FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN
DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN
(Kasus: Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Oleh:
Fitri Gayatri
A14204020
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
FITRI GAYATRI. FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN GENDERDALAM BIDANG PENDIDIKAN (Kasus: Kecamatan Cariu, KabupatenBogor, Jawa Barat). Di bawah Bimbingan WINATI WIGNA.
Pada era globalisasi ini, pendidikan sudah merupakan kebutuhan untuk
semua orang, tidak terlepas laki-laki atau perempuan. Pendidikan suatu bangsa
merupakan faktor penunjang pembangunan bangsa. pendidikan merupakan sektor
kunci pembangunan, terutama pembangunan sumberdaya manusia. Pendidikan
dapat dikatakan berhasil, salah satunya dengan meningkatnya aksesibilitas
berdasarkan gender, artinya perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama
dalam memperoleh pendidikan.
Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor merupakan salah satu kecamatan
yang mempunyai angka ketimpangan gender yang cukup tinggi. Hal ini dapat
dilihat dari meningkatnya perbedaan jumlah siswa laki-laki dan perempuan
berdasarkan jenis kelamin dari tngkat SMP ke tingkat SMA. Pada tingkat SMP,
perbedaan jumlah siswa laki-laki dan perempuan tidak terlalu jauh, siswa
perempuan dan laki-laki hampir berjumlah sama rata. Di tingkat SMA,
kesenjangan pendidikan mulai terasa. Dalam hampir setiap tahunnya, siswa
perempuan selalu jauh lebih sedikit daripada siswa laki-laki.
Ketimpangan gender yang terjadi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor
tersebut merupakan akibat dari kuatnya isu gender yang membudaya di
Kacamatan Cariu. Kurangnya kepekaan terhadap isu gender di Kecamatan Cariu
mengakibatkan rendahnya persepsi orang tua dan anak terhadap pendidikan
perempuan. Anggapan bahwa pendidikan lebih pantas untuk anak laki-laki
daripada untk anak perempuan. Anak perempuan tidak perluj disekolahkan karena
anak perempuan tdak disiapkan untuk menjadi pemimpin di dalam keluargaya
kelak.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang mengkibatkan
terjadinya ketimpangan dalam pendidikan perempuan, dan dampak yang
ditimbulkan dari ketimpangan tersebut terhadap kehidupan perempuan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi ketimpangan gender dalam pendidikan adalah persepsi
orang tua dan anak terhadap pendidikan perempuan, dan pengambilan keputusan
mengenai pendidikan perempuan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dengan
menggunakan kuesioner, serta didukung dengan metode kualitatif yang dilakukan
dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview). Responden dalam
penelitian ini terdiri dari orang tua dan anak yang dipilih secara acak. Sampel
yang dipilih dalam penelitian ini sebanyak 30 orang responden, masing-masing
orang tua dan anak. Data yang didapat dari penelitian ini diolah dengan
menggunakan uji frekuensi dan tabulasi silang untuk melihat hubungan antar
variabel.
Persepsi orang tua dan anak terhadap pendidikan perempuan dipengaruhi
oleh berbagai karakteristik yang menempel pada diri orang tua dan anak, termasuk
di dalamnya kepekaan terhadap isu-isu gender. Persepsi orang tua yang negatif
terhadap pendidikan perempuan akan menyebabkan ketimpangan gender dalam
pendidikan, begitu pula dengan persepsi anak terhadap pendidikan yang rendah
akan mengakibatkan ketimpangan gender dalam pendidikan. Pengambilan
keputusan dipengaruhi oleh persepsi orang tua terhadap pendidikan anak
perempuan dan persepsi anak terhadap pendidikan perempuan. Pengambilan
keputusan yang tidak melibatkan anak perempuan dalam pengambilan
keputusannya juga akan mengakibatkan ketimpangan gender dalam pendidikan.
Persepsi orang tua dan anak yang tinggi akan mengarah pada pengambilan
keputusan yang melibatkan anak perempuan di dalamnya.
Ketimpangan gender akan membawa pada dampak negatif terhadap
kehidupan individu perempuan, baik kahidupan individu mereka sendiri,
kehidupan perempuan dalam keluarga, dan kehidupan perempuan dalam
masyarakat. Dampak negatif yang dirasakan dalam kehidupan individu
perempuan itu sendiri akan mengarah pada ketidakmampuan perempuan untuk
hidup bertumpu pada kakinya sendiri, perempuan pada akhirnya hanya akan
menjadi orang yang selalu tergantung pada orang lain. Ketimpangan gender yang
terjadi pada diri individu perempuan dalam keluarga berupa pembentukan
keluarga perempuan, baik yang sudah terealisasikan, maupun pembentukan
keluarga yang masih berupa persepsi, bagi mereka yang belum menikah.
FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN
DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN
(Kasus: Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Oleh:
Fitri Gayatri
(A14204020)
SKRIPSI
Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Pertanian
Pada
Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh:
Nama : Fitri Gayatri
Nomor Pokok : A14204020
Judul : FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN
PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN
(Kasus: Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian pada
Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,Dosen Pembimbing
Dra. Winati Wigna, MDSNIP. 131 284 835
Mengetahui,Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.AgrNIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN
DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN (KASUS: KECAMATAN CARIU,
KABUPATEN BOGOR) INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA
YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA
SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI TIDAK MENGANDUNG
BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH
PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG
DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA
BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA
MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERNYATAN INI.
Bogor, Juni 2008
Fitri Gayatri
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan Skripsi
ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pertanian pada
Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul : FAKTOR DAN DAMPAK
KESENJANGAN GENDER DALAM BIDANG PENDIDIKAN (KASUS:
KECAMATAN CARIU, KABUPATEN BOGOR).
Kegiatan skripsi ini berupa penelitian yang menelaah aspek yang
mempengaruhi dan menajadi dampak dari ketimpangan gender dalam pendidikan
di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor. Melalui skripsi ini, memungkinkan
penulis mengenal, mempelajari, dan menganalisis permasalahan nyata di
lapangan.
Demikianlah skripsi ini disusun dengan suatu tema tulisan yang dipandang
cukup relevan untuk ditelaah lebih lanjut saat ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulisan Skripsi ini merupakan hasil dukungan dari berbagi pihak. Oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Allah SWT atas segala limpahan kebaikan, kasih sayang, dan ridho-Nya.
2. Ibu Winati Wigna, selaku pembimbing studi pustaka atas dukungan,
arahan, dan bimbingannya.
3. Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS sebagai dosen penguji utama.
4. Ibu Ratri Virianita, S.sos, Msi sebagai dosen penguji perwakilan dari
komisi pendidikan Departemen KPM.
5. Warga Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor atas kerjasamanya untuk
menjadi responden dari penelitian ini.
6. Mama Bapa, terimakasih atas segala limpahan kasih sayang sepanjang
masa kepada penulis, .
7. Teteh, terimakasih atas segala dukungannya dalam menyelesaikan skripsi
ini.
8. Blocnoot Crew, Adisty, Vanessa, Momon, Yuddi terimakasih atas segala
bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini, also for all the silliness we ve
done that really lighten up each day of mine.
9. Icha, teman seperjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Keluarga Besar H. M. Mesrie, atas semua doa dan semangat yang
diberikan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.
11. Keluarga Jamika, terimakasih atas doa dan semua dukungannya.
12. Seluruh trainer IGTC, Ms. Susi, Mr. Ochan, Ms. Wida, terimakasih atas
semua dukungan yang telah diberikan kepada penulis, dan semua izin
untuk meninggalkan training.
13. MMQ11erz of IGTC, the merchandisers to be, Harlan, Andi, Senja,
Tantan, Billi, Aji, Eni, Manda, Bayu, Ryo, Willy, Zia.
14. Mr. Andhika Yudha Perkasa, terimakasih atas perhatian, doa,
kebersamaan, dan dukungannya kepada penulis.
15. Sahabat: Novi, Inna, Erin, thanx for the priceless friendship ever!!
16. Tendy, Gerry, PA, Ajo, Alit, Rengga, teman-teman masa kecil,
terimakasih atas segala semangat dan doa yang telah kalian berikan.
17. Rekan-rekan KPMers 41 & nci sushane, atas kebersamaannya, sukses
selalu!!
18. Semua pihak, keluarga dan teman, yang tidak dapat penulis sebutkan satu
per satu, terimakasih atas semua bantuan yang telah diberikan kepada
penulis, baik langsung maupun tidak langsung.
Semoga semua bantuan, dukungan, nasehat dan doa yang telah kalian
berikan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Amin.
DAFTAR ISI
HalKATA PENGANTAR .............................................................................................. iUCAPAN TERIMAKASIH ...................................................................................... iiDAFTAR ISI ............................................................................................................ ivDAFTAR GAMBAR................................................................................................. viiiDAFTAR TABEL ..................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 11.1. Latar Belakang ..................................................................................................... 11.2. Pertanyaan Penelitian ........................................................................................... 41.3. Tujuan ................................................................................................................. 51.4. Manfaat Penelitian ............................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 62.1.Tinjauan Teoritis ................................................................................................. 6 2.1.1. Gender ....................................................................................................... 6 2.1.1.1. Manifestasi Ketidakadilan Gender ................................................. 7 2.1.2. Persepsi ...................................................................................................... 9 2.1.3. Pendidikan ................................................................................................. 11 2.1.3.1 Pengertian Pendidikan .................................................................... 11 2.1.3.2. Peranan Keluarga dalam Pendidikan ............................................. 13 2.1.3.3. Faktor yang Menpengaruhi Persepsi Terhadap Pendidikan ............. 14 2.1.3.4. Dampak Pendidikan Terhadap Kehidupan Sosial Budaya ............... 15 2.1.4. Data Umum Pendidikan Provinsi Jawa Barat .............................................. 162.2. Kerangka Pemikiran ............................................................................................. 192.3. Hipotesis Penelitian ............................................................................................. 232.4. Definisi Operasional ........................................................................................... 23
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................... 273.1. Penentuan Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................... 273.2. Metode Penelitian ................................................................................................ 273.3. Metode Penentuan Responden.............................................................................. 283.4. Metode Pengumpulan Data ................................................................................. 293.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. 29
BAB IV GAMBARAN UMUM ................................................................................ 304.1.Kondisi Geografis ................................................................................................. 304.2. Administrasi Kewilayahan ................................................................................... 30
4.3. Kondisi Demografi............................................................................................... 314.4 Kondisi Sosial Budaya .......................................................................................... 324.5. Kondisi Kesejahteraan Sosial ............................................................................... 32
4.5.1. Kondisi Sosial Pendidikan ......................................................................... 334.5.2. Kondisi Sosial Ekonomi ............................................................................ 34
4.6. Kondisi Sarana Prasarana Wilayah ....................................................................... 354.6.1 Kondisi Sarana Prasarana Pendidikan ......................................................... 354.6.2. Kondisi Sarana Prasarana Perekonomian ................................................... 354.6.3. Kondisi Infrastruktur Wilayah ................................................................... 35
BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN ............................................................. 365.1. Usia ..................................................................................................................... 365.2. Jenis Kelamin ...................................................................................................... 365.3. Tingkat Pendidikan Orang Tua ............................................................................. 375.4.Tingkat Pendapatan Orang Tua ............................................................................. 395.5.Wawasan Gender .................................................................................................. 40
5.5.1. Kepekaan Terhadap Isu Gender Marjinalisasi ............................................ 405.5.2. Kepekaan Terhadap Isu Gender Subordinasi .............................................. 435.5.3. Kepekaan Terhadap Isu Gender Stereotipi ................................................. 455.5.4. Kepekaan Terhadap Isu Gender Kekerasan ................................................ 475.5.5. Kepekaan Terhadap Isu Gender Beban Kerja ............................................. 49
BAB VI PERSEPSI ORANG TUA DAN ANAK TERHADAPPENDIDIKAN BAGI PEREMPUAN ........................................................ 51
6.1. Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan .................................. 516.1.1. Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan dalam
Perolehan Pekerjaan ................................................................................. 516.1.2. Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan dalam
Kehidupan Sosial ...................................................................................... 546.1.3. Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan dalam
Kehidupan Berkeluarga ............................................................................ 576.2. Persepsi Anak Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan .......................................... 61
6.2.1. Persepsi Anak Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan dalamPerolehan Pekerjaan ................................................................................... 62
6.2.2. Persepsi Anak Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan dalamKehidupan Sosial........................................................................................ 69
6.23. Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Bagi Perempuan dalamKehidupan Berkeluarga .............................................................................. 71
BAB VII. KETIMPANGAN GENDER DALAM PENDIDIKAN .......................... 73
7.1. Hubungan Antara Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan BagiPerempuan dengan Ketimpangan Gender dalam Pendidikan ................................ 74
7.2. Hubungan Antara Persepsi Anak Terhadap Pendidikan Bagi Perempuandengan Ketimpangan Gender dalam Pendidikan ................................................... 77
7.3. Hubungan Antara Pengambilan Keputusan Mengenai Pendidikan AnakPerempuan dengan Ketimpangan Gender dalam Pendidikan ................................ 797.3.1. Hubungan Antara Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan
Perempuan dengan Pengambilan Keputusan ............................................... 817.3.2. Hubungan Antara Persepsi Anak Terhadap Pendidikan Perempuan
dengan Pengambilan Keputusan ................................................................. 83
BAB VIII. DAMPAK KETIMPANGAN GENDER DALAMPENDIDIKAN TERHADAP KEHIDUPAN INDIVIDUPEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN BERKELUARGADAN BERMASYARAKAT .................................................................. 85
8.1. Dampak Ketimpangan Gender dalam Kehidupan Individu Perempuan .................. 858.2. Dampak Ketimpangan Gender dalam Kehidupan Perempuan dalam
Keluarga.. ................................................................................................. 878.3. Dampak Ketimpangan Gender dalam Kehidupan Perempuan dalam
Masyarakat... 89
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 919.1. Kesimpulan ........................................................................................................... 919.2. Saran ................................................................................................................. 92
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 94
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
GambarHal
Gambar 1. Kerangka Pemikiran .................................................................................. 22
DAFTAR TABEL
TabelHal
Tabel 1. Tabel Perbedaan Seks dan Gender ................................................................ 8Tabel 2. Tabel Komposisi Penduduk Menurut Umur Sekolah dan Jenis
Kelamin di Jawa Barat Tahun 2005 ........................................................... 18Tabel 3. Tabel Komposisi Penduduk yang Sedang Bersekolah Menurut
Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Jawa Barat Tahun 2005 .................... 19Tabel 4. Tabel Jumlah Penduduk Putus Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan
dan Jenis Kelamin Kabupaten Bogor Tahun 2005-2006 ................................ 20Tabel 5. Tabel Definisi Operasional ............................................................................ 25Tabel 6. Tabel Administrasi Kewilayahan Kecamatan Cariu (2007) ............................ 34Tabel 7. Tabel Komposisi Penduduk Kecamatan Cariu Menurut Kelompok
Umur (2007) ................................................................................................ 35Tabel 8. Tabel Kondisi Pendidikan Penduduk Kecamatan Cariu (2007) ..................... 37Tabel 9. Tabel Usia Responden Orang Tua ................................................................ 40Tabel 10.Tabel Usia Responden Anak ........................................................................ 41Tabel 11.Tabel Jenis Kelamin Responden Orang Tua ................................................. 41Tabel 12.Tabel Jenis Kelamin Responden Anak .......................................................... 42Tabel 13.Tabel Tingkat Pendidikan Responden Orang Tua ......................................... 43Tabel 14.Tabel Tingkat Pendapatan Responden Orang Tua ......................................... 44Tabel 15.Tabel Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu
Gender Marjinalisasi ................................................................................... 45Tabel 16.Tabel Frekuensi dan Persentase Tingkat Kepekaan Responden
Anak terhadap Isu Gender Marjinalisasi ...................................................... 46Tabel 17. Tabel Frekuensi dan Persentase Tingkat Kepekaan Responden
Orang Tua terhadap Isu Gender Subordinasi .............................................. 48Tabel 18.Tabel Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender
Subordinasi ............................................................................................... 49Tabel 19.Tabel Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu
Gender Stereotipi ........................................................................................ 50Tabel 20. Tabel Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender
Stereotipi ................................................................................................... 51Tabel 21. Tabel Frekuensi dan Persentase Tingkat Kepekaan Responden
Orang Tua terhadap Isu Gender Kekerasan .................................................. 52Tabel 22. Tabel Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender
Kekerasan.................................................................................................. 53Tabel 23.Tabel Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu
Gender Beban Kerja .................................................................................... 54Tabel 24.Tabel Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender
Beban Kerja ................................................................................................ 55
Tabel 25. Tabel Persepsi Responden Orang Tua Terhadap PendidikanPerempuan ................................................................................................ 57
Tabel 26. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamPerolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan Terhadap Isu GenderSubordinasi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008) ....................... 58
Tabel 27. Tabel Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan dalamKehidupan Sosial....................................................................................... 60
Tabel 28. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Sosial Berdasarkan Tingkat Pendidikan di KecamatanCariu, Kabupaten Bogor (2008) ................................................................. 61
Tabel 29. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Sosial Berdasarkan Kepekaan Terhadap Isu GenderBeban Kerja di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008) ...................... 62
Tabel 30. Tabel Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan dalamKehidupan Berkeluarga ............................................................................. 63
Tabel 31. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamkehidupan Berkeluarga Berdasarkan Jenis Kelamin, KecamatanCariu Kabupaten Bogor(2008).......................................................................... 64
Tabel 32. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Berkeluarga Berdasarkan Tingkat Pendapatan diKecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008) ............................................... 65
Tabel 33. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Berkeluarga Berdasarkan Kepekaan Terhadap IsuGender Beban Kerja di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor(2008)........................................................................................................ 66
Tabel 34. Tabel Persepsi Responden Anak terhadap Pendidikan dalamPerolehan Pekerjaan, Kehidupan Sosial, Kehidupan Berkeluarga.............. 67
Tabel 36. Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalamPerolehan Pekerjaan Berdasarkan Usia di Kecamatan Cariu,Kabupaten Bogor (2008) ........................................................................... 69
Tabel 37. Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadapIsu Gender Marjinalisasi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor(2008)........................................................................................................ 70
Tabel 38. Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadapIsu Gender Subordinasi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor(2008)........................................................................................................ 71
Tabel 39. Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadapIsu Gender Stereotipi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor(2008)........................................................................................................ 73
Tabel 40 Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap
Isu Gender Kekerasan di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor(2008)........................................................................................................ 74
Tabel 41 Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Perolehan Pekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadapIsu Gender Beban Kerja di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor(2008)........................................................................................................ 75
Tabel 42. Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Sosial Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu GenderSubordinasi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008) ....................... 76
Tabel 43.Tabel Persepsi Responden Anak terhadap Pendidikan dalam HalKehidupan Berkeluarga ............................................................................. 77
Tabel 44. Tabel Komposisi Jumlah Siswa SMAN 1 Cariu Berdasarkan JenisKelamin (2008) ......................................................................................... 80
Tabel 45. Tabel Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan BagiPerempuan ................................................................................................ 81
Tabel 46. Tabel Persepsi Responden Anak terhadap Peran Pendidikan BagiPerempuan ................................................................................................ 85
Tabel 47. Tabel Frekuensi dan Persentase Pengambilan KeputusanPendidikan Anak Perempuan ..................................................................... 87
Tabel 48. Tabel Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan PerempuanBerdasarkan Pengambilan Keputusan Pendidikan AnakPerempuan ................................................................................................ 88
Tabel 49.Tabel Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan BerdasarkanPengambilan Keputusan Pendidikan Anak Perempuan .............................. 90
Tabel 50.Tabel Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadapKehidupan Individu Perempuan ................................................................. 93
Tabel 51.Tabel Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadapKehidupan Individu Perempuan dalam Keluarga ....................................... 95
Tabel 52.Tabel Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadapKehidupan Individu Perempuan dalam Masyarakat ................................... . 97
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di era otonomi daerah sekarang ini, pembangunan di tingkat
Kabupaten/Kota menjadi tanggung jawab Pemerintah daerah. Pada dasarnya
pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat ini
membutuhkan partisipasi dari seluruh komponen masyarakat. Masyarakat yang
dimaksud dalam hal ini adalah laki-laki dan perempuan. Dapat dikatakan bahwa
pembangunan daerah membutuhkan partisipasi laki-laki dan perempuan.
Partisipasi perempuan dalam pembangunan amat penting bagi terwujudnya
kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan dalam menikmati hasil
pembangunan yang selanjutnya dapat mewujudkan keluarga sejahtera dan
membina generasi muda, sehingga kualitas hidup masyarakat dapat semakin
membaik.
Sektor pendidikan merupakan sektor yang penting dalam pembangunan
karena sektor pendidikan merupakan salah satu sektor kunci untuk keberhasilan
pembangunan terutama pembangunan sumberdaya manusia. Kondisi pendidikan
yang semakin membaik merupakan kemajuan pembangunan bidang pendidikan.
Keberhasilan pendidikan juga ditandai oleh aksesibilitas pendidikan berdasarkan
gender, dengan melihat tingkat kesenjangan yang terjadi antara laki-laki dan
perempuan dalam mengakses pendidikan.
Data mengenai pendidikan yang didapat dari Pemerintah Daerah
Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa sektor pendidikan di Kabupaten Bogor
menurun drastis pada tingkat SMA. Pada tahun 2006, jumlah siswa lulusan SLTP
Negeri dan Swasta di Kabupaten Bogor adalah sekitar 28.808 siswa (Dinas
Pendidikan Kabupaten Bogor, 2006). Jumlah siswa kelas satu SMA Negeri dan
swasta Kabupaten Bogor pada tahun ajaran berikutnya adalah sekitar 12.796
siswa (Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2007). Lulusan SLTP yang
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi kurang dari 50% dari
jumlah lulusan. Penurunan jumlah tersebut dapat menunjukkan bahwa pendidikan
menenangah atas di Kabupaten Bogor masih mengalami kendala dalam hal akses.
Berdasarkan data jumlah lulusan SLTP dan siswa kelas satu SMA per
Kecamatan di Kabupaten Bogor, Kecamatan Cariu merupakan Kecamatan yang
mengalami penurunan angka cukup drastis. Jumlah lulusan SLTP Negeri dan
Swasta di Kecamatan Cariu tahun ajaran 2005/2006 adalah sebanyak 916 siswa
(Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2006). Siswa yang melanjutkan ke jenjang
SMA pada tahun ajaran 2006/2007 tercatat sebanyak 515 siswa (Dinas Pendidikan
Kabupaten Bogor, 2007). Penurunan jumlah siswa hampir dua kali lipat.
Permasalahan ini akan lebih menarik ketika kita mengkaji dari perspektif gender
dengan melihat data tersebut berdasarkan jenis kelamin. Persentase lulusan SMP
negeri dan swasta laki-laki dan perempuan dibandingkan dengan persentase
jumlah siswa SMA kelas satu laki-laki dan perempuan menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan. Pada tahun ajaran 2005/2006, lulusan SMP Negeri dan
Swasta, serta Madrasah Tsanawiyah laki-laki adalah 54 persen, sedangkan lulusan
SMP negeri dan swasta, serta Madrasah Tsanawiyah perempuan sebanyak 45
persen. Pada tahun ajaran berikutnya, yaitu tahun ajaran 2006/2007, siswa kelas
satu SMA dan SMK laki-laki adalah 84 persen, sedangkan siswa kelas satu SMA
perempuan adalah 34 persen siswa laki-laki meningkat sebesar 30 persen,
sedangkan persentase siswa perempuan menurun sebesar 13 persen.
Salah satu hal yang diduga menjadi penyebab timbulnya perbedaan akses
pendidikan dari jenjang SMP menuju jenjang SMA adalah kuatnya ideologi
gender di masyarakat. Masyarakat seringkali menganggap bahwa konsep gender
sama dengan konsep seks. Semua yang berhubungan dengan perbedaan identitas
individu (laki-laki dan perempuan) dianggap kodrat, sesuatu yang mutlak, tidak
bisa dipertukarkan. Dengan demikian, berkembanglah berbagai isu ketidakadilan
gender. Berbagai pelabelan ditempelkan pada masing-masing identitas gender,
dilanggengkan dari waktu ke waktu, turun temurun dari generasi ke generasi.
Pelabelan tersebut tidak selalu negatif, namun dapat memunculkan dampak
negatif bagi pemilik identitas gender yang ditempeli label tersebut. Pelabelan
tersebut memang tidak selalu ditujukan kepada perempuan, pelabelan pun dapat
ditujukan kepada laki-laki, namun pada kenyataannya, pelabelan lebih banyak
merugikan perempuan. Salah satu contoh pelabelan yang ditujukan kepada
perempuan adalah bahwa perempuan sudah seharusnya hanya bekerja di rumah,
mengurusi rumah tangga, anak, dan suami. Kodrat perempuan hanya sampai pada
urusan dapur. Hal tersebut berimbas pada sektor pendidikan. Orang tua tidak
menyekolahkan anak perempuannya karena berpendapat bahwa menyekolahkan
anak perempuan tinggi-tinggi tidak menghasilkan apa-apa, toh pada akhirnya anak
perempuan hanya akan mengurusi dapur.
Dugaan kuatnya ideologi gender di masyarakat tersebut dikaitkan dengan
data peningkatan persentase siswa laki-laki dan penurunan persentase siswa
perempuan yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA di Kecamatan Cariu,
Kabupaten Bogor sangat bertentangan dengan pasal 30 UUD 1945 yang
menyatakan adanya kesamaan hak warga negara dalam mengenyam pendidikan.
Peminggiran perempuan di sektor pendidikan menjadi suatu hal yang penting dan
menarik untuk dikaji karena peminggiran perempuan di sektor pendidikan
mungkin saja tidak hanya berhenti sampai di permasalahan perempuan lebih
rendah secara intelektual dibanding laki-laki, tetapi bisa merambat ke berbagai
permasalahan lain. Hal ini disebabkan oleh pendidikan yang tidak hanya
bermanfaat bagi individu untuk berjuang di segi ideologis dan politis, tetapi
pendidikan juga bermanfaat bagi individu untuk berjuang melawan kemiskinan,
kebodohan, dan ketidakberdayaan. Peminggiran perempuan di sektor pendidikan
dapat menyebabkan permasalahan krusial lain yang berkelanjutan. Oleh karena
itu, akses perempuan dalam memperoleh pendidikan menjadi isu yang perlu
diperjuangkan.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Data pendidikan di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor menunjukkan
adanya ketimpangan jumlah siswa laki-laki dan perempuan dalam melanjutkan
pendidikan dari jenjang SMP menuju jenjang SMA. Hal inilah yang
mengantarkan penelitian ini kepada pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Sejauh mana ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di Kecamatan
Cariu?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan ketimpangan gender
dalam bidang pendidikan di Kecamatan Cariu?
3. Apa dampak dari ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di
Kecamatan Cariu terhadap kehidupan sosiokultural masyarakat Kecamatan
Cariu?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas,
yaitu:
1. Mengetahui sejauh mana ketimpangan gender dalam bidang pendidikan
yang terjadi di Kecamatan Cariu.
2. Mengetahui faktor-faktor yang berhubuangan dengan ketimpangan gender
dalam bidang pendidikan di Kecamatan Cariu.
3. Mengetahui dampak dari ketimpangan gender dalam bidang pendidikan
tehadap kehidupan sosiokultural masyarakat Kecamatan Cariu.
1.4. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi pelengkap literatur bagi kalangan akademik yang membahas mengenai
ketimpangan gender dalam pendidikan, khususnya pendidikan perempuan di
daerah pedesaan. Selanjutnya, diharapkan penelitian ini juga bermanfaat untuk
kalangan nonakademik, yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam untuk
memperbaiki ketimpangan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan di
masa yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1. Gender
Untuk mengetahui konsep gender, Fakih (1996) menekankan pentingnya
memahami perbedaan antara konsep gender dan seks. Seks merupakan pensifatan
atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu, dan hal itu tidak dapat dirubah karena
merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat. Gender diterjemahkan sebagai suatu
sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan
secara sosial maupun kultural, dengan kata lain, hal-hal yang dapat dipertukarkan
antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta
berbeda dari tempat ke tempat lainnya, disebut dengan konsep gender.
Hal serupa dikemukakan Widyatama (2006), dalam membahas bias
gender, terlebih dahulu memperkenalkan konsep gender yang dipandangnya
sebagai sesuatu yang berbeda dengan seks (jenis kelamin). Pengertian seks
sebagai jenis kelamin adalah pembedaan yang didasarkan pada fisik manusia dan
diterima oleh manusia secara taken for granted. Konsep gender adalah pembedaan
yang dibangun melalui konstruksi sosial maupun kultural manusia. Hal inilah
yang kemudian memunculkan stereotipi gender, bahwa laki-laki harus maskulin
dan perempuan harus feminin. Widyatama (2006) menekankan bahwa dalam
pespektif gender, maskulinitas maupun femininitas merupakan suatu pilihan, tidak
bersifat wajib.
Handayani dan Sugiarti (2006) memperlihatkan perbedaan seks dan
gender melalui lirik sebuah lagu yang populer di Indonesia yang berbunyi:
Diciptakan alam pria dan wanita, dua makhuk asuhandewata, wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasansangkar madu, namun adakala pria tak berdaya, tekuk lutut disudut kerling wanita
Kalimat pertama lagu tersebut menunjukkan pengertian seks, sedangkan
kalimat selanjutnya menunjukkan pengertian gender. Untuk memperjelas konsep
seks dan gender dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Perbedaan Seks dan GenderNo. Karakteristik Seks Gender
1. SumberPembeda Tuhan Manusia (masyarakat)
2. Visi, Misi Kesetaraan Kebiasaan
3. UnsurPembeda Biologis (alat reproduksi) Kebudayaan (tingkah laku)
4. Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapatdipertukarkan
Harkat, martabat, dapatdipertukarkan
5. Dampak
Terciptanya nilai-nilai:kesempurnaan, keniKmatan,kedamaian, dll. Sehinggamenguntungkan kedua belahpihak.
Terciptanya norma-norma/ketentuan tentangpantas atau tidak pantas
laki-laki dan perempuanmelakukan sesuatu, seringmerugikan salah satu pihak.
6. KeberlakuanSepanjang masa ,dimana saja,tidak mengenal pembedaankelas.
Dapat berubah, musiman,dan berbeda antara kelas.
Sumber: Unger (1979) dalam Handayani dan Sugiarti (2006)
2.1.1.1. Manifestasi Ketidakadilan Gender
Perbedaan gender sesungguhnya bukanlah suatu masalah, yang menjadi
masalah adalah bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan,
baik bagi kaum laki-laki maupun terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan
gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni (Fakih,
1996):
1. Gender dan Marginalisasi
Proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya
banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki
dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran,
bencana alam, dilihat dari sisi lain pun marginalisasi dapat diakibatkan oleh
kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, dan bahkan asumsi ilmu
pengetahuan.
2. Gender dan Subordinasi
Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga
perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Semua keputusan
haruslah diambil oleh pihak laki-laki.
3. Gender dan Strereotipi
Secara umum, stereotipi adalah pelabelan negatif atau penandaan terhadap
suatu kelompok tertentu. Salah satu jenis stereotipi adalah yang bersumber dari
pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu,
umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipi) yang
dilekatkan pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, penandaan yang berawal dari
asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian
lawan jenisnya, maka setiap ada kasus pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan
stereotipi ini.
4. Gender dan Kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan atau invansi (assault) terhadap fisik
maupun intergritas mental psikologis seseorang. Salah satu jenis kekerasan adalah
kekerasan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh
anggapan gender. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh
ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
5. Gender dan Beban Kerja
Anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin,
serta kaum perempuan tidak cocok untuk dijadikan kepala rumah tangga,
berakibat bahwa semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum
perempuan. Di kalangan keluarga miskin, beban yang sangat berat harus
ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut
harus bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda. Pada kalangan menengah ke
atas, beban kerja ini kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga.
2.1.2. Persepsi
DeVito (1997) mendefinisikan persepsi sebagai berikut:
Perception is the process you became aware of objects, events,and especially people through your sense: sight, smell, touch, andhearing. Perception is an active, not a passive process. Yourperception result from what exist in the outside world and fromyour own experiences, desires, needs, loves, and hatreds .
Jalaludin Rakhmat (2004) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman
tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi sifatnnya memang
sangat subjektif, yaitu tergantung pada subjek yang melaksanakan persepsi itu
sendiri (Sarwono, 1999).
Dua hal yang ingin diketahui dalam persepsi sosial, yaitu keadaan dan
perasaan orang lain saat ini, di tempat ini melalui komunikasi non-lisan (kontak
mata, busana, gerakan tubuh, dan sebagainnya) atau lisan dan kondisi yang lebih
permanen yang ada di balik segalanya yang tampak saat ini (niat, sifat, motivasi,
dan sebagainya) yang diperkirakan menjadi penyebab dari kondisi saat ini
(Sarwono, 1999).
Ada faktor dari luar dan dari dalam yang mempengaruhi persepsi
dintaranya sebagai berikut1 : ( Wilson, 2000 dalam Kamarullah, 2005)
1. Faktor Eksternal atau dari luar :
- Concreteness, yaitu wujud atau gagasan yang abstrak yang sulit di
persepsikan dibandingkan dengan yang objektif .
- Novelty atau hal yang baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan
dibandingkan dengan hal-hal yang lama.
- Velocity atau percepatan misalnya gerak yang cepat untuk menstimulasi
munculnya persepsi lebih efektif dibandingkan dengan gerakan yang
lambat.
- Conditioned stimuli, stimulus yang dikondisikan.
2. Faktor Internal
- Motivation . misalnya merasa lelah menstimulasi untuk berespon terhadap
istirahat
1 http://tinjauan.blogdrive.com/ diakses pada tanggal 25 April 2008.
- Interest, hal-hal yang menarik lebih di perhatikan daripada yang tidak
menarik.
- Need, kebutuhan akan hal tertentu akan menjadi pusat perhatian.
- Assumptions, juga mempengaruhi persepsi sesuai dengan pengalaman
melihat, merasakan dan lain-lain.
2.1.3. Pendidikan
2.1.3.1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan dalam artian sederhana adalah usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan
(Hasbullah, 1997). Seiring dengan perkembangan jaman, pendidikan pun turut
mengalami perkembangan, namun tentunya dengan beberapa pengertian dasar
yang masih melekat. Pendidikan perlu dipahami sebagai berikut (Hasbullah,
1997):
1. Pendidikan merupakan suatu proses terhadap anak didik berlangsung terus
sampai anak didik mencapai pribadi dewasa susila. Proses ini berlangsung
dalam jangka waktu tertentu. Bila anak didik sudah mencapai pribadi
dewasa susila, maka ia sepenuhnya mampu bertindak sendiri bagi
kesejahteraan hidupnya dan masyarakatnya.
2. Pendidikan merupakan perbuatan manusiawi. Pendidikan lahir dari
pergaulan antar orang dewasa dan orang yang belum dewasa dalam suatu
kesatuan hidup. Tindakan mendidik yang dilakukan oleh orang dewasa
dengan sadar dan disengaja didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan.
Tindakan tersebut menyebabkan orang yang belum dewasa menjadi
dewasa dengan memiliki nilai-nilai kemanusiaan, dan hidup menurut nilai-
nilai tersebut. Kedewasaan diri merupakan tujuan pendidikan yang hendak
dicapai melalui perbuatan atau tindakan pendidikan.
3. Pendidikan merupakan hubungan antar pribadi pendidik dan anak didik.
Dalam pergaulan terjadi kontak atau komunikasi antara masing-masing
pribadi. Hubungan ini jika meningkat ke taraf hubungan pendidikan, maka
menjadi hubungan antara pribadi pendidik dan si anak didik, yang pada
akhirnya melahirkan tanggung jawab pendidikan dan kewibawaan
pendidikan. Pendidik bertindak demi kepentingan dan keselamatan anak
didik, dan anak didik mengakui kewibawaan pendidik dan bergantung
padanya.
4. Tindakan atau perbuatan mendidik dan menuntun anak didik mencapai
tujuan-tujuan tertentu, dan dalam hal ini tampak pada perubahan-
perubahan dalam diri anak didik. Perubahan sebagai hasil pendidikan
merupakan gejala kedewasaan yang secara terus-menerus mengalami
penigkatan sampai penentuan diri atas tanggung jawab sendiri oleh anak
didik atau terbentuknya pribadi dewasa susila.
Sekolah merupakan salah satu lembaga penyelenggara pendidikan.
Sekolah adalah salah satu organisasi yang tumbuh dan berkembang di tengah-
tengah masyarakat (Syafaruddin dan Anzizhan, 2004). Sekolah merupakan suatu
sistem yang terdiri dari beberapa elemen. Pada dasarnya pendidikan di sekolah
merupakan bagian dari pendidikan di dalam keluarga, yang sekaligus juga
merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Berikut ini merupakan
beberapa karakteristik proses pendidikan yang berlangsung di sekolah
(Hasbullah,1997):
1. Pendidikan diselenggarakan secara khusus dan dibagi atas jenjang yang
memiliki hubungan hierarkhis.
2. Usia anak didik di suatu jenjang pendidikan relatif homogen.
3. Waktu pendidikan relatif lama sesuai dengan program pendidikan yang
harus dilaksanakan.
4. Materi atau isi pendidikan lebih banyak sersifat akademis dan umum.
5. Adanya penekanan tentang kualitas pendidikan sebagai jawaban terhadap
kebutuhan di masa yang akan datang.
2.1.3.2. Peranan Keluarga dalam Pendidikan
Keluarga atau rumah tangga merupakan kesatuan unit sosial terkecil yang
membentuk masyarakat. Menurut Depdikbud (2005) sebagaimana dikutip Fathoni
(2008), bagi setiap orang, keluarga (suami, istri, dan anak-anak) mempunyai arti
penting dalam proses sosialisasi untuk dapat memahami, menghayati budaya yang
berlaku di masyarakat.
Menurut Hasbullah (2006), sumbangan keluarga bagi pendidikan anak
adalah sebagai berikut:
1. Cara orang tua melatih anak untuk menguasai cara-cara mengurus diri, seperti
cara makan, buang air, berbicara, berjalan, berdoa, sungguh-sungguh
membekas dalam diri anak karena berkaitan erat dengan perkembangan
dirinya sebagai pribadi.
2. Sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sikap menerima
atau menolak, sikap kasih sayang atau acuh tak acuh sikap sabar atau tergesa-
gesa, sikap melindungi atau membiarkan secara langsung mempengaruhi
reaksi emosional anak.
Pendidikan anak di sekolah merupakan tanggung jawab bersama antara
orang tua, sekolah, dan pemerintah. Keluarga merupakan penentu pendidikan
sekolah seorang anak, karena kelurgalah yang mampu menjadi pendorong
maupun penghambat seorang anak untuk sekolah atau tidak. Pendidikan
merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang memerlukan pengambilan
keputusan. Manusia harus memutuskan, apa yang menjadi dasar dan tujuan
pendidikan, serta harus bagaimana agar tujuan tersebut tercapai. Oleh karena itu,
manusia harus mengenali persoalan-persoalan substansi kehidupan manusia dan
kebutuhannya terhadap pendidikan serta mampu menentukan alternatif
pencapaian tujuan (Syafaruddin dan Anzizhan, 2004).
2.1.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi terhadap Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi dua faktor, yaitu faktor intenal dan eksternal.
Fathoni (2008) menyebutkan bahwa faktor internal terdiri dari umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan kepala keluarga, jumlah tanggungan, pendapatan
keluarga, persepsi terhadap pendidikan, dan status sosial ekonomi dalam
masyarakat. Faktor eksternal terdiri dari kebijakan pemerintah, sarana pendidikan,
jarak sarana pendidikan, dan biaya pendidikan.
2.1.3.4. Dampak Pendidikan terhadap Kehidupan Sosial Budaya
Pembangunan pendidikan memiliki tiga pokok perkembangan kepribadian
manusia, yaitu perkembangan kognitif, konatif, dan afektif (Dinas Pendidikan DI
Yogyakarta, 1996). Perkembangan konatif, sering juga disebut sebagai intelektual
meliputi perkembangan pengetahuan dan pemahaman. Perkembangan konatif
meliputi penghayatan berbagai kebutuhan, sedangkan perkembangan afektif
menyangkut perekembangan alam peran. Ketiga perkembangan kepribadian
manusia tersebut kemudian akan berdampak pada kehidupan sosial budaya
individu dan lingkungan terdekatnya.
Kehidupan sosial budaya masyarakat meliputi kehidupan kekerabatan,
pencapaian lapangan pekerjaan, interaksi sosial, dan pranata sosial.
1. Dampak terhadap Kekerabatan.
Kekerabatan diduga dipengaruhi oleh usia menikah. Usia menikah akan
berpengaruh pada pola menetap setelah menikah. Diasumsikan bahwa
semakin tinggi pendidikan seseorang, cenderung usia menikah terlambat
dan akan membentuk keluarga batih. Satu hal yang menarik yang biasa
terjadi di pedesaan adalah anggapan bahwa menikahkan anak pada usia
dini adalah salah satu usaha untuk menghindari gunjingan anaknya tidak
laku kawin para tetangga.
2. Dampak terhadap Pekerjaan
Pendidikan dapat berdampak pada berbagai aspek di bidang
ketenagakerjaan. Pendidikan yang rendah memungkinkan keterbatasan
kesempatan lapangan pekerjaan, variasi pekerjaan, dan peluang memasuki
lapangan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin (Dinas Pendidikan DI
Yogyakarta, 1996).
3. Dampak terhadap Interaksi Sosial
Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk hidup dengan orang lain,
atau berhubungan dengan orang lain. Ada hasrat utama manusia untuk
membentuk keserasian dengan orang lain, yaitu keinginan atau interes
untuk menjadi satu dengan orang lain yang berada di sekitarnya atau
masyarakat, dan keinginan untuk menyatu dengan suasana sekelilingnya.
4. Dampak terhadap Pranata Sosial
Pranata sosial dalam hal ini dapat dilihat dari keterlibatan seseorang atau
keluarga dalam kesibukan sosial di lingkungannya dan partisipasinya
dalam kegiatan kepercayaan sosial.
2.1.4. Data Umum Pendidikan Propinsi Jawa Barat
Berdasarkan komposisi penduduk Jawa Barat pada tahun 2005, yang telah
dikelompokkan menurut umur, diketahui bahwa proporsi penduduk laki-laki dan
perempuan pada semua kelompok umur (4-5 tahun, 5-6, 6-7 tahun, 7-12 tahun,
13-15 tahun, dan 16-18 tahun) dapat dikatakan relatif seimbang dengan disparitas
gender yang relatif kecil. Tidak ada perbedaan mencolok dalam hal jumlah
penduduk laki-laki dan perempuan pada semua kelompok umur di Propinsi Jawa
Barat. Dapat diasumsikan bahwa seharusnya tidak ada perbedaan jumlah siswa
yang mencolok antara siswa laki-laki dan perempuan di semua tingkat sekolah,
baik Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Umum, maupun Sekolah Menengah Atas.
Hal ini bertentangan dengan kenyataan mengenai jumlah siswa laki-laki dan
perempuan yang terdaftar di dua Sekolah Mengengah Atas yang terdapat di
Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor. Berikut adalah tabel komposisi penduduk
Kecamatan Cariu per kelompok umur, berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur Sekolah dan Jenis Kelamin Di JawaBarat (2005)
No.
Kelompok
Umur
(Tahun)
Laki-laki Perempuan
TotalDisparitas
(P-L)Jumlah % Jumlah %
1. 4-5 - - - - 1.542.842 -
2. 5-6 816.457 52,21 747.464 47,79 1.563.921 -4,42
3. 6-7 - - - - 2.377.471 -
4. 7-12 2.231.379 48,60 2.360.108 51,40 4.591.487 2,80
5. 13-15 1.045.173 48,53 1.108.712 51,47 2.153.885 2,94
6. 16-18 1.170.729 50,38 1.153.079 49,62 2.323.808 -0,76
Sumber: Profil Pendidikan Tahun 2005, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat
Berdasarkan komposisi penduduk yang sedang bersekolah di Jawa Barat,
diketahui bahwa proporsi laki-laki semakin lama semakin tinggi dibandingkan
dengan proporsi penduduk perempuan pada selang umur yang semakin tua. Hal
ini terbukti dari disparitas gender yang bertanda negatif pada kelompok umur
tinggi. Data penduduk berumur 4-5 tahun dan 6-7 tahun tidak diketahui
berdasarkan proporsi jenis kelamin.
Tabel 3. Komposisi Penduduk yang Sedang Bersekolah Menurut Kelompok Umurdan Jenis Kelamin di Jawa Barat (2005)
No. Kelompok
Umur
(Tahun)
Laki-laki Perempuan Total Disparitas
(P-L)Jumlah % Jumlah %
1. 7-12 2.556.795 50,81 2.475.086 49,19 5.031.881 -1,62
2. 13-15 926.911 51,85 860.194 48,15 1.787.705 -3,7
3. 16-18 558.215 56,80 424.422 43,19 982.637 -13,61
Sumber: SUSEDA Jawa Barat Tahun 2005, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat.
Hal serupa juga tergambar pada data tingkat Kabupaten. Data Kabupaten
Bogor menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan usia sekolah yang masih
bersekolah semakin menurun seiring dengan meningkatnya kelompok umur
apabila dibandingkan dengan penduduk laki-laki usia sekolah yang masih
bersekolah (Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2005). Kesenjangan pendidikan
antara perempuan dan laki-laki usia sekolah semakin jelas terlihat dari data
penduduk yang putus sekolah.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Putus Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan dan JenisKelamin Kabupaten Bogor (2005-2006)
Tingkat
Pendidikan
Jenis Kelamin
Laki-laki % Perempuan %
SD+MI 120 33,33 240 66,67
SMP+MTs 60 33,33 120 66,67
SMA+MA 90 33,33 180 66,67
Jumlah 270 33,33 540 66,67
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor 2005
Perbandingan antara penduduk perempuan dan laki-laki yang putus
sekolah di semua jenjang pendidikan menunjukkan presentase yang sama yaitu
33,33 persen laki-laki dan 66,67 persen perempuan. Hal ini berarti penduduk
perempuan yang putus sekolah di semua jenjang pendidikan jumlahnya mencapai
dua kali lipat dibandingkan laki-laki.
2.2. Kerangka Pemikiran
Di era globalisasi ini, pendidikan sudah seyogyanya menjadi suatu
kebutuhan bagi setiap individu di masyarakat, baik di kota maupun di desa.
Namun hal tersebut tidak terjadi di masyarakat pedesaan, masyarakat pedesaan
dengan segala keterbatasannya menjadi tidak terlalu hirau dengan masalah
pendidikan. Hal ini diperlihatkan oleh besarnya angka siswa lulusan SMP yang
tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Kebanyakan orang tua di
pedesaan tidak menyarankan anaknya untuk melanjutan sekolah karena berbagai
alasan.
Fakta yang menarik lagi adalah bahwa jumlah siswa perempuan yang tidak
melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA jauh lebih banyak daripada jumlah siswa
laki-laki yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Hal ini dapat kita
lihat dari segi gender. Pada umumnya masyarakat pedesaan beranggapan bahwa
gender sama dengan kodrat. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa
perempuan sudah seharusnya berkedudukan di bawah laki-laki dalam semua hal,
termasuk dalam hal mengenyam pendidikan. Perempuan tidak perlu mendapatkan
kesempatan bersekolah sama dengan laki-laki karena kedudukan perempuan yang
memang menurut mereka lebih rendah dari laki-laki.
Persepsi mengenai pendidikan bagi anak perempuan tersebut diduga
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor internal dan faktor eksternal,
baik pada diri orang tua maupun anak. Faktor internal adalah pengalaman
psikologis pribadi seseorang yang sudah tertanam di dalam dirinya. Faktor
internal orang tua terdiri dari jenis kelamin orang tua, usia orang tua, tingkat
pendidikan orang tua, tingkat penghasilan orang tua, dan kepekaan orang tua
terhadap isu-isu gender. Faktor internal anak terdiri dari usia anak, jenis kelamin
anak dan kepekaan anak terhadap isu-isu gender. Faktor eksternal yang dimaksud
adalah karakteristik pribadi yang melekat pada diri seseorang, di luar pengalaman
psikologis pribadi. Dalam hal ini, faktor eksternal adalah kebijakan pemerintah
mengenai pendidikan, aksesibilitas terhadap sarana pendidikan, dan peran
lembaga lokal setempat dalam hal pendidikan perempuan.
Persepsi keluarga terhadap pendidikan bagi anak perempuan akan
mempengaruhi keputusan keluarga dalam memberikan pendidikan bagi anak
perempuannya. Persepsi keluarga tidak hanya dilihat dari sisi orang tuanya saja,
tetapi juga dilihat dari sisi anak perempuan dalam keluarga tersebut. Pengambilan
keputusan untuk pendidikan anak perempuan dapat dilakukan dengan melibatkan
anak ataupun dengan cara diputuskan sepihak saja tanpa melibatkan anak.
Keputusan untuk memberikan pendidikan bagi anak perempuan akan menjadi
penting karena hal tersebut yang diduga akan mempengaruhi terjadinya
ketimpangan pendidikan perempuan di Kecamatan Cariu.
Ketimpangan pendidikan perempuan di Kecamatan Cariu dilihat dari
perbedaan jumlah siswa laki-laki dan perempuan yang tercatat di kedua Sekolah
Mengenah Atas yang terdapat di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor yang
diperhatikan sejak kedua Sekolah Menengah Atas tersebut didirikan.
Ketimpangan yang terjadi diduga berhubungan dengan persepsi orang tua
terhadap pendidikan anak perempuan, persepsi anak terhadap pendidikan
perempuan, dan pengambilan keputusan mengenai pendidikan perempuan.
Ketimpangan pendidikan perempuan di Kecamatan Cariu, Kabupaten
Bogor diduga menimbulkan beberapa dampak dalam kehidupan perempuan yang
tidak menempuh pendidikan lanjut. Dampak dari ketimpangan pendidikan
perempuan dalam kehidupan tersebut dilihat dari beberapa segi kehidupan
perempuan, dalam hal ini terbagi menjadi dampak dalam kehidupan perempuan
secara individu, dampak dalam kehidupan perempuan dalam kehidupan
berkeluarga, dan dampak dalam kehidupan perempuan dalam masyarakat.
Dampak bagi kehidupan individu perempuan dilihat dari keberdayaan perempuan
dalam menjalani kehidupannya, termasuk ke dalamnya mengenai kemampuan
perempuan dalam menopang hidupnya sendiri secara finansial dan pengambilan
keputusan minimal untuk hidupnya sendiri. Dampak bagi kehidupan perempuan
dalam berkeluarga dilihat dari kehidupan berkeluarga perempuan, baik aktual
maupun keinginan untuk membentuk keluarga di masa depan. Kehidupan
berkeluarga juga dilihat dari bagaimana perempuan menjalani kehidupan rumah
tangga dengan pasangan dan juga kelanjutan kualitas keturunan mereka kelak.
Dampak yang terakhir adalah dampak bagi kehidupan perempuan dalam hal
bermasyarakat. Hal ini dilihat dari bagaimana perempuan dapat diterima di
lingkungannya dengan tingkat pendidikan yang hanya seadanya. Kehidupan
bermasyarakat diukur dengan sejauh mana perempuan dikenal dan mengenal
lingkungan tempat tinggalnya, dan penerimaan masyarakat terhadap perempuan
tersebut dalam berorganisasi.
Dari paparan di atas, maka didapat kerangka pemikiran sebagai berikut:
2.3. Hipotesis Penelitian
Dengan menggunakan kerangkan pemikiran di atas, serta masalah-masalah
yang telah dikemukakan, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Terjadi ketimpangan yang tinggi pendidikan perempuan di Kecamatan
Cariu, Kabupaten Bogor.
2. Terdapat faktor-faktor internal dan eksternal orang tua dan anak yang
berhubungan dengan ketimpangan gender di bidang pendidikan.
3. Ketimpangan gender di bidang pendidikan berdampak terhadap kehidupan
perempuan sebagai individu, perempuan dalam keluarga, dan perempuan
dalam masyarakat.
2.4. Definisi Operasional
Berikut ini akan diuraikan definisi operasional dan variabel-variabel yang
terlibat dalam penelitian guna memperoleh batasan yang jelas sehingga
didapatkan pengukurannya, sebagai berikut:
Tabel 5. Definisi OperasionalVariabel Definisi Operasional Indikator
X.1. Karakteristik Orang TuaX.1.1. Usia Orang Tua Lama hidup responden sampai
tahun pengisian kuesioner.Jumlah tahun sejak kelahiranorang tua sampai dengantahun 2008 saat pengisiankuesioner.
X.1.2. Jenis Kelamin Identitas biologis responden Identitas biologis respondenterdiri dari kategori:a. Perempuan: 1b. Laki-laki: 2
X.1.3. Tingkat Pendidikan Pendidikan formal yangpernah diikuti responden
Jenjang pendidikan formalyang diikuti responden.Terdiri dari kategori:a. Rendah: SMPb. Tinggi : SMA
X.1.4. Kepekaan Orang TuaTerhadap Isu Gender
Penilaian responden terhadapisu-isu ketidakadilan gender
Penilaian responden terhdapaisu-isu ketidakadilan genderdilihat dari penilaianresponden terhadap:
1. Marjinalisasi:
peminggiranperempuan di sektorekonomi.
2. Subordinasi:Penomorduaanperempuan.
3. Stereotipi: Pelabelannegatif terhadapperempuan.
4. Kekerasan:Serangan baikberupa seranganfisik maupun psikis.
5. Beban kerja:pembebanan peranpublik dan domestikkepada perempuan.
Terdiri dari kategori:a. Rendah: 20b. Tinggi : > 20
X.1.5. Tingkat PendapatanOrang Tua
Besar nominal uang yangditerima responden per bulan
Nominal uang yang diterimaresponden terdiri dari:a. Rendah: Rp. 500.000,-b. Tinggi : > Rp. 500.000,-
X.2. Karakteristik AnakX.2.1. Usia Anak Lama hidup responden sampai
tahun pengisian kuesioner.Jumlah tahun sejak kelahiranorang tua sampai dengantahun 2008 saat pengisiankuesioner.
X.2.2. Jenis Kelamin Anak Identitas biologis responden Identitas biologis respondenterdiri dari kategori:a. Laki-laki: 2b. Perempuan: 1
X.2.3. Kepekaan AnakTerhadap Isu Gender
Penilaian responden terhadapisu-isu ketidakadilan gender
Penilaian responden terhdapaisu-isu ketidakadilan genderdilihat dari penilaianresponden terhadap:
1. Marjinalisasi:peminggiranperempuan di sektorekonomi.
2. Subordinasi:Penomorduaanperempuan.
3. Stereotipi: Pelabelannegatif terhadapperempuan.
4. Kekerasan:Serangan baikberupa seranganfisik maupun psikis.
5. Beban kerja:pembebanan peranpublik dan domestikkepada perempuan.
Terdiri dari kategori:a. Rendah: 20b. Tinggi : > 20
Y.1. Persepsi Terhadap PendidikanY.1.1. Persepsi Orang Tua
Terhadap PendidikanAnak
Penilaian responden orang tuaterhadap penting tidaknyapendidikan bagi masa depananak
Penilaian orang tua terhadappenting tidaknya pendidikanbagi pendidikan untuk masadepan anak dilihat darikegunaan pendidikan dalamhal:
1. Pekerjaan:kemudahanmendapatkanpekerjaan.
2. Kehidupan sosial:penerimaanlingkungan sosialterhadap anak.
3. Kehidupanberkeluarga:keberlangsunganhidup rumah tanggasetelah anakmenikah.
Terdiri dari kategori:a. Kurang baik: 15b. Baik : >15
Y.1.2. Persepsi AnakTerhadap Pendidikan
Penilaian responden anakterhadap penting tidaknyapendidikan bagi masa depan
Penilaian orang tua terhadappenting tidaknya pendidikanbagi pendidikan untuk masadepan anak dilihat darikegunaan pendidikan dalamhal:
1. Pekerjaan:kemudahanmendapatkanpekerjaan.
2. Kehidupan sosial:penerimaanlingkungan sosialterhadap anak.
Kehidupan berkeluarga:keberlangsungan hiduprumah tangga setelah anakmenikah.Terdiri dari kategori:a. Kurang baik: 15b. Baik : >15
Y.1.3. PengambilanKeputusan PemberianPendidikan Anak
Kekuatan pengambilankeputusan
Kekuatan Pengambilankeputusan dilihat dariindividu pengambilkeputusan.Terdiri dari kategori:a. Ayah/Ibu/Anak : 1b. Ayah dan Ibu : 2
Y.2. KetimpanganPendidikan Perempuan
Ketidakseimbanganpendidikan antara laki-laki danperempuan di KecamatanCariu, Kabupaten Bogor,khususnya pada SekolahMenengah Atas.
Ketimpangan pendidikanperempuan dilihat dariperbedaan jumlah siswa laki-laki dan perempuan padaSekolah Menengah Atasyang terdapat di Kecamatan
Cariu, Kabupaten Bogorsejak Sekolah-sekolahMenengah tersebut didirikansampai dengan tahun 2008,saat penelitian dilakukan.
Y.3. Dampak Ketimpangan Pendidikan Perempuan terhadap Kehidupan PerempuanY.3.1. Dampak Ketimpangan
Pendidikan Perempuanterhadap KehidupanIndividu Perempuan
Dampak ketimpanganpendidikan perempuanterhadap kehidupanperempuan sebagai seorangindividu.
Dampak ketimpanganpendidikan perempuanterhadap kehidupanperempuan sebagai individudilihat dari keberdayaanperempuan dalam menjalanikehidupannya sebagaiindividu, termasuk didalamnya kemampuanperempuan untuk mengambilkeputusan untuk dirinyasendiri, dan kemampuannyamemenuhi kebutuhanhidupanya secara finansial.
Terdiri dari kategori:a.Tinggi : 12b. Rendah : >12
Y.3.2. Dampak KetimpanganPendidikan Perempuanterhadap KehidupanPerempuan dalamBerkeluarga
Dampak ketimpanganpendidikan perempuanterhadap kehidupanperempuan dalam berkeluarga.
Dampak ketimpanganpendidikan perempuan dalamkehidupan berkeluargadilihat dari kemampuanperempuan menjalanikehidupan berkeluarga danpembentukan keluarga masadepan, termasuk di dalamnyarelasi dengan pasangan hidupdalam keluarga danpeningkatan kualitasketurunannya.
Terdiri dari kategori:a.Tinggi : 12b. Rendah : >12
Y.3.3. Dampak KetimpanganPendidikan Perempuanterhadap KehidupanPerempuan dalamBermasyarakat
Dampak ketimpanganpendidikan perempuanterhadap kehidupanperempuan dalambermasyarakat, berrelasidengan lingkungan danketerlibatan dalam organisasikemasyarakatan
Dampak ketimpanganperempuan dalam kehidupanperempuan dalambermasyarakat dilihat darikemampuan perempuandalam menempatkan diri dimasyarakat, berhubungandengan lingkungan,penerimaan lingkunganterhadap perempuan, danketerlibatan perempuandalam organisasikemasyarakatan.
Terdiri dari kategori:a.Tinggi : 12b. Rendah : >12
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Penentuan Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor. Pemilihan
lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan Kecamatan Cariu
tercatat sebagai Kecamatan dengan catatan pendidikan terburuk diantara 40
kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor. Kecamatan Cariu dianggap dapat
mewakili sebagai kecamatan dengan angka putus sekolah yang relatif tinggi,
terutama angka putus sekolah dari jenjang SMP ke SMA.
Penelitian dilaksanakan pada Bulan Mei sampai dengan Bulan Juli 2008.
Pada Bulan Mei 2008 dilakukan pengambilan data melalui penyebaran kuesioner
kepada responden penelitian dan melakukan wawancara mendalam dengan
beberapa responden. Pada Bulan Juni dan Juli 2008, dilakukan input data,
pengolahan data, interpretasi, serta penyusunan hasil penelitian.
3.2. Metode Penentuan Responden
Populasi dari penelitian ini adalah keluarga yang bermukim di Kecamatan
Cariu, Kabupaten Bogor. Pemilihan responden ini dilakukan dengan teknik simple
random sampling, yaitu dengan terlebih dahulu membuat frame sampling,
kemudian sampel yang diteliti diambil secara acak. Frame sampling yang
dimaksud dalam hal ini adalah keluarga yang memiliki anak perempuan dan laki-
laki dengan masa sekolah antara 9-12 tahun.
Teknik simple random sampling dipilih dengan pertimbangan banyaknya
keluarga yang keluarga yang memiliki anak perempuan putus sekolah di jenjang
SMA. Jumlah sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah sebanyak 30
keluarga. Responden dalam penelitian ini adalah keluarga (Ayah atau Ibu) yang
dapat menjawab pertanyaan kuesioner ditambah dengan satu orang anak
perempuan dan satu orang anak laki-laki dengan masa sekolah antara 9-12 tahun.
Responden untuk wawancara mendalam terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat
setempat, pihak sekolah setara SMA, serta Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif,
yang menggunakan metode survai. Metode survai adalah penelitian yang
mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpul data yang pokok (Singarimbun dan Effendy, 1989). Metode penelitian
survai mencakup model penelitian deskriptif dan eksplanatoris. Penelitian ini
menggunakan penelitian eksplanatoris karena menjelaskan hubungan antara
variabel-variabel melalui pengujian hipotesa.
Penelitian ini juga didukung dengan pendekatan kualitatif, yang
menggunakan metode wawancara mendalam (indepth study). Wawancara
mendalam dilakukan kepada tokoh-tokoh masyarakat setempat, pihak sekolah,
dan Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. Metode wawancara mendalam ini
dilakukan untuk menggali lebih dalam mengenai informasi mengenai pendidikan
perempuan di Kecamatan Cariu, hal ini dimaksudkan untuk memperkuat data
yang didapat melalui kuesioner.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari jawaban dari kuesioner yang terdiri dari
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan persepsi keluarga mengenai gender
dan persepsi keluarga terhadap pendidikan untuk anak perempuan dan hasil
wawancara mendalam. Data sekunder diperoleh melalui literatur-literatur yang
digunakan sebagai bahan rujukan dan data-data seputar pendidikan yang didapat
dari Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.
3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan tabel frekuensi dan tabulasi silang.
Tabel frekuensi digunakan untuk mendapatkan deskripsi tentang karakteristik
responden seperti jumlah responden berdasarkan usia, tingkat pendapatan, dan
ideologi gender responden. Tabulasi silang digunakan untuk mendapatkan
gambaran tentang hubungan antar variabel.
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1. Kondisi Geografis
Kecamatan Cariu terletak di ujung wilayah Kabupaten Bogor, luas
wilayahnnya tercatat ± 6.636.049 Ha. Kecamatan Cariu berbatasan dengan
Kabupaten Bekasi di sebelah Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Tanjungsari, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Jonggol, dan
Kecamatan Sukamakmur, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten
Karawang.
Pada peta rupa bumi, Kecamatan Cariu terletak dalam kordinat antara
106°-108° Bujur Timur dan 6° Lintang Selatan, dengan hamparan bidang
wilayahnya berada pada elevasi antara 100-300 meter di atas permukaan laut
(m.dpl). Secara fisik sekitar 67 persen berupa dataran, dan sekitar 33 persen
berupa perbukitan dan gunung, dengan keadaan lahan sekitar 78 persen berupa
lahan kering dan sekitar 10 persen lahan basah.
Terbentang 3 hulu sungai di Kecamatan Cariu, yaitu Sungai Cibeet,
Sungai Cikumpeni, dan Sungai Ciomas, umumnya lebih dominan dimanfaatkan
untuk sumber pengairan bagi sawah, kolam/empang, dan keperluan rumah tangga.
4.2. Administrasi Kewilayahan
Wilayah Kecamatan secara administrasi kewilayahan meliputi 10 desa, 50
dusun, 50 Rukun Warga (RW), dan 150 Rukun Tetangga (RT). Gambaran
terperinci mengenai administrasi kewilayahan tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6. Administrasi Kewilayahan Kecamatan Cariu (2007)No. Desa Luas Wilayah
(Ha)
Dusun Rukun
Warga
Rukun
Tetangga
1. Karyamekar 808,191 4 4 14
2. Babakanraden 677,88 4 4 18
3. Cikutamahi 1.134,4 6 6 14
4. Kutamekar 666,3 4 4 14
5. Cariu 511,5 7 7 23
6. Mekarwangi 382,042 5 5 10
7. Bantarkuning 642,17 5 5 14
8. Sukajadi 427 4 4 12
9. Tegalpanjang 441 5 5 17
10. Cibatutiga 945,566 6 6 14
Total 6,636,049 50 50 150
Sumber: Kantor Kecamatan Cariu
4.3. Kondisi Demografi
Penduduk Kecamatan Cariu hingga akhir bulan Desember 2007 tercatat
berjumlah 47.237 jiwa, terdiri dari pria sebanyak 23.894 jiwa (50,19 persen) dan
wanita sebanyak 23.343 jiwa (49,81 persen), dan jumlah rata-rata anggota
keluarga empat jiwa/keluarga. Kepadatan penduduk yaitu 5,91 jiwa/Ha.
Dari jumlah populasi penduduk tersebut sekitar 59,82 persen (sebanyak
28.302 jiwa) berumur 19-60 tahun atau merupakan usia angkatan kerja produktif,
namun dari jumlah pada kelompok usia tersebut yang sudah bekerja sekitar 41.47
persen (sebanyak 29.616 orang) dan sekitar 58,53 persen (sebanyak 41.808 orang)
belum bekerja. Angka ketergantungan hidup rata-rata yaitu 1 : 4. Keadaan
penduduk menurut kategori usia selengkapnya tergambar pada Tabel 7.
Tabel 7. Penduduk Kecamatan Cariu Menurut Kelompok Umur (2007)Kelompok Umur Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan00-04 tahun 2390 2479 486905-09 tahun 2185 2080 426510-14 tahun 2249 2262 451115-19 tahun 1859 2241 410020-24 tahun 1097 2008 410525-29 tahun 1906 1970 387630-34 tahun 1634 2101 373535-39 tahun 1933 1868 380140-44 tahun 1862 1671 353345-49 tahun 1585 1512 309750-54 tahun 1212 1073 228555-59 tahun 864 1028 189260-64 tahun 852 1228 205365-69 tahun 405 364 769
70 tahun ke atas 105 196 301Total 23.894 23343 47237
Sumber: Kantor Kecamatan Cariu
4.4. Kondisi Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya penduduk Kecamatan Cariu ini cenderung masih
menunjukkan profil masyarakat pedesaan (rural community), dicirikan antara lain
(a) usaha ekonomi masyarakat umumnya di bidang pertanian yang sifatnya masih
konvensional; (b) karakteristik sosial budayanya relatif masih homogen dengan
masih cukup terpeliharanya ikatan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan; dan
(c) sosial agama penduduk mayoritas atau sekitar 99,7 persen adalah muslim.
4.5. Kondisi Kesejahteraan Sosial
Tingkat kesejahteraan keluarga menurut kategori Pra-KS sebanyak 4.139
KK, KS.I sebanyak 4.462 KK, KS.II sebanyak 4.298 KK, KS,III sebanyak 1.007
KK, dan K.III plus sebanyak 165 KK. Kondisi kesejahteraan sosial penduduk
menurut aspek pendidikan, kesehatan, dan ekonomi dapat diungkapkan berikut
ini.
4.5.1. Kondisi Sosial Pendidikan
Kondisi sosial pendidikan masyarakat cenderung masih sangat rendah,
sebagaimana ditunjukkan antara lain sebagian besar tidak tamat SD sebanyak
18.674 orang, tamatan SD juga cukup banyak 16.827 orang dan tamatan SLTP
sebanyak 4.294 orang, penduduk yang belum melek huruf sebanyak 2.264 orang,
tamatan SLTA sebanyak 2.884 orang, dan tamatan perguruan tinggi yang sangat
sedikit hanya berjumlah 87 orang (Diploma dan S1). Gambaran mengenai kondisi
pendidikan penduduk sebagaimana tersaji pada Tabel 8.
Tabel 8. Kondisi Pendidikan penduduk Kecamatan Cariu (2007)No. Desa Blm
Melek
Huruf
Tdk
tamat
SD
Tamatan Tingkat Pendidikan
SD SMP SMA D1-3 S1 >S1
1. Karyame
kar
123 1334 1211 358 89 47 6 1
2. Babakanr
aden
172 1533 1405 581 282 98 12 1
3. Cikutama
hi
714 1470 1371 558 279 108 7 0
4. Kutamek
ar
147 1371 1382 451 125 57 3 0
5. Cariu 195 4586 3382 581 829 383 34 2
6. Mekarwa
ngi
153 1571 1621 667 503 138 12 0
7. Bantarku
ning
232 1759 1861 280 281 58 6 0
8. Sukajadi 162 1135 1076 212 181 27 2 0
9. Tegalpanj
ang
179 1841 1782 301 157 78 3 1
10. Cibatutig
a
187 2074 1790 305 158 93 2 0
Total 2264 18674 16827 4294 2884 1087 87 5
Sumber: Kantor Kecamatan Cariu
4.5.2. Kondisi Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi menunjukkan pekerjaan penduduk kebanyakan
menjadi petani (50,99 persen), pedagang (9,96 persen), dan wiraswasta (10,87
persen), yang bekerja pada sektor jasa dan industri masih sangat sedikit.
Pendapatan penduduk rata-rata sebesar Rp. 492.750,- atau cenderung
dominan berada pada tingkat sosial ekonomi rendah, atau hanya mampu
mencukupi kebutuhan dasar konsumsi (dalam perhitungan harga setempat).
4.6. Kondisi Sarana Prasarana Wilayah
4.6.1. Kondisi Sarana Prasarana Pendidikan
Sarana pendidikan formal yang terdiri dari satu Sekolah Taman Kanak-
Kanak (1 TK), 36 Sekolah Dasar (28 SD, 8 MI), 11 Sekolah Menengah Pertama
(8 SMP, 3 MTs), dan dua Sekolah Menengah Atas (satu SMA, satu SMK). Sarana
pendidikan nonformal terdiri dari 24 Pondok Pesantren. Ketersediaan sarana dan
prasarana pendidikan formal maupun nonformal tersebut masih sangat terbatas.
4.6.2. Kondisi Sarana Prasarana Perekonomian
Bidang pedagang dan warung usaha ekonomi lainnya, yaitu terdapat tiga
unit pasar desa, 46 toko, dan 453 warung, serta telah berdiri cukup lama dua unit
koperasi tetapi sudah tidak melakukan aktivitas usahanya. Bidang pertanian, yaitu
terdapat areal lahan persawahan yang terdiri dari setengah teknis, tadah hujan, dan
irigasi pedesaan sesuai seluas 2.618Ha.
4.6.3. Kondisi Infrastruktur Wilayah
Jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat atau lebih terdiri dari: (a)
jalan beraspal sepanjang ± 46 Km; (b) jalan berbatu (onderlag) sepanjang ± 125
Km (kabupaten); (c) jalan tanah 78 Km. Pada ruas jalan tersebut terdapat
jembatan beton sebanyak lima buah dan jembatan dekplank sebanyak dua buah.
BAB V
KARAKTERISTIK RESPONDEN
5.1. Usia
Usia adalah variabel yang digunakan untuk mengukur jumlah tahun
kelahiran responden sampai dengan tahun 2008 saat penelitian dilakukan. Dari
penelitian yang dilakukan didapatkan jumlah responden orang tua sebanyak 30
orang dan responden anak berjumlah 30 orang.
Usia responden orang tua dalam penelitian ini berkisar antara 30 tahun
sampai 75 tahun. Berdasarkan data tersebut, karakteristik usia responden orang
tua terbagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah kelompok umur 30-52
tahun, kategori kedua adalah kelompok umur 53-75 tahun. Sebaran usia
responden orang tua secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Usia Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008)Usia Orang Tua Frekuensi (orang) Persentase (%)
53-75 8 26,730-52 22 73,3Total 30 100
Dari tabel diketahui bahwa usia responden orang tua sebagian besar (73,3
%) ada pada rentang usia 53-75 tahun. Responden orang tua yang lebih muda,
berada pada rentang usia 30-52 tahun sebanyak 26,7 persen.
Kelompok responden yang kedua adalah responden anak. Usia responden
anak dalam penelitian ini berkisar antara 15 tahun sampai dengan 34 tahun. Oleh
karena itu, usia responden anak dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok
usia 15-24 tahun, dan kelompok usia 25-34 tahun. Sebaran usia responden anak
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Usia Responden Anak, Kecamatan Cariu (2008)
Usia Anak Frekuensi (orang) Persentase (%)
25-34 11 36,715-24 19 63,3Total 30 100
Dari tabel diketahui bahwa usia responden anak sebagian besar (63,3 %)
ada pada rentang usia 15-24 tahun. Responden anak yang lebih muda, berada pada
rentang usia 25-34 tahun sebanyak 36,7 persen.
5.2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan variabel yang digunakan untuk mengetahui
identitas biologis responden. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil
yaitu baik responden orang tua laki-laki maupun perempuan berjumlah 30 orang,
sedangkan responden anak, baik laki-laki maupun perempuan berjumlah 30 orang.
Sebaran jenis kelamin responden orang tua secara rinci dapat dilihat pada Tabel
11.
Tabel 11. Jenis Kelamin Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008)
Jenis Kelamin Frekuensi (orang) Persentase(%)
Laki-laki 15 50Perempuan 15 50
Total 30 100
Sebaran jenis kelamin responden orang tua tersebar rata di kelompok jenis
kelamin laki-laki dan perempuan. Masing-masing kelompok jenis kelamin orang
tua terisi oleh 50 persen responden orang tua, masing-masing sebanyak 15 orang
responden orang tua. Sebaran jenis kelamin responden anak secara rinci dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Jenis Kelamin Responden Anak, Kecamatan Cariu (2008)Jenis Kelamin Anak Frekuensi (orang) Persentase
(%)Laki-laki 10 33,3
Perempuan 20 66,7Total 30 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi jenis kelamin anak tidak
tersebar secara merata. Responden anak yang berjenis kelamin perempuan jauh
lebih banyak daripada responden anak berjenis kelamin laki-laki,
perbandingannya mencapai 2:1. Hal ini dikarenakan anak muda laki-laki di
wilayah penelitian sebagian besar sedang bekerja pada saat penelitian dilakukan.
5.3.Tingkat Pendidikan Orang Tua
Variabel tingkat pendidikan hanya diujikan kepada responden orang tua
saja. Tingkat pendidikan merupakan variabel yang digunakan untuk mengetahui
sejauh mana responden orang tua mendapatkan ilmu dari sekolah formal. Tingkat
pendidikan orang tua dibagi menjadi dua kategori, yaitu kategori SMP dan
kategori SMA. Dari 30 responden orang tua dalam penelitian ini, sebaran
tingkat pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Tingkat Pendidikan Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008)
Tingkat Pendidikan Orang Tua Frekuensi (orang) Persentase (%)
SMP 18 60 SMA 12 40Total 30 100
Secara umum responden orang tua lebih banyak berada di kelompok
tingkat pendidikan SMP, sebanyak 60 persen dan 40 persen lainnya berada di
kelompok tingkat pendidikan SMA.
Salah satu responden mengatakan bahwa memang rata-rata tingkat
pendidikan warga di wilayah penelitian memang terbilang masih rendah, terutama
pendidikan orang-orang seusia responden orang tua. Menurut JT, salah seorang
responden orang tua yang berpendidikan rendah, hal ini dikarenakan rendahnya
tingkat ekonomi di wilayah tersebut, terutama pada waktu lampau di waktu
seharusnya para responden orang tua bersekolah. Sulitnya perekonomian
kebanyakan warga menyebabkan para warga seusia responden orang tua tidak
bersekolah.
5.4. Tingkat Pendapatan Orang Tua
Variabel tingkat pendapatan orang tua adalah variabel yang digunakan
untuk mengetahui status ekonomi keluarga responden. Variabel tingkat
pendapatan ini dilihat melalui pendapatan ayah dan ibu dalam satu keluarga
selama satu bulan. Tingkat pendapatan orang tua dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu kategori tinggi dan kategori rendah. Kategori tinggi adalah pendapatan
orang tua yang berkisar dari Rp. 500.000,- ke bawah, sedangkan kategori rendah
adalah pendapatan di atas Rp. 500.000,- dalam sebulan. Variabel tingkat
pendapatan hanya diujikan kepada responden orang tua saja karena diasumsikan
pendapatan orang tua adalah penentu disekolahkannya seorang anak atau tidak.
Tabel 14 menunjukkan sebaran tingkat pendapatan responden orang tua.
Tabel 14. Tingkat Pendapatan Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008)Tingkat Pendapatan Orang Tua Frekuensi (orang) Persentase (%)
500000 14 46,7> 500000 16 53,3
Total 30 100
Sebaran tingkat pendapatan responden orang tua pada umumnya tidak
memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Responden orang tua yang berada
pada kelompok tingkat pendapatan rendah sebanyak 46,7 persen, sedangkan
responden orang tua yang berada pada kelompok tingkat pendapatan tinggi
sebanyak 53,3 persen.
Responden sebagian besar bekerja di bidang pertanian, sebagai buruh tani
di sawah orang lain. Sebagian besar pemilik sawah adalah orang-orang di luar
daerah yang memilih sawah sebagai investasi, dan mempekerjakan warga untuk
menggarap sawahnya. Sebagian besar responden memiliki penghasilan tidak
tentu, karena mereka hanya mendapatkan uang pada saat musim panen tiba. Rata
penghasilan per bulan yang diperoleh responden sekitar Rp. 500.000,-.
5.5. Wawasan Gender
5.5.1. Marjinalisasi
Variabel marjinalisasi adalah variabel yang digunakan untuk mengukur
tingkat kepekaan responden, baik responden orang tua maupun responden anak,
terhadap isu gender marjinalisasi. Marjinalisasi sendiri diartikan sebagai proses
peminggiran, umumnya terjadi pada perempuan, yang terepresentasikan dalam
bentuk-bentuk sebagai berikut:
a. Proses pengucilan.
b. Proses penggeseran perempuan ke pinggiran dari pasar tenaga kerja.
c. Proses feminisasi atau segregasi.
d. Proses ketimpangan ekonomi yang makin meningkat.
Sebaran tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu marjinalisasi dapat
terlihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu GenderMarjinalisasi, Kecamatan Cariu (2008)Marjinalisasi Frekuensi (orang) Persentase (%)
Rendah 13 43,3Tinggi 17 56,7Total 30 100
Dari sebaran yang terlihat dari tabel di atas, dapat dikatakan bahwa secara
umum, responden orang tua mempunyai tingkat kepekaan tinggi terhadap isu
gender marjinalisasi, namun banyak juga responden orang tua yang memiliki
kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi. Selisih antara responden orang
tua yang memiliki kepekaan tinggi dan responden orang tua yang memiliki
kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi tidak begitu besar. Responden
orang tua yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi
sebanyak 56,7 persen, sedangkan responden orangtua yang memiliki kepekaan
rendah terhadap isu gender marjinalisasi sebanyak 43,3 persen. Sebaran tingkat
kepekaan responden anak terhadap marjinalisasi dapat terlihat dari Tabel 16.
Tabel 16. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Marjinalisasi,Kecamatan Cariu (2008)
Tingkat Kepekaan Anak Terhadap IsuGender Marjinalisasi Frekuensi (orang) Persentase (%)
Rendah 5 16,7Tinggi 25 83,3Total 30 100
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa responden anak sebagian besar
memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap isu gender marjinalisasi.
Responden anak yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap isu gender
marjinalisasi sebanyak 83,3 persen, sedangkan responden anak yang memiliki
kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi hanya sebanyak 16,7 persen.
Sebanyak 56,7 persen responden orang tua dan 83,3 persen responden
anak berpendapat bahwa perempuan boleh saja bekerja di sektor manapun,
dengan upah yang layak. Perempuan tidak lagi wajib hanya berada di rumah
mengurusi rumah tangga, suami, dan anak. Perempuan boleh saja lebih maju dari
laki-laki dalam hal pekerjaan apabila memang perempuan itu memiliki
kemampuan yang tinggi. Responden yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu
gender marjinalisasi telah menunjukkan bahwa mereka sudah menolak adanya
praktek-praktek pengucilan terhadap perempuan, segregasi, penggeseran
perempuan dari pasar tenaga kerja, dan ketimpangan ekonomi.
Salah satu responden orang tua, sebut saja UM, menceritakan bahwa
dalam rumah tangganya, dialah yang berperan sebagai kepala rumah tangga. UM
merupakan pencari nafkah utama di keluarganya, suaminya yang masih sehat wal
afiat memilih untuk tidak bekerja karena penghasilan UM dari warung makan
yang dikelolanya sudah mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari, bahkan UM
juga mengatakan bahwa setiap hari sebelum berangkat ke warung nasi miliknya,
UM memberikan sejumlah uang untuk suaminya membeli rokok dan kebutuhan
lainnya selama UM berada di warung. Selama UM berada di warung, sejak pagi
hingga sore, suaminyalah yang bertanggung jawab atas semua urusan rumah
tangganya, seperti membersihkan rumah dan menjaga rumah sampai UM selesai
mengurus warungnya.
ah suami saya mah ga pegang uang samasekali, setiap hari sayajatah uang jajannya, palingan juga 7000 perak sehari. Kan iniuang saya. Suami saya samasekali ga Bantu saya cari uang. Jadidia mah tinggal anteng-anteng tunggu rumah aj, sekalian beberesrumah.. (UM, orang tua, 62).
Selain itu, UM juga bercerita mengenai proses pengambilan keputusan
dalam rumah tangganya. UM mengatakan bahwa semua keputusan selalu diambil
oleh UM sendiri, tanpa kompromi dengan sang suami. Suaminya pun tidak pernah
keberatan dengan pembagian tugas seperti itu. Pembagian tugas yang demikian
sudah berlangsung sekitar 10 tahun yang lalu, sejak sang suami mengalami
pemecatan dari perusahaan tempatnya bekerja sebagai petugas keamanan.
5.5.2. Subordinasi
Isu gender subordinasi adalah isu gender yang berhubungan dengan
pengambilan keputusan. Anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang
irrasional, terlalu banyak melibatkan perasaan dalam bertindak menyebabkan
perempuan banyak dipandang tidak mampu mengambil keputusan secara
bijaksana. Semua keputusan haruslah diambil oleh laki-laki, terutama keputusan
yang memerlukan pemikiran matang. Kalaupun perempuan boleh mengambil
keputusan, sebagian besar hanya keputusan mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan rumah tangga, misalnya urusan dapur dan kebersihan rumah.
Tingkat kepekaan responden terhadap isu gender subordinasi adalah
mengenai seberapa jauh responden merasa isu gender subordinasi tersebut patut
diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Sebaran frekuensi dan persentase
kepekaan responden orang tua terhadap isu gender subordinasi dapat dilihat pada
Tabel 17.
Tabel 17. Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu Gender Subordinasi,Kecamatan Cariu (2008)
Tingkat Kepekaan Orang Tua terhadapIsu Gender Subordinasi Frekuensi (orang) Persentase (%)
Rendah 20 66,7Tinggi 10 33,3Total 30 100
Sebagian besar responden orang tua masih memiki kepekaan yang rendah
terhadap isu gender subordinasi. Responden orang tua yang memiliki tingkat
kepekaan rendah terhadap isu gender subordinasi adalah sebanyak 66,7 persen,
sedangkan responden orang tua yang memiliki kepekaan rendah terhadap isu
gender subordinasi adalah sebanyak 33,3 persen. Sebaran tingkat kepekaan
responden anak terhadap isu gender subordinasi dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Subordinasi,Kecamatan Cariu (2008)
Tingkat Kepekaan Anak terhadap IsuGender Subordinasi Frekuensi (orang) Persentase (%)
Rendah 23 76,7Tinggi 7 23,3Total 30 100
Sama seperti halnya tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu
gender subordinasi, tabel menunjukkan bahwa tingkat kepekaan responden orang
tua terhadap isu gender subordinasi pun masih sangat rendah. Hal ini dapat
terlihat dari data reponden yang memiliki tingkat kepekaan rendah terhadap isu
gender subordinasi sebanyak 76,7 persen, sedangkan hanya 23,3 persen lainnya
yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap isu gender subordinasi.
Responden orang tua maupun responden anak, lebih banyak menganggap
bahwa hukum agama mengajarkan bahwa laki-laki harus selalu menjadi
pemimpin dalam segala bidang. Laki-laki adalah orang yang pantas dijadikan
panutan, tanpa harus memperhitungkan seberapa perempuan mungkin lebih
kompeten dalam beberapa hal.
perempuan harus selalu taat kepada laki-laki, karena laki-lakikan selalu jadi pemimpin. Kalo laki-laki udah bilang A, yaperempuan harus ikut apa kata laki-laki. Itu mah udah jadi hukumalam, ga bisa diapa-apain lagi.. Kalo perempuannya kan mestinurut ke laki-laki. Masa laki-laki yang nurut ke perempuan?? Itumah nyalahin kodrat namanya.. (TD, anak, 29 tahun).
5.5.3. Stereotipi
Isu gender stereotipi adalah pelabelan negatif terhadap perempuan.
Berbagai label negatif yang ditempelkan pada perempuan sudah sangat melekat di
masyarakat umum. Isu gender stereotipi inilah yang kemudian akan menimbulkan
isu-isu gender lainnya. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi perempuan.
Kebanyakan akan berimplikasi pada perempuan yang hanya dilihat dari
keindahan tubuhnya, hanya dieksplor fisiknya saja, tidak diperhatikan
intelegensianya, perempuan seolah hanya dianggap sebagai objek keindahan.
Beberapa responden telah mengungkapkan pendapat mereka mengenai isu
gender stereotipi. Jawaban-jawaban dari responden tersebut kemudian akan
menunjukkan tingkat kepekaan responden terhadap isu gender stereotipi. Tingkat
kepekaan responden orang tua terhadap isu gender stereotipi dapat dilihat pada
Tabel 19.
Tabel 19. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu GenderStereotipi, Kecamatan Cariu (2008)
Tingkat Kepekaan Orang Tua terhadapIsu Gender Stereotipi Frekuensi (orang) Persentase (%)
Rendah 19 63,3Tinggi 11 36,7Total 30 100
Kepekaan responden orang tua terhadap isu gender stereotipi masih
terbilang rendah karena data menunjukkan bahwa sebanyak 63,3 persen
responden masih memiliki kepekaan yang rendah terhadap isu gender stereotipi,
dan hanya sebanyak 36,7 persen responden orang tua yang memiliki kepekaan
tinggi terhadap isu gender stereotipi. Sebaran tingkat kepekaan responden anak
terhadap isu gender stereotipi dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Stereotipi,Kecamatan Cariu (2008)
Tingkat Kepekaan Anak terhadap IsuGender Stereotipi Frekuensi (orang) Persentase (%)
Rendah 18 60Tinggi 12 40Total 30 100
Secara umum, responden anak masih memiliki kepekaan yang rendah
terhadap isu gender stereotipi. Sebanyak 60 persen responden memiliki kepekaan
terhadap isu gender stereotipi yang rendah, dan 40 persen lainnya memiliki
kepekaan yang tinggi terhadap isu gender stereotipi. Hal ini tidak jauh berbeda
dengan hasil yang didapat dari survai kepada responden orang tua.
Responden orang tua dan anak dalam penelitian ini kebanyakan masih
memandang bahwa pelabelan negatif yang dilekatkan pada diri perempuan
memang merupakan kodrat yang tidak akan pernah bisa dirubah. Salah satu
responden dari penelitian ini, DK, berpendapat bahwa memang perempuan
memang selalu identik dengan pesolek, mudah tersinggung, tidak logis, dll.
Berikut adalah kutipan wawancara dengan beliau:
perempuan mah emang cuma bisa dandan, cukup dandan ajsuami udah seneng ko, ga usah macem-macem segala lah.. kancuma buat diliat aja!! Nah tugasnya suami buat cari uang supayasi istri bisa dandan cantik, kalo duitnya kurang buat belikeperluannya kan bisa diamuk gede-gedean kita!! (DK, orangtua, 42 tahun).
5.5.4. Kekerasan
Pengertian kekerasan dalam hal ini tidak hanya diartikan sebagai serangan
fisik saja, tetapi juga berupa serangan terhadap integritas mental psikologis
seseorang. Kekerasan yang terjadi karena permasalahan jenis kelamin dapat
dikatakan kekerasan gender. Penyebab utama kekerasan gender adalah karena
adanya anggapan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat.
Sebanyak 30 orang responden orang tua dalam penelitian ini telah
mengungkapkan sejauh mana kepekaan mereka terhadap isu gender kekerasan.
Sebaran tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender kekerasan
dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap isu GenderKekerasan, Kecamatan Cariu (2008)
Tingkat Kepekaan Orang Tua TerhadapIsu Gender Kekerasan Frekuensi (orang) Persentase (%)
Rendah 4 13,3Tinggi 26 86,7Total 30 100
Tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender kekerasan
sudah terbilang tinggi. Sebanyak 86,7 persen responden orang tua menyatakan
tidak setuju dengan adanya kekerasan terhadap perempuan, dalam bentuk apapun.
Responden orang tua yang menyatakan setuju dengan adanya bentuk-bentuk
kekerasan terhadap perempuan sebanyak 13,3 persen. Kebanyakan responden
orang tua yang menyatakan setuju dengan adanya bentuk-bentuk kekerasan
gender sebagai bentuk dari hukuman untuk perempuan yang patuh pada laki-laki.
Mereka pun menyatakan bahwa hal ini merupakan ajaran yang sudah ditamankan
sejak mereka kecil, sehingga melekat sampai mereka dewasa.
Seperti halnya responden orang tua, responden anak pun secara umum
memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap isu gender kekerasan. Hal
tersebut dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Kekerasan,Kecamatan Cariu (2008)
Tingkat Kepekaan Anakterhadap Isu Gender
KekerasanFrekuensi (orang) Persentase (%)
Rendah 5 16.7Tinggi 25 83.3Total 30 100.0
Sebanyak 83,3 persen responden anak memiliki kepekaan yang tinggi
terhadap isu gender kekerasan, sedangkan 16,7 persen responden anak lainnya
memiliki kepekaan rendah terhadap isu kepekaan gender kekerasan.
5.5.5. Beban Kerja
Isu gender beban kerja diartikan sebagai pembebanan pekerjaan rumah
tangga kepada perempuan. Perempuan biasanya dianggap rajin dan rapih dalam
mengerjakan sesuatu, sehingga perempuan selalu dianggap orang yang tepat
dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Seiring dengan
berjalannya waktu, perempuan memiliki kesempatan lebih banyak untuk
berkontribusi dalam perekonomian keluarga. Hal ini seakan menjadi dilema bagi
para perempuan, karena walaupun berkesempatan untuk mengembangkan diri di
sektor publik, perempuan juga seolah tidak diperkenankan untuk meninggalkan
tugasnya di rumah tangga. Perempuan harus mengerjakan dua tanggung jawab
sekaligus. Sebaran tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender
beban kerja dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008)Tingkat Kepekaan Orang Tua terhadap
Isu Gender Beban Kerja Frekuensi (orang) Persentase (%)
Rendah 26 86,7Tinggi 4 13,3Total 30 100
Secara umum tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender
beban kerja terbilang rendah. Sebanyak 86,7 persen responden orang tua memiliki
tingkat kepekaan yang rendah terhadap isu gender beban kerja, dan hanya 13,3
persen dari responden orang tua yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi
terhadap isu gender beban kerja. Sebaran tingkat kepekaan responden anak
terhadap isu gender beban kerja dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Beban KerjaTingkat Kepekaan Anak terhadap Isu
Gender Beban Kerja Frekuensi (orang) Persentase (%)
Rendah 25 83,3Tinggi 5 16,7Total 30 100
Responden anak juga memiliki tingkat kepekaan yang relative rendah
terhadap isu gender beban kerja. Sebanyak 83,3 persen responden anak memiliki
kepekaan yang rendah terhadap isu gender beban kerja, responden yang memiliki
kepekaan tinggi hanya dimiliki oleh sebanyak 16,7 persen responden anak.
Masih kentalnya kultur bahwa perempuan adalah penanggung jawab
utama dalam hal pekerjaan rumah tangga menyebabkan para responden, baik anak
maupun orang tua, masih menerapkan isu gender beban kerja dalam
kehidupannya sehari-hari. Salah seorang responden berpendapat,
perempuan boleh saja bekerja di luar rumah, justru itu bagusuntuk memperkuat perekonomian keluarga. Tapi sebagaiperempuan, tetep aja ga boleh nyalahin kodrat! Kalo kerjaanrumah belom beres ya mesti diberesin dulu, baru deh bolehngerjain kerjaan di luar. Atau kalo emang bener-bener ga sempetkan bisa dikerjain sore pas pulang kerja. Perempuan juga ga bolehkerja sampe malem, tar anak-anak sapa yang ngurus. Kan palingrepot kalo ga ada istri di rumah.. (MN, orang tua, 55 tahun)
BAB VI
PERSEPSI ORANG TUA DAN ANAK TERHADAPPERAN PENDIDIKAN BAGI PEREMPUAN
6.1. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan bagi Perempuan
Variabel persepsi orang tua terhadap pendidikan diukur melalui persepsi
orang tua terhadap pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan, persepsi orang tua
terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan sosial, dan persepsi orang tua
terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga. Perbedaan persepsi
orang tua terhadap pendidikan dalam kaitannya dengan perolehan pekerjaan
masih berbeda jauh. Persepsi orang tua terhadap peran pendidikan terbagi menjadi
dua kategori, yaitu positif dan negatif terhadap perolehan pekerjaan, kehidupan
sosial, dan kehidupan berkeluarga. Lebih banyak orang tua yang masih
memandang negatif terhadap peran pendidikan dalam kehidupan perempuan.
6.1.1. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalam PerolehanPekerjaan
Dewasa ini, pekerjaan menjadi sangat penting bagi kehidupan individu
dalam sebuah keluarga. Pada beberapa tahun belakangan ini, tepatnya setelah
krisis perekonomian pada tahun 1997, keluarga yang semula hanya mengandalkan
penghasilan ayah sebagai seorang kepala keluarga mulai merasa kekurangan.
Semua harga kebutuhan pokok sehari-hari menanjak naik, sedangkan penghasilan
kepala keluarga tidak berubah banyak. Oleh karena itu, beberapa keluarga mulai
berusaha untuk mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Sebagai salah satu cara menambah penghasilan keluarga, ibu dalam
keluarga mulai bekerja agar mendapatkan penghasilan untuk mencukupi
kebutuhan keluarga.
Hal tersebut tidak demikian saja berjalan dengan lancar dan
menyelesaikan permasalahan perekonomian sebagian keluarga. Berbagai
permasalahan mulai menyeruak ke permukaan sejalan dengan berkembangnya
budaya perempuan bekerja. Salah satu permasalahan yang terjadi adalah
peminggiran perempuan di bidang pekerjaan, baik dalam hal ketersediaan
lapangan pekerjaan, pemilihan lapangan pekerjaan, sampai pada kecilnya
penghasilan perempuan. Keseluruhan permasalahan yang terjadi dapat dikatakan
berujung pada satu hal, yaitu pendidikan. Pendidikan perempuan yang relatif lebih
rendah daripada laki-lakilah yang menjadi penyebab munculnya berbagai
permasalahan tersebut.
Pendidikan perempuan sebagai penyebab munculnya permasalahan-
permasalahan bagi perempuan tersebut dalam hal pekerjaan dianggap tidak terlalu
penting oleh para orang tua. Hal ini dapat dibuktikan oleh hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa memang persepsi orang tua terhadap peran pendidikan
perempuan dalam hal perolehan pekerjaan terbilang masih rendah. Hal tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 25. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan, Kecamatan Cariu (2008)Persepsi Orang Tua terhadap
Pendidikan dikaitkan dengan PerolehanPekerjaan
Frekuensi (orang) Persentase (%)
Negarif 19 63,3Positif 11 36,7Total 30 100
Sebanyak 63,3 persen responden orang tua berpersepsi bahwa pendidikan
bagi anak perempuan tidak terlalu berperan dalam memperoleh pekerjaan,
sedangkan orang tua yang berpersepsi bahwa pendidikan penting untuk anak
perempuan dalam hal perolehan pekerjaan hanya sebanyak 36,7 persen.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil bahwa terdapat satu hal
yang berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap peran pendidikan anak
perempuan dalam perolehan pekerjaan tersebut, yaitu variabel kepekaan orang tua
terhadap isu gender stereotipi. Variabel kepekaan orang tua terhadap isu gender
subordinasi adalah variabel yang menunjukkan bagaimana orang tua memandang
pelabelan negatif yang biasanya ditempelkan pada perempuan.
Tabel 26. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Kepekaan Terhadap Isu Gender Stereotipi diKecamatan Cariu Kabupaten Bogor (2008)
Persepsi Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan
Stereotipi
Rendah Tinggi
Negatif 14(73.7%) 5(45.5%)
Positif 5(26.3%) 6(54.5%)Total 19 (100%) 11 (100%)
Semakin peka orang tua terhadap isu gender stereotipi, semakin baik pula
persepsi orang tua terhadap pendidikan perempuan dalam perolehan pekerjaan. Di
lokasi penelitian ditemukan fakta bahwa stereotipi perempuan masih dianut oleh
warga, terutama orang tua. Perempuan hanya dianggap sebagai barang pajangan
saja, tidak dipandang produktifitasnya dalam bekerja. Orang tua yang memiliki
kepekaan yang rendah terhadap isu gender stereotipi memandang bahwa
perempuan tidak perlu berpendidikan untuk dapat bekerja, perempuan hanya perlu
mengandalkan penampilan saja, baik penampilan fisik maupun pembawaan diri di
depan orang lain.
Penelitian ini juga menguji variabel-variabel lain yang semula diduga
berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap peran pendidikan dalam hal
perolehan pekerjaan, namun hasil pengolahan data menunjukkan bahwa variabel
usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, kepekaan orang tua terhadap isu
gender marjinalisasi, stereotipi, kekerasan, dan beban kerja, serta tingkat
pendapatan orang tua tidak berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap
peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan (lihat lampiran). Usia orang tua,
tingkat pendidikan orang tua, kepekaan orang tua terhadap isu gender
marjinalisasi, stereotipi, kekerasan, dan beban kerja, serta tingkat pendapatan
orang tua tidak berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap peran pendidikan
dalam hal perolehan pekerjaan karena data menunjukkan bahwa persepsi yang
rendah terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan dimiliki oleh
orang tua yang berada pada kategori usia, tingkat pendidikan, kepekaan terhadap
isu gender marjinalisasi, stereotipi, kekerasan, dan beban kerja, serta tingkat
pendapatan yang tinggi maupun rendah.
6.1.2. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalamKehidupan Sosial
Hal lain yang berhubungan dengan pendidikan adalah kehidupan sosial
perempuan itu sendiri. Persepsi orang tua terhadap peran pendidikan perempuan
dalam kehidupan sosial terbilang rendah. Para orang tua tidak mementingkan
pendidikan perempuan sebagai modal untuk bersosialisasi dengan lingkungan.
Mereka berpendapat bahwa pendidikan tidak ada hubungannya dengan kehidupan
sosial anak perempuan, mereka berpendapat bahwa kehidupan sosial atau
pergaulan anak perempuan tergantung pada pembawaan diri individu anak
perempuan itu sendiri. Hal tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut:
Soal pergaulan anak mah ya cuma tergantung dari gimana sianak bawa diri aj di depan orang lain. Kalo anaknya bae ya diapasti diterima sama orang laen, kalo anaknya nyebelin mah manaada yang bakal suka! Sekolah apa ga sekolahnya si anak mah gaada urusannya sama ginian.. (HN, orang tua, 44 tahun).
Persepsi orang tua terhadap peran pendidikan dalam kehidupan sosial bagi
perempuan yang negatif mengakibatkan orang tua tidak menyekolahkan anaknya
demi kepentingan kelancaran kehidupan sosial anak perempuan. Hal tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 27. Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan dalam KehidupanSosial, Kecamatan Cariu (2008)
Persepsi Orang Tua terhadapPendidikan dalam Hal Kehidupan
SosialFrekuensi (orang) Persentase (%)
Negatif 18 60Positif 12 40Total 30 100
Dua hal yang berhubungan dengan hal tersebut adalah tingkat pendidikan
orang tua dan kepekaan orang tua terhadap isu gender beban kerja. Variabel
tingkat pendidikan orang tua berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap
peran pendidikan perempuan dalam hal kehidupan sosial. Hal tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 28. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan dalam Hal KehidupanSosial Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan CariuKabupaten Bogor (2008)
Persepsi Terhadap Pendidikan dalam KehidupanSosial
Tingkat Pendidikan Orang Tua
SMP SMA
Negatif 13 (72,2%) 5 (41,7%)
Positif 5 (27,8%) 7 (58,3%)Total 18 (100%) 12 (100%)
Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, maka semakin positif pula
persepsi orang tua terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan sosial. Orang
tua yang dikatakan berpendidikan tinggi adalah orang tua yang berpendidikan
minimal SMA. Para responden orang tua yang berpendidikan rendah adalah orang
tua yang hanya mengenyam pendidikan minimal bangku SMP. Orang tua yang
berpendidikan rendah berpendapat bahwa kehidupan sosial hanya meliputi
hubungan antara anak perempuan dan lingkungan sekitarnya, sedangkan menurut
orang tua yang berpendidikan tinggi, hubungan sosial dimaknai secara lebih luas.
Kehidupan sosial menurut orang tua yang berpendidikan tinggi adalah hubungan
anak perempuan dengan semua orang, termasuk hubungan anak perempuan
dengan orang lain yang mungkin saja membukakan jalan bagi anak perempuan
tersebut untuk mengembangkan dirinya, misalnya seputar pekerjaan. Jika anak
perempuan dapat bergaul dengan baik, maka semakin besar terbuka jalan bagi
anak perempuan tersebut untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai hal.
Variabel kedua yang berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap
pendidikan perempuan dalam hal kehidupan sosial adalah kepekaan orang tua
terhadap isu gender beban kerja. Kepekaan orang tua terhadap isu gender beban
kerja adalah pendapat orang tua bahwa pekerjaan rumah tangga bukan hanya
menjadi tanggung jawab perempuan saja, melainkan harus menjadi tanggung
jawab laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah tangga. Kepekaan orang tua
terhadap isu gender beban kerja berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap
peran pendidikan perempuan dalam kehidupan sosial.
Tabel 29. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan dalam Hal KehidupanSosial Berdasarkan Kepekaan Terhadap Isu Gender Beban Kerja diKecamatan Cariu Kabupaten Bogor (2008)
Persepsi Terhadap Pendidikan dalam Hal SosialBeban Kerja
Rendah Tinggi
Negatif 17 (65,4%) 1 (25%)
Positif 9 (34,6%) 3 (75%)
Total 26 (100%) 4 (100%)
Semakin tinggi kepekaan orang tua terhadap isu gender beban kerja,
semakin positif pula persepsi orang tua terhadap peran pendidikan perempuan
dalam kehidupan sosial. Orang tua yang peka terhadap isu gender beban kerja
berpendapat bahwa perempuan juga perlu bersosialisasi dengan baik dengan
lingkungannya, perempuan tidak hanya harus berurusan dengan dapur dan rumah
tangga, karena itu perempuan dinilai perlu berpendidikan karena perempuan pada
suatu saat akan berhubungan dengan lingkungannya dengan baik.
6.1.3. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Berkeluarga
Kehidupan berkeluarga adalah satu hal yang juga penting dalam
kehidupan seorang individu. Kehidupan berkeluarga dipengaruhi oleh pendidikan
seseorang. Persepsi orang tua terhadap peran pendidikan perempuan dalam hal
kehidupan berkeluarga masih negatif, sebanyak 60 persen orang tua menganggap
pendidikan tidak penting dalam hal berkeluarga. Hal tersebut ditunjukkan oleh
tabel sebaran persepsi orang tua terhadap pendidikan perempuan dalam hal
kehidupan berkeluarga sebagai berikut:
Tabel 30. Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan dalam KehidupanBerkeluarga
Persepsi Orang Tua terhadapPendidikan dalam Hal Kehidupan
BerkeluargaFrekuensi (orang) Persen (%)
Negatif 18 60Positif 12 40Total 30 100
Orang tua berpendapat bahwa kehidupan berkeluarga hanya merupakan
permainan nasib. Mereka tidak percaya pada peran pendidikan dalam kehidupan
keluarga. Beberapa variabel yang berhubungan dengan persepsi orang tua
terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan sosial adalah jenis kelamin,
tingkat pendapatan, dan kepekaan orang tua terhadap isu gender beban kerja.
Tabel 31. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan dalam Hal KehidupanBerkeluarga Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Cariu KabupatenBogor (2008)
Persepsi Terhadap Pendidikan dalam HalBerkeluarga
Jenis KelaminLaki-laki Perempuan
Negatif 7(46,7%) 11(73,3%)
Positif 8(53,3%) 4(26,7%)
Total 15 (100%) 15 (100%)
Variabel jenis kelamin berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap
peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga. Berdasarkan hasil pengolahan
data, didapatkan hasil bahwa laki-laki memiliki persepsi yang negatif terhadap
peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga. Seorang responden laki-laki
mengatakan bahwa kehidupan berkeluarga samasekali tidak ada hubungannya
dengan pendidikan seseorang, berikut kutipan wawancara:
Seseorang yang tidak menikah juga bisa punya pernikahanlanggeng, punya suami baik, punya anak baik-baik. Ga perlu haruspinter kalo emang pingin idup seneng mah.. cukup jadi orang baik-baik aja.. (SN, orang tua, 61 tahun).
Pendapat lain disampaikan oleh responden perempuan yang mengatakan
bahwa pendidikan sedikit banyak penting dalam membina kehidupan rumah
tangga, terutama menyangkut kualitas keturunan mereka, sebagai berikut:
Kalo kita ga sekolah, ya palingan dapetnya laki yang ga sekolahjuga, kaya sekarang ini lah. Ya kalo ga sekolah, kerjanya juga ganetep, gaji kecil, susah juga nyekolahin anak. Bisa-bisa anaknyajuga bodo kaya kita! Kalo kita sekolah, bisa gaul sama orangsekolah juga kan kali dapet suami yang lumayan..hehe,, (WT,orang tua, 55 tahun).
Variabel kedua yang berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap
peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga adalah variabel tingkat
pendapatan orang tua.
Tabel 32. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan dalam Hal KehidupanBerkeluarga Berdasarkan Tingkat Pendapatan di Kecamatan CariuKabupaten Bogor (2008)
Persepsi Terhadap Pendidikan dalam Hal BerkeluargaTingkat Pendapatan Orang Tua
500000 > 500000
Negatif 11(78,6%) 7(43,8%)
Positif 3(21,4%) 9(56,2%)
Total 14 (100%) 16(100%)
Semakin tinggi tingkat pendapatan orang tua, maka semakin positif pula
persepsi orang tua terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga.
Orang tua yang berpendapatan rendah umumnya bekerja sebagai buruh tani,
mereka hanya berhubungan dengan lingkungan yang karakteristiknnya kurang
lebih sama dengan dengan karakterikstik dirinya. Orang tua yang berpendapatan
tinggi bekerja di sektor pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk
berhubungan dengan orang lain yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan
dirinya. Hal tersebut menjadikan orang tua yang berpendapatan tinggi dapat
berpikiran lebih terbuka mengenai pentingnya pendidikan perempuan dalam hal
kehidupan berkeluarga. Salah satunya karena banyaknya pengalaman orang lain
yang ia dengar mengenai kehidupan keluarga orang lain dari berbagai tingkatan
pendidikan. Orang tua dapat menganalisis perbedaan kehidupan keluarga orang
yang berpendidikan lebih baik daripada kehidupan mereka yang berpendidikan
rendah. Selain itu, mereka juga semakin mengerti bahwa kehidupan berkeluarga
tidak hanya mengenai kelanggengan rumah tangga saja, tetapi juga termasuk di
dalamnya mengenai kualitas keturunan mereka kelak.
Dari kelima isu gender yang diujikan dalam penelitian, ternyata hanya satu
isu gender yang berhubungan dengan persepsi orang tua terhadap peran
pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga, yaitu isu gender beban kerja.
Tabel 33. Persepsi Orang Tua terhadap Peran Pendidikan dalam Hal KehidupanBerkeluarga Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Beban Kerjadi Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor (2008)
Persepsi Terhadap Pendidikan dalam Hal BerkeluargaBeban Kerja
Rendah Tinggi
Negatif 18 (69,2%) 0 (0%)
Positif 8 (30,8%) 4 (100%)
Total 26 (100%) 4 (100%)
Tabel di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi kepekaan orang tua
terhadap isu gender beban kerja, maka semakin baik pula persepsi orang tua
terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga. Orang tua yang
memiliki kepekaan yang tinggi terhadap isu gender beban kerja cenderung
mendorong anaknya untuk berpendidikan setinggi mungkin. Orang tua akan
menyekolahkan anak mereka semampu mereka. Hal tersebut dilakukan karena
mereka tidak ingin anak mereka hanya berdiam diri saja, hanya mengerti urusan
rumah tangga saja atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga saja di rumah pada
saat sudah berumah tangga kelak. Orang tua ingin anak mereka dapat berkembang
sesuai dengan potensi yang ada pada diri anak perempuan tersebut.
6.2. Persepsi Anak terhadap Pendidikan bagi Perempuan
Persepsi anak terhadap peran pendidikan perempuan dalam kehidupan,
dilihat dari perolehan pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan berumah tangga
dapat dikatakan lebih baik daripada persepsi orang tua terhadap peran pendidikan
perempuan dalam kehidupan perempuan. Hal ini ditunjukkan oleh data sebaran
persepsi anak terhadap pendidikan perempuan dalam perolehan pekerjaan sebagai
berikut:
Tabel 34. Persepsi Anak terhadap Pendidikan dalam Kaitannya dengan PerolehanPekerjaan, Kecamatan Cariu (2008)
Persepsi Anak terhadap Pendidikandalam Kaitannya dengan Perolehan
PekerjaanFrekuensi (orang) Persentase (%)
Negatif 15 50Positif 15 50Total 30 100
Persepsi Anak Terhadap Pendidikandalam Hal Kehidupan Sosial Frekuensi (orang) Persentase (%)
Negatif 20 66,7Positif 10 33,3Total 30 100
Persepsi Anak terhadap Pendidikandalam Hal Kehidupan Berkeluarga Frekuensi (orang) Persentase (%)
Negatif 21 70Positif 9 30Total 30 100
Sebesar 50 persen dari responden anak memandang pendidikan
perempuan penting dalam perolehan perempuan. Sebanyak 66,7 persen responden
anak menganggap pendidikan perempuan tidak berpengaruh dalam kehidupan
sosial seseorang. Sebesar 70 persen responden anak beranggapan bahwa
pendidikan juga tidak penting dalam kehidupan berkeluarga. Bagi responden
anak, pendidikan penting dalam beberapa aspek kehidupan perempuan, namun
responden anak pun tidak sepenuhnya sudah memandang pentingnya pendidikan
sebagaimana mestinya.
6.2.1. Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuan dalam Hal PerolehanPekerjaan
Responden anak terbagi menjadi dua kelompok sama besar dalam
berpendapat mengenai pentingnya pendidikan perempuan dalam hal perolehan
pekerjaan. Sebesar 50 persen responden anak menilai pendidikan perempuan
sangat penting dalam hal perolehan pekerjaan, sedangkan lima puluh persen
lainnya menganggap pendidikan tidak begitu penting bagi perempuan dalam hal
memperoleh pekerjaan. Adapun beberapa hal yang berhubungan dengan persepsi
anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan antara lain, usia,
jenis kelamin, kepekaan anak terhadap isu gender marjinalisasi, subordinasi,
stereotipi, kekerasan, dan beban kerja.
Tabel 35. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan usia di Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor(2008)
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan
Usia Anak15-24 25-34
Negatif 7(36,8%) 8(72,7%)
Positif 12(63,2%) 3(27,3%)
Total 19 (100%) 11(100%)
Variabel pertama yang berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran
pendidikan perempuan dalam hal perolehan pekerjaan adalah variabel usia.
Semakin dewasa seorang anak, maka semakin positif persepsinya terhadap peran
pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. Anak yang tergolong kategori dewasa
adalah anak yang berusia antara 25 tahun sampai dengan 34 tahun, sedangkan
anak yang tergolong dalam kategori usia rendah adalah anak yang berusia antara
15 tahun sampai 24 tahun. Responden anak yang tergolong dewasa berpikir
bahwa pendidikan perempuan berperan penting dalam perolehan pekerjaan,
sedangkan responden anak yang belum dewasa tidak terlalu memandang penting
peran pendidikan perempuan dalam perolehan pekerjaan. Hal demikian dapat
terjadi karena responden anak yang dewasa sudah memiliki pengalaman dalam
hal pencarian pekerjaan, sementara responden yang belum dewasa belum
berpengalaman sebaik responden dewasa. Responden anak dewasa sudah
mengalami susahnya mencari pekerjaan, sehingga mereka berpikir bahwa
pendidikan memang penting untuk memperoleh pekerjaan. Responden anak yang
belum dewasa masih belum sepenuhnya mengalami pengalaman mencari kerja
sungguhan, kebanyakan dari mereka masih bergantung pada orang orang tuanya
dan mencerminkan hidup pada kehidupan orang tuanya.
Tabel 36. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Cariu KabupatenBogor (2008)
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan
Jenis Kelamin Anak
Laki-laki Perempuan
Negatif 8 (80%) 7 (35%)
Positif 2 (20%) 13 (65%)Total 10 (100%) 20 (100%)
Jenis kelamin anak berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran
pendidikan perempuan dalam perolehan pekerjaan. Responden anak laki-laki
memiliki persepsi yang tidak begitu baik terhadap peran pendidikan perempuan
dalam perolehan pekerjaan.
Persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam perolehan pekerjaan
berhubungan dengan semua variabel dari kepekaan responden terhadap isu
gender. Variabel kepekaan isu gender terdiri kepekaan terhadap isu gender
marjinalisasi, subordinasi, stereotipi, kekerasan, dan beban kerja. Dapat dikatakan
bahwa semakin peka seorang anak terhadap isu gender, maka semakin positif pula
persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan.
Tabel 37. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Marjinalisasi diKecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008)
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan
Marjinalisasi AnakRendah Tinggi
Negatif 4 (80%) 11 (44%)
Positif 1 (20%) 14 (56%)
Total 5 (100%) 25(100%)
Data di atas menunjukkan bahwa variabel kepekaan anak terhadap isu
gender marjinalisasi berhubungan dengan persepsi anak terhadap peran
pendidikan dalam perolehan pekerjaan. Semakin tinggi kepekaan anak terhadap
isu gender marjinalisasi, maka semakin tinggi pula persepsi anak terhadap peran
pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. Kepekaan terhadap isu gender
marjinalisasi adalah kepekaan seseorang terhadap persamaan kedudukan laki-laki
dan perempuan dari segi ekonomi. Segi ekonomi juga erat hubungannya dengan
pekerjaan. Anak yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi
beranggapan bahwa perempuan sudah seharusnya berkedudukan sama dengan
laki-laki jika memang memiliki potensi yang sama. Kedudukan tersebut dapat
didapatkan jika pendidikan laki-laki dan perempuan sejajar. Oleh karena itu,
perempuan juga harus sedapat mungkin mendapatkan pendidikan yang sama
dengan laki-laki.
Tabel 38. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Subordinasi diKecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008)
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan
Subordinasi AnakRendah Tinggi
Negatif 13 (56,5%) 2 (38,6%)
Positif 10 (43,5%) 5 (71,4%)Total 23 (100%) 7 (100%)
Kepekaan terhadap isu gender subordinasi diartikan sebagai kepekaan
seseorang terhadap kedudukan perempuan dalam berhubungan dengan laki-laki,
termasuk dalam mengambil keputusan. Tabel 40 menunjukkan bahwa kepekaan
anak terhadap isu gender subordinasi berhubungan dengan persepsi anak terhadap
peran pendidikan dalam hal perohan pekerjaan. Semakin tinggi kepekaan anak
terhadap isu gender subordinasi, maka semakin positif pula persepsi anak
terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. Anak yang peka
terhadap isu gender subordinasi menilai bahwa pendidikan bagi anak perempuan
sama pentingnya dengan pendidikan bagi anak laki-laki karena anak pereempuan
dan laki-laki harus bisa mampu berdiri di atas kakinya sendiri kelak. Untuk dapat
menjadi seseorang yang mandiri, maka seseorang harus bisa mengambil
keputusan sendiri. Oleh karena itu, perempuan dan laki-laki harus berpendidikan.
Hal tersebut ditegaskan oleh pernyataan seorang responden anak sebagai berikut:
anak perempuan juga harus bisa mandiri, jangan tergantungterus sama orang tua. Suatu saat kan orang tua bakal ninggalinkita, kalo kita dari sekarang terlalu tergantung kan repot juganantinya.. jadi anak perempuan juga mesti sekolah biar bisamandiri nantinya. (YT, anak, 21 tahun).
Tabel 39. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Stereotipi diKecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008)
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan
Stereotipi AnakRendah Tinggi
Negatif 10 (55,6.%) 5 (41,7%)
Positif 8 (44,4%) 7 (58,3%)
Total 18 (100%) 12(100%)
Variabel selanjutnya yang berhubungan dengan persepsi anak terhadap
peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan adalah kepekaan anak terhadap
isu gender stereotipi. Kepekaan seseorang terhadap isu gender stereotipi diartikan
sebagai kepekaan seseorang terhadap label negatif yang biasanya ditempelkan
kepada perempuan, misalnya perempuan itu hanya perlu cantik saja, tanpa harus
pandai. Anak yang memiliki kepekaan terhadap isu gender stereotipi tidak
percaya dengan stereotipi yang dilabelkan kepada perempuan. Mereka tahu bahwa
label tersebut mungkin saja berlaku kepada seorang perempuan, tapi label tersebut
tidak berlaku pada seluruh perempuan. Mereka beranggapan bahwa perempuan
harus pandai, caranya adalah dengan bersekolah. Mereka menyangkal anggapan
bahwa kalaupun seorang perempuan bisa mendapatkan pekerjaan yang baik, itu
hanya karena perempuan itu cantik, berpenampilan menarik, atau yang lainnya,
tetapi bukan melihat kemampuan perempuan itu.
Tabel 40. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Kekerasan diKecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008)
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan
Kekerasan AnakRendah Tinggi
Negatif 4 (80%) 11 (44%)
Positif 1 (20%) 14 (56%)
Total 5 (100%) 25(100%)
Kepekaan anak terhadap isu gender kekerasan berhubungan dengan
persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. Data
menunjukkan bahwa semakin tinggi kepekaan anak terhadap isu gender
kekerasan, maka semakin baik pula persepsi anak terhadap peran pendidikan
dalam hal perolehan pekerjaan. Anak yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu
gender kekerasan dapat dikatakan sebagai anak yang tidak menghierarkhikan
perempuan dan laki-laki, mereka menganggap laki-laki dan perempuan sama. Jika
ada perempuan yang diperlakukan tidak baik oleh laki-laki, perempuan biasanya
disalahkan. Oleh karena itu, perempuan harus memiliki benteng yang kuat dalam
menjaga diri. Perempuan yang tidak berpendidikan kemungkinan besar tidak
mengetahui bagaimana harus bersikap, sehingga terjadilah tindakan kekerasan
yang kemudian berlangsung terus menerus.
Tabel 41. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal PerolehanPekerjaan Berdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Beban Kerja diKecamatan Cariu, Kabupaten Bogor (2008)
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalPekerjaan
Beban Kerja AnakRendah Tinggi
Negatif 13 (52%) 2 (40%)
Positif 12 (48%) 3 (60%)
Total 25 (100%) 5 (100%)
Kepekaan anak terhadap isu gender beban kerja berhubungan dengan
persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan pekerjaan. semakin
tinggi kepekaan seseorang terhadap isu gender beban kerja, maka akan semakin
positif pula persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal perolehan
pekerjaan. Anak yang peka terhadap isu gender beban kerja sudah mengerti
bahwa perekerjaan rumah tangga bukan hanya tanggung jawab seorang
perempuan saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab laki-laki. Mereka
beranggapan bahwa kalau seorang perempuan tidak pendidikan, ia akan dengan
serta merta hanya menerima pekerjaan di rumah tangga saja. Jika mereka
berpendidikan, tentunya mereka mendapatkan informasi yang lebih mengenai
banyak hal, salah satunya adalah mengenai isu gender beban kerja yang idelanya
ditetapkan sebagai kesepakatan bersama, bukan hanya pekerjaan perempuan saja.
6.2.2. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Sosial
Seperti halnya persepsi orang tua terhadap peran pendidikan perempuan
dalam kehidupan sosial yang kurang baik, persepsi anak pun demikian terhadap
peran pendidikan dalam kehidupan sosial. Sebanyak 66,7 persen anak tidak
menganggap pendidikan penting dalam pergaulan perempuan karena perempuan
tidak terlalu perlu bergaul terlalu luas sehari-hari. Selain itu, perempuan biasanya
hanya berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnnya yang juga mempunyai
karakteristik yang kurang lebih sama dengan dirinya. Oleh karena itu, perempuan
tidak harus berusaha terlalu keras untuk mengembangkan diri untuk bisa bergaul,
karena ternyata dengan tidak berpendidikan pun seorang perempuan bisa diterima
di lingkungannya. Permasalahannya adalah bahwa karena perempuan tidak
bergaul secara luas dan hanya bergaul dengan orang-orang yang sama dengan
dirinya, maka perempuan itu pun tidak akan mampu mengembangkan diri secara
maksimal. Beberapa variabel yang berhubungan dengan persepsi anak terhadap
peran pendidikan dalam kehidupan sosial adalah kepekaan anak terhadap isu
gender subordinasi, isu gender stereotipi, dan isu gender beban kerja.
Kepekaan anak terhadap isu gender subordinasi berhubungan dengan
persepsi anak terhadap peran pendidikan perempuan dalam hal kehidupan sosial.
Tabel 42. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalam Hal Kehidupan SosialBerdasarkan Kepekaan terhadap Isu Gender Subordinasi di KecamatanCariu Kabupaten Bogor (2008)
Persepsi Anak Terhadap Pendidikan dalam HalKehidupan Sosial
Subordinasi AnakRendah Tinggi
Rendah 18 (78,3%) 2(28,6%)
Tinggi 5 (21,7%) 5(71,4%)
Total 23 (100%) 7(100%)
Semakin peka seorang anak terhadap isu gender subordinasi, semakin
positif pula persepsi anak terhadap peran pendidikan dalam hal kehidupan sosial.
Seorang anak yang peka terhadap isu gender subordinasi akan menganggap
bahwa perempuan juga harus bisa mengembangkan diri dengan bergaul, oleh
karena itu perempuan harus punya kompetensi untuk bisa diterima di
pergaulannya, sehingga pendidikan juga dianggap penting bagi seorang
perempuan untuk bergaul.
6.2.3. Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan Perempuan dalam HalKehidupan Berkeluarga
Sebagian dari responden anak sudah menikah dan mempunyai anak,
namun mereka tetap diposisikan sebagai anak, bukan sebagai orang tua.
Responden anak yang sudah berkeluarga maupun yang belum berkeluarga.
Sebesar 70 persen anak memiliki persepsi yang negatif terhadap peran pendidikan
dalam hal kehidupan berkeluarga. Mereka menganggap pendidikan bukanlah
faktor yang berhubungan dengan kehidupan berkeluarga seseorang.
Masa pengen hidup seneng sama keluarga aja mesti cape-capesekolah dulu sih? Ya engga lah! Yang penting mah kita berimansama Allah, insya Allah bakal dikasih yang terbaik sama Allah.Pendidikan sama sekali ga ada hubungannya sama kebahagiaanseseorang di dalam keluarga (ST, anak, 35 tahun).
Tabel 43. Jumlah dan Presentase Persepsi Anak terhadap Peran Pendidikan dalamKehidupan Berkeluarga
Persepsi Anak terhadap PeranPendidikan dalam Kehidupan
BerkeluargaFrekuensi (orang) Persentase (%)
Rendah 20 66,7
Tinggi 10 33,3
Total 30 100
Berdasarkan hasil analisis data, persepsi anak terhadap peran pendidikan
dalam kehidupan berkeluarga berhubungan dengan variabel kepekaan anak
terhadap isu gender beban kerja. Beban kerja dalam hal ini diartikan sebagai
pembebanan pekerjaan rumah tangga sepenuhnya kepada perempuan, sekan
perempuan sudah bekerja pula di sektor publik. Semakin peka seorang anak
terhadap isu gender beban kerja, maka semakin positif persepsi anak terhadap
peran pendidikan dalam hal kehidupan berkeluarga. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan seorang responden,
Kerjaan di rumah sih harusnya dibagi-bagi sama suami, enak ajkalo istri doang yang kerja.. makanya perempuan juga mesti pinterbiar ga diboongin sama suami!! Apalagi jaman sekarang, orang-orang udah makin edan!! (LL, anak, 29 tahun).
BAB VII
KETIMPANGAN GENDER DALAM PENDIDIKAN
Ketimpangan gender dalam bidang pendidikan di Kecamatan Cariu sangat
terlihat pada jumlah siswa sekolah tingkat SMA. Ketimpangan gender dalam
pendidikan ini dilihat dengan membandingkan jumlah siswa laki-laki dan
perempuan di sekolah-sekolah menengah tingkat atas di Kecamatan Cariu.
Kecamatan Cariu memiliki dua sekolah setingkat SMA, yang pertama adalah
SMA Negeri 1 Cariu yang telah berdiri sejak sekitar 10 tahun yang lalu, yang
kedua adalah SMK Negeri 1 Cariu yang baru berdiri sekitar tiga tahun.
Ketimpangan gender terlihat pada kedua sekolah tersebut. Kedua sekolah
mengenah tingkat atas tersebut memiliki siswa laki-laki yang jauh lebih banyak
daripada jumlah siswa perempuan. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru di
kedua sekolah tersebut, hal ketimpangan jumlah antara siswa laki-laki dan
perempuan berlangsung terus menerus sejak sekolah tersebut didirikan. Data
menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun siswa laki-laki hampir selalu lebih
banyak daripada siswa perempuan di kedua sekolah.
Tabel 44. Jumlah siswa SMA Negeri 1 Cariu Berdasarkan Jenis Kelamin (2008)
Tahun Jumlah Siswa Total
Kelas satu Kelas 2 Kelas 3
L P T L P T L P T
1995/1996
1996/1997 114 46 160 80 36 116 43 19 62 338
1997/1998 216 88 304 65 83 148 56 27 83 505
1998/1999 135 65 200 111 45 156 63 34 97 453
1999/2000 126 67 193 107 69 176 112 54 166 535
2000/2001 107 81 188 107 65 172 102 70 172 532
2001/2002 127 83 210 108 77 185 109 62 171 566
2002/2003 118 82 200 120 74 194 107 75 182 576
2003/2004 100 102 202 115 76 191 124 70 194 587
2004/2005 95 90 185 98 97 195 109 77 186 566
2005/2006 110 79 189 90 92 182 99 97 196 567
2006/2007 117 81 198 110 75 185 89 89 178 561
2007/2008 118 101 219 112 76 188 70 108 178 585
Sumber: Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Cariu
Satu sekolah menengah atas lainnya yang terdapat di Kecamatan Cariu
tidak memiliki siswa perempuan samasekali karena dianggap sebagai sekolah bagi
anak laki-laki.
Ketimpangan gender dalam bidang pendidikan tersebut dipengaruhi oleh
tiga hal, persepsi orang tua terhadap pendidikan anak perempuan, persepsi anak
terhadap pendidikan, dan pengambilan keputusan mengenai pendidikan anak
perempuan dalam rumah tangga.
7.1. Hubungan Antara Persepsi Orang Tua Terhadap Peran Pendidikandengan Ketimpangan Gender dalam Pendidikan
Jika dilihat secara umum, persepsi orang tua terhadap peran pendidikan
dalam hal perolehan pekerjaan, dalam hal kehidupan sosial, dan dalam hal
kehidupan berkeluarga dapat dikatakan sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Tabel 45. Persepsi Responden Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan,Kecamatan cariu (2008)
Persepsi Responden Orang Tuaterhadap Pendidikan Perempuan Frekuensi (orang) Persentase (%)
negatif 20 66,7positif 10 33,3Total 30 100
Sebesar 66,7 persen orang tua tidak peduli akan pentingnya pendidikan
bagi perempuan. Orang tua lebih memilih untuk menikahkan anak
perempuannnya pada usia dini ketimbang menyekolahkan anak ke jenjang yang
lebih tinggi. Hal inilah yang diduga berhubungan dengan tingginnya angka
ketimpangan gender di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, khususnya pada
jenjang SMA dan setingkatnya. Peran pendidikan bagi perempuan tidaklah
penting menurut kebanyakan orang tua. Menurut mereka, perempuan tidak harus
sekolah, karena pada akhirnya masa depan perempuan hanya akan berakhir di
dapur.
SMA Negeri 1 Cariu yang merupakan sekolah umum mempunyai
kurikulum yang sama dengan sekolah negeri pada umumnya, namun tetap saja
para orang tua enggan menyekolahkan anak perempuan mereka di sekolah ini.
Ketika ditanya penyebab para orang tua tidak menyekolahkan anak perempuan
mereka, ternyata faktor biaya tidak menjadi persoalan yang utama, begitu pula
dengan persoalan jarak tempuh dari pemukiman warga ke SMA Negeri 1 Cariu.
Hal yang menjadi persoalan adalah cara pandang orang tua terhadap anak
perempuan mereka. Para orang tua memandang anak perempuan sebagai anak
yang hanya perlu dilindungi oleh orang tua dan suaminya kelak, tanpa harus
dikembangkan potensi yang ada di dalam diri anak perempuan tersebut.
SMK Negeri 1 Cariu adalah SMK teknik industri. Didirikan pada tahun
2004 untuk menyukseskan program pemerintah Kabupaten Bogor, yaitu
memperkuat pendidikan berbasis keterampilan khusus. Pemerintah Kabupaten
Bogor, khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor yang disetujui oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor semula akan mendirikan
SMK pariwisata atau SMK Manajemen, namun hal tersebut urung dilakukan
mengingat lokasi Kecamatan Cariu yang terjepit diantara daerah-daerah industri,
yaitu Karawang, Bekasi, dan Jonggol. Pemerintah Kabupaten Bogor
mengharapkan dengan dibangunnya SMK teknik industri di Kecamatan Cariu ini
akan membuka jalan bagi para pemuda untuk lebih mudah mencari pekerjaan
untuk menaikkan taraf hidup warga Kecamatan Cariu itu sendiri.
Sebagai SMK teknik industri, tentunya SMK Negeri 1 Cariu mempunyai
kurikulum yang berbeda dengan SMA regular pada umumnya. SMK Negeri 1
Cariu memiliki dua program pembelajaran, yaitu program Auto Motor Teknik dan
Audio visual. SMK Negeri 1 Cariu tidak diminati oleh siswa perempuan. Hal ini
terbukti dari tidak adanya siswa perempuan yang tercatat sebagai siswa sekolah
ini. Menurut Bapak Znl, selaku Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Cariu, pernah ada
siswa perempuan yang mendaftarkan diri bersekolah di SMK Negeri 1 Cariu ini,
namun siswa perempuan tersebut tidak mengikuti pendidikan hingga tamat.
Setelah beberapa bulan mengikuti pendidikan, siswa tersebut mengundurkan diri
dari sekolah. Setelah pihak sekolah menelusuri dan menyelidiki penyebab
keluarnya siswa perempuan tersebut, didapatlah informasi bahwa dia dipaksa oleh
orang tuanya untuk dinikahkan. Menurut informasi lebih lanjut, orang tua gadis
itu lelah dengan cibiran para tetangga dan kerabat yang mengatakan bahwa anak
perempuan mereka tidak laku, dan akan segera menjadi perawan tua karena belum
menikah pada usia baligh. Selain itu, penampilan anak perempuan yang terlihat
seperti anak laki-laki, karena banyak bergaul dengan anak laki-laki, dijadikan
santapan lezat untuk diperbincangkan oleh tetangga dan kerabat yang usil.
Demikian hebatnya gunjingan para tetangga dan kerabat itu akhirnya
meruntuhkan benteng pertahanan orang tua si gadis.
Persepsi orang tua terhadap peran pendidikan anak perempuan sangat
berperan dalam kaitannya dengan ketimpangan gender dalam pendidikan,
khususnya pada jenjang SMA dan setingkatnya. Apapun yang dikatakan oleh
orang tua kepada anaknya akan diikuti oleh si anak, termasuk ketika orang tua
berkeinginan untuk menikahkan anak perempuan mereka di usia yang relatif dini,
tanpa membekali anak perempuannya dengan ilmu yang cukup. Sebagian orang
tua menganggap hal tersebut adalah jalan terbaik untuk anak perempuan mereka.
Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan salah satu responden orang tua yang sudah
menikahkan anaknya di usia dini, sebagai berikut:
Punya anak perempuan mah berat tanggung jawabnya, apalagikalo udah jadi anak perawan. Mendingan juga dinikahin aja lahkalo udah ada yang mint amah, biar aman. Kalo udah nikah kanapa-apa juga jadi halal, ga dosa lagi. Saya mah ambil mudahnyaaja deh, takut dosa kalo ngebiarin anak perawan lama-lama.(HR, orang tua, 54 tahun).
7.2. Hubungan Antara Persepsi Anak Terhadap Peran Pendidikan denganKetimpangan Gender dalam Pendididikan
Ketimpangan gender dalam pendidikan di Kecamatan Cariu Kabupaten
Bogor yang diindikasikan oleh perbedaan jumlah siswa perempuan dan laki-laki
pada sekolah setingkat SMA terlihat sangat mencolok. Dari data yang diperoleh
dari sekolah-sekolah setara SMP yang ada di Kecamatan Cariu, didapatkan bahwa
jumlah siswa laki-laki dan siswa perempuan tidak jauh berbeda, namun pada data
jumlah siswa laki-laki dan perempuan tahun berikutnya terlihat kesenjangan yang
tinggi. Presentase jumlah siswa perempuan menurun drastis, sedangkan presentase
siswa laki-laki mengalami peningkatan.
Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat persepsi anak terhadap peran
pendidikan perempuan pun negatif. Seperti halnya orang tua, sebagian besar anak
pun menganggap bahwa pendidikan bagi anak perempuan tidak terlalu penting.
Pendidikan yang tinggi bagi anak perempuan dipandang terlalu sebagai suatu hal
yang percuma, hanya membuang uang, tenaga, waktu, dan pikiran. Pemikiran
yang sama dengan orang tua menjadi dasar dari lahirnya persepsi dalam diri anak
bahwa pendidikan bagi anak perempuan tidak begitu penting, karena perempuan
hanya warga kelas dua, satu tingkat di bawah laki-laki. Tingkat persepsi anak
terhadap pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 46. Persepsi Responden Anak terhadap Pendidikan Perempuan, KecamatanCariu 92008)
Persepsi Responden Anak terhadapPendidikan Perempuan Frekuensi (orang) Persentase (%)
Negatif 19 63,3Positif 11 36,7Total 30 100
Persepsi anak terhadap peran pendidikan perempuan merupakan penyebab
utama kedua setelah persepsi orang tua terhadap peran pendidikan bagi anak
perempuan dalam hal tingginya ketimpangan gender dalam dunia pendidikan.
Tidak mengherankan jika pendidikan perempuan semakin menurun di jenjang
pendidikan yang lebih tinggi, karena anak-anak itu sendiri tidak mempunyai
keinginan yang kuat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Sebagai bukti bahwa persepsi anak terhadap peran pendidikan
berperan dalam ketimpangan gender yang semakin mencolok, seorang responden
orang tua yang melibatkan anaknya dalam proses pengambilan keputusan
mengatakan bahwa anaknya saja tidak mau disekolahkan, jadi untuk apa anak
tersebut disekolahkan, karena pemaksaan terhadap anak tidak akan menghasilkan
prestasi yang baik.
Anak saya mah disekolahin malah ga mau! Ya udah lah sayasuruh dia kerja aja supaya bener, daripada nanti udah susah-susah disekolahin, malah ga bener, kerjaannya bolos..kan sayangjuga duitnya! (BM, orang tua, 51 tahun).
Seorang anak yang sudah sadar akan pentingnya peran pendidikan akan
memperlihatkan hasil yang berbeda dengan anak yang terpaksa sekolah untuk
memenuhi keinginan orang tuanya.
7.3. Hubungan antara Pengambilan Keputusan Mengenai PendidikanAnak Perempuan dengan Ketimpangan Gender dalam Pendidikan
Pengambilan keputusan merupakan hal yang sangat penting dalam
ketimpangan gender dalam pendidikan. Pengambilan keputusan mengenai
pendidikan untuk anak perempuan dalam sebuah keluarga tidak selalu melalui
proses yang sama dalam sebuah keluarga. Dalam penelitian ini, pengambilan
keputusan mengenai pendidikan anak perempuan dalam sebuah keluarga dilihat
dari apakah anak perempuan itu sendiri dilibatkan dalam pengambilan keputusan
untuk pendidikannya atau hanya tinggal menjalani keputusan yang sudah diambil
oleh orang tua. Pengambilan keputusan dibagi menjadi dua kategori, yaitu
kategori tinggi dan rendah. Pengambilan keputusan dikatakan tinggi bila anak
perempuan dalam suatu keluarga dilibatkan dalam pengambilan keputusan
mengenai pendidikan anak perempuan tersebut, sedangkan pengambilan
keputusan dikatakan rendah apabila pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh
orang tua saja, tanpa melibatkan anak perempuan. Pengambilan keputusan dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 47. Pengambilan Keputusan Pendidikan Anak Perempuan, KecamatanCariu (2008)
Pengambilan Keputusan Pendidikan AnakPerempuan Frekuensi (orang) Persentase
(%)Orang Tua/Anak 18 60
Orang Tua dan Anak 12 40Total 30 100
Berdasarkan hasil pengolahan data, pengambilan keputusan
mengenai pendidikan anak perempuan dalam keluarga sebanyak 60 persen
dilakukan hanya oleh orang tua (pengambilan keputusan tinggi), tanpa melibatkan
anak perempuan mereka, sedangkan 40 persen lainnya mengambil keputusan
mengenai pendidikan anak perempuan dengan mempertimbangkan pendapat anak
perempuan mereka (pengambilan keputusan rendah).
Ketimpangan gender dalam pendidikan yang terjadi di Kecamatan Cariu
semakin masuk akal ketika melihat banyaknya orang tua yang tidak melibatkan
anak perempuannya dalam mengambil keputusan mengenai pendidikan anak
perempuan, dihubungkan dengan rendahnya persepsi orang tua mengenai
pendidikan untuk anak perempuan, dilihat dari segi perolehan pekerjaan,
kehidupan sosial anak perempuan, dan kehidupan berkeluarga anak perempuan
tersebut. Dapat dikatakan bahwa orang tua yang tidak melibatkan anak
perempuannya dalam mengambil keputusan mengenai pendidikan untuk anak
perempuannya mengaplikasikan persepsi mereka terhadap pendidikan untuk anak
perempuan yang demikian rendah.
7.3.1. Hubungan antara Persepsi Orang Tua terhadap PendidikanPerempuan dengan Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan mengenai pendidikan anak perempuan
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu persepsi orang tua terhadap pendidikan anak
permpuan dan persepsi anak terhadap pendidikan anak perempuan.
Tabel 48. Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan Perempuan BerdasarkanPengambilan Keputusan Mengenai Pendidikan Anak Perempuan
Persepsi Orang Tua terhadap Pendidikan AnakPerempuan
pengambilan keputusan pendidikan
orang tua anak danorang tua
Negatif 15 (83,3%) 5 (41,7%)Positif 3 (16,7%) 7 (68,3%)Total 18 (100%) 12 (100%)
Dari hasil olahan data, didapatkan hasil bahwa memang persepsi orang tua
terhadap pendidikan anak perempuan berhubungan dengan pengambilan
keputusan mengenai pendidikan anak perempuan.
Persepsi positif lebih banyak dipunyai oleh orang tua yang melibatkan
anaknya dalam pengambilan keputusan pendidikan anak perempuan,
dibandingkan dengan orang tua yang hanya mengambil keputusan mengenai
pendidikan anak perempuan secara sepihak saja. Maka, semakin positif persepsi
orang tua terhadap pendidikan maka orang tua sedapat mungkin melibatkan anak
perempuannya dalam mengambil keputusan mengenai pendidikan anak
perempuannya. Orang tua yang sudah sadar akan pentingnya pendidikan bagi
anak perempuan dalam hal perolehan pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan
berkeluarga anak perempuannya kelak mempunyai harapan yang besar kepada
anak perempuan mereka. Harapan tersebut mereka tujukan untuk anak
perempuannya, bukan hanya untuk mereka sebagai orang tua. Para orang tua yang
memiliki persepsi positif terhadap pendidikan bagi anak perempuan dan
melibatkan anak perempuannya dalam proses pengambilan keputusan
mengharapkan anak perempuannya dapat menjadi seoranganak yang mandiri,
tidak tergantung kepada siapapun. Mereka melibatkan anak dalam pengambilan
keputusan karena mereka juga menyadari bahwa paksaan mereka kepada anak
perempuannya untuk bersekolah hanya akan membuat harapan yang mereka
gantungkan kepada anak perempuan mereka akan menjadi sia-sia saja. Hal
tersebut dipertegas oleh pernyataan seorang responden yang selalu berusaha untuk
melibatkan anaknya dalam proses pengambilan keputusan, sebagai berikut:
anak udah gede harus ditanya juga apa maunya, kita orang tuaga boleh seenaknya aja nentuin apa yang kita pengen, trus anakmesti ngejalanin gitu aj. Sukur-sukur kalo anaknya senang, kaloanaknya kepaksa kan repot.. kasian anak kitanya ntar! (GN, orangtua, 57 tahun).
Pernyataan berbeda disampaikan oleh responden lain yang tidak melibatkan anak
dalam mengambil keputusan untuk kepentingan pendidikan anak perempuan
sebagai berikut:
yang namanya anak mah udah semestinya tau beres aja. Soalmikirin sekolah atau yang lain-lain mah biar jadi urusan orang tuaaj, anak ga usah ikutan pusing deh.. kalo kata kita mesti ini, mestiitu ya anaknya mesti ngikut juga. (SH, orang tua, 65 tahun).
7.3.2. Hubungan antara Persepsi Anak terhadap Pendidikan Perempuandengan Pengambilan Keputusan
Faktor kedua yang mempengaruhi pengambilan keputusan adalah persepsi
anak terhadap pendidikan perempuan. Data berikutnya menunjukkan adanya
hubungan antara persepsi anak dan keterlibatan anak dalam pengambilan
keputusan mengenai pendidikan untuk anak perempuan.
Tabel 49. Persepsi Anak terhadap Pendidikan Berdasarkan PengambilanKeputusan Mengenai Pendidikan Anak Perempuan
persepsi anak terhadap pendidikan anakperempuan
pengambilan keputusan pendidikan
orang tua Anak danorang tua
Negatif 13 (72,7%) 6 (50%)Positif 5 (27,3%) 6 (50%)Total 18 (100%) 12 (100%)
Persepsi positif terhadap pendidikan anak perempuan lebih banyak
dimiliki oleh anak yang dilibatan dalam pengambilan keputusan mengenai
pendidikan, dibandingkan dengan anak yang tidak dilibatkan dalam pengambilan
keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi anak terhadap pendidikan
perempuan berhubungan dengan pengambilan keputusan pendidikan perempuan.
Persepsi anak terhadap pendidikan perempuan menentukan apakah anak tersebut
dilibatkan dalam pengambilan keputusan pendidikannya, atau hanya tinggal
menjalani keputusan yang diambil oleh orang tua. Anak yang memiliki persepsi
positif terhadap pendidikan perempuan pada umumnya menunjukkan semangat
untuk memperjuangkan keinginannya untun memperoleh pendidikan, sehingga
hal itu pula yang menjadi sebuah dorongan bagi orang tua untuk mendengarkan
aspirasi anaknya atau tidak. Anak yang memiliki persepsi rendah terhadap
pendidikan perempuan cenderung tidak peduli dengan keputusan pendidikan itu
sendiri, sehingga mereka tidak keberatan untuk tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan pendidikannya.
BAB VIII
DAMPAK KETIMPANGAN GENDER DALAM PENDIDIKANTERHADAP KEHIDUPAN PEREMPUAN DALAM
KEHIDUPAN BERKELUARGA DAN BERMASYARAKAT
Gambaran ketimpangan gender yang terjadi di Kecamatan Cariu,
Kabupaten Bogor ternyata menimbulkan dampak tertentu pada berbagai aspek
kehidupan yang terjadi dalam kehidupan seorang perempuan. Dalam hal ini
kehidupan perempuan akan dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu kehidupan individu
perempuan, kehidupan perempuan dalam keluarga, dan kehidupan perempuan
dalam masyarakat. Secara lebih jelasnya, dampak terhadap kehidupan individu
perempuan dilihat dari segi pekerjaan, bagaimana seorang perempuan mampu
membuat dirinya mandiri secara finansial dan pengambilan keputusan untuk
dirinya sendiri. Dampak ketimpangan gender dalam pendidikan perempuan dilihat
dari dampak terhadap pembentukan keluarga, baik orientasi, maupun prokreasi.
Dampak terhadap kehidupan perempuan dalam masyarakat dilihat dari kehidupan
sosial anak perempuan.
8.1. Dampak Ketimpangan Pendidikan Perempuan terhadap KehidupanIndividu Perempuan
Ketimpangan gender dalam bidang pendidikan, khususnya bagi
perempuan menimbulkan berbagai dampak, salah satunya adalah dampak yang
timbul pada diri perempuan itu sendiri. Dampak ketimpangan pendidikan
terhadap kehidupan individu perempuan diukur melalui dampak ketimpangan
pendidikan terhadap segi pekerjaan seorang perempuan. Perempuan yang mampu
mendapatkan pekerjaan yang layak dan mampu membiayai minimal dirinya
sendiri dapat dikatakan mandiri, artinya perempuan tersebut sudah mampu
mengambil keputusan bagi dirinnya sendiri, tanpa harus menggantungkan diri
kepada orang lain.
Tabel 49. Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadap KehidupanIndividu Perempuan, Kecamatan Cariu (2008)
Dampak Ketimpangan Gender dalamPendidikan terhadap Kehidupan
Individu PerempuanFrekuensi (orang) Persentase (%)
Negatif 21 70Positif 9 30Total 30 100
Berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan
kuesioner, didapatkan hasil bahwa dampak ketimpangan pendidikan perempuan
terhadap individu perempuan begitu terlihat. Sebanyak 70 persen responden
mengalami dampak negatif akibat ketimpangan gender dalam pendidikan
perempuan. Mereka mengaku kesulitan mendapatkan pekerjaan karena tingkat
pendidikan mereka yang rendah, selain itu pun mereka tidak memiliki
keterampilan khusus yang dapat dilihat sebagai nilai tambah dalam diri mereka.
Hal tersebutlah yang menjadi titik lemah perempuan dalam mencari pekerjaan.
Berbagai pendapat diungkapkan oleh responden, namun berikut adalah dua
pendapat berbeda dari responden yang masing-masing dirasa dapat mewakili
pendapat responden lainnya.
Memang benar pendidikan itu penting, tapi saya sih ga ngerasainburuk-buruknya banget ah.. ya minimal bisa lah idup buat dirisendiri mah.. jadi ga usah ngerepotin siapa-siapa lagi. Kerjaseadanya, gaji seadanya, makan seadanya, yah gitu lah.. tapi gaparah-parah amat, namanya juga idup yah, jadi kalo ada susah-sudah dikit mah ga usah dibikin tambah pusing lah... idup mahdijalanin aj, da susahnya itu mah bukan gara-gara cewe gasekolah SMA! Itu mah nasib kali yah (AS, anak, 31 tahun).
Pernyataan yang berlawanan disampaikan oleh responden lainnya,
Saya baru sadar kalo pendidikan emang segitu gede pengaruhnyake hidup seseorang pas udah ngerasain susahnya aja. Waktu dulusaya pengen sekolah tapi orang tua nyuruh kerja, nyuruh nikahjuga, ya saya mau bilang apa lagi atuh kalo udah gitumah..padahal kalo dipikir-pikir sekarang, ngapain juga kerja kayagitu, gajinya ga seberapa tapi tenaga aja abis tiap hari kaya kuli.(RT, anak, 28 tahun).
8.2. Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan Perempuanterhadap Perempuan dalam Keluarga
Dampak dari ketimpangan gender yang selanjutnya adalah dampak yang
terjadi pada kehidupan individu perempuan dalam berkeluarga. Membentuk
keluarga adalah salah satu bagian dari proses kehidupan yang dijalani oleh
sebagian besar orang. Kehidupan di pedesaan biasanya sangat familiar dengan
istilah kawin muda. Anak-anak di bawah umur sudah dinikahkan asalkan ada laki-
laki yang melamar. Dampak pada keluarga ini dilihat dari bagaimana seorang
anak perempuan di dalam keluarganya dan penilaian perempuan mengenai
pembentukan keluarga ideal. Pembentukan keluarga yang tidak didasari
pendidikan yang ideal dapat memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan dalam keluarga tersebut, misalnya keturunan yang juga nantinya tidak
berpendidikan.
Tabel 53. Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadap KehidupanIndividu Perempuan dalam Keluarga Kecamatan Cariu (2008)
Dampak Ketimpangan Gender dalamPendidikan terhadap Kehidupan
Individu Perempuan dalam KeluargaFrekuensi (orang) Persentase (%)
Negatif 23 76,7Positif 7 23,3Total 30 100
Tabel di atas menunjukkan bahwa dampak ketimpangan pendidikan dalam
kehidupan individu berkeluarga mmenunjukkan angka yang memprihatinkan.
Sebanyak 76,7 persen responden mengaku adanya dampak negatif terhadap
kehidupan berkeluarga mereka karena adanya ketimpangan gender. Karena
adanya pandangan bahwa anak perempuan tidak begitu. mementingkan
pendidikan, maka orang tua berpikir untuk lebih baik menikahkan anak-anak
perempuan mereka. Hal ini dapat menimbulkan dampak terhadap pembertukan
keluarga tersebut Dampak ini dapat dikatakan dampak yang paling fatal, karena
dampak ini juga sangat memungkinkan terjadinya pewarisan ideologi kepada
keturunan mereka. Orang tua yang tidak mengerti tentang pentingnya pendidikan
cenderung akan mewariskan hal tersebut kepada anak.
Ketimpangan gender dalam bidang pendidikan selain dapat berdampak
terhadap pewarisan persepsi negatif kepada keturunan pun dapat merubah
orientasi seseorang mengenai keluarga. Sebagai contoh, seorang anak yang
diberhentikan sekolah karena akan dinikahkan memandang keluarga sebagai
sesuatu yang biasa, tanpa harus dihadapi dengan persiapan yang matang. Mereka
bahkan tidak mempersiapkan mental mereka ketika akan dinikahkan. Hal tersebut
dapat berakibat buruk pada perkawinan yang mereka jalani. Ketika mental yang
tidak dipersiapkan dengan baik harus berhadapan dengan masalah rumah tangga
yang pelik, maka mental tersebut akan menciut dan dapat mengakibatkan
berakhirnya perkawinan.
8.3. Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan Perempuanterhadap Kehidupan Perempuan dalam Masyarakat
Sebagai makhluk sosial, perempuan, seperti halnya laki-laki memiliki
kebutuhan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Hal inilah yang mendasari
perlunya kita melihat peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Terdapat
berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan seorang perempuan dalam
masyarakat, salah satunya adalah tingkat pendidikan. Dampak dari ketimpangan
pendidikan bagi perempuan dilihat dari keterlibatannya di dalam kelembagaan
sosial masyarakat dan relasi sosial anak perempuan tersebut dengan orang-orang
di sekitarnya.
Organisasi sosial di Kecamatan Cariu tidak terlalu berviarisi, hanya
terdapat lembaga-lembaga seperti RT, RW, dll. Dari kelembagaan yang hanya
sedikit itulah perempuan tidak terlalu dilibatkan dalam kepengurusan organisasi
tersebut. Kepengurusan organisasi sepenuhnya dipercayakan kepada laki-laki,
sedangkan perempuan hanya berperan sebagai seksi konsumsi di setiap
pertemuan. Hal ini juga dikarenakan perempuan-perempuan tersebut kurang
dalam menempuh pendidikan, sehingga mereka tidak punya posisi tawar yang
baik untuk bisa berbicara dan berdiskusi dengan pengurus anggota kelompok
yang lain.
Dampak yang satu inilah yang dipandang merugikan bagi sebagian besar
responden. Responden menganggap bahwa memang benar pendidikan yang
kurang tuntas akan berpengaruh pada kehidupan seorang perempuan di
masyarakat. Sebanyak 66,7 persen responden mengatakan bahwa memang
pendidikan sangat penting untuk menjalin hubungan dengan masyarakat. Hal
tersebut dapat dilihat pada tabel sebaran di bawah ini:
Tabel 54. Dampak Ketimpangan Gender dalam Pendidikan terhadap KehidupanIndividu Perempuan dalam Masyarakat, Kecamatan Cariu (2008)
Dampak Ketimpangan Gender dalamPendidikan terhadap Kehidupan
Individu Perempuan dalamMasyarakat
Frekuensi (orang) Persentase (%)
Negatif 10 33,3Positif 20 66,7Total 30 100
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dari bab-bab sebelumnya, penelitian ini
mengarahkan penulisan menuju beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Ketimpangan gender yang terjadi di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor
dapat dikatakan tinggi, hal ini terbukti dari perbandingan jumlah siswa
laki-laki dan perempuan dari tingkat SMP menuju SMA. Siswa perempuan
semakin berkurang seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan.
2. Ketimpangan gender yang terjadi di Kecamatan Cariu disebabkan oleh
persepsi orang tua dan persepsi anak terhadap pendidikan perempuan.
3. Ketimpangan gender dalam pendidikan menyebabkan dampak negatif
terhadap kehidupan perempuan, baik bagi kehidupan individu perempuan
itu sendiri, kehidupan perempuan dalam keluarga, dan kehidupan
perempuan dalam masyarakat.
4. Orang tua dan anak di Kecamatan Cariu masih membeda-bedakan bidang
ilmu khusus untuk laki-laki dan perempuan. Hal tersebut dipengaruhi oleh
stereotipi gender dan budaya bahwa ilmu teknik masih diidentikan dengan
laki-laki, perempuan dianggap tidak pantas menguasai ilmu teknik
tersebut.
5. Ketimpangan pendidikan perempuan di Kecamatan Cariu, Kabupaten
Bogor berdampak negatif terhadap kehidupan individu perempuan dan
kehidupan perempuan dalam keluarga.
9.2. Saran
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan berdasarkan
paparan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat disampaikan dalam tulisan ini
adalah sebagai berikut:
1. Kepekaan rensponden, baik responden anak maupun responden orang tua,
berhubungan dengan persepsi mereka terhadap pendidikan anak
perempuan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu kegiatan yang dapat
meningkatkan pengetahuan mengenai gender dan aplikasinya dalam
kehidupan sehari-hari, dengan tujuan untuk meningkatkan kepekaan orang
tua dan anak dalam hal gender. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui
sosialisasi oleh Dinas Sosial Kabupaten Bogor, khususnya Sub Bidang
Pemberdayaan Perempuan.
2. Warga Kecamatan Cariu terlihat masih membedakan ilmu berdasarkan
gender. Hal ini terlihat dari keengganan para orang tua untuk
menyekolahkan anaknya di SMKN 1 Cariu yang mereka anggap sekolah
khusus untuk laki-laki karena berbasiskan pengetahuan teknik. Oleh
karena itu, perlu adanya sosialisasi kepada para orang tua dan anak
mengenai hal tersebut agar para orang tua mengerti bahwa teknik bukan
hanya ilmu yang pantas dikuasai oleh laki-laki saja.
3. Mengingat keadaan Kecamatan Cariu masih bernuansa pedesaan, maka
peningkatan kepekaan warga mengenai gender dan pendidikan anak
perempuan dapat dilakukan melalui pendekatan interpersonal oleh tokoh
masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Chan, Sam M. Dan Tuti T. Sam. 2006. Kebijakan Pendidikan Era OtonomiDaerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Chaubaud, Jaqueline. 1970. Mendidik dan Memajukan Wanita. Jakarta: GunungAgung.
DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Edisi Kelima. Jakarta:Proffesional Books.
Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. 2005. Profil Pendidikan Propinsi JawaBarat Tahun 2005.
Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. 2006. Pengarusutamaan Gender BidangPendidikan di Jawa Barat.
Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. 2007. Statistik Pendidikan Tahun 2007/2008.
Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. 2007. Statistik Pendidikan Tahun 2006/2007.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2006. Konsep dan Teknik Penelitian Gender.Malang: Universitas Muhammaiyah Malang.
Fathoni. 2008. Perpsepsi Nelayan Terhadap Pendidikan Anak. Skripsi.Departemen Sosial Ekonomi Perikanan. Fakultas Perikanan. InstitutPertanian Bogor. Bogor.
Hasbullah. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hassan, Fuad. 1992. Dimensi Budaya dan Pengembangan Sumberdaya Manusia.Jakarta: Balai Pustaka.
Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor. 2006. Statistik dan Analisis GenderKabupaten Bogor Tahun 2006.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendy. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta:LP3S.
Syafarudin dan Anzizhan. 2004. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan.Jakarta: Grasindo.
Utomo, Eko Setyo. 2005. Advokasi Pengarusutamaan Gender. Yogyakarta:Institut Hak Asasi Perempuan.
Top Related