EKSISTENSI MAZHAB FIQIH PADA ZAMAN KONTEMPORER …

22
15 EKSISTENSI MAZHAB FIQIH PADA ZAMAN KONTEMPORER SEKARANG Zakirun Pohan Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh Abdur Rauf (STAISAR) Aceh Singkil Email: [email protected] Abstrak Ada dua sikap fanatik yang berkembang dalam masyarakat Islam yaitu fanatik dalam bermazhab dan fanatik anti mazhab. Sikap dan kondisi seperti ini telah menimbulkan perselisihan dan perpecahan dalam tubuh kaum Muslimin. Bahkan tidak jarang perbedaan dalam masalah furu’ (cabang) dapat menyulut terjadinya pertengkaran dan pertumpahan darah di antara sesama Muslim. Pada titik inilah persoalan mazhab dalam syari’at Islam itu menjadi penting untuk ditelisik lebih lanjut. Sejarah muncul mazhab fiqih terjadi dalam lima periode: Periode pertumbuhan (Abad ke 0-1 H) yaitu pada masa rasulullah, pada masa shahabat dan pada masa tabiin. Periode pembentukan (Abad ke 2-3 H ) yaitu Mazhab Imam Abu Hanifah, Madzhab Imam Malik, Mazhab Imam Syafii, Mazhab Imam Ahmad dan Mazhab lainnya. Periode keemasan (Abad ke 3-9 H). Periode kemunduran (Abad ke 10 – 13 H ). Dan periode kebangkitan (Abad ke 14 – Sekarang). Ternyata bermadzhab bagi selain mujtahid mutlak itu hukumnya wajib menurut ulama ushul fikih. Dan mengajak masyarakat untuk meninggalkan mazhab atas alasan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah adalah suatu usaha yang sia-sia. Mazhab seharusnya difahami sebagai sebuah disiplin ilmu (manhaj) untuk kita memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu, eksistensi bermadzhab pada era kontemporer masih diperlukan guna menselaraskan kebenaran faktual al-Qur’an dan as-Sunnah. Kata Kunci: Mazhab, Fiqih, Kontemporer

Transcript of EKSISTENSI MAZHAB FIQIH PADA ZAMAN KONTEMPORER …

15

EKSISTENSI MAZHAB FIQIH PADA ZAMAN KONTEMPORER SEKARANG

Zakirun Pohan

Sekolah Tinggi Agama Islam Syekh Abdur Rauf (STAISAR) Aceh Singkil Email: [email protected]

Abstrak

Ada dua sikap fanatik yang berkembang dalam masyarakat Islam yaitu fanatik dalam bermazhab dan fanatik anti mazhab. Sikap dan kondisi seperti ini telah menimbulkan perselisihan dan perpecahan dalam tubuh kaum Muslimin. Bahkan tidak jarang perbedaan dalam masalah furu’ (cabang) dapat menyulut terjadinya pertengkaran dan pertumpahan darah di antara sesama Muslim. Pada titik inilah persoalan mazhab dalam syari’at Islam itu menjadi penting untuk ditelisik lebih lanjut. Sejarah muncul mazhab fiqih terjadi dalam lima periode: Periode pertumbuhan (Abad ke 0-1 H) yaitu pada masa rasulullah,

pada masa shahabat dan pada masa tabiin. Periode pembentukan (Abad ke 2-3 H ) yaitu Mazhab Imam Abu Hanifah, Madzhab Imam Malik, Mazhab Imam Syafii, Mazhab Imam Ahmad dan Mazhab lainnya. Periode keemasan (Abad ke 3-9 H). Periode kemunduran (Abad ke 10 – 13 H ). Dan periode kebangkitan (Abad ke 14 – Sekarang). Ternyata bermadzhab bagi selain mujtahid mutlak itu hukumnya wajib menurut ulama ushul fikih. Dan mengajak masyarakat untuk meninggalkan mazhab atas alasan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah adalah suatu usaha yang sia-sia. Mazhab seharusnya difahami sebagai sebuah disiplin ilmu (manhaj) untuk kita memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu, eksistensi bermadzhab pada era kontemporer masih diperlukan guna menselaraskan kebenaran faktual al-Qur’an dan as-Sunnah. Kata Kunci: Mazhab, Fiqih, Kontemporer

16

A. Pendahuluan

Paling tidak ada dua sikap fanatik yang berkembang dalam masyarakat

Islam yaitu fanatik dalam bermazhab dan fanatik anti mazhab. Orang yang

fanatik dalam bermazhab memandang bahwa hanya mazhab yang dianutnya

yang benar, sedangkan mazhab yang lain adalah salah. Atau seseorang tetap

berpegang pada mazhabnya walaupun dia mengetahui bahwa dalil yang

dipakai mazhabnya lemah, sedangkan dalil yang dipakai oleh mazhab yang

lain lebih shahîh. Atau ada yang berpandangan bahwa talfiq (berpindah

mazhab) hukumnya haram. Di samping itu kelompok ini sangat

mengkultuskan imam panutannya sampai pada level melecehkan imam

lainnya.

Golongan anti mazhab berpendapat bahwa taqlid kepada mazhab

hukumnya haram. Mereka berpandangan bahwa taqlid kepada mazhabnya

sama artinya meninggalkan al-Quran dan Sunnah. Mereka menyerukan agar

semua kaum muslimin langsung merujuk kepada al-Quran dan Sunnah dalam

mengambil hukum syari’at walaupun mereka tidak memilih perangkat-

perangkat ilmu atau bahkan tidak memperhatikan persyaratan ijtihad yang

harus mereka lalui untuk sampai kepada derajat mujtahid. Sehingga seringkali

hukum-hukum yang mereka simpulkan terasa aneh bagi kaum awam. Mereka

berani menentang pendapat para imam dan mengemukakan pendapat yang

betul-betul baru. Bahkan di antara mereka mengatakan bahwa keempat

mazhab yang sudah dikenal umat Islam sejak lama adalah suatu bid’ah yang

diada-adakan dalam agama Islam, dan mazhab-mazhab empat itu menurut

mereka sama sekali bukan bagian dari agama Islam. Sebagian mereka juga ada

yang mengatakan bahwa kitab-kitab keempat mazhab itu sebagai al-Kutub Al-

Mushaddi’ah (kitab-kitab yang membawa kepada kehancuran).1

Sikap dan kondisi seperti ini telah menimbulkan perselisihan dan

perpecahan dalam tubuh kaum Muslimin. Bahkan tidak jarang perbedaan

1 M.Said Ramadhan al-Buthi, Alamadzhâbiah Akhthuru Bid’atin Tuhaddidu al-Syari’ah al-

Islamiyah, diterjemahkan oleh Gazira Abdi Ummah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h.15.

17

dalam masalah furu’ (cabang) dapat menyulut terjadinya pertengkaran dan

pertumpahan darah di antara sesama Muslim. Pada titik inilah persoalan

mazhab dalam syari’at Islam itu menjadi penting untuk ditelisik lebih lanjut.

Mayoritas umat Islam di dunia ini masih tetap berpegang teguh kepada

fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat Imam Mazhab yang empat dalam urusan

furu’iyyah. Sebagian umat Islam juga ada yang menganut selain mazhab empat

tersebut, seperti mazhab Dzahiri dan mazhab Syi’ah. Namun terdapat pula

umat Islam yang melepaskan dirinya dari mazhab-mazhab itu, dalam

pengertian yang lain mereka tidak mengikuti salah satu mazhab yang empat

atau yang lainnya. Akan tetapi mereka menjalankan pendapat mereka sendiri.

Tentunya hal tersebut di atas membuat bingung umat Islam yang telah lama

berpegang teguh pada pendapat-pendapat imam madzhab mereka. Tentunya

menarik untuk dikaji lebih jauh bagaimanakah sesungguhnya madzhab dalam

bangunan syari’at Islam.

B. Pembahasan

a. Pengertian Mazhab Fiqih

Menurut bahasa, mazhab berasal dari lafaz masdar (kata sifat) dan isim

makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba”

yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”.

Sedangkan pengertian mazhab menurut istilah ada beberapa rumusan,

antara lain:2

1. Menurut Said Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan pikiran

(paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam

menetapkan suatu hukum Islam dari Al-Quran dan hadits.

2. Menurut K.H.E. Abdurrahman, mazhab dalam istilah islam berarti

pendapat, paham atau aliranseorang alim besar dalam Islam yang digelari

Imam seperti Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ibn Hanbal, mazhab Imam

syafi’i mazhab Imam Maliki, dan lain-lain.

2 Huzaimah Tahido Yanggo. Pengantar Perbandingan Mazhab. 1997. Ciputat: Logos

Wacana Ilmu. Hal.71

18

3. Menurut A. Hasan, mazhab adalah sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat

seorang alim besar dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah

ataupun lainnya.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:

1. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang

imam mujtahid dalam menetapkan hukum atau peristiwa berdasarkan Al-

quran dan Hadis.

2. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang

hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Quran dan Hadis.

Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh

Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum

Islam. Selanjutnya imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya

menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara Istinbath Imam Mujtahid

tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum

Islam.

Adapun pengertian mazhab menurut para ulama fiqih yang perlu kita

ketahui. Menurut ulama fiqih mazhab adalah sebuah metodologi fiqih khusus

yang dijalan oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih

lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu

furu’3. Masalah yang bisa menggunakan metode ijtihad adalah yang termasuk

istilah dzanni atau prasangka, bukan hal yang qath’i atau pasti.

Itulah penjelasan mengenai pengertian mazhab yang pada intinya

memiliki makna yang sama. Lahirnya mazhab ini tidak bisa terlepas dari

perkembangan hukum-hukum Islam sebelumnya yaitu pada masa Rasulullah

dan sahabat. Bila pada masa Nabi sumber fiqih adalah Al-Quran, maka pada

masa sahabat dikembangkan dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan Ijtihad

sebagai sumber penerapan fiqih. Sesudah masa sahabat, penetapan fiqih

dengan menggunakan Sunnah dan Ijtihad ini sudah begitu berkembang dan

3 http://id.m.wikipedia.org/wiki/mazhab

19

meluas4. Yang kemudian kita mengenal mazhab-mazhab fiqih. Mazhab dalam

fiqih ada beberapa macam, hal ini dikarenalan adanya perbedaan pendapat

dalam berijtihad seorang ulama.

b. Sejarah Muncul Mazhab Fiqih

Lahirnya berbagai aliran atau madzhab dalam ilmu fiqih

dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain disebabkan oleh :

1. Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang Lafadz Nash

2. Perbedaan Dalam Masalah Hadits

3. Perbedaan dalam Pemahaman dan Penggunaan Qaidah Lughawiyah Nash

4. Perbedaan Dalam Mentarjihkan Dalil-dalil yang berlawanan ( ta’rudl al-

adillah)

5. Perbedaan Tentang Qiyas

6. Perbedaan dalam Penggunaan Dalil-dalil Hukum

7. Perbedaan dalam Pemahaman ‘illat Hukum

8. Perbedaan dalam Masalah Nasakh5

1) Periode Pertumbuhan (Abad ke 0-1 H)

1) Madzhab Pada Masa Rasulullah

Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman

Rosulullah SAW, Madzhab pada zaman Rasulullah adalah sebatas Ijtihad

(pendapat) para sahabat dalam memahami agama, karena pada zaman itu

sumber hukum islam adalah hanya al-Quran dan Hadits, sehingga ketika para

sahabat terjadi perselisihan dan berijtihad masing-masing; maka mereka

langsung melaporkan masalah tersebut kepada Rasulullah.6

Pertama:

4 Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh jilid 1. 1997. Ciputat: Logos Wacana Ilmu. Hal.29 5 Al-Qordhowi, Yusuf, Fikih Ikhtilaf, ( Kairo : Dar al Fikr al- Islamiy, 1997) hal 65 6 Ayang Utriza Yakin, Sejarah hukum Islam, (Bandung : Grafika Intermedia,2014), hal

24

20

خرج رجلان في سفر، وليس معهما ماء، فحضرت الصلاة :عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال

فتيمما صعيدا طي با، فصليا، ثم وجدا الماء في الوقت، فأعاد أحدهما الصلاة والوضوء، ولم يعد الآخر، ثم أتيا

الله صلى الله عليه وسلم فذكرا ذلك له، فقال للذي لم يعد: )أصبت السنة، وأجزأتك صلاتك(، رسول

وقال للآخر: )لك الأجر مرتين(؛ رواه أبو داود والنسائي

Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata: “Ada 2 Sahabat dalam perjalanan, ketika waktu

shalat tiba dan tidak menemukan air, maka beliau berdua melakukan Tayammum.

Keduanya pun shalat. Setelah itu mereka menemukan air saat waktu shalat belum

habis.” “Satu dari mereka mengulang shalat dengan berwudhu’. Sahabat yang lain

tidak mengulang shalatnya (cukup dengan Tayammum tadi)” Setelah mereka datang

kepada Rasulullah SAW dan bercerita kejadian itu maka Nabi bersabda kepada Sahabat

yang shalat 1 kali saja: “Kamu sudah sesuai Sunnah. Cukup shalatmu itu”. Dan

kepada Sahabat yang shalat 2x (dengan Tayammum dan Wudhu’) Nabi bersabda:

“Kamu dapat 2 pahala”.7

Kedua: Rasulullah SAW bersabda :

) لا يصل ين أحد العصر إلا في بن ق ريظة ) رواه البخاري

“Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani

Quraizhah”

Ketika mereka mendapati waktu shalat yang disebutkan oleh Rasulullah

SAW tersebut di tengah jalan, sebagian dari mereka mengatakan, “Kita tidak

shalat sampai kita tiba di perkampungan Bani Quraizhah.” Sementara yang lain

bersikukuh tetap melakukan shalat ‘Ashar pada waktunya, karena mereka

memandang bahwa Rasulullah SAW tidak bermaksud menyuruh para

shahabat R.A menunda shalat ‘Ashar sampai lewat waktunya. Kemudian dua

7 Abu Daud, Sunan Abu Daud, ( Bairut : Maktabah al-Isyriyyah) Cetakan kedua, Jilid 2

hal 54

21

sikap yang berbeda dalam menyikapi sabda Rasulullah SAW ini dilaporkan

kepada Nabi. Rasulullah SAW tidak mencela salah satunya.8

Pada periode ini, Madzhab hanyalah sebuah pendapat atau ijtihad para

sahabat dalam memahami sebuah kasus, lalu sahabat melaporkan kepada

Rasul akan kasus tersebut, sehingga Rasulullah SAW langsung memutuskan

kasus tersebut apakah salah satu yang benar atau keduanya benar.9

Madzhab secara sistematis belum terbentuk, hanya berbentuk pendapat-

pendapat para sahabat dan ijtihad-ijtihadnya yang kemudian disampaikan

kepada Rasulullah.

2) Madzhab Pada Masa Shahabat

Mahzab fiqih itu sejak zaman sahabat mulai tumbuh seiring dengan

meninggalnya Rasulullah SAW; karena ketika di zaman Rasulullah para

sahabat menemukan sebuah masalah, akan tetapi setelah wafatnya Rasulullah,

para sahabat masing-masing memiliki pendapatnya. Misalnya pendapat Aisyah

ra, pendapat Ibn Mas’ud ra, pendapat Ibn Umar. Masing-masing memiliki

kaidah tersendiri dalam memahami nash Al-Qur’an Al-Karim dan sunnah,

sehinga terkadang pendapat Ibn Umar tidak selalu sejalan dengan pendapat

Ibn Mas’ud atau Ibn Abbas. Tapi semua itu tetap tidak bisa disalahkan karena

masing-masing sudah melakukan ijtihad.10

Para sahabat melihat Rasulullah Saw mengerjakan suatu tindakan,

sebagian sahabat menafsirkannya sebagai tindakan qurbah (ibadah), sedangkan

sebagian yang lain menyimpulkannya sebagai tindakan mubah (biasa).

Contohnya, para sahabat melihat Nabi SAW melakukan lari-lari kecil saat

thawaf. Oleh karena itu, mayoritas mereka berpendapat hal tersebut adalah

sunnah dalam tawaf. Sedangkan Ibnu Abbas, mengintepretasikan tindakan

beliau sebagai kebetulan karena ada motivasi yang muncul.11

8 Al-Bukhori, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhori, (Bairut :

Maktabah al-Isyriyyah ) Cetakan kedua, Jilid 2, hal 124 9 Ahmad Hasan, Nasyatul Fiqh al_Islamiy, ( Damaskus : Dar al Hijroh,1996) hal 98 10 Hasan Mahmud, Pengantar Hukum Islam, ( Bandung : Pustaka al-Iman, 2009 ) hal 34 11 Mahmud Sirojuddin, Hukum Islam Sejarah perkembangannya, ( Jakarta : Pustaka

Lentera Iman, 2013), hal 47

22

Rasulullah SAW mengerjakan ibadah haji dan orang-orang

menyaksikannya. Sebagian sahabat berpendapat bahwa beliau mengerjakan

ibadah haji secara tamattu’, sementara sebagian sahabat yang lain

menganggapnya mengerjakan ibadah haji secara qiran. Sebagian sahabat lain

menyangka beliau mengerjakan ibadah haji secara ifrad.12

3) Madzhab Pada Masa Tabiin

Di masa tabi’in, kita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang tujuh

orang yaitu; Said ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn Muhammad,

Kharijah ibn Zaid, Ibn Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan Ubaidillah. Termasuk

juga Nafi’ maula Abdullah ibn Umar. Di kota Kufah kita mengenal ada Al-

Qamah ibn Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’i guru al-Imam Abu Hanifah.

Sedangkan di kota Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri dan Imam Sufyan asl-Sauri.

Dari kalangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cukup terkenal; Ikrimah

Maula Ibn Abbas dan Atha’ ibn Abu Rabbah, Thawus ibn Kiisan, Muhammad

ibn Sirin, Al-Aswad ibn Yazid, Masruq ibn al-A’raj, Alqamah an Nakha’i,

Sya’by, Syuraih, Said ibn Jubair, Makhul al-Dimasyqy, Abu Idris al-Khaulani.

Dalam kasus iddah wanita hamil karena berzina, Para ulama di kalangan

Tabiin berbeda pendapat :

a. Imam Sufyan al-Sauri dan sebagain tabiin berpendapat bahwa tidak ada

iddah bagi wanita hamil karena berzina. Karena iddah untuk menjaga

nasab, sedangkan pezina tidak menjaga nasab.

b. Imam Hasan basri, Ibrahim Al-Nakha’i dan sebagian tabiin lainnya

berpendapat bahwa wanita hamil karena berzina tetap ada iddahnya,

karena iddah itu karena Istibra’ (membersihkan Rahim).13

12 Ahmad Ridho, Hukum Islam dalam Sorotan, ( Jakarta : Pustakan Bina karya Utama,

2015) hal 24 13 Imam An Nawawi, Majmu ala Syarhil muhazzab, ( Damaskus : Maktabah al-Iman,

1996) Juz XVII, hal 34

23

b) Periode Pembentukan (Abad ke 2-3 H )

1) Mazhab Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah, yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi,

mempunyai nama lengkap: Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-

Kufi. lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah/699 M, bertepatan dengan masa

khalifah Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari dengan nama

Abu Hanifah yang berarti suci dan lurus, karena sejak kecil beliau dikenal

dengan kesungguhannya dalam beribadah, berakhlak mulia, serta menjauhi

perbuatan-perbuatan dosa dan keji. Dan mazhab fiqihnya dinamakan Mazhab

Hanafi.14

Guru-guru yang pernah beliau temui antara lain adalah : (Hammad bin

Abu Sulaiman Al-Asy’ari (W. : [120 H/ 738]) faqih kota “Kufah”, ‘Atha’ bin Abi

Rabah (W. : (114 H/ 732 M) faqih kota “Makkah”, ‘Ikrimah’ (W104 H/ 723 M)

maula serta pewaris ilmu Abdullah bin Abbas, Nafi’ (W. : [117 H/ 735 M])

maula dan pewaris ilmu Abdullah bin Umar serta yang lain-lain. Beliau juga

pernah belajar kepada ulama’ “Ahlul-Bait” seperti missal : Zaid bin Ali Zainal

‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir ([57-114 H/ 676-732 M]),

Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/ 699-765 M) serta Abdullah bin Al-

Hasan. Beliau juga pernah berjumpa dengan beberapa sahabat seperti missal :

Anas bin Malik (10 SH-93 H/ 612-712 M), Abdullah bin Abi Aufa (w. 85 H/ 704

M]) di kota Kufah, Sahal bin Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/ 614-697 M) di kota

Madinah serta bertemu dengan Abu Al-Thufail Amir bin Watsilah (W 110

H/729 M) di kota Makkah.

Salah satu muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan

Al-Shaibani, guru Imam Syafi’i. Melalui goresan tangan para muridnya itu,

pandangan-pandangan Imam Hanafi menyebar luas di negeri-negeri Islam,

bahkan menjadi salah satu mazhab yang diakui oleh mayoritas umat Islam.15

14 Muniroh Mukhtar, Madzhab dan Sejarahnya, ( Pustaka Mghfiroh: 2008) hal. 57 15 Abas Ubaidillah, Sejarah Perkembangan Imam Mazhab, (Jakarta: Pustaka Bintang

Pelajar: 2013), hal. 47

24

2) Madzhab Imam Malik

Malik bin Anas bin Malik, Imam Maliki di lahirkan di Madinah al-

Munawwarah. sedangkan mengenai masalah tahun kelahirannya terdapat

perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqaha meriwayatkan

bahwa Imam Malik dilahirkan pada 94 H. Ibn Khalikan dan yang lain

berpendapat bahwa Imam Malik dilahirkan pada 95 H. Sedangkan Imam al-

Dzahabi meriwayatkan Imam Malik dilahirkan 90 H. Ia menyusun kitab Al

Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun,

selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.

Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan

Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari

Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi

az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling

akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.

Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya

ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang

sebaya seperti al-Auza’i, Ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah, al-Laits bin Sa’ad,

Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy

Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.

Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri,

Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir,

Abdullah bin Dinar, dan lain-lain. Di antara murid beliau adalah Ibnul

Mubarak, Al-Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahab, Ibnu Qasim, Al-

Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al

Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats

Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Al-

Aubairi, dan lain-lain.16

16 Mahmud Sirojuddin, Hukum Islam Sejarah perkembangannya, ( Jakarta : Pustaka

Lentera Iman, 2013), hal. 85

25

3) Mazhab Imam Syafii

Mazhab Syafi’i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-

Syafi’i. Ia wafat pada 767 masehi 158 H. Selama hidup Beliau pernah tinggal di

Baghdad, Madinah, dan terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah

konvergensi atau pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis. Imam Syafi`i

mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya

Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.17

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin

Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih

berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah

dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh

dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para

ulama fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid al-Zanji yang

waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian dia juga belajar dari

Dawud bin Abdurrahman al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama

Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin

Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr al-

Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang

lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa

tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para ulama fiqih sebagaimana

tersebut di atas.

Ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia

mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9

malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin

Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Adapun Murid beliau

yang paling terkenal antara lain adalah Imam Ahmad Bin Hanbal.18

17 Ahmad Hasan, Nasyatul Fiqh al_Islamiy, ( Damaskus : Dar al Hijroh,1996) hal. 104 18 Abas Ubaidillah, Sejarah Perkembangan Imam Mazhab, (Jakarta: Pustaka Bintang

Pelajar:2013) , Hal. 67

26

4) Mazhab Imam Ahmad

Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin

Hanbal asy-Syaibani. Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan

Abbasiyah di Baghdad, Irak, pada tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad

menjadi pusat peradaban dunia dimana para ahli dalam bidangnya masing-

masing berkumpul untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu. Dengan

lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di

lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad

memiliki lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk

menjadi seorang yang besar pula.

Beberapa gurunya yang terkenal, di antaranya Ismail bin Ja’far, Abbad

bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin

Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah,

Sufyan bin `Uyainah, Abdurrazaq, serta Ibrahim bin Ma’qil.

Adapun muridnya adalah Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal

Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal Keponakannya, Hambal bin Ishaq.19

5) Mazhab lainnya

Ada beberapa mazhab lain yang terkenal yang muncul pada abad 2

sampai dengan 3 hijriyyah antara lain Madzhab Atha, Madzhab Ibnu sirin,

Madzhab Zhahiriyyah yang di pelopori Imam Daud az-zhahiri, Madzhab As

ya’bi, Mazhab Imam an-Nakha’i; akan tetapi madzhab-madzhab tersebut tidak

begitu berkembang seiring berjalannya zaman dari masa ke masa.20

Contoh:

1. Para ulama berbeda pendapat tentang wanita hamil atau wanita menyusui

apakah wajib puasa atau tidak ? Jika tidak wajib, apakah mengqadha

puasanya ataun membayar fidyah.

19 M. Ali Al-Sayis, Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya,(Nasy’ah al-Fiqh al-

Ijtihadi wa Athwaruhu) terj. M.Muzamil, (Solo: Pustaka Mantiq, 1997), hal. 146. 20 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997),

hal. 85

27

a. Imam Syafii berpendapat bahwa Wanita Hamil dan Menyusui boleh

tidak berpuasa akan tetapi keduanya wajib membayar qadha dan

membayar fidyah.

b. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Wanita hamil dan Menyusui

boleh tidak berpuasa, akan tetapi keduanya hanya wajib membayar

qodho saja

c. Imam Malik berpendapat bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh tdak

berpuasa, akan tetapi keduanya hanya membayar fidyah

d. Imam Ahmad berpendapat bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh

tidak berpuasa, akan tetapi wanita hamil wajib mengqodho puasa

sedangkan wanita menyusui wajib membayar Fidyah

e. Sebagian ulama lain seperti Imam Daud dari kalangan mazhab

zhohiriyyah berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib

berpuasa.21

Para ulama berbeda pendapat karena tidak ada Nash yang sharih yang

menjelaskan hal tersebut, sehingga mereka mengqiyaskan dengan orang yang

sakit atau orang yang tidak mampu sama sekali berpuasa.

3. Periode Keemasan (Abad ke 3-9 H )

Pada periode ini muncullah ulama-ulama besar yang menisbatkan diri

ke madzhab tertentu di antaranya : Dari kalangan Syafiiyyah seperti Imam An-

Nawawi, Imam a-Muzani, Imam Ibnu hajar al Asqolani, Ibnu hajar al haistami

dan lain-lain. Dari Kalangan Hanafiyyah seperti Imam Abu Yusuf, Imam As

syaibani, Imam al Maruzi dan lain lain. Dari kalangan Hanabilah seperti Imam

Ibnu Qoyyim, Ibnu taimiyyah, Ibnu Rojab dan lain lain. Dari kalangan

Malikiyyah seperti Imam Ibnu Qosim, Imam Syahnun, Imam Ibnu Rusyd dan

lain lain.22

21 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, ( Damaskus : Dar an Nasr al Ilmiyyah, 1997), Bab

Syiyam, Hal. 178 22 Mahmud Sholah, Hukum Islam dan Perkembangannya, ( Jakarta: Pustaka Iman

jama,2004) hal. 95

28

Mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama abad ke 3 -9 telah

banyak kitab yang membahasnya, masing masing menguatkan prndapat Imam

mazhabnya, walau tak jarang ada sebagian ulama yang berbeda dengan imam

mazhabnya.

4. Periode Kemunduran ( Abad ke 10 – 13 H )

Pada periode ini, Madzhab mengalami kemunduran karena faktor

penjajahan di dunia islam, dan tidak kuatnya kekuasaan muslim pada saat itu

di bawah kepemimpinan daulah usmaniyyah pada periode akhir.

5. Periode Kebangkitan ( Abad ke 14 – Sekarang )

Pada periode ini, madzhab mengalami kebangkitan kembali, di mulai

dengan munculnya para ulama dengan kitab-kitabnya yang terkenal seperti

Syekh Wahbah Zuhaili, Syekh Muhammad bin Sholeh al Usaimin, Syekh Yusuf

al Qordhowi, Syekh Ali Jum’ah dan lain lain, ada yang masih mengukuti dan

selaras dengan metodologi para Imam madzhab yang empat, adapula yang

mulai berusaha keluar dari metodologi para ulama terdahulu karena

pertimbangan zaman.23

c. Urgensi Mazhab Fiqih Dalam Islam

Kaum muslimin sepakat bahwa sumber hukum syari’at Islam adalah al-

Quràn dan as-sunnah yang wajib diikuti dan diamalkan isi dan kandungannya.

Seluruh umat Islam diwajibkan untuk mengambil hukum-hukum Allah itu

langsung dari kedua sumbernya itu. Tapi dalam kenyataannya tidak semua

orang Islam mampu untuk melakukan istinbath hukum langsung dari kedua

sumber tersebut.

Para ulama sepakat bahwa orang yang mampu mengistinbathkan

hukum secara langsung dari sumbernya wajib berpegang teguh dan

mengamalkan apa yang dihasilkan dari ijtihadnya. Sebagaimana ditandaskan

oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa sebagai berikut: Para ulama

ushul telah sepakat bahwa apabila seseorang telah melakukan ijtihad dan telah

23 Muhammad Fairuz Abadi, Sejarah Perkembangan Mazhab dalam Sorotan, ( Bandung :

Pustaka al-Inabah, 2013), hal. 46

29

mendapatkan simpulan hukum, maka dia tidak boleh mengikuti pendapat

mujtahid lain yang menyalahi ijtihadnya, dan tidak boleh beramal dengan hasil

analisa yang lain serta meninggalkan hasil analisa atau pemikirannya sendiri.24

Demikian pula Ibn al-Humam seorang ahli ushul dari madzhab Hanafi,

dalam kitabnya menyatakan sebagai berikut: Secara ittifaq para ahli ushul

berkata seorang mujtahid yang telah usai berijtihad dalam suatu masalah

hukum dilarang untuk bertaklid dalam hukum itu.25 Akan tetapi karena

mereka tidak sama dalam memiliki ilmu pengetahuan, hingga tidak mungkin

bagi mereka yang tidak mampu dapat mengistinbâthkan hukum secara

langsung dari sumbernya. Maka dalam status mereka yang terakhir ini para

ulama berselisih pendapat menjadi dua golongan: Pertama, segolongan ulama

ushul berpendapat bahwa bermadzhab itu haram. Semua umat Islam harus

mengikuti apa yang ada di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Di antara ulama

yang berpendapat demikian adalah Syeikh Khajandi, Syeikh Nashirudin

Albani, Ibnu Hazm dari golongan Syi’ah. Kedua, Jumhur ulama Ushul

berpendapat bahwa bermadzhab bagi orang awam itu boleh hukumnya,

bahkan bagi orang awam murni bermazhab itu wajib.

A. Hassan menyatakan bahwa bermadzhab sama maknanya dan

maksudnya dengan bertaklid. Dua-duanya dilarang oleh Allah, Rasul, Sahabat,

bahkan oleh Imam-imam yang ditaklidi.26 Selanjutnya beliau mengatakan:

keluar dari madzhab itu bukan haram, tetapi wajib. Masuk suatu madzhab itu

bukan wajib tapi haram.27 Dalam kaitannya dengan ini Ibnu Hazm mengatakan

bahwa seorang muslim tidak diperkenankan mengikuti mujtahid baik yang

masih hidup atau yang telah meninggal, dan setiap orang wajib berijtihad

sesuai dengan kemampuannya….28

24 Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfâ, (Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariah Al-Kubra,

1937), hal. 121. 25 Ibnul Humam, Al-Tahrîr Fî Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah Musthafâ al-Bâb al Halâbi

Wa Awladuh, tt), hal. 535. 26 A.Hassan, Risalah Al-Madzhab, (Bangil: Pustaka Abdul Muis, 1980), hal. 12. 27 A.Hassan, Risalah Al-Madzhab…, hal. 23. 28 Ibnu Hazm, Al- Muhallâ, (Beirut: Majtabah Tijariyah, 1965), hal. 66.

30

Sedangkan golongan yang membolehkan taklid atau ittiba’ mengatakan

bahwa orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad,

bila terjadi suatu masalah hukum maka baginya ada dua kemungkinan.

Pertama, dia tidak terkena kewajiban apa-apa sama sekali, tentunya hal ini

menyalahi ijma’. Kedua, dia terkena kewajiban melakukan ibadah, kalau

demikian berarti dia harus meneliti dalil-dalil yang menetapkan suatu hukum

atau dia harus taklid.29

Dalam kaitan dengan masalah di atas ulama ushul tampaknya sepakat

tentang bolehnya mengikuti pendapat dan fatwa para imam madzhab. Mereka

hanya mempersoalkan apakah kebolehan bermadzhab itu dalam arti taklîd

ataukah dalam arti ittiba’. Mayoritas ulama ushul berpendapat bahwa umat

Islam yang belum mencapai tingkatan mujtahid wajib bermadzhab. Bagi

mereka tidak ada perbedaan antara istilah taklîd dan ittiba’, kedua-duanya

sama berarti bermadzhab. Ibnu Subki mengatakan bahwa selain mujtahid

mutlak, baik dia masuk ke dalam kategori awam atau lainnya, wajib bertaklid

kepada mujtahid hal ini berdasarkan surat An-Nahl: 43.30 Al-Amidi semakin

menegaskan bahwa orang awam dan orang yang tidak memiliki keahlian

berijtihad, walaupun dapat menghasilkan sebagian ilmu yang mu’tabar dalam

berijtihad, dia wajib mengikuti pendapat para mujtahid dan berpegang pada

fatwa-fatwanya, demikian menurut ahli tahkik dari ulama ushul.31 Sedangkan

Syeikh Khudary Beik mengatakan bahwa wajib atas orang awam meminta

fatwa dan mengikuti para ulama.32

Dari pernyataan-pernyataan para ahli ushul ternyata kewajiban

bermadzhab bagi selain mujtahid mutlak itu hukumnya wajib, apakah dia

awam murni atau awam biasa yang belum sampai pada derajat mujtahid

mutlak, meskipun dia mampu untuk berijtihad dalam sebagian masalah. Hal

29 Al-Amidi, Al-Ihkâm Fî Ushûl Al-Ahkâm, (Cairo: Muassat al-Halabi Wa Syurakauh,

1955), h. 198. 30 Ibnu Subki, Jam’u al-Jawâmi’, (Surabaya: Syarikah Maktabah Said bin Nabhan wa

Auladuh, 1965), h. 393. 31 Al-Âmidi, Ihkâm, hal. 197. 32 Khudlary Beik, Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah Tijariyah al Kubra, 1962), h. 382.

31

ini dilandaskan atas pendapat bahwa berijtihad itu dapat dan boleh berlaku

dalam sebagian masalah fiqhiyyah saja.

Pada uraian berikut ini akan dipaparkan dalil-dalil yang membolehkan

bermazhab bagi orang awam berdasarkan al-Quràn, As-Sunnah, Ijma’:

a) Nash al-Quràn.

Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat al-Nahl : 43 yang artinya

“bertanyalah kalian kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui. (Qs. An-

Nahl :43).Para ulama sepakat bahwa ayat di atas adalah perintah kepada orang

yang tidak mengerti hukum dan dalilnya agar bertanya kepada orang yang

lebih mengerti. Ayat ini merupakan dasar pertama untuk mewajibkan orang

awam agar taklid kepada imam-imam madzhab.

b) Ijma Ulama

Dalam hal ini Al Amudi mengatakan bahwa orang-orang awam pada

zaman sahabat dan tabi’in sebelum timbulnya golongan yang menentang,

selalu meminta fatwa kepada mujtahid dan mengikutinya dalam urusan

syari’at. Para alim ulama dari kalangan mereka dengan cepat menjawab

pertanyaan-pertanyaan tanpa menyebutkan dalil dan tak ada seorangpun yang

mengingkari hal ini, maka berarti mereka telah ijma’ atau sepakat bahwa orang

awam itu boleh ikut kepada mujtahid secara mutlak.33 Demikianlah penjelasan

tentang kebolehan seseorang mengikuti suatu madzhab tertentu sebagai

pegangan dalam menjalankan syari’at Islam.

d. Bahaya Bebas Mazhab

Mutakhir ini wujud fenomena di kalangan muda-mudi yang ghairah

untuk beramal hanya melalui pembacaan terus daripada al-Qur’an dan al-

Sunnah. Setiap hukum yang diketengahkan oleh kitab-kitab fiqh mazhab akan

dipersoalkan dalil dan sumbernya. Fenomena ini membuatkan para ilmuan

agama terpaksa memberi dua pendekatan jawapan. Sama ada menjawab

berpandukan kitab fiqh mazhab atau terus membentangkan dalilnya daripada

al-Qur’an dan al-Sunnah serta sumber-sumber hukum yang lain.

33 Al-Âmidi, Ihkâm, hal. 198

32

Di sini timbul persoalan, adakah golongan ini benar-benar ingin

mengetahui dalil iaitu bagi memperkuatkan kefahamannya terhadap hukum?

Atau, adakah mereka sudah mulai meragui fiqh berlandaskan mazhab dan

hanya mau memahami hukum terus daripada sumbernya yaitu al-Qur’an dan

al-Sunnah.

Sekilas pandang, ia suatu perkembangan yang baik, kerana umat ingin

belajar mengetahui dalil. Atau lebih tepat ingin terus belajar melalui al-Qur’an

dan al-Sunnah. Memangnya tidak dapat diragukan bahwa kita diwajibkan

berpegang kepada kedua-duanya. Namun apa akan terjadi jika seseorang

awam diberikan suatu manhaj yang tidak tahu digunakan. Manhaj tersebut

ialah belajar secara ‘langsung’ daripada al-Qur’an dan al-Sunnah!

Sebagai seorang awam yang tidak mendalami agama secara rinci, tidak

mendalami nas-nas syara‘ secara halus, bahkan tidak bertemu nas-nas syara‘

melainkan hanya dalam jumlah yang amat terbatas. Wajarkah orang seumpama

ini mengatakan, itu tidak menepati al-Sunnah. Itu tiada dalam al-Qur’an. Itu

hanya rekaan tradisi masyarakat Melayu. Itu hanya adat semata-mata. Itu

bid’ah! Dan pelbagai lagi telaahan yang mungkin akan dibuat kerana

berpandukan manhaj yang diajar oleh gurunya.

Bukankah suasana seperti ini boleh membawa mereka terjebak ke dalam

pendustaan di atas nama Allah dan Rasul-Nya. Mungkin banyak nas-nas syara‘

yang boleh di-istidlal terhadap sesuatu hukum syara‘, tetapi disebabkan

kejahilannya tentang nas tersebut atau ketidakupayaannya dalam berijtihad

dan memahami nas maka dia menafikan kewujudan sesuatu hukum.

Oleh itu mengajak masyarakat untuk meninggalkan mazhab atas alasan

kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah adalah suatu usaha yang sia-sia.

Mazhab seharusnya difahami sebagai sebuah disiplin ilmu (manhaj) untuk kita

memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Di Malaysia, kita berpegang kepada

mazhab Syafi’i khususnya dalam bab ibadat dan munakahat atau disebut juga

fardhu ’ain. Namun dalam bidang-bidang lain seperti mu’amalat, jinayat,

kehakiman dan perundangan serta isu-isu kontemporari, jelas menunjukkan

33

kerajaan dan umat Islam tidak terikat hanya kepada mazhab Syafi’i. Oleh itu

tuduhan bahawa umat Islam di Malaysia mewajibkan berpegang kepada satu

mazhab dalam kesemua masalah adalah sesuatu yang keterlaluan.

Berpegang kepada mazhab Syafi’i dalam bab fardhu ’ain sepertimana

yang diamalkan sekarang bukanlah bermakna kita menolak pandangan

mazhab-mazhab lain. Pendirian ini dipegang hanyalah berdasarkan

ketidakmampuan seseorang untuk beramal dalam ibadatnya. Sememangnya

hukum asal berpegang kepada mazhab itu tidak wajib, namun bagi selain

mujtahid, beramal dengan fatwa mujtahid (mazhab) adalah wajib

memandangkan tiada lagi jalan lain untuk mengetahui hukum syara‘

melainkan dengan mengikuti mazhab.

Dalam hal yang sama, seseorang awam itu juga tidak mampu untuk

melakukan tarjih iaitu menilai pendapat atau dalil yang terkuat antara mazhab.

Ketidakmampuan itu memerlukannya untuk berpegang kepada mazhab yang

dianutinya sahaja. Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buti menegaskan

seseorang yang mampu membuat tarjih di antara mazhab-mazhab itu,

bermakna dia adalah seorang mujtahid dan keilmuannya sudah tentulah

mengatasi keilmuan para mujtahid mazhab-mazhab terdahulu.

Kesimpulannya, hanya dengan penguasaan disiplin ilmu yang tinggi

sahaja, seseorang mampu untuk membuat pemilihan mana yang paling sahih

dan paling benar antara mazhab-mazhab tersebut. Sekaligus perkara ini sudah

tentu mustahil berlaku kepada golongan awam.

C. Kesimpulan

Mazhab fiqih terjadi dalam lima periode: Periode pertumbuhan (Abad

ke 0-1 H) yaitu pada masa rasulullah, pada masa shahabat dan pada masa

tabiin. Periode pembentukan (Abad ke 2-3 H ) yaitu Mazhab Imam Abu

Hanifah, Madzhab Imam Malik, Mazhab Imam Syafii, Mazhab Imam Ahmad

dan Mazhab lainnya. Periode keemasan (Abad ke 3-9 H ). Periode kemunduran

(Abad ke 10 – 13 H ). Dan periode kebangkitan (Abad ke 14 – Sekarang ).

34

Ternyata bermadzhab bagi selain mujtahid mutlak itu hukumnya wajib

menurut ulama ushul fikih. Dan mengajak masyarakat untuk meninggalkan

mazhab atas alasan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah adalah suatu

usaha yang sia-sia. Mazhab seharusnya difahami sebagai sebuah disiplin ilmu

(manhaj) untuk kita memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh sebab itu,

eksistensi bermadzhab pada era kontemporer masih diperlukan guna

menselaraskan kebenaran faktual al-Qur’an dan as-Sunnah.

35

DAFTAR PUSTAKA

A.Hassan, Risalah Al-Madzhab, (Bangil: Pustaka Abdul Muis, 1980)

Abas Ubaidillah, Sejarah Perkembangan Imam Mazhab, (Jakarta: Pustaka Bintang

Pelajar: 2013)

Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Bairut: Maktabah al-Isyriyyah).

Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfâ, (Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariah Al-

Kubra, 1937)

Ahmad Hasan, Nasyatul Fiqh al_Islamiy, (Damaskus: Dar al Hijroh, 1996)

Ahmad Ridho, Hukum Islam dalam Sorotan, (Jakarta: Pustakan Bina karya

Utama, 2015)

Al-Amidi, Al-Ihkâm Fî Ushûl Al-Ahkâm, (Cairo: Muassat al-Halabi Wa

Syurakauh, 1955)

Al-Âmidi, Ihkâm

Al-Bukhori, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhori, (Bairut:

Maktabah al-Isyriyyah )

Al-Qordhowi, Yusuf, Fikih Ikhtilaf, (Kairo: Dar al Fikr al- Islamiy, 1997)

Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh jilid 1. 1997. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.

Ayang Utriza Yakin, Sejarah hukum Islam, (Bandung: Grafika Intermedia, 2014)

Hasan Mahmud, Pengantar Hukum Islam, (Bandung: Pustaka al-Iman, 2009 )

http://id.m.wikipedia.org/wiki/mazhab

Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos,

1997)

36

Ibnu Hazm, Al- Muhallâ, (Beirut: Majtabah Tijariyah, 1965)

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Damaskus: Dar an Nasr al Ilmiyyah, 1997), Bab

Syiyam

Ibnu Subki, Jam’u al-Jawâmi’, (Surabaya: Syarikah Maktabah Said bin Nabhan

wa Auladuh, 1965)

Ibnul Humam, Al-Tahrîr Fî Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah Musthafâ al-Bâb al

Halâbi Wa Awladuh, tt)

Imam An Nawawi, Majmu ala Syarhil muhazzab, (Damaskus: Maktabah al-Iman,

1996) Juz XVII.

Khudlary Beik, Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah Tijariyah al Kubra, 1962)

M. Ali Al-Sayis, Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya,(Nasy’ah al-Fiqh

al-Ijtihadi wa Athwaruhu) terj. M.Muzamil, (Solo: Pustaka Mantiq, 1997)

M. Said Ramadhan al-Buthi, Alamadzhâbiah Akhthuru Bid’atin Tuhaddidu al-

Syari’ah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Gazira Abdi Ummah, (Jakarta:

Pustaka Al-Kautsar, 2001).

Mahmud Sholah, Hukum Islam dan Perkembangannya, (Jakarta: Pustaka Iman

jama, 2004)

Mahmud Sirojuddin, Hukum Islam Sejarah perkembangannya, (Jakarta: Pustaka

Lentera Iman, 2013).

Muhammad Fairuz Abadi, Sejarah Perkembangan Mazhab dalam Sorotan,

(Bandung: Pustaka al-Inabah, 2013)

Muniroh Mukhtar, Madzhab dan Sejarahnya, (Pustaka Mghfiroh: 2008) hal. 57