Etika Dan Hukum
-
Upload
alif-fakhrurrozi -
Category
Documents
-
view
11 -
download
1
description
Transcript of Etika Dan Hukum
ETIKA TEKNIK REPRODUKSI BUATAN(BAYI TABUNG)
Disusun Sebagai Tugas Filsafat dan Bioetik Dosen Pengampu: Prof. Moersintowarti
Disusun Oleh: Kelompok I1. Inna Sholicha Fitriani (011314653002)2. Bernadeta Yoke Fransisca (011314653004)3. Hartini Sri Utami (011314653010)4. Siti Nuril Mufarrihah Agustina (011314653011)5. Uke Maharani Dewi (011314653012)
PASCA SARJANA ILMU KESEHATAN REPRODUKSIFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA2014BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bayi tabung atau lebih dikenal dengan istilah inseminasi buatan bukanlah
wacana baru yang kita lihat pada tataran empirik saat ini. Namun permasalahan ini
masih aktual saja untuk dibicarakan maupun didiskusikan terutama bagi kalangan
akademis, intelektualis yang tentunya harus perspektif dalam memahami suatu
permasalahan, bukan menjadi masalah bagi dirinya sendiri.
Program bayi tabung untuk pertama kali diperkenalkan oleh dokter asal
Inggris, Patrick C. Steptoe dan Robert G. Edwards pada sekitar tahun 1970-an dan
melahirkan bayi tabung pertama di dunia, Louise Brown pada tahun 1978. Pada
awalnya, teknologi ini ditentang oleh kalangan kedokteran dan agama karena kedua
dokter itu dianggap mengambil alih peran Tuhan dalam menciptakan manusia
(playing God). Tapi sekarang, teknologi ini telah banyak menolong pasangan suami
istri yang ingin mempunyai anak yang megalami masalah seperti infertilitas.
Infertilitas adalah suatu kondisi dimana pasangan suami-istri belum mampu
memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3 kali
seminggu dalam kurun waktu 1 tahun dengan tanpa menggunakan alat kontrasepsi
dalam bentuk apapun. Menurut WHO dari seluruh dunia sekitar 50-80 juta pasangan
suami istri mempunyai masalah dengan infertilitasnya, dan diperkirakan sekitar dua
juta pasangan infertil baru akan muncul tiap tahunnya dan terus meningkat.
Sebagai upaya pertolongan dan pengobatan untuk masalah infertilitas ada
beberapa alternatif yang salah satunya adalah bayi tabung atau IVF (Invitro
Fertilisation). Fertilisation dapat diartikan pembuahan, sedangkan Invitro adalah
diluar. Jadi Fertilitasi In Vitro adalah pembuahan sel telur wanita oleh spermatozoa
pria (bagian dari proses reproduksi manusia), yang terjadi diluar tubuh.
Menurut Otto Soemarwoto dalam bukunya “Indonesia Dalam Kancah Isu
Lingkungan Global”, dengan tambahan dan keterangan dari Drs. Muhammad
Djumhana, S.H., menyatakan bahwa bayi tabung pada satu pihak merupakan hikmah,
Ia dapat membantu pasangan suami istri yang subur tetapi karena suatu gangguan
pada organ reproduksi, mereka tidak dapat mempunyai anak. Dalam kasus ini, sel
telur istri dan sperma suami dipertemukan di luar tubuh dan zigot yang jadi
(mengalami pembuahan) ditanam dalam kandungan istri. Dalam hal ini kiranya tidak
ada pendapat pro dan kontra terhadap bayi yang lahir karena merupakan keturunan
genetik suami dan istri.
Semula IVF (Invitro Fertilisation) di usahakan untuk istri yang mengalami
kerusakan kedua tuba. Setelah itu teryata tingkat keberhasilannya meningkat sampai
20% per transfer embrio, indikasinya pun diperluas mencakup : 1) kerusakan kedua
tuba ; 2) faktor suami (oligospermia) ; 3) faktor serviks abnormal ; 4) faktor
immunologik ; 5) infertilitas karena endometriosis.
Sekarang IVF (Invitro Fertilisation) yang awalnya hanya di peruntukan untuk
membantu pasangan Pasangan suami istri (pasutri) yang mengalami 1) kerusakan
kedua tuba ; 2) faktor suami (oligospermia) ; 3) faktor serviks abnormal ; 4) faktor
immunologik ; 5) infertilitas karena endometriosis, seiring perkembangan zaman di
mana pasangan yang sebenarnya subur sekarang sudah mengikuti juga program IVF
(Invitro Fertilisation) dengan alasan sebagian para wanita ingin menjaga postur tubuh
agar tetap indah dan terjaga, selain itu juga, ada sebagian wanita yang ingin
mempunyai anak tanpa melakukan hubungan seksual (tanpa menikah) misalnya
mengambil sperma orang lain untuk ditransfer ke rahimnya agar wanita tersebut
mempunyai anak, dan ada juga pasangan yang mengalami kelainan seksual seperti
Homoseksual dan Lesbian yang ingin mempunyai anak bisa saja melakukan program
FIV atau bayi tabung dengan mengambil sperma atau sel telur orang lain (transfer
embrio).
Permasalahan selanjutnya adalah Sel telur yang diambil dari wanita yang
melakukan program bayi tabung adalah 4 – 6 sedangkan jumlah embrio yang
digunakan rata-rata 3-4 embrio yang transfer ke dalam rahim dan sisanya dijadikan
sebagai cadangan jika sewaktu-waktu tranfer embrio pertama gagal. Permasalahan
yang timbul kemudian mau dikemanakan sisa embrionya jika transfer embrio pertama
berhasil dilakukan ? Akan diapakan embryo-embrio itu ?
Melalui makalah ini kami akan mencoba membahas permasalahan-
permasalahan tadi menurut medis, etika dan hukum.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Masalah apa saja yang menjadi kontroversi bayi tabung?
1.2.2 Bagaiman bayi tabung dari segi pandang medis?
1.2.3 Bagaimana bayi tabung dari segi pandang agama?
1.2.4 Bagaimana bayi tabung dari segi pandang etika?
1.2.5 Bagaimana bayi tabung dari segi pandang hukum?
1.2.6 Bagaimana pemecahan masalah terhadap kontroversi yang ada mengenai bayi tabung?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan masalah yang menjadi kontroversi bayi tabung, pandangan
medis, agama, etika dan hukum terhadap bayi tabung, serta pemecahan masalah
kontroversi mengenai bayi tabung.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan masalah yang menjadi kontroversi bayi tabung
2. Menjelaskan bayi tabung dari segi pandang medis
3. Menjelaskan bayi tabung dari segi pandang agama
3. Menjelaskan bayi tabung dari segi pandang etika
4. Menjelaskan bayi tabung dari segi pandang hukum
1.4 Manfaat
1.4.1 Dapat menjelaskan pandangan medis, agama, etika, dan hukum terhadap bayi tabung
sebagai teknik reproduksi buatan.
1.4.2 Dapat menjelaskan masalah yang menjadi kontroversi bayi tabung serta
pemecahannya sebagai bahan diskusi pada mata kuliah ini.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Issu Terkini Mengenai Bayi Tabung
Issu-Issu terkini mengenai bayi tabung yang menjadi kontroversi baik dalam
dunia kesehatan maupun awam, antara lain:
1. IVF (Invitro Fertilisation) atau dikenal sebagai bayi tabung merupakan pembuahan
sel telur (ovum) dengan sperma di luar tubuh yang dilakukan sebagai terapi pilihan
untuk pasangan infertil dengan syarat dan ketentuan medis yang berlaku.
2. Bayi tabung dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu pada sprema yang normal
pembuahan dilakukan di media dengan tehnik pembuahan alami yaitu sperma
berlomba-lomba untuk membuahi sel telur yang telah diambil sejumlah 4-6.
3. Sedangkan cara lain untuk oligospermia pada laki-laki dipilih 1 sperma yang terbaik
dan disuntikkan ke sel telur yang telah diambil cara ini disebut ICSI (Intra
Cytoplasmic Sperm Injection).
4. Awalnya IVF (Invitro Fertilisation) dilakukan untuk membantu pasangan suami
istri infertil yang ingin memiliki anak sebagai keturunan mereka. Seiring dengan
perkembangan jaman, pasangan yang suburpun ingin mengikuti program bayi
tabung dengan alasan untuk menjaga postur tubuh agar tetap indah dan terjaga.
5. Wanita yang memutuskan tidak ingin menikah karena alasan tertentu dan ingin
memiliki anak tanpa melakukan hubungan seksual dan dilahirkan dari rahimnya,
memilih cara ini dengan mengambil sperma orang lain untuk membuahi sel
telurnya.
6. Pasangan suami istri yang memiliki kelainan seksual seperti homoseksual atau
lesbian dan ingin mendapatkan anak dari pernikahan mereka sehingga mengikuti
bayi tabung.
2.2 Masalah Yang Timbul Dalam Proses Bayi Tabung
Masalah yang timbul yang menjadi pertanyaan, kontroversi serta pro dan kontra
terhadap bayi tabung, antara lain:
1. Bayi tabung merupakan pembuahan di luar tubuh sel telur dari wanita dan sperma
laki-laki, bagaimana bila sperma yang diambil adalah sperma pendonor dikarenakan
suami tidak dapat menghasilkan sperma (karena kelainan)?
2. Dalam bayi tabung, sperma membuahi sel telur di luar tubuh yaitu pada media yang
dibuat menyerupai media uterus atau tuba wanita yang diletakkan pada petri disk, di
mana sperma secara alami dalam jumlah banyak berlomba-lomba menuju sel telur
untuk membuahi. Dalam hal ini masih terjadi seleksi alam, bahwa sperma yang
mengalami kelainan tidak dapat membuahi. Pada ICSI, sperma yang diambil adalah
satu yang terbaik yang dipilih secara mikroskopis oleh tenaga medis yang
melakukan bayi tabung kemudian disuntikkan ke sel telur di bawah mikroskop.
Bagaimana kondisi dan kualitas embrio bila sperma yang diambil terbaik secara
morfologi dan motilitas tetapi genetiknya mengalami kelainan (karena tidak bisa
diamati secara mikroskopis) atau saat menyuntikkan sperma tersebut menjadikan
susunanya mengalami kelainan terutama secara genetik dan proteomik?
3. Apakah diperbolehkan bayi tabung yang dilakukan dengan pengambilan sel telur
dan sperma dari pasangan suami istri yang sah namun karena alasan tertentu
(pasangan homoseksual atau lesbian, istri tidak mau mengandung) mereka ingin
mentransfer embrio hasil pembuahan pada wanita lain sebagai sewa rahim?
4. Pada bayi tabung, sel telur yang diambil sebanyak 4-6 dan bila semuanya berhasil
dibuahi menjadi embrio, apakah boleh ditrasfer semua ke dalam rahim ibu?
Ditemukan kasus di Amerika, ibu yang mengikuti bayi tabung melahirkan 8 anak
kembar.
5. Menurut Dr. Muharram, SpOG(K), yang merupakan Kepala Program Bayi Tabung
Klinik Layanan Terpadu Gangguan Kesuburan, Yasmin RSCM. Untuk penanaman
embrio, saat ini dunia merekomendasikan single embryo transfer, jadi hanya satu
embrio yang ditransfer ke rahim. Untuk melakukan itu perlu dipertimbangkan
dengan umur ibu, kondisi embrio, dan kesepakatan dengan pasien. Tetapi
berdasarkan literatur, kondisi embrio, umur ibu, dan kasus infertilitasnya, maka
masih boleh lebih dan 1 embrio ditransfer, tetapi maksimal 3-4 embrio. Bagaimana
dengan embrio lain hasil pembuahan, dimusnahkan atau boleh disimpan dan
digunakan bila pasangan ingin memiliki anak kembali?
6. Menurut Dr. Muharam, embrio “sisanya” akan disimpan dalam suhu yang amat
rendah dan kelak jika pasangan suami istri tadi menghendaki kehamilan lagi, maka
bisa ditanamkan kembali di rahim istri dengan lama penyimpanan maksimal dua
tahun. Apakah embrio hasil pembuahan yang disimpan masih diperbolehkan untuk
ditransfer ke rahim istri apabila suaminya telah meninggal dunia?
2.3 Bayi Tabung Dilihat Dari Pandangan Medis
Di Indonesia, hukum dan perundangan mengenai teknik reproduksi buatan diatur
dalam:
1. UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, pasal 127 menyebutkan bahwa upaya kehamilan
di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah
dengan ketentuan:
1) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
2) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu;
3) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2. Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan: ketentuan umum,
perizinan, pembinaan, dan pengawasan, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan
Penutup.
Adapun bunyinya adalah sebagai berikut :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Teknologi reproduksi buatan adalah upaya pembuahan sel telur dengan sperma di
luar cara alami, tidak termasuk kloning;
2. Persetujuan tindakan medik (Informed Consent) adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap pasien;
3. Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien
pada sarana pelayanan kesehatan.
4. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan.
BAB II
PERIZINAN
Pasal 2
Rumah Sakit dapat memberikan pelayanan teknologi reproduksi buatan setelah
mendapat izin dari Direktur Jenderal.
Pasal 3
1. Pelenggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini
dapat dikenakan tindakan administratif.
2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
peringatan samapai dengan pencabutan izin penyelenggaraan pelayanan teknologi
reproduksi buatan.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Anak dan
Bersalin Harapan Kita dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo yang telah
memberikan pelayanan teknologi reproduksi buatan, berdasarkan peraturan ini
dinyatakan diberi izin penyelenggaraan pelayanan, penelitian dan pengembangan
dengan ketentuan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak ditetapkan peraturan ini
harus menyesuaikan diri dengan ketentuan peraturan ini.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Instruksi Kesehatan Nomor
3794/Menkes/VII/1990 tentang Program Pelayanan Bayi Tabung dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 13
1. Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan
2. Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya Keputusan MenKes RI tersebut dibuat Pedoman Pelayanan Bayi
Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, DepKes
RI, yang menyatakan bahwa:
1. Pelayanan teknik reprodukasi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma
dan sel telur pasangan suami-istri yang bersangkutan.
2. Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas,
sehingga sehinggan kerangka pelayannya merupakan bagian dari pengelolaan
pelayanan infertilitas secara keseluruhan.
3. Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak lebih dari 3, boleh
dipindahkan 4 embrio dalam keadaan:
1) Rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru lahir.
2) Pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya dua
kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal.
3) Istri berumur lebih dari 35 tahun.
4. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun.
5. Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ovum atau embrio.
6. Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian. Penelitian
atau sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dapat dilakukan apabila tujuannya
telah dirumuskan dengan sangat jelas
7. Dilarang melakukan penelitian dengan atau pada embrio manusia dengan usia
lebih dari 14 hari setelah fertilisasi.
8. Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa manusia tidak boleh dibiakkan in
vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk waktu simpan beku).
9. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimen terhadap atau menggunakan sel
ovum, spermatozoa atau embrio tanpa seijin dari siapa sel ovum atau spermatozoa
itu berasal.
10. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies, kecuali fertilisasi tran-spesies
tersebut diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada
manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fretilisasi trans-spesies harus diakhiri
pertumbuhannya pada tahap 2 sel.
2.4 Bayi Tabung Dilihat Dari Pandangan Agama
Persoalan bayi tabung pada manusia merupakan persoalan baru muncul dizaman
modern, sehingga terjadi masalah fiqh kontemporer yang pembahasannya tidak
dijumpai dalam buku-buku fiqh klasik. Karena itu pembahasan bayi tabung pada
manusia dikalangan para ahli fiqh kontemporer lebih banyak mengacu kepada
pertimbangan kemaslahatan umat manusia, khususnya kemaslahatan suami istri.
Disamping harus dikaji secara multidisipliner karena persoalan ini hanya bisa
dipahami secara komprehensif jika dikaji berdasarkan ilmu kedokteran, biologi-
khususnya genetika dan embriologi serta sosiologi.
Aspek Agama penggunaan bayi tabung didasarkan kepada sumber sperma dan
ovum, serta rahim. Dalam hal ini hukum bayi tabung ada tiga macam, yaitu:
1. Bayi tabung yang dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri serta
tidak ditrannsfer kedalam rahim wanita lain walau istrinnya sendiri selain pemilik
ovum (bagi suami istri yang berpoligami) baik dengan tehnik FIV maupun GIFT,
hukumnya adalah mubah, asalkan kondisi suami istri itu benar-benar membutuhkan
bayi tabung (inseminasi buatan) untuk memperoleh anak, lantaran dengan cara
pembuahan alami, suami istri itu sulit memperoleh anak. Padahal anak merupakan
suatu kebutuhan dan dambaan setiap keluarga. Disamping itu, salah satu tujuan dari
perkawinan adalah untuk memperoleh anak dan keturunan yang sah serta bersih
nasabnya. Jadi, bayi tabung merupakan suatu hajat (kebutuhan yang sangat penting)
bagi suami istri yang gagal memperoleh anak secara alami. Dalam hal ini kaidah
fiqih menentukan bahwa “Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan
seperti dalam keadaan terpaksa (emergency) padahal keadaan darurat/terpaksa
membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.”
2. Bayi tabung yang dilakukan dengan menggunakan sperma dan atau ovum dari
donor, haram hukumnya karena hukumnya sama dengan zina, sehingga anak yang
dilahirkan melalui proses bayi tabung tersebut tidak sah dan nasabnya hanya
dihubungkan dengan ibu (yang melahirkan)-Nya. Termasuk juga haram system bayi
tabung yang menggunakan sperma mantan suami yang telah meninggal dunia,
sebab antara keduanya tidak terikat perkawinan lagi sejak suami meninggal dunia.
3. Haram hukumnya bayi tabung yang diperoleh dari sperma dan ovum dari suami
istri yang terikat perkawinan yang sah tetapi embrio yang terjadi dalam proses bayi
tabung ditransfer kedalam rahim wanita lain atau bukan ibu genetic (bukan istri atau
istri lain bagi suami yang berpoligami), haram hukumnya. Jelasnya, bahwa bayi
tabung yang menggunakan rahim rental, adalah haram hukumnya. Ini berarti bahwa
kondisi darurat tidak mentolerir perbuatan zina atau bernuansa zina. Zina tetap
haram walaupun darurat sekalipun.
Dalam kaitan ini yusuf qardawi mengemukakan bahwa keharaman bayi tabung
dengan menggunakan sperma yang berasal dari laki-laki lain, baik diketahui maupun
tidak, atau sel telur yang berasal dari wanita lain. Karena akan menimbulkan problem
tentang siapa sebenarnya ibu dari bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur itu yang
membawa karakteristik keturunan, apakah wanita yang menderita dan menanggung
rasa sakit karena hamil dan melahirkannya? Begitu pula jika wanita yang
mengandungnya adalah istri lain dari suaminya sendiri, haram karena dengan cara ini
tidak diketahui siapa sebenarnya dari kedua istri itu yang menjadi ibu dari bayi yang
akan dilahirkan nanti. Juga kepada siapa nasab (keturunan) sang bayi disandarkan,
apakah kepada pemilik sel telur atau sipemilk rahim?
Dalam kasus ini para ahli fiqih mempunyai pendapat yang berbeda-beda.
Pendapat pertama (yang dipilih Yusuf Qardawi), bahwa ibu bayi itu adalah sipemilik
sel telur. Sedangkan pendapat kedua, bahwa “ibunya adalah wanita yang mengandung
dan melahirkannya”. Pendapat ini sejalan dengan zahir QS.al-mujadilah:2 yang
artinya “ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan
mereka…………..”
Sedangkan pedapat pertama diatas selaras dengan genetika, bahwa anak akan
mewarisi karakter (sifat-sifat) dari wanita pemilik sel telur dan laki-laki pemilik sel
sperma. Karena dalam sel telur dan sperma itu terdapat kromosom dan didalam
kromosom itulah terdapat gen. Gen inilah yang memberikan sifat menurun (hereditas)
kepada anak.
Menurut Muhammad Syuhudi Ismail, sewa rahim sebagai salah satu bentuk
rekayasa genetika adalah haram hukumnya. Alasannya, pada zaman jahiliah telah
dikenal 4 jenis perkawinan dan hanya satu yang sesuai dengan perkawinan menurut
islam. Jenis perkawinan lain adalah bibit unggul, poliandri sampai 9 orang suami, dan
perkawinan massal (sejumlah laki-laki mengawini sejumlah wanita). Perkawinan bibit
unggul memiliki persamaan dengan perkawinan unggul yang terjadi pada zaman
modern ini melalui jasa bank sperma. Perbedaannya perkawinan bibit unggul pada
zaman jahiliah berjalan secara alamiah sedangkan sekarang ini berjalan secara ilmiah.
Disamping itu, praktik sewa rahim bertentangan dengan tujuan perkawinan.
Karena salah satu tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan dengan
jalan halal dan terhindar dari perbuatan yang dilarang agama, sedangkan dalam sewa
rahim akan melahirkan banyak masalah bagi anak yang lahir, pemilik bibit, pemilik
rahim dan sebagainya.
Menurut Umar Shihab, keharaman sewa rahim disebabkan oleh (1) akan
menambah masalah lain yang akan muncul, seperti defenisi anak berbeda dengan anak
yang lahir dari bibit dan rahim yang sama; dan siapakah ibu yang sebenarnya, apakah
ibu genetiknya atau ibu yang mengandungnya; (2) dapat dikiaskan dengan jual beli
yang diharamkan, jual beli yang mengandung najis (darah).
Sewa rahim dapat disamakan dengan jual beli dari segi syarat dan rukunnya.
Salah satu syaratnya barangnya harus halal. Barang najis dilarang diperjual belikan dan
salah satu barang najis yang diperjual belikan adalah darah. Memang sperma dan ovum
tidak termasuk najis, namun antara keduanya kelak berubah menjadi segumpal darah
yang melekat pada dinding rahim yang kelak menjadi najis. Dalam hal ini juga terdapat
hubungan timbal balik sebab pemilik rahim (ibu penghamil) dibayar sesuai dengan
perjanjian dengan pemilik ovum (ibu genetik), yang berarti hukum keduanya adalah
sama. Selain itu, praktek sewa menyewa rahim tidak dapat digolongkan dalam keadaan
darurat, melainkan termasuk kebutuhan (hajat). Maksudnya, sewa rahim tidak dapat
dibenarkan. Jika seorang ingin punya anak maka harus berusaha sedemikian rupa
dengan cara yang dibenarkan agama.
Tidak punya anak memang identik dengan terputusnya nasab, namun jika nasab
tersambung dengan cara yang mengarah kepada zina justru mengancam eksistensi
nasab itu sendiri.
Alasan-alasan haramnya bayi tabung dengan menggunakan sperma dan atau
ovum dari donor atau ditransfer kedalam rahim wanita lain, adalah:
1. Firman Allah dalam QS.Al-Isra:70 mengatakan bahwa; yang artinya ”sesungguhnya
kami telah memuliakan manusia”
Dalam hal ini bayi tabung dengan menggunakan sperma dan atau ovum dari
donor itu pada hakekatnya merendahkan harkat manusia sejajar dengan hewan yang
diinseminasi, padahal tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia.
2. Hadits nabi Muhammad SAW : “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir menyiramkan air (sperma)-Nya kedalam tanaman (vagina istri)
orang lain” (HR Abu Daud dari Ruwaifa’ bin Sabit).
Hadist ini tidak saja mengandung arti penyiraman sperma kedalam vagina
seorang wanita melalui hubungan seksual, melainkan juga mengandung pengertian
memasukkan sperma donor melalui proses bayi tabung, yaitu percampuran sperma
dan ovum diluar rahim, yang tidak diikat perkawinan yang sah. Padahal hubungan
biologis antara suami istri, disamping untuk menikmati karunia Allah dalam
menyalurkan nafsu seksual, terutama dimaksudkan untuk mendapatkan keturunan
yang halal dan diridhoi Allah. Karena itu sperma seorang suami hanya boleh
ditumpahkan pada tempat yang dihalalkan oleh Allah, yaitu istri sendiri. Dengan
demikian bayi tabung dengan cara mencampurkan sperma dan ovum donor dari
orang lain identik dengan prositusi terselubung yang dilarang oleh syariat islam.
3. Kaidah Fiqih
Dalam hal ini masalah bayi tabung dengan menggunakan donor adalah
membantu pasangan suami istri dalam mendapatkan anak, yang yang secara alamiah
kesulitan memperoleh anak karena adanya hambatan alami menghalangi bertemunya
sel sperma dengan sel telur (misalnya saluran telurnya terlalu sempit atau ejakulasi
(pancaran sperma)-Nya terlalu lemah.
Namun demikian, mafsadsah (bahaya) bayi tabung dengan donor jauh lebih
besar dari manfaatnya antara lain:
1) Percampuran nasab, padahal islam sangat memelihara kesucian, kehormatan dan
kemurnian nasab, karena ada kaitannya dengan kemahraman (siapa yang halal dan
siapa yang haram dikawini) serta kewarisan ;
2) Bertentangan dengan sunatullah atau hukum alam;
Statusnya sama dengan zina, karena percampuran sperma dan ovum tanpa
perkawinan yang sah;
3) Anak yang dilahirkan bisa menjadi sumber konflik dalam rumah tangga, terutama
bayi tabung dengan bantuan donor akan berbeda sifat-sifat fisik, dan
karakter/mental dengan ibu/ bapaknya;
4) Anak yang dilahirkan melalui bayi tabung yang percampuran nasabnya terselubung
dan dirahasiakan donornya, lebih jelek daripada anak adopsi yang umumnya
diketahui asal atau nasabnya;
5) Bayi tabung dengan menggunakan rahim rental (sewaan) akan lahir tanpa proses
kasih sayang yang alami (tidak terjalin hubungan keibuan antara anak dan ibunya
secara alami). Sehingga akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Ini
berdasarkan kaidah fiqih yang artinya “menolak kerusakan harus didahulukan dari
pada menarik kemaslahatan”
2.5 Bayi Tabung Dilihat Dari Pandangan Etika
Program bayi tabung pada dasarnya tidak sesuai dengan budaya dan tradisi
ketimuran kita. Sebagian agamawan menolak adanya fertilisasi in vitro pada manusia,
sebab mereka berasumsi bahwa kegiatan tersebut termasuk Intervensi terhadap “karya
Illahi”. Dalam artian, mereka yang melakukakan hal tersebut berarti ikut campur dalam
hal penciptaan yang tentunya itu menjadi hak prioregatif Tuhan. Padahal semestinya
hal tersebut bersifat natural, bayi itu terlahir melalui proses alamiah yaitu melalui
hubungan seksual antara suami-istri yang sah menurut agama.
Aspek Human Rigths:
Dalam HAM dikatakan semua orang dilahirkan bebas dengan martabat yang
setara. Pengakuan hak-hak manusia telah diatur di dunia international, salah satunya
tentang hak reproduksi.
Dalam kasus ini, meskipun keputusan inseminasi buatan dengan donor sperma
dari laki-laki yang bukan suami wanita tersebut adalah hak dari pasangan suami istri
tersebut, namun harus dipertimbangkan secara hukum, baik hukum perdata, hukum
pidana, hukum agama, hukum kesehatan serta etika (moral) ketimuran yang berlaku di
Indonesia .
Di Indonesia sendiri bila dipandang dari segi etika, pembuatan bayi tabung tidak
melanggar, tapi dengan syarat sperma dan ovum berasal dari pasangan yang sah.
Jangan sampai sperma berasal dari bank sperma, atau ovum dari pendonor. Sementara
untuk kasus sperma dan ovum berasal dari suami-istri tapi ditanamkan dalam rahim
wanita lain alias pinjam rahim, masih banyak yang mempertentangkan. Bagi yang
setuju mengatakan bahwa si wanita itu bisa dianalogikan sebagai ibu susu karena si
bayi di beri makan oleh pemilik rahim. Tapi sebagian yang menentang mengatakan
bahwa hal tersebut termasuk zina karena telah menanamkan gamet dalam rahim yang
bukan muhrimnya.
Menurut UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, pasal 127 ditegaskan bahwa
Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk
membantu suami istri mendapat keturunan, tetapi upaya kehamilan tersebut hanya
dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah yaitu: hasil pembuahan sperma dan
ovum harus berasal dari pasangan suami istri tersebut, untuk kemudian ditanamkan
dalam rahim si istri. Jadi untuk saat ini wacana Surrogates Mother di Indonesia tidak
begitu saja dapat dibenarkan.
Untuk pemilihan jenis kelaminpun sebenarnya secara teknis dapat dilakukan pada
inseminasi buatan ini. Dengan melakukan pemisahan kromosom X dan Y, baru
kemudian dilakukan pembuahan in-vitro sesuai dengan jenis kelamin yang diinginkan.
Banyak masalah norma dan etik dalam teknologi ini yang jadi perdebatan banyak
pihak, tetapi untuk pandangan profesi kedokteran mungkin dapat mengarah kesimpulan
dari “Perspektif Etika dalam Perkembangan Teknologi Kedokteran” yang disampaikan
oleh dr. Mochamad Anwar, SpOG dalam Seminar Nasional Continuing Medical
Education yang diselenggarakan di Auditorium FK UGM tanggal 10 Januari 2009,
dimana aspek etika haruslah menjadi pegangan bagi setiap dokter, ahli biologi
kedokteran serta para peneliti di bidang rekayasa genetika, yang didasarkan pada
Deklarasi Helsinki antara lain:
1. Riset biomedik pada manusia harus memenuhi prinsip-prinsip ilmiah dan
didasarkan pada pengetahuan yang adekuat dari literatur ilmiah.
2. Desain dan pelaksanaan experimen pada manusia harus dituangkan dalam suatu
protokol untuk kemudian diajukan pada komisi independen yang ditugaskan untuk
mempertimbangkan, memberi komentar dan kalau perlu bimbingan.
3. Penelitian biomedik pada manusia hanya boleh dikerjakan oleh orang-orang dengan
kualifikasi keilmuan yang cukup dan diawasi oleh tenaga medis yang kompeten.
4. Dalam protokol riset selalu harus dicantumkan pernyataan tentang norma etika yang
dilaksanakan dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip deklarasi Helsinki.
Walaupun demikian penyusun merasa selain etika penelitian yang ada dalam
Deklarasi Helsinki ini, masih diperlukan campur tangan pemerintah untuk membuat
suatu aturan resmi mengenai pelaksanaan dan penerapan bioteknologi, sehingga ada
pengawasan yang lebih intensif terhadap bahaya potensial yang mungkin timbul akibat
kemajuan bioteknologi ini.
2.6 Bayi Tabung Dilihat Dari Pandangan Hukum
Jika benihnya berasal dari Suami Istri
1. Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer
embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara
biologis ataupun yuridis mempunyai status sebagai anak sah (keturunan genetik)
dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan
keperdataan lainnya.
2. Jika ketika embrio diimplantasikan kedalam rahim ibunya di saat ibunya telah
bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian
mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan
setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak
memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum
ps. 255 KUHPer.
3. Jika embrio diimplantasikan kedalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara
yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan
yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer.
Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai
anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya
dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu
dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps. 1320 dan 1338 KUHPer.)
Jika salah satu benihnya berasal dari donor
1. Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi in vitro
transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi
dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan
diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak
sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang
si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes
DNA. Dasar hukum ps. 250 KUHPer.
2. Jika embrio diimplantasikan kedalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak
yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar
hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer.
Jika semua benihnya dari donor
1. Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada
perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang
terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari
pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang
terikat dalam perkawinan yang sah.
2. Jika diimplantasikan kedalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki
status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara
sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali
sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara
yuridis dan biologis sebagai anaknya.
2.6 Pemecahan-Pemecahan Yang Harus Dipikirkan Untuk Mengatasi Masalah Yang
Menjadi Kontroversi Bayi Tabung
Dari bahasan-bahasan di atas: issu, masalah yang menjadi kontroversi, sampai
dengan pandangan medis, agama, etika, dan hukum mengenai bayi tabung, maka dapat
diambil suatu pemikiran sebagai pemecahan masalah yang menjadi kontroversi apakah
bayi tabung diperbolehkan atau tidak serta hal-hal yang menjadi pertanyaan selama
proses bayi tabung dilaksanakan.
1. Telah dijelaskan menurut medis bahwa bayi tabung dilakukan untuk membantu
pasangan infertil yang ingin memiliki anak sebagai penerus keturunan dan hal
tersebut dianggap halal secara agama dan memenuhi etik apabila sel telur dan
sperma diambil dari pasangan suami istri yang sah secara hukum dan agama serta
hasil embrio dimasukkan ke dalam rahim istri pasangan tersebut. Metode bayi
tabung baik secara alamiah atau ICSI harus dikerjakan oleh tenaga kesehatan yang
berkompeten dan terlatih dengan ijin khusus dari pemerintah untuk meminimalisasi
kekurangan-kekurangan yang terjadi seperti tidak terjadinya fertilisasi, keguguran,
kelainan genetik atau susunan sperma saat injeksi, dll.
2. Hasil pembuahan bayi tabung berupa embrio harus dimasukkan ke dalam rahim istri
dari pasangan yang sah secara hukum dan agama karena hal tersebut telah
disebutkan dalam pandangan medis, agama, etika. Sehingga adanya sewa rahim
untuk bayi tabung harus ditentang dengan adanya peraturan yang tegas dari
pemerintah mengenai penolakan sewa rahim karena masih disebutkan dalam hukum
perdata mengenai status anak bayi tabung baik yang dilahirkan oleh istri sah atau
wanita lain.
3. Agar bayi tabung tidak disalahgunakan oleh pihak atau pasangan yang dengan
sengaja tanpa indikasi medis melakukannya (misalnya: pasangan dengan kelainan
homoseksual atau lesbian yang ingin memiliki keturunan dari hasil pernikahannya)
maka harus ada peraturan dan sanksi tegas secara tertulis pada yang melanggar.
4. Pada bayi tabung, diambil 4-6 sel telur untuk dapat dibuahi oleh sperma dan apabila
semua berhasil dibuahi menurut medis hanya boleh ditransferkan 1 untuk kondisi
embrio dan ibu yang optimal dan 2-4 untuk syarat dan kondisi tertentu. Bila embrio
yang ditransfer adalah semua dari hasil pembuahan dan berhasil tumbuh dan
berkembang dalam rahim maka lebih banyak akibat negatif daripada positifnya
antara lain bayi tudak akan tumbuh secara optimal dan dapat lahir prematur,
mempertinggi risiko preeklampsia pada ibu.
5. Apabila embrio yang ditransfer dalam rahim ibu hanya 1 atau 2-4 saja, maka
embrio lain dapat dibekukan dengan syarat persetujuan dari pasangan suami istri
yang kelak bila masih menginginkan anak dapat digunakan kembali. Perlu adanya
penegasan sampai kapan embrio itu disimpan dengan adanya persetujuan pasangan
dan saksi.
DAFTAR PUSTAKA