Emerging Disease

12
Meskipun kemajuan luar biasa dalam penelitian medis dan perawatan selama abad 20, penyakit menular tetap menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia karena tiga alasan: (1) munculnya penyakit infeksi baru (emerging disease); (2) munculnya kembali penyakit menular lama (re-emerging disease), dan (3)intractable infectious disease. Emerging disease termasuk wabah penyakit menular yang tidak diketahui sebelumnya atau penyakit menular baru yang insidennya meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir. Re-emerging disease atau yang biasa disebutresurging disease adalah wabah penyakit menular yang muncul kembali setelah penurunan yang signifikan dalam insiden dimasa lampau. Ada beberapa faktor yang menyebabkan dua permasalahan ini selalu muncul hampir disetiap tahunnya,yaitu : Evolusi dari microbial agent seperti variasi genetik, rekombinasi, mutasi dan adaptasi Hubungan microbial agent dengan hewan perantara (zoonotic encounter) Perubahan iklim dan lingkungan Perubahan prilaku manusia seperti penggunaan pestisida, penggunaan obat antimikrobial yang bisa menyebabkan resistensi dan penurunan penggunaan vaksin. Pekembangan industri dan ekonomi Perpindahan secara massal yang membawa serta wabah penyakit tertentu (travel diseases) Perang seperti ancaman penggunaan bioterorisme atau senjata biologis.

description

yahuuddd

Transcript of Emerging Disease

Meskipun kemajuan luar biasa dalam penelitian medis dan perawatan selama abad 20, penyakit menular tetap menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia karena tiga alasan: (1) munculnya penyakit infeksi baru (emerging disease); (2) munculnya kembali penyakit menular lama (re-emerging disease), dan (3)intractable infectious disease.

Emerging disease termasuk wabah penyakit menular yang tidak diketahui sebelumnya atau penyakit menular baru yang insidennya meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir. Re-emerging disease atau yang biasa disebutresurging disease adalah wabah penyakit menular yang muncul kembali setelah penurunan yang signifikan dalam insiden dimasa lampau. Ada beberapa faktor yang menyebabkan dua permasalahan ini selalu muncul hampir disetiap tahunnya,yaitu : Evolusi dari microbial agent seperti variasi genetik, rekombinasi, mutasi dan adaptasi

Hubungan microbial agent dengan hewan perantara (zoonotic encounter)

Perubahan iklim dan lingkungan

Perubahan prilaku manusia seperti penggunaan pestisida, penggunaan obat antimikrobial yang bisa menyebabkan resistensi dan penurunan penggunaan vaksin.

Pekembangan industri dan ekonomi

Perpindahan secara massal yang membawa serta wabah penyakit tertentu (travel diseases)

Perang seperti ancaman penggunaan bioterorisme atau senjata biologis.

Sudah banyak microbial agent( virus, bakteri, jamur) yang telah terindikasi menyebabkan wabah penyakit bagi manunsia dan juga memiliki karakteristik untuk mengubah pola penyakit tersebut sehingga menyebabkan wabah penyakit yang baru. Seperti yang dirilis dalam National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) yang membagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu :

1. Grup I : Pathogen baru yang diakui dalam 2 dekade terakhir

2. Grup II : Re-emerging pathogen

3. Grup III : Pathogen yang berpontesial sebagai bioterorisme

Peningkatan dan penguatan di bidang pemantauan kesehatan masyarakat (public health surveillance) sangat penting dalam deteksi dini dan penatalaksaanemerging dan re-emerging disease ini. Pemantauan secara berkelanjutan dengan memanfaatkan fungsi laboratorium klinis dan pathologis, pendekatan secara epidemiologi dan kesehatan masyarakat juga diperlukan dalam deteksi cepat terhadapat emerging dan re-emerging disease ini.

WHO telah merekomendasikan kepada setiap negara dengan sebuah sistem peringatan dini (early warning system) untuk wabah penyakit menular dan sistemsurveillance untuk emerging dan re-emerging disease khususnya untuk wabah penyakit pandemik. Sistem surveillance merujuk kepada pengumpulan, analisis dan intrepretasi dari hasil data secara sistemik yang akan digunakan sebagai rencana penatalaksaan (pandemic preparedness) dan evaluasi dalam praktek kesehatan masyakarat dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan meningkatkan kualitas kesehatan(Center for Disease Control and Prevention/CDC). Contoh sistem surveillance ini seperti dalam kasus severe acute respiratory syndrome (SARS), di mana salah satu aktivitas di bawah ini direkomendasikan untuk harus dilaksanakan yaitu:

1. Komprehensif atau surveillance berbasis hospital (sentinel) untuk setiap individual dengan gejala acute respiratory ilness ketika masuk dalam rumah sakit.

2. Surveillance terhadap kematian yang tidak dapat dijelaskan karena acute respiratory ilness di dalam komunitas.

3. Surveillance terhadap kematian yang tidak dapat dijelaskan karena acute respiratory ilness di lingkup rumah sakit.

4. Memonitor distribusi penggunaan obat antiviral untuk influenza A , obat antrimicrobial

dan obat lain yang biasa digunakan untuk menangani kasus acute respiratory ilness

Fungsi utama dari sistem surveillance ini adalah :

(1) Menyediakan informasi seperti pemantauan secara efektif terhadap distribusi dan angka prevalensi, deteksi kejadian luar biasa, pemantauan terhadap intervensi, dan memprediksi bahaya baru.

(2) Melakukan tindakan dan intervensi.

Sehingga diharapkan munculnya kejadian luar biasa yang bersifat  endemik ,epidemik dan pandemik dapat dihindari dan mengurangi dampak merugikan akibat wabah penyakit tersebut.

Tindak lanjut dari hasil surveillance ini adalah pembuatan perencanaan atau yang lebih dikenal dengan pandemic preparedness. WHO merekomendasikan prinsip-prinsip penatalaksaan pandemic preparedness seperti yang tertera di bawah ini:

1. Perencanaan dan koordinasi antara sektor kesehatan, sektor nonkesehatan, dan komunitas

2. Pemantauan dan penilaian terhadap situasi dan kondisi secara berkelanjutan

3. Mengurangi penyebaran wabah penyakit baik dalam lingkup individu, komunitas dan internasional

4. Kesinambungan penyediaan upaya kesehatan melalui sistem kesehatan yang dirancang khusus untuk kejadian pandemik.

5. Komunikasi dengan adanya pertukaran informasi-informasi yang dinilai relevan.

Referensi:

WHO.http://www.who.int/csr/disease/influenza/pipguidance2009/en/index.html

WHO.http://www.aclu.org/pdfs/privacy/pemic_report.pdf

NIAID.http://www.niaid.nih.gov/topics/Flu/understandingFlu/Pages/definitionsOverview.aspx

WHO.http://www.who.int/csr/disease/influenza/pandemic/en/

NIAID.http://www.niaid.nih.gov/topics/emerging/Pages/list.aspx

Saat ini Ebola tengah menjadi topik yang hangat, dan menjadi sebuah ancaman bagi dunia. Hampir semua media—baik elektronik dan cetak—memuat berita mewabahnya virus ini. Sejak mewabahnya Ebola pada Maret 2014, WHO—badan kesehatan dunia—telah mencatat tidak kurang dari 8.914 orang telah terinfeksi virus ini, dan telah menelan korban sebanyak 4.447 orang yang meninggal, termasuk di dalamnya 200 tenaga medis, di empat negara kawasan Afrika Barat. WHO juga memprediksikan akan muncul 10.000 kasus baru yang terinfeksi Ebola sampai pada awal tahun depan, yang tentu dengan korban tewas jauh lebih banyak lagi, bila penyakit ini tidak segera ditangani dengan baik dan serius.

Mewabahnya virus ini sejak awal tahun 2014, bukanlah yang pertama kali sejak virus ini diidentikasi. Namun, epidemi di kawasan Afrika Barat kali ini diyakini yang terparah dan berada pada titik yang paling mengkhawatirkan bila dibandingkan dengan kasus-kasus epidemi sebelumnya. Epidemi virus Ebola yang menjangkiti sebagian besar Afrika Barat seperti Guinea, Sierra Lione, Liberia, Pantai Gading, dan kemungkinan juga di Nigeria, diyakini pertama kali ditularkan dari gigitan kelelawar pada seorang balita berusia dua tahun. Hal ini dikemukakan oleh 17 ahli penyakit tropis dari Eropa dan Afrika dalam sebuah riset internasional setelah melalui penyelidikan selama tiga pekan, dan mereka juga berhasil menangkap kelelawar yang diduga menyebarkan Ebola pertama kali. Di samping itu, para peneliti juga mengambil populasi lain yang ada di sekitar Desa Meliandoua, Propinsi Gueckedou, Guinea, sebuah daerah terpencil yang berbatasan demgan Sierra Leone dan Liberia, tempat epidemi Ebola berawal pada Desembar 2013. Para ahli Epidemologi menyakini balita itu digigit kelelawar, dan akhirnya yang membuat balita tersebut meninggal pada 6 Desember 2013 yang lalu, menularkan virus itu pada ibunya, yang meninggal tujuh hari kemudian. Kakak perempuan dari balita tersebut berusia tiga tahun juga terinfeksi Ebola, dan meninggal menjelang akhir tahun lalu. Virus ini menyebar dengan cepat dan jauh, termasuk menjangkiti orang-orang yang datang ke pemakaman ibu dan anak itu. Hal ini diperparah lagi dengan sebagian besar juga ditularkan lewat hewan mati yang terinfeksi Ebola namun tetap dijual oleh para pemburu.

Hal lain yang menjadi penyebab sulitnya virus Ebola dihilangkan dari kawasan Afrika, dikarenakan pola pikir masyarakat setempat yang masih tradisional, yang juga masih memercayai sihir dan dukun. Ebola bagi sebagian masyarakat di kawasan ini, dianggap sebagai penyakit kutukan. Hal ini membuat kerja para medis sedikit terhambat untuk mencegah laju penyebaran virus ini. Banyak para petugas medis yang diserang oleh penduduk setempat. Ruang karantina untuk para penderita Ebola turut dirusak. Pengobatan modern bagi sebagian besar penduduk kawasan Afrika adalah sesuatu hal yang tabu. Bahkan, ada yang menyebut bahwa tim medis hanya akan membunuh dan, malah menyebarkan virus yang mematikan itu.

Ebola kini bukan hanya menjadi persoalan bagi masyarakat di kawasan Afrika Barat saja, namun sudah menjadi masalah internasional. Pada tanggal 9 Agustus 2014, WHO mengumumkan darurat internasional untuk Ebola. Perawat Teresa Romero, salah seorang warga Negara Spanyol yang menjadi suspek Ebola pertama di Eropa. Romero terinfeksi Ebola ketika menjadi tim pencari dua misonaris Spanyol di Liberia yang

terinfeksi Ebola. Dengan adanya salah seorang warganya yang positif terinfseksi virus mematikan itu, membuat pemerintah Spanyol membentuk sebuah Komite Darurat Ebola, yang bertugas untuk menangani Ebola untuk mencegah penyebaran yang lebih meluas dan terjadinya epidemi di negara tersebut.

Nina Phan, seorang perawat di Rumah Sakit Texas Health Presbyterian, menjadi orang pertama yang terinfeksi Ebola di Amerika, setelah dia merawat Thomas Eric Duncan, seorang turis Liberia yang terinfeksi Ebola. Nina Pham dinyatakan positif terjangkiti virus ini, dua hari setelah kematian Duncan. Amber Vinson, juga seorang perawat yang ikut terlibat menangani Duncan, dinyatakan positif terinfeksi Ebola pada Rabu, 15 Oktober 2014. Amber adalah orang yang kedua yang dinyatakan positif terinfeksi Ebola di AS. Dengan adanya kasus ini, pemerintah Amerika meningkatkan pengamanan di setiap bandara di negara tersebut. Pemeriksaan yang ketat dilakukan pada setiap penumpang yang memasuki negara tersebut, terutama yang berasal dari negara epidemi. Inggris juga melakukan hal sama dengan tujuan untuk mencegah Ebola masuk ke negara tersebut. Bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini, pemerintah hanya baru sebatas mengeluarkan himbauan untuk tidak melakukan perjalanan ke negara-negara menjadi epidemi virus ini. Mengingat pergerakan dinamis yang dilakukan masyarakat negeri ini, dan juga banyaknya turis-turis yang datang, sudah sepatutnya pemerintah melakukan pengawasan yang ketat pada setiap bandara, seperti apa yang telah dilakukan oleh beberapa negara Eropa dan Amerika, sebagai langkah awal pencegahan dini terhadap penyebaran virus yang belum ada vaksin atau obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Namun, seperti yang sudah-sudah, dan juga dapat diduga, pemerintah baru akan bertindak bila telah ada jatuh korban.

*APA EBOLA ITU dan BAGAIMANA PENYEBARANNYA?*

Virus Ebola berasal dari genus Ebolavirus, family dari Filoviridge. Virus Ebola (EVD) atau yang biasa dikenal dengan demam berdarah Ebola (EHF), adalah penyakit yang menginfeksi manusia disebabkan oleh Virus Ebola. Virus yang mematikan ini pertama kali ditemukan pada tahun 1976 dalam dua wabah simultan yang terjadi di Kota Nzara, Sudan, dan di Desa Yambuku, Republik Demokratik Kongo. Kata Ebola diambil dari nama sebuah sungai yang mengalir dekat Desa Yambuku, yaitu Sungai Ebola. Sejak pertama kali ditemukan hingga kini, virus ini telah berkembang menjadi lima varian spesies: Zaire, Sudan, Tai Forest, Bundibugyo dan Reston. Dari kelima varian spesies itu, diyakini yang paling berbahaya adalah spesies Zaire, sebab spesies ini menimbulkan 90% korban meninggal, yang artinya bahwa 9 dari 10 orang yang terinfeksi Virus Ebola berakhir pada kematian.

Pada awal mulanya virus ini diyakini menulari manusia lewat daging gorila yang dijual dan disantap oleh masyarakat di Afrika. Namun, beberapa ilmuwan meragukan teori itu. Para ilmuwan itu lebih meyakini kelelawar buah sebagai penyebab utama melalui beberapa penelitian yang dilakukan oleh Emerging Infectious Diseases. Di Afrika, kelelawar buah, terutama spesies dari genus Hypsignathus Monstrosus, Epomops Franqueti dan Torquata Myonycteris, dianggap mungkin host alami untuk virus Ebola. Akibatnya, distribusi goegrafis dari virus Ebola menjadi tumpah tindih dengan berbagai

kelelawar buah lainnya. Kelelawar buah diyakini dapat membawa dan menyebarkan virus tanpa terjangkit. Penularan itu terjadi ketika monyet atau manusia memakan buah yang telah terkena air liur kelelawar; atau dapat juga disebabkan ketika monyet atau manusia menyentuh benda-benda yang telah terkena air liur kelelawar, yang kemudian menyentuh mata atau mulut sendiri. Namun demikian, virus Ebola juga ditemukan di dalam tubuh hewan primata—monyet, gorilla dan simpanse.

Virus Ebola tidak menular melalui udara, tetapi melalui kontak langsung dengan cairan penderita, seperti darah, kotoran, keringat dan muntah. Namun demikian, virus Ebola terus bermutasi dengan cepat. Direktur Pusat Penelitian dan Kebijakan Penyakit Menular di Universitas Minnesota, Michael Osterholm, dalam sebuah artikelnya yang dikutip Reuter, menyebutkan bahwa ancaman penyebaran Ebola melalui udara adalah nyata, sebagai resiko dari hasil mutasi Ebola. Beberapa ahli virus meragukan pandangan dan peringatan Michael Osterholm itu, walaupun mereka mengakui bahwa virus Ebola terus mengalami mutasi.

Pemutasian virus Ebola dibuktikan dalam sebuah studi yang dipublikasikan melalui jurnal sains pada Agustus lalu. Para peneliti menemukan 99 Genom virus Ebola dari sampel darah 78 pasien di Sierra Leone. Para peneliti itu menyebutnya sebagaiakumulasi cepat dan variasi genetik, atau dengan kata lain frekuensi perubahan virus dalam jumlah besar hanya dalam beberapa pekan awal terjadinya wabah. Namun demikian, perubahan virus Ebola tidak terasosiasi dengan perubahan biologis atau fungsi biologisnya, yang tidak memberi kemampuan virus baru menyebar melalui udara. Seperti HIV dan flu, virus Ebola merupakan virus yang material genetiknya terkandung dalam asam Ribonukleat (RNA), bukan asam Deoksiribonukleat (DNA).Hal ini dikatakan oleh Anthony Fauci dari Institut Nasional AS pada saat dengar pendapat di Senat AS.

Virus Ebola memiliki daya tahan hidup cukup lama di permukaan benda. Untuk itu, benda yang telah terkontaminasi dengan cairan tubuh penderita, seperti sarung tangan karet, jarum suntik atau baju khusus yang dikenakan para medis saat menangani pasien Ebola, dapat menjadi media penularan virus ini. Semua alat-alat medis hanya sekali pakai. Benda-benda yang telah terkontaminasi dengan cairan penderita harus dibakar, sebagai cara untuk mencegah penularannya. Cara yang salah saat penanganan proses pemakaman korban Ebola, dengan cara menyentuh langsung korban, turut menjadi andil dalam penyebaran virus ini secara meluas. Orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan—dokter dan perawat—beresiko tinggi tertular virus ini, apabila tidak menggunakan pakaian khusus dan mengikuti prosedur standar yang telah ditentukan.

*GEJALA dan AKIBATNYA*

Hal yang tersulit dari virus Ebola adalah pendeteksian awal pada orang yang terjangkiti virus ini. Orang yang terjangkiti Ebola akan menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit dan infeksi lain. Untuk itu, bila ingin melakukan diagnosis, penyakit yang menunjukkan gejala serupa, seperti malaria, kolera, demam berdarah, types dan virus-virus lainnya harus dikecualikan terlebih dahulu. Orang yang terinfeksi Ebola akan

menunjukkan gejala flu, demam tinggi, sakit tenggorokan, sakit kepala, nyeri otot, yang kemudian dikuti dengan mual, muntah, diare dan ruam. Pada fase yang lebih lanjut, virus ini dapat menimbulkan gangguan funsi ginjal, hati dan pendarahan—pendarahan internal dan eksternal. Pendararah dapat terjadi pada kulit, mata, hidung dan mulut.

Masa inkubasi Ebola terhitung sangat cepat, antara 2-21 hari sejak terinfeksi. Untuk itu, penanganan terhadap suspek Ebola harus dilakukan dengan sesegera mungkin. Bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat, tingkat kematian pada pasien Ebola adalah 90%. Andaipun mendapat perawatan medis yang optimal, jika terlambat didiagnosa, tingkat mortalitas masih cukup tinggi, sekitar 60%.

Mengapa Ebola begitu berbahaya? Saat virus Ebola menginfeksi tubuh manusia, dengan segera virus tersebut masuk ke dalam sel tubuh dan menggandakan diri, yang membuat sel tubuh pecah dan mengeluarkan virus-virus baru yang akan menginfeksi sel tubuh lainnya dan mengacaukan system tubuh secara keseluruhan. Virus Ebola juga memproduksi protein yang disebut ebolavirus glycoprotein, yang langsung menempel pada sel dalam pembuluh darah. Protein ebolavirus glycoprotein akan menipiskan lapisan pembuluh, yang memicu kebocoran darah dalam tubuh.

Virus Ebola juga menurunkan kemampuan tubuh dalam mengkoagulasi darah yang menyebabkan pendarahan internal. Di samping itu, virus Ebola juga melemahkan system kekebalan tubuh, seperti yang dilakukan virus HIV yang menyebabkan AIDS. Bedanya, virus Ebola akan memengaruhi sel darah putih dan membuat sel tersebut tidak bisa memperingatkan tubuh akan bahaya kesehatan yang mengancam, terutama dari hati, ginjal, empedu dan otak. Ketika sel darah putih dilemahkan virus Ebola, tubuh akan memproduksi molekul yang disebut sitokin. Dalam kondisi tubuh yang sehat, keberadaan sitokin akan merangsang otak untuk melepaskan sel penangkal penyakit. Namun, dalam kasus virus Ebola, sitokin dilepaskan terlalu berlebihan, sehingga menyebabkan gejala seperti flu. Ini merupakan gejala awal Ebola.

Secara umum, tahap pertama Ebola memang dimulai dengan gejala mirip flu. Namun, jika Ebola tidak segera ditangani, dari gejala mirip flu, virus akan terus melemahkan pertahanan tubuh dan membuat pasien mengalami dehidrasi parah dari muntah, diare, dan tekanan darah yang rendah. Pendarahan hanya akan muncul pada tahap terakhir serangan virus Ebola, yang pada akhirnya membuat pasien Ebola akan meninggal karena shock dan kegagalan fungsi multi organ. Orang yang terinfeksi dapat bertahan terhadap serangan virus Ebola, apabila orang tersebut memiliki imunitas yang sehat. Jika system kekebalan tubuh berada dalam kondisi optimal, semua infeksi virus bisa dimentahkan. Selain itu, kecepatan diagnosa juga sangat menentukan. Semakin cepat penanganan medis diberikan setelah terinfeksi, semakin tinggi angka kelangsungan hidup pasien.

Untuk memastikan seseorang terjangkiti Ebola, harus dilakukan diagnosis dengan menguji darah untuk antibodi virus, RNA virus, atau virus itu sendiri. Ketika seseorang terinfeksi Ebola, hal yang bisa dilakukan dokter adalah terus mencoba untuk mempertahankan tekanan darah pasien tetap normal dengan memberikan cairan

khusus yang mengandung elektrolit dan obat-obatan. Bila seorang pria selamat dari penyakit ini, pria tersebut masih bisa menularkannya lewat semen (sperma) selama dua bulan.

*UPAYA GLOBAL MELAWAN EBOLA*

Sejak Ebola kembali merebak dan menjadi epidemi di kawasan Afrika Barat pada awal tahun ini, berbagai upaya dilakukan untuk membendung penyebaran lebih jauh lagi. WHO mendorong dunia internasional lebih aktif lagi untuk melakukan pencegahan itu. Badan kesehatan dunia ini menghimbau pada dunia internasional untuk lebih banyak lagi mengirimkan tenaga medis ke Afrika Barat. Laju penyebaran virus Ebola di keempat negara yang menjadi daerah epidemi, tidak sebanding dengan tenaga medis yang tersedia saat ini. Hambatan lain dalam menangani penyebaran Ebola di negara-negara epidemi, ketidakcukupan ruang karantina yang tersedia membuat semakin sulit untuk mengatasi penularannya.

Menanggapi seruan WHO itu, Barack Obama, Selasa, 16 September 2014, menyatakan akan mengirimkan 3.000 personel militer AS ke kawasan Afrika Barat, dalam upaya global melawan Ebola. Prancis, melalui Presiden Francois Hollande, mengumumkan rencana untuk membangun rumah sakit militer di kawasan hutan terisolasi di Guinea.

Sejak Ebola pertama kali ditemukan pada tahun 1976, para ahli di berbagai negara seolah berpacu dengan waktu untuk menemukan obat yang mampu melawan ganasnya virus Ebola. ZMapp, yang diproduksi oleh Mapp Biopharmaceutical di San Diego, AS, adalah salah satu obat dari sedikit obat yang dibuat untuk melawan Ebola. Obat ini belum pernah diujicobakan kepada manusia, namun memiliki reaksi yang positif pada simpanse. Obat yang belum pernah diujikan pada manusia, memiliki resiko bahaya. Namun, WHO terpaksa menyetujui menggunakan obat itu pada penderita Ebola, mengingat tingkat terjangkitan yang tinggi.

Dokter Kent Brantly, Direktur medis untuk kelompok Pusat Pengelolaan Konsolidasi Kasus Ebola, yang juga tergabung dalam organisasi amal Samaritan Purse, dan Nancy Writebol, seorang pekerjaan kemanusiaan yang bekerja untuk organisasi amal Serving In Mission (SIM), adalah dua penderita Ebola yang sembuh setelah menggunakan obat ZMapp, dalam sebuah pengawasan perawatan yang ketat di Unit Penyakit Menular Rumah Sakit Emory, AS. Meskipun demikian, obat ini belum dapat dikatakan ampuh untuk melawan virus Ebola. Pendeta Miguel Pajares (Spanyol) dan dokter Abraham Borbor (Liberia), dua pasien Ebola sebelumnya yang meninggal, meskipun telah diberikan obat ini. Walaupun keampuhan masih diragukan, obat ZMapp tetap dikirimkan ke negara-negara epidemi Ebola, yang membuat ketersediaan obat ini semakin menipis. Hal ini disebabkan oleh produksi ZMapp cukup lambat. Anti bodinya harus ditumbuhkan menggunakan daun tembakau yang dimodifikasi secara khusus.

Untuk mengisi kukurangan dan kekosongan obat ZMapp dengan obat lainnya, Jepang menawarkan diri untuk menyediakan obat anti influenza, yaitu Favipiravir bagi penderita

Ebola. Obat ini dikembang oleh Toyama Chemical Co, anak perusahaan Fujifilm Holdings Corp. Takao Aoki menyebutkan virus Ebola dan influenza memiliki tipe yang serupa dan respon yang sama. Obat Favipiravir dapat mencegah replikasi gen virus di dalam sel yang terinfeksi untuk mencegah propagasi. Sementara, obat anti replikasi lainnya dirancang untuk menghambat pelepasan partikel virus baru untuk mencegah penyebaran infeksi.

Untuk mengatasi penyebaran Ebola yang demikian cepat, pemerintah Kanada turut menyumbang 1.000 dosis vaksin yang diberi nama VSV-EBOV. Vaksin ini sama dengan obat ZMapp, belum pernah diuji pada manusia. Vaksin ini baru dicoba pada hewan primate dan dinilai cukup menjanjikan untuk menangkal penyebaran virus Ebola.

Setelah berhasil pulih dari penyakit Ebola, orang yang terinfeksi virus tersebut diyakini memiliki anti bodi di dalam tubuhnya. System kekebalan tubuh dari bekas pasien Ebola akan membantu melawan virus pada orang yang tengah terinfeksi Ebola. Hal ini dilakukan oleh dr. Kent Brantly pada salah seorang pekerja kemanusiaan dr. Rick Sacra. Meskipun penggunaan serum dari bekas pasien yang berhasil selamat dari satu penyakit, bukanlah hal yang baru, WHO terus mendorong untuk menggunakan metode itu. Tidak mengherankan bila kini di Negara tertentu, darah bekas penderita Ebola ramai diburu orang, khususnya di pasar gelap. Hingga saat ini, dunia internasional terus berusaha melakukan perlawanan terhadap Ebola. Pemerintah di negara-negara epidemi, melarang penduduknya untuk keluar rumah.

http://sosbud.kompasiana.com/2014/10/16/virus-ebola-mengancam-dunia-696002.html