ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

23
342 Abstrak: Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Negara. Artikel ini bertujuan membangun konsep etika profetik dengan menggunakan ke- arifan lokal budaya Melayu. Prinsip ilmu sosial dan spirit profetik dija- dikan sebagai metode. Penelitian ini menemukan konsep etika profetik sebagai jalan ikhtiar untuk menginternalisasikan sifat Rasul. Etika ini berorientasi pada kesadaran tertinggi manusia, yaitu kesadaran ketu- hanan dan kenabian. Implikasinya, para pengambil kebijakan tidak ha- nya mengadopsi suatu standar universal yang berlaku umum. Kode etik juga seharusnya ditelaah lebih lanjut mengenai kesesuaian dengan nor- ma dan ajaran kebaikan yang telah disampaikan oleh Nabi atau Rasul terdahulu. Abstract: : Prophetic Ethics for State Financial Managers. This arti- cle aims to develop the concept of prophetic ethics by using local wisdom of Malay culture. The principles of social science and prophetic spirit are used as methods. This research found the concept of prophetic ethics as an en- deavor to internalize the nature of the Prophet. This ethic is oriented to the highest human consciousness, namely divine and prophetic awareness. The implication is that policymakers not only adopt a generally accept- ed universal standard. The code of ethics should also be explored further about conformity with norms and teachings of goodness that have been conveyed by previous Prophets or Apostles. “Kamu adalah umat terbaik yang dila- hirkan untuk manusia, menyuruh ke- pada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Al- lah” (QS. Ali-Imran: 110) Kutipan ayat di atas merupakan peman- tik semangat cendekiawan muslim tanah air Kuntowijoyo dalam membangun kon- sep ilmu sosial profetik. Dari ayat tersebut lahir landasan trilogi profetik yaitu huma- nisasi, liberasi, dan transendensi. Lahirnya landasan tersebut tidak lain dikarenakan kegelisahan beliau terhadap memudarnya eksistensi wahyu (lihat Kuntowijoyo, 1991). Hal ini senada dengan apa yang dirasakan oleh pemikir besar abad ke-20 Prancis, yaitu Roger Garaudy. Dalam tulisan yang fenome- nal terkait mitos dan politik Israel, Garaudy menekankan untuk mendobrak keterbeleng- guan nilai kemanusiaan di tengah-tengah masyarakat yang cenderung mendewakan rasio melalui filsafat kenabian dari Islam yang mengakui eksistensi wahyu. Biyan- Volume 10 Nomor 2 Halaman 342-364 Malang, Agustus 2019 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 Mengutip ini sebagai: Briando, B., & Purnomo, A. S. (2019). Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne- gara. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 10(2), 342-364.https://doi.org/10.18202/jamal.2019.08.10020 ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA Bobby Briando, Agung Sulistyo Purnomo Politeknik Imigrasi Indonesia, Jl. Raya Gandul No. 4, Depok 16514 Tanggal Masuk: 09 Januari 2019 Tanggal Revisi: 09 Agustus 2019 Tanggal Diterima: 31 Agustus 2019 Surel: [email protected], theagungpurnomofi[email protected] Kata kunci: kenabian, kesadaran ketuhanan, kode etik Jurnal Akuntansi Mulparadigma, 2019, 10(2), 342-364

Transcript of ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

Page 1: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

342

Abstrak: Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Negara. Artikel ini bertujuan membangun konsep etika profetik dengan menggunakan ke­arifan lokal budaya Melayu. Prinsip ilmu sosial dan spirit profetik dija­dikan sebagai metode. Penelitian ini menemukan konsep etika profetik sebagai jalan ikhtiar untuk menginternalisasikan sifat Rasul. Etika ini berorientasi pada kesadaran tertinggi manusia, yaitu kesadaran ketu­hanan dan kenabian. Implikasinya, para pengambil kebijakan tidak ha­nya mengadopsi suatu standar universal yang berlaku umum. Kode etik juga seharusnya ditelaah lebih lanjut mengenai kesesuaian dengan nor­ma dan ajaran kebaikan yang telah disampaikan oleh Nabi atau Rasul terdahulu.

Abstract: : Prophetic Ethics for State Financial Managers. This arti-cle aims to develop the concept of prophetic ethics by using local wisdom of Malay culture. The principles of social science and prophetic spirit are used as methods. This research found the concept of prophetic ethics as an en-deavor to internalize the nature of the Prophet. This ethic is oriented to the highest human consciousness, namely divine and prophetic awareness. The implication is that policymakers not only adopt a generally accept-ed universal standard. The code of ethics should also be explored further about conformity with norms and teachings of goodness that have been conveyed by previous Prophets or Apostles.

“Kamu adalah umat terbaik yang dila-hirkan untuk manusia, menyuruh ke-pada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Al-

lah” (QS. Ali-Imran: 110)

Kutipan ayat di atas merupakan peman­tik semangat cendekiawan muslim tanah air Kuntowijoyo dalam membangun kon­sep ilmu sosial profetik. Dari ayat tersebut lahir landasan trilogi profetik yaitu huma­nisasi, li berasi, dan transendensi. Lahir nya

landasan tersebut tidak lain dikarenakan kegelisahan beliau terhadap memudarnya eksistensi wah yu (lihat Kuntowijoyo, 1991). Hal ini sena da dengan apa yang dirasakan oleh pemikir besar abad ke­20 Prancis, yaitu Roger Garaudy. Dalam tulisan yang fenome­nal terkait mitos dan politik Israel, Garaudy menekankan untuk mendobrak keterbeleng­guan nilai kemanusiaan di tengah­tengah masyarakat yang cenderung mendewakan rasio melalui filsafat kenabian dari Islam yang mengakui eksistensi wahyu. Biyan­

Volume 10Nomor 2Halaman 342-364Malang, Agustus 2019ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879

Mengutip ini sebagai: Briando, B., & Purnomo, A. S. (2019). Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne­gara. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 10(2), 342­364.https://doi.org/10.18202/jamal.2019.08.10020

ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

Bobby Briando, Agung Sulistyo Purnomo

Politeknik Imigrasi Indonesia, Jl. Raya Gandul No. 4, Depok 16514

Tanggal Masuk: 09 Januari 2019Tanggal Revisi: 09 Agustus 2019Tanggal Diterima: 31 Agustus 2019

Surel: [email protected], [email protected]

Kata kunci:

kenabian, kesadaran ketuhanan,kode etik

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2019, 10(2), 342-364

Page 2: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

to (2017) juga membahas hal terkait dera­jat spiritualis Nabi Muhamad yang mam­pu mewujudkan eksistensi wahyu menjadi kekuatan psikologis dalam melakukan refor­masi sosio­humanitas di tengah masyarakat Arab jahiliyah di masa itu. Nahar & Yaacob (2011) memperkenalkan prinsip filosofis pro­fetik dalam beretika yaitu humanis, emansi­patoris, transendental, dan teleologikal. Pro­fetik kemudian berkembang menjadi suatu metode sebagaimana yang dilakukan oleh Ahimsa­Putra (2016) dalam bukunya yang berjudul “Paradigma Profetik Islam: Episte­mologi, Etos, dan Mode”.

Dengan melihat sejarah masa lalu sebenarnya para peneliti etika sebagian besar membangun nilai­nilai dan konsep berdasarkan “hukum moral” yang melatar­belakanginya. Immanel Kant salah satu nya, dalam memberikan pengertian terhadap “kewajiban”. Kant mengaitkannya dengan “ketentuan formal” (formal requirement), ya­itu moral law. Moral law yang dikemukakan oleh Kant memiliki makna religious. Hal ini didasarkan bahwa Kant memang bera sal dari lingkungan Kristen Protestan. Jadi, ti­dak mengherankan bila “moral law” yang ia gunakan mendapat inspirasi dari etika Protestan (Nahar & Yaacob, 2011; Triyuwo­no, 2015). Kant mempercayai bahwa aga ma Kristen sebagai sumber yang mempunyai otoritas untuk mengetahui yang baik dan benar. Hal ini pula yang menjadi dasar kuat peneliti berikutnya dalam membangun “mo-ral law” dengan pendekatan lain, salah sa­tunya pendekatan ilmu pengetahuan profe­tik atau kenabian.

Ahimsa­Putra (2016) dan Triyuwono (2011) berargumentasi bahwa ilmu penge­tahuan profetik mengakui adanya sumber pengetahuan empiris dan tidak empiris. Dari ilmu tersebut kemudian dijadikan sebuah formulasi praktis dalam bentuk “prophetic law”, yang akhirnya disebut dengan nama “etika profetik”. Untuk menghasilkan keten­tuan etika ini, diperlukan suatu perangkat, yaitu spirit dan prinsip filosofis profetik, yang menurut Al­Daghistani (2016) dan Triyuwo­no (2015) masing-masing diklasifikasikan ke dalam empat unsur pembentuknya, yaitu kemanusiaan, keilmuan, kehambaan, dan kesemestaan untuk spirit profetik serta hu­manis, emansipatoris, transendental, dan teleologikal untuk prinsip filosofis profetik.

Diskursus etika dalam pelayanan pu­blik jarang dibahas dan ditemui, terlebih me nyangkut masalah pengelolaan keuangan

negara. Sebenarnya hal ini tidak menghe­rankan mengingat bahwa sebagian besar pe­neliti etika sering menyentuh aspek praktis dibandingkan filosofis. Maka, tidak mengehe­rankan banyak penelitian etika dikembang­kan secara kuantitatif. Etika merupakan aja­ran filsafat moral yang notabene mengatur tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak. Seringkali pengelola keuang­an tidak mengetahui atau bahkan pura­pu­ra tidak tahu terkait batasan­batasan mana saja yang boleh dilakukan atau tidak dalam mengelola keuangan negara. Hal ini yang pada akhirnya memunculkan perilaku tidak etis dalam mengelola keuangan, salah sa­tunya korupsi (Briando, Triyuwono, & Irian­to, 2017; Hooper, 2017).

Pada sisi lainnya, begitu banyak ok­num aparatur (termasuk pengelola keuang­an) yang telah menjadi hamba harta dan tahta dengan cara melacurkan dirinya ke­pada hal­hal yang bertentangan dengan pe­rintah aga ma. Tontonan dan suguhan be­rita terkait maraknya korupsi seolah telah menjadi santapan sehari­hari di negeri ini. Hal ini bisa jadi dikarenakan miskonsep­si atas pembuat an standar etika dan kode etik. Penelitian yang dilakukan oleh Pa­saribu & Briando (2019) menyatakan bah­wa untuk menyusun standar etika dan kode etik Aparatur Pe ngawas Internal Pemerintah (APIP) Indonesia masih menjiplak standar etika yang berlaku universal. Beberapa pe­nelitian menunjukkan bahwa standar etika yang berlaku universal belum tentu sesuai dengan falsafah negara yang berketuhanan seperti Indonesia (Setiawan, 2016; Sitorus, 2019; Suharto, 2019). Hilangnya nilai ketu­hanan dalam standar dan kode etik akan berakibat semakin memudarnya eksisten­si wahyu dan lunturnya kewajiban khalifa-tullah fil ardh serta Abdullah. Oleh karena itu, konsep etika profetik dihadirkan dalam rangka menumbuhkan kesadaran asali ma­nusia sebagai pengemban amanah dan ham­ba Allah sesuai janji saat ruh ditiup dalam kandungan de ngan menyebut dua kalimat syahadat.

METODEPenelitian ini menggunakan cara pan­

dang spiritualis. Paradigma ini lebih me­nekankan keutuhan sebuah konsep, yaitu ketuhanan, kenabian, dan kebudayaan. Per­saksian iman atas dua kalimat syahadat ser­ta budaya lokal menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Di sisi lain, penggu­

Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 343

Page 3: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

naan paradigma spiritualis dilakukan agar konsep etika yang dihasilkan bersifat ho­listik. Budaya Melayu yang digunakan da­lam penelitian ini adalah pepatah dan syair lama. Dalam pepatah dan syair tersebut ter­kandung dimensi ketuhanan dan kemanu­siaan, serta merupakan rekam jejak antara kekuatan eksistensial manusia dan dunia di luar dirinya. Keduanya merupakan sastra lama yang lebih menekankan aspek­aspek terdalam dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama, serta lingkungan (Briando, Triyuwono, & Irianto, 2017; Umar, 2014).

Alasan utama menggunakan paradigma ini adalah agar konsep etika yang dihasilkan bersifat lebih utuh atau holistik jika diban­dingkan dengan menggunakan paradigma lain. Paradigma ini lebih menekankan ke­utuhan realitas. Menurut paradigma ini, se­bagaimana yang diutarakan oleh Triyuwono (2015) dan Umar (2014), realitas berada da­lam satu kesatuan. Bahkan, realitas tersebut berada dalam satu kesatuan dengan Tuhan (Kholifatu, 2018; Santi, 2018). Alasan beri­kutnya adalah untuk memberikan nuansa yang berbeda dengan paradigma modernis yang melihat realitas secara terpisah de ngan realitas yang lain. Paradigma modernis pada umumnya tidak memberikan ruang sama sekali bagi Tuhan terlebih pada utusannya dalam menyampaikan wahyu. Oleh kare­na itu, teori yang berhasil dibangun bersi­fat sekuler dan jauh dari eksistensi wahyu (Briando, Triyuwono, & Irianto, 2017; Triyu­wono, 2016). Selain itu, paradigma ini mem­berikan suatu pembelajaran bahwa berspiri­tual pun dapat dimulai dengan melakukan penelitian karena sesungguhnya belajar dan menuntut ilmu merupakan aktivitas spiri­tual seorang hamba kepada Tuhan sebagai jalan untuk kembali pada Tuhan dengan jiwa yang suci dan tenang.

Secara umum sebuah penelitian bi­asanya menggunakan desain penelitian (re-search design). Namun, dalam desain pene­litian spiritualis menurut Triyuwono (2015) memang tidak lazim digunakan karena me­rupakan desain penelitian yang berdasar­kan pada spontanitas spiritual. Spontanitas ini dapat dimiliki oleh setiap orang dengan kadar yang berbeda. Spontanitas ini pada dasarnya merupakan pengalaman keter­hubungan spiritual seseorang dengan Tu­han dan sekitarnya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah satu hal yang nyata kare­

na segala sesuatu adalah bagian yang satu dengan Tuhan.

Analisis data adalah bagian penting da­lam proses penelitian. Penelitian ini meng­anggap bahwa peneliti adalah alat utama untuk analisis data. Analisis data seperti ini sebelumnya pernah dilakukan oleh Triyu­wono (2015) dalam membuat konsep kinerja klub sepakbola di Malang dan Briando, Tri­yuwono, & Irianto (2017) dalam membangun infrastruktur etika pengelolaan keuangan negara serta penelitian Umar (2014) dalam mendesain konsep prophetical law untuk membangun hukum berkeadilan dengan kedamaian. Hal yang patut dicermati bah­wasannya posisi peneliti adalah sebagai alat utama. Sebagai alat utama menurut Triyu­wono (2015), peneliti harus senantiasa ber­zikir, berdoa, bertafakur, serta berikhtiar guna mendapatkan intuisi sehingga dalam dirinya muncul sebuah alat untuk menga­nalisis data (Hidayat, 2015; Wijaya, 2010, Zein, 2015).

Pencerahan atau alat yang muncul kemudian dapat berupa logika teoritis atau logika spiritual. Logika teoritis diperoleh melalui aktivitas spiritual, tetapi inspirasi yang diperoleh mengarahkan peneliti un­tuk menggunakan teori yang telah ada serta pemikiran rasional sebelumnya (Triyuwo­no, 2015). Sementara itu, logika spiritual adalah logika yang muncul secara spontan melalui aktivitas spiritual yang dilakukan oleh peneliti. Kedua logika ini yang kemu­dian peneliti gunakan untuk menganalisis data yang dimilikinya (Briando, Triyuwono, & Irianto, 2017).

Peneliti melakukan prosedur spiritual yang dikembangkan oleh Triyuwono (2015) dengan beberapa modifikasi yang kemudian dinamakan holistic method untuk menentu­kan alat analisis yang tepat dalam penelitian ini. Prosedur pertama adalah berdoa kepada Tuhan. Kegiatan ini merupakan permohonan ampun atas segala kekhilafan peneliti dalam rangka memohon perkenan dari Sang Pemi­lik Ilmu untuk mencari alat dan metode yang sesuai dalam menganalisis data. Prosedur kedua adalah berzikir. Prosedur ini dilaku­kan setiap waktu, baik dalam aktivitas pene­litian maupun tidak. Prosedur ketiga adalah berkontemplasi (tafakur). Kegiatan ini ber­tujuan melakukan telaah atas aspek yang dianalisis, dibahas, dan diargumentasikan. Prosedur ter akhir adalah ikhtiar. Ikhtiar merupakan suatu usaha atau aktivitas yang menunjang selama melakukan penelitian.

344 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364

Page 4: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

Kegiatan ini bisa dilakukan dengan mem­perbanyak iqro’ (studi literatur), observasi ataupun wawancara. Adapun pejelasan leb­ih singkat dapat dilihat pada Gambar 1.

Berbagai uraian mengenai prosedur pe­nelitian (lihat Gambar 1) memberikan jalan bagi peneliti memperoleh inspirasi berupa metafora Syafaat. Artinya, metafora Syafaat akan digunakan sebagai alat dalam meng­analisis data. Dengan kata lain, alat anali­sis yang digunakan termasuk pada golongan logika teoritis. Melalui logika metafora ini, data dianalisis sedemikian rupa sehingga pada akhirnya dapat merumuskan konsep etika profetik. Metafora tersebut kemudian dimanifestasikan dalam sifat­sifat kenabian SAFAATMU dan disertai dengan melakukan cross reference terhadap nilai­nilai budaya yang ada di masyarakat Melayu.

HASIL DAN PEMBAHASANDi sepertiga malam penghujung Ra­

madhan yang penuh berkah, peneliti ber­simpuh menghadap Ilahi seraya meman­jatkan puji­pujian dan doa agar diberikan kesadaran dan ampunan atas segala khilaf yang telah dilakukan:

“Ya Allah, ampunilah segala do­sa­dosa hamba, ampunilah dosa kedua orang tua hamba, ampuni­lah seluruh dosa para pemimpin di negeri ini. Terimalah amal iba­dah hamba selama Ramadhan ini. Berkahilah setiap langkah ham­ba, agar hamba menjadi manusia yang taat, yang selalu menjaga

perintah­Mu dan menjauhi atas segala larangan­Mu. Ya Allah, hamba rindu kekasih­Mu, curah­kanlah rahmat untuknya beserta keluarga dan sahabatnya. Semo­ga hamba menjadi hamba yang selalu berzikir kepada­Mu dan bershalawat kepada kekasih­Mu, agar mendapat ridho dan syafaat kelak di yaumil akhir, aamiin alla-huma amin.”

“Syafaat”, itulah kata yang terbesit se­cara spontan di kala peneliti berdoa kepa­da Sang Pencipta. Doa tersebut dipanjatkan setelah peneliti melakukan prosedur spiritu­al berzikir kepada Ilahi Robbi. Spontanitas tersebut merupakan suatu logika spiritual yang peneliti dapatkan begitu saja setelah melakukan aktivitas zikir dan doa. Kemu­dian peneliti mencoba untuk berfikir (tafak-ur) atas apa yang akan diargumentasikan, dibahas, dan dianalisis (Triyuwono, 2015). Semuanya diracik menjadi satu dengan ke­pasrahan dan kesadaran mendalam kepada Tuhan agar mendapat petunjuk atau inspi­rasi (Briando, Triyuwono, & Irianto, 2017).

SAFAATMU sebagai sebuah interaksi. SAFAATMU, inilah inspirasi yang diperoleh setelah peneliti melakukan prosedur spiri­tual zikir, doa, dan tafakur. Prinsip ini me­rupakan manifestasi dari metafora syafaat yang akan digunakan untuk menghasilkan temuan dalam penelitian ini. Tahapan beri­kutnya adalah melakukan ikhtiar. Ikhtiar dilakukan dengan menambah pemahaman peneliti melalui Iqro’ atau kajian literatur.

Gambar 1 Metode Holistik

1. Pray2. Zikr3. Contemplation

Capturing local culture

1. Corroboration 2. Getting out true picture

1. Iqro' as a stock of knowledge2. Cross referencesLiterature

Review(endeavor I)

Theistic-Spiritualist Procedure

Interview(endeavor III)

Observation(endeavor II)

Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 345

Page 5: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

Semuanya saling berinteraksi dengan kepas­rahan dan kesadaran mendalam sehingga mendapatkan ilham atau petunjuk. Dalam perkataan lain, seluruh prosdur dan konsep yang dihasilkan merupakan anugerah yang diberikan oleh Sang Pemilik Ilmu, Tuhan Se­mesta Alam, Allah Azza wa Jalla.

Melalui proses tersebut peneliti mem­peroleh logika teoritis yang mengarahkan peneliti menggunakan teori­teori yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini logika teoritis untuk menganalisis data berdasarkan kaji­an literatur yang peneliti lakukan mengarah pada teori ilmu sosial profetik dan spirit pro­fetik. Teori ilmu sosial profetik menurut Tri­yuwono (2011) terdiri dari empat prinsip yai­tu: humanis, emansipatoris, transendental dan teleologikal. Sedangkan spirit profetik menurut Al­Daghistani (2016) terdiri dari spirit kemanusiaan, keilmuan, kehambaan dan kesemestaan. Dengan menggunakan kedua logika teoritis diatas, maka perumu­san prinsip etika profetik yang holistik dapat dibentuk. Inilah yang akan membedakan ka­jian etika yang peneliti angkat dengan kajian etika mainstream pada umumnya.

Output dari logika spiritual dan teori­tis tersebut peneliti namakan main princi-ple etika profetik SAFAATMU. SAFAATMU merupakan singkatan dari Shiddiq, Akh-laqul Karimah, Fathonah, Adl, Amanah, Ta-bligh, Muthmainnah, dan Uswatun Hasanah. Melalui sifat­sifat tersebut peneliti akan melakukan analisis secara tematik yang pembahasannya dikaitkan dengan karakte­ristik sifat yang harus dimiliki aparatur dalam pengelolaan keuangan Negara. Pe­nelitian seperti ini pernah dilakukan se­belumnya oleh Triyuwono (2011) dengan konsep ANGELS dalam membangun sistem penilaian tingkat kesehatan bank syariah serta penelitian yang dilakukan oleh Brian­do, Triyuwono, & Irianto (2017) dalam me­rumuskan infrastruktur etika MARWAHKU.

Konsep SAFAATMU merupakan hasil interaksi yang dilakukan sedemikian rupa dengan kesadaran dan kepasrahan menda­lam kepada Tuhan. Konsep ini kemudian diperkuat dengan nilai­nilai yang terdapat dalam budaya Melayu, semuanya merupa­kan bentuk spontanitas yang hadir begitu saja di benak peneliti, baik dalam bentuk logika spiritual maupun teoritis. Inilah yang menjadi ciri khas metode penelitian spiritual yang berbeda dengan penelitian mainstream pada umumnya. Dalam penelitian spiritual, peneliti tidak hanya mengedepankan pikiran

secara logis berdasarkan akal semata, teta­pi lebih daripada itu untuk menciptakan kesadaran yang mendalam bahwa ilmu pe­ngetahuan bersumber seutuhnya dari Sang Pemilik Ilmu, Tuhan Semesta Alam.

Spirit kemanusiaan dalam filosofi humanis. Spirit kemanusiaan pada intinya menyiratkan hakikat (tugas) seorang hamba yang diciptakan Tuhan untuk mengemban amanah. Manusia diciptakan sebagai khali-fah yang bertugas untuk mengelola dan me­makmurkan bumi. Khalifah memiliki makna “wakil, pengelola, penguasa”. Jika disebut khalifatullah fil ardh memiliki makna wakil Tuhan di muka bumi (Darraz, 2012; Na­har & Yaacob, 2011). Hakikat khalifatullah tersebut kemudian dibingkai dengan filosofi humanis. Humanis sendiri memberi makna sebagai sifat manusiawi yaitu sifat yang se­suai dengan fitrah manusia pada umumnya. Praktiknya harus sesuai dengan kapabilitas dan kapasitas seseorang sebagai makhluk (Abdullah) yang acapkali berhubungan de­ngan sesama secara dinamis dalam setiap aktivitasnya (Triyuwono, 2015). Jika kedua pengertian tersebut dipadupadankan memi­liki makna bahwa Tuhan memberi amanah kepada hamba­Nya sebagai khalifah untuk mengelola bumi sesuai dengan fitrahnya, serta selalu berinteraksi dengan sesama ma­nusia secara dinamis.

Hal ini mengindikasikan bahwa etika profetik tidak bersifat ahistoris, tetapi ber­sifat historis, dibangun berdasarkan local wisdom (budaya) serta lebih membumi. Bagi orang Melayu kehidupan yang multikultur­al bukan menjadi sesuatu hal yang bersi­fat asin g atau ahistoris. Beragamnya suku bangsa dan agama merupakan suatu hal yang lumrah dijumpai dalam kehidupan masyarakat. Secara fundamental orang Melayu memiliki kecenderungan lebih me­mentingkan aspek horizontal (hubungan kepada Tuhan). Meskipun demikian, aspek vertikal (hubungan sesama manusia) tidak pula diabaikan. Tingkah laku yang selalu memandang penting kedua hubungan terse­but pada dasarnya mengacu kepada ajaran aga ma dan budaya yang mereka yakini yaitu Orang Melayu selalu berpegang pada konsep pandangan hidup Hablun Minallah, Minan-nas, dan Minal alam (Esram, 2010; Hassan, 2016; Husin, 2017).

Secara umum budaya Melayu lebih memvisualisasikan hubungan manusia yang bersifat kolateral, demokratis, dan membu­mi. Sikap yang dipelihara dan dijaga hing­

346 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364

Page 6: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

ga saat ini lebih mengutamakan kekeluar­gaan serta persaudaraan. Rasa senasib dan sepenanggungan yang tumbuh dan terbina dengan baik dikarenakan masing­masing pi­hak masih patuh menuruti norma atau adat pergaulan yang dilazimkan. Sikap menghar­gai tamu merupakan contoh kongkret orang Melayu dalam membina hubungan antarse­sama (hablun minannas). Dalam adat Me­layu jika seorang tamu berkunjung ke ru­mah, tuan rumah harus memperlakukannya de ngan baik dan penuh rasa hormat, tanpa memandang apakah tamu itu pembesar atau bukan, semua dijamu dan diperlaku­kan secara layak. Tuan rumah senantiasa dengan senang hati meluangkan waktunya sampai sang tamu pamit dan mohon diri. Sikap se perti inilah yang masih peneliti ra­sakan hingga saat ini.

Dalam menjamu tamu sangat ditekan­kan sopan santun dan sikap merendah diri. Untuk sikap merendah diri dikenal ungkap­an berikut: “mandi berhilir-hilir, berkata ber-bawah-bawah”. Pada masyarakat Melayu sering terlihat sikap merendah­rendah (Es­ram, 2010; Hassan, 2016). Peneliti masih sering mendengar ucapan “singgahlah ke pondok kami ini”. Padahal yang dikatakan pondok itu adalah sebuah rumah yang megah. Ini menggambarkan bahwa orang Melayu memiliki sikap selalu merendahkan diri serta tidak suka memamerkan apa yang dimiliki. Masih sering terdengar di telinga pe­neliti ungkapan yang diutarakan oleh orang­orang tua dahulu: “tak mas bungkal diasah, tak kayu jenjang dikeping”. Artinya, untuk menyenangkan tamu, segala yang ia miliki akan dihidangkan. Orang Melayu memiliki anggapan bahwa memuliakan tamu adalah salah satu ajaran mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.

Dari apa yang telah diutarakan terse­but, dapat ditarik suatu simpulan bahwa masyarakat Melayu memiliki kehidupan yang humanis dan manusiawi. Orang Me­layu selalu menjalin hubungan yang baik antarsesama. Interaksi yang dilakukan pun sesuai dengan fitrah manusia, yakni senan­tiasa memberi rahmat untuk sesama. Orang Melayu memiliki anggapan bahwa hidup ti­dak dapat berjalan dengan sendiri­sendiri. Kehidupan harus dijalankan dengan saling bersilaturahim serta tolong­menolong an­tara satu dengan lainnya sebagaimana ung­kapan yang sering dikatakan oleh Orang Melayu, “tak berganjak, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Hal ini bermakna

mulia, spirit tertinggi, dan kebesaran jiwa melalui kebersamaan serta kegotong royong­an. Orang Melayu selain menjunjung tinggi semangat kegotong royongan, juga menjun­jung nilai­nilai kebenaran dalam bertutur kepada sesama. Hal ini terlihat dalam ung­kapan: “jujur bertutur, bijak bertindak”. Mak­na yang terkandung adalah setiap ucapan yang dili sankan harus dilandasi kejujuran, dan sikap yang diambil harus senantiasa arif dan bijak.

Dari apa yang telah diutarakan se­sungguhnya jika orang Melayu mendapat amanah mengelola keuangan negara, maka sikap jujur ini haruslah menjadi panutan dalam menjalankan setiap tugas dan fung­sinya. Namun, dalam praktiknya, berdasar­kan fakta sebagaimana berita daring dari liputan6.com per tanggal 13 Juli 2019, ter­dapat delapan kepala daerah di Riau yang terjerat korupsi. Mayoritas dari kedelapan orang tersebut merupakan orang Melayu. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan ajaran dan petuah orang Melayu.

Shiddiq. Nabi Muhammad SAW mem­punyai sifat dan kepribadian yang mulia sehingga membuat dirinya disenangi oleh berbagai kalangan dalam berkomunikasi dan berhubungan dengannya. Pribadi beli­au yang begitu mulia dan sempurna menjadi nilai tambah sendiri oleh para pengikutnya (Patmawati, 2014). Di masa mudanya suku Quraisy menjuluki beliau “shiddiq” dan “al-amin”. Beliau selalu dihormati dan dihargai oleh berbagai golongan termasuk kalangan petinggi di Mekkah. Rasulullah mempunyai kepribadian luhur dalam bertutur kata dan bertindak serta santun terhadap sesama se­hingga siapa pun yang pergi menemui beliau untuk mendapat wasilah dan risalah pasti akan kembali dengan keteguhan hati dan keyakinan yang mantap (Prajawati, 2016). Rasulullah Muhammad SAW hanya bersab­da atas apa yang diwahyukan. Hal ini mem­berikan konsekuensi bahwa semua anjuran dan larangan yang disabdakan pasti benar adanya karena merupakan perwujudan ke­benaran yang berasal dari Tuhan Semesta Alam, Allah Allah Azza wa Jalla (Sakdiah, 2016).

Rasulullah Muhammad SAW selalu berlaku adil dan tidak zholim. Beliau tidak hanya bertutur secara verbal, tetapi selalu ditunjukkan dengan keteladanan serta sikap yang terpuji. Sabda dan titah beliau selalu sejalan dengan perbuatan, tidak terdapat perbedaan antara keduanya. Baik tutur kata

Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 347

Page 7: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

maupun sikap dibangun melalui tindakan yang juga benar adanya. Hal ini sebagaima­na yang dinyatakan oleh Triyuwono (2016) bahwa siddiq melambangkan kebenaran akan perkataan dan perbuatan seseorang, yang berarti menjauhi perbuatan dusta dan kesesuaian perilaku terhadap norma kebe­naran sesuai ajaran Islam. Kebenaran di sini memiliki dua makna, pertama, adalah ke­benaran melalui hidayah langsung dari Al­lah dan yang kedua adalah kebenaran yang tampak dari keselarasan antara perkataan dan perbuatan (yang benar) sehingga tidak ada inkonsistensi di antara keduanya dalam membangun sebuah realitas.

Merujuk pada kejujuran tentunya ha­rus ada suatu dasar yang fundamental dalam menjelaskan sabda kepada peng­ikutnya agar bertindak jujur dalam setiap situasi, kapan pun dan di mana pun itu. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ten­tang penting nya berbuat jujur dan menja­di orang yang jujur di sisi Allah, yang pada intinya menegaskan bahwa kejujuran akan selalu membawa kita kepada kebaikan dan rahmat, demikian pula sebaliknya (Jabbar, 2012; Said, Alam, Karim, & Johari, 2018).

Berdasarkan hadis di atas jika sese­orang telah mendapat suatu amanah peker­jaan, katakanlah pengelola keuangan, maka ia sudah semestinya melakukan upaya­upa­ya untuk mencapai pengelolaan yang baik seperti transparansi, akuntabilitas, respon­sibilitas, dan integritas atas aktivitas peker­jaan yang dilakukannya. Hal tersebut me­rupakan salah satu upaya untuk memelihara kejujuran guna mencapai good governance dalam tata kelola keuangan negara. Hal ini rupanya resisten dengan laporan dari Komi­si Pemberantasan Korupsi (KPK) per tanggal 30 Juni 2019. Tindak Pidana Korupsi terkait pengelolaan keuangan negara berdasarkan Instansi menurut data telah berjumlah 950 kasus. Kementerian/lembaga menduduki posisi paling atas dengan 347 kasus, disusul kemudian oleh Pemkab/Pemkot dengan 324 kasus Pemerintah Provinsi 128 kasus, DPR dan DPRD 70 kasus, BUMN/BUMD 61 ka­sus serta Komisi 20 kasus.

Seorang aparatur pengelola keuangan yang telah berikrar dalam sumpah jabatan saat pertama kali dilantik wajib untuk me­nepati dan melaksanakan janji yang telah diucapkan tersebut, karena yang menjadi saksi atas ikrar sumpah tersebut tidak hanya manusia, tetapi langsung disaksikan Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah dipercaya untuk

mengemban amanah mengelola uang rakyat, tunaikanlah amanah tersebut de ngan se­baik­baiknya, buanglah segala bentuk khi­anat dalam menjalaninya, sampaikanlah ke­benaran meskipun itu merupakan hal yang pahit. Terakhir, merupakan sesuatu yang sangat krusial adalah menjaga niat, tutur kata, fikiran dan gerak langkah dari segala yang diharamkan untuk dilakukan, seperti perilaku fraud dan gratification (Kusdewanti & Hatimah, 2016; Sitorus, 2019).

Shiddiq, dalam hal ini sikap jujur, dapat menjauhkan aparatur dari kecurigaan, prasangka, tanpa memiliki beban baik di awal maupun di akhir. Kuncinya sederha­na, “Jujur akan mengantarkan kepada ke­baikan, dan kebaikan akan mengantar kepa­da syafaat untuk menuju Tuhan” (Sakdiah, 2016). Jujur dalam konteks bertutur dan bertindak benar terhadap Tuhan, sesama manusia, alam semesta, dan diri pribadi. Dengan kejujuran serta sikap istiqomah se­orang aparatur akan dapat melewati halang­an dan rintangan yang menghadang di seti­ap langkahnya termasuk perilaku koruptif, untuk kemudian mendapat syafaat kebaikan nabiullah yang akan mengantarkannya ke­pada falah (kemenangan). Falah yang pa­ling hakiki adalah dapat bertatap langsung dengan Tuhan Semesta Alam, Allah Azza wa Jalla.

Akhlaqul karimah. Nabi Muhammad SAW sesungguhnya diutus ke dunia sebagai penyampai wahyu dalam rangka penyem­purnaan dan pembentukan akhlak manu­sia (H.R. Ahmad). Hal ini sebagaimana sab­danya yang berbunyi: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Akhlak dalam definisi yang disampaikan Al Ghazali (1053SM-222M) seorang filsuf besar dalam kitabnya yang fenomenal Ihya’ Ulu-middin memiliki makna sifat dan perilaku yang merasuk kedalam jiwa secara konstan, darinya muncul perilaku yang wajar dan penuh dengan kasih sayang. Konstan da­lam artian dilakukan secara simultan dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi sebuah habit, tentunya sesuai Al­Qur’an dan Sunah (Khoirudin, 2014; Zulhelmi, 2019).

Khoirudin (2014) dalam artikel ilmiah­nya mengenai metafisika akhlak menya­takan bahwa akhlak dalam perspektif Islam tidak terbatas pada pola hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya, melainkan dise­jalankan dengan terbentuknya etika (code of conduct) vertikal dan horizontal antar­se sama makhluk serta alam semesta: Tu­

348 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364

Page 8: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

han­manusia, manusia­Tuhan, sesama ma­nusia serta dengan alam. Akhlak harus pula diyakini sebagai wujud kesemestaan dan totalitas melingkupi tatanan kehidupan se­cara holistik baik sikap dan amal perbuatan (action). Persoalan akhlak dalam Al­Qur’an menjadi prioritas utama dalam kehidupan manusia (Sirajudin, 2013).

Al­Qur’an membahas persoalan ter­kait akhlak, lebih banyak daripada ayat­ayat yang berkaitan dengan peristiwa lain­nya, baik secara praktis maupun teoritis. Untuk hal praktis disinggung lebih kurang 1500 ayat (Khoirudin, 2014). Akhlak bukan me rupakan “ma’rifah” (mengetahui secara mendalam), bukan “kekuatan” dan juga bu­kan “perbuatan”. Yang lebih setara dengan akhlak adalah “hal” keadaan atau kondisi dimana jiwa atau ruh memiliki potensi yang dapat membangkitkan kesadaraan iman se­seorang kepada Allah SWT (Rohayati, 2011). Akhlak tidak mengenal dimensi ruang dan waktu, tetapi mencakup realitas yang lintas batas (transendental). Membentuk akhlaqul karimah memerlukan upaya spiritual yang tinggi serta tekad yang bulat karena akan selalu terjadi kontradiksi dengan sifat­si­fat mengutamakan diri sendiri (self interest) (Okura, 2013).

Tingkah laku dalam lingkup akhlak ti­dak sekedar membahas perihal perilaku indi­vidu per individu dalam mewujudkan keingin­annya, tetapi bagaimana individu mengenal diri dan alam sekitarnya. Ruang lingkup akhlaqul karimah terdiri atas bebe rapa as­pek, dimulai dari akhlaqul karimah terha­dap Allah, sesama manusia, semesta alam, dan diri pribadi (Khoirudin, 2014; Rohayati, 2011). Pertama, Akhlaqul karimah terhadap Allah SWT Akhlaqul karimah terhadap Allah dapat dilakukan dengan menauhidkan Allah SWT. Tauhid merupakan kesaksian bahwa Allah SWT adalah satu­satunya yang memi­liki sifat rububiyah, uluhiyah, dan asma’ si-fatiyyah. Tauhid rububiyah memiliki makna bahwa Allah merupakan Tuhan yang Ahad dalam menciptakan alam semesta ini, yang meng atur perjalanannya, yang memilikinya, yang mematikan dan menghidupkan, serta yang berkuasa penuh dalam mendatangkan manfaat dan menimpakan mudarat (Zuhel­mi, 2014). Tauhid uluhiyah memiliki makna bahwa kewajiban beriman kepada Allah SWT sebagai satu­satunya yang patut disembah (Al-Ma’bud). Tauhid asma’ sifatiyyah yaitu mengimani Allah SWT dengan segala atribut

atau sifat yang melekat pada­Nya. Misalnya, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pencipta).

Kedua, Akhlaqul karimah terhadap se­sama manusia. Hal tersebut dapat dilaku­kan dengan memperlakukan sesama secara humanis. Ini terbagi atas akhlaq terha­dap keluarga, misal dengan berbudi kepa­da orang tua, bersikap baik kepada sanak saudara, dan akhlaq terhadap masyarakat dengan cara suka memberikan pertolongan pada orang lain di sekitar. Dengan demiki­an, akan terbentuk keselarasan dan kehar­monisan dalam hubungan antarsesama. Hal ini tentu saja akan menstimulasi kerukunan hidup berbangsa dan bernegara, terlebih ke­hidupan masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural.

Ketiga, Akhlaqul karimah terhadap se­mesta. Hal ini dapat dilaksanakan dengan memperlakukan lingkungan dengan baik. Manusia sebagai khalifah bertugas untuk menjaga dan melestarikan alam. Dalam perspektif akhlak Islam, seorang hamba dilarang untuk merusak lingkungan. Se­gala bentuk perusakan yang terjadi pada lingkungan wajib disikapi sebagai perusakan pada dirinya sendiri. Semua makhluk hidup bernyawa dan benda­benda tidak bernyawa merupakan ciptaan Allah SWT dan menjadi milik­Nya. Kesemuanya itu memiliki man­faatnya tersendiri serta kebergantungan pa­da­Nya. Kesadaran ini yang akan membuka mata dan hati seseorang bahwa setiap ma­nusia hakikatnya merupakan “umat” Tuhan sehingga harus diperlakukan tidak seme­na­mena (Khoirudin, 2014; Umar, 2014).

Keempat, Akhlaqul karimah terhadap diri pribadi. Akhlaqul karimah terhadap diri pribadi dapat dilakukan dengan membentuk pribadi yang memiliki sifat–sifat yang terpu­ji, seperti syukur, sabar, menjaga amanah, berkata benar atau jujur, menepati janji bila berjanji, serta memelihara kesucian diri. Diskursus akhlak dalam kajian tertentu tidak menguraikan secara gamblang an­tara (kehidupan) individu atau pribadi de­ngan kelompok sosial (masyarakat). Hal ini dikarenakan ranah sosial kemasyarakatan termasuk pengelolaan keuangan di dalam­nya merupakan satu bagian dari persoalan mendasar konsep kepribadian dan kedirian (self) (Zuhelmi, 2019). Kesemuanya dilaku­kan dalam rangka membentuk diri menjadi pribadi yang etis karena sesungguhnya Is­lam mengakui bahwa konsep kepribadian

Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 349

Page 9: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

atau kedirian merupakan subjek langsung dari akhlak itu sendiri (Ruslan & Alimuddin, 2012).

Pada akhirnya integralistik akhlak merupakan landasan bagi perbuatan sese­orang dalam upaya membentuk insan ka­mil yang memiliki watak humanis (Malsch & Guénin­Paracini, 2013; Stevens & Thevaran­jan, 2010). Sesungguhnya, setiap tahapan dan rangkaian dalam membentuk akhlaqul karimah, baik dalam bentuk anjuran (sunah) maupun perintah dalam mengerjakan se­suatu atau untuk meninggalkan suatu per­buatan yang dilarang. Pada hakikatnya dua hal tersebut merupakan sebuah upa ya un­tuk meluhurkan dan menyempurnakan akh­lak manusia sebagai khalifatullah fil ardh. Budi pekerti berkait an dengan perilaku ke­hidupan, perilaku atau akhlaq sebagai cer­minan diri sese orang, jika baik perangainya maka akan baik budi pekertinya. Akhlaq tersebut yang akan menuntun seseorang, dalam hal ini pengelola keuangan, untuk melakukan atau bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. Dengan memiliki akh-laqul karimah menjadikan pengelola keuang­an tidak akan mudah terombang­ambing mengikuti ke mana arah angin. Pengelola keuangan yang telah mantap dalam akh-laq­nya ibarat “pondasi menara” yang kuat tertanam, sehingga dapat mengantarkannya menjulang tinggi laksana “menara” itu untuk semakin dekat dengan Sang Pencipta nya. Sebuah menara tidak akan berdiri tegak jika tidak memiliki pondasi yang kokoh. Akhlaq yang akan menjadikan pengelola keuangan memiliki pondasi yang kuat dan kokoh da­lam mengelola keuangan negara.

Spirit keilmuan dalam filosofi eman-sipatoris. Spirit keilmuan merupakan suatu bentuk kesadaran akan esensi ilmu pengeta­huan. Spirit ini menyadari sepenuhnya bah­wa pemilik ilmu hakiki serta sumbernya ada­lah Allah SWT. Setiap ilmu yang bersumber dari Allah adalah mutlak kebenarannya. Ilmu tersebut diabadikan berdasar tuntunan­Nya serta didedikasikan untuk­Nya, sesama manusia, semesta alam, serta diri pribadi. Inilah hakikat sejati spirit keilmuan (Darraz, 2012; Triyuwono, 2015). Spirit keilmuan tersebut kemudian dibingkai dengan filoso­fi emansipatoris. Emansipatoris merupakan sebuah ekspresi kemerdekaan manusia dari segala bentuk penindasan ataupun eksploi­tasi baik berbentuk aksi maupun ideologi. Tujuan emansipatoris sendiri adalah untuk mengubah mindset atas pemikiran dan aksi

seseorang, yaitu dari pandangan yang tertu­tup menuju pandangan utuh, sehingga akan menciptakan suatu aksi yang “merdeka”, ti­dak terbelenggu atau “terjajah” oleh jaring kuasa semu (Nahar & Yaacob, 2011).

Dalam konteks ini berarti etika pro­fetik akan membebaskan diri dari segala bentuk penindasan atas kuasa yang se­wenang­wenang serta bersifat independent. Hal ini tida lepas dari basis epistemolo­gis utama etika profetik berdasarkan kaji­an Ahimsa­Putra (2016) terdiri dari Tauhid (faith), nabi (prophet), dan ilmu (knowledge). Ini memberikan makna bahwa etika profetik sebagai pengetahuan (knowledge) dapat di­gunakan untuk mengarahkan praktik etika (action). Praktik etika profetik menggunakan bingkai keimanan atau tauhid (faith) serta kenabian (prophet). Keduanya ibarat dua sisi koin yang tidak terpisah antara satu dengan lainnya, sebagaimana ikrar persaksian iman dalam dua kalimat syahadat. Dalam per­saksian iman sebagaimana dijelaskan, se­cara filosofis etika profetik (sebagai ilmu dan spirit) mempunyai prinsip antara lain spirit kemanusiaan dalam filosofi humanis, spirit keilmuan dalam filosofi emansipatoris, spi-rit kehambaan dalam filosofi transendental, serta spirit kesemestaan dalam filosofi teleo-logikal.

Dalam ajaran Melayu dikenal istilah Lemu (ilmu), yaitu semacam penafsiran ter­hadap ayat Al­Qur’an dan Sunnah Nabi, berimplikasi kepada pembukaan intuisi dan inspirasi untuk memperoleh kekuatan spiritual yang dapat menunjang aktivitas mental (Burhanudin, 2018; Hassan, 2016). Dalam tradisi Melayu pengetahuan pertama yang diajarkan adalah pengetahuan tentang gejala alam. Ini dalam budaya Melayu dise­but sebagai “lemu ilahiat” yaitu ilmu yang men­tadabburi ayat­ayat kauniah Tuhan. Bagi orang Melayu pengetahuan mengenai gejala alam merupakan hal mutlak yang ha­rus dimiliki. Menurut mereka alam adalah sumber serta “fakultas” untuk mempelajari ilmu Tuhan (Esram, 2010; Husin, 2017).

Orang Melayu memiliki pemahaman yang begitu mendalam mengenai gejala alam. Peneliti dapat melihat dari pemaham­an me reka tentang adanya musim yang berhubung an dengan kegiatan pertanian dan penangkapan ikan. Pengetahuan tentang bintang (astrologi) dalam hal ini wawasan tentang rasi bintang sebagai petunjuk arah dalam berlayar, serta ilmu yang mempredik­si atas gerak­gerik benda langit (astronomi)

350 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364

Page 10: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

dan gejala alam mengenai musim untuk bercocok tanam telah dikuasai de ngan baik oleh orang Melayu (Esram, 2010). Orang Me­layu menggunakan pengetahuan tentang ge­jala alam tersebut sebagai pemandu dalam melaut dan bercocok tanam. Tampak pada aktivitas mereka yang selalu berlayar pada malam hari dengan memanfaatkan angin darat untuk mendorong perahu, serta meng­gunakan petunjuk navigasi alami melalui rasi bintang sebagai petunjuk arah berlayar ke laut. Hal tersebut merupakan aksi nyata bahwa orang Melayu memiliki pengetahuan dengan belajar pada alam.

Dengan memanfaatkan alam secara arif dan bijaksana serta mengambil hikmah dan pelajaran darinya (tadabur ayat kauni-yah Tuhan), maka terbukalah pintu rezeki dari segala penjuru, baik di darat maupun di laut, dengan terbukanya pintu rezeki, maka tercukupilah segala kebutuhan. Untuk itu­lah orang Melayu sangat menghormati alam dan menjadikan alam sebagai sumber ilmu untuk kemudian dari ilmu itu diperoleh teknik atau cara mengolah alam, sehingga mereka dapat berikhtiar atau berkerja dalam memenuhi kebutuhan hidup (Burhanudin, 2018). Bagi masyarakat Melayu berkerja ada­lah fitrah manusia dalam berikhtiar kepada Sang Pencipta. Dengan bekerja, kebutuhan hidup akan terpenuhi, yang pada akhirnya akan membebaskan manusia dari keterpu­rukan serta dapat hidup secara layak (misi emansipatoris) (Esram, 2010; Husin, 2017). Fitrah ini yang kemudian harus menjadi lan­dasan dalam berpijak seorang aparatur pe­ngelola keuangan dalam menjalankan tugas dan fungsi mengelola keuangan Negara.

Fathonah. Kesuksesan baginda Nabi sebagai seorang khalifatullah tidak terle­pas dari kecerdasan yang mumpuni melalui karunia Tuhan Semesta Alam. Kecerdasan tersebut tidak saja digunakan untuk men­jelaskan dan memahami wahyu yang disam­paikan Allah SWT, tetapi juga sebagai bekal bagi baginda Nabi mendapat amanah dari Al­lah untuk memimpin umat. Islam sejatinya merupakan rahmatan lil alamin. Oleh kare­nanya, diperlukan pemimpin yang memili­ki pengetahuan untuk dapat memberikan pandangan, bimbingan, nasihat, dan petun­juk bagi umatnya dalam memahami wahyu yang disampaikan oleh Tuhan Semesta Alam (Sakdiah, 2016). Sesuai dengan bukti­bukti otentik dan kesaksian sejarah dalam kitab suci serta berbagai petunjuk dalam perada­ban Islam, baginda nabi ialah seorang yang

ummi, yang tidak memiliki kemampuan da­lam membaca dan menulis. Maka, dapat disimpulkan bahwa ilmu Rasulullah SAW merupakan pengetahuan yang tidak pernah tersentuh oleh ajaran manusia serta dia­jarkan langsung oleh Allah SWT (Sakdiah, 2016). Beliau laksana “bunga” yang diberi pupuk langsung oleh yang menciptakan bunga itu, yaitu Allah SWT.

Kecerdasan Rasulullah SAW melihat celah untuk menyampaikan dakwah terlihat dari kepribadian beliau dalam melaksanakan dakwahnya. Dakwah pertama dilakukan secara tertutup kepada kerabat dekat dan orang­orang yang tinggal bersamanya. Setelah itu berulah secara terang­terangan Rasulullah berdakwah kepada khalayak ramai, yaitu masyarakat Mekah dan kaum Quraisy (Rohayati, 2011; Sakdiah, 2016). Dalam pola kepemimpinan yang beliau kem­bangkan bersifat friendship system, yaitu sistem kapabilitas dan sistem persahabatan. Peristiwa ini dapat dijumpai dalam prosesi menunjuk para sahabat untuk menduduki jabatan strategis tertentu dengan melihat kompetensi masing­masing. Ini merupakan kecerdasan manajerial yang dimiliki oleh baginda Nabi agar proses pemilihan dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Fathonah merupakan salah satu sifat mulia Rasulullah, yaitu pemilik akal yang cerdas sebagai seorang khalifah. Suatu ne­gara akan mencapai taraf adil dan makmur jika pemimpinnya memiliki sikap yang bijak­sana, wawasan yang luas, serta mengetahui mana yang benar dan salah sesuai dengan apa yang diperintahkan Tuhan. Kemam­puan baginda Nabi dalam menyampaikan dakwah merupakan bukti kongkrit bahwa beliau adalah seorang pemimpin yang cer­das lagi bijaksana. Hal ini senada dengan pernyataan Triyuwono (2015) bahwa Fatho-nah adalah suatu bentuk kebijaksanaan yang direpresentasikan oleh intuisi, penge­tahuan terhadap apa yang benar dan salah, dan kapasitas untuk berbuat adil. Maka dari itu, kedewasaan dan pengalaman hidup di dalam masyarakat yang majemuk akan me­nguatkan kualitas kebijakasanaan itu sendi­ri.

Sifat utama pemimpin mestilah cerdas dan lugas sehingga mengetahui secara le bih holistik atas apa yang menjadi masalah serta memahami secara tepat atas apa yang diper­buat untuk menyelesaikan permasalah­an itu. Hal ini juga semestinya tidak hanya diamalkan oleh pimpinan, tetapi juga untuk

Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 351

Page 11: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

segala sumber daya yang terdapat dalam organisasi, termasuk dalam hal ini organi­sasi sektor publik umumnya dan pengelola keuangan khususnya. Seorang pemimpin harus memahami dan menguasai apa saja bagian­bagian serta tugas dan fungsi dalam suatu sistem organisasi (berilmu), kemudi­an menyelaraskan ilmu tersebut agar sesuai dengan visi dan misi yang telah ditentukan.

Dalam mengelola uang negara, pe­ngelola keuangan harus mengetahui jenis dan sifat pekerjaan atau tugas yang diem­bannya, serta dengan segala kapabilitas dan kapasitas yang dimiliki harus mampu memberikan keputusan secara tepat, benar, dan adil. Oleh karena itu, dapat memberi­kan petunjuk yang baik serta terbebas dari belenggu ketidaktahuan terhadap staf pe­ngelola keuangan di bawahnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mencontoh sikap fatho-nah yang diamalkan oleh Rasulullah Mu­hammad SAW, sebagaimana yang dikatakan juga oleh Saprin (2017) dan Mulawarman & Kamayanti (2018) bahwa kesuksesan Rasu­lullah menjadi rahmat bagi semesta alam adalah terbebasnya manusia dari kejahilia­han serta kebodohan melalui landasan ke­imanan, kasih sayang serta niat yang tulus. Dakwah Rasul bukan hanya untuk mengua­sai tampuk pemerintahan, melainkan lebih pada mengajak kepada sesuatu yang benar, baik, serta terbebas dari belenggu kebodo­han (misi emansipatoris).

‘Adl. Sikap adil Rasulullah Muham­mad SAW tercermin dalam kisah peletakan kembali Hajar Aswad setelah renovasi ba­ngunan Kabah selesai. Pada waktu itu ter­jadi perbedaan pendapat yang krusial di an­tara orang­orang Quraisy sehingga hampir menimbulkan permusuhan (Cahyadi, 2014). Perselisihan pendapat tersebut berkait­an dengan siapakah yang pantas dan la­yak meletakkan batu tersebut. Pada situasi yang genting itu Abu Umayyah Al Makhzu­mi seorang tokoh yang paling dituakan dan disegani oleh kaum Quraisyi tampil ke de­pan untuk meredamkan gejolak perselihan tersebut. Abu Umayyah kemudian berka­ta, “barang siapa yang pertama kali masuk masjid melalui pintu Bani Syaibah, maka tu­gas mulia itu akan diserahkan kepada orang tersebut” (Saifullah, 201).

Atas ketetapan Allah ternyata Nabi Muhammad­lah yang pertama kali masuk masjid melalui pintu itu. Ketika Rasulullah diberi tahu mengenai kabar tersebut, de­ngan kemantapan hati segera beliau mem­

bentangkan surbannya dan meletakkan Ha­jar Aswad di tengahnya. Dengan sikap adil yang tertanam dalam dirinya, beliau me­minta kepada setiap kepala suku agar ma­sing­masing memegang tiap ujung surban dan mengangkatnya secara bersama­sama. Ketika telah sampai di tempatnya, beliau mengambil batu tersebut dengan tangannya sendiri. kemudian rasul meletakkan di tem­pat yang semestinya. Senang dan puaslah semua orang Quraisy atas sikap yang dilaku­kan baginda rasul pada waktu itu (Cahyadi, 2014; Saifullah, 2011).

Dalam bidang muamalah pun Rasulul­la h selalu berlaku adli, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi yang pada intinya nabi melarang adanya pemalsuan, termasuk di dalamnya mengurangi timbang­an. Jika nilai­nilai ini tertanam dalam diri pengelola keuangan negara, segala bentuk ketidakadilan dan kecurangan akan sema­kin terminimalisasi. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Boyce (2014) bahwa sikap dapat mempengaruhi seseorang da­lam berlaku dan bertindak. Jika seseorang, katakanlah pengelola keuangan, memiliki sikap yang terpuji dan adil, segala tindak­an dan sikapnya dalam bekerja juga akan mencerminkan sikap itu.

Kata adil sendiri berasal dari bahasa Arab ‘Adl yang memiliki makna sama. Se­seorang dapat dikatakan adil apabila seim­bang dalam menilai sesuatu, tidak berat sebelah kepada salah satu pihak, kecuali keberpihakannya kepada kebenaran sehing­ga tidak akan berlaku zalim. Adil merupa­kan salah satu tema yang menjadi concern para ulama. Adapun makna keadilan dalam perspektif lain sering dianalogikan sebagai sikap yang identik dengan suatu “ukuran” yang sama, bukan ganda (Mursal & Suhadi, 2015). Lebih lanjut Shihab (2009) menya­takan adil merupakan suatu upaya dalam memperlakukan orang lain setara atau sama dengan perlakuan terhadap diri sendiri di mana seseorang tersebut memiliki hak un­tuk mengambil semua yang menjadi haknya, dan memberi semua yang menjadi hak orang lain tanpa zalim.

Shihab (2009) dalam bukunya menge­nai wawasan Al­Qur’an membahas perintah dalam berlaku adil mengutip tiga kata yang terdapat dalam Al­Qur’an yakni, al-Adl, al-Qisth, dan al-Mizan. Kata al-‘Adl merujuk kepada makna berimbang, yang mengin­dikasikan adanya beberapa pihak. Kata al-Qisth merujuk kepada sesuatu hal yang pa­

352 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364

Page 12: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

tut dan wajar. Sementara itu, kata al-Mizan merujuk kepada makna alat untuk menim­bang sesuatu. Ketiganya, sekalipun berbeda konteks memiliki indikasi yang sama yaitu perintah untuk berlaku adil. Penjelasan kata al-‘Adl, al-Qisth dan al-Mizan terdapat dalam surat Ar­Rahman ayat 7­9 yang menyatakan bahwa Allah telah meninggikan langit dan meletakkan neraca keseimbangan (keadilan) serta mewajibkan penegakan keadilan dan larangan untuk merusak keseimbangan itu (Biyanto, 2017).

Keseimbangan alam diatur dan ditetap­kan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, pemilik alam semesta ini. Keseimbangan tercipta agar bumi dapat berputar pada porosnya, pergantian siang dan malam untuk keber­langsungan hidup, ada matahari dan bulan sebagai penyeimbang gravitasi dan penyubur kehidupan. Keseimbangan (equilibrium) memiliki fungsi dan peran yang sangat me­nentukan kehidupan umat manusia dalam memperoleh kemenangan (Falah) (Soysa, 2019). Falah hanya dapat dicapai jika ter­jadi keseimbangan dalam hidup. Sebab, ke­seimbangan adalah sunatullah (Triyuwono, 2016).

Kehidupan yang seimbang merupakan bagian dari ajaran Tauhid. Islam kerap dise­but sebagai umat pertengahan (Ummatan Wasathan) (Soysa, 2019). Adil memiliki tu­juan agar tercipta kehidupan yang harmonis dan seimbang, mencakup secara keseluruh­an antara lain keseimbangan mental dengan fisik, spiritual dengan material, sosial de-ngan individu, serta dunia dengan akhirat. Keseimbangan mental dengan fisik, spiri­tual, dan material akan menciptakan kese­jahteraan yang holistik bagi manusia. Sese­orang yang mengabaikan aspek spiritual dan berlebihan dalam mementingkan aspek ma­terial, hanya akan melahirkan suatu keba­hagiaan semu belaka, bahkan justru dapat mengakibatkan malapetaka dalam dirinya (Malloch, 2010).

Adil sering dikontradiktifkan dengan makna zulm (zalim) dan itsm (dosa). Keadilan ataupun kezaliman bisa dilakukan baik oleh seseorang terhadap Tuhan, diri sendiri, mau­pun orang lain, serta terhadap alam. Contoh orang yang zalim terhadap Tuhan adalah dengan melanggar segala perintah­Nya ser­ta melakukan atas apa yang telah dilarang oleh­Nya, zalim terhadap diri sendiri adalah orang yang hanya mengejar dunia dan lupa akhirat. Sibuk mengejar kebutuhan fisik

tetapi lupa kebutuhan rohani. Sementara itu, zalim terhadap alam adalah dengan me­rusak alam serta tidak menjaganya, seperti perilaku illegal loging dan hyper exploitation terhadap sumber daya alam.

Adil juga dapat diartikan sebagai ben­tuk pembebasan. Sebagaimana diketahui bahwa etika pengelola keuangan negara yang selama ini fokus pada aspek uitilitas dan materi menimbulkan efek pada ter­pinggirkannya (atau tertindasnya) aspek­as­pek nonmateri. Aspek yang tertindas atau tersingkir ini diangkat dan dibebaskan un­tuk kemudian didudukkan dalam posisi yang adil sebagaimana memosisikan aspek materi. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan bisa saja dengan mengusulkan akun khusus dalam postur anggaran yang mendukung kegiatan­kegiatan pembinaan spiritual. Membuat perencanaan dan usul­an terkait mata anggaran “revolusi spiritual aparatur” dapat menjadi salah satu solusi dalam memfasilitasi kegiatan­kegiatan, se­perti biaya pelaksanaan zikir mingguan, bi­aya binroh (bina rohani), dan biaya pengaji­an rutin aparatur (Program Emansipasi).

Spirit kehambaan dalam filosofi tran-sendental. Spirit kehambaan, hakikat tu­gas kehambaan manusia kepada Robb­nya adalah menjadi rahmat bagi semesta alam (Al­Daghistani, 2016; Darraz, 2012). Amanat tersebut disampaikan kepada Nabi Muham­mad SAW sebagaimana firman Allah SWT dalam Al­qur’an Surat Al­Anbiya ayat 107 yang berbunyi: “Dan tiadalah kami mengu­tus kamu, melainkan untuk (menjadi) rah­mat bagi semesta alam”. Spirit kehambaan tersebut kemudian dibingkai dengan filosofi transendental. Transendental berarti beri­man kepada Tuhan Semesta Alam. Tujuan­nya sendiri adalah menambahkan dimensi transendental di mana dalam dimensi ini nilai memiliki orientasi pada duniawi atau­pun ukhrowi (Nahar & Yaacob, 2015).

Dalam konteks ini berarti etika profetik tidak sekedar memberikan petunjuk tentang baik dan buruk, tetapi lebih pada bentuk tanggung jawab seorang hamba terhadap Tuhannya, sesama manusia, diri sendiri, serta alam sekitar. Prinsip ini yang akan mengantarkan manusia kepada derajat ter­tinggi, mengantarkan manusia kepada tu­juan sejati, yaitu kemenangan (falah) dalam bentuk kesuksesan seorang hamba kembali pada Sang Pencipta dengan jiwa yang suci dan tenang.

Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 353

Page 13: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

Di seluruh alam Melayu yang luas, orang Melayu senantiasa menempatkan hubungan vertikal (hablun minallah) sebagai bagian utama dalam menjalani hidup dan kehidupan (Esram, 2010; Husin, 2017). Hal tersebut merupakan manifestasi dari keper­cayaan mereka terhadap suatu Dzat yang Maha Segalanya, yaitu Dzat Tuhan Yang Mahabesar dan Mahamulia. Dialah yang wajib al-wujud yaitu wajib adanya, mustahil tiadanya yakni Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Dengan demikian, orang Melayu se­lalu melakukan segala sesuatunya dengan niat hanya semata­mata kepada Allah sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri sebagai makhluk ciptaan­Nya.

Kehidupan spiritual masyarakat Me­layu dapat dikatakan masih sangat kuat. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti bah­wa segala sesuatu pekerjaan yang boleh dikatakan besar selalu didahului dengan memohon kepada Tuhan untuk memberka­hi pekerjaan yang akan dilakukan tersebut yang biasa disebut dengan “doa selamat” (praktik transendental). Doa selamat dilaku­kan sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Peneliti juga masih menemukan adanya praktik­praktik yang mempercayai adanya kekuatan lain yang bersifat supranatural. Seperti saat akan membuang “hajat” (buang air besar atau air kecil) di tempat umum, misal di belakang pohon besar, maka sebelum menuntaskan “hajat” tersebut, orang Melayu selalu menye­but: “permisi atuk, permisi nenek, anak cucu numpang kencing”. Hal ini semakin me­nguatkan bahwa Melayu memiliki prinsip transendental, yaitu prinsip yang melintas batas materi dan cenderung bernuansa spi­ritual (Esram, 2010; Hassan, 2016).

Amanah. Jauh sebelum menjadi Rasul Nabi Muhammad SAW telah lama mendapat gelar al-Amin (yang dapat dipercaya) oleh ka­umnya. Gelar tersebutlah yang kemudian meninggikan derajat baginda Rasul di atas nabi­nabi dan pemimpin umat terdahulu. Dengan gelar ini pula, Rasulullah bertrans­formasi menjadi pemimpin yang amanah, yakni pemimpin yang bersungguh­sungguh dalam memikul tanggung jawab atas ke­percayaan, tugas, dan amanah yang telah diberikan Allah SWT tidak terkecuali sekecil atau seringan dan sebesar atau seberat apa pun amanah itu. Amanah dalam konteks ini adalah segala sesuatu yang dipercayakan kepada baginda rasul, meliputi segala aspek

dalam kehidupan, baik agama, ekonomi, so­sial, pemerintahan, maupun politik.

Sifat amanah Nabi Muhammad SAW merupakan contoh kongkret bahwa beli­au merupakan seorang hamba yang dapat dipercaya. Kepercayaan tercipta dengan cara menyampaikan sesuatu dengan apa adanya, tanpa ditambah dan dikurang sedikit pun dari wahyu yang telah diperoleh. Sesuatu yang harus disampaikan kepada umat, di­sampaikan apa adanya, tidak ditambah ataupun diubah sedikit pun sesuai wahyu yang didapat. Demikianlah fakta yang sebe­narnya bahwa setiap firman akan senantia­sa disampaikan oleh Rasul tidak kurang dan tidak lebih sebagaimana firman yang disam­paikan oleh Tuhan kepadanya. Bahkan, da­lam peperangan sekali pun baginda rasul ti­dak pernah mengambil harta dari rampasan perang untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya. Beliau juga tidak pernah menye­bar luaskan aib atau kekurangan seseorang yang datang meminta wasilah atau risalah dalam menyelesaikan suatu perkara dan hal lainnya.

Sebagai khalifah Nabi Muhammad SAW senantiasa memperhatikan kebutuh­an umat nya, mendengar keluh kesah dan harap an, serta melihat kemampuan yang ada pada umatnya, mulai dari potensi diri pribadi, potensi manusiawinya, serta poten­si alam sekitar. Pada akhirnya, fokus utama hanya pada aktivitas dakwah yang dilaku­kan. Keimanan dan ketakwaan menjadi agenda utama dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang unggul pada waktu itu. Sebagai khalifah atau pemim pin Nabi Muhammad SAW berikhtiar untuk se­lalu berkorban dan melakukan yang terbaik demi kebaikan umatnya, bahkan sampai hembusan nafas terakhir pada akhir ha­yatnya masih memikirkan umatnya. Inilah bukti cinta dan kasih baginda Nabi kepada umatnya. Pemimpin sejati selalu menguta­makan umat atau rakyatnya dibandingkan dirinya sendiri. Hal ini menjadikan beliau sangat dicintai dan dirindukan oleh umat­nya (Saifullah, 2011; Sakdiah, 2016).

Amanah menurut Nahar & Yaacob (2011) merupakan sesuatu yang dipercaya­kan kepada orang lain untuk dilaksanakan atau digunakan sebagaimana keingin­an orang yang mengamanahkan. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak yang meneri­ma amanah tidak memiliki hak mutlak atas apa yang diamanahkan tersebut. Pihak yang

354 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364

Page 14: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

diberi amanah sejatinya hanya berkewajiban memelihara dan melaksanakan amanah dengan sebaik­baiknya atas apa yang telah diamanahkan oleh pemberi amanah. Da­lam hal ini Allah SWT, Tuhan Sang Pencip­ta Alam Semesta adalah sebagai pemberi mandat mutlak yang berkuasa penuh atas amanah yang dibebankan kepada manusia. Tidak ada satu pun yang dapat membantah realitas ini (Triyuwono, 2016).

Secara garis besar Triyuwono (2015) menyatakan bahwa ada tiga bagian uta­ma dalam struktur amanah, yaitu pemberi amanah (Allah SWT), penerima amanah (Ma­nusia), dan amanah itu sendiri. Tugas manu­sia sebagai khalifah yang mendapat amanah dari Allah berkewajiban menyebarkan rah­mat bagi seluruh alam. Amanah merupakan kewajiban umum (universal) bagi seorang hamba Allah tanpa ada batas ruang dan waktu. Tugas tersebut harus dilandasi oleh hal yang fundamental yakni bahwa semua tindak an untuk menyelesaikan amanah tersebut harus dilakukan dalam rangka semata­mata beribadah pada Allah (Triyu­wono, 2016). Hal ini pulalah yang sebaik­nya dilakukan juga oleh aparatur pengelola keuangan negara. Amanah yang telah dibe­rikan sebagai pengelola uang rakyat harus dilakukan dalam kerangka penyembahan dan pengabdian kepada Tuhan. Inilah haki­kat aparatur sebagai seorang hamba Tuhan.

Konsekuensi manusia sebagai peneri­ma amanah adalah kesadaran untuk patuh, tunduk, dan pasrah secara ikhlas kepada Sang Pemberi Amanah (Allah SWT). Oleh karena itu, penerima amanah berkewajiban menjalankan amanah yang dibebankan dengan sebaik­baiknya, baik menyangkut hak­hak Allah, hak­hak sesama manusia, hak­hak pribadi, maupun hak­hak terhadap alam. Amanah mengacu pada sesuatu yang layak dipercaya. Ini adalah sifat di mana se­seorang mendapat kepercayaan oleh orang lain karena ia dipercaya mampu mengem­ban amanah yang telah diberikan. Triyu­wono (2016) menyatakan bahwa sifat dapat dipercaya adalah suatu kondisi di mana seseorang telah mendapat kepercayaan dari orang lain karena kompetensi, kapasitas, dan kejujurannya.

Jika pengelola keuangan melakukan hal yang sama, akan tumbuh suatu ke­sadaran bahwa dalam mengemban amanah, amanah sejatinya memiliki konsekuensi terhadap pemenuhan kebutuhan dan hak­hak orang lain termasuk dalam konteks ini

hak­hak Tuhan, hak­hak pribadi serta hak­hak semesta alam. Ini akan menghilangkan suatu sikap egosentrisme, yaitu sifat yang selalu menjadikan diri sendiri sebagai pusat dari segala hal. Sifat seperti ini akan men­ciptakan aparatur­aparatur yang apatis dan egois tanpa memperdulikan kepentingan dan hak­hak yang lain (khianah). Amanah sejatinya yang akan menjadi filter sifat-sifat seperti itu.

Tabligh. Panggilan menjadi utusan Al­lah bagi Nabi Muhammad SAW adalah ke­tika usia beliau menginjak 40 tahun. Ber­temunya baginda Nabi dengan Malaikat Jibril di gua Hira yang memerintahkan be­liau membaca wahyu dari Allah SWT untuk pertama kalinya, merupakan suatu bentuk pemberitahuan dan penegasan pengangkat­an Nabi Muhammad menjadi seorang Rasul Allah (Sakdiah, 2016). Hanya ayat yang ter­dapat dalam kitab suci menjadi saksi nya­ta buat umatnya sebagai pengganti nihiln­ya simbol status atau Surat Keputusan (SK) yang dapat dijadikan bukti kerasulannya. Surat Al­Alaq ayat 1­5 menjadi wahyu per­tama yang diturunkan pada tanggal 17 Ra­madhan adalah salah satu buktinya. Inilah bukti baginda Nabi menjadi utusan Allah SWT. Tugas itu bermakna beliau memiliki kewajiban berdakwah sekaligus memimpin manusia menuju ke jalan yang lurus (Pat­mawati, 2014).

Salah satu predikat yang disandang oleh Rasulullah yaitu mundhir (pemberi pe­ringatan) (Sakdiah, 2016). Diutusnya bagin­da Nabi sebagai mundhir yakni untuk mem­perbaiki, membimbing, serta mempersiapkan umat memperoleh kebaikan serta kebaha­giaan baik di dunia maupun di akhirat ke­lak. Predikat mundhir yang disandang beliau menuntut agar memahami dan me nguasai segala kabar yang disampaikan untuk dapat dijadikan sumber utama dalam berdakwah serta untuk menyampaikan risalah dan tun­tunan tersebut kepada seluruh umat ma­nusia tanpa terkecuali. Sebagai orang yang beriman sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai umatnya untuk meyakini bahwa Tuhan telah mengirimkan beberapa utusan (Nabi dan Rasul) dari golongan sendiri un­tuk memberi petunjuk serta menyampaikan hukum­hukum yang berkenaan dengan per­buatan yang diperintahkan serta dilarang oleh­Nya (Patmawati, 2014).

Konsep dakwah yang dilakukan Rasu­lullah berasal dari hasil pembelajaran dan berfikir cerdas atas beberapa peristiwa yang

Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 355

Page 15: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

akan dan telah terjadi serta melakukan ob­servasi terhadap kondisi dan situasi yang ada. Di samping itu, Rasulullah juga sangat memperhatikan konsep yang logis dan tera­tur secara seksama dalam mengungkapkan permasalahan yang hendak disampaikan. Ketika baginda Nabi akan berdakwah, beli­au pada awalnya selalu menentukan loka­si yang aman serta memanggil orang­orang terpilih untuk kemudian disampaikan dak­wah kepadanya, kemudian baru beliau me­ngungkapkan persoalan yang berterima se­cara umum sehingga tidak diperselisihkan oleh siapa pun (Patmawati, 2014; Sakdiah, 2016). Hal ini merupakan cara yang efektif dalam memperkenalkan suatu ajaran baru kepada para pengikutnya.

Tabligh merupakan sifat mulia yang dimiliki Rasulullah Muhammad SAW. Cara dan metode dakwah yang digunakan beli­au dapat kita tiru dan teladani. Objek dak­wah pertama adalah keluarga terdekat, baru kemudian berdakwah ke segala penjuru (Patmawati, 2014). Sebelum memberikan ri­salah, beliau terlebih dahulu yang mengerja­kannya. Sifat ini merupakan senjata dakwah karena apa yang disampaikan merupakan suatu kebenaran untuk kepentingan umat dan menegakkan agama Allah. Tabligh se­sungguhnya berkaitan dengan sikap keter­bukaan (transparansi) dalam penyampaian suatu informasi (Sakdiah, 2016). Salah satu ciri tabligh adalah keberanian menyatakan kebenaran meskipun memiliki konsekuen­si yang tidak ringan melalui perasaan cinta yang mendalam serta niat yang mulia. Tin­dakan tersebut disampaikan sebagai ben­tuk pencerahan (Dreßler, 2019). Hal terse­but selaras dengan pernyataan Triyuwono (2016) bahwa Tabligh adalah suatu upaya untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik, penuh kasih, pembelajaran yang baik, dan niat yang tulus, serta cita­ci­ta yang luhur. Usaha ini, tentunya, didorong oleh motivasi spiritual untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat demi men­ciptakan lingkungan sosial dan spiritual yang baik.

Hal ini pula yang sebaiknya dimiliki oleh para aparatur pengelola keuangan. Se­orang pengelola keuangan harus berani un­tuk menyatakan kebenaran meskipun itu memiliki konsekuensi yang berat salah sa­tunya tidak disukai oleh pimpinan. Pengelola keuangan harus berani untuk mengatakan tidak jika diinstruksikan untuk melakukan tindakan yang mengarah pada fraud, walau­

pun instruksi tersebut merupakan perintah langsung yang diberikan oleh pimpinan di atasnya. Aparatur hanya memiliki kewa­jiban menghamba kepada Allah, bukan ke­pada pimpinan. Sebagaimana ungkapan isti­lah yang terkenal berikut, “kul al-haq walau kaana murran”, sampaikanlah kebenaran itu walaupun pahit rasanya.

Spirit kesemestaan dalam filosofi teleological. Spirit kesemestaan sejatinya merupakan perangkat nilai atau ruh yang di­gunakan untuk menentukan baik buruk nya dampak gagasan, aktivitas, dan keilmuan terhadap situasi dan kondisi lingkungan alam (Ahimsa­Putra, 2016). Spirit ini me­rupakan manifestasi dari Surat Al­Qashash ayat 77 yang secara tegas melarang manu­sia berbuat kerusakan di muka bumi kare­na Allah SWT sesungguhnya tidak menyukai orang­orang yang berbuat kerusakan. Spi­rit kesemestaan tersebut kemudian dibing­kai dalam filosofi teleologikal. Teleologikal memberikan suatu dasar pemikiran bahwa etika bukan hanya ilmu yang mempelajari salah­benar dan buruk­baik dalam praktik­nya, tetapi juga memiliki tujuan transen­dental sebagai bentuk pertanggungjawaban manusia terhadap penciptanya, sesama ma­nusia, alam semesta, serta diri pribadi (Na­har & Yaacob, 2011).

Dalam konteks ini berarti etika profe­tik bertujuan mengantarkan seorang ham­ba pada tujuan hakikat kehidupannya yaitu falah (kemenangan). Di samping itu, konsep etika yang dibangun tidak hanya sekedar instrumen “mati” yang digunakan sebagai panduan penyusunan kode etik, tetapi se­bagai bentuk instrumen “hidup” yang dapat mengarahkan manusia pada hakikat ke­hidupan yang sejati, yakni sebagai hamba allah (abdillah) serta pemegang amanah Al­lah (khalifatullah).

Orang Melayu mempercayai ekistensi dua alam, yaitu alam nyata dan alam ruh. Alam nyata dengan segala wujudnya seperti bumi, dengan segala benda­benda yang ter­dapat di atas dan di bawah bumi serta la­ngit dan segala isinya dipandang oleh orang Melayu memiliki fungsi dan peran untuk kepentingan kehidupan manusia. Dalam perjalanan kehidupan itu orang Melayu te­lah menggunakan alam nyata sesuai dengan kebutuhannya. Lautan, sungai, gunung, daratan, tumbuhan, hewan, dan lain­lain digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini dikenal oleh orang Melayu sebagai “rimba kepungan sialang” (Burha­

356 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364

Page 16: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

nudin, 2018; Husin, 2017). Orang Melayu memiliki pandangan bahwa kesalahan me­manfaatkan sumber daya alam akan me­nimbulkan malapetaka. Oleh karena itu, dikatakan bahwa mereka yang hidup dari sumber alam wajib menjaganya tanpa meru­sak dan zalim dalam peraktiknya.

Muthmainnah. Rasulullah Muham­mad SAW senantiasa disebut memiliki jiwa yang muthmainnah, yaitu jiwa yang senan­tiasa jujur terhadap Tuhannya (Patmawa­ti, 2014). Rasulullah adalah manusia yang telah memperoleh rahmat berupa nur qalb sehingga tumbuh perangai yang baik dan jauh dari perangai yang buruk. Beliau dapat menjadikan dirinya memiliki jiwa yang te­nang serta tidak terombang­ambing oleh syahwat nafsu duniawi. Jiwa yang tenang adalah kondisi tertinggi dari perkembang­an spiritual seorang hamba Allah (Riyadi, 2017). Jiwa ini adalah jiwa yang senatiasa ingat dan percaya bahwa Allah adalah robb­nya, merasa tenang dalam menjalankan se­gala perintah­Nya, serta memiliki keyakinan yang mendalam bahwa kelak akan berjumpa dengan­Nya di hari akhir. Triyuwono (2015) menyatakan bahwa muthmainnah adalah keberhasilan atau kemenangan (falah) seo­rang hamba kembali kepada Sang Pencipta dengan jiwa yang suci dan tenang.

Untuk sampai ke tahapan muthmain-nah seorang hamba harus mengetahui ter­lebih dahulu unsur­unsur pembentuknya. Mujiburrahman (2017) berargumentasi bah­wa ekuilibrium fisik dan ruh pada manusia merupakan syarat utama untuk mencapai muthmainnah. Fisik, bagi pemilik jiwa yang tenang, akan selalu memperhatikan keseha­tan jasmani dengan cara memenuhi segala kebutuhan fisiologis dengan cara dan jalan yang halal. Ruh, seseorang yang memiliki jiwa yang suci selalu memenuhi kebutuhan spiritualnya dengan berpegang teguh pada ajaran Tauhid yakni dengan cara mendekat­kan diri pada Sang Pencipta melalui ibadah dan amal sholeh, serta menjauhi segala per­

buatan yang dilarang oleh­Nya (Gitosaroso, 2015).

Gitosaroso (2015) kemudian me­nyatakan bahwa terdapat indikator dalam mencapai tahap muthmainnah, antara lain memiliki kemantapan iman terhadap kebe­naran Tauhid; memiliki keyakinan menda­lam bahwa dunia hanya merupakan per­singgahan sementara serta meyakini bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah akhirat; memiliki ketenteraman jiwa karena selalu ingat kepada Allah. Sementara itu, Haro­maini (2018) menyatakan bahwa seseorang yang telah mencapai tahapan muthmainnah mempunyai ciri­ciri berpikiran terbuka, se­lalu bersyukur, dapat dipercaya, dan penuh rasa kasih sayang.

Faktor internal dan eksternal akan menuntun seorang hamba dalam mencapai tahap muthmainnah sehingga menumbuh­kan sifat­sifat ilahiyah. Jika ruh merasa ya­kin akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT, ia akan mendapatkan ketenangan ba­tin dan kemantapan iman; Faktor eksternal dapat berupa hidayah dan petunjuk dari Al­lah SWT. Hidayah dari Allah dapat menja­di jalan seorang hamba menemukan esensi dirinya. Manusia jika hanya mengandalkan kapasitas dan kapabilitas pribadinya tanpa hidayah dari Allah akan sangat sulit dalam mencapai tahap muthmainnah. Muthmain-nah adalah jiwa yang senang kepada Tu­hannya dan ridho terhadap lingkungan seki­tarnya, termasuk manusia dan alam sekitar. Diri muthmainnah akan melihat dunia se­bagai “fakultas kehidupan”. Apa yang diper­oleh di dunia hanya sebagai bentuk ujian dan cobaan dari Tuhan (Gitosaroso, 2015; Ruslan & Alimuddin, 2012).

Hal itu pula yang akan membawa pe­mahaman seseorang tentang realitas. Da­lam tradisi Islam diakui adanya tingkatan diri dalam memahami suatu realitas, yaitu beturut­turut dari yang paling bawah hingga yang paling atas antara lain al-nafs al-am-marah, al-nafs-al-lawwamah, dan al-naf s-

Tingkat “Diri” (Self)3 al-Nafs al-Muthmainnah2 al-Nafs al-Lawwamah1 al-Nafs al-Ammarah

Tabel 1. Tiga Tingkatan Diri

Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 357

Page 17: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

al-muthmainnah. Secara rinci, pemahaman manusia dapat ditelaah pada Tabel 1.

Tabel 1 secara berturut­turut menujuk­kan posisi “diri” atau jiwa seseorang. Dimu­lai dari posisi pertama, dalam tingkatan ini jiwa seseorang hanya ditujukan untuk me­menuhi nafsu syahwatnya (animal instinct). Pada posisi kedua, jiwa sudah mempraktik­kan nilai ketuhanan, tetapi masih ada ke­cenderungan untuk mengikuti nafsu diri. Posisi ketiga merupakan posisi puncak. Da­lam tingkatan ini jiwa telah berada pada po­sisi tertinggi. Pada kondisi ini sesungguhnya diri telah mencapai fitrahnya yang suci.

Dalam praktik mengelola keuangan negara, sudah selayaknyalah seorang penge­lola keuangan memiliki tingkatan diri pada posisi puncak atau muthmainnah. Pada posi­si ini pengelola keuangan mempunyai kredi­bilitas yang tinggi dalam mengendalikan se­tiap situasi dan memosisikan diri nya pada puncak kesadaran tertinggi secara spiri­tual. Untuk dapat mencapai tingkatan ini, se orang pengelola keuangan harus dapat menanamkan dengan baik dalam “diri” nilai­nilai ke imanan dan ilmu pengetahuan. Nilai­nilai tersebut kemudian diinternalisasikan dalam sikap yang terpuji dan mulia. Oleh karena itu, pada kondisi tersebut, pengelola keuang an sejatinya telah kembali pada fi­trahnya yang suci.

Dengan demikian, segala perilaku yang condong pada jiwa ammarah, seperti sikap egoistik, destruktif, dan materialistik se­bagai faktor pendorong terjadinya tindakan fraud dengan sendirinya dapat difiltrasi. Wa­laupun dalam praktiknya pengelola keuang­an secara umum sering berada pada posisi jiwa lawwamah, dalam posisi ini pengelola keuangan dapat berperilaku terpuji atau tercela. Ketika diri telah berperilaku baik, maka dia telah menginternalisasikan nilai­nilai ke­Tuhanan. Sebaliknya, jika nilai­nilai ketuhanan lemah, akan gagal dalam me­ngendalikan diri dari perbuatan tercela atau kembali pada posisi terendah, yaitu jiwa ammarah. Inilah kemudian yang akan men­jadi benteng bagi pengelola keuangan un­tuk dapat mencapai derajat tertinggi dalam berikhtiar.

Uswatun hasanah. Rasulullah Mu­hammad SAW merupakan insan dengan kepribadian yang mulia. Tidak ada satu pun yang dapat menandingi dan menyamai sosok kepribadiannya (Patmawati, 2014). Rasulul­lah senantiasa akan menjadi inspirasi dan panutan bagi umatnya dalam bidang apa

pun. Beliau adalah manusia yang kepriba­diannya dinyatakan Allah SWT melalui fir­mannya sebagai sosok pribadi yang sangat agung (QS. Al­Qalam:4). Keagungan Rasulul­lah, menjadikan pribadinya menjadi pri badi yang paripurna. Meskipun sebagai umatnya tidak dapat memiliki pribadi yang agung se­bagaimana yang telah difirmankan oleh Al­lah SWT, kita wajib untuk berikhtiar dalam mewujudkan pribadi yang meneladani sega­la perilaku dan sifat yang telah Rasulullah Muhammad SAW contohkan.

Uswatun Hasanah, itulah gelar baginda Nabi Muhammad SAW. Dalam diri beliau ter­dapat sumber segala ilmu dan pengetahuan yang dapat mengantarkan seorang hamba menjadi insan kamil (Patmawati, 2014). Ra­sululullah juga dapat dijadikan role model dalam pengembangan “genetika” profetik (kenabian), pengembangan diri, pencarian jati diri, citra diri, hakikat diri, pendewasaan diri, serta hal­hal lain yang dapat dijadikan teladan dari pribadi beliau (Saifullah, 2011).

Teladan dalam term Al­Qur’an disebut dengan istilah “uswah” dan “iswah” atau dengan kata “al-qudwah” dan “al-qidwah” yang bermakna suatu kondisi di kala se­orang hamba mangikuti yang lainnya, apa­kah dalam hal kebaikan ataupun kejelekan. Kata “uswah” senantiasa bersandingan de­ngan sesuatu yang berkonotasi positif yakni “hasanah” (baik) dan suasana kegembiraan yaitu bertemu dengan Sang Pencipta (Pat­mawati, 2014; Saifullah, 2011). Allah SWT mengutus Rasulullah Muhammad SAW un­tuk menjadi teladan bagi semesta alam, se­bagai hadiah terindah bagi manusia, yaitu sebagai seorang penuntun yang sempurna dalam mencapai kegembiraan yang hakiki yaitu bertemu dengan Sang Khaliq.

Fitrah manusia sejak dilahirkan ada­lah ia sudah membutuhkan panutan dan contoh dalam segala urusannya. Selain itu, dalam diri tiap pribadi juga telah diberi ke­mampuan dasar untuk mencari suri tau­ladan agar dapat menjadi penerang menuju jalan kebenaran dalam mengarungi samudra kehidupan. Agama, adat istiadat, bahasa, pemikiran, dan gambaran tentang akhlak dan moral atau etika semuanya terbentuk melalui contoh dan teladan yang didapat­kan dari aktivitas dan pengaruh yang dipan­carkan oleh panutan tersebut (Patmawati, 2014). Islam sebagai agama yang diridhoi telah memiliki panutan dalam diri seorang Rasulullah Muhammad SAW dalam menjala­ni setiap sendi nafas kehidupan. Dalam diri

358 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364

Page 18: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

pribadi beliau telah tertanam contoh terbaik dari manusia yang selalu mematuhi dan mengaktualisasikan segala perintah Allah dalam kehidupan sehari­hari melalui kesa­daran Ilahinya (Saifullah, 2011).

Dalam aktivitas pelayanan sektor pu­blik keteladanan merupakan metode ter­baik untuk membentuk watak aparatur. Keteladanan dapat dicontohkan oleh se­orang pimpinan yang memiliki kepribadian mulia dalam aktivitas kesehariannya. Hal itu dikarenakan pemimpin merupakan fi-gur nyata dalam setiap aktivitas bawahan­nya (Makin, 2018; Wieringa, 2014). Dari sini dapat terlihat bahwa keteladanan memiliki peran yang urgent terhadap perilaku apara­tur. Jika seorang pimpinan adalah orang yang dapat dipercaya serta amanah selayak­nya kepribadian yang dimiliki oleh Rasulul­lah, maka bawahan akan mengikuti pribadi seperti itu pula, begitupun jika sebaliknya.

Munculnya perilaku koruptif pengelola keuangan negara dikarenakan sebagian be­sar aparatur tidak mengetahui tentang haki­kat manusia itu diciptakan dan ke mana tu­juan akhir manusia akan berlabuh (Briando, Triyuwono, & Irianto, 2017). Orientasi materi yang begitu kuat mengungkungi aparatur da­lam bertindak dan bersikap membuat mere­ka lupa akan kewajiban sebagai khalifatullah fil ardh (pengemban amanah di muka bumi) dan hamba Allah, atau sebagaimana yang disebut Mulawarman & Kamayanti (2018) sebagai Abdullah. Ia menyebutkan bahwa khalifatullah harus berdampingan dengan Abdullah. Manusia harus menyadari bahwa Allah adalah tujuan akhir dan menentukan sehingga manusia harus patuh dan taat pada kehendak­Nya. Untuk mencapai dera­jat ini, tentu saja pendekatan etika tidak ha­nya terbatas pada suatu konsep benar atau salah, tetapi harus dapat menyadar kan pada hakikat hidup dan kehidupan, yaitu kemba­li kepada Tuhan dengan jiwa yang suci dan tenang.

Kitab Tarbiyah al-aulad fi al-Islam me­nyatakan bahwa ada beberapa tahapan yang bisa dipedomani untuk menjadi teladan mulia dalam hidup dan kehidupan, antara lain dengan cara berikut. Pertama, Qudwah Al-Ibadah, pembinaan ketaatan beribadah merupakan aktivitas utama yang harus dilakukan oleh seorang pimpinan terhadap bawahannya; Kedua, Qudwah Zuhud, se­orang pimpinan yang menduduki posisi pun­cak ia harus tahu hak dan kewajibannya. Dia harus memiliki sikap zuhud, yaitu men­

didik tentang hidup sederhana dengan cara rido terhadap apa yang telah dikaruniakan oleh Sang Pemberi Rezeki; Ketiga, Qudwah Tawadhu’, seorang pimpinan harus men­jauhi sikap ujub (besar kepala) dan rendah hati dalam berperilaku ; Keempat, Qudwah Syaja’ah, yaitu seorang pemimpin harus be­rani melangkahkan kaki untuk maju ke de­pan menyatakan sesuatu yang sebenarnya, serta berani mengambil risiko dengan tetap berpegang teguh atas perintah Ilahi; dan Ke­lima, Qudwah al hasan al Siyasah, seorang pimpinan melakukan aktivitasnya secara teratur, sistematik, dan intensional dalam rangka mendorong aparatur untuk berpe ran lebih aktif (siyasah) dalam membangun in­stitusi agar bermanfaat untuk sesama, diri pribadi, dan semesta alam.

Dengan meneladani Rasulullah, berar­ti seorang individu, termasuk aparatur pe­ngelola keuangan, telah menanamkan “roh” spiritualitas Rasulullah ke dalam dirinya. Spiritualitas Rasul adalah spiritualitas yang hidup dan menyatu dengan kongkrit meli­puti hubungan spiritual terhadap Tuhan, sesama manusia, semesta alam, serta diri pribadi yang telah menjadi pola dasar dan nafas kehidupan beliau, sehingga mewujud dalam setiap gerak dan langkah kehidupan­nya (Dreßler, 2019). Spiritualitas bukan ha­nya dalam bentuk ritual­ritual formal ke­agamaan semata, tetapi terealisasi dalam aktivitas sosial dan kehidupan sehari­hari antarsesama dan alam sekitarnya (Pat­mawati, 2014; Sakdiah, 2016). Dalam dunia tasawuf, substansi Rasulullah menjadi kun­ci untuk memahami dan sekaligus mema­suki spiritualitas sejati atau disebut dengan istilah maqamat yaitu kualitas atau tingkat spiritual tertinggi seorang hamba Allah.

Implikasinya, rasa cinta kepada Allah tidak bisa dikatakan sempurna jika tidak memiliki kecintaan kepada Rasulullah, de­ngan meneladani pribadi beliau. Kedua rasa cinta ini menjadi suatu hakikat menuju Tu­han dan tidak dapat terpisah layaknya ikrar yang terucap dalam dua kalimat syahadat. Pada akhirnya kedua cinta itu akan melebur menjadi satu dan menjadikan diri pribadi dapat mencintai semesta alam, baik alam dunia maupun alam akhirat. Inilah hakikat menjadikan Rasulullah Muhammad SAW se­bagai uswatun hasanah.

Etika profetik sebagai jalan mem-peroleh syafa’at Nabi. Kata syafa’at ber­asal dari bahasa Arab yang memiliki mak­na “genap” sebagai lawan kata dari ganjil,

Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 359

Page 19: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

asumsi ini berasal dari pemikiran bahwa pemberi syafa’at bertujuan menggenapkan orang yang berdoa. Melalui syafa’at, jumlah pemohon menjadi genap, dan permohonan doa dari orang yang meminta diperkuat oleh kemuliaan pemberi syafa’at. Syafa’at juga dapat berarti pertolongan, tegasnya memo­hon pertolongan kepada Allah SWT agar se­genap umat manusia diberi keampunan dan kemuliaan. Pertolongan diberikan kepada seluruh hamba yang berbuat baik. Syafa’at sebagaimana dijelaskan oleh Yulianto (2014) dibagi dalam dua jenis, yaitu langsung dan tidak langsung. Syafa’at langsung dirasakan oleh seorang hamba di alam dunia, sedang­kan tidak langsung ditangguhkan hingga hari akhir.

Syafa’at didapat jika orang yang me­minta berhak mendapatkannya karena te­lah melaksanakan segala perintahnya ser­ta menjauhi segala larangan­Nya. Syafa’at sepenuhnya hanya milik Allah, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa ada pemberi syafa’at selain dari­Nya. Pemberi syafa’at selain­Nya adalah orang­orang yang di­ridhai dan diizinkan Allah. Adapun pemberi syafa’at yang selain dari­Nya antara lain Syafa’at Malaikat, yaitu berupa bisikan ke­pada manusia untuk berbuat baik dan doa; Syafa’at Nabi Muhammad SAW, yaitu berupa pertolongan dihari akhir; Syafa’at para Nabi dan Rasul, yaitu upaya Nabi membebaskan manusia dari dosa; dan Syafa’at Kaum yang beriman dan beramal shaleh yaitu syafa’at yang berasal dari alim ulama yang tinggi il­

munya kepada yang tingkat rohaninya ma­sih rendah. Syafa’at hanya diberikan kepada ahli Tauhid yang mati dalam akidah Tauhid dan melafazkan “La ilaha Illallah, Muham-madur Rasulullah”. Sementara itu, untuk posisinya terbagi menjadi dua, yakni pem­beri syafa’at dan penerima syafa’at. Para Nabi dapat dikatakan sebagai golongan yang paling berhak memberi syafa’at, sedangkan golongan yang telah diizinkan oleh Allah mendapat syafa’at adalah sebagai penerima.

Gurindam ProfetikBarangsiapa memulai langkah dengan nama Allahakanlah selalu mendapat rahmat dan barokahBeribadahlah atas persaksian iman kepada Allah dan Rasulullahkarena kita adalah penerima amanah sebagai khalifatullahIndahnya hidup dengan penuh ke­sadaran Ketuhanan dan Kenabianagarlah jiwa dan badan senantia­sa diberi marwah dan keyakinanHendaklah menerjemahkan du­nia, menuju akhiratMuhammad Rasulullah, penun­tun sejati umatDengan Tauhid Islam, ikrar iman dalam syahadat bertahta ikhsanItulah wujud insan, yang akan mendapat syafaat di hadapanApabila Nur Ilahi telah terpatri dan nubuah nabi telah merasuk

Etika Profetik

Teleologikal

Uswatun Hasanah

MuthmainnahAmanah

Tabligh

Transendental

Fathanah

'Adl

Emansipatoris

Siddiq

Akhlaqul Karimah

Humanis

KesemestaanKehambaanKeilmuanKemanusiaan

Gambar 2. Main Principles Etika Profetik

360 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364

Page 20: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

qalbu hatitanda diri telah mendapat tuah yang hakiki

Malang, 12 Rabiul Awal 1438 HOleh: Bobby Briando

Setelah melakukan gerak langkah dan prosedur spiritual, peneliti menemukan delapan prinsip etika profetik sebagaima­na yang telah peneliti uraikan sebelum­nya. Kedelapan prinsip tersebut antara lain: siddiq, akhlaqul karimah, fathanah, ‘adl, amanah, tabligh, muthmainnah, dan uswatun hasanah. Peneliti menganalogikan akronim tersebut sebagai suatu bentuk ikhtiar untuk mendapatkan syafa’at dari Rasulullah Mu­hammad SAW. Oleh karena itu, diharapkan etika profetik yang memiliki delapan prinsip tersebut merupakan jalan dalam menca­pai syafa’at baginda Nabiullah Muhammad SAW bagi seorang hamba kelak di akhirat nanti. Hal ini senada dengan argumentasi yang disampaikan Ayahanda Syahrul yang pada saat itu memegang amanah sebagai wakil Walikota Tanjungpinang (getting out true picture), berikut kutipannya.

“Sifat­sifat mulia Rasul dapat kita teladani sebagai pembuka jalan mengharap ridho dari Allah. Se­bagaimana yang disampaikan baginda Rasul yang menyatakan, umatku bisa mencintaiku, apabi­la pertama, bila Ia dapat meng­hadirkan sifat­sifat yang ada pada diriku dalam bersikap dan berpe­rilaku. Kedua, bisa mencintaiku apabila manusia itu bisa meng­amalkan atas segala yang telah aku sampaikan. Semua dilakukan secara ikhlas karena Allah. De­ngan demikian maka Allah akan ridho dengan segala aktivitas yang dilakukan. Ridhonya Allah akan membuka jalan bagi seorang hamba untuk dapat memperoleh syafaat dari baginda Nabi.”

Pada akhirnya, inilah yang akan men­jadi “main principles” dalam kerangka in­frastruktur etika profetik melalui sebuah prosedur spiritual yang menghasilkan logika spiritual dalam bentuk inspirasi atau ilham (petunjuk) yang muncul secara spontan se­bagai karunia atas pemahaman ilmu yang diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla.

SIMPULANSimpulan dalam penelitian ini adalah

sejatinya dalam hidup dan berperilaku ma­nusia telah diberi sebuah investasi yang tidak ternilai harganya dalam diri seorang Rasu­lullah Muhammad SAW melalui atribut sifat yang melekat dalam diri beliau. Sifat­sifat inilah yang dapat kita jadikan pelajaran dan ambil hikmahnya dalam beretika, khusus­nya etika dalam mengelola keuangan nega­ra. Main principles etika profetik yang telah peneliti temukan merupakan suatu jalan ikhtiar dalam menanamkan atau menginter­nalisasikan atribut sifat­sifat Rasul ke dalam diri seorang hamba, termasuk di dalamnya aparatur pengelola keuangan negara agar kelak dapat berperilaku sebagaimana yang telah dicontohkan serta mendapat syafaat­nya di akhirat nanti.

Solusi ke depan dalam penyusunan kode etik, sebaiknya para pengambil kebijak­an tidak hanya mengadopsi dan menjiplak suatu standar etika yang berlaku umum, tetapi juga dapat dilakukan telaah lebih lan­jut apakah kode etik yang diadopsi tersebut telah sesuai dengan norma dan ajaran ke­baikan yang telah disampaikan oleh Nabi atau Rasul terdahulu, karena ajaran yang telah disampaikan tersebut secara umum telah tercatat dalam kitab­kitab suci dan te­lah teruji kesahihan dan kebenarannya ber­dasarkan riwayat atau hadis. Peneliti dalam artikel ini mencoba untuk melakukan in­ternalisasi sifat­sifat Nabi Muhammad yang tertuang dalam akronim SAFAATMU kepa­da pengelola keuangan negara. Harapannya adalah agar sifat­sifat tersebut dapat meng­hindarkan pengelola keuangan dari tinda­kan yang melanggar norma dan hukum yang berlaku.

Meskipun demikian, peneliti menyadari bahwa kode etik pengelola keuangan yang ada tidak dikritisi dari awal sampai akhir. Penulisan artikel ini lebih diarahkan untuk menemukan jiwa/ruh dari sifat­sifat nabi yang terwujud dalam konsep etika profe­tik. Untuk itu, peneliti merasa perlu ada­nya kajian lebih lanjut terkait bagaimana sifat­sifat tersebut dapat diinternalisasikan oleh aparatur dan dijadikan landasan dalam menyusun kode etik. Terakhir, peneliti ingin menekankan bahwa melalui syafaat Rasu­lullah seorang hamba akan kembali pada Tuhan dengan jiwa yang suci dan te nang. Inilah sejatinya tempat kembali seorang Hamba. Wallahu a’lam bishowab.

Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 361

Page 21: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

DAFTAR RUJUKANAhimsa­Putra, H. S. (2016). Paradigma Pro-

fetik Islam: Epistemologi, Etos, dan Mo-del. Yogyakarta: Gadjah Mada Univer­sity Press.

Al­Daghistani, S. (2016). Semiotics of Is­lamic Law, Maslaha, and Islamic Eco­nomic Thought. International Journal for the Semiotics of Law, 29(2), 389­404. https://doi.org/10.1007/s11196­016­9457­x

Biyanto. (2017). The Typology of Muhammadi­ yah Sufism: Tracing Its Figures’ Thoughts and Exemplary Lives. Indo-nesian Journal of Islam and Muslim Societies, 7(2), 221­249. https://doi.org/10.18326/ijims.v7i2.221­249

Boyce, G. (2014). Accounting, Ethics and Hu­man Existence: Lightly Unbearable, Heavily Kitsch. Critical Perspectives on Accounting, 25(3), 197­209. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2013.10.001

Briando, B., Triyuwono, I., & Irianto, G. (2017). Gurindam Etika Pengelola Keuangan Negara. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 8(1), 1–17. https://doi.org/10.18202/jamal.2017.04.7036

Burhanudin, J. (2018). Converting Belief, Connecting People: The Kingdoms and the Dynamics of Islamization in Pre­Colonial Archipelago. Studia Is-lamika, 25(2), 247­278. https://doi.org/10.15408/sdi.v25i2.5682

Cahyadi, A. (2014). Hafazhatul Amwaal: Tokoh dan Karakter Akuntan Ra­sulullah. Akuntabilitas: Jurnal Ilmu Akuntansi, 7(2), 109­121. https://doi.org/10.15408/akt.v7i2.2674

Darraz, M. A. (2012). Islamic Eco­Cosmolo ­gy in Ikhwan Al­Safa’s View. Indone-sian Journal of Islam and Muslim So-cieties, 2(1), 133­161. https://doi.org/10.18326/ijims.v2i1.133­161

Dreßler, M. (2019). Religion and Religious Tradition: Discourses of Distinction on the Boundaries of Islam. Zeitschrift Fur Religionswissenschaft, 27(1), 48­77. https://doi.org/10.1515/zfr­2018­0023

Esram, J. (2010). Konsepsi Raja Ali Haji ten-tang Pemerintahan. Tanjungpinang: CV. Milaz Grafika.

Gitosaroso, M. (2015). Tasawuf dan Moderni­tas (Mengikis Kesalahpahaman Mas­yarakat Awam terhadap Tasawuf). Jur-nal Al-Hikmah: Jurnal Dakwah, 10(1),

106­121. https://doi.org/10.24260/al­hikmah.v10i1.550

Haromaini, A.(2018). Manusia dan Keharu­san Mencari Tahu (Studi Relasi Manu­sia, Al­Qur’an dan Filsafat). Pelita: Jur-nal Penelitian dan Karya Ilmiah, 18(2), 202­215. https://doi.org/10.33592/pelita.v18i2.50

Hassan, A. M. (2016). Warisan Budaya Pe­mikiran dalam Peribahasa Melayu. Jur-nal Peradaban, 9, 1­10. https://doi.org/10.22452/PERADABAN.vol9no1.2

Hidayat, F. (2015). Pengembangan Para­digma Integrasi Ilmu: Harmonisa­si Islam dan Sains dalam Pendi­dikan. Jurnal Pendidikan Islam, 4(2), 299­318. https://doi.org/10.14421/jpi.2015.42.299­318

Hopper, T. (2017). Neopatrimonialism, Good Governance, Corruption and Account­ing in Africa. Journal of Accounting in Emerging Economies, 7(2), 225­248. https://doi.org/10.1108/JAEE­12­2015­0086

Husin, W. N. W. (2017). An Introductory Study on the Malay Work Ethics and Business Culture in Malaysia. Advanced Science Letters, 23(1), 585­588. https://doi.org/10.1166/asl.2017.7263

Jabbar, S. F. A. (2012). Insider Deal­ing: Fraud in Islam? Journal of Finan-cial Crime, 19(2), 140­148. https://doi.org/10.1108/13590791211220412

Khoirudin, A. (2014). Rekonstruksi Metafi -sika Seyyed Hossein Nasr dan Pen­didikan Spiritual. Afkaruna: Indo-nesian Interdisciplinary Journal of Islamic Studies, 10(2), 202­216. h t t p s : //do i . o r g/10 .18196/a i i ­jis.2014.0038.202­216

Kholifatu, A. (2018). Trilogi Novel Sang Pem­baharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar (Kajian Postmod­ern Jean Francouis Lyotard). BASIN-DO: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra In-donesia, dan Pembelajarannya, 2(1), 14­21. https://doi.org/10.17977/um­007v2i12018p014

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam : In-terpretasi untuk Aksi. Bandung: PT Mi­zan Pustaka.

Kusdewanti, A., & Hatimah, H. (2016). Mem­bangun Akuntabilitas Profetik. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 7(2), 223­239. https://doi.org/10.18202/ja­mal.2016.08.7018

362 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364

Page 22: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

Makin, A. (2018). ‘Not a Religious State’: A Study of Three Indonesian Religious Leaders on the Relation of State and Re­ligion. Indonesia and the Malay World, 46(135), 95­116. https://doi.org/10.1080/13639811.2017.1380279

Malloch, T. (2010). Spiritual Capital and Practical Wisdom. Journal of Management Development, 29(7), 755–759. https://doi.org/10.1108/02621711011059194

Malsch, B., & Guénin­Paracini, H. (2013). The moral Potential of Individualism and Instrumental Reason in Account­ing Research. Critical Perspectives on Accounting, 24(1), 74­82. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2012.01.005

Mujiburrahman, M. (2017). Perjumpaan Psikologi dan Tasawuf Menuju Inte­grasi Dinamis. TEOSOFI: Jurnal Ta-sawuf dan Pemikiran Islam, 7(2), 273­294. https://doi.org/10.15642/teosofi.2017.7.2.261-282

Mulawarman, A. D., & Kamayanti, A. (2018). Towards Islamic Accounting Anthro­pology: How Secular Anthropology Re­shaped Accounting in Indonesia. Jour-nal of Islamic Accounting and Business Research, 9(4), 629­647. https://doi.org/10.1108/JIABR­02­2015­0004

Nahar, H. S., & Yaacob, H. (2011). Ac­countability in the Sacred Context. Journal of Islamic Accounting and Busi-ness Research, 2(2), 87­113. https://doi.org/10.1108/17590811111170520

Okura, M. (2013). The Relationship between Moral Hazard and Insurance Fraud. Journal of Risk Finance, 14(2), 120­128. https://doi.org/10.1108/15265941311301161

Pasaribu, P. Y., & Briando, B. (2019). Inter­nalisasi Nilai­Nilai Pancasila dalam Penyusunan Kode Etik Aparatur Pen­gawas Internal Pmerintah (APIP). Jur-nal Ilmiah Kebijakan Hukum, 13(2), 245–264. http://doi.org/10.30641/ke­bijakan.2019.V13.245­264

Patmawati. (2014). Sejarah Dakwah Rasu­lullah SAW di Mekah dan Madinah. Al-Hikmah: Jurnal Dakwah, 8(2), 1­17. https://doi.org/10.24260/al­hikmah.v8i2.75

Prajawati, M. (2016). Implementasi Motif Sosial dan Motif Religius terhadap Kin­erja (Perpektif Maqashid Al­Syari’ Ah). Iqtishoduna, 1(1), 1­10. https://doi.org/10.18860/iq.v1i1.3696

Riyadi, A. K. (2017). The Concept of Man in Ahmad Asrori’s Anthropology of Tasawuf. Journal of Indonesian Is-lam, 11(1), 223­246. https://doi.org/10.15642/JIIS.2017.11.1.223­246

Rohayati, E. (2011). Pemikiran Al­Ghazali tentang Pendidikan Akhlak. Jur-nal Ta’dib, 14(1), 93–112. https://d o i . o r g / 1 0 . 1 0 6 1 / ( A S C E ) 0 7 3 3 ­9410(1991)117

Ruslan, M., & Alimuddin, A. (2012). Makrifat Akuntansi, Determinasi Puncak Per­jalanan Spiritualitas Akuntansi: Suatu Tinjauan Ontologis. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 3(3), 357­367. https://doi.org/10.18202/jamal.2012.12.7167

Said, J., Alam, M., Karim, Z., & Johari, R.(2018). Integrating Religiosity into Fraud Triangle Theory: Findings on Malaysian Police Officers. Journal of Criminologi-cal Research, Policy and Practice, 4(2), 111­123. https://doi.org/10.1108/JCRPP­09­2017­0027

Saifullah, M. (2011). Etika Bisnis Islami dalam Praktik Bisnis Rasulullah. Wal­isongo: Jurnal Penelitian Sosial Keag-amaan, 19(1), 127­156. https://doi.org/10.21580/ws.19.1.215

Sakdiah. (2016). Karakteristik Kepemim ­pinan dalam Islam (Kajian Historis Fi­losofis) Sifat-Sifat Rasulullah. Jurnal Al-Bayan, 22(1), 29–49. https://doi.org/10.22373/albayan.v22i33.636

Santi, S. (2018). Syekh Siti Jenar: Peralihan Diskursus Kajian Tasawuf di Indonesia dari Era Modern ke Postmodern. Eso-terik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf, 4(2), 278­297. https://doi.org/10.21043/esoterik.v4i2.4048

Saprin, S. (2017). Tasawuf sebagai Etika Pembebasan; Memosisikan Islam se­bagai Agama Moralitas. Kuriositas: Media Komunikasi Sosial dan Kea-gamaan, 10(1), 83­90. https://doi.org/10.35905/kur.v10i1.587

Setiawan, A. R. (2016). Mempertanyakan Nilai­nilai Pancasila pada Profesi Akuntan: Bercermin pada Kode Etik IAI. Jurnal Ilmiah Akuntansi, 1(1), 1–21. https://doi.org/10.23887/jia.v1i1.9980

Shihab, M. Q. (2009). Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Sirajudin. (2013). Interpretasi Pancasila dan Islam untuk Etika Profesi Akun­tan Indonesia. Jurnal Akuntansi Multi-

Briando, Purnomo, Etika Profetik bagi Pengelola Keuangan Ne gara 363

Page 23: ETIKA PROFETIK BAGI PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

paradigma, 4(3), 456–466. https://doi.org/10.18202/jamal.2013.12.7209

Sitorus, J. H. E. (2019). The Romance of Mo­ dern Accounting Education: An Im­pact from Positivism and Materialism. Global Business and Economics Review, 21(1), 78­95. https://doi.org/10.1504/GBER.2019.096858

Soysa, I. D. (2019). Is Islam Compatible with Free­Market Capitalism? An Em­pirical Analysis, 1970­2010. Politics and Religion, 12(2), 227­256. https://doi.org/10.1017/S1755048318000780

Stevens, D. E., & Thevaranjan, A. (2010). A Moral Solution to the Moral Hazard Problem. Critical Perspectives on Ac-counting, 24(1), 74­82. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2012.01.005

Suharto, B. (2019). Islam Profetik: Misi Pro­fetik Pesantren sebagai Sumber Daya Ummat. TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 14(1), 96­114. https://doi.org/10.19105/tjpi.v14i1.2409

Triyuwono, I. (2011). ANGELS: Sistem Pe­nilaian Tingkat Kesehatan (TKS) Bank Syari’ah. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 2(1), 1–21. https://doi.org/10.18202/jamal.2011.04.7107

Triyuwono, I. (2015). Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub Sepak Bola. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(2), 290–303. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6023

Triyuwono, I. (2016). Taqwa: Deconstructing Triple Bottom Line (TBL) to Awake Hu­man’s Divine Consciousness. Pertanika Journal of Social Sciences & Humanities, 24(7), 89–104.

Umar, N. (2014). Konsep Hukum Modern: Suatu Perspektif Keindonesiaan, Inte­grasi Sistem Hukum Agama dan Sistem Hukum Nasional. Walisongo: Jurnal Pe-nelitian Sosial dan Keagamaan, 22(1), 157–180. https://doi.org/10.21580/ws.22.1.263

Wieringa, E. (2014). Does Traditional Islamic Malay Literature Contain Shi‘itic El­ements? ‘Ali and Fātimah in Malay Hikayat Literature. Studia Islamika, 3(4), 93­111. https://doi.org/10.15408/sdi.v3i4.795

Wijaya, A. (2010). Menimbang Kembali Para digma Filsafat Islam dalam Bangu­nan Keilmuan Islam Kontemporer. Ulu-muna: Journal of Islamic Studies, 14(1), 121­144. https://doi.org/10.20414/ujis.v14i1.230

Yulianto, R. (2014). Tasawuf Transformatif sebagai Solusi Problematika Manusia Modern dalam Perspektif Pemikiran Tasawuf Muhammad Zuhri. TEOSOFI: Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam, 4(1), 56­87. https://doi.org/10.15642/teosofi.2014.4.1.56-87

Zein, A. (2015). Makna Zikir Perspektif Mu­fassir Modern di Indonesia. ISLAMI-CA: Jurnal Studi Keislaman, 9(2), 503­527. https://doi.org/10.15642/islami­ca.2015.9.2.503­527

Zulhelmi, Z. (2019). Metafisika Suhrawardi: Gradasi Essensi dan Kesadaran Diri. Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena Agama, 20(1), 102­115. https://doi.org/10.19109/jia.v20i1.3602

364 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 10, Nomor 2, Agustus 2019, Hlm 342-364