FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN … · mengakibatkan rendahnya persepsi orang tua dan anak...

112
FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN (Kasus: Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh: Fitri Gayatri A14204020 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Transcript of FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN … · mengakibatkan rendahnya persepsi orang tua dan anak...

FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN

DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN

(Kasus: Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Oleh:

Fitri Gayatri

A14204020

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

RINGKASAN

FITRI GAYATRI. FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN GENDERDALAM BIDANG PENDIDIKAN (Kasus: Kecamatan Cariu, KabupatenBogor, Jawa Barat). Di bawah Bimbingan WINATI WIGNA.

Pada era globalisasi ini, pendidikan sudah merupakan kebutuhan untuk

semua orang, tidak terlepas laki-laki atau perempuan. Pendidikan suatu bangsa

merupakan faktor penunjang pembangunan bangsa. pendidikan merupakan sektor

kunci pembangunan, terutama pembangunan sumberdaya manusia. Pendidikan

dapat dikatakan berhasil, salah satunya dengan meningkatnya aksesibilitas

berdasarkan gender, artinya perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama

dalam memperoleh pendidikan.

Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor merupakan salah satu kecamatan

yang mempunyai angka ketimpangan gender yang cukup tinggi. Hal ini dapat

dilihat dari meningkatnya perbedaan jumlah siswa laki-laki dan perempuan

berdasarkan jenis kelamin dari tngkat SMP ke tingkat SMA. Pada tingkat SMP,

perbedaan jumlah siswa laki-laki dan perempuan tidak terlalu jauh, siswa

perempuan dan laki-laki hampir berjumlah sama rata. Di tingkat SMA,

kesenjangan pendidikan mulai terasa. Dalam hampir setiap tahunnya, siswa

perempuan selalu jauh lebih sedikit daripada siswa laki-laki.

Ketimpangan gender yang terjadi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor

tersebut merupakan akibat dari kuatnya isu gender yang membudaya di

Kacamatan Cariu. Kurangnya kepekaan terhadap isu gender di Kecamatan Cariu

mengakibatkan rendahnya persepsi orang tua dan anak terhadap pendidikan

perempuan. Anggapan bahwa pendidikan lebih pantas untuk anak laki-laki

daripada untk anak perempuan. Anak perempuan tidak perluj disekolahkan karena

anak perempuan tdak disiapkan untuk menjadi pemimpin di dalam keluargaya

kelak.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang mengkibatkan

terjadinya ketimpangan dalam pendidikan perempuan, dan dampak yang

ditimbulkan dari ketimpangan tersebut terhadap kehidupan perempuan. Faktor-

faktor yang mempengaruhi ketimpangan gender dalam pendidikan adalah persepsi

orang tua dan anak terhadap pendidikan perempuan, dan pengambilan keputusan

mengenai pendidikan perempuan.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dengan

menggunakan kuesioner, serta didukung dengan metode kualitatif yang dilakukan

dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview). Responden dalam

penelitian ini terdiri dari orang tua dan anak yang dipilih secara acak. Sampel

yang dipilih dalam penelitian ini sebanyak 30 orang responden, masing-masing

orang tua dan anak. Data yang didapat dari penelitian ini diolah dengan

menggunakan uji frekuensi dan tabulasi silang untuk melihat hubungan antar

variabel.

Persepsi orang tua dan anak terhadap pendidikan perempuan dipengaruhi

oleh berbagai karakteristik yang menempel pada diri orang tua dan anak, termasuk

di dalamnya kepekaan terhadap isu-isu gender. Persepsi orang tua yang negatif

terhadap pendidikan perempuan akan menyebabkan ketimpangan gender dalam

pendidikan, begitu pula dengan persepsi anak terhadap pendidikan yang rendah

akan mengakibatkan ketimpangan gender dalam pendidikan. Pengambilan

keputusan dipengaruhi oleh persepsi orang tua terhadap pendidikan anak

perempuan dan persepsi anak terhadap pendidikan perempuan. Pengambilan

keputusan yang tidak melibatkan anak perempuan dalam pengambilan

keputusannya juga akan mengakibatkan ketimpangan gender dalam pendidikan.

Persepsi orang tua dan anak yang tinggi akan mengarah pada pengambilan

keputusan yang melibatkan anak perempuan di dalamnya.

Ketimpangan gender akan membawa pada dampak negatif terhadap

kehidupan individu perempuan, baik kahidupan individu mereka sendiri,

kehidupan perempuan dalam keluarga, dan kehidupan perempuan dalam

masyarakat. Dampak negatif yang dirasakan dalam kehidupan individu

perempuan itu sendiri akan mengarah pada ketidakmampuan perempuan untuk

hidup bertumpu pada kakinya sendiri, perempuan pada akhirnya hanya akan

menjadi orang yang selalu tergantung pada orang lain. Ketimpangan gender yang

terjadi pada diri individu perempuan dalam keluarga berupa pembentukan

keluarga perempuan, baik yang sudah terealisasikan, maupun pembentukan

keluarga yang masih berupa persepsi, bagi mereka yang belum menikah.

FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN

DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN

(Kasus: Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Oleh:

Fitri Gayatri

(A14204020)

SKRIPSI

Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Pertanian

Pada

Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh:

Nama : Fitri Gayatri

Nomor Pokok : A14204020

Judul : FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN

PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN

(Kasus: Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian pada

Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian,

Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,Dosen Pembimbing

Dra. Winati Wigna, MDSNIP. 131 284 835

Mengetahui,Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.AgrNIP. 131 124 019

Tanggal Kelulusan:

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN

DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN (KASUS: KECAMATAN CARIU,

KABUPATEN BOGOR) INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA

YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA

SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA

BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI TIDAK MENGANDUNG

BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH

PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG

DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA

BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA

MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERNYATAN INI.

Bogor, Juni 2008

Fitri Gayatri

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan Skripsi

ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pertanian pada

Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian,

Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul : FAKTOR DAN DAMPAK

KESENJANGAN GENDER DALAM BIDANG PENDIDIKAN (KASUS:

KECAMATAN CARIU, KABUPATEN BOGOR).

Kegiatan skripsi ini berupa penelitian yang menelaah aspek yang

mempengaruhi dan menajadi dampak dari ketimpangan gender dalam pendidikan

di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor. Melalui skripsi ini, memungkinkan

penulis mengenal, mempelajari, dan menganalisis permasalahan nyata di

lapangan.

Demikianlah skripsi ini disusun dengan suatu tema tulisan yang dipandang

cukup relevan untuk ditelaah lebih lanjut saat ini. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Bogor, Agustus 2008

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan Skripsi ini merupakan hasil dukungan dari berbagi pihak. Oleh

karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT atas segala limpahan kebaikan, kasih sayang, dan ridho-Nya.

2. Ibu Winati Wigna, selaku pembimbing studi pustaka atas dukungan,

arahan, dan bimbingannya.

3. Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS sebagai dosen penguji utama.

4. Ibu Ratri Virianita, S.sos, Msi sebagai dosen penguji perwakilan dari

komisi pendidikan Departemen KPM.

5. Warga Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor atas kerjasamanya untuk

menjadi responden dari penelitian ini.

6. Mama Bapa, terimakasih atas segala limpahan kasih sayang sepanjang

masa kepada penulis, .

7. Teteh, terimakasih atas segala dukungannya dalam menyelesaikan skripsi

ini.

8. Blocnoot Crew, Adisty, Vanessa, Momon, Yuddi terimakasih atas segala

bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini, also for all the silliness we ve

done that really lighten up each day of mine.

9. Icha, teman seperjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Keluarga Besar H. M. Mesrie, atas semua doa dan semangat yang

diberikan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.

11. Keluarga Jamika, terimakasih atas doa dan semua dukungannya.

12. Seluruh trainer IGTC, Ms. Susi, Mr. Ochan, Ms. Wida, terimakasih atas

semua dukungan yang telah diberikan kepada penulis, dan semua izin

untuk meninggalkan training.

13. MMQ11erz of IGTC, the merchandisers to be, Harlan, Andi, Senja,

Tantan, Billi, Aji, Eni, Manda, Bayu, Ryo, Willy, Zia.

14. Mr. Andhika Yudha Perkasa, terimakasih atas perhatian, doa,

kebersamaan, dan dukungannya kepada penulis.

15. Sahabat: Novi, Inna, Erin, thanx for the priceless friendship ever!!

16. Tendy, Gerry, PA, Ajo, Alit, Rengga, teman-teman masa kecil,

terimakasih atas segala semangat dan doa yang telah kalian berikan.

17. Rekan-rekan KPMers 41 & nci sushane, atas kebersamaannya, sukses

selalu!!

18. Semua pihak, keluarga dan teman, yang tidak dapat penulis sebutkan satu

per satu, terimakasih atas semua bantuan yang telah diberikan kepada

penulis, baik langsung maupun tidak langsung.

Semoga semua bantuan, dukungan, nasehat dan doa yang telah kalian

berikan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Amin.

DAFTAR ISI

HalKATA PENGANTAR .............................................................................................. iUCAPAN TERIMAKASIH ...................................................................................... iiDAFTAR ISI ............................................................................................................ ivDAFTAR GAMBAR................................................................................................. viiiDAFTAR TABEL ..................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 11.1. Latar Belakang ..................................................................................................... 11.2. Pertanyaan Penelitian ........................................................................................... 41.3. Tujuan ................................................................................................................. 51.4. Manfaat Penelitian ............................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 62.1.Tinjauan Teoritis ................................................................................................. 6 2.1.1. Gender ....................................................................................................... 6 2.1.1.1. Manifestasi Ketidakadilan Gender ................................................. 7 2.1.2. Persepsi ...................................................................................................... 9 2.1.3. Pendidikan ................................................................................................. 11 2.1.3.1 Pengertian Pendidikan .................................................................... 11 2.1.3.2. Peranan Keluarga dalam Pendidikan ............................................. 13 2.1.3.3. Faktor yang Menpengaruhi Persepsi Terhadap Pendidikan ............. 14 2.1.3.4. Dampak Pendidikan Terhadap Kehidupan Sosial Budaya ............... 15 2.1.4. Data Umum Pendidikan Provinsi Jawa Barat .............................................. 162.2. Kerangka Pemikiran ............................................................................................. 192.3. Hipotesis Penelitian ............................................................................................. 232.4. Definisi Operasional ........................................................................................... 23

BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................... 273.1. Penentuan Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................... 273.2. Metode Penelitian ................................................................................................ 273.3. Metode Penentuan Responden.............................................................................. 283.4. Metode Pengumpulan Data ................................................................................. 293.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. 29

BAB IV GAMBARAN UMUM ................................................................................ 304.1.Kondisi Geografis ................................................................................................. 304.2. Administrasi Kewilayahan ................................................................................... 30

4.3. Kondisi Demografi............................................................................................... 314.4 Kondisi Sosial Budaya .......................................................................................... 324.5. Kondisi Kesejahteraan Sosial ............................................................................... 32

4.5.1. Kondisi Sosial Pendidikan ......................................................................... 334.5.2. Kondisi Sosial Ekonomi ............................................................................ 34

4.6. Kondisi Sarana Prasarana Wilayah ....................................................................... 354.6.1 Kondisi Sarana Prasarana Pendidikan ......................................................... 354.6.2. Kondisi Sarana Prasarana Perekonomian ................................................... 354.6.3. Kondisi Infrastruktur Wilayah ................................................................... 35

BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN ............................................................. 365.1. Usia ..................................................................................................................... 365.2. Jenis Kelamin ...................................................................................................... 365.3. Tingkat Pendidikan Orang Tua ............................................................................. 375.4.Tingkat Pendapatan Orang Tua ............................................................................. 395.5.Wawasan Gender .................................................................................................. 40

5.5.1. Kepekaan Terhadap Isu Gender Marjinalisasi ............................................ 405.5.2. Kepekaan Terhadap Isu Gender Subordinasi .............................................. 435.5.3. Kepekaan Terhadap Isu Gender Stereotipi ................................................. 455.5.4. Kepekaan Terhadap Isu Gender Kekerasan ................................................ 475.5.5. Kepekaan Terhadap Isu Gender Beban Kerja ............................................. 49

BAB VI PERSEPSI ORANG TUA DAN ANAK TERHADAPPENDIDIKAN BAGI PEREMPUAN ........................................................ 51

6.1. Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan .................................. 516.1.1. Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan dalam

Perolehan Pekerjaan ................................................................................. 516.1.2. Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan dalam

Kehidupan Sosial ...................................................................................... 546.1.3. Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan dalam

Kehidupan Berkeluarga ............................................................................ 576.2. Persepsi Anak Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan .......................................... 61

6.2.1. Persepsi Anak Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan dalamPerolehan Pekerjaan ................................................................................... 62

6.2.2. Persepsi Anak Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan dalamKehidupan Sosial........................................................................................ 69

6.23. Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan dalamKehidupan Berkeluarga .............................................................................. 71

BAB VII. KETIMPANGAN GENDER DALAM PENDIDIKAN .......................... 73

7.1. Hubungan Antara Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan BagiPerempuan dengan Ketimpangan Gender dalam Pendidikan ................................ 74

7.2. Hubungan Antara Persepsi Anak Terhadap Pendidikan Bagi Perempuandengan Ketimpangan Gender dalam Pendidikan ................................................... 77

7.3. Hubungan Antara Pengambilan Keputusan Mengenai Pendidikan AnakPerempuan dengan Ketimpangan Gender dalam Pendidikan ................................ 797.3.1. Hubungan Antara Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan

Perempuan dengan Pengambilan Keputusan ............................................... 817.3.2. Hubungan Antara Persepsi Anak Terhadap Pendidikan Perempuan

dengan Pengambilan Keputusan ................................................................. 83

BAB VIII. DAMPAK KETIMPANGAN GENDER DALAMPENDIDIKAN TERHADAP KEHIDUPAN INDIVIDUPEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN BERKELUARGADAN BERMASYARAKAT .................................................................. 85

8.1. Dampak Ketimpangan Gender dalam Kehidupan Individu Perempuan .................. 858.2. Dampak Ketimpangan Gender dalam Kehidupan Perempuan dalam

Keluarga.. ................................................................................................. 878.3. Dampak Ketimpangan Gender dalam Kehidupan Perempuan dalam

Masyarakat... 89

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 919.1. Kesimpulan ........................................................................................................... 919.2. Saran ................................................................................................................. 92

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 94

LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

GambarHal

Gambar 1. Kerangka Pemikiran .................................................................................. 22

DAFTAR TABEL

TabelHal

Tabel 1. Tabel Perbedaan Seks dan Gender ................................................................ 8Tabel 2. Tabel Komposisi Penduduk Menurut Umur Sekolah dan Jenis

Kelamin di Jawa Barat Tahun 2005 ........................................................... 18Tabel 3. Tabel Komposisi Penduduk yang Sedang Bersekolah Menurut

Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Jawa Barat Tahun 2005 .................... 19Tabel 4. Tabel Jumlah Penduduk Putus Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan

dan Jenis Kelamin Kabupaten Bogor Tahun 2005-2006 ................................ 20Tabel 5. Tabel Definisi Operasional ............................................................................ 25Tabel 6. Tabel Administrasi Kewilayahan Kecamatan Cariu (2007) ............................ 34Tabel 7. Tabel Komposisi Penduduk Kecamatan Cariu Menurut Kelompok

Umur (2007) ................................................................................................ 35Tabel 8. Tabel Kondisi Pendidikan Penduduk Kecamatan Cariu (2007) ..................... 37Tabel 9. Tabel Usia Responden Orang Tua ................................................................ 40Tabel 10.Tabel Usia Responden Anak ........................................................................ 41Tabel 11.Tabel Jenis Kelamin Responden Orang Tua ................................................. 41Tabel 12.Tabel Jenis Kelamin Responden Anak .......................................................... 42Tabel 13.Tabel Tingkat Pendidikan Responden Orang Tua ......................................... 43Tabel 14.Tabel Tingkat Pendapatan Responden Orang Tua ......................................... 44Tabel 15.Tabel Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu

Gender Marjinalisasi ................................................................................... 45Tabel 16.Tabel Frekuensi dan Persentase Tingkat Kepekaan Responden

Anak terhadap Isu Gender Marjinalisasi ...................................................... 46Tabel 17. Tabel Frekuensi dan Persentase Tingkat Kepekaan Responden

Orang Tua terhadap Isu Gender Subordinasi .............................................. 48Tabel 18.Tabel Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender

Subordinasi ............................................................................................... 49Tabel 19.Tabel Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu

Gender Stereotipi ........................................................................................ 50Tabel 20. Tabel Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender

Stereotipi ................................................................................................... 51Tabel 21. Tabel Frekuensi dan Persentase Tingkat Kepekaan Responden

Orang Tua terhadap Isu Gender Kekerasan .................................................. 52Tabel 22. Tabel Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender

Kekerasan.................................................................................................. 53Tabel 23.Tabel Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu

Gender Beban Kerja .................................................................................... 54Tabel 24.Tabel Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender

Beban Kerja ................................................................................................ 55

Tabel 25. Tabel Persepsi Responden Orang Tua Terhadap PendidikanPerempuan ................................................................................................ 57

Tabel 26. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamPerolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan Terhadap Isu GenderSubordinasi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008) ....................... 58

Tabel 27. Tabel Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan dalamKehidupan Sosial....................................................................................... 60

Tabel 28. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Sosial Berdasarkan Tingkat Pendidikan di KecamatanCariu, Kabupaten Bogor (2008) ................................................................. 61

Tabel 29. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Sosial Berdasarkan Kepekaan Terhadap Isu GenderBeban Kerja di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008) ...................... 62

Tabel 30. Tabel Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan dalamKehidupan Berkeluarga ............................................................................. 63

Tabel 31. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamkehidupan Berkeluarga Berdasarkan Jenis Kelamin, KecamatanCariu Kabupaten Bogor(2008).......................................................................... 64

Tabel 32. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Berkeluarga Berdasarkan Tingkat Pendapatan diKecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008) ............................................... 65

Tabel 33. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Berkeluarga Berdasarkan Kepekaan Terhadap IsuGender Beban Kerja di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor(2008)........................................................................................................ 66

Tabel 34. Tabel Persepsi Responden Anak terhadap Pendidikan dalamPerolehan Pekerjaan, Kehidupan Sosial, Kehidupan Berkeluarga.............. 67

Tabel 36. Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalamPerolehan Pekerjaan Berdasarkan Usia di Kecamatan Cariu,Kabupaten Bogor (2008) ........................................................................... 69

Tabel 37. Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadapIsu Gender Marjinalisasi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor(2008)........................................................................................................ 70

Tabel 38. Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadapIsu Gender Subordinasi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor(2008)........................................................................................................ 71

Tabel 39. Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadapIsu Gender Stereotipi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor(2008)........................................................................................................ 73

Tabel 40 Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap

Isu Gender Kekerasan di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor(2008)........................................................................................................ 74

Tabel 41 Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadapIsu Gender Beban Kerja di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor(2008)........................................................................................................ 75

Tabel 42. Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Sosial Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu GenderSubordinasi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008) ....................... 76

Tabel 43.Tabel Persepsi Responden Anak terhadap Pendidikan dalam HalKehidupan Berkeluarga ............................................................................. 77

Tabel 44. Tabel Komposisi Jumlah Siswa SMAN 1 Cariu Berdasarkan JenisKelamin (2008) ......................................................................................... 80

Tabel 45. Tabel Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan BagiPerempuan ................................................................................................ 81

Tabel 46. Tabel Persepsi Responden Anak terhadap Peran Pendidikan BagiPerempuan ................................................................................................ 85

Tabel 47. Tabel Frekuensi dan Persentase Pengambilan KeputusanPendidikan Anak Perempuan ..................................................................... 87

Tabel 48. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan PerempuanBerdasarkan Pengambilan Keputusan Pendidikan AnakPerempuan ................................................................................................ 88

Tabel 49.Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan BerdasarkanPengambilan Keputusan Pendidikan Anak Perempuan .............................. 90

Tabel 50.Tabel Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadapKehidupan Individu Perempuan ................................................................. 93

Tabel 51.Tabel Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadapKehidupan Individu Perempuan dalam Keluarga ....................................... 95

Tabel 52.Tabel Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadapKehidupan Individu Perempuan dalam Masyarakat ................................... . 97

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di era otonomi daerah sekarang ini, pembangunan di tingkat

Kabupaten/Kota menjadi tanggung jawab Pemerintah daerah. Pada dasarnya

pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat ini

membutuhkan partisipasi dari seluruh komponen masyarakat. Masyarakat yang

dimaksud dalam hal ini adalah laki-laki dan perempuan. Dapat dikatakan bahwa

pembangunan daerah membutuhkan partisipasi laki-laki dan perempuan.

Partisipasi perempuan dalam pembangunan amat penting bagi terwujudnya

kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan dalam menikmati hasil

pembangunan yang selanjutnya dapat mewujudkan keluarga sejahtera dan

membina generasi muda, sehingga kualitas hidup masyarakat dapat semakin

membaik.

Sektor pendidikan merupakan sektor yang penting dalam pembangunan

karena sektor pendidikan merupakan salah satu sektor kunci untuk keberhasilan

pembangunan terutama pembangunan sumberdaya manusia. Kondisi pendidikan

yang semakin membaik merupakan kemajuan pembangunan bidang pendidikan.

Keberhasilan pendidikan juga ditandai oleh aksesibilitas pendidikan berdasarkan

gender, dengan melihat tingkat kesenjangan yang terjadi antara laki-laki dan

perempuan dalam mengakses pendidikan.

Data mengenai pendidikan yang didapat dari Pemerintah Daerah

Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa sektor pendidikan di Kabupaten Bogor

menurun drastis pada tingkat SMA. Pada tahun 2006, jumlah siswa lulusan SLTP

Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor adalah sekitar 28.808 siswa (Dinas

Pendidikan Kabupaten Bogor, 2006). Jumlah siswa kelas satu SMA Negeri dan

swasta Kabupaten Bogor pada tahun ajaran berikutnya adalah sekitar 12.796

siswa (Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2007). Lulusan SLTP yang

melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi kurang dari 50% dari

jumlah lulusan. Penurunan jumlah tersebut dapat menunjukkan bahwa pendidikan

menenangah atas di Kabupaten Bogor masih mengalami kendala dalam hal akses.

Berdasarkan data jumlah lulusan SLTP dan siswa kelas satu SMA per

Kecamatan di Kabupaten Bogor, Kecamatan Cariu merupakan Kecamatan yang

mengalami penurunan angka cukup drastis. Jumlah lulusan SLTP Negeri dan

Swasta di Kecamatan Cariu tahun ajaran 2005/2006 adalah sebanyak 916 siswa

(Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2006). Siswa yang melanjutkan ke jenjang

SMA pada tahun ajaran 2006/2007 tercatat sebanyak 515 siswa (Dinas Pendidikan

Kabupaten Bogor, 2007). Penurunan jumlah siswa hampir dua kali lipat.

Permasalahan ini akan lebih menarik ketika kita mengkaji dari perspektif gender

dengan melihat data tersebut berdasarkan jenis kelamin. Persentase lulusan SMP

negeri dan swasta laki-laki dan perempuan dibandingkan dengan persentase

jumlah siswa SMA kelas satu laki-laki dan perempuan menunjukkan adanya

perbedaan yang signifikan. Pada tahun ajaran 2005/2006, lulusan SMP Negeri dan

Swasta, serta Madrasah Tsanawiyah laki-laki adalah 54 persen, sedangkan lulusan

SMP negeri dan swasta, serta Madrasah Tsanawiyah perempuan sebanyak 45

persen. Pada tahun ajaran berikutnya, yaitu tahun ajaran 2006/2007, siswa kelas

satu SMA dan SMK laki-laki adalah 84 persen, sedangkan siswa kelas satu SMA

perempuan adalah 34 persen siswa laki-laki meningkat sebesar 30 persen,

sedangkan persentase siswa perempuan menurun sebesar 13 persen.

Salah satu hal yang diduga menjadi penyebab timbulnya perbedaan akses

pendidikan dari jenjang SMP menuju jenjang SMA adalah kuatnya ideologi

gender di masyarakat. Masyarakat seringkali menganggap bahwa konsep gender

sama dengan konsep seks. Semua yang berhubungan dengan perbedaan identitas

individu (laki-laki dan perempuan) dianggap kodrat, sesuatu yang mutlak, tidak

bisa dipertukarkan. Dengan demikian, berkembanglah berbagai isu ketidakadilan

gender. Berbagai pelabelan ditempelkan pada masing-masing identitas gender,

dilanggengkan dari waktu ke waktu, turun temurun dari generasi ke generasi.

Pelabelan tersebut tidak selalu negatif, namun dapat memunculkan dampak

negatif bagi pemilik identitas gender yang ditempeli label tersebut. Pelabelan

tersebut memang tidak selalu ditujukan kepada perempuan, pelabelan pun dapat

ditujukan kepada laki-laki, namun pada kenyataannya, pelabelan lebih banyak

merugikan perempuan. Salah satu contoh pelabelan yang ditujukan kepada

perempuan adalah bahwa perempuan sudah seharusnya hanya bekerja di rumah,

mengurusi rumah tangga, anak, dan suami. Kodrat perempuan hanya sampai pada

urusan dapur. Hal tersebut berimbas pada sektor pendidikan. Orang tua tidak

menyekolahkan anak perempuannya karena berpendapat bahwa menyekolahkan

anak perempuan tinggi-tinggi tidak menghasilkan apa-apa, toh pada akhirnya anak

perempuan hanya akan mengurusi dapur.

Dugaan kuatnya ideologi gender di masyarakat tersebut dikaitkan dengan

data peningkatan persentase siswa laki-laki dan penurunan persentase siswa

perempuan yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA di Kecamatan Cariu,

Kabupaten Bogor sangat bertentangan dengan pasal 30 UUD 1945 yang

menyatakan adanya kesamaan hak warga negara dalam mengenyam pendidikan.

Peminggiran perempuan di sektor pendidikan menjadi suatu hal yang penting dan

menarik untuk dikaji karena peminggiran perempuan di sektor pendidikan

mungkin saja tidak hanya berhenti sampai di permasalahan perempuan lebih

rendah secara intelektual dibanding laki-laki, tetapi bisa merambat ke berbagai

permasalahan lain. Hal ini disebabkan oleh pendidikan yang tidak hanya

bermanfaat bagi individu untuk berjuang di segi ideologis dan politis, tetapi

pendidikan juga bermanfaat bagi individu untuk berjuang melawan kemiskinan,

kebodohan, dan ketidakberdayaan. Peminggiran perempuan di sektor pendidikan

dapat menyebabkan permasalahan krusial lain yang berkelanjutan. Oleh karena

itu, akses perempuan dalam memperoleh pendidikan menjadi isu yang perlu

diperjuangkan.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Data pendidikan di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor menunjukkan

adanya ketimpangan jumlah siswa laki-laki dan perempuan dalam melanjutkan

pendidikan dari jenjang SMP menuju jenjang SMA. Hal inilah yang

mengantarkan penelitian ini kepada pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

1. Sejauh mana ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di Kecamatan

Cariu?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan ketimpangan gender

dalam bidang pendidikan di Kecamatan Cariu?

3. Apa dampak dari ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di

Kecamatan Cariu terhadap kehidupan sosiokultural masyarakat Kecamatan

Cariu?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas,

yaitu:

1. Mengetahui sejauh mana ketimpangan gender dalam bidang pendidikan

yang terjadi di Kecamatan Cariu.

2. Mengetahui faktor-faktor yang berhubuangan dengan ketimpangan gender

dalam bidang pendidikan di Kecamatan Cariu.

3. Mengetahui dampak dari ketimpangan gender dalam bidang pendidikan

tehadap kehidupan sosiokultural masyarakat Kecamatan Cariu.

1.4. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan dapat

menjadi pelengkap literatur bagi kalangan akademik yang membahas mengenai

ketimpangan gender dalam pendidikan, khususnya pendidikan perempuan di

daerah pedesaan. Selanjutnya, diharapkan penelitian ini juga bermanfaat untuk

kalangan nonakademik, yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam untuk

memperbaiki ketimpangan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan di

masa yang akan datang.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Gender

Untuk mengetahui konsep gender, Fakih (1996) menekankan pentingnya

memahami perbedaan antara konsep gender dan seks. Seks merupakan pensifatan

atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang

melekat pada jenis kelamin tertentu, dan hal itu tidak dapat dirubah karena

merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat. Gender diterjemahkan sebagai suatu

sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan

secara sosial maupun kultural, dengan kata lain, hal-hal yang dapat dipertukarkan

antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta

berbeda dari tempat ke tempat lainnya, disebut dengan konsep gender.

Hal serupa dikemukakan Widyatama (2006), dalam membahas bias

gender, terlebih dahulu memperkenalkan konsep gender yang dipandangnya

sebagai sesuatu yang berbeda dengan seks (jenis kelamin). Pengertian seks

sebagai jenis kelamin adalah pembedaan yang didasarkan pada fisik manusia dan

diterima oleh manusia secara taken for granted. Konsep gender adalah pembedaan

yang dibangun melalui konstruksi sosial maupun kultural manusia. Hal inilah

yang kemudian memunculkan stereotipi gender, bahwa laki-laki harus maskulin

dan perempuan harus feminin. Widyatama (2006) menekankan bahwa dalam

pespektif gender, maskulinitas maupun femininitas merupakan suatu pilihan, tidak

bersifat wajib.

Handayani dan Sugiarti (2006) memperlihatkan perbedaan seks dan

gender melalui lirik sebuah lagu yang populer di Indonesia yang berbunyi:

Diciptakan alam pria dan wanita, dua makhuk asuhandewata, wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasansangkar madu, namun adakala pria tak berdaya, tekuk lutut disudut kerling wanita

Kalimat pertama lagu tersebut menunjukkan pengertian seks, sedangkan

kalimat selanjutnya menunjukkan pengertian gender. Untuk memperjelas konsep

seks dan gender dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Perbedaan Seks dan GenderNo. Karakteristik Seks Gender

1. SumberPembeda Tuhan Manusia (masyarakat)

2. Visi, Misi Kesetaraan Kebiasaan

3. UnsurPembeda Biologis (alat reproduksi) Kebudayaan (tingkah laku)

4. Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapatdipertukarkan

Harkat, martabat, dapatdipertukarkan

5. Dampak

Terciptanya nilai-nilai:kesempurnaan, keniKmatan,kedamaian, dll. Sehinggamenguntungkan kedua belahpihak.

Terciptanya norma-norma/ketentuan tentangpantas atau tidak pantas

laki-laki dan perempuanmelakukan sesuatu, seringmerugikan salah satu pihak.

6. KeberlakuanSepanjang masa ,dimana saja,tidak mengenal pembedaankelas.

Dapat berubah, musiman,dan berbeda antara kelas.

Sumber: Unger (1979) dalam Handayani dan Sugiarti (2006)

2.1.1.1. Manifestasi Ketidakadilan Gender

Perbedaan gender sesungguhnya bukanlah suatu masalah, yang menjadi

masalah adalah bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan,

baik bagi kaum laki-laki maupun terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan

gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni (Fakih,

1996):

1. Gender dan Marginalisasi

Proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya

banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki

dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran,

bencana alam, dilihat dari sisi lain pun marginalisasi dapat diakibatkan oleh

kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, dan bahkan asumsi ilmu

pengetahuan.

2. Gender dan Subordinasi

Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga

perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang

menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Semua keputusan

haruslah diambil oleh pihak laki-laki.

3. Gender dan Strereotipi

Secara umum, stereotipi adalah pelabelan negatif atau penandaan terhadap

suatu kelompok tertentu. Salah satu jenis stereotipi adalah yang bersumber dari

pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu,

umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipi) yang

dilekatkan pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, penandaan yang berawal dari

asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian

lawan jenisnya, maka setiap ada kasus pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan

stereotipi ini.

4. Gender dan Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invansi (assault) terhadap fisik

maupun intergritas mental psikologis seseorang. Salah satu jenis kekerasan adalah

kekerasan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh

anggapan gender. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh

ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.

5. Gender dan Beban Kerja

Anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin,

serta kaum perempuan tidak cocok untuk dijadikan kepala rumah tangga,

berakibat bahwa semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum

perempuan. Di kalangan keluarga miskin, beban yang sangat berat harus

ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut

harus bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda. Pada kalangan menengah ke

atas, beban kerja ini kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga.

2.1.2. Persepsi

DeVito (1997) mendefinisikan persepsi sebagai berikut:

Perception is the process you became aware of objects, events,and especially people through your sense: sight, smell, touch, andhearing. Perception is an active, not a passive process. Yourperception result from what exist in the outside world and fromyour own experiences, desires, needs, loves, and hatreds .

Jalaludin Rakhmat (2004) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman

tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan

menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi sifatnnya memang

sangat subjektif, yaitu tergantung pada subjek yang melaksanakan persepsi itu

sendiri (Sarwono, 1999).

Dua hal yang ingin diketahui dalam persepsi sosial, yaitu keadaan dan

perasaan orang lain saat ini, di tempat ini melalui komunikasi non-lisan (kontak

mata, busana, gerakan tubuh, dan sebagainnya) atau lisan dan kondisi yang lebih

permanen yang ada di balik segalanya yang tampak saat ini (niat, sifat, motivasi,

dan sebagainya) yang diperkirakan menjadi penyebab dari kondisi saat ini

(Sarwono, 1999).

Ada faktor dari luar dan dari dalam yang mempengaruhi persepsi

dintaranya sebagai berikut1 : ( Wilson, 2000 dalam Kamarullah, 2005)

1. Faktor Eksternal atau dari luar :

- Concreteness, yaitu wujud atau gagasan yang abstrak yang sulit di

persepsikan dibandingkan dengan yang objektif .

- Novelty atau hal yang baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan

dibandingkan dengan hal-hal yang lama.

- Velocity atau percepatan misalnya gerak yang cepat untuk menstimulasi

munculnya persepsi lebih efektif dibandingkan dengan gerakan yang

lambat.

- Conditioned stimuli, stimulus yang dikondisikan.

2. Faktor Internal

- Motivation . misalnya merasa lelah menstimulasi untuk berespon terhadap

istirahat

1 http://tinjauan.blogdrive.com/ diakses pada tanggal 25 April 2008.

- Interest, hal-hal yang menarik lebih di perhatikan daripada yang tidak

menarik.

- Need, kebutuhan akan hal tertentu akan menjadi pusat perhatian.

- Assumptions, juga mempengaruhi persepsi sesuai dengan pengalaman

melihat, merasakan dan lain-lain.

2.1.3. Pendidikan

2.1.3.1. Pengertian Pendidikan

Pendidikan dalam artian sederhana adalah usaha manusia untuk membina

kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan

(Hasbullah, 1997). Seiring dengan perkembangan jaman, pendidikan pun turut

mengalami perkembangan, namun tentunya dengan beberapa pengertian dasar

yang masih melekat. Pendidikan perlu dipahami sebagai berikut (Hasbullah,

1997):

1. Pendidikan merupakan suatu proses terhadap anak didik berlangsung terus

sampai anak didik mencapai pribadi dewasa susila. Proses ini berlangsung

dalam jangka waktu tertentu. Bila anak didik sudah mencapai pribadi

dewasa susila, maka ia sepenuhnya mampu bertindak sendiri bagi

kesejahteraan hidupnya dan masyarakatnya.

2. Pendidikan merupakan perbuatan manusiawi. Pendidikan lahir dari

pergaulan antar orang dewasa dan orang yang belum dewasa dalam suatu

kesatuan hidup. Tindakan mendidik yang dilakukan oleh orang dewasa

dengan sadar dan disengaja didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan.

Tindakan tersebut menyebabkan orang yang belum dewasa menjadi

dewasa dengan memiliki nilai-nilai kemanusiaan, dan hidup menurut nilai-

nilai tersebut. Kedewasaan diri merupakan tujuan pendidikan yang hendak

dicapai melalui perbuatan atau tindakan pendidikan.

3. Pendidikan merupakan hubungan antar pribadi pendidik dan anak didik.

Dalam pergaulan terjadi kontak atau komunikasi antara masing-masing

pribadi. Hubungan ini jika meningkat ke taraf hubungan pendidikan, maka

menjadi hubungan antara pribadi pendidik dan si anak didik, yang pada

akhirnya melahirkan tanggung jawab pendidikan dan kewibawaan

pendidikan. Pendidik bertindak demi kepentingan dan keselamatan anak

didik, dan anak didik mengakui kewibawaan pendidik dan bergantung

padanya.

4. Tindakan atau perbuatan mendidik dan menuntun anak didik mencapai

tujuan-tujuan tertentu, dan dalam hal ini tampak pada perubahan-

perubahan dalam diri anak didik. Perubahan sebagai hasil pendidikan

merupakan gejala kedewasaan yang secara terus-menerus mengalami

penigkatan sampai penentuan diri atas tanggung jawab sendiri oleh anak

didik atau terbentuknya pribadi dewasa susila.

Sekolah merupakan salah satu lembaga penyelenggara pendidikan.

Sekolah adalah salah satu organisasi yang tumbuh dan berkembang di tengah-

tengah masyarakat (Syafaruddin dan Anzizhan, 2004). Sekolah merupakan suatu

sistem yang terdiri dari beberapa elemen. Pada dasarnya pendidikan di sekolah

merupakan bagian dari pendidikan di dalam keluarga, yang sekaligus juga

merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Berikut ini merupakan

beberapa karakteristik proses pendidikan yang berlangsung di sekolah

(Hasbullah,1997):

1. Pendidikan diselenggarakan secara khusus dan dibagi atas jenjang yang

memiliki hubungan hierarkhis.

2. Usia anak didik di suatu jenjang pendidikan relatif homogen.

3. Waktu pendidikan relatif lama sesuai dengan program pendidikan yang

harus dilaksanakan.

4. Materi atau isi pendidikan lebih banyak sersifat akademis dan umum.

5. Adanya penekanan tentang kualitas pendidikan sebagai jawaban terhadap

kebutuhan di masa yang akan datang.

2.1.3.2. Peranan Keluarga dalam Pendidikan

Keluarga atau rumah tangga merupakan kesatuan unit sosial terkecil yang

membentuk masyarakat. Menurut Depdikbud (2005) sebagaimana dikutip Fathoni

(2008), bagi setiap orang, keluarga (suami, istri, dan anak-anak) mempunyai arti

penting dalam proses sosialisasi untuk dapat memahami, menghayati budaya yang

berlaku di masyarakat.

Menurut Hasbullah (2006), sumbangan keluarga bagi pendidikan anak

adalah sebagai berikut:

1. Cara orang tua melatih anak untuk menguasai cara-cara mengurus diri, seperti

cara makan, buang air, berbicara, berjalan, berdoa, sungguh-sungguh

membekas dalam diri anak karena berkaitan erat dengan perkembangan

dirinya sebagai pribadi.

2. Sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sikap menerima

atau menolak, sikap kasih sayang atau acuh tak acuh sikap sabar atau tergesa-

gesa, sikap melindungi atau membiarkan secara langsung mempengaruhi

reaksi emosional anak.

Pendidikan anak di sekolah merupakan tanggung jawab bersama antara

orang tua, sekolah, dan pemerintah. Keluarga merupakan penentu pendidikan

sekolah seorang anak, karena kelurgalah yang mampu menjadi pendorong

maupun penghambat seorang anak untuk sekolah atau tidak. Pendidikan

merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang memerlukan pengambilan

keputusan. Manusia harus memutuskan, apa yang menjadi dasar dan tujuan

pendidikan, serta harus bagaimana agar tujuan tersebut tercapai. Oleh karena itu,

manusia harus mengenali persoalan-persoalan substansi kehidupan manusia dan

kebutuhannya terhadap pendidikan serta mampu menentukan alternatif

pencapaian tujuan (Syafaruddin dan Anzizhan, 2004).

2.1.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi terhadap Pendidikan

Pendidikan mempengaruhi dua faktor, yaitu faktor intenal dan eksternal.

Fathoni (2008) menyebutkan bahwa faktor internal terdiri dari umur, jenis

kelamin, tingkat pendidikan kepala keluarga, jumlah tanggungan, pendapatan

keluarga, persepsi terhadap pendidikan, dan status sosial ekonomi dalam

masyarakat. Faktor eksternal terdiri dari kebijakan pemerintah, sarana pendidikan,

jarak sarana pendidikan, dan biaya pendidikan.

2.1.3.4. Dampak Pendidikan terhadap Kehidupan Sosial Budaya

Pembangunan pendidikan memiliki tiga pokok perkembangan kepribadian

manusia, yaitu perkembangan kognitif, konatif, dan afektif (Dinas Pendidikan DI

Yogyakarta, 1996). Perkembangan konatif, sering juga disebut sebagai intelektual

meliputi perkembangan pengetahuan dan pemahaman. Perkembangan konatif

meliputi penghayatan berbagai kebutuhan, sedangkan perkembangan afektif

menyangkut perekembangan alam peran. Ketiga perkembangan kepribadian

manusia tersebut kemudian akan berdampak pada kehidupan sosial budaya

individu dan lingkungan terdekatnya.

Kehidupan sosial budaya masyarakat meliputi kehidupan kekerabatan,

pencapaian lapangan pekerjaan, interaksi sosial, dan pranata sosial.

1. Dampak terhadap Kekerabatan.

Kekerabatan diduga dipengaruhi oleh usia menikah. Usia menikah akan

berpengaruh pada pola menetap setelah menikah. Diasumsikan bahwa

semakin tinggi pendidikan seseorang, cenderung usia menikah terlambat

dan akan membentuk keluarga batih. Satu hal yang menarik yang biasa

terjadi di pedesaan adalah anggapan bahwa menikahkan anak pada usia

dini adalah salah satu usaha untuk menghindari gunjingan anaknya tidak

laku kawin para tetangga.

2. Dampak terhadap Pekerjaan

Pendidikan dapat berdampak pada berbagai aspek di bidang

ketenagakerjaan. Pendidikan yang rendah memungkinkan keterbatasan

kesempatan lapangan pekerjaan, variasi pekerjaan, dan peluang memasuki

lapangan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin (Dinas Pendidikan DI

Yogyakarta, 1996).

3. Dampak terhadap Interaksi Sosial

Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk hidup dengan orang lain,

atau berhubungan dengan orang lain. Ada hasrat utama manusia untuk

membentuk keserasian dengan orang lain, yaitu keinginan atau interes

untuk menjadi satu dengan orang lain yang berada di sekitarnya atau

masyarakat, dan keinginan untuk menyatu dengan suasana sekelilingnya.

4. Dampak terhadap Pranata Sosial

Pranata sosial dalam hal ini dapat dilihat dari keterlibatan seseorang atau

keluarga dalam kesibukan sosial di lingkungannya dan partisipasinya

dalam kegiatan kepercayaan sosial.

2.1.4. Data Umum Pendidikan Propinsi Jawa Barat

Berdasarkan komposisi penduduk Jawa Barat pada tahun 2005, yang telah

dikelompokkan menurut umur, diketahui bahwa proporsi penduduk laki-laki dan

perempuan pada semua kelompok umur (4-5 tahun, 5-6, 6-7 tahun, 7-12 tahun,

13-15 tahun, dan 16-18 tahun) dapat dikatakan relatif seimbang dengan disparitas

gender yang relatif kecil. Tidak ada perbedaan mencolok dalam hal jumlah

penduduk laki-laki dan perempuan pada semua kelompok umur di Propinsi Jawa

Barat. Dapat diasumsikan bahwa seharusnya tidak ada perbedaan jumlah siswa

yang mencolok antara siswa laki-laki dan perempuan di semua tingkat sekolah,

baik Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Umum, maupun Sekolah Menengah Atas.

Hal ini bertentangan dengan kenyataan mengenai jumlah siswa laki-laki dan

perempuan yang terdaftar di dua Sekolah Mengengah Atas yang terdapat di

Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor. Berikut adalah tabel komposisi penduduk

Kecamatan Cariu per kelompok umur, berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur Sekolah dan Jenis Kelamin Di JawaBarat (2005)

No.

Kelompok

Umur

(Tahun)

Laki-laki Perempuan

TotalDisparitas

(P-L)Jumlah % Jumlah %

1. 4-5 - - - - 1.542.842 -

2. 5-6 816.457 52,21 747.464 47,79 1.563.921 -4,42

3. 6-7 - - - - 2.377.471 -

4. 7-12 2.231.379 48,60 2.360.108 51,40 4.591.487 2,80

5. 13-15 1.045.173 48,53 1.108.712 51,47 2.153.885 2,94

6. 16-18 1.170.729 50,38 1.153.079 49,62 2.323.808 -0,76

Sumber: Profil Pendidikan Tahun 2005, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat

Berdasarkan komposisi penduduk yang sedang bersekolah di Jawa Barat,

diketahui bahwa proporsi laki-laki semakin lama semakin tinggi dibandingkan

dengan proporsi penduduk perempuan pada selang umur yang semakin tua. Hal

ini terbukti dari disparitas gender yang bertanda negatif pada kelompok umur

tinggi. Data penduduk berumur 4-5 tahun dan 6-7 tahun tidak diketahui

berdasarkan proporsi jenis kelamin.

Tabel 3. Komposisi Penduduk yang Sedang Bersekolah Menurut Kelompok Umurdan Jenis Kelamin di Jawa Barat (2005)

No. Kelompok

Umur

(Tahun)

Laki-laki Perempuan Total Disparitas

(P-L)Jumlah % Jumlah %

1. 7-12 2.556.795 50,81 2.475.086 49,19 5.031.881 -1,62

2. 13-15 926.911 51,85 860.194 48,15 1.787.705 -3,7

3. 16-18 558.215 56,80 424.422 43,19 982.637 -13,61

Sumber: SUSEDA Jawa Barat Tahun 2005, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat.

Hal serupa juga tergambar pada data tingkat Kabupaten. Data Kabupaten

Bogor menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan usia sekolah yang masih

bersekolah semakin menurun seiring dengan meningkatnya kelompok umur

apabila dibandingkan dengan penduduk laki-laki usia sekolah yang masih

bersekolah (Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2005). Kesenjangan pendidikan

antara perempuan dan laki-laki usia sekolah semakin jelas terlihat dari data

penduduk yang putus sekolah.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Putus Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan dan JenisKelamin Kabupaten Bogor (2005-2006)

Tingkat

Pendidikan

Jenis Kelamin

Laki-laki % Perempuan %

SD+MI 120 33,33 240 66,67

SMP+MTs 60 33,33 120 66,67

SMA+MA 90 33,33 180 66,67

Jumlah 270 33,33 540 66,67

Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor 2005

Perbandingan antara penduduk perempuan dan laki-laki yang putus

sekolah di semua jenjang pendidikan menunjukkan presentase yang sama yaitu

33,33 persen laki-laki dan 66,67 persen perempuan. Hal ini berarti penduduk

perempuan yang putus sekolah di semua jenjang pendidikan jumlahnya mencapai

dua kali lipat dibandingkan laki-laki.

2.2. Kerangka Pemikiran

Di era globalisasi ini, pendidikan sudah seyogyanya menjadi suatu

kebutuhan bagi setiap individu di masyarakat, baik di kota maupun di desa.

Namun hal tersebut tidak terjadi di masyarakat pedesaan, masyarakat pedesaan

dengan segala keterbatasannya menjadi tidak terlalu hirau dengan masalah

pendidikan. Hal ini diperlihatkan oleh besarnya angka siswa lulusan SMP yang

tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Kebanyakan orang tua di

pedesaan tidak menyarankan anaknya untuk melanjutan sekolah karena berbagai

alasan.

Fakta yang menarik lagi adalah bahwa jumlah siswa perempuan yang tidak

melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA jauh lebih banyak daripada jumlah siswa

laki-laki yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Hal ini dapat kita

lihat dari segi gender. Pada umumnya masyarakat pedesaan beranggapan bahwa

gender sama dengan kodrat. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa

perempuan sudah seharusnya berkedudukan di bawah laki-laki dalam semua hal,

termasuk dalam hal mengenyam pendidikan. Perempuan tidak perlu mendapatkan

kesempatan bersekolah sama dengan laki-laki karena kedudukan perempuan yang

memang menurut mereka lebih rendah dari laki-laki.

Persepsi mengenai pendidikan bagi anak perempuan tersebut diduga

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor internal dan faktor eksternal,

baik pada diri orang tua maupun anak. Faktor internal adalah pengalaman

psikologis pribadi seseorang yang sudah tertanam di dalam dirinya. Faktor

internal orang tua terdiri dari jenis kelamin orang tua, usia orang tua, tingkat

pendidikan orang tua, tingkat penghasilan orang tua, dan kepekaan orang tua

terhadap isu-isu gender. Faktor internal anak terdiri dari usia anak, jenis kelamin

anak dan kepekaan anak terhadap isu-isu gender. Faktor eksternal yang dimaksud

adalah karakteristik pribadi yang melekat pada diri seseorang, di luar pengalaman

psikologis pribadi. Dalam hal ini, faktor eksternal adalah kebijakan pemerintah

mengenai pendidikan, aksesibilitas terhadap sarana pendidikan, dan peran

lembaga lokal setempat dalam hal pendidikan perempuan.

Persepsi keluarga terhadap pendidikan bagi anak perempuan akan

mempengaruhi keputusan keluarga dalam memberikan pendidikan bagi anak

perempuannya. Persepsi keluarga tidak hanya dilihat dari sisi orang tuanya saja,

tetapi juga dilihat dari sisi anak perempuan dalam keluarga tersebut. Pengambilan

keputusan untuk pendidikan anak perempuan dapat dilakukan dengan melibatkan

anak ataupun dengan cara diputuskan sepihak saja tanpa melibatkan anak.

Keputusan untuk memberikan pendidikan bagi anak perempuan akan menjadi

penting karena hal tersebut yang diduga akan mempengaruhi terjadinya

ketimpangan pendidikan perempuan di Kecamatan Cariu.

Ketimpangan pendidikan perempuan di Kecamatan Cariu dilihat dari

perbedaan jumlah siswa laki-laki dan perempuan yang tercatat di kedua Sekolah

Mengenah Atas yang terdapat di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor yang

diperhatikan sejak kedua Sekolah Menengah Atas tersebut didirikan.

Ketimpangan yang terjadi diduga berhubungan dengan persepsi orang tua

terhadap pendidikan anak perempuan, persepsi anak terhadap pendidikan

perempuan, dan pengambilan keputusan mengenai pendidikan perempuan.

Ketimpangan pendidikan perempuan di Kecamatan Cariu, Kabupaten

Bogor diduga menimbulkan beberapa dampak dalam kehidupan perempuan yang

tidak menempuh pendidikan lanjut. Dampak dari ketimpangan pendidikan

perempuan dalam kehidupan tersebut dilihat dari beberapa segi kehidupan

perempuan, dalam hal ini terbagi menjadi dampak dalam kehidupan perempuan

secara individu, dampak dalam kehidupan perempuan dalam kehidupan

berkeluarga, dan dampak dalam kehidupan perempuan dalam masyarakat.

Dampak bagi kehidupan individu perempuan dilihat dari keberdayaan perempuan

dalam menjalani kehidupannya, termasuk ke dalamnya mengenai kemampuan

perempuan dalam menopang hidupnya sendiri secara finansial dan pengambilan

keputusan minimal untuk hidupnya sendiri. Dampak bagi kehidupan perempuan

dalam berkeluarga dilihat dari kehidupan berkeluarga perempuan, baik aktual

maupun keinginan untuk membentuk keluarga di masa depan. Kehidupan

berkeluarga juga dilihat dari bagaimana perempuan menjalani kehidupan rumah

tangga dengan pasangan dan juga kelanjutan kualitas keturunan mereka kelak.

Dampak yang terakhir adalah dampak bagi kehidupan perempuan dalam hal

bermasyarakat. Hal ini dilihat dari bagaimana perempuan dapat diterima di

lingkungannya dengan tingkat pendidikan yang hanya seadanya. Kehidupan

bermasyarakat diukur dengan sejauh mana perempuan dikenal dan mengenal

lingkungan tempat tinggalnya, dan penerimaan masyarakat terhadap perempuan

tersebut dalam berorganisasi.

Dari paparan di atas, maka didapat kerangka pemikiran sebagai berikut:

2.3. Hipotesis Penelitian

Dengan menggunakan kerangkan pemikiran di atas, serta masalah-masalah

yang telah dikemukakan, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Terjadi ketimpangan yang tinggi pendidikan perempuan di Kecamatan

Cariu, Kabupaten Bogor.

2. Terdapat faktor-faktor internal dan eksternal orang tua dan anak yang

berhubungan dengan ketimpangan gender di bidang pendidikan.

3. Ketimpangan gender di bidang pendidikan berdampak terhadap kehidupan

perempuan sebagai individu, perempuan dalam keluarga, dan perempuan

dalam masyarakat.

2.4. Definisi Operasional

Berikut ini akan diuraikan definisi operasional dan variabel-variabel yang

terlibat dalam penelitian guna memperoleh batasan yang jelas sehingga

didapatkan pengukurannya, sebagai berikut:

Tabel 5. Definisi OperasionalVariabel Definisi Operasional Indikator

X.1. Karakteristik Orang TuaX.1.1. Usia Orang Tua Lama hidup responden sampai

tahun pengisian kuesioner.Jumlah tahun sejak kelahiranorang tua sampai dengantahun 2008 saat pengisiankuesioner.

X.1.2. Jenis Kelamin Identitas biologis responden Identitas biologis respondenterdiri dari kategori:a. Perempuan: 1b. Laki-laki: 2

X.1.3. Tingkat Pendidikan Pendidikan formal yangpernah diikuti responden

Jenjang pendidikan formalyang diikuti responden.Terdiri dari kategori:a. Rendah: SMPb. Tinggi : SMA

X.1.4. Kepekaan Orang TuaTerhadap Isu Gender

Penilaian responden terhadapisu-isu ketidakadilan gender

Penilaian responden terhdapaisu-isu ketidakadilan genderdilihat dari penilaianresponden terhadap:

1. Marjinalisasi:

peminggiranperempuan di sektorekonomi.

2. Subordinasi:Penomorduaanperempuan.

3. Stereotipi: Pelabelannegatif terhadapperempuan.

4. Kekerasan:Serangan baikberupa seranganfisik maupun psikis.

5. Beban kerja:pembebanan peranpublik dan domestikkepada perempuan.

Terdiri dari kategori:a. Rendah: 20b. Tinggi : > 20

X.1.5. Tingkat PendapatanOrang Tua

Besar nominal uang yangditerima responden per bulan

Nominal uang yang diterimaresponden terdiri dari:a. Rendah: Rp. 500.000,-b. Tinggi : > Rp. 500.000,-

X.2. Karakteristik AnakX.2.1. Usia Anak Lama hidup responden sampai

tahun pengisian kuesioner.Jumlah tahun sejak kelahiranorang tua sampai dengantahun 2008 saat pengisiankuesioner.

X.2.2. Jenis Kelamin Anak Identitas biologis responden Identitas biologis respondenterdiri dari kategori:a. Laki-laki: 2b. Perempuan: 1

X.2.3. Kepekaan AnakTerhadap Isu Gender

Penilaian responden terhadapisu-isu ketidakadilan gender

Penilaian responden terhdapaisu-isu ketidakadilan genderdilihat dari penilaianresponden terhadap:

1. Marjinalisasi:peminggiranperempuan di sektorekonomi.

2. Subordinasi:Penomorduaanperempuan.

3. Stereotipi: Pelabelannegatif terhadapperempuan.

4. Kekerasan:Serangan baikberupa seranganfisik maupun psikis.

5. Beban kerja:pembebanan peranpublik dan domestikkepada perempuan.

Terdiri dari kategori:a. Rendah: 20b. Tinggi : > 20

Y.1. Persepsi Terhadap PendidikanY.1.1. Persepsi Orang Tua

Terhadap PendidikanAnak

Penilaian responden orang tuaterhadap penting tidaknyapendidikan bagi masa depananak

Penilaian orang tua terhadappenting tidaknya pendidikanbagi pendidikan untuk masadepan anak dilihat darikegunaan pendidikan dalamhal:

1. Pekerjaan:kemudahanmendapatkanpekerjaan.

2. Kehidupan sosial:penerimaanlingkungan sosialterhadap anak.

3. Kehidupanberkeluarga:keberlangsunganhidup rumah tanggasetelah anakmenikah.

Terdiri dari kategori:a. Kurang baik: 15b. Baik : >15

Y.1.2. Persepsi AnakTerhadap Pendidikan

Penilaian responden anakterhadap penting tidaknyapendidikan bagi masa depan

Penilaian orang tua terhadappenting tidaknya pendidikanbagi pendidikan untuk masadepan anak dilihat darikegunaan pendidikan dalamhal:

1. Pekerjaan:kemudahanmendapatkanpekerjaan.

2. Kehidupan sosial:penerimaanlingkungan sosialterhadap anak.

Kehidupan berkeluarga:keberlangsungan hiduprumah tangga setelah anakmenikah.Terdiri dari kategori:a. Kurang baik: 15b. Baik : >15

Y.1.3. PengambilanKeputusan PemberianPendidikan Anak

Kekuatan pengambilankeputusan

Kekuatan Pengambilankeputusan dilihat dariindividu pengambilkeputusan.Terdiri dari kategori:a. Ayah/Ibu/Anak : 1b. Ayah dan Ibu : 2

Y.2. KetimpanganPendidikan Perempuan

Ketidakseimbanganpendidikan antara laki-laki danperempuan di KecamatanCariu, Kabupaten Bogor,khususnya pada SekolahMenengah Atas.

Ketimpangan pendidikanperempuan dilihat dariperbedaan jumlah siswa laki-laki dan perempuan padaSekolah Menengah Atasyang terdapat di Kecamatan

Cariu, Kabupaten Bogorsejak Sekolah-sekolahMenengah tersebut didirikansampai dengan tahun 2008,saat penelitian dilakukan.

Y.3. Dampak Ketimpangan Pendidikan Perempuan terhadap Kehidupan PerempuanY.3.1. Dampak Ketimpangan

Pendidikan Perempuanterhadap KehidupanIndividu Perempuan

Dampak ketimpanganpendidikan perempuanterhadap kehidupanperempuan sebagai seorangindividu.

Dampak ketimpanganpendidikan perempuanterhadap kehidupanperempuan sebagai individudilihat dari keberdayaanperempuan dalam menjalanikehidupannya sebagaiindividu, termasuk didalamnya kemampuanperempuan untuk mengambilkeputusan untuk dirinyasendiri, dan kemampuannyamemenuhi kebutuhanhidupanya secara finansial.

Terdiri dari kategori:a.Tinggi : 12b. Rendah : >12

Y.3.2. Dampak KetimpanganPendidikan Perempuanterhadap KehidupanPerempuan dalamBerkeluarga

Dampak ketimpanganpendidikan perempuanterhadap kehidupanperempuan dalam berkeluarga.

Dampak ketimpanganpendidikan perempuan dalamkehidupan berkeluargadilihat dari kemampuanperempuan menjalanikehidupan berkeluarga danpembentukan keluarga masadepan, termasuk di dalamnyarelasi dengan pasangan hidupdalam keluarga danpeningkatan kualitasketurunannya.

Terdiri dari kategori:a.Tinggi : 12b. Rendah : >12

Y.3.3. Dampak KetimpanganPendidikan Perempuanterhadap KehidupanPerempuan dalamBermasyarakat

Dampak ketimpanganpendidikan perempuanterhadap kehidupanperempuan dalambermasyarakat, berrelasidengan lingkungan danketerlibatan dalam organisasikemasyarakatan

Dampak ketimpanganperempuan dalam kehidupanperempuan dalambermasyarakat dilihat darikemampuan perempuandalam menempatkan diri dimasyarakat, berhubungandengan lingkungan,penerimaan lingkunganterhadap perempuan, danketerlibatan perempuandalam organisasikemasyarakatan.

Terdiri dari kategori:a.Tinggi : 12b. Rendah : >12

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Penentuan Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor. Pemilihan

lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan Kecamatan Cariu

tercatat sebagai Kecamatan dengan catatan pendidikan terburuk diantara 40

kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor. Kecamatan Cariu dianggap dapat

mewakili sebagai kecamatan dengan angka putus sekolah yang relatif tinggi,

terutama angka putus sekolah dari jenjang SMP ke SMA.

Penelitian dilaksanakan pada Bulan Mei sampai dengan Bulan Juli 2008.

Pada Bulan Mei 2008 dilakukan pengambilan data melalui penyebaran kuesioner

kepada responden penelitian dan melakukan wawancara mendalam dengan

beberapa responden. Pada Bulan Juni dan Juli 2008, dilakukan input data,

pengolahan data, interpretasi, serta penyusunan hasil penelitian.

3.2. Metode Penentuan Responden

Populasi dari penelitian ini adalah keluarga yang bermukim di Kecamatan

Cariu, Kabupaten Bogor. Pemilihan responden ini dilakukan dengan teknik simple

random sampling, yaitu dengan terlebih dahulu membuat frame sampling,

kemudian sampel yang diteliti diambil secara acak. Frame sampling yang

dimaksud dalam hal ini adalah keluarga yang memiliki anak perempuan dan laki-

laki dengan masa sekolah antara 9-12 tahun.

Teknik simple random sampling dipilih dengan pertimbangan banyaknya

keluarga yang keluarga yang memiliki anak perempuan putus sekolah di jenjang

SMA. Jumlah sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah sebanyak 30

keluarga. Responden dalam penelitian ini adalah keluarga (Ayah atau Ibu) yang

dapat menjawab pertanyaan kuesioner ditambah dengan satu orang anak

perempuan dan satu orang anak laki-laki dengan masa sekolah antara 9-12 tahun.

Responden untuk wawancara mendalam terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat

setempat, pihak sekolah setara SMA, serta Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif,

yang menggunakan metode survai. Metode survai adalah penelitian yang

mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat

pengumpul data yang pokok (Singarimbun dan Effendy, 1989). Metode penelitian

survai mencakup model penelitian deskriptif dan eksplanatoris. Penelitian ini

menggunakan penelitian eksplanatoris karena menjelaskan hubungan antara

variabel-variabel melalui pengujian hipotesa.

Penelitian ini juga didukung dengan pendekatan kualitatif, yang

menggunakan metode wawancara mendalam (indepth study). Wawancara

mendalam dilakukan kepada tokoh-tokoh masyarakat setempat, pihak sekolah,

dan Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. Metode wawancara mendalam ini

dilakukan untuk menggali lebih dalam mengenai informasi mengenai pendidikan

perempuan di Kecamatan Cariu, hal ini dimaksudkan untuk memperkuat data

yang didapat melalui kuesioner.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh dari jawaban dari kuesioner yang terdiri dari

pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan persepsi keluarga mengenai gender

dan persepsi keluarga terhadap pendidikan untuk anak perempuan dan hasil

wawancara mendalam. Data sekunder diperoleh melalui literatur-literatur yang

digunakan sebagai bahan rujukan dan data-data seputar pendidikan yang didapat

dari Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.

3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data diolah dengan menggunakan tabel frekuensi dan tabulasi silang.

Tabel frekuensi digunakan untuk mendapatkan deskripsi tentang karakteristik

responden seperti jumlah responden berdasarkan usia, tingkat pendapatan, dan

ideologi gender responden. Tabulasi silang digunakan untuk mendapatkan

gambaran tentang hubungan antar variabel.

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1. Kondisi Geografis

Kecamatan Cariu terletak di ujung wilayah Kabupaten Bogor, luas

wilayahnnya tercatat ± 6.636.049 Ha. Kecamatan Cariu berbatasan dengan

Kabupaten Bekasi di sebelah Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan

Tanjungsari, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Jonggol, dan

Kecamatan Sukamakmur, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten

Karawang.

Pada peta rupa bumi, Kecamatan Cariu terletak dalam kordinat antara

106°-108° Bujur Timur dan 6° Lintang Selatan, dengan hamparan bidang

wilayahnya berada pada elevasi antara 100-300 meter di atas permukaan laut

(m.dpl). Secara fisik sekitar 67 persen berupa dataran, dan sekitar 33 persen

berupa perbukitan dan gunung, dengan keadaan lahan sekitar 78 persen berupa

lahan kering dan sekitar 10 persen lahan basah.

Terbentang 3 hulu sungai di Kecamatan Cariu, yaitu Sungai Cibeet,

Sungai Cikumpeni, dan Sungai Ciomas, umumnya lebih dominan dimanfaatkan

untuk sumber pengairan bagi sawah, kolam/empang, dan keperluan rumah tangga.

4.2. Administrasi Kewilayahan

Wilayah Kecamatan secara administrasi kewilayahan meliputi 10 desa, 50

dusun, 50 Rukun Warga (RW), dan 150 Rukun Tetangga (RT). Gambaran

terperinci mengenai administrasi kewilayahan tercantum pada Tabel 6.

Tabel 6. Administrasi Kewilayahan Kecamatan Cariu (2007)No. Desa Luas Wilayah

(Ha)

Dusun Rukun

Warga

Rukun

Tetangga

1. Karyamekar 808,191 4 4 14

2. Babakanraden 677,88 4 4 18

3. Cikutamahi 1.134,4 6 6 14

4. Kutamekar 666,3 4 4 14

5. Cariu 511,5 7 7 23

6. Mekarwangi 382,042 5 5 10

7. Bantarkuning 642,17 5 5 14

8. Sukajadi 427 4 4 12

9. Tegalpanjang 441 5 5 17

10. Cibatutiga 945,566 6 6 14

Total 6,636,049 50 50 150

Sumber: Kantor Kecamatan Cariu

4.3. Kondisi Demografi

Penduduk Kecamatan Cariu hingga akhir bulan Desember 2007 tercatat

berjumlah 47.237 jiwa, terdiri dari pria sebanyak 23.894 jiwa (50,19 persen) dan

wanita sebanyak 23.343 jiwa (49,81 persen), dan jumlah rata-rata anggota

keluarga empat jiwa/keluarga. Kepadatan penduduk yaitu 5,91 jiwa/Ha.

Dari jumlah populasi penduduk tersebut sekitar 59,82 persen (sebanyak

28.302 jiwa) berumur 19-60 tahun atau merupakan usia angkatan kerja produktif,

namun dari jumlah pada kelompok usia tersebut yang sudah bekerja sekitar 41.47

persen (sebanyak 29.616 orang) dan sekitar 58,53 persen (sebanyak 41.808 orang)

belum bekerja. Angka ketergantungan hidup rata-rata yaitu 1 : 4. Keadaan

penduduk menurut kategori usia selengkapnya tergambar pada Tabel 7.

Tabel 7. Penduduk Kecamatan Cariu Menurut Kelompok Umur (2007)Kelompok Umur Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan00-04 tahun 2390 2479 486905-09 tahun 2185 2080 426510-14 tahun 2249 2262 451115-19 tahun 1859 2241 410020-24 tahun 1097 2008 410525-29 tahun 1906 1970 387630-34 tahun 1634 2101 373535-39 tahun 1933 1868 380140-44 tahun 1862 1671 353345-49 tahun 1585 1512 309750-54 tahun 1212 1073 228555-59 tahun 864 1028 189260-64 tahun 852 1228 205365-69 tahun 405 364 769

70 tahun ke atas 105 196 301Total 23.894 23343 47237

Sumber: Kantor Kecamatan Cariu

4.4. Kondisi Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya penduduk Kecamatan Cariu ini cenderung masih

menunjukkan profil masyarakat pedesaan (rural community), dicirikan antara lain

(a) usaha ekonomi masyarakat umumnya di bidang pertanian yang sifatnya masih

konvensional; (b) karakteristik sosial budayanya relatif masih homogen dengan

masih cukup terpeliharanya ikatan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan; dan

(c) sosial agama penduduk mayoritas atau sekitar 99,7 persen adalah muslim.

4.5. Kondisi Kesejahteraan Sosial

Tingkat kesejahteraan keluarga menurut kategori Pra-KS sebanyak 4.139

KK, KS.I sebanyak 4.462 KK, KS.II sebanyak 4.298 KK, KS,III sebanyak 1.007

KK, dan K.III plus sebanyak 165 KK. Kondisi kesejahteraan sosial penduduk

menurut aspek pendidikan, kesehatan, dan ekonomi dapat diungkapkan berikut

ini.

4.5.1. Kondisi Sosial Pendidikan

Kondisi sosial pendidikan masyarakat cenderung masih sangat rendah,

sebagaimana ditunjukkan antara lain sebagian besar tidak tamat SD sebanyak

18.674 orang, tamatan SD juga cukup banyak 16.827 orang dan tamatan SLTP

sebanyak 4.294 orang, penduduk yang belum melek huruf sebanyak 2.264 orang,

tamatan SLTA sebanyak 2.884 orang, dan tamatan perguruan tinggi yang sangat

sedikit hanya berjumlah 87 orang (Diploma dan S1). Gambaran mengenai kondisi

pendidikan penduduk sebagaimana tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8. Kondisi Pendidikan penduduk Kecamatan Cariu (2007)No. Desa Blm

Melek

Huruf

Tdk

tamat

SD

Tamatan Tingkat Pendidikan

SD SMP SMA D1-3 S1 >S1

1. Karyame

kar

123 1334 1211 358 89 47 6 1

2. Babakanr

aden

172 1533 1405 581 282 98 12 1

3. Cikutama

hi

714 1470 1371 558 279 108 7 0

4. Kutamek

ar

147 1371 1382 451 125 57 3 0

5. Cariu 195 4586 3382 581 829 383 34 2

6. Mekarwa

ngi

153 1571 1621 667 503 138 12 0

7. Bantarku

ning

232 1759 1861 280 281 58 6 0

8. Sukajadi 162 1135 1076 212 181 27 2 0

9. Tegalpanj

ang

179 1841 1782 301 157 78 3 1

10. Cibatutig

a

187 2074 1790 305 158 93 2 0

Total 2264 18674 16827 4294 2884 1087 87 5

Sumber: Kantor Kecamatan Cariu

4.5.2. Kondisi Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi menunjukkan pekerjaan penduduk kebanyakan

menjadi petani (50,99 persen), pedagang (9,96 persen), dan wiraswasta (10,87

persen), yang bekerja pada sektor jasa dan industri masih sangat sedikit.

Pendapatan penduduk rata-rata sebesar Rp. 492.750,- atau cenderung

dominan berada pada tingkat sosial ekonomi rendah, atau hanya mampu

mencukupi kebutuhan dasar konsumsi (dalam perhitungan harga setempat).

4.6. Kondisi Sarana Prasarana Wilayah

4.6.1. Kondisi Sarana Prasarana Pendidikan

Sarana pendidikan formal yang terdiri dari satu Sekolah Taman Kanak-

Kanak (1 TK), 36 Sekolah Dasar (28 SD, 8 MI), 11 Sekolah Menengah Pertama

(8 SMP, 3 MTs), dan dua Sekolah Menengah Atas (satu SMA, satu SMK). Sarana

pendidikan nonformal terdiri dari 24 Pondok Pesantren. Ketersediaan sarana dan

prasarana pendidikan formal maupun nonformal tersebut masih sangat terbatas.

4.6.2. Kondisi Sarana Prasarana Perekonomian

Bidang pedagang dan warung usaha ekonomi lainnya, yaitu terdapat tiga

unit pasar desa, 46 toko, dan 453 warung, serta telah berdiri cukup lama dua unit

koperasi tetapi sudah tidak melakukan aktivitas usahanya. Bidang pertanian, yaitu

terdapat areal lahan persawahan yang terdiri dari setengah teknis, tadah hujan, dan

irigasi pedesaan sesuai seluas 2.618Ha.

4.6.3. Kondisi Infrastruktur Wilayah

Jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat atau lebih terdiri dari: (a)

jalan beraspal sepanjang ± 46 Km; (b) jalan berbatu (onderlag) sepanjang ± 125

Km (kabupaten); (c) jalan tanah 78 Km. Pada ruas jalan tersebut terdapat

jembatan beton sebanyak lima buah dan jembatan dekplank sebanyak dua buah.

BAB V

KARAKTERISTIK RESPONDEN

5.1. Usia

Usia adalah variabel yang digunakan untuk mengukur jumlah tahun

kelahiran responden sampai dengan tahun 2008 saat penelitian dilakukan. Dari

penelitian yang dilakukan didapatkan jumlah responden orang tua sebanyak 30

orang dan responden anak berjumlah 30 orang.

Usia responden orang tua dalam penelitian ini berkisar antara 30 tahun

sampai 75 tahun. Berdasarkan data tersebut, karakteristik usia responden orang

tua terbagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah kelompok umur 30-52

tahun, kategori kedua adalah kelompok umur 53-75 tahun. Sebaran usia

responden orang tua secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Usia Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008)Usia Orang Tua Frekuensi (orang) Persentase (%)

53-75 8 26,730-52 22 73,3Total 30 100

Dari tabel diketahui bahwa usia responden orang tua sebagian besar (73,3

%) ada pada rentang usia 53-75 tahun. Responden orang tua yang lebih muda,

berada pada rentang usia 30-52 tahun sebanyak 26,7 persen.

Kelompok responden yang kedua adalah responden anak. Usia responden

anak dalam penelitian ini berkisar antara 15 tahun sampai dengan 34 tahun. Oleh

karena itu, usia responden anak dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok

usia 15-24 tahun, dan kelompok usia 25-34 tahun. Sebaran usia responden anak

dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Usia Responden Anak, Kecamatan Cariu (2008)

Usia Anak Frekuensi (orang) Persentase (%)

25-34 11 36,715-24 19 63,3Total 30 100

Dari tabel diketahui bahwa usia responden anak sebagian besar (63,3 %)

ada pada rentang usia 15-24 tahun. Responden anak yang lebih muda, berada pada

rentang usia 25-34 tahun sebanyak 36,7 persen.

5.2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan variabel yang digunakan untuk mengetahui

identitas biologis responden. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil

yaitu baik responden orang tua laki-laki maupun perempuan berjumlah 30 orang,

sedangkan responden anak, baik laki-laki maupun perempuan berjumlah 30 orang.

Sebaran jenis kelamin responden orang tua secara rinci dapat dilihat pada Tabel

11.

Tabel 11. Jenis Kelamin Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008)

Jenis Kelamin Frekuensi (orang) Persentase(%)

Laki-laki 15 50Perempuan 15 50

Total 30 100

Sebaran jenis kelamin responden orang tua tersebar rata di kelompok jenis

kelamin laki-laki dan perempuan. Masing-masing kelompok jenis kelamin orang

tua terisi oleh 50 persen responden orang tua, masing-masing sebanyak 15 orang

responden orang tua. Sebaran jenis kelamin responden anak secara rinci dapat

dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Jenis Kelamin Responden Anak, Kecamatan Cariu (2008)Jenis Kelamin Anak Frekuensi (orang) Persentase

(%)Laki-laki 10 33,3

Perempuan 20 66,7Total 30 100

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi jenis kelamin anak tidak

tersebar secara merata. Responden anak yang berjenis kelamin perempuan jauh

lebih banyak daripada responden anak berjenis kelamin laki-laki,

perbandingannya mencapai 2:1. Hal ini dikarenakan anak muda laki-laki di

wilayah penelitian sebagian besar sedang bekerja pada saat penelitian dilakukan.

5.3.Tingkat Pendidikan Orang Tua

Variabel tingkat pendidikan hanya diujikan kepada responden orang tua

saja. Tingkat pendidikan merupakan variabel yang digunakan untuk mengetahui

sejauh mana responden orang tua mendapatkan ilmu dari sekolah formal. Tingkat

pendidikan orang tua dibagi menjadi dua kategori, yaitu kategori SMP dan

kategori SMA. Dari 30 responden orang tua dalam penelitian ini, sebaran

tingkat pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Tingkat Pendidikan Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Pendidikan Orang Tua Frekuensi (orang) Persentase (%)

SMP 18 60 SMA 12 40Total 30 100

Secara umum responden orang tua lebih banyak berada di kelompok

tingkat pendidikan SMP, sebanyak 60 persen dan 40 persen lainnya berada di

kelompok tingkat pendidikan SMA.

Salah satu responden mengatakan bahwa memang rata-rata tingkat

pendidikan warga di wilayah penelitian memang terbilang masih rendah, terutama

pendidikan orang-orang seusia responden orang tua. Menurut JT, salah seorang

responden orang tua yang berpendidikan rendah, hal ini dikarenakan rendahnya

tingkat ekonomi di wilayah tersebut, terutama pada waktu lampau di waktu

seharusnya para responden orang tua bersekolah. Sulitnya perekonomian

kebanyakan warga menyebabkan para warga seusia responden orang tua tidak

bersekolah.

5.4. Tingkat Pendapatan Orang Tua

Variabel tingkat pendapatan orang tua adalah variabel yang digunakan

untuk mengetahui status ekonomi keluarga responden. Variabel tingkat

pendapatan ini dilihat melalui pendapatan ayah dan ibu dalam satu keluarga

selama satu bulan. Tingkat pendapatan orang tua dibagi menjadi tiga kategori,

yaitu kategori tinggi dan kategori rendah. Kategori tinggi adalah pendapatan

orang tua yang berkisar dari Rp. 500.000,- ke bawah, sedangkan kategori rendah

adalah pendapatan di atas Rp. 500.000,- dalam sebulan. Variabel tingkat

pendapatan hanya diujikan kepada responden orang tua saja karena diasumsikan

pendapatan orang tua adalah penentu disekolahkannya seorang anak atau tidak.

Tabel 14 menunjukkan sebaran tingkat pendapatan responden orang tua.

Tabel 14. Tingkat Pendapatan Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008)Tingkat Pendapatan Orang Tua Frekuensi (orang) Persentase (%)

500000 14 46,7> 500000 16 53,3

Total 30 100

Sebaran tingkat pendapatan responden orang tua pada umumnya tidak

memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Responden orang tua yang berada

pada kelompok tingkat pendapatan rendah sebanyak 46,7 persen, sedangkan

responden orang tua yang berada pada kelompok tingkat pendapatan tinggi

sebanyak 53,3 persen.

Responden sebagian besar bekerja di bidang pertanian, sebagai buruh tani

di sawah orang lain. Sebagian besar pemilik sawah adalah orang-orang di luar

daerah yang memilih sawah sebagai investasi, dan mempekerjakan warga untuk

menggarap sawahnya. Sebagian besar responden memiliki penghasilan tidak

tentu, karena mereka hanya mendapatkan uang pada saat musim panen tiba. Rata

penghasilan per bulan yang diperoleh responden sekitar Rp. 500.000,-.

5.5. Wawasan Gender

5.5.1. Marjinalisasi

Variabel marjinalisasi adalah variabel yang digunakan untuk mengukur

tingkat kepekaan responden, baik responden orang tua maupun responden anak,

terhadap isu gender marjinalisasi. Marjinalisasi sendiri diartikan sebagai proses

peminggiran, umumnya terjadi pada perempuan, yang terepresentasikan dalam

bentuk-bentuk sebagai berikut:

a. Proses pengucilan.

b. Proses penggeseran perempuan ke pinggiran dari pasar tenaga kerja.

c. Proses feminisasi atau segregasi.

d. Proses ketimpangan ekonomi yang makin meningkat.

Sebaran tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu marjinalisasi dapat

terlihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu GenderMarjinalisasi, Kecamatan Cariu (2008)Marjinalisasi Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 13 43,3Tinggi 17 56,7Total 30 100

Dari sebaran yang terlihat dari tabel di atas, dapat dikatakan bahwa secara

umum, responden orang tua mempunyai tingkat kepekaan tinggi terhadap isu

gender marjinalisasi, namun banyak juga responden orang tua yang memiliki

kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi. Selisih antara responden orang

tua yang memiliki kepekaan tinggi dan responden orang tua yang memiliki

kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi tidak begitu besar. Responden

orang tua yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi

sebanyak 56,7 persen, sedangkan responden orangtua yang memiliki kepekaan

rendah terhadap isu gender marjinalisasi sebanyak 43,3 persen. Sebaran tingkat

kepekaan responden anak terhadap marjinalisasi dapat terlihat dari Tabel 16.

Tabel 16. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Marjinalisasi,Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Anak Terhadap IsuGender Marjinalisasi Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 5 16,7Tinggi 25 83,3Total 30 100

Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa responden anak sebagian besar

memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap isu gender marjinalisasi.

Responden anak yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap isu gender

marjinalisasi sebanyak 83,3 persen, sedangkan responden anak yang memiliki

kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi hanya sebanyak 16,7 persen.

Sebanyak 56,7 persen responden orang tua dan 83,3 persen responden

anak berpendapat bahwa perempuan boleh saja bekerja di sektor manapun,

dengan upah yang layak. Perempuan tidak lagi wajib hanya berada di rumah

mengurusi rumah tangga, suami, dan anak. Perempuan boleh saja lebih maju dari

laki-laki dalam hal pekerjaan apabila memang perempuan itu memiliki

kemampuan yang tinggi. Responden yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu

gender marjinalisasi telah menunjukkan bahwa mereka sudah menolak adanya

praktek-praktek pengucilan terhadap perempuan, segregasi, penggeseran

perempuan dari pasar tenaga kerja, dan ketimpangan ekonomi.

Salah satu responden orang tua, sebut saja UM, menceritakan bahwa

dalam rumah tangganya, dialah yang berperan sebagai kepala rumah tangga. UM

merupakan pencari nafkah utama di keluarganya, suaminya yang masih sehat wal

afiat memilih untuk tidak bekerja karena penghasilan UM dari warung makan

yang dikelolanya sudah mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari, bahkan UM

juga mengatakan bahwa setiap hari sebelum berangkat ke warung nasi miliknya,

UM memberikan sejumlah uang untuk suaminya membeli rokok dan kebutuhan

lainnya selama UM berada di warung. Selama UM berada di warung, sejak pagi

hingga sore, suaminyalah yang bertanggung jawab atas semua urusan rumah

tangganya, seperti membersihkan rumah dan menjaga rumah sampai UM selesai

mengurus warungnya.

ah suami saya mah ga pegang uang samasekali, setiap hari sayajatah uang jajannya, palingan juga 7000 perak sehari. Kan iniuang saya. Suami saya samasekali ga Bantu saya cari uang. Jadidia mah tinggal anteng-anteng tunggu rumah aj, sekalian beberesrumah.. (UM, orang tua, 62).

Selain itu, UM juga bercerita mengenai proses pengambilan keputusan

dalam rumah tangganya. UM mengatakan bahwa semua keputusan selalu diambil

oleh UM sendiri, tanpa kompromi dengan sang suami. Suaminya pun tidak pernah

keberatan dengan pembagian tugas seperti itu. Pembagian tugas yang demikian

sudah berlangsung sekitar 10 tahun yang lalu, sejak sang suami mengalami

pemecatan dari perusahaan tempatnya bekerja sebagai petugas keamanan.

5.5.2. Subordinasi

Isu gender subordinasi adalah isu gender yang berhubungan dengan

pengambilan keputusan. Anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang

irrasional, terlalu banyak melibatkan perasaan dalam bertindak menyebabkan

perempuan banyak dipandang tidak mampu mengambil keputusan secara

bijaksana. Semua keputusan haruslah diambil oleh laki-laki, terutama keputusan

yang memerlukan pemikiran matang. Kalaupun perempuan boleh mengambil

keputusan, sebagian besar hanya keputusan mengenai hal-hal yang berhubungan

dengan rumah tangga, misalnya urusan dapur dan kebersihan rumah.

Tingkat kepekaan responden terhadap isu gender subordinasi adalah

mengenai seberapa jauh responden merasa isu gender subordinasi tersebut patut

diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Sebaran frekuensi dan persentase

kepekaan responden orang tua terhadap isu gender subordinasi dapat dilihat pada

Tabel 17.

Tabel 17. Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu Gender Subordinasi,Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Orang Tua terhadapIsu Gender Subordinasi Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 20 66,7Tinggi 10 33,3Total 30 100

Sebagian besar responden orang tua masih memiki kepekaan yang rendah

terhadap isu gender subordinasi. Responden orang tua yang memiliki tingkat

kepekaan rendah terhadap isu gender subordinasi adalah sebanyak 66,7 persen,

sedangkan responden orang tua yang memiliki kepekaan rendah terhadap isu

gender subordinasi adalah sebanyak 33,3 persen. Sebaran tingkat kepekaan

responden anak terhadap isu gender subordinasi dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Subordinasi,Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Anak terhadap IsuGender Subordinasi Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 23 76,7Tinggi 7 23,3Total 30 100

Sama seperti halnya tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu

gender subordinasi, tabel menunjukkan bahwa tingkat kepekaan responden orang

tua terhadap isu gender subordinasi pun masih sangat rendah. Hal ini dapat

terlihat dari data reponden yang memiliki tingkat kepekaan rendah terhadap isu

gender subordinasi sebanyak 76,7 persen, sedangkan hanya 23,3 persen lainnya

yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap isu gender subordinasi.

Responden orang tua maupun responden anak, lebih banyak menganggap

bahwa hukum agama mengajarkan bahwa laki-laki harus selalu menjadi

pemimpin dalam segala bidang. Laki-laki adalah orang yang pantas dijadikan

panutan, tanpa harus memperhitungkan seberapa perempuan mungkin lebih

kompeten dalam beberapa hal.

perempuan harus selalu taat kepada laki-laki, karena laki-lakikan selalu jadi pemimpin. Kalo laki-laki udah bilang A, yaperempuan harus ikut apa kata laki-laki. Itu mah udah jadi hukumalam, ga bisa diapa-apain lagi.. Kalo perempuannya kan mestinurut ke laki-laki. Masa laki-laki yang nurut ke perempuan?? Itumah nyalahin kodrat namanya.. (TD, anak, 29 tahun).

5.5.3. Stereotipi

Isu gender stereotipi adalah pelabelan negatif terhadap perempuan.

Berbagai label negatif yang ditempelkan pada perempuan sudah sangat melekat di

masyarakat umum. Isu gender stereotipi inilah yang kemudian akan menimbulkan

isu-isu gender lainnya. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi perempuan.

Kebanyakan akan berimplikasi pada perempuan yang hanya dilihat dari

keindahan tubuhnya, hanya dieksplor fisiknya saja, tidak diperhatikan

intelegensianya, perempuan seolah hanya dianggap sebagai objek keindahan.

Beberapa responden telah mengungkapkan pendapat mereka mengenai isu

gender stereotipi. Jawaban-jawaban dari responden tersebut kemudian akan

menunjukkan tingkat kepekaan responden terhadap isu gender stereotipi. Tingkat

kepekaan responden orang tua terhadap isu gender stereotipi dapat dilihat pada

Tabel 19.

Tabel 19. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu GenderStereotipi, Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Orang Tua terhadapIsu Gender Stereotipi Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 19 63,3Tinggi 11 36,7Total 30 100

Kepekaan responden orang tua terhadap isu gender stereotipi masih

terbilang rendah karena data menunjukkan bahwa sebanyak 63,3 persen

responden masih memiliki kepekaan yang rendah terhadap isu gender stereotipi,

dan hanya sebanyak 36,7 persen responden orang tua yang memiliki kepekaan

tinggi terhadap isu gender stereotipi. Sebaran tingkat kepekaan responden anak

terhadap isu gender stereotipi dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Stereotipi,Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Anak terhadap IsuGender Stereotipi Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 18 60Tinggi 12 40Total 30 100

Secara umum, responden anak masih memiliki kepekaan yang rendah

terhadap isu gender stereotipi. Sebanyak 60 persen responden memiliki kepekaan

terhadap isu gender stereotipi yang rendah, dan 40 persen lainnya memiliki

kepekaan yang tinggi terhadap isu gender stereotipi. Hal ini tidak jauh berbeda

dengan hasil yang didapat dari survai kepada responden orang tua.

Responden orang tua dan anak dalam penelitian ini kebanyakan masih

memandang bahwa pelabelan negatif yang dilekatkan pada diri perempuan

memang merupakan kodrat yang tidak akan pernah bisa dirubah. Salah satu

responden dari penelitian ini, DK, berpendapat bahwa memang perempuan

memang selalu identik dengan pesolek, mudah tersinggung, tidak logis, dll.

Berikut adalah kutipan wawancara dengan beliau:

perempuan mah emang cuma bisa dandan, cukup dandan ajsuami udah seneng ko, ga usah macem-macem segala lah.. kancuma buat diliat aja!! Nah tugasnya suami buat cari uang supayasi istri bisa dandan cantik, kalo duitnya kurang buat belikeperluannya kan bisa diamuk gede-gedean kita!! (DK, orangtua, 42 tahun).

5.5.4. Kekerasan

Pengertian kekerasan dalam hal ini tidak hanya diartikan sebagai serangan

fisik saja, tetapi juga berupa serangan terhadap integritas mental psikologis

seseorang. Kekerasan yang terjadi karena permasalahan jenis kelamin dapat

dikatakan kekerasan gender. Penyebab utama kekerasan gender adalah karena

adanya anggapan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam

masyarakat.

Sebanyak 30 orang responden orang tua dalam penelitian ini telah

mengungkapkan sejauh mana kepekaan mereka terhadap isu gender kekerasan.

Sebaran tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender kekerasan

dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap isu GenderKekerasan, Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Orang Tua TerhadapIsu Gender Kekerasan Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 4 13,3Tinggi 26 86,7Total 30 100

Tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender kekerasan

sudah terbilang tinggi. Sebanyak 86,7 persen responden orang tua menyatakan

tidak setuju dengan adanya kekerasan terhadap perempuan, dalam bentuk apapun.

Responden orang tua yang menyatakan setuju dengan adanya bentuk-bentuk

kekerasan terhadap perempuan sebanyak 13,3 persen. Kebanyakan responden

orang tua yang menyatakan setuju dengan adanya bentuk-bentuk kekerasan

gender sebagai bentuk dari hukuman untuk perempuan yang patuh pada laki-laki.

Mereka pun menyatakan bahwa hal ini merupakan ajaran yang sudah ditamankan

sejak mereka kecil, sehingga melekat sampai mereka dewasa.

Seperti halnya responden orang tua, responden anak pun secara umum

memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap isu gender kekerasan. Hal

tersebut dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Kekerasan,Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Anakterhadap Isu Gender

KekerasanFrekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 5 16.7Tinggi 25 83.3Total 30 100.0

Sebanyak 83,3 persen responden anak memiliki kepekaan yang tinggi

terhadap isu gender kekerasan, sedangkan 16,7 persen responden anak lainnya

memiliki kepekaan rendah terhadap isu kepekaan gender kekerasan.

5.5.5. Beban Kerja

Isu gender beban kerja diartikan sebagai pembebanan pekerjaan rumah

tangga kepada perempuan. Perempuan biasanya dianggap rajin dan rapih dalam

mengerjakan sesuatu, sehingga perempuan selalu dianggap orang yang tepat

dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Seiring dengan

berjalannya waktu, perempuan memiliki kesempatan lebih banyak untuk

berkontribusi dalam perekonomian keluarga. Hal ini seakan menjadi dilema bagi

para perempuan, karena walaupun berkesempatan untuk mengembangkan diri di

sektor publik, perempuan juga seolah tidak diperkenankan untuk meninggalkan

tugasnya di rumah tangga. Perempuan harus mengerjakan dua tanggung jawab

sekaligus. Sebaran tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender

beban kerja dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008)Tingkat Kepekaan Orang Tua terhadap

Isu Gender Beban Kerja Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 26 86,7Tinggi 4 13,3Total 30 100

Secara umum tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender

beban kerja terbilang rendah. Sebanyak 86,7 persen responden orang tua memiliki

tingkat kepekaan yang rendah terhadap isu gender beban kerja, dan hanya 13,3

persen dari responden orang tua yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi

terhadap isu gender beban kerja. Sebaran tingkat kepekaan responden anak

terhadap isu gender beban kerja dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Beban KerjaTingkat Kepekaan Anak terhadap Isu

Gender Beban Kerja Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 25 83,3Tinggi 5 16,7Total 30 100

Responden anak juga memiliki tingkat kepekaan yang relative rendah

terhadap isu gender beban kerja. Sebanyak 83,3 persen responden anak memiliki

kepekaan yang rendah terhadap isu gender beban kerja, responden yang memiliki

kepekaan tinggi hanya dimiliki oleh sebanyak 16,7 persen responden anak.

Masih kentalnya kultur bahwa perempuan adalah penanggung jawab

utama dalam hal pekerjaan rumah tangga menyebabkan para responden, baik anak

maupun orang tua, masih menerapkan isu gender beban kerja dalam

kehidupannya sehari-hari. Salah seorang responden berpendapat,

perempuan boleh saja bekerja di luar rumah, justru itu bagusuntuk memperkuat perekonomian keluarga. Tapi sebagaiperempuan, tetep aja ga boleh nyalahin kodrat! Kalo kerjaanrumah belom beres ya mesti diberesin dulu, baru deh bolehngerjain kerjaan di luar. Atau kalo emang bener-bener ga sempetkan bisa dikerjain sore pas pulang kerja. Perempuan juga ga bolehkerja sampe malem, tar anak-anak sapa yang ngurus. Kan palingrepot kalo ga ada istri di rumah.. (MN, orang tua, 55 tahun)

BAB VI

PERSEPSI ORANG TUA DAN ANAK TERHADAPPERAN PENDIDIKAN BAGI PEREMPUAN

6.1. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan bagi Perempuan

Variabel persepsi orang tua terhadap pendidikan diukur melalui persepsi

orang tua terhadap pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan, persepsi orang tua

terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan sosial, dan persepsi orang tua

terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga. Perbedaan persepsi

orang tua terhadap pendidikan dalam kaitannya dengan perolehan pekerjaan

masih berbeda jauh. Persepsi orang tua terhadap peran pendidikan terbagi menjadi

dua kategori, yaitu positif dan negatif terhadap perolehan pekerjaan, kehidupan

sosial, dan kehidupan berkeluarga. Lebih banyak orang tua yang masih

memandang negatif terhadap peran pendidikan dalam kehidupan perempuan.

6.1.1. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalam PerolehanPekerjaan

Dewasa ini, pekerjaan menjadi sangat penting bagi kehidupan individu

dalam sebuah keluarga. Pada beberapa tahun belakangan ini, tepatnya setelah

krisis perekonomian pada tahun 1997, keluarga yang semula hanya mengandalkan

penghasilan ayah sebagai seorang kepala keluarga mulai merasa kekurangan.

Semua harga kebutuhan pokok sehari-hari menanjak naik, sedangkan penghasilan

kepala keluarga tidak berubah banyak. Oleh karena itu, beberapa keluarga mulai

berusaha untuk mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

keluarga. Sebagai salah satu cara menambah penghasilan keluarga, ibu dalam

keluarga mulai bekerja agar mendapatkan penghasilan untuk mencukupi

kebutuhan keluarga.

Hal tersebut tidak demikian saja berjalan dengan lancar dan

menyelesaikan permasalahan perekonomian sebagian keluarga. Berbagai

permasalahan mulai menyeruak ke permukaan sejalan dengan berkembangnya

budaya perempuan bekerja. Salah satu permasalahan yang terjadi adalah

peminggiran perempuan di bidang pekerjaan, baik dalam hal ketersediaan

lapangan pekerjaan, pemilihan lapangan pekerjaan, sampai pada kecilnya

penghasilan perempuan. Keseluruhan permasalahan yang terjadi dapat dikatakan

berujung pada satu hal, yaitu pendidikan. Pendidikan perempuan yang relatif lebih

rendah daripada laki-lakilah yang menjadi penyebab munculnya berbagai

permasalahan tersebut.

Pendidikan perempuan sebagai penyebab munculnya permasalahan-

permasalahan bagi perempuan tersebut dalam hal pekerjaan dianggap tidak terlalu

penting oleh para orang tua. Hal ini dapat dibuktikan oleh hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa memang persepsi orang tua terhadap peran pendidikan

perempuan dalam hal perolehan pekerjaan terbilang masih rendah. Hal tersebut

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 25. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan, Kecamatan Cariu (2008)Persepsi Orang Tua terhadap

Pendidikan dikaitkan dengan PerolehanPekerjaan

Frekuensi (orang) Persentase (%)

Negarif 19 63,3Positif 11 36,7Total 30 100

Sebanyak 63,3 persen responden orang tua berpersepsi bahwa pendidikan

bagi anak perempuan tidak terlalu berperan dalam memperoleh pekerjaan,

sedangkan orang tua yang berpersepsi bahwa pendidikan penting untuk anak

perempuan dalam hal perolehan pekerjaan hanya sebanyak 36,7 persen.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat satu hal

yang berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap peran pendidikan anak

perempuan dalam perolehan pekerjaan tersebut, yaitu variabel kepekaan orang tua

terhadap isu gender stereotipi. Variabel kepekaan orang tua terhadap isu gender

subordinasi adalah variabel yang menunjukkan bagaimana orang tua memandang

pelabelan negatif yang biasanya ditempelkan pada perempuan.

Tabel 26. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Kepekaan Terhadap Isu Gender Stereotipi diKecamatan Cariu Kabupaten Bogor (2008)

Persepsi Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan

Stereotipi

Rendah Tinggi

Negatif 14(73.7%) 5(45.5%)

Positif 5(26.3%) 6(54.5%)Total 19 (100%) 11 (100%)

Semakin peka orang tua terhadap isu gender stereotipi, semakin baik pula

persepsi orang tua terhadap pendidikan perempuan dalam perolehan pekerjaan. Di

lokasi penelitian ditemukan fakta bahwa stereotipi perempuan masih dianut oleh

warga, terutama orang tua. Perempuan hanya dianggap sebagai barang pajangan

saja, tidak dipandang produktifitasnya dalam bekerja. Orang tua yang memiliki

kepekaan yang rendah terhadap isu gender stereotipi memandang bahwa

perempuan tidak perlu berpendidikan untuk dapat bekerja, perempuan hanya perlu

mengandalkan penampilan saja, baik penampilan fisik maupun pembawaan diri di

depan orang lain.

Penelitian ini juga menguji variabel-variabel lain yang semula diduga

berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap peran pendidikan dalam hal

perolehan pekerjaan, namun hasil pengolahan data menunjukkan bahwa variabel

usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, kepekaan orang tua terhadap isu

gender marjinalisasi, stereotipi, kekerasan, dan beban kerja, serta tingkat

pendapatan orang tua tidak berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap

peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan (lihat lampiran). Usia orang tua,

tingkat pendidikan orang tua, kepekaan orang tua terhadap isu gender

marjinalisasi, stereotipi, kekerasan, dan beban kerja, serta tingkat pendapatan

orang tua tidak berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap peran pendidikan

dalam hal perolehan pekerjaan karena data menunjukkan bahwa persepsi yang

rendah terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan dimiliki oleh

orang tua yang berada pada kategori usia, tingkat pendidikan, kepekaan terhadap

isu gender marjinalisasi, stereotipi, kekerasan, dan beban kerja, serta tingkat

pendapatan yang tinggi maupun rendah.

6.1.2. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Sosial

Hal lain yang berhubungan dengan pendidikan adalah kehidupan sosial

perempuan itu sendiri. Persepsi orang tua terhadap peran pendidikan perempuan

dalam kehidupan sosial terbilang rendah. Para orang tua tidak mementingkan

pendidikan perempuan sebagai modal untuk bersosialisasi dengan lingkungan.

Mereka berpendapat bahwa pendidikan tidak ada hubungannya dengan kehidupan

sosial anak perempuan, mereka berpendapat bahwa kehidupan sosial atau

pergaulan anak perempuan tergantung pada pembawaan diri individu anak

perempuan itu sendiri. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut:

Soal pergaulan anak mah ya cuma tergantung dari gimana sianak bawa diri aj di depan orang lain. Kalo anaknya bae ya diapasti diterima sama orang laen, kalo anaknya nyebelin mah manaada yang bakal suka! Sekolah apa ga sekolahnya si anak mah gaada urusannya sama ginian.. (HN, orang tua, 44 tahun).

Persepsi orang tua terhadap peran pendidikan dalam kehidupan sosial bagi

perempuan yang negatif mengakibatkan orang tua tidak menyekolahkan anaknya

demi kepentingan kelancaran kehidupan sosial anak perempuan. Hal tersebut

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 27. Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan dalam KehidupanSosial, Kecamatan Cariu (2008)

Persepsi Orang Tua terhadapPendidikan dalam Hal Kehidupan

SosialFrekuensi (orang) Persentase (%)

Negatif 18 60Positif 12 40Total 30 100

Dua hal yang berhubungan dengan hal tersebut adalah tingkat pendidikan

orang tua dan kepekaan orang tua terhadap isu gender beban kerja. Variabel

tingkat pendidikan orang tua berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap

peran pendidikan perempuan dalam hal kehidupan sosial. Hal tersebut dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 28. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan dalam Hal KehidupanSosial Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan CariuKabupaten Bogor (2008)

Persepsi Terhadap Pendidikan dalam KehidupanSosial

Tingkat Pendidikan Orang Tua

SMP SMA

Negatif 13 (72,2%) 5 (41,7%)

Positif 5 (27,8%) 7 (58,3%)Total 18 (100%) 12 (100%)

Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, maka semakin positif pula

persepsi orang tua terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan sosial. Orang

tua yang dikatakan berpendidikan tinggi adalah orang tua yang berpendidikan

minimal SMA. Para responden orang tua yang berpendidikan rendah adalah orang

tua yang hanya mengenyam pendidikan minimal bangku SMP. Orang tua yang

berpendidikan rendah berpendapat bahwa kehidupan sosial hanya meliputi

hubungan antara anak perempuan dan lingkungan sekitarnya, sedangkan menurut

orang tua yang berpendidikan tinggi, hubungan sosial dimaknai secara lebih luas.

Kehidupan sosial menurut orang tua yang berpendidikan tinggi adalah hubungan

anak perempuan dengan semua orang, termasuk hubungan anak perempuan

dengan orang lain yang mungkin saja membukakan jalan bagi anak perempuan

tersebut untuk mengembangkan dirinya, misalnya seputar pekerjaan. Jika anak

perempuan dapat bergaul dengan baik, maka semakin besar terbuka jalan bagi

anak perempuan tersebut untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai hal.

Variabel kedua yang berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap

pendidikan perempuan dalam hal kehidupan sosial adalah kepekaan orang tua

terhadap isu gender beban kerja. Kepekaan orang tua terhadap isu gender beban

kerja adalah pendapat orang tua bahwa pekerjaan rumah tangga bukan hanya

menjadi tanggung jawab perempuan saja, melainkan harus menjadi tanggung

jawab laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah tangga. Kepekaan orang tua

terhadap isu gender beban kerja berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap

peran pendidikan perempuan dalam kehidupan sosial.

Tabel 29. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan dalam Hal KehidupanSosial Berdasarkan Kepekaan Terhadap Isu Gender Beban Kerja diKecamatan Cariu Kabupaten Bogor (2008)

Persepsi Terhadap Pendidikan dalam Hal SosialBeban Kerja

Rendah Tinggi

Negatif 17 (65,4%) 1 (25%)

Positif 9 (34,6%) 3 (75%)

Total 26 (100%) 4 (100%)

Semakin tinggi kepekaan orang tua terhadap isu gender beban kerja,

semakin positif pula persepsi orang tua terhadap peran pendidikan perempuan

dalam kehidupan sosial. Orang tua yang peka terhadap isu gender beban kerja

berpendapat bahwa perempuan juga perlu bersosialisasi dengan baik dengan

lingkungannya, perempuan tidak hanya harus berurusan dengan dapur dan rumah

tangga, karena itu perempuan dinilai perlu berpendidikan karena perempuan pada

suatu saat akan berhubungan dengan lingkungannya dengan baik.

6.1.3. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Berkeluarga

Kehidupan berkeluarga adalah satu hal yang juga penting dalam

kehidupan seorang individu. Kehidupan berkeluarga dipengaruhi oleh pendidikan

seseorang. Persepsi orang tua terhadap peran pendidikan perempuan dalam hal

kehidupan berkeluarga masih negatif, sebanyak 60 persen orang tua menganggap

pendidikan tidak penting dalam hal berkeluarga. Hal tersebut ditunjukkan oleh

tabel sebaran persepsi orang tua terhadap pendidikan perempuan dalam hal

kehidupan berkeluarga sebagai berikut:

Tabel 30. Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan dalam KehidupanBerkeluarga

Persepsi Orang Tua terhadapPendidikan dalam Hal Kehidupan

BerkeluargaFrekuensi (orang) Persen (%)

Negatif 18 60Positif 12 40Total 30 100

Orang tua berpendapat bahwa kehidupan berkeluarga hanya merupakan

permainan nasib. Mereka tidak percaya pada peran pendidikan dalam kehidupan

keluarga. Beberapa variabel yang berhubungan dengan persepsi orang tua

terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan sosial adalah jenis kelamin,

tingkat pendapatan, dan kepekaan orang tua terhadap isu gender beban kerja.

Tabel 31. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan dalam Hal KehidupanBerkeluarga Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Cariu KabupatenBogor (2008)

Persepsi Terhadap Pendidikan dalam HalBerkeluarga

Jenis KelaminLaki-laki Perempuan

Negatif 7(46,7%) 11(73,3%)

Positif 8(53,3%) 4(26,7%)

Total 15 (100%) 15 (100%)

Variabel jenis kelamin berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap

peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga. Berdasarkan hasil pengolahan

data, didapatkan hasil bahwa laki-laki memiliki persepsi yang negatif terhadap

peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga. Seorang responden laki-laki

mengatakan bahwa kehidupan berkeluarga samasekali tidak ada hubungannya

dengan pendidikan seseorang, berikut kutipan wawancara:

Seseorang yang tidak menikah juga bisa punya pernikahanlanggeng, punya suami baik, punya anak baik-baik. Ga perlu haruspinter kalo emang pingin idup seneng mah.. cukup jadi orang baik-baik aja.. (SN, orang tua, 61 tahun).

Pendapat lain disampaikan oleh responden perempuan yang mengatakan

bahwa pendidikan sedikit banyak penting dalam membina kehidupan rumah

tangga, terutama menyangkut kualitas keturunan mereka, sebagai berikut:

Kalo kita ga sekolah, ya palingan dapetnya laki yang ga sekolahjuga, kaya sekarang ini lah. Ya kalo ga sekolah, kerjanya juga ganetep, gaji kecil, susah juga nyekolahin anak. Bisa-bisa anaknyajuga bodo kaya kita! Kalo kita sekolah, bisa gaul sama orangsekolah juga kan kali dapet suami yang lumayan..hehe,, (WT,orang tua, 55 tahun).

Variabel kedua yang berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap

peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga adalah variabel tingkat

pendapatan orang tua.

Tabel 32. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan dalam Hal KehidupanBerkeluarga Berdasarkan Tingkat Pendapatan di Kecamatan CariuKabupaten Bogor (2008)

Persepsi Terhadap Pendidikan dalam Hal BerkeluargaTingkat Pendapatan Orang Tua

500000 > 500000

Negatif 11(78,6%) 7(43,8%)

Positif 3(21,4%) 9(56,2%)

Total 14 (100%) 16(100%)

Semakin tinggi tingkat pendapatan orang tua, maka semakin positif pula

persepsi orang tua terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga.

Orang tua yang berpendapatan rendah umumnya bekerja sebagai buruh tani,

mereka hanya berhubungan dengan lingkungan yang karakteristiknnya kurang

lebih sama dengan dengan karakterikstik dirinya. Orang tua yang berpendapatan

tinggi bekerja di sektor pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk

berhubungan dengan orang lain yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan

dirinya. Hal tersebut menjadikan orang tua yang berpendapatan tinggi dapat

berpikiran lebih terbuka mengenai pentingnya pendidikan perempuan dalam hal

kehidupan berkeluarga. Salah satunya karena banyaknya pengalaman orang lain

yang ia dengar mengenai kehidupan keluarga orang lain dari berbagai tingkatan

pendidikan. Orang tua dapat menganalisis perbedaan kehidupan keluarga orang

yang berpendidikan lebih baik daripada kehidupan mereka yang berpendidikan

rendah. Selain itu, mereka juga semakin mengerti bahwa kehidupan berkeluarga

tidak hanya mengenai kelanggengan rumah tangga saja, tetapi juga termasuk di

dalamnya mengenai kualitas keturunan mereka kelak.

Dari kelima isu gender yang diujikan dalam penelitian, ternyata hanya satu

isu gender yang berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap peran

pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga, yaitu isu gender beban kerja.

Tabel 33. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan dalam Hal KehidupanBerkeluarga Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Beban Kerjadi Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor (2008)

Persepsi Terhadap Pendidikan dalam Hal BerkeluargaBeban Kerja

Rendah Tinggi

Negatif 18 (69,2%) 0 (0%)

Positif 8 (30,8%) 4 (100%)

Total 26 (100%) 4 (100%)

Tabel di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi kepekaan orang tua

terhadap isu gender beban kerja, maka semakin baik pula persepsi orang tua

terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga. Orang tua yang

memiliki kepekaan yang tinggi terhadap isu gender beban kerja cenderung

mendorong anaknya untuk berpendidikan setinggi mungkin. Orang tua akan

menyekolahkan anak mereka semampu mereka. Hal tersebut dilakukan karena

mereka tidak ingin anak mereka hanya berdiam diri saja, hanya mengerti urusan

rumah tangga saja atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga saja di rumah pada

saat sudah berumah tangga kelak. Orang tua ingin anak mereka dapat berkembang

sesuai dengan potensi yang ada pada diri anak perempuan tersebut.

6.2. Persepsi Anak terhadap Pendidikan bagi Perempuan

Persepsi anak terhadap peran pendidikan perempuan dalam kehidupan,

dilihat dari perolehan pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan berumah tangga

dapat dikatakan lebih baik daripada persepsi orang tua terhadap peran pendidikan

perempuan dalam kehidupan perempuan. Hal ini ditunjukkan oleh data sebaran

persepsi anak terhadap pendidikan perempuan dalam perolehan pekerjaan sebagai

berikut:

Tabel 34. Persepsi Anak terhadap Pendidikan dalam Kaitannya dengan PerolehanPekerjaan, Kecamatan Cariu (2008)

Persepsi Anak terhadap Pendidikandalam Kaitannya dengan Perolehan

PekerjaanFrekuensi (orang) Persentase (%)

Negatif 15 50Positif 15 50Total 30 100

Persepsi Anak Terhadap Pendidikandalam Hal Kehidupan Sosial Frekuensi (orang) Persentase (%)

Negatif 20 66,7Positif 10 33,3Total 30 100

Persepsi Anak terhadap Pendidikandalam Hal Kehidupan Berkeluarga Frekuensi (orang) Persentase (%)

Negatif 21 70Positif 9 30Total 30 100

Sebesar 50 persen dari responden anak memandang pendidikan

perempuan penting dalam perolehan perempuan. Sebanyak 66,7 persen responden

anak menganggap pendidikan perempuan tidak berpengaruh dalam kehidupan

sosial seseorang. Sebesar 70 persen responden anak beranggapan bahwa

pendidikan juga tidak penting dalam kehidupan berkeluarga. Bagi responden

anak, pendidikan penting dalam beberapa aspek kehidupan perempuan, namun

responden anak pun tidak sepenuhnya sudah memandang pentingnya pendidikan

sebagaimana mestinya.

6.2.1. Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalam Hal PerolehanPekerjaan

Responden anak terbagi menjadi dua kelompok sama besar dalam

berpendapat mengenai pentingnya pendidikan perempuan dalam hal perolehan

pekerjaan. Sebesar 50 persen responden anak menilai pendidikan perempuan

sangat penting dalam hal perolehan pekerjaan, sedangkan lima puluh persen

lainnya menganggap pendidikan tidak begitu penting bagi perempuan dalam hal

memperoleh pekerjaan. Adapun beberapa hal yang berhubungan dengan persepsi

anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan antara lain, usia,

jenis kelamin, kepekaan anak terhadap isu gender marjinalisasi, subordinasi,

stereotipi, kekerasan, dan beban kerja.

Tabel 35. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan usia di Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor(2008)

Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan

Usia Anak15-24 25-34

Negatif 7(36,8%) 8(72,7%)

Positif 12(63,2%) 3(27,3%)

Total 19 (100%) 11(100%)

Variabel pertama yang berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran

pendidikan perempuan dalam hal perolehan pekerjaan adalah variabel usia.

Semakin dewasa seorang anak, maka semakin positif persepsinya terhadap peran

pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. Anak yang tergolong kategori dewasa

adalah anak yang berusia antara 25 tahun sampai dengan 34 tahun, sedangkan

anak yang tergolong dalam kategori usia rendah adalah anak yang berusia antara

15 tahun sampai 24 tahun. Responden anak yang tergolong dewasa berpikir

bahwa pendidikan perempuan berperan penting dalam perolehan pekerjaan,

sedangkan responden anak yang belum dewasa tidak terlalu memandang penting

peran pendidikan perempuan dalam perolehan pekerjaan. Hal demikian dapat

terjadi karena responden anak yang dewasa sudah memiliki pengalaman dalam

hal pencarian pekerjaan, sementara responden yang belum dewasa belum

berpengalaman sebaik responden dewasa. Responden anak dewasa sudah

mengalami susahnya mencari pekerjaan, sehingga mereka berpikir bahwa

pendidikan memang penting untuk memperoleh pekerjaan. Responden anak yang

belum dewasa masih belum sepenuhnya mengalami pengalaman mencari kerja

sungguhan, kebanyakan dari mereka masih bergantung pada orang orang tuanya

dan mencerminkan hidup pada kehidupan orang tuanya.

Tabel 36. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Cariu KabupatenBogor (2008)

Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan

Jenis Kelamin Anak

Laki-laki Perempuan

Negatif 8 (80%) 7 (35%)

Positif 2 (20%) 13 (65%)Total 10 (100%) 20 (100%)

Jenis kelamin anak berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran

pendidikan perempuan dalam perolehan pekerjaan. Responden anak laki-laki

memiliki persepsi yang tidak begitu baik terhadap peran pendidikan perempuan

dalam perolehan pekerjaan.

Persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam perolehan pekerjaan

berhubungan dengan semua variabel dari kepekaan responden terhadap isu

gender. Variabel kepekaan isu gender terdiri kepekaan terhadap isu gender

marjinalisasi, subordinasi, stereotipi, kekerasan, dan beban kerja. Dapat dikatakan

bahwa semakin peka seorang anak terhadap isu gender, maka semakin positif pula

persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan.

Tabel 37. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Marjinalisasi diKecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008)

Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan

Marjinalisasi AnakRendah Tinggi

Negatif 4 (80%) 11 (44%)

Positif 1 (20%) 14 (56%)

Total 5 (100%) 25(100%)

Data di atas menunjukkan bahwa variabel kepekaan anak terhadap isu

gender marjinalisasi berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran

pendidikan dalam perolehan pekerjaan. Semakin tinggi kepekaan anak terhadap

isu gender marjinalisasi, maka semakin tinggi pula persepsi anak terhadap peran

pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. Kepekaan terhadap isu gender

marjinalisasi adalah kepekaan seseorang terhadap persamaan kedudukan laki-laki

dan perempuan dari segi ekonomi. Segi ekonomi juga erat hubungannya dengan

pekerjaan. Anak yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi

beranggapan bahwa perempuan sudah seharusnya berkedudukan sama dengan

laki-laki jika memang memiliki potensi yang sama. Kedudukan tersebut dapat

didapatkan jika pendidikan laki-laki dan perempuan sejajar. Oleh karena itu,

perempuan juga harus sedapat mungkin mendapatkan pendidikan yang sama

dengan laki-laki.

Tabel 38. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Subordinasi diKecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008)

Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan

Subordinasi AnakRendah Tinggi

Negatif 13 (56,5%) 2 (38,6%)

Positif 10 (43,5%) 5 (71,4%)Total 23 (100%) 7 (100%)

Kepekaan terhadap isu gender subordinasi diartikan sebagai kepekaan

seseorang terhadap kedudukan perempuan dalam berhubungan dengan laki-laki,

termasuk dalam mengambil keputusan. Tabel 40 menunjukkan bahwa kepekaan

anak terhadap isu gender subordinasi berhubungan dengan persepsi anak terhadap

peran pendidikan dalam hal perohan pekerjaan. Semakin tinggi kepekaan anak

terhadap isu gender subordinasi, maka semakin positif pula persepsi anak

terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. Anak yang peka

terhadap isu gender subordinasi menilai bahwa pendidikan bagi anak perempuan

sama pentingnya dengan pendidikan bagi anak laki-laki karena anak pereempuan

dan laki-laki harus bisa mampu berdiri di atas kakinya sendiri kelak. Untuk dapat

menjadi seseorang yang mandiri, maka seseorang harus bisa mengambil

keputusan sendiri. Oleh karena itu, perempuan dan laki-laki harus berpendidikan.

Hal tersebut ditegaskan oleh pernyataan seorang responden anak sebagai berikut:

anak perempuan juga harus bisa mandiri, jangan tergantungterus sama orang tua. Suatu saat kan orang tua bakal ninggalinkita, kalo kita dari sekarang terlalu tergantung kan repot juganantinya.. jadi anak perempuan juga mesti sekolah biar bisamandiri nantinya. (YT, anak, 21 tahun).

Tabel 39. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Stereotipi diKecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008)

Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan

Stereotipi AnakRendah Tinggi

Negatif 10 (55,6.%) 5 (41,7%)

Positif 8 (44,4%) 7 (58,3%)

Total 18 (100%) 12(100%)

Variabel selanjutnya yang berhubungan dengan persepsi anak terhadap

peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan adalah kepekaan anak terhadap

isu gender stereotipi. Kepekaan seseorang terhadap isu gender stereotipi diartikan

sebagai kepekaan seseorang terhadap label negatif yang biasanya ditempelkan

kepada perempuan, misalnya perempuan itu hanya perlu cantik saja, tanpa harus

pandai. Anak yang memiliki kepekaan terhadap isu gender stereotipi tidak

percaya dengan stereotipi yang dilabelkan kepada perempuan. Mereka tahu bahwa

label tersebut mungkin saja berlaku kepada seorang perempuan, tapi label tersebut

tidak berlaku pada seluruh perempuan. Mereka beranggapan bahwa perempuan

harus pandai, caranya adalah dengan bersekolah. Mereka menyangkal anggapan

bahwa kalaupun seorang perempuan bisa mendapatkan pekerjaan yang baik, itu

hanya karena perempuan itu cantik, berpenampilan menarik, atau yang lainnya,

tetapi bukan melihat kemampuan perempuan itu.

Tabel 40. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Kekerasan diKecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008)

Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan

Kekerasan AnakRendah Tinggi

Negatif 4 (80%) 11 (44%)

Positif 1 (20%) 14 (56%)

Total 5 (100%) 25(100%)

Kepekaan anak terhadap isu gender kekerasan berhubungan dengan

persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. Data

menunjukkan bahwa semakin tinggi kepekaan anak terhadap isu gender

kekerasan, maka semakin baik pula persepsi anak terhadap peran pendidikan

dalam hal perolehan pekerjaan. Anak yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu

gender kekerasan dapat dikatakan sebagai anak yang tidak menghierarkhikan

perempuan dan laki-laki, mereka menganggap laki-laki dan perempuan sama. Jika

ada perempuan yang diperlakukan tidak baik oleh laki-laki, perempuan biasanya

disalahkan. Oleh karena itu, perempuan harus memiliki benteng yang kuat dalam

menjaga diri. Perempuan yang tidak berpendidikan kemungkinan besar tidak

mengetahui bagaimana harus bersikap, sehingga terjadilah tindakan kekerasan

yang kemudian berlangsung terus menerus.

Tabel 41. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Beban Kerja diKecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008)

Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan

Beban Kerja AnakRendah Tinggi

Negatif 13 (52%) 2 (40%)

Positif 12 (48%) 3 (60%)

Total 25 (100%) 5 (100%)

Kepekaan anak terhadap isu gender beban kerja berhubungan dengan

persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. semakin

tinggi kepekaan seseorang terhadap isu gender beban kerja, maka akan semakin

positif pula persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan

pekerjaan. Anak yang peka terhadap isu gender beban kerja sudah mengerti

bahwa perekerjaan rumah tangga bukan hanya tanggung jawab seorang

perempuan saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab laki-laki. Mereka

beranggapan bahwa kalau seorang perempuan tidak pendidikan, ia akan dengan

serta merta hanya menerima pekerjaan di rumah tangga saja. Jika mereka

berpendidikan, tentunya mereka mendapatkan informasi yang lebih mengenai

banyak hal, salah satunya adalah mengenai isu gender beban kerja yang idelanya

ditetapkan sebagai kesepakatan bersama, bukan hanya pekerjaan perempuan saja.

6.2.2. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Sosial

Seperti halnya persepsi orang tua terhadap peran pendidikan perempuan

dalam kehidupan sosial yang kurang baik, persepsi anak pun demikian terhadap

peran pendidikan dalam kehidupan sosial. Sebanyak 66,7 persen anak tidak

menganggap pendidikan penting dalam pergaulan perempuan karena perempuan

tidak terlalu perlu bergaul terlalu luas sehari-hari. Selain itu, perempuan biasanya

hanya berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnnya yang juga mempunyai

karakteristik yang kurang lebih sama dengan dirinya. Oleh karena itu, perempuan

tidak harus berusaha terlalu keras untuk mengembangkan diri untuk bisa bergaul,

karena ternyata dengan tidak berpendidikan pun seorang perempuan bisa diterima

di lingkungannya. Permasalahannya adalah bahwa karena perempuan tidak

bergaul secara luas dan hanya bergaul dengan orang-orang yang sama dengan

dirinya, maka perempuan itu pun tidak akan mampu mengembangkan diri secara

maksimal. Beberapa variabel yang berhubungan dengan persepsi anak terhadap

peran pendidikan dalam kehidupan sosial adalah kepekaan anak terhadap isu

gender subordinasi, isu gender stereotipi, dan isu gender beban kerja.

Kepekaan anak terhadap isu gender subordinasi berhubungan dengan

persepsi anak terhadap peran pendidikan perempuan dalam hal kehidupan sosial.

Tabel 42. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal Kehidupan SosialBerdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Subordinasi di KecamatanCariu Kabupaten Bogor (2008)

Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalKehidupan Sosial

Subordinasi AnakRendah Tinggi

Rendah 18 (78,3%) 2(28,6%)

Tinggi 5 (21,7%) 5(71,4%)

Total 23 (100%) 7(100%)

Semakin peka seorang anak terhadap isu gender subordinasi, semakin

positif pula persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan sosial.

Seorang anak yang peka terhadap isu gender subordinasi akan menganggap

bahwa perempuan juga harus bisa mengembangkan diri dengan bergaul, oleh

karena itu perempuan harus punya kompetensi untuk bisa diterima di

pergaulannya, sehingga pendidikan juga dianggap penting bagi seorang

perempuan untuk bergaul.

6.2.3. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Berkeluarga

Sebagian dari responden anak sudah menikah dan mempunyai anak,

namun mereka tetap diposisikan sebagai anak, bukan sebagai orang tua.

Responden anak yang sudah berkeluarga maupun yang belum berkeluarga.

Sebesar 70 persen anak memiliki persepsi yang negatif terhadap peran pendidikan

dalam hal kehidupan berkeluarga. Mereka menganggap pendidikan bukanlah

faktor yang berhubungan dengan kehidupan berkeluarga seseorang.

Masa pengen hidup seneng sama keluarga aja mesti cape-capesekolah dulu sih? Ya engga lah! Yang penting mah kita berimansama Allah, insya Allah bakal dikasih yang terbaik sama Allah.Pendidikan sama sekali ga ada hubungannya sama kebahagiaanseseorang di dalam keluarga (ST, anak, 35 tahun).

Tabel 43. Jumlah dan Presentase Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalamKehidupan Berkeluarga

Persepsi Anak terhadap PeranPendidikan dalam Kehidupan

BerkeluargaFrekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 20 66,7

Tinggi 10 33,3

Total 30 100

Berdasarkan hasil analisis data, persepsi anak terhadap peran pendidikan

dalam kehidupan berkeluarga berhubungan dengan variabel kepekaan anak

terhadap isu gender beban kerja. Beban kerja dalam hal ini diartikan sebagai

pembebanan pekerjaan rumah tangga sepenuhnya kepada perempuan, sekan

perempuan sudah bekerja pula di sektor publik. Semakin peka seorang anak

terhadap isu gender beban kerja, maka semakin positif persepsi anak terhadap

peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga. Hal ini diperkuat oleh

pernyataan seorang responden,

Kerjaan di rumah sih harusnya dibagi-bagi sama suami, enak ajkalo istri doang yang kerja.. makanya perempuan juga mesti pinterbiar ga diboongin sama suami!! Apalagi jaman sekarang, orang-orang udah makin edan!! (LL, anak, 29 tahun).

BAB VII

KETIMPANGAN GENDER DALAM PENDIDIKAN

Ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di Kecamatan Cariu sangat

terlihat pada jumlah siswa sekolah tingkat SMA. Ketimpangan gender dalam

pendidikan ini dilihat dengan membandingkan jumlah siswa laki-laki dan

perempuan di sekolah-sekolah menengah tingkat atas di Kecamatan Cariu.

Kecamatan Cariu memiliki dua sekolah setingkat SMA, yang pertama adalah

SMA Negeri 1 Cariu yang telah berdiri sejak sekitar 10 tahun yang lalu, yang

kedua adalah SMK Negeri 1 Cariu yang baru berdiri sekitar tiga tahun.

Ketimpangan gender terlihat pada kedua sekolah tersebut. Kedua sekolah

mengenah tingkat atas tersebut memiliki siswa laki-laki yang jauh lebih banyak

daripada jumlah siswa perempuan. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru di

kedua sekolah tersebut, hal ketimpangan jumlah antara siswa laki-laki dan

perempuan berlangsung terus menerus sejak sekolah tersebut didirikan. Data

menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun siswa laki-laki hampir selalu lebih

banyak daripada siswa perempuan di kedua sekolah.

Tabel 44. Jumlah siswa SMA Negeri 1 Cariu Berdasarkan Jenis Kelamin (2008)

Tahun Jumlah Siswa Total

Kelas satu Kelas 2 Kelas 3

L P T L P T L P T

1995/1996

1996/1997 114 46 160 80 36 116 43 19 62 338

1997/1998 216 88 304 65 83 148 56 27 83 505

1998/1999 135 65 200 111 45 156 63 34 97 453

1999/2000 126 67 193 107 69 176 112 54 166 535

2000/2001 107 81 188 107 65 172 102 70 172 532

2001/2002 127 83 210 108 77 185 109 62 171 566

2002/2003 118 82 200 120 74 194 107 75 182 576

2003/2004 100 102 202 115 76 191 124 70 194 587

2004/2005 95 90 185 98 97 195 109 77 186 566

2005/2006 110 79 189 90 92 182 99 97 196 567

2006/2007 117 81 198 110 75 185 89 89 178 561

2007/2008 118 101 219 112 76 188 70 108 178 585

Sumber: Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Cariu

Satu sekolah menengah atas lainnya yang terdapat di Kecamatan Cariu

tidak memiliki siswa perempuan samasekali karena dianggap sebagai sekolah bagi

anak laki-laki.

Ketimpangan gender dalam bidang pendidikan tersebut dipengaruhi oleh

tiga hal, persepsi orang tua terhadap pendidikan anak perempuan, persepsi anak

terhadap pendidikan, dan pengambilan keputusan mengenai pendidikan anak

perempuan dalam rumah tangga.

7.1. Hubungan Antara Persepsi Orang Tua Terhadap Peran Pendidikandengan Ketimpangan Gender dalam Pendidikan

Jika dilihat secara umum, persepsi orang tua terhadap peran pendidikan

dalam hal perolehan pekerjaan, dalam hal kehidupan sosial, dan dalam hal

kehidupan berkeluarga dapat dikatakan sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 45. Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan,Kecamatan cariu (2008)

Persepsi Responden Orang Tuaterhadap Pendidikan Perempuan Frekuensi (orang) Persentase (%)

negatif 20 66,7positif 10 33,3Total 30 100

Sebesar 66,7 persen orang tua tidak peduli akan pentingnya pendidikan

bagi perempuan. Orang tua lebih memilih untuk menikahkan anak

perempuannnya pada usia dini ketimbang menyekolahkan anak ke jenjang yang

lebih tinggi. Hal inilah yang diduga berhubungan dengan tingginnya angka

ketimpangan gender di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, khususnya pada

jenjang SMA dan setingkatnya. Peran pendidikan bagi perempuan tidaklah

penting menurut kebanyakan orang tua. Menurut mereka, perempuan tidak harus

sekolah, karena pada akhirnya masa depan perempuan hanya akan berakhir di

dapur.

SMA Negeri 1 Cariu yang merupakan sekolah umum mempunyai

kurikulum yang sama dengan sekolah negeri pada umumnya, namun tetap saja

para orang tua enggan menyekolahkan anak perempuan mereka di sekolah ini.

Ketika ditanya penyebab para orang tua tidak menyekolahkan anak perempuan

mereka, ternyata faktor biaya tidak menjadi persoalan yang utama, begitu pula

dengan persoalan jarak tempuh dari pemukiman warga ke SMA Negeri 1 Cariu.

Hal yang menjadi persoalan adalah cara pandang orang tua terhadap anak

perempuan mereka. Para orang tua memandang anak perempuan sebagai anak

yang hanya perlu dilindungi oleh orang tua dan suaminya kelak, tanpa harus

dikembangkan potensi yang ada di dalam diri anak perempuan tersebut.

SMK Negeri 1 Cariu adalah SMK teknik industri. Didirikan pada tahun

2004 untuk menyukseskan program pemerintah Kabupaten Bogor, yaitu

memperkuat pendidikan berbasis keterampilan khusus. Pemerintah Kabupaten

Bogor, khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor yang disetujui oleh Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor semula akan mendirikan

SMK pariwisata atau SMK Manajemen, namun hal tersebut urung dilakukan

mengingat lokasi Kecamatan Cariu yang terjepit diantara daerah-daerah industri,

yaitu Karawang, Bekasi, dan Jonggol. Pemerintah Kabupaten Bogor

mengharapkan dengan dibangunnya SMK teknik industri di Kecamatan Cariu ini

akan membuka jalan bagi para pemuda untuk lebih mudah mencari pekerjaan

untuk menaikkan taraf hidup warga Kecamatan Cariu itu sendiri.

Sebagai SMK teknik industri, tentunya SMK Negeri 1 Cariu mempunyai

kurikulum yang berbeda dengan SMA regular pada umumnya. SMK Negeri 1

Cariu memiliki dua program pembelajaran, yaitu program Auto Motor Teknik dan

Audio visual. SMK Negeri 1 Cariu tidak diminati oleh siswa perempuan. Hal ini

terbukti dari tidak adanya siswa perempuan yang tercatat sebagai siswa sekolah

ini. Menurut Bapak Znl, selaku Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Cariu, pernah ada

siswa perempuan yang mendaftarkan diri bersekolah di SMK Negeri 1 Cariu ini,

namun siswa perempuan tersebut tidak mengikuti pendidikan hingga tamat.

Setelah beberapa bulan mengikuti pendidikan, siswa tersebut mengundurkan diri

dari sekolah. Setelah pihak sekolah menelusuri dan menyelidiki penyebab

keluarnya siswa perempuan tersebut, didapatlah informasi bahwa dia dipaksa oleh

orang tuanya untuk dinikahkan. Menurut informasi lebih lanjut, orang tua gadis

itu lelah dengan cibiran para tetangga dan kerabat yang mengatakan bahwa anak

perempuan mereka tidak laku, dan akan segera menjadi perawan tua karena belum

menikah pada usia baligh. Selain itu, penampilan anak perempuan yang terlihat

seperti anak laki-laki, karena banyak bergaul dengan anak laki-laki, dijadikan

santapan lezat untuk diperbincangkan oleh tetangga dan kerabat yang usil.

Demikian hebatnya gunjingan para tetangga dan kerabat itu akhirnya

meruntuhkan benteng pertahanan orang tua si gadis.

Persepsi orang tua terhadap peran pendidikan anak perempuan sangat

berperan dalam kaitannya dengan ketimpangan gender dalam pendidikan,

khususnya pada jenjang SMA dan setingkatnya. Apapun yang dikatakan oleh

orang tua kepada anaknya akan diikuti oleh si anak, termasuk ketika orang tua

berkeinginan untuk menikahkan anak perempuan mereka di usia yang relatif dini,

tanpa membekali anak perempuannya dengan ilmu yang cukup. Sebagian orang

tua menganggap hal tersebut adalah jalan terbaik untuk anak perempuan mereka.

Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan salah satu responden orang tua yang sudah

menikahkan anaknya di usia dini, sebagai berikut:

Punya anak perempuan mah berat tanggung jawabnya, apalagikalo udah jadi anak perawan. Mendingan juga dinikahin aja lahkalo udah ada yang mint amah, biar aman. Kalo udah nikah kanapa-apa juga jadi halal, ga dosa lagi. Saya mah ambil mudahnyaaja deh, takut dosa kalo ngebiarin anak perawan lama-lama.(HR, orang tua, 54 tahun).

7.2. Hubungan Antara Persepsi Anak Terhadap Peran Pendidikan denganKetimpangan Gender dalam Pendididikan

Ketimpangan gender dalam pendidikan di Kecamatan Cariu Kabupaten

Bogor yang diindikasikan oleh perbedaan jumlah siswa perempuan dan laki-laki

pada sekolah setingkat SMA terlihat sangat mencolok. Dari data yang diperoleh

dari sekolah-sekolah setara SMP yang ada di Kecamatan Cariu, didapatkan bahwa

jumlah siswa laki-laki dan siswa perempuan tidak jauh berbeda, namun pada data

jumlah siswa laki-laki dan perempuan tahun berikutnya terlihat kesenjangan yang

tinggi. Presentase jumlah siswa perempuan menurun drastis, sedangkan presentase

siswa laki-laki mengalami peningkatan.

Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat persepsi anak terhadap peran

pendidikan perempuan pun negatif. Seperti halnya orang tua, sebagian besar anak

pun menganggap bahwa pendidikan bagi anak perempuan tidak terlalu penting.

Pendidikan yang tinggi bagi anak perempuan dipandang terlalu sebagai suatu hal

yang percuma, hanya membuang uang, tenaga, waktu, dan pikiran. Pemikiran

yang sama dengan orang tua menjadi dasar dari lahirnya persepsi dalam diri anak

bahwa pendidikan bagi anak perempuan tidak begitu penting, karena perempuan

hanya warga kelas dua, satu tingkat di bawah laki-laki. Tingkat persepsi anak

terhadap pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 46. Persepsi Responden Anak terhadap Pendidikan Perempuan, KecamatanCariu 92008)

Persepsi Responden Anak terhadapPendidikan Perempuan Frekuensi (orang) Persentase (%)

Negatif 19 63,3Positif 11 36,7Total 30 100

Persepsi anak terhadap peran pendidikan perempuan merupakan penyebab

utama kedua setelah persepsi orang tua terhadap peran pendidikan bagi anak

perempuan dalam hal tingginya ketimpangan gender dalam dunia pendidikan.

Tidak mengherankan jika pendidikan perempuan semakin menurun di jenjang

pendidikan yang lebih tinggi, karena anak-anak itu sendiri tidak mempunyai

keinginan yang kuat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang

lebih tinggi. Sebagai bukti bahwa persepsi anak terhadap peran pendidikan

berperan dalam ketimpangan gender yang semakin mencolok, seorang responden

orang tua yang melibatkan anaknya dalam proses pengambilan keputusan

mengatakan bahwa anaknya saja tidak mau disekolahkan, jadi untuk apa anak

tersebut disekolahkan, karena pemaksaan terhadap anak tidak akan menghasilkan

prestasi yang baik.

Anak saya mah disekolahin malah ga mau! Ya udah lah sayasuruh dia kerja aja supaya bener, daripada nanti udah susah-susah disekolahin, malah ga bener, kerjaannya bolos..kan sayangjuga duitnya! (BM, orang tua, 51 tahun).

Seorang anak yang sudah sadar akan pentingnya peran pendidikan akan

memperlihatkan hasil yang berbeda dengan anak yang terpaksa sekolah untuk

memenuhi keinginan orang tuanya.

7.3. Hubungan antara Pengambilan Keputusan Mengenai PendidikanAnak Perempuan dengan Ketimpangan Gender dalam Pendidikan

Pengambilan keputusan merupakan hal yang sangat penting dalam

ketimpangan gender dalam pendidikan. Pengambilan keputusan mengenai

pendidikan untuk anak perempuan dalam sebuah keluarga tidak selalu melalui

proses yang sama dalam sebuah keluarga. Dalam penelitian ini, pengambilan

keputusan mengenai pendidikan anak perempuan dalam sebuah keluarga dilihat

dari apakah anak perempuan itu sendiri dilibatkan dalam pengambilan keputusan

untuk pendidikannya atau hanya tinggal menjalani keputusan yang sudah diambil

oleh orang tua. Pengambilan keputusan dibagi menjadi dua kategori, yaitu

kategori tinggi dan rendah. Pengambilan keputusan dikatakan tinggi bila anak

perempuan dalam suatu keluarga dilibatkan dalam pengambilan keputusan

mengenai pendidikan anak perempuan tersebut, sedangkan pengambilan

keputusan dikatakan rendah apabila pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh

orang tua saja, tanpa melibatkan anak perempuan. Pengambilan keputusan dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 47. Pengambilan Keputusan Pendidikan Anak Perempuan, KecamatanCariu (2008)

Pengambilan Keputusan Pendidikan AnakPerempuan Frekuensi (orang) Persentase

(%)Orang Tua/Anak 18 60

Orang Tua dan Anak 12 40Total 30 100

Berdasarkan hasil pengolahan data, pengambilan keputusan

mengenai pendidikan anak perempuan dalam keluarga sebanyak 60 persen

dilakukan hanya oleh orang tua (pengambilan keputusan tinggi), tanpa melibatkan

anak perempuan mereka, sedangkan 40 persen lainnya mengambil keputusan

mengenai pendidikan anak perempuan dengan mempertimbangkan pendapat anak

perempuan mereka (pengambilan keputusan rendah).

Ketimpangan gender dalam pendidikan yang terjadi di Kecamatan Cariu

semakin masuk akal ketika melihat banyaknya orang tua yang tidak melibatkan

anak perempuannya dalam mengambil keputusan mengenai pendidikan anak

perempuan, dihubungkan dengan rendahnya persepsi orang tua mengenai

pendidikan untuk anak perempuan, dilihat dari segi perolehan pekerjaan,

kehidupan sosial anak perempuan, dan kehidupan berkeluarga anak perempuan

tersebut. Dapat dikatakan bahwa orang tua yang tidak melibatkan anak

perempuannya dalam mengambil keputusan mengenai pendidikan untuk anak

perempuannya mengaplikasikan persepsi mereka terhadap pendidikan untuk anak

perempuan yang demikian rendah.

7.3.1. Hubungan antara Persepsi Orang Tua terhadap PendidikanPerempuan dengan Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan mengenai pendidikan anak perempuan

dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu persepsi orang tua terhadap pendidikan anak

permpuan dan persepsi anak terhadap pendidikan anak perempuan.

Tabel 48. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan BerdasarkanPengambilan Keputusan Mengenai Pendidikan Anak Perempuan

Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan AnakPerempuan

pengambilan keputusan pendidikan

orang tua anak danorang tua

Negatif 15 (83,3%) 5 (41,7%)Positif 3 (16,7%) 7 (68,3%)Total 18 (100%) 12 (100%)

Dari hasil olahan data, didapatkan hasil bahwa memang persepsi orang tua

terhadap pendidikan anak perempuan berhubungan dengan pengambilan

keputusan mengenai pendidikan anak perempuan.

Persepsi positif lebih banyak dipunyai oleh orang tua yang melibatkan

anaknya dalam pengambilan keputusan pendidikan anak perempuan,

dibandingkan dengan orang tua yang hanya mengambil keputusan mengenai

pendidikan anak perempuan secara sepihak saja. Maka, semakin positif persepsi

orang tua terhadap pendidikan maka orang tua sedapat mungkin melibatkan anak

perempuannya dalam mengambil keputusan mengenai pendidikan anak

perempuannya. Orang tua yang sudah sadar akan pentingnya pendidikan bagi

anak perempuan dalam hal perolehan pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan

berkeluarga anak perempuannya kelak mempunyai harapan yang besar kepada

anak perempuan mereka. Harapan tersebut mereka tujukan untuk anak

perempuannya, bukan hanya untuk mereka sebagai orang tua. Para orang tua yang

memiliki persepsi positif terhadap pendidikan bagi anak perempuan dan

melibatkan anak perempuannya dalam proses pengambilan keputusan

mengharapkan anak perempuannya dapat menjadi seoranganak yang mandiri,

tidak tergantung kepada siapapun. Mereka melibatkan anak dalam pengambilan

keputusan karena mereka juga menyadari bahwa paksaan mereka kepada anak

perempuannya untuk bersekolah hanya akan membuat harapan yang mereka

gantungkan kepada anak perempuan mereka akan menjadi sia-sia saja. Hal

tersebut dipertegas oleh pernyataan seorang responden yang selalu berusaha untuk

melibatkan anaknya dalam proses pengambilan keputusan, sebagai berikut:

anak udah gede harus ditanya juga apa maunya, kita orang tuaga boleh seenaknya aja nentuin apa yang kita pengen, trus anakmesti ngejalanin gitu aj. Sukur-sukur kalo anaknya senang, kaloanaknya kepaksa kan repot.. kasian anak kitanya ntar! (GN, orangtua, 57 tahun).

Pernyataan berbeda disampaikan oleh responden lain yang tidak melibatkan anak

dalam mengambil keputusan untuk kepentingan pendidikan anak perempuan

sebagai berikut:

yang namanya anak mah udah semestinya tau beres aja. Soalmikirin sekolah atau yang lain-lain mah biar jadi urusan orang tuaaj, anak ga usah ikutan pusing deh.. kalo kata kita mesti ini, mestiitu ya anaknya mesti ngikut juga. (SH, orang tua, 65 tahun).

7.3.2. Hubungan antara Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuandengan Pengambilan Keputusan

Faktor kedua yang mempengaruhi pengambilan keputusan adalah persepsi

anak terhadap pendidikan perempuan. Data berikutnya menunjukkan adanya

hubungan antara persepsi anak dan keterlibatan anak dalam pengambilan

keputusan mengenai pendidikan untuk anak perempuan.

Tabel 49. Persepsi Anak terhadap Pendidikan Berdasarkan PengambilanKeputusan Mengenai Pendidikan Anak Perempuan

persepsi anak terhadap pendidikan anakperempuan

pengambilan keputusan pendidikan

orang tua Anak danorang tua

Negatif 13 (72,7%) 6 (50%)Positif 5 (27,3%) 6 (50%)Total 18 (100%) 12 (100%)

Persepsi positif terhadap pendidikan anak perempuan lebih banyak

dimiliki oleh anak yang dilibatan dalam pengambilan keputusan mengenai

pendidikan, dibandingkan dengan anak yang tidak dilibatkan dalam pengambilan

keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi anak terhadap pendidikan

perempuan berhubungan dengan pengambilan keputusan pendidikan perempuan.

Persepsi anak terhadap pendidikan perempuan menentukan apakah anak tersebut

dilibatkan dalam pengambilan keputusan pendidikannya, atau hanya tinggal

menjalani keputusan yang diambil oleh orang tua. Anak yang memiliki persepsi

positif terhadap pendidikan perempuan pada umumnya menunjukkan semangat

untuk memperjuangkan keinginannya untun memperoleh pendidikan, sehingga

hal itu pula yang menjadi sebuah dorongan bagi orang tua untuk mendengarkan

aspirasi anaknya atau tidak. Anak yang memiliki persepsi rendah terhadap

pendidikan perempuan cenderung tidak peduli dengan keputusan pendidikan itu

sendiri, sehingga mereka tidak keberatan untuk tidak dilibatkan dalam

pengambilan keputusan pendidikannya.

BAB VIII

DAMPAK KETIMPANGAN GENDER DALAM PENDIDIKANTERHADAP KEHIDUPAN PEREMPUAN DALAM

KEHIDUPAN BERKELUARGA DAN BERMASYARAKAT

Gambaran ketimpangan gender yang terjadi di Kecamatan Cariu,

Kabupaten Bogor ternyata menimbulkan dampak tertentu pada berbagai aspek

kehidupan yang terjadi dalam kehidupan seorang perempuan. Dalam hal ini

kehidupan perempuan akan dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu kehidupan individu

perempuan, kehidupan perempuan dalam keluarga, dan kehidupan perempuan

dalam masyarakat. Secara lebih jelasnya, dampak terhadap kehidupan individu

perempuan dilihat dari segi pekerjaan, bagaimana seorang perempuan mampu

membuat dirinya mandiri secara finansial dan pengambilan keputusan untuk

dirinya sendiri. Dampak ketimpangan gender dalam pendidikan perempuan dilihat

dari dampak terhadap pembentukan keluarga, baik orientasi, maupun prokreasi.

Dampak terhadap kehidupan perempuan dalam masyarakat dilihat dari kehidupan

sosial anak perempuan.

8.1. Dampak Ketimpangan Pendidikan Perempuan terhadap KehidupanIndividu Perempuan

Ketimpangan gender dalam bidang pendidikan, khususnya bagi

perempuan menimbulkan berbagai dampak, salah satunya adalah dampak yang

timbul pada diri perempuan itu sendiri. Dampak ketimpangan pendidikan

terhadap kehidupan individu perempuan diukur melalui dampak ketimpangan

pendidikan terhadap segi pekerjaan seorang perempuan. Perempuan yang mampu

mendapatkan pekerjaan yang layak dan mampu membiayai minimal dirinya

sendiri dapat dikatakan mandiri, artinya perempuan tersebut sudah mampu

mengambil keputusan bagi dirinnya sendiri, tanpa harus menggantungkan diri

kepada orang lain.

Tabel 49. Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadap KehidupanIndividu Perempuan, Kecamatan Cariu (2008)

Dampak Ketimpangan Gender dalamPendidikan terhadap Kehidupan

Individu PerempuanFrekuensi (orang) Persentase (%)

Negatif 21 70Positif 9 30Total 30 100

Berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan

kuesioner, didapatkan hasil bahwa dampak ketimpangan pendidikan perempuan

terhadap individu perempuan begitu terlihat. Sebanyak 70 persen responden

mengalami dampak negatif akibat ketimpangan gender dalam pendidikan

perempuan. Mereka mengaku kesulitan mendapatkan pekerjaan karena tingkat

pendidikan mereka yang rendah, selain itu pun mereka tidak memiliki

keterampilan khusus yang dapat dilihat sebagai nilai tambah dalam diri mereka.

Hal tersebutlah yang menjadi titik lemah perempuan dalam mencari pekerjaan.

Berbagai pendapat diungkapkan oleh responden, namun berikut adalah dua

pendapat berbeda dari responden yang masing-masing dirasa dapat mewakili

pendapat responden lainnya.

Memang benar pendidikan itu penting, tapi saya sih ga ngerasainburuk-buruknya banget ah.. ya minimal bisa lah idup buat dirisendiri mah.. jadi ga usah ngerepotin siapa-siapa lagi. Kerjaseadanya, gaji seadanya, makan seadanya, yah gitu lah.. tapi gaparah-parah amat, namanya juga idup yah, jadi kalo ada susah-sudah dikit mah ga usah dibikin tambah pusing lah... idup mahdijalanin aj, da susahnya itu mah bukan gara-gara cewe gasekolah SMA! Itu mah nasib kali yah (AS, anak, 31 tahun).

Pernyataan yang berlawanan disampaikan oleh responden lainnya,

Saya baru sadar kalo pendidikan emang segitu gede pengaruhnyake hidup seseorang pas udah ngerasain susahnya aja. Waktu dulusaya pengen sekolah tapi orang tua nyuruh kerja, nyuruh nikahjuga, ya saya mau bilang apa lagi atuh kalo udah gitumah..padahal kalo dipikir-pikir sekarang, ngapain juga kerja kayagitu, gajinya ga seberapa tapi tenaga aja abis tiap hari kaya kuli.(RT, anak, 28 tahun).

8.2. Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan Perempuanterhadap Perempuan dalam Keluarga

Dampak dari ketimpangan gender yang selanjutnya adalah dampak yang

terjadi pada kehidupan individu perempuan dalam berkeluarga. Membentuk

keluarga adalah salah satu bagian dari proses kehidupan yang dijalani oleh

sebagian besar orang. Kehidupan di pedesaan biasanya sangat familiar dengan

istilah kawin muda. Anak-anak di bawah umur sudah dinikahkan asalkan ada laki-

laki yang melamar. Dampak pada keluarga ini dilihat dari bagaimana seorang

anak perempuan di dalam keluarganya dan penilaian perempuan mengenai

pembentukan keluarga ideal. Pembentukan keluarga yang tidak didasari

pendidikan yang ideal dapat memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak

diinginkan dalam keluarga tersebut, misalnya keturunan yang juga nantinya tidak

berpendidikan.

Tabel 53. Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadap KehidupanIndividu Perempuan dalam Keluarga Kecamatan Cariu (2008)

Dampak Ketimpangan Gender dalamPendidikan terhadap Kehidupan

Individu Perempuan dalam KeluargaFrekuensi (orang) Persentase (%)

Negatif 23 76,7Positif 7 23,3Total 30 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa dampak ketimpangan pendidikan dalam

kehidupan individu berkeluarga mmenunjukkan angka yang memprihatinkan.

Sebanyak 76,7 persen responden mengaku adanya dampak negatif terhadap

kehidupan berkeluarga mereka karena adanya ketimpangan gender. Karena

adanya pandangan bahwa anak perempuan tidak begitu. mementingkan

pendidikan, maka orang tua berpikir untuk lebih baik menikahkan anak-anak

perempuan mereka. Hal ini dapat menimbulkan dampak terhadap pembertukan

keluarga tersebut Dampak ini dapat dikatakan dampak yang paling fatal, karena

dampak ini juga sangat memungkinkan terjadinya pewarisan ideologi kepada

keturunan mereka. Orang tua yang tidak mengerti tentang pentingnya pendidikan

cenderung akan mewariskan hal tersebut kepada anak.

Ketimpangan gender dalam bidang pendidikan selain dapat berdampak

terhadap pewarisan persepsi negatif kepada keturunan pun dapat merubah

orientasi seseorang mengenai keluarga. Sebagai contoh, seorang anak yang

diberhentikan sekolah karena akan dinikahkan memandang keluarga sebagai

sesuatu yang biasa, tanpa harus dihadapi dengan persiapan yang matang. Mereka

bahkan tidak mempersiapkan mental mereka ketika akan dinikahkan. Hal tersebut

dapat berakibat buruk pada perkawinan yang mereka jalani. Ketika mental yang

tidak dipersiapkan dengan baik harus berhadapan dengan masalah rumah tangga

yang pelik, maka mental tersebut akan menciut dan dapat mengakibatkan

berakhirnya perkawinan.

8.3. Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan Perempuanterhadap Kehidupan Perempuan dalam Masyarakat

Sebagai makhluk sosial, perempuan, seperti halnya laki-laki memiliki

kebutuhan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Hal inilah yang mendasari

perlunya kita melihat peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Terdapat

berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan seorang perempuan dalam

masyarakat, salah satunya adalah tingkat pendidikan. Dampak dari ketimpangan

pendidikan bagi perempuan dilihat dari keterlibatannya di dalam kelembagaan

sosial masyarakat dan relasi sosial anak perempuan tersebut dengan orang-orang

di sekitarnya.

Organisasi sosial di Kecamatan Cariu tidak terlalu berviarisi, hanya

terdapat lembaga-lembaga seperti RT, RW, dll. Dari kelembagaan yang hanya

sedikit itulah perempuan tidak terlalu dilibatkan dalam kepengurusan organisasi

tersebut. Kepengurusan organisasi sepenuhnya dipercayakan kepada laki-laki,

sedangkan perempuan hanya berperan sebagai seksi konsumsi di setiap

pertemuan. Hal ini juga dikarenakan perempuan-perempuan tersebut kurang

dalam menempuh pendidikan, sehingga mereka tidak punya posisi tawar yang

baik untuk bisa berbicara dan berdiskusi dengan pengurus anggota kelompok

yang lain.

Dampak yang satu inilah yang dipandang merugikan bagi sebagian besar

responden. Responden menganggap bahwa memang benar pendidikan yang

kurang tuntas akan berpengaruh pada kehidupan seorang perempuan di

masyarakat. Sebanyak 66,7 persen responden mengatakan bahwa memang

pendidikan sangat penting untuk menjalin hubungan dengan masyarakat. Hal

tersebut dapat dilihat pada tabel sebaran di bawah ini:

Tabel 54. Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadap KehidupanIndividu Perempuan dalam Masyarakat, Kecamatan Cariu (2008)

Dampak Ketimpangan Gender dalamPendidikan terhadap Kehidupan

Individu Perempuan dalamMasyarakat

Frekuensi (orang) Persentase (%)

Negatif 10 33,3Positif 20 66,7Total 30 100

BAB IX

KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan dari bab-bab sebelumnya, penelitian ini

mengarahkan penulisan menuju beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Ketimpangan gender yang terjadi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor

dapat dikatakan tinggi, hal ini terbukti dari perbandingan jumlah siswa

laki-laki dan perempuan dari tingkat SMP menuju SMA. Siswa perempuan

semakin berkurang seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan.

2. Ketimpangan gender yang terjadi di Kecamatan Cariu disebabkan oleh

persepsi orang tua dan persepsi anak terhadap pendidikan perempuan.

3. Ketimpangan gender dalam pendidikan menyebabkan dampak negatif

terhadap kehidupan perempuan, baik bagi kehidupan individu perempuan

itu sendiri, kehidupan perempuan dalam keluarga, dan kehidupan

perempuan dalam masyarakat.

4. Orang tua dan anak di Kecamatan Cariu masih membeda-bedakan bidang

ilmu khusus untuk laki-laki dan perempuan. Hal tersebut dipengaruhi oleh

stereotipi gender dan budaya bahwa ilmu teknik masih diidentikan dengan

laki-laki, perempuan dianggap tidak pantas menguasai ilmu teknik

tersebut.

5. Ketimpangan pendidikan perempuan di Kecamatan Cariu, Kabupaten

Bogor berdampak negatif terhadap kehidupan individu perempuan dan

kehidupan perempuan dalam keluarga.

9.2. Saran

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan berdasarkan

paparan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat disampaikan dalam tulisan ini

adalah sebagai berikut:

1. Kepekaan rensponden, baik responden anak maupun responden orang tua,

berhubungan dengan persepsi mereka terhadap pendidikan anak

perempuan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu kegiatan yang dapat

meningkatkan pengetahuan mengenai gender dan aplikasinya dalam

kehidupan sehari-hari, dengan tujuan untuk meningkatkan kepekaan orang

tua dan anak dalam hal gender. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui

sosialisasi oleh Dinas Sosial Kabupaten Bogor, khususnya Sub Bidang

Pemberdayaan Perempuan.

2. Warga Kecamatan Cariu terlihat masih membedakan ilmu berdasarkan

gender. Hal ini terlihat dari keengganan para orang tua untuk

menyekolahkan anaknya di SMKN 1 Cariu yang mereka anggap sekolah

khusus untuk laki-laki karena berbasiskan pengetahuan teknik. Oleh

karena itu, perlu adanya sosialisasi kepada para orang tua dan anak

mengenai hal tersebut agar para orang tua mengerti bahwa teknik bukan

hanya ilmu yang pantas dikuasai oleh laki-laki saja.

3. Mengingat keadaan Kecamatan Cariu masih bernuansa pedesaan, maka

peningkatan kepekaan warga mengenai gender dan pendidikan anak

perempuan dapat dilakukan melalui pendekatan interpersonal oleh tokoh

masyarakat setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Chan, Sam M. Dan Tuti T. Sam. 2006. Kebijakan Pendidikan Era OtonomiDaerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Chaubaud, Jaqueline. 1970. Mendidik dan Memajukan Wanita. Jakarta: GunungAgung.

DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Edisi Kelima. Jakarta:Proffesional Books.

Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. 2005. Profil Pendidikan Propinsi JawaBarat Tahun 2005.

Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. 2006. Pengarusutamaan Gender BidangPendidikan di Jawa Barat.

Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. 2007. Statistik Pendidikan Tahun 2007/2008.

Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. 2007. Statistik Pendidikan Tahun 2006/2007.

Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2006. Konsep dan Teknik Penelitian Gender.Malang: Universitas Muhammaiyah Malang.

Fathoni. 2008. Perpsepsi Nelayan Terhadap Pendidikan Anak. Skripsi.Departemen Sosial Ekonomi Perikanan. Fakultas Perikanan. InstitutPertanian Bogor. Bogor.

Hasbullah. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hassan, Fuad. 1992. Dimensi Budaya dan Pengembangan Sumberdaya Manusia.Jakarta: Balai Pustaka.

Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor. 2006. Statistik dan Analisis GenderKabupaten Bogor Tahun 2006.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendy. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta:LP3S.

Syafarudin dan Anzizhan. 2004. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan.Jakarta: Grasindo.

Utomo, Eko Setyo. 2005. Advokasi Pengarusutamaan Gender. Yogyakarta:Institut Hak Asasi Perempuan.

Wibowo, H. J. 1996. Dampak Pembangunan Pendidikan Terhadap KehidupanSosial Budaya Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:Departemen Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Yogyakarta: MediaPressindo.