Epidemiologi Sar
-
Upload
dwi-wahyu-arsita -
Category
Documents
-
view
14 -
download
2
description
Transcript of Epidemiologi Sar
Epidemiologi SAR
Stomatitis Aftosa Rekuren atau disingkat SAR yang juga dikenal dengan
istilah aphtae, atau canker sores merupakan suatu penyakit mukosa mulut yang
paling sering terjadi. Di Indonesia orang awam lebih mengenalnya dengan istilah
sariawan. SAR merupakan salah satu kasus yang sering dijumpai oleh dokter gigi
diseluruh dunia (Suling, dkk., 2010).
Prevalensi SAR pada populasi dunia bervariasi antara 5% sampai 66% dengan
rata-rata 20%. Prevalensi tertinggi terjadi di Amerika Utara, terutama pelajar. Di
Amerika, prevalensi tertinggi ditemukan pada mahasiswa keperawatan 60%,
mahasiswa kedokteran gigi 56% dan mahasiswa profesi 55%. Sebagian besar saat
ujian, dan pada kelompok sosial ekonomi ke atas, karena ini berhubungan dengan
meningkatnya beban kerja yang dialami kalangan profesi atau jabatan-jabatan yang
memerlukan tanggung jawab yang cukup besar. Stomatitis Aftosa Rekuren jarang
ditemukan di Bedouin Arab (Nisa, 2011).
Sebenarnya SAR merupakan penyakit yang relatif ringan karena tidak bersifat
membahayakan jiwa dan tidak menular, namun bagi sebagian orang ini sangat
mengganggu. Orang-orang yang mengalami SAR akan merasa sangat terganggu
terutama dalam hal fungsi pengunyahan, penelanan dan berbicara. Prevalensi SAR
bervariasi tergantung pada daerah populasi yang di teliti. Di Indonesia belum
diketahui berapa prevalensi SAR di masyarakat, tetapi dari data klinik penyakit mulut
di rumah sakit Ciptomangun Kusumo tahun 1988 sampai dengan 1990 dijumpai
kasus SAR sebanyak 26,6%, periode 2003-2004 didapatkan prevalensi SAR dari 101
pasien terdapat kasus SAR 17,3% (Suling, 2012).
Beberapa peneliti dalam penelitiannya berkaitan dengan SAR, salah satu oleh
Ship (1967), menemukan prevalensi tertinggi yaitu 66% pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran dan Kedokteran Gigi. Mahasiswa kedokteran gigi cenderung mengalami
prevalensi SAR yang tertinggi dalam beberapa penelitian karena pendidikan ilmu
kedokteran gigi dinyatakan sebagai salah satu pendidikan yang amat dibutuhkan,
penuh tantangan, dan bidang studi yang dapat menimbulkan stres karena mahasiswa
kedokteran gigi diharapkan memperoleh berbagai kompetensi seperti kompetensi
dalam bidang akademik dan klinikal serta keterampilan interpersonal. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran gigi sering mengalami gejala
stres, ansietas yang lebih tinggi daripada populasi umum, tingkat depresi yang tinggi,
dan mengalami sensitifitas interpersonal. Stresor dari lingkungan dental dapat
meliputi
dari beberapa aspek antaranya fisikokimia, sosial, biologis, dan psikis. Beberapa
contoh stres yang sering dilaporkan dalam beberapa penelitian antaranya berkaitan
dengan kepaniteraan klinik, manajemen pasien, kebutuhan memenuhi akademik dan
persyaratan klinis, interaksi dengan rekan mahasiswa, dosen dan staf pendukung,
hubungan dengan teman dan keluarga serta takut mengalami kegagalan.
Lingkungan yang stres ini kemungkinan besar menyebabkan kebanyakan mahasiswa kedokteran gigi sering menderita SAR tanpa menyadari penyebab utamanya. (Nisa, 2011).
Telah dilakukan penelitian oleh Nisa (2011), mengenai SAR, hasilnya:
1. Faktor predisposisi terjadinya SAR pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas
Sumatera Utara terdiri dari trauma (16,8%), hormonal (12,6%), alergi (8,4%), genetik
(5,3%) dan stres (56,8%).
2. Proporsi faktor stres sebagai salah satu predisposisi SAR pada mahasiswa
kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara mencatatkan jumlah tertinggi yaitu
sebanyak 56,8%.
3. Sebagian besar mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara mengalami
tingkat stres tinggi yaitu sebanyak 77,8%.
4. Faktor utama penyebab stres dikalangan mahasiswa kedokteran gigi Universitas
Sumatera Utara adalah faktor akademik yaitu sebanyak 49,3%.
5. Diantara stresor tertinggi dari lingkungan dental dikalangan mahasiswa kedokteran
gigi Universitas Sumatera Utara adalah ujian dan nilai (64%), pasien yang terlambat
atau tidak hadir seperti dijanjikan (60%), dan jumlah tugas kuliah (56,7%).
SAR lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria, pada orang dibawah 40
tahun, orang kulit putih, tidak merokok, dan pada anak-anak. Menurut Smith dan
Wray (1999), SAR dapat terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih sering
ditemukan pada masa dewasa muda. SAR paling sering dimulai selama dekade kedua
dari kehidupan seseorang. Pada sebagian besar keadaan, ulser akan makin jarang
terjadi pada pasien yang memasuki dekade keempat dan tidak pernah terjadi pada
pasien yang memasuki dekade kelima dan keenam (Nisa, 2011).
Nisa, Rafeatun. 2011. SAR yang Dipicu oleh Stress. Medan: Sumatera Utara.Suling. 2012. Angka kejadian lesi yang diduga sebagai Stomatitis Aftosa Rekuren
pada mahasiwa Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado: Sulawesi Utara