etika bisnis.doc
-
Upload
bintang-mahaputra-adi-p -
Category
Documents
-
view
102 -
download
5
description
Transcript of etika bisnis.doc
TUGAS ETIKA BISNIS
Tugas ini dibuat dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mata kuliah Etika Bisnis
Disusun oleh :
Adi PradanaNIM. 06.30.0048
Jurusan manajemenFakultas ekonomi
Universitas katolik soegijapranataSemarang
2010
1 ETIKA DAN MORAL
a Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang dalam bentuk tunggal berarti:
tempat tinggal yang biasa,padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak,
perasaan, sikap, cara berfikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah adat kebiasaan.
Arti yang terakhir inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika.
Etika dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (Poerwadarminta,1953). Arti tersebut sangat
sempit untuk dimaknai, karena hanya menggambarkan etika sebagai ilmu (K.
Bertens,2007). Akan tetapi dalam Kamus Besar bahasa Indonesia yang baru
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1988), disitu etika dijelaskan dengan
membedakan menjadi tiga arti: “(1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak; (3) nilai mengenai benar salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.”
Pada kajian lain, etika dimaknai sebagai “prinsip tingkah laku yang mengatur
individu dan kelompok”. Ada pula yang mengatakan etika merupakan “kajian
moralitas”. Tapi meskipun etika berkaitan dengan moralitas, namun tidak sama
persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan, baik aktivitas
penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri, sedangkan moralitas merupakan
subjek.
Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar
moral masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan
dalam kehidupan kita dan apakah standar itu masuk akal atau tidak masuk akal –
standar, yaitu apakah didukung dengan penalaran yang bagus atau jelek. Etika
merupakan penelaahan standar moral, proses pemeriksaan standar moral orang atau
masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk
diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkrit. Tujuan akhir standar moral
adalah mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk
dianut. Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah
menentukan standar yang benar atau yang didukung oleh penalaran yang baik, dan
dengan demikian etika mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar
benar dan salah, dan moral yang baik dan jahat.
b Moral
Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai
apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat. Pedoman moral mencakup norma-
norma yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan yang kita yakini benar atau
salah secara moral, dan nilai-nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita
yakini secara moral baik atau secara moral buruk. Norma moral seperti “selalu
katakan kebenaran”, “membunuh orang tak berdosa itu salah”. Nilai-nilai moral
biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan objek-objek atau
ciri-ciri objek yang bernilai, semacam “kejujuran itu baik” dan “ketidakadilan itu
buruk”. Standar moral pertama kali terserap ketika masa kanak-kanak dari keluarga,
teman, pengaruh kemasyarakatan seperti gereja, sekolah, televisi, majalah, music
dan perkumpulan.
Hakekat standar moral :
1. Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan
secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
2. Standar moral tidak dapat ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif
tertentu.
3. Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (khususnya)
kepentingan diri.
4. Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
5.Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu. Standar
moral, dengan demikian, merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan yang
kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik
bukan otoritas, melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang
tidak memihak, dan yang pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah
dan malu dan dengan emosi dan kosa kata tertentu.
Perkembangan moral seseorang dapat berubah ketika dewasa. Saat anak-anak,
kita secara jujur mengatakan apa yang benar dan apa yang salah, dan patuh untuk
menghindari hukuman. Ketika tumbuh menjadi remaja, standar moral konvensional
secara bertahap diinternalisasikan. Standar moral pada tahap ini didasarkan pada
pemenuhan harapan keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Hanya sebagian
manusia dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan
merefleksikan secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan keluarga,
teman, budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak memihak dan yang
lebih memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara memadai
menyeimbangkan perhatian terhadap orang lain dengan perhatian terhadap diri
sendiri. Menurut Lawrence Kohlberg, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level,
masing-masing 2 tahap) yang teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang
untuk berhadapan dengan isu-isu moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi
sosial dan dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.
Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Pada tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh
kebaikan atau keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik
adalah untuk menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang
lebih besar.
Tahap dua : Orientasi Instrumen dan Relativitas
Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai
instrument
untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang
dipedulikan anak itu.
2) Level dua : Tahap Konvensional
Pada level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi
menunjukkan loyalitas terhadap kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada
masa ini, dapat melihat situasi dari sudut pandang orang lain, dari perspektif
kelompok sosialnya.
Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal
Pada tahap ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk
dilihat sebagai pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang
lain.
Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan
Benar dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan
oleh loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum
dipatuhi kecuali tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan
norma
kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara
adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan
nilai yang diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian
prinsip moral yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional. Hukum
dan nilai yang pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang memotivasi
orang yang rasional untuk menjalankannya.
Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial
Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan
dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk
mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia
percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus
demokratis semuanya diberi toleransi.
Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip
moral yang dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan
seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap
prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk
mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain.
Teori Kohlberg membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita
berkembang dan memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman dan
kritis dalam menggunakan dan memahami standar moral yang kita punyai. Namun
tidak semua orang mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti pada tahap
awal sepanjang hidupnya.
Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap prakonvensional, benar atau salah
terus menerus didefinisikan dalam pengertian egosentris untuk menghindari
hukuman dan melakukan apa yang dikatakan oleh figur otoritas yang berkuasa.
Bagi mereka yang mencapai tahap konvensional, tetapi tidak pernah maju
lagi, benar atau salah selalu didefinisikan dalam pengertian norma-norma kelompok
sosial mereka atau hukum negara atau masyarakat mereka. Namun demikian, bagi
yang mencapai level postkonvensional dan mengambil pandangan yang reflektif
dan kritis terhadap standar moral yang mereka yakini, benar dan salah secara moral
didefinisikan dalam pengertian prinsip-prinsip moral yang mereka pilih bagi
mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.
Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi,
atau kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral selalu
melibatkan dua komponen mendasar :
1. Pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan oleh standar
moral yang masuk akal.
2. Bukti atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau
perilaku tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang,
menilai, atau menyalahkan.
2 SISTEM DAN TEORI ETIKA
Ada berbagai macam Sistem dan ateori etika, yang dijelasakan sebagai
berikut:
a Etika Situasi
Etika yang terbentuk melalui situasi yang unik, yang mana betul atau
salahnya ditentukan oleh situasi dan yang bersangkutan. Tidak ada norma
moral umum yang berlaku dimanapun, kapanpun, pada siapapun.
b Etika Perraturan
Etika yang melihat hakekat moralitas dalam ketaatan terhadap
sejumlah peraturan, baik-buruknya tindakan ditentukan dari pelaksanaan
aturan. Etika ini cenderung bersifat legalitas saja, pada intinya yang penting
taat aturan saja dan cenderung melarikan diri dari tanggung jawab pribadi
dengan bersembunyi pada peraturan tersebut.
c Etika Relativisme
Berbeda dengan etika situasi yang mengatakan bahwa etika tidak
berlaku secara umum pada suatu kejadian tertentu, maka pada etika
realtivisme ini, norma moral hanya berlaku relatif pada lingkungan dan
wilayah tertentu. Tidak ada tolok ukur yang pasti.
d Teori hedonisme
Teori etika yang mengajarkan agar untuk mencapai kebahagiaan,
manusia hendaknya mengusahakan kenikmatan sebanyak mungkin, dan
menghindari rasa sakit sebisa mungkin.Dalam teori hedonisme ada beberapa
pandangan yang keliru, yaitu kebahagiaan disamakan dengan kenikmatan,
padahal Kenikmatan adalah akibat terpenuhinya kecondongan tertentu.
Sedangkan kebahagiaan tidak terikat pada pengalaman itu. Manusia bisa
merasakan nikmat tanpa merasa bahagia atau mengalami kebahagiaan tanpa
merasakan kenikmatan (mis. klasus pengorbanan diri), disisi lain
pengalaman paling membahagiakan justru tercapai jika tidak hanya
mengejar kenikmatan. Mengingat bahwa manusia mempunyai banyak
dimensi sebagai kekayaannya, maka mengupayakan kenikmatan melulu
membahayakan keutuhan dan mempermiskin dirinya.
e Teori Eudemonisme
Pandangan etika normatif yang menganggap bahwa kebahagiaan
sebagai satu-satunya yang baik demi dirinya sendiri. Adapun kebahagiaan
(eudamonia) adalah keadaan dimana seluruh bakat,kemampuan, potensi,
dimensi manusia sudah berekembang penuh atau paripurna.
Eudemonisme dimengerti sebagai prinsip untuk bertindak sedemikian
rupa sehinga engkau mencapai kebahagiaan yang sebesar mungkin.
Manusia mencapai kebahagiaan menurut Aristoteles lewat theorea
(merenungkan realitas secara mendalam) dan praksis (keterlibatan dalam
hidup berpolis)Eudemonisme dapat membantu unutk mengatasi hedonisme
dengan menekan pemenuhan berbagai kecakapan/dimensi yang plural. Akan
tetapi memiliki akibat antara lain:
-kebahagian yang dicari-cari secara obsesif akan jatuh ke dalam egoisme.
Perspektif eudamonisme masih berpuat pada kebahagiaan diri sendiri.
-Orang lain belum dianggap sebagai person yang merupakan tujuan pada
dirinya sendiri, melainkan hanya sarana untuk/sejauh membantu mencapai
tujuan kebahagiaanku.
f Teori Utilitarisme
Teori ini berarti manusia wajib berusaha untuk selalu menghasilkan
kelebihan akibat-akibat baik (dalam arti berguna) yang sebesar-besarnya
terhadap akibat-akibat buruk (dalam arti tak berguna) apabila kita bertindak.
Utilitarisme menuntut perhatian terhadap semua kepentingan semua orang
yang terpengaruh akibat tindakan itu, termasuk pelaku itu sendiri.
Utilitarisme menciptakan suasana pertanggungjawaban, segala
tindakan moral tidak dapat dikatakan selesai—meskipun sudah sesuai
dengan peraturan abstrak—sebelum dipertanggungjawabkan dari akibat-
akibatnya terhadap semua pihak. Universalitas akibat atau keberlakuan
tindakannya:mengatasi egoisme etis, utilitarisme berikhtiar mencapai
kebahagiaan semua orang. Utilitarisme menuntut perhatian terhadap semua
kepentingan semua orang yang terpengaruh akibat tindakan itu, termasuk
pelau itu sendiri.selain menciptakan suasana pertanggungjawaban,
utilitarisme tidak menjamin keberlakuan mutlak keadilan dan HAM.
g Teori Deontologi
Sistem etika yang semata-mata berdasarkan pada maksud si pelaku
dalam melakukan perbuatan tersebut. Menurut Bertens, Sistem ini tidak
menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan pelaku,
melainkan semata mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita.
(Etika,2007, h.255)
William David Ross, mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai
intuisi tentang kewajiban itu, artinya semua kewajiban itu berlaku langsung
pada kita. Tetapi kita tidak mempunyai intuisi tentang apa yang terbaik
dalam situasi konkret. (Etika,2007, h.260)
3 ETIKA BISNIS
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika
bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua
anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika
(patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji
(good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis
sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta
kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ? Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut
hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional
bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu
pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat
maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara
pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang
tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati
oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk
menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu
pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada
suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah
a) Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka
masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun.
Inilah etika bisnis yang "etis".
b) Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam
bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.
c) Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya
perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan
teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang
lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki.
d) Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi
persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan
yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan
perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap
perkembangan sekitarnya.
e) Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi
perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang.
f) Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan
pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara
golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah
mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan.
g) Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap
orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya
semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri
maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan
pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
h) Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman
dan kenyamanan dalam berbisnis.
i) Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang
berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi"
terhadap pengusaha lemah.
Daftar Pustaka
Bertens. K, 2007, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Bertens. K, 2000, Pengantar Etika Bisnis, Kanisisus, Yogyakarta
Magnis Suseno. F, 1993, Etika bisnis: dasar dan aplikasinya, PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta