EPISTAKSIS (ABRAR)

18
LAPORAN KASUS EPISTAKSIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menjalani Kepanitraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama Aceh Disusun Oleh : MOHAMMAD ABRAR PEMBIMBING : dr. Eko C. Burnama Sp.THT-KL

Transcript of EPISTAKSIS (ABRAR)

Page 1: EPISTAKSIS (ABRAR)

LAPORAN KASUS

EPISTAKSIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menjalani

Kepanitraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama Aceh

Disusun Oleh :

MOHAMMAD ABRAR

PEMBIMBING :

dr. Eko C. Burnama Sp.THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA ACEH

RUMAH SAKIT UMUM DATU BERU TAKENGON

2016

Page 2: EPISTAKSIS (ABRAR)

EPISTAKSIS

Anatomi dan Perdarahan Rongga Hidung

Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan karotis

eksterna (AKE).

Gambar 1. Pembuluh darah di daerah septum nasi.5

Gambar 2. Pembuluh darah di dinding lateral hidung.5

Page 3: EPISTAKSIS (ABRAR)

Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI, bercabang dua menjadi arteri

ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar dibanding cabang posterior dan

pada bagian medial akan melintasi atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari

septum nasi dan dinding lateral hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri

maksilaris interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis

superior.

Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri sfenopalatina,

arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri sfenopalatina memasuki rongga hidung

pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral

hidung.

Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor,

ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus

Kiesselbach atau Little’s area.

Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media terdapat plexus

Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal

asendens.

Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach. Epistaksis anterior lebih

mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi dibandingkan epistaksis posterior.

Batas yang membagi antara epistaksis anterior dan epistaksis posterior adalah ostium sinus

maksilaris.

Defenisi

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau

nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit,

melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri.

Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 210 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada

musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7

penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian

Page 4: EPISTAKSIS (ABRAR)

anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior

sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,

mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.

Patofisiologi

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,

terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen.

Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi

jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena

hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada

orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis

memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan

oleh iskemia lokal atau trauma.

Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:

1. Epistaksis anterior

Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan

biasanya dapat berhenti sendiri.2 Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus

Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum

bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi.1,4 Perdarahan juga dapat

berasal dari bagian depan konkha inferior.1 Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan

melekat erat pada tulang rawan dibawahnya.5 Daerah ini terbuka terhadap efek

pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi

patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.

2. Epistaksis posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.

Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan

pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit

Page 5: EPISTAKSIS (ABRAR)

kardiovaskuler. 2 Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari

dinding nasal lateral.

Etiologi

Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat,

bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas. Disamping

itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing dan trauma pada

pembedahan. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik

seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi

pada tumor seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma.2,3,7 Tiwari (2005) melaporkan

melanoma pada hidung sebagai penyebab pistaksis yang tidak biasa.8 Hipertensi dan kelainan

pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis

hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan

menopause, kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada demam

berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis. Kelainan kongenital yang

sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-OslerWeber disease. Disamping itu epistaksis

dapat terjadi pada penyelam yang merupakan akibat perubahan tekanan atmosfer.

Diagnosis

Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya

harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil

hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior

atau media biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran

tekanan darah dan periksa factor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT,

dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu

CT-scan.

Page 6: EPISTAKSIS (ABRAR)

Penatalaksanaan

Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,

mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.

Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau

sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila

sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk

menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan

adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga

hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan

selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan

apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.

Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan

kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat

dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan

defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan

masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai

dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan

pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping penggantian cairan.

A. Epistaksis Anterior

1. Kauterisasi

Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan

tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin

1 : 100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan

dalam rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal

dan vasokonstriksi.5 Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan

perak nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%.2 Becker (1994) menggunakan

larutan asam triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi

Page 7: EPISTAKSIS (ABRAR)

dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna kekuningan akibat terjadinya

nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua sisi septum, karena dapat

menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau

laser.5 Yang (2005) menggunakan electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya.

2. Tampon Anterior

Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat

diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas atau

kain kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik.2,10 Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4

hari dan kepada pasien diberikan antibiotik spektrum luas.12 Vaghela (2005) menggunakan

swimmer’s nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior.

B. Epistaksis Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan

sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior.2 Epistaksis posterior dapat diatasi

dengan menggunakan tampon posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri dan embolisasi.

1. Tampon Posterior

Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya

dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di

nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan

pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan

menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui

hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut

agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui

rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari untuk

memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan ini.4,5 Apabila masih

tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke

dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah

gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak.

Page 8: EPISTAKSIS (ABRAR)

bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk

menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.

2. Tampon Balon

Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan

tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada

dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah

bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi

topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang

dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan

salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior.

Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi

tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan

mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon balon ini gagal

mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.

3. Ligasi Arteri

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi

pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi

kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang

berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa

hidung.

a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai

darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna.12 Tindakan ini dapat dilakukan

dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang

menyilang pinggir anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi,

m. sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju

selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna

dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila

Page 9: EPISTAKSIS (ABRAR)

epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau nasofaring.10 Arteri karotis eksterna diligasi

dengan benang 3/0 silk atau linen.

b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna

Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral.

Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu dilakukan insisi Caldwell – Luc

dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang

dinding sinus posterior dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian

inferior dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada

tulang, lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan operating microscope pada daerah itu

lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak

dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator

clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan nervehook. Setelah a. maksila interna

diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-

cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap antibiotik

selama 24 jam.

Maceri (1984) menjelaskan pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna. Plane

of buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan

identifikasi perlekatan m. temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksi tumpul

pada daerah ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit atau

diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat dilakukan oleh karena

trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini adalah lokasi ligasi terletak lebih ke

proksimal dibandingkan dengan pendekatan transantral sehingga lebih memungkinkan untuk

terjadinya kegagalan. Komplikasi utama pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus

yang dapat berlangsung selama tiga bulan.10 Shah (2005) menggunakan clip titanium pada

arteri sphenopalatine untuk mengatasi epistaksis posterior.

c. Ligasi Arteri Etmoidalis

Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan

ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri

keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid.

Page 10: EPISTAKSIS (ABRAR)

Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior.

Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n. optikus.

Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan

untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior

disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis

anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior

tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a.

etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari

trauma.

d. Angiografi dan Embolisasi

Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan pada a.

maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang

persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan kegunaan angiografi dalam menentukan

sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan penggunaan embolisasi untuk pengobatan

telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring,

tumor ganas dan penyakit pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan dalam melakukan

embolisasi a. etmoidalis tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan

ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi

embolisasi mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga

sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable gelatin

sponge merupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun tekhnik ini masih kontroversi,

ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis dilakukan bila terapi lainnya

gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi.

Page 11: EPISTAKSIS (ABRAR)

LAPORAN KASUSIDENTITAS PENDERITANama :No. RM :Jenis Kelamin :Umur :Status :Pekerjaan :Alamat :Agama :Suku :Dokter Muda :Dokter :

ANAMNESAKeluhan Utama :Keluhan Tambahan :

RPS :RPD :RPK :RPO :

STATUS PRESENTKeadaan Umum/kesadaran :baik/compos mentis

HIDUNG KANAN KIRI Bentuk : Luka : Cairan

IngusDarahNanah

Berbau : Sakit : Gatal : Bersin : Penciuman : Bisul : Rhadagen :

RHINOSKOPI ANTERIOR KANAN KIRI

Page 12: EPISTAKSIS (ABRAR)

Cavum Nasi :

Selaput Lendir

Permukaan : Warna :

Konka

Inferior : Media :

Meatus Nasi

Inferior : Media :

Septum Nasi

Deviasi : Krista : Spina/tajam : Hematoma/abses/perforasi :

Nanah :

Darah :

Krusta :

Polip :

Corpus Alienum :

Massa/Tumor :

DAFTAR PUSTAKA

Page 13: EPISTAKSIS (ABRAR)

1. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease AproblemOriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc, 1998: 43 – 9.

2. 2. Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 – 31.

3. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott – Brown’s Otolaryngology. Volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann, 1997: 1–19.

4. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa staf ahli bagian THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa Aksara,1994: 1 – 27, 112 – 6

5. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket reference. Second Edition. New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 – 80 dan 253 – 60.