EVOLUSI 2
-
Upload
dwi-wahyu-intani -
Category
Documents
-
view
18 -
download
2
description
Transcript of EVOLUSI 2
-
EVALUASI AKHIR SEMESTER GASAL 2013/2014
EVOLUSI (SB091305)
NAMA : Dwi Wahyu Intani
NRP : 1511100063
DOSEN PENGAMPU : Indah Trisnawati D.T., Ph.D
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2014
-
1. Suatu aliran sungai kecil bertambah besar karena mencairnya gletser di daerah hulu
atas. Anggota-anggota suatu spesies tikus pernah dapat dengan mudah menyeberang aliran
sungai tersebut, sehingga dapat mempertahankan pertukaran gen antar individu-individu
yang tinggal di kedua sisi aliran sungai. Bertambah besarnya aliran sungai akibat mencairnya
gletser menyebabkan masalah bagi tikus untuk menyeberanginya. Selama perjalanan
waktu, gletser berhenti mengalir dan aliran menjadi surut, sehingga kelompok tikus pada
kedua sisi sungai dapat sekali lagi berbaur. Ternyata tidak terjadi interbreeding antar
kelompok pada sisi sungai berbeda.
Peristiwa diatas merupakan bentuk dari spesiasi alopatrik. Seperti yang sudah diketahui
sebelumnya spesiasi merupakan proses evolusi yang menimbulkan adanya biological
species atau proses dimana satu spesies terpisah menjadi dua atau lebih spesies. Spesiasi
alopatrik terjadi ketika suatu populasi terpisah pada 2 wilayah geografi atau terisolasi secara
geografis melalui fragmentasi habitat atau migrasi. Berdasarkan studi kasus diatas sungai
yang bertambah besar mengahalangi perpindahan tikus meneyeberangi sungai. Sungai
tersebut sebagai barrier atau penghalang populasi tikus untuk menyeberang ke sisi sungai
lainnya. Karena adanya barier tersebut populasi yang pada awalnya bisa melakukan
interbreeding tidak bisa lagi melakukan interbreeding. Hal ini dikarenakan seleksi alam di
bawah kondisi tersebut dapat menghasilkan perubahan yang sangat cepat pada penampilan
dan perilaku organisme. Pada spesiasi alopatrik, aliran gen terinterupsi ketika satu populasi
terpisah secara geografis menjadi subpopulasi yang terisolasi. Aliran sungai yang berubah
tersebut memisahkan populasi tikus antara sisi sungai yang satu dan yang lainnya. Sehingga
individu-individu yang mengkoloni wilayah terisolir menyebabkan keturunannya menjadi
terisolasi secara geografis dari populasi induknya. Ketika pemisahan geografis telah terjadi,
gene pool yang telah terpisah menjadi berbeda melalui mekanisme tertentu. Mutasi yang
berbeda muncul, seleksi alam berlaku pada organisme yang terpisah, dan hanyutan genetik
mengubah frekuensi alel. Dalam kondisi tersebut, isolasi reproduktif dapat terjadi sehingga
menyebabkan populasi baru ini berbeda secara genetik. Perbedaan genetik ini yang
menyebabkan sekelompok tersebut tidak bisa melakukan interbreeding ketika aliran sungai
surut dan tikus bisa menyeberangi sungai kembali.
Penjelasan diatas dapat disederhanakan melalui gambar di bawah ini (gambar 1 dan 2)
dimana populasi yang pada awalnya satu spesies setelah adanya pengahalang geografis,
populasi tersebut terpisah dan tidak bisa melakukan perkawinan dan pertukaran gen.
-
Gambar 1 : Cara spesiasi berdasarkan gen terinterupsi
Sedangkan untuk mengetahui perbedaan spesiasi alopatrik dengan spesiasi yang lainnya
dapat diketahui dari penjelasan gambar dibawah ini. Bahwa spesiasi alopatrik terjadi karena
adanya barrier sehingga satu populasi terpisah menjadi dua dan tidak bisa terjadi
interbreeding.
Gambar 2 : perbedaan spesiasi alopatrik, Peripatrik, parapatrik dan sympatic.
-
Gambar 3 : Radiasi adaptif Hawaiian honeyscreepers
2. Berdasarkan gambar pada soal yang terlihat seperti gambar dibawah ini:
Diketahui bahwa studi kasus
burung tersebut merupakan
proses dari terjadinya radiasi
adaptif. radiasi adaptif adalah
proses dimana organisme berubah
secara cepat menjadi beberapa
bentuk baru, khususnya saat ada
perubahan lingkungan yang
membuat adanya sumber baru
dan membuka niche ekologi
tertentu [1] Berawal dari moyang
yang sama, proses ini
menghasilkan spesiasi dan
adaptasi fenotif berbagai spesies
menunjukkan ciri - ciri morfologi
dan fisiologis yang berbeda dari
mereka yang dapat memanfaatkan
berbagai lingkungan yang berbeda
[2]. Contoh proses radiasi adaptif
yaitu pada Hawaiian
honeycreepers yang berada di kepulauan Hawaii terpencil. Semakin jauh pulau dari suatu
daratan, semakin kecil kemungkinan kedua tempat tersebut berhubungan. Isolasi di pulau yang
terpencil dapat menyebabkan timbulnya radiasi adaptive (adaptive radiation). Pola
percabangan evolusi akibat radiasi adaptif dikenal sebagai cladogenesis. Berdasakan
cladogenesis diatas diketahui bahwa telah terjadi adaptasi yang memungkinkan organisme
untuk berkembang untuk mengeksploitasi niche baru atau sumber daya. Jadi pada contoh
populasi diatas (Hawaiian honeycreepers), Populasi tersebut melakukan adaptasi dengan hanya
memakan makanan yang tersedia di sekitarnya karena tipe habitat di suatu pulau kecil lebih
sedikit namun ancaman kepunahan di pulau lebih tinggi. Dari founder species ada yang
beradaptasi dengan memakan buah dan biji yaitu spesies Maui parrotbill, Akiapolaau, Laysan
finch dan Kona finch (punah) dan ada yang memakan serangga dan nektar seperti Apapane,
Ilwi, Amakihi dan Kauai akialaoa. Jadi evolusi adaptif terjadi karena adanya gabungan peluang
dan penyortiran peluang terjadinya variasi genetik baru melalui mutasi dan rekombinasi
seksual, dan penyortiran dalam kerja seleksi karena seleksi alam ini lebih menyukai
perbanyakan beberapa variasi acak dibandingkan variasi lainnya. Pada proses ini juga terjadi
spesiasi alopatrik yang mana menciptakan adanya kelompok kelompok baru dan tidak bisa
dilakukan pertukaran gen karena adanya isolasi habitat.
-
Gambar 4 : seleksi alam kumbang
3. Peristiwa yang terjadi pada gambar nomor 3 merupakan peristiwa terjadinya seleksi
alam pada kumbang. Jadi pada awalnya terdapat karakter yang bervariasi pada kumbang yaitu
berwarna hijau dan coklat. Jumlah populasi kumbang berwarna hijau semakin lama semakin
berkurang karena ada pemangsa (burung) yang hanya menyukai satu jenis makanan saja yaitu
kumbang berwarna hijau. Sedangkan kemampuan bertahan (survival) dari kumbang berwarna
hijau itu sendiri lemah dibandingkan dengan berwarna coklat sehingga semakin lama jumlah
kumbang hijau semakin sedikit dan kumbang coklat semakin banyak karena kumbang coklat
bereproduksi dengan menghasilkan kumbang coklat dan mewarisi sifat pada keturunannya.
Seleksi alam yang terjadi pada
peristiwa ini merupakan seleksi direksional.
Seleksi alam dapat mempengaruhi frekuensi
suatu sifat yang dapat diturunkan dalam
suatu populasi dalam tiga cara yang
berbeda, tergantung pada fenotip mana
yang lebih disukai dalam suatu populasi
yang beranekaragam. Ketiga cara seleksi ini
disebut sebagai seleksi penstabilan, seleksi
direksional, dan seleksi pendiversifikasian.
Seleksi ini dapat digambarkan dengan grafik
yang menunjukkan bagaimana frekuensi
fenotip yang berbeda berubah seiring
dengan waktu. Seleksial direksional
(directional selection) paling umum
ditemukan selama periode perubahan
lingkungan atau ketika anggota suatu
populasi bermigrasi ke beberapa habitat
baru dengan keadaan lingkungan yang
berbeda. Seleksi direksional akan menggeser
kurva seleksi untuk variasi beberapa sifat
fenotik menuju satu arah atau arah lain
dengan cara memilih atau lebih menyukai
apa yang pada mulanya merupakan individu yang relative jarang dan menyimpang dari rata-
rata untuk sifat tersebut [3]. Jadi seleksi direksional terjadi ketika suatu kondisi menguntungkan
individu individu yang menunjukkan satu range fenotif ekstrim sehingga mengubah pola
frekuensi karakter fenotif pada satu arah. Contoh lain populasi yang mengalami seleksi
direkisional yaitu populasi siput yang bercangkang gelap dan terang. Dimana siput yang
bercangkang gelap bisa survive. Hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang gelap mungkin
karena pengaruh lava.
-
4. Gambar pada soal nomor 4 merupakan gambar fosil Archaeopterygy yang ditemukan pada
tahun 1874 oleh Jakob Niemeyer. Archopteryx (sayap kuno) merupakan salah satu
burung tertua yang hidup di Zaman Jurassic, sekitar 150-140 juta tahun lalu. Diduga spesies
ini adalah ancestor dari dinosaurus dan burung. Archopteryx adalah spesies burung yang
sudah punah dengan beberapa karakteristik unik yang berbeda dengan burung biasanya
yang hidup sekarang ini, seperti cakar, gigi, dan ekor panjang. Kebanyakan para peneliti
yang telah mempelajari berbagai fitur anatomi Archopteryx, menyimpulkan bahwa hewan
ini adalah burung lebih dari apa yang dibayangkan, dan kemiripan Archopteryx dengan
dinosaurus theropoda adalah berlebihan [4]. Beberapa bukti evolusi yang menunjukkan
bahwa Archaeopterygy adalah burung yaitu sebagai berikut :
1. Bulu
Struktur bulu yang ditemukan pada fosil Archopteryx menegaskan
mereka adalah seekor burung. Penutup tubuh mereka 100% membentuk
bulu. Bulu adalah ciri khas dari kelas aves yang tidak di temukan di kelas-
kelas lainnya dalam vertebrata. Bulu yang menyelimuti tubuh
Archopteryx adalah benar milik bulu burung. Penyelidikan luas dari satu
bulu Archopteryx, sebuah awetan sempurna bulu sepanjang 69 mm dan
Gambar 5 : evolusi siput
-
berusia 150 juta tahun, adalah identik dengan semua rincian besar burung modern. Barbules
dilengkapi dengan kait kecil yang mengunci ke barbs dan mengikat permukaan bulu menjadi
baling-baling yang datar, kuat dan fleksibel. Poros pusat yang kuat untuk memberikan kekuatan
aerodinamis mengasilkan baling-baling bulu ke tubuh, dan tidak akan mungkin jika bulu ini tidak
memiliki fungsi mekanis. Lebih penting lagi, poros bulu diatur asimetris berlawanan baling-
baling bulu. Ini akan memungkinkan bulu untuk mendistorsi optimal untuk mengimbangi
kelenturan saat mengudara akibat beban aerodinamis, dan ini penting untuk meluncur dan
kepakan terbang burung. Baling-baling bulu Archopteryx yang berpola asimertris adalah
sesuai dengan karakteristik burung terbang modern. Dengan ini, bulu Archopteryx
sepenuhnya fungsional aerodinamis. Ahli burung dari Amerika, Josselyn Van Tyne dan Andrew
John Berger, menyebutkan bahwa dari segi bentuk dan ukuran, sayap Archopteryx mirip
dengan burung woodcock, coucals, magpies, woodpeckers, dan merpati. Bulu pada bagian
sayap dan ekornya yang cukup besar sangat membantunya saat menukik atau terbang tinggi,
seperti burung masa kini. Ini memberikan bukti bahwa Archopteryx adalah seekor burung
yang terbang. Ahli fosil Robert Carroll mengatakan, "Geometri dari bulu terbang Archopteryx
adalah indentik dengan burung modern terbang, sementara burung yang tidak terbang adalah
simetris. Penyusunan bulu sayapnya juga termasuk dalam burung modern. Bulu-bulu terbang
tidaklah berubah sedikitnya 150 juta tahun." [5]
2. Tulang panggul
Pada awalnya, Archopteryx diklaim memiliki tulang
pubis yang menunjukke bawah, sebagai bentuk posisi
perantara dinosaurus theropoda. Namun A.D. Walker
dalam studi terbarunya menegaskan bahwa tafsiran
itu sepenuhnya salah. Tulang pubis Archopteryx
strukturnya seperti posisi pada burung. Bentuk tulang
panggul panjang Archopteryx mengarah ke
belakang sama seperti tulang panggul burung masa
kini. Pemeriksaan lanjut oleh A.D. Walker dan Ruben, memberi kesimpulan bahwa panggul
Archopteryx disesuaikan seperti burung, membuktikan sesungguhnya Archopteryx
adalah bukan dinosaurus theropoda. Dinosaurus theropoda memiliki bentuk 'panggul
kadal', sementara Archopteryx memiliki bentuk 'panggul burung'.
3. Bulu kaki
Sebuah studi memeriksa morfologi dan fungsi bulu kaki
Archopteryx. Nick Longrich dari University of Calgary di Kanada
telah meneliti bulu kaki pada lima fosil Archopteryx
dengan menggunakan mikroskop dan menemukan bahwa bulu itu
memilikiciri khas bulu terbang pada burung modern, termasuk
poros yang melengkung, pola tumpang tindih, dan bentuk
-
asimetris. Bentuk ini memberikan gaya angkat sayap dan ekor, menunjukkan bahwa kakinya
bertindak sebagai airfoil atau kerjang angin.
4. Pergelangan kaki
Ahli Ornitologi LD Martin, JD Stewart, dan KN Whetstone telah membandingkan tulang
pergelangan kaki Archopteryx dan dinosaurus dan mengungkapkan bahwa tidak ada
kesamaan di antara keduanya. Pergelangan kaki Archopteryx adalah tulang pretibial setipe
dengan burung, membantu saat pendaratan.
5. Jari kaki
Ahli burung Alan Feduccia membuat studi geometri cakar kaki
burung dan dinosaurus. Ia menemukan kesimpulan bahwa gemoteri
cakar Archopteryx adalah cocok dengan geometri cakar dari
burung pemanjat pohon seperi burung pelatuk. Sejumlah studinya
juga mencatat bahwa perbandingan kelengkungan cakar kaki
Archopteryx dan kelengkugan cakar burung modern telah
menegaskan bahwa mereka termasuk kategori burung bertengger.
6. Sayap
Archopteryx yang memiliki sayap besar dan bulu sempurna. Bulu pada sayap
Archopteryx terdiri atas bulu primer dan bulu sekunder yang akan membantunya saat
terbang. Bulu-bulu sayap primer dan sekunder yang berturut-turut melekat pada tangan
dan ulna. Bentuk sayap Archopteryx membantu menghasilkan gaya angkat saat mereka
menghentakan sayap. Rincian anatomi baru dari beberapa spesimen Archopteryx,
-
termasuk spesimen London, menunjukkan adanya alula. Archopteryx juga menunjukkan
adanya sayap eliptikal klasik dari burung hutan modern. Desain ini sama dengan burung
penerbang yang ada sekarang, dari sisi bentuk dan besar sayap Archopteryx mirip dengan
burung woodcock, coucals, magpies, woodpeckers, dan merpati. Sayap Archopteryx
memiliki otot deltoid dan lengan untuk mengepakan sayap saat terbang. Bentuk ini
dirancang untuk lepas landas dan pendaratan yang cepat. Ideal untuk terbang kecepatan
rendah, kemampuan gerakan yang sangat baik, dan sangat penting untuk perubahan arah
cepat. Bentuk lengan, bahu, dan jarinya juga seperti burung masa kini. Selain bukti bukti
evolusi diatas juga banyak ditemukan bukti bukti lain seperti telinga dalam, ekor, rahang
dan sebagainya.
Daftar pustaka
[1] Larsen, Clark S. (2011). Our Origins: Discovering Physical Anthropology (ed. 2). Norton.
hlm. A11.
[2] Schluter, Dolph (2000). The Ecology of Adaptive Radiation. Oxford University Press. hlm. 10
11. ISBN 0-19-850523-X
[3] Campbell et al. 2003. Biologi jilid 2. Jakarta : Erlangga
[4] Alan Feduccia. 1999. The Origin and Evolution of Birds. Yale University Press. p. 81 Emphasis
added
[5] Robert R. Carroll. 1997. Pola dan Proses of Vertebrate Evolution. Cambridge University Press.
p. 280-8.