Evaluasi Fungsi Law Center (LC) Dlm Memfasilitasi Pembentukan Perpu Di Tk Daerah Pd Kanwil Kemenhum...
-
Upload
tama-rustam-k-ama -
Category
Documents
-
view
220 -
download
4
Transcript of Evaluasi Fungsi Law Center (LC) Dlm Memfasilitasi Pembentukan Perpu Di Tk Daerah Pd Kanwil Kemenhum...
1
TUGAS MATA KULIAH PENGANGGARAN SEKTOR PUBLIK
KONSEP PROPOSAL
Nama : Sandy Wiguna
NPM : 051423148
MAP ANGKATAN XXIII
Kelas Reguler A
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 berbunyi Negara Indonesia adalah Negara hukum. Hukum memegang
peranan sangat penting. Atas dasar itulah hampir tidak ada sebuah masyarakat
tanpa hukum mampu mewujudkan ketertiban dan keadilan. Atas dasar ini juga
ketika lahir UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No.32 dan 33, sebenarnya yang
dirasakan pada kondisi sebelum adanya undang-undang itu adalah munculnya
berbagai gap atau kesenjangan (Syamsuddin, 1999) (bahkan menjauhkan
masyarakat dari rasa keadilan) dan munculnya kesimpangsiuran pengaturan
tentang daerah (Yosep, 2004). Bahkan yang ekstrim munculnya reaksi berlebihan
di mana sejumlah provinsi ingin memisahkan diri dari negara kesatuan. Dalam
pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dikatakan Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis Peraturan Perundang-Undangan
yang dimaksudkan sebagai instrumen hukum dalam menyelenggarakan
pemerintahan di daerah dalam rangka otonomi daerah. Pemberian otonomi luas
kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
3
masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas,
wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang
dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah.
Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan
daerah lain.
Diantara komitmen hukum yang harus ditegakkan segera adalah problem
banyaknya Peraturan Daerah (Perda) yang dibuat hanya sekadar memanfaat
euforia reformasi. Perda-perda ini jika dikritisi justru kontra-produktif dengan
semangat otonomi daerah dan yang lebih ekstrim lagi sejumlah Perda itu telah
melanggar hirarki bahkan melanggar konstitusi. Singkatnya Perda-perda itu
diistilahkan oleh sejumlah pakar hukum sebagai Perda bermasalah. Jika dilacak ke
belakang mengapa kontroversi berbagai produk hukum bermasalah itu terjadi,
secara normatif sebagai akibat tarik ulur antara pusat dan daerah. Pada satu sisi,
negara kesatuan menghendaki enheidstaat, sedangkan di sisi lain otonomi daerah
menghendaki autonomistaat. Tarik ulur ini memang telah terjadi sejak awal
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan sejak penjajahan
Belanda. Banyak pemerintahan daerah yang kebablasan dalam menggunakan
kewenangan yang diamanatkan oleh semangat otonomi daerah. (Adams,
Wahiduddin: 2004:1) mengemukakan sebagai berikut :
1. Adanya persepsi yang distorsif terhadap makna otonomi yang ditandai
dengan pembentukan peraturan daerah yang mengatur penggalian potensi
4
sumber dana sebesar-besarnya melalui pajak dan retribusi,
memperjuangkan kepentingan penduduk asli dalam pemerintahan dan
pembangunan dan mempergunakan sumber daya alam untuk kepentingan
daerah sendiri.
2. Peraturan Daerah belum berorientasi pada masalah utama yang diharapkan
masyarakat seperti peningkatan pelayanan kesehatan, pendidikan dan
penanggulangan kemiskinan.
3. Kemampuan legal drafter dalam melakukan legal drafting masih lemah
terutama dalam melakukan interpretasi otentik, memahami latar belakang
yuridis dan sosiologis dan kelemahan sistematika.
4. Dalam penetapan kebijakan publik, unsur-unsur masyarakat belum
maksimal dilibatkan. sehingga akses untuk menyalurkan aspirasinya
secara partisipasif dalam penentuan arah kebijakan prioritas penyusunan
peraturan perundang-undangan dirasakan minim.
Pembentukan peraturan daerah mengalami peningkatan pesat sejak
desentralisasi diberlakukan dengan UU No.22 Tahun 1999 dan kemudian
digantikan dengan UU No.32 Tahun 2004. Namun diperoleh gambaran
umum perda-perda yang telah dibentuk dipertanyakan dari segi kualitas.
Pembatalan perda menunjukkan gejala bahwa proses harmonisasi peraturan
pusat dengan peraturan daerah yang tidak berjalan dengan baik. Sesuai
ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU Nomor 32/2004 yang menegaskan bahwa
peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
5
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh
Pemerintah.
Perda yang dibatalkan memiliki substansi peraturan perundang-
undangan yang tidak sesuai dengan materi muatan peraturan perundang-
undangan.
1. Terdapat peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial yang
belum diganti, contoh : Peraturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
merupakan peninggalan Kolonial Belanda sampai kini masih dipakai
untuk menegakkan hukum di Indonesia, padahal peraturan tersebut tidak
sesuai lagi dengan kondisi negara dan masyarakat
(http://arsip.gatra.com);
2. Peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, contoh : Kasus
Prita yang dijerat dengan Pasal 27 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE)
mengenai pencemaran nama baik melalui dunia maya yang saling
tumpang tindih dengan UU No. 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Konsumen. (http://diankp.wordpress.com)
3. Peraturan daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi/sederajat, contoh : Perda yang mengatur minuman
beralkohol yang dibatalkan, antara lain Perda Kota Tangerang Nomor 7
Tahun 2005 tentang pelarangan, pengedaran, dan penjualan minuman
beralkohol, Perda Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2010 tentang
6
pelarangan, pengawasan, dan pengendalian minuman beralkohol.
juga Perda yang dikeluarkan Pemprov Bali, yakni perda Nomor 9 tahun
2002 tentang pengawasan dan pengendalian peredaran minuman
beralkohol, melanggar aturan yang lebih tinggi, yakni Keppres Nomor 3
Tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkolhol.
(sumber : www.jpnn.com) ;
4. Peran Kanwil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam
harmonisasi peraturan daerah belum mempunyai dasar hukum yang jelas,
yaitu belum adanya Peraturan Perundang-undangan berupa Peraturan
Presiden yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Permasalahan dan Petunjuk penanganan Bidang Hukum Kanwil Hukum
dan HAM Sumatera Selatan);
5. Belum terakomodasinya hasil penelitian dalam proses legislasi hasil
penelitian yang belum dijadikan dasar kebijakan hingga mengakibatkan
Perda yang dihasilkan kurang terintegrasi dengan bidang-bidang
pembangunan lainnya.
Hal ini mengakibatkan kurang sempurnanya kualitas peraturan perundang-
undangan yang berdampak meningkatnya jumlah revisi suatu peraturan
perundang-undangan, baik dalam bentuk amandemen maupun melalui
pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi atau
Mahkamah Agung. Kualitas peraturan perundang-undangan ditentukan
7
antara lain oleh dukungan pengkajian, penelitian dan penyusunan naskah
akademik.
Menteri Hukum dan HAM mengatakan, sebanyak 4.000 peraturan
daerah dari 13.000 peraturan daerah di seluruh Indonesia dibatalkan karena
tidak memenuhi kualifikasi untuk diterapkan di masyarakat
(htpp://www.djpp.kemenkumham.go.id). Dan menurut data di Kementerian
Dalam Negeri selama Tahun 2011 Kemendagri sudah membatalkan 351
perda bermasalah, 407 Perda di tahun 2010. Dan Angka itu jauh lebih
rendah dibanding perda yang dicabut di Tahun 2009 yaitu sebanyak 1878.
Sedangkan selebihnya masih dievaluasi dan terus bertambah. Mayoritas
perda yang dibatalkan merupakan aturan mengenai keuangan, pajak,
retribusi daerah, perda yang mengatur minuman beralkolhol, dan perda
tentang sumbangan pihak ketiga. Salah satu alasan pencabutan di antaranya
karena perda-perda itu mengganggu iklim investasi.
(http://lampungpost.com)
Adanya pembatalan sebanyak 4.000 perda yang diterbitkan sejak
tahun 2001 telah menyedot dana yang tidak sedikit, bahkan jumlahnya
mencapai triliunan. Memang sangat disayangkan pembatalan perda
tersebut. Tapi, itu tidak bisa dipaksakan untuk diterapkan karena tidak
menguntungkan rakyat. Maka dalam pembahasan perda oleh para anggota
DPRD agar dilakukan secara profesional. kerugian atas pembatalan perda
tersebut dapat dikalkulasi kebutuhan anggaran saat dilakukan pembahasan
8
yang jumlahnya tidak kurang dari Rp 300 juta setiap perda. Yang berarti
kerugian ini mencapai triliunan dari 4.000 perda yang batal
(htpp://www.djpp.kemenkumham.go.id).
Untuk menghindari terjadinya pembatalan perda tersebut, perlu
dilakukan sinkronisasi dengan pihak-pihak terkait dalam hal ini
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Selatan selaku
Instansi vertikal sebelum rancangan perda disahkan menjadi perda. Seperti
yang dikemukakan di dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tanggal 15 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menegaskan bahwa penyusunan Peraturan Daerah haruslah
dikoordinasikan dengan instansi-instansi Pemerintah Pusat, aspek-aspek
hukum penjelasan Peraturan Daerah akan menjadi lebih baik jika
dikoordinasikan dengan Kementerian Hukum dan HAM baik langsung
maupun dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM yang ada
di tiap-tiap Provinsi (htpp://www.djpp.kemenkumham.go.id). Hal ini
dipertegas kembali didalam Undang-Undang No.12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal 58 (2) bahwa instansi
vertikal dapat diikutsertakan dalam pembuatan peraturan daerah.
Menindaklanjuti hal tersebut Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Sumatera Selatan telah membuat pusat pelayanan
informasi hukum terpadu (Law Center) yang diharapkan bisa
dimanfaatkan oleh semua pihak termasuk memfasilitasi rencana
pembuatan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah.
9
Tujuan yang hendak dicapai Kanwil Kementerian Hukum dan
HAM R.I. sebagai pengemban fungsi ”Law Center” di daerah. Fungsi
Law Center (LC) adalah untuk mewujudkan peran Fasilitasi Perancangan
Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan dalam mendukung Kanwil Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Sumatera Selatan sebagai fungsi ”Law Center”
(Laporan Rapat Kerja Teknis Peraturan Perundang-undangan, 2009),
yaitu:
1. Mewujudkan dan meningkatkan peran dan fungsi Kementerian
Hukum dan HAM sebagai instansi pembina hukum nasional
terutama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di
tingkat daerah;
2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui peningkatan
kualitas peraturan daerah;
3. Menjamin terciptanya integrasi, harmonisasi, sinkronisasi, dan
sinergi antara peraturan perundang-undangan nasional dan daerah;
4. Mewujudkan masyarakat yang transparan, demokratis (HAM dan
kesetaraan Gender), dan pluralisme dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
5. Memberikan fasilitasi serta membantu pemerintah daerah/DPRD
dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi, serta penyusunan dan perancangan peraturan daerah yang
sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan;
10
6. Memberikan keterangan/klarifikasi/penjelasan atas permasalahan
hukum di daerah Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di
Tingkat Daerah.
Dalam mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan Law Center (LC),
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan telah
melakukan kemitraan dengan membuat suatu Nota Kesepahaman/MOU
(Memorandum of Understanding) dengan instansi terkait, yaitu :
1. Universitas negeri dan seluruh universitas swasta di kota Palembang
dalam penelitian dan pengkajian hukum, program konsultasi hukum, dan
program pemberian timbal balik dokumentasi dan informasi hukum;
2. Pemerintah Provinsi dan 15 Kabupaten/Kota dalam harmonisasi rancangan
peraturan daerah;
3. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumatera Selatan dalam
peningkatan pelayanan hukum, penegakan hukum dan sosialisasi hukum
serta bidang Hak Kekayaan Intelektual;
4. Instansi terkait diantaranya Kepolisian Sumatera Selatan, Kejaksaan
Tinggi Sumatera Selatan dan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan dalam
DILKUMJAKPOL;
5. RRI Stasion Palembang dalam program Kesadaran Hukum kepada
masyarakat.
11
6. Dinas Pendidikan Nasional Sumatera Selatan dalam bidang kerjasama
membangun anak sadar hukum.
7. Woman Crisis Center mengenai perlindungan bagi perempuan yang
berhadapan dengan hukum dan petugas Lapas/Rutan di Sumatera Selatan.
8. Komisi Perlindungan Anak tentang mengenai perlindungan dan bantuan
hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan petugas
Lapas/Rutan di Sumatera Selatan.
9. Peradi Sumatera Selatan mengenai konsultasi dan bantuan hukum melalui
warung konsultasi hukum Provinsi Sumatera Selatan
10. Paguyuban Tionghoa Sumatera Selatan dalam pelayanan hukum,
konsultasi hukum dan sosialisasi hukum kepada masyarakat.
Namun seiring berjalannya Law Center (LC) banyak terdapat kendala-
kendala di lapangan sebagai salah satu contoh : walaupun telah ada MOU
dengan pihak Kabupaten/Kota, pada prakteknya hanya 4 (empat) Kabupaten
dan 1 (satu) Provinsi yang mau mengharmonisasikan rancangan peraturan
daerahnya kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Sumatera Selatan sedangkan selebihnya belum sebagai akibat dari
kurangnya pemahaman dari pemerintah Daerah dan instansi yang terkait
mengenai tujuan dan fungsi Law Center (LC) sehingga apa yang diharapkan
dari tujuan dan fungsi Law Center dalam memfasilitasi Pembentukan
Peraturan di Tingkat Daerah dan menurunkan tingkat perda yang dibatalkan
cenderung berkesan belum optimal.
12
Berdasarkan uraian diatas maka dalam penelitian ini diambil judul
“EVALUASI FUNGSI LAW CENTER (LC) DALAM MEMFASILITASI
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
TINGKAT DAERAH PADA KANWIL KEMENTERIAN HUKUM
DAN HAM SUMATERA SELATAN”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat diidentifikasikan
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Masih adanya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih,
inkonsisten, tidak jelas, multitafsir dan pertentangan antara perundang-
undangan yang satu dengan yang lain, baik yang sederajat maupun antara
peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan dibawahnya, dan antara
peraturan tingkat pusat dan daerah. Sehingga banyak perda yang
dibatalkan.
2. Kurangnya kerjasama dari pihak Pemerintah kabupaten/Kota dalam
pengharmonisasian rancangan pembentukan peraturan perundang-
undangan di tingkat daerah.
3. Kurangnya pengetahuan masyarakat maupun instansi terkait mengenai
tujuan dan fungsi LC.
4. Pelibatan masyarakat sebagai pihak yang menerima dampak dari suatu
kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, juga belum
sepenuhnya dilakukan, sehingga akses untuk menyalurkan aspirasinya
13
secara partisipasif dalam penentuan arah kebijakan prioritas penyusunan
peraturan perundang-undangan dirasakan minim.
C. Perumusan Masalah
Dari Identifikasi Masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pelaksanaan dan hasil dari fungsi Law Center (LC) dalam
memfasilitasi pembentukan peraturan perundang-undangan pada Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan ?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan dan hasil dari fungsi Law Center (LC)
dalam memfasilitasi pembentukan peraturan perundang-undangan pada
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Diketahuinya fungsi Law Center (LC) apakah telah berjalan dan sesuai
dengan tujuan yang diharapkan guna mendukung koordinasi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi maupun pemerintah
Kabupaten/Kota dalam rangka perancangan pembentukan peraturan
perundang-undangan di tingkat daerah.
14
2. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi bagi kajian di
bidang administrasi publik, khususnya pelayanan publik, selanjutnya
penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya.