Erwiza-Erman-Tambang_Perempuan-dan-Negara-Gagal

7
TAMBANG, PEREMPUAN DAN NEGARA GAGAL? 1 Oleh Erwiza Erman 2 Pendahuluan Negara-negara berkembang penghasil komoditas tambang telah menempatkan paradigma pendirian perusahaan tambang sebagai agen pembangunan, agen modernitas yang akan membawa perubahan untuk pembangunan sosial-ekonomi negara bersangkutan (Ferguson 1986). Indonesia juga mengikuti paradigma ini. Baik tambang-tambang yang telah dibuka sejak masa kolonial maupun tambang-tambang yang baru dibuka sejak kemerdekaan sampai sekarang, pada dasarnya memang telah memiliki dampak positif terhadap pembukaan wilayah-wilayah baru, menciptakan kota-kota tambang. Kita telah mewarisi kota-kota tambang itu dari Belanda dan lewat pemberian kuasa penambangan pemerintah Indonesia sejak merdeka, telah muncul pula tambang dan kota-kota tambang yang baru yang dihasilkan dari perjanjian kontrak karya bergenerasi pada masa Orde Baru. Persoalannya kemudian adalah sejauhmana negara berhasil menciptakan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat lokal di sekitar tambang? Mengapa protes dari berbagai masyarakat di sekitar lokasi tambang susul menyusul di berbagai wilayah pertambangan di Indonesia, khususnya sejak Era Reformasi? Daerah-daerah penghasil tambang dan kota-kota tambang menjadi ajang konflik [bersenjata] baik konflik vertikal maupun horizontal. Konflik- konflik sosial di sekitar pertambangan yang berentetan terjadi telah menjadi perhatian dari para ilmuwan sosial dan Lembaga Swadaya Masyarakat. 3 Mengapa perempuan begitu penting? Apakah perempuan cendrung dirugikan dari eksploitasi tambang atau dari dampak yang ditimbulkannya? Peper ini akan melihat bagaimana kaitan antara negara dan perusahaan tambang atau antara penguasa dan pengusaha. Selanjutnya akan melihat hubungan tambang dan perempuan dan fungsi perempuan di dalam perusahaan dan dampak eksploitasi tambang terhadap ekonomi masyarakat lokal dari perspektif gender. Bagian terakhir akan mempertanyakan kegagalan negara dalam membangun masyarakat dari eksploitasi tambang. 2. Hubungan Penguasa(negara)dan Pengusaha (tambang) Dari perspektif sejarah, banyak kasus memperlihatkan bahwa hubungan penguasa dan pengusaha pertambangan ternyata tidaklah setara. Posisi pengusaha nampak lebih kuat dari para pejabat. 1 Di sampaikan dalam kuliah umum yang diadakan di Universitas Mulawarman, Samarinda, 9 Maret 2010, diselenggarakan oleh JATAM-KALTIM. 2 Peneliti di Pusat Studi Sumberdaya Regional, LIPI. 3 Studi-studi yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2004, 2005 dan 2006 memperlihatkan adanya konflik vertikal antara masyarakat lingkar tambang dengan perusahaan dan konflik horizontal di dalam dan antara masyarakat lokal dan masyarakat tambang. Konflik-konflik sosial itu semakin kompleks sifatnya, khususnya sejak adanya izin penambangan di hutan lindung, lihat Iskandar Muda dkk, 2004, 2005, 2006). Selain itu, LSM seperti Jatam didirikan pada tahun 1995 dengan programnya yang berfokus pada usaha-usaha untuk memahami persoalan-persoalan lingkungan akibat sistem eksploitasi penambangan.

description

Pendahuluan Apakah perempuan cendrung dirugikan dari eksploitasi tambang atau dari dampak yang tambang dan kota-kota tambang yang baru yang dihasilkan dari perjanjian kontrak karya masyarakat, terutama masyarakat lokal di sekitar tambang? Mengapa protes dari berbagai dasarnya memang telah memiliki dampak positif terhadap pembukaan wilayah-wilayah baru, lewat pemberian kuasa penambangan pemerintah Indonesia sejak merdeka, telah muncul pula bergenerasi pada masa Orde Baru.

Transcript of Erwiza-Erman-Tambang_Perempuan-dan-Negara-Gagal

TAMBANG, PEREMPUAN DAN NEGARA GAGAL?1

Oleh Erwiza Erman2

Pendahuluan

Negara-negara berkembang penghasil komoditas tambang telah menempatkan paradigma

pendirian perusahaan tambang sebagai agen pembangunan, agen modernitas yang akan

membawa perubahan untuk pembangunan sosial-ekonomi negara bersangkutan (Ferguson 1986).

Indonesia juga mengikuti paradigma ini. Baik tambang-tambang yang telah dibuka sejak masa

kolonial maupun tambang-tambang yang baru dibuka sejak kemerdekaan sampai sekarang, pada

dasarnya memang telah memiliki dampak positif terhadap pembukaan wilayah-wilayah baru,

menciptakan kota-kota tambang. Kita telah mewarisi kota-kota tambang itu dari Belanda dan

lewat pemberian kuasa penambangan pemerintah Indonesia sejak merdeka, telah muncul pula

tambang dan kota-kota tambang yang baru yang dihasilkan dari perjanjian kontrak karya

bergenerasi pada masa Orde Baru.

Persoalannya kemudian adalah sejauhmana negara berhasil menciptakan kesejahteraan

masyarakat, terutama masyarakat lokal di sekitar tambang? Mengapa protes dari berbagai

masyarakat di sekitar lokasi tambang susul menyusul di berbagai wilayah pertambangan di

Indonesia, khususnya sejak Era Reformasi? Daerah-daerah penghasil tambang dan kota-kota

tambang menjadi ajang konflik [bersenjata] baik konflik vertikal maupun horizontal. Konflik-

konflik sosial di sekitar pertambangan yang berentetan terjadi telah menjadi perhatian dari para

ilmuwan sosial dan Lembaga Swadaya Masyarakat.3 Mengapa perempuan begitu penting?

Apakah perempuan cendrung dirugikan dari eksploitasi tambang atau dari dampak yang

ditimbulkannya? Peper ini akan melihat bagaimana kaitan antara negara dan perusahaan tambang

atau antara penguasa dan pengusaha. Selanjutnya akan melihat hubungan tambang dan

perempuan dan fungsi perempuan di dalam perusahaan dan dampak eksploitasi tambang

terhadap ekonomi masyarakat lokal dari perspektif gender. Bagian terakhir akan

mempertanyakan kegagalan negara dalam membangun masyarakat dari eksploitasi tambang.

2. Hubungan Penguasa(negara)dan Pengusaha (tambang)

Dari perspektif sejarah, banyak kasus memperlihatkan bahwa hubungan penguasa dan pengusaha

pertambangan ternyata tidaklah setara. Posisi pengusaha nampak lebih kuat dari para pejabat.

1 Di sampaikan dalam kuliah umum yang diadakan di Universitas Mulawarman, Samarinda, 9 Maret 2010, diselenggarakan oleh JATAM-KALTIM. 2 Peneliti di Pusat Studi Sumberdaya Regional, LIPI. 3 Studi-studi yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2004, 2005 dan 2006 memperlihatkan adanya konflik vertikal antara masyarakat lingkar tambang dengan perusahaan dan konflik horizontal di dalam dan antara masyarakat lokal dan masyarakat tambang. Konflik-konflik sosial itu semakin kompleks sifatnya, khususnya sejak adanya izin penambangan di hutan lindung, lihat Iskandar Muda dkk, 2004, 2005, 2006). Selain itu, LSM seperti Jatam didirikan pada tahun 1995 dengan programnya yang berfokus pada usaha-usaha untuk memahami persoalan-persoalan lingkungan akibat sistem eksploitasi penambangan.

Bahkan pengusaha tambang berposisi sebagai manajer ‘bayangan’ dalam sistem pemerintahan.

Artinya ada ‘negara bayangan’ dalam ‘negara resmi’. Bahkan dalam prakteknya, seorang pejabat

daerah bisa dimutasikan jika kebijakannya merugikan atau tidak sejalan dengan perusahaan. Ini

terjadi dalam kasus timah di Belitung, di mana pejabat-pejabat yang menjabat dalam periode

yang lebih singkat dari masa jabatan yang ditentukan, adalah pejabat-pejabat yang menentang

kebijakan perusahaan. Pejabat daerah (baca kolonial) begitu lemah dalam mengelola wilayahnya

untuk kepentingan kesejahteraan penduduknya.

Mengemukanya kepentingan perusahaan dan lemahnya kekuasaan para pejabat pemerintahan telah

berlanjut sampai Indonesia merdeka bahkan sampai masa Orde Baru. Rezim pemerintahan Orde Baru

telah mengkopi pemerintahan kolonial Belanda dalam sistem pemerintahan yang sentralistis. Dalam

sistem pemerintahan yang sentralistis, para Kepala daerah begitu lemah dan menjadi perpanjangan tangan

pusat, dan bahkan sistem pemerintahan tersendiri seperti kasus pulau Belitung bisa diciptakan berbeda

dari yang lain dalam rangka memuluskan usaha pertambangan timah swasta. Dilihat dari masalah

perundangan-undangan, kasus pendirian perusahaan Freeport di Papua memperlihatkan betapa

pemerintah pusat menyediakan aturan-aturan yang menyokong usaha penambangan perusahaan Freeport

dan menjadikan kehadiran perusahaan itu sebagai National Pride oleh Soeharto, diberi proteksi dan jauh

dari pemikiran pembangunan komunitas setempat. Adalah ironis, bahwa kemajuan fisik yang dibawa

perusahaan berbanding lurus dengan ketertinggalan sosial-ekonomi penduduk setempat. Di Sumatera,

Riau yang kaya minyak menjadi propinsi yang tertinggal, di samping propinsi Bengkulu yang kaya emas,

dan batubara serta sumberdaya alam yang lain.

Beberapa contoh di atas setidak-tidaknya membuktikan hubungan yang tak setara antara penguasa dan

perusahaan tambang negara atau perusahaan swasta. Masih perlu studi-studi sejarah semacam ini

dilakukan untuk daerah-daerah pertambangan lain pada periode yang sama, sehingga akan terlihat

perbedaan dan persamaannya dan efek-efek yang ditimbulkan akibat hubungan yang tidak seimbang

antara penguasa dan pengusaha. Masih perlu pula dilakukan studi-studi sejarah mengenai perkembangan

hubungan pengusaha dan penguasa, modus operandi dari hubungan tersebut dan sejauhmana motif-motif

politik dibalik hubungan penguasa dan pengusaha (akomodatif dan konfrontatif) dalam sektor

pertambangan. Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang tersisa yang belum terjawab dalam kaitan

dengan pemetaan hubungan penguasa dan pengusaha dalam pengelolaan bisnis pertambangan, motif-

motif tersembunyi dibalik hubungan tersebut serta dampaknya terhadap masalah sosial-ekonomi dan

lingkungan. Kritik-kritik mengenai ketertinggalan daerah-daerah yang kaya yang menghasilkan berbagai

komoditi pertambangan dan kurangnya perhatian kepala-kepala daerah terhadap kondisi masyarakat di

sekitar wilayah itu pada masa kolonial nampak telah menjadi warisan pada masa sekarang. Pada masa

lalu, kritik-kritik itu berasal dari kalangan pendukung Politik Etis sebagaimana yang terjadi dalam kasus

penambangan timah diBangka-Belitung.4

Selama era reformasi ini, kita dapat melihat beberapa contoh di pulau Kalimantan mengenai ekspansi

wilayah eksploitasi batubara oleh pihak swasta yang merupakan suatu kontinum dari masa penjajahan.

Dari berbagai komoditi tambang, batubara merupakan salah satu potensi sumberdaya tambang yang

menjanjikan yang telah dieksploitasi sejak dekade keempat abad ke-19 dan sejak tahun 1980an, wilayah

4 Erwiza Erman, Kesenjangan Buruh dan Majikan: Penguasa, Koeli dan Penguasa, Jakarta: PT.Sinar Harapan, 1995.

Kalimantan terbuka lebar untuk investor asing dan domestik melalui perjanjian Kontrak Karya yang

sudah bergenerasi. Potensi sumber daya alam, berupa tambang batubara, yang terdapat di

Kalimantan Selatan cukup besar dengan kualitas yang baik, membentang di seluruh kabupaten

(Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, Tanah Bumbu, HST, HSU, HSS, Tapin, dan Tabalong.

Pengelolaan sumberdaya tambang ini tidak hanya oleh perusahaan-perusahaan besar, juga oleh

KUD, dan sejak Era Reformasi oleh Penambang Tanpa Izin (Peti). Ada sekitar 15 perusahaan

besar dengan kontrak generasi pertama sampai generasi ke tiga, 54 perusahaan kecil dan 16

perusahaan yang berhubungan dengan pertambangan (penyewaan alat berat, transporasi,

manajemen sumberdaya manusia dan keuangan.5 Di samping itu juga tercatat pertambangan

illegal yang disebut Penambangan Tanpa Izin (Peti) sebanyak 197 perusahaan pada tahun 1997

dan pada tahun 2000 meningkat tajam menjadi 445 perusahaan. Di Era reformasi ( 2004)

jumlahnya naik drastis menjadi 842 perusahaan. Menurut informasi yang diperoleh bahwa Peti

ini kemudian dilegalkan oleh pemerintah.6

Sementara itu di Kalimantan Timur sendiri, Kuasa Penambangan semakin meningkat jumlahnya

terutama sejak enam tahun terakhir, yakni 1.212 izin Kuasa Penambangan yang dikeluarkan

pemerintah daerah, 33 PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang

dikeluarkan pemerintah pusat dengan luas 3,2 juta ha atau setara dengan luas propinsi

Kalimantan Selatan.7 Kalimantan Timur telah memasok 70% dari produksi batubara nasional.

Adalah ironis, pasokan batubara Kalimantan Timur terbesar diiringi dengan sumber penerangan

(listrik) yang mati setiap hari, dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang semakin

menaik. Misalnya tiga wilayah kantong pengangguran terbesar, yakni kota Samarinda (31.959

jiwa), disusul Balikpapan (31.019 jiwa) dan Kabupaten Kutai Kartanegara (23.591), yang

memiliki jumlah konsesi tambang terbesar, yakni lebih dari 50% dari total konsesi tambang

Kaltim (781 konsesi).8 Menurut informasii yang diperoleh dari Jatam-Kaltim, diketahui bahwa

periode 2007-2009 ada 247 KP yang dikeluarkan pemerintah Kutai Kartanegara. Artinya bahwa

setiap dua hari ada satu KP. Kondisi ini memberi petunjuk bagaimana pemberian KP kepada

investor begitu mudah. Tentu saja sejumlah pertanyaan akan muncul, apakah pemberian KP ini

telah melalui pertimbangan penggunaan tata ruang wilayah Kaltim?

Meningkatnya kecendrungan pemberian konsesi tambang tidak hanya terjadi di wilayah

Kalimantan, akan tetapi gejala umum di era otonomi daerah. Dalam kaitan untuk meningkatkan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai alasan utama, pemerintah daerah memperlihatkan

mentalitas yang agresif dan rakus dalam hal eksploitasi sumberdaya alam. Akibat yang

5 Udiansyah dan Luthfi F. Arsyad, “Dampak Pertambangan Batubara pada Ekonomi Propinsi Kalimantan Selatan”,

2008:1. Paper dipresentasikan dalam seminar sehari mengenai Problematika Pertambangan Batubara di

Kalimantan Selatan yang diadakan oleh Walhi, 14 Mei 2008 di Banjarbaru, Kalimantan Selatan

6. Udiansyah dan Lutfi F. Arsyad, “Dampak…”. 7 Abdullah Naim dkk, Mautnya Batubara; Pengerukan Batubara dan Generasi Suram Kalimantan, 2010: 11 8 Ibid, p.13.

ditimbulkan oleh mentalitas yang agresif dan rakus dalam eksploitasi sumberdaya alam ini telah

berdampak terhadap lingkungan, banjir, polusi udara, kesehatan dan berkurangnya wilayah

pertanian penduduk.

Dalam kasus Kalimantan Selatan, hubungan simbiosis mutualistis penguasa dan pengusaha akan

disoroti melalui peranan aktor utama di propinsi yang selanjutnya disebut Aktor Utama (AU).

Nampaknya tidak ada sikap yang konsisten dari Aktor Utama sejak maraknya Penambangan

Tanpa Izin (Peti) dan mulai njelimetnya persoalan pertambangan batubara di propinsi ini sejak

tahun 1990an. Masalah pengangkutan batubara yang diproduksi Peti dan KUD telah merusak

fasilitas jalan umum, membawa korban kecelakaan dan kematian serta membawa penyakit

(saluran pernafasan), telah disikapi dengan kebijakan AU yang tidak konsisten. Ada larangan

pengangkutan batubara pada Januari 2000, akan tetapi kemudian dicabut dengan keluarnya

kebijakan baru pada bulan Maret 2000 oleh Gubernur yang menggantikannya (Pengganti Aktor

Utama) yang menang dalam Pilkada Gubernur tahun 2005 kemudian cendrung membiarkannya,

meskipun berbagai protes dari masyarakat telah bermunculan. Menurut informasi yang

diperoleh terakhir bahwa sudah ada aturan melarang pengangkutan batubara, akan tetapi baru

diberlakukan pada tahun 2009, menjelang berakhirnya kekuasaan.

Ada banyak alasan mengapa politik pembiaran ini terjadi. Antara lain adalah karena penguasa

mengharapkan Pendapatan Asli Daerah yang selama ini hanya sedikit menetes ke daerahnya

selama Orde Baru. Era otonomi daerah telah memberi kesempatan kepada daerah untuk

meningkatkan pendapatan asli daerah dengan memungut royalti, distribusi dan sumbangan

lainnya dari izin usaha pertambangan yang dikeluarkannya. Kedua, politik pembiaran aktor

utama (penguasa) juga disebabkan kemungkinan adanya semacam “politik balas budi” kepada

para pengusaha yang telah ‘mengantarkannya’ memenangkan suara dalam pemilihan jabatan

tersebut.9 Dari wawancara dengan para pengusaha, tokoh agama dan masyarakat pada bulan Mei

2006 ternyata bahwa pengusaha sendiri jelas mengakui pengaruh mereka terhadap penguasa, dan

bahkan telah ikut mengendalikan kebijaksanaan pemerintah daerah dengan mencontohkan politik

pembiaran truk angkutan batubara melintasi jalan-jalan kota.10

Masih banyak contoh diajukan dalam melihat bagaimana lemahnya institusi negara, aktor-aktor

negara di tingkat lokal dalam mengelola sumberdaya alamnya. Mereka pada umumnya

melakukan politik pembiaran. Politik pembiaran ini juga ditemukan di daerah-daerah lain, seperti

di tambag batubara Sumatera Barat, tambang timah Bangka-Belitung. Para kandidat kepala

daerah yang sedang berebut massa mengkampanyekan programnya, tak satupun yang

mengkritisi masalah lingkungan. Bangka Pos telah memberikan sindiran terhadap kondisi ini,

akan tetapi tidak mempan, karena pada umumnya para kandidat kepala daerah sedang menerima

politik ‘pemberian budi’ dari pengusaha.

9 Wawancara dengan AR, Juni 2001; Wawancara dengan G, aktivis Pemberdayaan Masyarakat Kalsel, 29 Mei 2006. 10 Wawancara dengan para pengusaha, tokoh agama dan tokoh masyarakat, bulan Mai 2006 dii Banjarmasin.

3. Tambang dan Perempuan

Di belahan dunia manapun tambang cendrung diidentikkan sebagai dunia maskulin, suatu dunia

yang memerlukan keberanian, kerja berat, kerja keras dan dihubungkan dengan pekerjaan laki-

laki. Karena itu, kesan yang diperoleh mengenai seorang penambang adalah seorang laki-laki

tegap, dengan otot kaki dan tangan yang kekar yang diharapkan dengan mudah dapat menggali

misalnya batubara, timah, dan emas. Kenyataan itu tidak mengherankan karena rekrutmen para

penambang (baca:masa kolonial) baik dari Jawa maupun Cina dari Singapura untuk dipekerjakan

diberbagai perusahaan tambang di Indonesia selalu mencantumkan beberapa persyaratan, seperti

berat badan, kekuatan dan kesehatan yang prima. Ini berbeda dengan rekrutmen dari tenaga kerja

laki-laki yang dipekerjakan di berbagai perkebunan masa kolonial.(Erwiza, 1995: Bab III).

Harga seorang tenaga kerja laki-laki yang tegap juga akan jauh lebih mahal daripada tenaga

kerja laki-laki yang akan dipekerjakan di sektor perkebunan. Pekerjaan yang memindahkan

tanah, dan kemudian memasuki dunia gelap sebagaimana tambang bawah tanah, akan selalu

menghadang resiko ‘kematian’.

Walaupun tambang diidentikkan dengan dunia laki-laki, tambang itu sendiri dianggap sebagai

‘seorang perempuan’, dan harus diperlakukan secara lebih hati-hati. Ada kepercayaan para

penambang untuk bertutur baik di dalam tambang, tidak diizinkan berkata kasar. Perempuan

sendiri tidak diizinkan memasuki tambang (baca:bawah tanah), dan dipercayai akan

mendatangkan kecelakaan tambang. Seorang manajer tambang batubara Ombilin malah selalu

diberi peringatan mengenai akan adanya kecelakaan tambang, jika mimpinya berhubungan

dengan seorang perempuan. Terlepas dari argumentasi ilmiah/yang bernalar yang akan diajukan,

yang jelas adalah bahwa tambang dan perempuan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan.

Identifikasi tambang dengan dunia laki-laki pada dasarnya telah membawa akibat pada masalah

demografi masyarakat tambang. Masyarakat tambang cendrung didominasi oleh dunia laki-laki

dengan ciri-ciri lebih tegap, lebih muda dan belum menikah. Dalam prosesnya kemudian, ketika

perusahaan sudah memperoleh keuntungan dan produksi, maka reproduksi tenaga kerja

direncanakan, maka rekrutmen tenaga kerja laki-laki yang sudah berumah tangga dilakukan dan

kemudian pelan-pelan terbentuklah sebuah masyarakat penambang. Dari masyarakat penambang

inilah diharapkan lahir generasi penambang yang baru yang dapat menggantikan posisi

orangtuanya.11Ketika terbentuk masyarakat penambang, rekrutmen tenaga kerja perempuan

dilakukan, khususnya untuk jenis pekerjaan yang ringan. Di perusahaan-perusahaan batubara di

Indonesia dan juga di negara seperti Australia, perempuan dipekerjakan hanya dalam

penyeleksian batubara dalam berbagai ukuran atau dalam pekerjaan-pekerjaan administratif level

rendah. Meskipun tenaga kerja perempuan marginal dalam sektor pertambangan, akan tetapi

dampak eksploitasi sumberdaya tambang ini terhadap posisi perempuan beragam. Pertama

adalah munculnya lokasi-lokasi untuk prostitusi yang berdampak sangat kompleks pada

11 Erwiza Erman, Membaranya Batubara: Konflik klas dan etnik di tambang batubara Ombilin, Sumatera Barat, 1892-1996. Jakarta:Desantara, 2005.

hubungan di dalam keluarga dan masyarakat. Kondisi ini bukanlah gejala baru, tetapi adalah

kontinum sejarah dari dulu.

Dunia tambang yang membosankan, membutuhkan hiburan. Jenis hiburan bervariasi dari satu

waktu ke waktu lain, sesuai dengan perkembangan. Walaupun demikian, setidaknya ada 4

karakteristik dari zaman penjajahan sampai sekarang untuk jenis hiburan masyarakat tambang.

Mulai dari minum candu, judi dan prostitusi, pertunjukkan kesenian tradisional (ronggeng,

tandak dan sebagainya), berubah pelan-pelan ke miras (minuman keras, judi, prostitusi dan kini

karaoke). Di satu pihak, elemen-elemen ini memang memiliki unsur hiburan, mengusik

kebosanan bekerja di dalam tambang, akan tetapi di lain pihak, elemen-elemen di atas

sebenarnya dapat dianggap sebagai non-economic coercion yang diciptakan perusahaan untuk

mempertinggi tingkat ketergantungan terhadap perusahaan.

Para pelacur ini datang dari luar daerah Prostitusi sebagian diambil dari luar daerah

pertambangan dan sebagian lagi justru datang dari daerah minus sekitar tambang. Jika dulu ada

perebutan dalam soal perempuan-perempuan ini di kalangan penambangan, maka kini kehadiran

mereka akan menganggu lingkungan sekitar dan akan menciptakan tekanan baru bagi para

keluarga penambang.

Lalu bagaimana dampak ekspansi penambangan atas masyarakat sekitarnya dilihat dari

perspektif gender? Pada dasarnya, jika dilihat dampak ekspansi penambangan atas masyarakat

lokal dan atas perempuan sangat merisaukan. Di beberapa kasus pertambangan yang diselidiki,

perluasan lokasi penambangan telah mempersempit akses terhadap ekonomi di sektor non-

pertambangan. Akses terhadap sumber ekonomi di sektor pertanian, dan akses terhadap wilayah

penangkapan ikan (untuk Bangka Belitung) semakin sempit. Akses untuk memperoleh air bersih

juga semakin langka, akses terhadap sumber-sumber pendapatan masyarakat lokal dari hutan

sudah semakin menipis. Dalam kaitan ini, jika dilihat dari perspektif gender, maka perempuan

adalah penderita yang akut. Sebab perempuan yang memegang peran penting dari setiap kegiatan

rumahtangga memerlukan air bersih untuk memasak, mencuci, dan untuk kebutuhan-kebutuhan

lain. Perempuan pula yang berperan dan bertanggungjawab untuk survival keluarga.

Keterbatasan-keterbatasan dalam berbagai akses ini tidak bisa diimbangi dengan hasil

pendapatan suami yang bekerja di tambang, tetapi justru telah menimbulkan tekanan baru bagi

perempuan. Banyak kasus dimana perempuan harus menerima penderitaan batin yang baru

akibat suami menikah dengan wanita di lokalisasi, atau suami yang menghabiskan uang di meja

judi atau di lokalisasi. Akibatnya keperluan rumahtangga menjadi terabaikan, dan perempuan

harus menerima kondisi yang semakin berat. Ini terjadi di hampir seluruh wilayah pertambangan

di dunia.

Pendeknya, posisi perempuan di sekitar wilayah pertambangan masih lemah. Berlapis-lapis

tekanan yang diciptakan oleh negara (penguasa) di tingkat lokal atas masyarakat lokal dan atas

posisi perempuan. Di wilayah-wilayah pertambangan lain, seperti India, Peru untuk menyebut

beberapa diantaranya, perempuan membentuk sebuah kekuatan, menyalurkan berbagai kesulitan

mereka ke dalam sebuah organisasi dan mencari solusi. Dalam lingkup internasional, kesulitan-

kesulitan yang diterima oleh keluarga dan perempuan dibicarakan dalam berbagai pertemuan

internasional, baik di Philippina, Papua dan India. Usaha-usaha untuk memperkuat posisi dan

peran perempuan semakin kuat dan bukan tidak mungkin akan membawa konflik baru dengan

perusahaan-perushaan tambang. Kasus di beberapa desa di wilayah timah di Bangka

memperlihatkan gejala itu.12 Perempuan mengambil posisi pemimpin, memimpin protes-protes

terhadap eksploitasi tambang yang serakah, menghabiskan sumberdayanya dalam waktu singkat

untuk kepentingan ekonomi sesaat.

4. Tambang, Perempuan dan Negara Gagal?

Tambang yang dianggap negara sebagai agen pembangunan yang menyeluruh, berkeadilan telah

gagal melaksanakan tugasnya baik pada masa Orde Baru dan masa otonomi daerah. Jika masa

Orde Baru, negara yang disentralisir dari Jakarta gagal menciptakan pembangunan yang

merata/berkeadilan, kini masa otonomi daerah, negara di tingkat daerah juga memperpanjang

kegagalan itu, dan bahkan semakin parah. Mengapa? Sebab negara resmi (formal) masih diatur

oleh ‘pengatur-pengatur’ informal (pengusaha) dalam berbagai cara, bahkan dengan

‘kekerasan’13. Sistem seperti ini tidak baru, tetapi sudah ada sejak zaman Belanda, menemukan

caranya sendiri-sendiri di dalam berbagai rezim, baik rezim Orde Baru, dan terlebih masa

Reformasi. Karena adanya ‘pengatur-pengatur informal’ yang memiliki dana tetapi tidak

memiliki kuasa, dan pengatur-pengatur formal yang memiliki kuasa tetapi tidak memiliki dana,

maka terjadilah ‘persekongkolan’. Hubungan semacam ini melahirkan tindakan pemberian

konsesi tambang yang mudah, tanpa terencana. Tindakan ini semakin memperlihatkan intensitas

yang tinggi pada momen-momen politik tertentu, apakah Pilkada atau Pemilu.

Kegagalan negara dalam menciptakan pembangunan yang berkeadilan itu telah melahirkan

proses pemiskinan dan penggangguran pada masyarakat lokal. Dilihat dari perspektif gender,

perempuan menjadi sangat riskan dalam ekspansi penambangan dan dari kerusakan lingkungan

akibat penambangan. Perempuan berfungsi sebagai ‘komoditi’ dengan jabatan “wanita tuna

susila” untuk melayani kebutuhan masyarakat tambang dan perempuan pula yang semakin

dihimpit oleh berbagai tekanan berlapis akibat kehilangan akses terhadap sumber-sumber

pendapatan di sektor non-pertambangan dan akses terhadap air bersih dan kesehatan yang prima.

Negara di era otonomi daerah nampaknya sedang menuju kehancuran, karena pelayanan-

pelayanan publik mereka semakin jauh dari harapan. Apakah propinsi terkaya Kalimantan Timur

akan menikmati buah “semangka berdaun sirih”?

12 Berdasarkan hasil riset di beberapa kampung di pulau Bangka, seperti di Rambat dan Blinyu, November 2009. 13 Penulis telah membahas ini dalam berbagai tulisan. Lihat antara lain, Erwiza Erman, “Deregulation of the Tin sand Trade and the creation of a loca Shadow State: Case Study of Bangka Tin Mines, hal 177-202, dalam Henk Schulte Norhold dan Gerry van Klinken (eds), Renegotiating Boundries: Lokal Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden:KITLV, 2007; “Illegal Coal Mining in West Sumatra: Access and Actors in the Post Soeharto Era”, hal. 206-215, dalam the Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources, edited oleh Budy P. Reksosudarmo, Singapore: ISEAS.