Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

81
Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009. ESTIMASI KEPADATAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) BERDASARKAN JUMLAH SARANG DI BUKIT LAWANG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SUMATERA UTARA SKRIPSI NURZAIDAH PUTRI DALIMUNTHE 050805037 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

description

OU

Transcript of Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Page 1: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

i

ESTIMASI KEPADATAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) BERDASARKAN JUMLAH SARANG DI BUKIT LAWANG

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SUMATERA UTARA

SKRIPSI

NURZAIDAH PUTRI DALIMUNTHE

050805037

DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2009

Page 2: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

ii

ESTIMASI KEPADATAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) BERDASARKAN JUMLAH SARANG DI BUKIT LAWANG

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjana sains

NURZAIDAH PUTRI DALIMUNTHE

050805037

DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2009

Page 3: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

iii

PERSETUJUAN

Judul : ESTIMASI KEPADATAN ORANGUTAN SUMATERA

(Pongo Abelii) BERDASARKAN JUMLAH SARANG DI BUKIT LAWANG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SUMATERA UTARA

Kategori : SKRIPSI Nama : NURZAIDAH PUTRI DALIMUNTHE Nomor Induk Mahasiswa : 050805037 Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI Departemen : BIOLOGI Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Diluluskan di Medan, Desember 2009 Komisi Pembimbing : Pembimbing II Pembimbing I Panut Hadisiswoyo S.S., M.Sc Drs. Arlen Hanel. J., M.Si NIP. 19581018 199003 1 001 Diketahui/Disetujui oleh Departemen Biologi FMIPA USU Ketua, Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. NIP. 19640409 19940 3100

Page 4: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

iv

PERNYATAAN

ESTIMASI KEPADATAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) BERDASARKAN JUMLAH SARANG DI BUKIT LAWANG

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2009

Nurzaidah Putri Dalimunthe 050805037

Page 5: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

v

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara” ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Arlen H.J., M.Si selaku Pembimbing I dan Bapak Panut Hadisiswoyo S.S., M.Sc selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, arahan, waktu, serta perhatiannya kepada penulis dari mulai penelitian sampai akhirnya penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S dan Ibu Masitta Tanjung, M.Si selaku ketua dan sekretaris penguji yang telah banyak memberikan banyak saran dan masukan serta waktunya demi kesempurnaan dan penyelesaian skripsi ini.

Ibu Masitta Tanjung, S.Si, M.Si selaku dosen penasehat akademik yang selalu

memberikan saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan segala urusan akademis selama masa perkuliahan. Bapak Dr. Dwi Suryanto, M.Sc dan Ibu Nunuk Priyani, M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU dan kepada seluruh staf pengajar Depertemen Biologi FMIPA USU, serta Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku pegawai Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Nurhasni Muluk dan Bapak Sukirmanto selaku analisis dan laboran di Laboratorium Departemen Biologi yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Mas Panut Hadisiswoyo selaku Direktur Lembaga Sumatran Orangutan Society-Orangutan Information Centre (SOS-OIC), yang telah memberikan beasiswa kepada penulis, Kepada Bapak Nurhady selaku Kepala BBTNGL (Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser) dan Bapak Hendra Selaku Kepala Subseksi Pusat Pengamatan Satwa Bukit Lawang yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda H.Yazid Bustami Dalimunthe dan Ibunda Hamidah Sayuthi yang telah mencurahkan segala kasih sayang, cinta yang tak terhingga dan do’a serta dukungan yang tiada pernah putus kepada penulis, juga abangda Zulfadli S.T, kakanda Jalilah Ilmiha Dlt S.E. dan Kamalia Fithri Dlt S.S, adinda Faisal Afif Dlt dan Nazir Kahfi Dlt. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih atas do’a dan dukungannya kepada sepupu dan keluarga besar penulis, semoga skripsi ini dapat menjadi suatu inspirasi agar lebih giat belajar lagi

Page 6: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

vi

Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih kepada BIOPALAS yang telah membesarkan dan mendidik penulis. Serta buat Bang Gigi, Bang Asri, Bang Barita, bang Kiki, Bang Mahya, Bang Yopi, Bang Zamrud, Bang Andinal, Kak Mugi, kak Santi, Kak Tice, Kak Meyna, Kak Maini, kak Roma atas dukungan moril kepada penulis. Bang Sofyan, Bang Indra, dan kru OIC terima kasih atas bantuan secara teknis kepada penulis selama penelitian berlangsung.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bang Sindra selaku ranger, bang Darna, Gilang, Uya, Juju, bang Anto, bang Mahya, atas kerja sama dan bantuannya selama penelitian berlangsung juga seluruh staf perawatan satwa Bukit Lawang dan para pemandu wisata di Bukit Lawang atas bantuan dan kerja samanya. Serta tidak lupa pula secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Bukit Lawang atas keramahannya selama penulis berada di Bukit Lawang.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan untuk teman-teman seperjuangan di stambuk 2005, Imam, Diana (Drogba), Fifi (Peot), Andi (Momon), Rico (cocobel), Nikma (menik), Widya, Irfan, Ulan, Verta, Saputri, Dahin, Juned, Kabul, Imus, Effendi, Uthin, Ummi, Pida, Santi SM, Maysarah, Nia, Winda, Ruth, Simlah, Siti, Kalista, Julita, Delni, Riris, Misran, Taripar, Fitria, Toberni, Erna, Erni, Valen, Beca, Ochid, Susi, Munthe qu, Eri, Uwi, Seneng, Patimah, Giant, termia kasih untuk persahabatan yang indah. Kepada Anak Ekowan Umri, Rivo, Leni, Eva, Aini, Encai, Desi terima kasih untuk doa, perhatian dan dukungannya selama ini. Kepada adik asuhku, Icha dan Asril, terima kasih untuk doa, perhatian dan dukungannya selama ini. Kakak-kakak dan Adik-adik penulis di Biologi, bang Andi, Bang Edu, kak Yuni, Juki, santi (keket), dan seluruh adik-adik Stambuk 2006, Eva (Edaq), Maika, Dwi Putri R. Dwi Putri A., Misfala, Farid, Stambuk 2007, Ika, Rini, Pestaria, Igun, Stambuk 2008, atas semua bantuan dan dukungan Semua pihak yang telah terlibat langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala bantuan dan dukungannya selama ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Demikianlah skripsi ini penulis sampaikan semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin Ya Robbal ‘Alamin.

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini nantinya. Demikian skripsi ini penulis sampaikan, semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya konservasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Amin Ya Rabbal ’Alamin.

Page 7: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

vii

Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian tentang “Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara” telah dilakukan pada bulan Agustus sampai September 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan populasi orangutan berdasarkan jumlah sarang. Penelitian dilakukan dengan metode line transect. Dari hasil survey diperoleh sebanyak 225 sarang dengan kepadatan populasi orangutan sebesar 0,0349 individu/km2 atau 3,484 individu/ha. Sarang yang ditemukan didominasi oleh sarang kelas III (kelas sarang berumur sekitar 4 bulan) yaitu 50,66%. Sedangkan posisi sarang didominasi oleh posisi 1(posisi sarang yang terletak dekat batang utama) yaitu 39,11%. Pemilihan sarang berdasarkan ketinggian ditemukan paling banyak berada pada ketinggian 15-20 m yaitu sebesar 27,56%. Pemilihan sarang berdasarkan jenis pohon ditemukan sebanyak 10 famili dan didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dan Lauraceae masing-masing sebesar 29,17%. Kata kunci : Pongo abelii, Populasi.

Page 8: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

viii

Estimation Of Orangutan Sumatera Population (Pongo abelii) Density Based On Number Of Nest In Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser

ABSTRACT

A study on “Estimation Of Orangutan Sumatera Population (Pongo abelii) Density based on Numbers Of Nest In Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser” has been conducted from August until September 2009. The research purposed to estimate orangutan populatin density based on numbers of nest. The research has conducted by Line Transeck Methode. The result has got 225 nest with orangutan population about 0,0349 individu/km2 or 3,484 individu/Ha. The nest were dominated by Class III (aged about 4 month) about 50,66%. Position of nest were dominated by position 1 (located in the premier branches) about 39,11%. Depend on altitude of nest were most found in 15-20 m about 27,56%. The nest were found in 10 family of flora and dominated by family Dipterocarpaceae and Lauraceae about 29,17%. Keyword : Pongo abelii, Population.

Page 9: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

ix

DAFTAR ISI

halaman Abstrak Abstrack

iv v

Daftar Isi vi Daftar Tabel vii Daftar Gambar viii Daftar Lampiran ix

Bab 1 Pendahuluan 1 1.1 Latar belakang 1 1.2 Permasalahan 2 1.3 Tujuan Penelitian 3 1.4 Manfaat Penelitian 3 Bab 2 Tinjauan Pustaka 4 2.1 Klasifikasi Orangutan 4 2.2 Morfologi Orangutan 4 2.3 Reproduksi orangutan 5 2.4 Ekologi 6 2.4.1 Habitat Orangutan 6 2.42 Kepadatan Orangutan 8 2.43 Perilaku Bersarang Pada Orangutan 9 Bab 3 Bahan dan Metoda 13 3.1 Deskripsi Area 13 3.1.1 Letak Dan Luas 13 3.1.2 Potensi Kawasan 13 3.1.2.1 Flora 13 3.1.2.2 Fauna 14 3.1.2.3 Wisata 14 3.2 Waktu Dan Tempat 14 3.3 Alat Dan Bahan 15 3.4 Metoda Penelitian 15 3.5 Prosedur Kerja 15 3.6 Analisis Data 17

Bab 4 Hasil dan pembahasan 18 4.1 Kepadatan sarang dan populasi orangutan 19 4.2 Aktivitas bersarang orangutan bukit lawang 19

Page 10: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

x

4.2.1 Kelas sarang 21 4.2.2 Posisi sarang 23 4.3.2 Ketinggian sarang 24 4.3 Pemilihan Sarang

26

Bab 5 Kesimpulan dan Saran 27 Daftar Pustaka 28

Page 11: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Judul halaman

4.1 Jumlah Sarang Pada Masing-Masing Transek 18

4.2 Nilai Kepadatan Populasi Orangutan (ind/km2 atau ind/ha) pada

Masing-Masing Transek Penelitian

20

4.3 Jumlah dan Persentase Sarang Berdasarkan Kelas sarang 22

4.4 Jumlah dan Persentase Sarang Berdasarkan Posisi Sarang 23

4.5 Jumlah dan Persentase Sarang Berdasarkan Tinggi sarang

orangutan pada setiap tingkatan ketinggian

25

Page 12: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul halaman

2.1 Foto Orangutan 5

2.2 Posisi Sarang Orangutan 12

4.1 Diagram Perbandingan Persentase Kelas Sarang 23

4.2. Diagram Perbandingan Persentase Posisi Sarang 24

4.3 Diagram Perbandingan Persentase Ketinggian Sarang 25

4.4 Diagram Perbandingan Persentase Pemilihan Sarang 26

Page 13: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul halaman A Peta Lokasi Penelitian Di Kawasan Bukit Lawang Taman

Nasional Gunung Leuser

31

B Peta Lokasi Penelitian Dengan Metode” line transeck” Di Kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser

32

C Tabel Data Pengamatan

33

D Foto Penelitian di Kawasan Taman Nasional Bukit Lawang

42

E Ilustrasi Posisi Sarang Yang Biasa Digunakan Orangutan Dalam Suatu Pohon

47

F Perhitungan Kepadatan Orangutan Di Kawasan Taman Nasional Bukit Lawang

48

G Perhitungan nilai rata-rata jarak antara sarang dengan transek (W) yang dicatat dalam data pengamatan setiap transek di Kawasan Taman Nasional Bukit Lawang.

49

Page 14: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xiv

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia termasuk negara yang kaya akan keanekaragaman hayati satwa liar primata, dari

sekitar 195 jenis primata yang ada di dunia, 37 jenis diantaranya terdapat hidup di Indonesia, dan

20 jenis diantaranya, merupakan primata endemik Indonesia. Primata tersebut banyak yang

termasuk jenis terancam punah diantaranya adalah orangutan (kera besar). Keadaan ini

disebabkan karena semakin berkurangnya habitat dan masih berlangsungnya penangkapan liar

untuk diperdagangkan. Jenis primata besar ini di dunia hanya ditemukan di Pulau Kalimantan

dan Sumatera. Orangutan yang terdapat di pulau Sumatera disebut Pongo abelii dan Kalimantan

disebut Pongo pygmaeus (Groves, 2001).

Menurut International Union Concervation of Nature (IUCN) sekitar 80% habitat

orangutan telah hilang atau musnah, bila keadaan ini dibiarkan, maka dalam 10–20 tahun ke

depan orangután akan punah. Sehingga IUCN mengkategorikan orangután sebagai critically

endangered species atau sebagai satwa yang terancam punah (IUNC, 2007).

Selanjutnya Alikodra (2002), menjelaskan bahwa hasil adaptasi menyebabkan hewan

menetap di suatu daerah dengan kondisi lingkungan yang sesuai dengan kehidupannya, yang

meliputi tempat mencari makan, minum, berlindung, bermain, dan berkembangbiak. Semua kera

Page 15: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xv

besar membuat sarang, salah satu fungsi sarang adalah sebagai tempat beristirahat setelah

seharian melakukan aktivitas hariannya. Selain itu sarang juga berfungsi sebagai tempat

berlindung dari cuaca yang ekstrim. Perilaku sarang ini ditemukan pada kera besar karena kera

besar memiliki perkembangan otak yang lebih baik. Sehingga kera besar dapat berfikir bahwa

ada cara yang paling nyaman untuk beristirahat. Untuk Orangutan sendiri, sarang adalah sarat

mutlak yang dilakukan setiap harinya di akhir aktivitas jelajahnya (Meijaard et al, 2001).

Rodman (1979) menyatakan bahwa aktivitas utama orangutan dipenuhi oleh kegiatan

makan kemudian aktivitas istirahat, bermain, berjalan-jalan di antara pepohonan dan membuat

sarang merupakan kegiatan yang dilakukan dalam persentase waktu yang relatif sedikit. Menurut

Fakhrurradhi (1998), di Suaq Balimbing rata-rata dalam satu hari orangutan menggunakan waktu

65% untuk melakukan aktivitas makan, 16% untuk bergerak pindah, 17% untuk beristirahat, 1%

untuk membuat sarang dan 0,5% untuk aktivitas sosial.

Keberadaan dan kepadatan orangutan pada suatu daerah dari tahun ke tahun diketahui

terus mengalami penurunan yang disebabkan karena terganggu, rusak dan berkurangnya

kawasan hutan sebagai habitatnya, disamping adanya perburuan terhadap satwa ini. Untuk

menghitung kepadatan, banyak peneliti yang telah mencoba mengestimasikan kepadatan

orangutan melalui perhitungan sarang sepanjang transek tertentu. Hal ini dimungkinkan karena

semua jenis kera besar termasuk orangutan, umumnya membangun sarang ketika akan

beristirahat pada siang dan terutama malam hari (Rijksen, 1978).

Sarang lebih mudah dihitung dibanding hewannya sendiri dan dapat terlihat dalam jangka

waktu yang cukup lama, serta kurang berfluktuasi pada suatu lokasi tertentu. Setelah melalui

proses yang cukup panjang, metode ini semakin memungkinkan untuk diterapkan dengan hasil

yang cukup akurat (Van Schaik et al.,1994). Berkaitan hal tersebut maka dilakukanlah penelitian

dengan judul ”Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah

Sarang di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara”.

Page 16: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xvi

1.2 Permasalahan

Orangutan Sumatera adalah jenis orangutan yang paling terancam diantara dua spesies

orangutan yang ada di Indonesia, hal ini disebabkan karena kehilangan habitat alaminya dengan

cepat oleh berbagai aktivitas manusia yang melakukan pembukaan hutan untuk pertanian,

perkebunan, dan pemukiman, serta pembalakan liar dan perburuan. Namun demikian sampai saat

ini belum diketahui berapakah jumlah individu atau kepadatan orangutan Sumatera (Pongo

abelii) berdasarkan jumlah sarang yang masih terdapat di Bukit Lawang Taman Nasional

Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

1.3 Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

a. Mengetahui kepadatan orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan jumlah sarang di

sekitar kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat,

Sumatera Utara.

b. Mengetahui posisi, kelas, tinggi sarang dan vegetasi dominan sarang di sekitar kawasan

Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kepadatan

orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan jumlah sarang di Bukit Lawang Taman Nasional

Gunung Leuser, Sumatera Utara kepada instansi terkait sehingga lebih bermanfaat bagi upaya

konservasi sumber daya alam hutan berupa satwa secara optimal dan diharapkan dapat dijadikan

sebagai acuan kepada peneliti selanjutnya.

Page 17: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xvii

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Orangutan

Menurut Groves (2001), orangutan termasuk ordo Primata dan famili Homonidae,

dengan klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrae

Kelas : Mamalia

Ordo : Primata

Family : Homonidae

Subfamily : Pongonidae

Genus : Pongo

Species : Pongo abelii (Orangutan Sumatera)

Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan/Borneo)

2.2 Morfologi Orangutan

Page 18: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xviii

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang merupakan hewan arboreal yang soliter dan

mempunyai ciri-ciri yaitu bertubuh besar, rambut berwarna coklat kemerahan, tidak berekor dan

secara genetik orangutan memiliki kemiripan dengan manusia (97,4 %). Orangutan Sumatera

(Pongo abelli) memiliki ciri fisik badan yang lebih besar, berwarna gelap atau coklat kemerah-

merahan, rambut jarang dan pendek, dan pada bayi terlihat ada bercak-bercak berwarna

kemerahan atau kehijau-hijauan (Gambar 2.1.a), sedangkan orangutan Kalimantan (Pongo

pygmaeus ) ciri fisik badannya terlihat lebih kecil, berwarna terang atau oranye, dan tulang

tangan lebih panjang (Gambar 2.1.b). Secara umum, orangutan jantan dewasa bercheekpad

(mengembang) pada kedua pipinya (Gambar 2.1.c) dan ukuran tubuhnya dua kali lebih besar dari

betina, dengan berat tubuh di alam berkisar antara 50-90 kg (Galdikas, 1978).

a) Pongo abelii b) Pongo pygmeus c) P.abelii jantan dewasa

Gambar 2.1. Foto orangutan dari jenis a) Pongo abelii (sumber: foto penelitian lapangan, 2009), b) Pongo pygmeus (sumber: sumatera indonesia.com), c) Pongo abelii jantan dewasa (sumber: orangutanfoundation.wildlife)

Secara sepintas morfologi orangutan Sumatera dan Kalimantan terlihat serupa, akan

tetapi, bila diperhatikan akan terlihat adanya perbedaan (Gambar 2.1.b) orangutan Kalimantan

(Pongo pygmaeus), khususnya bila telah dewasa mengarah kepada warna coklat kemerah-

merahan. Sedang rambutnya terlihat kasar dan jarang-jarang. (Gambar 2.1.a) pada orangutan

Sumatera (Pongo abelii), biasanya berwarna lebih pucat, khasnya “ginger” (jahe), dan rambutnya

lebih lembut dan lemas. Kadang-kadang orangutan Sumatera mempunyai bulu putih pada

mukanya, sedangkan pada orangutan Kalimantan tidak ditemukan hal tersebut (Galdikas, 1986),

Page 19: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xix

selanjutnya dijelaskan bahwa Perbedaan ini bukan merupakan sifat yang mantap, tetapi dapat

digunakan sebagai penuntun kasar.

2.3 Reproduksi Orangutan

Tahapan perkembangan kehidupan orangutan di alam dapat dibedakan dalam beberapa kategori,

morfologi dan tingkah laku. Menurut Mac Kinnon (1974), Rikjsen (1978), dan Galdikas (1984)

tahapan perkembangannya adalah:

a. Bayi (infant); Kisaran umur 0-2,5 tahun, dengan berat badan 2-6 kg. Warna tubuh

umumnya jauh lebih pucat dari pada individu dewasa dengan bercak-bercak putih di

seluruh tubuhnya. Mempunyai rambut panjang-panjang dan berdiri di sekitar muka, kulit di

sekitar mata berwarna pucat. Seluruh tingkah lakunya masih tergantung induk dan tidur

bersama-sama induk dalam sarang.

b. Kanak-kanak (juvenile); Kisaran umur 2,5-7 tahun dengan berat badan 6-15 kg. Warna

tubuh lebih gelap dari individu bayi dengan bercak-bercak putih pada tubuh yang hampir

pudar, tetapi wajahnya masih menyerupai bayi. Dalam beberapa aktivitas sudah dapat

melakukan sendiri, tetapi masih bersama-sama induknya. Tidur masih dalam satu sarang

bersama induknya, tetapi kemudian akan membuat sarang sendiri dekat sarang induknya.

c. Remaja (adolescent); Kisaran umur 7-10 tahun dengan berat badan 15-30 kg. Warna

tubuh lebih pucat dari individu dewasa dengan ukuran tubuh yang lebih kecil. Rambut di

sekitar muka masih panjang dan berdiri.

d. Betina pra-dewasa; Kisaran umur 10-12 tahun dengan berat badan 30-40 kg. Warna tubuh

agak gelap.

e. Betina dewasa; Kisaran umur 12-35 tahun dengan berat badan 30-50 kg. Warna tubuh

sangat gelap kadang-kadang berjengot.

Page 20: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xx

Orangutan betina rata-rata mencapai dewasa kelamin pada umur 15 tahun dan beranak

tiap 8 tahun sekali, karena anak orangutan akan tinggal bersama dan tergantung pada induknya

sampai ia berumur 7-8 tahun (Popowati et al, 1997). Selanjutnya dijelaskan bahwa, seekor induk

orangutan tidak akan pernah memberikan bayinya kepada siapapun, sehingga untuk

mendapatkan satu ekor anak orangutan minimal harus membunuh induknya lebih dahulu.

2.4 Ekologi

2.4.1 Habitat Orangutan

Hewan ini hidup di hutan-hutan tropik yang basah dalam batas-batas alam yang tidak dapat

dilampaui seperti sungai atau gunung yang tingginya lebih dari 2.000 m. Hewan ini dapat hidup

pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah

aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah,

sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di

atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan

pegunungan pada 1.000 m dpl (Hoeve,W.V., 1996).

Kehidupan soliter pada orangutan adalah sesuatu yang khas dan berbeda dari jenis kera

besar lainnya dari suku Pongidae (Napier & Napier, 1976). Walaupun demikian menurut

Schurmann (1982), orangutan bukan berarti tidak melakukan kontak sosial. Kemudian Galdikas

(1978) menambahkan bahwa orangutan tetap melakukan interaksi dengan individu lain, terutama

hubungan yang terjadi antara anak dan induk yang terlibat dalam berbagai kebersamaan dengan

jenis-jenis satuan lain secara luas. Selain itu, melimpahnya sumber pangan, juga membuat

orangutan Sumatera lebih sosial seperti yang terjadi di rawa Singkil (Van Schaik, 2004).

Page 21: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxi

Pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh orangutan tersebut tergantung pada keberadaan

hutan hujan tropis, orangutan dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman

hayati, karena memilki daerah jelajah dan persyaratan habitat yang luas. Sehingga apabila

dijadikan fokus pengelolaan perlindungan, maka seluruh keanakaragaman hayati asli di dalam

area jajahan orangutan akan ikut terlindungi (Hoeve,W.V., 1996).

Rodman (1987) menyatakan bahwa dalam populasi orangutan, dikenal tiga unit populasi

yang terdiri atas jantan dewasa yang bersifat soliter, betina dewasa dengan seekor anak dan

jantan pradewasa yang juga besifat soliter. Diantara ketiga unit orangutan ini kadang-kadang

mereka terlihat bersama dalam suatu kumpulan sementara (temporary association) di pohon-

pohon pakan (feeding group) dan dalam penjelajahan atau bergerak (travel group) serta dalam

hidup berpasangan dengan seekor betina (consortship).

Orangutan betina memerlukan waktu kurang lebih 6 tahun untuk membawa dan

membesarkan anaknya. Selama waktu tersebut, induk akan bertoleransi terhadap anaknya yang

dinyatakan dengan bentuk perlakuan induk terhadap anak, yaitu induk akan memberikan

perhatian yang lebih besar terhadap anak yang lebih muda dibandingkan terhadap anak yang

lebih dewasa. Orangutan jantan dewasa lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri bila

dibandingkan dengan individu betina dewasa. Diantara orangutan jantan dewasa terjadi

persaingan untuk menjadi dominan. Predikat dominan sangat menguntungkan individu jantan

dewasa. Mereka akan lebih leluasa untuk menguasai betina-betina dan sumber makanan (Asfi,

2001).

Bagi orangutan, daya dukung habitat ini ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang

menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat yang aman.

Kekurangan makanan akan menyebabkan terjadinya persaingan, dan anggota yang posisinya

lebih rendah harus mencari sumber-sumber makanan di tempat lain, atau menerima sumber-

sumber makanan alternatif. Jika tidak, mereka akan mati. Jadi, jika kebutuhan dasar lainnya (air,

Page 22: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxii

makanan, tempat beristirahat, dan lain sebagainya) cukup tersedia, maka aktivitas hidupnya akan

berlangsung dengan baik, dengan kata lain daya dukung untuk kehidupannya ditentukan oleh

ketersediaan (Meijaard, 2001).

2.4.2 Kepadatan Orangutan

Van Schaik & Azwar (1991) melaporkan sensus populasi orangutan di Taman Nasional Gunung

Leuser berdasarkan perhitungan sarang yang diduga berkisar 5000 -7400 ekor yang terbagi

menjadi dua tempat dan dipisahkan oleh sungai Alas. Populasi di daerah Barat sungai berkisar

antara 3000 – 4500 ekor, dan di daerah Timur sungai berkisar antara 2000 – 2800 ekor.

Faust et al., (1994), disitasi oleh Syukur (2000) menyatakan bahwa kepadatan orangutan

dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan dan tingkat gangguan

yang ada. Kepadatan orangutan diketahui terus menurun dengan meningkatnya suatu tempat di

atas permukaan laut (dpl). Mulai kepadatan 5 individu/km2 pada hutan rawa (± 30 m dpl), sekitar

2,5 individu/km2 pada ketinggian < 500 m dpl, kurang lebih 1,8 individu/km2 pada ketinggian

500-1000 m dpl, hingga akhirnya tidak didapatkan sama sekali pada ketinggian >1800 m dpl.

Populasi Orangutan Sumatera saat ini diperkirakan hanya berkisar 6.624 ekor, yang

tersebar di 18 blok habitat (Wich et al, 2008). Dengan penurunan jumlah populasi yang drastis

ini, orangutan sumatera bisa punah dalam kurun waktu 10 tahun apabila tidak ada upaya

konservasi. Penyebab utama kepunahan orangutan adalah karena kehilangan tempat hidup

(rusaknya habitat) akibat penebangan hutan, pengembangan lahan untuk pertanian, perkebunan,

pertambangan maupun permukiman. Di sisi lain, perburuan, perdagangan satwa masih tetap

berlangsung, menambah tingginya angka penurunan populasi orangutan (Wich et al, 2008).

Page 23: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxiii

Metode "line transect" hingga saat ini masih merupakan metode yang cukup akurat untuk

menghitung kepadatan populasi orangutan. Metode ini terus dikembangkan, hingga sekarang

sangat memungkinkan untuk menghitung kepadatan populasi orangutan pada suatu area yang

didasarkan atas penghitungan sarang (Van Schaik et al.,1994).

Van Schaik et al. ,(1995) melaporkan bahwa kepadatan populasi orangutan dapat

diperkirakan dengan melakukan sensus sarang. Di Suaq Balimbing ditemukan 33,5 sarang/km2,

di Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser jumlah sarang adalah 24,4 sarang/km2 atau

kepadatan orangutan pada kawasan tersebut adalah 5 individu/km2, sedangkan di Tanjung Puting

kepadatan orangutan adalah 4 individu/km2 (Galdikas, 1984).

2.4.3 Perilaku Bersarang pada Orangutan

Perilaku membuat sarang merupakan salah satu perilaku harian orangutan. Sarang yang

dimaksud adalah tempat peristirahatan orangutan setelah melakukan aktivitas hariannya. Tidak

seperti para monyet dan siamang, kera-kera besar tidak memiliki potongan-potongan belulang

dibokongnya yang memudahkan mereka untuk duduk. Dalam hal seperti itu, berbaring di atas

tempat tidur pasti akan terasa jauh lebih menyenangkan. Aktivitas harian ialah seluruh aktivitas

orangutan yang berlangsung sejak meninggalkan sarang tidur pada pagi hari dan berakhir hingga

masuk kembali kedalam sarang untuk bermalam (Van Schaik, 2006).

Perilaku sarang orangutan dapat membuktikan bahwa orangutan menjalankan kehidupan

arboreal. Mamalia arboreal, terutama yang besar dan suka menyendiri, mempunyai musuh

alamiah yang jumlahnya jauh lebih sedikit, baik yang berupa predator ataupun yang berupa

parasit dengan mengambil asumsi, tentunya, bahwa mereka benar-benar merasa aman dan

Page 24: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxiv

nyaman ditengah-tengah lingkungan pepohonan yang tinggi, dan menjaga diri baik-baik agar

jangan sampai jatuh (Flaegle, 1999; Van Schaik, 2006).

Berdasarkan penelitian Asfi (2001), ada beberapa posisi sarang orangutan (Lampiran E),

antara lain berada di puncak pohon. Menurut Sugardjito (1983), posisi ini mempunyai

keuntungan bagi orangutan, yaitu tidak terhalangnya pandangan dan jangkauan yang dapat

mencakup sebagian besar dari penjuru hutan. Selain itu, posisi ini juga memudahkan orangutan

dalam melakukan pergerakan sewaktu keluar dari sarang dan dari segi keamanan, posisi ini

menghindarkan orangutan dari ancaman predator.

Semua kera besar termasuk orangutan membangun sarang yang biasa dipergunakannya

baik untuk beristirahat pada siang maupun tidur pada malam hari (Van Schaik et al.,1994).

Sarang bagi orangutan juga dapat berfungsi sebagai tempat bermain bagi orang orangutan muda,

tempat berlindung, melahirkan, melakukan kopulasi, dan aktivitas makan (Rijksen, 1978).

Orangutan akan membangun sarang pada posisi yang sesuai dalam suatu pohon.

Orangutan menggunakan batang-batang pohon kecil di sekitarnya, memilin, melengkungkan atau

melipatnya ke bagian cabang yang lentur. Kemudian merapatkan sarang dengan mendorong

dahan-dahan tersebut kebawah untuk membentuk suatu bidang datar. Pembuatan sebuah sarang

biasanya membutuhkan waktu 2-3 menit, namun dapat dilanjutkan dengan perbaikan-perbaikan

ringan (Mac Kinnon, 1974). Selanjutnya Rijksen (1978) menyatakan bahwa konstruksi sebuah

sarang orangutan dapat bervariasi dari suatu bidang datar kecil yang sederhana sampai sebuah

sarang yang besar dan kokoh, yang bahkan mampu untuk menahan seorang manusia dewasa dan

sangat nyaman.

Orangutan sering berpindah-pindah, maka tiap harinya pula ia membuat sarang-sarang

baru (Wardaningsih, 1992). Tiap malam orangutan dewasa dan pradewasa umumnya tidur

sendiri dalam sarang yang terbuat dari dahan dan daun-daun yang ditempatkan pada ketiak

Page 25: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxv

cabang pohon. Kebanyakan disesuaikan dengan strategi dan pohon makanan terakhir yang

dikunjunginya. Sarang dibuat dari ranting yang daunnya masih segar, biasanya pada ketinggian

15 meter sampai 20 meter dari permukaan tanah (Walkers, 1983).

Menurut Sugardjito (1983), di Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser orangutan

jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak memiliki perbedaan dengan orangutan remaja

(adolescent) dan betina dewasa dengan anak dalam hal pemilihan tempat bersarang. Orangutan

jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak lebih sering memilih membuat sarang pada pohon

makanan yang terakhir dikunjunginya, sedangkan orangutan remaja dan betina dewasa dengan

anak lebih banyak membuat sarang pada pohon yang dianggap nyaman bagi dirinya. Hal ini

merupakan strategi hewan untuk menghindari dari predator atau hewan-hewan lain yang

memakan buah yang sama pada malam hari yang dapat mengganggu tidur orangutan.

Sarang orangutan tidak permanen sifatnya (Sugardjito, 1983). Lebih lanjut Rijksen

(1978), menyatakan bahwa orangutan seringkali membuat sarang baru di lokasi yang berbeda

atau dengan memperbaiki sebuah sarang lama. Sarang-sarang tersebut dapat digunakan selama

dua malam atau lebih, sedangkan ketahanan sarang orangutan dapat bervariasi dari dua minggu

sampai lebih dari satu tahun.

Menurut Van Schaik et al.,(1994), hancur dan hilangnya sarang orangutan ditentukan

oleh faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan, begitu juga faktor-faktor

lain yang mempengaruhinya seperti temperatur, kelembaban, dan curah hujan.

Menurut Schaik & Idrusman (1996), dalam suatu pohon ada beberapa posisi sarang yang

biasa digunakan oleh orangutan yaitu posisi sarang yang terletak di dekat batang utama, posisi

sarang yang terletak di tengah atau pinggir cabang utama, dan posisi sarang yang terletak di

puncak pohon atau di antara dua tepi pohon atau lebih yang saling bersinggungan yang dijalin

Page 26: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxvi

menjadi satu (Gambar 2.2.). Menurut Mac Kinnon (1974), orangutan lebih sering membangun

sarangnya di dekat batang utama dari pada di posisi lain. Namun, pemilihan posisi sarang ini

sepertinya juga ditentukan oleh banyak faktor, seperti keuntungan dari tidak terhalangnya

pandangan mata yang dapat menjangkau sebagian besar dari penjuru hutan.

Gambar 2.2. Posisi Sarang orangutan, a)posisi 1, b)posisi 2, c) posisi 3, d) posisi 4

a b c d

Page 27: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxvii

Page 28: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxviii

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Deskripsi Area

3.1.1 Letak dan Luas

Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 30 30’ - 30 45’ Lintang Utara dan 980 00 – 980 15’

Bujur Timur. Sedangkan secara administratif, lokasi penelitian termasuk dalam kawasan Desa

Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kawasan tersebut

berjarak 90 km dari Medan, Sumatera Utara.

Kawasan penelitian ini memiliki luas 200 ha dari luas wilayah Kawasan Bukit Lawang,

Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat Sumatera Utara yang memiliki luas sekitar

75.175 ha. Kawasan hutan di sekitar lokasi penelitian berada pada ketinggian 100-400 m dpl,

mempunyai topografi berbukit-bukit hingga curam, sedangkan topografi datar dapat dikatakan

tidak ada. Jenis tanah yang ditemukan pada kawasan hutan terdiri dari jenis tanah Kompleks

Podsolik Merah Kuning yaitu batuan alluvial, batuan endapan, bahan endapan dan batuan beku,

Latosol, Litosol dan Kompleks Podsolit Coklat.

3.1.2 Potensi Kawasan

3.1.2.1 Flora

Hutan di sekitar Stasiun pengamatan Orangutan Sumatera, di Bukit Lawang termasuk

kawasan hutan tropis basah. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan dengan metode

Page 29: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxix

kuadran diketahui bahwa tingkatan sapihan didominasi oleh jenis asam kandis (Garcinia sp),

semantuk (Shorea sp), baja berinau (Rhodamnia sp), kayu merah (Eugenia sp) dengan masing-

masing 20,41%; 19,36%; 12,60%; 12,11%; 11,79%. Sedangkan untuk tingkatan tiang didominasi

oleh jenis: kayu merah (Eugenia sp), kayu minyak (Dipterocarpus sp), kayu kuning (Eugenia

sp), kandis (Garcinia sp) dengan masing-masing 14,59%; 13,25%; 11,83%; 10,05%. Untuk

tingkatan pohon didomonasi oleh jenis: damar laut (Shorea materalis), meranti bakau (Shorea

macroptera) dan durian hutan (Durio sp) dengan masing-masing 30,26%; 20,15% dan 16,25%.

3.1.2.2 Fauna

Kawasan hutan di sekitar Stasiun pengamatan Orangutan Sumatera di Bukit Lawang juga

merupakan habitat beberapa jenis hewan seperti: Orangutan (Pongo abelii), siamang (Hylobates

sindactylus), kedih (Presbytis thomasii), owa (Hylobates lar), monyet ekor panjang (Macaca

fascicularis), jelarang (Ratufa bicolor), beruang madu (Helarctos malayanus), burung rangkong

(Buceros bicolor) dan beberapa jenis ular.

3.1.2.3 Wisata

Kawasan hutan disekitar stasiun rehabilitasi Bahorok memiliki daya tarik wisata antara

lain :

a. Sungai Bahorok

b. Hutan Lindung Tropis

c. Stasiun pengamatan & pemberian makan (feeding) Orangutan

d. Gua-gua Alam

e. Perkebunan Coklat, Karet, Sawit dan air terjun

Page 30: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxx

3.2 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama satu bulan yang dimulai bulan Agustus sampai September

2009, di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kecamatan Bahorok, Kabupaten

Langkat, Sumatera Utara. Lokasi tersebut merupakan bekas Stasiun Rehabilitasi Orangutan yang

sudah ditutup sejak tahun 1995 (SK Mentri Kehutanan 280/ kpts II/ 1995).

3.3 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah: Peta areal penelitian,

Alat tulis, Tabulasi data, tali, Kamera digital, Meteran, Parang, Sarung tangan, Plastik packing

ukuran 10 kg, Teropong binokuler, Global Positioning System (GPS), Kompas, Counter, tali

plastik berwarna.

3.4 Metoda Penelitian

Dalam penelitian ini, metoda yang digunakan dalam pengumpulan data mengenai

kepadatan orangutan adalah metode line transect yang didasarkan atas sensus sarang secara

random sampling, dengan jumlah transek sebanyak 5 transek. metode ini sangat efektif

digunakan untuk estimasi kepadatan populasi orangutan yang telah dilakukan oleh Van Schaik et

al., pada tahun 1994.

Page 31: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxxi

3.5 Prosedur Kerja

Mula-mula dilakukan pembuatan jalur (trail) sepanjang 1 km sampai 2 km dengan lebar 25 m

pada masing-masing sisi kanan dan kiri trail pada daerah yang telah ditentukan. Lebar trail

diterapkan atas dasar keyakinan bahwa jarak pandang mata masih dapat menjangkau sasaran

(target) dengan baik untuk mendeteksi keberadaan sebuah sarang orangutan. Pengukuran

terhadap lebar jalur (jarak sarang dari trail) tidak diperlukan apabila sarang diyakini masih

berada dalam jarak/lebar yang ditetapkan yaitu ≤ 25 m (misalnya hanya beberapa meter dari tepi

trail).

Sensus sarang dilakukan di setiap transek dengan lima kali ulangan transek dengan jarak

antara transek yang satu dan yang lain adalah 150 m. Cara kerja dari sensus sarang dilakukan

dengan jalan menyusuri trail secara perlahan-lahan, untuk mengamati kemungkinan adanya

sebuah sarang orangutan baik disisi kanan maupun kiri trail yang dijadikan trail. Apabila sarang

orangutan ditemukan, catat jarak antara lokasi sarang dengan pengamat, dalam hal ini

penghitungan sarang berdasarkan kelas sarang I, II, III agar tidak terjadi bias dalam

penghitungan. Untuk mencegah penghitungan sarang berulang, maka ditentukan letak sarang

dengan kategori sebagai berikut :

a. Meter di rintis (jarak tertentu yang memungkinkan sarang dapat diamati)

b. Derajat arah sarang

c. jarak sarang dari rintis (jarak sarang dari titik pengamat)

d. kelas sarang dengan kategori sebagai berikut:

- kelas 1 = sarang baru yang berumur kurang dari 15 hari - kelas 2 = sarang yang berumur sekitar 2 bulan - kelas 3 = sarang yang berumur sekitar 4 bulan

e. ketinggian sarang

f. posisi sarang dengan kategori sebagai berikut:

Page 32: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxxii

- Posisi I : posisi sarang yang terletak dekat batang utama - Posisi II : sarang berada di pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa

menggunakan pohon atau percabangan dari pohon lainnya. - Posisi III : posisi sarang terdapat di puncak pohon - Posisi IV : posisi sarang yang terletak diantara dua pohon yang berbeda

Menurut IUCN (2007) sarang-sarang tersebut dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan

kondisi dan umur sarang tersebut dibuat, berikut klasifikasinya :

a. Sarang Kelas Satu merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau

semua dan umurnya baru seminggu

b. Sarang Kelas Dua, daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan

c. Sarang Kelas Tiga semua daunnya sudah coklat

d. Sarang Kelas Empat alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang utuh

e. Sarang Kelas Lima biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih kelihatan bentuk

sarangnya.

Selanjutnya pohon yang ditemukan sarang orangutan, dicatat jenisnya jika

memungkinkan. Pohon yang tidak dapat diidentifikasi langsung, diambil bagian daun serta alat

generatifnya seperti bunga dan buah untuk diidentifikasi di laboratorium.

3.6 Analisis Data

Untuk menghitung kepadatan orangutan di Bukit Lawang, digunakan rumus yang diberikan oleh

Van Schaik et al., (1994), yang khusus dimodifikasi untuk menghitung kepadatan orangutan

dalam suatu areal berdasarkan perhitungan sarang. Rumus tersebut adalah :

N

D =

(L x 2w x p.r.t)

Page 33: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxxiii

di mana:

D = kepadatan populasi orang utan (individu/km²)

L = panjang jalur/transect (km)

W = rata-rata jarak antara sarang dengan transect (m)

P = proporsi jumlah sarang yang dibangun dalam populasi

r = tingkat produksi sarang

t = ketahanan sarang

N = jumlah sarang yang tercatat /ditemukan di sepanjang jalur transect

Nilai yang digunakan pada penelitian ini, bagi semua perhitungan dengan menggunakan

rumus di atas adalah : panjang transect (L) = 2 km, proporsi jumlah sarang yang dibangun dalam

populasi (p) = 0,9, tingkat produksi sarang (r) = 1,7 dan nilai ketahanan sarang (t) = 90 hari

adalah mengikuti nilai standart baku yang ditetapkan oleh Van Schaik et al., (1994). Sedangkan

rata-rata jarak antara sarang dengan transek (w) yang masih dapat dilihat pada kanopi yang

jarang adalah 32 m Dengan perbedaan kerapatan pohon dalam transek (80-330 pohon

berdiameter >10 cm pada areal 0,4 ha dalam transek), lebar jalur efektif yang digunakan adalah

22,6 m seperti yang digunakan oleh Van Schaik et al. (1995).

Page 34: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxxiv

BAB 1

PENDAHULUAN

1.4 Latar Belakang

Indonesia termasuk negara yang kaya akan keanekaragaman hayati satwa liar primata,

dari sekitar 195 jenis primata yang ada di dunia, 37 jenis diantaranya terdapat hidup di

Indonesia, dan 20 jenis diantaranya, merupakan primata endemik Indonesia. Primata

tersebut banyak yang termasuk jenis terancam punah diantaranya adalah orangutan (kera

besar). Keadaan ini disebabkan karena semakin berkurangnya habitat dan masih

berlangsungnya penangkapan liar untuk diperdagangkan. Jenis primata besar ini di dunia

hanya ditemukan di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Orangutan yang terdapat di pulau

Sumatera disebut Pongo abelii dan Kalimantan disebut Pongo pygmaeus (Groves, 2001).

Menurut International Union Concervation of Nature (IUCN) sekitar 80% habitat

orangutan telah hilang atau musnah, bila keadaan ini dibiarkan, maka dalam 10–20 tahun

ke depan orangután akan punah. Sehingga IUCN mengkategorikan orangután sebagai

critically endangered species atau sebagai satwa yang terancam punah (IUNC, 2007).

Selanjutnya Alikodra (2002), menjelaskan bahwa hasil adaptasi menyebabkan

hewan menetap di suatu daerah dengan kondisi lingkungan yang sesuai dengan

Page 35: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxxv

kehidupannya, yang meliputi tempat mencari makan, minum, berlindung, bermain, dan

berkembangbiak. Semua kera besar membuat sarang, salah satu fungsi sarang adalah

sebagai tempat beristirahat setelah seharian melakukan aktivitas hariannya. Selain itu

sarang juga berfungsi sebagai tempat berlindung dari cuaca yang ekstrim. Perilaku sarang

ini ditemukan pada kera besar karena kera besar memiliki perkembangan otak yang lebih

baik. Sehingga kera besar dapat berfikir bahwa ada cara yang paling nyaman untuk

beristirahat. Untuk Orangutan sendiri, sarang adalah sarat mutlak yang dilakukan setiap

harinya di akhir aktivitas jelajahnya (Meijaard et al, 2001).

Rodman (1979) menyatakan bahwa aktivitas utama orangutan dipenuhi oleh kegiatan makan

kemudian aktivitas istirahat, bermain, berjalan-jalan di antara pepohonan dan membuat sarang

merupakan kegiatan yang dilakukan dalam persentase waktu yang relatif sedikit. Menurut Fakhrurradhi

(1998), di Suaq Balimbing rata-rata dalam satu hari orangutan menggunakan waktu 65% untuk

melakukan aktivitas makan, 16% untuk bergerak pindah, 17% untuk beristirahat, 1% untuk membuat

sarang dan 0,5% untuk aktivitas sosial.

Keberadaan dan kepadatan orangutan pada suatu daerah dari tahun ke tahun diketahui terus

mengalami penurunan yang disebabkan karena terganggu, rusak dan berkurangnya kawasan hutan

sebagai habitatnya, disamping adanya perburuan terhadap satwa ini. Untuk menghitung kepadatan,

banyak peneliti yang telah mencoba mengestimasikan kepadatan orangutan melalui perhitungan sarang

sepanjang transek tertentu. Hal ini dimungkinkan karena semua jenis kera besar termasuk orangutan,

umumnya membangun sarang ketika akan beristirahat pada siang dan terutama malam hari (Rijksen,

1978).

Sarang lebih mudah dihitung dibanding hewannya sendiri dan dapat terlihat dalam jangka waktu

yang cukup lama, serta kurang berfluktuasi pada suatu lokasi tertentu. Setelah melalui proses yang

cukup panjang, metode ini semakin memungkinkan untuk diterapkan dengan hasil yang cukup akurat

(Van Schaik et al.,1994). Berkaitan hal tersebut maka dilakukanlah penelitian dengan judul ”Estimasi

Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang di Bukit Lawang Taman

Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara”.

Page 36: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxxvi

1.5 Permasalahan

Orangutan Sumatera adalah jenis orangutan yang paling terancam diantara dua spesies

orangutan yang ada di Indonesia, hal ini disebabkan karena kehilangan habitat alaminya dengan cepat

oleh berbagai aktivitas manusia yang melakukan pembukaan hutan untuk pertanian, perkebunan, dan

pemukiman, serta pembalakan liar dan perburuan. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui

berapakah jumlah individu atau kepadatan orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan jumlah

sarang yang masih terdapat di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat,

Sumatera Utara.

1.6 Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

c. Mengetahui kepadatan orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan jumlah sarang di

sekitar kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat,

Sumatera Utara.

d. Mengetahui posisi, kelas, tinggi sarang dan vegetasi dominan sarang di sekitar kawasan

Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kepadatan

orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan jumlah sarang di Bukit Lawang Taman Nasional

Gunung Leuser, Sumatera Utara kepada instansi terkait sehingga lebih bermanfaat bagi upaya

Page 37: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxxvii

konservasi sumber daya alam hutan berupa satwa secara optimal dan diharapkan dapat dijadikan

sebagai acuan kepada peneliti selanjutnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Orangutan

Menurut Groves (2001), orangutan termasuk ordo Primata dan famili Homonidae,

dengan klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrae

Kelas : Mamalia

Ordo : Primata

Family : Homonidae

Subfamily : Pongonidae

Genus : Pongo

Species : Pongo abelii (Orangutan Sumatera)

Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan/Borneo)

Page 38: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxxviii

2.2 Morfologi Orangutan

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang merupakan hewan arboreal yang soliter dan

mempunyai ciri-ciri yaitu bertubuh besar, rambut berwarna coklat kemerahan, tidak berekor dan

secara genetik orangutan memiliki kemiripan dengan manusia (97,4 %). Orangutan Sumatera

(Pongo abelli) memiliki ciri fisik badan yang lebih besar, berwarna gelap atau coklat kemerah-

merahan, rambut jarang dan pendek, dan pada bayi terlihat ada bercak-bercak berwarna

kemerahan atau kehijau-hijauan (Gambar 2.1.a), sedangkan orangutan Kalimantan (Pongo

pygmaeus ) ciri fisik badannya terlihat lebih kecil, berwarna terang atau oranye, dan tulang

tangan lebih panjang (Gambar 2.1.b). Secara umum, orangutan jantan dewasa bercheekpad

(mengembang) pada kedua pipinya (Gambar 2.1.c) dan ukuran tubuhnya dua kali lebih besar dari

betina, dengan berat tubuh di alam berkisar antara 50-90 kg (Galdikas, 1978).

a) Pongo abelii b) Pongo pygmeus c) P.abelii jantan dewasa

Gambar 2.1. Foto orangutan dari jenis a) Pongo abelii (sumber: foto penelitian lapangan, 2009), b) Pongo pygmeus (sumber: sumatera indonesia.com), c) Pongo abelii jantan dewasa (sumber: orangutanfoundation.wildlife)

Page 39: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xxxix

Secara sepintas morfologi orangutan Sumatera dan Kalimantan terlihat serupa, akan

tetapi, bila diperhatikan akan terlihat adanya perbedaan (Gambar 2.1.b) orangutan Kalimantan

(Pongo pygmaeus), khususnya bila telah dewasa mengarah kepada warna coklat kemerah-

merahan. Sedang rambutnya terlihat kasar dan jarang-jarang. (Gambar 2.1.a) pada orangutan

Sumatera (Pongo abelii), biasanya berwarna lebih pucat, khasnya “ginger” (jahe), dan rambutnya

lebih lembut dan lemas. Kadang-kadang orangutan Sumatera mempunyai bulu putih pada

mukanya, sedangkan pada orangutan Kalimantan tidak ditemukan hal tersebut (Galdikas, 1986),

selanjutnya dijelaskan bahwa Perbedaan ini bukan merupakan sifat yang mantap, tetapi dapat

digunakan sebagai penuntun kasar.

2.5 Reproduksi Orangutan

Tahapan perkembangan kehidupan orangutan di alam dapat dibedakan dalam beberapa kategori,

morfologi dan tingkah laku. Menurut Mac Kinnon (1974), Rikjsen (1978), dan Galdikas (1984)

tahapan perkembangannya adalah:

f. Bayi (infant); Kisaran umur 0-2,5 tahun, dengan berat badan 2-6 kg. Warna tubuh

umumnya jauh lebih pucat dari pada individu dewasa dengan bercak-bercak putih di

seluruh tubuhnya. Mempunyai rambut panjang-panjang dan berdiri di sekitar muka, kulit di

sekitar mata berwarna pucat. Seluruh tingkah lakunya masih tergantung induk dan tidur

bersama-sama induk dalam sarang.

g. Kanak-kanak (juvenile); Kisaran umur 2,5-7 tahun dengan berat badan 6-15 kg. Warna

tubuh lebih gelap dari individu bayi dengan bercak-bercak putih pada tubuh yang hampir

pudar, tetapi wajahnya masih menyerupai bayi. Dalam beberapa aktivitas sudah dapat

melakukan sendiri, tetapi masih bersama-sama induknya. Tidur masih dalam satu sarang

bersama induknya, tetapi kemudian akan membuat sarang sendiri dekat sarang induknya.

Page 40: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xl

h. Remaja (adolescent); Kisaran umur 7-10 tahun dengan berat badan 15-30 kg. Warna

tubuh lebih pucat dari individu dewasa dengan ukuran tubuh yang lebih kecil. Rambut di

sekitar muka masih panjang dan berdiri.

i. Betina pra-dewasa; Kisaran umur 10-12 tahun dengan berat badan 30-40 kg. Warna tubuh

agak gelap.

j. Betina dewasa; Kisaran umur 12-35 tahun dengan berat badan 30-50 kg. Warna tubuh

sangat gelap kadang-kadang berjengot.

Orangutan betina rata-rata mencapai dewasa kelamin pada umur 15 tahun dan beranak

tiap 8 tahun sekali, karena anak orangutan akan tinggal bersama dan tergantung pada induknya

sampai ia berumur 7-8 tahun (Popowati et al, 1997). Selanjutnya dijelaskan bahwa, seekor induk

orangutan tidak akan pernah memberikan bayinya kepada siapapun, sehingga untuk

mendapatkan satu ekor anak orangutan minimal harus membunuh induknya lebih dahulu.

2.6 Ekologi

2.4.1 Habitat Orangutan

Hewan ini hidup di hutan-hutan tropik yang basah dalam batas-batas alam yang tidak dapat

dilampaui seperti sungai atau gunung yang tingginya lebih dari 2.000 m. Hewan ini dapat hidup

pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah

aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah,

sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di

atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan

pegunungan pada 1.000 m dpl (Hoeve,W.V., 1996).

Kehidupan soliter pada orangutan adalah sesuatu yang khas dan berbeda dari jenis kera

besar lainnya dari suku Pongidae (Napier & Napier, 1976). Walaupun demikian menurut

Page 41: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xli

Schurmann (1982), orangutan bukan berarti tidak melakukan kontak sosial. Kemudian Galdikas

(1978) menambahkan bahwa orangutan tetap melakukan interaksi dengan individu lain, terutama

hubungan yang terjadi antara anak dan induk yang terlibat dalam berbagai kebersamaan dengan

jenis-jenis satuan lain secara luas. Selain itu, melimpahnya sumber pangan, juga membuat

orangutan Sumatera lebih sosial seperti yang terjadi di rawa Singkil (Van Schaik, 2004).

Pemenuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh orangutan tersebut tergantung pada keberadaan

hutan hujan tropis, orangutan dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman

hayati, karena memilki daerah jelajah dan persyaratan habitat yang luas. Sehingga apabila

dijadikan fokus pengelolaan perlindungan, maka seluruh keanakaragaman hayati asli di dalam

area jajahan orangutan akan ikut terlindungi (Hoeve,W.V., 1996).

Rodman (1987) menyatakan bahwa dalam populasi orangutan, dikenal tiga unit populasi

yang terdiri atas jantan dewasa yang bersifat soliter, betina dewasa dengan seekor anak dan

jantan pradewasa yang juga besifat soliter. Diantara ketiga unit orangutan ini kadang-kadang

mereka terlihat bersama dalam suatu kumpulan sementara (temporary association) di pohon-

pohon pakan (feeding group) dan dalam penjelajahan atau bergerak (travel group) serta dalam

hidup berpasangan dengan seekor betina (consortship).

Orangutan betina memerlukan waktu kurang lebih 6 tahun untuk membawa dan

membesarkan anaknya. Selama waktu tersebut, induk akan bertoleransi terhadap anaknya yang

dinyatakan dengan bentuk perlakuan induk terhadap anak, yaitu induk akan memberikan

perhatian yang lebih besar terhadap anak yang lebih muda dibandingkan terhadap anak yang

lebih dewasa. Orangutan jantan dewasa lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri bila

dibandingkan dengan individu betina dewasa. Diantara orangutan jantan dewasa terjadi

persaingan untuk menjadi dominan. Predikat dominan sangat menguntungkan individu jantan

dewasa. Mereka akan lebih leluasa untuk menguasai betina-betina dan sumber makanan (Asfi,

2001).

Page 42: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xlii

Bagi orangutan, daya dukung habitat ini ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang

menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat yang aman.

Kekurangan makanan akan menyebabkan terjadinya persaingan, dan anggota yang posisinya

lebih rendah harus mencari sumber-sumber makanan di tempat lain, atau menerima sumber-

sumber makanan alternatif. Jika tidak, mereka akan mati. Jadi, jika kebutuhan dasar lainnya (air,

makanan, tempat beristirahat, dan lain sebagainya) cukup tersedia, maka aktivitas hidupnya akan

berlangsung dengan baik, dengan kata lain daya dukung untuk kehidupannya ditentukan oleh

ketersediaan (Meijaard, 2001).

2.4.2 Kepadatan Orangutan

Van Schaik & Azwar (1991) melaporkan sensus populasi orangutan di Taman Nasional Gunung

Leuser berdasarkan perhitungan sarang yang diduga berkisar 5000 -7400 ekor yang terbagi

menjadi dua tempat dan dipisahkan oleh sungai Alas. Populasi di daerah Barat sungai berkisar

antara 3000 – 4500 ekor, dan di daerah Timur sungai berkisar antara 2000 – 2800 ekor.

Faust et al., (1994), disitasi oleh Syukur (2000) menyatakan bahwa kepadatan orangutan

dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan dan tingkat gangguan

yang ada. Kepadatan orangutan diketahui terus menurun dengan meningkatnya suatu tempat di

atas permukaan laut (dpl). Mulai kepadatan 5 individu/km2 pada hutan rawa (± 30 m dpl), sekitar

2,5 individu/km2 pada ketinggian < 500 m dpl, kurang lebih 1,8 individu/km2 pada ketinggian

500-1000 m dpl, hingga akhirnya tidak didapatkan sama sekali pada ketinggian >1800 m dpl.

Populasi Orangutan Sumatera saat ini diperkirakan hanya berkisar 6.624 ekor, yang

tersebar di 18 blok habitat (Wich et al, 2008). Dengan penurunan jumlah populasi yang drastis

Page 43: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xliii

ini, orangutan sumatera bisa punah dalam kurun waktu 10 tahun apabila tidak ada upaya

konservasi. Penyebab utama kepunahan orangutan adalah karena kehilangan tempat hidup

(rusaknya habitat) akibat penebangan hutan, pengembangan lahan untuk pertanian, perkebunan,

pertambangan maupun permukiman. Di sisi lain, perburuan, perdagangan satwa masih tetap

berlangsung, menambah tingginya angka penurunan populasi orangutan (Wich et al, 2008).

Metode "line transect" hingga saat ini masih merupakan metode yang cukup akurat untuk

menghitung kepadatan populasi orangutan. Metode ini terus dikembangkan, hingga sekarang

sangat memungkinkan untuk menghitung kepadatan populasi orangutan pada suatu area yang

didasarkan atas penghitungan sarang (Van Schaik et al.,1994).

Van Schaik et al. ,(1995) melaporkan bahwa kepadatan populasi orangutan dapat

diperkirakan dengan melakukan sensus sarang. Di Suaq Balimbing ditemukan 33,5 sarang/km2,

di Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser jumlah sarang adalah 24,4 sarang/km2 atau

kepadatan orangutan pada kawasan tersebut adalah 5 individu/km2, sedangkan di Tanjung Puting

kepadatan orangutan adalah 4 individu/km2 (Galdikas, 1984).

2.4.3 Perilaku Bersarang pada Orangutan

Perilaku membuat sarang merupakan salah satu perilaku harian orangutan. Sarang yang

dimaksud adalah tempat peristirahatan orangutan setelah melakukan aktivitas hariannya. Tidak

seperti para monyet dan siamang, kera-kera besar tidak memiliki potongan-potongan belulang

dibokongnya yang memudahkan mereka untuk duduk. Dalam hal seperti itu, berbaring di atas

tempat tidur pasti akan terasa jauh lebih menyenangkan. Aktivitas harian ialah seluruh aktivitas

Page 44: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xliv

orangutan yang berlangsung sejak meninggalkan sarang tidur pada pagi hari dan berakhir hingga

masuk kembali kedalam sarang untuk bermalam (Van Schaik, 2006).

Perilaku sarang orangutan dapat membuktikan bahwa orangutan menjalankan kehidupan

arboreal. Mamalia arboreal, terutama yang besar dan suka menyendiri, mempunyai musuh

alamiah yang jumlahnya jauh lebih sedikit, baik yang berupa predator ataupun yang berupa

parasit dengan mengambil asumsi, tentunya, bahwa mereka benar-benar merasa aman dan

nyaman ditengah-tengah lingkungan pepohonan yang tinggi, dan menjaga diri baik-baik agar

jangan sampai jatuh (Flaegle, 1999; Van Schaik, 2006).

Berdasarkan penelitian Asfi (2001), ada beberapa posisi sarang orangutan (Lampiran E),

antara lain berada di puncak pohon. Menurut Sugardjito (1983), posisi ini mempunyai

keuntungan bagi orangutan, yaitu tidak terhalangnya pandangan dan jangkauan yang dapat

mencakup sebagian besar dari penjuru hutan. Selain itu, posisi ini juga memudahkan orangutan

dalam melakukan pergerakan sewaktu keluar dari sarang dan dari segi keamanan, posisi ini

menghindarkan orangutan dari ancaman predator.

Semua kera besar termasuk orangutan membangun sarang yang biasa dipergunakannya

baik untuk beristirahat pada siang maupun tidur pada malam hari (Van Schaik et al.,1994).

Sarang bagi orangutan juga dapat berfungsi sebagai tempat bermain bagi orang orangutan muda,

tempat berlindung, melahirkan, melakukan kopulasi, dan aktivitas makan (Rijksen, 1978).

Orangutan akan membangun sarang pada posisi yang sesuai dalam suatu pohon.

Orangutan menggunakan batang-batang pohon kecil di sekitarnya, memilin, melengkungkan atau

melipatnya ke bagian cabang yang lentur. Kemudian merapatkan sarang dengan mendorong

dahan-dahan tersebut kebawah untuk membentuk suatu bidang datar. Pembuatan sebuah sarang

biasanya membutuhkan waktu 2-3 menit, namun dapat dilanjutkan dengan perbaikan-perbaikan

ringan (Mac Kinnon, 1974). Selanjutnya Rijksen (1978) menyatakan bahwa konstruksi sebuah

Page 45: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xlv

sarang orangutan dapat bervariasi dari suatu bidang datar kecil yang sederhana sampai sebuah

sarang yang besar dan kokoh, yang bahkan mampu untuk menahan seorang manusia dewasa dan

sangat nyaman.

Orangutan sering berpindah-pindah, maka tiap harinya pula ia membuat sarang-sarang

baru (Wardaningsih, 1992). Tiap malam orangutan dewasa dan pradewasa umumnya tidur

sendiri dalam sarang yang terbuat dari dahan dan daun-daun yang ditempatkan pada ketiak

cabang pohon. Kebanyakan disesuaikan dengan strategi dan pohon makanan terakhir yang

dikunjunginya. Sarang dibuat dari ranting yang daunnya masih segar, biasanya pada ketinggian

15 meter sampai 20 meter dari permukaan tanah (Walkers, 1983).

Menurut Sugardjito (1983), di Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser orangutan

jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak memiliki perbedaan dengan orangutan remaja

(adolescent) dan betina dewasa dengan anak dalam hal pemilihan tempat bersarang. Orangutan

jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak lebih sering memilih membuat sarang pada pohon

makanan yang terakhir dikunjunginya, sedangkan orangutan remaja dan betina dewasa dengan

anak lebih banyak membuat sarang pada pohon yang dianggap nyaman bagi dirinya. Hal ini

merupakan strategi hewan untuk menghindari dari predator atau hewan-hewan lain yang

memakan buah yang sama pada malam hari yang dapat mengganggu tidur orangutan.

Sarang orangutan tidak permanen sifatnya (Sugardjito, 1983). Lebih lanjut Rijksen

(1978), menyatakan bahwa orangutan seringkali membuat sarang baru di lokasi yang berbeda

atau dengan memperbaiki sebuah sarang lama. Sarang-sarang tersebut dapat digunakan selama

dua malam atau lebih, sedangkan ketahanan sarang orangutan dapat bervariasi dari dua minggu

sampai lebih dari satu tahun.

Page 46: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xlvi

Menurut Van Schaik et al.,(1994), hancur dan hilangnya sarang orangutan ditentukan

oleh faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan, begitu juga faktor-faktor

lain yang mempengaruhinya seperti temperatur, kelembaban, dan curah hujan.

Menurut Schaik & Idrusman (1996), dalam suatu pohon ada beberapa posisi sarang yang

biasa digunakan oleh orangutan yaitu posisi sarang yang terletak di dekat batang utama, posisi

sarang yang terletak di tengah atau pinggir cabang utama, dan posisi sarang yang terletak di

puncak pohon atau di antara dua tepi pohon atau lebih yang saling bersinggungan yang dijalin

menjadi satu (Gambar 2.2.). Menurut Mac Kinnon (1974), orangutan lebih sering membangun

sarangnya di dekat batang utama dari pada di posisi lain. Namun, pemilihan posisi sarang ini

sepertinya juga ditentukan oleh banyak faktor, seperti keuntungan dari tidak terhalangnya

pandangan mata yang dapat menjangkau sebagian besar dari penjuru hutan.

Gambar 2.2. Posisi Sarang orangutan, a)posisi 1, b)posisi 2, c) posisi 3, d) posisi 4

a b c d

Page 47: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xlvii

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Deskripsi Area

3.1.1 Letak dan Luas

Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 30 30’ - 30 45’ Lintang Utara dan 980 00 – 980 15’

Bujur Timur. Sedangkan secara administratif, lokasi penelitian termasuk dalam kawasan Desa

Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kawasan tersebut

berjarak 90 km dari Medan, Sumatera Utara.

Kawasan penelitian ini memiliki luas 200 ha dari luas wilayah Kawasan Bukit Lawang,

Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat Sumatera Utara yang memiliki luas sekitar

75.175 ha. Kawasan hutan di sekitar lokasi penelitian berada pada ketinggian 100-400 m dpl,

Page 48: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xlviii

mempunyai topografi berbukit-bukit hingga curam, sedangkan topografi datar dapat dikatakan

tidak ada. Jenis tanah yang ditemukan pada kawasan hutan terdiri dari jenis tanah Kompleks

Podsolik Merah Kuning yaitu batuan alluvial, batuan endapan, bahan endapan dan batuan beku,

Latosol, Litosol dan Kompleks Podsolit Coklat.

3.1.2 Potensi Kawasan

3.1.2.1 Flora

Hutan di sekitar Stasiun pengamatan Orangutan Sumatera, di Bukit Lawang termasuk

kawasan hutan tropis basah. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan dengan metode

kuadran diketahui bahwa tingkatan sapihan didominasi oleh jenis asam kandis (Garcinia sp),

semantuk (Shorea sp), baja berinau (Rhodamnia sp), kayu merah (Eugenia sp) dengan masing-

masing 20,41%; 19,36%; 12,60%; 12,11%; 11,79%. Sedangkan untuk tingkatan tiang didominasi

oleh jenis: kayu merah (Eugenia sp), kayu minyak (Dipterocarpus sp), kayu kuning (Eugenia

sp), kandis (Garcinia sp) dengan masing-masing 14,59%; 13,25%; 11,83%; 10,05%. Untuk

tingkatan pohon didomonasi oleh jenis: damar laut (Shorea materalis), meranti bakau (Shorea

macroptera) dan durian hutan (Durio sp) dengan masing-masing 30,26%; 20,15% dan 16,25%.

3.1.2.2 Fauna

Kawasan hutan di sekitar Stasiun pengamatan Orangutan Sumatera di Bukit Lawang juga

merupakan habitat beberapa jenis hewan seperti: Orangutan (Pongo abelii), siamang (Hylobates

sindactylus), kedih (Presbytis thomasii), owa (Hylobates lar), monyet ekor panjang (Macaca

Page 49: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

xlix

fascicularis), jelarang (Ratufa bicolor), beruang madu (Helarctos malayanus), burung rangkong

(Buceros bicolor) dan beberapa jenis ular.

3.1.2.3 Wisata

Kawasan hutan disekitar stasiun rehabilitasi Bahorok memiliki daya tarik wisata antara

lain :

f. Sungai Bahorok

g. Hutan Lindung Tropis

h. Stasiun pengamatan & pemberian makan (feeding) Orangutan

i. Gua-gua Alam

j. Perkebunan Coklat, Karet, Sawit dan air terjun

3.2 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama satu bulan yang dimulai bulan Agustus sampai September

2009, di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kecamatan Bahorok, Kabupaten

Langkat, Sumatera Utara. Lokasi tersebut merupakan bekas Stasiun Rehabilitasi Orangutan yang

sudah ditutup sejak tahun 1995 (SK Mentri Kehutanan 280/ kpts II/ 1995).

3.3 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah: Peta areal penelitian,

Alat tulis, Tabulasi data, tali, Kamera digital, Meteran, Parang, Sarung tangan, Plastik packing

Page 50: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

l

ukuran 10 kg, Teropong binokuler, Global Positioning System (GPS), Kompas, Counter, tali

plastik berwarna.

3.5 Metoda Penelitian

Dalam penelitian ini, metoda yang digunakan dalam pengumpulan data mengenai

kepadatan orangutan adalah metode line transect yang didasarkan atas sensus sarang secara

random sampling, dengan jumlah transek sebanyak 5 transek. metode ini sangat efektif

digunakan untuk estimasi kepadatan populasi orangutan yang telah dilakukan oleh Van Schaik et

al., pada tahun 1994.

3.5 Prosedur Kerja

Mula-mula dilakukan pembuatan jalur (trail) sepanjang 1 km sampai 2 km dengan lebar 25 m

pada masing-masing sisi kanan dan kiri trail pada daerah yang telah ditentukan. Lebar trail

diterapkan atas dasar keyakinan bahwa jarak pandang mata masih dapat menjangkau sasaran

(target) dengan baik untuk mendeteksi keberadaan sebuah sarang orangutan. Pengukuran

terhadap lebar jalur (jarak sarang dari trail) tidak diperlukan apabila sarang diyakini masih

berada dalam jarak/lebar yang ditetapkan yaitu ≤ 25 m (misalnya hanya beberapa meter dari tepi

trail).

Sensus sarang dilakukan di setiap transek dengan lima kali ulangan transek dengan jarak

antara transek yang satu dan yang lain adalah 150 m. Cara kerja dari sensus sarang dilakukan

dengan jalan menyusuri trail secara perlahan-lahan, untuk mengamati kemungkinan adanya

sebuah sarang orangutan baik disisi kanan maupun kiri trail yang dijadikan trail. Apabila sarang

Page 51: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

li

orangutan ditemukan, catat jarak antara lokasi sarang dengan pengamat, dalam hal ini

penghitungan sarang berdasarkan kelas sarang I, II, III agar tidak terjadi bias dalam

penghitungan. Untuk mencegah penghitungan sarang berulang, maka ditentukan letak sarang

dengan kategori sebagai berikut :

g. Meter di rintis (jarak tertentu yang memungkinkan sarang dapat diamati)

h. Derajat arah sarang

i. jarak sarang dari rintis (jarak sarang dari titik pengamat)

j. kelas sarang dengan kategori sebagai berikut:

- kelas 1 = sarang baru yang berumur kurang dari 15 hari - kelas 2 = sarang yang berumur sekitar 2 bulan - kelas 3 = sarang yang berumur sekitar 4 bulan

k. ketinggian sarang

l. posisi sarang dengan kategori sebagai berikut:

- Posisi I : posisi sarang yang terletak dekat batang utama - Posisi II : sarang berada di pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa

menggunakan pohon atau percabangan dari pohon lainnya. - Posisi III : posisi sarang terdapat di puncak pohon - Posisi IV : posisi sarang yang terletak diantara dua pohon yang berbeda

Menurut IUCN (2007) sarang-sarang tersebut dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan

kondisi dan umur sarang tersebut dibuat, berikut klasifikasinya :

f. Sarang Kelas Satu merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau

semua dan umurnya baru seminggu

g. Sarang Kelas Dua, daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan

h. Sarang Kelas Tiga semua daunnya sudah coklat

i. Sarang Kelas Empat alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang utuh

j. Sarang Kelas Lima biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih kelihatan bentuk

sarangnya.

Page 52: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lii

Selanjutnya pohon yang ditemukan sarang orangutan, dicatat jenisnya jika

memungkinkan. Pohon yang tidak dapat diidentifikasi langsung, diambil bagian daun serta alat

generatifnya seperti bunga dan buah untuk diidentifikasi di laboratorium.

3.7 Analisis Data

Untuk menghitung kepadatan orangutan di Bukit Lawang, digunakan rumus yang diberikan oleh

Van Schaik et al., (1994), yang khusus dimodifikasi untuk menghitung kepadatan orangutan

dalam suatu areal berdasarkan perhitungan sarang. Rumus tersebut adalah :

N

D =

(L x 2w x p.r.t)

di mana:

D = kepadatan populasi orang utan (individu/km²)

L = panjang jalur/transect (km)

W = rata-rata jarak antara sarang dengan transect (m)

P = proporsi jumlah sarang yang dibangun dalam populasi

r = tingkat produksi sarang

t = ketahanan sarang

N = jumlah sarang yang tercatat /ditemukan di sepanjang jalur transect

Nilai yang digunakan pada penelitian ini, bagi semua perhitungan dengan menggunakan

rumus di atas adalah : panjang transect (L) = 2 km, proporsi jumlah sarang yang dibangun dalam

populasi (p) = 0,9, tingkat produksi sarang (r) = 1,7 dan nilai ketahanan sarang (t) = 90 hari

adalah mengikuti nilai standart baku yang ditetapkan oleh Van Schaik et al., (1994). Sedangkan

Page 53: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

liii

rata-rata jarak antara sarang dengan transek (w) yang masih dapat dilihat pada kanopi yang

jarang adalah 32 m Dengan perbedaan kerapatan pohon dalam transek (80-330 pohon

berdiameter >10 cm pada areal 0,4 ha dalam transek), lebar jalur efektif yang digunakan adalah

22,6 m seperti yang digunakan oleh Van Schaik et al. (1995).

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jumlah Sarang Orangutan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh jumlah sarang orangutan di Kawasan Bukit

Lawang yang cukup bervariasi, baik antara transek maupun pada masing-masing jarak di dalam

transek, seperti terlihat pada Tabel berikut:

Tabel 4.1. Jumlah Sarang yang Terdapat pada Masing-Masing Jarak Transek Penelitian Kawasan Bukit Lawang.

NO Jarak Transek

Transek Total Rata-Rata I II III IV V

1 0-100 1 1 12 - 2 16 3,2 2 100-200 1 5 11 3 6 26 5,2 3 200-300 6 4 8 15 5 38 7,6 4 300-400 4 2 10 17 5 38 7,6

Page 54: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

liv

D

ari Tabel

4.1

terlihat

jumlah

keseluru

han

sarang

yang

ditemuk

an

sebanya

k 225 sarang, dimana jumlah sarang terbanyak ditemukan pada Transek IV (57 sarang) dan

Transek III (54 sarang) dengan jarak Transek berkisar antara 0-1100 m. Banyaknya jumlah

sarang ditemukan pada Transek IV dan III ini disebabkan karena kondisi vegetasi pohonnya

lebih baik, dan terdapat pohon pakan yang lebih banyak dan bervariasi, serta dekat dengan

sumber air. Sedangkan jumlah sarang yang paling sedikit ditemukan adalah pada Transek I (27

sarang), keadaan ini disebabkan karena pada areal ini jenis pohon pakan lebih sedikit variasinya

dan agak jauh dari sumber air. Menurut Meijaard (2001), orangutan dalam melakukan aktifitas

hidupnya, termasuk membuat sarang lebih menyukai daerah yang memiliki kondisi vegetasi

pohon yang lebih baik, dan terdapat pohon pakan yang lebih banyak dan bervariasi, serta aman

dari berbagai gangguan.

Berdasarkan jarak dalam transek, jumlah sarang yang banyak ditemukan adalah pada

jarak 200-300 m, 300-400 m, masing-masing sebanyak 38 sarang, jarak transek 400-500 m

sebanyak 30 sarang, jarak transek 100-200 m sebanyak 26 sarang dan jarak transek 800-900 m

sebanyak 21 sarang, hal ini disebabkan karena pada daerah ini cendrung lebih aman dari

gangguan/aktivitas manusia dan tersedianya pohon pakan yang cukup bervariasi, serta cukup

dekat dengan feeding platform. Sedangkan jumlah sarang yang paling sedikit, bahkan tidak

ditemukan sama sekali didapatkan pada jarak dari transek 700-800 m, dan 1000-1900 m,

5 400-500 1 7 4 13 5 30 6,0 6 500-600 5 3 2 2 3 15 3,0 7 600-700 - 13 1 1 4 19 3,8 8 700-800 3 - - - - 3 0,6 9 800-900 3 6 3 - 9 21 4,2 10 900-1000 2 1 2 4 3 12 2,4 11 1000-1100 1 - 1 2 - 4 0,8 12 1100-1200 - - - - 2 2 0,4 13 1200-1300 - - - - - 0 0 14 1300-1400 - - - - - 0 0 15 1400-1500 - - - - - 0 0 16 1500-1600 - - - - 1 1 0,2 17 1600-1700 - - - - - 0 0 18 1700-1800 - - - - - 0 0 19 1800-1900 - - - - - 0 0 Jumlah 27 42 54 57 45 225

Page 55: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lv

keadaan ini disebabkan karena sebagian daerah ini terjal, dan terbuka, serta sebagian besar

kurang bervariasinya pohon pakan di daerah ini, disamping itu orangutan pada daerah ini

merupakan orangutan semi liar. Van Schaik et al (1994) menyatakan bahwa orangutan dalam

membuat sarang, terutama orangutan semi liar kurang menyukai daerah yang terjal dan terbuka

dan kurangnya didapatkan pohon pakan yang tinggi dan kuat, seperti dari jenis Dipterocarpaceae,

karena menimbulkan ketidaknyamanan orangutan untuk istirahat.

4.2 Kepadatan Populasi Orangutan Dari hasil analisis data jumlah sarang orangutan yang ditemukan, didapatkan nilai kepadatan

populasi orangutan yang cukup bervariasi diantara transek penelitian, seperti tercantum pada

Tabel berikut :

Page 56: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lvi

Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Populasi Orangutan (ind/km2 atau ind/ha) pada Masing-Masing Transek Penelitian

Transek Jumlah Sarang/transek

Kepadatan Populasi (Ind/km2 atau ind/ha) Individu/km2 Individu/ha

I 27 0.0139 1.39 II 42 0.0261 2,61 III 54 0.0599 5.99 IV 57 0.0474 4.70 V 45 0.0273 2.73

Jumlah 225 0,1746 17,42 Rata-rata 45 0,0349 3,484

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa kepadatan populasi orangutan di Kawasan Bukit

Lawang adalah 0,0349 individu/km2 atau 3,484 individu/ha dengan rata-rata jumlah sarang

adalah 45 sarang/transek. Dimana untuk kepadatan populasi tertinggi didapatkan pada transek III

yaitu 0,0599 individu/km2 atau 5,99 individu/ha dengan jumlah sarang sebanyak 54 sarang. Hal

ini disebabkan karena kawasan ini sangat mendukung bagi orangutan dalam memperoleh

makanan karena jaraknya tidak jauh dari feeding platform (tempat pemberian makan) dan

vegetasi hutan yang beragam oleh jenis pohon-pohon pakan, serta adanya sumber air karena

dekat dengan sungai. Sedangkan kepadatan populasi terendah didapatkan pada transek I yaitu

0,0139 individu/km2 atau 1,39 individu/ha dengan jumlah sarang 27 sarang/transek, keadaan ini

menunjukkan tidak terlalu baik bagi kelangsungan hidup orangutan, karena lokasinya cukup jauh

untuk memperoleh makanan dari feeding platform (tempat pemberian makanan) dan vegetasi

hutan yang tidak beragam sehingga hanya sedikit terdapat pohon-pohon pakan.

Kemungkinan lainnya adalah penghitungan sarang dilakukan pada saat tidak musim

berbuah pada pohon pakan di kawasan penelitian, sehingga orangutan lebih banyak melakukan

aktivitas makan di sekitar kawasan Feeding platform dan jalur pengunjung. Hal ini menyebabkan

orangutan juga membuat sarang di sekitar kawasan tersebut. Keadaan ini akan berbeda pada saat

musim berbuah sedang berlangsung, dimana aktivitas orangutan akan menyebar ke daerah yang

banyak terdapat pohon pakan yang berbuah. Hal ini menyebabkan sarang orangutan juga tidak

lagi hanya terdapat di sekitar Feeding platform dan jalur pengunjung.

Page 57: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lvii

Berdasarkan perbandingan dengan kawasan konservasi orangutan lainnya dapat dilihat

bahwa kepadatan populasi orangutan di kawasan Bukit Lawang lebih rendah dari yang

didapatkan di Suaq Balimbing, yaitu 33,5 sarang/km2, serta di Ketambe, yaitu 5,2-6,6

individu/km2 (Van Schaik, 1995). Tetapi kepadatannya sedikit lebih tinggi bila dibandingkan

dengan yang terdapat di Kawasan Agusan yaitu 0,0083 individu/km2 (Asfi, 2001). Hal ini

kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu tingkat gangguan berupa adannya aktivitas

pengunjung kawasan yang cukup tinggi serta kondisi orangutan yang sebagian masih bersifat

semi liar. Orangutan semi liar ini masih menggantungkan kebutuhan makanan di sekitar TPM

(Tempat Pemberian Makanan) sehingga kehadirannya di sekitar daerah tersebut tergolong tinggi.

Menurut Faust et al. (1994) dalam Syukur (2000) bahwa kepadatan populasi orangutan

dipengaruhi oleh faktor kebutuhan dasar, yaitu air, tempat beristirahat, pakan cukup tersedia, tipe

hutan serta tingkat gangguan/aktivitas manusia.

Meijaard (2001) menjelaskan bahwa estimasi populasi orangutan berdasarkan metode

penghitungan sarang turut ditentukan oleh umur sarang, potensi pohon pakan, perilaku

pergerakan, termasuk migrasi serta kondisi habitat. Bagi orangutan, daya dukung habitat ini

ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan

sebagai tempat beristirahat yang aman.

4.3 Aktivitas Bersarang Orangutan di Bukit Lawang

Aktivitas bersarang orangutan yang diamati meliputi kelas sarang, posisi sarang, serta

ketinggian sarang. Dari hasil penelitian dan analisis data didapatkan aktivitas bersarang yang

cukup bervariasi, diantaranya adalah.

4.3.1 Kelas Sarang

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang jumlah dan persentase sarang orangutan

berdasarkan kelas sarang diperoleh cukup bervariasi, seperti terlihat pada Tabel berikut :

Page 58: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lviii

Tabel 4.3 Jumlah dan Persentase Sarang Berdasarkan Kelas sarang

No Kelas sarang

Transek Jumlah Persentase I II III IV V

1 1 10 7 13 7 13 50 22,22 2 2 5 13 16 16 11 61 27,11 3 3 12 22 25 34 21 114 50,66 Jumlah total 225 99,99

Keterangan : Kelas 1 = sarang baru yang berumur kurang dari 15 hari Kelas 2 = sarang yang berumur sekitar 2 bulan Kelas 3 = sarang yang berumur sekitar 4 bulan

Dari Tabel 4.4 terlihat bahwa jumlah dan persentase sarang yang paling tinggi

berdasarkan kelas sarang didapatkan pada kelas sarang 3, yaitu dengan jumlah sebanyak 114

sarang (50,66%). Begitu juga bila didasarkan kepada transek, jumlah sarang yang banyak

ditemukan adalah dari kelas sarang 3, yaitu pada transek IV (34 sarang), III (25 sarang), II (22

sarang), dan V (21 sarang), sedangkan jumlah sarang yang paling sedikit didapatkan pada kelas

sarang 1, yaitu sebanyak 50 sarang (22,22%). Keadaan ini menunjukkan bahwa orangutan yang

terdapat di daerah ini masih banyak memanfaatkan dan memperbaiki sarang yang sudah cukup

lama dibuat, dengan perbandingan persentase yang cukup tinggi (Gambar 4.2), hal ini

disebabkan karena masih baiknya ketahanan sarang, apalagi jenis pohon sebagai tempat

bersarang dan sumber pakan di daerah ini tergolong kuat yang didominasi pohon dari jenis

Dipterocarpaceae. Menurut Rijksen (1978), orangutan seringkali memperbaiki sebuah sarang

lama. Sarang-sarang tersebut dapat digunakan selama dua malam atau lebih, sedangkan

ketahanan sarang orangutan dapat bervariasi dari dua minggu sampai lebih dari satu tahun,

apabila sarang lama sudah tidak memungkinkan lagi baru orangutan membuat sarang baru di

lokasi yang berbeda.

Biasanya ketahanan sarang orangutan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi

atau kualitas sarang itu sendiri, kerusakan yang ditimbulkan oleh alam, seperti angin dan curah

hujan yang berkaitan dengan ketinggian sarang, serta kerusakan akibat orangutan itu sendiri atau

predator lain (Van Schaik et al., 1994).

Page 59: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lix

Gambar 4.1 Diagram Perbandingan Persentase Kelas Sarang

4.3.2 Posisi Sarang

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, jumlah dari sarang orangutan berdasarkan posisi

sarang dapat dilihat pada Tabel berikut :

Tabel 4.4 Jumlah dan Persentase Sarang Berdasarkan Posisi Sarang

No Posisi sarang

Transek Jumlah Persentase I II III IV V 1 1 9 16 23 17 23 88 39,11% 2 2 9 12 18 21 4 64 28,44% 3 3 8 9 10 19 14 60 26,66% 4 4 1 5 3 - 4 13 5,77% Jumlah total 225 99,98%

Keterangan :

Posisi I : posisi sarang yang terletak dekat batang utama Posisi II : sarang berada di pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa menggunakan pohon

atau percabangan dari pohon lainnya. Posisi III : posisi sarang terdapat di puncak pohon Posisi IV : posisi sarang yang terletak diantara dua pohon yang berbeda

Dari Tabel 4.3 didapatkan posisi sarang 1 memiliki jumlah yang paling banyak, yaitu

sebanyak 88 sarang (39,11%), pada posisi sarang 1 ini yang banyak ditemukan adalah pada

transek III dan V, yaitu masing-masing sebanyak 23 sarang, sedangkan yang paling sedikit

didapatkan pada posisi sarang 4. Keadaan ini disebabkan karena orangutan yang terdapat di

Page 60: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lx

daerah ini merupakan orangutan semi liar dan memiliki ketergantungan yang masih tinggi

terhadap perolehan pakan dari para pengunjung dan belum begitu banyak memanfaatkan pakan

alami.

Menurut Mac Kinnon (1974), orangutan semiliar lebih sering membangun sarangnya di

dekat batang utama dari pada di posisi lain. Namun, pemilihan posisi sarang ini sepertinya juga

ditentukan oleh banyak faktor, seperti keuntungan dari tidak terhalangnya pandangan mata yang

dapat menjangkau sebagian besar dari penjuru hutan dan cepat atau mudahnya mendapatkan

sumber pakan.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Benfika (1998) bahwa orangutan akan membangun

sarangnya dengan melihat struktur pohon sarang, serta memperhitungkan efektifitas untuk

mengawasi kondisi sekelilingnya dari adanya predator. Selanjutnya dijelaskan bahwa terdapat 3

posisi sarang yang sering dibuat orangutan untuk beristirahat, yaitu posisi 1, dimana sarang

terletak pada cabang utama, posisi 2 yang terletak di tengah atau di pinggir cabang serta posisi 3

terletak di puncak pohon atau untaian di antara 2 pohon. Sedangkan pada penelitiannya

ditambahkan posisi 4 yang terletak di pucuk pohon.

Gambar 4.2 Diagram Perbandingan Persentase Posisi Sarang

Page 61: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxi

4.3.3 Ketinggian Sarang

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan jumlah sarang berdasarkan

ketinggian sarang orangutan pada setiap tingkat ketinggian cukup bervariasi, seperti terlihat pada

Tabel berikut :

Tabel 4.5 Jumlah dan Persentase Sarang Berdasarkan Tinggi sarang orangutan pada setiap tingkatan ketinggian

No Ketinggian (m)

Transek Jumlah Persentase I II III IV V

1 0-5 - - 3 2 - 5 2,22 2 5-10 6 4 15 11 11 47 20,89 3 10-15 8 10 16 10 7 51 22,67 4 15-20 6 17 8 13 18 62 27,56 5 20-25 3 7 8 4 7 29 12,89 6 25-30 1 3 4 5 1 14 6,22 7 30-35 1 - - 5 1 7 3,11 8 > 35 2 1 - 7 - 10 4,44 Jumlah total 27 42 54 57 45 225 100

Dari Tabel 4.5 terlihat bahwa pemilihan sarang berdasarkan ketinggian yang paling

banyak ditemukan adalah sarang pada ketinggian 15-20 m (62 sarang atau 27,56%), kemudian

diikuti pada ketinggian 10-15 m (51 sarang atau 22,67%) dan ketinggian 5-10 m (47 sarang atau

20,89%). Keadaan ini disebabkan karena di daerah kawasan Bukit Lawang merupakan daerah

yang dihuni oleh orangutan semi liar yang pada umumnya membuat sarang pada tempat yang

tidak terlalu tinggi, sehingga mempermudah bagi orangutan untuk mendapatkan sumber pakan

baik dari pengunjung maupun dari sumber pakan alami, dan juga jenis predator pada kawasan ini

tidak banyak, karena dalam pembuatan sarang dipengaruhi oleh faktor ketinggian, keamanan,

dan kenyamanan. Semakin tinggi sarang yang dibuat maka semakin sulit mendapatkan pakan

dan terhalang pandangan mata untuk menjangkau sebagian besar dari wilayah hutan. Menurut

Rijksen (1978), pemilihan sarang orangutan sangat dipengaruhi oleh kondisi hutan seperti

adanya serangan predator.

Page 62: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxii

Gambar 4.3 Diagram Perbandingan Persentase Ketinggian Sarang

4.4 Pemilihan Pohon Sarang

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa orangutan umumnya memilih jenis pohon sebagai

tempat bersarang pada 10 famili yang berbeda yaitu Myrsinaceae, Mimosaceae, Bombacaceae,

Moraceae, Anacardiaceae, Myrtaceae, Dipterocarpaceae, Lauraceae, Anonaceae, dan Ericaceae.

Dari keseluruhan famili juga dapat dilihat bahwa Famili Dipterocarpaceae (29,17%) dan

Lauraceae (29,17%) merupakan pohon yang persentasenya tertinggi yang dipilih orangutan

untuk bersarang. Famili Dipterocarpaceae terdiri dari 4 genus yaitu Shorea, Dipterocarpus,

Hopea, dan Parashorea, sedangkan famili Lauraceae terdiri dari 7 Genus yaitu Lindera, Litsea,

Cinnamomum, Sp1, Sp2, Sp3, dan Sp4.

Dipterocarpaceae kemungkinan merupakan kelompok tumbuhan yang paling tepat

digunakan sebagai pohon sarang orangutan karena pohon ini sangat keras dan kemungkinan

patah sangat kecil. Dipterocarpaceae merupakan salah satu famili kayu keras yang banyak

terdapat di hutan hujan tropis. Pohon berukuran besar dengan ketinggian dapat mencapai 50 m,

tinggi bebas cabang sampai 30 dengan diameter sekitar 100 cm, mempunyai banir mencapai 3,5

m. Pohon meranti (Shorea faguetiana) tertinggi yang pernah ditemukan terdapat di Sabah,

dengan ketinggian 88,1 m. Kelompok Dipterocarpaceae tergolong tanaman berbunga. Waktu

berbunga tidak tetap dan terjadi dalam interval waktu 3-10 tahun. Sering kali terjadi di suatu

Page 63: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxiii

kawasan hutan tropis, hampir semua dipterocarps dari berbagai spesies berbunga secara

bersamaan (Yayasan Ekosistem Leuser, 2009).

Gambar 4.4 Diagram Perbandingan Persentase Pemilihan Pohon Sarang

Page 64: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxiv

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1) Kepadatan populasi orangutan berdasarkan jumlah sarang di Kawasan Bukit Lawang adalah

0,0349 individu/km2 atau 3,484 individu/Ha dengan jumlah keseluruhan sarang 225 sarang.

2) Kelas sarang orangutan yang paling banyak ditemukan di Kawasan Bukit Lawang adalah

kelas sarang yang berumur 4 bulan (kelas 3) dengan persentase 50,67%.

3) Posisi sarang orangutan yang paling banyak ditemukan di Kawasan Bukit Lawang adalah

posisi sarang yang berada pada percabangan utama (posisi 1) dengan persentase 39,11%.

4) ketinggian sarang orang-utan yang paling banyak ditemukan di Kawasan Bukit Lawang

adalah pada ketinggian 15-20 m dengan persentase 26,98%.

5) Pemilihan pohon sarang orangutan yang paling banyak ditemukan di Kawasan Bukit Lawang

adalah pada Famili Dipterocarpaceae dan Lauraceae dengan persentase 29,17%.

5.2 Saran

Sebaiknya untuk survey jumlah sarang untuk menghitung populasi orangutan dilakukan

secara berulang untuk dapat melihat perubahan jumlah populasi dalam interval jangka waktu

yang tertentu.

Page 65: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxv

`DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Cetakan pertama. Jilid I. Fakultas Kehutanan IPB; Bogor

Asfi, Z. 2001. Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang di Agusan Ekosistem Leuser. Skripsi Universitas Syiah Kuala fakultas kehutanan: Banda Aceh

Fakhrurradhi, 1998. Komposisi Pakan Orangutan Sumatra (Pongo pygmaeus abelii,Lesson

1827) di Suag Balimbing. Taman Nasional Gunung Leuser. Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan: Banda Aceh

Fleagle, J. G. 1999. Primate Adaptation and Evolution. Second edition. Academic Press: New

York Galdikas, B, M, F. 1986. Adaptasi Orangutan Di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah.

Cetakan kedua. Universitas Indonesia- Press: Jakarta Galdikas, B. M. F. 1984. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah.

Universitas Indonesia Press: Jakarta Galdikas, B. M. F. 1978.Orangutan Adaptation at Tanjung Puting Reseve, Central Borneo.

University of Califonia, Los Angeles.

Groves, C. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press: Washington

IUCN (2007) 2007 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN, Gland, Switzerland. Http://www.iucnredlist.org [accessed 4 Apri 2008].

MacKinnon, J. R. 1974. The Ape Within Us. Holt. Rinehard and Winston: New York Meijard, E, dkk. 2001. Diambang Kepunahan! Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21.

Cetakan pertama. The Gibbon Foundation Indonesia; Jakarta

Napier, J. R. and Napier, P.H. A.1967. Hand Book of Living Primate. Academic Press, London.

Page 66: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxvi

Prasetyo Didik. 2006. Sarang Orangutan : inteligensi dan perilaku, Forum Studi Primata, UNAS, Jakarta

Popowati et al, 1997, Menunjang Proses Rehabilitasi Orangutan, Kalimantan Tengah, Orangutan Care Center and Quarantine (OCCQ)

Rijksen, H. D. 1978. A Field Study on Sumatran Orangutan (Pongo pygmaeus abelii Lesson 1827). Ecology, Behaviour and Conservation. Wageningen: The Netherlands.

Rodman, P. S. 1979. Individual Activity Patterns and The Solitary Nature of Orangutans. The

Great Apes. The Benjamin/ Gemming Publishing Company: California Rodman, P. S. 1988. Ecology and Behaviour Orangutan. Dalam: Orangutan Biologi. J. H.

Schwartz. Oxford University Press: New York Schurmann, C. L. 1982. Mating Behavior of Wild Orangutan dalam The Orangutan, its Biology

and Coservation, Liem De Boer (Eds.), The Hague, W Junk.

Soehartono, T. 2007. Strategi Dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Departemen Kehutanan : Jakarta.

Sugardjito, J., 1983. Selecting Nest-site Of Sumatran Orangutan, Pongo Pygmeus abelii in The Gunung Leuser national Park. Indonesia, Primates.

Syukur, F. A.,2000. Estimasi Kepadatan Populasi dan Pola Bersarang (Pongo abelii, lesson 1827) di Stasiun Penelitian Soraya, Kawasan Ekosistem Leuser. Skripsi. Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta. Aceh Selatan.

Van Hoeve,W. 1996. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta

Van Schaik, C. P. dan Azwar, 1991. Orangutan Densities In Different Forest Types in the Gunung Leuser National park (Sumatera). As Determined by Nest Cuont, Report to PHPA. LIPI and L. S. B. Lea Key Foundation, Durham.

Van Schaik, C. P., S. Poniran, S. Utami, M. Griffith, S. Djojosudharmo, T. Mitrasetia, J. Sugardjito, H. D. Rijksen, U.S. Seal, T. Faust, K. Traylorholzer, dan R. Tilson, 1994. Estimates of Orangutan Distribution and Status in Sumatra. Plenum Press, New York.

Van Schaik, C. P., A. Priatna, dan D. Priatna, 1995. Population Estimates Habitat Reference of Orangutan Based on Line Transect of Nest. Plenum Press, New York.

Van Schaik, C. P. dan Idrusman, 1996. Conservation Biology and Behavior of Sumatran Orangutan in Kluet, Gunung Leuser National Park (Progress Report for January-March1996).

Walkers, E.P., 1983. Mammals of The World. The Johns Hopkins University Press, Landon.

Page 67: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxvii

Wardaningsih, 1992. Orangutan di Sumatera : Upaya Rehabilitasinya. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Wich, S. A., Meijaard, E., Marshall, A. J., Husson, S., Ancrenaz, M.,Lacy, R. C., van Schaik, C. P., Sugardjito, J., Simorangkir, T., Traylor-Holzer, K., Doughty, M., Supriatna, J., Dennis, R., Gumal, M., Knott, C. D. & Singleton, I. (2008). Distribution and conservation status of the orang-utan (Pongo spp.) on Borneo and Sumatra: How many remain? Oryx 42, pp.329-339.

Yayasan Ekosistem Leuser. 2009. Program Konservasi Ekosistem Leuser. Diakses tanggal 25 september 2009.

Page 68: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxviii

Lampiran A. Peta Lokasi Penelitian Di Kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser

Page 69: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxix

Lampiran B. Peta Lokasi Penelitian Dengan Metode” line transect” Di Kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser

Page 70: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxx

Lampiran D. Foto Penelitian di Kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser

Lokasi Penelitian Kawasan Bukit Lawang

Page 71: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxxi

Penarikan transek transek/jalur penelitian

Pencatatan data sarang Pelepasan dan penandaan jalur/transek

Page 72: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxxii

Pengamatan dan pencatatan data pada transek/jalur pengamatan

Page 73: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxxiii

Diskusi dalam pengambilan transek/jalur pada peta penelitian

Orangutan liar orangutan semiliar

Page 74: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxxiv

Sarang kelas 1

Page 75: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxxv

Sarang kelas 2

Sarang kelas 3

Page 76: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxxvi

Perilaku kawin orangutan dalam sarang

Lampiran E. Ilustrasi Posisi Sarang Yang Biasa Digunakan Orangutan Dalam Suatu Pohon

Page 77: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxxvii

(sumber foto : Asfi, 2001)

Taman Nasional Gunung Leuser

Posisi II

Posisi III

Posisi I

Posisi IV

Page 78: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxxviii

27

D I =

= 0.0139 individu orangutan/km2

42

D II =

= 0.0261 individu orangutan/km2

54

DIII =

= 0.0599 individu orangutan/km2

57

D IV =

= 0,0474 individu orangutan/km2

45

1,5 x 2(4,69)x 0,9 x1,7x 90

1,5 x 2(3,89)x 0,9 x1,7x 90

1,5 x 2(2,97)x 0,9 x1,7x 90

2 x 2(2,18)x 0,9 x1,7x 90

Page 79: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxxix

D V =

= 0,0273 individu orangutan/km2

0.0139 + 0.0261 + 0.0599 + 0,0474 + 0,0273

Drata-rata =

= 0,1746/5 = 0,0349 individu orangutan/km2

Lampiran G. Perhitungan nilai rata-rata jarak antara sarang dengan transek (W) yang dicatat dalam data pengamatan setiap transek di Kawasan Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser

2 x 2(2,99)x 0,9 x1,7x 90

5

Page 80: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxxx

1

W =

1

W I =

= 0,00469 km = 4,69 m

1

W II =

= 0,00389 km = 3,89 m

1

WIII =

= 0,00297 km = 2,97m

1

WIV =

= 0,00218 km = 2,18 m

1

f(0)

213

257

336,5

458

Page 81: Estimasi Kepadatan Ou Di Sumut

Nurzaidah Putri Dalimunthe : Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara, 2009.

lxxxi

WV =

= 0,00299 km = 2,99 m

334