Empat Elemen - Hermes 4 Charity

200

description

Sebuah bentuk solidaritas penulis-penulis muda terhadap bencana Merapi

Transcript of Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Page 1: Empat Elemen - Hermes 4 Charity
Page 2: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Hermes for Charity Vol. 2

E m p a t E l e m e nApi, Air, Tanah, Udara

The Hermes2010

2 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 3: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

3 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 4: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Empat ElemenApi, Air, Tanah, UdaraHermes for Charity Volume 2The Hermes © 2010

Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari isi buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari The Hermes

Penyunting: Jia Effendie dan Astrid Dewi ZulkarnainPewajah Isi: Jia EffendieIlustrasi cover: Lala Bohang

4 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 5: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

5 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 6: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

P ad a m ul a ny a a da la h … Pengantar Editor

Empedocles , seorang filsuf Sicilia yang hidup di tahun 490-430 sebelum masehi mengatakan, bahwa ada empat elemen pembangun materi, yakni tanah, udara, api, dan air. Salah satu teori paling purba tentang ilmu Fisika. Zeus adalah api, Hera udara, Aidoneus tanah, sedangkan Nestis adalah air. Semua proses alam disebabkan oleh menyatu atau terpisahnya keempat elemen ini. Semua benda merupakan campuran air, tanah, udara, dan api dalam proporsi yang beragam. Perubahan terjadi karena keempat elemen itu saling berpisah atau saling mendekap. Kelahiran, kehidupan, dan kematian, dipengaruhi oleh campur tangan keempat elemen tersebut, saling berkonspirasi untuk mewujudkan keinginan kita, atau malah menjauhkannya.

Sementara itu, kekuatan yang menggerakkan perubahan itu adalah cinta dan perselisihan. Filia dan Strife (Neikos). Cinta mengikatkan segala sesuatu, menjaga semua tetap di tempatnya. Sementara perselisihan menjauhkannya. Filia yang mewadahi

6 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 7: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

air tetap tenang di ceruk samudra, dan strife yang menjadikan gelombang besar meloncat tinggi dan jatuh tidak di tempatnya – terdampar di tanah Mentawai. Filia yang menjadikan Merapi tetap tenang dan strife yang membuatnya terbatuk-batuk hingga menyemburkan dahak merah dan menghujani Yogyakarta dengan kelabu.

Setidaknya, itu yang saya pahami tentang tema Hermes for Charity kali ini. Bahwa alam, dan segala isinya, dibentuk oleh air, api, tanah, dan udara. Bahwa kita harus mencintainya, memeliharanya.

Para penulis dalam buku ini berkisah tentang keempat elemen tersebut. Tentang kepedihan yang disebabkan oleh bencana, tentang keharuan yang datang karena ketulusan, tentang harapan-harapan yang menyembul seperti kuncup bunga di antara perdu=perdu yang gersang, tentang … cinta yang berkonspirasi, dan strife yang terus menerus mencoba mencegahnya.

Empat elemen yang kami antarkan, semoga dapat memberikan perubahan. Tidak besar, memang. Tetapi, bukankah semua hal besar berawal dari hal kecil? Takkan ada samudra jika tak ada setetes air yang berkumpul saling mengikatkan senyawa. Kami berharap, empat elemen kami dapat membantu saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah di Mentawai dan Merapi.

Selamat menikmati, bersama secangkir kopi dan sepotong biskuit cokelat, atau sesuai selera.

Salam,

Jia Effendie

7 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 8: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Da f t a r I s i

Pada Mulanya Adalah 6

Demi Api Aku Mencintai 10

Karnaval 16

Malam Itu, Saya Tak Membawa Api 24

Buta 28

Gadis Api 32

Fluida dalam Kandang 34

Hujan dan Kedai Kopi 40

Negeri Salju Abu-abu 48

Elegi Buat Seruni 56

Laila : Perempuan Berkekasihkan Ombak 61

Majimu 64

Si Air Mungil 73

Partitur Musim 79

Selamat Pagi Jakarta! 88

8 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 9: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Tiket 91

Membingkai Kenangan 97

Semuanya Hilang Dengan Hal-hal Seperti Ini 104

Pesan 113

Air Mata 120

Jika Cinta Jangan Mati 128

Shunya 135

Cinta Sepasang Batu dari Masa Lalu 143

Rindu 145

Sebuah Kotak dan Masa Lalu 153

Tanah Airku 158

Jiwa Ezra 166

Phoenix Api dan Keabadian 172

Senyawa 187

Kumpulan Fiksi Mini 190

Profil Kontributor 193

9 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 10: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

D e m i A p i A ku M en c in t a iSuryawan Wahyu Prasetyo

eorang wanita bersimpuh di dalam sebuah kuil. Memberikan persembahannya pada arca dewa Agni di depannya. Dalam diamnya, dia berdoa kepada dewa api

pelindungnya. Wanita itu bernama Shinta.S

Empat belas tahun itu tidaklah sebentar. Kalau empat belas tahun merindu, pastilah rinduku sudah mengerak di dasar hati. Kalau empat belas tahun itu setia, masih layakkah untuk dipertanyakan? Sedangkan kini kesetiaanku telah berlumut, kesetiaanku telah berkarat. Ini bahkan sudah lebih dari empat belas tahun, dan aku masih tetap di sini, dalam setiaku. Hanya saja kini ku telah lelah. Untuk sekadar merindu pun, aku lelah.

Demi api yang menguatkanku dalam penantianku. Kuatkan aku untuk menghadapi hari ini. Saat mereka akan meninggalkanku. Saat mereka akan menemui takdirnya, untuk

10 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 11: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

mendapatkan haknya. Dua putra keturunan satria akan pulang ke Ayodhya.

Demi api yang selalu melindungi. Kumohon lindungi mereka dari segala prasangka seperti dulu saat kau selamatkan aku dari segala nista. Aku yang pernah mendendam dalam kecewa tak ingin terluka untuk kedua kalinya.

Dari luar kuil terdengar sebuah nyanyian. Sebuah kisah hidup. Dia turut menjadi lakonnya. Kisah putra raja yang harus menjalani pembuangan selama empat belas tahun di hutan bersama istri dan adiknya. Hingga suatu kemalangan menimpa, sang istri diculik oleh Rahwana sang raksasa. Perjalanan dan perjuangan putra raja untuk merebut kembali istrinya, dalam kisah Ramayana.

Air mata menetes dengan sendirinya. Keluar dari mata wanita itu. Teringat akan kisah masa lalunya. Diselesaikannya ritual persembahannya untuk dewa Agni, dewa api pelindungnya. Dari pintu kuil dilihatnya dua bocah laki-laki usia belasan sedang bersila bersama gurunya, seorang laki-laki tua bernama Resi Walmiki, pemilik pertapaan ini. Mereka menyenandungkan lagu Ramayana.

“Ibu…” dua bocah itu berseru, berlari menghampiri ibunya, meninggalkan laki-laki tua.

Lawa dan Kusa, nama kedua bocah laki-laki itu. Mereka terlahir sebagai anak kembar dari rahim Shinta. Sedangkan ayahnya seorang bernama Rama yang kini menjadi raja di kerajaan Ayodhya. Shinta sudah tahu apa yang ingin diutarakan

11 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 12: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

oleh kedua anaknya. Sudah jauh-jauh hari kedua anaknya memintanya untuk bersama-sama pulang ke Ayodhya. Tepat di saat ada upacara besar di sana. Aswamedha, upacara untuk mengorbankan kuda perang.

Namun sepertinya keputusan Shinta sudah bulat. Dia tak akan kembali menginjakkan kaki ke Ayodhya. Bukan karena dia tidak rindu. Shinta sangat rindu pada Ayodhya. Shinta rindu akan kehidupannya di istana. Terlalu lama dia hidup di pertapaan ini. Begitu pun kepada Sri Rama suaminya, Shinta sangat rindu. Namun rasa rindunya telah kini tenggelam oleh kepedihan dan kekecewaan, Ayodhya tidak menginginkannya.

“Ibu tetap pada pendirian semula, kita tak akan pergi ke Ayodhya,” ucapnya sebelum kedua anaknya sempat mengutarakan maksudnya.

“Tapi… apakah ibu tidak rindu pada Sri Rama?” Tanya Lawa.

“Sangat rindu….” jawabnya singkat.

“Lantas mengapa Ibu tak mau pulang ke Ayodhya? Kami ingin bertemu Sri Rama, ayah kami. Kami belum pernah melihatnya. Sejak bayi kami belum pernah merasakan belaian tangannya. Kini kami sudah remaja, kami ingin belajar berkuda, kami ingin belajar memanah bersamanya.”

Shinta sadar, kedua anak laki-lakinya memiliki hak untuk bertemu ayahnya. Keduanya berhak merasakan kehidupan istana.

12 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 13: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Kalian berdua pergilah. Ibu tetap di sini. Lantunkanlah kisah Ramayana yang dibuat Resi Walmiki kalau kalian bertemu dengan Sri Rama, dia akan tahu kalau kalian adalah putranya. Ibu akan tetap di sini, memintakan dewa Agni melindungi kalian agar selamat sampai Ayodhya dan bisa berjumpa dengan Sri Rama.”

Kedua bocah itu pun berpamitan padanya, meskipun dalam hati kecewa karena tak bisa membawa ibu mereka ikut serta. Mereka pergi untuk sebuah perjalanan panjang pertama dalam hidup mereka. Perjalanan menuju dunia luar yang kejam, dunia yang membuang mereka hingga mereka harus hidup dalam sebuah pengasingan. Perjalanan untuk mendapatkan hak mereka sebagai putra Sri Rama.

Sepeninggal kedua anak laki-lakinya Shinta kembali ke dalam kuil pemujaan. Bersimpuh di depan arca dewa Agni. Mencurahkan perasaannya.

Demi api asmara yang bergelora di dada. Sungguh, aku jatuh cinta padanya. Dada ini bergejolak, berdebar-debar saat dia datang bersama adiknya ke istana Mithila. Bukankah aku yang meminta agar dia diberi kekuatan untuk membentangkan busur panah Dewa Siwa. Agar dia memenangkan sayembara, membawaku ke Ayodhya menjadi pendamping hidupnya.

Aku sungguh mencintainya. Hingga aku rela menemaninya dalam pengasingan, meninggalkan segala kemewahan istana. Begitu pun rasa cintaku semakin besar saat

13 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 14: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

dia berusaha memenuhi permintaanku untuk mendapatkan kijang emas itu untukku.

Sungguh aku mencintainya, dulu. Namun kini, aku sendiri tak bisa meyakini apakah dia juga memiliki perasaan yang sama sepertiku. Kini aku sadar sedari awal ini hanyalah sebuah kesalahan.

Bukan cinta, bukan aku yang diinginkannya, melainkan hanya sebuah kemenangan di antara raja-raja dalam sayembara itu. Kemenangannya untuk medapatkanku sebagai miliknya, bukan sebagai cintanya.

Bahkan kini aku tak yakin apakah dia juga rela menyelamatkanku dari tawanan Rahwana karena cinta. Sekali lagi bukan karena cinta, semata-mata hanya karena ketakutan akan kekalahan, ketakutan akan kehilangan, ketidakrelaan jika sesuatu yang telah dimiliki direnggut orang lain.

Aku kecewa. Empat belas tahun aku menunggunya, namun ternyata bukan dia yang datang padaku, melainkan seekor kera putih yang akan menyelamatkanku dari penjara Alengka. Tentu aku menolak dibawa pergi kera itu. Dia sungguh tidak benar-benar mencintaiku.

Demi api yang menyelamatkanku dari nista. Empat belas tahun aku menjaga rasa. Empat belas tahun aku dalam setia. Tak pernah sehelai rambut pun tersentuh dan ternoda. Namun sepertinya itu tak cukup untuknya. Tumpukan kayu bakar, kobaran api yang menyala, untuk membuktikan aku suci baginya. Lantas apakah itu masih bisa disebut cinta?

14 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 15: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Demi api yang menyucikanku. Kobaran dan jilatanmu di kulitku tak cukup baginya meski kau telah membuktikan aku suci untuknya. Bahkan saat benihnya di dalam tubuhku. Saat kedua satriaku menjadi satu dalam rahimku. Dia lebih mendengarkan orang lain dibandingkan suaraku. Dia masih bertanya anak siapakah itu? Meragukanku. Mengusirku. Sungguh cintaku padanya benar-benar telah meluruh.

Demi api yang berkobar menghanguskan Alengka, istana Rahwana sang raksasa. Sungguh aku telah jatuh cinta padanya, laki-laki yang memperjuangkan cintanya untukku. Laki-laki yang rela menunggu. Dia tak pernah memaksaku, meskipun dia punya kuasa untuk itu. Sungguh aku mencintainya. Aku mencintai Rahwana yang telah mati di tangan Sri Rama.[]

15 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 16: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

K ar na va lJia Effendie

ukul tiga pagi saat kudengar ketukan di jendela. Awalnya kupikir aku sedang bermimpi, hingga kudengar ketukan itu semakin intens dan menuntut. Pelan-pelan, kusingkapkan selimut,

turun dari ranjang, mengambil tongkat karet yang kusembunyikan di bawah ranjang, lalu bersijingkat menuju jendela.

PKetukan itu berhenti. Aku ikut berhenti, namun tetap

waspada. Beberapa detik kemudian hening, hanya suara jarum jam yang berdetak, dan sisa-sisa tetes hujan dari talang. Tuk.Tuk.Tuk.Tuk. Ketukan itu lagi di jendela. Pelan, kuintip makhluk yang mengetuk dari balik jendela. Andai ibuku tahu, makhluk itu harus rela menerima amukannya karena telah menginjak taman bunga kesayangannya.

16 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 17: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Sssst…” ujarnya.

Siapa di luar? Aku bergumam, lebih pada diri sendiri.

“Ini aku. Ayo keluar,” bisiknya.

Kututup lagi tirai itu saat kukenali suara itu. Kemudian kusimpan tongkat yang tadi kuacungkan kembali ke pojok kamar dan berjalan tanpa suara menuju beranda. Saat aku membuka gerendel kunci ruang tamu, dia telah duduk di kursi plastik yang mulai mengelupas dan memudar warnanya karena terpapar cahaya matahari. Dia tersenyum padaku begitu tatapan kami bersiborok. Ah, betapa aku merindukannya.

“Ayo kita pergi,” katanya masih berupa bisik.

“Pergi?”

“Ke Karnaval.”

“Tapi… ini jam tiga pagi!” Protesku.

“Aku tahu. Ayo ambil jaketmu, kita pergi.”

Dia begitu terburu-buru hingga aku hanya sempat merenggutkan jaket dari gantungan di belakang pintu kamarku. Aku memakainya di atas piama yang tak sempat diganti. Ini malam yang dingin, hujan sehari penuh baru saja reda. Di atas, langit sedang dikuasai Dewi Hekate. Bulan mati. Ini bukan malam yang cocok untuk pergi ke karnaval. Angin yang berembus seperti jarum dingin yang mirip suara Hades memanggil-manggil manusia untuk tinggal di dunia bawah. Aku mengigil, merapatkan jaketku. Ini mengerikan, seolah-olah sewaktu-waktu akan datang sosok berjubah hitam dengan

17 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 18: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

kerudung menutupi wajah dan kepalanya, menenteng tombak berujung sabit.

“Karnavalnya di mana, sih? Emangnya masih ada jam segini?” tanyaku.

“Tenang saja. Percaya padaku. Aku akan menjagamu.”

Aku percaya kepadanya, tetapi tidak pada Nyx, sang Dewi Malam. Suasana ini begitu mencekam, seakan-akan sesuatu yang buruk akan datang.

“Nggak akan ada hal buruk yang terjadi padamu malam ini,” ujarnya membaca pikiranku. Tangannya yang sedingin es menggenggam tanganku. Kami berjalan beriringan menuju tempat karnaval, bergenggaman tangan.

Lapangan di pinggir danau itu sama gelapnya dengan keadaan di sekitarnya. Begitu sunyi, seperti tak pernah ada keriaan di malam sebelumnya. Tak ada pagar yang mengelilingi tempat itu, hanya pesisir danau dan air yang menampar-nampar daratan. Segalanya hitam, danau di sebelah lapangan itu seperti lubang hitam yang akan mengisapmu dan tidak akan mengembalikanmu lagi ke tanah. Kalau sepi begini, tempat itu terasa semakin mencekam.

“Mana karnavalnya?”

“Tunggu.”

Ia mengajakku mendekati sebuah kincir raksasa yang tampak rapuh. Tiang-tiang penopangnya yang berwarna-warni

18 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 19: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

tampak keropos, dengan noda karat menghiasi hampir setiap sentimeternya.

“Naik ini, yuk.” Dia mengatakan itu sambil membuka pengait pintu tube yang paling bawah. Warnanya oranye menyala. Benda itu tampaknya tidak berfungsi. Aku ragu sejenak, lalu mengikutinya. Ia mengelap bangku berceruk yang basah menampung air hujan, kemudian mempersilakanku duduk. Benda itu berkeriut saat harus menopang berat badanku. Aku gemetar.

“Tuan putri,” katanya sambil membungkuk.

Aku tertawa gugup.

Dia duduk di sebelahku dengan menggenggam erat tanganku. “Pejamkan matamu,” perintahnya.

Aku menurut. “Rasakan angin berembus di telingamu. Rasakan rambutmu berkibar. Rasakan kincir ini mulai berputar naik. Rasakan semua yang ingin kau rasakan. Keluarkan kepedihanmu. Resapi bahagiamu. Rasakan semua.”

Mataku terpejam, tetapi aku bisa merasakan kalau keadaan di sekelilingku tidak lagi gelap. Cahaya membanjir. Kuning dan hangat. Lalu musik mulai terdengar di telingaku. Musik karnaval, pasar malam. Warna warni. Para badut dengan bola-bola mereka, berjalan menyusuri gang-gang yang memisahkan berbagai arena permainan. Tertatih-tatih dengan kaki-kaki kayu mereka yang tinggi. Musik karnaval. Bisikan-bisikan mengerikan dari rumah hantu, deruman motor dari wahana roda gila, mesin-mesin permainan, teriakan gemas dan

19 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 20: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

riang anak-anak kecil. Pelahan kurasakan kincir berputar. Naik, naik. Aku membuka mata.

Semua yang ada dalam kepalaku menjelma dalam nyata. Karnaval ini begitu hidup dan ramai. Aku tertawa girang. Dia duduk di sebelahku, menggenggam erat tanganku. “Tuan putri, takkan ada hal buruk yang terjadi padamu.” Aku mencium pipinya.

Dari sunyi menuju keramaian yang drastis seperti ini membuatku pusing. Perutku bergolak. Guncangan kincir ini mulai terlalu cepat. Aku berpegangan pada lengannya, setengah mati meredam rasa takut. Tetapi aku senang. Aku berteriak, ingin mengalahkan kebisingan di karnaval.

Ia memelukku begitu kembali di tanah. Aku masih limbung. Ia tampak khawatir, tapi tersenyum begitu melihatku tertawa lebar, pipiku memerah karena ketegangan barusan.

“Ayo… kita naik yang lain lagi.” Setengah menyeret, aku membawanya menaiki wahana lain. Semua permainan itu begitu menegangkan memacu adrenalin. Tak butuh waktu lama, piamaku sudah banjir keringat. Aku membuka jaketku, tetapi dia melarangku dan menyuruhku tetap mengenakan jaket. “Nanti masuk angin,” katanya.

“Tapi aku gerah sekali,” keluhku.

“Kamu harus tetap memakai jaket itu.”

Aku cemberut, tapi menurut. Tanganku memeluk boneka beruang jelek berwarna merah jambu dengan bulu-bulu

20 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 21: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

yang kasar darinya. Tadi dia memenangkan boneka ini untukku. Dia membelikan arumanis berwarna biru dan hijau, membuat lidahku ikut-ikutan berwarna serupa. Kami duduk menyaksikan teater boneka yang bercerita tentang Sleeping Beauty dan Cinderella yang bertengkar memperebutkan Prince Charming mereka.

“Aku yang menikahinya lebih dulu!” Cinderella berkata sambil menarik Prince Charming.

“Kamu yang mencurinya waktu aku tidur!” Sleeping Beauty menarik Prince Charming dari dekapan Cinderella.

“Tukang tidur ngapain punya suami,” komentar Cinderella sambil memukul Sleeping Beauty.

“Halah pembantu juga pengen punya suami pangeran? Ha?”

Aku tertawa terbahak menyaksikan pertunjukan konyol itu. Semua dongeng kanak-kanak bercampur baur dalam drama yang absurd. Begitu lucu, tetapi berlebihan. Manis seperti arumanis; bervolume dan berongga seperti awan, tetapi menjadi padat begitu terkena udara.

“Saatnya pulang,” ujarnya.

Kembang api menari-nari di angkasa. Pasti pembuat kembang api itu sangatlah genius, karena di langit, pertunjukan mirip teater boneka tadi sedang berlangsung. Kembang api meniru sosok-sosok di tanah, bersinar terang, berwarna warni, meletus, meletup, menghilang.

21 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 22: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Ayo kita pulang,” ajaknya lagi.

“Sebentar,” kataku.

“Kita harus cepat pulang. Sebentar lagi fajar menyingsing.”

“Aku masih betah.”

“Aku tak bisa bertahan lebih lama lagi.”

“Aku masih kangen sama kamu.”

“Aku juga, tapi kita harus pulang. Kamu harus pulang, kembali tidur.”

“Aku nggak mau pulang, aku mau di sini sama kamu.” Aku terisak. Di timur matahari mulai menimbulkan warna terang pada langit seperti bendera sutra yang berkibar-kibar. Aku merengkuh tak mau melepasnya. “Jangan pergi.”

Ayam jantan mulai berkokok, aku merasa seperti Sangkuriang yang gagal membendung dan membuat perahu agar dapat menikahi Dayang Sumbi ibunya. Bandung Bandawasa yang tak kuasa membangunkan seribu candi untuk Loro Jonggrang. Harus sebesar apakah rasa cintaku agar ia tetap di sini bersamaku?

Perlahan, satu per satu wahana permainan itu menghilang ditelan kabut. Suara-suara diredam hingga tinggal sayup, kemudian hilang sama sekali. Aku mengetatkan pelukanku di tubuhnya.

“Jangan pergi,” aku memohon. “Jangan pergi, tolong jangan pergi.”

22 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 23: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Kincir raksasa lenyap.

“Kamu harus merelakanku pergi,” jawabnya.

“Kamu tidak boleh pergi,” rajukku, seolah dengan begitu dia akan mengurungkan niatnya dan tetap bersamaku.

Lalu aku memeluk udara yang kosong.

Kosong.

Begitu hampa hingga seolah separuh jiwaku direnggut paksa.

Aku menggapai-gapai mencari sesuatu yang bisa disentuh selain udara. Tetapi yang telah pergi tak akan kembali. Dirinya sudah menjadi entitas lain yang tak lagi dapat kuraih. Aku tak dapat menjaga kakiku tetap berdiri tegak, lalu jatuh bersimpuh, menghabiskan tangis terakhir.

“Jangan pergi,” bisikku tersedu.

Suara angin riuh bertingkahan dengan air yang berdesir melata-lata ke pantai.[]

Hang Lekir, 5/26/2009 7:23:48 AM

23 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 24: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Ma la m It u, S ay a T ak M e mb aw a A p i

Faizal Reza

aya melangkah keluar dari warnet antah berantah di kawasan Blok M. Waktu sudah hampir menunjukkan jam 11 malam. Mata saya sudah berat bukan main.

Sekaleng Nescafe Classic ternyata sudah tidak bisa lagi melawan rasa kantuk yang sudah mulai menyerang sejak satu jam yang lalu. Kalau bukan karena PC di rumah sedang error dan boss saya yang berengsek bukan main itu sudah mengancam deadline naskah harus masuk hari ini, pasti saya sudah pulang ke rumah sejak tadi.

S

“Mas, tuker lima puluh ribuan dong.” Kata suara itu tiba-tiba.

Saya terdiam, menoleh ke arah belakang, mencari asal suara itu, dan menatap gadis itu dengan takjub. Dia berambut

24 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 25: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

hitam panjang, matanya sipit, kulitnya putih mulus bak pualam. Tingginya semampai, dan dadanya padat berisi. Mengingatkan saya pada Manohara Odelia Pinot, model yang pernah mengalami kisah cinta sadomasokis dengan pangeran bangsat dari Kelantan itu.

“Mas, tuker lima puluh ribuan.” Ulangnya.

“Hai.” Jawab saya.

“Hai juga. Tukar lima puluh ribuan!”

Saya cepat-cepat membuka dompet, lalu mengeluarkan selembar dua puluh ribuan, dua lembar sepuluh ribu dan dua lembar pecahan lima ribu, kemudian menyerahkannya ke gadis itu.

“Terimakasih,” ujarnya cepat.

“Eh, sebentar.” Tukas saya.

“Kenapa? Saya kan sudah bilang terima kasih.”

Gadis menyebalkan.

“Kenalan dulu dong.”

“Aura.” Gadis itu mengulurkan tangannya yang ditumbuhi bulu halus.

“Adam,” balas saya. “Kok terburu-buru sekali? Mau ke mana?”

“Kamu dari warnet ya?” Dia balik bertanya.

“Yes.”

25 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 26: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Pasti download bokep!”

“No! Sudah bukan zamannya,” bantah saya tegas. “Kok kamu bisa menarik kesimpulan sepihak kayak gitu?”

“Feeling saja sih. Mas tampangnya mesum. Dari tadi juga mas nyuri-nyuri pandang ngeliatin dada saya,” jawabnya kalem.

Sumpah demi setan! Saya makin shock mendengar jawaban si bidadari malam ini.

“Punya korek nggak?” Lanjut gadis itu.“Nggak ada,” jawab saya cepat. “Saya nggak pernah bawa korek.”

“Mas perokok bukan? Bibirnya item gitu!” Tanyanya kemudian.

“!@#$%^&” dumal saya dalam hati.

“Kenapa nggak bawa korek?”

“Dalam rangka mengurangi rokok sih,” jawab saya.

“Maksudnya?” Dia kembali bertanya.

“Tidak membawa korek, itu salah satu tips untuk mengurangi rokok.”

“Sebenarnya ada cara yang lebih mudah.”

“Apa?” Tanya saya.

“Nyari pacar, dan dirokok sama pacar.”

26 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 27: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Apa perbuatan yang dibenci Tuhan dan dibenci setan?

Memperkosa anak setan!

Binatang apa yang paling haram?

Babi hamil, karena mengandung babi.

Kenapa Superman terbang?

Kalau di darat, Sopir Man!

Nah, tiga pertanyaan dan jawaban di atas menurut saya sama garingnya dengan lelucon yang dilontarkan gadis ini barusan. Untung gadis ini bisa dikategorikan dalam golongan cantik dan menggoda, jadi saya masih menahan diri untuk tidak cepat-cepat menyingkir karena kegaringan yang ditampilkannya di tengah malam buta ini.

“Bagaimana kalau nggak punya pacar?” Tanya saya.

“Sepertinya saya bisa jadi pacar sementara untuk malam ini.”

Akhirnya malam itu kantuk saya benar-benar hilang.[]

27 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 28: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Bu t aReza Hamdi & Dinni Rahmi

ear Aria, Mungkin ini surat terakhir untukmu. Sengaja aku menggunakan braile agar kau tahu bahwa aku buta sekarang. Tidak usah bertanya kenapa aku bisa

buta begini. Aku sengaja menusuk mataku sendiri dengan pisau. Tujuannya hanya satu. AGAR AKU TIDAK BISA MELIHAT WAJAHMU LAGI.

D

Sejujurnya, aku telah berlatih keras bahkan semenjak kali ketiga kedatanganku ke klinikmu. Kamu mau tahu untuk apa. Otak licik sepertimu seharusnya sudah dapat menebaknya sayang. Hah, belum tahu? SUPAYA AKU SIAP PADA SAAT AKU BUTA NANTI.

Aku pasti akan muntah ketika dihadapkan pada wajahmu yang rupawan itu. Sifat dan kelakuanmu sejalan dengan moral bejat lelaki pada umumnya. Dan dengan

28 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 29: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

polosnya, aku bisa-bisanya percaya pada serigala berbulu domba sepertimu.

Dasar dokter andal, itulah anggapanku tentangmu. Dan jarang sekali aku bisa mempunyai pemikiran sekonyol itu. Terutama untuk seorang laki-laki macam kamu. Lelaki iblis.

Kedatangan pertamaku padamu dulu bukan hanya untuk meminta belas kasih yang bahkan tidak kau punya. Tidakkah kamu ingat itu. Harapan hidupku hanya bergantung pada secarik kertas resep darimu, bodoh! Dan aku sudah bayar lunas semua. Terjualnya tubuhku harusnya kau anggap sebagai pembayaran yang sangat setimpal. Terutama karena digunakan untuk pelampisaan nafsumu yang sungguh luar biasa abnormal itu.

Aku terpaksa untuk memujamu sayang. Dan pemujaanku ternyata hanya membuatmu semakin pongah. Memperbesar altar ego keberengsekan sebagai laki-laki. Dengan gobloknya aku yang masih berpikiran polos dan tidak menaruh curiga. Bahkan saat kau memulai prosedural setan itu.

Kehadiranku hari itu sekiranya masih sama seperti sebelumnya. Seharusnya waktu konsultasi berobatku hanya 30 menit. Dimulai sejak pertama aku memasuki pintu sampai kamu selesai meraba payudaraku yang mulai menghitam. Tapi kenapa kunjungan kali ini bertambah hingga tiga kali lipatnya. Dulu kupikir itu kesalahanku yang terlelap akibat obat penahan rasa sakit itu. Kanker sialan. Dia membuatku kesakitan payah.

29 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 30: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Berengsek! Sekarang aku baru paham runtutan kejadian yang menimpaku setelah terlewat beberapa waktu. Karena jeda waktu tersebut mengantarkanku pada bukti konkrit yang tidak terbantahkan. Perubahan hormonal, naik turunnya psikis secara tidak biasa, rasa mual serta muntah di pagi hari. Kamu telah menghamiliku Aria.

Namun, aku bingung karena vaginaku tidak rusak dan kau hanya orgy untuk melampiaskan nafsumu padaku selama ini. Apakah orgy saja tidak cukup Aria. Atau, apakah proses penetrasi alat genitalmu sudah begitu tidak sempurnanya hingga kamu tidak ingin melakukan coitus.

Aku pasrah Aria begitu kau menghilang. Tapi, BERITA BAHWA AKU MENGALAMI PROSES INSEMINASI BUATAN OLEHMU SUNGGUH MENAMPARKU. KAMU SAMAKAN AKU SEPERTI HALNYA HEWAN TERNAK.

Benih yang kupelihara di rahimku ini, akan kubesarkan seperti anak demit. Dia harus merasakan amarah dan rasa benci dalam setiap helaan napasnya. dan itu semua ditujukan hanya padamu Aria.

Salam hangat untukmu sang jenius, Ariaku,

Tertanda

Fini Sekar Anjani

***

30 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 31: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

”Ibu!!” Aku melihat dia gelisah di depan perapian.

”Adikmu berkhayal lagi tentang Aria.” Beritahu ibuku sambil buru-buru merobek selembar surat dan membuangnya ke perapian dengan sisa api yang masih menyala.

Adik? Setahuku aku anak tunggal di sini, tanyaku dalam hati.[]

31 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 32: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Ga di s A piKsatria Cahaya

Gadis apiBara bara menggoda menghujam jantung apikuDalam tatap matamu, meriak nyala-nyala api kerinduanWahai kau sang gadis apiLelehkan aku dengan geloramuBakarlah aku dalam bara terpanasmuCumbulah, belailah aku dengan lidah apimuDalam riak euforia yang paling bisingMari kita berpagutan, mengetarkan jiwa duniaMerengkuh asa percikan bara-bara cintaLalu kau dan aku berdekapMencipta panas yang mengalahkan mentariMelebur tuntaskan dahaga rinduKau yang panas aku yang padat berpadu

32 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 33: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Merupa lelehan - lelehan merahBersama menerjang kerasnya fanaMengukir kisah di ranah leluhurMencipta sejarah tak terlupakanDalam tinta tinta merah siklus kehidupanWahai kau sang gadis apiSuratan takdir ini mempertemukan kitaKutunggu kau di pembaringan terakhirMelenggang bersama menuju gerbang keabadian.[]

33 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 34: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Fl ui d a d al a m K an da ngJodhi P. Giriarso

olehlah aku berbangga? Tanpaku manusia tidak ada dan bumi ini tidak akan hidup. Entah kapan aku terlahir. Orang-orang bijak berkata aku terlahir

bersama mendinginnya bumi ini. Entahlah. Akupun tidak terlalu peduli kapan atau bagaimana aku lahir. Yang penting aku bisa memberi arti dalam kehidupan ini.

B

Orang banyak menyangka aku terjun bebas dari langit. Padahal orang-orang pintar mengatakan langit bukanlah asalku, hanya tempat persinggahan. Ya, begitulah, ketika tubuhku begitu panas maka aku pun terbang melayang ke angkasa. Tidak sendirian tentunya. Makin lama makin banyak temanku yang ikut terbang bersamaku. Makin panas makin mereka mengikutiku. Alhasil, langit jadi penuh. Kami berdesak-desakan. Anehnya, tidak seperti manusia yang berdesakan di

34 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 35: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

terminal atau stasiun saat lebaran tiba, aku dan teman-temanku malah mendingin. Dingin sedingin-dinginnya, nyaris membeku. Kami menggumpal, menghitam.

Saat berat itulah kami berjatuhan. Bila dicermati manusia bisa meramalkan kami jatuh. Suhu udara terus menurun satu derajat dalam kisaran waktu yang cepat. Saat kami tiba di bumi, kami berpencar. Ada yang tertampung dalam cekungan, ada yang masih berjalan-jalan menyusuri lereng, ada yang bergabung kembali bersama keluarga besar. Aku sendiri memilih menyelusup sedalam-dalamnya di bawah permukaan. Aku masih tidak sendiri. dalam perjalanan di kepadatan hitam ini, beberapa temanku tersedot oleh suatu makhluk yang menjalar di bawah permukaan. Mengerikan memang, tapi aku tahu teman-temanku itu tersedot untuk menghidupkan pepohonan di atas sana. Hidup memang butuh pengorbanan bukan? Tidak diragukan, hanya saja masalahnya siapa yang jadi korban.

Aku menyelusup dalam. Sepuluh kilometer aku menjelajah ke bawah permukaan. Tiba-tiba sapuan panas terasa begitu menggetarkan sendi-sendi ikatan molekulku dan membuat dua mahkota di atas kepala ini ingin menemukan tempat bersandar. Panasnya setara panas matahari, bahkan mungkin suhu ini lebih tinggi ketimbang suhu matahari yang sampai di bumi. Suhu ini berasal dari dalam bumi. Aku tak yakin seperti apa bentuk panas yang mengomporiku ini, yang pasti aku sangat gerah.

35 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 36: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Sekali lagi aku merasa ringan. Aku terbang lagi, tapi keadaannya beda. Kini saat aku naik aku harus menumbuk, berdesakan, menyikut sampai-sampai menyelusup persis pengerat yang masuk ke dalam lubang sempit. Kemudian sampailah aku di suatu ruangan yang cukup besar. Ternyata aku tidak sendiri. Banyak teman-temanku di sini. Beberapa kutanya, sudah lama mereka ada di sini, melayang-layang tak tentu arah, terperangkap di sini, entah sampai kapan. Ruang ini begitu panasnya sampai aku tak punya waktu untuk beristirahat. Ketika tubuh kami memanas, kami naik. Sampai di atas, kami agak jauh dari sumber panas kemudian mendingin, lalu turun lagi karena berat.

Lama berlalu …

Saat bosan menunggu aku menyesal kenapa jatuh di atas permukaan dan malah memilih masuk ke dalam tanah. Kenapa aku tidak tersedot oleh makhluk berambut kasar di dalam tanah, setidaknya aku bisa menghidupkan pepohonan, bila beruntung muncul di tepi daun dan menghirup kembali udara segar. Sekarang apa gunaku bagi kehidupan? Tak ada… hanya penyesalan dan menunggu waktu yang tak kunjung berhenti, mungkin takkan pernah.

Menunggu …

Suatu hari suara itu datang memekakkan. Aku sedang terpanaskan dan menuju atap yang tak bisa ditembus. Aku bersumpah atap ini tak bisa kutembus. Konon katanya para pendahuluku yang lebih panas, melebur atap, mengubahnya

36 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 37: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

sehingga menjadi tak tertembus. Tapi suara itu kini begitu dekat. Sangat dekat.

Memanfaatkan panas yang masih tinggi aku menyentuh atap. Agak lama aku bergelantungan. Tiba-tiba benda raksasa itu merusak atap. Senang bercampur panik kurasakan. Senang karena pada akhirnya ada jalan keluar, tapi panik karena aku tidak tahu benda apakah itu. Runcing-runcing berupa silinder yang bergigi, saling berputar ganas. Suaranya memekakkan, di dekatnya kini terasa dekat di ujung kematian. Walaupun sebenarnya kematian bagiku sangat mustahil. Sebenarnya sangat mungkin aku mati tapi seiring dengan matinya bumi. Aku lahir bersamanya, tentu akan mati bersamanya.

Ingin rasanya aku jatuh, tapi sepertinya panas dari bawah dan isapan dari atas membuatku tak mungkin menghindar dari maut ini. Aku terisap. Sangat kuat. Aku menggapai tepian tapi tak bisa. Sedotannya sangat kuat. kuat sekali. Terus menarikku ke atas. Sudah lama aku berharap bisa keluar dari ruangan biadab itu, tapi aku tak berharap begini caranya.

Aarrrgghhh … SIAL, aku tersedot makin kuat!

Aku melihat cahaya. Jauh di atas sana. Sangat kecil, tapi mulai membesar. Aku sangat yakin itulah langit bebas. Tapi tiba-tiba langit itu menghilang. Seorang manusia telah menutupnya. Tapi anehnya aku masih bergerak naik. Kini gelap kembali. Dengan cepat aku melalui saluran panjang berkelok-kelok. Tiba di sebuah ruangan berbaling-baling. Begitu banyak baling-balingnya. Tapi lagi-lagi aku tak sampai

37 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 38: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

ke ruangan itu. Sebelum mencapai ke sana aku tertahan, dibelokkan oleh suatu panel otomatis.

Berdasarkan cerita, memang tak banyak makhluk sepertiku yang bisa sampai ke sana. Saat kembali menyusuri lorong yang dingin, aku mendapat cerita. Cerita tentang kebiadaban manusia lagi. Sebenarnya bukan kami yang mereka butuhkan, tapi panas yang kami bawa yang penting buat mereka. Kurang ajar betul mereka itu!

Jadi sebenarnya panas yang kami bawa dipisahkan dari tubuh kami. Pantas saja setelah melewati panel otomatis ini aku merasa tubuhku menjadi berat lagi, rupanya panasku hilang. Hilang dicuri manusia tak berhati-nurani itu! Panas itu –lanjut cerita– diambil untuk memutar baling-baling yang kulihat dulu. Baling-baling itu akan menghasilkan tenaga untuk menyalakan sebuah alat. Dan alat itu akan menghasilkan percikan bunga api. Dan melalui sulur-sulur tembaga yang terbungkus, bunga-bunga api berloncatan, saling berkejaran, berbalap menuju rumah-rumah manusia, menyalakan bola-bola kaca atau tabung-tabung putih mereka.

Aku tak pernah bisa melihat langit lagi, tak bisa terbang lagi ke sana karena aku terus berada di sini. Berputar-putar dari ruangan biadab di bawah permukaan, lalu melalui saluran masuk menuju panel otomatis, kembali ke saluran dan ke ruangan biadab itu. Berkali-kali aku melihat baling-baling itu, sedikit berharap suatu hari aku bisa lolos ke sana dan melihat apa yang terjadi sebenarnya. Tapi sampai saat ini aku hanya berputar-putar. Agak melegakan karena kutahu dengan panas

38 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 39: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

yang kubawa, manusia bisa hidup. Apalagi di suatu negara yang duduk di garis khatulistiwa, berkat panas yang kubawa mereka tak pernah lagi merasakan kegelapan di malam hari. Sudah kubilang sejak awal, hidup itu butuh pengorbanan, masalahnya hanya siapa yang dikorbankan![]

39 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 40: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

H u j a n da n K ed ai K o p iSiska Ayu Soraya

ovember masih tetap setia. Masih tetap hujan. Masih tetap menyembunyikan matahari pagi di balik selimut. November yang sama, seperti tahun lalu, dua tahun lalu, atau pun tiga tahun

lalu. November yang tidak pernah ingkar, tidak sepertimu.N

***

Hujan dan kedai kopi sepertinya memang ditakdirkan untuk berjodoh. Saat hujan yang sering menyapa di bulan November ini datang, kedai kopi adalah tempatku melarikan diri sejenak. Menunggu hujan reda dan menyeruput caramel macchiato hangat adalah sebuah ritual. Mengambil tempat duduk di pojokan, memandang melalui kaca bening kedai kopi yang memaparkan orang-orang lalu lalang di mall sambil

40 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 41: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

menenteng barang belanjaannya. Ini merupakan suatu hiburan, setidaknya sampai hujan berhenti.

Sebenarnya aku tidak suka kopi. Tapi entah mengapa romantisme hujan memaksaku untuk mendudukkan pantat di sofa empuk sebuah kedai kopi. Bahkan untuk sekadar sebagai meeting point bertemu kerabat, kedai kopi adalah tempat yang pas. Setidaknya terlihat elegan dan pantas untuk para makhluk metropolis ini. Meskipun risiko yang harus aku terima adalah berupa debaran yang kuat di dada akibat meminum kopi, tapi ya sudahlah. Yang penting gaya.

Aku juga tidak suka hujan sebenarnya. Kerap kali hujan membuatku kesal dan mengancam Tuhan. Bagaimana tidak, air yang tumpah dari langit sering membuyarkan rencana yang sudah disusun matang. Atau, sekadar membasahi kembali jemuranku di kost yang hampir kering. Juga membuat suasana hati ini menjadi ikut mendung seketika. Dan kota metropolis ini tentu saja bukan sahabat baik bagi hujan. Macet dan genangan air yang terjadi adalah muara dari hujan yang tumpah ruah seharian. Menyebalkan? Memang.

Tapi ini bulan November. Jadi terima sajalah. Maka di sini aku sore ini, perpaduan antara kopi hangat dan hujan lebat. Dan sebuah kenangan akan November kelabu setahun yang lalu.

***

Sayang, maaf. Tapi sepertinya hubungan kita memang tidak bisa dilanjutkan lagi.

41 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 42: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Sebuah sms. Di awal November tepat setahun yang lalu.

Sepertinya jantungku berhenti berdetak saat membaca kalimat pendek yang tertera di layar ponselku. Hmm? Apa-apaan? Dan detik berikutnya adalah aku yang limbung dan segera memencet nomer telepon orang yang aku sebut dengan kekasih itu. Tidak diangkat. Coba lagi. Tidak diangkat lagi. Coba lagi. Hingga aku tidak tahu mana air hujan dan mana air mata.

“Entahlah, sebulan belakangan aku merasa bahwa kecocokan diantara kita memudar.”

“Maksud kamu?”

“Yah, kita sering berseberangan saat bersama. Setiap kata selalu terbantahkan. Bahkan tanpa sadar kamu menyakitiku. Tanpa sadar aku melukaimu. Kita… berdiam dulu sejenak?”

Permintaan berdiam dulu sejenak itu aku setujui. Diiringi dengan doa dan harapan bahwa hubungan satu setengah tahun ini akan baik-baik saja. Ketidakcocokan? Apa maksudnya? Selama ini selalu terasa baik-baik saja. Mengapa tiba-tiba? Bukankah… ah, sudahlah.

Selama masa diam itu, ternyata aku tidak diam. Seperti pendekar, aku memperjuangkan cintaku kepada pria itu. Mengingat kembali masa-masa bersama, menyodorkan kembali kenangan indah, hingga memohon untuk kesalahan, yang sepertinya tidak pernah terjadi, untuk dimaafkan. Hasil akhirnya? Sebuah sms. Pemutusan hubungan.

42 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 43: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Sungguh kurang ajar.

***

“Silakan.”

Seorang pramusaji meletakkan caramel macchiato hangat yang kupesan. Lamunanku buyar. Segera aku menyambut kopi itu, mengaduknya sebentar, dan membaui aromanya. Sungguh menggoda memang. Tapi masih panas. Aku letakkan kembali di meja, dan menyandarkan kepalaku lagi di sofa empuk itu. Nanti saja, toh hujan sepertinya akan sangat lama bercengkerama dengan kota ini. Aku sedang tidak terburu-buru.

Aku kembali berpikir, hujan selalu membuatku terkenang akan hal yang telah lalu. Terkadang mencabik-cabik kantong air mataku yang memang kendur ini. Dan kopi, yang kuminum ini hanya sebagai bagian dari gaya hidup. Sebuah gaya, yang membuat jantungku berdebar-debar setelahnya, dan ikut meramaikan kenangan yang tertinggal. Ah, sial. Mungkin lain hal apabila aku duduk menunggu hujan reda sambil ditemani oleh seorang teman. Setidaknya perhatianku teralihkan dari kenangan melankolis. Hm yah baiklah. Aku meraih ponsel selular dari tas dan menghubungi seseorang. Barangkali dia juga butuh teman ngobrol?

***

Diputus oleh kekasih lewat sms, mungkin seperti dipecat oleh perusahaan lewat email? Entahlah. Yang jelas rasanya sangat pedih. Pertama, orang yang begitu kita cintai tidak ingin

43 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 44: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

lagi bersama kita. Kedua, apa saking tidak ingin bersama lagi, dia sampai tega hanya mengirimkan sebuah sms untuk mengakhiri semua? Shit happens. Begitu yang selalu kuucapkan berulang-ulang apabila ada yang terkejut mendengarnya.

“Artinya dia pengecut. Chicken!”

“Entahlah. Tapi kami akan bertemu lagi untuk membicarakannya.”

“Lho buat apa? Hei, kamu terlalu berharga untuknya. Jangan mengemis lagi.”

“Aku hanya ingin bertemu…terakhir kali.”

“Menuntaskan rasa penasaran?”

“Barangkali.”

Ditemani rintik gerimis. Disebuah restoran asing. Aku menemui kekasihku, akhirnya. Masih memanggilnya kekasih karena sepertinya masih sulit bagaimana bisa sebuah hubungan yang baik-baik saja bisa berakhir. Atau, apakah selama ini aku yang mengira baik-baik saja?

“Apa kamu tidak bisa mempertimbangkan lagi?”

Lelaki itu menggeleng. Mantap dengan keputusannya. Dan aku bergidik karena menyadari bahwa tidak diinginkan lagi.

“Apa ada perempuan lain?”

“Tidak.”

44 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 45: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Dan selanjutnya aku terbenam dalam kata ‘ketidakcocokan’ yang diumbar oleh lelaki yang rasa cintanya padaku sudah kadaluarsa itu. Dan November itu hujan turun lebih deras dibanding tahun-tahun sebelumnya. Seolah ikut menangisi hati yang patah.

***

“Melamun?”

Sebuah suara akrab mengejutkanku. Ah, akhirnya teman ngobrolku datang juga. Senyumku melebar menyambut hangat pria yang duduk di sebelahku ini. Tanpa sungkan dia meraih caramel macchiato milikku dan menyeruputnya. Seorang teman akrab.

“Menunggu hujan lagi?”

Aku mengangguk pelan. Buru-buru aku mengerjapkan mata agar tak terlihat butiran kristal yang hampir jatuh akibat kenangan yang kembali berpendar. Diusap-usapnya kepalaku seperti anak kecil. Ah, pria ini paling pintar membuatku tersipu-sipu.

“Sebenarnya apabila kamu hilang di balik hujan, akan sangat mudah menemukanmu. Pasti kedai kopi. Ya kan?” tanya pria ini menggodaku.

“Perpaduan cuaca dingin dan minuman hangat memang tidak pernah gagal menyeretku untuk mampir ke sini.” sahutku sekenanya sambil terkekeh.

“Tapi tidak untuk melamun bukan? Lagi mikirin apa?”

45 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 46: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Ennng… kerjaan.”

“Kerjaan? Kalau begitu aku cemburu pada kerjaanmu. Karena kamu selalu memikirkannya.”

Sebuah cubitan gemas mendarat di lengannya. Sungguh pria ini selalu bisa menghadirkan hangat yang lain, selain yang ditawarkan oleh caramel macchiato di kedai kopi ini. Tiba-tiba aku berpikir, kali lain saat hujan, mungkin perpaduan yang sangat pas adalah antara kopi hangat dan juga tawa hangat dari seorang teman. Yah, pasti.

Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan pamit. Dipastikan aku masih akan lama di kedai kopi ini. Dan tentu saja aku menahan pria hangat ini bersamaku sampai hujan mengering. Disela-sela obrolan dan tawa renyah kami, tiba-tiba dia bertanya,

“Masih teringat setahun yang lalu?”

“Jangan sok tahu.”

“Hahahaha yah, kamu kan sudah berjanji melupakannya. Sudah dimasukkan ke trash bag kan?”

Aku menggeleng. “Bukan, hujan yang menghapus jejaknya,” kataku tersenyum seraya menirukan lirik lagu sebuah band yang pernah terkenal dulu.

***

November masih tetap setia. Masih tetap hujan. Masih tetap menyembunyikan matahari pagi di balik selimut. November yang sama, seperti tahun lalu. Tapi rasanya aku

46 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 47: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

tidak perlu setia pada sebuah kenangan usang, kan? Yang mungkin telah terhapus oleh hujan.[]

47 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 48: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

N e g e r i S al j u A b u - ab uRana Wijaya Soemadi

eluruhnya abu. Atap, jalan, pepohonan. Bahkan di atas gedung kosong di lantai seratus delapan ini. Dengan teleskop yang terpasang di empat sudut bangunan, aku tak menemukan lagi warna lain selain

abu-abu. Kudengar sayup-sayup gemuruh. Sesekali getaran tanah menggoyangkan gedung dan seisi ruangan. Dinding-dinding runtuh. Isi lemari berjatuhan. Tapi setelah sekian ratus goncangan, kami menjadi biasa akan itu semua.

S

Sudah memasuki hari keempat belas sejak bencana terjadi. Dan kami ditugaskan untuk mencari keempat kunci elemen agar bisa meredam negeri Angkara di sayap utara bumi. Negeri itu masih meluapkan amarahnya melalui tentara-tentaranya. Dan tidak ada satu pun dari kami yang bisa melawan mereka secara fisik. Kecuali keempat kunci elemen,

48 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 49: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Banyu (air), Bara (api), Wiwin (udara), dan Bumi (tanah). Mereka semua terpencar ke beberapa pulau. Dan sampai hari ini kami masih terus mencarinya.

Sementara itu, di sini, seluruh elemen yang tak terkontrol telah berkumpul dan berhasil meluluhlantahkan seisi kota. Orang-orang berguguran. Hewan-hewan terpanggang. Dan aku hampir tidak bisa lagi menangis karena air mata hampir habis kami keluarkan setiap waktu.

“Divor, dicopy. Menuju titik dua untuk menjemput korban. Terdeteksi, Banyu terjebak di 8 kilometer dari pusat gempa.“

Suara yang berasal dari handy-talky seorang tentara meminta kami turun ke lapangan. Seluruh kru penyisir memasang masker ganda, sepatu bot, pelindung mata, dan tandu. Kami semua bersiap-siap melewati tumpukan salju abu-abu di kota mati di bawah sana. Kota tempatku dulu dilahirkan.

***

Waktu kecil aku memimpikan salju. Salju ada di setiap atap, tumbuhan dan bahkan mobil-mobil tetanggaku. Salju juga menempel pada jaket-jaket tebal dan syal dan topi orang-orang yang sedang berjalan di trotoar. Untuk meredam dinginnya salju, tak segan cerobong asap di setiap rumah mengepulkan kehangatannya di malam hari. Salju itu berwarna putih. Dan aku sesekali ingin menjadikan salju itu semacam es

49 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 50: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

krim dan lolipop. Tapi pasti tak ada yang membeli. Mereka mencari hangat. Bukan dingin sedingin salju.

Lalu aku akan melihat kerumunan keluarga bermain seluncur di atas kolam yang berbalut es. Kolam itu dulunya adalah air mancur. Dan pada musim menuju Desember, kolam itu akan membeku dan menjadi taman bermain yang seru. Aku tentu saja tak ketinggalan untuk mengikuti pesta di sebuah bar sudut kota. Mereka sedang merayakan kejayaan olahraga rugby dan aku ikut tertawa haha hihi untuk sekadar menikmati suasana. Bir dituangkan di gelas-gelas besar. Disebarkan diatas nampan-nampan. Disajikan hangat-hangat di hadapan para tamu. Bir, yang sejatinya hanya berisi campuran air panas, gula dan sepucuk daun teh.

Pada kenyataannya, aku lahir dan tumbuh di negeri dua musim. Meski cita-citaku tentang salju menggebu-gebu, aku masih bisa tertawa-tawa dengan duniaku di sini. Aku menikmati bermain egrang, lompat tali dan terjun di kali bersama kerbau perliharaan kakek. Sesekali dengan sandal jepit, aku berlari kesana-kemari mengejar putusnya layang-layang. Tak peduli di depanku ada simbok-simbok yang sedang kesusahan menggendong dagangannya (ah, nakalnya diriku), atau ibu-ibu mencuci bajunya di pinggir sungai, aku seruduk saja dan terus berlari sambil melihat langit. Melihat layangan. Melihat kemana ia jatuh dan akhirnya berada di genggamanku. Aku senang. Aku lalu pulang. Dan sampai rumah kakek menyemburku dengan permohonan.

50 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 51: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Howo panase koyok ngene mbok yo dicopot wae, syale, Nang. Koyok wong loro wae tho yo. Meh nyaingin simbah yo ?1”

Aku hanya tertawa tergelak. Seolah kata itu adalah hiburan untukku. Bahwa syal itu ternyata perwakilan salju yang belum juga enyah dari pikiranku.

“Divor, dicopy. Posisi diperjelas. Ganti.”

Bunyi handy-talky membuyarkan lamunanku. Butir-butir kerikil dan abu yang turun dari langit menggenapi salju abu-abu di kota ini. Ya. Salju. Tapi semuanya tak seperti impian. Semuanya bukanlah berwarna putih dingin beku. Mereka berwarna abu-abu. Warna debu, lumpur, bekas material negeri Angkara yang sampai saat ini belum usai meluapkan isi perut bumi. Di langit sana, pagi masih menerbitkan matahari. Tapi cahayanya tertutup mendung dan debu hingga mirip seperti malam.

“Evakuasikan dulu mereka. Aku tetap disini menjaga bukit.”

Bau belerang dan daging terbakar kental tercium di kanan kiri jalan. Tapak kami mengukir di setiap lorong-lorong yang tak mengepul. Empat puluh enam menit sudah kami menjelajahi kota mati. Hingga kemudian sampai juga ke tujuan dan membuat sang komandan terperangah. Seluruh tim menoleh bingung.

1 Cuaca panasnya seperti ini baiknya syalnya itu dilepas saja, Nak. Seperti orang sakit aja (kamu itu). Mau saingan sama Kakek ya?

51 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 52: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Apa katanya tadi?” tanya seseorang.

“Dia menyuruh kita kembali lagi.”

“Terus yang lain?” tanya seseorang lagi.

“Ikut kembali sama kita,” jelas orang yang sama.

“Dia?”

“Ya, di sini.”

“Ngapain?”

“Cari mati kali.”

“Banyu,” Sang komandan akhirnya berkata. “Kami semua di sini ditugaskan untuk menjemput dan menyelamatkan anda dari mara bahaya. Api negeri Angkara telah sampai ke kota ini dan meluluhlantahkan ribuan rumah dan bahkan makhluk hidup di luar sana. Negeri Angkara akan kembali dan terus akan mengirim prajurit tak kasat mata sampai waktu yang tidak bisa kami prediksi.”

“Maka dari itu dengarkan saja permintaanku.” sela Banyu. “Ajak mereka semua, termasuk rakyatku, untuk pergi dari sini. Sementara aku tetap akan tinggal di sini.”

“Tapi kami tidak bisa meninggalkan Anda, Banyu.” Sang Komandan bersikukuh.

“Dan saya pun tidak bisa melanggar perintah kerajaan Air untuk meninggalkan tempat ini begitu saja, Komandan.” Banyu berkata tegas. Rambutnya yang panjang menyerupai akar beringin terjuntai ke tanah.

52 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 53: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Anda bisa kembali lagi ke sini kalau ketiga elemen lainnya sudah berhasil kami temukan. Wilayah ini sudah tidak aman untuk Anda tinggali sekarang, Banyu.”

Banyu diam dalam keteguhannya. Tubuhnya tetap tegak berwibawa meski matanya sedikit meredup.

Sang Komandan menasehati Banyu selayak Banyu adalah teman baiknya. “Dengarkan kami, Banyu. Kekuatan Anda tidaklah sepadan dengan Negeri Angkara. Lebih baik Anda berpikir seribu kali lagi. Selamatkan dulu nyawa Anda.”

Kakekku kenal dengan Banyu. Banyu adalah tokoh yang menjaga wilayah Der dan sekitar dari gangguan pasukan Angkara. Usia Banyu telah ratusan tahun. Tapi dia tak angkuh untuk berkeliling dan menanyakan kabar para warganya. Banyu baik. Banyu berbudi pekerti. Banyu datang secepat dia pergi. Tapi orang-orang merasa dia telah sangat memperhatikan mereka. Dari usia muda hingga usia tua. Dari bocah paling kecil hingga aki-aki yang lebih tua dari kakekku.

Dan suatu hari, jauh sebelum kakekku tiada karena usia, kakek duduk di sebuah warung kopi mencicipi kopi hangat. Banyu datang entah dari arah mana, menyapa dan menyebut nama kakek dengan lancar. Lalu mereka berbincang. Tentang kebun. Tentang hasil panen. Tentang hama tikus yang mewabah dan lalu tentang aku, cucu yang paling disayangnya. Banyu tersenyum padaku. Setelah dia pergi, kakek lalu berbisik ke telingaku. Dengan bangga dia berkata,

53 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 54: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Banyu kuwi bukti pangabdi manungso marang manungso liyane, Nang.2”

Masa – masa itu. Masa tanah subur, hijau, senormal dunia menyambut pagi dan malam. Masa itu telah buyar. Aku kini berlari dari getaran gemuruh negeri Angkara yang kian terasa jelas mengguncang bumi lagi. Tangis bayi terdengar. Suara ibu menjerit histeris ketakutan. Para laki-laki membopong manula. Kalang kabut sekuat tenaga kami kembali ke titik aman. Dan seluruh negeri tahu, pagi itu, kami berperang melawan hidup dan mati.

***

Secangkir kopi hangat sudah di hadapan. Temanku membawakannya untukku. Aku memilih pergi sebentar. Kutuju kamar mandi. Di situ kubasuh seluruh muka dan tangan yang kotor terkena abu dan lumpur basah. Tak ada yang tersisa. Bukan hanya kota. Negeri itu kini telah bernuansa abu-abu. Dari atas pesawat warna hanya terdiri dari satu macam. Terkadang jeritan dan tangisan masih terlihat jelas di depan mata. Lalu mereka tak ada. Sebagian lenyap di tempat. Sebagian lain kesusahan bernapas saat kami bawa kesini. Dan lalu pergi mati.

Tangisku meledak di antara pintu dan wastafel. Diantara bunyi handy-talky dan radio yang samar-samar mengabarkan serentetan duka cita untuk komandan dan Banyu. Entahlah aku tak tahu. Negeriku telah berubah. Negeri salju abu-abu.

2 Banyu itu adalah bukti pengabdian (amanah) dari manusia ke manusia lainnya, Nak.

54 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 55: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Negeri serupa medan perang yang tak bisa kami perangi dengan raga. Bahkan seorang Banyu sekali pun.

Seorang teman merangkul pundak dan memelukku. Dia ikut menangis. Kami menangis bersama.

“Barak 1 kekurangan makanan dan air minum,” bisik kawanku kemudian. Dia mencoba bicara dengan suara parau di balik pelukan.

“Aku tahu.”

“Apa kita ke sana sekarang?”

Mataku terpejam, menahan pedih. “Sebentar lagi saja.”

Di luar pesawat ini, abu masih tampak giat menggenangi bumi. Dentum seperti meriam kadang-kadang membuat kami terjaga dari tidur yang tak lagi pernah lama. Entah sampai kapan berakhir. Mungkin suatu saat akan kucuri jawaban itu dari para dewa hingga akhirnya kami bisa kembali lagi menikmati pagi dan menghitung bintang tanpa perlu lagi menjerit sendu. []

Kotatua kedinginan, 12 November 2010

Dipersembahkan untuk teman-teman relawan, TNI, SAR, PMI dan korban bencana Wasior, Merapi, Mentawai.

55 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 56: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

E l eg i Bu a t S e r un iZeventina

eruni terduduk di pojok jalan. Rambutnya terurai menutupi sebagian wajah yang sarat air mata. Hujan deras tak dipedulikannya lagi, guntur yang menyambar tak dirasa, karena rasa kehilangan yang menggumpal di

dadanya begitu menyakitkan dan lebih hebat dari segalanya. Rerumputan basah menemani Seruni dengan bau khasnya. Cerita cinta yang manis baru saja berakhir. Pilu. Tidak terbayang hidup akan seperti apa tanpa kehangatan dan sinar kasih Elegi. Sebab Seruni sudah terbiasa dengan ritme Elegi.

S

Seruni masih terduduk di pojok jalan. Seorang anak berperut buncit akibat busung lapar menghampiri. Dua buah payung besar yang dibawanya tak seimbang dengan kurus kering tubuhnya.

56 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 57: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

"Payung, mbak?" Kata anak itu sambil menyodorkan payung di tangannya. Seruni menggeleng dan berusaha tersenyum.

"Kok nangis, napa mbak?" tanya anak itu lagi.

"Ga apa-apa. Mbak lagi rindu main hujan-hujanan."

"Kok main ujan-ujanan sambil nangis? Mbak pusing cari uang buat makan, ya?” Anak itu menatap Seruni dengan penuh rasa ingin tahu.

"Mbak bukan pusing karena ga punya uang, tetapi pusing karena kehilangan. Kamu sekolah di mana?" tanya Seruni.

"Ah, boro-boro sekolah mbak, mau makan aja susah!" jawab anak itu.

"Oh, jadi kamu ga sekolah?"

"Ga mbak. Makan aja kadang-kadang, kalo sering ujan ya makan, kalo ga ada ujan ya ga makan!" Hati Seruni mendadak iba. Ditatapnya anak itu lekat, lalu direngkuhnya tangan anak itu untuk duduk di sebelahnya.

"Sini, duduk sini, temani mbak ngobrol, ya?"

Anak itu duduk di samping kanan Seruni. Bau tanah basah menguap di udara.

"Nama kamu siapa?"

"Ujang, mbak."

"Rumah kamu di mana?"

"Blok BJ, mbak. Tuh, ujung sana, deket kok."

"Blok BJ? Memang ada blok BJ di sini?”

"Bawah jembatan, mbak."

57 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 58: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

"Oh… boleh mbak main ke rumah kamu?"

"Boleh mbak, yuk."

Seruni menggandeng tangan kasar Ujang. Mereka berjalan sepayung berdua. Hati Seruni miris melihat anak itu. Badannya kurus sampai tulang di dadanya terlihat, hanya perutnya saja yang membuncit karena busung lapar.

Anak itu membawa Seruni ke kolong jembatan.

"Eh Ujang, kita mau kemana?" Tanya Seruni panik. Jalanan begitu licin, medan yang sulit untuk sepatu hak tingginya.

"Katanya mau ke rumah saya. Rumah saya di sana," katanya sambil menunjuk gua kecil di kolong jembatan.

Bau jembatan itu membuat Seruni mau muntah. Tak sanggup rasanya meneruskan perjalanan ke sana. Tapi dikuatkan hatinya untuk bisa sampai. Dilepaskan sepatu hak tingginya. Seruni meneruskan perjalanan dengan kaki telanjang.

Rumah yang disebut rumah oleh Ujang, bukanlah rumah, tetapi hanya kumpulan kardus yang disusun menjorok ke gua kecil di bawah jembatan. Kompor minyak tanah dan dua piring serta beberapa koran yang tampak, tidak ada barang lain lagi.

"Orang tua kamu mana?" Tanya Seruni.

"Saya ga punya orang tua mbak. Bapak saya mati, ibu pergi ga tahu kemana sama oom-oom. Saya sendirian aja."

"Oh…" Seruni tercekat. Tadi dia sibuk menangisi kehilangan cintanya, sementara si Ujang yang begitu berat penderitaannya, lebih tabah. Dia malu. Banyak yang nasibnya lebih terpuruk, namun semangat hidupnya tetap bergelora,

58 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 59: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

sedang Seruni? Nasib sungguh berpihak padanya dari segi materi, hanya kehilangan cinta saja dadanya sesak dan sempat terlintas ingin menutup mata untuk selamanya. Ditariknya tangan Ujang, lalu dipeluknya erat.

"Ikut mbak aja, yuk? Tinggal di rumah mbak, diurus pembantu mbak, mau? Pembantu mbak ga punya anak, dia pasti senang kalau kamu mau jadi anaknya. nanti mbak sekolahkan, ya?"

"Ga mbak. Saya mau di sini aja!"

"Eh, kenapa kok ga mau? Kan enak, sekolah. Ada banyak teman, bisa baca tulis, kalau besar bisa kerja yang bagus, punya uang banyak."

"Ga mbak, saya hanya mau makan aja, saya ga butuh sekolah tapi butuh makan."

Seruni sedih. Dunia Ujang terlampau jauh untuk mengerti arti sekolah. Kehidupan yang berjalan terlalu keras untuknya.

"Ya sudah kalau ga mau, ini simpan kartu nama mbak, kalau kamu butuh apa-apa, telepon mbak ya? Mbak mau pulang dulu, takut dicari ayah." Seruni bangkit, mengeluarkan beberapa ratus ribu dari dompetnya, dan diberikan pada anak itu.

"Ini kamu simpan baik-baik. Uang ini coba kamu pakai usaha, Jualan teh kotak atau apa. Kamu harus pintar gunakan uang ini agar kamu bisa hidup lebih enak, ya?" Mata anak itu berbinar.

"Terimakasih, mbak. Mbak bukan manusia, mbak Ibu Peri," katanya. Seruni tertawa. Ini pertama kali dia tertawa setelah rasa sakit akibat kehilangan Elegi.

59 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 60: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

***

Dua bulan berlalu. Hanya kejadian sederhana, pertemuan dengan bocah itu, telah menjadikan hari Seruni lebih indah. Dia tak lagi menangisi keterpurukannya. Elegi, baginya adalah masa lalu.

Seruni menghubungi beberapa temannya. Dia mau membuat sekolah untuk anak-anak tidak mampu di kolong blok BJ. Temannya, yang rata-rata hidup berkecukupan, mau membantu dengan ikhlas.

Maka, dalam waktu tidak lama, terbentuklah sekolah BJ (Bawah Jembatan). Muridnya, para gelandangan, penjaja koran, dan pemungut puntung rokok. Para gurunya adalah sukarelawan yang rela mengajar di tengah keterbatasan waktu mereka.

Hidup Seruni, mendadak indah dan bergairah. Melihat pancaran sinar bahagia dari wajah anak-anak murid barunya, adalah kebahagiaan tersendiri.

Seruni tidak menyadari, Elegi tanpa sepengetahuannya, telah turut menyumbang dana untuk sekolah BJ itu, melalui Sisca, temannya. Elegi hanya menanti saat yang tepat saja untuk kembali menawarkan cinta pada Seruni yang kelembutan dan jiwa keibuannya memang tak tergantikan.[]

Cerpen singkat ini saya dedikasikan buat seluruh anak tak mampu di negara kita tercinta. Semoga ada yang tergerak hatinya untuk turut memikirkan nasib anak-anak yang tak beruntung itu.

Copyright April, 02nd, 2008 by Zeventina.

Hak cipta dilindungi oleh hati nurani.

60 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 61: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

L ai l a : P er e m p u an B e r k e k as i hk a n O mb ak

Asyharul Fityan Siregar

erempuan itu datang sore tadi. Saat matahari belum setinggi mata kaki. P

Dia berlari sambil sesekali melihat ke belakang. Seperti ketakutan ada orang lain yang mengejar. Jilbab merah mudanya berkibar melawan liuk angin yang bergerak. Sambil mengangkat sedikit rok panjangnya, ia berlari, entah dari apa atau dari siapa.

Kini ia terduduk di bibir pantai. Pandangannya jauh ke depan, ke lorong waktu yang bahkan tak akan membuat masalahnya usai. Ia menyelonjorkan kakinya. Ia rasakan setiap belaian ombak di tubuhnya. Ia pejamkan matanya lalu berbicara.

61 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 62: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

"Ombak, maukah kau menjadi kekasihku? Atau paling tidak cobalah dulu rasakan cintaku. Ajari aku bagaimana mencintai setulus hati. Bagaimana menghibahkan rasa, seluruhnya, hanya pada satu jiwa. Tanamkan padaku tentang cinta yang hanya tumbuh untuk satu tubuh.”

“Kemarin selingkuhan kekasihku datang. Ia mengetuk pintu rumahku malam-malam dan tidak mau pulang. Ia ingin didengar. Ia meminta aku melepaskan kekasihku. Ia memohon agar kekasihku, yang belakangan ini berkasih dengannya, dibebaskan dari ikatannya denganku. Agar kekasihku bisa menjadi kekasihnya. Ia juga bicara tentang cintaku. Katanya cintaku hanya karena harta kekasihku. Katanya cintaku hanya pada rupa kekasihku. Padahal, tahu apa dia tentang cintaku?”

“Tapi saat dia bertanya, Apakah cintaku sebesar cintanya? Apakah aku berdarah ketika kekasihku sedang terluka? Apakah aku benar-benar sibuk saat kekasihku sedang ingin makan malam berdua?

Dan sebegitu jauh, sampai aku tidak sadar, bukan hanya padaku, cinta kekasihku bersandar?”

“Aku ragu. Jujur aku ragu. Aku hanya bisa diam. Mungkin benar, cintaku tak sebesar cintanya. Bahkan dia yang hanya menjadi kadang-kadang, selalu tahu kapan saatnya kekasihku akan datang."

Ombak bergulung di kejauhan. Barisan panjang air yang menjulang, seolah mengangguk, mengiyakan. Matahari yang kini hanya semburat jingga di ujung bumi, menjadi perona

62 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 63: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

awan-awan yang tersenyum. Di senja hari ini, hari saat perempuan itu jatuh dan bangkit lagi.

"Akhirnya aku mengiyakan. Untuk melepaskan kekasihku dari ikatan. Bukan, bukan karena cintaku kalah besar. Hanya saja, aku yakin, hanya ada satu cinta untuk kekasihku. Mungkin cinta selingkuhannya, mungkin juga tidak. Tapi sepertinya, bukan aku atau cintaku."

Perempuan itu lalu berbaring. Ia pejamkan matanya. Ia biarkan tubuhnya dijamahi basah ombak kekasihnya.

Ia merasakan cinta. Yah, ia merasakan ada banyak cinta, sebanyak air laut yang kini memenuhi paru-parunya. Ia pasrah kepada kekasih barunya. Ia percaya akan dibawa ke tempat yang jauh lebih indah. Tempat dimana laut menyimpan cintanya. Di palung yang paling dalam.[]

63 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Koran Pagi1 Januari 2010

Laila (20), mahasiswi Universitas Pembangunan Internasional dinyatakan tewas setelah tubuhnya ditemukan tim SAR hanyut di wilayah Kepulauan Seribu. Diduga, motif bunuh diri adalah karena masalah percintaan.

Namun, kekasih Laila yang dimintai keterangan oleh polisi mengatakan, tidak ada masalah apa-apa antara dia dengan Laila. Semuanya baik-baik saja.Sampai berita ini diturunkan, polisi belum dapat menghubungi keluarga korban.

Page 64: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Ma j i m uMaria Sekundanti

asah. Lamat-lamat kurasakan dingin di sekujur tubuhku. Mulai dari kaki, punggung dan separuh wajahku. Aku menggigil. Air asin menyapu wajahku, menyumbat saluran pernapasan, sesaat

sebelum aku terbatuk dan beberapa teguk air pantai tertelan olehku lalu menyisakan kering di tenggorokan. Tertindih bongkahan kayu besar dalam keadaan telentang membuatku tak dapat menggerakkan tubuh kecuali tangan kananku. Kugenggam karang yang tak sengaja kuraih, lalu kuketuk pada bongkahan kayu dengan maksud membuat bebunyian dan berharap ada satu orang dari beberapa yang kurasakan berlarian di sekitarku, menemukan aku.

B

Ini bencana, pikirku sambil mengingat kejadian yang baru saja menimpa kami. Badai besar yang tak terduga

64 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 65: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

menghantam perkampungan kami. Langit memerah disertai gemuruh yang dahsyat. Lalu kurasakan tempat tidurku mulai bergoyang. Bergeser ke kanan dan ke kiri. Aku membuka mataku cepat-cepat. Kupandangi foto keluarga kami jatuh tepat di samping tempat tidurku. Dinding-dinding kayu rumah kami terbelah begitu saja seperti selembar kertas yang dirobek. Sreeet. Lalu bagian atasnya jatuh berserakan menghantam semua benda di sekitarnya.

“Ibuuuuuuu….” Ahmad berteriak histeris.

Kami berpelukan erat. Dapat kurasakan debar jantungnya dan jantungku menggelegar lebih hebat dari gemuruh tembok-tembok yang runtuh dan badai yang berembus hebat. Perlahan kuberanikan diri untuk beranjak dari tempat tidur menuju jendela. Ibu pasti di luar. Ia sedang membantu ayah merapatkan perahu dan menyiangi hasil tangkapan. Keadaan di luar sungguh kacau. Tanah terbelah. Pepohonan tumbang di mana-mana. Air laut menyapu hampir separuh rumah panggung di perkampungan kami. Tiba-tiba air laut menyembur masuk melalui jendela rumahku, lalu kurasakan kami berdua roboh terbawa arus bersama rumah kami. Aku dan adikku masih sempat berlarian menghindari arus dan pohon-pohon yang terus tumbang. Setelah itu aku tak ingat apa-apa.

Samar-samar telingaku menangkap suara gemuruh diikuti teriakan pilu minta tolong dan isak tangis. Setiap kali kudengar ada suara mendekat, kuketuk batu di tanganku ini lebih kencang dari teriakan satu dua tiga lalu angkat. Perlahan

65 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 66: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

indera penglihatanku mulai menangkap bentuk. Sepotong lengan berada sepuluh sentimeter dihadapanku. Apakah itu lenganku? Aku tak dapat merasakan apa-apa. Kucoba menggerak-gerakan seluruh tubuhku, memastikan dengan cemas bahwa lenganku masih utuh. Sia-sia. Tubuhku mati rasa. Mungkin benar itu lenganku.

Entah sudah berapa lama aku berada di sini dan entah sudah berapa liter air laut yang tertelan olehku. Kecemasan dan ketakutanku membuat waktu beranjak malas dan lama. Kesadaranku perlahan mulai hilang. Aku merasakan lapar. Apakah aku akan mati dalam keadaan seperti ini? Oh, Tuhan… bagaimana ayah dan ibuku? Bagaimana adik kecilku? Jangan. Aku tak ingin mati. Tolong, aku tak ingin mati.

Tiba-tiba kudengar batuk-batuk yang kukenal. Ahmad. Aku mencoba memanggilnya, tapi suaraku tercekat dengan guyuran air laut. Ahmad mulai menangis dan minta tolong. Bagai sebuah harapan, bersama tangisan dan rintihan minta tolong Ahmad, aku mengetukkan kerikilku lebih keras lagi. Kurasakan perih di telapak tanganku tergores sudut-sudut batu yang tajam dan darah pun mulai mengalir perlahan. Teriakan Ahmad berhasil menuntun Ibu menemukan kami. Aku melihatnya sekilas di sudut mataku, Ibu berulang kali memanggil namaku dan Ahmad bergantian. Beberapa orang mulai berkerumun di sekitar kami. Terima kasih Tuhan, terima kasih kau biarkan Ibuku selamat, doaku dalam hati.

66 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 67: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Sepertinya sudah berjam-jam orang-orang ini mengangkut puing-puing yang berserakan di sekitar kami, tapi tetap saja aku tidak dapat bergerak sedikit pun dari tindihan kayu besar ini. sebagian diantaranya berdiskusi lalu samar-samar kudengar seseorang berkata pada ibuku,

“Kami tidak bisa menyelamatkan keduanya. Anak Ibu tertindih bongkahan kayu yang sama.”

“Tidaaak…. Tolong Pak, tolong selamatkan kedua anakku. Tolong pak…” isak Ibu mulai terdengar putus asa.

“Tidak Bu, kau tidak mengerti. Jika batang pohon besar ini kami geser, pasti akan menimpa anak Ibu yang satu. Kami tak bisa menyelamatkan keduanya. Pilihlah, mana yang ingin kau selamatkan.”

“Tidak Pak, kau yang tidak mengerti. Ayahnya baru saja ditemukan mati. Jika aku kehilangan satu saja dari mereka, aku tidak tahu bagimana lagi hari menjalani hidup… Tolong kami Pak.”

“Bu, maafkan kami. Kami tidak dapat berbuat banyak.”

“Aku akan melakukan apa saja jika kau selamatkan kedua anakku. Aku akan mengabdi padamu dan semua keturunanmu. Bahkan aku berjanji akan menjadi budak yang melayanimu di kehidupanku selanjutnya. Tolong selamatkan mereka, Tuan.”

Seorang pria dengan suara agak berat dan tegas mendekati ibuku, “Ibu tolong jangan mempersulit keadaan

67 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 68: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

kami. Masih banyak korban lain yang perlu kami tangani. Tolong buat keputusan sekarang juga, atau kami akan menolong korban yang lain. Tolong bantu kami juga, Bu. Ini benar-benar pilihan yang sulit juga bagi kami.”

Tak ada jawaban dari ibuku. Suara-suara bising di sekitar kami hilang seketika. Hening merayap perlahan. Detak jantungku mulai memompa lebih banyak udara. Siapa yang akan Ibu selamatkan? Mengapa kami harus menjadi pilihan? Jauh di lubuk hatiku, aku memohon agar aku yang diselamatkan, tapi bagaimana dengan Ahmad? Ah, bagaimana mungkin aku berpikir begitu egoisnya. Tidak. Tidak. Jika Ahmad yang diselamatkan, bagaimana dengan aku? Aku belum pernah mati sebelumnya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan setelah mati. Aku bahkan tak pernah membayangkan akan mati dalam keadaan seperti ini.

“Anak laki-lakiku” ucap Ibu tiba-tiba.

“Apa Bu?” tanya seseorang mempertegas jawaban Ibuku.

“Se-se... selamatkan anak le-lekakiku.” lalu terdengar tangisan histeris, memukuli pasir pantai yang terendam air laut, memaki Tuhan, dan tersungkur.

“Maafkan Ibu, Naisha. Ibu bersalah padamu. Maafkan ibu. Majimu, mengapa kau mengambil anakku?”

Perlahan kurasakan air mataku mengalir panas sesaat sebelum dentuman benda keras itu menghantam dadaku. Majimu? Apakah Majimu yang menindihku saat ini? Takutku hilang seketika digantikan damai yang luar biasa. Aku menutup

68 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 69: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

mataku dengan pasrah sesaat setelah aku mendengar Ahmad berkata lirih padaku, ”Kau sudah berjanji pada Majimu, Kak.”

***

“Kalau suatu saat nanti aku mati, maukah kau tetap hidup untukku?

“Ahmad, kau bicara apa?”

“Aku hanya penasaran saja, seperti apa kematian itu?”

“Dengar, itu bukan pertanyaan anak berusia sembilan tahun. Aku sendiri masih sebelas tahun, tentu saja aku tidak memikirkan kematian.”

“Tapi Kak, Ibu guru bilang kematian itu bisa menimpa siapa saja, di mana saja. Bahkan ia bisa datang ketika kita tidur. Bayangkan, ketika kita tidur!”

“Apa kau takut, Ahmad?”

“Entahlah… Aku hanya takut berpisah denganmu.”

Aku berbalik dan memeluk tubuh mungil adikku. Aku sangat menyayanginya dan tak pernah membayangkan jika suatu saat ada yang mengambilnya dariku. Kematian. Ah, bagaimana ia bisa berpikir sejauh itu?

“Begini saja.” kataku sambil memegang kedua pundaknya, “Aku berjanji padamu, apa pun yang terjadi, aku akan selalu hidup untukmu. Bahkan kematian sekali pun tak akan berhasil memisahkan kita.”

69 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 70: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Benar yah… Kau baru saja berjanji di depan Majimu. Kau tak boleh ingkar.”

“Tentu saja. Demi para Dewa yang diam-diam menatap kita dari balik Majimu saat ini, aku tak akan ingkar.” ucapku sambil menyilangkan tangan di pundakku bagai kesatria cahaya mengucapkan janji untuk bertarung sampai titik darah terakhirnya.

Majimu adalah sebuah pohon besar di dekat perkampungan nelayan tempat aku dan keluargaku tinggal, setidaknya begitulah kami menyebutnya. Tak ada yang tahu pasti jenis pohon apa Majimu itu. Ia tumbuh seorang diri. Kokoh dan kesepian. Tubuh besarnya berdiri tegak dan akar-akar sepanjang sepuluh meternya mencengkeram tanah kuat-kuat.

Angin laut seringkali menggoda dedaunan untuk diajak bernyanyi dan berdansa. Beberapa penduduk desa ada yang mengaku pernah mendengar nyanyian Majimu saat mereka sedang duduk-duduk di situ. Yang lainnya bahkan bercerita bahwa ia pernah melihat segerombolan peri menari berputar-putar di sekeliling Majimu.

Aku sendiri tak pernah melihat hal-hal ganjil di seperti itu, yang aku tahu adalah rasa nyaman ketika berada di sana sudah cukup membuatku puas. Bagiku, Majimu seperti seorang guru yang telah mengajarkan kami tentang keteguhan. Keteguhan yang disajikannya dalam diam. Konon kata penduduk desa, Majimu adalah pohon tempat para Dewa

70 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 71: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

beristirahat. Ia tumbuh di sana sebagai simbol janji para dewa untuk menjaga perkampungan kami. Setiap kali badai dan air pasang datang, Majimu tetap berdiri tegak, bahkan ketika puluhan nyiur di tepi pantai itu tumbang terempas badai.

“Naisha… Ahmad... Ayo lekas pulang, lihat apa yang Ayah bawa.” samar-samar kudengar suara Ibu dari kejauhan.

Cepat-cepat kuraih tangan Ahmad dan berlari pulang menembus sekumpulan capung yang terbang ke arah utara. Kata Ayah, jika burung dan serangga-serangga itu terbang menjauhi pantai, berarti akan ada badai datang. Tapi entah mengapa pantai malah terlihat tenang dan tidak ada tanda-tanda akan datang badai.

Ahmad melompat-lompat kegirangan ketika kakinya lebih dulu menapak di teras rumah mungil kami. Sesekali memang aku membiarkannya memenangi perlombaan-perlombaan konyol kami, semata hanya ingin melihatnya tertawa lepas lalu mengejekku. Aku selalu menikmatinya.

Ayah membawakan kami bungkusan berisi baju yang bertuliskan nama kami. Milikku berwana kuning dan Ahmad berwarna biru. Setelah mandi sore, aku langsung memakainya. Tulisan Naisha, namaku, ada di bagian dada. Walaupun Ibu sudah membujuk untuk memakainya pada saat kami berjalan-jalan ke kota saja, aku tetap memaksa. Aku ingin tidur dengan baju baruku dan bermimpi jalan-jalan keliling kota dengan baju itu. Aku tak perlu menunggu kapan-kapan yang terlalu lama itu atau bahkan mungkin saja tak ada jalan-jalan ke kota untukku

71 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 72: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

lagi. Jadi, aku akan ke kota pakai baju baru, malam ini juga. Itu keputusanku.

***

Dokter Dhanang sedang melakukan pemeriksaan ketika namanya disebut melalui pengeras suara rumah sakit. Ia berlari cepat begitu panggilan tersebut memintanya ke ruang 215, tempat salah satu korban bencana yang terpisah dari keluarganya. Guncangan yang dialami anak malang ini membuatnya tak dapat bicara sepatah kata pun.

”Naisha... apakah kau merasa kurang sehat?” gadis kecil itu tak menjawab. Menerima reaksi pasif memang sudah dialaminya sejak ia bertemu dengan gadis ini. Ia mendekatinya dan memandang lekat matanya.

”Naisha, malaikat kecilku, kau tahu... Aku, kamu dan kita semua yang berada di sini adalah mahkluk seorang diri. Jika kau ijinkan, aku ingin menjadi bagian dari hatimu. Aku ingin terus menjagamu seperti Majimu.”

Matanya perlahan memancarkan emosi sendu. Butir bening di sudutnya menggumpal sebelum kemudian jatuh bebas di pipinya. Ia mulai terisak dan tangisnya pun pecah, memberikan kepiluan bagi siapa pun yang mendengarnya.

Dhanang memeluknya erat, ”Sudah selesai, nak.” Naisha membalas pelukannya sambil berkata lirih ”Majimu sudah mati. Ia berhenti berjanji.”[]

72 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 73: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

S i A ir Mu ng ilAndi Pandu

ore hari ini aku merasa keadaan sekelilingku sangat tenang sehingga membuatku sangat nyaman. Aku meringankan tubuhku, membiarkan dia melayang bebas mengikuti pergerakan teman-teman di

sekelilingku. Aku sangat suka sensasi yang terasa saat tubuhku menyentuh makhluk-mahkluk laut yang beraneka ragam itu, terasa menggelitik.

SAku menyusuri karang-karang bawah laut yang sangat

indah penuh warna. Kadang aku menemukan makhluk-makhluk dengan wajah yang menyeramkan, mereka diam mematung di sela-sela celah karang yang gelap. Aku sering terkejut saat makhluk tadi tiba-tiba bergerak cepat membuka mulutnya dan menangkap makhluk lain yang lebih kecil, malang sekali nasib makhluk kecil itu.

73 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 74: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Dari semua hal, yang paling aku suka adalah saat aku bertemu makhluk laut yang sangat cantik. Aku dengar dari para manusia yang sering aku jumpai kalau makhluk itu bernama pari. Saat melihat pari, aku suka langsung mendekatinya, menari-nari di depan mulutnya. Kadang kala mulutnya terbuka dan seperti sebuah mesin penyaring, ia menyaring makhluk-mahkluk yang ukurannya sangat kecil sebagai makanannya. Aku dan teman-teman saat senang saat meluncur masuk ke dalam rongga mulut si pari dan terempas keluar dari lubang-lubang di samping mulutnya.

Tapi tidak semua yang aku lihat menyenangkan. Aku pernah melewati suatu daerah yang sangat gelap, aku sempat mengira kalau saat itu hari sudah malam. Tapi ternyata tidak, ada sesuatu berwarna hitam pekat yang menutupi permukaan laut. Banyak teman-temanku dan makhluk-makhluk lain yang terperangkap olehnya.

Suatu saat aku pernah mendekati dan bertanya pada si hitam itu, mereka menjawab kalau mereka adalah minyak. Sebetulnya mereka tidak seharusnya ada di laut, tapi karena ulah beberapa manusia yang tidak bertanggung jawab menaruh mereka di lautan dan terpaksa menutupi permukaan laut. Itulah yang mereka ceritakan.

***

Suatu saat di tengah perjalananku, aku merasakan goncangan yang sangat dahsyat dari dalam bumi, terdengar

74 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 75: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

bunyi teriakan yang sangat kencang di bawahku. Tiba-tiba kepanikan terjadi, aku mendengar teriakan dari sana sini.

Beberapa dari suara itu berkata, “Inilah saatnya, alam sudah membantu kita. Mari kita satukan kekuatan, balas penderitaan teman-teman kita yang terperangkap si hitam pekat selama bertahun-tahun. Siapkan semua tenaga, kita akan mulai menyerang.”

Aku merasa ngeri akan hal-hal yang kudengar. Kami akan menyerang siapa? Lagi pula mengapa kami harus menyerang? Aku tahu kami adalah bangsa yang lemah, tidak seperti kerabat kami si api dan si bumi. Tapi apabila kami bersatu, bangsa air akan menghasilkan kekuatan yang mengerikan.

Bumi di bawahku kembali berteriak, kini suaranya semakin kencang dan mengerikan. Tiba-tiba sebagian bumi di bawahku bergerak, dengan kekuatan yang sangat hebat mereka anjlok dengan dalamnya. Jeritan dan pekikan perang dari bangsaku semakin membahana. Bangsaku akan memanfaatkan ruang anjlokan bangsa bumi sebagai ruang untuk tolakan, dengan begitu daya serang bangsa kami akan semakin kuat dan dahsyat. Aku tidak mau ikut perang ini, ini bukan perangku. Aku tidak pernah membenci siapa pun dan tidak pernah merasa ingin membalas dendam pada siapa pun. Tapi aku tidak bisa melakukan apa pun selain ikut berperang. Desakan dan impitan teman-temanku memaksaku untuk ikut maju.

75 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 76: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Setelah kami merasa tolakan yang kami perlukan cukup, kami menerjang dengan kekuatan penuh menuju daratan. Aku merasa terangkat begitu cepat ke angkasa. Aku melihatnya, aku melihat daratan terbentang di depanku. Lalu dengan kekuatan yang mengerikan, kami menerjang daratan tersebut. Menabrak apa pun yang ada di hadapan kami, termasuk sosok makhluk yang sangat kukenal, manusia.

Hanya dalam waktu beberapa menit, bangsa kami sudah menerjang jauh berkilo-kilometer ke daratan, meninggalkan jejak rata di belakang kami. Di sekelilingku terdengar pekik kemenangan bangsaku, mereka berteriak penuh sukacita. Sedangkan aku merasa sangat sedih. Sedih saat kulihat banyak manusia tidak bersalah yang mati karena bangsaku. Tapi tidak ada yang dapat kulakukan.

Saat bangsaku sudah tenang, aku meluncur ke arah kerajaan bangsa bumi di bawahku. Aku menyusup melalui celah-celah sangat kecil dan diam di sana. Tiba-tiba ada sesosok bangsa air yang mendekatiku,

“Kenapa kau murung, mungil?” dia bertanya.

“Aku baru saja melakukan suatu hal yang sangat mengerikan. Aku pembunuh,” jawabku.

“Kau pasti ikut dalam pasukan yang tadi melakukan penyerangan hebat di atas sana.”

Aku mengangguk lesu.

76 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 77: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Dulu pun aku pernah ikut penyerangan seperti itu dan aku pun merasakan hal yang sama denganmu saat itu. Tapi kau tahu tidak ada yang bisa kau lakukan, kau hanyalah sebuah titik kecil di antara bentuk kekuatan dahsyat bangsa air dalam penyerangan tadi.”

Aku masih menundukkan kepalaku.

“Kau tahu apa yang dapat membuatku bangkit penyesalan seperti yang kau alami saat ini?”

Aku menengadahkan kepalaku menatapnya, “Apa?” tanyaku.

“Kau bisa menebus rasa bersalahmu dengan membantu manusia yang lain. Kau tahu bahwa bangsa kita sangat diperlukan oleh para manusia di daratan?” jelasnya.

“Benarkah? Bagaimana caranya?” tanyaku.

“Mari kutunjukkan.” Dia berkata.

Dia menggenggam tanganku, menyusuri celah-celah sempit kerajaan bumi sampai kami tiba di sebuah kerajaan kecil bangsa air. Aku selama ini tidak tahu bahwa ada kerajaan bangsa air di tengah kerajaan bangsa bumi. Di tengah kerajaan air ada sebuah benda besar yang berdiri tegak yang baru pertama kali aku lihat.

“Apa itu?” tanyaku.

“Itu adalah pipa, ciptaan manusia. Itulah yang akan mengantar kita ke permukaan.”

77 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 78: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Dia kembali menggenggam tanganku dan masuk ke dalam benda bernama pipa itu. Tiba-tiba sebuah isapan yang sangat keras menarik kami ke atas, ke arah permukaan.

***

Inilah aku sekarang, membantu manusia membersihkan dirinya sendiri, membersihkan bahan makanan mereka, membersihkan barang-barang milik mereka, bahkan di sini aku bekerja sama dengan bangsa api untuk memanaskan bahan makanan bangsa manusia.

Aku memang pernah menyerang manusia, dan aku sangat menyesalinya. Kini aku membantu mereka, membantu mereka kembali berdiri tegak setelah penyerangan bangsa air, hidup berdampingan bersama mereka. Dan aku merasa sangat senang.[]

78 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 79: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Pa r t it u r M us i mRendra Jakadilaga

atahari bersinar sangat cerah waktu Dira memutuskan meninggalkanku selamanya. Tak ada hujan, tak ada tanda apa-apa. Kami baru saja

merayakan hari jadi tahun pertama minggu lalu. Bergelas sampanye, dua cake coklat kecil, dan cekikik riang. Tak satu tanda kecil pun. Aku bahkan belum menduga apa-apa ketika dia berkata, “Aku mau bicara.” Oh, betapa larik itu begitu terkenal di dunia pemutusan hubungan.

M

Aku termangu lama, di meja kafe outdoor itu. Surya masih menyiramkan cahayanya waktu aku sadar Dira sudah pamit pulang setelah minta maaf berjam lalu. Tidak. Aku tidak menangis. Aku bahkan tak tahu harus menangis atau tidak. Sedih, pasti. Tapi, ingin menangis, tidak. Aku hanya memandang kosong pada gelas sampanyeku yang tandas. Tanpa jawaban.

79 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 80: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

***

Musim panas adalah api. Panas. Membakar. Adalah surya ketika kami membuka mata pagi itu. Dan berdua kami bermandi peluh siang itu di sebuah sudut jalan. Dira masih sosok asing hari terik itu, seorang penulis pemula yang sedang bergulat menerbitkan karyanya, kebetulan berhenti di kafe yang sama denganku. Kami saling melihat binar-binar cahaya dari tarian api di mata kami. Menebak-nebak perasaan masing-masing. Tersenyum. Lalu saling mengerti begitu saja.

ada yang terurai dari jiwakuserupa musik yang menjelma nadanada tunggal

serupa gambar wajah menyerpih kepingkeping tekatekilalu membangun

sebuah tandatanya dalam tiap langkahmata kami menangkap surya purna

Tepat di tengah atas kepala matahari itu ketika kami mulai bercakap. Tawaku menyelingi celoteh tanpa hentinya. Kami langsung saling jatuh cinta pada saat itu juga. Jemari bertahut tanpa seberkas pun rikuh. Dua putaran kopi tandas, dan tak ada tanda kami akan kembali ke kantor. Kami bahkan tak ambil pusing dengan para pelintas yang berlalu jengah menyaksikan kemesraan kami. Dunia, harfiah milik kami. Terserah pendapat yang lain.

“mengapa kau tak harus memilih?” tanyanya“karena jalanku meliputi semua!” jawab bola api itu

“kapan kau berhenti?”

80 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 81: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“bila jalan ini buntu sudah”“kemanakah engkau menuju?”

“ke masa depan. selalu ke masa depan”“apa yang menunggumu di sana?”

“kau!”“bagaimana aku mengenalimu?”

“aku yang akan menemukanmu”

Aku merasa seperti riap semangat yang tak hendak terbenam sejak bertandangnya senja hari itu. Dira adalah bahan bakar yang selama ini kucari. Jiwaku kembali hidup seperti tak pernah hidup sebelumnya. Aku. Dia. Sedang berkobar.

***

Musim gugur adalah angin. Lincah. Berubah-ubah. Adalah sepoi yang menyibak rambut saat melaju dengan mobil merahku. Kami menghabiskan waktu yang malas mengalir itu dengan duduk di taman dan membahas filsafat. Ia selalu mengagumkan. Laki-laki yang masih menemuiku di kafe yang sama setiap siang. Menuliskan beberapa patah puisi di kertas tisu, lalu kuterjemahkan dengan jariku. Seperti lirik pada lagu. Seperti rima pada puisi. Seperti gambar-gambar lucu yang ia minta pada barista itu untuk dilukiskan di atas Capuccinoku.

sontak sepotong alunan piano mencengkeramekor kesadaranku tibatiba,

sebuah tekateki terjawab sudahmatanya melepas surya raguragu,

lalu membangun

81 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 82: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

sebuah tandatanya lagi pada ayunan tangannyatelinga ia sayup membaca desir daun

Dia terbaring di pahaku siang yang berangin itu. Piknik di taman kali ini menjadi substitusi acara nongkrong di kafe. Perubahan, usulnya. Aku masih menekuni novelnya yang baru sebulan ini terbit. Ya, malam-malam tanpa tidur itu menjelma juga menjadi sejilid novel. Dia tertidur dalam damai, mungkin terbuai rekaman resitalku bulan lalu itu. Aku melirik. Wajahnya seperti simfoni tanpa nada sumbang. Aku tersenyum, lalu tunduk sedikit menjilat noda coklat yang gagal ia sapu waktu makan donat tadi. Ia terbangun. Berusaha mencerna apa yang baru saja, lalu tertawa. Renyah.

“apakah engkau desir daun”, tanyanya“bukan. aku hanya angin”

“lalu apa yang kau lakukan pada desir daun?”“aku mengajarinya bernyanyi. aku menjadi ia tibatiba.”

“mengapa engkau menjadi desir daun?”“aku tak selalu desir daun. aku terkadang badai pasir. tak jarang

aku juga balingbaling kertas berputar. atau cuma sekadar anggukan batang padi berisi. atau kelentingan lonceng jepang”

“tapi kau memilih desir daun”“ya!”

“bisakah kau menjadi aku juga?”“aku tak mau. lagipula kau takkan mengijinkanku”

“kenapa begitu?”“karena kau mudah tersesat. karena aku takkan pernah menjadi

aku”

82 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 83: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Aku tetap aku. Dia tetap dia. Namun jiwa kami berubah lincah. Setiap hari menuntut sesuatu berbeda. Kami menjelajah semua ranah kasih sayang yang bisa kami jarah. Saling menjelma embusan lembut pada dahi masing-masing. Aku, napasnya. Dia, napasku.

***

Musim dingin adalah air. Sejuk. Beku. Terkungkung atau mengalir. Adalah kecipak yang meriak pada kaki-kaki kami mencengkeram batu-batu sungai. Satu-satunya sungai yang masih mengalir pada musim dingin begini adalah sungai di belakang villa ayahnya. Airnya pun tak dingin. Kami melarikan diri dari rutinitas menyesap kopi dan Cappuccino ke punggung sebuah hutan pinus pada iklim yang harusnya beku ini. Ya, dingin tetap akan menjadi hantu begitu malam tiba. Dan kami akan mendengkur dekap mendekap di depan perapian bata merah di tengah-tengah villa.

tabuhan genderang dari sudut malammenampar beku otakku,

satu lagi misteri terungkaptelingaku menamatkan bab angin pada kelenting lonceng,

lalu membangunsebuah lagi tandatanya padam lirikan matanya

bibirnya lamat mengeja alur sungai

Aku memainkan sepatah lagu yang tiba-tiba menciptakan diri di kepalaku. Sepenggal bait yang membungkam celotehnya mendadak. Ah, lagu ini belum akan kuselesaikan, batinku

83 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 84: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

melihat perubahan air mukanya. Aku menghapus bulir yang tiba-tiba gulir di pipinya. Ia terbata mengakui, nada-nada yang kulantunkan menyentuh sesuatu di dalam sebuah lubang di jiwanya. Ada luka yang teringat. Dengan cara yang sangat indah. Sebuah luka, yang ingin ia ingat, ia rasakan dan rasakan berulang kali. Serupa candu yang menagih-nagih dengan mencabik batin.

“darimana kau datang?” tanyanya“dari hulu sungai.”

“apa itu hulu sungai?”“hulu sungai adalah divergensi menular. ia memecah belah

anakanak gunung. ia menanam masalah dan mengembangbiakkannya. ialah tangis ibu dan peluh ayah. ia

beritahu kami kemana menuju, dan memerintahkan batubatu kali untuk menyesatkan kami. ia berjanji menanti kami di laut

tapi tak mengatakan ada jalan pintas.”untuk pertama kali ia menemui jawaban begitu rumit

“kau percaya padanya?”“tidak semudah itu. kami harus betulbetul mengamati

batubatu yang kami lalui. siapa tahu ada huruf yang tercecer dari leluhur kami”

“tapi kau percaya padanya”

“yah begitulah. satusatunya petunjuk yang aku punya adalah diriku sendiri, dan gravitasi”

“gravitasi?”

84 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 85: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“yah. dialah utusan yang harus diikuti. petunjuk paling lengkap. pemandu paling bersahabat. bahkan batubatupun

mengikutinya.”“aku boleh ke hulu sungai?”

“tergantung... ia yang akan memilihmu. kalau ia ingin bertemu denganmu.”

Ia mencurahkan kata-kata dalam puisi seperti hujan. Aku mengalirkan nada-nada dalam lagu serupa arus. Kami saling membelit dalam kasih-kinasih. Meminta dan meminta lebih. Menyesap dan menyesap jiwa, semakin dalam. Saling meresap, saling menyerap. Dia. Aku. Kami.

***

Musim semi adalah tanah. Penyangga segala musim. Taman. Adalah lahan semai untuk bunga-bunga yang kita harapkan bisa mekar tengah April. Inilah musim yang kami harapkan menelurkan inspirasi untuk kami panen. Ia menekuni naskahnya sebulan terakhir. Lancar saja kulihat. Berkali kutemui dia tertidur di meja kerja dengan satu set sarapan sudah siap untukku. Aku melahap telur dan daging asap itu di sisinya. Sembari memandangi lamat paras sesempurna lukisannya. Aku mengecupnya, sebelum kembali ke studio.

biola tua menjerit parau memecah sunyimengagetkan urat syarafku,

sepotong lagi kealpaaan tersisihkanbibirku mencibirkan hempas arus sungai yang terakhir,

dan membangunsatu lagi tandatanya dengan degup jantungnya

85 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 86: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

jemariku menelusur pasir pantai yang lembut

Aku menggenggam jarinya malam itu. Utuh aku mencintainya. Bulat ia meleburkan hati padaku. Kami berkolaborasi di bawah purnama. Apartemen ini menjadi beraroma bebunga dan berdendang nuansa orkestra. Ia menyelesaikan novel keduanya hari itu. Sampai titik penghabisan. Aku? Sedikit lagi, dan lagu itu sempurna kukemas cantik untuknya. Mabuk kami bercinta di balkon yang hanya bermandi sinar bulan saja. Seolah akan selamanya.

“apakah engkau?” tanyanya

“...”“selalukah engkau diam?”

“...”“aku mengerti. engkaulah sunyi dan bila kau menyebut

namamu, kau bunuh diri. benar kan?”“...”

“baiklah. kurasa kediamanmu menjawab semua.”

Kembang-kembang yang kami tanam mekar sudah. Serbaknya menyarati ruang jiwa kami. Melenggang kami bergandengan. Meja kafe outdoor itu seperti merindukan kami ketika kami berkunjung lagi. Kami: Aku dan Dia. Tumbuh. Purna mengakar.

***

dawaidawai harpa menyapaku malasmencolek gairah ingin tahuku,

potongan terakhir keraguan sirna sudah

86 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 87: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

lengkap sepuluh jemariku saling mendekap

Hari ini, kembali musim panas. Seminggu saja dari hari jadi hubungan kami, semua tiba-tiba berakhir. Kenangan manis yang kami lalui seolah menjelma rekaman film drama saja di kepalaku. Usang dan terlupa. Lalu, sebuah pesan pendek mendarat di ponselku.

“Pernah kau menangis untukku? Pernah kau mengeluh padaku? Bisakah kau lupakan aku?” Hanya tiga buah pertanyaan. Tanpa alasan apa pun.

Tak ada lagi bangunan tandatanyapasirpasir pantai menjelma sunyi sebagai jawaban

alur sungai mewujud rumit sebagai jawabanceloteh angin menjadi perubahan sebagai jawabanterik surya menyulam kenyataan sebagai jawaban

Aku membeli novel keduanya beberapa minggu kemudian. Aku bahkan tak pernah menanyainya tentang apa. Aku bahkan tak sempat memainkan untuknya lagu yang tercipta karena dirinya. Partitur sama mengusang dengan naskah novel itu bagiku. Kisah tanpa wujud. Mimpi.

tak ada lagi diri sejatisaat semua bentuk empiris

tak ada lagi benar yang nyataketika seluruh nilai menisbi

saat kau berhenti bertanyamungkin,itulah akhir[]

87 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 88: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

S el a m at Pa g i J a ka r t a !Galuh Parantri Pramono

anyak orang mengangkat tangan, setengah berlari menyeberangi jalan yang dipadati motor dan kendaraan umum. Bus memang suka seenaknya,

menurunkan penumpang di jalur cepat bukan di halte yang berada di sisi jalur lambat. Suara klakson bersahutan sangat menganggu pendengaran.

B

Matahari belum tinggi, tetapi aku sudah merasa sangat kepanasan. Mesin-mesin kendaraan tak hanya menyemarakkan pagi ini dengan suaranya yang beraneka ragam tapi suhunya terus meninggi menambah gerahnya hari.

Banyak orang tergesa melalui trotoar yang padat. Kebanyakan menutupi hidung dengan tangan, lembaran tisu, atau masker. Aku pun sangat tak enak badan. Rasanya badan begitu panas.

88 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 89: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Tuhan, tidakkah kau sisakan ruang di tanah Jakarta ini? Protes kuajukan dalam hati. Orang-orang rakus itu menyebabkan tanah di kota ini semakin miskin dari warna hijau? Aku sangat merindukan hijau dalam jumlah banyak di kota ini!

Semua ruang terbuka berwarna hijau berubah menjadi abu-abu dengan ketinggian mencapai puluhan lantai. Kota ini semakin abu-abu!

Orang lalu lalang, berjalan di trotoar menuju penyebrangan. Suara-suara sol sepatu yang bertemu dengan besi alumunium terdengar jelas dan ramai. Menambah riuhnya pagi.

Di ujung jembatan, onggokan sampah membuat setiap yang melewatinya menjadi mual. Semua refleks menutupi hidung dengan kedua tangan. Ada baiknya mereka memakai tabung oksigen di punggung. Agar udara yang dihirup benar-benar segar setiap paginya.

Pemandangan setiap hari di atas jembatan penyeberangan adalah dua ruas jalan dibawah. Entah berapa banyak kendaraan di sana. Mulai dari yang bersuara halus karena mesinnya yang bagus, hingga suara berisik karena alasan modifikasi. Terkadang kepulan asap hitam muncul dari kendaraan umum yang tak terawat.

Aroma tak sedap menyergap muncul di seberang jalan. Sungguh pagi yang sangat tak segar. Unit mobil pengangkut sampah dengan tulisan SOR sedang berhenti di pinggir jalan.

89 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 90: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Si petugas tengah memindahkan sampah dari tempat sampah kedalam truk bak itu.

Aku semakin tak enak badan. Rasanya aku terkontaminasi banyak hal sepagi ini. Esok hari pasti sama, bahkan semakin buruk.

Aku bosan menjadi media suara-suara yang berlebihan disetiap paginya. Dan bosan menjadi media aroma-aroma yang tak karuan. Sampai kapan? Aku akan semakin sakit, kotor, dan mendekati ajal. Sesak dan terbatuk-batuk.

Pagi Jakarta!

Tak akan ada lagi udara bersih bagi manusia Jakarta. Tak ada.[]

Jakarta| 14/11/10 1:19 am

90 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 91: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

T ik e tAstrid Dewi Zulkarnain

ak Bahrun berjalan cepat mengelilingi kampung yang dia jaga setiap hari. Di tangannya tergenggam sejumlah tiket berwarna biru dan merah. Dengan

gesit, dia mengetuk dari satu pintu ke pintu rumah yang ada di kampung tersebut. Tujuannya cuma satu, membagi habis semua tiket di tangannya.

P

Hasta yang menerima tiket tersebut ketika Pak Badrun mengetuk pintu rumahnya.

“Apa ini, pak?” tanya Hasta kecil.“Kasih saja ke ibumu, Nak. Dia tahu apa yang harus

lakukan dengan tiket ini,” ucap Pak Badrun sambil lalu. Ia memang harus bergegas ke rumah lain, membagikan tiket-tiket itu hingga tandas. Tidak ada waktu untuk berbasa-basi dengan seorang anak kecil seperti Hasta. Laki-laki paruh baya itu langsung pamit dan menuju rumah berikutnya.

91 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 92: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Hasta menutup pintu dan langsung memberikan tiket itu kepada ibunya. Ibunya hanya menatap sekilas, dan kembali ke pekerjaannya, mencuci baju pelanggan-pelanggannya.

“Buang saja, Ta.”“Buang, Bu? Kok dibuang? Pak Badrun ngasih tiket ini ke

kita pasti ada alasannya. Ibu tidak menghargai dia jika tiket ini Hasta buang.”

Ibunya menoleh dan menatap anak semata wayangnya. Ia tersenyum. Wanita itu bangga punya anak yang kritis seperti Hasta, meski terbersit kesedihan yang sangat mendalam akan pendidikan Hasta.

“Kita tidak butuh tiket itu, Ta. Jika Hasta tidak mau membuang tiket itu, coba Hasta kasih ke ibu Minah, tetangga sebelah.”

Hasta termangu. Ia merasa pertanyaannya belum dijawab oleh ibunya. “Kok dikasih ke Bu Minah? Dia pasti sudah dapat tiket kayak gini dari Pak Badrun. Nanti dia punya dua tiket, dong?”

Ibunya kembali tersenyum. “Memangnya kenapa kalau dia punya dua?”

Hasta menggaruk kepalanya, walau tidak gatal. “Ya, itu tidak adil, Bu.”

“Makanya dibuang. Kita tidak memerlukannya.”“Tapi, Bu…”“Sudah, cucian Ibu banyak. Kamu sana main. Jangan lupa

tiketnya dibuang.”

92 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 93: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Hasta menghela nafas. Ia menurut. Ia membalikkan badan dan pergi bermain bola di lapangan kosong tidak jauh dari rumahnya.

***“Gus, ini tiket apaan ya?” Hasta merogoh saku celana

pendeknya dan mengeluarkan tiket yang ia dapat dari Pak Badrun.

“Mak gw juga dapet tuh. Dia kegirangan pas dapet yang warna biru. Katanya, besok keluarga gw bisa pesta barbekiu kayak yang di tipi-tipi gitu.”

“Mak lo girang?” Hasta bertanya heran, tidak menyangka reaksi Mak Agus berbeda dengan ibunya.

“Iya. Bahkan besok siang gue disuruh nemenin dia ke kecamatan. Katanya mo nuker tiket ini. Kenapa mangnya?”

“Ibu gue malah nyuruh gue buat buang ini.”“Hah? Kenapa?”Hasta mengangkat bahu. Ia terus menatap tiket berwarna

biru di genggamannya.“Kira-kira, kalo gue yang nuker sendiri tanpa ibu gue, bisa

ga ya?”Agus mengangkat bahu. “Tapi ga da salahnya dicoba sih.”Hasta menghela nafas. Rasa penasarannya semakin

bertambah. Tapi ia juga takut pada ibunya. Ia mengembalikan tiket itu kembali ke saku celananya, dan kembali bermain bola bersama Agus.

***Hasta kaget. Di hadapannya, puluhan orang berjejal di

depan pintu pagar kecamatan. Orang-orang itu melambai-

93 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 94: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

lambaikan tiket yang mereka punya. Hasta ragu-ragu untuk maju, ia takut tergencet diantara mereka.

Dari kejauhan ia melihat Agus berdiri dengan ibunya. Hasta melambaikan tangan dan menghampiri mereka.

“Eh, Hasta. Sendirian?” tanya Bu Minah, ibu Agus. “Ibumu mana?”

“Iya, bu. Ibu sedang banyak cucian di rumah.”Bu Minah mengangguk-angguk. “Mau nuker tiket juga?”Hasta mengangguk pelan. Antara yakin tidak yakin. “Dapat warna apa dari Pak Badrun?”“Biru, Bu.”“Wah, sama dong! Berarti besok Hasta bisa makan daging

sapi.”“Daging sapi?” Bu Minah mengangguk. “Tiket merah itu buat daging

kambing, kalau tiket biru untuk daging sapi.”Hasta ikut mengangguk-angguk. Mulai mengerti. Jadi

tiket itu adalah tanda yang digunakan kelurahan untuk memberikan daging kurban untuk masyarakatnya. Tapi, jika memang dibagikan gratis, kenapa ibunya menolak rejeki ini?

***Siang itu, matahari bersinar terik. Udara semakin panas,

dan antrean daging kurban semakin memanjang. Tahun ini pembagian daging kurban dipusatkan di kecamatan. Hal ini dilakukan agar distribusi pembagian daging merata ke seluruh warga. Mulai terdengar suara tangisan bayi yang kepanasan dan

94 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 95: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

tidak sabar menunggu. Rata-rata yang mengantre adalah wanita. Mulai dari ibu-ibu muda, sampai nenek-nenek.

Hasta tidak melihat lagi keberadaan Bu Minah dan Agus. Ia kini sendiri.

Pintu pagar kecamatan akhirnya dibuka. Seperti air yang tersumbat, para pengantre berebutan untuk masuk. Hasta kecil terdesak. Ia terjebak diantara ibu-ibu bertubuh tambun. Hasta merasakan nafasnya sesak. Ia baru ingat, ia belum sarapan pagi itu. Mata Hasta mulai berkunang-kunang, dan akhirnya Hasta pingsan.

Para pengantre itu tidak peduli jika ada seorang anak bertubuh kecil pingsan di dekat mereka. Tubuh Hasta terombang-ambing di lautan manusia. Tubuh Hasta pun terjatuh ke tanah, ia hampir saja terinjak-injak seandainya saja wanita yang mengantre di sebelahnya tidak menjerit histeris. Tubuh Hasta langsung dibopong oleh beberapa hansip kecamatan.

Hasta tidak tahu berapa lama ia pingsan, tapi ketika ia membuka mata, ia melihat ibunya berada di sisinya, menatapnya cemas.

“Bagaimana perasaanmu, Nak?” Ibunya mengelus rambut Hasta dengan lembut.

“Pusing, Bu.”Ibunya tersenyum sedih. “Kan sudah ibu bilang, sebaiknya

tiket itu kaubuang atau kauberikan pada orang lain saja.”“Tapi Bu, kan lumayan dapat jatah daging kurban. Kita

kan jarang makan daging.”

95 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 96: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Dan lihat hasilnya sekarang, Nak. Sekarang kau harus dirawat di rumah sakit karena mengalami gegar otak. Kemarin pas waktu Hasta antre daging kurban, Hasta jatuh, dan pingsan.”

Hasta terdiam. Perlahan mulai mencerna kata-kata ibunya.

“Kamu kira ibu tidak ngiler melihat orang-orang bisa makan daging seperti layaknya kita makan tempe setiap hari? Ibu ngiler, Nak. Tapi bukan berarti demi makan daging, ibu harus mengorbankan nyawa ibu. Ibu hanya punya kamu satu-satunya.”

Hasta terdiam. Mulai mengerti.“Karena itulah ibu menolak tiket itu. Tubuh ibu kurus,

tidak kuat untuk bertahan berdiri di tengah panas matahari, juga sempitnya ruang gerak ketika ibu mengantre. Dan ternyata, bukan ibu saja yang tidak kuat. Kamu juga.”

“Maafkan aku, Bu.” Hasta mulai berkaca-kaca. Ingin menangis. Ia hanya ingin membahagiakan ibunya, orang tua satu-satunya, dengan membawakan daging ke rumah.

Ibunya tersenyum dan mengelus kepala Hasta. “Tidak apa-apa, Nak. Sekarang kamu istirahat yah.” []

96 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 97: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Me m b i n gk a i K en an g anLuckty Giyan Sukarno

udah genap dua minggu laki-laki itu sibuk memotretku. Entah sudah berapa lembar ratus photo berisi diriku dari berbagai sudut. Tak bosan-bosannya. Laki-laki itu

sebenarnya sempurna jika dilihat dari tampangnya yang rupawan. Hanya satu yang kurang. Aku tidak melihatnya tersenyum seperti dulu, saat pertama kali datang.

S

Kudengar dari bisik-bisik warga, sekarang keadaan laki-laki itu sungguh malang. Dia sudah bertunangan. Gadis yang dipinangnya pun cantik. Aku mengenal gadis yang dicintainya itu.

Mereka bertemu di sini. Saat sama-sama menatapku. Gadis itu tak sengaja masuk ke dalam photo saat laki-laki itu memotretku. Mereka pikir akulah yang mempertemukan mereka. Jodoh datang dengan cara yang misterius.

97 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 98: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Mereka sama-sama sengaja berlibur ke Lampung di dua tempat yang berbeda. Gadis itu bernama Nindya. Sedangkan laki-laki itu memiliki nama panggilan Abel.

Nindya berlibur bersama teman-temannya ke Teluk Kiluan. Nindya dan teman-temannya menunaikan nazarnya selepas lulus kuliah untuk ber-snorkeling selama beberapa hari menyelami indahnya tepi Pulau Kilauan. Dia ingin melihat lumba-lumba yang menari dan daerah yang menjadi juga merupakan tempat bertelur berbagai jenis penyu.

Lain halnya dengan Abel yang pada dasarnya pendiam, untuk melepas lelah kerja, dia mengambil cuti selama beberapa hari ke Lampung. Dia datang seorang diri ke Pantai Tanjung Setia. Dia memilih tempat ini karena dibandingkan dengan pantai-pantai di Bali, Pantai Tanjung Setia lebih alami. Walaupun begitu, ombaknya tak kalah dahsyat. Pantai Tanjung Setia juga cukup terkenal dengan salah satu pantai yang memiliki ombak tertinggi di dunia. Dengan ketinggian ombaknya yang memiliki tinggi lima meter dan panjang gelombang 200 meter, maka tidaklah heran jika tidak kurang dari 10 ribu orang wisatawan yang berasal dari Australia, Portugal, Belanda, Jepang, Amerika, dan lainnya selalu berkunjung ke Pantai Tanjung Setia setiap tahunnya. Tujuan utama mereka adalah berselancar angin atau surfing. Pada bulan Mei sampai Agustus, ombak di pantai Tanjung Setia bisa mencapai 7 meter.

Kondisi laut pantai yang masih alami, dan suasananya tenang serta jauh dari kebisingan juga merupakan daya tarik

98 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 99: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

tersendiri bagi para pengunjung, terutama bagi wisatawan asing dan wisatawan lokal yang berasal dari perkotaan. Selain terkenal dengan keindahan pantai dan ketinggian ombaknya, pantai Tanjung Setia juga cukup terkenal sebagai tempat wisata memancing. Beberapa jenis ikan terkenal adalah ikan tuna dan blue marlin yang merupakan ikan favorit bagi para pecinta memancing.

Kalau jodoh memang tak kemana. Sebelum sama-sama meninggalkan Lampung, mereka mengunjungiku. Disitulah awal perkenalan mereka seperti yang kuceritakan di awal cerita.

Beberapa hari ini kondisiku tidak sehat. Baru batuk sedikit saja, aku sudah membuat warga panik. Akhir-akhir ini aku sering mengeluarkan suara gemuruh, kadang disertai getaran. Suhu disekitarku naik. Tumbuhan layu. Binatang satu per satu orang mulai bermigrasi.

Ada beberapa isyarat tingkatan untuk mengetahui keadaanku. Jika tidak ada gejala aktivitas tekanan magma, aku dikatakan normal. Tapi ketika ada kenaikan aktivitas di atas level normal, seperti aktivitas seismik, magma, tektonik dan hidrotermal, maka aku akan berada dalam level waspada. Di tingkatan selanjutnya, diberi label siaga, saat aku bergerak ke arah letusan atau menimbulkan bencana. Peningkatan intensif kegiatan seismik dan semua data menunjukkan bahwa aktivitas dapat segera berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat menimbulkan bencana. Terakhir, level paling menakutkan adalah saat aku berada pada posisi awas. Aku segera atau sedang meletus atau pada keadaan kritis yang

99 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 100: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

menimbulkan bencana letusan pembukaan dimulai dengan abu dan asap letusan berpeluang terjadi dalam waktu 24 jam!

Aku mampu istirahat dalam waktu 610 tahun sebelum berubah menjadi aktif kembali. Oleh itu, sulit untuk menentukan keadaan sebenarnya daripada suatu jenis seperti itu, apakah berada dalam keadaan istirahat atau telah mati. Tidak ada yang menduga aku akan bangkit secepat ini.

Sekarang para manusia menetapkan statusku dalam kondisi waspada. Warga yang bermukim disekitar mulai mengkhawatirkanku. Mereka trauma akan kemarahan ibuku. Mereka takut jika aku mengamuk dengan dahsyat seperti ibuku. Pada hari itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi ledakan kecil pada ibuku. Itulah tanda-tanda awal bakal terjadinya letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian disusul dengan letusan-letusan kecil yang puncaknya terjadi pada 26-27 Agustus 1883. Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, tepat jam 10.20, ibuku meletus. Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga penulis National Geographic mengatakan bahwa ledakan itu adalah yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia modern. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu.

Menurut para peneliti di University of North Dakota, ledakan ibuku bersama ledakan saudara jauhku, Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern. The Guiness Book of Records

100 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 101: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

mencatat ledakan ibuku sebagai letusan yang paling hebat yang terekam dalam sejarah.

Ledakan ibuku telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru.

Letusan ibuku itu menghancurkan saudara-saudara disekitarnya; Danan, Perbuwatan serta sebagian Rakata. Setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter. Gelombang laut naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut.

Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung kawasan pantai mulai dari Merak (Serang) hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan, Ujung Kulon serta Sumatera Bagian selatan. Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang

101 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 102: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

jauhnya 7 ribu kilometer. Mengerikan sekali saat ibuku marah! Warga memanggil ibu dengan sebutan Gunung Krakatau.

Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya ibuku, muncullah aku yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah tinggiku. Kecepatan pertumbuhan tinggiku sekitar 20 inci per bulan. Setiap tahun aku menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki. Catatan lain menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung, maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi mencapai 7.500 inci atau 500 kaki lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tinggiku disebabkan oleh material yang keluar dari perut ibuku. Saat ini ketinggianku mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut, sementara ibuku sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan laut.

Menurut Simon Winchester, sekali pun apa yang terjadi dalam kehidupan ibuku yang dulu sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatera yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan aku akan meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusanku bakal terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.

Menurut Profesor Ueda Nakayama, salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, aku masih relatif aman

102 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 103: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada saat-saat tertentu para turis dilarang mendekatiku karena bahaya lava pijar yang aku muntahkan ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang masuk akal tentang aku yang akan kembali meletus. Kalaupun ada minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun yang jelas, angka korban yang ditimbulkan lebih dahsyat dari letusan sebelumnya yang dilakukan ibuku.

Manusia memang bisa memprediksi kapan aku akan menyemburkan isi perutku, tapi hanya Tuhan yang mampu menentukan segalanya di luar perhitungan manusia. Seperti yang dialami paman jauhku akhir-akhir ini, Merapi. Muntahannya meluluhlantakkan belasan desa disekelilingnya dan menewaskan ratusan nyawa.

Isi perutku kembali bergejolak. Warga sudah mulai was-was. Entah sampai kapan aku bisa menahan perutku yang mual ini. Abel masih saja sibuk memotretku. Dia tak mau kehilangan masa mudaku yang memesona ini. Tak mau kehilangan momen kali kedua. Kehilangan Nindya selamanya sudah membuat hatinya terluka.

Nindya, aku akan menjaga Abel untukmu sampai waktunya tiba...[]

103 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 104: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

S e m u a ny a H i la ng d en ga n H a l- H a l S e p e r t i In i

Farida Susanty

Semuanya terbuat dari hal-hal ini.

ertama kulihat dirinya. Menari di sekitar rumahku. Oranye. Menimbulkan suara bergemeretuk pada dinding, jendela, kasur, lemari, dan barang-barang lain

di rumahku yang dipeluknya. Dia dengan licin bergerak ke sana kemari, sementara pada saat yang bersamaan dia tidak pergi kemana-mana, menetap di setiap benda yang disentuhnya

P

Katanya dia menghubungkan dunia ini dan dunia sana. Katanya jika kita hendak memberikan sesuatu ke langit, kita harus memasukkan benda-benda ke dalam dirinya. Dia sang penerima sesembahan. Yang kelak akan menjilati benda-benda itu, yang kelak akan melenyapkannya. Mengirimnya ke atas sana.

104 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 105: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Aku menyodorkan tanganku ke arahnya. Rasanya perih, rasanya sebagian dari tanganku mulai melepuh. Tapi aku ingin menyentuhnya, menyentuh butiran-butiran halus yang melayang-layang di atasnya. Segala hal yang aku punya. Segala hal yang pernah aku nikmati. Ini semua.

Kini menjadi sesuatu yang nyaris tiada, atau tidak bisa kulihat lagi. Aku telah menyerahkan semuanya padanya. Di sini, di dalam dirinya, semua milikku pergi ke langit sana. Ribuan memori di dalamnya. Ratusan barang yang kubeli dengan uang, yang kadang sampai berdigit-digit panjang nolnya. Kepentingan-kepentingan dari orang-orang di dalamnya.

Kutarik napas panjang. Sesak. Namun takjub.

Udara di atas sana menyambutnya. Menggerak-gerakkan dirinya hingga dirinya bisa tetap hidup. Menyebarkan segala hal yang tadinya aku punya ke tempat-tempat yang tak bisa kutebak arahnya. Dia berputar. Ke langit. Ke sekitar. Ke arahku. Ke arah orang-orang.

Mereka semua pergi.

Semuanya terbuat dari hal-hal ini.

Kurasakan sakuku bergetar. Bibirku menarik dirinya sendiri ke pinggir. Kuambil benda itu. Kulihat nama di sana. Dan kata-kata yang melayang digital di layarnya.

“Kenapa?” katanya. Singkat.

Erika.

105 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 106: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Erika.

Pertama kali aku melihatnya adalah pertama kali satu bagian otakku yang telah beku bekerja kembali. Sesuatu yang tidak bisa lagi dibangkitkan oleh istriku. Tubuhnya yang dibalut kain ketat yang tidak menyisakan udara di sekitarnya. Rambutnya yang hitam dengan polesan cokelat lembut, yang berkilau ketika matahari menyorotkan cahayanya ke arahnya. Dan senyum yang membuatku lupa bahwa aku ada menjejakkan kakiku ke tanah.

Dia adalah api itu.

Beberapa jam setelah aku menggenggam tangannya, aku tidak bisa melepaskan tangan itu dari pikiranku. Dosa adalah satu-satunya api yang tersisa di dunia. Beberapa jam kemudian, aku ada di ruangan itu, duduk berdampingan dengannya, saling menatap lekat. Dia menceritakan tentang kuliahnya dan bagaimana pamannya merekomendasikannya untuk magang di perusahaanku. Aku tidak bisa ingat semua yang dia katakan. Di kepalaku hanya ada dia, di bawah sana. Dan aku, di atasnya. Dan kami berpelukan.

Pada satu titik, dia akhirnya merasakan tatapanku yang terus tertuju ke arahnya. Keabsenan responsku pada kata-katanya. Dia tahu percakapan ini telah berubah arah dan suasananya. Dia melirik pada cincin di jari manisku. Tapi dia hanya mengedikkan bahu dan menarikku ke arahnya. Menyilangkan kakinya ke arah kakiku. Naik ke atasku.

106 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 107: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Khayalanku menjadi kenyataan.

Api itu. Erika.

Kurasakan sebagian tubuhku diselimuti rasa dingin. Sesuatu yang turun menggelitik di dalam kulitku.

Kulirik bagian kanan tubuhku. Sebuah ember dengan air yang membuncah di sekelilingnya. Lalu telingaku terbuka lagi. Kudengar orang-orang berteriak. Baru kusadari sekarang aku ada di tengah sekitar sepuluh laki-laki dari berbagai usia di kompleksku yang mengangkat ember mereka dan mengarahkan isinya pada cahaya oranye yang menempel di seluruh rumahku.

Suara berdesis. Cahaya oranye itu hilang dari atas beberapa benda.

Akhirnya khayalanku terjadi lagi.

Yang aku tahu aku tiba-tiba ada di kamarnya, memeluknya ketika dia terus berbisik tentang ketakutan-ketakutannya. Tentang akulah yang dia punya. Tentang istriku. Tentang segalanya.

Segala hal di dalam kepalaku campur aduk. Kami berdua membuat logika kami tertidur. Kami berjalan, saling memegang tangan, saling menceritakan hari, saling berpelukan, dengan berpikir bahwa di dunia ini tidak ada yang pernah terjadi maupun akan terjadi. Hanya ada kami dan momen-momen ini. Hanya ada kepalaku yang tenggelam di dalam

107 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 108: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

rambutnya dengan harumnya yang lembut. Hanya ada kulitnya yang kadang berkeringat ketika kusentuh dirinya.

Kupikir ini semua akan berlalu. Kupikir aku akan bisa melupakannya ketika aku tidak melihatnya, ketika aku duduk makan pagi bersama istriku di rumah. Tapi kepalaku seperti baru saja mendapat suntikan narkotika. Aku tidak bisa menghentikan keinginanku untuk mencarinya, untuk memikirkannya, untuk menangis bersamanya. Aku terus mencarinya di kertas-kertas berisi angka di tempat kerjaku, pada televisi yang mati, pada bingkai kosong.

Aku tidak bisa memikirkan tentang apa pun lagi. Aku hanya bisa mengurung diriku di ruangan sempit, memencet nomor-nomor itu dan terengah-engah mendengar suaranya. Memintanya untuk datang ke ruanganku. Memintanya untuk mengakhiri keinginanku untuk menemuinya.

Kami tidak bisa berhenti. Kaki Erika masuk ke dalam ruanganku, pintu berderit, dan semuanya terjadi lagi.

Istriku memegang tanganku pagi itu. Tubuhnya yang tinggi dengan perut yang sedikit menggelambir, rambut hitamnya yang dijepit ke atas, pakaian kerja putihnya. Dia tersenyum lebar dan memelukku dari belakang.

“Papa kelihatan ganteng hari ini,” bisiknya.

Segala hal dibuat dari hal-hal ini. Api yang membara. Air yang memadamkannya.

108 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 109: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Aku memandangi zat yang berkilau-kilau ditimpa cahaya matahari sore yang sudah mulai meredup itu. Kini dia menyembur keras, menimpa cahaya oranye itu. Meninggalkan segala hal pada bentuk rapuh mereka. Pada sisa-sisa dari segala hal yang pernah ada.

Kudengar kata-kata itu bergaung di mana-mana. Kenapa. Kenapa.

Aku tidak tahu akan menjawab apa. Tidak ada apa-apa.

Gadis dua puluh tahun itu berlutut di depanku. Air mata mengaliri pipinya dan hidungnya.

Dia memintaku untuk pergi. Untuk meninggalkan hatinya yang sudah terlalu dekat denganku. Tapi dia ingin aku tinggal, dan meninggalkan istriku.

Aku hanya di sana, tenggelam dalam semua keinginanku dan apa yang harus kulakukan untuk mempertahankan semuanya, seakan-akan itu bisa dilakukan. Aku tidak mau kehilangan apa-apa.

Tidak pernah bisa. Aku tidak bisa lagi menatap istriku setiap kami bersebelahan, saling menggenggam tangan, sebelum tidur. Ketika dia bercerita tentang harinya. Aku tidak bisa juga menelepon Erika lagi untuk masuk ke dalam ruanganku. Aku sudah terlalu jauh mengikatnya di dalam dadaku. Dia sekarang kesakitan setengah mati untuk melepaskan dirinya dari diriku.

109 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 110: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Aku tidak tahu apa yang kupercayai. Aku tidak tahu apa yang kupegang lagi. Ada banyak hal yang harus kupertahankan. Banyak hal yang harus kupertimbangkan.

Hingga akhirnya datanglah telepon itu.

“Aku akan kasih tahu istrimu tentang kita,” katanya.

Lalu nada statik panjang.

Kutadahkan kepala ke angkasa.

Ketika dia ingin mengambil segalanya dariku, aku menggigil. Segera kutinggalkan pekerjaanku. Kularikan diriku ke rumah. Kupeluk apa yang bisa kupeluk di sana. Kupeluk istriku ketika dia berjalan masuk. Dia memelukku balik.

“Papa kenapa?” tanyanya.

Aku masih menggigil. Kugenggam terus tangannya. Kuambil tasnya dan kucari-cari telepon genggamnya.

Sebuah nomor familiar tertera di sana. Meneleponnya.

Kubanting.

Aku ingin rambut halusnya, tubuhnya yang membuatku kecanduan. Tapi aku ingin istriku. Ingin rumah ini. Ingin hidup ini. Tapi bahkan ketika aku terbangun dari tidurku, mulutku masih membuka memanggil namanya.

110 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 111: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Aku akan ambil semuanya darimu,” katanya sore itu ketika kami berpapasan. Pelan. Dengan suaranya yang masih kekanak-kanakkan.

Api itu telah diembuskan keras oleh angin.

Semuanya terbuat dari hal-hal seperti ini.

Lalu ini terlintas begitu saja di pikiranku. Setelah aku berjalan kesana kemari dan meneleponnya berkali-kali, meminta agar dia tidak melakukan apa pun padaku atau istriku.

Pada satu titik, aku berdiri di tengah rumahku dan melihat ke sekeliling.

Melihat ke tubuhku dan baju yang kupakai.

Lalu istriku yang tidur di belakang sana.

Aku tidak mau takut lagi.

Aku pergi, membeli bensin di berbagai tempat, dan kutatap rumah ini dalam-dalam.

Kusiramkan semuanya ke seluruh penjurunya.

Ketika zat itu memadamkan cahayanya. Ketika udara yang berputar di atasnya tidak bisa menghidupkan apa-apa lagi. Ketika hidup tidak bisa dipanaskan lagi. Puing-puing berwarna

111 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 112: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

hitam legam. Semuanya telah kuberikan ke atas sana. Kepadanya.

Kini hanya ada tanah. Tiada apa pun di atasnya. Hanya aku yang menginjaknya.

Akan ada hal-hal yang tumbuh darinya. Akan ada hal-hal yang terkubur di dalamnya. Satu-satunya yang akhirnya akan kupunyai.

“Selamat tinggal.” Aku memencet tuts-tuts itu untuk memunculkan kata-kata yang kuinginkan di layar. Kirimkan.

Tidak ada yang bisa kamu ambil dariku.

Tidak ada yang bisa kuambil darimu.

Semuanya terbuat dari hal-hal seperti ini.

Semuanya hilang dengan hal-hal seperti ini.[]

112 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 113: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

P es anDanang Saparudin

eberapa lembar kertas bisu terbuka. Sebelumnya, kertas-kertas itu terkurung dalam kotak besi yang tertanam sekian lama di dekat pohon filicium di

halaman sekolah tanpa ada yang mengganggu.B

Kapsul waktu, begitu mereka dahulu menyebutnya. Saat itu mereka masih terlihat lugu dengan mengenakan seragam putih biru. Sekarang mereka terlihat jauh lebih dewasa.

***

“Apa kabar?”

“Sekarang makin cantik ya?

“Kerja di mana?”

113 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 114: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Di minggu yang tenang, filicium tua tampak segar dengan warna hijau yang menyala. Halaman sekolah tidak banyak berubah, padahal sudah satu dekade terlewat sejak hingar bingar pesta kelulusan sekolah.

Senyum-senyum rindu bersarang di wajah-wajah bahagia. Tegur sapa hingga peluk cium menghangatkan suasana pagi belum terlalu lama membuka pintunya. Beberapa pucuk daun filicium masih berselimutkan embun.

Tak sabar, seorang gadis muda berwajah manis menunggu untuk segera tahu di dekat pohon filicium dengan menggenakan baby doll putih motif bunga-bunga berwarna-warni dan sebuah cardigan .

Sebuah pacul siap membantu untuk mengambil sebuah kotak besi yang telah tertanam di bawah pohon itu. Acara utama reuni kelas 3F tahun ini, membuka kapsul waktu akan segera dimulai.

Tanah demi tanah mulai terbuka. Seseorang berperawakan besar yang dulu dikenal sebagai preman kelas mengayun pacul dengan perlahan agar tidak merusak kotak besi. Sedangkan yang lainnya menunggu dengan wajah tidak sabar.

Semua peserta reuni kelas ikut berbinar ketika kotak besi itu diangkat dari dasar tanah oleh Bom-bom, si preman kelas dengan wajah tersenyum puas seperti seorang bajak laut menemukan sebuah harta karun.

114 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 115: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Tahun ini semua murid kelas 3F angkatan 1999 SMP Tunas Muda bisa datang dengan lengkap. Sebanyak 40 mantan murid sengaja menyempatkan hadir, datang dan berbaur bersama untuk membuka pesan-pesan masa lalu yang dikirimkan untuk hari ini.

Begitu pula dengan Sophie, yang sudah lama menanti datangnya hari ini. Dia telah menunggu lama. Bahkan dia adalah yang datang paling awal demi reuni ini.

Kotak besi itu hanya sebuah kaleng bekas roti yang kami ambil dari rumah si ketua kelas sekaligus pencetus ide. Saat itu Bima berkata lantang di depan kelas seperti ilmuwan yang menemukan sebuah gagasan hebat untuk menyelamatkan dunia di masa datang, "Proyek ini adalah mesin waktu, sebuah kotak yang di dalamnya tersembunyi sebuah pesan untuk masa depan."

Semua murid kelas 3F mendengarkan dengan saksama ide dari sang ketua kelas yang berwajah rupawan.

“Jadi, kita bisa menuliskan apa saja untuk dikirim ke masa depan, cerita atau cita-cita, kenangan selama di kelas ini atau sesuatu yang menurut teman-teman bakal terjadi di masa depan, bahkan mengungkapkan cinta yang belum tersampaikan kepada teman sekelas juga boleh lho!”

Murid kelas 3F bergemuruh seperti sekawanan lebah yang menemukan taman bunga. Mereka terlihat begitu antusias setelah mendengar ide dari Bima untuk membuat sebuah pengakuan cinta.

115 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 116: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Namun, teman-teman hanya diberi satu lembar kertas saja untuk satu orang. Tidak boleh nambah. Tidak boleh ditulis bolak-balik!” Bima mulai mengedarkan separuh halaman hvs.

Saat itu, Sophie hanya tersenyum mendengar penjelasan Bima yang kelewat bersemangat. Sophie berpikir bahwa kotak biskuit yang akhirnya ditanam di depan pohon filicium yang tumbuh di depan kelas 3F sewaktu perpisahan SMP itu bukanlah sebuah mesin waktu. Ia sadar bahwa dirinya tidak akan berjalan lebih cepat dari waktu untuk tahu tentang isinya, ia tetap akan perlu waktu sepuluh tahun untuk mengetahui apa yang tersimpan di sana.

Hingga pagi ini, saat usia Sophie hampir seperempat abad, ia baru saja sadar bahwa kotak itu bisa membawanya dan teman-temannya kembali ke masa lalu.

***

“Wah… Gambar ini kayak anak alay jaman sekarang ya?” Bima bersuara lantang di depan kelas dengan mengangkat sebuah kertas hvs tinggi-tinggi. Di kertas itu tergambar sebuah murid SMP dengan rambut acak-acakan, celana mlorot, kemeja kekecilan, lengkap dengan sneaker kotak-kotak dan jam tangan karet sambil menenteng handphone besar di tangan kiri dan rokok di tangan kanan. Sebuah headphone besar menutup telinganya.

Semua murid tertawa karena tidak menyangka apa yang digambarkan seorang anak SMP di akhir era 90an benar-benar terjadi di tahun 2010. Bersamaan dengan itu seorang ibu muda

116 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 117: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

sambil menggendong anaknya tersenyum malu-malu sambil berdiri ketika Bima menyebut nama Maria sebagai pemilik kertas.

Pesan demi pesan dibacakan dan gambar-gambar lucu sudah diperlihatkan, ada tawa haru yang tersaji di ruangan kelas. Mereka dipaksa kembali mengingat masa lalu, tapi mereka tidak beranjak sedetik pun.

Kebanyakan pesan memang bertemakan persahabatan agar selalu keep contact dan tidak melupakan persahabatan yang terjalin semasa SMP. Selain itu, mereka juga menuliskan pesan berupa cita-cita. Banyak dari mereka yang terpingkal-pingkal ketika teringat cita-cita semasa kecilnya, seperti Dono yang terkenal mesum ingin menjadi dokter kandungan, tapi sekarang malah masih tersiksa di Teknik Sipil. Mungkin sekarang dia lebih jatuh cinta kepada beton daripada tubuh wanita karena kuliahnya belum juga selesai.

Berbeda dengan Dono, Anggie yang bersuara merdu sedikit beruntung karena dia bisa menjadi news anchor di salah satu televisi swasta. Begitu pun dengan Bom-Bom yang dahulunya dikenal sebagai preman kelas sekarang malah bermetamorfosis dengan menjadi seorang juru dakwah selepas menyelesaikan pendidikannya di Pondok Pesanten terkenal di Jawa Timur. Bom-Bom berubah drastis dari tutur kata yang kasar menjadi lembut seperti alunan surga.

Selain itu, pasangan abadi Romli dan Zuliyah tetap setia hingga sekarang, bahkan mempunyai momongan tiga orang

117 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 118: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

anak. Hampir sepertiga dari jumlah murid kelas 3F telah mengakhir masa lajang. Sedangkan Sophie masih menanti seorang pangeran.

Udara pagi menerobos jendela yang dibuka lebar-lebar. Rambut panjang Sophie terbang mengangkasa. Bima membacakan tulisannya sendiri yang berisi pesan-pesan untuk masa depan dunia. Dia memang terlalu cerdas dan berpikiran jauh ke depan untuk anak usia SMP, pantas saja dia langsung berhasil mendapatkan beasiswa S2.

Mana-mana tulisanku? Sophie merasa cemas. Ia tidak akan terima jika hanya kertasnya saja yang dimakan rayap sedangkan kertas-kertas lainnya telah selamat melintasi waktu.

Bima mengangkat satu kertas terakhir. Pasti itu milikku!

Aku memang bukan seorang malaikat, tapi aku ingin malaikat mencatatnya dalam kisah hidupku selama di dunia.

Aku mencintaimu, BIMA!

Suasana berubah hening. Angin berdesir melalui celah-celah jendela. Sophie tampak puas. Senyum mengembang di wajahnya. Lantas ia melangkah pergi meninggalkan ruang kelas dan pohon filicium yang telah menjadi rumah terbaiknya selama hampir delapan tahun. Ia tidak hanya berhasil menjaga pesannya, namun juga bisa melihat pesannya tersampaikan langsung kepada cinta pertamanya; Bima. Bahkan pesannya itu dibaca sendiri oleh pujaan hatinya.

118 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 119: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Sophie merasa lega. Hari-hari beratnya tinggal di batang fillicium tua telah berhasil dijalankan dengan sempurna. Dia merasa sangat bahagia hari ini. Langkahnya menjadi lebih ringan meninggalkan tanah hingga terbang menuju gerbang akhirat.

***

Selepas acara reuni selesai, Bima memimpin teman-temannya untuk berkunjung ke rumah Sophie yang tidak begitu jauh dari sekolah. Mereka ingin bersilaturahmi kepada keluarga dari salah satu sahabatnya yang telah meninggal dunia dan berziarah ke makam Sophie.[]

119 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 120: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Ai r M at aMuhammad Arif Rahman

ku menetas dari sebutir kesedihan yang terperangkap dalam sunyi yang paling sepi.A

“Maukah kau menikah denganku?”

Ucapannya gamblang dan lugas, tapi Maria seakan tak mendengarnya.

“Apa?”

“Maukah kau menikah denganku? Aku mencintaimu, Maria.”

Maria menatap wajah pria itu, ketulusan terpancar dari rautnya. Lalu dia tersenyum dan mengangguk pelan.

“I-i-iya, aku bersedia.”

120 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 121: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Lelaki itu lalu mengeluarkan sebuah cincin yang dipasangkannya ke jari manis Maria, senyum terpatri di bibirnya yang kering. Matahari terbit di pucuk Semeru, ketika kedua pasangan pencinta alam itu berciuman, hangat. Gigilnya udara pagi membuat peluk mereka merapat, semakin dekat lalu melekat. Air mata mereka berkilau diterpa mentari, bak pelangi yang memancarkan surga, indah.

***

Rangkaian bulu mata indah membelaiku sejenak, lalu melepasnya perlahan setelah mendengarkan kisah tentang sembilu.

Sebagai pasangan muda, kehidupan mereka cukup harmonis. Tak banyak konflik, pertikaian kecil justru semakin merekatkan mereka. Seorang anak laki-laki hadir menjadi kado tiga tahun pernikahan mereka. Macha, nama bocah kecil itu. Lucu bukan? Akronim dari Maria dan Chakra, nama orang tuanya.

Chakra bekerja di sebuah LSM yang menangani masalah lingkungan hidup, kegiatannya mulai dari masalah penebangan liar, konservasi terumbu karang, hingga ke masalah bantuan bencana alam. Sementara Maria, memilih untuk jadi ibu rumah tangga. Menjaga dan merawat keluarga adalah keinginannya sejak remaja.

Alih-alih berbelanja di mall, keluarga kecil itu lebih sering menghabiskan liburan untuk berwisata alam.

121 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 122: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Mah, besok akhir bulan kemana ya?”

“Gimana kalau ke Puncak, Mas? Macha mau kemana?”

“Yaaah, dua bulan lalu kan kita abis kesana Mah, masa kesana lagi? Aku mau ke Ujung Genteng lihat penyu, Mah!”

Papa mamanya cuma senyum-senyum kecil melihat tingkah anaknya yang akan menginjak bangku SD itu.

***

Pada suatu sore di awal bulan November,

“Papa, itu gunungnya kenapa? Kok bisa keluar asap?” Macha sedang memandang liputan tentang Merapi di televisi.

“Macha, Itu gunungnya lagi batuk.”

“Oh, batuk ya? Tapi kok keluar merah-merah kayak darah gitu?”

Chakra mengusap kepala anaknya, dasar anak sekarang pintar-pintar. Batinnya.

***

Lengkingan handphone Chakra memecah keheningan malam, tak biasanya handphone itu berbunyi di tengah malam. Setengah mengantuk, dia menjawab.

“Ya, halo.”

Samar-samar terdengar suara percakapan yang cukup serius.

122 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 123: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Iya, saya mengerti. Akan saya usahakan,” ujarnya mengakhiri pembicaraan telepon malam itu.

“Siapa Mas?”

“Dari kantor.”

“Lalu?”

“Ya, besok aku akan berangkat ke Merapi. Mereka kekurangan tenaga disana.”

“Kamu yakin Mas?”

Lelaki itu hanya mengangguk.

“Ayo, kita tidur lagi.”

***

Pagi harinya, Chakra sudah siap di teras menunggu jemputan yang akan mengantarnya ke Jogja, jalur penerbangan ke sana sementara ditutup karena cuaca buruk.

“Loh, Papa mau kemana? Terus yang anterin aku sekolah siapa dong?”

“Ntar diantar Mama ya nak, Papa mau ke luar kota.”

“Pulangnya kapan, Pa?”

“Papa janji, secepatnya. Kamu baik-baik ya sama Mama.”

Jemputan itu datang, Chakra mengecup kening istri dan anaknya lalu melangkah ke gerbang. Air mata mengalir pelan di

123 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 124: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

pipi Maria dan Macha yang masih belum tahu apa-apa, begitu pun di pipi Chakra.

***

Kulangkahkan kaki menuju bukit di hadapanku, bukit yang dahulu indah kini telah sempal oleh keriput. Bukit yang terukirkan lintasan air mata.

Awan tebal menyambut Chakra ketika dia menginjakkan kaki di Jogja, Jogja yang dulu dia kenal indah, sekarang bak padang pasir dikala petang. Debu di mana-mana dan langit gelap gulita. Hal yang pertama dilakukannya adalah menghubungi istrinya.

“Halo Maria.”

“Iya Mas, gimana disana?”

“Keadaan chaos disini, mirip kota mati. Debu betebangan, lalu lintas lengang, harus selalu waspada dan pakai masker. Oiya, mungkin sebentar lagi aku akan naik dan ga ada sinyal handphone disana.”

“Tempatnya dimana Mas?”

“Di Desa Kinahrejo, Cangkringan.”

“Hati-hati Mas, aku sayang kamu.”

Klik! Pembicaraan itu berakhir.

***

124 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 125: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Pemandangan memilukan tampak ketika Chakra tiba di Desa Kinahrejo sore harinya. Hampir semua wilayah rata tertutup debu, rumah-rumah rusak berantakan. Dalam hati, dia berdoa, melafalkan nama-Nya, memohon bantuan-Nya supaya musibah cepat berakhir.

Setelah membangun posko darurat disitu, Chakra bersama anggota LSM lainnya mulai mengevakuasi para korban akibat awan panas. Ada beberapa warga yang enggan meninggalkan kediamannya karena berbagai alasan dan ada juga warga yang telat mengungsi sehingga menjadi korban. Mereka ditemukan dalam berbagai posisi, ada yang terimpit reruntuhan rumah, ada yang tertimbun pasir dan debu, dan ada yang meninggal di tempat terbuka dengan kondisi badan hangus terbakar. Mereka yang ditemukan masih bernyawa segera dilarikan ke Rumah Sakit terdekat.

“Baiklah, sementara pencarian kita hentikan dulu karena hari sudah gelap. Karena situasi tidak memungkinkan untuk kembali ke kota, malam ini kita tidur di Posko.”

Chakra mematuhi instruksi dari pimpinan relawan itu. Pria itu, Pak Seno merupakan figur yang telah dikenalnya lama, dan Chakra sangat menghormati pria itu. Lalu istirahatlah mereka dengan harapan besok kembali bugar untuk melanjutkan tugasnya.

Mereka tak tahu apa yang akan menemui mereka ketika terlelap malam itu. Pada dini hari, gemuruh kencang terdengar dari puncak Merapi. Tanah bergetar hebat akibat terjadinya

125 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 126: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

erupsi, dan awan panas bergerak perlahan menuju Posko Darurat mereka.

Air mata menyebar di mata Chakra akibat debu panas, dan menetes dari mata Maria yang malam itu sedang berdoa untuk keselamatan suaminya.

***

Gravitasi menyeretku turun, mengecup bibir merah itu sejenak sebelum meninggalkan hangat selamanya.

Hari Jumat, 5 November 2010 sore hari. Sebuah berita ditayangkan di televisi mengatakan bahwa Merapi meletus lagi pada dini hari, dan desa Kinahrejo termasuk desa yang terkena semburan awan panasnya. Maria menyaksikan berita itu dengan mata berkaca-kaca.

Tayangan gambar berikutnya memperlihatkan gambar jenazah para korban yang telah berhasil dievakuasi ke RSU dr. Sardjito Yogyakarta. Dan dalam sekelebat tayangan tersebut, matanya menangkap tajam sesuatu yang berkilau diantara jenazah yang hangus terbakar. Ya sebuah cincin, cincin yang bertuliskan namanya.

Entah berapa lama air mata tersebut mengalir deras dari kelopak mata Maria, kini terbentuk satu cekungan gelap di pelupuknya.

126 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 127: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Kini, sebuah jurang terbentang di hadapanku. Nyanyian-nyanyian merdu terdengar dari dasar, meneriakkan namaku. Sambil merapal doa, aku turun menjemput suara-suara itu.[]

Inspirasi dari:

@fiksimini: RT @FikrieRosano: PERJALANAN AIR MATA. Kebun bulu mata, bukit pipi, turunan dagu, jurang.

127 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 128: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Ji k a C in t a J an g an Ma t iEliana Candra

ika kau bertanya padaku tentang apa yang paling kutakutkan dalam hidup, maka aku akan segera menjawabnya dengan cepat, satu kata yang telah menjadi hantu dalam setiap helaan napasku. J

Kematian.

Ya. Sejak bertahun-tahun yang lalu, aku mencoba berlari dari kematian, menghindari segala kemungkinan yang dapat membuatku sampai padanya. Kedengarannya konyol. Tapi begitulah. Aku takut mati ternyata.

Dan sialnya lagi, aku tak tahu bagaimana cara berdamai dengannya. Dia seperti ada dimana-mana, berembus kemana saja dia mau, mengambil siapa pun yang dia ingini. Termasuk aku. Tak peduli dia janin di rahim yang baru saja ditiupkan ruh

128 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 129: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

atau pun seorang renta yang telah 100 tahun lebih menjadi saksi menuanya dunia. Kematian… telah menjadi bayangan tergelapku.

Lalu, jalan-jalan menjauhi kematian pun mulai kutempuh. Kupelajari apa pun, APA PUN, untuk bisa lepas darinya. Hingga akhirnya… kutinggalkan dataran luas asri yang membesarkanku dalam banyak cerita, hanya karena aku berpikir tempat itu tiba-tiba saja menjadi tidak aman lagi bagiku, membuatku tak bisa berlindung jika sewaktu-waktu angin kencang datang berembus mengusung kematian, menerbangkan kegelisahanku ke dunia ruh tanpa akhir. Aku pun memutuskan pergi.

Kini aku tinggal di daerah perbatasan. Menjadi anak pantai yang mencoba hidup santai. Namun tetap saja. Bayangan kematian mengikutiku lagi ke sana, membuatku takut setengah mati. Berita-berita tentang tsunami yang melahap beberapa tempat di penjuru dunia, ikut menyapu habis keberanianku untuk tetap di tinggal di tepian samudra ini. Aku pun hengkang lagi, berpindah, menghindari kemungkinan amukan air yang sewaktu-waktu bisa membunuhku.

Menjauhi pantai, adalah ide anti-kematian terbaik yang pernah terlintas di kepalaku. Hatiku selalu was-was. Pikiranku tak pernah tenang. Setelah beberapa waktu. Kutemukan juga padang hijau tinggi yang menyejukkan. Aku merasa jauh lebih tenang tinggal di pegunungan, menemukan keluarga baru,

129 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 130: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

menikmati keheningan yang membantuku untuk berpikir jernih mengatur strategi mengelabui kematian.

Tapi itu pun tak bertahan lama. Suatu ketika, saat dunia terlelap dalam mimpi-mimpi fananya, aku dikagetkan kenyataan yang menakutkan. Suara gemuruh yang belakangan ini sering terdengar, tiba-tiba saja menggelegar, mengantarkan pasir dan abu menghujani atap rumahku. Deras sekali. Bunyinya bergemerisik seperti serpihan halus kaca yang ditebar di atas seng logam. Semua orang berlarian keluar. Menyaksikan sabda alam yang baru kali itu menyapa mereka. Semua orang panik. Termasuk aku. Semua strategi anti-kematian yang telah kuciptakan lenyap entah kemana.

Belum selesai kepanikan kami, tiba-tiba datang hawa panas menyelubungi kami, dari pintu depan muncul kepulan hitam mendobrak-dobrak keras, mengurung rumah kami. Semua menjadi gelap. Dan panas. Teriakan ketakutan, lolongan kematian, tangisan kepasrahan tiba-tiba meramaikan udara yang kami hirup. Malam itu, kematian telah menjemput paksa sebagian besar orang-orang di desaku. Tak ada kemesraan perpisahan yang biasa dibawa awan gunung. Mereka pun meregang nyawa dalam panasnya pelukan abu, sedangkan yang hidup, berlarian mencari selamat.

Sesaat setelah gumpalan hitam itu berlalu. Aku tertinggal sendiri. Tak ada yang tersisa. Kupacu diriku menjauhi tempat itu. Tersengal-sengal, tak kuhiraukan sesak napasku. Di jalan, aku bertemu banyak malaikat. Aku tahu itu dari buku-buku yang kubaca, melihat sayap-sayap mereka yang terkembang dan

130 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 131: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

paras mereka yang rupawan . Mereka menerobos guyuran abu, ada yang memanggul tubuh-tubuh tanpa nyawa dan membantu mereka sampai ke puncak langit ketujuh. Ketika melihatku, mereka berhenti dan memelukku erat seolah ingin bilang,

“Tenanglah, kau akan aman bersama kami.”

Ketakutanku terlalu besar. Ketakutanku mengalahkan ketenangan yang ditawarkan para malaikat itu. Aku pun menyentak pergi, menjauhi gunung yang telah menjadi kawah candradimuka bagiku.

Aku tak tahu lagi harus ke mana. Sepertinya, sudah tak ada lagi tempat untukku berlari. Aku lolos dari maut. Tapi kematian menghadangku di mana-mana. Mungkin saatnya aku menyerah kalah. Pasrah dalam genggaman ajal.

Aku menangis sejadi-jadinya. Menyadari hidupku akan segera berakhir, tanpa sempat mengucap perpisahan, tanpa sempat memberikan cinta pada semua yang kukasihi. Aku akan mati dalam kesendirian. Terkubur sendiri dalam sepi. Wajahku basah, isakanku tak juga berhenti. Pasrahku membubung ke langit. Semua menjadi gelap.

***

Kubuka mata. Aku sudah berada di ruangan serba putih. Tak jauh dariku, kulihat kau duduk di tepian tempat tidur. Tersenyum padaku. Memoriku berputar, mencoba mencerna yang telah terjadi. Aku terkesiap.

131 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 132: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Apa aku sudah mati?”

“Belum.”

“Lalu aku ada di mana sekarang?”

“Rumah sakit.” jawabmu seraya memegang tanganku. Kugenggam erat tanganmu. Mencari-cari kekuatan dari dalam dirimu.

“Shh… tenanglah. Kau baru saja lolos dari maut. Kebetulan aku sedang tugas jaga malam itu saat seseorang membawamu kepadaku kemari. ”

“Siapa?”

“Seorang lelaki gagah, bersurjan dengan blangkon di kepalanya.”

Aku terdiam.

“Dia bilang, cinta tak ingin mati. Hanya meminta perhatian sang kekasih. Rawatlah orang ini. Setelah itu dia pergi dan aku tak lagi melihatnya di sini.”

Tiba-tiba sebuah kesadaran mengalir dalam diriku seiring air mata yang luruh dari sudut luar mataku. Aku terisak-isak. Dan kau masih terus menepuk-nepuk tanganku.

“Dia malaikatku,” bisikku perlahan diantara tangisku.

“Eh??” ungkapmu kaget. Mungkin ini pertama kalinya kau melihat lelaki keras sepertiku menangis dan terkapar dalam ketakberdayaan.

132 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 133: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Saat kematian akan menjemputku, aku merasakan seseorang memelukku erat. Menyembunyikanku dalam dekapannya dari sesuatu yang sangat panas. Selang setelahnya, ia menarikku berlari keluar rumah. Aku seperti dibawanya melayang.”

Kau diam. Masih mendengarkanku. Aku menghela napas panjang.

“Dia tahu aku takut kematian dan mencoba berlari sejauh mungkin dari ajal. Dia tahu aku belajar apa pun agar aku bisa bebas dari maut, makanya dia bawa aku bersentuhan dengan kematian. Dia ingin aku tahu rahasia kematian. Dia bilang, aku tak perlu takut. Di dalam diriku masih ada tiket memasuki kematian dengan indah. Dan tiket itu belum sampai waktunya.”

Kau masih juga diam. Mendengarkan.

“Ternyata… ternyata… inilah rahasianya.” Air mataku mengalir lagi.

“Apa?” katamu singkat sembari mengusap air mataku.

“Tenyata … dari semua ilmu yang kupelajari untuk melawan kematian … tak ada lagi yang berarti… selain ilmu yang satu itu,” kataku terbata-bata.

“Ilmu apa itu?”

“Pengetahuan tentang Tuhanku.”

“Pengetahuan tentang Tuhan?”

133 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 134: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Ya. Pengetahuan tentang nama-Nya, tentang sifat-sifat-Nya, tentang betapa Maha Cintanya Dia. Dan aku… jika sudah saatnya.. aku takkan bisa lari lagi dari kematian, kemana pun aku sembunyi,” kataku sembari menatap matanya yang lembut.

Kau tersenyum memandangku. Dan aku tahu itu pandangan mengiyakan.

“Walaupun tak bisa menghindari kematian, Tuhan berjanji membolehkanku memilih akhir hidupku, Nik. Dan aku ingin mati bertabur cahaya, bukan dalam kegelapan.”

“Ya… sekarang… kamu istirahat dulu ya. Kemarin kau banyak menghirup abu. Masih sesak?” tanyamu lembut sambil meletakkan tanganmu di dadaku. Kujawab dengan gelengan kepala.

Kau beranjak berdiri. Menarik selimutku ke atas dan merapikan letaknya di tubuhku.

“Nik,” cetusku tiba-tiba.

“Ya,” jawabnya sambil menghentikan gerakannya.

“Tuhan sedang cemburu.”

“Kenapa?”

“Karena aku hanya memikirkan diriku. Karena aku mulai mengabaikan-Nya, mengabaikan sekelilingku. Dia cemburu karena aku tak lagi menyebut nama-Nya, tak lagi menunjukkan cinta-Nya pada semesta raya. ”

134 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 135: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Tuhan tahu sekarang kau sudah berubah,” katamu sambil tersenyum. Aku pun ikut tersenyum.

“Istirahat dulu ya, sampai ketemu besok,” bisikmu didekat telingaku. Dan anggukanku telah menjawab permohonan pamitnya.

***

Di luar terdengar sangat gaduh, tapi aku mulai diserang kantuk. Sepertinya aku mulai bermimpi. Dalam mimpiku ini, aku melayang ringan berkeliling dunia. Menyapa pepohonan, burung-burung yang bertengger diatasnya, menyapa awan, menyapa samudra di bawahnya, menyapa gunung yang gagah berdiri, menyapa angin, menyapa bumi. Tanpa kuduga, semua juga balas menyapaku. Aku tertawa bahagia merasakan keramahan mereka.

Tiba-tiba, ayunanku berhenti. Ada cahaya di depanku. Dia menyapaku terlebih dulu. Entah kenapa aku merasa hangat dan sangat gembira. Kubalas sapaannya. Sambil tertawa bahagia, kusambut uluran tangannya. Kami bergandengan erat, bergerak menjauhi bumi. Menembus awan-awan di langit. Lalu, semua berpendar dalam Cahaya.[]

135 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 136: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

S h u ny aPutra Perdana

Api

erah. Berpijar seperti cahaya dari pemantikku. Mungkin seharusnya aku lebih memperhatikan tanda-tanda itu. Sebagaimana aku memperhatikan

tanda-tanda dari istriku. Tanda-tanda bahwa perselingkuhanku telah diketahuinya. Tidak seharusnya aku main api.

MSemua ini karena si Toyan. Dia memang terlalu banyak

bicara. Apalagi ketika dia mendatangi rumahku dua bulan lalu untuk memberitahuku bahwa proyek sampingannya telah berjalan. Dia keceplosan membeberkan suatu kejadian yang menghubungkanku dengan selingkuhanku. Memang dia juga sedang bersamaku ketika aku pertama kali mengenal Susan, setelah pesta tutup tahun pembukuan kantorku. Aku bertemu dengan perempuan itu di sebuah klub. Aku, Toyan dan

136 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 137: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

beberapa orang dari bagian marketing serta account lanjut usai pesta di kantor.

Kami memanggil Toyan dengan sebutan “Si Radiator”, karena kebanyakan kata ‘Ketoyan’ yang kita temui di Jakarta selalu bersanding dengan kata ‘radiator’. Padahal nama aslinya adalah Budhi Hartanto, asal Ketoyan, Boyolali. Seperti biasa dia mempermalukan dirinya sendiri di depan umum, rutinitas yang dilakukannya dibawah pengaruh alkohol. Di tengah asiknya ia menari-nari seperti orang gila, dia menyenggol seorang pelayan yang sedang membawa minuman. Minuman itu pun tumpah di gaun seorang wanita, dan semua bermula dari sini. Wanita itu bernama Susan. Sejak pertemuan itu kami terhubung melalui BlackBerry. Tentunya aku tidak pernah menghubunginya ketika bersama istriku. Tidak ketika putra kami menginjak usia 6 bulan. Tidak ketika masa-masa begadang itu telah lewat. Tidak ketika kami mulai berhubungan intim lagi. Tapi laki-laki itu memang berengsek. Setelah merasakan pelukan perempuan lain, hubungan suami-istri terasa hambar bagiku.

Sebagaimana api cepat menyebar dalam kebakaran, demikian pula birahiku berkobar. Aku menyukai derasnya adrenalin dalam darahku, ketika merasuk rasa cemas bahwa hubungan kami akan diketahui orang. Lebih dari itu, aku kecanduan sensasi rasa cemas ketika kami melakukannya di mobil. Ketika kami melakukannya di tangga darurat. Ketika kami melakukannya di kamar kostnya tanpa mengunci pintu.

137 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 138: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Tapi tanda-tanda yang kumaksud bukanlah dari istriku. Bukanlah ketegangan dan letupan amarahnya ketika aku membuat kesalahan kecil, seperti lupa memberi obat anakku ketika dia sakit atau terlambat menjemput istriku sepulang kerja. Tidak, ini lebih dari itu. Ini adalah tanda-tanda sebelum letupan maha dahsyat yang memusnahkan ratusan jiwa.

Angin

Tak terlihat, namun terasa begitu kencang. Embusannya sampai memadamkan bara rokokku yang baru saja kuisap dalam-dalam. Ia tak memiliki bentuk, tapi kekuatannya tak diragukan. Dia bisa membawaku jauh dari habitatku. Aku pergi kemana angin berembus.

Angin pula yang membawaku kesini, Taman Nasional Gunung Merapi, sebuah kawasan hutan lindung yang luas terbentang antara propinsi Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk apa aku di sini? Lagi-lagi jawaban akan hal itu masih ada hubungannya dengan si Toyan. Setelah aku meninggalkan rumah, dia mati-matian berusaha untuk minta maaf, sampai mengambil cuti untuk mengajakku ke kampung halamannya. Sebelum tiba di daerah Boyolali, langkahku berbelok sebagaimana angin berubah arah. Tiba-tiba saja aku memutuskan untuk berhenti di sebuah tempat di jantung kota Yogyakarta. Tempat itu bernama kelenteng Hok Tik Bio, atau kini dikenal sebagai Vihara Buddha Prabha.

Semudah angin laut berubah menjadi angin darat, semudah itu pula aku berganti keyakinan. Aku kehilangan

138 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 139: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

kepercayaan pada Tuhan lamaku ketika aku membiarkan diriku berbuat dosa dengan Susan. Di kelenteng itu aku bertemu dengan Sifu Dhiyani, yang mengajarkanku untuk menemukan diriku. Dia bilang pertama-tama aku harus menemukan apa elemenku. Dalam Buddhisme, empat elemen adalah dasar untuk mengerti penderitaan dan untuk membebaskan diriku darinya.

Memang tidak mudah memercayai seorang tua botak berjenggot putih panjang, hingga saat dimana kulihat tubuhnya melayang lima sentimeter dari lantai ketika sedang bermeditasi. Berulangkali aku meyakinkan diriku kalau ini bukan halusinasi, kalau mataku tidak menipuku. Tapi orang tua itu betul-betul melayang!

Saat kutanya bagaimana dia melakukannya, dia malah menamparku dengan kemoceng. Dia bilang aku tidak benar-benar berkonsentrasi dalam meditasiku hingga aku membuka mata dan melihatnya. Setelah sesi meditasi penuh hikmah itu usai, baru dia menjelaskan padaku.

Dia bilang aku harus mencapai kekosongan sempurna, dan cara untuk melakukan itu dimulai dengan memanggil hewan kekuatanku. Ya, pertama-tama aku disuruh memilih sebuah hewan yang menjadi perlambang kekuatanku. Kuhabiskan waktu sehari semalam berselancar di Google untuk mencarinya. Akhirnya dengan mata sepah aku menemukannya, elang jawa, atau Spizaetus bartelsi. Mengapa elang? Yah kupikir karena aku harus mencari sesuatu, bukankah cara paling gampang adalah dengan melihat dari tempat tinggi? Logikanya

139 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 140: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

aku memilih hewan yang dapat terbang di ketinggian 150 meter agar dapat dengan mudah menemukan apa yang kucari.

Itulah yang membawaku ke tempat ini, Taman Nasional Gunung Merapi, suaka alam habitat alami elang jawa. Masalahnya, sudah hampir dua hari dua malam aku di sini aku belum pernah sekali pun melihatnya. Sementara persediaan Djarum Super, Indomie dan Silverqueen di ranselku mulai menipis. Uap panas dan abu vulkanis yang dibawa angin pagi ini juga tidak membantu sama sekali.

Tanah

Kerikil dan batu-batu itu mulai menari lagi. Kejadian yang sama seperti sebelum kulihat pijar merah itu tadi malam. Salah satu tanda-tanda yang kuacuhkan. Kini aku harus membayar akibatnya. Memang mereka bilang aku terlalu kaku, tapi ini konyol. Hampir seluruh tubuhku tidak dapat digerakkan, yang bisa bergerak tinggal kelopak mataku, yang kukedip-kedipkan untuk menyisihkan debu dari mataku. Debu dan tanah telah menguburku dalam sebuah retakan tempatku terperosok tak jauh dari tendaku.

Aku sering melihat di saluran TV kabel, acara masak yang dibawakan seorang negro. Dia sering bilang kalau dia suka memasak menggunakan rempah-rempah yang memiliki “rasa tanah”. Aku berani taruhan kalau dia tidak pernah merasakan apa yang kurasa di lidahku sekarang. Sebagaimana statis dan stagnannya tanah, kini aku bergeming, kaku karena tangan dan kakiku terhimpit. Rasanya aku menjadi tanah itu sendiri.

140 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 141: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Mungkin elemenku memang tanah, aku terlalu kaku, mengingatkanku pada masa pertama kali aku diterima sebagai penulis artikel di sebuah majalah gaya hidup, yang kebanyakan mengulas tentang travel. Aku terlalu terpaku pada peraturan dan pakem kebijakan kantor, bahkan bisa dibilang aku berlindung di baliknya. Tanah itu keras, sekeras kepalaku ketika berdebat dengan istriku, tentang polis dan premi asuransi, tentang memilih rumah sakit dan dokter anak, tentang berbagai hal.

Di tengah kerasnya himpitan tanah, aku merasakan daerah yang longgar di dekat paha kiriku. Alamiahnya, karena ini satu-satunya bagian tubuh yang bisa kugerakkan, sebisanya kugerak-gerakkan terus. Entah berapa lama aku melakukan itu, yang pasti dari mulai terasa getaran di tanah, sampai getaran itu cukup kuat untuk membuat kerikil menari, hingga berhenti lagi. Juga sampai cahaya mulai mengintip di ufuk timur. Akhirnya aku berhasil membuat ruangan untuk menggerakkan betis kiriku dan sebagian kaki kanan. Tangan kananku yang terhimpit ke kaki kananku juga otomatis bisa bergerak, walau hanya sebatas siku.

Semakin banyak ekstremitas yang bisa kugerakkan, semakin berkurang himpitan tanah itu. Tapi situasi tidak menjadi baik. Kini mulai terdengar kepak dan kicau burung tanda pagi menjelang, namun tanah mulai bergetar lagi. Aku bisa merasakan embusan angin di rambutku, terlihat juga dari tendaku yang melambai-lambai. Mataku kembali perih akibat debu yang dibawa angin itu, kulitku terbakar lagi akibat uap

141 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 142: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

panas, ditambah lagi bau belerang menyengat hidungku. Getaran kali ini membawa sedikit berita baik, aku bisa merasakan tekanan tanah yang menghimpitku berkurang. Semakin berkurang hingga longgar, dan akhirnya tidak lagi menghimpitku. Tapi ternyata itu bukan berita bagus, karena aku semakin terperosok ke dalam retakan itu, ke lubang di bawahnya yang berhasil kubuat dengan menggerak-gerakkan bagian tubuhku tadi. Aku pun terjeblos kedalam lubang itu, ke dalam kegelapan. Aku ditelan bumi secara harfiah.

Air

Sejuk. Mengalir perlahan tapi pasti. Entah bagaimana aku bisa merasakan aliran air di sekujur tubuhku. Mataku memberitahuku bahwa semua masih gelap, aku belum bisa melihat apa-apa, namun tubuhku memberitahuku kalau aku sedang bergerak. Aku seperti menyusuri saluran panjang, pipa yang diameternya pas dengan lebar tubuhku. Hingga akhirnya aku bisa melihat cahaya.

Byuur..!

Aku tercebur ke sebuah sungai. Seluruh tubuhku sakit tak terperi, belum lagi kaku setengah mati akibat terimpit tadi. Sepertinya aku tadi terjatuh ke sebuah sungai bawah tanah, terbawa arus, kemudian keluar dari hulu sebuah sungai.

Sudahlah. Berpikir hanya akan menguras energiku. Aku ingin menikmati sejuknya air ini. Tubuhku yang lunglai mengalir mengikuti lekuk-lekuk sungai. Mungkin elemenku adalah air, mengalir mengikuti arus, kadang deras kadang

142 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 143: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

santai. Mengisi tempat-tempat kosong, seperti kosongnya hati istriku. Ketika deras menghanyutkan, seperti ketika aku bersama Susan. Ketika pelan membosankan, layaknya rutinitas hidupku.

Aku berhenti, tapi arus air masih mengalir. Rupanya aku sudah tiba di hilir sungai, akhir dari aliran, akhir dari perjalananku. Matahari mulai keluar dari sembunyi, merangkak mendaki langit yang kini dipenuhi cahaya. Rasa sakit di sekujur tubuhku telah berkurang. Tapi ada yang salah, aku tidak bisa menggerakkan kaki kanan dan tangan kiriku. Kulihat ada yang menyembul dari lengan kiriku, sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana. Berwarna putih diselimuti merah. Tangan kiriku patah terbuka, dan darah mengalir dari dalamnya. Entah sudah berapa lama, yang jelas kini kebas. Aku merasa damai, hampir tidak merasakan apa pun. Saraf-sarafku tumpul. Mungkin aku sudah kehilangan banyak darah, yang tercecer dari tempatku sekarang hingga ke lubang retakan tadi. Ketika itulah aku melihatnya, Spizaetus bartelsi, elang jawa. Aku mengerti sekarang. Kupejamkan mataku, namun yang terlihat malah sinar terang. Inikah artinya terlepas dari penderitaan?[]

143 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 144: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

C i nt a S e p as an g Ba t u da r i M as a L al uSitty Asiah

ayang... Sungguh aku tak berdusta kala berkata aku terbangun malam ini karena tiba-tiba merindukanmu. Saat diam-diam kuintip rembulan sedang berpendar

kisruh di langit sana, aku bertanya. Apa yang sedang kau lakukan di seberang sana? Apa kita sama-sama sedang menatap kegelisahan gemintang? Mengharap mentari tetap jejaka perkasa menyinari rembulan. Hingga kekisruhannya yang berpendar semacam itu, tak akan tertelan langit luas. Sayangku, apakah Tuhan tahu apa yang ada dalam kisah kita bermega abad yang lalu. Saat kita masih sama-sama menjadi batu, bersandingan menatap lautan yang begitu gagahnya merajai planet ini?

S

Tapi aku percaya, seperti yang selalu kau bisikkan di setiap helaian malam itu. Tuhan itu Maha tahu, Tuhan itu Maha baik, Tuhan itu Maha adil. Saat itulah kau buat aku tetap

144 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 145: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

meyakini, bahkan hingga kini, bahwa Tuhan yang akan membawakan cinta itu kembali utuh untuk kita. Walau saat ini kita tak lagi menjadi sepasang batu. Namun setidaknya Dia mengizinkan kita bertemu kembali. Aku tahu, dia yang kini tidur di sampingku ini, bukanlah kamu. Dan gadis itu, yang tertidur lelap di sampingmu, bukanlah aku. Tapi hati kita terikat satu. Sayangku, Tuhan kirimkan kita kembali di sini, menatap kegelisahan gemintang. Terwakili sudah semuanya. Karena perasaan seperti ini bukankah seharusnya kita bunuh saja? Demi laki-laki di sampingku, demi gadis itu, karena bersama mereka kita pernah bahagia. Mereka mencinta, dan berharap cinta. Sudah, biarkan saja gemintang mewakili kegelisahan kita. Terima kasih pada bisikanmu di helaian malam itu. Kini aku masih percaya bahwa Tuhan itu Maha tahu, Tuhan itu Maha baik, Tuhan itu maha adil. Tuhan tahu yang terbaik untukku. Kalaupun itu kamu, Ia pasti akan berikan jalannya untuk kita. Tanpa harus menyakitiku, tanpa harus menyakitimu, tanpa harus menyakiti cinta. Nanti, saat kamu kembali menjadi batu, sayangku...

Tunggu aku, yang pasti akan kembali padamu. Mendampingimu, memandang lautan yang kembali merajai planet ini.[]

-Bee- (di sela-sela meniti mimpi) 210409

145 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 146: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

R i nd uArtasya Sudirman

agaimana aku bisa mengerti semesta raya, jika seorang kamu saja belum mampu aku pahami perasaannya? B

***

Malam sebentar lagi dewasa. Biasanya ketika jarum pendek hinggap di angka sepuluh, aku masih menyeruput secangkir kopi di hadapan layar komputer. Tapi tidak untuk kali ini, puluhan pelupuk mata tertutup menggolek di sekitarku. Beberapa di antaranya bahkan telah mengorok, terlalu lelah tampaknya. Tidak banyak jenis suara yang masuk, lumayan hening. Hanya kadang terdengar semacam petasan kecil, petir, atau getaran yang dapat menggerakkan tubuh dan benda yang tadinya diam. Tapi kami terbiasa, setidaknya mulai membiasakan diri.

146 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 147: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

***

Dari kaca yang terkadang bergetar aku melihat gerimis abu. Lagi-lagi pikiranku melayang pada satu sosok: kamu.

Sudah lebih dari sepekan, aku tidak lagi mendengar kabarnya. Yang kutahu, delapan hari lalu seharusnya keputusan besar terjadi. Jarak antara Jakarta dan Yogyakarta memporakporandakan komunikasi kami. Lingkaran perak ini terancam tetap memeluk jemari kiri.

Di bawah langit yang semakin gelap ini, aku, merindukan kamu...

***

Di sudut kanan ruangan tampak seorang ibu menyusui anaknya dalam senyap. Ada air mata menggumpal di sudut matanya, seakan berusaha membunuh pertanyaan di kepala, di mana kepala keluarga kita?

Wanita itu mungkin sadar bola mataku sedang menangkap bayangannya, dia balas menatapku dengan bayi yang masih menetek di dada. Tanpa kata kami mengerti akan duka yang menimpa. Tidak perlu suara karena bibir kami terlalu kelu untuk berbahasa. Dia kembali menimang anaknya dan membuang muka.

Aku tidak melakukan gerakan-gerakan besar karena di paha kiriku, ada mahluk mungil sedang tertidur. Dika namanya. Setidaknya bocah berusia sepuluh tahun di pangkuanku memanggil dirinya dengan nama itu. Awalnya aku

147 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 148: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

sedikit kesulitan berkomunikasi dengannya. Jujur, inilah kali pertama aku berhadapan dengan anak tuna rungu.

Tugasku sebagai relawan pada mulanya hanya mengolah bahan-bahan pangan dari para donatur untuk disantap para pengungsi di Hargobinangun. Namun Dika seakan memaksaku jatuh cinta pada mata bulatnya. Bocah itu kehilangan kedua orangtua dan sebatang kara di tempat pengungsian ini. Dia hanya mau makan mie instan, dan kebetulan anak ini mau menurut padaku. Bila tidak, Dika kecil dapat menangis meraung-raung hingga bayi-bayi pengungsi lain akan ikut menangis.

Kakiku seperti mulai dirubung jutaan semut. Aku mengambil keputusan untuk mencari sedikit keramaian di bawah. Biasanya, mulai pukul sembilan malam, di sekitar posko kesehatan lumayan ramai karena para dokter jaga yang juga menjadi relawan akan tiba di sini. Tempat pengungsian kami adalah salah satu tempat pengungsian terkokoh. Setidaknya kami punya tiga bangunan permanen yang digunakan menjadi gedung sekolah, balai desa, dan semacam barak raksasa. Tempat kami juga dirasa aman karena berjarak 17 km dari puncak Merapi.

Dugaanku benar, di hadapan pos kesehatan tampak belasan anggota TNI dan para relawan serta dokter-dokter sedang berbincang. Mereka bercerita bahwa dalam perjalanannya ke sini, mereka mendapati kabut yang aneh. Tidak dingin, pucat, pekat, juga pengap. Padahal saat itu mereka berada di wilayah Ngaglik, sekitar 25 km dari Merapi.

148 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 149: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Namun perlahan kabut itu menipis dan sampailah mereka semua disini. Aku yang turut mencuri dengar saat itu sempat dilanda khawatir. Salah satu anggota TNI tampaknya menangkap kecemasanku.

"Tenang Mbak Mia, badai pasti berlalu," begitu katanya.

Aku hanya diam, duduk di salah satu kursi kayu seraya mengangkat maskerku lebih tinggi. Jelas aku khawatir, bukan hanya kepada ayah dan ibu tiriku, tapi juga pada nasibku sendiri. Aku tidak ingin menghilang tanpa ada kejelasan, akankah cincin ini melanjutkan perjalanan. Jauh di lubuk hati, aku ingin dia tahu, aku menunggunya.

Hari itu dua puluh enam Oktober, aku duduk sendiri di tepi jalan Malioboro. Kita berjanji, akan meluruskan seluruh masalah yang terjadi. Kenyataannya, aku melahap sepotong burung dara goreng dan sepiring nasi uduk, sendiri. Kamu tidak pernah datang, pesan dari berbagai macam media elektronik hingga jejaring sosial pun tidak pernah ada. Mungkin kamu tidak pernah peduli, atau hanya aku, yang terlupa.

"Kopinya mbak Mia," sebuah suara mematahkan lamunanku. Seorang pria berkacamata menyodorkan sebuah gelas plastik berisi kopi susu.

"Terima kasih, dok," jawabku pada Dokter Julian.

"Dika apa kabar?" tanyanya.

149 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 150: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

"Baik, dia tidur cepat hari ini." jawabku setelah seruput kopi pertama.

"Sudah ada kabar dari tim evakuasi tentang orang tuanya?" tanyanya lagi.

"Belum, keluarganya juga kayanya gak ada, dok. Biar Dika nantinya tinggal sama saya saja." kataku.

"Syukurlah kalau begitu," katanya sambil tersenyum.

Dokter Julian ini salah satu dokter favorit para pengungsi. Selain ramah, dokter Julian juga dapat berkomunikasi dengan tenang. sehingga para pengungsi tidak semakin khawatir dengan kesehatannya.

Setelah setengah gelas kopi telah masuk dalam tenggorokan, aku izin berdiri.

"Dok, saya mau ke pos depan dulu, ya. Mau minta vitamin. Badan saya mulai ga enak."

Sambil berjalan perlahan, mataku menyapu keadaan desa Hargobinangun. Dalam gelap terlihat, kehijauan rumput mulai berganti abu-abu. Para TNI dan relawan dengan masker di wajahnya wara wiri untuk berpatroli hingga kulirik pergelangan tangan. Waktu menunjukan pukul 11:40 . Cukup larut dan aku masih saja terjaga. Setelah salah satu dokter jaga memberiku satu kapsul vitamin c, aku duduk dan merebahkan dahiku pada meja berisi penuh kertas-kertas resep, catatan yang berhamburan, hingga plastik-plastik bekas masker. Sekelilingku penuh kardus-kardus obat dari berbagai macam sponsor.

150 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 151: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Ternyata masih banyak sekali orang yang peduli, aku menghibur diri. Saat mataku hampir saja tertutup, suara dentuman menggelegar.

Kali ini goncangan yang lebih besar dari biasanya menyusul. Menggerakkan tubuhku yang diam. Jantungku seperti padam dalam beberapa detik. Kepanikan warga mulai terasa saat banyak terdengar suara histeris yang berjejal masuk ke telingaku. Aku segera bergegas keluar.

Suasana mulai carut marut. Para pengungsi panik dan puluhan TNI serta relawan seakan tak mampu membendung kecemasan warga. Aku tahu, mereka sebenarnya merasakan hal yang sama. Aku pun masih mencari jawab tentang apa yang terjadi.

Di antara ribuan pengungsi yang mulai panik dengan ornamen suara tangis, aku berusaha mencari dokter Julian. Orang tua memeluk kardus sambil menuju kendaraan-kendaraan yang bisa ditumpangi. Seluruh warga menuju mobil ambulans, pick up, atau mobil TNI untuk menyelamatkan diri. Dan kulihat Dokter Julian sedang memapah seorang kakek tua masuk ke dalam ambulans.

"Dokter, ada apa ini?" tanyaku.

"Semua pengungsi diminta turun menuju Maguwoharjo," jawabnya sambil tergesa.

Aku masih diam di tempat, akankah Hargobinangun ikut binasa oleh keganasan Merapi? Mengapa Maguwoharjo?

151 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 152: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Tempat itu ada di tepian kota, bagaimana mengangkut ribuan pengungsi dalam hitungan menit ?

Aku seakan dipaku pada tanah tempatku berpijak. Seruan dokter Julian menyadarkanku dari gugu.

"Cepat masuk kedalam ambulans!" perintahnya. Saat itu hujan mulai turun.

Aku masih mematung, tubuhku tidak bisa bergerak! Aku juga sama sekali tidak mengerti kenapa. Sampai Dokter Julian turun dari ambulans dan menarikku masuk.

Dalam ambulans aku duduk bersama tiga relawan dan lima orang pengungsi. Salah satu teman relawanku Mitha menangis. Pasti karena takut seperti diriku. Melihat warga yang kocar kacir mencari kendaraan sambil memeluk kardus atau kantong plastik, Mitha berkata,

"Semoga semua selamat, semoga semua selamat."

Saat itu aku terhentak, DIKA!!!

Bocah itu masih tertidur di lantai dua gedung sekolah SD. Sedangkan lelaki sepuluh tahun itu, tuna rungu. Bukan tidak mungkin Dika tidak mendengar kepanikan, atau justru anak itu kini sedang terombang-ambing, sendirian. Tanpa berpikir panjang, aku meminta pengemudi menghentikan kendaraannya. Suara dokter Julian, Mitha, atau rekan-rekanku yang lain tidak kuindahkan. Aku berusaha memacu kedua kaki untuk menuju gedung SD tersebut. Tidak lagi air yang menjatuhi aku, tapi kini semacam cairan pekat.

152 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 153: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Mungkin lumpur, atau entah apa, aku sudah tidak peduli. Pandangan mataku terganggu, kabut juga semakin pekat, dengan angin yang membawa serta debu tajam. Aku hanya bisa berdoa, itu pun entah untuk siapa.

***

Di antara semua bencana, rindu padamu adalah petaka yang dapat membuatku binasa…

***

Gedung ini kosong, tak ada lagi pengungsi, tak ada lagi suara tangis, tak ada lagi rintihan.

Kosong…[]

153 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 154: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

S e b ua h K o t ak d an M as a D e p anPia Zakiyah

empat ini begitu wangi dan putih. Aku bertemu ibu, ayah, dan keluargaku yang lain. Mereka semua tersenyum bahagia melihatku di sini. Masing-masing dari kami ditemani para malaikat yang

menyenangkan. Aku sudah siap memulai kehidupan baru di surga, bersama napas dan embusnya yang telah terhenti di dunia…

T

***

Aku terbangun pagi ini dengan desiran air yang tenang, tanpa gemuruh dan ombak yang menggunung. Kicauan burung menyertai sambutan sinar matahari seiring mukaku tersorot olehnya. Ah, ibu, di mana aku? Aku merasakan laju kotak 80 x 80 cm ini mulai melambat, dan...

“Brukkk!” Aku terhenti.

154 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 155: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Rupanya kedatanganku membangunkan dua makhluk hitam yang sedang menggantung di dahan pohon yang ada di atas aliran ini.

“Ah, siapakah dia?” Makhluk hitam pertama mulai bertanya tanpa mengedipkan dua matanya.

“Aku pikir dia semacam makhluk yang sering memburu kita, tapi aku tak pernah melihat yang sekecil itu sendirian, apalagi di tempat seperti ini.”

Selagi mereka bercakap-cakap, aku tetap memperhatikan bentuk badan mereka. Aku tak pernah tahu siapa mereka dan ibu pun tak pernah memperkenalkan mereka selama 33 hari aku ada di dunia ini. Di mana ibu? Mengapa aku sendirian di dalam kotak ini? Aku kedinginan.

“Mungkin dia hanyut karena hantaman raksasa air kemarin ya?”

“Ah, mungkin juga. Atau orangtuanya sengaja membuangnya? Ataukah dia berasal dari dusun di antara pulau-pulau yang sekarang sudah tersapu itu? Ataukah...”

“Berhenti! Kamu terlalu sibuk dengan kata ataumu itu. Apa yang harus kita lakukan dengannya? Dia mulai menangis kencang, dan suaranya nyaring sekali! Kelelawar seperti kita tak mampu berbuat apa-apa.”

“Lebarkan sayapmu, kita buat dia tetap melaju di sungai seperti sebelum dia terhenti di sini.”

Aku dapat merasakan kotak yang menampungku kembali bergerak maju dan melihat dua makhluk hitam itu menjauh seraya mengibaskan sayap mereka. Bingung, adalah satu kata yang tepat untuk mencerminkan perasaanku dengan air mata yang mulai menghalangi pandanganku.

155 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 156: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Aku lapar, aku butuh air susu. Air susu yang biasa ibu berikan ketika aku bangun tidur dan kapan pun aku memintanya. Beserta pelukan hangat dan nyanyian mesra yang ibu nyanyikan untuk membuatku berhenti menangis. Aku ingin itu.

***

“Sekarang kita makan! Tepat sekali semenjak seminggu yang lalu kita berhasil menelan ayam, akhirnya makanan sendiri yang menghampiri kita,” ujar temanku Gembrot yang tampak kelaparan. Namun aku masih tidak yakin calon makanan kami ini mampu mengenyangkan kami bertiga. Paling-paling hanya cukup sekali telan si Gembrot saja.

“Tapi aku ragu… Mengapa ada manusia di sungai? Dan ini hanya cukup untuk satu di antara kita. Lebih baik aku kembali mencari tikus atau pun katak yang nanti kita temukan di sawah.” Aku mencoba mengajukan pendapat.

“Sudahlah, kalau kalian tak mau memakannya, lebih baik aku saja.” Si Ceking, temanku yang lain, ikut mengeluarkan suara.

“Tidak! Hanya aku yang boleh memakannya!”

“Aku!”

“Aku!”

“Aku!”

“Aku!”

Aduh, aku pusing dengan tingkah laku kedua temanku yang jantan ini. Sepertinya ini konsekuensi dari hidup berkoloni. Padahal seharusnya hewan macam kami ini individualistis.

156 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 157: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Hey kalian! Tetap mau berseteru sementara manusia ini tertidur nyenyak? Hentikan meliuk-liukkan tubuh di atasnya! Meskipun kita ini adalah ular, tapi kita tetap memiliki hati. Aku tak tega melihat wajahnya, sepertinya dia terpisah dari orangtuanya. Biarkan saja dia, kita cari makanan lain, daripada kita bertengkar memperebutkannya.” Menjadi satu-satunya makhluk yang berjenis kelamin berbeda di antara mereka tentunya menyenangkan. Mereka mau mendengarkanku sebagai Si Cantik seorang.

“Dasar ular yang aneh! Seharusnya aku tidak berteman dengan makhluk sepertimu…” Gembrot pergi terlebih dahulu memimpin perburuan kami seperti biasa.

“Baiklah Cantik...” Ceking pun meliukkan tubuhnya enggan, namun tetap setia mengikuti Gembrot. Mereka mulai menjauh, namun masih nampak lidah mereka terlihat kembali mendeteksi keberadaan mangsa. Sementara aku, yang cukup kelaparan, siap menelan santapan lezat ini perlahan sebelum dia terbangun dan menangis kencang.

***

“Kakek…! Lihat! Di pinggir sungai ada ular yang memakan bayi!”

Ah, istriku kembali berhalusinasi di umurnya yang senja ini. Kemarin dia bilang kepadaku ada kerbau besar yang diserang kalajengking. Seminggu yang lalu dia bilang sapi-sapi kami mencoba kabur pada malam hari dengan lentera di satu kaki sapi kami yang terangkat. Terlebih sebelum-sebelumnya, begitu banyak halusinasi yang dia ciptakan. Aku lebih baik melanjutkan pekerjaanku di pematang sawah ini, menanam bibit padi sampai petak ini penuh setengahnya.

“Kakek! Coba lihat! Aku tak salah!”

157 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 158: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Tanpa aku sadari, ternyata istriku sudah ada di pematang yang berdekatan dengan sungai yang menjadi nyawa untuk irigasi sawah kami ini. Dan aku mulai terjebak dalam halusinasi ciptaan istriku. Aku berdiri perlahan dan langsung berjalan cepat menghampiri istriku sambil membawa golok di tangan. Tetapi yang dikatakannya itu nyata.

Dengan cepat aku mengayunkan golokku ke tubuh ular besar dan rakus ini. Nampaknya tak sulit membuat ular yang sedang berkonsentrasi menelan mangsanya tak bernyawa. Darahnya terciprat ke bajuku dan istriku, tubuhnya terbelah di satu pertiga badannya. Sementara itu, tubuh sang bayi sudah setengahnya tertelan. Teriring doa kepada Tuhan dari mulut kami yang bekerja sama dengan tanganku yang berusaha membelah ular itu dari mulut sampai perutnya. Lalu nampaklah satu wajah tanpa dosa yang terpejam tenang serta di selimuti lendir dan darah ular yang tamak itu. Istriku terlihat mencucurkan air matanya, dan aku yang berdebar hebat siap menggendong bayi yang sudah tak bernyawa ini.[]

158 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 159: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

T an a h A ir k uSam Darma Putra

agi itu aku begitu tergesa-gesa untuk berangkat ke kantor. Untung saja ada Pak Darmo, tukang ojek langgananku, yang selalu tepat waktu untuk datang

menjemputku ke rumah. Dengan keterampilannya meliuk-liuk di tengah macetnya lalu-lintas kota Jakarta yang dipenuhi dengan kendaraan bermotor – dari mulai mobil, motor, bajaj sampai dengan bis berbagai ukuran – aku bisa cepat sampai di tujuan.

P

Macet setiap hari, ojek Pak Darmo adalah solusi yang tepat bagiku dalam keadaan terjepit. Di sisi lain aku harus mengorbankan kenyamananku, dengan bonus udara dari asap

159 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 160: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

knalpot kendaraan bermotor yang penumpangnya terburu-buru menuju tempat masing-masing, sama seperti diriku.

Tapi itulah, tak ada pilihan bagiku saat ini. Memang jabatanku di kantor cukup lumayan, supervisor, tapi apalah arti semua itu dengan semua kebutuhan sehari-hari yang terus memburuku. Apalagi dua orang anakku sudah masuk sekolah dan membutuhkan biaya yang tidak kecil. Bila aku bisa bangun lebih pagi, maka aku akan menggunakan bis kota menuju ke kantor. Lelah juga tiap hari aku harus menggunakan bis kota, kadang aku bangun kesiangan dan akibatnya aku harus tergesa-gesa seperti hari ini. Sudah cukup sering aku terlambat dalam bulan ini, bisa-bisa aku kena surat peringatan atasanku di kantor.

***

Pak Darmo, itu solusi sementara – mungkin juga seterusnya – bagiku saat kepepet. Beruntung di komplek rumahku – yang juga masih belum lunas – ada pangkalan ojek, dan hampir semua pengendaranya sudah memiliki ponsel. Ponsel memang bukan barang mahal lagi sekarang ini, tinggal SMS atau bahkan sekadar miscall tanpa harus bicara sepatah kata pun, Pak Darmo langsung datang ke rumahku untuk mengantar aku pergi ke kantor. Dengan kondisi lalu-lintas Jakarta yang semakin hari semakin parah, rasa-rasanya aku semakin sering menggunakan jasa Pak Darmo, terpaksa walau biayanya sedikit lebih mahal dari naik bis kota, aku kurangi saja rokokku untuk mengakali hal ini.

160 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 161: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Tidak terasa aku dan Pak Darmo semakin dekat, dan dalam perjalanan sering kami mengobrol dan bertukar pikiran, tentang apa saja, ngobrol sekenanya sehingga tanpa terasa kami sudah sampai di tempat tujuan.

Topik bahasan pun beragam, mulai dari keluarga kami masing-masing, sekolah anak-anak kami, sampai bicara soal hasil pertandingan sepak bola malamnya, atau sedikit berat ke soal-soal politik negeri ini.

Semua topik kami bicarakan dengan setengah berteriak karena bisingnya suara motor Pak Darmo dan dengan suara dari kendaraan-kendaraan lain yang dilengkapi terpaan angin yang ikut mengaburkan percakapan kami. Sering percakapan kami tidak terlalu nyambung karenanya. Tapi lama-lama kami sudah terbiasa juga dengan kondisi seperti ini.

***

Pagi itu seperti biasa Pak Darmo sudah datang di depan di rumahku, dengan membunyikan klakson motornya seolah dia memberitahu aku bahwa dia sudah tiba. Aku segera keluar dan menyapanya.

“Pak, tunggu sebentar, kopi saya belum habis, sayang nih udah dibuatin.”

“Sip Mas, santai saja.”Tak lama aku keluar dan menuju ke arah motornya. Segera

diulurkannya helm padaku.“Nih Mas, biar nggak kena tilang,” katanya padaku.

161 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 162: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Oh, bukan untuk keamanan ya?” Kataku sedikit mengejek.

“Alah, orang bahannya juga dari plastik tipis begitu, kalau kita terguling juga nggak akan selamat lah, mas.”

“Jangan ngawur sampeyan, Pak.”Aku segera naik ke motornya dan segera melaju. Kulihat

dia memakai kaos biru dari partai penguasa, enak juga kalau kusindir nih, pikirku.

“Aduh, sekarang simpatisan partai ya, Pak.”“Sampeyan ini mikirnya sempit Mas, namanya kaos gratis

ya diterima saja lah, Mas.”“Hahaha, bener juga Pak lumayan ngirit ya Pak. Kalau

udah jelek ya bisa jadi kain pel.”“Nah, itu sampeyan pinter Mas.”“Gimana tadi malam sepak bola siapa yang menang, Pak?”

tanyaku mengalihkan pembicaraan.“Anak-anak ya sehat lah Mas, tapi ini yang paling besar

belum bayar uang sekolah makanya kalau ada ya saya mau pinjam dari Mas.”

Aku berkata dalam hati, kok pekataan Pak Darmo yang terakhir sepertinya tidak nyambung. Wajar mungkin karena bising, mungkin dia kurang mendengar pertanyaanku tadi. Tidak coba kukoreksi lagi, kuikuti saja alur pembicaraannya.

“Kan ngojek dapatnya lumayan, Pak? Kok bisa belum bayar uang sekolah?”

“Sekarang saingan banyak Mas, untung saja saya sudah ada langganan seperti sampeyan. Kalau tidak, bisa repot.”

“Oh gitu,” kataku singkat.

162 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 163: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Orang mau ikutan mangkal di tempat kita, ya masak kita larang Mas? Itu namanya kita egois. Zaman lagi susah begini ya jangan terlalu serakah, karena rejeki juga sudah ada yang ngatur kan Mas? Memangnya itu tanah tempat mangkal punya kita, kok pakai dilarang-larang segala kalau ada orang baru mau ikutan mangkal, mintanya baik-baik lagi.”

Aku tertegun, luar biasa, orang seperti Pak Darmo punya pemikiran yang jauh lebih bijak dari kebanyakan orang yang jauh lebih beruntung dari dia secara ekonomi.

“Tapi Bapak biasanya tidak pernah telat bayar uang sekolah anak, seingat saya. Bapak sering cerita bahwa Bapak ingin anak-anak nanti jadi semuanya, jadi semua harus sekolah. Itu cerita Bapak dulu, saya tidak pernah lupa.”

“Ya namanya lagi nggak ada mau gimana? Soalnya harga kontrakan dinaikin sama yang punya nih,” katanya menjelaskan.

“Oh.”“Saya ini kan tanah airnya doang Indonesia Mas, tapi

nggak punya tanah, ya jadi terpaksa jadi kontraktor, hahaha,” tawa Pak Darmo menyeringai tapi kalimat terakhirnya penuh dengan kegetiran. Aku sendiri mendengarnya agak sedikit tersentak. Tanah air Indonesia tapi nggak punya tanah.

“Jadi saya bisa bantu apa, Pak?” Klakson mobil menutupi suaraku.

“Apa Mas nggak dengar?”“Saya harus bantu apa?” Kataku menambah volume

suaraku.

163 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 164: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Oh, saya sih tidak mau minta Mas, ini rencananya saya pinjam lah sifatnya. Atau kalau mau dirapel saja bayaran ojeknya, mas kan sering naik ojek saya belakangan ini, jadi bayar dimuka saja supaya saya bisa bayar dulu uang sekolah anak saya, Mas, gimana?”

Luar biasa memang Pak Darmo, dia tetap menawarkan solusi yang mencoba tidak merugikan aku, ditambah lagi tawar menawar ini dilakukannya sambil mengendarai motor dengan cukup gesit ala Valentino Rossi.

“Baik Pak, berapa?” tanyaku, sepertinya aku tergerak membantu dia, dan memang toh tawarannya adalah ganti jasa yang murni berdasarkan perhitungan ongkos ojeknya.

“Dua ratus ribu saja, Mas. Sehari kan sepuluh ribu biasanya ongkos Mas. Nah saya kasih bonus satu hari deh.”

“Hahaha, bisa saja Pak Darmo. Ya tidak usah begitu Pak, saya setuju kok, cukup adil.”

“Saya tulus kok Mas.”“Saya tahu Pak, tapi tidak perlu sampai seperti itu.”

***

Tidak terasa kami sudah sampai di kompleks ruko tempat aku bekerja.

“Sudah Pak di sini saja, tidak perlu masuk ke dalam kompleks, saya mau sarapan dulu.”

Motor Pak Darmo segera menepi, dan aku pun turun. Segera kukeluarkan dompet dan mengambil empat lembar uang pecahan lima puluh ribu dari dompetku.

164 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 165: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Ini Pak,” kataku sambil menyodorkan uang itu padanya.“Aduh, terimakasih sekali, Mas. Tuhan yang membalas

kebaikan Mas.”“Nggak perlu seperti itu Pak, ini kan murni bayaran atas

jasa Bapak, hanya dilakukan di muka.”“Baik Mas.”“Hati-hati Pak,” kataku seraya berjalan menuju ke arah

warung kaki lima tempat aku berencana membeli sarapanku.Baru beberapa langkah aku berjalan kudengar suara ban

begitu berisik bergesekan dengan jalanan, seperti suara mobil yang mengerem tiba-tiba dan diikuti dengan benturan keras. Aku segera menoleh ke belakang, terjadi kecelakaan, sebuah bis menghantam sebuah sepeda motor.

***

Itulah hari terakhirku diantar Pak Darmo menuju kantorku. Pak Darmo, walau dia tidak punya sebidang tanah di negeri ini, setidaknya negeri ini sudah jadi tanah tumpah darahnya. Darahnya tertumpah hari itu di tanah negeri ini disaat tubuhnya mengenakan kaos pemberian sang penguasa.[]

165 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 166: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

J iw a E zr aChicko Handoyo Soe

zra gelisah malam itu, sudah sejak pukul sembilan malam ia mencoba memejamkan mata, tapi sampai hampir tengah malam, ia hanya terbaring telentang di

atas ranjangnya. Matanya menyalang menatap eternit kamar.E

Ia beranjak turun dari ranjangnya dan berjalan keluar kamar untuk mengambil minum di dapur. Saat sedang menuang air ke dalam gelas, bumi bergetar dengan hebatnya. Piring-piring, cangkir-cangkir, dan peralatan dapur lain yang menggantung di dinding terlepas dan jatuh ke lantai. Ezra panik bukan main, ia bergegas menuju pintu depan.

"Argh!" Kaki telanjangnya tertancap pecahan gelas yang runcing. Sambil meringis menahan sakit, ia terseok-seok menuju pintu depan.

Saat ia membuka pintu, tampak para tetangga berlarian panik sambil membawa apa saja yang mereka bisa bawa. Mereka bergegas menuju arah lapangan sepakbola yang tidak terdapat bangunan yang bisa melukai mereka jika sewaktu-waktu bangunan-bangunan itu roboh karena gempa.

166 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 167: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Gempa berhenti, Ezra bersama puluhan warga lain berkumpul di lapangan. Wajah mereka tegang, beberapa bayi mulai menangis. Aura mencekam mengambang di lapangan milik desa kecil nelayan itu.

"Tsunami!!" Teriak seorang warga yang berlari dari arah pantai.

Kekacauan terjadi, seluruh orang yang berada di sana tunggang langgang ke arah bukit, Ezra menyeret kakinya yang berdarah kian parah. Seorang ibu-ibu yang membawa bayinya tanpa sengaja menyenggol Ezra hingga jatuh terjerembab ke depan.

"Argh!" Ezra kembali berteriak, ada batu melukai lututnya.

Dengan sisa tenaga ia mencoba bangkit, dan berjalan tertatih-tatih menuju bukit. Tapi sayang, ia tak pernah sampai ke bukit itu.

Gelombang ombak yang lebih tinggi dari pohon kelapa menyapu desa itu. Ezra yang terluka, hanya bisa berdoa dan pasrah ketika air laut menghantam tubuhnya.

***

Ezra terbangun di dalam ruangan gelap, teramat gelap."Pastilah aku sudah mati, dan ini adalah alam baka." Gumam Ezra.

Tiba-tiba setitik sinar muncul dan kian membesar, membentuk sesosok pria berjubah putih yang muncul di hadapan Ezra, Ia tersenyum dan berkata, "Ezra Winata, lahir sembilan belas april seribu sembilan ratus delapan puluh satu, meninggal dua puluh enam oktober dua ribu sepuluh." Pria itu melanjutkan "ini kali ketiga kamu berada di sini."

167 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 168: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Apa maksudnya kali ketiga? Ezra baru tahu ada tempat seperti ini.

Seolah mengerti apa yang sedang Ezra pikirkan, pria itu menganggukkan kepalanya, dan mengangkat tangannya ke atas.Dari atas turunlah dua sosok lelaki berpendar biru. Seorang anak kecil, dan lainnya sudah berusia senja. Sebelum Ezra sempat bertanya, pria berjubah putih terlebih dahulu berbicara.

"Yang kecil, lahir dua puluh delapan agustus tahun enam ratus tiga belas, meninggal delapan belas januari enam ratus dua puluh satu, karena tertimpa tanah longsor saat ia sedang bermain di kaki gunung dekat rumahnya, di wilayah yang kau kenal dengan Prancis. Orang-orang memanggil dia Bélier." Ezra mendekat ke sosok anak kecil yang matanya terpejam itu. Ia tampak mengenal anak itu, mata itu, hidung itu, bibir itu tampak seperti orang yang sudah lama dikenalnya.

"Ah!" Pekik kecil keluar dari mulut Ezra, ia sedang melihat dirinya di waktu kecil.

Pandangan Ezra beralih ke sosok satunya, tingginya sama dengan Ezra, hanya berpostur sedikit bungkuk. Sebagian besar rambutnya sudah memutih, dan terdapat garis keriput di beberapa bagian wajahnya.

"Aku, tapi lebih tua." Ezra bergumam pelan."Namanya Ibnu Rijal, lahir delapan belas januari seribu

dua puluh delapan, tewas dalam kebakaran di rumahnya saat pasukan Mongol membumihanguskan kota Baghdad pada tahun seribu enam puluh tiga." Sosok berjubah putih itu menjelaskan.

"Mereka siapa? Dan kamu siapa?" Tanya Ezra."Namaku Sinrad, pendamping reinkarnasi. Mereka adalah dirimu di kehidupan yang lalu."

"Oh ya?! Kenapa aku tidak tahu?"

168 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 169: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

"Memang begitulah seharusnya, alam sadarmu tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi di kehidupanmu yang lalu. Tapi terkadang alam bawah sadarmu memunculkan kembali ingatan-ingatan itu, walau hanya sekilas, entah itu lewat mimpi atau dengan cara lain."

Ezra mengangguk pelan, terkadang ia memimpikan tentang tempat yang belum pernah dijumpainya. Tanpa pernah menyangka itu adalah kenangan-kenangan dari kehidupan sebelumnya.

"Mereka semua tidak ada yang mati wajar, mati karena sakit tua, begitu?"

Sinrad menggeleng, "Mereka yang meninggal dunia karena sakit tidak akan bereinkarnasi menjadi manusia lagi, namun menjadi makhluk hidup lainnya, entah menjadi pohon, kembang, atau hewan."

"Jadi, yang meninggal karena kecelakaan? Dibunuh? Bisa jadi manusia lagi?!"

"Tidak juga, nasibnya sama seperti yang meninggal dunia secara wajar."

"Lalu kenapa manusia bertambah banyak?""Mereka adalah hasil reinkarnasi dari makhluk hidup

yang sebelumnya.""Berarti sebelum jiwaku berada dalam raga anak kecil ini,

aku adalah...""Seekor Tyranosaurus Rex." Sinrad menjawab."Woww! Tapi aku tidak bisa mengingatnya sama sekali!"

Ezra merasa girang, ternyata jiwanya adalah jiwa seekor binatang buas penguasa belantara purba, "lalu, sebelum aku menjadi T-rex, aku menjadi apa?"

"Maaf, itu rahasia langit, saya hanya bisa memberikan tiga jawaban dari kehidupanmu yang lalu, dan satu untuk kehidupanmu yang akan datang."

169 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 170: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Mata Ezra berbinar, ia ingin tau akan menjadi apakah dirinya di kehidupan mendatang.

"Masih menjadi manusia," Sinrad menjawab tanpa ditanya, "tapi reinkarnasi karena musibah juga dibatasi, saat ke-empat elemen sudah pernah menjadi sebab dari kematianmu."

"Empat elemen, apa saja itu?""Tanah, Api, Air, Udara.""Hmm, jadi Bélier meninggal karena longsor, berarti

tanah, Ibnu meninggal dalam kebakaran, dan aku karena air laut."

"Tepat sekali!""Dan di kehidupanku mendatang nanti, musibah itu akan

disebabkan oleh udara?"Sinrad mengangguk."Dan kapankah kiranya aku bisa dilahirkan kembali?""Segera saat kau berhenti bertanya. Harap diingat, waktu

yang berjalan di tempat ini berjuta kali lebih cepat dari pada waktu di bumi."

Ezra tercengang, ia merasa hanya beberapa menit saja menghabiskan waktu bertanya kepada Sinrad, tapi di bumi waktu sudah berjalan ratusan tahun.

"Apakah aku akan mengingat perjumpaan kita ini, Sinrad?"

"Sayangnya tidak, kamu tidak bisa mengingat apa pun dari kehidupanmu yang lalu, termasuk pertemuan kita sekarang, tapi seperti yang sudah kubilang, terkadang alam bawah sadarmu memunculkannya."

Ezra terdiam."Sudah siap, Tuan?" Kata Sinrad."Bolehkah aku meminta satu hal?""Silakan sebutkan."

170 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 171: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Ezra berbisik kepada Sinrad. Sinrad tersenyum penuh arti."Sebentar, saya tanyakan dulu."

Sinrad meninggalkan Ezra dalam ruangan gelap itu, hanya ditemani oleh dua sosoknya di masa lalu yang mengeluarkan sinar pendaran sinar warna biru. Ezra berkata kepada dua raga tanpa jiwa itu,

"Bélier, Ibnu, di kehidupan kita mendatang, jiwa ini akan merasakan apa yang belum pernah kita rasakan."

Sinrad muncul kembali, "Permintaanmu dikabulkan." ujarnya sambil menyeringai, "pesanku hanya satu, tetaplah menjadi penolong bagi banyak orang. Seperti di kehidupanmu sebelumnya. Bélier si kecil yang dianugerahi kekuatan untuk menyembuhkan orang, Ibnu seorang tabib yang terkenal se-Baghdad, dan kamu, Ezra, dokter yang mengabdikan dirinya di tempat terpencil di Indonesia."

"Saya tak mungkin bisa mengingat pesanmu.""Hahaha, betul juga, tapi secara naluriah, jiwamu akan

setia pada garis takdirnya."Ezra tersenyum, ia sudah siap."Pejamkan matamu, Ezra."

***

26-06-2662Seorang bayi perempuan yang cantik dilahirkan di koloni makhluk bumi di planet Mars. []

171 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 172: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

P h o en i x A pi da n K e ab ad ia nAlexander Thian

erperangah aku di batas senja. Laut masih bergejolak dan memantulkan jingga yang terbinar di mataku, merefleksikan lembar kehidupan yang telah berlalu. Seutas senyum segera terkembang, proyektor

kehidupanku menjelang di latar langit yang masih biru-saga. Memancarkan berbagai bentuk kenangan indah-pahit-manis-getir. Kenangan bukanlah sebentuk kerikil tajam, tapi lebih ke kontemplasi yang membentuk siapa kita saat ini.

T

Namaku Taruna, laut adalah jiwa, dan ombaknya adalah emosi, yang memukul dengan segenap rasa. Tapi satu paradoks, aku tak bisa berenang. Padahal elemenku air, dan aku senantiasa mengalir.

Menyaksikan matahari yang terbenam selalu menjadi saat yang menyenangkan, teduh yang menentramkan, dan hangatnya meredakan kecamuk pikiran. Aku merindukan sahabat-sahabatku. Bayu, dengan segala mimpinya yang

172 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 173: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

mampu membawanya terbang dan berdansa di antara awan. Lintang, si pemilih yang hanya mengijinkan tunas terbaik yang akan dirawatnya, berkembang, mekar, bersemi dan akhirnya menyatu dengan bumi. Dan Bara, yang akan selalu meretas kembali dari puing dan abu kehancurannya, abadi laksana phoenix api, lambang keanggunan abadi.

Bersama mereka, hidup bagai mimpi. Dan memang, kita saling berbagi. Kehidupan bukan sesuatu yang gampang dijalani, tapi jawaban dari derita bukan keluh kesah. Bukan juga meratap, merana, layu, dan akhirnya mati. Lenyap tanpa jejak. Kami bukan tipe manusia yang akan menghilang dalam bayang, bukan juga yang menyuarakan kepedihan. Kami optimis, tapi realistis. Kami pemimpi, tapi menjejak bumi. Kami.... ada. Dan, ini cerita kami.

Enam Tahun yang lalu:

Siang ini begitu menyengat, kalo aja di kantong gue masih ada sisa 50 ribuan, dengan senang hati gue akan langung kabur ke konter BaskinRobins atau Gellatisimo atau Yogen Fruz atau Cold Stone. Damn! Tambah ngiler deh membayangkan satu cup chocolate ice cream yang begitu yummy. Rasanya gue bisa melihat begitu banyak es krim yang berbaris menyebrang jalan dan menertawakan gue yang bokek. Di ujung sana, mereka menari-nari sambil memamerkan rupa mereka yang coklat seksi. Anjrit.

Susah emang jadi pengangguran. Pernah gue nyoba ngelamar di satu toko buku favorit gue. Tujuan gue satu. Baca buku gratis. Tempat adem, bersih, rapi. Tapi kapitalis emang keparat. Mana gue tau kalo ternyata mereka menawarkan gaji yang bahkan jadi uang jajan gue seminggu dua minggu. 800 ribu sebulan? Yeah rite, talk to my hand! Dan itu gaji kotor,

173 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 174: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

tanpa embel-embel apa pun. Nggak ada asuransi kesehatan, nggak ada uang transport, nggak ada juga uang jajan es krim. Well, kalo yang es krim emang gue yang nambahin. Boleh dong? Namanya juga usaha.

Obsesi gue dari dulu sampe sekarang sangat simple. Gue pengen punya satu tempat hang-out. Berbentuk igloo. (Tau kan igloo itu kayak apa? If you don't, silahkan tanya mbah Google dan mak Wiki. Mereka know-it-all). Tempat hang-out gue hanya akan jualan ice cream, cake, dan berbagai macam dessert dengan bahan import dari seluruh dunia. Yang terbaik. Nggak akan ada istilah KW 1 atau 2. Tapi, harganya akan sangat bersahabat dengan kantong lo. 10 ribu percup untuk es krim. 10-20 ribu untuk cakenya. Murah kan? Dan akses internet gratis. Dan majalah gratis. Ada juga buku-buku gratis yang boleh lo baca di tempat. Jangan dibawa pulang ya? Mahal belinya.

Mimpi itu masih indah terpelihara. Walau gue tau, jalan menuju mimpi itu akan terjal, sangat terjal dan curam. Semakin susah akan semakin menantang. Dan gue suka tantangan. Kalo berhasil, rasanya -mungkin- akan seperti orgasme ternikmat dan terlama.

Jadi gue masih terus berjalan, menyusuri jalanan daerah Cinere yang berdebu. Angin yang kering menambah rasa haus. Sedangkan para es krim keparat masih menari dan menggoda. Ini hari yang gagal. Mimpi yang tertunda. Audisi band gue, gagal total. Oh ya, gue drummer. Keren? Pasti! Dan band gue namanya Zeus. Gara-gara gitaris gue yang lebih suka melihat vagina daripada ketenaran, mimpi usang kita semua harus terbuang. Sakit. Pedih. Tapi gue tetap senyum, walaupun si Ijo lebih milih kawin sama bule yang sekarang hamil 4 bulan dan mereka memutuskan pindah ke Jerman, yang mengakibatkan

174 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 175: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

kontrak band kami dengan salah satu perusahaan rekaman terbesar di dunia gagal karena menurut mereka perpecahan bukan opsi. Mereka- para petinggi perusahaan itu- mungkin punya satu motto. Bersatu kita teguh, bercerai kalian kami pecat.

So much for the dream menjadi rockstars yang digila-gilai. Dan es krim coklat sekarang malah udah punya tangan dan melambai genit dalam bentuk Keanu Reeves yang sexy. Duh, mulai gila deh gue. Tapi oksigen merupakan satu solusi yang murah tanpa harus marah-marah. Jadi gue pasrah, dan mengambil napas dalam-dalam, lalu merasa sedikit tenang. Apalagi matahari sudah condong ke barat, dan malam akan mulai menjelang.

Gue duduk cuek di tepi trotoar. Mengeluarkan sisa receh dari jeans belel dan mulai monyong-monyong menghitungnya. Tujuh belas ribu empat ratus rupiah. Cukup buat menu makan malam sederhana. Sambil memijat kaki yang sakit karena berjalan seharian, gue mulai memikirkan mau makan apa. Es krim coklat, es krim vanilla-strawberry, es krim rasa cheese cake, es krim tiramisu, es krim coklat-blueberry dengan buah blueberry yang segar. Hiks… rese. Duit gue ga cukupppp!!! Ya udahlah, pecel ayam dan nasi uduk merupakan pilihan yang paling bijak untuk malam ini.

Sambil nunggu angkot, gue ngelus perut yang kenyang terisi. Pecel ayamnya lumayan enak, tapi akan lebih enak kalo nasinya rasa coklat, es krim coklat. Nah lho, mulai lagi deh... Dan, hei... kok ada satu orang yang digebukin ya? Di pojok ruko yang dulunya satu diskotik dangdut, seorang cowok digebukin sekitar 6 orang.

175 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 176: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Adrenalin gue mulai terpompa. Bukan karena merasa harus menyelamatkan orang itu dan menghajar para preman tengil satu-persatu, tapi lebih ke memikirkan cara kabur dari situ. Sumpah, bukannya pengecut, tapi gue bukan tipe orang yang suka konflik. Hindari kalo bisa. Tapi, suara keluhan orang yang dipukuli sedikit mengusik nurani gue. Akhirnya gue lari.

Bukan ke arah mereka. Gila aja gue sok-sok-an jadi pahlawan. Yang ada gue jadi dendeng dan mati terkapar. Preman-preman bego itu nggak tau kalo di dekat sini ada kantor polisi. Dengan napas terengah, polisi yang bertugas gue ajak untuk melerai perkelahian-pengeroyokan tepatnya- antara preman dan cowok malang itu.

Tapi rupanya mereka bukan preman kemarin sore. Melihat polisi itu hanya ditemani satu cowok berbadan kecil-culun-berkacamata, yup, itu gue, mereka bukannya takut, malah ngelawan. Tak ayal, polisi mengeluarkan pistolnya untuk menakuti. Mereka makin beringas, dan gue makin takut. Kalo polisi itu nembak, gue akan kencing di celana. Benar saja, Pak Polisi yang later on gue tau bernama Suparjo meletuskan pistolnya ke atas. Seketika hening berbalut kengerian mulai menyelimuti. Aura yang semula merah membara perlahan memudar dan beralih rupa menjadi hitam. Pekat. Gue merasa tercekik udara yang mulai memadat. Wajah gue mulai pias dan kehilangan rona kehidupannya.

Dalam gerakan slow motion, gue lihat salah satu preman beringas mengambil satu balok kayu yang lumayan besar dan menghantamkannya ke pelipis Pak Suparjo yang malang. Pistolnya terlepas dari genggaman, dan preman lain segera memungutnya, lalu meletuskannya dalam seringai buas, tepat ke jidat Pak Suparjo. Letusan kedua terdengar seiring tangan

176 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 177: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

gue menyambar cowok yang udah bonyok digebukin para preman itu.

Adegan selanjutnya berkabut bagai lukisan yang bergaya sureal. Yang gue ingat, kami berlari sekencang-kencangnya menjauhi neraka yang barusan kami saksikan. Tak peduli kemana arah tujuan, yang ada di otak gue hanya satu. Run! Run for our life! Run, or die. Dan pilihannya jelas, yang pertama. Dada gue serasa meledak tatkala kami berhenti di satu pekuburan Cina yang tak terawat dan seram. Tak peduli akan ada vampir yang mungkin meloncat di sekitar kami, gue duduk. Nggak sanggup untuk lari lagi. Lagi pula, preman-preman keparat itu sudah menghilang. Semoga mereka saat ini digantung terbalik dan ditelanjangi lalu pantat mereka ditembus besi yang membara.

Dalam bias cahaya bulan yang lumayan terang, kami bersalaman.

"Bayu."

"Gue Taruna."

"Makasih, ya?"

"Untuk?"

"Lo udah nyelametin hidup gue."

"Lo salah, gue cuma ngajak lo lari, dan sekarang gue hampir mati kehabisan udara..."

"Tetap aja, lo yang nyuntik semangat ke gue. Kalo ga, mungkin gue udah ngerasain gimana ditembus timah panas..."

"Masih mau nyoba? Engkong gue masih nyimpen senapan berburunya tuh..."

177 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 178: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Kami sama-sama nyengir. Tatapannya hangat, memancarkan rasa terima kasih yang tulus. Dan gue langsung merasakan perasaan yang aneh, seperti deja-vu. Tatapan itu akrab, seolah ini bukan pertemuan pertama kami, seakan kami telah bersahabat dari zaman dinosaurus.

“Lo tinggal di mana?”

Bayu terlihat sedikit bergidik waktu bertanya seperti itu. Sialan. Mungkin dia pikir gue emang tinggal di kuburan Cina kali, ya?

“Yang jelas bukan di sini.”

“Ih, ketus. Ikut gue, yuk?”

“Nggak, deh. Gue gak berminat nyelamatin elo lagi kalo ketemu preman. Capek larinya.”

Kami berdua ngakak lagi, lalu beranjak dari kuburan yang entah kenapa terasa akrab malam itu. Mungkin sisa adrenalin masih menghadirkan sekelumit keberanian.

Di malam itu, gue ketemu Bara dan Lintang. Dua manusia yang sama luar biasanya dengan Bayu. Masing-masing dengan karakternya sendiri. Bara, yang paling tua di antara kami, ternyata orang yang tenang. Logikanya adalah senjata utama. Dia sama sekali nggak meledak-ledak. Cara ngomongnya bagaikan putri keraton. Yang mengagumkan, Bara bisa menjatuhkan mental orang dengan kata-kata yang halus. Salah satu “petuah” yang gue paling ingat dari Bara adalah waktu kita nonton tv bareng, dan dia mengomentari pelacur yang diciduk.

“Gue lebih salut sama orang yang melacur. Mereka sama-sama berdagang, tapi dengan cara lain, gak ngumpet dari balik elegansi keintelekan yang sengaja dibuat-buat. Lo tau gak, yang

178 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 179: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

paling basi adalah patriot yang sok mengusung nama bangsa. Gak taunya tujuan mereka lebih busuk dari para pelacur yang sekarang lagi diciduk. Mereka itu menggerogoti nasib bangsa dengan berlindung pada jaringan birokrasi pemerintahan. Terlihat putih meski pekat di dalamnya.”

Suara Bara datar, emosinya terjaga dan tersamarkan di balik pahit kalimat yang dia lontarkan. Dia berbicara dengan intonasi yang tak meledak-ledak, sambil menghembuskan asap Marlboro putih. Seketika, gue merasa kagum dan salut sama manusia satu ini.

Sedangkan Lintang, well, mungkin dia yang paling kinky di antara kita berempat. Centil, celetukannya sering sekali out of the box. Paling fashionable, dan di luar dugaan, pengetahuan tentang musik, film dan sepakbolanya bisa diandalkan! Salah satu curhatan Lintang yang paling gue ingat adalah waktu gue nanya “Kenapa kok nama lo Lintang, sih? Kayak nama cewek!”

Lintang meluruskan duduknya, lalu berpose bak putri keraton, membuat kami bertiga menghamburkan tawa.

“Menjadi sendirian dan miskin tentu saja bukanlah dua pilihan yang membahagiakan, apalagi membanggakan. Setidaknya itu bagi gue. Kenapa nama gue Lintang? Almarhum dan almarhumah orang tua gue sih ngarepnya, nama gue yang berbau tanah dan bumi bisa lantang melawan dunia tapi tetap menginjak bumi. Tapi, tau sendiri, deh... Meskipun memang membumi, gue, Lintang, sadar banget kalo gue itu seorang yang kadang lantang dan kadang ”melenting” dengan nasib masih luntang-lantung…”

Gue dan Bara saling bertatapan beberapa saat. Bengong mendengar jawaban absurdnya Lintang. Beberapa detik kemudian, tawa kami pecah berantakan. Cuma Bayu yang

179 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 180: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

cengar cengir. Bayu sih emang udah kenal lebih lama sama Lintang, jadi nggak akan heran lagi dengan jawaban alien seperti yang Lintang lontarkan barusan.

Setelah berkenalan dengan ketiga manusia ajaib itu, tak disangka kami kembali dipertemukan takdir. Kami berempat, dalam waktu hampir bersamaan kerja di satu rumah produksi. Pas ketemu, gue langsung heboh. Kok bisa?! Takdir memang punya caranya sendiri untuk mempertemukan kami semua, dengan jalan yang tak disangka-sangka. Bayu melamar ke rumah produksi ini atas rekomendasi temannya, sedangkan Bara memang kenal dengan pemilik PH tempat kami bekerja. Kalau Lintang diterima karena salah satu penulis senior di sini melihat sisi lain dari tulisannya yang sangat out of the box. Sedangkan gue? Katakanlah punya blog dengan tulisan super ngaco dan seenak jidat membawa berkah tersendiri. Ada yang merekomendasikan gue ke bos PH setelah baca blog gue yang ngawur. Sampai sekarang, gue masih takjub sendiri. Kok bisa-bisanya sih ada yang suka sama blog gue?

Tempaan deadline dan revisi tengah malam membuat kami lebih dekat. Bersatu dalam satu rumah, lebih mengenal pribadi masing-masing, saling berbagi rahasia yang tak pernah kami ceritakan ke siapa pun, serta saling melindungi kesalahan satu sama lain dari Bos yang kadang-kadang galaknya melebihi buto ijo membuat kami semua seperti kembar empat beda wajah.

Hubungan saudara karena ikatan darah memang kental, tapi rasa saling memiliki antara kami rasanya lebih kental dari darah. Gue sayang sama mereka semua. Bahkan untuk mendeskripsikannya, gue nggak mampu. Mungkin kedengarannya lebay, ya? Tapi bayangkan kalau kalian sayang sama seseorang atau beberapa orang. Rasa sayang yang begitu

180 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 181: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

dalam, ikatan batin yang begitu kuat sehingga kalau salah satu terluka, yang lain akan meminjamkan bahu dan ikut mengalirkan airmata.

Satu malam yang penat, kami semua duduk di depan tv, mata menatap nanar ke layar yang dipenuhi gambar mengerikan tentang gempa di Jogja. Rasa pilu dan tangis yang berhamburan keluar memaksa kami semua meringis. Bara dan Lintang terpaku cemas. Keduanya saling melirik tanpa berbicara. Seketika, gue dan Bayu langsung sadar. Keluarga mereka berdua masih ada di sana.

Eskalasi kecemasan semakin meningkat waktu Bara dan Lintang tak bisa menghubungi keluarga mereka masing-masing. Seketika, kami berempat tau apa yang harus kami lakukan. Segera terbang ke Jogja! Walaupun dilarang, gue dan Bayu nggak mungkin membiarkan Lintang dan Bara berangkat sendirian. Mereka pasti akan membutuhkan kami. Lagian, menjadi relawan adalah hal baru yang belum pernah gue lakukan. Jadi, kenapa nggak?

Keadaan di Jogja adalah hal termiris yang pernah gue saksikan. Gue jadi menyesali kebodohan gue yang hanya bisa memikirkan es krim, novel baru yang mau gue beli, gadget tercanggih yang bikin ngiler, dan hal-hal lain yang mendadak menjadi tak berarti begitu melihat suasana mengenaskan di sini.

Di sana sini, reruntuhan rumah menyambut kami. Tiang-tiang patah, atap yang melesak ke tanah, tangis, debu dan airmata bercampur dengan sesak dan awan hitam yang menggantung di udara. Banyak penduduk lokal yang menatap nanar ke bekas rumah mereka yang sekarang menjadi puing dan reruntuhan. Yang tadinya memiliki segalanya, kini hanya memiliki apa yang melekat di badan mereka. Rumah sakit

181 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 182: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

penuh, banyak korban bergelimpangan di jalan, tak sempat tertangani. Semua orang sibuk menghubungi dan mencari keluarga mereka masing-masing. Gue sampai kehilangan kata-kata untuk menjabarkan keadaan di Jogja. Terlalu menyedihkan, dan meyakitkan.

Bahkan saat melewati Candi Prambanan, kami hanya bisa melongo tak percaya. Bangunan semegah dan sesakral itu, sebagian telah hancur. Gunungan-gunungan puncak candi terkulai di tanah, dan berbagai bebatuan pembentuk candi ikut luruh. Sesak di dada kami berempat, keheningan yang memekakkan dan tangis dalam diam yang mengaliri pipi kami semua tak cukup untuk menggambarkan apa yang kami rasakan saat itu.

Gue dan Bara berpisah dengan Bayu yang menemani Lintang ke rumah keluarganya. Begitu sampai di kampungnya, Bara yang biasanya tenang tak bisa menahan kesedihannya. Rumah tempat dia tumbuh dewasa kini berbentuk puing. Hampir hancur. Tinggal sebagian atap yang menaungi bangunan yang cukup besar itu. Tiang-tiang rapuh tampak menyedihkan. Tembok retak menampakkan bata merah yang menyembul, sebagian besar berserakan di tanah. Tak tampak lagi bekas keceriaan di rumah yang biasanya suka Bara ceritakan di sela-sela deadline yang mencekik leher kami.

“Rumah masa kecil gue… “

Bara nampak sudah kehilangan akal sehatnya. Dia berlari menghampiri beberapa tetangga lamanya yang mengais puing-puing rumah mereka.

“Pakde, Bapak dan Ibu saya di mana?! Adik saya? Keponakan saya? Mereka di mana?!”

182 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 183: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

“Kami ndak tau, Mas Bara. Bapak dan Ibu Mas Bara setahu saya sudah ndak keliatan sejak tadi…”

Bara terdiam. Matanya nyalang ke segala arah. Gue juga nggak tau harus berbuat apa untuk menenangkannya. Suasana terlalu chaos. Kepanikan mulai merayap dan merajai Bara. Mendadak, kami mendengar suara rintihan dari rumah Bara. Wajah Bara menegang. Serentak, kami berdua berlari, hendak masuk ke dalam rumah. Tapi Bara menahan tangan gue.

“Lo tunggu di sini. Gue aja yang masuk.”

“Lo pikir gue akan ngebiarin lo masuk sendiri? Gak bisa! Gue ikut!”

“Taruna, denger. Kalo gue butuh bantuan, nanti gue akan manggil lo. Oke? Lo liat, Bapak itu lebih membutuhkan bantuan. Gue harus masuk ke dalam rumah. Semakin lama kita berdebat, semakin banyak waktu yang terbuang, dan siapa tau, di dalam rumah mungkin ada orang tua gue, atau adik gue yang masih kecil! Lo tolong Bapak itu aja!”

Telunjuk Bara mengarah pada satu bapak tua yang tersungkur di tanah, dengan kaki penuh darah. Tanpa menunggu jawaban gue lagi, Bara bergerak masuk ke dalam rumah.

Walaupun cemas, gue mengikuti saran Bara dan membantu bapak tua tadi. Memapahnya bediri. Matanya menunjukkan rasa terima kasih sekaligus rasa sakit yang hebat. Bibirnya bergetar, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Kami mulai bergerak menuju posko pengungsian yang tak jauh dari situ. Kaki si bapak tua terus mengucurkan darah segar. Tungkainya bergetar, sehingga gue harus menggendongnya. Biasanya gue bukan orang yang cengeng. Tapi hari itu gue nggak bisa berhenti mengalirkan airmata. Kengerian dan

183 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 184: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

kemarahan alam yang begitu dahsyat sudah memampatkan kerongkongan gue, bahkan untuk mengucapkan kalimat untuk meyakinkan bapak tua itu bahwa semuanya akan baik-baik saja gue nggak mampu. Gue terus menggendongnya tanpa mampu berbicara, tanpa bisa menahan airmata yang terus menganak sungai.

Baru saja menurunkan bapak tua itu di posko pengungsian untuk dirawat, mendadak terdengar suara gemuruh.

Hati gue mencelos. Bara! Secepat mungkin, gue berlari menuju rumahnya. Dalam hati gue hanya bisa mendaraskan permohonan supaya apa yang gue pikirkan bukanlah apa yang sedang terjadi. Tapi kehendak manusia dan apa yang takdir gariskan terkadang tak sejalan. Rumah Bara kini sudah rata dengan tanah. Tiang-tiang penyangganya hancur lebur, atap rumahnya sudah tak berbentuk atap lagi, melainkan puing-puing yang menerbangkan kepulan debu tebal ke mana-mana.

Saat itu, entah kekuatan apa yang merasuki gue. Yang gue ingat adalah, Bara harus selamat, tak peduli bagaimana caranya. Gue kalap dan membongkar batu, beton, dan bata yang tadinya berbentuk rumah. Tangan gue berdarah, tapi rasa sakit sudah bertransformasi menjadi rasa takut akan kehilangan Bara. Sahabat sekaligus saudara gue, api yang selalu menyala, pembakar semangat kami semua harus selamat. Punggung yang berdebu mulai terlihat. Gue makin kalap. Bibir gue bergetar menyebutkan nama Bara berulang-ulang. Airmata sudah bercampur debu. Tak lagi bening, tapi abu-abu. Semakin berdarah tangan gue, semakin jelas bentuk punggung Bara. Kemeja kremnya sudah ternoda darah dan puing serta abu dan debu. Tak nampak gerakan sama sekali. Gue makin kalap dan bertekad menyelamatkan Bara.

184 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 185: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Gue baru berhenti membongkar, melempar bebatuan dan reruntuhan saat ada dua tangan kekar mencengkeram bahu dan menghempaskan gue ke belakang. Rupanya, sudah ada beberapa orang yang ikut membantu membongkar tempat yang tadinya adalah rumah Bara. Bayu dan Lintang sudah sampai di situ, terdiam dan membeku. Tak mampu berkata apa-apa, karena kata-kata sudah kehilangan makna.

Bara pergi, tapi adik bungsunya yang baru berusia 6 tahun terselamatkan. Setelah dilakukan penggalian yang lebih intensif, tim penyelamat menemukan tubuh-tubuh kaku kedua orang tua Bara, abangnya dan kakak iparnya. Gue hampir nggak mampu berdiri tegak. Rasa pilu yang menjalar ke seluruh tubuh terlalu hebat.

Lintang dan Bayu kembali. Keluarga Lintang baik-baik saja. Tapi hatinya juga hancur begitu tau tragedi yang terjadi di rumah Bara. Kami bertiga hanya bisa menangis berpelukan. Api yang tadinya menyala abadi kini padam selamanya. Phoenix yang harusnya terlahir kembali kini akan menjadi abu, tanpa mampu bereinkarnasi kembali. Detil terakhir yang mampu gue ingat hanya saat tubuh Bara dimasukkan ke dalam ambulans yang bergerak pergi perlahan dengan sirine yang memekakkan diiringi rintihan adik kecilnya…

***

Siapakah yang mampu menerjemahkan makna cinta dan kehidupan? Adakah bahasa di dunia mampu menjabarkan secara tepat, apa itu cinta? Sampai sekarang aku masih belum mampu. Aku hanya mampu memandangi riak pelan yang memantulkan saga dan jingga. Lintang dan Bayu berdiri di sampingku. Kami melebur dengan alam, berbicara melalui pikiran. Tak mengeluarkan suara.

185 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 186: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Di sinilah Bara beristirahat. Setiap tahun, kami selalu berkumpul di pinggir laut Selatan tanpa bersepakat terlebih dahulu. Ini ritual kami untuk mengenang Bara, dan saat ini adalah tahun ketiga. Hening yang kami hamburkan melebur dan bergabung dengan deburan ombak Laut Selatan. Mungkin saat ini abu Bara sudah memberikan nutrisi kepada ikan-ikan yang tak mampu kami lihat. Mungkin dia menyebarkan kehangatan kepada gurita raksasa di bawah sana. Atau mungkin, Bara sekarang sudah bertransformasi menjadi sushi yang terbalut rumput laut, mengenyangkan dan memberi senyum di setiap penikmat makanan Jepang itu.

Kami bertiga saling memberi kekuatan dan merangkul bahu, sambil menyaksikan sinar merah yang perlahan menghilang di balik laut. Bara memang sudah pergi, tapi api yang pernah dia bagi tetap bertahan di hati kami masing-masing.

Tahun depan, kami pasti akan kembali ke sini. Sampai tungkai kami bertiga renta dimakan usia. Yang pasti, persahabatan kami berempat tak akan lekang dihempas waktu.[]

186 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 187: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

S en y a w aRahne Putri

(1)Apakah itu kamu?Air yang membasuh perihku. Menyelip di bulir ombak detik menggulung rindu. Zat yang penuhi permukaan hati dengan genangan candu.

Itukah kecipakmu?

Siklus arus yang tak henti mengaliri darahku. Tiap teguk cawan senyummu. Serasa pusaran yang melarut benci. Mengaramkanku di palung hati.

Oh, demi waktu, bersanding denganmu itu muaraku.

Kini,

Setubuhi gersangku dengan gerimismu.

Karena hatiku mati, kering kerontang bernisan sepi.

187 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 188: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

(2)Apakah itu kamu?Sinar yang menggeliat membakar sumbu cemburu. Melumat habis beku yang mengkristal di peparu.

Sumpah mati aku pun berhasrat menjadi api. Melahap habis kamu hingga abu dan kusebar penuhi ronggaku.

Oh, itukah matamu?

Ribuah cahaya yang luruhkan gelap. Menatapmu aku tak kuasa terserap.

Kamu meredup.

Aku tak hidup.

(3)Apakah itu kamu?Pijakan setiap langkahku.Menopang tegapku memetik langit. Hingga tumpah hujan tawa untuk menyesap memadati debu.

Oh, itukah senyummu?

Tempat gravitasi bersembunyi karena malu. Pusat magnet yang menarik seluruh indraku.

Kamu serupa permadari cokelat yang siap menerima jatuhku.

Dalam selambu akhir waktu.

Kubur aku dengan ketenangan yang mengharu biru.

188 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 189: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

(4)Apakah itu kamu?Angin yang mengipas luka dan meniup air mataku.Badai yang memorakporandakan sepi. Beliung yang menghempas sembilu sendu.

Udara yang hadir setelah sesak yang beranak pilu.

Oh, itukah bisikmu?

Yang hadir perlahan setenang napas dan bersepoi menelisik membran telinga.

Semilir yang mengantarkan katakata. Memenuhi tabung rasa yang hampa.

Hembusmu

Udara yang kuhayati dengan segenap nyawa

Kamu.

Air, Api, Tanah, Udaraku

Senyawa surga kedua

Menemaniku di setiap senja

Hingga bermasamasa.[]

189 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 190: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Fi ks i M in i D e di R a hy u diDedi Rahyudi

BANJIR

NATO. “Cup, cup jangan menangis, air mata kalian membanjiri tanah ini" bujuk Pak bupati. "Bantuannya mana?"tanya orang-orang itu, dan tetap menangis.

SURUT. Bagi mereka bertambah 10 cm adalah anugerah kenikmatan, tapi buatku bencana! Kapan banjir ini surut? “Tolooong!”

Tembok rumahnya penuh coretan. Tak akan dicat ulang. Dia jadikan sebagai MEMORABILIA anaknya yang mati. Hanyut tersapu banjir.

190 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 191: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

EKOLOGI

Dia menulisi atmosfer dengan cahaya. Diam-diam atmosfer diekspor ke bulan. Dia terus menggoreskan cahaya. Bukankah atmosfer warisan purba?

LUMPUR. Bocah itu mencabut lidi yg tertancap di tanah. Air dan lumpur memancar.|'Legenda Bagendit?' | 'Bukan, Lapindo'

LAPANGAN. Di ujung aspal, ladang terjual. Diganti tumpukan bata minimalis. Kami menangis, stadion terakhir kami hilang.

DUKUN

Di akhirat, dukun menjadi bahan api neraka. Bukan karena musyrik, tapi karena tingkat oktannya tinggi dan rendah timbal!

Dari nisannya selalu mengalir air mata. Di situ tertulis “Mata Hati, Lahir 17-8-45, Mati 17-8-45”

SENJATA andalan ayah adalah tinju, sedangkan ibu air mata. Entah kenapa pertengkaran mereka selalu dimenangkan ibu.

SOTO

HUJAN. "Bang, saya pesan gado-gado, bukan soto!"|"Maaf pak, ini memang gado-gado. Tadi Bapak tidak pesan pakai payung kan?"

191 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 192: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

HASUT. “Ayo habiskan!” bisik setan. Adam dan hawa pun menandaskan soto mereka. Itulah makan malam terakhir mereka di surga!

SENDIRI

Angin akhir Mei bertiup kencang. Seseorang berlari, mengejar daun. Bukan daun sembarangan, tapi telinga yg tersayat ucapannya sendiri. []

192 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 193: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Pr o fi l K o n t r ib ut o r

Alexander Thian. manusia yang masih mencari keajaiban dalam semesta aksara. Dia terus menelusuri labirin otak, berusaha mendobrak sekat dan tembok yang membatasi imajinasi. Dia juga percaya, spasi adalah salah satu elemen terpenting. Sesuatu yang kosong tak terlihat bukan berarti tanpa guna. Tanpa spasi, jalinan kata-kata tak akan berarti dan rangkaian kalimat adalah kumpulan huruf tanpa makna. Saat ini, Alex bekerja sebagai penulis skenario, penjahit cerita dan penenun imajinasi. Impiannya, menerbitkan buku. Sayang, ada dua setan yang bernama malas dan inkonsistensi. Ada yang punya penawar racun yang ditimbulkan kedua setan itu? Silakan berbagi resepnya ke Alex. Dia akan dengan senang hati mendaraskan rasa terima kasih. Blog: alexast.multiply.com dan amrazing007.tumblr.com Twitter: @aMrazing

Andi Pandu, 27 tahun tinggal di Bandung. Saat ini bekerja di konstruksi tower telekomunikasi. Passion menulisnya sudah dari dulu, terbukti ia paling lancar mengarang dibandingin pelajaran-pelajaran lain ketika sekolah. Menjadi kontributor di salah satu majalah film dan jadi konseptor di sebuah perusahaan advertising. Twitter : @iampandu

Artasya Sudirman, Penulis lepas, pemain teater, presenter, dan full time twitter writter, Hobby meracau apapun yang ada di

193 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 194: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

pikiran maupun hati. Buku pertamanya Adriana, terbit 14 Februari 2010 . Racauannya bisa dilihat di http://www.artasyasudirman.blogspot.com Twitter : @myARTasya

Astrid Dewi Zulkarnain , kelahiran Jakarta, 26 tahun lalu. Sudah senang menulis semenjak SMP. Beberapa tulisannya telah dipublikasikan di beberapa blog pribadinya. Salah satu karyanya “Aura” menjadi salah satu karya di buku Antalogi Sebilah Sayap Bidadari, 2009, kumpulan cerpen khusus untuk penggalangan dana gempa Padang 2009. Karya-karya Astrid dapat dilihat di blog aktifnya di http://treeed.multiply.com/ dan http://zadika.wordpress.com/ Twitter : @Tantehijau

Asyharul Fityan Siregar , Buku pertamanya, Dunia Biru, baru saja diterbitkan melalui www.nulisbuku.com dan blognya bisa dikunjungi di www.setengahmanusia.blogspot.com. Twitter : @OiJaw

Chicko Handoyo Soe, Penggemar Britney ini percaya bahwa pada kehidupan sebelumnya ia adalah badut istana Versailles. Hari-harinya dihabiskan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Twitter : @gembrit

Danang Saparudin , Pegawai pajak yang sampai sekarang masih bermimpi untuk bisa berkeliling nusantara. Kunjungi cerita pendek beserta review tempat tempat indah di Indonesia di www.dansapar.com. Twitter : @dansapar

Dedi Rahyudi. Lahir Bandung, 8 Juli 1973. Saat ini bekerja di PT Pos Indonesia.Sosoknya dikenal hangat, supel dan humoris,

194 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 195: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

sehingga diberikan Julukan "Pakde" oleh sahabat-sahabatnya. Disela rutinitasnya, dia menyempatkan membuat karya yang berkarakter. Tulisannya penuh kejutan, out of the box dan nyaman dibaca. Dedi percaya pada kekuatan imajinasi tak berbatas. Twitter: @dedirahyudi

Dinni Rahmi, distributor sejati di sebuah perusahaan makanan. Termasuk dalam kumpulan wanita pesakitan yang terpaku pada masa lalu. Bermimpi dapat bermain dengan kata dan memvisualisasikan dalam bayangannya. Sarana majinasinya terdapat di http://obiettivo.tumblr.com/ Twitter : @dinnirahmi

Eliana Candra, Guru Bahasa Inggris dan penerjemah lepas. Menyukai cerita wayang , budaya kejawen, jalan-jalan, fotografi, dan puisi-puisi Elizabeth B.Browning. Menikmati menulis sebagai bagian dari 'spiritual travelling'. Kunjungi blog Eli http://elianacandra.multiply.com/ dan twitternya : @ilaiana

Faizal Reza, Pekerja video komersil. Nekad menulis fiksi meski tak pernah bisa patuh pada kaidah sastrawi. Meracau random dan semaunya. Kunjungi www.faizalrezafiles.wordpress.com Twitter: @frezask

Farida Susanty . Menerima anugerah Khatulistiwa Award 2006-2007 kategori penulis muda terbaik ketika usianya 16 tahun untuk bukunya Dan Hujan Pun Berhenti. Penggagas @writingsession, kelompok menulis di twitter setiap pukul 9 malam. Mahasiswi Jurusan Psikologi Universitas Padjadjaran. Buku terbarunya adalah Karena Kita tak Kenal. Kunjungi http://jerawatdimuka.tumblr.com Twitter: @faridasusanty

195 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 196: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Galuh Parantri , 'Mbak' yang sering dikira 'Mas' saat berkomunikasi dengan klien via email. Suka menulis tapi belum bisa dikategorikan penulis profesional. Bekerja sebagai staf marketing & promotion di sebuah media online. Mencintai #Hermesian sama seperti mencintai frozen yoghurt. Merindukan pulang ke Jogja saat ia berwarna abu-abu seperti sekarang. Blog http://supergal2.blogspot.com Twitter: @galoeh11

Jia Effendie. Penulis yang telah menerbitkan dua buku ini sedang terobsesi pada naga merah dan serigala salju, juga segala sesuatu tentang Mitologi Nordik dan berharap akan dikirim ke Bologna tahun depan. Menulis sebagai kebutuhan jiwa, atau bisa dibilang kebutuhan perut. Sehari-hari bekerja sebagai Editor in Chief Penerbit Atria. Senang membaca puisi dan menunggu diundang membaca puisi di panggung. Karya cerpen dan puisinya dapat dinikmati di http://jiaeffendie.wordpress.com Sementara racau acaknya bisa diintip di twitter: @JiaEffendie

Jodhi P. Giriarso , mengaku termasuk orang telat belajar menulis. Cerpen pertamanya hanya untuk tugas B. Indonesia di SMA. Mulai aktif dan ketagihan menulis di buletin kampus. Sampai saat ini sudah menerbitkan novel Konspirasi Nuklir (Tiga Kelana), novel mini Separuh Dunia (unduh gratis di http://bit.ly/9ziLeA), buku Rangkuman Kimia SMA dan buku Superlengkap Kimia SMA (Gagas Media). Alumnus program studi Kimia Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Saat ini sedang menyelesaikan pendidikan master di program studi Teknik Geothermal Institut Teknologi Bandung. Twitter: @Mistchegeo

Lala Bohang, lulusan arsitektur yang berselingkuh dengan dunia visual yang menurutnya lebih ekspresif dalam memainkan garis dan warna. Saat ini sedang tenggelam dalam dunia sureal hitam

196 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 197: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

putih milik Rama dan Gendis, pasangan forever young yang gemar memelihara ikan dan burung hantu. Bermimpi untuk dapat mengabadikan momentum senja terbaik dari pantai-pantai di Indonesia dan bertemu dengan manusia yang memiliki karakter seperti Marla Singer. Silahkan intip dunia Rama dan Gendis di http://lalabohang.wordpress.com atau simak kicauan tengah malamnya di twitter : @lalabohang

Luckty Giyan Sukarno , berdomisili di Lampung. Takdir hidupnya tidah pernah jauh dari buku dan sekarang rajin mendapat kiriman buku terbaru dari peri buku beberapa penerbit untuk di review. Review dan tulisan milik Luckty dapat dilihat di www.luckty.wordpress.com & www.luckty.multiply.com. Twitter: @lucktygs

Ksatria Cahaya , kelahiran kuningan - Jawa Barat 23 tahun silam. Pria yang awalnya tak pernah suka menulis. Mulai menulis sejak dua bulan yang lalu. Beberapa tulisannya dipublikasikan di blog pribadinya http://bersinarhitam.wordpress.com. Puisi berjudul "Gadis Api" adalah puisi pertama yang dipublikasikan untuk umum. Twitter: @ksatria_cahaya

Maria Sekundanti , lahir di Jakarta 25 Juli 1983. Saat ini bekerja di sebuah perusahaan konsultan keuangan di Jakarta. Mencintai rangkaian kata melankolis dan terdorong ikut ambil bagian dalam Hermes for Charity ini karena memiliki kedekatan khusus dengan kota Yogyakarta. Twitter: @danti25

Muhammad Arif Rahman, Seorang PNS yang sedang belajar menulis. “Air Mata” merupakan hasil menulis coba-cobanya yang paling panjang. Semua tentangnya yang random dapat dilihat di http://arievrahman.tumblr.com/ Twitter : @arievrahman

197 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 198: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Pia Zakiyah . Gadis semester 3 yang masih menuntut ilmu di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI. Menyukai kesibukan, hujan, wisata kuliner dan hiking. Kunjungi http://piazakiyah.wordpress.com dan Twitter: @piazakiyah

Putra Perdana Kusuma , Tidak pernah bercita-cita menjadi penulis. Lahir di Jakarta dan memiliki hasrat seni yang kuat. Lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia dan berhasrat di bidang sains dan teknologi. Biru Indigo adalah debut perdananya dalam dunia literatur. Twitter: @putrafara

Rahne Putri . Pekerja yang menghuni hutan beton dan penikmat segala seni. Mencoba melenturkan jari dan bersahabat dengan kata baru-baru saja, dan lalu memutuskan untuk mencoba menanam beberapa kata di kebunnya. Tertarik pada kesedihan, namun enggan keluar dari kubangan bahagia yang nyaman. Kunjungi http://sadgenic.tumblr.com Twitter: @rahneputri

Rana Wijaya Soemadi , gadis muda yang memutuskan untuk keluar dari pekerjaan lamanya sebagai karyawati sebuah perusahaan biro travel dan lebih memantapkan karier di dunia kepenulisan. Lahir di Kudus, 9 September 1984 dan sekarang berdomisili di Semarang. Hobby menulisnya sudah dimulai sejak SMP. Semasa kuliah pernah bergabung di sebuah komunitas film di Kronik Filmedia. Tahun 2009, karyanya masuk dalam 6 besar finalis Jakarta International Film Festival Script Development Competition. Blog: www.ninelights.multiply.com Twitter: @9lights

Rendra Jakadilaga . Lahir di sebuah keluarga biasa, yang tak satu pun anggotanya bisa menyanyi. Sejak kecil, sudah jago menggambar. Kemampuan rahasianya baru terkuak setelah ia bekerja: menulis. Bermain kata dengan puisi dan prosa sampai

198 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 199: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

kadang teriris tajamnya makna. Ia menyukai komik. Sangat. Pernah sekali mendapat hasil TOEFL 654, sampai ia sendiri pingsan mengetahuinya. Pernah sangat pandai di sekolahan, nyaris mewakili Indonesia pada Olimpiade Kimia Internasional. Percaya dirinya sering pada setelan maksimum (ssst… pernah ikut audisi MTV VJ Hunt sampai 3 kali lho!). Di luar semua itu, ia hanya pria, yang berusaha menjalani satu kisah cinta sempurna. Sampai sekarang sih, masih gagal terus.

Reza Hamdi , tukang kemas susu bubuk yang salah mengambil jurusan kuliah, teknik industri. Penggemar kopi dan suka sekali merekam moment melalui kamera Lomo. Twitter: @rezaterpuji

Sam Darma Putra Ginting , Lahir di Bandung, 14 Mei 1976. Berdarah Batak, namun menghabiskan masa kecil dan remaja di kota kelahirannya, Bandung, sampai akhirnya menamatkan kuliah dari ITB dan pindah ke Jakarta pada tahun 2000. Walau bergulat dengan dunia teknologi informasi, namun ketertarikannya pada dunia sosial dan politik mendorongnya untuk menulis esai dan fiksi yang sama sekali berbeda dengan profesi yang digelutinya. Penulis dapat dihubungi melalui akun twitter @samdputra dan aktif menulis melalui blog pribadinya samdputra.wordpress.com.

Siska Ayu Soraya , Seorang pemimpi berusia 25 tahun. Baru beberapa tahun tinggal di Jakarta dan bekerja pada sebuah majalah sebagai staf marketing. Suka menulis beberapa tahun terakhir, dalam bentuk cerpen atau pun prosa, tapi belum cukup percaya diri untuk mempublikasikannya. Buat Siska, menulis itu membebaskan, dan juga sebagai terapi hidup. Menyukai film dan akhirnya mendapat kesempatan untuk memproduksi sebuah film pendek pertama. Twitter: @seeska

199 | H e r m e s f o r C h a r i t y

Page 200: Empat Elemen - Hermes 4 Charity

Sitty Asiah adalah pencari akhir yang bahagia. Karena baginya hidup harus berakhir bahagia, kalau belum bahagia maka hidup belum akan berakhir. Intip buku harian daringnya di http://sittyasiah.wordpress.com Twitter: @sitttyasiah

Suryawan Wahyu Prasetyo , Lahir 16 Januari 1985, tinggal di Prujakan, Yogjakarta dan bekerja di sebuah agen tour. Karyanya bisa dinikmati di http://yuya16.wordpress.com. Twitter: @yuyaone

Zeventina Octaviani , lulusan ULM Universitaet Germany ini tinggal di Bandung bersama suaminya terkasih, Franz dan putri semata wayangnya, Chacha. Zev adalah seorang direktur di PT. Sola Zeni Gratia, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang IT. Novelnya “Elle Eleanor” sempat masuk nominasi KLA Award 2009 sebagai penulis muda berbakat. Antologi Puisi dan Cerpennya “24 Sauh” masuk rekor MURI tahun 2010. Webnya “Deutsch, Warum Nicht” dinobatkan sebagai web terbaik Indonesia di bidang pendidikan. Twitter: @zeventina

200 | H e r m e s f o r C h a r i t y