EPISTEMOLOGI

4
EPISTEMOLOGI A. Konstruktivisme Individu dan Sosial Epistemologi merupakan cabang philosophy yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawap pertanyaan mendasar ; apa yang membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang salah. Secara praktis, pertanyan-pertanyan ini ditranslasikan ke dalam masalah-masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya seperti : bagaiman kita bisa mengembangkan sebuah teori atau metod yang lebih baik dari teori yang lain ? relatif sejalan dengan ini, maka sebagai salah satu komponen dalam filsafat ilmu, epistemologi difokuskan pada telaah tentang bagaimana cara mendapatk an pengetahuan yang benar , atau bagaiman seseorang itu tahu apa yang mereka ketahui. Jadi, dari sini tampaknya” how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan “rahasia” dibalik kemunculan konsep-konsep teoritis dalam suatu teori komunikasi. Sesungguhnya banyak cara yang dapat dilakukan dalam usaha menemukan esensi dari kata “how” tadi. Salah satunya yang paling utama, mungkin menurut sejarah “epistemologi” itu sendiri. Bila ditinjau menutut sejarah epistemologi, maka terlihat adanya suatu kecendrungan yang jelas mengenai bagaiman riwayat cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan), kendatipun riwayat dimaksud meperlihatkan adanya banyak kekacauan perspektif yang posisinya saling bertentangan. Misalnya teori pertama pengetahuan, dititik beratkan pada keabsolutannya, dan karakternya yang permanen. Sedangkan teori berikutnya menaruh penekanannya pada kerelativtasan atau situation (keadan) dependence (ketegantungan). Kerelativitasan pengetahuan tersebut berkembang scara terus menerus atau bervolusi, dan pengetahuan secara aktif campur tangan terhadap the world dan subyek maupun obyeknya. Secara keseluruhan cendrung bergerak dari satu ke-statis-an , pandangan pasif penegtahuan bergerak secara aktif ke arah penyesuayan demi penyesuayan. Mari kita mulai dari filsuf yunani. Dalam pandangan Plato, pengetahuan adalah ebuah

description

contoh

Transcript of EPISTEMOLOGI

Page 1: EPISTEMOLOGI

EPISTEMOLOGI

A. Konstruktivisme Individu dan Sosial

Epistemologi merupakan cabang philosophy yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawap pertanyaan mendasar ; apa yang membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang salah. Secara praktis, pertanyan-pertanyan ini ditranslasikan ke dalam masalah-masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya seperti : bagaiman kita bisa mengembangkan sebuah teori atau metod yang lebih baik dari teori yang lain ? relatif sejalan dengan ini, maka sebagai salah satu komponen dalam filsafat ilmu, epistemologi difokuskan pada telaah tentang bagaimana cara mendapatk an pengetahuan yang benar , atau bagaiman seseorang itu tahu apa yang mereka ketahui. Jadi, dari sini tampaknya” how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan “rahasia” dibalik kemunculan konsep-konsep teoritis dalam suatu teori komunikasi.

Sesungguhnya banyak cara yang dapat dilakukan dalam usaha menemukan esensi dari kata “how” tadi. Salah satunya yang paling utama, mungkin menurut sejarah “epistemologi” itu sendiri. Bila ditinjau menutut sejarah epistemologi, maka terlihat adanya suatu kecendrungan yang jelas mengenai bagaiman riwayat cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan), kendatipun riwayat dimaksud meperlihatkan adanya banyak kekacauan perspektif yang posisinya saling bertentangan. Misalnya teori pertama pengetahuan, dititik beratkan pada keabsolutannya, dan karakternya yang permanen. Sedangkan teori berikutnya menaruh penekanannya pada kerelativtasan atau situation (keadan) dependence (ketegantungan).

Kerelativitasan pengetahuan tersebut berkembang scara terus menerus atau bervolusi, dan pengetahuan secara aktif campur tangan terhadap the world dan subyek maupun obyeknya. Secara keseluruhan cendrung bergerak dari satu ke-statis-an , pandangan pasif penegtahuan bergerak secara aktif ke arah penyesuayan demi penyesuayan. Mari kita mulai dari filsuf yunani. Dalam pandangan Plato, pengetahuan adalah ebuah kesadaran mutlak, universal ideas or forms, keberadaan bebas suatu subyek yang perlu dipahami.

Sementara itu, pemikiran Aristoteles lebih menaruh penekanan pada metode logika dan empirik bagi upaya penghimpunan pengetahuan, dia masi menyetujui pandangan bahwa penegtahuan seperti itu merupakan sebuah apprehension of necessary and universal principles ( penangkapan prinsip-prinsip yang diperlukan dan universal ). Mengikuti masa-masa Renaisans, terhadap dua epistemological utama yang posisinya mendominasi filsafat, yaitu empiricism dan rationalsm. Empiricism (empirisme) yaitu suatu epistemologi yang memahami bahwa pengetahuan itu sebagai produk persepsi indrawi.

Sedangkan rationalism ( rasionalisme ) melihat pengetahuan itu sebagai produk refleksi rasional. Pengembangan terbaru yang dilakukan empirisme melalu eksperimen ilmu pengtahuan telah berimplikasi pada perkembanganya pandangan ilmu pengetahuan yang secara eksplisit dan implicit hingga sekarang masih dipedomani oleh banyak ilmuwan. Pedoman dimaksud yaitu reflection correspondence theory. Menurut pandangan ini pengetahuan dihasilkan dari sejenis pemetaan atau refleksi obyek eksternal melalui organ

Page 2: EPISTEMOLOGI

indrawi kita, yang dimungkinkan terbantu melalui alat-alat pengamatan berbeda, menuju ke atak atau pikiran kita.

Meskipun pengetahuan tidak mempunyai keberadaan a priori, seperti dalam konsep Plato, tetapi mesti dibangu dengan pengamatan, dalam arti bahwa setiap bagian dari pengtahuan yang diusulkan seharusnya benar-benar baik sesuai dengan bagian dari realitas eksternal. Meskipun dalam pandangannya tidak pernah mencapai pengetahuan yang lengkap atau absolut, tetapi pengetahuan tersebut tetap sebagai batas refleksi yang lebih tepat dari realitas. Ada tori penting yang dikembangan pada periode yang layak untuk diikuti, yaitu menyangkut sintesa rasionalisme dan emprismenya para pengikut Kant. Menurut Kant, penetahuan itu dihasilkan dari organisasi data persepsi berdasarkan struktur kognitif bawaan, yang disebutnya “kategori”. Kategori mencakup ruang, waktu, obyek dan kausalitas.

Epistemologi tersebut menerima ke-subeyektifitas-an konsep-konsep dasar, seperti ruang dan waktu, dan ketidakmungkinan untuk menjangkau kemurnian representasi objektif dari sesuatu dalam dirinya. Jadi katagori a priori masi tetap bersifat statis atau given. Tahapan brikutnya dari perkembangan epistemologi mungkin disebut pragmatis ( pragmatic ).

Bagian-bagian dari perkembangan dimaksud dapat dijumpai pada masa-masa mendekati awal abad dua puluh, misalnya seperti logika positivisme, konvensionalisme, dan mekanika kuantum menurut “ Compenhagen interpretation”. Filsafat ini masi mendominasi kebanyakan cara kerja ilmiah dalam cognitive scienace dan artifical intelligence. Menurut epistemologi pragmatis, pengetahuan terdiri dari model-model yang mencoba merpresntasikan lingkungan sedemikian rupa guna penyerderahanaan secara maksimal pemecahan masalah, secara maksimal menyederhanakan pemecahan masalah.

Pemahaman demikian karena diasumsikan bahwa tidak tidak ada model yang pernah bisa diharapkan untuk mampu menagkapsemua informasi yang relevan, dan sekalipun model yang lengkap sepreti itu ada, model tersebut mungkin akan sangat rumit untuk digunakan dalam cara praktis apapun. Karena itu, kita harus menerima keberadaan kesejajaran model-model yang berbeda, sekalipun model-model dimaksud mungkin terlihat saling bertentangan. Model yang akan dipilih tergantung pada masalah yang akan dipecahkan. Ketentuan dasarnya adalah bahwa, model yang digunakan sebaiknya menghasilkan perkiraan ( melalui pengujian ) yang benar ( atau approximate ) atau problem-solving, dan sesederhana mungkin. Pertanyaan lebih jauh yaitu menyangkut tentang “ the ding an sich” atau realitas tertinggi di belakang model.

(10 Prof,Dr. Idzam Fautanu, M.A, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Referensi, Edisi 2012 ) hal.156-159)