empati

18
KONTRIBUSI EMPATI TERHADAP PERILAKU ALTRUISME PADA SISWA SISWI SMA NEGERI 1 SETU BEKASI AGUSTIN PUJIYANTI Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk menguji secara empiris kontribusi empati terhadap perilaku altruisme pada siswa siswi SMA negeri 1 Setu Bekasi. Variabel Independent dalam penelitian ini adalah empati, sedangkan variabel Dependent adalah altruisme. Penelitian ini melibatkan 70 orang siswa siswi SMA kelas 1 dan kelas 2 yang berusia antara 14 sampai dengan 17 tahun. Mereka diminta untuk mengisi skala empati dan skala altruisme. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan teknik regresi sederhana yaitu menganalisa kontribusi empati terhadap perilaku altruisme pada siswa siswi dengan menggunakan program SPSS versi 13,0 for windows. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai F sebesar 69,183 dan p = 0,000 dimana p < 0,05. Nilai R diperoleh sebesar 0,710 dan R square sebesar 0,504. Dengan demikian, dapat disimpulkan adanya kontribusi empati secara signifikan terhadap perilaku altruisme pada siswa siswi, dan empati memberikan kontribusi terhadap altruisme sebesar 50,4 %. Adapun 49,6 % altruisme kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya seperti suasana hati, menyakini keadilan dunia dan faktor sosiobiologis. Secara umum, empati dan perilaku altruisme pada subjek tergolong tinggi ke arah positif. Kata Kunci :Empati, Altruisme, Siswa siswi SMA PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Batasan usianya tidak ditentukan dengan jelas, tetapi kira-kira berawal dari usia 12 sampai akhir usia belasan, saat pertumbuhan fisik hampir lengkap (Atkinson dkk, 1993). Masa remaja tidak hanya ditandai dengan perubahan-perubahan fisik tetapi juga dengan timbulnya perubahan- perubahan psikis. Perubahan-perubahan psikis mengenai tiga hal, pertama perubahan emosional yaitu suatu masa dimana 1

description

empati

Transcript of empati

  • KONTRIBUSI EMPATI TERHADAP PERILAKU ALTRUISME PADA

    SISWA SISWI SMA NEGERI 1 SETU BEKASI

    AGUSTIN PUJIYANTI

    Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

    ABSTRAK

    Penelitian bertujuan untuk menguji secara empiris kontribusi empati terhadap perilaku altruisme pada siswa siswi SMA negeri 1 Setu Bekasi. Variabel Independent dalam penelitian ini adalah empati, sedangkan variabel Dependent adalah altruisme. Penelitian ini melibatkan 70 orang siswa siswi SMA kelas 1 dan kelas 2 yang berusia antara 14 sampai dengan 17 tahun. Mereka diminta untuk mengisi skala empati dan skala altruisme. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan teknik regresi sederhana yaitu menganalisa kontribusi empati terhadap perilaku altruisme pada siswa siswi dengan menggunakan program SPSS versi 13,0 for windows.

    Dari hasil perhitungan diperoleh nilai F sebesar 69,183 dan p = 0,000 dimana p < 0,05. Nilai R diperoleh sebesar 0,710 dan R square sebesar 0,504. Dengan demikian, dapat disimpulkan adanya kontribusi empati secara signifikan terhadap perilaku altruisme pada siswa siswi, dan empati memberikan kontribusi terhadap altruisme sebesar 50,4 %. Adapun 49,6 % altruisme kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya seperti suasana hati, menyakini keadilan dunia dan faktor sosiobiologis. Secara umum, empati dan perilaku altruisme pada subjek tergolong tinggi ke arah positif.

    Kata Kunci :Empati, Altruisme, Siswa siswi SMA

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang Masalah

    Masa remaja merupakan periode

    transisi antara masa kanak-kanak dan masa

    dewasa. Batasan usianya tidak ditentukan

    dengan jelas, tetapi kira-kira berawal dari

    usia 12 sampai akhir usia belasan, saat

    pertumbuhan fisik hampir lengkap

    (Atkinson dkk, 1993).

    Masa remaja tidak hanya ditandai

    dengan perubahan-perubahan fisik tetapi

    juga dengan timbulnya perubahan-

    perubahan psikis. Perubahan-perubahan

    psikis mengenai tiga hal, pertama perubahan

    emosional yaitu suatu masa dimana

    1

  • ketegangan emosi meninggi sebagai akibat

    dari perubahan fisik dan kelenjar, kedua

    keinginan dan kemampuan untuk berdiri

    sendiri tambah besar dan ketiga mulai

    merencanakan tujuan hidup yang ideal bagi

    dirinya ( Knys, 1986 ).

    Dengan meluasnya kesempatan

    untuk melibatkan diri dalam berbagai

    kegiatan sosial maka wawasan sosial

    semakin membaik pada remaja yang lebih

    besar. Sekarang remaja dapat menilai teman-

    temannya dengan lebih baik, sehingga

    penyesuaian diri dalam situasi sosial

    bertambah baik dan pertengkaran menjadi

    berkurang ( Hurlock, 1994 ).

    Menurut Erikson ( dalam Santrock,

    2003 ) selama masa remaja, individu

    melakukan pencarian identitas. Bila remaja

    dikecewakan dalam hal keyakinan moral dan

    keagamaan yang mereka peroleh selama

    masa kanak-kanak, mereka cenderung

    merasa kehilangan tujuan dan merasa hidup

    mereka kosong, setidaknya untuk sementara.

    Hal ini dapat membawa remaja ke usaha

    mencari ideologi yang akan memberikan

    tujuan dalam hidup mereka.

    Hoffman ( dalam Goleman, 2002 )

    melihat adanya proses alamiah empati sejak

    bayi dan masa-masa selanjutnya. Pada umur

    satu tahun, anak-anak merasakan sakit pada

    dirinya apabila melihat anak lain jatuh dan

    menangis, perasaannya sedemikian kuat dan

    mengikat sehingga ia menaruh ibu jarinya di

    mulut dan membenamkan kepalanya di

    pangkuan ibunya, seolah-olah ia sendiri

    terluka. Setelah tahun pertama, ketika bayi

    sudah lebih menyadari bahwa mereka

    berbeda dari orang lain, mereka secara aktif

    mencoba menghibur bayi lain yang

    menangis, misalnya dengan menawarkan

    boneka beruang miliknya. Pada awal usia

    dua tahun, anak-anak mulai memahami

    bahwa perasaan orang lain berbeda dengan

    perasaannya, sehingga mereka lebih peka

    terhadap isyarat-isyarat yang

    mengungkapkan perasaan orang lain.

    Pada akhir masa kanak-kanak,

    tingkat empati paling akhir muncul ketika

    anak-anak sudah sanggup memahami

    kesulitan yang ada dibalik situasi yang

    tampak dan menyadari bahwa situasi atau

    status seseorang dalam kehidupan dapat

    menjadi sumber beban stres kronis. Pada

    tahap ini, mereka dapat merasakan

    kesengsaraan suatu golongan, misalnya

    kaum miskin, kaum tertindas, mereka yang

    terkucil dari masyarakat. Pemahaman itu,

    dalam masa remaja dapat mendorong

    keyakinan moral yang berpusat pada

    kemauan untuk meringankan

    ketidakberuntungan dan ketidakadilan (

    Goleman, 2002 ).

    Perasaan positif, seperti empati

    memberikan kontribusi pada perkembangan

    moral remaja. Walaupun empati dianggap

    sebagai keadaan emosional, sering kali

    empati memiliki komponen kognitif yaitu

    kemampuan melihat keadaan psikologis

    dalam diri orang lain, atau yang disebut

    dengan mengambil perspektif orang lain.

    Pada usia 10 sampai 12 tahun, individu

    membentuk empati terhadap orang lain yang

    hidup dalam kondisi yang tidak

    menguntungkan contohnya orang miskin,

    2

  • orang cacat dan orang-orang yang

    dikucilkan. Kepekaan ini membantu anak-

    anak yang lebih tua untuk bertingkah laku

    altruistik dan pada akhirnya memunculkan

    rasa kemanusiaan pada perkembangan

    pandangan ideologis dan politik pada remaja

    ( Santrock, 2003 ).

    Menolong orang lain dan ditolong

    oleh orang lain jelas meningkatkan

    kesempatan bagi orang untuk dapat bertahan

    dan bereproduksi. Komponen afektif dari

    empati juga termasuk merasa simpatik tidak

    hanya merasakan penderitaan orang lain

    tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan

    mencoba melakukan sesuatu untuk

    meringankan penderitaan mereka misalnya,

    individu yang memiliki empati tinggi lebih

    termotivasi untuk menolong seseorang

    teman daripada mereka yang memiliki

    empati rendah. Komponen kognitif dari

    empati tampaknya merupakan kualitas unik

    manusia yang berkembang hanya setelah

    individu melewati masa bayi, kognisi yang

    relevan termasuk kemampuan untuk

    mempertimbangkan sudut pandang orang

    lain, kadang-kadang disebut sebagai

    mengambil perspektif ( perspective taking )

    yaitu mampu untuk menempatkan diri dalam

    posisi orang lain ( Schlenker & Britt dalam

    Baron & Byrne, 2005 ).

    Batson ( dalam Sarwono, 2002 )

    mengatakan bahwa egoisme dan simpati

    berfungsi bersama-sama dalam perilaku

    menolong dari segi egoisme, perilaku

    menolong dapat mengurangi ketegangan diri

    sendiri, sedangkan dari segi simpati,

    perilaku menolong itu dapat mengurangi

    penderitaan orang lain. Gabungan dari

    keduanya dapat menjadi empati, yaitu ikut

    merasakan penderitaan orang lain sebagai

    penderitaannya sendiri.

    Adanya empati memungkinkan

    seseorang dapat memotivasi orang lain

    sehingga dapat bekerja dengan baik. Setiap

    orang dapat meningkatkan kepekaan

    perasaan sehingga memiliki tenggang rasa

    yang tinggi, yakni dengan membayangkan

    suatu keadaan dilihat dari sudut pandang

    orang lain. Dengan jalan demikian orang

    akan menjadi lebih peka terhadap reaksi

    orang lain, dapat merasakan apa yang

    dirasakan oleh orang lain, akibat selanjutnya

    orang tersebut dapat lebih memahami orang

    lain dan dapat memotivasinya untuk

    melakukan yang terbaik ( Zuchdi, 2003 ).

    Hurlock ( 1988 ) mengemukakan

    empati adalah kemampuan untuk

    menempatkan diri sendiri dalam keadaan

    psikologis orang lain dan untuk melihat

    suatu situasi dari sudut pandang orang lain.

    Johnson dkk (dalam Sari dkk, 2003)

    mengemukakan bahwa empati adalah

    kecenderungan untuk memahami kondisi

    atau keadaan pikiran orang lain. Seorang

    yang empati digambarkan sebagai seorang

    yang toleran yang mampu mengendalikan

    diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta

    bersifat humanistik.

    Menurut Batson ( dalam Saraswati,

    2008 ) dengan empati yaitu pengalaman

    menempatkan diri pada keadaan emosi

    orang lain seolah-olah mengalaminya

    sendiri. Empati inilah yang menurut Batson

    akan mendorong orang untuk melakukan

    3

  • pertolongan altruistis. Untuk menguji

    pandangan altruistik dari perilaku menolong,

    Batson dkk ( dalam Baron dan Byrne, 2005 )

    merancang prosedur penelitian di mana

    individu meningkatkan empati bystander

    dengan menggambarkan dirinya sebagai

    salah satunya, mirip atau tidak mirip dengan

    korban. Bystander kemudian dihadapkan

    pada suatu kesempatan untuk menolong.

    Setiap mahasiswa partisipan penelitian

    diberikan peran sebagai observer yang

    melihat teman mahasiswa dalam monitor

    televisi ketika mahasiswa partisipan

    melakukan suatu tugas selagi ( kelihatannya

    ) menerima kejutan listrik secara acak.

    Teman mahasiswa ini sebenarnya asisten

    peneliti yang direkam pada video. Setelah

    tugas dilaksanakan, asisten itu berkata

    bahwa asisten kesakitan dan mengaku

    bahwa saat anak-anak dahulu mempunyai

    pengalaman traumatik dengan listrik.

    Asisten menyetujui untuk melanjutkan jika

    dibutuhkan tetapi peneliti bertanya apakah

    observer bersedia berganti tempat

    dengannya atau mereka harus menghentikan

    eksperimen tersebut. Ketika empati kurang

    (korban dan partisipan tidak mirip),

    partisipan memilih untuk mengakhiri

    eksperimen daripada terlibat dalam tingkah

    laku prososial yang menyakitkan. Ketika

    empati tinggi (korban dan partisipan mirip),

    partisipan setuju untuk menggantikan

    korban dan menerima kejutan listrik.

    Tampak bahwa tindakan altruistik ini

    dimotivasi hanya oleh perasaan empatik

    untuk korban.

    Cialdini dkk ( dalam Baron &

    Byrne, 2005 ) menyetujui bahwa empati

    menimbulkan perilaku altruistik tetapi

    berpendapat bahwa ini hanya terjadi ketika

    partisipan mempersepsikan suatu tumpang

    tindih antara self dengan orang lain. Jika

    orang lain mempunyai tumpang tindih

    dengan dirinya maka sebagai akibatnya, hal

    ini menjadi bagian dari self concept di mana

    partisipan yang membantu sebenarnya

    sedang menolong dirinya sendiri.

    Altruisme adalah tindakan sukarela

    untuk menolong orang lain tanpa

    mengharapkan imbalan dalam bentuk

    apapun atau disebut juga sebagai tindakan

    tanpa pamrih ( Sears dalam Adi, 2007 ).

    Menurut Myers ( dalam Sarwono, 2002 )

    altruisme didefinisikan sebagai hasrat untuk

    menolong orang lain tanpa memikirkan

    kepentingan sendiri.

    Altruistic as behaviour,

    pemahamannya adalah menolong orang lain,

    membuat orang lain senang. Tetapi

    membuat orang lain senang didasari oleh

    dua faktor. Yang pertama bila individu tidak

    peduli siapa yang ditolong, darimana

    asalnya, individu hanya sekedar menolong

    saja. Hal ini muncul ketika individu melihat

    orang lain tidak nyaman, maka individu

    tersebut menolongnya, hal ini disebut

    eksosentris. Kedua adalah apabila individu

    yang menolong mendapatkan keuntungan

    dari individu yang ditolong, hal ini

    dinamakan endosentris (Pelokang, 2008).

    Walaupun remaja sering kali

    digambarkan sebagai seseorang yang

    egosentris dan egois atau mementingkan diri

    4

  • sendiri, tingkah laku altruisme pada remaja

    juga terhitung cukup banyak seperti remaja

    yang bekerja keras, remaja-remaja yang

    melakukan acara mencuci mobil, menjual

    kue, mengadakan konser mengumpulkan

    uang untuk orang-orang yang kelaparan dan

    menolong anak-anak yang menderita

    keterbelakangan mental dan ada pula remaja

    yang mengambil dan merawat kucing yang

    terluka ( Santrock, 2003 ).

    Perilaku menolong ini nantinya

    akan meningkatkan kesadaran pada diri si

    penolong ( White & Gerstain dalam

    Sarwono, 2002 ). Individu dengan kesadaran

    sosial yang tinggi dan rasa kemanuasiaan

    yang besar akan lebih mementingkan

    kepentingan orang lain, dan karenanya

    mereka akan menolong tanpa memikirkan

    kepentingan sendiri dan pertolongan yang

    diberikan pun cenderung ikhlas dan tanpa

    pamrih. Hal ini dilakukan dengan tulus dan

    ikhlas karena dapat memberikan kepuasan

    dan kesenangan psikologis tersendiri bagi si

    penolong.

    Timbal balik dan pertukaran

    merupakan bagian dari altruisme ( Brown

    dalam Santrock, 2003 ). Timbal balik dapat

    ditemukan pada seluruh manusia di muka

    bumi ini. Timbal balik mendorong remaja

    melakukan hal yang ingin orang lain juga

    melakukannya terhadap dirinya. Perasaan

    bersalah muncul bila remaja tidak

    memberikan balasan. Perasaan marah akan

    muncul bila orang lain yang tidak

    memberikan balasan. Tidak semua altruisme

    pada remaja dimotivasi oleh timbal balik

    dan pertukaran, tetapi interaksi dan

    hubungan antara dirinya sendiri dengan

    orang lain membantu individu memahami

    sifat dasar altruisme. Kondisi yang biasanya

    melibatkan altruisme oleh remaja adalah

    emosi empati atau simpati terhadap orang

    lain yang membutuhkan atau adanya

    hubungan yang dekat antara si pemberi dan

    si penerima ( Clark dkk dalam Santrock,

    2003 ). Altruisme muncul lebih sering di

    masa remaja daripada masa kanak-kanak,

    walaupun contoh-contoh seperti menyayangi

    orang lain dan menenangkan orang lain yang

    sedang merasa tertekan juga dapat muncul

    selama masa prasekolah ( eisenberg dalam

    Santrock, 2003 ).

    Cialdini dan Kenrick ( dalam Adi,

    2007 ) telah mengadakan penelitian tentang

    motivasi untuk menolong. Partisipan di bagi

    menjadi 2 kelompok, kelompok pertama

    anak usia 6-8 tahun dan kelompok kedua

    remaja berusia 15-18 tahun. Kedua

    kelompok mendapat perlakuan yang sama

    yaitu setengah dari partisipan diminta untuk

    berpikir tentang masa lalunya yang

    menyedihkan, sedangkan setengah yang lain

    memikirkan masa lalunya yang netral.

    Kedua kelompok diberi kesempatan untuk

    menolong orang lain yang tidak dikenal

    dengan memberikan beberapa kupon yang

    telah mereka menangkan dalam suatu

    permainan. Hasilnya anak yang dikondisikan

    dalam keadaan sedih tidak lebih termotivasi

    untuk menolong dibanding dalam keadaaan

    netral. Sebaliknya, remaja yang

    dikondisikan dalam keadaan sedih lebih

    termotivasi untuk menolong dibanding

    dalam keadaan netral.

    5

  • Banyak ahli perkembangan percaya

    bahwa baik perasaan positif, seperti empati,

    simpati, kekaguman dan harga diri maupun

    perasaan negatif seperti kemarahan,

    kekejaman, rasa malu dan rasa bersalah

    memberikan kontribusi pada perkembangan

    moral remaja ( Damon dalam Santrock,

    2003 ). Jika pengalaman emosi tersebut

    dirasakan secara kuat, emosi tersebut dapat

    menyebabkan remaja bertindak sesuai

    dengan standar akan mana yang benar dan

    salah. Emosi seperti empati, rasa malu, rasa

    bersalah, dan rasa cemas akan pelanggaran

    terhadap standar yang dilakukan oleh orang

    lain dapat ditemui di tahap awal

    perkembangan dan mengalami perubahan

    selama masa kanak-kanak dan remaja.

    Emosi seperti ini memberikan dasar yang

    alamiah bagi remaja untuk memperoleh

    nilai-nilai moral dan juga mengarahkan

    remaja terhadap peristiwa moral dan

    memotivasi remaja untuk lebih memberikan

    perhatian terhadap peristiwa tersebut. Emosi

    moral tidak terlepas dari suatu jalinan antara

    aspek kognitif dan sosial dalam

    perkembangan remaja. Jaringan perasaan,

    kognisi dan tingkah laku sosial juga dialami

    dalam altruisme yang merupakan salah satu

    aspek perkembangan moral remaja.

    Manusia pada dasarnya adalah

    makhluk sosial dan mampu berempati.

    Ketika orang-orang berinteraksi satu sama

    lain dalam hubungan sosial, mereka selalu

    prososial, biasanya menolong, dan sering

    sekali altruistik ( Fiske dalam Wangmuba,

    2009 )

    Berdasarkan uraian diatas maka

    peneliti tertarik untuk menguji kontribusi

    empati terhadap perilaku altruisme pada

    remaja maka penelitian ini mengambil judul

    kontribusi empati terhadap perilaku

    altruisme pada siswa siswi SMA Negeri 1

    Setu Bekasi.

    Tujuan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini adalah

    untuk menguji kontribusi empati terhadap

    perilaku altruisme pada siswa siswi SMA

    Negeri 1 Setu Bekasi.

    Manfaat Penelitian

    a. Manfaat Teoritis

    Hasil penelitian menunjukkan

    bahwa terdapat kontribusi empati secara

    signifikan terhadap altruisme pada siswa

    siswi sebesar 50,4 %. Maka penelitian ini

    diharapkan dapat memperkaya khasanah

    ilmu pengetahuan khususnya dibidang

    ilmu psikologi, khususnya psikologi

    perkembangan dan sosial dengan cara

    memberi tambahan data empiris yang

    sudah teruji secara ilmiah.

    b. Manfaat Praktis

    Hasil penelitian yang menunjukkan

    bahwa empati yang tinggi dapat

    menyebabkan altruisme dan sebaliknya.

    Diharapkan dapat memberikan manfaat

    serta masukan kepada siswa SMA

    tentang pentingnya pengembangan

    empati yang tinggi dan juga diharapkan

    masyarakat dapat memahami tentang

    pentingnya empati yang dapat

    mempengaruhi altruisme disertai

    kesadaran untuk

    mengimplementasikannya dalam

    6

  • kehidupan sehari-hari agar dapat

    bermuara pada terciptanya hubungan

    sosial yang lebih manusiawi.

    TINJAUAN PUSTAKA

    Empati

    Empati adalah kemampuan untuk

    menempatkan diri sendiri dalam keadaan

    psikologis orang lain dan untuk melihat

    suatu situasi dari sudut pandang orang lain (

    Hurlock, 1988 ).

    Stein ( dalam Ibrahim, 2003 )

    mengatakan empati adalah menyelaraskan

    diri ( peka ) terhadap apa, bagaimana dan

    latar belakang perasaan dan pikiran orang

    lain sebagaimana orang tersebut merasakan

    dan memikirkannya.

    Titchener ( dalam Goleman, 2002 )

    menyatakan bahwa empati berasal dari

    semacam peniruan secara fisik atas beban

    orang lain, yang kemudian menimbulkan

    perasaan yang serupa dalam diri seseorang.

    Johnson ( dalam Sari dkk, 2003 )

    mengemukakan bahwa empati adalah

    kecenderungan untuk memahami kondisi

    atau keadaan pikiran orang lain. Seseorang

    yang berempati digambarkan sebagai

    seorang yang toleran, mampu

    mengendalikan diri, ramah, mempunyai

    pengaruh serta bersifat humanistik.

    Merasakan empati berarti bereaksi

    terhadap perasaan orang lain dengan respon

    emosional yang sama dengan respon orang

    lain tersebut (Damon dalam Santrock, 2003).

    Batson dan Coke ( dalam Sari dkk,

    2003 ) mendefinisikan empati sebagai suatu

    keadaan emosional yang dimiliki oleh

    seseorang yang sesuai dengan apa yang

    dirasakan oleh orang lain

    Berdasarkan definisi tersebut

    diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

    empati adalah suatu keadaan emosional yang

    dimiliki oleh seseorang untuk memahami

    kondisi, perasaan atau keadaan pikiran orang

    lain, sehingga dapat merasakan sebagaimana

    yang dirasakan dan dipikirkan orang lain.

    Komponen Empati

    Menurut Mayroff (dalam Zuchdi, 2003),

    empati terdiri atas perpaduan tiga

    komponen, yakni:

    a. Pemahaman terhadap orang lain dengan

    sensitif dan tepat, namun tetap menjaga

    keterpisahan dari orang lain tersebut.

    b. Pemahaman keadaan yang mendorong

    munculnya perasaan tersebut.

    c. Cara berkomunikasi dengan orang lain

    yang membuat orang lain merasa

    diterima dan dipahami.

    Altruisme

    Altruisme dapat didefinisikan

    sebagai hasrat untuk menolong orang lain

    tanpa memikirkan kepentingan sendiri

    (Myers dalam Sarwono, 2002). Altruisme

    adalah minat yang tidak mementingkan diri

    sendiri untuk menolong orang lain

    (Santrock, 2003).

    Altruisme adalah tindakan sukarela

    yang dilakukan seseorang atau sekelompok

    orang untuk menolong orang lain tanpa

    mengharapkan imbalan apapun, kecuali

    telah memberikan suatu kebaikan ( Sears

    dkk dalam Riyanti & Prabowo, 1998 ).

    Menurut Macaulay dan Berkowitz

    (dalam Schroeder, 1995) altruisme adalah

    7

  • pertolongan yang diberikan seseorang

    kepada orang lain tanpa mengharapkan

    rewards dari sumber-sumber luar.

    Altruisme merupakan perilaku yang

    dikendalikan oleh perasaan bertanggung

    jawab terhadap orang lain, misalnya

    menolong dan berbagi (Kail & Cavanough,

    2000 ).

    Berdasarkan definisi yang

    dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa

    altruisme adalah tindakan sukarela yang

    dilakukan seseorang untuk menolong orang

    lain tanpa mengharapkan rewards atau

    imbalan.

    Komponen Perilaku Altruisme

    Menurut Einsberg dan Mussen

    (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) hal-

    hal yang termasuk dalam komponen

    altruisme adalah sebagai berikut:

    a. Sharing ( memberi )

    Individu yang sering berperilaku altruis

    biasanya sering memberikan sesuatu

    bantuan kepada orang lain yang lebih

    membutuhkan dari pada dirinya.

    b. Cooperative ( kerja sama )

    Individu yang memiliki sifat altruis lebih

    senang melakukan suatu pekerjaan secara

    bersama-sama, karena mereka berfikir

    dengan berkerja sama tersebut mereka

    dapat lebih bersosialisasi dengan sesama

    manusia dan dapat mempercepat

    pekerjaanya.

    c. Donating ( menyumbang )

    Individu yang memiliki sifat altruis

    senang memberikan sesuatu atau suatu

    bantuan kepada orang lain tanpa

    mengharapkan imbalan dari orang yang

    ditolongnya.

    d. Helping ( menolong )

    Individu yang memiliki sifat altruis

    senang membantu orang lain dan

    memberikan apa-apa yang berguna ketika

    orang lain dalam kesusahan karena hal

    tersebut dapat menimbulkan perasaan

    positif dalam diri si penolong.

    e. Honesty ( kejujuran )

    Individu yang memiliki sifat altruis

    memiliki suatu sikap yang lurus hati,

    tulus serta tidak curang, mereka

    mengutamakan nilai kejujuran dalam

    dirinya

    f. Generosity ( kedermawanan )

    Individu yang memiliki sifat altruis

    memiliki sikap dari orang yang suka

    beramal, suka memberi derma atau

    pemurah hati kepada orang lain yang

    membutuhkan pertolongannya tanpa

    mengharapkan imbalan apapun dari orang

    yang ditolongnya.

    g.Mempertimbangkan hak dan

    kesejahteraan orang lain

    Individu yang memiliki sifat altruis selalu

    berusaha untuk mempertimbangkan hak

    dan kesejahteraan orang lain, mereka

    selalu berusaha agar orang lain tidak

    mengalami kesusahan.

    Remaja

    Remaja adalah suatu masa

    peralihan antara akil balik ( puberty ) dan

    dewasa, suatu masa pancaroba dalam

    perkembangan fisik, kognitif ( cognitive )

    emosi dan sosial, juga merupakan suatu

    masa transisi dari masa kanak-kanak

    8

  • menjadi dewasa ( Tjokrohusada dalam

    Sampoerno dan Azwar, 1987 ).

    Masa remaja merupakan masa

    transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

    dewasa. Banyak perubahan-perubahan yang

    terjadi dalam masa remaja ini satu

    diantaranya adalah perubahan-perubahan

    fisik. Percepatan yang berlipat ganda dalam

    pertumbuhan fisik seperti tinggi badan,

    perubahan bentuk tubuh, perubahan suara

    dan sebagainya ( Prawiratirta dalam

    Gunarsa, 1983 ).

    Remaja adalah seorang yang pada

    jenjang waktu tertentu dalam tumbuh

    kembangnya antara anak dan tingkat

    dewasa. Remaja ini telah melewati masa

    anak sekolah dasar, tetapi belum sampai

    pada ambang pintu untuk memasuki alam

    kedewasaan ( Wirowidjojo dalam Sarwono,

    1984 ).

    Istilah masa remaja digunakan

    untuk menunjukkan masa peralihan dari

    ketergantungan dan perlindungan orang

    dewasa pada ketergantungan terhadap diri

    sendiri dan penentuan diri sendiri. Masa

    remaja ditandai dengan munculnya

    serangkaian perubahan fisiologis yang kritis,

    yang membawa individu pada kematangan

    fisik dan biologis ( Semiun, 2006 ).

    Masa remaja dimaksudkan sebagai

    periode transisi antara masa kanak-kanak

    dan masa dewasa batasan usianya tidak

    ditentukan dengan jelas, tetapi kira-kira

    berawal dari usia 12 sampai akhir usia

    belasan, saat pertumbuhan fisik hampir

    lengkap ( Atkinson dkk, 1993 ).

    Berdasarkan definisi yang

    dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa

    remaja adalah masa transisi dari masa

    kanak-kanak menuju masa dewasa,

    menunjukkan masa peralihan dari

    ketergantungan dan perlindungan orang

    dewasa pada ketergantungan terhadap diri

    sendiri dan penentuan diri sendiri.

    Kontribusi Empati Terhadap Perilaku

    Altruisme Pada Siswa Siswi SMA Negeri

    1 Setu Bekasi

    Menurut Erikson ( dalam Santrock,

    2003 ) selama masa remaja, individu

    melakukan pencarian identitas. Bila remaja

    dikecewakan dalam hal keyakinan moral dan

    keagamaan yang mereka peroleh selama

    masa kanak-kanak, mereka cenderung

    merasa kehilangan tujuan dan merasa hidup

    mereka kosong, setidaknya untuk sementara.

    Hal ini dapat membawa remaja ke usaha

    mencari ideologi yang akan memberikan

    tujuan dalam hidup mereka.

    Pada akhir masa kanak-kanak,

    tingkat empati paling akhir muncul ketika

    anak-anak sudah sanggup memahami

    kesulitan yang ada dibalik situasi yang

    tampak dan menyadari bahwa situasi atau

    status seseorang dalam kehidupan dapat

    menjadi sumber beban stres kronis. Pada

    tahap ini, mereka dapat merasakan

    kesengsaraan suatu golongan, misalnya

    kaum miskin, kaum tertindas, mereka yang

    terkucil dari masyarakat. Pemahaman itu,

    dalam masa remaja dapat mendorong

    keyakinan moral yang berpusat pada

    kemauan untuk meringankan

    9

  • ketidakberuntungan dan ketidakadilan (

    Goleman, 2002 ).

    Menurut Cialdini ( dalam Adi, 2007

    ) anak adalah individu yang berusia antara

    10-12 tahun, yang merupakan masa

    peralihan antara tahapan presosialization

    (tahap dimana anak tidak peduli pada orang

    lain, anak hanya akan menolong apabila

    diminta atau ditawari sesuatu agar mau

    melakukannya,tapi menolong itu tidak

    membawa dampak positif bagi anak), tahap

    awareness ( tahap dimana anak belajar

    bahwa anggota masyarakat di lingkungan

    tempat tinggal mereka saling membantu,

    mengakibatkan individu menjadi lebih

    sensitif terhadap norma sosial dan tingkah

    laku prososial ), dan tahap internalization

    (15-16 tahun). Pada tahap ini perilaku

    menolong bisa memberikan kepuasan secara

    intrinsik dan membuat orang merasa

    nyaman. Norma eksternal yang memotivasi

    menolong selama tahap kedua sudah

    diinternalisasi. Dan pada usia 10 sampai 12

    tahun ini juga individu membentuk empati

    terhadap orang lain yang hidup dalam

    kondisi yang tidak menguntungkan,

    contohnya orang miskin, orang cacat dan

    orang-orang yang dikucilkan ( Santrock,

    2003 ). Berdasarkan tahapan-tahapan dan

    pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan

    bahwa remaja memiliki kepekaan untuk

    bertingkah laku alturistik dan pada akhirnya

    memunculkan rasa kemanusiaan.

    Perasaan positif, seperti empati

    memberikan kontribusi pada perkembangan

    moral remaja. Merasakan empati berarti

    bereaksi terhadap perasaan orang lain

    dengan respon emosional yang sama dengan

    respon orang lain tersebut ( Damon dalam

    Santrock, 2003 ).

    Menurut Batson ( dalam Saraswati,

    2008 ) dengan empati (pengalaman

    menempatkan diri pada keadaan emosi

    orang lain seolah-olah mengalaminya

    sendiri). Empati inilah yang menurut Batson

    akan mendorong orang untuk melakukan

    pertolongan altruistis.

    Menurut Cialdini dkk ( dalam

    Baron & Byrne, 2005 ) menyetujui bahwa

    empati menimbulkan perilaku altruistik

    tetapi berpendapat bahwa ini hanya terjadi

    ketika partisipan mempersepsikan suatu

    tumpang tindih antara self dengan orang

    lain. Jika orang lain mempunyai tumpang

    tindih dengan dirinya maka sebagai

    akibatnya, hal ini menjadi bagian dari self

    concept dimana partisipan yang membantu

    sebenarnya sedang menolong dirinya

    sendiri. Peneliti-peneliti ini menunjukkan

    bukti bahwa tanpa adanya perasaan empati

    tidak mungkin meningkatkan pertolongan.

    Lain hal menurut Batson ( dalam

    Saraswati, 2008 ) orang yang empatik

    menolong orang lain karena rasanya

    menyenangkan untuk berbuat baik.

    Berdasarkan pada asumsi ini, Batson dkk

    (dalam Saraswati, 2008) mengajukan

    hipotesis empati-altruisme ( empathy-

    altruism hypothesis ). Mereka

    mengungkapkan bahwa setidaknya beberapa

    tingkah laku prososial hanya dimotivasi oleh

    keinginan tidak egois untuk menolong

    seseorang yang membutuhkan pertolongan

    (Batson & Olesan dalam Baron & Byrne,

    10

  • 2005). Motivasi menolong ini dapat menjadi

    sangat kuat sehingga individu yang memberi

    pertolongan bersedia terlibat dalam aktivitas

    yang tidak menyenangkan, berbahaya, dan

    bahkan mengancam nyawa ( Batson, Batson

    dkk dalam Baron & Byrne, 2005 ).

    Menurut Sears dkk ( 1994 ) rasa

    empatik hanya dapat dikurangi dengan

    membantu orang yang berada dalam

    kesulitan karena tujuan rasa empatik adalah

    meningkatkan kesejahteraan orang lain, jelas

    bahwa rasa empatik merupakan sumber

    altruistik ( bukan kepentingan diri ) perilaku

    membantu.

    Ada tiga alasan utama mengapa

    empati sangat berkaitan dengan altruisme (

    Arlitt & Humphrey dalam Schroeder, 1995 )

    yaitu: 1). Adanya hubungan yang sangat

    subtansial dan penting antara kemampuan

    untuk merasakan empati dan keinginan

    untuk terlibat dalam perilaku altruis, 2). Ada

    bagian spesifik pada otak manusia yang

    memberikan kemampuan manusia secara

    fisiologis dan neurologis untuk berempati

    dengan orang lain dan 3). Empati merupakan

    reaksi pada manusia yang dapat diobservasi

    sejak usia dini. Beberapa puluh tahun yang

    lalu para ahli sempat menemukan bahwa

    bayi berusia 4 tahun dapat menangis ketika

    mendengar bayi lain menangis.

    Banyak ahli perkembangan percaya

    bahwa baik perasaan positif, seperti empati,

    simpati, kekaguman dan harga diri maupun

    perasaan negatif seperti kemarahan,

    kekejaman, rasa malu dan rasa bersalah

    memberikan kontribusi pada perkembangan

    moral remaja ( Damon dalam Santrock,

    2003 ). Jika pengalaman emosi tersebut

    dirasakan secara kuat, emosi tersebut dapat

    menyebabkan remaja bertindak sesuai

    dengan standar akan mana yang benar dan

    salah. Emosi seperti empati, rasa malu, rasa

    bersalah, dan rasa cemas akan pelanggaran

    terhadap standar yang dilakukan oleh orang

    lain dapat ditemui di tahap awal

    perkembangan dan mengalami perubahan

    selama masa kanak-kanak dan remaja.

    Emosi seperti ini memberikan dasar yang

    alamiah bagi remaja untuk memperoleh

    nilai-nilai moral dan juga mengarahkan

    remaja terhadap peristiwa moral dan

    memotivasi remaja untuk lebih memberikan

    perhatian terhadap peristiwa tersebut. Emosi

    moral tidak terlepas dari suatu jalinan antara

    aspek kognitif dan sosial dalam

    perkembangan remaja. Jaringan perasaan,

    kognisi dan tingkah laku sosial juga dialami

    dalam altruisme yang merupakan salah satu

    aspek perkembangan moral remaja.

    Altruisme adalah tindakan sukarela

    untuk menolong orang lain tanpa

    mengharapkan imbalan dalam bentuk

    apapun atau disebut juga sebagai tindakan

    tanpa pamrih ( Sears dalam Adi, 2007 ).

    Timbal balik dan pertukaran

    merupakan bagian dari altruisme ( Brown

    dalam Santrock, 2003 ). Timbal balik dapat

    ditemukan pada seluruh manusia di muka

    bumi ini. Timbal balik mendorong remaja

    melakukan hal yang ingin orang lain juga

    melakukannya terhadap dirinya. Perasaan

    bersalah muncul bila remaja tidak

    memberikan balasan. Perasaan marah akan

    muncul bila orang lain yang tidak

    11

  • memberikan balasan. Tidak semua altruisme

    pada remaja dimotivasi oleh timbal balik

    dan pertukaran, tetapi interaksi dan

    hubungan antara dirinya sendiri dengan

    orang lain membantu individu memahami

    sifat dasar altruisme. Kondisi yang biasanya

    melibatkan altruisme oleh remaja adalah

    emosi empati atau simpati terhadap orang

    lain yang membutuhkan atau adanya

    hubungan yang dekat antara si pemberi dan

    si penerima ( Clark dkk dalam Santrock,

    2003 ). Altruisme muncul lebih sering di

    masa remaja daripada masa kanak-kanak,

    walaupun contoh-contoh seperti menyayangi

    orang lain dan menenangkan orang lain yang

    sedang merasa tertekan juga dapat muncul

    selama masa prasekolah ( eisenberg dalam

    Santrock, 2003 ).

    Perilaku menolong ini nantinya

    akan meningkatkan kesadaran pada diri si

    penolong ( White & Gerstain dalam

    Sarwono, 2002 ). Individu dengan kesadaran

    sosial yang tinggi dan rasa kemanusiaan

    yang besar akan lebih mementingkan

    kepentingan orang lain, dan karenanya

    mereka akan menolong tanpa memikirkan

    kepentingan sendiri dan pertolongan yang

    diberikan pun cenderung ikhlas dan tanpa

    pamrih. Hal ini dilakukan dengan tulus dan

    ikhlas karena dapat memberikan kepuasan

    dan kesenangan psikologis tersendiri bagi si

    penolong.

    Jadi dari penjelasan diatas, dapat

    diambil kesimpulan bahwa empati

    mempengaruhi kecenderungan perilaku

    altruisme.

    Hipotesis

    Berdasarkan tinjauan pustaka di

    atas, maka hipotesis yang diajukan dalam

    penelitian ini yaitu ada kontribusi empati

    terhadap perilaku altruisme pada siswa dan

    siswi SMA Negeri 1 Setu Bekasi.

    METODE PENELITIAN

    Penelitian ini menggunakan

    pendekatan kuantitatif yang bersifat

    hubungan, yaitu menghubungkan antara

    variabel satu dengan yang lain.

    Jumlah subjek dalam penelitian ini

    adalah 70 subjek. Karakteristik subjek yang

    dibutuhkan dalam penelitian ini adalah siswa siswi SMA Negeri Bekasi yang masih

    aktif, kelas 1 dan kelas 2 yang berusia 14-17

    tahun. Pengembilan sampel menggunakan

    teknik Purposive Sampling.

    Pada penelitian ini teknik

    pengumpulan data dilakukan dengan

    menggunakan teknik pengumpul data yaitu

    dengan angket atau kuesioner. Untuk

    variabel empati digunakan skala empati

    yang berbentuk skala Likert dan untuk

    variabel altruisme digunakan skala altruisme

    yang berbentuk skala Likert.

    Pengumpulan data yang digunakan

    mengukur empati yaitu dengan menggunkan

    Skala empati yang disusun berdasarkan

    komponen-komponen empati dari Mayroff (

    dalam Zuchdi, 2003 ), yaitu: pemahaman

    terhadap orang lain dengan sensitif dan tepat

    namun tetap menjaga keterpisahan dari

    orang lain tersebut, pemahaman keadaan

    yang mendorong munculnya perasaan

    tersebut, cara berkomunikasi dengan orang

    12

  • lain yang membuat orang lain merasa

    diterima dan dipahami. Sedangkan

    pengumpulan data yang digunakan untuk

    mengukur altruisme yaitu dengan

    menggunakan skala altruisme yang disusun

    berdasarkan komponen-komponen altruisme

    dari Einsberg & Mussen ( dalam Dayakisni

    & Hudaniah, 2003 ), yaitu: sharing (

    memberi ), cooperative ( kerja sama ),

    donating ( menyumbang ), helping (

    menolong ), honesty ( kejujuran ), generosity

    ( kedermawanan ), mempertimbangkan hak

    dan kesejahteraan orang lain.

    Uji validitas dalam penelitian ini

    adalah dengan cara mengkorelasikan skor

    tiap-tiap item dengan skor total dalam skala

    dan menggunakan analisis product moment

    dari pearson (Azwar, 2005) sedangkan Uji

    reliabilitas dalam penelitian ini adalah

    dengan menggunkan Teknik Alpha

    Cronbach (Azwar, 2005).

    Teknik analisis regresi sederhana

    yaitu untuk mengetahui kontribusi empati

    sebagai variabel Independent ( X ) terhadap

    altruisme siswa dan siswi sebagai variable

    Dependent ( Y ). Analisis ini dilakukan

    dengan bantuan program komputer SPSS

    Versi 13.0 for windows.

    HASIL PENELITIAN

    Penelitian ini dilaksanakan dengan

    mempersiapkan alat ukur yaitu penyusunan

    dan uji coba skala empati dan skala

    altruisme. Pada skala empati di persiapkan

    70 item pernyataan, terdiri dari 35 item

    favorabel dan 35 item Unfavorabel.

    Sedangkan skala altruisme dipersiapkan 66

    item pernyataan, terdiri dari 34 item

    favorabel dan 32 item Unfavorabel.

    Pengambilan data di SMA Negeri 1 Setu

    Bekasi dilakukan pada hari Sabtu tanggal 28

    Februari 2009, peneliti memberikan

    kuesioner kepada 70 subjek penelitian untuk

    pengambilan data.

    Uji Validitas dan Reliabilitas Skala

    Pada skala empati yang disusun

    dengan menggunakan Skala Likert, dari 70

    item yang digunakan, diperoleh 48 item

    yang valid, sementara 22 item yang lain

    dinyatakan gugur. Item valid memiliki nilai

    korelasi antara 0,302 0,653, sedangkan

    pada uji reliabilitas dilakukan dengan teknik

    Alpha Cronbach diperoleh dengan nilai

    alpha sebesar 0,925, pengujian validitas dan

    reliabilitas ini dilakukan dengan bantuan

    program SPSS for Windows versi. 13.0.

    Pada skala altruisme yang disusun dengan

    menggunakan Skala Likert, dari 66 item

    yang digunakan, diperoleh 62 item yang

    valid, sementara 4 item yang lain dinyatakan

    gugur. Item valid memiliki nilai korelasi

    antara 0,302 0,744, sedangkan pada uji

    reliabilitas dilakukan dengan teknik Alpha

    Cronbach diperoleh dengan nilai alpha

    sebesar 0,950, pengujian validitas dan

    reliabilitas ini dilakukan dengan bantuan

    program SPSS for Windows versi. 13.0

    Uji Normalitas

    Untuk uji Normalitas digunakan

    alat bantu program SPSS for Windows versi

    13.0 yaitu uji Kolmogorov-Smirnov untuk

    menguji normalitas sebaran skor.

    Berdasarkan pengujian normalitas

    pada variabel empati signifikansi sebesar

    13

  • 0,200 (p > 0,05) dan variabel altruisme

    mempunyai signifikansi sebesar 0,091 (p >

    0,05). Secara umum dikatakan bahwa

    distribusi skor empati dan distribusi skor

    altruisme pada sampel yang telah diambil

    adalah normal.

    Uji Linearitas dan Uji Hipotesis

    Untuk uji linearitas pada variabel empati dan altruisme menunjukkan hasil

    yang linear dengan F = 69,183 nilai

    signifikansinya sebesar 0,000 ( P < 0,05 ).

    Dengan demikian dapat dikatakan ada

    hubungan yang linear antara empati dengan

    altruisme pada siswa siswi SMA Negeri 1

    Setu Bekasi, sedangkan untuk uji hipotesis

    Berdasarkan analisis data yang dilakukan

    dengan menggunakan teknik analisi regresi

    sederhana pada program SPSS Ver. 13.0 for

    Windows diperoleh F= 69,183 dengan taraf

    signifikansi 0,00 dimana p < 0,05. Hal ini

    berarti terdapat kontribusi empati yang

    signifikan terhadap perilaku altruisme pada

    siswa siswi. Koefisien (R) yang diperoleh

    sebesar 0,710 dan diperoleh R Square

    sebesar 0,504 adapun besarnya kontribusi

    adalah 50,4 %. Dengan demikian hipotesis

    yang menyatakan bahwa terdapat kontribusi

    empati terhadap perilaku altruisme pada

    Siswa-Siswi SMA Negeri 1 Setu Bekasi

    dapat diterima.

    Pembahasan

    Penelitian ini bertujuan untuk

    mengetahui kontribusi empati terhadap

    altruisme pada siswa siswi SMA Negeri 1

    Setu Bekasi. Dari hasil penelitian diketahui

    bahwa terdapat kontribusi empati secara

    signifikan terhadap altruisme pada siswa

    siswi sebesar 50,4 %. Hasil penelitian ini

    menunjukkan bahwa empati berpengaruh

    terhadap altruisme. Hasil tersebut sesuai

    dengan pendapat Batson (dalam Saraswati,

    2008) yang mengatakan empati inilah yang

    akan mendorong orang untuk melakukan

    pertolongan altruistis karena dengan empati

    ( pengalaman menempatkan diri pada

    keadaan emosi orang lain seolah-olah

    mengalaminya sendiri ). Hal ini diperkuat

    oleh pendapat Cialdini dkk 1997 ( dalam

    Baron & Byrne, 2005 ) yang mengatakan

    empati menimbulkan perilaku altruistik

    tetapi berpendapat bahwa ini hanya terjadi

    ketika partisipan mempersepsikan suatu

    tumpang tindih antara self dengan orang

    lain. Jika orang lain mempunyai tumpang

    tindih dengan dirinya maka sebagai

    akibatnya, hal ini menjadi bagian dari self

    concept dimana partisipan yang membantu

    sebenarnya sedang menolong dirinya

    sendiri. Peneliti-peneliti ini menunjukkan

    bukti bahwa tanpa adanya perasaan empati

    tidak mungkin meningkatkan

    pertolongan.Dari hasil penelitian dapat

    ditarik kesimpulan empati memiliki

    pengaruh yang cukup besar terhadap

    altruisme meskipun demikian ada faktor-

    faktor lain yang juga memiliki pengaruh

    terhadap altruisme yaitu sebesar 49,6 %.

    Faktor-faktor tersebut diantara lain: suasana

    hati. Hal ini mungkin di karenakan jika

    suasana hati sedang enak, orang juga akan

    terdorong untuk memberikan pertolongan

    lebih banyak. Menyakini keadilan dunia

    juga mungkin mempengaruhi altruisme

    dikarenakan menyakini keadilan dunia yaitu

    14

  • keyakinan bahwa dalam jangka panjang

    yang salah akan dihukum dan yang baik

    akan dapat ganjaran. Menurut teori Melvin

    Lerner ( dalam Saraswati, 2008 ), orang

    yang keyakinannya kuat terhadap keadilan

    dunia akan termotivasi untuk mencoba

    memperbaiki keadaan ketika mereka melihat

    orang yang tidak bersalah menderita. Maka

    tanpa pikir panjang mereka segera bertindak

    memberi pertolongan jika ada orang yang

    kemalangan. Faktor sosiobiologis juga

    mungkin karena ada proses adaptasi dengan

    lingkungan terdekat, dalam hal ini orangtua.

    Selain itu, meskipun minimal, ada pula

    peran kontribusi unsur genetik.

    Dari hasil penelitian diatas dapat diketahui

    bahwa skor mean empirik empati sebesar

    151,77 lebih tinggi dari skor mean hipotetik

    yaitu 120, sedangkan skor mean empirik

    altruisme sebesar 194,49 lebih tinggi dari

    skor mean hipotetik yaitu 155. Maka

    diketahui secara umum subjek penelitian

    memiliki tingkat empati dan altruisme yang

    tinggi. Tingginya empati dan altruisme pada

    subjek mungkin dikarenakan subjek dapat

    merasakan kesengsaraan suatu golongan,

    misalnya kaum miskin, kaum tertindas atau

    mereka yang terkucil dari masyarakat dan

    dapat mendorong keyakinan moral remaja

    yang berpusat pada kemauan untuk

    meringankan ketidakberuntungan dan

    ketidakadilan. Seperti halnya yang dikatakan

    Goleman ( 2002 ) pada akhir masa kanak-

    kanak, tingkat empati paling akhir muncul

    ketika anak-anak sudah sanggup untuk

    memahami kesulitan yang ada dibalik situasi

    yang tampak dan menyadari bahwa situasi

    atau status seseorang dalam kehidupan dapat

    menjadi sumber beban stres kronis.

    Selain perbandingan mean empirik

    dan mean hipotetik diatas, peneliti juga akan

    menyajikan mean perbandingan berdasarkan

    perhitungan deskriptif berdasarkan usia

    dapat diketahui subjek yang berusia 16 dan

    17 tahun memiliki skor empati dan altruisme

    tertinggi. Hal ini mungkin berkaitan dengan

    masa perkembangan di tahap 4 ( 15 20

    tahun). Pada masa ini individu mulai

    menjadi matang secara emosional selama

    masa ini, sifat mementingkan diri diganti

    dengan minat pada orang lain. Nilai dan

    moral juga tampil pada perkembangan ini

    (Aristoteles dkk dalam Santrock, 2003).

    Berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa

    subjek perempuan memiliki skor empati dan

    altruisme lebih tinggi dibandingkan dengan

    subjek laki-laki. Menurut Trobst dkk 1994 (

    dalam Baron & Byrne, 2005 ) wanita

    mengekspresikan tingkat empati yang lebih

    tinggi daripada pria, hal ini disebabkan baik

    oleh perbedaan genetis atau perbedaan

    pengalaman sosialisasi. Menurut pandangan

    Miller 1986 (dalam Santrock, 2003)

    perempuan dalam hidupnya sebagian besar

    adalah berpatisipasi aktif pada

    perkembangan orang lain, perempuan sering

    mencoba berinteraksi dengan orang lain

    dengan maksud membantu perkembangan

    orang lain dalam berbagai dimensi secara

    emosional, intelektual dan sosial.

    Berdasarkan tingkat kelas sekolah subjek

    diketahui bahwa siswa kelas 2 memiliki skor

    empati dan altruisme yang tinggi daripada

    kelas 1. Hal ini mungkin berkaitan dengan

    15

  • usia siswa dimana kelas 2 rata-rata berumur

    15-17 tahun. Dimana diusia tersebut siswa

    berada dalam masa tahap internalization (

    15-16 tahun ) yaitu pada tahap ini perilaku

    menolong bisa memberikan kepuasan secara

    intrinsik dan membuat orang merasa nyaman

    (Cialdini dalam Adi, 2007). Menurut

    Aristoteles dkk ( dalam Santrock, 2003 )

    siswa juga berada dalam masa

    perkembangan di tahap 4 ( 15 20 tahun )

    yaitu pada masa ini individu mulai menjadi

    matang secara emosional, sifat

    mementingkan diri diganti dengan minat

    pada orang lain. Nilai dan moral juga tampil

    pada perkembangan ini.

    KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil analisis data dari

    penelitian yang telah dilakukan di SMA 1

    Setu Bekasi dapat ditarik kesimpulan bahwa

    terdapat kontribusi empati yang signifikan

    terhadap altruisme pada siswa siswi SMA

    Negeri 1 Setu Bekasi. Empati memberikan

    sumbangan terhadap altruisme sebesar 50,4

    % sedangkan sisanya sebesar 49,6 %

    kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor

    lain seperti: suasana hati, menyakini

    keadilan dunia dan faktor sosiobiologis.

    Secara umum, subjek dalam penelitian ini

    memiliki empati dan altruisme yang berada

    dalam kategori tinggi ke arah positif.

    Cenderung tingginya empati dan altruisme

    yang dimiliki subjek penelitian

    kemungkinan disebabkan subjek dapat

    merasakan kesengsaraan suatu golongan,

    misalnya kaum miskin, kaum tertindas atau

    mereka yang terkucil dari masyarakat dan

    dapat mendorong keyakinan moral remaja

    yang berpusat pada kemauan untuk

    meringankan ketidakberuntungan dan

    ketidakadilan. Seperti halnya yang dikatakan

    Goleman (2002) pada akhir masa kanak-

    kanak, tingkat empati paling akhir muncul

    ketika anak-anak sudah sanggup untuk

    memahami kesulitan yang ada dibalik situasi

    yang tampak dan menyadari bahwa situasi

    atau status seseorang dalam kehidupan dapat

    menjadi sumber beban stres kronis.

    Saran

    Berdasarkan hasil penelitian yang

    telah dilakukan, maka dapat dikemukakan

    saran-saran sebagai berikut:

    1. Saran untuk subjek penelitian Bagi para subjek penelitian, di sarankan

    untuk tetap mempertahankan empati dan

    altruisme yang dimiliki dan diharapkan

    untuk dapat diimplementasikan dalam

    kehidupan sehari-hari agar dapat

    bermuara pada terciptanya hubungan

    sosial yang lebih manusiawi.

    2. Saran untuk pihak sekolah Untuk meningkatkan perkembangan

    empati, salah satunya adalah peran dari

    sekolah. Bagi pihak sekolah khususnya

    para pengajar, disarankan untuk

    mengembangkan empati kepada siswa

    dengan mengembangkan program

    pendidikan karakter untuk mengajarkan

    anak-anak bersikap jujur, bertingkah

    laku baik, menghargai orang lain dan

    bertanggung jawab.

    3. Saran untuk penelitian lebih lanjut Dalam penelitian ini, peneliti hanya

    menggunakan 70 siswa dan hanya

    16

  • menggunakan salah satu SMA sebagai

    sampelnya karena keterbatasan waktu

    dan biaya. Maka diharapkan untuk

    peneliti selanjutnya agar dapat

    menambahkan jumlah sampel dari

    beberapa SMA yang akan diteliti.

    Sehingga diharapkan dengan banyaknya

    jumlah sampel yang akan diteliti akan

    lebih mempresentasikan dari

    karakteriktik empati pada remaja dan

    juga diharapkan bagi penelitian

    selanjutnya dalam melakukan penelitian

    ini untuk lebih memperhatikan dan

    mengkaji variabel-variabel lain yang

    berkaitan dengan empati, seperti

    hubungan empati dengan perilaku

    merokok di tempat umum.

    DAFTAR PUSTAKA

    Adi, W. (2007). Altruisme : helping without selfish. http://72.14.235.132/search?q=cache:3BfS0M1rcvgJ:psychemate.blogspot.com/2007/12/altruisme-helping-without selfish.html+kecenderungan+altruisme+remaja&hl=id&ct=clnk&cd=4&gl=id. 14 Desember 2008

    Anastasi, A & Urbina, S. ( 2003 ). Tes

    psikologi. Alih Bahasa: Hariono Robertus & Imam S. Jakarta: Indeks Gramedia Group

    Atkinson, R. L,. Atkinson, R. C., Smith, E.

    E. & Bem, D. J. ( 1993 ). Pengantar psikologi. Ahli Bahasa: Widjaja Kusuma. Batam: Interaksara

    Azwar, S. ( 2005 ). Tes prestasi: fungsi dan

    pengembangan pengukuran prestasi belajar. Jakarta: Pustaka Pelajar

    Baron & Byrne. ( 2005 ). Psikologi sosial. Alih Bahasa: Ratna Djuwita. Jakarta: Erlangga

    Dayakisni, T & Hudaniah. ( 2003 ).

    Psikologi sosial. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang

    Goleman, D. ( 2002 ). Emotional

    intelligence kecerdasan emosional mengapa EI lebih penting dari IQ. Alih Bahasa: T. Hermaya. Jakarta: Gramedia

    Gunarsa, S. D & Gunarsa,Yulia. S. D. (

    1983 ). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: PT. BPK. Gunung Mulia

    Hurlock, E. B. ( 1988 ). Perkembangan

    anak. Alih Bahasa Meitasari Tjandrarasa & Mulichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga

    Hurlock, E. B. ( 1994 ). Psikologi

    perkembangan: suatu pendidikan sepanjang rentang kehidupan. Alih Bahasa: Istiwidayanti & Soejarwo. Jakarta: Erlangga

    Ibrahim, Y. ( 2003 ). Menumbuhkan rasa

    empati pada anak-anak. Jurnal Ilmu Pendidikan. 1, 61-68

    Kail, V & John, C. ( 2000 ). Developmental

    psychology. USA: Thomson Learning

    Knys, P. ( 1986 ). Problem yang di hadapi

    muda mudi. Yogyakarta: Kanisius Mappiare, A. ( 1982 ). Psikologi remaja.

    Surabaya: Usaha Nasional

    Mustafa, A. J. (2003). Menumbuhkan empati. http://www.balipost.co.id/balipost cetak/ kell.html 26 Februari 2008

    Mutaddin. ( 2002 ). Mengembangkan

    keterampilan sosial. http://www.e-psikologi.com/remaja/060802.html 26 Februari 2008

    17

  • 18

    Pelokang, J. R. ( 2008 ). Altruisme tidak ada yang ambigu. http://72.14.235.104/search?q=cahce:GIMTCFGQr28J:dotadotkom.multiply.com/journal+altruisme+di+pemukiman+mewah&hl=id&ct=clnk&cd+2&gl=id 26 Februari 2008

    Rifai, M. S. S. ( 1984 ). Psikologi

    perkembangan remaja dari segi kehidupan sosial. Bandung: Bina Aksara

    Riyanti, B. P. D & Prabowo, H. ( 1998 ).

    Psikologi umum 2. Jakarta: Gunadarma

    Sampoerno, D & Azwar, A. ( 1987 ).

    Perkawinan dan kehamilan pada wanita muda usia. Jakarta: Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia

    Santrock, J. W. ( 2003 ). Adolescence

    perkembangan remaja. Alih Bahasa: Shinto B & Sherly S. Jakarta: Erlangga

    Sari, T. O. Ramdhani, N & Eliza, M. ( 2003

    ). Empati dan perilaku merokok di tempat umum. Jurnal Psikologi. 2, 81-90

    Saraswati, W. ( 2008 ). Altruisme, menolong

    tanpa pamrih. http://72.14.234.104/search?q=cahce:wVmNMUxxEAMJ:klipingut.wordpress.com/2008/01/04/altruisme-menolong-tanpa pamrih/+altruisme&hl=id&ct=clnk&cd=6&gl=id 26 Februari 2008

    Sarwono, S. W. ( 1984 ). Perkawinan

    remaja. Jakarta: PT. Sinar Agape Press

    Sarwono, S. W. ( 2002 ). Psikologi sosial

    individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka

    Schroeder, D. A., Penner L. A., Dovidio, J.

    F. & Piliavin, J. A. ( 1995 ). The psychology is kelping and altruism problems and puzzles. USA: Mc Graw Hill

    Sears, D. O., Freedman, J. L. & Peplau, L.

    A. ( 1994 ). Psikologi sosial. Alih Bahasa Michael Adryanto. Jakarta: Erlangga

    Semiun, Y. ( 2006 ). Kesehatan mental 1.

    Yogyakarta: Kanisius Tukan, T. B. ( 1994 ). Metoda pendidikan

    seks, perkawinan dan keluarga. Jakarta: Erlangga

    Verderber, K. S. & Verderber, R. F. ( 1977

    ). Interact: using interpersonal communication skills. California: Wadsworth Publishing Company.

    Wangmuba. ( 2009 ). Tingkah laku sosial. http://72.14.235.132/search?q=cache:loL4iahiDxEJ:wangmuba.com/2009/02/17/tingkahlakuprososial/+komponen+empati&cd=12&hl=id&ct=clnk&gl=id 18 Maret 2009

    Wiryanto. ( 2004 ). Pengantar ilmu komunikasi. Jakarta: Grasindo

    Zuchdi, D. ( 2003 ). Empati dan ketrampilan

    sosial. Jurnal Ilmiah Pendidikan. 1, 49-64.