EVALUASI DAYA CERNA PAKAN LIMBAH AZOLA PADA IKAN...
-
Upload
nguyendieu -
Category
Documents
-
view
227 -
download
0
Transcript of EVALUASI DAYA CERNA PAKAN LIMBAH AZOLA PADA IKAN...
EVALUASI DAYA CERNA PAKAN LIMBAH AZOLA PADA IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma macropomum, CUVIER 1818) *)
Oleh
Kiki Haetami **)
ABSTRAK Suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui nilai daya cerna limbah azola dalam pakan buatan telah dilakukan selama dua bulan, mulai Mei sampai dengan Juli 2002. Penelitian dilakukan secara eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan pakan buatan yang terdiri dari campuran ransum basal dan berbagai tingkat azolla (R0 = ransum basal = ransum tanpa tepung azola; R1 = 85% ransum basal + 15% tepung azola; R2 = 70% ransum basal + 30% tepung azola ; R3 = 55% ransum basal + 45% tepung azola dan R4 = 40% ransum basal + 60% tepung azola)), setiap perlakuan diulang empat kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung azola pada tingkat 30%, 45%, dan 60% dalam ransum (R2,
R3 dan R4) nyata (P<0,05) menurunkan nilai daya cerna ransum dibandingkan dengan perlakuan R0 dan R1. Antara rataan perlakuan R0 (tanpa azola) dan R1 (azola 15%) tidak menujukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap daya cerna ransum yang diamati. Kesimpulan yang diperoleh bahwa tepung azola dapat diberikan 15% dalam pakan buatan ikan bawal air tawar, yang ditunjang oleh data sebagai berikut: (1) Nilai daya cerna bahan kering ransum = 67,90%, (2) Nilai daya cerna pakan azola = 67,81%. Kata Kunci: Daya cerna, Tepung Azola, Ikan Bawal Air Tawar. EVALUATION OF WASTE OF AZOLLA DIGESTIBILITY ON RED BELLY
FISH (Colossoma macropomum, CUVIER 1818) *)
Oleh Kiki Haetami**)
ABSTRACT
A research to know dry matter digestibility value of waste of azolla on artificial feed, was conducted for two months, from May to July 2002. This research used the experimental method with Completelly Randomized Design with five treatments of artificial feed containing basal ration which added of various levels of azolla (R0 = basal ration without azolla; R1 = 85% basal ration + 15% azolla; R2 = 70% basal ration + 30% azolla, R3 = 55% basal ration + 45% azolla and R4 = 40% basal ration + 60% azolla), each of treatments has four replicated. The result indicated that feeding ration containing 30% , 45% dan 60% azolla (R2, R3 and R4) significant (P<0,05) decreasing digestibility value of ration than R0 (basal ration) and R1 (!5% azolla). There were no different effect between R0 and R1 on parameter observed. It can be concluded that the waste of azolla can be utilized at the level of 15% on feed of red belly fish, with the following data : (1) Digestibility value of dry matter ration = 67,90%, (2) Digestibility value of dry matter azolla = 67,81%.
Key words: Digestibility, Waste of Azolla, Red Belly Fish.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyediaan pangan merupakan masalah yang terus-menerus diupayakan
pemecahannya untuk kesejahteraaan manusia, salah satunya melalui pembangunan
perikanan, yaitu melalui berbagai terobosan untuk mempertinggi hasil perikanan.
Salah satu jenis ikan konsumsi yang berpeluang untuk dibudidayakan adalah ikan
bawal air tawar (Colossoma macropomum, CUVIER 1818). Pada fase benih ikan
bawal air tawar diperjualbelikan sebagai ikan hias, namun karena pertumbuhannya
cepat, selanjutnya ikan ini beralih fungsi menjadi ikan konsumsi.
Ikan bawal air tawar termasuk ikan omnivora dan rakus, sangat responsif
terhadap pellet buatan, bahkan terhadap hijauan sekalipun. Sumber protein utama
yang sering digunakan pada pembuatan pellet adalah tepung ikan dan kedele, yang
bersaing dengan pangan dan pakan ternak. Hijauan merupakan alternatif yang tepat
sebagai bahan baku pencampur dalam pembuatan pellet karena mudah disediakan,
murah dan banyak jenisnya, terutama yang berasal dari limbah pertanian. Salah satu
limbah perairan yang berpotensi digunakan sebagai pakan adalah tumbuhan sejenis
paku air (kayambang) yang disebut azola (Azolla pinnata). Menurut Singh (1979),
azola cukup potensial digunakan sebagai pakan karena banyak terdapat di perairan
tenang seperti danau, kolam, sungai, dan pesawahan. Selain itu pertumbuhannya
cepat karena dalam waktu 3-4 hari dapat memperbanyak diri menjadi dua kali lipat
dari berat segar. Kandungan protein azola tergolong tinggi yaitu 30%. Namun
komposisi protein yang tinggi tersebut belum dapat menggambarkan secara pasti nilai
gizi yang sebenarnya. Nilai gizi pakan tergantung kepada jumlah ketersediaan zat-zat
makanan yang digunakan oleh ikan, yang ditunjukkan dari bagian yang hilang setelah
pencernaan, penyerapan, dan metabolisme. Cara mengukur ketersediaan zat-zat
makanan bagi tubuh tersebut adalah melaui penentuan daya cerna (Cho, dkk, 1985).
Oleh sebab itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai Evaluasi Daya
Cerna Pakan Limbah Azola pada Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma Macropomum,
Cuvier 1818).
Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui pengaruh tingkat pemberian azola (Azolla pinnata) terhadap daya
cerna ransum ikan bawal air tawar.
2. Mengetahui nilai daya cerna pakan azola (Azolla pinnata) pada ikan bawal air
tawar.
Tinjauan Pustaka
Azola adalah sejenis tumbuhan paku air biasa ditemukan di perairan tenang
seperti danau, kolam, sungai, dan pesawahan. Para petani biasanya menganggap
azola sebagai gulma atau limbah pertanian. Azola termasuk ordo Salviniales, famili
Azollaceae, dan terdiri atas enam spesies, yaitu : A. filiculoides, A. caroliana, A.
mexicua, a. microphylla, A. pinnata, dan A. nilotica. Spesies yang banyak di
Indonesia terutama di pulau Jawa adalah A. pinnata, dan biasa tumbuh bersama-sama
padi (Lumpkin dan Plucknett, 1982). Menurut Cho, dkk. (1982), azola dapat
digunakan sebagai salah satu sumber protein nabati penyusun ransum ikan, karena
mengandung protein yang cukup tinggi. Azola mengandung protein kasar 24-30%,
kalsium 0,4-1%, fosfor 2-4,5%, lemak 3-3,3%, serat kasar 9,1-12,7%, pati 6,5%, dan
tidak mengandung senyawa beracun.
Bawal air tawar dapat memanfaatkan pakan nabati 75-100% dan menghasilkan
pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pakan nabati 50%
(Bittner,1989). Hal ini juga biasa dilakukan oleh para petani dalam memberi pakan
pada ikan bawal yang terdiri dari campuran pellet dan hijauan segar dengan
frekuaensi 3-5 kali sehari. Bittner (1989) menyatakan bahwa kebutuhan protein pada
ikan bawal air tawar berkisar 25-37%. Sedangkan menurut Pras (1993), pada ikan
bawal hasil pendederan kedua (ukuran 50 g), dapat diberikan pellet dengan
kandungan protein 27%.
Ditinjau dari karakteristik saluran pencernaannya, ikan bawal air tawar
mempunyai potensi tumbuh yang cukup tinggi, karena bagian organ pencernaannya
cukup lengkap. Ikan ini mempunyai gigi yang berfungsi memotong dan
menghancurkan pakan, seperti halnya ikan grass carp dan piranha sehingga ikan ini
mampu beradaptasi terhadap segala jenis makanan, termasuk hijauan kasar seperti
daun-daunan. Lambung ikan ini berbentuk U dengan kapasitas cukup besar.
Ususnya panjang, dan pada bagian anteriornya dilengkapi dengan piloric saeca yang
didalamnya terjadi proses pencernaan enzimatis seperti halnya pada usus dan
lambung. Bagian akhir dari usus terjadi diferensiasi usus yang lebih lebar yang
disebut rectum. Pada bagian ini tidak lagi terjadi pencernaan, fungsinya selain
sebagai alat ekskresi, juga membantu osmoregulasi (Hoar, 1979).
Zat gizi pakan dan pertumbuhan ikan merupakan faktor pembatas dalam suatu
model pertumbuhan. Daya cerna adalah bagian pakan yang dikonsumsi dan tidak
dikeluarkan menjadi feses (Maynard, 1979). Kapasitas lambung dan laju pakan
dalam saluran cerna merupakan variabel dari daya cerna. Ikan yang berbobot lebih
kecil akan mengosongkan sejumlah pakan (% bobot tubuh per jam) dari dalam
lambungnya lebih cepat dibanding ikan yang berbobot lebih besar, sehingga jumlah
konsumsi pakan relatif (% bobot tubuh/hari semakin kecil) (Wooton, dkk., 1980).
Akan tetapi semakin besar ukuran ikan, daya cerna komponen serat semakin baik.
Selain faktor ukuran ikan, daya cerna dipengaruhi oleh komposisi pakan,
jumlah konsumsi pakan, status fisiologi, dan tata laksana pemberian pakan. Menurut
Rankin, dkk, (1993), frekuensi pemberian dua atau tiga kali sehari cukup untuk
menghasilkan konsumsi maksimum, sehingga dapat digunakan dalam penelitian daya
cerna.
Berbagai pendekatan telah digunakan para peneliti untuk meneliti daya cerna
pada ikan. Ada dua metode untuk meneliti daya cerna, yaitu metode koleksi feses
dan metode indikator (Maynard, dkk., 1979). Sangat sulit memisahkan feses dari air
dan sisa-sisa ransum. Oleh sebab itu pendekatan yang paling tepat untuk mengatasi
sulitnya pengukuran jumlah konsumsi dan pengumpulan feses adalah dengan metode
indikator (Maynard, dkk., 1979, Cho, dkk. 1985). Prosedur pengambilan feses
dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan feses dari usus besar
setelah ikan dibunuh dan dibedah (Windell, 1978, Soares dan Kifer, 1971). Metode
pengumpulan feses dari usus besar ini dilakukan dengan asumsi bahwa pencernaan
dan penyerapan zat gizi terjadi pada usus halus dan bukan pada usus besar. Protein
mulai dicerna di lambung dan kemudian di duodenum, disedangkan penyerapannya
dimulai di duodenum dan berakhir di jejenum (Sklan dan Hurwitz, 1980).
Koefsien cerna tidak dapat dihitung dari total koleksi feses ikan seperti halnya
pada hewan yang digembalakan. Kriteria dari indikator yang ideal adalah : 1) harus
tidak dapat diabsorbsi. 2) harus tidak disamarkan oleh proses pencernaan. 3) harus
secara fisik sama atau bergabung dengan materi yang akan ditandai dan 4) metode
estimasi dalam sampel digesta harus spesifik dan sensitif (Maynard et al 1979).
Rumus perhitungan koefisien cerna dengan menggunakan metode dari Schneider
dan Flatt (1973) dan Ranjhan (1980) adalah sebagai berikut:
% indikator dlm ransum % nutrien dlm feses
Koefisien cerna : 100 - 100 X % indikator dlm feses % nutrien dlm ransum
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan Rancangan Acak
Lengkap (5x4), yaitu berbagai tingkat penggunaan azola dalam pakan buatan (0%,
15%, 30%, 45% dan 60%.) dengan 5 macam perlakuan ransum dan masing-masing
diulang sebanyak 4 kali. Peubah yang diamati adalah daya cerna limbah azola dalam
pakan buatan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Sidik ragam, dan setiap
perbedaan antar perlakuan diuji dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan.
Penelitian dilaksanakan di kolam percobaan indoor Ciparanje milik Jurusan
Perikanan Fakultas Pertanian UNPAD, mulai Bulan Mei sampai Juli 2002. Analisis
zat-zat makanan dan lignin dilakukan di Laboratorium nutrisi ternak Ruminansia dan
Industri Makanan ternak, Fakultas Peternakan UNPAD.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Wadah penelitian berupa bak fiber bervolume 1m3 sebanyak 15 buah untuk kolam
percobaan, yang masing-masing diisi air tawar ¾ bagiannya, dan kemudian diisi
ikan bawal air tawar dengan kepadatan 3 ekor per 200 L.
2. Satu buah blower dan 15 buah aerator untuk memasok udara dan Thermometer air
raksa untuk mengukur suhu air.
3. Timbangan analitik satu buah untuk mengukur berat badan ikan dan pakan uji dan
Timbangan O-haus untuk mengukur berat bahan baku penyusun pellet.
4. PH meter dan spektrofotometer “Milton Roy Spektronik”, Alat pencatat waktu
sarung tangan, lap, pinset, benang, dan pisau bedah untuk alat memotong ikan dan
memisahkan feses dari usus besar.
5. Oven dan alumunium foil untuk mengeringkan feses.
6. Instalasi penguji lignin dan penguji Protein cara Kjehdahl
7. Mesin pencetak pellet.
Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah :
1. Azola yang dikeringkan.
2. Dedak padi, tepung ikan, CMC, minyak ikan dan tepung kedele.
3. Bahan-bahan kimia untuk menguji kandungan lignin dan protein.
Ikan uji yang digunakan adalah ikan bawal air tawar sebanyak 40 ekor dengan bobot
tubuh 200 + 10 g. Bahan pakan penyusun ransum yang digunakan terdiri dari ransum
basal (Ro), yang terdiri dari tepung ikan (17%), tepung kedele (50%), dedak padi
(26%), minyak ikan (1%), CMC (5%), dan top mix (1%), serta tepung azola dengan
berbagai tingkat penambahan 15% (R0) 30 % (R1) 45% (R3), dan 60% (R4), dengan
kandungan protein ransum berkisar 25-27?%.
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu :
a. Tahap adaptasi selama dua minggu yang bertujuan untuk :
- membiasakan ikan terhadap pakan uji dan faktor lingkungan lain.
- Mengamati lama pakan di dalam saluran pencernaan yang ditandai dengan
awal keluarnya feses, dan menentukan frekuensi pemberian pakan.
b. Tahap pengumpulan feses selama dua minggu, yang meliputi :
- Pakan diberikan secara ad libitum dengan frekuensi tiga kali sehari (sesuai
tahap adaptasi).
- Pada hari terakhir penelitian ikan dibedah dan diambil fesesnya.
c. Tahap analisis feses, yang meliputi : berat segar, berat kering jemur, dan kering
oven, analisis protein dan kandungan lignin pakan.
Cara Pengamatan
a. Pengambilan sampel feses.
Pengambilan sampel feses dilakukan satu kali pada jam ke-7. Sampel feses
diambil dari usus besar dan anus dengan cara pembedahan. Waktu pengambilan ikan
uji untuk diambil sampel fesesnya, disesuaikan dengan laju pelaluan pakan sejak
dikonsumsi sampai keluar menjadi feses. Laju pelaluan tersebut diamati setiap hari,
sebelum pengambilan sampel feses dilakukan.
b. Perhitungan daya cerna.
Data yang dikumpukan ; Lignin ransum (%), Bahan kering feses (%), Bahan
kerin ransum (%), Lignin feses (%)
% lignin pakan % nutrien dlm feses Daya cerna : 100 - 100 X % lignin feses % nutrien dlm pakan Schneider dan Flatt (1973) dan Ranjhan (1980)
Selanjutnya, untuk menentukan daya cerna pakan azola, mempergunakan
persamaan dari Crampton dan Harris (1969) sebagai berikut:
Kbp = 100 (T – B) + B S
Keterangan: Kbp = Daya cerna bahan pakan T = Daya cerna ransum perlakuan B = Daya cerna ransum basal S = Persentase bahan pakan dalam ransum HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan terhadap Daya Cerna Bahan Kering Ransum
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap feses dan perhitungan daya cerna
bahan kering ransum, maka rataan daya cerna bahan kering ransum perlakuan dapat
ditelaah pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Rataan daya cerna bahan kering ransum perlakuan pada ikan bawal air tawar
Ulangan Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4 ……………………………….(%)…………………………….
1 67,70 67,56 64,84 63,31 58,97 2 66,84 67,60 64,30 64,41 58,80 3 69,26 67,52 64,70 63,68 58,63 4 67,80 67,63 64,42 62,71 58,41
Jumlah 271,60 270,31 258,31 254,11 234,81 Rataan 67,90 67,58 64,58 63,53 58,70
Tabel 1 terlihat bahwa rataan daya cerna bahan kering tertinggi adalah pada
perlakuan R0, yaitu sebesar 67,90% dan terendah pada perlakuan R4, yaitu sebesar
58,70%. Untuk mengetahui sampai seberapa besar daya cerna bahan kering ransum
dipengaruhi oleh perlakuan, maka dilakukan analisis sidik ragam yang hasilnya
ditampilkan pada Lampiran 6. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan
tepung azola dalam ransum memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap daya
cerna bahan kering ransum. Perbedaan antara rataan perlakuan terhadap daya cerna
bahan kering ransum, diketahui dengan menggunakan uji jarak berganda Duncan
yang hasilnya seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Uji jarak berganda duncan pengaruh perlakuan terhadap daya cerna bahan
kering ransum perlakuan pada ikan bawal air tawar
Perlakuan Rataan daya cerna bahan kering Signifikansi
Ransum 0,05 0,01 ……………..……..(%)…………………
R0 67,90 A A R1 67,58 A A R2 64,58 B B R3 63,53 C B R4 58,70 D C
Keterangan ; Huruf yang sama ke arah kolom menunjukkan tidak berbeda nyata.
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa rataan daya cerna bahan kering ransum
ikan bawal air tawar yang diberi perlakuan R1 tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata dengan perlakuan R0 yang berarti bahwa penggunaan azola sampai 15% tidak
menurunkan daya cerna bahan kering ransum. Rataan daya cerna bahan kering
ransum ikan bawal air tawar yang diberi perlakuan R2 , R3 dan R4 nyata (P<0,05)
lebih rendah dibanding dengan perlakuan R0 maupun R1.
Rendahnya daya cerna bahan kering ransum yang mendapat perlakuan R2 , R3
dan R4 disebabkan oleh meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum (Tabel
2)_yang menyebabkan daya cerna zat-zat makanan lainnya menurun. Sejalan dengan
pendapat Ranjhan (1980) yang menjelaskan bahwa tipe dan kuantitas karbohidrat
dalam bahan atau penambahannya dalam ransum merefleksikan daya cerna zat-zat
makanan lainnya, terutama dengan meningkatnya kandungan serat kasar dalam
ransum, maka daya cerna zat-zat makanan lainnya akan menurun. Dinyatakan pula
bahwa tinggi rendahnya daya cerna zat-zat makanan dalam ransum dapat dipengaruhi
oleh laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan serta kandungan zat-zat
makanan yang terdapat di dalam ransum tersebut.
Bahan kering merupakan cerminan dari besarnya karbohidrat yang terdapat di
dalam bahan pakan penyusun ransum, karena sekitar 50 - 80 % bahan kering tanaman
tersusun dari karbohidrat. Di dalam analisis proksimat, beberapa komponen dinding
sel, seperti hemiselulosa, selulosa, dan lignin, termasuk di dalam kelompok
karbohidrat (serat kasar dan BETN), sehingga ransum yang mengandung serat kasar
yang relatif berbeda maka daya cerna bahan keringnya relatif berbeda pula.
Faktor-faktor lain yang diduga ikut mempengaruhi nilai daya cerna bahan
kering ransum adalah (1) tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum; (2) komposisi
kimia; (3) tingkat protein ransum; (4) persentase lemak; dan (5) mineral. Hal ini
ditunjukkan dengan data bahwa semakin tinggi kandungan lignin yang didapat pada
feses (Lampiran 5), ternyata nilai bahan kering ransum dapat dicerna semakin rendah.
Disamping itu, perbedaan nilai bahan kering dapat dicerna, mungkin disebabkan
karena adanya perbedaan pada sifat-sifat makanan yang diproses, termasuk
kesesuaiannya untuk dihidrolisis oleh enzim dan aktivitas substansi-substansi yang
terdapat di dalam pakan.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan tepung azola sampai tingkat
15% dalam ransum, memberikan pengaruh yang sama baiknya dengan ransum basal
(R0) terhadap nilai daya cerna bahan kering ransum. Akan tetapi, penambahan pada
tingkat 30%, 45%, dan 60% nyata menurunkan nilai daya cerna bahan kering ransum.
Daya Cerna Azola
Nilai daya cerna bahan keringazola hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 3
Tabel 3. Rataan daya cerna azola
Ulangan Daya cerna Ulangan Daya cerna Bahan Kering Bahan Kering …… (%)…… …… (%)……
1 67,88 9 67,80 2 67,88 10 67,82 3 67,88 11 67,81 4 67,88 12 67,79 5 67,80 13 67,75 6 67,78 14 67,75 7 67,79 15 67,75 8 67,78 16 67,74
Rataan 67,81
Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan nilai daya cerna bahan kering azola yang
diuji secara biologis pada ikan bawal air tawar adalah 67,81%. Nilai tersebut
menunjukkan koefisien cerna zat-zat makanan azola.
Ikan yang diberi ransum (pakan) akan menghasilkan feses yang mengandung
residu dari ransum (pakan) yang tidak dicerna dan diabsorpsi, sisa mikroflora, dan
atau hasil ikutan dari metabolisme intermedier. Dalam hal, ini untuk menghitung
koefisien cerna dapat dianggap bahwa bagian yang dimakan dan tidak terdapat lagi
dalam feses, itulah yang dicerna. Perbedaan antara komponen yang dimakan dan
jumlah yang tidak ditemukan kembali di dalam feses dibagi dengan jumlah yang
dimakan, itulah koefisien cerna dari komponen dalam ransum (pakan) tersebut
(Wahju, 1997).
Data yang diperoleh menujukkan bahwa lignin tidak bermanfaat sebagai zat
makanan, bahkan mempunyai efek yang merugikan terhadap zat-zat makanan lain,
terutama mengenai ketersediaan zat-zat makanan tersebut untuk diabsorpsi. Dalam
kaitan ini, telah diketahui bahwa diantara spesies hewan dan termasuk juga ikan
berbeda kemampuannya dalam mencerna lignin, sehingga daya cerna menjadi tidak
tetap pada spesies hewan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh populasi mikroflora
yang beragam pada spesies hewan baik dalam jumlah maupun komposisinya. Secara
nutrisi, lignin selalu dihubungkan dengan selulosa dan hemiselulosa. tetapi lignin
tidak termasuk ke dalam kelompok karbohidrat melainkan merupakan lapisan
protektif pada struktur selulosa dan hemiselulosa serta jaringan tanaman selama
pertumbuhan. Walaupun tanaman azola yang diketahui mengandung lignin yang
cukup tinggi, namun dapat dimanfaatkan sebagai pakan ikan. Hal ini berdasarkan
nilai daya cerna azola (67,81%) yang tidak berbeda jauh dengan daya cerna ransum
basal sebesar 67,90%. Namun dari hasil penelitian ini penggunaannya untuk pakan
ikan bawal air tawar perlu dibatasi sampai 15%, karena penggunaan 30% atau lebih
menurunkan daya cerna ransum.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan tepung azola pada tingkat 15% dalam ransum (R1) tidak
memberikan pengaruh negatif terhadap daya cerna bahan kering ransum. Hasil
tersebut didukung oleh data : nilai daya cerna bahan kering ransum = 67,90%; daya
cerna pakan azola = 67,81%. Penggunaan azola 30% atau lebih menurunkan daya
cerna.
Saran
Penggunaan tepung azola dalam ransum ikan bawal air tawar tidak lebih dari
15% ditinjau dari daya cernanya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami mengucapkan terimakasih kepada DIK Suplemen UNPAD atas bantuan
keuangan sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Ucapan terimakasih juga kepada
Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan Perikanan, dan semua pihak atas segala
bantuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bittner, A. 1989. Budidaya Air. Yayasan Bogor Indonesia. Jakarta. 265 hal.
Cho, C.Y., C.B. Cowey, and R. Watanabe. 1985. Finfish Nutrition in Asia : Methodological approaches research Centre. Ottawa. 154 pp.
Crampton, E.W. and L.E. Harris. 1969. Applied Animal Nutritions. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.
Hoar, W.S., D.J. Randall, and J.R. Brett. 1979. Fish Physiology. Vol. VIII. Ed. Bioenergetic and growth. Academic Press. Inc. 786 pp.
Maynard et al. 1979. Animal Nutrition. Seventh Edition McGraw-Hill Book Company, Philippine.
Pras, H. 1993. Colossoma macropomum si bawal Air Tawar. Dalam Techner No.
05.tahun 1.
Ranjhan, S.K. 1980. Animal Nutrition in the Tropics. Vikas Publishing Hause P&T Ltd., New Delhi.
Schneider, B.H. and W.P. Flatt. 1975. The Evaluation of Feeds Through Digestibility Experiment. The University of Georgia Press, New York.
Singh, P.K. 1979. Use of Azolla in rice production in India. In Nitrogen and Rice. Int. Rice Rest. Inst. Los Banos. Philippines. p. 407-418.
Sklan, D. and S. Hurwitz. 1980. Protein Digestion and Absorption in Young Chich and Turkey. Journal Nutrition. 110 : 139-144
Soares, J.H., and R.R. Kifer. 1971. Evaluation of protein based on residual amino acid of the illecal contents of chick. Poultry Sci. Brazil. 117 pp.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Ternak. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Wooton, R.J., J.R.M. Allen, and S.J. Cole. 1980. Effect the body weight and temperature on the maximum daily food consumption of Gasterosteus aculeatus L. and Phoxinus phoxinus (L). Selecting and appropriate model. Journal of fish biology, 17:695-705.
30
Evaluasi nilai nutrisi tepung daun lamtoro gung (Leucaena leucophala)
terhidrolisis dengan ekstrak enzim cairan rumen domba (Ovis aries)
terhadap kinerja pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus)
Evaluation of the nutritional value of Leucaena leucophala leaf meal
hydrolyzed by sheep rumen liquor enzyme extract
on the growth performance of Nile tilapia (Oreochromis niloticus)
I. Fitriliyani
Jurusan Budidaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Lambung Mangkurat
Jln. A. Yani KM. 36 Simpang Empat Banjarbaru, Kalimantan Selatan
Email: [email protected]
ABSTRACT
This experiment was conducted to evaluatee the nutritional value of Leucaena leucocephala leaf meal (LLM)
with supplementation of sheep rumen liquor crude enzyme on the growth of Nile tilapia. Fish were fed isonitrogenous (± 32% crude protein and C/P ± 9.25 ccal/kg) diets for 50 days. Six diets were formulated to
contain hydrolyzed LLM at level 10%, 15%, 20%, 25% and 30% (Diet A, B, C, D and E respectively) and one diet acting as a control (Diet K, 0% LLM). All diets were isonitrogenous and isoenergy. A seven week feeding trial was carried out on triplicate groups of eight fish (9.38 ± 0.41) in 18 aquarium with a recirculating system.
Fish were fed twice daily at satiation. Results of the present study indicated that the fish fed diet contained 0%, 10% and 15% of lamtoro leaf meal had significantly higher in specific growth rate (SGR) than other groups (p<0.05). The amount of feed consumed was no significant different in all groups and have tendency
decreasing the amount of feed consumed with the increasing of Leucaena leaf meal hydrolyzed content in the feed. Feed efficiency in treatment 10% LLM has significantly difference with treatment 0, 20, 25, 30% LLM. (p<0.05) and there was no significantly difference with treatment 15% LLM in feed. Protein and fat retentions
were not significantly (p<0.05) effected by different LLM content in feed.
Key words: Nile tilapia, Leucaena leaf meal, growth, feed effiency
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi nilai nutrisi tepung daun lamtoro gung Leucaena leucephala terhidrolisi dengan ekstrak enzim cairan rumen domba terhadap kinerja pertumbuhan ikan nila (Oreochromis
niloticus). Ikan diberi pakan isonitrogenus (kadar protein ± 32% , C/P ± 9,25 kkal/kg) selama 50 hari. Enam jenis formulasi pakan dengan tepung daun lamtoro gung tanpa perlakuan dan dengan perlakuan enzim (inkubasi dengan ekstrak enzim dari cairan rumen) dengan kadar 10%, 15%, 20%, 25%, 30% dan 0% sebagai
kontrol. Pakan uji kemudian diberikan satiasi kepada ikan nila yang dipelihara dalam akuarium dengan
kepadatan 8 ekor/akuarium (3 ulangan per perlakuan) dengan bobot awal rata-rata 9,38 ± 0,41g. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa ikan yang diberi pakan dengan kadar tepung daun lamtoro gung sebanyak
0%, 10%, dan 15% secara siginifikan memiliki laju pertumbuhan spesifik lebih tinggi daripada perlakuan lain (p<0,05). Jumlah pakan yang dikonsumsi tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan dengan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan kadar daun lamtoro gung dalam pakan. Efisiensi pakan perlakuan 10 %
TDL berbeda nyata dengan perlakuan penggunaan 0, 20, 25 dan 30% TDL (p<0,05) dan tidak ada perbedaan yang nyata dengan perlakuan 15% TDL dalam pakan. Retensi protein dan lemak nyata (p<0,05) dipengaruhi oleh perbedaan kandungan TDL dalam pakan.
Kata kunci: Ikan nila, tepung daun lamtoro, pertumbuhan, efisiensi pakan
PENDAHULUAN
Sumber protein utama dalam bahan baku
pakan buatan untuk ikan adalah tepung ikan.
Penelitian penggantian tepung ikan dengan
berbagai bahan alternatif berprotein tinggi
dilakukan untuk menekan harga produksi
pakan. Bahan yang umum untuk mengganti
Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)
Available : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jai http://jurnalakuakulturindonesia.ipb.ac.id
31
I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)
tepung ikan adalah tepung bungkil kedelai
(SBM/soy bean meal) (Suprayudi et al.,1999;
Pebriyadi, 2004; Elangovan dan Shim, 2000).
Ketersediaan SBM masih tergantung impor
dan volume impor SBM pada periode Januari
-September 2008 mencapai 28.405.448
milyar ton dan harga mencapai Rp7.500-
8.000,00 per kg. Sumber protein nabati dari
tumbuhan menjadi alternatif pilihan karena
Indonesia adalah negara tropis dengan
kekayaan keragaman sumber daya hayati.
Tepung daun lamtoro gung (TDL)
merupakan sumberdaya hayati lokal yang
dengan kandungan proteinnya yang tinggi
yaitu 25-30% (NAS, 1994) dan total
karbohidrat (18,6%), gula tereduksi (4,2%),
sukrosa oligosakarida (1,2%), rafinosa
(0,6%), stacyosa (1,0%), oligosakarida total
(2,8%) dan (1%) (Kale, 1987).
Keterbatasan dalam komposisi asam
amino esensial dapat diatasi dengan
menambahkan asam amino esensial yang
menjadi pembatas (Santiago dan Lovell,
1988), dan untuk mengatasi mimosin telah
dilaporkan beberapa metode yang berhasil
mereduksi mimosin seperti perendaman dan
pemanasan (Wee dan Wang, 1987).
Penelitian pengunaan TDL dalam pakan
ikan sebagai sumber protein pakan
memberikan kesimpulan yang berbeda-beda.
Kemampuan ikan nila memanfaatkan
berbagai bahan legume termasuk TDL
dilaporkan oleh El Sayed (1999). Pakan ikan
nila yang menggunakan TDL dilaporkan
dapat meningkatkan pertumbuhan (Pantastico
dan Baldia, 1980). Dilaporkan pula
penurunan pertumbuhan dengan pakan
mengandung TDL pada Java tilapia (Jackson
et al., 1982) dan Nile tilapia (Santiago et al.,
1988). Penggunaan TDL sebagai bahan baku
pakan dibatasi dengan kandungan yang tinggi
dari komponen neutral detergent fiber (NDF)
39,5% dan acid detergent fiber (ADF)
35,10% (Gracia et al., 1996), bahkan pada
level tertentu dapat menghambat per-
tumbuhan ikan (Penaflorida et al., 1992).
Keterbatasan ikan nila dalam memanfaatkan
serat berkaitan dengan ketersediaan enzim
pencernaan khususnya enzim selulitik
Dilaporkan oleh Saha dan Ray (1998), bahwa
ikan tidak memiliki enzim selulose dan
kemungkinan adanya populasi mikroba
selulotik di saluran percernaan ikan juga
masih menjadi kontroversi di kalangan
peneliti.
Pada penelitian ini digunakan pendekatan
penggunaan suplementasi enzim untuk
membantu kecernaan ikan nila dengan pakan
yang dicampurkan TDL. Cairan rumen
domba merupakan salah satu sumber bahan
alternatif yang murah dan dapat
dimanfaatkan dengan mudah sebagai sumber
enzim hidrolase (Moharrey dan Tirta, 2002).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi penggunaan enzim hidrolisis
dari cairan rumen domba pada pakan ikan
nila dengan campuran tepung daun lamtoro
gung (TDL).
BAHAN DAN METODE
Isolasi dan produksi enzim
Enzim yang diambil dari rumen domba
secara manual dipisahkan dari padatan yang
ada dalam rumen. Cairan yang didapat
selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan
12.000 rpm selama 20 menit pada suhu -4 C,
kemudian cairan (supernatan) yang terbentuk
dapat diambil sebagai sumber enzim. Untuk
mempertahankan aktivitas enzim, seluruh
proses produksi enzim diusahakan selalu
dalam kondisi dingin.
Pakan uji yang digunakan
Tepung daun lamtoro gung (TDL) yang
akan diujicobakan sebelumnya direndam
dalam air selama 24 jam kemudian
dihaluskan dan dikeringkan dalam oven suhu
60oC selama 6 jam. TDL selanjutnya siap
diinkubasi dengan dengan enzim dari cairan
rumen domba sebanyak 1 ml/g selama 24
jam.
Pakan uji yang digunakan selama
penelitian ini berbentuk pellet dengan
kandungan protein dan energi yang sama tetapi
komposisi komponen penyusun pakan yang
berbeda. Perlakuan yang diberikan adalah
kandungan persentase TDL terhidrolisis yang
berbeda dalam pakan formulasi, yaitu K (0%
TDLt); A (10% TDLt); B (15% TDLt); C (20%
TDLt); D (25% TDLt) dan E (30% TDLt). Tabel 1. Komposisi bahan baku dan kimia pakan perlakuan.
32
I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)
1
Dried Distillers Grains with Solubles. 2
GE (Gross energy) adalah energi yang terkandung dalam bahan pakan berdasarkan nilai ekuivalen
untuk Karbohidrat 4.1 kcal/g (17.2 kJ/g), lemak 9.5 kcal/g (39.8 kJ/g), dan protein 5.6 kcal/g (23.4
kJ/g). 3 C/P adalah kkal GE per gram protein.
4 Komposisi vit dan mineral mix (dalam 1 kg
premix) Vit.A 4.000.000 IU; Vit D3 800.000 IU; Vit.E 4.500 Mg; Vit. K3 450 Mg; Vit. B1 450 Mg; Vit. B 1.350 Mg; Vit. B6 480 Mg; Vit B12 6
Mg; Ca-d panthothenate 2.400 Mg; Folic Acid 270 Mg; Nicotinic acid 7.200 Mg; Choline
chloride 28.000 Mg; Ferros 8.500 Mg; Copper 700 Mg; Manganese 18.500 Mg; Zinc 14.000 Mg; Cobalt 50 Mg; Iodine 70 Mg; Selenium 35 Mg.
Eksperimen
Penelitian dilakukan di Laboratorium
Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan dan
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Benih
ikan nila sebanyak 400 ekor bobot tubuh 7-
10 g dipelihara dalam tanki ukuran 200 liter
untuk aklimatisasi. Selama masa aklimatisasi
ikan diberikan pakan komersil. Setelah 1
minggu, sebanyak 144 ekor ikan yang
relatif seragam dibagi dalam 18 akuarium
berukuran 50x35x40 cm yang terhubung
dengan sistem resirkulasi, dengan padat tebar
8 ekor/akuarium dan bobot awal rata-rata
9,38 ± 0,41 gram. Aerasi diberikan pada
setiap akuarium serta tandon, sedangkan
heater hanya dipasang pada tandon. Sebelum
perlakuan, ikan dipuasakan terlebih dahulu
selama 24 jam dengan tujuan menghilangkan
sisa pakan dalam saluran pencernaan selama
masa aklimatisasi.
Ikan dipelihara selama 50 hari dan diberi
pakan secara satiasi dengan frekuensi 3 kali
sehari. Untuk menjaga kualitas air, dilakukan
penyifonan dan penggantian air. Faktor
kualitas air yang diperhatikan adalah suhu
yang diamati setiap pagi hari sebelum
pemberian pakan serta pengukuran pH,
alkalinitas, kesadahan, TAN dan DO di awal
dan 2 kali selama periode pemeliharaan.
Analisis kimia pakan perlakuan
Analisis proksimat dilakukan terhadap
bahan dan pakan perlakuan yang meliputi
kadar protein kasar dilakukan dengan metode
Kjeldahl, kadar lemak kering dengan metode
Soxhlet, kadar lemak basah dengan metode
Folch, kadar abu dengan pemanasan sampel
dalam tanur bersuhu 600°C, serat kasar
menggunakan metode pelarutan sampel
dengan asam dan basa kuat serta pemanasan
dan kadar air dengan metode pemanasan
dalam oven bersuhu 105-110°C (Takeuchi
1988). Hasil analisa proksimat pakan per-
lakuan disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Komposisi proksimat pakan perlakuan.
Parameter yang diamati dalam penelitian
ini adalah:
1. Laju Pertumbuhan Harian:
WO = Berat rata-rata ikan pada awal
penelitian (g)
Wt = Berat rata-rata ikan pada waktu t (g)
t = Lama waktu pemeliharaan (hari).
2. Efisiensi pakan
EP = (Wt + WQ)-W0 x 100
F
EP = Efisiensi pakan
W0 = Berat ikan pada awal penelitian (g)
Wt = Berat ikan pada waktu t (g)
Wa = Berat ikan mati selama penelitian (g)
F = Bobot pakan yang dikonsumsi
Komposisi
proksimat (%)
Pakan perlakuan (% TDLt)
K (0) A (10) B (15) C (20) D (25) E (30)
Protein 31, 12 29, 43 32, 90 34, 03 32, 29 29, 60
Lemak 8, 79 8, 21 9, 38 9, 26 9, 35 9, 55
Abu 9, 73 9, 82 9, 71 9, 05 10, 13 8, 91
Serat Kasar 6, 03 5, 97 5, 56 4, 78 5, 81 5, 83
BETN 1 36, 08 39, 38 33, 39 34 , 35 33, 09 37, 12
G E (kkal/ g ) 2 4061, 53 4042,61 4102,49 4193,73 4053,18 4086,77
C/P (kkal/g ) 3 13,02 13,74 12,47 12,32 12,55 13,81
Jenis bahan baku
(%)
Perlakuan (% TDLt)
K (0) A (10) B (15) C (20) D (25) E (30)
15,00 15,00 15,00 15,00 15,00 1 5,00 Tepung Ikan
T.lamtoro gung 0,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00
T. Bungkil Kedelai 23,00 22,60 20,60 19,60 16,60 13,60
DDGS 1 24,00 20,00 19,00 17,00 15,00 15,00
Tepung Pollard 28,03 22,43 20,43 18,43 18,43 16,43
Tepung Sagu 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00
Minya k Jagung 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
Minyak Ikan 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00 2,00
Vit . Mix (tanpa vit c) 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20
Mineral Mix 4 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20
Kromium - ragi 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00 3,00
V it C 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1 ,00
C holine chloride 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50
L ysin+metionin (1:1) 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07 0,07
GE (kkal/g ) 2 3897,34 3869,97 3853,78 3837,54 3814,92 3759,33
C/P (kkal/g ) 3 13,68 13,39 13,44 13,40 13,64 13,47
33
I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)
3. Kecernaan pakan
(%) = (1 - a'/a x b'/b) x 100
a' = Nutrien dalam feses (%)
a = Nutrien dalam pakan (%)
b1= Indikator dalam feses (%)
b = Indikator dalam pakan (%);
4. Retensi protein dan lemak
Pu atau Lu
RP / RL = x 100
Pe atau Le
RP/RL = Retensi protein/retensi lemak
Pu/Lu = Bobot protein/lemak yang
disimpan dalam tubuh (g)
Pe/Le = Bobot protein/lemak yang
dikonsumsi oleh ikan (g)
Pu/Lu = Po–Pt atau Lo–Lt
Po/Lo = Bobot protein/lemak tubuh
ikan pada waktu 0
Pt/Lt = Bobot protein/lemak dalam
tubuh ikan pada waktu t
Analisis statistik
Seluruh perlakuan pada penelitian ini
dilakukan pada keadaan yang homogen yakni
pada satu set sistem resirkulasi sehingga
rancangan percobaan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
enam faktor peubah dan tiga ulangan. Data
yang diperoleh kemudian ditabulasi dan
dianalisis menggunakan program Exel MS.
Office 2007 dan SPSS 15.0 dengan
menggunakan uji lanjut Duncan. Untuk mengetahui keeratan hubungan antara
parameter dilakukan pula uji regresi.
HASIL
Data rata-rata parameter uji hasil
penelitian, yaitu daya kelangsungan hidup/
survival rate (SR), laju pertumbuhan harian
(LPH), efisiensi pemberian pakan (EP),
jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi
protein (RP) dan retensi lemak (RL)
disajikan pada Tabel 2.
Data SR menunjukkan tidak ada pengaruh
perbedaan persentase TDL terhidrolisis yang
dicampurkan ke dalam pakan terhadap nilai
SR. Nilai laju pertumbuhan harian perlakuan
TDL terhidrolisis nyata (p<0,05) dipengaruhi
oleh perbedaan persentase penggunaan
TDL terhidrolisis di dalam pakan. Nilai rata-
rata laju pertumbuhan harian (LPH) tertinggi
yaitu 2,77% dicapai oleh perlakuan tanpa
pemakaian TDL terhidrolisis yang tidak
berbeda nyata dengan nilai LPH pada
pemakaian TDL terhidrolisis 10 dan 15%
dalam pakan. Sedangkan nilai LPH
perlakuan dengan pemakaian TDL
terhidrolisis 20, 25 dan 30% dalam pakan
nyata lebih rendah dari perlakuan kontrol dan
perlakuan dengan penggunaan 10 dan 15%
TDL terhidrolisis dalam pakan. Nilai
terendah yaitu 1,47% dicapai oleh perlakuan
dengan penggunaan TDL terhidrolisis
terbanyak yaitu sebesar 30%. Persentase
penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan
nyata (p>0,05) tidak berpengaruh pada
jumlah pakan yang dikonsumsi ikan uji.
Perlakuan TDL terhidrolisis menunjukkan
nilai efisiensi pakan tertinggi yaitu 70,52%
dicapai oleh perlakuan 10% TDL ter-
hidrolisis. Nilai efisiensi pakan tertinggi ini
tidak berbeda nyata dengan yang dicapai
perlakuan 15% TDL terhidrolisis yaitu
60,10%. Nilai efisiensi pakan terendah yaitu
30,71 dicapai oleh perlakuan 25% TDL
terhidrolisis, dimana nilai ini tidak berbeda
nyata dengan nilai efisiensi pakan perlakuan
kontrol, 20% dan 30% TDL terhidrolisis
dengan nilai efisiensi pakan berturut-turut
sebesar 47, 65, 31, 05 dan 43,90%.
Persentase penggunaan TDL terhidrolisis
dalam pakan nyata (p<0,05) berpengaruh
pada nilai retensi protein. Nilai retensi
protein tertinggi sebesar 40,70% pada
perlakuan 15% TDL terhidrolisis dalam
pakan berbeda nyata dengan semua
perlakuan lainnya. Perlakuan 25% TDL
terhidrolisis menghasilkan nilai retensi
protein terendah sebesar 16,7% yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, 10,
20 dan 30% TDL dalam pakan. Persentase
penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan
nyata (p<0,05) berpengaruh pada retensi
lemak. Perlakuan kontrol (tanpa penggunaan
TDL terhidrolisis) menghasilkan nilai retensi
lemak yang tertinggi yaitu 33,73% yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan dengan
penggunaan 10% TDL terhidrolisis dalam
pakan dengan nilai retensi lemak sebesar
33,15%. Sedangkan nilai retensi lemak
terendah terdapat pada perlakuan 30% TDL
34
I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)
terhidrolisis yaitu sebesar 14,40% yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan 20% TDL
terhidrolisis dalam pakan dengan nilai retensi
lemak sebesar 14,95%. Nilai retensi lemak
pada perlakuan yang menggunakan TDL ter-
hidrolisis menghasilkan nilai yang cenderung
menurun dengan meningkatnya kandungan
TDL di dalam pakan.
PEMBAHASAN
Pertumbuhan dan daya kelangsungan
hidup ikan uji yang digambarkan dengan
nilai LPH dan SR (Tabel 2) menunjukkan
hasil yang terus menurun dengan mening-
katnya penggunaan kandungan TDL
terhidrolisis dalam pakan. Kerja enzim-enzim
hidrolisis yang terkandung dalam cairan
rumen yang digunakan untuk menghidrolisis
TDL berpengaruh terhadap komposisi
nutrient yang terkandung dalam TDL. Lee et
al. (2002) memetakan enzim-enzim dalam
cairan rumen domba. Enzim-enzim yang terdapat
dalam cairan rumen domba antara lain adalah
enzim-enzim selulolitik terdiri atas beta-D-
endoglukanase, beta-D-exoglukanase, beta -D-
glukosidase, dan beta-D-fucosida fuco-hydrolase,
enzim-enzim xylanolitik terdiri atas beta-D-
xylanase, beta-D-xylosidase, acetyl esterase, dan
alfa-L-arabinofuranosidase, enzim-enzim pekti-
nolitik terdiri atas polygalacturonase, pectate
lyase dan pectin lyase, dan enzim-enzim lain
yang terdiri atas beta-amilase, endo-arabilase, beta-
D-gluanase (laminarinase), beta-D-glucanase
(Lichenase), beta-D-glucanase (Pechimanase) dan
protease.
Cairan rumen yang digunakan dalam
penelitian ini didapat dari domba yang
dipelihara dengan pakan hijauan. Fitriliyani
(tidak dipublikasi) mengemukakan bahwa
aktivitas enzim selulase dari cairan rumen
domba yang dipelihara dengan pakan hijauan
adalah sebesar 80,852 µmol glukosa/
menit/ml. TDL dengan kandungan komponen
neutral detergent fiber (NDF) 39,5% dan
acid detergent fiber (ADF) 35,10% (Gracia
et al., 1996) merupakan media yang sangat
sesuai untuk kerja enzim selulase. Fitriliyani
(2010, tidak dipublikasikan) mengemukakan
bahwa terjadi peningkatan glukosa terlarut
dan penurunan total gula TDL seiring dengan
peningkatan volumen cairan rumen yang
digunakan untuk menghidrolisis TDL.
Sehingga peningkatan penggunaan TDL
terhidrolisis dalam pakan akan meningkatkan
pula kandungan monosakarida yaitu glukosa
akibat kerja enzim selulosa yang terkandung
dalam rumen.
Lin dan Shiau (1995) serta Hsieh dan
Siau (2000) mengemukakan bahwa ikan nila
yang mendapat sumber karbohidrat yang
berasal dari glukosa menghasilkan
pertambahan bobot tubuh yang lebih kecil
dibandingkan dengan penggunaan disakarida
dan starch. Hal ini sesuai pula dengan
pendapat yang menyatakan bahwa ikan
omnivora mempunyai pertumbuhan yang
lebih baik dengan pakan yang mengandung
polisakarida (Furuichi dan Yone, 1982; Shiau
dan Peng, 1993; Erfanullah dan Jafri, 1995;
Lin dan Shiau, 1995; Hutchins et al., 1998;
Lee et al., 2003; Lee and Lee, 2004; Tan et
al., 2006). Wilson dan Poe (1987)
melaporkan bahwa pertumbuhan dan peman-
faatan pakan ikan nila lebih tinggi dengan
kandungan 33% polisakarida (dextrin dan
corn starch) dalam pakan dibandingkan
dengan pakan yang mengandung mono-
disakarida.
Tabel 3. Data hasil parameter kinerja pertumbuhan ikan nila yang diberi pakan perlakuan enam jenis komposisi pakan: K (TDL 0%); A (TDL 10%); B (TDL 15%); C (20%); D (25%) dan E (30%).
Perlakuan Parameter
SR LPH JKP EP
K 70,83 ± 7,22a
2,77 ± 0,40b
223,20 ± 55,21a
54,17 ± 2,51ab
A 75,00 ± 0,00a
2,68 ± 0,05b
197,43 ± 13,33a
70,52 ± 15,96c
B 79,17 ± 7,21a
2,38 ± 0,32b
173,35± 20,15a
60,10 ± 16,11bc
C 70,83 ± 14,43a
1,79 ± 0,20a
191,80 ± 33,69a
34,28 ± 1,00a
D 79,17 ± 19,09a
1,80 ± 0,46a
180,93 ± 15,00a 36,06 ± 8,13
a
E 87,50 ± 0,00a
1,47 ± 0,18a
169,64 ± 50,75a
37,46 ± 6,62ab
Keterangan: huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
(p>0,05).
35
I. Fitriliyani et al./ Jurnal Akuakultur Indonesia, 9 (1): 30–37 (2010)
Gambar 1. Nilai retensi lemak (kiri) dan protein (kanan) pada ikan nila yang diberi pakan perlakuan enam jenis komposisi pakan: K (TDL 0%); A (TDL 10%); B (TDL 15%); C (20%); D (25%) dan E (30%).
Konsumsi pakan tertinggi adalah pakan
perlakuan K dengan TDL 0% (Tabel 3).
Perlakuan ini juga menghasilkan pertum-
buhan tertinggi dibandingkan dengan lima
perlakuan lainnya. Jumlah konsumsi pakan
cenderung menurun dengan me-ningkatnya
persentase kandungan TDL terhidrolisis
dalam pakan. Hal ini dimungkinkan karena
peningkatan persentase penggunaan TDL
terhidrolisis dalam pakan meningkatkan pula
kandungan serat pakan perlakuan. Serat kasar
merupakan komponen karbohidrat yang kaya
akan lignin dan selulosa yang bersifat sukar
dicerna. Selulosa merupakan kerangka sel
tanaman yang terdiri dari rantai -D-Glukosa dengan derajat polimerasi sebesar lebih
kurang 14.000 (Kennedy, 1988). Serat
makanan akan tinggal dalam saluran
pencernaan dalam waktu relatif singkat
sehingga absorpsi zat makanan berkurang.
Selain itu makanan yang mengandung serat
yang relatif tinggi akan memberikan rasa
kenyang karena komposisi karbohidrat
komplek yang menghentikan nafsu makan
sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi
makanan. Makanan dengan kandungan serat
kasar yang tinggi juga dilaporkan dapat
mengurangi bobot badan ikan (Hemre et al.,
2002). Pernyataan tersebut bersesuaian
dengan hasil penelitian ini, dimana semakin
banyak TDL yang digunakan pada perlakuan
A, B, C, D, E dan F, maka nilai JKP akan
menurun. Penurunan nilai JKP akan
mengakibatkan menurunnya pula asupan
protein yang dikonsumsi sehingga terlihat
nila laju pertumbuhan harian juga mengalami
penurunan.
Nilai retensi protein dan retensi lemak yang
didapat pada penelitian ini dengan TDL
terhidrolisis lebih baik dari nilai retensi protein
yang dilaporkan oleh Abdel Hakim et al.
(2008) pada ikan nila dengan bobot tubuh 30 ±
0.46 g. Dengan pengantian 30% bungkil
kedelai dalam pakan dengan isi rumen yang
dikeringkan; sunflower meal; dan sesame
seed cake didapatkan nilai retensi protein
sebesar 19,02; 19,63; 20,45%. dan nilai
retensi lemak 9,02; 10,15; dan 11,51.
Sedangkan Gonzales (2007) menggunakan
tumbuhan sebagai dasar penyusun pakan
larva ikan nila hanya mendapatkan nilai
retensi protein 31,9%. Ali et al. (2003) pada
pakan ikan nila menggunakan alfafa leaf
meal pada taraf 5, 10, 15 dan 20%
didapatkan nilai retensi protein berturut-turut
35,30; 31,80; 29,81 dan 27,74%. Per-
bedaan nilai komposisi asam amino esensial
serta jumlah karbohidrat sederhana yang
berlebih diduga menjadi penyebab perbedaan
nilai retensi protein ini.
Terhambatnya absorbsi asam amino
dalam saluran pencernaan oleh glukosa yang
berlebih pada saluran pencernaan ikan
dengan pakan mengandung 30% TDL
terhidrolisis selain mempengaruhi nilai
retensi protein juga akan berpengaruh pada
nilai retensi lemak. Dimana pada perlakuan
30% TDL terhidrolisis di dalam pakan,
didapatkan nilai retensi protein sebesar
20,92% dan nilai retensi lemak sebesar
14,40%. Ketersediaan energi yang terbatas
36
I. Fitriliyani / Jurnal Akuakultur Indonesia 9 (1), 30–37 (2010)
dalam bentuk protein pada perlakuan ini,
mengakibatkan ikan berusaha memanfaatkan
sumber energi yang lain yaitu lemak
sehingga retensi lemaknya menjadi turun
drastis dibandingkan perlakuan lain dengan
TDL terhidrolisis.
KESIMPULAN
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa
ikan yang diberi pakan dengan kadar tepung
daun lamtoro gung sebanyak 0%, 10%, dan
15% secara siginifikan memiliki laju
pertumbuhan spesifik, efisiensi pakan yang
lebih tinggi daripada perlakuan lain dengan
jumlah pakan yang dikonsumsi tidak berbeda
nyata untuk semua perlakuan dengan
kecenderungan menurun seiring dengan
peningkatan kadar daun lamtoro gung dalam
pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdel Hakim, N.F., Lashin, N.F.M., Al-
Azab, A., Nazmi, H.M., 2008. Effect of
replacing soybean meal with other plant
protein source on protein and energy
utilization and carcass composition of
Nile tilapia (Oreochromis niloticus), p.
979-996. In 8th
International Symposium
on Tilapia in Aquaculture. Department of
Animal Production, Faculty of
Agriculture, Al-Azhar University.
Ali, A., Al Asgah, N.A., Al-Ogail, S.M., Ali,
S. 2003. Effect of feeding different levels
of alfalfa meal on the growth performance
and body composition of Nile tilapia
(Oreochromis niloticus) fingerlings. Asian
Fisheries Science, 16, 59-67.
Elangovan, A., Shim, K.F. 2000. The
influence of replacing fish meal partially
in the diet with soybean meal on growth
and body compositition of juvenile tin foil
barb (barbodews altus). Aquaculture 189,
133-134.
El Sayed, A. F. 1999. Alternative dietary
protein sources for farmed tilapia,
Oreochromis spp. Aquaculture 179, 149-
168.
Erfanullah, Jafri, A.K. 1995. Protein-sparing
effect of dietary carbohydrate in diets for
fingerling Labeo rohita. Aquaculture 136,
331–339.
Furuichi, M., Yone, Y. 1982. Availability of
carbohydrate in nutrition of carp and red
sea bream. Bull Jpn Soc Sci Fish 48, 945–
948
Gonzales, J.M., Alison, H., Megan, E.R.,
Todd, F.P., Paul, B. 2007. Evaluation of
fish meal-free diets for first feeding Nile
tilapia (Oreochromis niloticus). Journal of
Applied Aquaculture. 19 (3), 69-98.
Gracia, G.W., Ferguson, T.U., Neckles, F.A.,
Archibald, K.A.E. 1996. The nutritive value
and forage productivity of Leucaena
leucocephala. Anim. Feed. Sci. Technol. 60,
29-41.
Hemre, G.I., Mommsen, T.P., Krogdahl, A.,
2002. Carbohydrates in fish nutrition:
effects on growth, glucose metabolism
and hepatic enzymes. Aquacult. Nutr. 8,
175–194.
Hsieh, S.L., Shiau, S.Y., 2000. Effects of
diets containing different carbohydrates
on starved condition in juvenile tilapia
Oreochromis niloticus >< O. aureus.
Fisheries Science 66, 32–37.
Hutchins, C.G., Rawles, S.D., Gatlin, D.M.
1998. Effects of dietary carbohydrate kind
and level on growth, body composition
and glycemic response of juvenile
sunshine bass (Morone chrysops· M.
saxatilisx). Aquaculture 161, 187–199.
Jackson, A.J., Capper, B.S., Matty, A.J.,
1982. Evaluation of some plant protein in
complete diets for the tilapia,
Sarotherodon mossambicus. Aquaculture
27, 97-109.
Kale, A.U., 1987. Nutritive value of
Leucaena leucocephala (subabul).
[Thesis] University of Bombay.
Kennedy, J.F., 1988. Carbohydrate
Chemistry. Oxford University Press.
Lee, S.M., Kim, K.D., Lall, S.P., 2003.
Utilization of glucose, maltose, dextrin
and cellulose by juvenile flounder
(Paralichthys olivaceus). Aquaculture
221, 427–438
Lee, S.M., Lee, J.H., 2004. Effect of dietary
glucose, dextrin and starch on growth and
body composition of juvenile starry
flounder Platichthys stellatus. Fisheries
Science 70, 53–58
37
I. Fitriliyani et al./ Jurnal Akuakultur Indonesia, 9 (1): 30–37 (2010)
Lee, S.S., Kim, C.H., Ha, J.K., Moon, Y.H.,
Choi, N.J., Cheng, K.J., 2002. Distribution
and activities of hydrolytic enzymes in the
rumen compartments of hereford bulls fed
alfalfa based diet. Asian-Aust. J. Anim. Sci.
15 (12), 1725-1731.
Lin, J.H., Shiau, S.Y., 1995 Hepatic enzyme
adaptation to different dietary carbo-
hydrates in juvenile tilapia (Oreochromis
niloticus x O. aureus). Fish Physiol.
Biochem. 14, 165–170.
Moharrery, A., Tirta, K.D., 2002. Correlation
between microbial enzyme activities in the
rumen fluid of sheep under different
treatments. Reprod. Nutr. Dev. 41, 513-
529.
NAS, 1994. Leucaena: Promising forage and tree
crop for the Tropics. Second Edition. National
Academy of Sciences. Washington.
Pantastico, J.B., Baldia, J.P., 1980. Lip-lip leaf
meal as supplement feed for Tilapia nilotica
in cages. Fish. Res. J. Philipp. 5 (2), 63-68.
Penaflorida, V.D., Pascual, F.P., Tabbu, N.S.,
1992. A practical methods for extracting
mimosine from ipil-ipil (Leucaena leuco-
cephala) leaves and its effect on survival and
growth of Penaus monodon juveniles. Israeli
Journal of Aquaculture 44 (1), 24-31.
Pebriyadi, B., 2004. Penambahan metionina
dan triptofan dalam pakan benih ikan nila
Mystus nemurus CV yang mengandung
tepung bungkil kedelai. [Thesis] Bogor: IPB
74 hal.
Saha, A., Ray, A.K., 1998. Cellulase activity
in rohu fingerlings. Aquaculture Inter-
national 6 (4), 281-291.
Santiago, C.B., Lovell, R.T., 1988. Amino acid
requirement for growth of Nile tilapia.
Journal of Nutrition 118, 1540-1546.
Santiago, C.B., Aldaba, M.B., Reyes, O.S.,
Laron, M.A., 1988. Reproductive
performance and growth of nile tilapia
(Oreochromis niloticus) broodstock fed
diets containing Leucaena leucocephala
leaf meal. Aquaculture 70, 53-61.
Shiau, S.Y., Peng, C.Y., 1993. Protein-
sparing effect by carbohydrates in diets
for tilapia, Oreochromis niloticus and
O.aureus. Aquaculture 117, 327–334
Suprayudi, M.A., Bintang, M., Takeuchi, T.,
Mokoginta, I., Toha, S., 1999. Defatted
soybean meal as an alternative source to
substitute fish meal in the feed of giant
gouramy Osphronemus gouramy Lac.
Suisanzozhoku 47 (4), 551-557.
Tan, Q., Xie, S., Zhu, X., Lei, W., Yang, Y.,
2006. Effect of dietary carbohydrate
sources on growth performance and
utilization for gibel carp (Carassius
auratus gibelio) and Chinese longsnout
catfish (Leiocassis longirostris Gunther).
Aquac. Nutr. 12, 61–70.
Wee, K.L., Wang, S.S., 1987. Nutritive value of
leucaena leaf meal in pelleted feed for nile
tilapia. Aquaculture 62 (2), 97 - 108.
Wilson, R.P., Poe, W.E., 1987. Apparent
inability of channel catfish to utilize
dietary monosaccharides and disac-
charides as energy-sources. J. Nutr. 117,
280–285.
OPTIMALISASI SUBSTITUSI TEPUNG AZOLLATERFERMENTASI PADA PAKAN IKAN UNTUKMENINGKATKAN PRODUKTIVITAS IKAN NILA GIFTHANY HANDAJANIJurusan Perikanan Universitas Muhammadiyah MalangJl. Raya Tlogomas 246 Malang 65144HP: 08123317258Email : [email protected]
ABSTRACT
The research has been conducted to evaluate the fermented azolla flour substitutions that optimize the growth rate and digestibility in Tilapia. The research was based on Completely Randomized Design (CRD) with three replications. Four levels of substitution of soy meal with fermented azolla flour were: P0 (100%:0%), P1 (85%:15%), P2 (70%:30%), and P3 (55%:45%). The main parameters were absolute growth rate, feed conversion, and digestibility of Tilapia (Oreochiomis sp.). The result showed that the substitution of soy meal with fermented azolla flour has significant effect into growth rate and digestibility parameters. The P1 treatment gave the best result with growth absolute rate 0,81 gram, feed conversion 3,14 and 67,68% digest-ibility.
Key words : Fish feed, Fermented azolla flour, Tilapia
PENDAHULUANUsaha budidaya ikan sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan pakan yang cukup dalam jumlah dan kualitasnya untuk mendukung kualitas yang maksimal. Faktor pakan menentukan biaya produksi mencapai 60% - 70% dalam usaha budidaya ikan. Sehingga perlu pengelolaan yang efektif dan efisien. Beberapa syarat bahan pakan yang baik untuk diberikan adalah memenuhi kandungan gizi (protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral) yang tinggi, tidak beracun, mudah diperoleh, mudah diolah dan bukan sebagai makanan pokok manusia. Sampai saat ini sumber protein nabati yang digunakan dalam pakan ikan adalah tepung kedelai. Harga kedelai terus meningkat, saat ini harga kedelai mencapai Rp. 4500/kg. Ada beberapa alternatif bahan pakan yang dapat dimanfaatkan dalam penyusunan pakan salah satunya adalah tepung Azolla. Tanaman azolla merupakan gulma air yang tidak termanfaatkan, tetapi tanaman Azolla memiliki kandungan protein yang cukup tinggi 28,12% berat kering (Handajani, 2000), sedangkan Lumpkin dan Plucknet (1982) menyatakan kandungan protein pada Azolla sp sebesar 23,42% berat kering dengan komposisi asam amino esensial yang lengkap. Sehingga tanaman azolla sangat berpotensi sebagai bahan penyusun pakan ikan sebagai sumber protein nabati pengganti tepung kedelai.
Hasil penelitian Handajani (2006) kandungan
serat kasar tepung azolla sebesar 23,06%. Tepung Azolla dimanfaatkan sebagai salah satu penyusun pakan ikan Nila Gift dengan hasil daya cerna protein ikan berkisar 55,51% - 67,68%. Disamping itu dari hasil penelitian Haetami dan Sastrawibawa (2005) nilai daya cerna ikan Gurami terhadap pakan yang menggunakan tepung azolla berkisar 58,70% - 67,90%. Nilai daya cerna ini belum maksimal karena pakan yang diberikan tidak tercerna dengan baik, hal ini disebabkan kandungan serat kasar yang cukup tinggi pada tepung azolla. Selanjutnya Handajani (2007a) mencoba meningkatkan nilai gizi tepung azolla melalui proses fermentasi dan didapatkan hasil fermentasi tepung azolla dengan Rhizophus sp memberikan hasil yang terbaik dari beberapa fermentor, terbukti dapat menurunkan kandungan serat kasar tepung azolla dari 23,06% menjadi 14,62%.
Dari beberapa hasil penelitian tersebut perlu dilakukan pengujian untuk memanfaatkan tepung azolla terfermentasi dalam pakan ikan Nila Gift. Hasil penelitian diharapkan tepung Azolla terfermentasi dapat mensubstitusi tepung kedelai dalam penyusunan pakan ikan. Sehingga dapat meningkatkan produksi ikan Nila serta menekan biaya produksi, karena tepung Azolla terfermentasi yang digunakan sebagai substitusi tepung kedelai mempunyai nilai ekonomis yang rendah sebesar Rp.1000/kg
178
METODEMateri
Materi yang digunakan adalah ikan uji berupa benih ikan Nila yang berukuran 5 – 7 cm dengan berat rata-rata 1,3 gram. Media percobaan yang digunakan berupa air tawar yang berasal dari air sumur. Air ditempatkan pada aquarium percobaan yang berjumlah 16 buah dengan volume masing-masing 20 liter. Kualitas air diusahakan optimal bagi pertumbuhan ikan uji.
Pada penelitian ini akan digunakan empat macam pakan percobaan dengan kandungan protein 25% dengan energi 360 kkal/g pakan.
Protein terdiri dari tepung ikan sebagai protein hewani dan tepung Azolla sebagai bahan substitusi protein tepung kedelai untuk protein nabati. Alat-alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquarium, aerator, selang, serok, batu aerasi, blender, timbangan, tissue, pipet ukur, thermometer, peralatan analisis proksimat, dan peralatan kualitas air.
Bahan-bahan pakan yang akan digunakan sebagai penyusun pakan dianalisis proksimat, komposisi nutrisi bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi nutrisi bahan pakan ikan Nila Gift (Oreochromis, sp)
Bahan Protein (%)
Lemak (%)
Serat Kasar (%)
Abu (%) BETN DE (kkal/g)
Tepung ikan 50,07 4,9 8,68 26,93 9,42 282,06
Tepung kedelai 37,58 18,28 9,56 4,43 30,15 435,44Tepung Azolla 19,54 8,8 23,06 12,48 36,12 307,28Tepung Azolla Fermentasi 20.05 6,42 14,62 12,83 37,05 368.27Bekatul 10,79 10,56 12,86 411.24
Tepung tapioka 3,34 0,55 0,53 0,58 95,00 398,31(Hasil analisis laboratorium Nutrisi Fapetrik 2008 - UMM )
Tabel 2. Formulasi Pakan ikan Nila Gift
BahanPerbandingan Tepung Kedelai dengan Tepung Azolla Fermentasi
P0 = 100 : 0 P1 = 85 : 15 P2 = 70 : 30 P3= 55 : 45
Tepung ikan 22,5 22,5 22,5 22,5Tepung kedelai 29,5 25,07 20,65 16,22Bekatul 22,75 22,75 18,5 18,5Tepung Tapioka 19,25 19,25 13,5 13,5Tepung Azolla Fermentasi 0 4,43 8,85 13,27Minyak kelapa 0 0 0,58 0,61Mineral Mix 2 2 2 2Vitamin Mix 2 2 2 2Cr2O3 0,5 0,5 0,5 0,5
Jumlah 100 100 100 100
Protein (%) 27,83 24,96 23,62 22,93
Energi (kkal/g) 417,59 376,57 381,41 379,28
179 Jurnal Teknik Industri Vol. 12, No. 2 Agustus 2011: 178-184
Tabel 3. Hasil Proksimat Pakan Uji
Kandungan P0 P1 P2 P3
Berat kering (%) 88,57 89,15 88,04 87,47
Protein (%) 24,52 24,75 24,94 24,66Lemak (%) 9,38 7,5 6,65 7,80Serat kasar (%) 4,53 6,24 9,045 13,58Abu (%) 13,24 14,23 12,76 16,72
BETN 36.9 36,43 34,65 24,71
METODEMetode penelitian yang digunakan adalah
metode eksperimen. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan ditentukan/didapatkan dari hasil penyusunan formulasi pakan, masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali.
Variabel uji yang diamati adalah pertumbuhan mutlak (Effendi, 1997), Daya cerna protein (D) Metode Chromix Oxide (Zonneveld, 1991), dan Rasio konversi pakan (Zonneveld, 1991). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
sidik ragam (anova). Apabila hasil analisis menunjukkan perbedaan akan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
HASIL DAN PEMBAHASANPertumbuhan
Pola pertumbuhan ikan nila gift (Oreochiomis sp.) adalah eksponensial. Dengan menggunakan pola ini, maka diperoleh data pertumbuhan mutlak untuk tiap-tiap perlakuan seperti tertera pada Gambar 1.
Grafik Hubungan Perlakuan dengan Pertumbuhan Mutlak
-0.100.200.300.400.500.600.700.800.90
P0 P1 P2 P3
Perlakuan
Pertu
mbu
han
Mutla
k ( g
r )
Gambar 1. Grafik rata-rata pertumbuhan mutlak ikan nila gift tiap-tiap perlakuan selama penelitian.Keterangan:P0 = tepung azolla terfermentasi 0% tepung kedelai 100%P1 = tepung azolla terfermentasi 15% tepung kedelai 85%P2 = tepung azolla terfermentasi 30% tepung kedelai 70%P3 = tepung azolla terfermentasi 45% tepung kedelai 55%
Hasil perhitungan sidik ragam menunjukkan bahwa, perlakuan pemanfaatan tepung azolla terfermentasi sebagai substitusi protein tepung kedelai dalam ransum memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan mutlak pada ikan nila gift (Oreochiomis sp.).
Hasil penelitian di atas menunjukkan adanya perbedaan pada substitusi tepung azolla terfermentasi terhadap tepung kedelai, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tepung azolla terfermentasi dapat digunakan sebagai substitusi tepung kedelai sebesar 15%. Hasil subtitusi tepung
Hany Handajani : Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan 180
Azolla terfermentasi sebesar 15% dengan tepung kedelai 85%, menghasilkan pertumbuhan mutlak lebih tinggi (0,81) dibandingkan dengan pakan yang mengandung tepung kedelai 100% (0,57). Hal ini disebabkan oleh kandungan asam-asam amino dari subtitusi tepung azolla terfermentasi (15%) dan tepung kedelai (85%) lebih tinggi dibandingkan pada pakan yang 100% tepung kedelai. Sehingga apabila pakan yang diberikan mempunyai nilai nutrisi yang baik, maka dapat mempercepat laju pertumbuhan, karena zat tersebut akan dipergunakan untuk menghasilkan energi mengganti sel-sel tubuh yang rusak. Zat-zat nutrisi yang dibutuhkan adalah protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral (Handajani dan Widodo, 2010). Pada penelitian ini jumlah pakan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan ikan yaitu 5 persen dari berat tubuh ikan perhari, disamping itu komposisi pakan yang diberikan terutama pada kandungan protein sudah berada pada kisaran optimum yaitu sebesar ±25 persen. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ahmad dan Tawwab (2010), bahwa umumnya ikan membutuhkan pakan yang kandungan proteinnya 20 – 60 persen sedangkan optimumnya adalah berkisar antara 30 – 60 persen. Dari data tersebut diketahui bahwa perlakuan
yang memberikan laju pertumbuhan mutlak tertinggi dicapai pada pakan dengan tingkat substitusi 15% memiliki rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 0,81, kemudian pakan dengan tingkat substitusi 0% memiliki rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 0,57, selanjutnya pakan dengan tingkat substitusi 30% memiliki rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 0,55, kemudian pakan dengan tingkat substitusi 45% memiliki rata-rata pertumbuhan mutlak sebesar 0,44. Sehingga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembuatan pakan ikan antara lain: kandungan nutrisi suatu bahan pakan harus cukup sesuai dengan kebutuhan ikan, disukai oleh ikan, mudah dicerna dan jika dilihat dari nilai ekonominya pakan yang dihasilkan dari pemanfaatan tepung azolla mempunyai harga yang relatif lebih murah jika dibanding dengan penggunaan tepung kedelai, sehingga dengan pemanfaatan tepung azolla dapat menekan biaya produksi pakan.Rasio Konversi Pakan (Feed Convertion Ratio). Rasio konversi pakan merupakan salah satu parameter efisiensi pemberian pakan. Data perhitungan rasio konversi pakan pada ikan nila gift (Oreochiomis sp.) untuk tiap-tiap perlakuan selama penelitian pada Gambar 2
Grafik Hubungan antara Perlakuan dengan FCR
-1,002,003,004,005,006,00
P0 P1 P2 P3
Perlakuan
FC
R
Gambar 2. Grafik Rata-rata Rasio Konversi Pakan (FCR) Ikan Nila Gift (Oreochiomis sp.) Tiap-tiap Perlakuan Selama Penelitian.
Hasil perhitungan sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemanfaatan tepung azolla terfermentasi sebagai substitusi protein tepung kedelai dalam ransum memberikan pengaruh yang berbeda terhadap rasio konversi pakan pada ikan nila gift (Oreochiomis sp.).
Tingkat efisiensi penggunaan pakan pada ikan nila gift (Oreochiomis sp.) ditentukan oleh pertumbuhan dan jumlah pakan yang diberikan. Keefisienan penggunaan pakan menunjukkan nilai pakan yang dapat merubah menjadi pertambahan pada berat badan ikan (Uktolseja, 2008).
181 Jurnal Teknik Industri Vol. 12, No. 2 Agustus 2011: 178-184
Efisiensi pakan dapat dilihat dari beberapa faktor dimana salah satunya adalah rasio konversi pakan. Nilai rasio konversi pakan pada penelitian ini berdasarkan perhitungan statistik menunjukkan bahwa pemanfaatan tepung azolla sebagai bahan substitusi protein tepung kedelai dalam ransum berpengaruh nyata terhadap rasio konversi pakan. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan dan nilai kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan, selanjutnya juga dipengaruhi oleh adanya tingkat konversi pakan dengan bertambahnya berat badan ikan sehingga semakin tinggi berat badan ikan maka semakin tinggi pula konversi pakan yang dimanfaatkan.
Menurut Hariati (1989) bahwa tingkat efisiensi penggunaan pakan yang terbaik akan dicapai pada nilai perhitungan konversi pakan terendah, dimana pada perlakuan tersebut kondisi kualitas pakan lebih baik dari perlakuan yang lain. Kondisi kualitas pakan yang baik mengakibatkan energi yang diperoleh pada ikan nila gift (Oreochiomis sp.) lebih banyak untuk
pertumbuhan, sehingga ikan nila gift (Oreochiomis sp.) dengan pemberian pakan yang sedikit diharapkan laju pertumbuhan meningkat.
Daya Cerna Ikan Nila GIFT (Oreochiomis sp.)Daya cerna adalah kemampuan untuk
mencerna suatu bahan, sedangkan bahan yang tercerna adalah bagian dari pakan yang tidak diekresikan dalam feses. Nilai nutrisi dari suatu makanan bagi ikan bergantung pada sejauh mana ikan tersebut mampu mencerna makanan tersebut, untuk mengetahui besarnya daya cerna ikan terhadap makanan dapat dilakukan dengan menggunakan Chromix Oxide (Cr2O3) sebagai indikator, selanjutnya feses yang mengandung Cr2O3 dikumpulkan dan dianalisis kandungan zat tersebut. Perbandingan Cr2O3 dalam pakan dan feses dapat memberikan perkiraan daya cerna pakan (Tilman, et. al., 1996). Dari hasil penelitian didapatkan data daya cerna protein yang disajikan pada Gambar 3
Gambar 3. Grafik Daya Cerna Pada Ikan Nila GIFT (Oreochiomis sp.) Tiap-Tiap Perlakuan Selama Penelitian.
Daya cerna protein yang tinggi menunjukkan bahwa pakan tersebut baik dan nutrien pakan dapat dimanfaatkan secara efisien oleh ikan nila GIFT (Oreochiomis sp.) untuk menyusun produksi tubuhnya.
Dari Gambar 3 diatas dapat diketahui bahwa nilai daya cerna portein merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui efesiensi pakan yang diberikan pada ikan. Pada Gambar 6.3 dapat dilihat perlakuan P0 (0% tepung
azolla terfermentasi) daya cernanya 77,50%, kemudian diikuti perlakuan P1 (15% tepung azolla terfermentasi) daya cernanya 67,68%, P2 (30% tepung azolla terfermentasi) daya cernanya 62,19% dan P3 (45% tepung azolla terfermentasi) daya cernanya 55,51%. Hal ini disebabkan oleh protein dalam pakan telah dipecah menjadi asam-asam amino yang lebih mudah diserap oleh ikan dan kebutuhan nutriennya sudah terpenuhi. Indek asam amino esensial maisng-masing pakan telah
Hany Handajani : Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan 182
memenuhi jumlah optimal asam amino esensial yang dibutuhkan ikan nila, sehingga penambahan tepung azolla pada pakan layak digunakan.
Penurunan daya cerna protein ini disebabkan kemampuan ikan mencerna protein pakan hanya sampai pada batas tertentu, salah satu diantaranya adalah kandungan serat kasar pada bahan pakan tersebut. Pada perlakuan P0 memberikan nilai daya cerna protein sebesar 77,50% dengan serat kasar 4,53%, perlakuan P1 memberikan nilai daya cerna protein sebesar 67,68% dengan serat kasar 7,5%, perlakuan P2 memberikan nilai daya cerna protein sebesar 62,19% dengan serat kasar 6,65%, dan perlakuan P3 memberikan nilai daya cerna protein sebesar 55,51% dengan serat kasar 13,58%. Dari keempat perlakuan didapatkan pada perlakuan P3 yang mengandung serat kasar tertinggi sebesar 13,58% dengan tingginya kandungan serat kasar ini pakan akan sulit dicerna oleh ikan sehingga pertumbuhan ikan juga akan lambat. Menurut Handajani (2007b), bahwa penggunaan kadar serat kasar lebih dari 10 persen tidak diperlukan pada pakan ikan-ikan Tilapia dan juga penggunaan serat kasar yang tinggi dalam pakan dapat menurunkan pertumbuhan sebagai akibat dari berkurangnya waktu pengosongan usus dan daya cerna pakan.
Daya cerna protein erat kaitannya dengan komposisi pakan terutama kandungan protein yang ada dalam pakan yang diberikan pada ikan, sebab protein merupakan unsur utama yang dibutuhkan oleh ikan untuk pertumbuhan. Dalam penelitian ini digunakan pakan buatan yang kandungan proteinnya sudah berada dalam kisaran yang dibutuhkan oleh ikan nila GIFT yaitu ± 25%. Seperti yang telah dikemukakan oleh Handajani dan Widodo (2010), bahwa pada umumnya ikan membutuhkan pakan yang kandungan proteinnya 20-25%. Kebutuhan protein berbeda pada setiap spesies ikan, dimana pada ikan kornivora kebutuhan protein lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan herbivora.
Dari hasil analisis sidik ragam diperoleh sidik ragam seperti terlihat pada Tabel 4, sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap daya cerna protein pad aikan nila GIFT (Oreochiomis sp.).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap daya cerna protein ikan nila GIFT (Oreochiomis sp.). Dilihat dari kandungan serat
kasar pada 3 perlakuan (P0, P1, P2) menunjukkan kurang dari 10 persen, karena lebih dari 10 persen akan menyebabkan pertumbuhan menurun terhadap ikan-ikan Tilapia. Pada perlakuan P0 dengan kandungan serat kasar terendah (4,53%) memberikan daya cerna yang tertinggi (77,50%) sedangkan perlakuan P3 dengan kandungan serat kasar tertinggi (13,58%) memberikan daya cerna yang terendah (55,51%).
SIMPULAN
Substitusi tepung azolla terfermentasi sebesar 15% pada pakan ikan dapat meningkatkan produktivitas ikan Nila dengan hasil pertumbuhan mutlak sebesar 0,81 gram, rasio konversi pakan 3,14 dan daya cerna protein sebesar 67,68%. Penggunaan substitusi tepung azolla terfermentasi 15% dalam pakan ikan dapat menekan biaya produksi sebesar 15% jika dibandingkan penggunaan tepung kedelai tanpa substitusi.
DAFTAR PUSTAKAAhmad, M.A and Tawwab, M. 2010. The use of caraway seed meal as a feed additive in fish diets: Growth performance, feed utilization, and whole-body composition of Nile tilapia, Oreochromis niloticus (L.) fingerlings. J.Aquaculture, Vol 314, Issue 1-4, $ april 2010, Pages 110-114 Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Penerbit Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hal.Haetami dan Sastrawibawa, 2005. Evaluasi Kecernaan Tepung Azolla dalam Ransum Ikan Bawal A ir Tawar (Co lossoma macropomum). Jurnal Bionatura, Vol 7, No 3, November 2005 : 225 – 233.Handajani, 2000. Peningkatan kadar protein tanaman Azolla microphylla dengan mikrosimbion Anabaena azollae dalam berbagai konsentrasi N dan P yang berbeda pada media tumbuh. Tesis. Progran Pasca Sarjana IPB. BogorHandajani, 2006. Pemanfaatan Tepung Azolla Sebagai Penyusun Pakan Ikan Terhadap Pertumbuhan dan Daya Cerna Ikan Nila Gift (Oreochiomis sp). Jurnal Penelitian Gamma Vol 1 no 2, 2006Handajani, 2007a. Peningkatan Nilai Nutrisi Tepung Azolla Melalui Fermentasi. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian UMM. MalangHandajani, 2007b. Pengaruh pemberian Bekatul
183 Jurnal Teknik Industri Vol. 12, No. 2 Agustus 2011: 178-184
Terfermentasi dengan Rhizophus sp sebagai Penyusun Pakan Ikan Terhadap Daya Cerna dan Pertumbuhan Ikan Nila Gift. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan UGM (ISBN: 978-979-99781-2-7)Handajani dan Widodo, 2010. Nutrisi Ikan. UMM Press. MalangHariati, A.M. 1989. Makanan Ikan. LUW/UNIBRAW/ Fish Fisheries Project Malang. 99 hal.Lumpkin, T.A and D.L. Plucknet, 1982. Azolla a green manure: Use abd Management in Crop Production. Westview Tropical Agriculture
SeriesTillman, D. Hariartadi, R. Soedomo, P. Soeharto dan D. Soekamto, 1984. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gajah Mada. 422 hal.Uktolseja, J.L.A. 2008. Deposisi Nutrisi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus, Burchell) Sebagai akibat Penambahan L-Karnitin Pada Dua taraf Lisin dan Lemak. Jurnal Penelitian Perikanan, Vol 11, No.2 Desember 2008. Hal:150-155.Zonneveld, N. E.A. Huinsman dan J.H. Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budaya Ikan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 318 hal.
Hany Handajani : Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan 184
PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
AKUAKULTUR BERBASIS TROPHIC LEVEL: PEMANFAATAN
LIMBAH BUDIDAYA IKAN LELE Clarias sp. OLEH IKAN NILA
Oreochromis niloticus MELALUI PENAMBAHAN MOLASE
BIDANG KEGIATAN :
PKM-AI
Diusulkan oleh :
Rezi Hidayat C14052808 2005
M. Fuadi C14051516 2005
Darmawan Setia Budi C14063519 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan : Akuakultur Berbasis Trophic Level: Pemanfaatan Limbah Budidaya Ikan Lele Clarias sp. oleh Ikan Nila Oreochromis niloticus Melalui Penambahan Molase 2. Bidang Kegiatan : (√) PKM-AI 3. Ketua Pelaksana Program
a. Nama Lengkap : Rezi Hidayat b. NIM : C14052808 c. Jurusan : Budidaya Perairan d. Universitas/Institut/Politeknik : Institut Pertanian Bogor e. Alamat Rumah dan No Tel/HP : Wisma Aria Jl. Babakan Raya 3
No. 67B Dramaga Bogor 16680 no.HP 08567830318
f. Alamat Email : [email protected] 4. Anggota Pelaksana Kegiatan/Penulis : 2 Orang 5. Dosen Pendamping
a. Nama Lengkap dan Gelar : Ir. Harton Arfah, M. Si b. NIP : 131953484 c. Alamat Rumah dan No Tel/HP : Jl. Belimbing 5 blok B-17 no 65,
Taman Pagelaran, Ciomas, Bogor d. No. Telp/HP : (0251) 8628755 / 08128061555
Bogor, 22 Maret 2009
Menyetujui, Kepala Departemen Budidaya Perairan Ketua Pelaksana Kegiatan, Dr. Odang Carman Rezi Hidayat NIP. 131 578 847 NRP. C14052808 Wakil Rektor Dosen Pembimbing, Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof. Dr. Ir. H. Yonny Koesmaryono Ir. Harton Arfah, M.Si NIP. 131 473 999 NIP. 131 953 484
AKUAKULTUR BERBASIS TROPHIC LEVEL: PEMANFAATAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN LELE Clarias sp. OLEH IKAN NILA
Oreochromis niloticus MELALUI PENAMBAHAN MOLASE
Rezi Hidayat, M. Fuadi, Darmawan Setia Budi Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor, Bogor
ABSTRAK
Akumulasi limbah perairan budidaya ikan merupakan faktor yang dapat menyebabkan turunnya tingkat produksi terkait dengan kualitas air yang memburuk. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu proses yang dapat menjadi solusi dari permasalahan tersebut. Makalah ini mengangkat tentang pamanfaatan limbah yang dihasilkan pada budidaya ikan lele (Clarias sp.) oleh ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui penambahan molase menggunakan konsep C/N ratio. Beberapa parameter yang diamati yaitu tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan spesifik, laju pertumbuhan harian, dan efisiensi pakan. Kegiatan dilakukan dengan penyiapan wadah budidaya, penebaran ikan, pemberian pakan dan molase, pengukuran kualitas air, sampling pertumbuhan, dan pemanenan. Dari percobaan, dihasilkan tingkat kelangsungan hidup ikan lele dan ikan nila yang dipelihara selama 46 hari masing-masing sebesar 94,625 % dan 98 %. Laju pertumbuhan spesifik ikan lele dan ikan nila tertinggi masing-masing sebesar 7,16 % dan 3,79% terjadi pada minggu ke-4. Sedangkan laju pertumbuhan harian ikan lele dan ikan nila tertinggi masing-masing sebesar 1,77 g/hari pada minggu ke-6 dan 0.39 g/hari pada minggu ke-4. Efisiensi pakan ikan lele adalah sebesar 85,8 %. Kata Kunci : ikan lele, ikan nila, molase, C/N ratio
PENDAHULUAN
Budidaya lele saat ini banyak dilakukan di kolam, baik kolam tanah, kolam tembok atau kolam yang dindingnya tembok dan dasarnya tanah dengan sistem intensif. Intensifikasi dicirikan dengan adanya peningkatan kepadatan ikan dan pakan tambahan. Masalah yang kemudian selalu muncul dalam budidaya secara intensif yaitu terjadinya penurunan kualitas air pada media budidaya yang disebabkan meningkatnya produk metabolit. Pada budidaya dengan sistem air yang tergenang, peningkatan kepadatan ikan dan pakan tambahan merupakan masalah yang membatasi produksi budidaya. Hal ini dapat menyebabkan menurunya pertumbuhan ikan (Helper dan Pruginin, 1990)
Meningkatnya hasil buangan metabolisme ikan akhirnya dapat meningkatkan amoniak dalam air. Amoniak merupakan salah satu bentuk N-anorganik yang berbahaya bagi ikan. Menurut Boyd (1990), keberadaan amoniak mempengaruhi pertumbuhan karena mereduksi masukan oksigen akibat rusaknya insang, menambah energi untuk detoksifikasi, menggangu osmeregulasi dan mengakibatkan kerusakan fisik pada jaringan. Oleh sebab itu, pada budidaya yang
tidak dilakukan pergantian air, perlu dilakukan upaya untuk menangani limbah nitrogen ini, sehingga limbah tidak menjadi toksik bahkan bermanfaat dan menghasilkan sistem dan teknolgi budidaya yang lebih efisien, terutama dalam menciptakan sistem yang bersifat zero waste.
Rasio C/N merupakan salah satu cara untuk perbaikan sistem budidaya intensif dan penerapan teknologi yang murah serta aplikatif dalam pengelolaan limbah budidaya. Penerapan teknologi pada rasio C/N berupa bioteknologi karena mengaktifkan kerja mikroba heteretrof. Hubungan rasio C/N dengan mekanisme kerja bakteri yaitu bakteri memperoleh makanan melalui substrat karbon dan nitrogen dengan perbandingan tertentu. Dengan demikian, bakteri dapat bekerja dengan optimal untuk mengubah N-anorganik yang toksik menjadi N-anorganik yang tidak toksik sehingga kualitas air dapat dipertahankan dan biomas bakteri berguna sebagai sumber protein bagi ikan. Mekanisme inilah yang berperan pada peningkatan efisiensi pakan. Secara umum, rasio C/N yang dikehendaki dari suatu sistem perairan adalah rasio C/N lebih dari 15 (Avnimelech et al., 1994).
Penerapan sistem ini dilakukan dengan memelihara organisme yang memiliki trophic level lebih rendah dari ikan yang dibudidayakan. Dalam hal ini, ikan nila yang diyakini termasuk organisme pemakan bakteri dan plankton yang berasal dari limbah budidaya. Sumber nutrien utama bagi ikan bertropik level rendah dalam sistem ini adalah green alga dan mikroba atau bakteri. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung keberadaan bakteri sebagai nutrien alternatif dalam sistem ini yaitu penambahan karbon dalam media budidaya.
Molase adalah salah satu sumber karbon yang dapat digunakan untuk mempercepat penurunan konsentarasi N-anorganik di dalam air. Molase mengandung senyawa nitrogen, trace element dan kandungan gula yang cukup tinggi terutama sukrosa sekitar 34% dan kandungan total karbon sekitar 37%. Molase berbentuk cair bewarna coklat seperti kecap dengan aroma yang khas. (Suastuti,1998 dalam Najjamuddin, 2008). Oleh karena itu, penambahan molase ke dalam media budidaya diharapkan mampu menurunkan amoniak dan peningkatan pertumbuhan ikan sehingga dapat meningkatkan produksi.
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 23 Oktober 2008 hingga 25 Nopember 2008, bertempat di Laboratorium Lapangan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan adalah waring, patok bambu, tali, ember, penggaris, timbangan, seser, pH meter, DO meter, tabung erlenmeyer. Bahan yang digunakan adalah benih ikan lele dengan bobot rata-rata 5 gram (rata-rata panjang 3 inch per ekor) sebanyak 1600 ekor, benih ikan nila dengan bobot rata-rata 6 gram per ekor sebanyak 600 ekor, molase, kotoran puyuh, TSP, kapur dan pakan ikan.
Metode Kerja
Pemasangan Jaring
Waring yang digunakan adalah waring yang berukuran 5 m x 5 m x 2 m. Waring dipasang di bagian tengah kolam dengan cara diikatkan pada patok yang dipasang pada empat sisi kolam. Ikatan tali pada patok harus dipastikan kuat agar tali tidak mudah terlepas.
Penebaran Ikan
Sebelum ikan di tebar, kolam diberi kapur dengan dosis 100 g/m2 yang bertujuan untuk meningkatkan pH di tanah dan dilakukan pemberian pupuk urea 15 g/m2, TSP 10 g/m2, pupuk kandang berupa kotoran puyuh 500 g/m2. Pemberian pupuk bertujuan untuk menumbuhkan pakan alami. Setelah itu benih di tebar. Benih ikan yang di tebar pertama kali adalah ikan lele di dalam waring setelah itu ikan nila di luar waring. Sebelum ditebar ikan harus diaklimatisasi agar ikan tidak mengalami stres karena perbedaan kondisi lingkungan diperairan.
Pemberian Pakan dan Molase
Pemberian pakan diberikan sebanyak tiga kali sehari yaitu pada pagi hari, siang hari dan sore hari. Pemberian pakan didasarkan pada nilai FR (feeding rate) dari biomassa ikan lele tiap minggunya. Nilai FR yang digunakan selama pemeliharaan berturut-turut pada adalah sebesar 12%, 10%, 7%, 6%, 6%, dan 5%. Sedangkan pemberian molase diberikan sekali sehari dengan cara disebar secara merata pada media pemeliharaan ikan nila. Molase yang diberikan sebanyak 0,44 dari jumlah pakan harian, berdasarkan perhitungan C/N ratio (lampiran).
Pengukuran Kualitas Air dan Penghitungan Plankton
Kualitas air yang dihitung adalah suhu, DO, pH, alkalinitas, kesadahan dan kadar amoniak. Penghitungan suhu, DO dan PH menggunakan DO meter. Penghitungan plankton bertujuan untuk mengetahui kepadatan plankton dalam perairan. Plankton diambil menggunakan plankton net. Kemudian, plankton ditempatkan pada wadah dan diambil untuk dihitung jumlahnya di atas haemocytometer.
Sampling Pertumbuhan
Pengukuran pertumbuhan ikan meliputi pengukuran panjang dan bobot. Pengukuran panjang dan bobot ikan dilakukan seminggu sekali dengan sampel sebanyak 30 ekor ikan. Hasil pengukuran bobot ikan digunakan dalam estimasi banyaknya pakan yang akan diberikan (FR).
Pemanenan
Pemanenan dilakukan dengan cara memindahkan wadah pemeliharaan lele ke pinggir kolam. Ikan diambil dengan menggunakan jaring kemudian dipindahkan ke dalam tandon kemudian sortir untuk dijual.
Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan berbagai parameter yaitu: - Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate/SR)
Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR) digunakan Persamaan:
%100×=
NoNtSR
Keterangan: SR : Kelangsungan hidup/Survival Rate (%) Nt : Jumlah benih ikan akhir/panen (ekor)
No : Jumlah benih ikan awaL/penebaran (ekor). (Sumber: Effendi, 2004) - Laju Pertumbuhan Spesifik (Spesific Growth Rate) Untuk mengetahui laju pertumbuhan spesifik digunakan persamaan :
%1001 x
WoWtSGR t ⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡−=
Keterangan : SGR : Laju pertumbuhan spesifik (Spesific Growth Rate) (%/hari) Wt : Bobot rata-rata ikan pada saat akhir (gram) W0 : Bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram) t : Masa pemeliharaan (hari) (Sumber: Effendi, 2004) - Laju Pertumbuhan Harian
Untuk mengetahui laju pertumbuhan harian digunakan persamaan :
GR = t
WoWt −
Ket : GR : Laju pertumbuhan harian (Growth Rate) Wt : Bobot ikan saat pengukuran t waktu Wo : Bobot ikan saat pengukuran di awal t : Waktu pengukuran saat sampling (Sumber: Effendi, 2004) - Efisiensi Pakan Rumus dari Efisiensi Pakan (EP) adalah sebagai berikut:
EP = (g/Kg)Dimakan yangPakan Banyak
(g/Kg)Tubuh Bobot n Pertambaha
(Sumber: Lovell, 1989)
HASIL DAN PEMBAHASAN
9192
9394
9596
9798
99100
101
0 1 2 3 4 5 6
Waktu Sampling (minggu)
SR (%
)
SR ikanlele
SR ikannila
(a)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
1 2 3 4 5 6
SGR(
%)
waktu sampling (minggu)
SGR ikan lele
SGR ikan nila
00.20.40.60.8
11.21.41.61.8
2
1 2 3 4 5 6
GR(g
r/ha
ri)
waktu sampling (minggu/ per 7 hari)
GR ikan lele
GR ikan nila
(b) (c) Gambar 1. (a) Grafik Tingkat Kelangsungan (SR), (b) Grafik Laju Pertumbuhan
Spesifik, dan (c) Grafik Laju Pertumbuhan Harian Ikan Lele dan ikan Nila
Budidaya ikan berbasis pellet atau yang lebih dikenal dengan budidaya ikan intensif merupakan kegiatan usaha yang efisien secara mikro tetapi inefisien secara makro, terutama apabila ditinjau dari segi dampaknya terhadap lingkungan. Sistem budidaya seperti ini akan menghasilkan total beban limbah pakan yang lebih banyak daripada yang teretensi menjadi daging ikan. Limbah budidaya yang dimaksud merupakan akumulasi dari residu organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan, ekskresi amoniak, feces dan partikel-partikel pakan (Avnimelech et al., 1994). Hal tersebut akan berdampak pada rendahnya efisiensi pakan yang dihasilkan. Oleh karena itu, kelimpahan bakteri sebagai single cell protein perlu ditingkatkan agar dapat mengurangi limbah N dengan cara memanipulasi lingkungan melalui C/N rasio. Selanjutnya, ikan filter feeder seperti ikan nila diharapkan mampu memanfaatkan single cell protein sebagai sumber pakan alternatif sehingga efisinsi pakan untuk usaha budidaya bisa dioptimalkan.
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa kelangsungan hidup ikan lele dan ikan nila yang dipelihara selama 46 hari masing-masing sebesar 94,625 % dan 98 %. Dari setiap sampling terjadi penurunan jumlah ikan. Penurunan drastis terjadi pada minggu pertama untuk ikan nila sedangkan pada ikan lele terjadi penurunan di minggu kedua. Hal ini disebabkan terjadinya stres pada ikan yang selanjutnya
ikan menjadi rentan terhadap penyakit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sulistyowati (2002) dalam Fitriah (2004), bahwa stres dianggap sebagai faktor utama penyebab penyakit karena stres akan mengganggu mekanisme sistem imun yaitu mekanisme fisiologis ikan untuk bertahan dalam kondisi lingkungan yang menguntungkan, sehingga dapat mengurangi resistensi ikan. Di samping itu, penurunan SR pada ikan lele disebabkan terjadinya kanibalisme.
Laju pertumbuhan spesifik (SGR) pada ikan lele dan ikan nila berfluktuatif pada setiap minggunya. SGR ikan lele pada awal pemeliharaan (minggu ke-1) sebesar 2 % dengan nilai tertinggi pada minggu ke-4 sebesar 7,16 % dan nilai terendah pada minggu ke-5 sebesar 6,76 %. SGR ikan nila pada awal pemeliharaan (minggu ke-1) sebesar 2,27 % dengan nilai tertinggi pada minggu ke-4 sebesar 3,79% dan nilai terendah pada minggu ke-3 sebesar 1,18%. Ikan lele pada minggu ke-4 telah mencapai titik Critical Standing Crop (CSC) dimana ketika pemeliharaan dilanjutkan pertumbuhan akan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan pakan yang diberikan telah digunakan untuk pertahanan hidupnya (maintenance) bukan lagi untuk pertumbuhan. Sedangkan ikan nila mengalami fluktuatif nilai SGR karena diduga jumlah molase yang diberikan tidak tersebar secara merata sehingga nitrogen yang berasal dari amoniak limbah ikan lele tidak semuanya terikat oleh karbon dari molase. Ketidaksempurnaan karbon dalam mengikat nitrogen tersebut akan mempengaruhi kerja bakteri heterotrof di media pemeliharaan, dimana sebagian besar bakteri heterotrof memanfaatkan karbon yang berasal dari substrat molase.
Laju pertumbuhan harian (GR) pada ikan lele terus meningkat dan pada ikan nila berfluktuatif pada setiap minggunya. GR ikan lele pada awal pemeliharaan (minggu ke-1) sebesar 0,09g/hari dengan nilai tertinggi pada minggu ke-6 sebesar 1,77 g/hari. GR ikan nila pada awal pemeliharaan (minggu ke-1) sebesar 0,14 g/hari dengan nilai tertinggi pada minggu ke-4 sebesar 0.39g/hari dan nilai terendah pada minggu ke-3 sebesar 0,08 g/hari. Laju pertumbuhan harian (GR) ikan lele meningkat karena pakan yang diberikan memenuhi pertumbuhan yang optimal, sehingga GR selalu meningkat setiap minggunya. Sedangkan pada ikan nila tidak dilakukan pemberian pakan namun tetap terjadi pertumbuhan. Faktor utama penyebab pertumbuhan adalah ketersediaan bakteri dan tingkat konsumsi ikan nila. Ketersediaan bakteri ini tidak terlepas dari penambahan molase. Nilai efisiensi pemberian pakan menunjukkan jumlah pakan yang menghasilkan energi dan dapat dimanfaatkan oleh ikan untuk kebutuhan kelangsungan hidup atau maintenance dan sisanya untuk pertumbuhan (Watanabe, 2002). Tingkat efisiensi pakan ikan lele sebesar 85,8% sedangkan tingkat efisiensi pakan untuk ikan nila tidak ada karena menggunakan pakan alami dan tidak diberi pakan tambahan dari luar. Hal ini diduga adanya peranan tambahan dari mikroba yang tumbuh akibat penambahan molase ke dalam media pemeliharaan seperti yang dinyatakan oleh Avnimelech (1994), bahwa bakteri dan mikroorganisme lainnya memanfaatkan karbohidrat sebagai pakan untuk menghasilkan energi dan sumber karbon dan bersama dengan N di air memproduksi protein sel baru. Sehingga adanya penambahan molase ke dalam media pemeliharaan menyebabkan tumbuhnya pakan alami bagi ikan nila dan ikan lele. Tingkat efisiensi pakan berhubungan dengan feed convertion ratio (FCR) dimana saat tingkat efisiensi pakan tinggi, FCR yang dihasilkan rendah.
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data FCR ikan lele sebesar 1,17. Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang diberikan dimanfaatkan oleh ikan lele secara optimal untuk mendukung pertumbuhan terutama dalam produksi daging. Selain itu, faktor kualitas air yang mendukung (khususnya amonia dan nitrit) juga sangat berpengaruh terhadap FCR yang diperoleh. Kualitas air yang mendukung ini disebabkan adanya penambahan molase sehingga amonia yang dihasilkan ikan lele akan diikat oleh karbon dari molase dengan bantuan bakteri heterotrof.
Secara umum kondisi kualitas air yang meliputi parameter suhu, kandungan oksigen terlarut, pH, amonia, alkalinitas dan kesadahan masih berada pada kisaran normal selama masa pemeliharaan dan masih mendukung terjadinya pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena kerja dari bakteri heterotrof yang berperan penting untuk menjaga keseimbangan kualitas air (Sugita et al, 1985 dalam Najamuddin, 2008). KESIMPULAN
Ikan nila dalam sistem budidaya berbasis trophic level dapat memanfaatkan limbah budidaya ikan lele melalui penambahan molase pada media pemeliharaan. Hasil yang diperoleh yaitu tingkat kelangsungan hidup, efisiensi pakan, dan FCR pada ikan lele masing-masing sebesar 94,625 %, 85,8 %, dan 1,17. Sedangkan pada ikan nila tingkat kelangsungan hidup sebesar 98 %. DAFTAR PUSTAKA
Avnimiech, Y., M. Kochva and Shaker. 1994. Development of Controlled Intensif Aquaculture Systems with A Limited Water Exchange and Adjusted Carbon to Nitrogen Ratio. Bamidgeh. 46 (3): 1999-131.
Boyd, C. E. 1990. Water Quality Management in Aquaculture and Fisheries
Science. Elsevier Scientific Publishing Company Amsterdam. 3125p.
Effendi, Irzal. 2004. Dasar-Dasar Akuakultur. Jakarta: Penebar Swadaya. Fitriah, Husnul. 2004. Pengaruh Penambahan Dosis Karbon Berbeda pada Media
Pemeliharaan terhadap Produksi Benih Lele Dumbo (Clarias sp.) Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Hepher, B. And Prugnin. Y. 1990. Nutrition of Pond Fishes. Cambrige. University
Press. 388 pp. Lovell, T. 1989. Nutrition and Feeding of Fish. An A VI Book. Published by Van
Nonstrand Reinhold. New York. 260pp.
Najamuddin, Musyawarah. 2008. Pengaruh Penambahan Dosis Karbon yang Berbeda terhadap Produksi Benih Ikan Patin (Pangasius sp.) pada Sistem Pendederan Intensif. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Watanabe, T. 2002. Effect of dietary protein levels and feeding period before
spawning on chemical components of eggs produced by red sea bream broodstock. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish. 51 (9) : 1501-1509.
Lampiran-Lampiran
(a) (b)
Gambar 2. (a). Proses Pemanenan dan (b) Ikan Lele Hasil Panen
Tabel 1. Nilai SR, GR, SGR, Efisiensi Pakan dan FCR dari ikan lele dan ikan nila
Sampling ke-
SR lele (%)
SR nila(%)
GR lele
(g/hari)
GR nila
(g/hari)
SGR lele (%)
SGR nila(%)
Efisiensi Pakan
ikan lele
FCR ikan lele
0 100 100 - - - - 1 98.8125 98.125 0.09 0.14 2.00 2.27 2 95.5 98.125 0.54 0.21 6.80 2.94 3 95.3125 98.125 0.75 0.08 7.00 1.18 4 95.125 98.125 1.06 0.39 7.16 3.79 5 94.75 98.125 1.27 0.28 6.76 2.78 6 94.625 98 1.77 0.30 6.80 2.70
85,8% 1,17
Tabel 2. Kelimpahan Fitoplankton
Sampling Jumlah 5 1,03 x 1016 individu 6 1,06 x 1016 individu
Tabel 3. Data Kualitas Air
pH Suhu DO (mg/l) Nitrit Amonia Alkalinitas 6.39 27.1 5.09 0.053 0.08 202.582 6.39 27.1 5.09 0.053 0.08 202.582 6.39 27.5 1.4 0.047 0.12 55.72 7.7 30.4 4.25 0.816 0.066 169.15
6.98 29.6 5.34 0.061 0.617 212.532 6.27 27.65 3.35 0.054 0.029 133.33 6.12 29 4.85 0.054 0.029 99.5
Perhitungan C/N ratio:
- Estimasi FCR pakan = 1,4 EP = 1/1,4 = 0,71 = 71% - Pakan pellet = 28% protein N dalam protein = 6,25
N dalam pellet = 0,28/6,25 = 0,0448 - Mollase mengandung 37% C - C/N bakteri = 5/1 - Daya konversi C oleh bakteri = 40%
M = Pt x B x Np x C/N bakteri x 1/dc x 1/% C mollase Keterangan: M = jumlah mollase yang dibutuhkan (gr)
Pt = protein pakan pellet yang terbuang (%) B = jumlah pakan harian (gr) Np = Nitrogen dalam pellet (%) dc = daya konversi karbon oleh bakteri (%) M = Pt x B x Np x C/N bakteri x 1/dc x 1/% C mollase = (1-0,71) x B x 0,045 x 5 x 1/0,4 x 1/0,37 = 0,44 B Jadi, mollase diberikan sebanyak 0,44 kali dari jumlah pakan harian.
PEMBERIAN TEPUNG LIMBAH UDANG YANG DIFERMENTASI DALAM RANSUM PAKAN BUATAN TERHADAP LAJU
PERTUMBUHAN, RASIO KONVERSI PAKAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP BENIH
IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
Muhammad Hadi, Agustono dan Yudi Cahyoko, 2009. 14 hal.
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
tepung limbah udang yang difermentasi terhadap pertumbuhan ikan nila
(Oreochromis niloicus). Perlakuan pada penelitian ini adalah pemberian tepung
limbah udang yang difermentasi dalam pakan buatan yaitu 0%, 2,5%, 5%, 7,5%,
10%. Tiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Komposisi pakan di susun secara isoprotein. Bobot ikan rata-rata 6,1 - 6,8 g. Ikan dipelihara dengan kepadatan 3
ekor per 20 liter air dan ikan dipelihara selama 40 hari. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Peubah yang diamati adalah pertambahan bobot tubuh, rasio konversi pakan dan kelangsungan hidup. Analisis data menggunakan analisis ragam
Analysis of Variance (ANOVA) untuk mempengaruhi pengaruh perlakuan dan apabila terdapat perbedaan, maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan tertinggi dicapai
pada pakan yang mengandung tepung limbah udang yang difermentasi sebesar
10%. Rasio konversi pakan terbaik dicapai pada perlakuan yang mengandung
tepung limbah udang yang difermentasi sebesar 10%.
Kata kunci : Ikan Nila, Tepung limbah udang yang difermentasi, laju
pertumbuhan
The Given Fermentation the Prawn Waste Flour in Artificial feed on Growth, feed Convertion Ratio and Survival Rate of Black
Nile Tilapia (Oreochromis niloticus).
Muhammad Hadi, Agustono dan Yudi Cahyoko, 2009. 14 P.
Abstract
The aim of this research was to find out optimum percentage of given
fermentation the prawn waste flour in artificial feed on growth of black nile
tilapia. The treatment of this research was giving fermentation the prawn waste
flour in artificial feed i.e. 0%, 2,5%, 5%, 7,5%, 10%. Each treatment was repeated
4 times. Feed compositon was made of isoprotein. Fishes weight were about 6.1 –
6.8 g. Fishes were cultured with stocking rate 3 fish per 20 liter water and the
fishes were reared for 40 days.
Feed amount that consumed by fishes was measured every day to calculate feed conversion ratio. The calculation of fishes amount was done in beginning and
end of research to count survival rate of fishes. Water quality was measured on
beginning, middle and end of research. The design of this research was
Completely Randomized Design. Data analysis used Analysis of Variance (ANOVA) to know the effect of the treatment and that difference among the
treatment used Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). The result of the research showed that the highest growrth rate were attained
on feed containing 10% of fermented prawn waste flour. The best Feed Convertio Ratio were attained on feed containing 10% of fermented prawn waste flour.
Key word : Nile Tilapia, Fermentation the Prawn Waste Flour, Growth
Pendahuluan
Latar Belakang
Budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai prospek yang bagus
untuk dikembangkan di Indonesia, karena budidayanya dapat dilakukan di tambak
dan Karamba Jaring Apung (KJA) di perairan umum. Ikan nila (Oreochromis
nilolicus) mudah berkembang biak, pertumbuhannya cepat, ukuran badan relatif
besar, tahan terhadap penyakit, mudah beradaptasi dengan lingkungan, harganya
relatif murah dan mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi sebagai sumber protein
hewani. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan omnivore, artinya
dapat memakan tumbuhan maupun hewan (Wardoyo, 2005). Kendala yang
dihadapi pembudidaya ikan saat ini adalah tingginya harga pakan komersil yang
mengakibatkan keuntungan yang diperoleh pembudidaya ikan rendah.
Penyusunan ransum ikan sebaiknya digunakan protein yang berasal dari
sumber nabati dan hewani secara bersama-sama untuk mencapai keseimbangan
nutrisi dengan harga relatif murah (Mudjiman, 2002). Pakan yang diberikan pada
ikan hendaknya bermutu baik sesuai dengan kebutuhan ikan, tersedia setiap saat,
dapat menjamin kesehatan dan harganya murah (Amri, 2006). Salah satu bahan
pakan alternatif sebagai sumber protein hewani adalah limbah udang yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ikan.
Widjaja (1993) dalam Poultry Indonesia (2007) menyatakan salah satu
pilihan sumber protein adalah tepung limbah udang. Tepung limbah udang
merupakan limbah industri pengolahan udang yang terdiri dari kepala dan kulit
udang. Hasil analisis berdasarkan bahan kering bahwa tepung limbah udang
mengandung 45,29% protein kasar, 17,59% serat kasar, 6,62% lemak, 18,65%
abu, 13,16 BETN (Poultry Indonesia, 2007). Tepung limbah udang yang
digunakan dalam ransum pakan buatan hanya sebesar 10% dan bila dipakai
sebagai pengganti tepung ikan, maka tepung limbah udang mempunyai
kelemahan, yaitu serat kasar tinggi dan mempunyai khitin.
Berdasarkan hasil analisis ini terlihat bahwa kandungan protein kasar dari
tepung limbah udang cukup baik dijadikan sebagai bahan pakan ikan. Tingginya
kandungan serat kasar tepung limbah udang menjadi kendala dalam
penggunaannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan tepung limbah
udang dengan cara fermentasi. Al-Arif dan Setyono (2005) menyatakan
fermentasi bisa digunakan untuk mengolah bahan pakan yang sulit dicerna
menjadi lebih mudah dicerna.
Perumusan Masalah
Apakah pemberian tepung limbah udang yang difermentasi dalam ransum
pakan buatan akan memberikan pertumbuhan yang berbeda pada ikan nila
(Oreochromis niloicus)?
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian
tepung limbah udang yang difermentasi terhadap pertumbuhan ikan nila
(Oreochromis niloicus).
Kegunaan
Kegunaan penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah bagi ilmuwan,
mahasiswa dan para pembudidaya tentang kegunaan tepung limbah udang yang
difermentasi terhadap pertumbuhan ikan nila.
Metodologi Penelitian
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan selama 18 Pebruari 2009– 29 Maret 2009 di
Laboratorium Pendidikan Perikanan Fakultas Perikanan dan Kelautan dan
pembuatan pakan dilakukan di Laboratorium Makanan Ternak Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah bak plastik dengan tinggi 20
cm dan berdiameter 40 cm sebanyak 20 buah, selang aerasi dan batu aerasi, selang
sifon, timbangan, ayakan, penggiling tepung, seser, panci pengukus, seser,
timbangan dan penggaris, kertas lakmus, termometer, beker glass, ammonia test-
kit, botol winkler, pipet, labu erlenmeyer (volume 250-300 ml) serta oven.
Bahan Penelitian
Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Ikan uji
yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih ikan nila (Oreochromis
niloticus) dengan berat rata – rata 6 gram sebanyak seratus ekor yang diperoleh
dari petani ikan Desa Jambangan, Surabaya, tepung limbah udang yang
difermentasi, tepung ikan, tepung jagung, tepung kedelai, mineral mix, vitamin
mix, tepung terigu, tetes tebu dan tepung bekicot.
Metode Penelitian
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metoda eksperimen, menggunakan
Rancangan acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan
tersebut adalah perlakuan A adalah ransum mengandung 0% tepung limbah udang
difermentasi. Perlakuan B adalah ransum mengandung 2,5% tepung limbah udang
difermentasi. Pelakuan C adalah ransum mengandung 5% tepung limbah udang
difermentasi. Perlakuan D adalah ransum mengandung 7,5% tepung limbah udang
difermentasi. Perlakuan E adalah ransum mengandung 10% tepung limbah udang
difermentasi.
Prosedur Kerja
Pembuatan Pakan
Bahan pakan yang akan digunakan, dianalisis proksimat untuk mengetahui
kandungan nutrisinya, Kemudian, ditentukan komposisi pakan antar perlakuan
yang dihitung dengan metode uji coba. Pakan buatan kering sebelum digunakan
dianalisis proksimat untuk mengetahui nilai nutrisinya. Pakan berupa pellet
ukurannya disesuaikan dengan bukaan mulut ikan dengan cara ditumbuk terlebih
dahulu.
Persiapan Ikan Uji.
Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila (Oreochromis
niloticus) yang berbobot rata-rata 6 gram dengan panjang ± 6-7 cm. Ikan nila yang
digunakan dalam penelitian ini adalah ikan yang sehat, tidak terserang penyakit
dan homogen. Setiap bak diisi 3 benih ikan nila yang diadaptasikan terlebih
dahulu.
Persiapan Bak dan Air Media Pemeliharaan.
Bak plastik yang digunakan berukuran tinggi 20 cm dan berdiameter 40 cm.
Bak yang digunakan sebelumnya dibersihkan dan disterilisasi terlebih dahulu agar
terhindar dari penyakit. Sebelum digunakan, bak penelitian dicuci menggunakan
sabun detergen dan dibilas sampai bersih selanjutnya bak dikeringkan.
Media pemeliharaan adalah air tawar yang sebelumnya diaerasi selama
satu hari. Air tersebut ditempatkan di dalam bak plastik berbentuk silinder yang
berjumlah 20 buah dan dilengkapi dengan aerator. Masing-masing bak diisi satu
ekor / 6,5 liter (Arie. 2007). Suhu air media pemeliharaan dipertahankan berkisar
antara 25-27oC dan pH 6-8.
Pemeliharaan Benih Ikan Nila
Selama pemeliharaan air diganti setiap hari sebanyak 50 % agar kualitas air
tetap baik. Penyifonan kotoran sisa pakan dan feses dilakukan setiap hari. Setiap
sepuluh hari sekali air diganti total bersamaan dengan waktu penimbangan ikan.
Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian meliputi oksigen, suhu, pH
dan ammonia yang diukur pada awal, pertengahan dan akhir penelitian.
Cara Penimbangan Ikan
Sebelum ditimbang ikan dipuasakan dahulu selama satu hari, setelah itu
ikan ditimbang dengan cara mengambil wadah kecil yang berbentuk tabung yang
mempunyai tinggi 9 cm dan diameter 10 cm yang telah diberi air tawar dan
ditimbang terlebih dahulu, setelah itu baru ikan dimasukan ke dalam wadah dan
ditimbang lagi. Hasil berat ikan yang didapat yaitu berat timbangan akhir
dikurangi dengan berat timbangan awal.
Parameter Penelitian
Parameter uji utama pada penelitian ini adalah pertumbuhan ikan nila, rasio
konversi pakan dan kelangsungan hidup ikan nila. Pertumbuhan yang diukur
adalah berat ikan. Penghitungan laju pertumbuhan harian dirumuskan oleh
Huismann (1976) sebagai berikut :
Wt = Wo (1 + 0,01 α)t
Keterangan : Wt = Bobot rata-rata individu ikan pada waktu t (g)
Wo = Bobot rata-rata individu ikan pada waktu t = 0 (g)
α = Laju pertumbuhan harian individu (%)
t = Waktu (hari)
Rasio konversi pakan dihitung berdasarkan pendapat Djarijah (1995)
sebagai berikut :
FCR = F______
(Wt + D) – W0
Keterangan : FCR = Rasio konversi pakan
F = Jumlah pakan yang dikonsumsi (g)
Wt = Berat akhir penelitian (g)
Wo = Berat awal penelitian (g)
D = Bobot ikan yang mati selama penelitian (g)
Kelangsungan hidup dapat dirumuskan (Mudjiman, 2002) sebagai berikut:
SR = Nt x 100%
No
Keterangan: SR = Kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian (ekor)
No = Jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian (ekor)
Parameter uji penunjang pada penelitian ini adalah kualitas air yaitu: suhu,
derajat keasaman (pH), oksigen terlarut dan ammonia (NH3).
Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) untuk
mengetahui pengaruh perlakuan. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan dengan derajat kepercayaan
95% (Rochiman, 1989).
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Laju Pertumbuhan Harian
Data biomassa dan bobot rata – rata ikan nila terdapat pada Lampiran 1.
Laju pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Laju Pertumbuhan harian rata – rata (%) ikan nila pada setiap perlakuan
selama penelitian 40 hari.
Perlakuan Laju Pertumbuhan Harian ± SD Transformasi √Y ± SD
A 0,56 ± 0,02 0,75d ± 0,01
B 0,66 ± 0,01 0,82c± 0,01
C 0,71 ± 0,04 0,84bc
± 0,03
D 0,75 ± 0,03 0,87b ± 0,02
E 1,05 ± 0,04 1,03a ± 0,02
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan Perbedaan (P<0.05%)
Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa bobot ikan tertinggi dicapai pada
pakan yang mengandung tepung limbah udang yang difermentasi sebesar 10%
dan berturut-turut diikuti oleh pakan yang mengandung tepung limbah udang yang
difermentasi 7,5%, 5%, 2,5% dan 0%. Rata-rata pertumbuhan semakin meningkat
dengan bertambahnya waktu pemeliharaan. Laju pertumbuhan tertinggi didapat
pada perlakuan E (1,05%) dan laju pertumbuhan terendah didapat pada perlakuan
A (0,56%).
Rasio Konversi Pakan
Rata-rata rasio konversi pakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Rasio Konversi Pakan rata – rata ikan nila pada setiap perlakuan
selama penelitian 40 hari
.
Perlakuan Rasio konversi pakan ± SD
A 8,46a ± 0,29
B 7,63b± 0,52
C 6,84c ± 0,46
D 6,56c ± 0,54
E 4,53d ± 0,11
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan Perbedaan (P<0.05%)
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan persentase tepung limbah
udang yang difermentasi dan diberikan dalam pakan sebesar 0%, 2,5%, 5%, 7,5%
dan 10% menghasilkan rasio konversi pakan yang berbeda (P<0,05). Rasio
konversi pakan tertinggi didapat pada perlakuan A (8,46) dan rasio konversi
pakan terendah pada perlakuan E (4,53). Semakin tinggi rasio konversi pakan
menunjukkan bahwa pakan yang dikonsumsi memiliki kualitas kurang bagus dan
efisiensi pakan jelek.
Kelangsungan Hidup Data kelangsungan hidup dapat dilihat pada Tabel 3. Data kelangsungan
hidup selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil uji statistik (Lampiran 8)
menunjukkan bahwa persentase tepung limbah udang yang difermentasi dalam
pakan sebesar 0%, 2,5%, 5%, 7,5% dan 10% menghasilkan kelangsungan hidup
yang sama (P>0.05).
Tabel 3. Kelangsungan hidup rata – rata (%) ikan nila pada setiap perlakuan selama penelitian 40 hari
Perlakuan Kelangsungan Hidup ± SD Transformasi arcsin√Y ± SD
A 67 ± 0 54.74a ± 0
B 75 ± 16,5 63.1a± 16,72
C 67 ± 0 54.74a ± 0
D 67 ± 0 54.74a ± 0
E 67 ± 0 54.74a ± 0
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan Perbedaan (P>0.05%)
Kualitas Air
Data nilai kisaran kualitas air selama penelitian selama 40 hari dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Nilai kisaran kualitas air selama penelitian.
Parameter Kualitas Air Nilai Kisaran
Suhu
pH
Oksigen Terlarut
Ammonia
27°– 28° C
7 – 7,5
5 – 6 mg/L
0,006 – 0,02 mg/L
Pembahasan
Pertambahan bobot atau panjang tubuh pada waktu tertentu disebut
pertumbuhan mutlak (Effendi, 1997). Rata-rata pertumbuhan ikan pada penelitian
ini mengalami peningktan seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan.
Laju pertumbuhan berkaitan erat dengan pertambahan bobot yang berasal dari
penggunaan protein, lemak, karbohidrat dari pakan yang dikonsumsi ikan
(Bardach et al., 1972). Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
tertinggi didapat pada perlakuan pakan yang mengandung tepung limbah udang
yang difermentasi sebanyak 10%. Kualitas tepung ikan secara umum lebih baik
dari tepung limbah udang, namun tepung ikan menghasilkan laju pertumbuhan
yang rendah. Tepung ikan yang dipakai diduga mempunyai kualitas protein dan
komposisi asam amino rendah yang disebabkan oleh cara penyimpanan, cara
pembuatan maupun adanya subalan.
Peningkatan laju pertumbuhan ini diduga karena tepung limbah udang yang
difermentasi mengambil peranan asam amino yang dikandung oleh tepung ikan.
Protein dalam pakan yang diberikan dapat dicerna dengan baik oleh ikan serta
kandungan asam amino dalam pakan tersebut dapat menunjang dalam
pertumbuhan ikan nila.
Asam amino esesnsial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan adalah arginin,
lisin dan histidin. Arginin merupakan asam amino yang sangat diperlukan bagi
pertumbuhan optimal ikan muda. Di samping berperan dalam sintesia protein,
arginin juga berperan dalam biosintesis urea. Histidin merupakan asam amino
esensial bagi pertumbuhan larva dan anak-anak ikan. Histidin diperlukan untuk
menjaga keseimbangan nitrogen dalam tubuh.
Tacon (1986) dalam Haetami dkk. (2006) menjelaskan bahwa serat kasar
bukan merupakan zat gizi bagi benih ikan karena tidak dapat dicerna oleh benih
ikan. Toleransi serat kasar benih ikan nila hanya empat persen Sedangkan
menurut Mudjiman (1994), batasan serat yang terkandung dalam pakan ikan
adalah delapan persen. Serat kasar yang terkandung dalam limbah udang diduga
terdegradasi karena proses fermentasi. Fermentasi yang dilakukan oleh bakteri,
mengakibatkan perubahan kimia dari suatu senyawa yang bersifat kompleks
menjadi senyawa yang sederhana, sehingga dapat memberikan efek positif
(Haetami, 2006). Serat kasar yang terkandung dalam pakan perlakuan E masih
bisa ditolerir.
Rasio konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang
dikonsumsi dengan pertambahan berat badan yang dihasilkan.
Rasio konversi pakan dalam penelitian ini secara statistik menunjukkan
perbedaan yang nyata. Rasio konversi pakan pada perlakuan E (10%) adalah 4,53,
sedangkan pada perlakuan A (0%) adalah 8,46. Semakin tinggi rasio konversi
pakan menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan semakin tidak efektif dan
efisien. Nilai konversi terbaik dicapai pada perlakuan E (10%) karena pakan dapat
menghasilkan pertumbuhan tertinggi.
Pakan yang mengandung 10% tepung limbah udang yang difermentasi
dapat menghasilkan pertumbuhan tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa tepung
limbah udang yang difermentasi dapat dimanfaatkan oleh ikan nila. Pertumbuhan
tertinggi akan menghasilkan rasio konversi pakan yang lebih baik dibandingkan
perlakuan yang lain. Kandungan khitin yang terkandung dalm tepung limbah
udang yang difermentasi diduga dapat dipecah menjadi bentuk yang sederhana
sehingga dapat dicerna. Shiau dan Yu (1999) dalam Jatomea et al. (2002)
menjelaskan bahwa khitin mempunyai dampak yang kurang baik terhadap
pertumbuhan dan rasio konversi pakan pada ikan nila. Fox et al. (1999) dalam
Jatomea et al. (2002) menjelaskan bahwa dampak dari khitin dapat dihindari
dengan proses fermentasi yang dapat memecah khitin
Poesponegoro (1975) dalam Amri (2007) menyatakan hasil fermentasi
diantaranya akan mempunyai nilai gizi yang tinggi, yaitu mengubah bahan
makanan yang mengandung protein, lemak dan karbohidrat yang sulit dicerna
menjadi mudah dicerna dan menghasilkan aroma dan flavor yang khas.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan persentase pemberian
tepung limbah udang yang difermentasi dalam pakan menghasilkan kelangsungan
hidup yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada perlakuan E (10%) sebesar 67%
dan perlakuan A (0%) sebesar 67%. Kematian ikan yang terjadi selama penelitian
diduga adanya beberapa faktor diantaranya penangganan ikan yang kurang hati-
hati. Pengambilan dan penimbangan ikan, pemindahan ke bak-bak percobaan pada
awal penelitian yang kurang hati-hati dapat menyebabakan ikan berontak dan
terluka menyebabkan bakteri masuk sehingga dapat menimbulkan kematian.
Subagyo dkk (1998) menyatakan bahwa kemungkinan penyebab rendahnya
kelangsungan hidup ikan karena ikan dalam keadaan lemah sebagai akibat
seringnya dilakukan pengambilan contoh (sampling).
Selama penelitian, suhu air berkisar antara 27o-28
oC. Pada kisaran suhu
tersebut, benih ikan nila dapat hidup dengan baik nafsu makannya tinggi. Santoso
(1996) menyatakan bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan ikan nila sebesar 25-30o
C. Selama penelitian berlangsung pH
air berkisar antara 7-7,5. Lovell (1989) menyatakan bahwa ikan nila mampu
mentolelir pH air antara 5-11.
Oksigen terlarut dalam media penelitian mempengaruhi tingkat
kelangsungan hidup benih. Konsentrasi oksigen terlarut dalam penelitian ini
berkisar antara 5-6 mg/L. Boyd (1990) memberikan kisaran oksigen yang baik
bagi kehidupan ikan nila yaitu lebih dari 5 mg/L. Konsentrasi ammonia selama
penelitian berkisar antara 0,006-0,02 mg/L.
Simpulan dan Saran Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
a) Dosis tepung limbah udang yang difermentasi sebanyak 10 % yang
diberikan dalam ransum pakan buatan dapat meningkatkan laju
pertumbuhan pada pemeliharaan benih ikan nila.
b) Pemberian tepung limbah udang yang difermentasi pada ransum pakan
buatan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap rasio konversi
pakan.
c) Pemberian tepung limbah udang yang difermentasi pada ransum pakan
buatan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap tingkat
kelangsungan hidup.
Saran Perlu adanya penelitian lanjutan untuk menentukan batas pemakaian
tepung limbah udang yang difermentasi dalam pakan untuk mengetahui
pertumbuhan ikan nila.
Daftar Pustaka
Al-Arif, M. A dan H. Setyono. 2005. Pengolahan Bahan Pakan Ternak.
Universitas Airlangga. hal. 31.
Amri, M. 2006. Pengaruh Penggunaan Bungkil Inti Sawit Dalam Pakan Terhadap Performa Ikan Mas (Cyprinus Carpio L). Universitas Bung Hatta. hal. 1-5.
Amri, M. 2007. Pengaruh Bungkil Inti Sawit Dalam Pakan Terhadap
Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, ( 9 ) : 71-76.
Arie, U. 2007. Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. Penebar Swadaya. Jakarta.
hal. 7-10.
Bardach, J. E., J. H. Ryther and W. C. McLarney. 1972. Aquaculture. Willey Inter-Science. New York. p 98-105.
Boyd, C. E. 1990. Water Quality in Pond for Aquaculture. Alabama Agricultural
Experiment Station Auburn University. Birmingham Publishing Co.
Alabama. p 75-88.
Djarijah, A. S. 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta. 86 hal.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
hal. 92-105
Haetami, K., I. Susangka dan I. Maulina. 2006. Suplementasi Asam Amino
Pada Pelet yang Mengandung Silase Ampas Tahu Dan Implikasinya
Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus). Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran.
Bandung. 33 hal.
Huismann, E.A. 1976. Food Conversion Efficiencies at Maintenance and
Production Level for Carp, Ciprinus carpio L. and Rainbow Trout, Salmo gairdneri Richardson. Aquaculture, 9 : 259 – 273.
Jatomea, M. P., M. A. O. Novoa., J. L. A. Figueroa., G. M. Hall and K. Shirai. 2002. Feasibility of Fishmeal Replecment by Shrimp Head Silage Protein
Hydrolysate in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Diets. Journal of The Science of Food and Agriculture, 82 : 753 – 759.
Lovell, T. 1989. Nutrition & Feeding of Fish. Published by Van National
Reinhold. NewYork. p 77-79.
Mudjiman, A. 1994. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. hal. 98-120.
Mudjiman, A. 2002. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. hal. 100 - 151.
Poultry Indonesia. 2007. Limbah Udang Pengganti Tepung Ikan. http://www.poutryindonesia.com/ 5 / 09 /2008. 1 hal.
Rochiman, K. 1989. Dasar Perancangan Percobaan dan Rancangan Acak
Lengkap. Universitas Airlangga. Surabaya. hal. 53-104
Santoso. 1996. Budidaya Nila. Kanisius. Yogyakarta. hal. 21.
Subagyo, S. Asih, Idris, dan Z, Jangkari. 1992. Pengujian Hormon Dalam Tablet
Pengalihan Kelamin Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Buletin Penilitian Perikanan Darat. Volume 11 No.2, Juni 1992. Badan dan Pengembangan
Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Balai Penelitian Perikanan Air Tawar. Bogor. hal. 65-73.
Suyanto, 2002. Nila. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 1- 6.
r
Jurnal lktiologi Indonesia, Volunte 3, Nomor l, Juni 2003
PENGARUH PEMBERIAN SELULOSA DALAM PAKAN TERHADAPKONDISI BIOLOGIS BENIH IKAN GURAMI (Osphronemus gouramiLac)
[Effect of sellulose in dietary on the biological conditionof giant gouramy fry (Osphronemus goarami Lac)l
Zulfa Yandest, Ridwan Affandi2 dan Ing Mokogintazt Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Hazairin, Bengkulu
2 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor
ABSTRAK
Percobaan dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari pemberian selulosa dalam pakan terhadap kondisi biologis yaitu aktivitas endoenzim(protease) di usus dan lambung (APU dan APL), intestine somatik indek (lSI), hepato somatik indek (HSI), rasio panjang usus/panjangtubuh (PU/PT), rasio berat larnbung/berat tubuh (BL/BT), laju pertumbuhan harian (DGR) dan kornposisi kimia tubuh benih ikan gurami.Dua macam pakan yang digunakan yaitu yang mengandung protein dan energi yang relatif sama yaitu berturut-turut 4l .8842.25Yo dan3084.9-3l28.9kkal/kgpakan,dengankandunganselulosayangdigunakandalampakanmasing-masingadalah2,6%odan19,3Vo. lktli, dipelihara dalam akuarium dengan menggunakan sistem resirkulasi. Masing-masing akuarium diisi ikan sebanyak 50 ekor dengan bobot awal0.6-0.8gram. Selamapemeliharaanikandiberipakansampai kenyang. Ikandiberipakan tigakalisehari yaitupukul 8pagi, l2siangdan4sore. Setelah 60 hari pemeliharaan (pada akhir percobaan) dilakukan evaluasi pengaruh selulosa terhadap kondisi biologis benih ikangurami yaitu APU dan APL, ISI, HSI, PU/PT, BL/BT, DGR dan komposisi kimia tubuh.
Hasil percobaan menunjukan bahwa penambahan selulosa sebesar 19,37o dalam pakan memberi pengaruh terhadap APU, APL, ISl,HSI, PU/PT, dan BL/BT (P<0.05), namun tidak meningkatkan laju perhrmbuhan benih ikan gurami (P>0.05).
Kata kunci: Selulosa, benih ikan Gurami Osphronemus gouramiLac.
ABSTRACT
An experiment was conducted to evaluate the effect of different dietary level of cellulose on the biological condition such as proteaseactivity in intestine (APU) and stomach (APL), intestine somatic index (ISI), intestine-body length ratio (PU/PT), the chemical compositionof giant gourilny fry stomach-body weigh ratio (BL/BT), and growth rate (DGR), and of giant gouramy fry. Two isonitrogenous (41.9-42.2Yo crude protein) and isocaloric (3084.9-3128.9 kcal digestible energy/kg of feed) practical diets contained either 2.6Vo and 19.3Vocellulose/kg of feed respectively, were fed to giant gouramy to giant gouramy fry. Types were fed on the experimental diet at satiation, threetimes daily for 60 days- Fish fry were placed in each aquarium (60 x 40 x 30 cm in size).
The result showed that feed containing 19.3% ofcellulose affected in proease activity in intestine (APU) and stomach (APL), intestinesomatic index (ISI), intestine-body length ratio (PU/PT), stomach-body rveigh ratio (BL/BT) (p<0.05) but it did not affect the specificgrowth rate (DGR) (p>0 05).
Key words: Sellulose, giant gouramy fry Osphronemus gouramiLac.
PENDAHULUANIkan Gurami dianggap sebagai ikan yang
pertumbuhannya lambat, namun karena banyak
yang menyukainya, maka ikan ini banyak
dibudidayakan.
Upaya untuk memacu laju pertumbuhan ikan
ini telah banyak dilakukan melalui berbagai
pendekatan antara lain melalui pelacakan potensi
fumbuh (Rachmawati, 1999), optimalisasi suhu
media budidaya (Hermanto, 2000) dan melalui
pelacakan kebutuhan nutrisi (Mokoginta dkk, 1994).
Walaupun demikian, penelitian-penelitian yang
lebih mendalam masih perlu dilakukan agar
informasi yang diperoleh dapat dijadikan landasan
untuk memacu pertumbuhan ikan ini sehingga masa
pemeliharaan ikan dari benih hingga ukuran
konsumsi relatif sama dengan ikan-ikan konsumsi
lainnya.
Pada kondisi lingkungan yang optimal
pertumbuhan ikan ditentukan oleh jumlah dan mutu
pakan yang dikonsumsi. Pakan yang dikonsumsi
untuk dapat digunakan dalam proses biosintesis
yang menghasilkan peftumbuhan harus melalui
proses pencemaan dan penyerapan pada saluran
pencernaan terlebih dahulu. Dengan demikian
kondisi saluran pencernaan memegang peranan
27
-
Yandes, et al - Pengaruh Pemberian Selulosa dalam Pakan Terhadap Kondisi Biologis Benih Ikan Gurami
penting dalam mengubah pakan (senyawa komplek)
menjadi nutrien (senyawa sederhana) sebagai bahan
baku dalam proses biosintesis tersebut.
Adanya fakta bahwa proses pencernaan dan
penyerapan berkaitan dengan panjang usus dan
panjang usus pada ikan berkaitan dengan kondisi
pakan (khususnya kandungan komponen yang sulit
dicema) maka telah dilakukan penelitian dengan
tujuan untuk mengetahui pengaruh selulosa terhadap
kondisi biologis benih ikan gurami, khususnya
pertambahan rasio panjang usus/panjang tubuh dan
aktivitas enzim proteasenya. Dengan bertambah
panjangnya usus dan meningkatnya aktivitas
protease ikan gurami dibandingkan dengan kondisi
normal, diharapkan jumlah pakan yang dapat
dicerna dan diserap menjadi lebih banyak, sehingga
dapat meningkatkan efisiensi pakan dan laju
pertumbuhan.
METODOLOGIPenelitian dilaksanakan dari bulan April
hingga bulan Juli 2002, beftempat di Laboratorium
Fisiologi Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
berupa eksperimental dengan menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari dua
taraf perlakuan yaitu penambahan 0%o selulosa dan
15 0/o selulosa dalam pakan dengan 9 ulangan.
Pemeliharaan Ikan dan Pengumpulan Data
Ikan uji yang digunakan adalah benih ikan
gurami berumur 42 hari dengan ukuran bobot 0.6 -0.8 gram, diperoleh dari hasil penetasan telur yang
berasal dari satu ekor induk yang dipelihara selama
42 hari. Selama pemeliharaan diberi pakan alami
(artemia dan cacing sutra). Padat penebaran yang
digunakan adalah 50 ekor/akuarium.
Wadah penelitian berupa akuarium ( 60 x 40 x
30 cm 3) yang diisi air sebanyak 60 liter. Setiap hari
dilakukan pergantian air sebanyak + 70oh dafi
volume air dan setiap tiga hari dilakukan pergantian
air secara total. Penyiponan dilakukan tiga kali
setiap hari. Air diaerasi selama penelitian. Tandon
air pada sistim resirkulasi dilengkapi dengan heater.
Suhu air selama penelitian adalah 29 - 30oC
(optimal untuk perfumbuhan).
Dua macam pakan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pakan buatan iso protein dan
iso energi (kering) dengan kadar protein 40%o dan
rasio energi protein 7.5 k:kal DE/gram protein.
Komposisi pakan percobaan disajikan pada Tabel l.lkan dipelihara selama 60 hari, Setiap 15 hari
sekali dilakukan pengukuran bobot dan panjang
ikan, Selama pemeliharaan ikan diberi pakan tiga
kali sehari yaitu pukul 8 pagi, 12 siang dan 4 sore,
ikan diberi makan sampai kenyang, Setelah 60 hari
pemeliharaan (pada akhir penelitian) dilakukan
pengukuran panjang dan bobot tubuh, panjang usus,
bobot usus, bobot lambung, bobot hati, aktivitas
endoenzim (protease) pada lambung, usus dan
komposisi kimiawi tubuh.
Tabel 1. Komposisi pakan percobaan
Bahan pakan (%o)Selulosa dalam pakan (7o)
2,6 19,3
Tepung udang
Tepung ikan
Dekstrin
Minyak jagung
Minyak ikan
Vitamin mix
Mineral mixKolin klorida
Carboxy methylcellulose
Selulosa
Komposisi Proksimat(% bobot kering)
Protein
Lemak
Abu
Serat kasar
BETN
DE (klial/kg pakan)
C/P (kkal/gprotein)
Keterangan: BETN : bahan ekstrak tanpa nitrogen DE :digestible energy yang diperhitungkan dari:I g protein: 3,5 kcal; I g lemak: 8,1 kcal;1 g karbohidrat = 2,5 kcal G\fRC, 1983)
25,s0
30,42
25,85
3,37
5,06
1,50
5,80
0,50
2,0
0,0
41,88
10,05
13,23
2,64
32,20
3084,9
7,37
25,50
30,42
4,06
6,09
9.13
1,50
5,80
0,50
2,0
15,0
42,25
18,26
tJ,J/
19,28
6.84
3128,9
7,41
28
t-
Analisis KimiaAnalisis aktivitas endoenzim (protease)
dilakukan pada segmen lambung dan usus ikan uji,
Prosedur analisis dilakukan menurut Fengxie (1988)
dalam Wijayanti (1993). Sedangkan analisis
proksimat dilakukan terhadap bahan pakan, pakan
percobaan, dan sampel tubuh ikan pada akhir
penelitian. Analisis dilakukan menurut Takeuchi
(1e88).
Analisis StatistikUntuk mengevaluasi pengaruh pemberian
selulosa dalam pakan dilakukan uji F dengan
parameter yang diuji adalah rasio panjang usus
terhadap panjang tubuh ikan, Intestino Somatik
Indeks (bobot usus per bobot tubuh), Hepato
Somatik Indeks (bobot hati per bobot tubuh), bobot
Jurnal lktiologi Indonesia, l/olume 3, Nomor ] , Juni 2003
lambung per bobot tubuh, aktivitas enzim protease
dan laju pertumbuhan harian.
HASIL DAN PEMBAHASANData mengenai kondisi biologis benih ikan
gurami setelah 60 hari pemeliharaan dapat dilihatpada Tabel 2. Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui
bahwa pemberian 19,3 % selulosa dalam pakan
benih ikan gurami menghasilkan nilai PU/PT, ISI,
HSI, BL/BT, APL dan APU lebih tinggi dari
perlakuan 2,6 o/o selulosa (p<0,05) namun DGR
lebih rendah dari perlakuan 2,6 % selulosa
(p>0,05), Sedangkan kelangsungan hidup (SR) ikan
selama percobaan adalah sama (100%), Tabel 3
memperlihatkan komposisi kimiawi (proksimat)
tubuh ikan pada akhir percobaan.
Tabel2. Rasio panjang usus terhadap panjang tubuh (PU/PT), bobot usus per bobot tubuh (Intestino SomatikIndeks : ISI), bobot hati per bobot tubuh (Hepato Somatik Indeks : HSI), bobot lambung per bobottubuh (BL/BT), Aktivitas protease pada lambung (APL) dan pada usus (APU), laju pertumbuhanharian (Daily Growth Rate : DGR) dan survival rate (SR) dari setiap percobaan masing-masingperlakuan.
Parameter Selulosa Dalam Pakan (7o)
19,32,6
PU/PT
ISI
HSI
BLlBT
APL
APU
DGR
sR (%)
1,24 I 0,01b
1 ,86 + 0, l2b
1,56 r 0,08b
2,00 + 0,06b
1,24 + 0,25b
I ,05 + 0,1 8b
5,71 + 0,14^
100
1,47 + 0,01^
2,50 + 0,20^
I ,84 r 0, 15"
2,38 + 0,07"
2,27 + 0,24^
2,31 + 0,3 1"
5,50 + 0,08b
100
Keterangan: Huruf yang berbeda menyatakan ada perbedaan antar perlakuan (p < 0,05)
Tabel 3, Komposisi kimiawi (proksimat) tubuh rata-rata ikan uji pada akhir percobaan.
Proksimat tubuh (%) Perlakuan2,6% 19,3%
Protein
Lemak
Abu
Serat Kasar
BETN
55,48
27,65
12,61
0,12
4,14
56,79
29,03
12,49
0,l9I,55
29
I
Yandes, et al - Pengaruh Pemberian Selulosa dalam Pakan Terhadap Kondisi Biologis Benih lkan Gurami
Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa kadar
protein dan lemak tubuh ikan pada akhir percobaan
pada perlakuan 19,3oh selulosa sedikit lebih tinggi
dibandingkan perlakuan 2,6 o/o selulosa. Sedangkan
untuk kadar abu relatif sama. Sebaran bobot
individu ikan dari perlakuan 2,6%o dan 19,3o
selulosa dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar
tersebut memperlihatkan bahwa frekuensi sebaran
bobot individu ikan tertinggi pada akhir percobaan
untuk perlakuan 2,60/o dicapai pada kisaran bobot
yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan 19,3%
selulosa.
PU/PT, ISI, HSI, BL/BT, APL dan APU
perlakuan 19,3o2 selulosa lebih tinggi dibandingkan
perlakuan 2,60 selulosa (Tabel 2), Adanya
kandungan l9,3Vo selulosa dalam pakan yang
merupakan bahan yang yang sulit dicerna telah
menyebabkan terjadinya respon berupa adaptasi
biologis atau penyesuaian alat pencernaan (usus dan
lambung) terhadap pakan yang mengandung serat
tinggi (selulosa) tersebut dengan cara memper-
panjang usus dan peningkatan bobot lambung.
Peningkatan panjang usus tersebut menyebabkan
bobot usus juga meningkat (ISI meningkat).
Opuszyushi dan Shireman (1995) menyatakan
bahwa adanya perbedaan perbandingan panjang
usus dengan panjang tubuh dari tiga golongan ikan
(herbivor, omnivor dan karnivor) mencerminkan
penyesuaian dari usus terhadap tingkat kompleksitas
pakan yang dimakan. Effendie (1997) menyatakan
bahwa keadaan usus yang panjang pada ikan
herbivor berfungsi sebagai penahan pakan dalam
jumlah yang besar dalam waktu yang lama.
Selanjutnya dikatakan bahwa panjang usus sebagai
gambaran dari spesialisasi penyesuaian di dalam
ekologi kebiasaan pakan. Affandi, (1993)juga telah
meneliti rasio panjang usus dengan panjang tubuh
ikan gurami dari berbagai ukuran. Hasil pene-
litiannya menunjukkan bahwa saluran pencernaan
ikan gurami masih mengalami perkembangan
walaupun strukturnya telah sempurna (memiliki
segmen-segmen yang lengkap). Dengan demikian
selama pertumbuhannya, ikan gurami mengalami
perubahan dalam hal perbandingan panjang usus
terhadap panjang tubuh, dari karakter ikan karnivor
ke karakter ikan omnivor atau herbivor. Selanjutnya
dikatakan bahwa adanya perubahan nilai PU/PT
pada ikan gurami yang berhubungan dengan
perubahan ukuran dan perubahan komposisi pakan
juga sesuai dengan hasil penelitian Kapoor et al,
(1e75).
35
30
25
itoaI115
L
10
5
0
"nd oo/usf ".?t ...P
'.t| "o?t ""f ^ordft ^-tBobot (g)
Gambar 1. Histogram sebaran bobot individu ikan uji (g) pada masing-masing perlakuan Q.6o/o dan 19.3% selulosa) pada akhir percobaan.
30
-
Selanjutnya bertarnbah panjangnya usus
tersebut diduga telah meningkatkan jumlah sel
enterosite, meningkatkan lama kontak pakan dengan
enzim dan meningkatkan jumlah sel sekretori.
Peningkatan jumlah sel enterosite akan menyebab-
kan jumlah nutrien yang diserap meningkat
sehingga HSI meningkat. Peningkatan HSI inimenunjukkan bahwa dengan meningkatnya jumlah
nutrien yang diserap menyebabkan jumlah nutrien
yang terakumulasi pada hati meningkat. Pening-
katan lama kontak pakan dengan enzim akan
menyebabkan peningkatan proses pencernaan
sehingga ketersediaan zat tercema akan meningkat.
Sedangkan peningkatan jumlah sel sekretori akan
menyebabkan jumlah produksi enzim meningkat
sehingga APL dan APU meningkat. Hepher (1988)
menyatakan kecemaan pakan dipengaruhi oleh;
keberadaan enzim dalam saluran pencemaan,
tingkat aktivitas enzim-enzim pencernaan dan
lamanya pakan yang dimakan bereaksi dengan
enzim pencernaan.
Wijayanti (1993) telah melakukan penelitian
tentang aktivitas protease pada benih ikan gurami.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa aktivitas
protease (AP) meningkat dengan bertambahnya
umur benih ikan gurami (perbedaan umur mempe-
ngaruhi AP). Dikatakan juga bahwa hal tersebut
sesuai dengan hasil penelitian Lauff, M. dan R.
Hofer (1984). Suryanti (2002) juga melakukan
penelitian tentang aktivitas enzim pencernaan pada
larva ikan baung. Hasil penelitiannya juga
menunjukkan bahwa aktivitas protease dan lipase
meningkat sesuai perkembangan umur ikan. Arlia(1994) dalam Suryanti (2002) menyatakan bahwa
peningkatan aktivitas enzim ada kaitannya dengan
perkembangan alat pencernaan. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa peningkatan aktivitas enzim
ini disebabkan oleh semakin sempurnanya alat
pencernaan ikan. Hal ini erat kaitannya dengan
jumlah sel sekretori (sel penghasil enzim). Dari hasil
penelitian tersebut mungkin dapat juga dipakai
sebagai dasar bahwa dengan bertambah panjangnya
usus akan meningkatkan jumlah sel sekretori
Jurnal lktiologi Indonesia, Volume 3, Nomor I, Juni 2003
sehingga produksi enzim meningkat seperti yang
telah dikemukakan di atas.
Laju pertumbuhan harian pada perlakuan
19,3% selulosa lebih rendah dibandingkan perla-
kuan 2,6oh selulosa (Tabel 2). Begitu juga dengan
kisaran bobot individu ikan pada akhir penelitian
memperlihatkan bahwa pertumbuhan ikan perlaku-
an 19,3Yo selulosa lebih rendah dibanding perlakuan
2,6Yo selulosa (Gambar l). Hal tersebut terjadikarena adanya respon adaptasi usus terhadap pakan
yang mengandung 19,3%o selulosa dengan jalan
memperpanjang usus yang membutuhkan energi
ekstra. Hal ini menyebabkan kebutuhan energi untuk
perlakuan 19,3o selulosa lebih banyak dariperlakuan 2,6%o selulosa. Sedangkan pakan yang
diberikan untuk kedua perlakuan kandungan protein
dan energinya relatif sama. Dengan demikian
meskipun dengan bertambah panjangnya usus akan
meningkatkan jumlah nutrien yang diserap tetapi
karena kebutuhan energi untuk metabolisme standar
(sda) meningkat maka jumlah nutrien yang
dikatabolisme juga akan meningkat sehingga
pertumbuhan akan terhambat yang terlihat dari
rendahnya pertumbuhan pada ikan yang diberipakan mengandung 19,3% selulosa.
Pertumbuhan terjadi apabila ada kelebihan
energi setelah energi yang tersedia digunakan untukmetabolisme standar, energi untuk pencernaan dan
energi untuk aktivitas. Page dan Andrews (1973)
menyatakan, apabila terjadi kekurangan energi,
protein tubuh akan dibakar untuk menghasilkan
energi bebas. Sebaliknya apabila kandungan energi
relatif tinggi maka tingkat konsumsi pakan akan
menurun, sehingga intake nutrien lainnya seperti
protein akan turun. Hal ini akan mengakibatkan
pertumbuhan terhambat. Effendie (1997) menyata-
kan bahwa perhrmbuhan terjadi apabila ada
kelebihan input energi dan asam amino (protein)
berasal dari pakan. Untuk dapat tumbuh ikan
memerlukan energi. Sebelum digunakan untukperh.rn-rbuhan, energi terlebih dahulu digunakan
untuk memenuhi seluruh altivitas dan pemeliharaan
tubuh melalui proses metabolisme (NRC, 1993).
3l
Yantles'etal.PengaruhPemberianSelulosadalamPakanTerhadapKondisiBiologisBenihlkanGurami
Pemberian pakan yang mengandung 19,30lo
selulosa masih dapat ditolerir oleh benih ikan
Gurami, hal ini terlihat dari tidak adanya ikan yang
mati selama penelitian (SR 100 o/o) dan pada kadar
tersebut (pertumbuhan tidak begitu berbeda dengan
perlakuan 2,60 ). Hal ini berarti bahwa pemberian
pakan yang mengandung selulosa tinggi asalkan
kandungan protein dan energinyatetap tinggi maka
selulosa tersebut tidak akan terlalu berpengaruh
terhadap penurunan pertumbuhan. Dengan demikian
melalui perancangan pakan yang tepat, memacu
pemanjangan usus dapat dilakukan tanpa menggang-
gu pertumbuhan. Dengan bertambah panjangnya
usus dan meningkatnya aktivitas enzim protease
ikan gurami dibandingkan kondisi nonnal, diharap-
kan pada pembesaran ikan gurami selanjutnya yakni
dengan pemberian pakan yang optimal (sesuai
kebutuhan), diharapkan jumlah pakan yang dapat
dicerna dan diserap menjadi lebih banyak sehingga
dapat meningkatkan efisiensi pakan dan laju
pertumbuhan.
KESIMPULANDAN SARAN
Pemberian pakan dengan kandungan selulosa
l9,3Yo dapat meningkatkan rasio panjang usus/
panjang tubuh (PU/PT), intestin somatik indek (ISI)'
hepato somatik indek (HSI), berat lambun! betat
tubuh (BL/BT) dan aktivitas protease di lambung
(APL) dan di usus (APU) benih ikan Gurami'
Namun pemberian pakan dengan kandungan
selulosa l9,3Yo menyebabkan laju pertumbuhan
lebih rendah.
Untuk mengetahui dampak lanjut dari
pemanjangan melalui pemberian pakan berselulosa
tinggi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut'
DAFTARPUSTAKAAffandi, R. 1993. Studi kebiasaan makanan ikan
gurami Osphronemus gouramy' J' Ilmu-ilmu
Perairan dan Perikanan Indonesia 1 (2) : 56-
57.
Effendie, M. I. 1997. Biologi perikanan' Penerbit
Yayasan Pustaka Nusatama' Yogyakarta' 163
hal.
Hennanto, 2000. Optimalisasi suhu media pada
pemeliharan benih ikan gurami (Osphronemus
gouramy Lac.). Tesis. Program Pascasarjana'
IPB. Bogor. 63 Hal.
Hepher, B. 1988. Nutrition of pond fishes'
Cambridge University Press. New York' 388
pp.
Kapoor, B. G., Smith, T dan I. A. Verighina.l9T5'The alimentary canal and digestion in teleosts,
Adv. Mar. Biol., 13 : 110-211.
Lauff, M and Hofer. 1984
Mokoginta, I; M. A. Suprayudi dan M. Setiawati'
1994. Kebutuhan nutrisi ikan gurami
(Osphronemus gzuramY Lac.) untuk
pertumbuhan dan reproduksi. Laporan
penelitian hibah bersaing lI/2 perguruan tinggi
tahun anggaran 199411995- Direktorat
Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada
Masyasarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi
Depdikbud. Fakultas Perikanan. Institut
Pertanian Bogor.
National Research Council. 1993. Nutrient
requirements of hsh. National Academic ofScience, Washington, D.C. 115 PP.
Opuszynski, K dan J. V. Shireman. 1995'
Herbivorous fihes. Culture and use for weed
management. Departmen of Fisheries and
Aquatic Sciences Institut of Food Agricultural
Sciences, Universityof Florida' CRC Press'
223 pp.
Page, J. W. and J. W. Andrews. 1973. Interactions
of dietary level of protein and energy on
channel catfish. Jour' Nutr. 103: 1339-1346"
Rachmawaty, lgg9. Karateristik fenotipik dan
potensi tumbuh ikan gurame Osphronemus
goramy Lacepede. Tesis. Program Pascasarjan
lnstitut Pertanian Bogor.
Suryanti, 2002. Perkembangan aktivitas enzim
pencernaan dan hubungannya dengan
kemampuan pemanfaatan pakan buatan pada
ikan baung (Mystus nemurus C.V.)' Tesis'
Program Pascasarjan Institut Pertanian Bogor'
46 Hal.
Takeuchi, T. 1988. Laboratory work chemical
evaluation of dietary nutrient. p- 179-232'In:T'
Watanabe. ed. Fish nutrition and mariculture'
Kanagawa Fisheries Training Centre; Japan
International Cooperation Agency, Tokyo'
32
Jurnal Iktiologi Indonesia, Volume 3, Nomor l, Juni 2003
Wijayanti, 1993. Studi aktivitas protease pada benih buatan. Skripsi. Fakultas Perikanan, Institutikan gurame (Osphronemus gouramy Lac) Pertanian Bogor. 47 Hal.dengan perbedaan awal pemberian pakan
33
PENGARUH TINGKAT SUBSTITUSI TEPUNG IKAN DENGAN TEPUNG MAGGOT TERHADAP RETENSI DAN EFISIENSI PEMANFAATAN
NUTRISI PADA TUBUH IKAN BANDENG (Chanos chanos Forsskål)
Haryati, Edison Saade, Agus Pranata
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung
maggot sebagai sumber protein yang dapat menghasilkan efisiensi dan retensi nutrisi yang baik untuk ikan bandeng. Dengan dapat dimanfaatkannya tepung maggot sebagai pengganti tepung ikan, diharapkan harga pakan dapat lebih murah sehingga akan mengurangi biaya produksi dalam kegiatan budidaya.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang akan dicobakan yaitu tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot sebanyak 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%, sehingga diperoleh lima belas unit percobaan. Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah retensi protein, retensi lemak, retensi energi dan efisiensi pemanfaatan pakan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis ragam.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pada ikan Bandeng C. chanos Forsskal yang diberi pakan berbagai tingkat substitust tepung ikan dengan tepung maggot memberikan pengaruh yang sama terhadap retensi protein, retensi lemak, retensi energi dan efisiensi pemanfaatan pakan, sehingga dapat disimulkan bahwa tepung maggot dapat menggantikan peranan tepung ikan hingga 100 % dalam pembuatan pakan untuk budidaya ikan Bandeng C. chanos Forsskal. Kata kunci : Maggot, Efisiensi Pemanfaatan Pakan, Retensi Nutrisi
ABSTRACT: Effect of substitution level of fish meal with maggot meal on the Efficiency and Retention of Nutrients in the Body of Fish Milkfish (Chanos chanos Forsskål).
This study aims to determine the extent of substitution of fish meal with maggot meal as a protein source that can produce efficiencies and retention of good nutrition for fish. Maggots can be exploited with flour as a substitute for fish meal, feed prices are expected to be cheaper so that it will reduce production costs in farming activities.
This study used a complete randomized design (CRD) with five treatments and three replications. Treatment to be tested is the substitution of fish meal with maggot meal as much as 0%, 25%, 50%, 75%, and 100%, thus acquired fifteen experimental units. Parameters measured in this study is the retention of protein, fat retention, energy retention and efficiency of feed utilization. The data obtained and analyzed using various analysis.
The results of these studies show that in fish Milkfish C. chanos Forsskal fed varying levels of fish meal with flour substitute Maggot gives the same effect on protein retention, fat retention, energy retention and efficiency of feed utilization, so it can be concluded that Maggot meal can replace the role of fish meal up to 100% in the manufacture of feed for aquaculture Fish Milkfish C. Chanos Forsskal.
Key words: Maggot, Efficiency of Feed Utilization, Retention Nutrition
PENDAHULUAN
Ikan bandeng (Chanos chanos Forsskal) merupakan salah satu komoditas unggulan
Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini didukung oleh rasa daging yang enak dan nilai gizi yang
tinggi sehingga memiliki tingkat konsumsi yang tinggi. Selain sebagai ikan konsumsi ikan
bandeng juga dipakai sebagai ikan umpan hidup pada usaha penangkapan ikan tuna
(Syamsuddin, 2010).
Pada tahun 2013, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan
mentargetkan peningkatan produksi ikan bandeng sekitar 71.147 ton dari produksi saat ini rata-
rata 55.000 ton per tahun (Anonim, 2010). Setiap tahun permintaan ikan bandeng selalu
mengalami peningkatan, baik untuk konsumsi lokal, ikan umpan bagi industri perikanan tuna,
maupun untuk pasar ekspor. Kebutuhan bandeng untuk ekspor yang cenderung meningkat
merupakan peluang usaha yang positif. Namun, peluang tersebut belum dapat terpenuhi karena
terbatasnya produksi dan diikuti tingginya konsumsi lokal.
Ikan bandeng sebagai komoditas ekspor harus mempunyai standar tertentu, yaitu ukuran
sekitar 400 g/ekor, sisik bersih dan mengkilat (penampilan fisik), tidak berbau lumpur (rasa),
dan dengan kandungan asam lemak omega-3 relatif tinggi. Kriteria-kriteria yang dipersyaratkan
tersebut terutama penampilan fisik, tidak berbau lumpur, dan kandungan asam lemak omega-3
yang tinggi dapat dipenuhi dari hasil budidaya bandeng secara intensif dalam keramba jaring
apung di laut (Anonim, 2010).
Budidaya ikan bandeng dalam keramba jaring apung (KJA) telah banyak dilakukan oleh
masyarakat. Namun, harga pakan yang relatif masih mahal membuat budidaya ikan bandeng di
KJA kurang berkembang. Pengkajian lanjutan yang lebih intensif, khususnya bagaimana
memanfaatkan bahan baku lokal yang tersedia dalam jumlah yang memadai sebagai bahan
pakan harus dilakukan, guna menekan biaya pakan yang diperkirakan dapat mencapai 60-80%
dari total biaya produksi (Priyadi, 2008). Harga bahan baku pakan akan berpengaruh terhadap
harga pakan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap biaya produksi. Khususnya di
Indonesia, sebagian besar bahan baku pakan berasal dari impor, yaitu sebesar 70-80%
(Hadadi, dkk., 2007).
Bahan baku utama dalam penyusunan ransum pakan ikan adalah tepung ikan, karena
tepung ikan merupakan bahan baku utama sumber protein dalam pakan ikan. Namun, saat ini
produksi tepung ikan lokal baru dapat memenuhi 60-70% dari kebutuhan dengan kualitas dan
kuantitas yang berfluktuatif. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang mendalam terhadap
berbagai bahan baku alternatif pengganti tepung ikan. Suatu bahan yang dapat digunakan
sebagai bahan baku pakan harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu mempunyai nilai gizi
yang tinggi, tersedia dalam jumlah melimpah dan kontinyu dan secara ekonomi tidak
menjadikan harga pakan tinggi (Mudjiman, 2004).
Tepung maggot atau tepung larva lalat hijau (Calliphora sp.) merupakan salah satu
bahan baku alternatif yang bisa menggantikan tepung ikan sebagai sumber utama protein
dalam pakan ikan, karena telah memenuhi persyaratan tersebut, antara lain memiliki
kandungan gizi yang cukup tinggi, tersedia dalam jumlah yang banyak sehingga bisa diproduksi
secara massal, dan harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan tepung ikan, yaitu hanya
Rp.1.500/kg dibandingkan dengan tepung ikan impor yang harganya mencapai Rp.15.000/kg
dan tepung ikan lokal Rp. 12.000/kg serta mempunyai kandungan protein sekitar 45,01%
(Hadadi, dkk., 2007).
Khususnya pada ikan-ikan air tawar, penelitian tentang pemanfaatan tepung maggot
sebagai pengganti tepung ikan telah dilakukan pada beberapa jenis ikan, yaitu benih ikan nila
(Oreochromis niloticus) (Retnosari, 2007), ikan lele (Hadadi, dkk., 2007) dan ikan hias
balashark (Balanthiocheilus melanopterus Bleeker) (Priyadi, 2008), dimana tingkat pemanfaatan
tepung maggot sebagai pengganti tepung ikan berbeda-beda dengan hasil yang cukup
memuaskan. Sedangkan informasi tentang kemungkinan dapat dimanfaatkannya tepung
maggot sebagai pengganti sumber protein asal tepung ikan pada budidaya ikan bandeng
sampai saat ini belum ada dilakukan penelitian. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya
dilakukan penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung
maggot sebagai sumber protein yang dapat menghasilkan efisiensi dan retensi nutrisi yang baik
untuk ikan bandeng. Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang
tingkat subtitusi tepung maggot terhadap tepung ikan yang dapat memberikan respon terbaik
khususnya pada efisiensi dan retensi nutirsi dalam pemeliharaan ikan bandeng. Dengan dapat
dimanfaatkannya tepung maggot sebagai pengganti tepung ikan, diharapkan harga pakan
dapat lebih murah sehingga akan mengurangi biaya produksi dalam kegiatan budidaya.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2010 sampai Desember 2010 di Unit
Hatchery Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Makassar. Sedangkan analisis proksimat
pakan dan hewan uji dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Materi Penelitian 1. Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelondongan bandeng yaitu
berukuran antara 0.84 – 0.87 g/ekor. Padat penebaran yang digunakan yaitu 15 ekor/ 45 L air
media (Rahmansyah, 2004).
2. Wadah Percobaan
Wadah percobaan yang digunakan adalah akuarium sistem resirkulasi dengan ukuran
40 x 50 x 35 cm sebanyak 15 buah, tiap wadah diisi air media sebanyak 45 liter. Air media yang
digunakan salinitasnya adalah 30 ppt, mewakili kondisi salinitas air laut, sehingga hasil
penelitian ini dapat diterapkan untuk kegiatan budidaya di laut dengan menggunakan keramba
jaring apung maupun untuk kegiatan budidaya di tambak secara intensif.
3. Pakan Uji
Pakan yang digunakan berbentuk pellet dengan komposisi bahan baku seperti terlihat
pada Tabel 4, dari komposisi bahan baku tersebut kandungan protein pakan yang akan
digunakan sekitar 30%.
Tabel 4. Komposisi Bahan Baku Penyusun Pakan pada Setiap Perlakuan
Bahan Baku (%) Perlakuan
A B C D E
Tepung Ikan 28 21 14 7 0
Tepung Maggot 0 7 14 21 28
Tepung Kedelai 30 30 30 30 30
Tepung Dedak 20 20 20 20 20
Tepung Terigu 18 18 18 18 18
Minyak Ikan 1 1 1 1 1
Vitamin mix(1) 2 2 2 2 2
Mineral mix(2) 1 1 1 1 1
Keterangan : (1) Vit A, D3, E, K3, B1, B2, B6, B12, C, Folyc Acid, Nicotid Acid, dan Biotin
(2) Ca, P, Sc, Mn, I2, Cu, Zn, Vit12 dan Vit B3
Ikan diberi pakan sebanyak 10% dari biomassa ikan per hari, pemberian pakan
dilakukan tiga kali per hari yaitu pada pukul 07.00, 12.00, dan 17.00.
4. Rancangan Percobaan
Rancangan percoban yang digunakan adalah acak lengkap (RAL) dengan lima
perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang dicobakan yaitu tingkat subtitusi tepung ikan
dengan tepung maggot sebanyak 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100%, sehingga diperoleh lima
belas unit percobaan.
Penempatan setiap satuan percobaan dilakukan secara acak (Gasperz, 1991),
sehingga tata letak satuan percobaan setelah pengacakan disajikan pada Gambar 3.
5. Parameter a. Retensi nutrisi
Retensi protein, lemak, dan energi dihitung berdasarkan formula Jouncey dan Ross
(1988) sebagai berikut:
Jumlah nutrisi yang disimpan dalam tubuh
Retensi Nutrisi (%) (1) = x 100
Jumlah nutrisi yang dikonsumsi ikan
Keterangan: (1) Protein (g), Lemak (g), dan Energi (kkal)
b. Efisiensi pemanfaatan nutrisi
Rasio efisiensi pakan dihitung dengan menggunakan formula Jouncey dan Ross (1988)
sebagai berikut:
Bt – B0
Efisiensi pemanfaatan nutrisi =
F
Dimana: Bt = Biomassa ikan pada akhir penelitian (g)
B0 = Biomassa ikan pada awal penelitian (g)
F = Jumlah pakan yang diberikan selama penelitian (g)
c. Kualitas air
Kelayakan kualitas air media dievaluasi berdasarkan sifat fisik dan kimia air media. Sifat
fisik air media yang diukur yaitu suhu dan salinitas. Suhu air diukur setiap hari dua kali per hari
yaitu jan 07.00 dan 14.00 WITA. Salinitas juga diukur setiap hari. Sifat kimia air media
dievaluasi berdasarkan kandungan oksigen terlarut, pH, dan ammonia, pengukuran dilakukan
pada awal penelitian, selanjutnya setiap sepuluh hari sekali sebelum penggantian air.
6. Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam. Dari hasil data yang diperoleh
tidak memenuhi tiga asumsi pokok (uji normalitas, homogenitas dan aditivitas) sehingga
dilakukan transformasi data dengan menggunakan trasformasi Arcsin. Hasil analisis tersebut
terbukti bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap parameter yang diuji, sehingga
tidak dilanjutkan dengan uji W Tukey untuk menentukan tingkat subtitusi tepung ikan dengan
tepung maggot yang menghasilkan respon terbaik. Kualitas air media dianalisis secara
diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Retensi Protein
Retensi protein merupakan gambaran dari banyaknya protein yang diberikan, yang
dapat diserap dan dimanfaatkan untuk membangun ataupun memperbaiki sel-sel tubuh yang
sudah rusak, serta dimanfaatkan tubuh ikan bagi metabolism sehari-hari (Afrianto dan
Liviawaty, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh tingkat
subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot dalam pakan terhadap retensi protein ikan
bandeng C. chanos disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rata-rata Retensi Protein (%) pada Ikan Bandeng C. Chanos yang Diberi Pakan Berbagai Tingkat SubtitusiTepung Ikan dengan Tepung Maggot Selama Penelitian.
Perlakuan Tingkat Subtitusi % Rata-rata Retensi
Protein ± SD
A (Tepung Ikan 100 %; Tepung Maggot 0%) 23.30 ± 9.47 a
B (Tepung Ikan 75%; Tepung Maggot 25%) 17.87 ± 3.50 a
C (Tepung Ikan 50%; Tepung Maggot 50%) 18.16 ± 4.48a
D (Tepung Ikan 25%; Tepung Maggot 75%) 16.41 ± 5.97a
E (Tepung Maggot 100%; Tepung Ikan 0%) 28.99 ± 9.58a
Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. n = 3
Huruf yang sama menunjukan tidak berpengaruh nyata
Pada tabel di atas terlihat bahwa nilai rata-rata retensi protein pada perlakuan A, B, C,
D, dan E adalah masing-masing 23.30%; 17.87%; 18.16%; 16.41%; dan 28.99%. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap retensi protein pada
taraf 5 %. Hal ini dikarenakan setiap perlakuan memiliki tingkat retensi protein yang relatif
sama, sehingga memberikan respon yang sama pula terhadap hewan uji. Hal ini diduga karena
kadar protein yang dihasilkan masih dalam rentang layak untuk kebutuhan benih ikan bandeng.
Hal ini sesuai dengan pendapat Lovell (1988) bahwa penggunaan dua atau lebih sumber
protein dalam ransum akan lebih baik dari pada satu sumber. Walaupun konsumsi pakan D
paling tinggi, namun jumlah protein yang teretensi lebih tinggi pakan E. Hal ini diduga karena
protein tepung maggot lebih mudah dicerna dibandingkan tepung ikan.
Tingkat retensi protein yang sama pada semua perlakuan didukung pula oleh
kandungan protein pakan uji yang relatif sama pada masing-masing perlakuan. Menurut Lan
dan Pan (1993) apabila protein dalam pakan berlebih, ikan akan mengalami ’excessive protein
syndrome’, sehingga protein tersebut tidak digunakan untuk pertumbuhan tetapi akan dibuang
dalam bentuk amonia. Sedangkan menurut Buwono (2000), apabila kandungan protein dalam
pakan terlalu tinggi, hanya sebagian yang akan diserap (diretensi) dan digunakan untuk
membentuk ataupun memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak, sementara sisanya akan diubah
menjadi energi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tepung maggot ini dapat mengganti tepung
ikan sebagai sumber protein pakan sampai 100%, karena tepung maggot memiliki kandungan
protein yang cukup tinggi dan masih sesuai untuk kebutuhan ikan bandeng. Selain kandungan
protein yang cukup tinggi, tepung maggot juga memiliki berbagai kandungan asam-asam amino
esensial yang relatif lengkap dan masih sesuai dengan kebutuhan ikan bandeng, baik untuk
pertumbuhan maupun memperbaiki sel-sel tubuh yang sudah rusak.
Retensi Lemak
Retensi lemak menggambarkan kemampuan ikan dalam menyimpan dan
memanfaatkan lemak pakan. Pengaruh tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot
dalam pakan terhadap retensi lemak ikan bandeng C. chanos disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rata-rata Retensi Lemak (%) pada Ikan Bandeng C. Chanos yang Diberi Pakan Berbagai Tingkat SubtitusiTepung Ikan dengan Tepung Maggot Selama Penelitian.
Perlakuan Tingkat Subtitusi % Rata-rata Retensi
Lemak ± SD
A (Tepung Ikan 100 %; Tepung Maggot 0%) 22.67 ± 13.02 a
B (Tepung Ikan 75%; Tepung Maggot 25%) 16.91 ± 4.15 a
C (Tepung Ikan 50%; Tepung Maggot 50%) 18.35 ± 8.33 a
D (Tepung Ikan 25%; Tepung Maggot 75%) 18.38 ± 4.57 a
E (Tepung Maggot 100%; Tepung Ikan 0%) 22.56 ± 2.53 a
Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. n = 3
Huruf yang sama menunjukan tidak berpengaruh nyata
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa pakan A memiliki retensi lemak sebesar
22.67%, pakan B memiliki retensi lemak sebesar 16.91%, pakan C memiliki retensi lemak
sebesar 18.35%, pakan D memiliki retensi lemak sebesar 18.38%, dan pakan E memiliki retensi
lemak sebesar 22.56%. Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak
berpengaruh nyata terhadap retensi lemak pada taraf 5 %. Hal ini menunjukkan bahwa lemak
yang teretensi pada semua perlakuan relatif sama.
Komposisi lemak tubuh sangat dipengaruhi oleh pakan ikan yang mengandung lemak
(Gusrina, 2008). Tingginya lemak yang dikonsumsi ikan dan yang tidak digunakan sebagai
sumber energi kemudian disimpan sebagai lemak tubuh. Tingkat retensi lemak yang relatif
sama diduga karena kandungan lemak yang ada di dalam pakan masih dalam kisaran yang
sesuai dan cukup untuk memenuhi kebutuhan lemak hewan uji.
Walaupun nilai retensi lemak tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun nilai
retensi lemak cenderung meningkat dengan bertambahnya kadar tepung maggot. Hal ini
dikarenakan tingginya kadar lemak tepung maggot sehingga kadar lemak dalam pakan dan
lemak tubuh juga cenderung meningkat. Tingginya kadar lemak lemak ini bisa disimpan atau
dimanfaatkan sebagai sumber energi. Hal ini sesuai dengan pendapat Aslamyah (2008) yang
mengatakan bahwa salah satu fungsi dari lemak atau lipid adalah sebagai penghasil energi, tiap
gram lipid menghasilkan sekitar 9 – 9,3 kalori, energi yang berlebihan dalam tubuh disimpan
dalam jaringan adiposa sebagai energi potensial.
Retensi Energi
Retensi energi adalah besarnya energi pakan yang dikonsumsi ikan yang dapat
disimpan di dalam tubuh. Hasil perhitungan retensi energi (Lampiran 10) hewan uji yang diberi
pakan dengan berbagai tingkat subtitusi tepung ikan dengan tepung maggot selama penelitian
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Rata-rata Retensi Energi (%) pada Ikan Bandeng C. Chanos yang Diberi Pakan Berbagai Tingkat SubtitusiTepung Ikan dengan Tepung Maggot Selama Penelitian.
Perlakuan Tingkat Subtitusi % Rata-rata Retensi
Energi ± SD
A (Tepung Ikan 100 %; Tepung Maggot 0%) 17.98 ± 7.17 a
B (Tepung Ikan 75%; Tepung Maggot 25%) 13.57 ± 3.07 a
C (Tepung Ikan 50%; Tepung Maggot 50%) 12.02 ± 3.36 a
D (Tepung Ikan 25%; Tepung Maggot 75%) 10.63 ± 3.20 a
E (Tepung Maggot 100%; Tepung Ikan 0%) 20.14 ± 4.23 a
Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. n = 3
Huruf yang sama menunjukan tidak berpengaruh nyata
Retensi energi pada perlakuan A, B, C, D, dan E masing-masing adalah
17.98%, 13.57%, 12.02%, 10.63% dan 20.14%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap retensi energi pada taraf 5 %. Hal ini disebabkan
karena kandungan energi yang teretensi relatif sama pada semua perlakuan. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tepung maggot dapat menggantikan tepung ikan 100% sebagai salah
satu sumber utama protein dalam pembuatan pakan ikan bandeng.
Menurut Kumar dan Tembre (1997), retensi energi berhubungan dengan kadar protein
pakan, karena pakan selain mengandung karbohidrat dan lemak, juga mengandung protein
yang berguna sebagai sumber energi dan pertumbuhan. Hasil uji proksimat maggot
menunjukkan bahwa kandungan protein dalam tepung maggot cukup tinggi bila dibandingkan
dengan lemak, sehingga ikan dapat mengoptimalkan pertumbuhan dengan menggunakan
protein sebagai sumber energi utama. Hal ini juga didukung oleh pendapat Aslamyah (2008)
yang mengatakan bahwa protein merupakan sumber energi yang mahal baik ditinjau dari harga
maupun jumlah energi yang dibutuhkan untuk metabolisme energi. Semakin meningkatnya
penggunaan lemak dan karbohidrat sebagai sumber energi, maka protein pakan dapat lebih
diefisienkan dalam penggunaanya dan akan teretensi di dalam tubuh ikan untuk proses
metabolisme, penggantian sel atau jaringan yang rusak, aktifitas reproduksi, biosintesis dan
hilang dalam bentuk panas. Hal ini juga didukung oleh Yuwono dan Purnama (2001) yang
mengatakan bahwa sebagian besar energi yang dikonversi dari pakan yang dikonsumsi hilang
dalam bentuk panas dan hanya sekitar seperlima total energi dari pakan yang diperoleh dalam
bentuk pertumbuhan.
Efisiensi Pemanfaatan Nutrisi
Nilai efisiensi pemanfaatan nutrisi menentukan kualitas suatu pakan, semakin besar nilai
efisiensi pemanfaatan nutrisi, semakin tinggi kualitas pakannya. Sebaliknya, semakin kecil nilai
efisiensi pemanfaatan nutrisi, berarti semakin rendah kualitas pakannya. Nilai rata-rata efisiensi
pemanfaatan nutrisi pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 5. Rata-rata Efisiensi Pemanfaatan Pakan (%) pada Ikan Bandeng C. Chanos yang Diberi Pakan Berbagai Tingkat SubtitusiTepung Ikan dengan Tepung Maggot Selama Penelitian.
Perlakuan Tingkat Subtitusi % Rata-rata Efisinsi
Pemanfaata Pakan ± SD
A (Tepung Ikan 100 %; Tepung Maggot 0%) 27.10 ± 5.79 a
B (Tepung Ikan 75%; Tepung Maggot 25%) 24.92 ± 4.68 a
C (Tepung Ikan 50%; Tepung Maggot 50%) 23.48 ± 9.67 a
D (Tepung Ikan 25%; Tepung Maggot 75%) 25.07 ± 6.39 a
E (Tepung Maggot 100%; Tepung Ikan 0%) 31.67 ± 2.92 a
Keterangan : Nilai rata-rata ± standar deviasi. n = 3
Huruf yang sama menunjukan tidak berpengaruh nyata
Dari tabel diatas terlihat bahwa rata-rata efisiensi pemanfaatan pakan pada pakan A, B,
C, D, E berturut-turut adalah 27.10%; 24.92%; 23.48%; 25.07%; dan 31.67%. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi pemanfaatan
pakan pada taraf 5 %. Hal ini menunjukkan bahwa efektifitas pakan untuk semua perlakuan
relatif sama.
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa walaupun nilai efisiensi pemanfaatan pakan
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun nilai efisiensi pemanfaatan pakan cenderung
meningkat dengan bertambahnya kadar tepung maggot di dalam pakan. Hal ini diduga karena
tepung maggot memiliki nilai nutrisi yang tinggi dan hampir sama dengan tepung ikan sehingga
sesuai dengan kebutuhan ikan bandeng. Hadadi dkk (2007) mengatakan bahwa tepung maggot
mengandung protein, lemak, serat kasar, dan BETN berturut-turut adalah 45.01%, 16.78%,
21.97% dan 0.15% dalam bobot kering. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pakan dengan
tepung maggot 100% memiliki efisiensi pakan yang baik dan mampu menggantikan tepung ikan
secara keseluruhan untuk pemeliharaan ikan bandeng.
Kualitas Air Kisaran nilai parameter kualitas air yang diperoleh selama penelitian disajikan pada
Tabel 9.
Tabel 9. Kisaran Nilai Pengukuran Parameter Kualitas Air Selama Penelitian
Parameter Perlakuan
A B C D E
Suhu (0C) 25 - 27 25 - 27 25 - 27 25 - 27 25 - 27
pH 6.62 - 8.42 6.69 - 8.42 6.73 - 8.42 6.76 - 8.42 6.80 - 8.42
DO (ppm) 4.2 - 5 4.8 - 5 3.5 - 5 4.5 - 5 3.8 - 5
NH3 (ppm) 0.002 - 0.02 0.003 - 0.02 0.004 - 0.02 0.014 - 0.02 0.007- 0.02
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa suhu selama penelitian berkisar antara
25-27 °C. Suhu ini masih dalam kisaran yang sesuai untuk pemeliharaan dan pertumbuhan ikan
bandeng. Menurut Zakaria (2010) mengatakan bahwa suhu yang baik untuk kehidupan dan
pertumbuhan ikan bandeng berkiasar antara 24-31 0C. Hal ini juga didukung oleh pendapat
Kordi dan Tancung (2005) bahwa suhu optimal untuk pemeliharaan ikan bandeng berkisar
antara 23-32°C.
Tingkat keasaman (pH) yang diperoleh yaitu berkisar antara 6.62-8.42, Kisaran ini
tergolong sangat layak untuk kehidupan dan pertumbuhan ikan bandeng. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kordi (2009) yang mengatakan bahwa ikan bandeng masih dapat tumbuh optimal
pada 6.5-9.
Kandungan oksigen terlarut yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 3.5-5 ppm.
Kisaran ini masih sesuai untuk pemeliharaan ikan bandeng. Menrut Zakaria (2010), kandungan
oksigen yang sesuai untuk pemeliharaan ikan bandeng tidak kurang dari 3 ppt.
Kandungan amoniak yang diperoleh selama penelitian berkisar 0.002-0.02 ppm.
Kiasaran ini tergolong masih layak untuk pemeliharaan ikan bandeng. Hal ini sesuai dengan
pendapat Kordi dan Tancung (2005) mengatakan bahwa dalam pemeliharaan ikan bandeng,
kandungan amoniak tidak boleh lebih dan 0.1 ppm.
PENUTUP Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada ikan Bandeng C.
chanos Forsskal yang diberi pakan berbagai tingkat subtitust tepung ikan dengan tepung
maggot memberikan pengaruh yang sama terhadap retensi protein, retensi lemak, retensi
energi dan efisiensi pemanfaatan pakan, sehingga tepung maggot dapat menggantikan
peranan tepung ikan hingga 100 % dalam pembuatan pakan untuk budidaya ikan Bandeng C.
chanos Forsskal.
Sebaiknya dilalukan penelitian lebih lanjut, pada parameter-parameter yang lain untuk
menentukan tingkat subtitust tepung ikan dengan tepung maggot yang tepat, dalam membuat
formulasi pakan ikan Bandeng C. chanos Forsskal.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E dan Liviawaty, E. 2005. Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta
Anonim. 2010. Produksi Udang Sulswesi Selatan ditargetkan 21.498. Diakses dari
(http://www.kabarbisnis.com/aneka-bisnis/agribisnis/282203-
Produksi_udang_Sulsel_ditarget_21_498_ton.html)
Anonim. 2010. Ikan Bandeng Potensial Dibudidayakan Dalam KJA di Laut. Diakses dari
(http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/31/ikan-bandeng-potensial-dibudidayakan-
dalam-kja-di-laut/).
Anonim. 2010. Maggot Pakan Alternatif. Diakses dari (http://www.perikanan-
budidaya.dkp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=113:maggot-pakan-
alternatif&catid=117:berita&Itemid=126.)
Aslamyah, S. 2008. Pembelajaran Berbasis SCL pada Mata Kuliah Biokimia Nutrisi. UNHAS.
Makassar.
Buwono I. D. 2000. Kebutuhan Asam Amino Esensial Dalam Ransum Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta
Hadadi, A., Herry, Setyorini, Surahman, A., Ridwan, E. 2007. Pemanfaatan Limbah Sawit untuk
Pakan Ikan.
Jouncey, K and Ross, B. 1988. A Guide to Tilapia Feeds and Feeding. Institute of Aquaculture
of Stirling Scotland.
Kumar, S dan M. Tembhre. 1997. Anathomy and Physiology of Fishes. Vikas Publishing House
PVT Ltd. New Delhi.
Lan, C.C. dan B.S. Pan. 1993. Invitro Ability Stimulating The Proteolysis of Feed
Protein in The Midgut Gland of Grass Shrimp (Pennaeus monodon).
Lovell, T., 1988, Fish Nutrition. Academic Press. London and New York.
Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Priyadi, A., Azwar, Z. I., Subamia, I.W., dan Hem, S. 2008. Pemanfaatan Maggot Sebagai
Pengganti Tepung Ikan Dalam Pakan Buatan Untuk Benih Ikan Balashark
(Balanthiocheilus Melanopterus Bleeker).
Rachmansyah. 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten
Barru, Sulawesi Selatan Bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba
Jaring Apung. IPB. Bogor
Retnosari, D. 2007. Pengaruh Pengaruh Substitusi Tepung Ikan Oleh Tepung Belatung
Terhadap Pertmbuhan Benih Nila (Oreochromis niloticus) Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Panjadjaran, Jatinangor, Bandung.
Syamsuddin, R. 2010. Sektor Perikanan Kawasan Indonesia Timur: Potensi, Permasalahan,
dan Prospek. PT Perca, Jakarta
Yuwono, E dan Purnama, S. 2001. Fisiologi Hewan I. Fakultas Biologi Universitas Jendral
Soedirman. Purwokerto.
Zakaria. 2010. Petunjuk Tehnik Budidaya Ikan Bandeng. Diakses dari
http://cvrahmat.blogspot.com/2011/04/budidaya-ikan-bandeng.html
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
POTENSI MAGGOT SEBAGAI SALAH SATUSUMBER PROTEIN PAKAN IKAN
PENDAHULUAN
Akuakultur terus mengalami perkembanganyang pesat, produksinya meningkat dari 13hingga 36 juta ton selama 15 tahun terakhir (daritahun 1984 hingga tahun 2000) (FAO). Seiringdengan peningkatan jumlah penduduk, akuakulturjuga memacu potensinya untuk eksis dan terusmaju dalam upaya memenuhi kebutuhan proteinmasyarakat. Hal ini terlihat dari grafik pertumbuhanakuakultur yang di keluarkan oleh FAO (Gambar1) . Selanjutnya dengan adanya tuntutan untukpeningkatan produksi secara otomatis akanmeningkatkan kebutuhan akan pakan ikan . Tepungikan sebagai salah satu sumber protein pentingdalam formulasi pakan ikan, mulai mengalami fasestagnan yaitu kurang lebih 6,1 juta ton pertahunsemenjak tahun 90-an (Gambar 1) . Kondisi initentu menjadi kendala yang cukup besar bagipertumbuhan budidaya perikanan .
Indonesia sebagai salah satu negara pengimporttepung dan minyak ikan juga terkena dampak darikondisi global akuakultur ini, yaitu keterbatasanjumlah tepung ikan sehingga harganya terusmelonjak . Hingga saat ini Indonesia menganggarkankurang lebih US$ 200 juta pertahun untuk importepung dan minyak ikan . Hal ini menjadi perhatianyang cukup serius sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut,
MELTA RINI FAHMI', SAURIN HEM 2 dan I WAYAN SUBAMIAI
Loka Riset Budidaya Ikan Hias Air Tawar, Depok'Jalan Perikanan No . 13 Kampung Baru, Depok 16436
Institut de Recherche pour le Developpement (IRD), Perancis2
ABSTRAK
Penggunaan maggot sebagai sumber protein alternatif dalam pakan ikan telah dikaji di Loka Riset Budidaya IkanHias Air Tawar (LRBIHAT) Depok. Maggot merupakan larva serangga Black soldier (Hermetia illusence) yang dapatmengkonversi material organik menjadi biomasanya . Sebagai pakan ikan maggot memiliki dua fungsi yaitu sebagaisalah satu sumber protein yang dapat mensubtitusi tepung ikan dan sebagai pellet altematif yaitu maggot dapat langsungdiubah menjadi pellet. Produksi maggot dapat dilakukan secara tertutup dan terbuka. Cara tertutup untuk daerah yangpadat penduduk sedangkan cara terbuka dilakukan di daerah yang jarang penduduknya . Media yang digunakan untukproduksi maggot adalah Palm kernel meal (PKM) atau bungkil kelapa sawit . Perbandingan jumlah maggot yangdiproduksi dengan jumlah PKM adalah 1 : 3 (1 kg maggot didapatkan dari 3 kg PKM) .
Kata kunci : Ikan, sumber protein, maggot
salah satunya adalah upaya mencari penggantitepung ikan (fishmeal replacement) sebagai salahsatu sumber protein penting dalam formulasi pakanikan (IRD, 2004) .
Penelitian tentang pengganti tepung ikan (fishmeal replacement) pun mulai banyak dilakukan,seperti penggunaan tepung keong, bulu ayam, kedele,bungkil kelapa sawit (Palm kernel meal/PKM) danlain-lain, namun masih menghadapi kendala yaituketersediaannya yang terbatas. PKM merupakansalah satu basil sampingan dalam industri minyaksawit. PKM diketahui mengandung 16-17,9%protein, 13-15% serat kasar dan anti nutrisi berupanon starch polysaccharides (NSPs) (AGUNDIADEet al., 1999 ; WING-KEONG NG, 2003) . Kandunganserat yang tinggi menyebakan nilai kecernaan PKMmenjadi lebih rendah pada hewan monogastrik(SWICK, 1999) . Untuk ikan pemberian PKM, ZAHARIdan ALIMON (2005) merekomendasikan 10-20%,AFIFAH (2006) merekomendasikan 11% .
Salah satu cara untuk meningkatkan nilaiPKM dalam akuakultur adalah melalui prosesbiokonversi. Konsep ini telah mulai di kembanganoleh peneliti IRD (Institut de Recherche pour leDeveloppment), Perancis dan LRBIHAT (LokaRiset Budidaya Man Hias Air Tawar) Depok . Agenbiokonversi yang dilibatkan adalah larva Diptera,(famili : Stratiomydae) .
125
1 26
SeminarNasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkm Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
0 produksio kebutuhan pakan- ketersediaan tepung ikan
untuk kebutuhan global
BIOKONVERSI
Biokonversi didefinisikan sebagai perom-bakan sampah organik menjadi sumber energimetan melalui proses fermentasi yang melibatkanorganisme hidup . Proses ini biasanya dikenalsebagai penguraian secara anaerob . Umumnyaorganisme yang berperan dalam proses biokonversiini adalah bakteri, jamur dan larva serangga(family : Chaliforidae, Mucidae, Stratiomydae) .Dalam kehidupan sehari-hari, proses ini seringditemukan, seperti pada proses pembuatan tempeyangmemanfaatkan jamur (ragi) sebagai organismeperombak, proses pembusukan sampah organik(pembuatan pupuk kompos) yang melibatkanbakteri sebagai organisme perombak . Sedangkanpada limbah hewani agen perombak yang seringdi temukan adalah larva serangga Diptera. Larvaserangga dari famili : Stratiomydae, Genus :Hermetia, spesies : Hermetia illucens, banyak ditemukan pada limbah kelapa sawit . LarvaHermetia
C3 ketersediaan tepung ikanuntuk akuakultur
p perkiraan kebutuhan tep . ikan(fishmeal replacement)
Gambar 1 . Perkembangan akuakultur secara global
so,*
illucens atau Black soldier (BS) Fly ini, lebihdikenal dengan istilah maggot .
BIOLOGI MAGGOT
Istilah "maggot" mulai dikenal padapertengahan tahun 2005, yang diperkenalkan olehtim Biokonversi IRD-Perancis dan Loka RisetBudidaya Ikan Hias Air Tawar (LRBIHAT), Depok .Maggot merupakan larva serangga (Diptera :Stratiomydae, Genus Hermetia) yang hidup dibungkil kelapa sawit (Palm kernel meal/PKM) .PKM sebagai media tempat hidupnya akan dimakandan dicerna oleh maggot dan disimpan dalam organpenyimpanan yang disebut trophocytes . Sekitar33% dari berat tubuh serangga adalah trophocyters(NAYAR et al., 1981) .
Siklus hidup Black soldier (BS) sama denganserangga Diptera lainnya yaitu mulai dari telurmenetas menjadi larva yang mengalami prosesmetamorposa menjadi pupa dan serangga dewasa(Gambar 2) .
Seminar Nasional Hari Pangan SeduniaXXG71Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakal
Telur
Maggot
Telur BS berwarna kekuningan berbentukelips dengan panjang sekitar 1 mm. Warnanyaakan berubah menjadi kecoklatan/gelap menjelangmenetas dan setelah 24 jam pada suhu 30°C telurBS akan menetas . Larva BS (maggot) berbentukelips warna kekuningan dan hitam di bagiankepala. Setelah 20 hari panjangnya mencapai 2 cm,pada fase ini maggot telah dapat di berikan padaikan sebagai pakan . Ukuran maksimum maggotmencapai 2,5 cm dan setelah mencapai ukurantersebut maggot akan menyimpan makanan dalamtubuhnya sebagai cadangan untuk persiapan prosesmetamorfosa menjadi pupa. Mendekati fase pupa,maggot akan bergerak menuju tempat yang agakkering . Pupa ini mulai terbentuk pada maggot umur1 bulan, dan kurang lebih I minggu kemudian pupa
Pupa
DewasaGambar 2 . Siklus hidup Black soldier (Hermetia illucens)
akan menetas menjadi lalat . Lalat dewasa ini hanyamemakan madu atau sari bunga sehingga lebihdikenal dengan serangga bunga . Setelah kawin lalatBS akan menyimpan telurnya di serpihan-serpihandekat sumber makanan larva muda (Gambar 3) .Hasil penelitian terhadap pertumbuhan maggotdapat dilihat pada grafik Gambar 4 .
Serangga Hermetia illusence (Black soldierfly) dapat ditemukan dimana saja, penyebarannyahampir diseluruh wilayah . Namun tidak ditemukanpada habitat dan makanan manusia, sehinggamaggot lebih higienis jika dibandingkan denganlalat rumah (Musca sp) atau lalat hijau (Challiporasp). Hingga saat ini maggot tidak terdeteksi sebagaipenyebab penyakit (NEWTON et al., 2005) .
Gambar 3. Black soldier (BS) Fly (a) BS fly sedang kawin (b) tempat hidup BS fly umumnya di atas daun/bunga
1 2 7
12 8
Seminar Nasional Hari Pangan SeduniaXXL7IDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
Btongbtc r .Iadonslbp belween length and 41p of eorty Hermlra dA4+ens Irvao (In mm)couesponrngto tho age of larvae (rn days) at the tsmprattna of 30 c
Tabel 1 . Kandungan nutrisi maggot
Gambar 4. Grafik pertumbuhan maggot pada suhu 30°C
Larva black soldier (BS) memiliki beberapa
pupa, (5) higienis, sebagai kontrol lalat rumah, (6)karakter diantaranya : (1) bersifat dewatering
kandungan protein tinggi mencapai 45% . Semua(menyerap air), dan berpotensi dalam pengelolaan
karakter tersebut menunjukkan potensi maggotsampah organik, (2) dapat membuat Hang untuk
sebagai agen biokonversi dan sumber proteinaerasi sampah, (3) toleran terhadap pH dan
alternatif pakan ikan .temperatur, (4) melakukan migrasi mendekati fase
Proksimat (%) Asam amino (%) Asam lemak (%) Mineral (%)Kadar air 2,38 Serin 6,35 Linoleat 0,70 Mn 0,05 mg/gProtein 44,26 Glisin 3,80 Linolenat 2,24 Zn 0,09Lemak 29,65 Histidin 3,37 Saturated 20,00 mg/g Fe 0,68
Arginin 12,95 Monomer 8,71 Cu 0,01Treonin 3,16 P 0,13Alanin 25,68 Ca 55,65Prolin 16,94 Mg 3,50Tirosin 4,15 Na 13,71Valin 3,87 K 10,00Sistin 2,05
Iso leusin 5,42Leusin 4,76Lisin 10,65Taurin 17,53Sistein 2,05NH3 4,33Orn 0,51
Kandungan nutrisi maggot
SHEPPARD et al. (2005) mengatakan bahwakandungan nutrisi maggotsangat potensial dijadikansebagai sumber protein alternatif pakan ikan . Nilainutrisi maggot dapat dilihat pada Tabel 1 .
Maggot sebagai pakan ikan
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XVVIIDukungan Tekuologi UlntukMeningkatkan Prnduk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
Maggot sebagai pakan ikan memilikibeberapa fungsi yaitu sebagai pengganti tepungikan (fishmeal replacement) dan sebagai pakanalternatif. Fungsi maggot ini pada akhirnya akanmempengaruhi bentuk pengolahannya. Sebagaipengganti tepung ikan, maggot diolah dalam
l
Gambar 5 . (a) Maggot segar (fresh) siap diberikan sebagai pakan ikan, (b) pelet maggot
(a)
bentuk tepung . Tepung maggot ini selanjutnyadimasukkan dalam formulasi pakan sebagai salahsatu sumber protein menggantikan tepung ikan .Sebagai pakan alternatif, maggot dapat diberikandalam bentuk fresh (segar) pada ikan, dapat jugadiberikan dalam bentuk pelet . Untuk pengolahanmenjadi pelet maggot terlebih dahulu dikeringkanhingga kadar airnya mencapai 25%, setelah itulangsung dimasukkan ke dalam mesin pelet untukdicetak .
Dari penelitian yang dilakukan, ikan-ikancarnivora, seperti ikan Arwana, Betutu, Lele danGabus sangat menyukai maggot fresh sebagaipakannya. Sedangkan ikan-ikan yang berukurankecil lebih menyukai pelet magot .
(b)
(b)
Gambar 6 . (a) Produksi maggot secara tertutup menggunakan kandang (b) Produksi maggot secara terbukamenggunakan tong
1 29
Tekhnologi produksi maggot
130
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVIIDukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Heivani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
Black soldier ditemukan hampir di seluruhwilayah, namun jumlah terbanyak ditemukan didaerah-daerah yang jumlah penduduknya sedikit .Di wilayah yang berpenduduk padat kehadiranmaggot akan berkompetisi dengan lalat rumah(Mucidae) atau lalat hijau (Caliphoridae) . Keduakondisi wilayah ini akhimya mempengaruhi teknikproduksi maggot . Untuk wilayah yang berpendudukpadat produksi maggot dilakukan dengan sistemtertutup dengan menggunakan kandang . Sedangkanpada sistem terbuka wadah yang digunakan adalahtong-tong besi yang di tutup penutup tong diselangidengan kawat, fiber dan bambu .
Langkah/tahapan dalam produksi maggotadalah sebagai berikut :
Persiapan wadah, alat dan bahan
1 . Wadah : tong besi (diameter 56 cm dan tinggi50 cm) dan bak beton berukuran 5 x 10 x 0,5m.
2 . Alat: tiang untuk tong berbentuk segitigadengan tinggi 60cm, kawat, fiber, bambudan tutup tong .
3 . Bahan: bungkil kelapa sawit, air dan daunpisang
4 . Tong-tongyangakan digunakan ditempatkandi semak-semak atau tempat-tempat yangbanyak potion
Kultur r , !,
{)t
Kultur maggot dilakukan d- cara se' aiberikut : 3 kg bungkil kelapa 5 telah isdicampurkan dengan 6 1i' ,udian e ;k
secara merata, selanjui ~ . a campuran tei kitdimasukkan ke dalam t dan ditempatkan inpisang diatasnya . Tong telah berisi bungkilditutup dengah penutup yang diselingi dengankawat, bambu dan fiber elah 2 minggu akandidapatkan maggot yang iiiasih muda di dalamtong .Tahap pembesaran
Tahap ini dimulai dari pemanenan semuamaggot dari tong selanjutnya dipindahkan ke
dalam bak pembesaran. Setelah 2 mingggu di bakpembesaran maggot siap dipanen .
Untuk mendapatkan 1 kg maggot segardibutuhkan 3 kg PKM.
KESIMPULAN
Maggot dapat diproduksi secara massal dandapat mensubstitusi penggunaan tepung ikan dalamformulasi pakan .
DAFTAR PUSTAKA
AFIFAH, R. 2006. Pemanfaatan bungkil kelapa sawitdalam pakan juvenile ikan patin jambal (Pangsiusjambal) . Him 19.
AGUNBIADE, J.A ., J . WISEMAN and D.J.A . COLE. 1999 .Energi and nutrient use of palm kenels, palm kernelmeal and palm kernel oil in diets for growing pigs .Animal feeds Science and Technologi 80 : 165-181 .
IRD. SAURIN HEM . 2004 . Prospective work result and plansfor feature program of bioconversion processing byproduct from agro industries in Indonesia & theirvabrication via aquaculture : Application with palmkernel meal . Annual report . Him 11 (Unpublishedreport) .
NAYAR, K.K. ANANTHAKRISNAN, I.N ., and DAVID, B.V.1981 . General and Applied enthomology. McGrawPub. Co . Ltd. New Delhi : vii + 573 him .
NEWTON, L ., C . SHEPPARD, D.W. WATSON, G. BURTLEand R . DOVE. 2005 . Using the Black Soldier fly,Hermetia illucens, as a value- added tool for themanagement of swine manure . Report for TheAnimal and Poultry waste Management Center . 17III :
SWICK, R.A. 1999 . Consid, lion in using protein mealsfor poultry and swine . ASA Technical Bulletin 21 :1-11 .
WING KEONG NG. 2003 . The pontential use of palm kernelmeal in aquaculture feeds . Aquaculture Asia 8(1) :38-39 .
ZAHARI, M.W. and A.R . ALIMON. 2005 . Use of palmkernel cake and oil palm by products in compundfeed . Palmas journal 26 (1) : 5-9 .
PENGGUNAAN WHEAT BRAN SEBAGAI BAHAN BAKUALTERNATIF PENGGANTI JAGUNG PADA PAKAN IKAN
NILA Oreochromis niloticus
SULISTIA ANGGRAENI
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGORBOGOR
2011
ABSTRAK
SULISTIA ANGGRAENI, Penggunaan wheat bran sebagai bahan baku alternatifpengganti jagung pada pakan ikan nila Oreochromis niloticus, Dibimbing olehDEDI JUSADI dan WIDYATMOKO
Penelitian ini berjudul penggunaan wheat bran sebagai bahan baku alternatifpengganti jagung pada pakan ikan nila Oreochromis niloticus, Dalam penelitian inimenggunakan empat perlakuan pakan yaitu pakan dengan kandungan wheat bran0%, wheat bran 10%, wheat bran 20%, dan wheat bran 30%, Rancangan yangdigunakan dalam peneltian yaitu empat perlakuan dan tiga kali pengulangan, Ikanyang digunakan dalam penelitian ini yaitu ikan nila dengan bobot awal rata-rata 13,2g, wadah pemeliharaan yang digunakan yaitu hapa berukuran (2 x 3 x 1) m3, dalamkolam berukuran (5 x 6 x1) m3 dengan padat tebar 100 ekor/hapa yang diberi pakanperlakuan selama 50 hari, Berdasarkan hasil penelitian penggunaan wheat bransampai 30% tidak memberikan nilai yang tidak berbeda nyata pada parameter lajupertumbuhan harian (2,69 – 2,88) % dan efisiensi pakan (61,70 – 64,69) %, Wheatbran 20% memiliki nilai retensi protein tertinggi dan memiliki nilai biaya pakanterendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya, Kesimpulan dalam penelitian iniadalah penggunaan wheat bran sampai 30% masih mampu memberikan nilai lajupertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik dalam budidaya ikan nila,Kata kunci : Wheat bran, ikan nila, pertumbuhan, dan efisiensi pakan
ABSTRACT
SULISTIA ANGGRAENI, The use of wheat bran as alternative materials to corn indiet tilapia Oreochromis niloticus, Supervised by DEDI JUSADI danWIDYATMOKO
This study was conducted to evaluate the use of wheat bran as alternative materialsto corn in diet tilapia Oreochromis niloticus, Four diets were used, diets wheat bran0%, wheat bran 10%, wheat bran 20%, and wheat bran 30%, Completelyrandomized design with four treatments and three replicates was used in thisexperiment, Tilapia with an average weight of ± 13,2 g were kept in net with size 2x 3 x 1 m3 in pons of 5 x 6 x 1 m3, with density 100 fish each net and feed testeddiets at satiation for 50 days of culture period, The result showed that the use ofwheat bran until 30% did not give significantly different effects on specific growthrate (2,69 - 2,88) % and feed efficiency (61,70 – 64,69) %, Wheat bran 20% hadhiger retention of protein and lowest gain cost than other treatments, Apparentdigestibility of protein and survival were relatively similar among all treatments,Based on this research indicate that wheat bran until 30% still able to supportgrowth and feed efficiency of tilapia Oreochromis niloticus,
Keywords: wheat bran, tilapia, growth, and feed efficiency
PENGGUNAAN WHEAT BRAN SEBAGAI BAHAN BAKUALTERNATIF PENGGANTI JAGUNG PADA PAKAN IKAN
NILA Oreochromis niloticus
SULISTIA ANGGRAENI
SKRIPSIsebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan BudidayaFakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGORBOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSIDAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PENGGUNAAN WHEAT BRAN SEBAGAI BAHAN BAKU ALTERNATIFPENGGANTI JAGUNG PADA PAKAN IKAN NILA Oreochromis niloticus
adalah benar merupakan hasil karya saya bersama komisi pembimbing yangbelum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun, Semuasumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkanmaupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dandicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini,
Bogor, Mei 2011
SULISTIA ANGGRAENIC14062626
SKRIPSI
Judul Skripsi : Penggunaan wheat bran sebagai bahan baku alternatifpengganti jagung pada pakan ikan nila Oreochromisniloticus
Nama : Sulistia Anggraeni
NIM : C14062626
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr, Dedi Jusadi Ir, Widyatmoko, M,Sc,NIP, 19621026 198803 1 001
Diketahui,Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr, Ir, Odang Carman, M,Sc,NIP, 19591222 198601 1 001
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan rahmat
yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Penggunaan wheat bran sebagai bahan baku alternatif pengganti jagung pada
pakan ikan nila Oreochromis niloticus” ini, sebagai salah satu persyaratan dalam
memperoleh gelar Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,
sholawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rosululloh SAW, para
sahabatnya dan semua yang mengikuti mereka hingga hari akhir,
Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2010 – Januari 2011, Pembuatan
pakan dilakukan di Laboratorium Pembuatan Pakan Departemen Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, pemeliharaan ikan
dan analisa proksimat dilakukan di PT, Suri Tani Pemuka Comfeed JAPFA,
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr, Dedi Jusadi selaku
dosen Pembimbing I, Bapak Ir, Widyatmoko, M,Sc, sebagai pembimbing II atas
arahannya selama penelitian ini hingga penyusunan skripsi ini,
Bogor, Mei 2011
Sulistia Anggraeni
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, 27 Februari 1988 dari pasangan yang
berbahagia Alm Bapak Tamim dan Alm Ibu Khodijah, Penulis merupakan anak
keenam dari 6 bersaudara,
Penulis menyelesaikan masa pendidikan di SMA N 5 Tasikmalaya tahun
2006, Kemudian melanjutkan studi di IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Mahasiswa IPB (USMI) dan melalui program mayor-minor tahun 2007 penulis
diterima di Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Selama masa
perkuliahan, penulis aktif pada beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya
Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) periode 2007/2008, HIMAKUA
(2008/2009), Badan Pengawas Himpro periode 2009/2010, Penulis juga pernah
menjadi Asisten Praktikum pada beberapa mata kuliah yaitu Nutrisi Ikan (2010),
serta Teknologi Produksi Plankton, Benthos, dan Alga (2010), Selain itu, penulis
menerima beasiswa dari PT, ASTRA-TOYOTA dan BBM ,Indonesia dari 2008-
2010,
Untuk menambah pengetahuan dalam perikanan budidaya, penulis mengikuti
kegiatan magang di Tambak Pinang Gading-Lampung (2008), Praktik dan Praktek
Lapang di PT, Triwindu Graha Manunggal, Anyer, Banten (2009), Tugas akhir
dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi berjudul
“Penggunaan wheat bran sebagai bahan baku alternatif pengganti jagung pada
pakan ikan nila Oreochromis niloticus,
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN, ............................................................................... iv
I. PENDAHULUAN .............................................................................. ... 1
II. METODE PENELITIAN...................................................................... 3
2.1. Pakan Uji .......................................................................................... 32.2. Pemeliharaan Ikan Uji ...................................................................... 42.3. Analisa Kimia................................................................................... 62.4. Analisa Kimia................................................................................... 6
2.4.1. Jumlah konsumsi pakan ............................................................ 72.4.2. Pertumbuhan ............................................................................. 72.4.3. Efisiensi Pakan .......................................................................... 72.4.4. Sintasan ..................................................................................... 82.4.5. Retensi Protein .......................................................................... 82.4.6. Retensi Lemak........................................................................... 82.4.7. Kecernaan total.......................................................................... 92.4.8. Kecernaan protein ..................................................................... 92.4.9. Biaya Pakan............................................................................... 9
III. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 10
3.1 Hasil................................................................................................. 103.2 Pembahasan ..................................................................................... 12
IV. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 16
4.1 Kesimpulan..................................... Error! Bookmark not defined.4.2 Saran ............................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 17
LAMPIRAN................................................................................................. 19
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kandungan NDF dan ADF bahan baku nabati ............................... 2
Tabel 2. Komposisi pakan uji (%) ............................................................... 3
Tabel 3. Hasil analisa proksimat pakan.......................................................... 4
Tabel 4. Kualitas air kolam pemeliharaan ikan uji ........................................ 5
Tabel 5. Data hasil kinerja pertumbuhan ikan nila ........................................ 11
Tabel 6. Data harga pakan. efisiensi pakan. dan biaya pakan uji per kg ....... 12
Tabel 7. Komposisi asam amino assensial pakan percobaan (% protein)...... 14
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Media pemeliharaan ikan nila selama budidaya 50 hari ............... 5
Gambar 2. Media pemeliharaan ikan nila pengukuran kecernaan .................. 6
Gambar 3. Perubahan bobot biomassa rata-rata individu ikan nila . ............... 10
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data laju Keangsungan hidup.................................................... 20
Lampiran 2. Data laju pertumbuhan spesifik ................................................. 21
Lampiran 3. Data Biomassa awal dan akhir................................................... 22
Lampiran 4. Data Jumlah Konsumsi pakan dan efisiensi pakan.................... 23
Lampiran 5. Data laju pertumbuhan spesifik ................................................. 23
Lampiran 6. Data proksimat tubuh ikan uji ................................................... 24
Lampiran 7. Data retensi protein tubuh ikan uji ............................................ 25
Lampiran 8. Data retensi lemak tubuh ikan uji .............................................. 26
Lampiran 9. Data uji statistik parameter biologi............................................ 27
1
I. PENDAHULUAN
Bahan baku pakan nabati pada umumnya mengandung serat kasar yang
tinggi. Kandungan serat dalam pakan ditentukan berdasarkan bahan baku pakan
nabati yang digunakan. Jagung dan tepung kedelai merupakan bahan baku pakan
nabati yang biasa digunakan dalam formulasi pakan. Jagung memiliki kandungan
energi tinggi 4110 kcal, kandungan serat kasar rendah 2,8%, dan harganya relatif
murah, Namun, di dalam jagung terdapat kandungan aflatoksin yang berbahaya
bagi ikan, sehingga dalam penggunaannya sebagai bahan baku pakan terbatas.
Kandungan protein jagung rendah 10,2 % dan kandungan asam amino esensial
rendah dibandingkan gandum dan tepung kedelai (Tangendjaja dan Rachmawati,
2006).
Tepung kedelai juga merupakan bahan baku nabati yang umum digunakan,
memiliki kandungan nutrisi antara lain protein yang tinggi yaitu sebesar 43,20%,
lemak 2% dan serat kasar 6,50% dengan kandungan asam amino lengkap,
terutama methionine 1,38% dan lysine 6,28%, dan kandungan energi yang tinggi
sebesar 4518 kcal (Maina J G et al, 2002) dalam pakan, tetapi harganya relatif
mahal, Indonesia mengimpor satu juta ton per tahun tepung kedelai sejak tahun
2000 (Anonimous, 2004) dan mencapai 1,8 juta ton pada tahun 2005 (Riady, 2006
diacu dalam Abidin, 2006), Oleh karena itu, perlu dicari bahan baku alternatif
lain untuk menggantikan jagung sebagai sumber energi dalam bahan baku atau
mengurangi penggunaan tepung kedelai sebagai sumber protein nabati dalam
bahan baku pakan.
Bahan baku pakan alternatif tersebut harus memiliki nutrien-nutrien dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ikan, dapat dicerna dengan baik,
harganya lebih murah, ketersediaan bahan baku dalam jumlah yang besar dan
bersifat kontinyu, serta bahan baku tersebut tidak berkompetensi dengan
kebutuhan manusia, Salah satu bahan baku alternatif yang dapat digunakan yaitu
wheat bran.
Wheat bran merupakan hasil sampingan agroindustri yang berbahan dasar
kulit ari gandum, Salah satu kelemahan wheat bran yaitu mengandung zat anti
nutrisi (taninn 0,2-2,0%), Tannin bersifat menekan retensi nitrogen dan
2
menurunkan daya cerna asam-asam amino tetapi tidak bersifat racun dan aman,
Menurut Handajani dan Widodo (2010) zat anti nutrisi tersebut dapat
dinonaktifkan secara perlahan melalui proses pemanasan dan pengeringan, Selain
itu wheat bran memiliki kandungan serat kasar yang tinggi sebesar 12,3%
dibandingkan dengan jagung dan tepung bungkil kedelai, Kandungan fraksi serat
yaitu neutral detergent fiber (NDF) dan Acid detergent fiber (ADF) menunjukan
kandungan serat kasar total di dalam wheat bran.
Tabel 1. Kandungan NDF dan ADF bahan baku nabatiBahan baku
nabatiNDF(%)
ADF(%)
Total seratkasar (%)
Sumber referensi
Jagung 9,5 - 2,8 % Tangendjaja dan Rakhmawati(2006)
Tepung kedelai 14,10 9,30 6,50% Maina J G et al (2002)
Wheat bran 25,50 11,90 12,3% Maina J G et al (2002)
Berdasarkan Tabel 1, kandungan fraksi serat dan serat kasar total wheat
bran lebih tinggi dibandingkan jagung dan tepung bungkil kedelai, Namun, wheat
bran memiliki kelebihan yaitu kandungan protein sekitar 15,6%, kandungan asam
amino esensial yang lengkap, dan memiliki kandungan mineral dan vitamin B1
yang tinggi, dibandingkan jagung, Hasil penelitian menyebutkan bahwa
penggunaan wheat bran 10 % memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan
ikan mas dan dihasilkan nilai kecernaan protein yang tinggi sebesar 71-75%
(Hertrampf dan Piedad-Pascual, 2000).
Berdasarkan informasi tersebut maka dibuat kombinasi wheat bran dalam
formulasi pakan untuk budidaya ikan nila, Ikan nila merupakan ikan omnivora
yang mampu beradaptasi dengan pakan yang memiliki kandungan serat kasar
optimal. Formulasi pakan pada penelitian ini dengan perlakuan wheat bran
sampai 30% sebagai pengganti jagung dengan mengurangi proporsi tepung
kedelai diharapkan tidak mempengaruhi laju pertumbuhan harian dan efisiensi
pakan sehingga biaya produksi dapat dikurangi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian wheat bran
dengan kadar yang berbeda sebagai pengganti jagung dalam formulasi pakan
terhadap kinerja pertumbuhan dan efisiensi pakan ikan nila Oreochromis
niloticus.
3
II, METODE PENELITIAN
2.1. Pakan Uji
Pakan uji yang digunakan berupa pakan buatan yang diformulasikan dengan
wheat bran pada kadar yang berbeda yaitu 0%, 10%, 20%, dan 30%, Pakan
perlakuan yang diberikan berupa pelet tenggelam dengan ukuran 3 mm.
Komposisi pakan perlakuan yang digunakan tertera dalam Tabel 2 dan hasil
analisa proksimat pakan perlakuan terdapat pada Tabel 3.
Tabel 2. Komposisi pakan uji (%)
Bahan PakanPerlakuan
WB0% WB 10% WB 20% WB 30%
Jagung 17,70 6,60 0,00 0,00
Wheat Bran 0,00 10,00 20,00 30,00
Gaplek 27,70 30,00 28,73 20,90
Soy Bean Meal 31,18 30,39 27,99 25,43
Squid Liver 0,90 0,90 0,90 0,90
Meat and Bone Meal 10,00 9,40 10,00 10,00
Poultry by Product Meal 2,00 2,00 2,00 2,00
Fish Meal 5,00 5,00 5,00 5,00
MDCP 0,85 0,82 0,67 0,59
Bio Yeast 0,50 0,50 0,50 0,50
Minyak Ikan 1,70 1,90 1,70 2,10
Soy oil 1,00 1,00 1,00 1,00
Premix 1,47 1,49 1,51 1,54
Jumlah (%) 100,00 100,00 100,00 100,00Ket: WB = perlakuan pakan dengan wheat bran
MDCP = Mono-dicalcium phosphate
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat komposisi pakan uji kandungan wheat
bran 0% sampai 30% dengan mengganti jagung sebagai sumber energi utama dan
pengurangan proporsi tepung kedelai sebagai sumber protein nabati. Sumber
lemak dalam komposisi pakan diperoleh dari miyak ikan dan soy oil. Gaplek
dalam komposisi pakan sebagai penyumbang energi dan binder dalam pakan
yaitu sebesar 20,9-30%. Sumbangan protein hewani dalam komposisi pakan uji
disamakan, Sumber protein hewani yang digunakan yaitu terdiri dari Squid Liver,
Meat and Bone Meal, Poultry by Product Meal, dan Fish Meal, MDCP (Mono-
4
dicalcium phosphate) sumber fosfor dan kalsium, Bioyeast, dan premix
digunakan sebagai bahan aditif dalam komposisi pakan.
Tabel 3. Hasil analisa proksimat (% berat kering) dan energi pada pakan uji
Komposisi proksimatPerlakuan
WB 0% WB 10% WB 20% WB 30%
Protein 28,93 29,25 28,83 28,27
Lemak 5,47 5,55 6,02 7,34
Kadar abu 11,66 10,14 11,03 10,24
Serat Kasar 3,57 4,58 5,32 5,80
Kadar air 7,83 9,73 9,19 7,77
BETN1 42,54 40,75 39,61 40,58
GE (Kcal/100gpakan)2 387,84 383,05 380,44 393,69
DE (kcall kg)3 2519,12 2492,05 2486,92 2598,49
C/P (kcal/g)4 8,71 8,52 8,63 9,19
KH/L 5 7,78 7,34 6,58 5,53Keterangan:1) Bahan ekstrak tanpa nitrogen2) Gross energy 1 g protein = 5,6 kcal GE, 1 g BETN = 4,1 kcal GE, 1 g lemak = 9,4 kcal GE (Watanabe 1988)3) Digestible energy 1 g protein= 3,5 kcal DE,1 g lemak= 8,1 kcalDE,1 g BETN= 2,5 kcal DE (NRC 1997)4) Rasio energi/protein5) Rasio Karbohidrat/lemak
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat nilai proksimat pakan uji, Pakan uji
yang diberikan memiliki nilai isoenergi dan isoprotein, Pakan uji mengandung
kadar lemak yang berbeda-beda dengan adanya peningkatan proporsi wheat bran
sampai 30%. Kandungan serat kasar pakan uji juga meningkat antara 3,57-5,80%,
hal ini menunjukan penggunaan proporsi wheat bran sampai 30% dalam pakan
uji meningkatkan kadar lemak dan serat kasar pakan.
2.2. Pemeliharaan Ikan Uji
Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila dengan bobot
awal 13,2 ± 0,28 g. Wadah pemeliharaan yang digunakan terdiri dari tiga buah
kolam masing-masing berukuran (5 x 6 x 1) m3, dan tiap kolam diisi empat buah
hapa yang berukuran (2 x 3 x 1) m3 dengan dilengkapi aerasi di dalamnya, dapat
dilihat pada Gambar 1. Setiap kolam dijadikan ulangan yang terdiri dari empat
perlakuan dengan padat tebar 100 ekor/hapa. Pengukuran kualitas air dilakukan
setiap tujuh hari sekali selama pemeliharaan, terdiri dari oksigen terlarut, suhu,
pH dan TAN (Total Amonia Nitrogen) dengan hasil seperti Tabel 4.
5
Gambar 1. Media pemeliharaan ikan nila selama budidaya 50 hari
Tabel 4. Kualitas air kolam pemeliharaan ikan uji
ParameterKisaran kualitas air
Kolam U 1 Kolam U 2 Kolam U 3
Oksigen terlarut (ppm) 4,26 - 8,27 4,25 – 8,49 4,16– 8,33
Suhu (0C) 27,80 – 29,00 27,90 – 28,80 28,30 – 29,60
pH 8,00 – 8,50 8,00 – 8,50 8,00 – 8,50
Total ammonia nitrogen (ppm) 0,20 – 0,70 0,40 - 0,60 0,40 – 0,70
Pemberian pakan dilakukan sebanyak tiga kali sehari yaitu pada pukul
08.00, 12.00, dan 16.00 WIB secara at satiation (sekenyangnya). Pemeliharaan
ikan dilakukan selama 50 hari dengan sampling bobot biomassa dilakukan setiap
10 hari sekali.
Pengukuran kecernaan total dilakukan di awal pemeliharaan selama 21 hari,
Pemeliharaan ikan menggunakan 12 akuarium, masing-masing berukuran
(60x40x40) cm3 yang dilengkapi sistem aerasi dan resirkulasi (Gambar 2). Berat
rata-rata ikan nila yang digunakan 13,2 ± 0,28 g dengan kepadatan 10 ekor per
akuarium. Ikan diadaptasikan selama tujuh hari dan diberikan pakan uji
mengandung Cr2O3 0,5%, Pengumpulan feses dilakukan selama 14 hari, dimulai
hari ke delapan setelah masa adaptasi pakan. Pengambilan feses dilakukan
dengan penyiponan segera setelah ikan mengeluarkan feses untuk menghindari
pencucian feses. Feses yang telah terkumpul di dalam botol film dimasukan ke
dalam frezer yang selanjutnya dikeringkan di dalam oven bersuhu 1100C selama
6
4-6 jam. Selanjutnya dilakukan pengukuran kromium dengan spektrofotometer
dengan panjang gelombang 350 nm.
Gambar 2. Media pemeliharaan ikan nila pengukuran kecernaan
2.3. Analisa Kimia
Analisa kimia yang dilakukan meliputi analisa proksimat pakan uji, tubuh
ikan diawal dan akhir pemeliharaan. Analisa proksimat pakan uji meliputi
pengukuran kadar protein, lemak, serat kasar, abu dan air. Sedangkan analisa
proksimat tubuh ikan meliputi pengukuran kadar air, kadar protein, kadar lemak
dan abu. Ikan sampel awal pemeliharaan diambil sebanyak 20 ekor, dan sampel
akhir pemeliharaan diambil sebanyak 10 ekor tiap ulangan untuk dilakukan
analisa proksimat. Seluruh analisa proksimat dilakukan dengan mengikuti
prosedur sesuai dengan Takeuchi (1988).
2.4. Analisa Kimia
Perlakuan pada penelitian menggunakan desain penelitian RAK
(Rancangan Acak Kelompok) dengan empat perlakuan, masing-masing perlakuan
tiga kali pengulangan. Metode statistik yang digunakan dengan program SAS
6.12 (Statistic analysis system). Hipotesis mengenai faktor perlakuan dan untuk
mengetahui pengaruh pakan uji dihitung dengan analisis ragam (ANOVA).
Sedangkan untuk melihat perbedaan perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan
uji Duncan. Parameter yang diuji terdiri dari jumlah konsumsi pakan, laju
7
pertumbuhan harian, efisiensi pakan, sintasan, retensi protein, retensi lemak,
kecernaan total, kecernaan protein, dan biaya pakan.
2.4.1. Jumlah konsumsi pakan
Jumlah konsumsi pakan ikan uji diketahui dengan cara menimbang
jumlah pakan yang dimakan oleh ikan uji selama penelitian,
2.4.2. Pertumbuhan
Laju pertumbuhan harian ikan uji dihitung berdasarkan rumus Huisman
(1987):
α = Laju pertumbuha harian (%)
Wt = Rata-rata bobot individu pada waktu t percobaan (g)
Wo = Rata-rata bobot individu pada waktu awal percobaan (g)
t = Waktu percobaan (hari)
2.4.3. Efisiensi Pakan
Efisiensi pakan didefinisikan sebagai peningkatan berat basah daging per
unit berat pakan kering, Efisiensi pakan (EP) dianalisis berdasarkan rumus
Takeuchi (1988):
Keterangan :
EP = Efisiensi pakan (%)
Wt = Biomassa mutlak ikan pada waktu t (g)
Wo = Biomassa mutlak ikan pada awal percobaan (g)
Wd = Biomassa mutlak ikan yang mati (g)
JKP = Jumlah (bobot) pakan yang dikonsumsi selama percobaan (g)
8
2.4.4. Sintasan
Sintasan ikan uji didapatkan dengan menghitung jumlah individu ikan uji
yang hidup sampai akhir percobaan, Perhitungannya menggunakan rumus:
SR = Nt/N0 x 100%
Keterangan:
SR = Kelangsungan hidup ikan
Nt = Jumlah individu ikan uji pada t percobaan (ekor)
No = Jumlah individu ikan uji pada awal percobaan (ekor)
2.4.5. Retensi Protein
Retensi protein merupakan gambaran dari banyaknya protein yang
diberikan, yang dapat diserap dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan serta
dimanfaatkan tubuh untuk metabolisme harian (Halver, 1989). Nilai retensi
protein dihitung berdasarkan persamaan yang dikemukakan oleh Takeuchi (1988)
Keterangan :
RP = Retensi protein (%)
Pt = Bobot protein tubuh pada waktu t (g)
Po = Bobot protein tubuh awal (g)
Pp = Bobot protein pakan (g)
2.4.6. Retensi Lemak
Retensi lemak merupakan seberapa besar lemak yang dapat disimpan di
dalam tubuh ikan. Nilai retensi lemak dapat dihitung berdasarkan persamaan yang
dikemukakan oleh Takeuchi (1988), yaitu:
9
Keterangan :
RL = Retensi lemak (%)
Lt = Bobot lemak tubuh pada waktu t (g)
Lo = Bobot lemak tubuh awal (g)
Lc = Bobot lemak pakan (g)
2.4.7. Kecernaan total (Sumber : Watanabe 1988)
Kecernaan total = (1- (b/b’)) x 100%
Keterangan :
b = Cr2O3 (%) dalam pakan
b’ = Cr2O3 (%) dalam feses
2.4.8. Kecernaan protein
Kecernaan protein = (1- ((b/b’) x (a’/a)) x 100%
Keterangan :
b = Cr2O3 (%) dalam pakan
b’ = Cr2O3 (%) dalam feses
a = protein (%) dalam pakan
a = protein (%) dalam feses
2.4.9. Biaya Pakan
Cp = harga pakan x nilai EP
Cp = Biaya pakan (Cost pakan Rp/kg)
EP = Efisiensi pakan (%)
10
III, HASIL DAN PEMBAHASAN
3,1 Hasil
Hasil penelitian dengan menggunakan empat jenis pakan uji dengan
komposisi wheat bran 0%, 10%, 20%, dan 30% menunjukan adanya
pertumbuhan ikan nila. Perubahan bobot biomassa ikan nila selama 50 hari
terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perubahan bobot biomassa rata-rata individu ikan nila perlakuanwheat bran dengan kadar berbeda (0%, 10%, 20%, dan 30%).
Pertambahan bobot biomassa akhir rata-rata pemeliharaan dari bobot
biomassa awal rata-rata individu pada perlakuan wheat bran 0% yaitu 4,13 kali
lipat dengan hasil akhir 56,20 gram, perlakuan wheat bran 10% 3,78 kali lipat
dengan hasil akhir 49,83 gram, perlakuan wheat bran 20% 3,90 kali lipat dengan
hasil akhir 53,10 gram, perlakuan wheat bran 30% 4,01 kali lipat dengan hasil
akhir 53,77 gram.
11
Tabel 5. Data hasil kinerja pertumbuhan ikan nila setelah dibudidaya 50 hari
Parameterperlakuan pakan
WB 0 % WB 10% WB 20% WB 30%
JKP (g) 6520,31 ± 66,15a 5872,44 ± 319,92b 6134,12 ±328,44ab 6414,04 ± 241,31a
LPH (%) 2,88 ± 0,11a 2,69 ± 0,08a 2,76 ± 0,08a 2,81 ± 0,21a
KT (%) 60,93±0,86a 50,73±1,03 b 46,71±3,20b 51,28 ±2,98b
KP (%) 73,63±0,59a 73,72±0,55 a 73,59±1,75a 74,75±1,55a
EP (%) 64,69 ± 3,69a 62,51 ± 3,31a 63,30 ± 5,17a 61,70 ± 5,48a
RP (%) 32,22 ± 6,32ab 28,69 ± 2,33b 42,45 ± 4,49 a 36,45 ± 11,02 ab
RL (%) 92,34 ± 0,38a 67,79±10,22 b 75,72 ± 9,48 ab 72,45 ± 14,68ab
SR (%) 99,33 ± 0,58a 100,00 ± 0,00a 99,00 ± 1,00a 98,67 ± 1,15a
Keterangan : 1, Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan hasil yangtidak berbeda nyata ( P>0,05).
2, JKP (jumlah konsumsi pakan), LPH (laju pertumbuhan harian), KT (kecernaantotal), KP (Kecernaan protein), EP (Efisiensi pakan), RP (retensi protein), RL(retensi lemak), SR (sintasan).
Berdasarkan Tabel 5 menunjukan penggunaan wheat bran 30% dalam
pakan mampu memberikan hasil pertumbuhan harian yang tidak berbeda nyata
dengan pakan berbasis wheat bran 0%. Hal tersebut didukung dengan nilai
efisiensi pakan yang tidak berbeda nyata antara pakan wheat bran 30% dengan
pakan wheat bran 0%.
Nilai retensi menunjukan banyaknya protein dan lemak yang tersimpan di
dalam tubuh ikan uji. Berdasarkan Tabel 5 di atas, nilai retensi protein tertinggi
dimiliki oleh pakan berbasis wheat bran 20% dan nilai terendah dimiliki pakan
berbasis wheat bran 10%. Sedangkan, nilai retensi lemak tertinggi yaitu pakan
berbasis wheat bran 0% dan terendah pada pakan berbasis wheat bran 10%.
Penggunaan wheat bran sampai 30% memberikan nilai kecernaan total
yang berbeda nyata terhadap wheat bran 0%. Hal ini menunjukan bahwa
penggunaan wheat bran menurunkan nilai kecernaan total. Pada parameter
efisiensi pakan, kecernaan protein, dan laju sintasan (SR) dapat dilihat bahwa
setiap perlakuan memiliki nilai tidak berbeda nyata.
12
Tabel 6. Data harga pakan, efisiensi pakan, dan biaya pakan uji per kg
parameter
perlakuan pakan uji (%)
0 10 20 30
harga pakan (Rp/kg) 4149 4026 3900 3846
efisiensi pakan (%) 64,69 62,51 63,30 61,70
Biaya pakan ikan/kg 6414 6440 6161 6233
Tabel 6 menunjukan data harga pakan, efisiensi pakan dan biaya pakan,
Berdasarkan perhitungan nilai biaya pakan terendah dimiliki pakan berbasis
wheat bran 20%. Hal ini didukung dengan nilai efisiensi pakan yang tinggi
dibandingkan perlakuan lainnya, penggunaan proporsi wheat bran 20% mampu
menghasilkan biaya terendah sebesar 6161 per kg sehingga dalam budidaya ikan
nila penggunaan wheat bran dapat dijadikan bahan baku alternatif sebagai
pengganti jagung dan mengurangi proporsi penggunaan tepung bungkil kedelai.
3.2 Pembahasan
Pakan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan
isoprotein dan isoenergi. Namun, memiliki kandungan lemak dan serat kasar
yang berbeda. Perbedaan kadar lemak dan serat kasar dalam pakan tidak
mempengaruhi nilai laju pertumbuhan harian. Pertumbuhan dipengaruhi oleh
keseimbangan energi dan protein di dalam pakan. Pertumbuhan ikan uji terlihat
secara kuantitatif dengan adanya penambahan bobot tubuh. Nilai tersebut
menunjukan bahwa ikan mampu mencerna pakan dan menyerap semua nutrien
yang terkandung dalam pakan dan mengkonversinya menjadi energi.
Nilai kecernaan menggambarkan kemampuan ikan dalam mencerna suatu
pakan dan kualitas pakan yang dikonsumsi. Mokoginta (1999) menyatakan
bahwa perbedaan komposisi bahan dan zat makanan dalam pakan akan
mempengaruhi nilai kecernaan total dan kecernaan protein pakan. Berdasarkan
hasil analisis kandungan nutrien pakan (Tabel 3) diketahui, bahwa kandungan
serat kasar dalam pakan berbeda-beda. Semakin tinggi proporsi wheat bran yang
digunakan dalam formulasi, semakin tinggi pula kadar serat kasar pakan
perlakuan (Tabel 3). Hal tersebut menunjukan wheat bran memiliki kandungan
serat kasar yang tinggi. Menurut Hertrampf dan Piedad-Pascual (2000)
13
menyatakan bahwa, kandungan serat kasar wheat bran sebesar 12,3% lebih tinggi
dibandingkan jagung yaitu 2,8%.
Berdasarkan Tabel 5 terlihat nilai dari kecernaan total dari pakan uji.
Pakan uji dengan kandungan wheat bran 30%, 20% dan 10% berbeda nyata
dengan pakan uji dengan kandungan wheat bran 0%. Menurut Van soest et al,
(1991) apabila kandungan serat kasar dalam bahan pakan meningkat akan
menyebabkan koefisien cerna semua zat akan menurun. Pakan yang berasal dari
bahan nabati salah satunya wheat bran biasanya lebih sedikit dicerna,
dikarenakan memiliki serat kasar yang sulit dicerna dan mempunyai dinding sel
yang kuat sulit dipecahkan. Meskipun nilai kecernaan pakan uji 30%, 20%, dan
10% rendah jika dibandingkan dengan wheat bran 0%, namun proporsi
peningkatan wheat bran dalam pakan masih dapat diterima oleh ikan. Hal ini
seiring dengan nilai laju pertumbuhan harian dan efisiensi pakan yang tidak
berbeda nyata (Tabel 5).
Beberapa hasil penelitian menyebutkan, wheat bran memberikan hasil
pertumbuhan terbaik dibandingkan dengan bahan baku nabati lainnya, Hal ini
seiring dengan hasil penelitian dari kalsoom et al (2009) dengan pemberian wheat
bran sekitar 4 % dari bobot tubuh dapat meningkatkan pertumbuhan pada ikan
hasil persilangan (Catla catla x Labeo rohita) jika dibandingkan dengan
menggunakan rice broken dan tepung darah. Ditambahkan pula oleh Hertrampf
dan Piedad-Pascual 2000 bahwa penggunaan wheat bran 10% menunjukan nilai
terbaik pada ikan mas.
Kecernaan protein menunjukan kemampuan cerna dan daya serap ikan
terhadap nutrien pakan uji tinggi. Hal ini seiring dengan nilai berdasarkan uji
statistik menunjukan tidak terdapat perbedaan signifikan antar perlakuan.
Kecernaan protein perlakuan pada penelitian ini berada pada kisaran 73,59-
74,75%. Menurut Ranjhan (1980), kecernaan protein kasar tergantung pada
kandungan protein di dalam pakan. Berdasarkan hasil penelitian Maina J G et al
(2002) menyatakan bahwa, ikan nila mampu mencerna protein dari wheat bran
sebesar 71-75%.
Protein merupakan nutrien paling utama dalam menentukan pertumbuhan.
Kualitas protein pakan ditentukan oleh pola asam amino bahan baku yang
14
digunakan. Tabel 7 menunjukan pola asam amino wheat bran lebih baik
dibandingkan dengan jagung. Selain itu pola asam amino keempat pakan
perlakuan memiliki pola yang hampir sama dengan pola asam amino yang
dibutuhkan ikan nila, sehingga diduga dapat menunjang pertumbuhan yang sama.
Tabel 7. Komposisi asam amino assensial pakan percobaan (% protein)Asam amino
essensial Jagung* WB* Ikan nila**WB0%
WB10%
WB20%
WB30%
Arginin 0,48 1,11 4,20 4,35 4,27 4,13 4,03
Histidin 0,29 0,46 1,72 1,56 1,54 1,49 1,45
Leusin 1,37 1,03 3,39 3,66 3,55 3,47 3,39
Isoleusin 0,39 0,54 3,11 2,21 2,19 2,12 2,09
Lisin 0,28 0,59 5,12 4,22 4,10 3,99 3,89
Methionin 0,19 0,23 2,68 1,04 0,99 0,97 0,96
Fenillanin 0,54 0,68 3,75 2,25 2,22 2,15 2,12
Treonin 0,40 0,51 3,75 2,83 1,91 2,67 2,62Triptofan 0,09 0,54 1,00 1,94 0,56 1,91 1,95
Valin 0,50 0,68 2,80 2,94 2,87 2,77 2,69Keterangan: 1, * wheat bran dan jagung (Hertrampf dan Piedad-Pascual (2000)
2, ** asam amino ikan nila NRC (1993) dalam Maina J G et al (2002)
Nilai laju pertumbuhan harian (LPH) menunjukan adanya presentase
pertambahan bobot, Semakin tinggi nilai LPH, semakin cepat pula ikan tumbuh,
Berdasarkan Tabel 5 menunjukan nilai LPH yang tidak berbeda nyata antar
perlakuan. Hal ini seiring dengan nilai efisiensi pakan yang tidak berbeda nyata
antar perlakuan (Tabel 5). Menurut Millamena et al, (2002), persentase efisiensi
pakan merupakan pertambahan bobot (pertumbuhan) dibagi dengan konsumsi
pakan. Efisiensi pakan akan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan, jika ikan
mampu mengefisiensikan pakan yang diberikan secara maksimum maka
pertumbuhan akan semakin cepat terjadi, Berdasarkan nilai tersebut, wheat bran
sampai 30% dengan kandungan serat kasar 5,80% masih dapat dicerna dan
diterima oleh ikan nila.
Pertumbuhan juga bisa di pengaruhi oleh kandungan energi yang tersedia di
dalam pakan. Nilai energi yang tercerna dalam pakan (digestible energy)
perlakuan berkisar antara 2486,92-2598,49 kkal kg. Hal ini menunjukan bahwa
pakan perlakuan yang diberikan masih berada pada kisaran nilai energi yang
dibutuhkan ikan nila yaitu sekitar 2500-4300 kkal kg (Jauncey and Ross, 1982).
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa ikan nila dengan pemberian
pakan wheat bran 30% mampu memanfaatkan energi yang berasal dari lemak dan
15
karbohidrat dengan baik dengan kandungan serat kasar yang tinggi, Menurut
Handajani dan Widodo (2010), apabila sumbangan energi dari bahan non protein
tersebut rendah, maka protein akan didegradasi untuk menghasilkan energi,
sehingga fungsi protein sebagai nutrien pembangun jaringan tubuh akan
berkurang. Keseimbangan energi dan protein di dalam pakan sangat berperan
dalam menunjang pertumbuhan ikan.
Nilai retensi protein menggambarkan besarnya protein yang tersimpan di
dalam tubuh. Berdasarkan Tabel 5. dapat terlihat nilai retensi protein yang
berbeda nyata antara pakan berbasis wheat bran 10% dengan 20%. Hal ini diduga
dengan peningkatan wheat bran sampai 20% protein yang tersimpan di dalam
tubuh lebih banyak digunakan untuk tumbuh dibandingkan untuk keperluan
aktivitas dan metabolisme. Terbukti dengan nilai laju pertumbuhan harian.
efisiensi pakan, dan kecernaan protein yang tidak berbeda nyata antar perlakuan.
Selain protein, lemak berperan sebagai peyumbang energi, setiap 1 g
lemak mengandung 8,1 kkal DE (Digestible energy). Nilai retensi lemak
menggambarkan sejumlah lemak yang tersiman di dalam tubuh, Berdasarkan
Tabel 5, nilai retensi lemak tertinggi pada perlakuan wheat bran 0%. Nilai retensi
lemak ini menunjukkan bahwa sumbangan lemak yang berasal dari bahan baku
lain banyak disimpan dalam tubuh sementara pada perlakuan lainnya lemak lebih
banyak digunakan untuk kegiatan metabolisme sehingga lemak yang tersimpan
didalam tubuh lebih sedikit.
Tingginya nilai efisiensi pakan wheat bran 20% menghasilkan biaya pakan
terendah dibandingkan pakan perlakuan lainnya (Tabel 6). Pakan dengan
kandungan wheat bran 20% memiliki gain cost (penambahan biaya) sebesar Rp
6.161,-. Hal tersebut menunjukan bahwa pakan dengan kandungan wheat bran
20% memiliki biaya pakan per kg lebih menguntungkan dibandingkan dengan
pakan perlakuan lainnya Dengan demikian berdasarkan evaluasi ekonomi
penggunaan pakan wheat bran 20% dalam formulasi pakan dapat
menguntungkan dan penggunaan jagung dapat digantikan.
16
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pemakaian
wheat bran hingga 20% dapat menggantikan jagung sebagai bahan baku dalam
formulasi pakan ikan nila dan mampu memberikan efisiensi pakan dan kinerja
pertumbuhan yang baik pada kegiatan budidaya ikan nila Oreochromis niloticus.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z,, 2006, Pengaruh kadar tepung bungkil kelapa sawit dalam pakan ikanlele Clarias sp,, [Tesis], Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor,Bogor,
Anonimous, 2004, Kebutuhan pakan ternak pada 2010 mencapai 13 juta ton,Artikel Suara Pembaharuan, Available at http://www,suarapembaharuan,com, [14 Januari 2011],
Anonimous, 2005, Limbah sawit bernilai ekonomis, Artikel Kompas, Available athttp://www,kompas,com, [14 Januari 2011],
Anonimous, 2009, Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah dan Stakeholder dalamProduksi Pakan Ikan untuk Mendukung Pengembangan Usaha PerikananBudidaya dalam Menghadapi dampak Krisis Global, Temu Pakan Nasional19 - 20 Maret 2009, Bandung,
Handajani, H,, Widodo, W,, 2010, Nutrisi Ikan, UMM press, Malang
Hertrampf, J,W,, Piedad-Pascual F,, 2000, Handbook on Ingredients forAquaculture Feeds, Kluwer Academic Publishers, London,
Huissman, E,A,, 1987, Principle of fish production, Departement of Fish Cultureand Fisheries, Wageningen Agricultural University, The Netherlands,
Jauncey K, Ross B (1982), A Guide to Tilapia feeds and feeding, Institute ofAquaculture, University of Stirling, Scotland, Pp3,
Kalsoom, UM, E, ; Salim, T, M ; Shahzadi and Barlas, A, 2009, GrowthPerformance and Feed Conversion Ratio (FCR) in Hybryd Fish (Catla CatlaX Labeo Rohita) Fed on Wheat Bran, Rice Broken and Blood Meal, PakistanVet, J,, 29: 55-58,
Maina J G et al, 2002, Digestibility and feeding value of some feed ingredientsfed to tilapia Oreochromis niloticus (L,), Aquaculture research, 33, 853-862,
Millamena, OM, RM Coloso, and FP Pascual, 2002, Nutrition in tropicalAquaculture, SEAFDEC, Tigbauanm Iloilo, Philippines, 221p
Mokoginta I, Takeuchi T, Suprayudi AM, Wiramiharja Y, Setiawati M, 1999,Pengaruh sumber karbohidrat yang berbeda terhadap kecernaan pakan,
18
efisiensi pakan, dan pertumbuhan benih gurame (Osphronemus gouramyLac), Jurnal ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, VI (2): 13-19,
NRC (National Research Council), 1993, Nutrien Requirement of Fish, NationalAcademy Press, Washington DC,
NRC (National Research Council), 1997, Nutrien Requirement of Fish, NationalAcademy Press, Washington DC,
Piliang, Wiranda G dan Djojosoebagio, S, 2006, Fisiologi Nutrisi Volume 1, IPBPress: Bogor
Tangendjaja, B, dan S, Rachmawati, 2006, Mycotoxin levels in corn and feedcollected from Indonesian feedmills, Proc, ISTAP IV, Jogyakarta,
Takeuchi, T, 1988, Laboratory Work – Chemical Evaluation of Dietary Nutrients,P 179 – 233 In T, Watanabe, Editor, Fish Nutrition and Mariculture,Departement of aquatic Bioscience, Tokyo University of Fisheries,
Van Soest PJ, Robertson JB, Lewis BA, 1991,Methods for dietary fiber and non-starch polysaccharides in relation to animal nutrition, J, Dairy Sci, 74:3583-3597,
Watanabe, T,, 1988, Fish Nutrition and Mariculture, Departement of AquaticBiosciences, Tokyo University of Fisheries, JICA
19
LAMPIRAN
Lampiran 1, Data Kelangsungan Hidup pemeliharaan selama 50 haripemeliharaan
pakan uji ulangan jumlah tebar awal (e) jumlah panen (e) SR (%)
WB 0% 1 100 100 100
WB 0% 2 100 99 99
WB 0% 3 100 99 99
rata-rata 99,33Simpanganbaku 0,58
WB 10% 1 100 100 100
WB10 % 2 100 100 100
WB 10% 3 100 100 100
rata-rata 100Simpanganbaku 0
WB 20 % 1 100 100 100
WB 20 % 2 100 99 99
WB 20 % 3 100 98 98
rata-rata 99Simpanganbaku 1
WB 30 % 1 100 98 98
WB 30 % 2 100 100 100
WB 30 % 3 100 98 98
rata-rata 98,67Simpanganbaku 1,15
20
Lampiran 2, Data laju pertumbuhan spesifik selama 50 hari pemeliharaan
pakan uji ulangan Bobot rata-rata awal/e (g) Bobot akhir rata2/e (g)LPS(%)
WB 0% 1 13,9 54 2,75
WB 0% 2 13,5 58,3 2,97
WB 0% 3 13,4 56,2 2,91
rata-rata 13,6 56,2 2,88
SB 0,11
WB 10 % 1 13,5 50 2,65
WB 10 % 2 13 48 2,65
WB 10 % 3 13 51,5 2,79
rata-rata 2,69
SB 0,08
WB 20 % 1 14,6 56 2,73
WB 20 % 2 13,2 50,2 2,71
WB 20 % 3 13 53 2,85
rata-rata 2,76
SB 0,08
WB 30 % 1 13,2 54,4 2,87
WB 30 % 2 13,4 48 2,58
WB 30 % 3 13,5 58,9 2,99
rata-rata 2,81
SB 0,21
21
Lampiran 3, Data biomassa awal dan akhir pemeliharaan selama 50 hari
pakan uji UlanganBiomassa
tebar (gram)
Bobot rata-rata awal
(g/e)
Biomassaakhir (gram)
Bobot rata-rata akhir
(g/e)
WB 0% 1 1390 13,9 5400 54
WB 0% 2 1350 13,5 5771,07 58,3
WB 0% 3 1340 13,4 5559,18 56,2
rata-rata 1360 13,6 5576,75 56,2
WB 10 % 1 1350 13,5 5000 50
WB 10 % 2 1300 13 4800 48
WB 10 % 3 1300 13 5150 51,5
rata-rata 1317 13,17 4983 49,83
WB 20% 1 1460 14,6 5600 56
WB 20% 2 1320 13,2 4968 50,2
WB 20% 3 1300 13 5196,09 53
rata-rata 1360 13,6 5255 53,1
WB 30% 1 1320 13,2 5326,5 54,4
WB 30% 2 1340 13,4 4800 48
WB 30% 3 1350 13,5 5780,69 58,9
rata-rata 1337 13,37 5302 53,77
22
Lampiran 4, Data jumlah konsumsi pakan dan efisiensi pakan selama 50 haripemeliharaan
Lampiran 5,Data kecernaan total
Pakan uji ulangan Cr2O3 pakan (%) Cr2O3 feses (%) Kecernaan (%)
WB 0% 1 0,5 1,26 60,32
2 0,5 1,3 61,54
WB10 % 1 0,5 1 50
2 0,5 1,03 51,46
WB 20 % 1 0,5 0,98 48,97
2 0,5 0,9 44,44
WB 30 % 1 0,5 0,99 49,49
2 0,5 1,08 53,7
Pakan uji UlanganBbiomassatebar (g)
Biomassapanen (g)
JumlahKonsumsiPakan (g)
EfisiensiPakan(%)
WB 0% 1 1390 5400 6547,62 61,24
WB 0% 2 1350 5771,07 6444,88 68,59
WB 0% 3 1340 5559,18 6568,43 64,23
rata-rata 1360 5576,75 6520,31 64,69simpangan
baku 66,15 3,69
WB 10% 1 1350 5000 5538,43 65,9
WB 10% 2 1300 4800 5902,78 59,29
WB 10% 3 1300 5150 6176,1 62,33
rata-rata 5872,44 62,51simpangan
baku 319,92 3,31
WB 20% 1 1460 5600 5956,92 69,49
WB 20% 2 1320 4968 5932,34 61,49
WB 20% 3 1300 5196,09 6513,11 59,82
rata-rata 6134,12 63,6simpangan
baku 328,44 5,17
WB 30% 1 1320 5326,5 6522,86 61,42
WB 30% 2 1340 4800 6137,48 56,37
WB 30% 3 1350 5780,69 6581,78 67,32
rata-rata 6414,04 61,7simpangan
baku 241,31 5,48
23
Lampiran 6, Data proksimat tubuh ikan uji
ikan awal
ulangankadar air
(%)kadar lemak (%) kadar protein (%)
basah kering basah kering
1 76,74 4,28 18,42 11,88 51,06
2 76,74 4,28 18,42 11,88 51,06
3 76,74 4,28 18,42 11,88 51,06
WB 0 %
1 65,94 7,24 28,73 11,86 47,01
2 69,55 6,61 21,72 14,75 48,44
3 66,89 7,54 22,78 15,78 47,66
WB 10 %
1 77,81 5,05 22,75 12,22 55,08
2 75,01 5,29 21,15 12,9 51,62
3 70,35 6,37 21,49 13,99 47,21
WB 20 %
1 69,9 6,46 21,46 15,02 49,89
2 63,56 5,82 15,98 19,51 53,55
3 65,98 7 20,59 17,78 52,26
WB 30 %1 72,43 6,37 23,12 13,34 48,39
2 57,76 9,47 22,43 21,09 49,94
3 73,97 6,89 26,48 12,48 47,93
24
Lampiran 7,Data retensi protein tubuh ikan uji
Parameter ulgnpakan uji
wB 0 % WB 10 % WB 20 % WB 30%
Biomassa ikan awal (g)
1 1390 1350 1460 1320
2 1350 1300 1320 1340
3 1340 1300 1300 1350
Biomassa ikan akhir (g)
1 5400 5000 5600 5326,5
2 5771,07 4800 4968 4800
3 5559,18 5150 5196,09 5780,69
Protein ikan:
Kadar protein tubuh awal (%) 1 11,88 11,88 11,88 11,88
2 11,88 11,88 11,88 11,88
3 11,88 11,88 11,88 11,88
kadar protein tubuh akhir (%) 1 11,86 12,22 15,02 13,34
2 14,75 12,9 19,51 21,09
3 14,66 13,99 17,78 12,48
protein tubuh total awal (g) 1 165,13 160,38 173,45 156,82
2 160,38 154,44 156,82 159,19
3 159,19 154,44 154,44 160,38
protein tubuh total akhir (g) 1 640,44 611 841,12 710,56
2 851,23 619,2 969,26 1012,32
3 814,96 720,49 923,86 721,43jumlah protein yang disimpandalam tubuh (g) 1 475,31 450,62 667,67 553,74
2 690,85 464,76 812,44 853,13
3 655,77 566,05 769,42 561,05
Pakan ikan
Konsumsi pakan (g) 1 6547,62 5538,43 5956,92 6522,86
2 6444,88 5902,78 5932,34 6137,48
3 6568,43 6176,1 6513,11 6581,78
kadar protein pakan(%) 1 28,93 29,25 28,83 28,27
2 28,93 29,25 28,83 28,27
3 28,93 29,25 28,83 28,27jumlah protein pakan yangdikonsumsi(g) 1 1894,23 1619,99 1717,38 1844,01
2 1864,5 1726,56 1710,29 1735,07
3 1900,25 1806,51 1877,73 1860,67
retensi protein (%) 1 25,09 27,82 38,88 30,03
2 37,05 26,92 47,5 49,17
3 34,59 31,33 40,98 30,15
rata-rata 32,22 28,69 42,45 36,45
simpangan baku 6,32 2,33 4,49 11,02
25
Lampiran 8, Data retensi lemak tubuh ikan uji
parameter ulngnpakan uji
wB 0 % WB 10 % WB 20 %WB30%
Biomassa ikan awal (g)
1 1390 1350 1460 1320
2 1350 1300 1320 1340
3 1340 1300 1300 1350
Biomassa ikan akhir (g)
1 5400 5000 5600 5326,5
2 5771,07 4800 4968 4800
3 5559,18 5150 5196,09 5780,69
Lemak ikan :
kadar lemak tubuh awal ( %)
1 4,28 4,28 4,28 4,28
2 4,28 4,28 4,28 4,28
3 4,28 4,28 4,28 4,28
Kadar lemak tubuh akhir( %)
1 7,24 5,05 6,46 6,37
2 6,61 5,29 5,82 9,47
3 7 6,37 7 6,86
Lemak tubuh total awal (g) 1 59,49 57,78 62,49 56,49
2 57,78 55,64 56,49 57,35
3 57,35 55,64 55,64 57,78
Lemak tubuh total akhir (g) 1 390,96 252,5 362,76 339,29
2 381,47 253,92 289,14 454,56
3 389,14 328,06 363,73 396,55jumlah lemak yang tersimpandalam tubuh (g) 1 331,47 194,72 299,27 282,8
2 323,69 198,28 232,65 397,21
3 331,79 272,42 308,09 338,77
Pakan ikan
Konsumsi pakan (g) 1 6547,62 5538,43 5956,92 6522,86
2 6444,88 5902,78 5932,34 6137,48
3 6568,43 6176,1 6513,11 6581,78kadar lemak dalam pakan(%) 1 5,47 5,55 6,02 7,34
2 5,47 5,55 6,02 7,34
2 5,47 5,55 6,02 7,34Jumlah lemak pakan yangdikonsumsi (g) 1 358,15 307,38 358,61 478,77
2 352,53 327,6 357,13 450,49
3 359,29 342,77 342,77 483,1
retensi lemak (%) 1 92,55 63,35 83,45 59,07
2 91,82 60,53 65,14 88,17
3 92,35 79,48 78,58 70,12
rata-rata 92,24 67,79 75,72 72,45
simpangan baku 0,38 10,22 9,48 14,68
27
Lampiran 9. Data uji statistik parameter biologi selama pemeliharaan 50 hari
1. Uji statistik dan Duncan parameter SR
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 5 4.41666667 0.88333333 1.38 0.3486
Error 6 3.83333333 0.63888889
Corrected Total 11 8.25000000
Duncan
Duncan Grouping Mean N PAKAN
A 100.0000 3 wb 10%AA 99.3333 3 wb 0%AA 99.0000 3 wb 20%AA 98.6667 3 wb 30%
2. Uji statistik dan Duncan parameter LPS (Laju Pertumbuhan Spesifik)
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 5 0.11040833 0.02208167 1.63 0.2830
Error 6 0.08121667 0.01353611
Corrected Total 11 0.19162500
DuncanDuncan Grouping Mean N PAKAN
A 2.87667 3 wb 0%AA 2.81333 3 wb 30%AA 2.76333 3 wb 20%AA 2.69667 3 wb 10%
28
3. Uji Statistik parameter JKP (Jumlah Konsumsi Pakan)
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 5 1070751.59754168 214150.31950834 5.35 0.0323
Error 6 240159.96088338 40026.66014723
Corrected Total 11 1310911.55842506
Duncan
Duncan Grouping Mean N PAKAN
A 6520.3 3 wb 0%AA 6414.0 3 wb 30 %AB A 6134.1 3 wb 20 %BB 5872.4 3 wb 10%
4. Uji statistik dan Duncan parameter EP (Efisiensi pakan)
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 5 34.70416667 6.94083333 0.29 0.9018
Error 6 143.27633333 23.87938889
Corrected Total 11 177.98050000
Duncan
Duncan Grouping Mean N PAKAN
A 64.687 3 wb 0%AA 63.600 3 wb 20%AA 62.510 3 wb 10%AA 61.703 3 wb 30%
29
5. Lampiran retensi protein tubuh ikan nila
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 5 506.47607500 101.29521500 3.33 0.0876
Error 6 182.46741667 30.41123611
Corrected Total 11 688.94349167
Duncan
Duncan Grouping Mean N PAKAN
A 42.453 3 wb 20%A
B A 36.450 3 wb 30%B AB A 32.243 3 wb 0%BB 28.690 3 wb 10 %
6. Retensi Lemak
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 5 1081.83670833 216.36734167 1.71 0.2646
Error 6 757.27018333 126.21169722
Corrected Total 11 1839.10689167
Duncan
Duncan Grouping Mean N PAKAN
A 92.240 3 wb0%A
B A 75.723 3 wb20%B AB A 72.453 3 wb 30%BB 67.787 3 wb 10%
30
Uji Kecernaan
Descriptives
hasil
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum MaximumLower Bound Upper Bound
1 2 60.9300 .86267 .61000 53.1792 68.6808 60.32 61.54
2 2 50.7300 1.03238 .73000 41.4545 60.0055 50.00 51.46
3 2 46.7050 3.20319 2.26500 17.9254 75.4846 44.44 48.97
4 2 51.5950 2.97692 2.10500 24.8484 78.3416 49.49 53.70
Total 8 52.4900 5.83254 2.06211 47.6139 57.3661 44.44 61.54
ANOVA
hasil
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between
Groups
(Combined) 217.197 3 72.399 13.835 .014
Linear Term Contrast 102.592 1 102.592 19.604 .011
Deviation 114.605 2 57.302 10.950 .024
Within Groups 20.933 4 5.233
Total 238.129 7
hasil
Duncan
pakan N
Subset for alpha = 0.05
a b
WB 20% 2 46.7050
WB 10% 2 50.7300
WB 30% 2 51.5950
WB 0% 2 60.9300
Sig. .104 1.000