Enzim Aspergillus
-
Upload
menma-himenma -
Category
Documents
-
view
10 -
download
3
description
Transcript of Enzim Aspergillus
Proses hidrolisis secara enzimatis biasanya berlangsung pada kondisi yang ringan (pH
sekitar 4,8 dan suhu 45–50°C) dan tidak menimbulkan masalah korosi. Kelemahannya adalah
harga enzim cukup mahal. Komponen biaya enzim dapat mencapai 53–65% dari biaya bahan
kimia, dan biaya bahan kimia sekitar 30% dari biaya total. Enzim selulase biasanya merupakan
campuran dari beberapa enzim, Sedikitnya ada tiga kelompok enzim yang terlibat dalam proses
hidrolisis selulosa, yaitu 1) endoglukanase yang bekerja pada wilayah serat selulosa yang
mempunyai kristalinitas rendah untuk memecah selulosa secara acak dan membentuk ujung
rantai yang bebas, 2) eksoglukanase atau selobiohidrolase yang mendegradasi lebih lanjut
molekul tersebut dengan memindahkan unit-unit selobiosa dari ujungujung rantai yang bebas,
dan 3) β-glukosidase yang menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa. Jumlah enzim yang
diperlukan untuk hidrolisis selulosa berbeda-beda, bergantung pada kadar padatan tidak larut air
(water insoluble solids) pada bahan yang akan dihidrolisis. Sampai tahap tertentu, semakin
banyak selulase yang digunakan, semakin tinggi rendemen dan kecepatan hidrolisis, namun juga
meningkatkan biaya proses. Hidrolisis selulosa juga dapat dilakukan dengan menggunakan
mikrob yang menghasilkan enzim selulase, seperti Trichoderma reesei, Trichoderma viride, dan
Aspergillus niger.
Fermentasi adalah teknik konversi biologis dari substrat kompleks menjadi senyawa
sederhana oleh berbagai mikroorganisme. Telah banyak digunakan secara luas untuk produksi
selulase dalam industri. Terdapat dua teknik fermentasi yang sering digunakan yaitu Submerged
Fermentation (SMF) dan Solid State Fermentation (SSF).
a. Solid State Fermentation (SSF)
SSF menggunakan substrat padat, seperti dedak, ampas tebu, jerami padi, limbah pertanian
lainnya dan pulp kertas (Subramaniyam dan Vimala, 2012). Keuntungan utama
menggunakan substrat ini adalah bahwa bahan limbah kaya nutrisi dapat dengan mudah
didaur ulang sebagai substrat yang lebih murah. SSF paling cocok untuk teknik fermentasi
yang melibatkan jamur dan mikroorganisme yang membutuhkan kadar air sedikit. Namun,
tidak dapat digunakan dalam proses fermentasi yang melibatkan organisme yang
membutuhkan air yang tinggi aktivitas, seperti bakteri (Babu dan Satyanarayana, 1996).
b. Submerged Fermentation (SmF)
SmF menggunakan substrat cair, seperti molase dan kaldu (Subramaniyam dan Vimala,
2012). Teknik fermentasi ini paling cocok untuk mikroorganisme seperti bakteri yang
memerlukan kadar air tinggi. Keuntungan tambahan dari teknik ini adalah bahwa pemurnian
produk lebih mudah.
Mikroba selulolitik merupakan pendegradasi utama selulosa tetapi umumnya tidak
memanfaatkan lipid atau protein sebagai sumber energi. Jamur dapat tumbuh dan memanfaatkan
residu agro-industri yang lebih baik daripada mikroba lain karena sangat mirip dengan habitat
alami mereka. Jamur filamen dikenal sebagai sumber daya yang efektif untuk industri selulase.
Beberapa jamur telah banyak digunakan untuk produksi komersial selulase tergantung pada
aplikasi utama mereka (Singhania, 2009). Sebagian besar selulase komersial yang diproduksi
oleh Trichoderma ressei dan β-D-glucosidase dihasilkan dari Aspergillus niger.
Aspergillus niger mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya yang berseptat, spora yang
bersifat aseksual dan tumbuh memanjang diatas stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga
dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup. Aspergillus niger dapat
tumbuh pada suhu 350C-370C (optimum), 60C-80C (minimum), 450C-470C (maksimum). Kisaran
pH yang dibutuhkan 2,8-8,8 dengan kelembaban 80-90%. Habitat Aspergillus niger kosmopolit
di daerah tropis dan subtropis, mudah didapatkan dan di isolasi dari udara, tanah dan air (Fardiaz,
1989). Enzim ekstraseluler yang dihasilkan Aspergillus niger diantaranya, enzim selulase, enzim
kitinase, α-amilase, β-amilase, glukoamilase, katalase, pektinase, lipase, laktase, invertase, asam
protease (Rat ledge, 1994).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan fungi:
a. Kebutuhan Air
Kebanyakan jamur membutuhkan air minimal untuk pertumbuhannya lebih rendah
dibandingkan khamir dan bakteri (Srikandi.F, 1989).
b. Suhu Pertumbuhan
Kebanyakan jamur bersifar mesofilik, yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum
pertumbuhan untuk kebanyakan jamur adalah sekitar 250C300C, tetapi beberapa dapat
tumbuh pada suhu 350C-370C atau lebih tinggi, misalnya Aspergillus. Beberapa jamur
bersifat psikotropik yaitu dapat tumbuh baik pada suhu lemari es dan beberapa biakan masih
dapat tumbuh lambat pada suhu dibawah suhu pembekuan, misalnya pada suhu - 50C sampai
– 100C. Beberapa jamur yang bersifat termofilik yaitu dapat tumbuh pada suhu tinggi
(Srikandi.F, 1989).
c. Kebutuhan Oksigen dan pH
Semua jamur bersifat aerobik yaitu membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya.
Kebanyakan jamur dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu pH 2-8,5 tetapi biasanya
pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah (Srikandi.F, 1989).
d. Substrat atau Media
Pada umumnya jamur dapat menggunakan berbagai komponen makanan dari yang
sederhana sampai kompleks. Kebanyakan jamur memproduksi enzim hidrolitik misalnya
amylase, pektinase, proteinase, dan lipase. Oleh karena itu dapat tumbuh pada makanan
yang mengandung pati, protein, pectin, dan lipid (Srikandi.F, 1989).
e. Komponen Penghambat
Beberapa jamur mengeluarkan komponen yang dapat menghambar organisme lainnya.
Komponen ini disebut antibiotik. Beberapa komponen lain bersifat mikostatik yaitu
penghambat pertumbuhan jamur atau fungisidal yang membunuh jamur. Pertumbuhan jamur
biasanya berjalan lambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan bakteri dan khamir. Jika
kondisi pertumbuhan memungkinkan semua mikroorganisme untuk tumbuh, jamur biasanya
kalah dalam kompetisi dengan khamir dan bakteri. Tetapi sesekali jamur dapat mulai
tumbuh, pertumbuhan yang ditandai dengan pertumbuhan miselium dapat berlangsung
dengan cepat (Srikandi.F, 1989).
Fermentasi yang digunakan adalah fermentasi padat. Mikroorganisme yang tumbuh
melalui sistem fermentasi padat berada pada kondisi pertumbuhan di bawah habitat alaminya,
mikroorganisme tersebut dapat menghasilkan enzim dan metabolisme yang lebih efisien
dibandingkan dengan sistem fermentasi cair. Sistem fermentasi padat memiliki lebih banyak
manfaat dibandingkan dengan sistem fermentasi cair, diantaranya tingkat produktivitasnya
tinggi, tekniknya sederhana, biaya investasi rendah, kebutuhan energi rendah, jumlah air yang
dibuang sedikit, recovery produknya lebih baik, dan busa yang terbentuk sedikit. Sistem
fermentasi padat ini dilaporkan lebih cocok digunakan di negara-negara berkembang. Manfaat
lain dari sistem fermentasi padat adalah murah dan substratnya mudah didapat, seperti produk
pertanian dan industri makanan (Tanyildizi dkk, 2007).
Enzim yang dihasilkan melalui proses sistem fermentasi padat baik yang belum
dimurnikan atau yang dimurnikan secara parsial dapat diaplikasikan di industri (seperti pektinase
digunakan untuk klarifikasi jus buah, alpha amilase untuk sakarifikasi pati). Murahnya harga
residu pertanian dan agro-industri merupakan salah satu sumber yang kaya akan energi yang
dapat digunakan sebagai substrat dalam sistem fermentasi padat. Fakta menunjukkan bahwa
residu ini merupakan salah satu reservoir campuran karbon terbaik yang ada di alam. Dalam
sistem fermentasi padat, substrat padat tidak hanya menyediakan nutrien bagi kultur tetapi juga
sebagai tempat penyimpanan air untuk sel mikroba (Tanyildizi dkk, 2007).
Untuk memproduksi enzim selulase menggunakan Aspergillus niger dengan substrat jerami
melalui proses sistem fermentasi padat dilakukan beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Penyiapan bahan baku
Sebelum digunakan sebagai medium fermentasi ampas tebu dicacah agar mendapat ukuran yang
homogen.
b. Penumbuhan
Inokulasi dilakukan dengan menumbuhkan organisme dalam Potato Dextrose Agar dan
diinkubasi dalam suhu ruang selama 5 hari (Harini dan Kumaresan, 2014).
c. Media penanaman
Ke dalam erlenmeyer ditambah larutan nutrisi (NaH2PO4 4,7%, CaCl2 0,1%, KH2PO4 1,02%,
MgCl2 0,02% dan urea 0,3% (b/v)). Kemudian dilakukan pengaturan pH menjadi pH 4.
Erlemeyer ditutup dengan kapas steril dan kertas, dilapisi dengan aluminium foil. Media
kemudian disterilkan menggunakan autoclave selama 15 menit pada suhu 121°C (Harini dan
Kumaresan, 2014 dengan modifikasi).
d. Produksi enzim
Media hasil sterilisasi didinginkan terlebih dahulu kemudian biakan Aspergillus niger
diambil dari media PDA (Potato Dextrose Agar) dengan menggunakan kawat ose dan
disuspensikan ke dalam medium fermentasi. Medium kemudian disebar secara merata pada
substrat bagasse tebu yang telah dicacah, selanjutnya dilakukan fermentasi selama 5 hari
pada suhu 30oC (Harini dan Kumaresan, 2014 dengan modifikasi substrat).
e. Pemanenan enzim
Pemanenan enzim dilakukan pada akhir fermentasi. Hasil fermentasi disaring dan filtrat
kemudian disentrifugasi pada 6000 rpm selama 20 menit, dan supernatannya digunakan
sebagai sumber enzim ekstraseluler (Harini dan Kumaresan, 2014).
f. Analisa protein
Konsentrasi protein dalam ekstrak ekstraseluler ditentukan dengan metode Lowry. Perbedaan
konsentrasi BSA (Bovine Serum Albumin) sebagai protein standar, direaksikan dengan
reagen Lowry dan absorbansi pada panjang gelombang 660 nm. Sebuah grafik standar diplot
antara konsentrasi protein di dan absorbansi pada 660 nm. Ekstrak direaksikan dengan reagen
Lowry dan absorbansi pada panjang gelombang 660 nm. Absorbansi ini dibandingkan
dengan grafik standar untuk mendapatkan konsentrasi protein dalam ekstrak ekstraseluler
(Protocol, 1994 dalam Harini dan Kumaresan, 2014).
g. Hidrolisis enzimatik
Ampas tebu dari hasil pretreatment ditimbang dan dimasukkan ke dalam beaker glass.
Selanjutnya ditambahkan larutan buffer sitrat pH 4.8 dan enzim. Selanjutnya, dimasukkan ke
dalam waterbath shaker selama 48 jam dengan suhu 50°C dan kecepatan pengadukan 75 rpm
(El-Zaher dkk., 2010). Sampel diambil setiap 6 jam selama 48 jam. Pada setiap pengambilan
sampel, pengadukan dihentikan untuk mengendapkan bubuk ampas tebu.
h. Pengukuran kadar glukosa
Analisis kadar glukosa dilakukan dengan metode DNS (Dinitrosalicylic acid) yaitu sampel
hasil hidrolisis enzimatik dimasukkan ke dalam tabung reaksi, selanjutnya ditambahkan
akuades dan reagen DNS. Tabung reaksi dipanaskan pada air mendidih selama 5 menit agar
terjadi reaksi antara glukosa dalam sampel dengan DNS. Tabung didinginkan hingga
mencapai suhu ruang, selanjutnya absorbansi sampel diukur pada panjang gelombang 540
nm dengan spektrofotometer (Harini dan Kumaresan, 2014).
Pada tahap sakarifikasi, selulosa diubah menjadi selobiosa dan selanjutnya menjadi gula-
gula sederhana seperti glukosa. Hidrolisis selulosa dapat dilakukan menggunakan larutan asam
atau secara enzimatis. Proses hidrolisis selulosa menggunakan asam encer dilakukan pada suhu
dan tekanan tinggi dalam waktu yang singkat, beberapa detik sampai beberapa menit, sehingga
memungkinkan untuk dilakukan secara kontinu. Proses hidrolisis selulosa menggunakan asam
pekat dilakukan pada suhu yang relatif rendah dan tekanan yang diperlukan hanyalah untuk
memompa bahan dari satu alat ke alat lain (Demirbas 2005).
Molekul selulosa ditandai dengan ikatan β-1,4-glukosida antara unit glukosa berurutan.
Ada tiga kelompok hidroksil reaktif di setiap unit glukosa. Asam dapat menyerang ikatan β-1,4-
glukosida selulosa dan menyebabkan degradasi. Reaksi berlangsung dalam tiga langkah.
Pertama, protonasi cepat dari atom oksigen glukosida, kedua, transfer muatan positif ke karbon
nomor satu menghasilkan kation karbonium siklik dan pembelahan hubungan glukosida, dan
akhirnya, penambahan air ke ion karbonium (Kräaaig, 1993). Menggunakan asam encer, selulosa
dapat terdegradasi menjadi glukosa, tapi hasil yang rendah karena encer asam tidak menembus
daerah kristalin selulosa.
Setelah ekstraksi lignin, fraksi padat yang tersisa dihidrolisis menggunakan HCl 0,5%
pada 100oC selama 5 jam dengan laju agitasi 60 rpm. (Aguilar et al., 2002). Kemudian hidrolisat
dipisahkan melalui filtrasi. Kemudian penentuan konsentrasi gula menggunakan HPLC. Efisiensi
katalis HCl dalam menghidrolisis bagase tebu dihitung menggunakan persamaan (modifikasi
Rodriguez-Chong et al., 2004):
E= Ƹs1+Ƹ 1
Dimana Ƹs merupakan total konsentrasi gula pada hidrolisat dan Ƹ1 merupakan total konsentrasi
inhibitor pada hidrolisat.
A. Fermentasi