indonesia.
ADA. 2018. Classification and diagnosis of diabetes classification. Diabetes Care.
41(Suppl. 1):S13–S27
ADA. 2018. Microvascular complications and foot care. Diabetes Care;41(Suppl.
1):S105–S118.
92
Arisandi, R. 2017. Hubungan kadar HbA1C dengan angka kejadian retinopati
diabetik pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengikuti Prolanis di puskesmas
kedaton kota bandar lampung [skripsi]. Bandar Lampung : Universitas Lampung.
Augsburger JJ, Riordan-Eva P. 2018. Vaughan & Asbury’s : general
ophthalmology. New York : Mc Graw Hill Education.
Chairunisa C, Arifin S, Rosida L. 2019. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
perilaku kepatuhan minum obat anti diabetes pada penderita diabetes melitus tipe
2. Homeostasis. 2(1):33–42.
Corwin EJ. 2009. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC.
DeFronzo RA, Eldor R, Abdul-Ghani M. 2013. Pathophysiologic approach to
therapy. Diabetes Care 2013. 36(Suppl. 2)
Edi IGMS. 2014. Faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan pasien pada
pengobatan. Medicamento. 1(1), pp. 1–8.
Ellish NJ, Royak-Schaler R, Passmore SR, Higginbotham EJ. 2007. Knowledge,
attitudes, and beliefs about dilated eye examinations among African-Americans.
Investigative Ophthalmology and Visual Science. 48(5):1989–94.
Fiske ST, Taylor SE. 2013. Social cognition: from brains to culture. SAGE
Publications Ltd
Hasbi M. 2012. Analisis faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita
diabetes melitus dalam melakukan olahraga di wilayah kerja puskesmas praya
lombok tengah [tesis]. Jakarta : Universitas Indonesia.
Hastono SP. 2006. Analisis data pada bidang kesehatan. Jakarta: Fakultas
Kesehatan Maasyarakat UI.
Hatef E, Vanderver BG, Fagan P, Albert M, Alexander M. 2015. Annual diabetic
eye examinations in a managed care medicaid population. Am J Manag Care.
21(5):e297-e302.
93
Ilyas SRY, Sidarta. 2017. Ilmu penyakit mata. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Karimy M, Araban M, Zareban I, Taher M, Abedi A. 2016. Determinants of
adherence to self-care behavior among women with type 2 diabetes: An explanation
based on health belief model. Medical Journal of the Islamic Republic of Iran.
30(1):1–8
KEMENKES. 2013. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
KEMENKES RI. 2014. Infodatin Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi Kemenkes RI. hal. 1–7
Kozier, Erb, Berman, Snyder. 2010. Buku ajar fundamental keperawatan : konsep,
proses & praktik. Jakarta: EGC.
Lee R, Wong TY, Sabanayagam C. 2015. Epidemiology of diabetic retinopathy,
diabetic macular edema and related vision loss. Eye and Vision. 2:17.
National Institutes of Health. 2012. Theory at a glance a guide For health promotion
practice (paperback). Create Space Independent Publishing Platform.
Murchison AP, Hark L, Pizzi LT, Dai Y, Mayro EL, Storey PP, et al. 2017. Non-
adherence to eye care in people with diabetes. BMJ Open Diab Res Care. 5:1-10
NIDDK. 2014. Symptoms and causes of diabetes. NIH Publication. [diakses
tanggal 30 Agustus 2019]. Tersedia dari:
https://www.niddk.nih.gov/healthinformation/diabetes/overview/symptoms-
causes
Notoatmodjo S. 2012. Metodologi penelitian kesehatan II. Jakarta: Rineka Cipta.
Orji R, Vassileva J, Mandryk R. 2012. Towards an effective health interventions
design : an extension of the health belief model. Online Journal of Public Health
Informatics. 4(3):1-31.
94
Pandelaki K. 2014. Retinopati Diabetik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing.
Park, YG dan Roh Y .2016. New diagnostic and therapeutic approaches for
preventing the progression of diabetic retinopathy. Journal of Diabetes Research.
2016: 1–9.
Paz SH, Varma R, Klein R, Wu J, Azen SP. 2006. Noncompliance with vision care
guidelines in latinos with type 2 diabetes mellitus. Ophthalmology. 113:1372–1377.
PERKENI. 2015. Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia
2015. Jakarta: PB PERKENI
Pratita ND. 2012. Hubungan dukungan pasangan dan health locus of control dengan
kepatuhan dalam menjalani proses pengobatan pada penderita diabetes melitus tipe
2. Jurnal Calyptra. 1(1).
Pratiwi LA. 2018. Hubungan pengetahuan pasien mengenai penyakit retinopati
diabetik dan informasi oleh tenaga kesehatan serta biaya kesehatan pada pasien
diabetes melitus terhadap kepatuhan pemeriksaan mata di pusekesmas kedaton
[skripsi]. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.
Jakarta: EGC.
Punthakee Z, Goldenberg R, Katz P. 2018. Definition, classification and diagnosis
of diabetes, prediabetes and metabolic syndrome. Can J Diabetes. 42:S10–S15.
Purnamasari D. 2014. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Setiati S,
Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing.
Raingruber B. 2013. Contemporary health promotion in nursing practice. Jones &
Barlett Learning.
RISKESDAS. 2008. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan departemen
kesehatan, Republik Indonesia
95
RISKESDAS. 2013. Riskesdas dalam angka provinsi lampung 2013. Bandar
Lampung: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Schoenfeld ER, Greene JM, Wu SY, Leske MC. 2001. Patterns of adherence to
diabetes vision care guidelines: Baseline findings from the diabetic retinopathy
awareness program. Ophthalmology. 108(3):563–71.
Schwartz SG, Jr. HWF, Scott IU. 2014. Intravitreal corticosteroids in the
management of diabetic macular edema. Curr Ophthalmol Rep. 1(3): 1–10
Setiyaningsih R, Tamtomo D, Suryani N. 2016. Health belief model:
determinantsof hypertension prevention behavior in adults at community health
center, Sukoharjo, Central Java. Journal of Health Promotion and Behavior.
1(3):161–71.
Sheppler CR, Lambert WE, Gardiner SK, Becker TM, Mansberger SL. 2018.
Predicting adherence with diabetic eye exams: development of the compliance with
annual diabetic eye exams survey. Ophthalmology. 121(6):1212–1219.
Smeltzer SC, Bare BG. 2010. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Afabeta
Tandra H. 2008. Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang diabetes. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan TJE. 2014. Ketoasidosis diabetik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing.
WHO. 2016. Definition and diagnosis of diabetes mellitus and intermediate
hyperglicemia. Geneva : World Health Organization