Ekonomi jalan
-
Upload
fauzan-asyiyyan -
Category
Documents
-
view
33 -
download
0
description
Transcript of Ekonomi jalan
ANALISIS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS TERHADAP SOSIAL EKONOMI
DENGAN CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM)(Studi Kasus
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGANFAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
IS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS TERHADAP SOSIAL EKONOMI PENGGUNA JALAN
CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM)(Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat)
RENDY DWI SAPTA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGANFAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2009
IS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS PENGGUNA JALAN
CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM)
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
RINGKASAN
RENDY DWI SAPTA. Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Sosial Ekonomi Pengguna Jalan dengan Contingent Valuation Method (CVM)(Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat). Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI.
Jumlah kendaraan bermotor di Kota Bogor semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Pertambahan jumlah kendaraan menyebabkan kemacetan. Kemacetan dilihat dari dampak sosial membuat stress, kesal, lelah hingga waktu yang terbuang. Dampak kemacetan dari sisi ekonomi jelas lebih terlihat dari sisi manfaat yang hilang dan biaya yang harus dikeluarkan. Kemacetan membuat pengguna kendaraan bermotor harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk pembelian bahan bakar. Masyarakat yang bekerja juga kehilangan pendapatan mereka karena terlambat masuk kantor.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dilakukanlah penelitian ini. Adapun permasalahan yang dikaji adalah 1) Apakah dampak sosial ekonomi yang dirasakan pengguna jalan saat terjadi kemacetan? 2) Berapa besarnya pengeluaran bahan bakar pengguna jalan bila terkena kemacetan dibandingkan dengan tidak terkena kemacetan? 3) Berapa besarnya pendapatan yang hilang akibat kemacetan? 4) Berapa besarnya nilai kerugian pengguna jalan akibat kemacetan dilihat dari nilai kompensasi (WTA) yang bersedia mereka terima dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai WTA tersebut. Manfaatnya agar masyarakat dapat mengetahui nilai kerugian akibat kemacetan. Selain itu, perhitungan kerugian BBM dan hilangnya pendapatan diharapkan dapat menambah informasi kerugian yang lebih spesifik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Contingent Valuation Method (CVM). Metode ini memiliki kemampuan untuk mengestimasi manfaat lingkungan dari berbagai sisi.
Berdasarkan hasil penelitian, kemacetan mengakibatkan pengguna jalan merasakan stress, waktu terbuang, mengurangi jam belajar atau jam kerja, pemborosan bensin, dan hilangnya pendapatan. Pengeluaran pembelian BBM dalam kondisi lalu lintas normal untuk pengguna mobil adalah sebesar Rp 13.933,25, sedangkan motor Rp 13.238,32. Namun apabila mereka terjebak kemacetan maka biaya tersebut meningkat menjadi sebesar Rp 19.171,12 dan motor Rp 18.221,38. Kerugian yang ditanggung adalah sebesar Rp 5.237,87 per mobil dan Rp 4.983,06 per motor. Selanjutnya, perhitungan pendapatan yang hilang akibat kemacetan untuk pengendara mobil adalah sebesar Rp 6.301,00, pengguna sepeda motor Rp 2.800,58, sedangkan pengguna angkutan umum Rp 2.254,05 setiap harinya. Total pendapatan yang hilang dari pengguna jalan adalah Rp 11.356,12. Total hilangnya pendapatan akibat kemacetan di Kota Bogor adalah Rp 7.377.321.660,00 per hari.
Penggunaan metode CVM menghasilkan nilai rata-rata WTA yang diekspresikan responden untuk pengguna mobil sebesar Rp 12.963,56, pengguna motor Rp 7.265,71, dan penumpang angkutan umum Rp 5.225,23.Variabel-variabel yang mempengaruhi besarnya nilai WTA pengguna jalan secara signifikan adalah variabel pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan, umur, durasi terkena kemacetan, jarak tujuan perjalanan, dan kategori pengguna jalan.
ANALISIS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS TERHADAP SOSIAL EKONOMI PENGGUNA JALAN
DENGAN CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM)(Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat)
Oleh:
RENDY DWI SAPTA
H44052626
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Fakultas Ekonomi dan ManajemenInstitut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGANFAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2009
Judul Skripsi : Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap
Sosial Ekonomi Pengguna Jalan dengan Contingent
Valuation Method (CVM)
(Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat)
Nama : Rendy Dwi Sapta
NRP : H44052626
Menyetujui,Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS
NIP: 19650212 199003 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir.Akhmad Fauzi, MSc
NIP: 19620421 198603 1 003
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS TERHADAP SOSIAL
EKONOMI PENGGUNA JALAN DENGAN CONTINGENT VALUATION
METHOD (CVM) (Studi Kasus: Kota Bogor, Jawa Barat)” BELUM PERNAH
DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN
MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK
TERTENTU. SAYA JUGA MENGATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR
HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN
YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN
KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM
NASKAH.
Bogor, Agustus 2009
Rendy Dwi Sapta
H44052626
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Maret 1987 dan merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Tasman Nussa dan Ibu Siti
Djubaidah. Saat ini penulis tinggal bersama kedua orang tua di Cilodong, Kota
Depok.
Penulis mengawali pendidikan di TK Kusuma Bangsa KOSTRAD
Cilodong pada tahun 1991 dan pada tahun 1993 melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi di SDN Kalibaru III Sukmajaya Depok. Setelah lulus pada tahun
1999, penulis melanjutkan pendidikan ke SMPN I Cibinong Kabupaten Bogor dan
pada tahun yang sama pula, penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah
atas di SMAN 6 Kota Bogor. Tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa
Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Setelah setahun di Tingkat Persiapan
Bersama IPB, penulis melanjutkan ke Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen sebagai program mayor dan
Pengelolaan Jasa Lingkungan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan sebagai
program minor, Institut Pertanian Bogor.
Selama perkuliahan, penulis pernah aktif menjadi anggota dalam
organisasi intern kampus, yaitu REESA dan BASH. Selain itu, penulis juga
pernah dipercaya menjabat sebagai ketua BASH periode 2007-2008.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Adapun judul dari skripsi ini
adalah Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Sosial Ekonomi
Pengguna Jalan dengan Contingent Valuation Method (CVM) (Studi Kasus:
Kota Bogor, Jawa Barat). Skripsi ini membahas mengenai dampak sosial
ekonomi masyarakat, khususnya pengguna jalan di Kota Bogor. skripsi ini juga
menghitung perubahan pengeluaran BBM pengguna jalan akibat terjadinya
kemacetan, pendapatan yang hilang, serta mengestimasi nilai Willingness to
Accept (WTA) pengguna jalan dimana WTA dilihat sebagai besarnya kerugian
dari dampak yang dirasakan oleh pengguna jalan.
Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan
skripsi ini, mulai dari persiapan hingga penulisan. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca, Wassalam.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat
dan karunia-Nya selama penulis menyusun skripsi ini. Skripsi ini tidak akan
pernah terwujud jika tidak ada orang-orang hebat di sekitar penulis, untuk itu
penulis ingin memberikan ucapan terima kasih penulis yang ditujukan kepada:
1. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen pembimbing akademik dan
skripsi yang telah mengarahkan penulis dalam melakukan penelitian dan
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Ahyar Ismail ,M.Agr dan Adi Hadianto ,SP selaku dosen penguji
sidang skripsi atas segala masukan yang berharga.
3. Papa dan mama tersayang, Mila, Iman, Icha, Bian atas segala doa, kasih
sayang, bimbingan, dan dukungan yang luar biasa kepada penulis. Tidak lupa
pula adik tercinta, Afra Wardatul Rajwa Zubeta.
4. Nenek tercinta, Alm. Umi Sani yang dulu pernah berujar kalau beliau ingin
suatu saat ada cucunya yang diwisuda di IPB.
5. Uncu dan keluarga (Tante Mira, Uul, Fika) atas segala dukungannya yang
sangat membantu penulis saat memasuki IPB.
6. Teruntuk yang tersayang, Resna Yulisthia yang selalu setia menemani dan
membantu setiap saat. PS. Luv u.
7. Penghuni 279 Corp. Kibi. Saudara seatap (Pram, Jawa, Robot). Sabrut, Koink,
Beru, Hanz, Ubi, Yayang, Petruk.
8. Spesial buat Rehan, Ucok, Diki, Qoffa yang sangat banyak membantu. Hatur
nuhun akang untuk semuanya..
9. Pulunk, Dika, Wisnu, Ammar, Boai, Ambon.
10. Remapa 6 : Doyok, Acoz, dan warga Hegarsari serta teman KKP : Era, Isti,
Dewi, Ucok.
11. Para sahabat ESL 42 yang selalu membantu penulis: Danti, Ani, Rani, Eta,
Gita, Asri, Miun, Tata, Tri, Ratih, Kamila, Mpe, Irvan, Ata, Gareng dan
semuanya. Terima kasih untuk pengalaman hebat bersama kalian.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR..................................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xii
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.................................................................................. 11.2. Perumusan Masalah .......................................................................... 51.3. Tujuan Penelitian.............................................................................. 81.4. Manfaat Penelitian............................................................................ 91.5. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 9
II.TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 10
2.1. Teori Transportasi .......................................................................... 102.1.1. Definisi Transportasi ............................................................ 102.1.2. Pengertian dan Fungsi Transportasi Perkotaan. ................... 112.1.3. Definisi Kemacetan Transportasi ......................................... 11
2.2. Peranan Sosial Ekonomi Transportasi............................................ 122.2.1. Peranan Sosial Transportasi.................................................. 122.2.2. Peranan Ekonomi Transportasi............................................. 13
2.3. Teori Ekonomi Mengenai Barang Publik dan Eksternalitas .......... 132.4. Penilaian Ekonomi Dampak Lingkungan....................................... 16
2.4.1. Contingent Valuation Method (CVM).................................. 192.4.2. Willingness to Accept (WTA)............................................... 22
2.5. Penelitian Terdahulu yang Terkait ................................................. 23
III. KERANGKA PEMIKIRAN................................................................. 27
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis.......................................................... 273.1.1. Perhitungan Nilai Tengah Contoh ........................................ 343.1.2. Regresi Linear Berganda ...................................................... 35
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional................................................... 36
IV. METODE PENELITIAN .................................................................... 40
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian.......................................................... 404.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 404.3. Metode Pengambilan Sample ......................................................... 404.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data........................................... 414.5. Perhitungan Nilai Rata-Rata........................................................... 424.6. Model Regresi Berganda ................................................................ 424.7. Pengujian Parameter....................................................................... 44
V. GAMBARAN UMUM LOKASI .......................................................... 49
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .............................................. 495.1.1. Keadaan Umum Kota Bogor ................................................ 495.1.2. Kependudukan ...................................................................... 50
5.2. Transportasi dan Lalu Lintas di Kota Bogor .................................. 525.2.1. Volume Kendaraan Bermotor .............................................. 525.2.2. Sumber Volume Kendaraan Bermotor................................. 525.2.3. Infrastruktur Lalu Lintas ...................................................... 535.2.4. Manajemen Lalu Lintas ....................................................... 555.2.5. Kemacetan di Kota Bogor.................................................... 55
5.3. Karakteristik Responden ................................................................ 565.3.1. Jenis Kelamin....................................................................... 565.3.2. Usia ...................................................................................... 575.3.3. Pendidikan............................................................................ 585.3.4. Jenis Pekerjaan..................................................................... 595.3.5. Tingkat Pendapatan.............................................................. 595.3.6. Pengguna Jalan..................................................................... 60
VI. DAMPAK KEMACETAN TERHADAP SOSIAL EKONOMI PENGGUNA JALAN ............................................................................ 61
6.1. Analisis Dampak Kemacetan terhadap Sosial Ekonomi Pengguna Jalan ............................................................................... 61
6.2. Perhitungan Pengeluaran Biaya BBM Pengguna Jalan bila Terkena Kemacetan Dibandingkan dengan Tidak Terkena Kemacetan ...................................................................................... 65
6.2. Perhitungan Besarnya Pendapatan yang Hilang Akibat Kemacetan ...................................................................................... 67
VII. ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT (WTA) PENGGUNA JALAN TERHADAP KEMACETAN ............................................... 71
7.1. Willingness to Accept (WTA) Pengguna Jalan terhadap Kemacetan ...................................................................................... 71
7.1. Analisis Willingness to Accept (WTA) dengan Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) ........................................... 72
7.2. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTA Pengguna Jalan ............................................................................... 76
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 83
8.1. Kesimpulan..................................................................................... 838.2. Saran……....................................................................................... 84
IX. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 85
LAMPIRAN................................................................................................... 88
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Jumlah dan Pertumbuhan Rata-Rata Motor dan Mobil di Kota Bogor Tahun 2004-2007...................................................................... 4
2. Perbandingan Metode Valuasi Ekonomi terhadap KebijakanLingkungan........................................................................................ 20
3. Penelitian Terdahulu yang Terkait .................................................... 26
4. Metode Pengolahan Data................................................................... 41
5. Indikator Pengukuran WTA .............................................................. 44
6. Panjang Jalan Menurut Keadaan dan Status Jalan di Kota Bogor Tahun 2007........................................................................................ 50
7. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Wilayah................... 51
8. Kontribusi Sektor Terbesar PDRB Kota Bogor Tahun 2008 ............ 51
9. Perhitungan Pengeluaran Rata-Rata Responden untuk Pembelian BBM .................................................................................................. 66
10. Perhitungan Pendapatan yang Hilang................................................ 69
11. Alasan Ketidaksediaan Responden Mengungkapkan Kerugian........ 74
12. Distribusi Besaran WTA Pengguna Jalan ......................................... 74
13. Hasil Analisis WTA Responden........................................................ 77
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Pertumbuhan Kendaraan Bermotor di Indonesia Tahun 2001-2005... 3
2. Klasifikasi Valuasi Non-Market ........................................................ 18
3. Tahapan dalam Menggunakan CVM................................................. 31
4. Diagram Alur Kerangka Pemikiran................................................... 39
5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin....................... 57
6. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ...................................... 57
7. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan .............. 58
8. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan..................... 59
9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan.............. 60
10. Karakteristik Responden Berdasarkan Penggunaan Kendaraan........ 60
11. Persepsi Pengguna Jalan Mengenai Dampak Kemacetan ................. 62
12. Distribusi Pilihan Bersedia dan Tidak Bersedia Pengguna Jalan Mengungkapkan Kerugian Akibat Kemacetan ................................. 71
13. Dugaan Bid Curve WTA Pengguna Jalan terhadap Kemacetan ....... 75
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian ......................................................................... 89
2. Kuisioner Penelitian ............................................................................ 90
3. Hasil Regresi Berganda WTA Responden Terhadap Kemacetan ......... 1
4. Foto-Foto Kemacetan di Kota Bogor .................................................. 94
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan berbagai sektor industri yang semakin pesat menjadi mesin
pendorong bagi pembangunan ekonomi. Pesatnya pertumbuhan industri turut
mendorong eksploitasi sumberdaya alam dan berbagai praktik teknologi yang
memacu konsumsi berlebihan sehingga mengakibatkan merosotnya lingkungan.
Isu lingkungan saat ini menjadi salah satu perhatian utama di berbagai belahan
dunia. Hal ini tidak hanya dihadapi oleh negara-negara maju, tetapi sudah mulai
merambah ke negara-negara berkembang.
Isu lingkungan merupakan imbas dari kegiatan manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Salah satu kebutuhan tersebut adalah untuk saling
berinteraksi dengan sesama manusia atau sistem kebutuhan lainnya dimana hal ini
ditunjang oleh sektor transportasi. Transportasi membuat mobilitas manusia
menjadi lebih cepat, aman, nyaman, dan terintegrasi. Transportasi berkembang
mengikuti fenomena yang timbul di dalam masyarakat akibat penggalian
sumberdaya, penemuan teknologi baru, perkembangan struktur masyarakat, dan
bertambahnya jumlah penduduk. Selain itu, kebutuhan manusia untuk
mengunjungi suatu tempat juga turut mempengaruhi tumbuhnya sektor
transportasi.
Fungsi sektor transportasi akan merangsang peningkatan pembangunan
ekonomi. Hal ini disebabkan antara fungsi sektor transportasi dan pembangunan
ekonomi mempunyai hubungan kausal (timbal balik). Sistem transportasi yang
baik memberi kemudahan akses ke berbagai kawasan sehingga menunjang
2
pertumbuhan sektor ekonomi, khususnya kawasan perkotaan yang ditengarai
dengan semakin menguatnya konsentrasi penduduknya. Sebaliknya, peningkatan
pertumbuhan ekonomi juga telah meningkatkan peranan sektor transportasi dalam
menunjang pencapaian sasaran pembangunan dan hasilnya.
Tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia saat ini mencapai
4,1% per tahun atau lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan rata-rata penduduk
nasional yang hanya 1,8% per tahun. Sampai akhir tahun 1995 diperkirakan 45%
dari jumlah penduduk nasional berada di wilayah perkotaan atau 90 juta dari
sekitar 200 juta penduduk dimana 60,5% dari penduduk perkotaan tersebut tinggal
di kota-kota besar, metropolitan, dan megapolitan. Melihat gejala seperti itu, dapat
diperkirakan pada tahun 2018 penduduk perkotaan akan mencapai 52% atau
sekitar 140 juta jiwa penduduk perkotaan dari sekitar 270 juta jiwa penduduk
Indonesia.1
Sektor transportasi di Indonesia juga turut mengikuti gejala tersebut
dimana pertumbuhan kendaraan bermotornya meningkat cukup tinggi, yaitu
mencapai 19,3% per tahun. Komposisi terbesar adalah sepeda motor yaitu 71,80%
dari jumlah kendaraan bermotor pada periode 2004-2005 dan tingkat
pertumbuhannya mencapai 30% dalam lima tahun terakhir. Rasio jumlah sepeda
motor dan penduduk di Indonesia mencapai 1:8 pada akhir tahun 2005.2
Setiap tahun jumlah kendaraan roda dua bertambah sekitar 12% sedangkan
kendaraan roda empat hanya 6,9%. Jumlah kendaraan bermotor yang tercatat di
Kepolisian RI diperkirakan sebanyak 38,16 juta unit pada tahun 2005.
1 Anonim. 2009. Dinamika Pertumbuhan Perkotaan. www.bps.com. Diakses pada Selasa,
3 Februari 2009.2 Ibid. Pertumbuhan Kendaraaan Bermotor.
Komposisinya terdiri atas: 71,8% sepeda motor, 8,5% sedan, 2,6% truk, dan
17,1% bis, seperti yang tersaji pada Gambar 1.
Sumber: Statistik Indonesia 2007 dari BPS
Gambar 1. Pertumbuhan2005
Sementara itu, merujuk data
bermotor di Kota Bogor juga
11.850 ha dengan panjang jalan 783.412 km
jumlah kendaraan yang semakin lama
ada 3.506 unit angkot yang diijinkan ber
ratusan angkot dari Kabupaten Bogor yang trayek op
wilayah Kota Bogor. Jumlah angkot se
beban kepadatan lalu lintas Kota Bogor, karena masih ada 46.034
roda empat pribadi dan 73.145
hilir mudik setiap harinya
berbagai jenis kendaraan
terutama dari wilayah Jabodetabek, Sukab
0
50000
100000
150000
200000
250000
2001
nya terdiri atas: 71,8% sepeda motor, 8,5% sedan, 2,6% truk, dan
17,1% bis, seperti yang tersaji pada Gambar 1.
Sumber: Statistik Indonesia 2007 dari BPS
. Pertumbuhan Kendaraan Bermotor di Indonesia Tahun
merujuk data Kepolisian Kota Bogor, jumlah kendaraan
di Kota Bogor juga semakin meningkat. Luas Kota Bogor yang hanya
dengan panjang jalan 783.412 km sudah padat untuk menampung
jumlah kendaraan yang semakin lama melebihi carrying capacity jalan.
angkot yang diijinkan beroperasi di dalam kota, ditambah lagi
Kabupaten Bogor yang trayek operasinya masih memasuki
Jumlah angkot sebanyak itu tidak hanya menjadi b
lintas Kota Bogor, karena masih ada 46.034 unit
roda empat pribadi dan 73.145 unit kendaraan roda dua serta ratusan becak yang
nya. Jumlah tersebut masih ditambah lagi dengan mobilit
berbagai jenis kendaraan dari luar Kota Bogor yang masuk wilayah Kota Bogor,
terutama dari wilayah Jabodetabek, Sukabumi, Cianjur, Bandung
2002 2003 2004 2005
3
nya terdiri atas: 71,8% sepeda motor, 8,5% sedan, 2,6% truk, dan
Tahun 2001-
, jumlah kendaraan
Kota Bogor yang hanya
sudah padat untuk menampung
jalan. Saat ini
dalam kota, ditambah lagi
erasinya masih memasuki
menjadi bagian dari
unit kendaraan
kendaraan roda dua serta ratusan becak yang
dengan mobilitas
luar Kota Bogor yang masuk wilayah Kota Bogor,
Bandung, dan
Sedan
Sepeda MotorBis/Minibis
Truk
4
sebagainya.3 Jumlah dan pertumbuhan rata-rata motor dan mobil di Kota Bogor
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah dan Pertumbuhan Motor dan Mobil di Kota Bogor Tahun 2004-2007
Tahun Jumlah Motor (unit) Jumlah Mobil (unit) Total Pertumbuhan (%)
2004-2005 71.241 43.326 9,07
2005-2006 80.966 45.598 12,01
2006-2007 117.450 49.540 31,06
Sumber: Kota Bogor Dalam Angka 2008 dari BPS
Pertambahan kendaraan bermotor periode 2006-2007 mencapai lebih dari
30.000 unit dan 90% diantaranya merupakan kendaraan roda dua atau sepeda
motor, sedangkan pertambahan kendaraan roda empat hanya sekitar 3.000 unit per
tahun. Pertumbuhan kendaraan bermotor yang signifikan terjadi pada tahun yang
sama dimana tingkat pertumbuhannya jauh meningkat dibandingkan tahun
sebelumnya yaitu mencapai 31,06%, sedangkan pertumbuhan kendaraan bermotor
dalam lima tahun terakhir rata-rata mencapai 17,3% per tahun. Peningkatan sektor
transportasi ini menyebabkan terjadinya kemacetan di Kota Bogor. 4
Masyarakat Kota Bogor, dalam hal ini adalah pengguna jalan, selalu
dihadapkan dengan kemacetan lalu lintas sehingga mereka menganggap
kemacetan adalah bagian dari rutinitas hidup. Padahal saat mereka terjebak dalam
kemacetan, banyak manfaat yang hilang. Kemacetan dilihat dari dampak
sosialnya dapat membuat seseorang stress, lelah, terlambat ke sekolah atau ke
kantor, sampai menurunnya kualitas udara.
3 Anonim. 2009. Kendaraan Berplat Non-F Marak di Bogor. www.drtlhbogorkab.go.id. Diakses pada Minggu, 8 Februari 2009.
4 Anonim. 2009. Pertumbuhan Kendaraan di Kota Bogor. www.bogornews.com/mod. =spot&op=viewarticle&artid=97. Diakses pada Selasa, 27 Februari 2009.
5
Dampak kemacetan terhadap ekonomi jelas lebih terlihat dari sisi manfaat
yang hilang dan biaya yang dikeluarkan. Kemacetan membuat laju kendaraan
melambat atau bahkan terhenti (stuck position). Kondisi ini membuat penggunaan
Bahan Bakar Minyak (BBM) meningkat karena mesin menyala lebih lama
sehingga pengendara harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk
pembelian BBM. Masyarakat yang bekerja juga kehilangan jam kerja mereka
karena terlambat masuk kantor sehingga akhirnya pendapatan mereka juga turut
berkurang.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu adanya studi yang
mengkaji tentang besarnya dampak sosial ekonomi pengguna jalan dilihat dari
perubahan pengeluaran untuk BBM saat lalu lintas normal dibandingkan dengan
saat terjebak kemacetan, hilangnya pendapatan akibat kemacetan, dan berapa
besarnya kerugian pengguna jalan jika ada kompensasi yang diberikan akibat
terjebak kemacetan. Penggunaan Willingness to Accept (WTA) digunakan untuk
mengetahui besarnya kompensasi yang bersedia diterima pengguna jalan, terkait
dengan dampak sosial ekonomi yang dirasakan setiap individu. Besarnya WTA
ini mencerminkan besarnya kerugian individu pengguna jalan.
1.2. Perumusan Masalah
Seiring dengan perubahan waktu, jumlah penduduk di Kota Bogor
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga kebutuhan akan transportasi
juga semakin bertambah. Pemenuhan transportasi dengan peningkatan jumlah alat
transportasi milik pribadi maupun massal, menjadi hal yang harus dipenuhi agar
mobilitas penduduk dapat berjalan baik sehingga berdampak positif bagi aktivitas
sosial maupun ekonomi. Peningkatan jumlah alat transportasi di Kota Bogor
6
awalnya dilakukan dengan menambah jumlah angkot pada beberapa ruas jalan.
Hal ini dilakukan karena ruas jalan di Kota Bogor dianggap relatif sempit untuk
dilewati kendaraan umum skala besar seperti bis. Namun di sisi lain, semakin
bertambahnya alat transportasi juga mengurangi jarak lintasan antar kendaraan di
jalan raya, sehingga semakin lama terjadi kemacetan. Masalah kemacetan telah
mengganggu aktifitas masyarakat, khususnya aktifitas ekonomi.
Masalah kemacetan merupakan masalah yang sulit dicari solusinya bagi
kota-kota besar. Permasalahan yang sering terjadi di kota besar biasanya muncul
karena kebutuhan transportasi lebih besar daripada prasarana transportasi yang
tersedia, atau prasarana tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Kemacetan terjadi bukan hanya karena banyaknya kendaraan tetapi juga
dipengaruhi oleh jumlah orang (penumpang) yang berada di jalanan, seperti
halnya yang terjadi di Kota Bogor.
Hasil investigasi Radar Bogor (2008), diketahui bahwa jumlah kendaraan
yang masuk Kota Bogor setiap harinya rata-rata mencapai 9.360 unit. Persentase
jumlah kendaraan pribadi dari luar Kota Bogor yang masuk setiap harinya sekitar
35% dari jumlah kendaraan pribadi yang ada di Kota Bogor sedangkan kendaraan
pribadi berplat-F di Kota Bogor tercatat berjumlah 38.994 unit.5 Tingkat
kemacetan di Kota Bogor sudah mulai mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
Kemacetan tidak hanya terjadi pada jam pulang dan berangkat kerja saja, pada
jam-jam biasa pun beberapa ruas jalan di kota hujan ini tetap macet, misalnya
Jalan Sukasari-Tajur, Jalan Bubulak-Dramaga, Jalan Sempur-IR, Jalan Djuanda-
5 Hasil penelusuran tim wartawan Radar Bogor (Ridwan, Faisal Hilmi, Hendra Sudrajat,
Wandi Yusuf, Lucky, Rita, dan Ratna Kartika), 7 Juli 2008.
7
Sudirman, Jalan Soleh Iskandar (Jalan Baru), Kedung Halang, Merdeka-Semeru
(Pasar Mawar), dan lainnya. Kemacetan terparah terjadi di ruas Jalan Mayor
Oking-Jembatan Merah-Merdeka, yakni mulai pukul 17.00 sampai 21.30.6
Kemacetan juga diperparah dengan masalah tata ruang Kota Bogor yang
kurang baik. Pusat dan sub-pusat aktivitas dalam tata ruang kawasan perkotaan
memang jelas terlihat, tetapi struktur yang terjadi tidak tertata dengan baik.
Kemacetan lalu lintas menunjukkan terjadinya ketidakcocokan antara lokasi
tempat tinggal dengan tempat kerja atau tempat fasilitas lain. Penataan ruang yang
baik diperlukan untuk dapat menjadikan pelayanan perkotaan yang dapat
dinikmati oleh warga kota sehingga ketidakcocokan antara tempat tinggal dan
fasilitas pelayanan perkotaan dapat dikurangi hingga sekecil mungkin.
Kondisi kemacetan mempengaruhi efisiensi perpindahan dari satu tempat
ke tempat lainnya, baik berupa barang maupun manusianya itu sendiri. Kemacetan
juga menaikkan biaya transportasi karena konsumsi BBM meningkat. Dampak
bagi penggunanya sendiri, kemacetan menyebabkan hilangnya opportunity cost.
Waktu yang seharusnya bisa mereka maksimalkan untuk aktifitas ekonomi atau
yang lainnya, kini banyak dihabiskan di jalanan, sehingga mereka kehilangan
benefit tertentu seperti biaya, waktu, tenaga, dan lain sebagainya.
Berdasarkan berbagai masalah yang dihadapi, penelitian ini lebih
difokuskan untuk membahas mengenai kerugian akibat kemacetan lalu lintas,
khususnya yang terjadi di Kota Bogor. Kemacetan lalu lintas yang berdampak
6 Hasil wawancara penulis dengan petugas DLLAJ Terminal Baranangsiang dan Aiptu
Wahyu W. R. Bagian Dikiasa (Pendidikan dan Rekayasa Lalu Lintas) Polresta Bogor, 6 Februari 2009.
8
pada sosial ekonomi pengguna jalan inilah yang dikaji. Berdasarkan uraian di
atas, beberapa permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah dampak sosial ekonomi yang dirasakan pengguna jalan saat terjadi
kemacetan lalu lintas ?
2. Berapa besarnya pengeluaran BBM pengguna jalan bila terkena kemacetan
dibandingkan dengan tidak terkena kemacetan ?
3. Berapa besarnya pendapatan pengguna jalan yang hilang akibat kemacetan ?
4. Berapa besarnya nilai kerugian pengguna jalan akibat kemacetan dilihat dari
nilai kompensasi (WTA) yang bersedia mereka terima dan faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi nilai WTA tersebut ?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini mempunyai beberapa tujuan yang ingin
dicapai, yaitu:
1. Menganalisis dampak sosial ekonomi yang dirasakan pengguna jalan saat
terjadi kemacetan lalu lintas.
2. Menghitung besarnya pengeluaran BBM pengguna jalan bila terkena
kemacetan dibandingkan dengan tidak terkena kemacetan.
3. Menghitung besarnya pendapatan pengguna jalan yang hilang akibat
kemacetan.
4. Mengestimasi besarnya nilai kerugian pengguna jalan akibat kemacetan dilihat
dari nilai kompensasi (WTA) yang bersedia mereka terima dan faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi nilai WTA tersebut.
9
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan berguna
sebagai:
1. Masyarakat bisa secara langsung melihat nilai nominal dari kerugian akibat
kemacetan lalu lintas.
2. Akademisi penelitian, khususnya dalam menganalisis fenomena yang sering
terjadi di masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pihak-pihak yang
terkait dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan
transportasi, khususnya regulasi mengenai manajemen transportasi.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian mengenai dampak kemacetan lalu lintas dilakukan di Kota
Bogor melalui pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Adapun ruang
lingkup dalam penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini hanya dilakukan terhadap pengguna jalan di Kota Bogor.
2. Penelitian hanya fokus pada dampak ekonomi berupa dampak terhadap
individu pengguna jalan, pengeluaran BBM, dan hilangnya pendapatan.
3. Dampak perubahan atau kerusakan kualitas lingkungan secara menyeluruh
terhadap ekonomi masyarakat seperti dampak terhadap kesehatan yang pada
akhirnya terkait dengan biaya pengobatan serta segi sosial berupa perilaku
pengguna jalan tidak diteliti
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Transportasi
Sistem transportasi erat kaitannya dengan keadaan ekonomi suatu wilayah
karena pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat dipengaruhi kondisi sistem
transportasi yang ada di wilayah tersebut. Sistem transportasi yang baik akan
mempermudah pergerakan mobilitas perekonomian baik produksi, distribusi,
maupun konsumsi. Teori transportasi saat ini menempatkan sistem transportasi
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari infrastruktur desa maupun kota.
Pembangunan sistem transportasi ini membentuk integrasi antar wilayah.
Kegiatan pemindahan suatu barang atau manusia sekalipun dapat cepat dilakukan
dengan transportasi. Seperti halnya pengiriman barang dari suatu wilayah yang
tidak memiliki barang tersebut sehingga wilayah yang tidak memiliki barang
tersebut sebelumnya dapat menikmati utilitas dari barang tersebut.
2.1.1. Definisi Transportasi
Transportasi merupakan turunan dari kombinasi tata guna lahan yang
saling membutuhkan yang kemudian membentuk suatu pergerakan dari guna
lahan satu ke guna lahan yang lain. Peningkatan intensitas perubahan tata guna
lahan menambah beban transportasi di sebuah kota. Beban transportasi bila tidak
diimbangi dengan penyediaan prasarana yang memadai akan menimbulkan
permasalahan. Salah satu bentuk dari permasalahan tersebut adalah kemacetan
(Miro dalam Astati, 1998).
Transportasi di darat ada beberapa macam, mulai dari kendaraan tidak
bermesin seperti sepeda, delman, andong, becak, dan sebagainya, serta kendaraan
11
bermesin seperti motor dan mobil. Masyarakat biasanya menggunakan
transportasi pribadi seperti mobil pribadi, sewaan, ataupun motor untuk
memenuhi kebutuhan akan transportasi. Pengguna jalan yang tidak memiliki
kendaraan pribadi dapat menggunakan transportasi massal, seperti bus, angkot,
ojek, dan lain sebagainya. Transportasi massal (public transportation) adalah
transportasi yang digunakan secara umum dengan pengenaan biaya bagi yang
memanfaatkan jasanya. Jenis transportasi ini bisa mengangkut penumpang dalam
jumlah relatif banyak.7
2.1.2. Pengertian dan Fungsi Transportasi Perkotaan
Transportasi perkotaan dalam batas pengertian wilayah perkotaan adalah
semua aktivitas perjalanan yang berada di wilayah tersebut. Implisit dari
pengertian tersebut adalah: (i) ada orang yang diangkut, (ii) tersedia kendaraan
sebagai alat angkut, dan (iii) ada jalan yang dapat dilalui. Fungsi transportasi yang
disebut Siregar dalam Astati (1998) adalah sebagai pengangkutan untuk
menambah nilai sumberdaya menjadi lebih tinggi di tempat tujuan daripada
asalnya yang berupa nilai tempat (place utility) dan nilai waktu (time utility). Hal
ini berarti serupa dengan konsep opportunity cost.
2.1.3. Definisi Kemacetan Transportasi
Kemacetan merupakan suatu indikasi dimana permintaan kendaraan yang
melintas di jalan mendekati atau melebihi kapasitas desain infrastruktur
transportasi. Jumlah kendaraan yang melintasi suatu jalan mendekati kapasitas
fisik fasilitas jalan yang ada dan membuat kecepatan berlalu lintas akan semakin
melambat sehingga kemampuan keseluruhan perlintasan di jalan tersebut menjadi
7Anonim. 2008. Pengelolaan Sistem Transportasi Kota. www.scribd.com./go.id/ contents/th_2008.htm. Diakses pada 3 Februari 2009.
12
turun (Wikipedia, 2000). Menurut definisi teknik tata lalu lintas yang dimaksud
dengan macet atau kemacetan lalu lintas adalah suatu kondisi dimana arus lalu
lintas terhambat namun masih berjalan.
Definisi lainnya adalah bahwa kemacetan lalu lintas terjadi saat
kendaraan-kendaraan yang berada pada satu ruas jalan harus memperlambat laju
kendaraannya, kemacetan lalu lintas akan berhubungan dengan pergerakan
kendaraan di suatu ruas jalan (Morlok dalam Pangaribuan, 2005). Kemacetan
bukan hanya disebabkan oleh perilaku berkendara pengguna jalan, tetapi
kemacetan juga dapat terjadi karena beberapa alasan, diantaranya:
1. Arus kendaraan yang melewati jalan telah melampaui kapasitas jalan.
2. Adanya perbaikan jalan.
3. Bagian jalan tertentu yang longsor.
4. Terjadi banjir sehingga memperlambat kendaraan.
5. Perilaku pemakai jalan yang tidak taat lalu lintas.
6. Terjadi kecelakaan lalu lintas sehingga terjadi gangguan kelancaran.
7. Kesalahan teknis dari rambu lalu lintas.
2.2. Peranan Sosial Ekonomi Transportasi
2.2.1. Peranan Sosial Transportasi
Transportasi juga menyentuh aspek sosial dengan manfaatnya semisal
dengan pemukiman yang awalnya kecil, seiring berjalannya waktu, penduduknya
menjadi bertambah. Bertambahnya jumlah penduduk maka membuat kebutuhan
akan transportasi juga akan ikut naik, sehingga wilayah menjadi ramai dan
berkembang. Perkembangan ini dapat dilihat dari produktivitas penduduk yang
semakin meningkat.
13
Produktivitas penduduk juga meningkatkan daerah pemukiman untuk
tempat tinggal mereka. Tempat pemukiman ini sangat erat hubungannya dengan
transportasi. Sedikit pengaruh saja, dapat menimbulkan efek yang lebih besar.
Seperti halnya perbaikan transportasi yang berpengaruh nyata sehingga penduduk
dapat merasakan perubahan perbaikan akses ke suatu wilayah maupun perbaikan
dari suatu kegiatan seperti pengangkutan dan pendidikan (Morlok dalam
Pangaribuan, 2005).
2.2.2. Peranan Ekonomi Transportasi
Ekonomi pada hakikatnya terhubung dengan produksi, distribusi, dan
konsumsi terhadap manusia. Hal ini juga sama halnya dengan peranan transportasi
bagi ekonomi. Peranan ekonomi dalam transportasi diantaranya (Morlok dalam
Pangaribuan, 2005):
1. Transportasi memperbesar jangkauan akan sumberdaya yang dibutuhkan oleh
suatu daerah, sehingga suatu daerah dapat memungkinkan mendapat
sumberdaya yang lebih murah, yang sebelumnya tidak ada menjadi ada
dengan adanya akses oleh transportasi.
2. Pemakaian sumberdaya lebih efisien karena ada pengkhususan dan pembagian
kerja yang baik.
3. Adanya transpotasi membuat penyaluran barang-barang kebutuhan tersalur
dengan baik dan sampai tujuannya.
2.3. Teori Ekonomi Mengenai Barang Publik dan Eksternalitas
Barang publik merupakan suatu jenis barang dimana setiap orang dapat
menikmati utilitas yang diberikannya dan orang tersebut tidak dapat dikeluarkan
dari komunitas pengguna (non-excludable), dengan kata lain barang publik juga
14
dapat diartikan sebagai barang yang tidak ada seorang pun dapat dikecualikan
dalam pemakaiannya. Nilai manfaat perubahan suatu barang publik, termasuk
seluruh unsur manfaat yang ada padanya harus ikut dimasukkan, inilah yang
disebut sebagai nilai total (total value). Kebanyakan barang publik adalah berupa
barang lingkungan seperti halnya jalan raya. Manfaat suatu barang lingkungan
dapat dibagi menjadi empat (Widayanto, 2001), yaitu:
1. Nilai Guna Langsung (Direct Use Value)
Misalnya hasil tangkapan perikanan atau produksi hutan berupa kayu. Manfaat
ini mudah dihitung sebagai manfaat yang diperoleh dari suatu sumberdaya
alam dan biaya peluang dari sumberdaya tersebut (opportunity cost). Artinya
manfaat dari barang tersebut bisa langsung dirasakan.
2. Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value)
Merupakan manfaat fungsional dari proses ekologi yang terus menerus
memberikan manfaat dari peranannya dalam lingkungan atau barang dan jasa
yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang tidak secara langsung
dapat diambil dari sumberdaya alam tersebut.
3. Nilai Guna Pilihan (Option Value)
Potensi manfaat langsung atau tidak langsung dari suatu sumberdaya alam
yang dapat dimanfaatkan di waktu mendatang dengan asumsi sumberdaya
tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen.
4. Nilai Keberadaan (Existence Value)
Nilai keberadaan suatu sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang
dapat diambil daripadanya. Nilai ini lebih berkaitan dengan nilai religius yang
melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam.
15
5. Nilai Warisan (Bequest Value)
Nilai dari suatu sumberdaya atau suatu ekosistem karena keberadaannya yang
dapat dipertahankan untuk diberikan kepada generasi yang akan datang.
Nilai warisan dan keberadaan,pertama kali disarankan oleh Krutilla dalam Hanley
(1993) dan mungkin muncul dalam diri responden.
Keberadaan barang publik yang dapat digunakan secara bebas oleh semua
pihak, dimana seringkali aktivitas penggunaannya oleh suatu pihak memberikan
dampak kepada aktivitas pihak lain. Keadaan tersebut dinamakan eksternalitas.
Eksternalitas secara umum diartikan sebagai dampak yang terjadi oleh pihak yang
melakukan suatu kegiatan.
Menurut Rosen (1998), eksternalitas terjadi ketika aktivitas seseorang
memberikan dampak bagi orang lain di luar mekanisme pasar. Eksternalitas
disebabkan karena harga pasar berbeda dengan sosial cost yang terjadi akibat
adanya inefisiensi dalam alokasi sumberdaya yang terbagi menjadi empat
karakteristik, yaitu:
1. Eksternalitas dapat disebabkan oleh konsumen yang bertindak sama seperti
pabrik.
2. Eksternalitas yang menyatakan hubungan timbal balik.
3. Eksternalitas positif.
4. Eksternalitas khusus akibat penggunaan public goods.
Mangkoesoebroto (1993) mendefinisikan eksternalitas sebagai keterkaitan
suatu kegiatan dengan kegiatan yang lain yang tidak melalui mekanisme pasar.
Eksternalitas terjadi bila suatu kegiatan menimbulkan manfaat dana atau biaya
bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksana kegiatan mereka. Eksternalitas terbagi
menjadi dua berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yaitu eksternalitas negatif
16
dan eksternalitas positif. Eksternalitas positif adalah dampak menguntungkan dari
suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap orang lain tanpa adanya
kompensasi dari pihak yang diuntungkan, sedangkan eksternalitas negatif adalah
apabila dampaknya bagi orang lain yang tidak menerima kompensasi yang
sifatnya merugikan. Eksternalitas dalam suatu aktivitas dapat menimbulkan
inefisiensi apabila tindakan yang mempengaruhi pihak lain akibat dilakukannya
aktivitas tersebut tidak tercermin dalam sistem harga.
2.4. Penilaian Ekonomi Dampak Lingkungan
Penilaian terhadap dampak lingkungan akan melibatkan penilaian terhadap
analisis biaya dan manfaat terhadap sumberdaya alam. Salah satu tantangan yang
dihadapi para pembuat kebijakan adalah bagaimana menilai suatu sumberdaya
alam secara menyeluruh. Hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang
yang dihasilkan dari suatu sumberdaya melainkan juga dari jasa yang ditimbulkan
oleh sumberdaya tersebut (Fauzi, 2004)
Setiap kegiatan atau kebijakan selalu timbul adanya biaya dan manfaat
sebagai akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut. Dasar untuk menyatakan
bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak atau tidak, memerlukan suatu
perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau suatu rasio. Pemberian nilai
(harga) terhadap dampak suatu kegiatan atau kebijakan terhadap lingkungan juga
diperlukan untuk kelayakan kebijakan tersebut.
Dampak suatu kegiatan dapat bersifat langsung maupun tidak langsung.
Dampak langsung atau primer merupakan dampak yang timbul sebagai akibat dari
tujuan utama kegiatan atau kebijakan, baik berupa biaya maupun manfaat.
Dampak tersebut merupakan kerusakan atau degradasi lingkungan yang dapat
17
menyusutkan laju pembangunan ekonomi. Hal ini sangat mudah dimengerti
karena kerusakan lingkungan akan menurunkan tingkat produktivitas sumberdaya
alam, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai masalah sosial
ekonomi dalam masyarakat yang pada gilirannya, semua itu harus dipikul dengan
biaya yang tinggi (Fauzi, 2004).
Alasan penting untuk penilaian lingkungan yaitu berkaitan dengan
kebijakan makro, dan bagi keputusan alokasi faktor produksi demi efisiensi pada
tingkat mikro. Nilai manfaat atau kerusakan yang timbul dari suatu kegiatan pada
tingkat makro dapat dinyatakan dalam persentase tertentu dari nilai Produk
Domestik Bruto (PDB), sehingga dapat digunakan untuk menyatakan layak atau
tidaknya kegiatan tersebut dari segi ekonomi makro secara keseluruhan.
Sedangkan pada tingkat mikro, perhitungan biaya dan manfaat suatu kegiatan
sangat menentukan layak tidaknya suatu kegiatan bagi pelaksana ekonomi
(pemrakarsa) sebagai investor individual (Suparmoko, 2002).
Valuasi ekonomi pada dasarnya secara umum dapat didefinisikan yaitu
suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang
dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan terlepas dari apakah nilai pasar
(market prices) tersedia atau tidak. Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya
berlandaskan pada ekonomi neo-klasikal (neo-classical economic theory) yang
menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen. Berdasarkan pemikiran ini,
penilaian individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih keinginan
membayar (Willingness to Pay = WTP) dengan biaya untuk menyuplai barang dan
jasa tersebut.
18
Secara umum, teknik valuasi sumberdaya yang tidak dipasarkan dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi
yang mengandalkan harga implisit dimana WTP terungkap melalui model yang
dikembangkan. Teknik ini sering disebut teknik yang mengandalkan keinginan
membayar yang terungkap (revealed WTP). Beberapa teknik yang termasuk ke
dalam kelompok ini adalah Travel Cost, Hedonic Pricing, dan Random Utility
Model.
Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei
dimana WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan
secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup populer dalam
kelompok ini adalah Contingent Valuation Method (CVM). Umumnya nilai suatu
barang lingkungan dihitung dengan kedua kelompok valuasi ini. Bagan klasifikasi
valuasi non-market dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber: Fauzi (2004)
Gambar 2. Klasifikasi Valuasi Non-Market
Menurut Yakin (1997) metode penilaian ekonomi terhadap barang lingkungan
sampai saat ini telah berkembang sekitar 15 jenis dan metode pada gambar diatas
termasuk di dalamnya.
Valuasi Non-Market
Contingent Valuation Random Utility Model Contingent Choice
Travel Cost Hedonic Pricing Random Utility Model.
Langsung/survey (Expressed WTP)
Tidak Langsung (Revealed WTP)
19
2.4.1. Contingent Valuation Method (CVM)
Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) pertama kali dikenalkan
oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di
Miami. Pendekatan ini baru populer sekitar pertengahan 1970-an ketika
pemerintah AS mengadopsi pendekatan ini untuk studi-studi sumberdaya alam.
Pendekatan ini disebut tergantung (contingent) karena pada prakteknya informasi
yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun. Pendekatan CVM
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknik eksperimental melalui
simulasi permainan serta dengan teknik survei.
Metode ini pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama,
keinginan membayar (willingness to pay = WTP) dari masyarakat, misalnya
terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air, udara, dll), dan kedua, keinginan
menerima (willingness to accept = WTA) kerusakan suatu lingkungan. Bila
individu yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan
dari sumberdaya alam, pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar
yang maksimum (maximum willingness to pay) untuk memperoleh barang
tersebut. Sebaliknya jika individu yang ditanya memiliki hak atas sumberdaya,
maka pengukuran yang relevan adalah keinginan untuk menerima kompensasi
yang paling minimum (minimum willingness to accept) atas hilang atau rusaknya
sumberdaya yang dimilikinya. Metode ini juga diakui sebagai pendekatan yang
cukup baik untuk mengukur WTP ataupun WTA. Berikut adalah perbandingan
beberapa metode valuasi ekonomi terhadap kebijakan lingkungan seperti yang
dijelaskan pada Tabel 2.
20
Tabel 2. Perbandingan Metode Valuasi Ekonomi terhadap KebijakanLingkungan
KriteriaMetode
Validitas Reabilitas Comprehensive Kelengkapan
Hedonic Price Model
Sedang Sedang Rendah Sedang
Contingent Valuation Method
Sedang Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sedang
Travel Cost Method Sedang Sedang Rendah Tinggi
Sumber: Hoevenagel dalam Yakin (1997)
Melihat ruang lingkup penerapannya, CVM memiliki kemampuan yang
besar untuk mengestimasi manfaat lingkungan dari berbagai sisi. Metode ini
pernah diterapkan pada berbagai kasus lingkungan seperti polusi udara, polusi air,
kecelakaan reaktor nuklir, pemburuan binatang, kepadatan konservasi dan
preservasi lahan, rekreasi, limbah beracun, populasi ikan, dan sebagainya. Metode
ini menggunakan pendekatan secara langsung yang pada dasarnya menanyakan
kepada masyarakat berapa besarnya maksimum WTP untuk manfaat tambahan
dan atau berapa besarnya minimum WTA sebagai kompensasi dari kerusakan
barang lingkungan.
1. Kelebihan Contingent Valuation Method (CVM)
Hal menarik dari CVM adalah secara teknik dapat diaplikasikan pada semua
kondisi dan memiliki dua hal yang penting, yaitu:
a. Seringkali menjadi satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat.
b. Dapat diaplikasikan pada kebanyakan konteks kebijakan lingkungan.
Hal yang paling penting dari CVM adalah penggunaannya dalam berbagai
macam penilaian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat. Secara
khusus CVM menyarankan bahwa nilai keberadaan barang-barang lingkungan
21
merupakan hal yang penting untuk diketahui. Jika CVM dibandingkan dengan
teknik penilaian lain, CVM memiliki kemampuan untuk mengestimasi non-
use value.
2. Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM)
Ada beberapa kelemahan yang dimiliki CVM dalam pelaksanaannya.
Kelemahan utamanya adalah bias nilai yang dihasilkan bisa overstate atau
understate secara sistematis dari nilai yang sebenarnya. Bias yang timbul
dapat terjadi karena strategi yang keliru, misalnya jika dalam kuisioner
dinyatakan bahwa responden akan dipungut biaya untuk perbaikan
lingkungan, maka responden cenderung memberi nilai yang understate.
Sebaliknya jika dinyatakan bahwa wawancara hanya untuk penelitian
hipotesis belaka, maka responden cenderung memberi nilai yang overstate
dari nilai yang sebenarnya. Bias lainnya dalam CVM terdiri dari:
a. Strategic Bias muncul akibat dari ketidakjujuran responden yang mencoba
memanipulasi hasil dari analisis dan mempengaruhi kebijakan pemerintah
di masa yang akan datang.
Solusi: desain alat survei sebaik mungkin sehingga memperkecil
kemungkinan hasil survei yang dilihat akan digunakan sebagai sumber
kebijakan di masa yang akan datang.
b. Information Bias muncul dari kurangnya informasi oleh pewawancara
pada pilihan yang ditawarkan.
Solusi: desain yang berhati-hati dari alat survei dan alat penjelas yang
tepat.
22
c. Instrument Bias muncul akibat dari reaksi subyek survei pada alat
pembayaran yang dipilih atau pilihan yang ditawarkan.
Solusi: desain alat sedemikian rupa sehingga alat pembayaran dan aspek
lainnya dari kuisioner tidak mempengaruhi tanggapan subyek wawancara.
d. Starting Point Bias muncul pada kasus bidding game. Sebagai contoh,
pilihan dari harga awal atau selang harga yang dipilih oleh pewawancara
mungkin mempengaruhi hasil wawancara, juga dikarenakan oleh saran
pada subyek akan jawaban benar atau dikarenakan subyek yang menjadi
bosan dengan proses wawancara.
Solusi: desain alat survei sedemikian rupa sehingga pertanyaan open-
ended memungkinkan dan starting point yang realistis.
e. Hypothetical Bias muncul karena hipotetik alami dari situasi yang
dikondisikan dengan reaksi dari subyek terhadap kondisi tersebut. Subyek
mungkin tidak menanggapi proses survei dengan serius dan jawaban yang
mereka berikan cenderung tidak memenuhi pertanyaan yang diajukan.
Solusi: desain alat survei sedemikian hingga memaksimisasi “realitas” dari
situasi yang akan diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk
kekonsistenan dari responden.
2.4.2. Willingness to Accept (WTA)
Kesediaan untuk menerima (WTA) merupakan suatu ukuran dalam konsep
penilaian ekonomi dari barang lingkungan. Ukuran ini memberikan informasi
tentang besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat atas
penurunan kualitas lingkungan di sekitarnya yang setara dengan biaya perbaikan
kualitas lingkungan tersebut. Penilaian barang lingkungan dari sisi WTA
23
menanyakan berapa jumlah minimum uang yang bersedia diterima oleh seseorang
setiap bulan atau setiap tahunnya sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan
lingkungan.
Beberapa pendekatan yang digunakan dalam penghitungan WTA untuk
menilai peningkatan atau kemunduran kondisi lingkungan antara lain:
1. Menghitung jumlah yang bersedia diterima oleh individu untuk mengurangi
dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan.
2. Menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin
menurunnya kualitas lingkungan.
3. Melalui suatu survei untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat
menerima dana kompensasi dalam rangka mengurangi dampak negatif pada
lingkungan atau untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik.
Penghitungan WTA dapat dilakukan secara langsung (direct method) melalui
survei dan secara tidak langsung (indirect method) dengan menghitung nilai dari
penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi.
2.5. Penelitian Terdahulu yang Terkait
Pangaribuan (2005) dalam penelitiannya yang berjudul ”Perhitungan
Perbedaan Biaya Kemacetan pada Sekitar Kawasan Pengendalian Lalu Lintas”,
menghitung besarnya biaya kemacetan yang seharusnya dibebankan kepada
pemilik kendaraan pribadi yang memasuki kawasan pengendalian lalu lintas di
wilayah DKI Jakarta serta jalan di sekitar kawasan pengendalian lalu lintas pada
jam 16.30 sampai jam 19.00. Seluruh ruas-ruas jalan yang ditinjau terdapat bahwa
volume kendaraan yang berada di kawasan pengendalian lalu lintas terjadi
penurunan rata-rata sebesar 26,11%, sedangkan di sekitar kawasan pengendalian
24
lalu lntas terjadi peningkatan volume kendaraan rata-rata sebesar 49,88% antara
tahun 2003-2005. Hal ini terjadi karena adanya pertumbuhan kendaraan serta
perpindahan arus kendaraan akibat adanya kebijakan 3 in 1 pada sore hari.
Besarnya biaya kemacetan yang dibebankan kepada pengguna kendaraan
pribadi yang melewati kawasan pengendalian lalu lintas sore pada tahun 2003
sebesar Rp 308,89 - Rp 1.541,23 per km, sedangkan biaya pada tahun 2005
sebesar Rp 70,282 - Rp 1.656,129 per km. Persentase perbedaan biaya yang harus
dibayar pengguna kendaraan pribadi pada kawasan pengendalian lalu lintas rata-
rata turun sekitar 274,24%, sedangkan biaya kemacetan yang harus dibayar
pengguna kendaraan pribadi yang melewati sekitar kawasan pengendalian lalu
lintas pada sore hari pada tahun 2003 antara Rp 1,018 - Rp 406,112 per km. Biaya
kemacetan pada tahun 2005 pada ruas jalan sekitar kawasan pengendalian lalu
lintas pada sore hari antara Rp 18,48 - Rp 596,76 per km. Persentase perbedaan
biaya yang harus dibayar pengguna kendaraan pribadi pada sekitar kawasan
pengendalian lalu lintas rata-rata naik sekitar 416%. Biaya kemacetan pada suatu
kawasan yang ditinjau akibat adanya pertambahan volume kendaraan dan
perpindahan arus akibat kebijakan 3 in 1 meningkat sebesar Rp 1.496,25 atau
sekitar 1,47%.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Silalahi (2001) yang berjudul ”Kajian
Pendapatan Usaha Transportasi Angkutan Kota Bogor” menyimpulkan bahwa
pola pendapatan dan pengeluaran sopir angkot dipengaruhi beberapa faktor, yaitu
pengalaman, merek kendaraan, umur kendaraan, jam kerja, jumlah rit, dan
pemakaian bensin per rit. Pemakaian bensin dalam operasional kendaraan per rit
menjadi rujukan dalam menghitung kerugian akibat kemacetan dimana
25
pengeluaran biaya untuk bensin semakin meningkat saat operasional dengan
kondisi normal tetapi harga BBM meningkat.
Penelitian yang dilakukan oleh Astati (1998) adalah menghitung biaya
kemacetan pada kawasan pengendalian lalu lintas. Penelitian ini menghitung
biaya yang harus dibebankan kepada pengguna jalan apabila melewati kawasan
pengendalian lalu lintas. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan yang
terjadi akibat penggunaan kendaraan pribadi pada kawasan tersebut.
Perhitungan biaya kemacetan dilakukan dengan pendekatan pricing atau
congestion charging. Pendekatan ini menjelaskan mengenai biaya rata-rata
(average cost) dari seorang pemakai jalan dan biaya marjinal (marjinal cost).
Hasil perhitungannya, besarnya biaya kemacetan lalu lintas ini dinyatakan sebagai
fungsi dari volume kendaraan dalam smp (satuan mobil penumpang) per jam.
Besarnya biaya kemacetan dinyatakan dalam satuan rupiah per km untuk setiap
kendaraan. Total biaya kemacetan yang dibebankan kepada pemakai kendaraan
pribadi sebesar biaya yang ditentukan per km dikalikan dengan panjang jalan
yang dilintasi oleh kendaraan pribadi tersebut. Hasil yang didapat adalah sebesar
Rp 833,20 per kendaraan untuk memasuki kawasan pengendalian lalu lintas.
Keterkaitan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah
pendekatan yang digunakan untuk menghitung biaya rata-rata perjalanan
seseorang dalam menggunakan kendaraan dan perhitungan pendapatan yang
hilang akibat kemacetan. Namun yang membedakannya adalah bahwa dalam
penelitian ini juga menggunakan metode yang berbeda, yaitu Contingent
Valuation Method (CVM) dimana metode ini mengestimasi kerugian sosial
26
ekonomi pengguna jalan secara subyektif. Deskripsi singkat dari penelitian
terdahulu yang terkait dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penelitian Terdahulu yang Terkait
No. Nama Judul Tulisan Deskripsi Alat Analisis
1. Pangaribuan (2005)
Perhitungan Perbedaan Biaya Kemacetan padaSekitar Kawasan Pengendalian Lalu Lintas
Menghitung perbedaan biaya kemacetan yang dikenakan kepada pengemudi kendaraan pribadi yang memasuki kawasan pengendalian lalu lintas dan kawasan di sekitarnya akibat kebijakan 3 in 1
Pricing atauCongestion Charging
2. Silalahi (2001)
Kajian Pendapatan Usaha Transportasi Angkutan Kota Bogor
Mengestimasi pola pendapatan dan pengeluaran sopir angkot dipengaruhi beberapa faktor, yaitu pengalaman, merek kendaraan, umur kendaraan, jam kerja, jumlah rit , dan pemakaian bensin per rit
Expenditure Method
3. Astati(1998)
Perhitungan Biaya Kemacetan di Wilayah Pengendalian Lalu Lintas di Wilayah DKI Jakarta
Menghitung biaya kemacetan yang dikenakan kepada pengemudi kendaraan pribadi yang memasuki kawasan pengendalian lalu lintas
Congestion Pricing
27
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Metode CVM yang digunakan dalam penelitian ini memiliki beberapa
tahapan dalam implementasinya. Tahapan-tahapan ini nantinya akan mengarahkan
penelitian ini untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan, yaitu WTA dari
pengguna jalan yang terkena kemacetan. Selain itu, tahapan-tahapan ini membuat
pelaksanaan CVM menjadi sistematis dalam pelaksanaannya sehingga hasil yang
didapatkan akan sesuai dengan tujuan utama penelitian ini dan juga untuk
menghindari bias yang terjadi dalam penelitian. Berikut adalah tahapan-tahapan
dalam penggunaan CVM (Mitchell dan Carson, 1989):
1. Asumsi yang Digunakan dalam Pendekatan Willingness to Accept (WTA)
Pelaksanaan pengumpulan nilai WTA dari setiap responden memerlukan
beberapa asumsi, yaitu:
a. Responden yang bersedia menerima kompensasi atau terlibat dalam
menilai lingkungannya, mengenal dengan baik kondisi lingkungannya dan
dapat memahami dan menentukan pilihan yang ada dengan tepat.
b. Nilai WTA yang diberikan responden merupakan nilai minimum yang
bersedia diterima responden jika kompensasi yang diberikan benar-benar
dilaksanakan.
c. Pemerintah setempat bersedia untuk memberikan kompensasi atas
penurunan pelayanan atau kualitas lingkungan jalan.
d. Responden dipilih secara random dari populasi yang terkena damapak
penurunan kualitas lingkungan.
28
2. Metode Mempertanyakan Nilai Willingness to Accept (WTA)
Terdapat empat metode bertanya (elicitation method) yang digunakan untuk
memperoleh penawaran besarnya nilai WTP atau WTA responden (Hanley
dan Spash, 1993), yaitu:
a. Metode Tawar Menawar (Bidding Game)
Penggunaan bidding game untuk mencari WTA individu bisa dilakukan,
dimana kuisioner menyarankan penawaran pertama dan responden setuju
dengan jumlah yang akan mereka terima. Prosedur lebih lanjut ialah nilai
awal (the starting point price) diturunkan untuk melihat apakah responden
masih mau menerima hal tersebut, dan seterusnya sampai responden
menyatakan menolak untuk menerima pada tawaran yang diajukan.
Penawaran terakhir yang disetujui responden merupakan nilai minimum
dari WTA mereka.
b. Metode Pertanyaan Terbuka (Open-Ended Question)
Metode ini dilakukan dengan menanyakan langsung kepada responden
berapa jumlah maksimal uang yang ingin dibayarkan atau jumlah minimal
uang yang ingin diterima akibat perubahan kualitas lingkungan.
Kelebihannya adalah responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa
mempengaruhi nilai yang akan diberikan dan metode ini tidak
menggunakan nilai awal yang ditawarkan sehingga tidak menimbulkan
bias titik awal (starting point bias). Kelemahan metode ini adalah kurang
akuratnya nilai yang diberikan dan variasi yang dihasilkan terlalu besar.
29
c. Metode Kartu Pembayaran (Payment Card)
Metode ini menawarkan kepada responden suatu kartu yang terdiri dari
berbagai nilai kemampuan untuk membayar atau kesediaan menerima,
dimana responden dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang
sesuai dengan preferensinya. Metode ini pada awalnya dikembangkan
untuk mengatasi bias titik awal dari metode tawar-menawar.
d. Metode Pertanyaan Pilihan Dikotomi (Close-Ended Referendum)
Metode ini menawarkan responden jumlah uang tertentu dan menanyakan
apakah responden mau membayar atau tidak sejumlah uang tersebut untuk
memperoleh peningkatan kualitas lingkungan.
3. Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method (CVM)
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam organisasi
pengoperasian CVM, yaitu:
a. Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kredibilitas dan realistik.
b. Alat pembayaran yang digunakan dan atau ukuran kesejahteraan sebaiknya
tidak kontroversial dengan ethics di masyarakat.
c. Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang
lingkungan yang dimaksud dalam kuisioner dan alat pembayaran untuk
penawaran mereka.
d. Jika memungkinkan, ukuran WTA sebaiknya dicari, karena responden
sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka
terima.
e. Ukuran contoh yang cukup besar, sebaiknya dipilih untuk memperoleh
selang kepercayaan dan reabilitas.
30
f. Pengujian kebiasan, sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi untuk
memperkecil strategic bias.
g. Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi.
h. Diperlukan pengetahuan dengan pasti jika contoh memiliki karakteristik
yang sama dengan populasi dan penyesuaian diperlukan.
i. Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali untuk melihat jika mereka
setuju dengan harapan yang tepat. Nilai minimum dari 15% untuk Radjusted
direkomendasikan oleh Mitchell dan Carson (1989).
4. Hipotesis dalam Pendekatan Willingness to Accept (WTA)
Berdasarkan kerangka pemikiran dan perumusan masalah penelitian, maka
dapat dikembangkan hipotesis penelitian yaitu:
a. Masyarakat yang mau berpartisipasi aktif dalam upaya memperbaiki
kualitas lingkungan adalah mayarakat yang merasakan manfaat langsung
dari berkurangnya manfaat yang diterima.
b. Nilai WTA dari responden yang peduli pada perbaikan kualitas
lingkungan lebih tinggi daripada nilai WTA dari responden yang tidak
memiliki kepedulian terhadap perbaikan kualitas lingkungan.
c. Besarnya nilai WTA responden lebih dipengaruhi oleh faktor sosial
ekonomi daripada faktor-faktor lainnya.
5. Tahapan untuk Memperoleh Nilai Willingness to Accept (WTA)
Penelitian dengan menggunakan CVM memerlukan beberapa tahapan untuk
memperoleh nilai Willingness to Accept (WTA). Mulai dari membuat pasar
hipotetik hingga pengevaluasian penggunaan metode ini. Keterangan lebih
lanjut dapat dilihat pada Gambar 3.
31
Gambar 3. Tahapan dalam Menggunakan CVM
keterangan:
Tahap Pertama: Menyusun Pasar Hipotetik
Hipotesis pasar dibuat dengan skenario bahwa pemerintah Kota Bogor
memberlakukan suatu kebijakan dalam manajemen transportasi darat dengan
tujuan mengganti kerugian kemacetan. Adapun kebijakan itu adalah pemberian
kompensasi terhadap kendaraan yang terkena kemacetan sebagai bentuk tanggung
jawab pemerintah atas kerugian yang ditimbulkan akibat kemacetan. Setiap
kendaraan akan dinilai insentif atas kemacetan yang terjadi, dimana kompensasi
tersebut adalah biaya pengganti dari kerugian yang mereka tanggung akibat
terjadinya kemacetan. Besarnya kompensasi atau WTA akan ditanyakan kepada
Definisi kemacetan
Willingness to Accept (WTA)MasyarakatKemacetan
CVMDampak
kemacetan
Pasar hipotetik
Mengevaluasi nilai CVM
Pengumpulan data-dataPenawaran
Menghitung WTA rata-rata
32
responden atas pemberlakuan kebijakan tersebut dimana WTA tersebut
mencerminkan besarnya kerugian individu dalam rupiah, sehingga pertanyaan
yang sesuai untuk skenario di atas adalah:
Tahap Kedua: Memperoleh Penawaran
Jika alat survei telah dibuat, maka survei dilakukan dengan cara
wawancara langsung. Secara individu, responden ditanya besarnya minimum
WTA mereka untuk menerima dampak dari penurunan kulaitas lingkungan, yang
dalam hal ini digunakan open-ended question, yaitu dilakukan dengan
menanyakan langsung kepada responden berapa jumlah minimal uang yang ingin
diterima akibat kemacetan.
Tahap Ketiga: Menghitung Nilai Rata-Rata dari WTA
Jika nilai WTA telah didapat, maka diperlukan perhitungan rata-ratanya,
termasuk di dalamnya nilai mean dan median. Ukuran nilai median tidak
dipengaruhi oleh penawaran (bids) yang besar dalam batas atas tingkat
distribusinya. Tahap ini biasanya diabaikan adanya penawaran sanggahan (protes
bids), dimana yang dimaksud dengan penawaran sanggahan adalah respon dari
responden yang bingung untuk menentukan jumlah yang mereka ingin terima
karena mereka tidak mempunyai keinginan untuk ikut serta dalam kebijakan
pemerintah ini.
“Bersediakah bapak/ibu/saudara/i untuk berpartisipasi dalam kebijakan
pemerintah berupa pemberian kompensasi terhadap pengguna jalan yang
mengalami kemacetan dengan menerima kompensasi tersebut ?”
33
Tahap Keempat: Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses dimana penawaran rata-rata
dikonversikan ke dalam bentuk nilai total populasi. Bentuk ini termasuk seluruh
komponen dari nilai relevan yang ditemukan. Keputusan dalam pengumpulan data
ditentukan oleh:
1. Pilihan terhadap populasi yang relevan. Tujuannya untuk mengidentifikasi: (a)
pihak yang utilitasnya dipengaruhi secara signifikan oleh kelancaran lalu
lintas, (b) pihak yang pernah merasakan dampak dari kemacetan.
2. Berdasarkan rata-rata contoh ke rata-rata populasi, nilai rata-rata contoh dapat
digandakan oleh jumlah rumah tangga dalam populasi, N, meskipun akan
timbul kebiasan, sebagai contoh adanya tingkat pendapatan tertinggi dan
terendah. Jika variabel ini telah dimasukkan ke dalam kurva penawaran,
estimasi penawaran rata-rata populasi, µ, dapat diturunkan dengan
memasukkan nilai populasi yang relevan ke dalam kurva penawaran. Nilai ini
dapat digandakan dengan N.
3. Pilihan dari pengumpulan periode waktu yang menghasilkan manfaat. Ini
tergantung pada pola CVM yang akan dipakai. Setiap kasus dari aliran
manfaat dan biaya dari waktu ke waktu memang cukup panjang, masyarakat
dikonfrontasikan dengan keperluan penggunaan preferensi saat ini untuk
mengukur tingkat preferensi saat ini untuk mengukur tingkat preferensi di
masa depan, sebagaimana adanya implikasi discounting.
Tahap Kelima: Pengevaluasian CVM
Hal ini memerlukan pendekatan seberapa besar tingkat keberhasilan dalam
pengaplikasian CVM. Apakah hasil survei mengandung tingkat penawaran
34
sanggahan yang tinggi? Apakah ada bukti bahwa responden benar-benar mengerti
mengenai pasar hipotetik? Seberapa besar tingkat kesalahan responden dalam
menjawab pertanyaan yang diajukan? Seberapa baik pasar hipotetik yang
digunakan untuk menangkap setiap aspek dalam barang lingkungan? Asumsi apa
yang digunakan untuk dapat menghasilkan nilai rata-rata dan bentuk
pengumpulan penawaran? Seberapa baik penanganan permasalahan yang terjadi
diasosiasikan dengan CVM ?.
3.2. Perhitungan Nilai Tengah Contoh
Penyelidikian segugus data kuantitatif akan sangat terbantu apabila kita
mendefinisikan ukuran-ukuran numerik yang menjelaskan cirri-ciri data yang
penting. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah penggunaan nilai tengah atau
nilai rata-rata, baik terhadap contoh maupun populasi.
Rata-rata merupakan suatu ukuran pusat data bila data itu diurutkan dari
yang terkecil hingga yang terbesar atau sebaliknya. Misalkan x1, x2, …, xn, tidak
harus semuanya berbeda, merupakan sebuah contoh terhingga berukuran n, maka
nilai tengah contohnya adalah (Walpole, 1982):
= ∑ xketerangan:
= nilai tengah contoh (nilai rata-rata)
= banyaknya contoh
Xi = peubah bebas yang menjelaskan peubah tak bebas Y
= 1,2,3,...,n yaitu banyaknya peubah bebas dalam fungsi
35
3.3. Regresi Linier Berganda
Menurut Gujarati (2003), analisis regresi berkenaan dengan studi
ketergantungan variabel, variabel tak bebas, pada satu atau lebih variabel, variabel
yang menjelaskan (explanatory variables), dengan maksud menaksir dana atau
meramalkan nilai rata-rata hitung (mean) atau rata-rata variabel tidak bebas,
dipandang dari segi nilai yang diketahui atu tetap. Persamaan regresi merupakan
persamaan matematik yang memungkinkan kita meramalkan nilai-nilai suatu
peubah tak bebas dari nilai-nilai satu atau lebih peubah bebas (Walpole, 1982)
Metode statistik inferensia yang digunakan yaitu model regresi linier
berganda dengan metode pendugaan kuadrat terkecil OLS (Ordinary Least
Square) yang didasarkan pada asumsi:
1. Nilai rata-rata pengganggu sama dengan nol, yaitu E (εi) = 0, untuk setiap i,
dimana i = 1,2,3,...,n. Artinya nilai yang diharapkan bersyarat dari εi
tergantung pada Xi tertentu adalah 0.
2. Varian (εi) = E (εi2) = δ2, sama untuk semua kesalahan pengganggu
(Homoskedastisitas). Artinya bahwa varian εi untuk setiap i yaitu varian
bersyarat untuk εi adalah suatu angka konstan positif yang sama dengan δ2.
3. Tidak ada autokorelasi antara kesalahan pengganggu, berarti Cov (εi, εj) = 0,
untuk i ≠ j.
4. Variabel bebas X1,X2,.....,Xk konstan dalam sampling yang terulang dan bebas
dari kesalahan pengganggu εi, E (Xi εi) = 0.
5. Tidak ada multikolinearitas, yang berarti tidak ada hubungan linier yang nyata
antara variabel-variabel bebas.
36
Secara umum, fungsi regresi berganda dituliskan sebagai berikut (Walpole, 1982):
Y = b0 + ΣbiXi + Ei
keterangan:
Y = peubah tak bebas
b0 = intersep
bi = parameter penduga Xi
Xi = peubah bebas yang menjelaskan peubah tak bebas Y
Ei = pengaruh sisa (error term)
i = 1,2,3,...,n yaitu banyaknya peubah bebas dalam fungsi
3. 4. Kerangka Pemikiran Operasional
Penulis membuat alur berpikir untuk memudahkan pelaksanaan penelitian.
Adapun alur berpikir yang dibuat oleh penulis dapat dilihat sebagai berikut:
Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 ha atau 0,27% dari luas provinsi
Jawa Barat. Saat ini, Kota Bogor mengalami pertumbuhan kendaraan yang cukup
tinggi. Hasil survei terdapat sekitar 3.506 unit angkot yang diijinkan beroperasi
didalam kota, ditambah ratusan angkot Kabupaten Bogor yang trayek operasinya
masih memasuki wilayah Kota Bogor. Jumlah angkot sebanyak itu menjadi
bagian dari beban kepadatan lalu lintas yang harus dipikul Kota Bogor, karena
masih ada 46.034 unit kendaraan roda empat pribadi dan 73.145 unit kendaraan
roda dua serta ratusan becak yang hilir mudik setiap hari di jalan-jalan Kota
Bogor. Jumlah tersebut masih ditambah dengan mobilitas berbagai jenis
kendaraan luar Kota Bogor yang keluar masuk wilayah Kota Bogor.
Kemacetan lalu lintas merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari
lagi dengan populasi kendaraan sebanyak ini. Kemacetan semakin lama semakin
memberikan masalah yang akhirnya yang paling parah terkena dampak adalah
37
masalah lingkungan. Masalah lingkungan yang ada berdampak pula pada sosial
ekonomi masyarakat, khususnya para pengguna jalan.
Dampak yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat terjadi kemacetan
tidaklah kecil. Berbagai kerugian baik dari segi kesehatan, pencemaran udara,
stress saat macet, pengeluaran yang meningkat untuk membeli BBM, hilangnya
pendapatan, dan berbagai kerugian lainnya merupakan dampak yang harus
ditanggung masyarakat pengguna jalan, khususnya pengguna jalan. Mengingat
besarnya dampak yang harus diterima, maka diperlukan analisis mengenai
kerugian pengguna jalan.
Kompensasi merupakan cerminan besarnya kerugian pengguna jalan yang
terjebak kemacetan, oleh karena itu diperlukan penelitian untuk menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi WTA masyarakat untuk menerima kompensasi
yang diberikan. Analisis ini akan menggunakan analisis regresi berganda.
Penilaian ekonomi mengenai kemacetan dengan mencari nilai WTA pengguna
jalan juga akan dikaji yang dilakukan dengan menggunakan tahapan-tahapan
dalam CVM dan analisis regresi berganda. Metode dan analisis tersebut akan
diperoleh nilai WTA pengguna jalan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Perhitungan pengeluaran pengguna jalan difokuskan pada pengeluaran
BBM yang digunakan. Perhitungan ini akan menghitung besarnya perbandingan
penggunaan BBM bila kendaraan terkena kemacetan dengan kendaraan tidak
terkena kemacetan, begitu pula dengan perhitungan pendapatan yang hilang.
Seluruh analisis dan metode yang digunakan merupakan kesatuan dalam
pendekatan CVM. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang kebijakan apa yang seharusnya diterapkan dalam mengurangi kemacetan
38
dan dampaknya bagi sosial ekonomi masyarakat. Penelitian ini juga dapat
memberikan informasi mengenai besarnya kerugian akibat kemacetan yang
sebelumnya tidak diketahui nilai nominalnya, untuk mempermudah pelaksanaan
penelitian, dibuatlah alur berpikir yang dapat dilihat pada Gambar 4.
39
= Ruang lingkup penelitian
Gambar 4. Diagram Alur Kerangka Pemikiran
Transportasi di Kota Bogor
Kendaraan Pribadi Mass TransportationKendaraan Industri/Usaha
Jumlah Kendaraan yang Semakin Meningkat
Over Carrying CapacityPerilaku Berkendara yang Tidak Tertib
Kemacetan
Masalah Lingkungan
Dampak Sosial Ekonomi
Dampak Sosial Kemacetan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya WTA
Besarnya WTA
Analisis Regresi Berganda
Analisis Deskriptif-Kualitatif
CVM
Nilai Kerugian Sosial Ekonomi Pengguna Jalan Akibat Kemacetan
Pengeluaran Bahan Bakar dan Hilangnya Pendapatan
Metode Kuantitatif
40
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan
lokasi dilakukan secara sengaja dengan mempertimbangkan: (1) Penelitian ini
cocok diterapkan pada daerah sub-urban seperti Kota Bogor, (2) Kota Bogor
merupakan salah satu kota yang mengalami kemacetan lalu lintas dari waktu ke
waktu, (3) Adanya kesesuaian data yang diharapkan dapat mendukung dan
mewujudkan tujuan penelitian yang diajukan. Pengambilan data primer melalui
kuisioner dilakukan pada bulan Februari 2009 hingga Juli 2009.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer, data sekunder, dan didukung
dengan pendekatan kualitatif. Data primer didapatkan dengan cara memberikan
kuisioner kepada pengguna jalan dan melakukan pengamatan langsung di lokasi
penelitian.. Jenis data lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Jenis data sekunder diambil dari beberapa instansi yang terkait dengan
objek penelitian seperti BPS Kota Bogor,, BAPPEDAL, DLLAJ Kota Bogor,
SAMSAT Kota Bogor, Dinas Tata Ruang Kota Bogor, perpustakaan, internet
serta berbagai penelitian terdahulu yang terkait dalam penelitian ini..
4.3. Metode Pengambilan Sample
Teknik pengambilan jumlah sample dalam penelitian ini menggunakan
non-probability sampling method karena jumlah populasi pengguna jalan tidak
diketahui secara pasti. Pengambilan sample dilakukan secara purposive dimana
setiap responden yang ditemui diasumsikan sebagai pengguna jalan dan pernah
41
mengalami kemacetan di Kota Bogor. Banyaknya responden dalam penelitian ini
berjumlah 551 orang yang terdiri dari 144 responden pengguna mobil pribadi, 110
orang sopir angkot, 181 pengendara sepeda motor, dan sisanya sebanyak 116
orang adalah penumpang angkutan umum. Jumlah sample yang diambil mengacu
pada penelitian-penelitian CVM sebelumnya dimana jumlah responden yang
diambil berkisar 500 hingga 1000 responden (Mitchell dan Carson, 1989).
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan
deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk melihat dampak sosial dari
kemacetan lalu lintas melalui kuisioner dan indepth interview, sedangkan metode
kuantitatif menggunakan rumus nilai tengah contoh. Metode CVM digunakan
untuk mengestimasi besarnya nilai WTA pengguna jalan. Selanjutnya untuk
menentukan tingkat validitas, reabilitas, dan signifikansi dalam penggunaan
CVM, dilakukan pengujian secara regresi dengan program Minitab 14 for
Windows. Berikut adalah metode pengolahan data untuk setiap tujuan penelitian
seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Metode Pengolahan Data
No. Tujuan Penelitian Alat Analisis Teknik Pengumpulan Data
1. Mengevaluasi dampak sosial ekonomi yang dirasakan pengguna jalan saat terjadi kemacetan
Deskriptif-Kualitatif
Kuisioner dan Indepth interview
2. Menghitung besarnya pengeluaran biaya BBM dan pendapatan yang hilang
Kuantitatif Kuisioner
3. Mengestimasi besarnya nilai WTA pengguna jalan
CVM Kuisioner dan Indepth interview
4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA
Analisis Regresi Bergandadengan Minitab 14 for Windows
Kuisioner
42
4.5. Perhitungan Nilai Rata-Rata
Perhitungan besarnya pengeluaran untuk pembelian BBM pengguna jalan
saat kendaraan mereka berada pada lalu lintas lancar dan saat kemacetan
dilakukan dengan cara mengagregatkan jumlah pengeluaran seluruh responden
saat kendaraan mereka berada pada lalu lintas lancar dan saat kendaraan berada
dalam kemacetan lalu dibagi dengan jumlah responden. Rata-rata pengeluaran
pengguna jalan dapat dicari dengan rumus nilai tengah contoh (Walpole, 1982),
yaitu:
keterangan:
= rata-rata pengeluaran pengguna jalan saat lalu lintas normal∗= rata-rata pengeluaran pengguna jalan saat lalu lintas macetc = pengeluaran pengguna jalan saat lalu lintas normalc* = pengeluaran pengguna jalan saat lalu lintas macet
i = 1,2,3,...,n yaitu banyaknya peubah bebas dalam fungsi
n = jumlah responden
4.6. Model Regresi Berganda
Model ekonometrika yang baik harus memenuhi tiga kriteria yaitu kriteria
ekonometrika, statistika, dan ekonomi. Berdasarkan kriteria ekonometrika, model
harus sesuai dengan asumsi klasik, artinya harus terbebas dari gejala
heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas (Gujarati, 2003).
Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji F, uji t, dan
koefisien determinasi (R2).
Berdasarkan kriteria ekonomi, tanda dan besarnya variabel-variabel
eksogen dalam model harus sesuai dengan hipotesis, kecuali pada kondisi-kondisi
= ∑ = ∗= ∑ ∗=
43
tertentu yang bisa dijelaskan. Metode statistik inferensia yang digunakan yaitu
model regresi linier berganda dengan metode pendugaan kuadrat terkecil OLS
(Ordinary Least Square) yang didasarkan pada asumsi yang ada.
Karena asumsi-asumsi model regresi berganda terpenuhi, maka pendugaan
faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya WTA dari pengguna jalan sesuai
dengan model regresi berganda, sehingga dengan mengganti variabel-variabel
independent yang mempengaruhi WTA sebagai variabel dependent, maka
digunakan fungsi WTA sebagai berikut (Hanley dan Spash, 1993):
WTA = f (α0 +α1 Z1 +α2 Z2+α3 Z3+α4 Z4+α5 Z5+α6 Z6+ α7 Z7+α8 Z8 + Є)
keterangan:
α0 = Intersepα1... α8 = Koefisien regresiZ1 = Tingkat pendidikan Z2 = Tingkat pendapatan Z3 = Jenis pekerjaanZ4 = UmurZ5 = Frekuensi terkena kemacetanZ6 = Durasi terkena kemacetanZ7 = Jarak tujuan perjalananZ8 = Kategori pengguna jalanЄ = Galat
Variabel-variabel di atas dimasukkan ke dalam model karena dianggap
mempunyai pengaruh pada besarnya WTA yang akan diungkapkan (expressed
WTA) oleh responden. Variabel-variabel tersebut juga merupakan salah satu
komponen dalam melakukan perhitungan dalam penelitian ini. Keterangan untuk
setiap variabel yang berada pada model dapat dilihat pada Tabel 5.
44
Tabel 5. Indikator Pengukuran WTAVariabel Keterangan Variabel Cara Pengukuran
WTA Willingness to Accept (Rp) Responden ditanyakan besarnya kompensasi yang bersedia mereka terima melalui open-ended question
Z1 Tingkat pendidikan (Tahun) Responden ditanyakan jenjang pendidikan mereka mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Z2 Tingkat pendapatan (Rp) Responden diminta untuk menjawab rata-rata pendapatan.Kisaran tersebut dikelompokan menjadi 1 juta hingga > 5 juta rupiah.
Z3 Jenis pekerjaan Menanyakan responden mengenai profesi mereka. Jenis pekerjaan dibedakan menjadi, PNS, Karyawan swasta, PengusahaatauWiraswasta dan sebagainya.
Z4 Umur (Tahun) Responden ditanyakan lansung umur mereka
Z5 Frekuensi terkena kemacetan Responden ditanyakan berapa kali mengalami kemacetan dalam setiap hari perjalanan mereka.
Z6 Durasi kemacetan (Menit) Menanyakan kepada responden durasi waktu saat terjebak dalam kemacetan.
Z7 Jarak tujuan perjalanan (Km) Menanyakan kepada responden jarak tempuh daerah asal ke lokasi tujuan perjalanan.
Z8 Kategori pengguna jalan Pengguna jalan ini dikategorikan menjadi pengguna mobil pribadi, sopir angkutan umum, pengendara sepeda motor, dan penumpang angkutan umum
4.7. Pengujian Parameter
Model akan diuji berdasarkan hipotesis yang diajukan. Pengujian hipotesis
berdasarkan statistik bertujuan untuk melihat nyata tidaknya variabel-variabel
bebas yang dipilih terhadap variabel tak bebas yaitu WTA. Pengujian ini
menggunakan nilai-P (P-value). Berdasarkan nilai-P dapat diketahui berapa
persen variabel-variabel bebas berpengaruh terhadap variabel tak bebas WTA.
Selain itu, untuk memeriksa kebaikan dari model yang telah dibuat, dilakukan
pengujian statistika lainnya, seperti:
45
1. Uji Keandalan
Uji ini dilakukan dalam evaluasi pelaksanaan CVM. Berhasil tidaknya
pelaksanaan CVM dilihat dengan nilai koefisien determinasi (R2) dari OLS
(Ordinary Least Square) WTA. Nilai koefisien determinasi (R2) untuk barang
lingkungan yang belum mempunyai harga dapat ditolerir sampai batas
minimum 15% (Mitchell dan Carson, 1989), dimana:
H0: Model tidak berpengaruh terhadap respon (WTA)
H1: Model berpengaruh terhadap respon (WTA)
P-value < 0.15 tolak Ho
2. Uji Statistik F
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel (Zi secara
bersama-sama terhadap variabel tidak bebasnya). Prosedur pengujiannya
antara lain (Ramanathan, 1997):
H0: β1 = β2 = β3 = ... = βk = 0
H1: β1 = β2 = β3 = ... = βk ≠ 0
= /( − 1) / ( − 1)dimana:
JKK = Jumlah Kuadrat Untuk nilai Tengah KolomJKG = Jumlah Kuadrat Galatn = Jumlah Sampelk = Jumlah Peubah
Jika F < tabel, maka H0 diterima, artinya variabel (Zi) secara serentak tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya
Jika F > tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel (Zi) secara serentak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya
46
3. Uji Statistik t
Uji statistik t dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh masing-masing
variabel bebasnya (Zi) mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat setempat
sebagai peubah tidak bebas, prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut
(Ramanathan, 1997):
H0: βi = 0, artinya variabel bebas (Zi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya
H1: βi ≠ 0, artinya variabel bebas (Zi) b rpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya
( ) = βi − 0SβiJika t < t tabel, maka H0 diterima, artinya variabel (Zi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya
Jika t > t tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel (Zi) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya
4. Uji Terhadap Kolinear Ganda (Multicolinearity)
Model yang melibatkan banyak peubah bebas sering terjadi masalah
multicolinearity, yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar variabel bebas.
Menurut Koutsoyiannis dalam Ramanathan (1997), deteksi adanya
multicolinearity dalam sebuah model dapat dilakukan dengan membandingkan
besarnya nilai koefisien determinasi (R2) dengan koefisien determinasi parsial
antar dua peubah bebas (r2). Hal ini dapat dibuat suatu matriks koefisien
determinasi parsial antar peubah bebas. Kolinear ganda dapat dianggap tidak
masalah apabila koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas tidak
melebihi nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar
semua peubah secara simultan. Namun, multicolinearity dianggap sebagai
47
masalah serius jika koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas
melebihi atau sama dengan nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi
berganda antar semua peubah secara simultan, atau secara matematis dapat
dituliskan dalam pertidaksamaan berikut:
, > , … ,Masalah multicolinearity juga dapat dilihat langsung melalui ouput komputer,
dimana jika nilai VIF < 10 maka tidak ada masalah multicolinearity.
5. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi metode pendugaan metode kuadrat terkecil adalah
heteroskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan.
Pelanggaran atas asumsi homokedastisitas adalah heteroskedastisitas.
Pendeteksian adanya masalah ini, maka dilakukan pengujian terhadapanya
seperti yang disarankan oleh Goldfeld dan Quandt dalam Ramanathan (1997).
Contoh amatan diurutkan menurut peubah-peubah bebasnya kemudian dibagi
dua anak contoh dengan pemisah contoh berjumlah 16 untuk contoh ukuran
60. Kedua contoh anak tersebut masing-masing diregresikan kemudian
dihitung jumlah kuadrat galat (JKG) dari masing-masing regresi tersebut.
Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh pertama dikonotasikan
(JKG1). Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh kedua dikonotasikan
(JKG2). Statistik ujinya adalah:
= 12Jika tidak ada masalah heteroskedastisitas maka nilai F-hitung akan menuju 1.
Masalah heteroskedastisitas masih dapat ditolerir jika F-hitung < F tabel
48
dengan derajat bebas v1 = v2 = (n-c-2k)/2 dimana n adalah jumlah contoh, c
adalah jumlah contoh pemisah, dan k adalah jumlah parameter yang diduga.
6. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi antar anggota serangkaian penelitian yang
diurutkan menurut waktu (time series) atau ruang (cross section) atau
terdapatnya unsur error yang berurutan dalam model (tidak acak).
Autokorelasi dapat terjadi apabila terdapat bias spesifikasi yaitu adanya
variabel penting yang tidak dimasukkan ke dalam model. Konsekuensi
autokorelasi adalah signifikansi, yang artinya uji F dan uji t menjadi kurang
kuat dan taksiran terlalu rendah. Pendeteksian autokorelasi dapat dilakukan
dengan metode grafik dan uji d Durbin-Watson. Berdasarkan hipotesis
diharapkan model terbebas dari masalah autokorelasi. Apabila hipotesis
didefinisikan sebagai berikut:
H0: Tidak Autokorelasi
H1: Autokorelasi
P-value > taraf nyata terima Ho
49
V. GAMBARAN UMUM LOKASI
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1. Keadaan Umum Kota Bogor
Letak geografis Kota Bogor yang sejuk berada pada 106’ 48’ BT dan 6’
26’ LS. Kota Bogor saat ini tidak hanya sebagai kota peristirahatan, pendidikan,
dan penelitian tapi juga sebagai kota bisnis dan jasa yang terus berkembang
dengan pesat. Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 ha atau 0,27% dari luas
provinsi Jawa Barat. Kota Bogor ini terdiri dari enam kecamatan, yaitu
Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor
Tengah, dan Tanah Sareal, yang meliputi 68 kelurahan. Kepadatan tertinggi ada di
Kecamatan Bogor Tengah yaitu sebesar 13.047 jiwa per km2 dan terendah ada di
Kecamatan Bogor Selatan 5.547 jiwa per km2 (BPS Kota Bogor, 2007).
Kota Bogor mengalami kemajuan yang sangat pesat, karena Kota Bogor
merupakan salah satu kota penyangga Jakarta sebagai ibukota negara. Pemerintah
kota membangun dan mengembangkan Kota Bogor sebagai kota jasa yaitu kota
yang menyediakan berbagai jasa untuk memenuhi kebutuhan penduduk mulai dari
ekonomi, sosial, hingga edukasi dan rekreasi dikarenakan tidak memiliki
sumberdaya alam yang tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan Kabupaten
Bogor.
Panjang jalan di Kota Bogor semakin bertambah seiring meningkatnya
jumlah penduduk dan alat transportasi. Pembagunan infrastruktur ini dilakukan
untuk mengimbangi kebutuhan sarana penunjang transportasi. Data yang
diperoleh dari BPS Kota Bogor untuk panjang jalan yang telah ada adalah
50
564.200 km pada tahun 2004 dan pada akhir 2007 yang lalu meningkat menjadi
749.210 km. Kondisi jalan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Panjang Jalan Menurut Keadaan dan Status Jalan di Kota Bogor Tahun 2007
KeadaanStatus Jalan
Jumlah (Km)Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Kab/Kota
I. Jenis Permukaan
a. Diaspal 34,199 - 677,093 711,292b. Kerikil - - 15,219 15,219c. Tanah - - 3,823 3,823d. Beton/Conblock - - 53,078 53,078e. Tidak dirinci - - - -
Jumlah 34,199 - 749,213 783,412
II. Kondisi Jalan
a. Baik 24,266 - 230,780 255,046b. Sedang 8,546 - 419,676 428,222c. Rusak 1,387 - 78,589 79,976d. Rusak berat - - 20,168 20,168
Jumlah 34,199 - 749,213 783,412
III. Kelas jalan
a. Kelas Ib. Kelas IIc. Kelas IIId. Kelas III Ae. Kelas III Bf. Kelas III Cg. Kelas Tidak
Dirinci
-------
-------
-------
-------
Jumlah 34,199 - 749,213 783,412
200620052004
34,19933,81033,810
010,1206,358
739,213576,665580,427
773,412620,595620,595
Sumber: Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor 2007 dari BPS
5.1.2 Kependudukan
Menurut data yang diperoleh dari BPS Kota Bogor (2006), jumlah
penduduk yang tercatat yaitu sebanyak 879.138 jiwa yang terdiri dari 444.508
laki-laki dan 434.630 perempuan dengan jumlah rumah tangga sebanyak 194.357
51
kepala keluarga (KK). Kepadatan penduduk Kota Bogor yaitu sebesar 7,149 jiwa
per km2. Rekapitulasi jumlah penduduk dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan WilayahKecamatan di Kota Bogor Tahun 2006
KecamatanJenis kelamin
TotalLaki-laki Perempuan
Bogor Selatan 87.426 83.482 170.908Bogor Timur 44.609 44.628 89.237Bogor Utara 77.264 76.579 153.843Bogor Tengah 53.481 52.594 106.075Bogor Barat 99.133 96.675 195.808Tanah Sareal 82.595 80.672 163.267
Total 444.508 434.630 879.1382005 431.862 423.223 855.0852004 424.819 406.752 831.5712003 419.252 401.455 820.7072002 397.820 391.603 789.423
Sumber: Bogor Dalam Angka 2006 dari BPS Kota Bogor
Penduduk Kota Bogor mengalami pertambahan jumlah penduduk yang
cukup pesat, yaitu hampir 30.000 jiwa per tahunnya. Pertambahan penduduk
paling banyak dari pendatang, atau penduduk yang pindah dan menetap.
Penduduk bekerja pada beberapa sektor yang menjadi denyut nadi perekonomian
Kota Bogor. Sektor-sektor inilah yang memberi kontribusi bagi PDRB Kota
Bogor. Kota Bogor memiliki beberapa sektor kegiatan perekonomian yang
dominan dalam memberikan kontribusi PDRB tahun 2002, seperti pada Tabel 8.
Tabel 8. Kontribusi Sektor Terbesar PDRB Kota Bogor Tahun 2008No. Sektor Kontribusi (%)
1. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 31,512. Industri Pengolahan 26,733. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 11.994. Pengangkutan dan Komunikasi 10,495. Bangunan 8,25
Sumber: Buku PDRB Tahun 2008 dari BPS Kota Bogor
52
5.2. Transportasi dan Lalu Lintas di Kota Bogor
5.2.1. Volume Kendaraan Bermotor
Pertumbuhan kendaraan di Kota Bogor saat ini sangat tinggi. Merujuk data
Polres Kota Bogor, bahwa jumlah kendaraan bermotor semakin meningkat tajam.
Padahal luas Kota Bogor yang hanya 11.850 ha dengan panjang jalan 783.412 km,
sudah mulai padat untuk menampung jumlah kendaraan yang ada.
Perkembangan kendaraan bermotor dalam lima tahun terakhir di Kota
Bogor rata-rata 17,3 persen per tahun. Pertambahan kendaraan bermotor baru
setiap tahun mencapai rata-rata hampir 30.000 unit, lebih dari 90% diantaranya
kendaraan roda dua atau sepeda motor, sedangkan pertambahan kendaraan roda
empat hanya sekitar 3.000 unit per tahun. Hal ini tentu menunjukkan besarnya
potensi kemacetan yang semakin tinggi.
Saat ini ada 3.506 unit angkot yang dijinkan beroperasi di dalam kota,
ditambah ratusan angkot Kabupaten Bogor yang trayek operasinya masih
memasuki wilayah Kota Bogor. Jumlah angkot sebanyak itu menjadi bagian dari
beban kepadatan lalu lintas yang harus dipikul Kota Bogor, karena masih ada
46.034 unit kendaraan roda empat pribadi dan 73.145 unit kendaraan roda dua
serta ratusan becak yang hilir mudik setiap hari di jalan-jalan Kota Bogor. Jumlah
tersebut masih harus ditambah dengan mobilitas berbagai jenis kendaraan luar
Kota Bogor yang keluar masuk wilayah Kota Bogor, terutama dari berbagai
wilayah Jabodetabek, Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan sebagainya.
5.2.2. Sumber Volume Kendaraan Bermotor
Jumlah kendaraan yang ada tidak hanya asli Kota Bogor atau yang berplat-
F, sumber kendaraan lain juga datang dari berbagai daerah di sekitar Kota Bogor.
Jumlah kendaraan yang masuk Kota Bogor setiap harinya rata-rata mencapai
53
10.080 unit (9.360 unit kendaraan pribadi dan 720 unit kendaraan umum). Jumlah
kendaraan pribadi yang berasal dari Jakarta melalui Tol Jagorawi rata-rata 10-15
unit per menit. Jika dirata-ratakan maka jumlah kendaraan pribadi yang masuk
mencapai 720 unit per jam. Apabila jumlah tersebut dikalikan dengan jumlah jam
efektif pengoperasian kendaraan, maka jumlah kendaraan pribadi berplat non-F
yang masuk di Bogor mencapai 9.360 unit.
Intensitas kendaraan umum berplat non-F yang masuk melalui Tol
Jagorawi mencapai empat hingga tujuh unit per lima menit. Jika dirata-ratakan
maka jumlah kendaraan umum yang masuk sebanyak 60 unit per jam. Jumlah
tersebut jika dikalikan dengan jam efektif pengoperasian kendaraan maka
jumlahnya mencapai 720 unit. Persentase jumlah kendaraan pribadi dari luar
Bogor yang masuk ke Kota Bogor setiap harinya sekitar 35% dari jumlah
kendaraan pribadi yang ada di Kota Bogor.
Jumlah kendaraan pribadi berplat F di Kota Bogor tercatat 38.994 unit,
dengan rincian kendaraan jenis sedan non objek 7.426 unit, sedan objek 3.103
unit, minibus 21.121 unit, mikrobus 109 unit, bus 12 unit, pick up 5.026 unit, light
truck 1.727 unit, truk 316 unit dan tangki 154 unit. Jumlah kendaraan umum dari
luar Kota Bogor yang masuk ke Terminal Baranangsiang tercatat 350 unit per hari
dan masih ada sekitar 370 unit yang hanya numpang lewat. Rinciannya, 80% dari
jumlah bus yang masuk Terminal Baranangsiang merupakan bus-bus berplat B.
5.2.3. Infrastruktur Lalu Lintas
Secara umum pembangunan infrastruktur Kota Bogor sudah cukup baik.
Akses jalan ke berbagai wilayah kota sudah tertata dengan baik, walaupun masih
ada beberapa jalan yang rutenya terlalu jauh. Komposisi atribut lalu lintas seperti
54
rambu lalu lintas, marka jalan, separator, trotoar, dan yang lainnya, telah
terakomodir oleh pihak Dinas Perhubungan maupun oleh Polres Kota Bogor.
Volume kendaraan yang bertambah terus-menerus membuat infrastruktur
lalu lintas yang ada saat ini dirasa masih kurang. Pemerintah Kota Bogor mulai
mengantisipasi dengan membuat jalan tol yang langsung menuju pusat kota. Hal
ini dilakukan karena kapasitas jalan yang ada di Kota Bogor telah mendekati batas
ambang sehingga tidak memadai lagi.
Optimalisasi peran dan fungsi Terminal Baranangsiang sebagai pusat
trasportasi telah dilakukan berbagai pembenahan, seperti pemindahan saluran,
pipa beton, perbaikan trotoar, perbaikan jalan samping masuk terminal, dan
pengaspalan. Anggaran penyempurnaan Terminal Baranangsiang pada tahun 2004
telah menyerap dana sebesar Rp 98,471 juta. Upaya pemecahan masalah lalu
lintas juga telah dibangun Sub-Terminal Bubulak dengan luas keseluruhan
mencapai 11.850 m2. Kegiatan tersebut menyerap dana sebesar Rp 4,04 milyar
yang dikeluarkan melalui belanja rutin sebesar Rp 2,229 milyar, dan belanja
pembangunan sebesar Rp 1,740 milyar.
Optimalisasi penataan fungsi sub-terminal juga turut dilakukan dalam
pembangunan sarana penunjang yang meliputi pelebaran dan pelapisan hotmix
pada beberapa ruas jalan persimpangan sekitar terminal dengan luas total
mencapai 13.168,5 m2, pembuatan median seluas 641 m2, pembuatan trotoar
seluas 702,5 m2, pembuatan pita beton sepanjang 737,8 m2, pembuatan pagar
terminal, pembuatan gorong-gorong sepanjang tiga meter, pembuatan pembatas
kecepatan kendaraan. Selain itu, dibuat pula sarana seperti traffic light, marka
jalan, rambu lalu lintas, dan penerangan jalan umum (PJU).
55
Pembiayaan untuk pengadaan dan perawatan sarana dan prasarana lalu
lintas menyerap dana yang tidak sedikit. Anggaran tahun 2004 untuk penataan
transportasi saja menyerap biaya sebesar Rp 19.294.947.000,00 yang bersumber
dari APBD Kota Bogor sebesar Rp 10.166.947.00,00 yang terdiri dari biaya
operasional Rp 4.916.335.000,00, belanja modal Rp 5.520.612.000,00, dan dari
APBD provinsi sebesar Rp 6.730.000.000,00. Pembiayaan ini juga mendapat
tambahan dari APBN sebesar Rp 2.398.000.000,00.
5.2.4. Manajemen Transportasi
Manajemen lalu lintas di Kota Bogor tidak jauh berbeda dengan
manajemen lalu lintas yang ada di kota lainnya. Pemberian izin operasional
kendaraan umumnya sangat lemah. Hal ini dicerminkan dengan banyaknya
angkutan kota yang beroperasi setiap harinya. Selain itu, peremajaan angkutan
kota yang sudah habis umur operasionalnya terus dilakukan tanpa adanya
pengurangan jumlah angkot yang sudah ada. Walaupun sudah ada program
pemerintah kota untuk mengurangi kepadatan lalu lintas dengan program
Transpakuan, namun bila jumlah angkot tidak dikurangi hal ini sama saja artinya
tidak ada solusi.
5.2.5 Kemacetan di Kota Bogor
Kapasitas jalan yang ada di Kota Bogor telah mendekati batas ambang
sehingga tidak memadai lagi. Batas ambang pada ruas jalan atau volume capacity
ratio (VCR) di Jalan Merdeka dengan nilai VCR berkisar antara 0,40 hingga 1,74.
Padahal ambang batas yang baik secara teknis berada di bawah angka 0,50.
Kemacetan di Kota Bogor tidak hanya terjadi pada jam pulang dan
berangkat kerja saja tetapi pada jam-jam biasa pun beberapa jalur jalan di kota
56
hujan ini tetap macet, misalnya Jalan Sukasari-Tajur, Jalan Bubulak-Dramaga,
Jalan Sempur-IR, Djuanda-Sudirman, Jalan Soleh Iskandar (Jalan Baru), Kedung
Halang, dan Merdeka-Semeru (Pasar Mawar). Kemacetan terparah di Kota Bogor
memang terjadi di Jalan Mayor Oking-Jembatan Merah-Merdeka, yakni mulai
pukul 17.00 sampai 21.30 WIB dimana volume kendaraan yang melintas pada
ruas jalan tersebut rata-rata berjumlah 36 unit per menit. Jika dikalikan dengan
durasi kemacetannya, maka jumlah kendaraan yang terjebak kemacetan mencapai
9.720 unit.
5.3 Karakteristik Responden
Karakteristik umum responden di Kota Bogor diperoleh berdasarkan
survei yang dilakukan terhadap 551 pengguna jalan yang ditemui peneliti.
Karakteristik dari responden sangat bervariasi. Karakteristik umum responden ini
dinilai dari beberapa variabel, meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan formal,
pekerjaan, tingkat pendapatan, dan kategori pengguna jalan.
5.3.1. Jenis Kelamin
Sebagian besar responden yang ditemui pada saat survei adalah laki-laki,
yaitu sebanyak 436 orang (79,13%) sedangkan responden berkelamin perempuan
sebanyak 115 orang (20,87%). Hal ini dikarenakan saat pengambilan sampel,
peneliti lebih banyak mengambil responden yang menggunakan kendaraan pribadi
dimana pengguna kendaraan pribadi ini didominasi oleh laki-laki. Perbandingan
responden laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Gambar 5.
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Gambar 5. Karakteristik Responden Be
5.3.2. Usia
Tingkat usia para responden
bervariasi, mulai dari usia sekolah hingga usia lanjut. Distribusi usia berkisar
antara 15 tahun hingga 60 tahun
sebaran usia 21-30 tahun yaitu sebanyak
responden keseluruhan)
66 orang (11,98% dari jumlah responden keseluruhan), responden yang berusia
31-40 tahun berjumlah
responden yang berusia 41
responden keseluruhan), responden yang berusia 51
(3,81% dari jumlah responden keseluruhan). Perbandingan distribusi usia
responden di Kota Bogor pada saat penelitian tahun 2009 dapat dilihat pada
Gambar 6.
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Gambar 6. Karakteristik
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
usia para responden pengguna jalan di Kota Bogor
dari usia sekolah hingga usia lanjut. Distribusi usia berkisar
tahun hingga 60 tahun dan jumlah responden tertinggi terdapat pada
30 tahun yaitu sebanyak 226 orang (41,02% dari jumlah
responden keseluruhan). Responden yang berusia antara 15-20 tahun berjumlah
% dari jumlah responden keseluruhan), responden yang berusia
40 tahun berjumlah 137 orang (24,86% dari jumlah responden keseluruhan),
responden yang berusia 41-50 tahun berjumlah 101 orang (18,33% dari jumlah
responden keseluruhan), responden yang berusia 51-60 tahun berjumlah
% dari jumlah responden keseluruhan). Perbandingan distribusi usia
responden di Kota Bogor pada saat penelitian tahun 2009 dapat dilihat pada
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
79.13%
20.87%
11.98%
41.02% 24.86%
18.33%3.81%
57
pengguna jalan di Kota Bogor cukup
dari usia sekolah hingga usia lanjut. Distribusi usia berkisar
jumlah responden tertinggi terdapat pada
% dari jumlah
20 tahun berjumlah
% dari jumlah responden keseluruhan), responden yang berusia
% dari jumlah responden keseluruhan),
3% dari jumlah
60 tahun berjumlah 21 orang
% dari jumlah responden keseluruhan). Perbandingan distribusi usia
responden di Kota Bogor pada saat penelitian tahun 2009 dapat dilihat pada
L
P
15-20
21-30
31-40
41-50
51-60
5.3.3. Pendidikan
Tingkat pendidikan responden di Kota Bogor bervariasi, mulai dari yang
hanya lulusan sekolah dasar
memperlihatkan responden dengan tingkat pendidikan
terbesar, yaitu sebanyak
tingkat pendidikan hingga
berpendidikan SMP dan
SD. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan di Kota Bogor cukup baik, karena
sudah banyak sekolah maupun perguruan tinggi yang tersedia. Perbandingan
persentase tingkat pendidik
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Gambar 7. Karakteristik
5.3.4. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan responden cukup bervariasi.
secara acak mulai dari pelajar, PNS,
Mayoritas pekerjaan responden adalah
adalah part timer yang jumlahnya sebanyak
keseluruhan responden. Sebanyak
responden ada yang berprofesi sebagai pegawai swasta, wiraswasta sebanyak
orang responden termasuk di dalamnya adalah pedagang dan pengusaha. Pelajar
57%
Tingkat pendidikan responden di Kota Bogor bervariasi, mulai dari yang
hanya lulusan sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Data yang terkumpul
responden dengan tingkat pendidikan SMA memiliki jumlah
terbesar, yaitu sebanyak 313 orang (57%). Sebanyak 167 orang (30%)
tingkat pendidikan hingga perguruan tinggi, sebanyak 50 responde
berpendidikan SMP dan 21 orang (4%) berpendidikan hanya mencapai jenjang
SD. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan di Kota Bogor cukup baik, karena
sudah banyak sekolah maupun perguruan tinggi yang tersedia. Perbandingan
persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 7.
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan responden cukup bervariasi. Penulis mengambil responden
secara acak mulai dari pelajar, PNS, sopir angkutan umum, hingga wiraswasta.
Mayoritas pekerjaan responden adalah pegawai swasta, termasuk di dalamnya
yang jumlahnya sebanyak 12 orang atau 2% dari jumlah
ruhan responden. Sebanyak 165 responden atau 30% dari keseluruhan
responden ada yang berprofesi sebagai pegawai swasta, wiraswasta sebanyak
orang responden termasuk di dalamnya adalah pedagang dan pengusaha. Pelajar
4%9%
57%
30%
58
Tingkat pendidikan responden di Kota Bogor bervariasi, mulai dari yang
yang terkumpul
memiliki jumlah
(30%) mencapai
responden (9%)
berpendidikan hanya mencapai jenjang
SD. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan di Kota Bogor cukup baik, karena
sudah banyak sekolah maupun perguruan tinggi yang tersedia. Perbandingan
rdasarkan Tingkat Pendidikan
Penulis mengambil responden
wiraswasta.
, termasuk di dalamnya
orang atau 2% dari jumlah
% dari keseluruhan
responden ada yang berprofesi sebagai pegawai swasta, wiraswasta sebanyak 73
orang responden termasuk di dalamnya adalah pedagang dan pengusaha. Pelajar
sd
smp
sma
pt
dan mahasiswa sebanyak 142 responden
Perbandingan persentase jumlah responden pada setiap jenis pekerja
dilihat pada Gambar 8.
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Gambar 8. Karakteristik
5.3.5. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan tertinggi reponden berada pada
1.000.000,00 hingga Rp
atau 42% dari keseluruhan responden. Tingkat pendapatan ini menunju
bahwa kebanyakan responden merupakan pegawai swasta atau buruh yang tingkat
pendapatannya disesuaikan dengan tingkat upah minimum. Beberapa responden
ada pula yang masih memiliki pendapatan di bawah satu juta, yaitu sopir angkutan
umum dan para buruh (2
pendapatannya melebihi level tertinggi yang diajukan (
merupakan para pengusaha
pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar
30%
mahasiswa sebanyak 142 responden juga diikutsertakan dalam penelitian ini.
sentase jumlah responden pada setiap jenis pekerja
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan tertinggi reponden berada pada selang
00,00 hingga Rp 2.000.0000,00 per bulan yaitu sebanyak 231
% dari keseluruhan responden. Tingkat pendapatan ini menunju
bahwa kebanyakan responden merupakan pegawai swasta atau buruh yang tingkat
pendapatannya disesuaikan dengan tingkat upah minimum. Beberapa responden
ada pula yang masih memiliki pendapatan di bawah satu juta, yaitu sopir angkutan
(26% dari keseluruhan responden). Responden yang tingkat
pendapatannya melebihi level tertinggi yang diajukan (>Rp 5.000.000
merupakan para pengusaha, yaitu sebanyak sepuluh responden. Distribusi tingkat
pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar 9.
8%
30%
13% 21%
26%2%
PNS
Pegawai Swasta
Wiraswasta
Sopir
Pelajar/Mahasiswa
Part Timer
59
diikutsertakan dalam penelitian ini.
sentase jumlah responden pada setiap jenis pekerjaan dapat
asarkan Jenis Pekerjaan
selang Rp
responden
% dari keseluruhan responden. Tingkat pendapatan ini menunjukkan
bahwa kebanyakan responden merupakan pegawai swasta atau buruh yang tingkat
pendapatannya disesuaikan dengan tingkat upah minimum. Beberapa responden
ada pula yang masih memiliki pendapatan di bawah satu juta, yaitu sopir angkutan
% dari keseluruhan responden). Responden yang tingkat
Rp 5.000.000,00)
responden. Distribusi tingkat
Pegawai Swasta
Wiraswasta
Pelajar/Mahasiswa
Part Timer
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Gambar 9. Karakteristik
5.3.6. Pengguna Jalan
Para responden yang merupakan pengguna jalan kota
berbagai kendaraan untuk transportasi mereka. Mulai dari menggunakan angkutan
umum seperti angkot, sepeda motor, serta mobil pribadi. Pengguna jalan tertinggi
dari responden ialah sepeda motor
menunjukkan bahwa para pengguna jalan menganggap bahwa dengan
motor, mobilitas mereka dapat berjalan lebih cepat. Persentase jumlah responden
yang diwawancara sebagai pengguna jalan dapat dilihat pada Gambar
Sumber: Data Primer Diolah oleh
Gambar 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Penggunaan Kendaraan
33%
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
Pengguna Jalan
Para responden yang merupakan pengguna jalan kota Bogor menggunakan
berbagai kendaraan untuk transportasi mereka. Mulai dari menggunakan angkutan
umum seperti angkot, sepeda motor, serta mobil pribadi. Pengguna jalan tertinggi
sepeda motor, yaitu 33% dari jumlah responden. Hal ini
nunjukkan bahwa para pengguna jalan menganggap bahwa dengan
, mobilitas mereka dapat berjalan lebih cepat. Persentase jumlah responden
yang diwawancara sebagai pengguna jalan dapat dilihat pada Gambar 10
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Karakteristik Responden Berdasarkan Penggunaan Kendaraan
26%
42%
14%
11%5%2%
30%
16%
21% Mobil Pribadi
Angkot
Sepeda Motor
Penumpang Angkutan Umum
60
Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
Bogor menggunakan
berbagai kendaraan untuk transportasi mereka. Mulai dari menggunakan angkutan
umum seperti angkot, sepeda motor, serta mobil pribadi. Pengguna jalan tertinggi
ponden. Hal ini
nunjukkan bahwa para pengguna jalan menganggap bahwa dengan sepeda
, mobilitas mereka dapat berjalan lebih cepat. Persentase jumlah responden
10.
Karakteristik Responden Berdasarkan Penggunaan Kendaraan
< 1 juta
1-2 juta
2-3 juta
3-4 juta
4-5 juta
> 5 juta
Mobil Pribadi
Angkot
Sepeda Motor
Penumpang Angkutan Umum
61
VI. DAMPAK KEMACETAN TERHADAP SOSIAL EKONOMI PENGGUNA JALAN
6.1. Analisis Dampak Kemacetan terhadap Sosial Ekonomi Pengguna Jalan
Kemacetan lalu lintas telah menjadi fenomena umum di daerah perkotaan.
Beberapa faktor spesifik seperti jumlah penduduk, urbanisasi, penambahan
pemilikan kendaraan, dan penambahan jumlah perjalanan juga turut menambah
masalah kemacetan lalu lintas. Penambahan jumlah penduduk dan urbanisasi
biasanya terjadi di negara yang sedang berkembang.
Perkembangan Kota Bogor yang pesat menyebabkan lebih banyak
penduduk yang datang dan menetap. Hal ini bisa dilihat dengan berkembangnya
jumlah pemukiman penduduk di berbagai wilayah di Kota Bogor. Penduduk ini
memerlukan tempat tinggal yang akan menyebabkan kota menjadi lebih padat.
Mobilitas penduduk meningkatkan kebutuhan akan angkutan umum. Sesuai
dengan peningkatan pendapatan penduduk, pemilikan kendaraan dan jumlah
perjalanan juga akan meningkat sehingga menghasilkan lebih banyak kebutuhan
akan fasilitas dan pelayanan transportasi. Faktor-faktor ini turut pula mempercepat
peningkatan kemacetan lalu lintas di Kota Bogor.
Kemacetan merupakan salah satu indikasi dari ketidakaturan pemanfaatan
atau aturan atas suatu barang publik yang menjadi kebutuhan masyarakat banyak,
misalnya jalan raya. Keberadaan suatu barang publik dimana setiap orang berhak
untuk menggunakan atau mengambil manfaatnya tanpa bisa dilarang oleh
pengguna lainnya. Akhirnya kondisi ini dapat menyebabkan tragedy of common
yaitu penurunan manfaat dari suatu barang publik yang harus ditanggung oleh
62
semuanya akibat dari pemanfaatan seseorang atau kelompok terhadap barang
publik tersebut.
Hasil penelitian terhadap 551 responden di Kota Bogor menunjukkan
bahwa kemacetan merupakan situasi yang sangat merugikan sehingga berdampak
pada sosial ekonomi pengguna jalan itu sendiri. Dampak dari kemacetan berbeda-
beda dari setiap responden yang ditemui. Umumnya, setiap responden yang
pernah mengalami kemacetan, langsung memberikan pernyataan negatif. Dampak
kemacetan terhadap sosial ekonomi pengguna jalan dilihat dari jenis pekerjaan
pengguna jalan tersaji pada Gambar 11.
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Gambar 11. Persepsi Pengguna Jalan Mengenai Dampak KemacetanBerdasarkan Jenis Pekerjaan
Gambar 11 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menyatakan
setuju bahwa kemacetan menguras waktu pengguna jalan dan merasakan dampak
sosial ekonomi yang bersamaan, tidak hanya waktu yang terkuras dan stress tetapi
4334 40 34
0
149
85
116
157
5960
18
36
62
7
90
520
100110
131
90 85
105
00
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Menguras Waktu Mengurangi jam kerja/belajar
Stress Boros Bensin Mengurangi Pendapatan
PNS Pegawai Swasta Pengusaha Sopir angkutan umum Pelajar/Mahasiswa
63
juga meyebabkan boros bensin dan sebagainya. Hilangnya waktu merupakan
opportunity cost yang harus ditanggung pengguna jalan, padahal waktu yang
hilang tersebut dapat digunakan untuk aktivitas lainnya yang dapat mendatangkan
benefit, baik sosial maupun ekonomi bagi pengguna jalan itu sendiri. Responden
yang menyatakan merasakan stress saat terjebak kemacetan adalah sebanyak 473
orang atau 85,8% dari keseluruhan responden. Rincian untuk responden yang
merasakan stress adalah 43 PNS (100% dari jumlah PNS yang menjadi
responden), sebanyak 149 pegawai swasta (84,2% dari jumlah pegawai swasta
yang menjadi responden), dan masing-masing untuk sopir angkutan umum,
pelajar atau mahasiswa, dan pengusaha memiliki persentase sebesar 82,2%,
77,6%, dan 92,3% dari kelompok responden masing-masing.
Hal ini jelas mengindikasikan bahwa sebagian besar pengguna jalan
merasakan stress saat mereka terjebak dalam kemacetan. Kinerja mengendarai
kendaraan menjadi lebih berat saat berada dalam kemacetan karena mereka harus
menggas dan mengerem lebih sering. Selain membuat perjalanan lebih lama
dibandingkan dengan kondisi normal, kemacetan juga membuat badan lelah dan
berdampak pada emosi pengguna jalan sehingga ada dari mereka yang
menggerutu, kesal, marah, dan akhirnya stress.
Dampak lain yang teridentifikasi adalah kemacetan mengurangi jam
belajar atau bekerja. Aktivitas-aktivitas lain yang ditunjang oleh transportasi juga
mengalami dampak yang negatif apabila transportasi mengalami kemacetan,
misalnya saja pendidikan. Kegiatan belajar mengajar akan terganggu dengan
adanya kemacetan. Sebanyak 90 orang responden (63%) atau lebih dari setengah
responden pelajar dan mahasiswa menyatakan bahwa mereka selalu terlambat jika
64
terjebak macet, sehingga terlambat masuk kelas dan kehilangan jam belajar
mereka.
Hal ini tentu sangat merugikan karena pendidikan merupakan suatu hal
yang tak ternilai harganya. Para siswa tentu tidak mau kehilangan jam belajar
mereka di sekolah hanya karena terlambat datang akibat terjebak kemacetan.
Dampak pendidikan ini tidak dapat diukur secara pasti, karena nilai dari aspek
pendidikan itu sendiri memiliki berbagai manfaat yang intangible sehingga
kemacetan itu sendiri secara potensial menurunkan produktivitas dan kualitas
hidup. Begitu pula dengan para pekerja yang harus rela pendapatannya dipotong
karena terlambat.
Dampak kemacetan yang juga signifikan terlihat pada boros bensin.
Hampir seluruh responden setuju bahwa kemacetan hanya membuat boros
konsumsi bensin kendaraan. Diagram pegawai swasta menunjukkan persepsi
tertinggi untuk dampak ini, yaitu sebanyak 157 orang (88,7% dari responden
pegawai swasta). Hal ini dikarenakan sebagian besar pegawai swasta pergi ke
tempat kerja dengan menggunakan kendaraan pribadi sehingga mereka merasakan
benar dampak kemacetan tersebut terhadap konsumsi bensin kendaraan mereka.
Para sopir angkutan umum mengeluhkan pendapatan mereka berkurang
karena sering terjebak kemacetan. Sebanyak 110 orang sopir angkutan umum
yang dipilih sebagai responden (94,8% dari jumlah responden sopir angkutan
umum) menyatakan mereka harus menambah uang bensin agar beroperasi seperti
biasanya atau mereka harus mengurangi operasional rit kendaraan dari yang
biasanya empat atau lima rit menjadi tiga rit.
65
6.2. Perhitungan Pengeluaran Biaya BBM Pengguna Jalan bila Terkena Kemacetan Dibandingkan dengan Tidak Terkena Kemacetan
Kemacetan yang sering terjadi tidak hanya berdampak pada sisi sosial
pengguna jalan saja, namun tentunya pada kendaraan yang digunakan pengguna
jalan. Kemacetan akan mempengaruhi setiap perjalanan, baik perjalanan untuk
bekerja maupun perjalanan bukan untuk bekerja. Hal itu akan mempengaruhi
pergerakan orang dan arus barang. Kendaraan yang melaju pada lalu lintas
normal, tidak terjebak kemacetan, biasanya mengkonsumsi BBM sesuai dengan
efisiensi mesin kendaraan dalam mengkonsumsi BBM. Kendaraan bermotor
biasanya ditunjukkan dengan perbandingan per satu liter bensin dengan jarak yang
dapat ditempuhnya, misalnya konsumsi satu liter bensin untuk delapan kilometer
untuk jenis kendaraan mobil, tetapi efisiensi kendaraan ini juga dipengaruhi oleh
jenis mobil, kapasitas cc mesin, dan merk mobil tersebut.
Kendaraan roda dua seperti sepeda motor, penggunaan bahan bakarnya
lebih efisien daripada mobil. Konsumsi untuk sepeda motor dengan kondisi mesin
normal minimal dapat menempuh 20 km untuk penggunaan satu liter bensin.
Hasil dari penelitian terhadap 551 responden terdapat 254 pengguna mobil, 181
pengguna sepeda motor, dan sisanya sebanyak 116 orang adalah penumpang
angkutan umum. Sebanyak 435 responden pengguna kendaraan mobil dan motor
(responden penumpang angkutan umum tidak masuk dalam perhitungan) dihitung
pengeluaran biaya BBM mereka saat kendaraan melaju dengan normal
dibandingkan dengan saat terjebak kemacetan, dengan menggunakan rumus nilai
tengah contoh maka didapat rata-rata kerugian individu pengguna jalan seperti
yang terlihat pada Tabel 9.
66
Tabel 9. Perhitungan Pengeluaran Rata-Rata Responden untuk Pembelian BBM
Pengeluaran Rata-Rata Mobil (254 unit) Motor (181 unit)
Pengeluaran rata-rata normal per kendaraan Rp 13.933,25 Rp 5.082,87
Pengeluaran rata-rata macet per kendaraan Rp 19.171,12 Rp 7.172,65
Rata-rata kerugian per kendaraan Rp 5.237,87 Rp 2.089.78
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Hasil perhitungan pengeluaran pengguna kendaraan bermotor untuk
pembelian BBM dengan rumus perhitungan rata-rata, dalam kondisi lalu lintas
normal didapat sebesar Rp 13.933,25 per mobil. Namun apabila terjebak
kemacetan maka biaya tersebut meningkat menjadi Rp 19.171,12 per mobil
karena konsumsi BBM menjadi meningkat. Begitu pula pada kendaraan jenis
sepeda motor dimana pengeluaran responden untuk pembelian BBM dalam
kondisi lalu lintas normal didapat sebesar Rp 5.082,87 per motor. Namun apabila
mereka terjebak kemacetan maka biaya tersebut meningkat menjadi Rp 7.172,65.
Meningkatnya pengeluaran ini merupakan kerugian yang harus ditanggung
oleh setiap pengguna kendaraan baik mobil maupun motor. Kerugian yang
ditanggung pengguna jalan adalah selisih antara rata-rata pengeluaran kemacetan
per kendaraan dengan rata-rata pengeluaran normal per kendaraan, yaitu sebesar
Rp 5.237,87 untuk setiap mobil sedangkan motor sebesar Rp 2.098,78, sehingga
total kerugian BBM kendaraan bermotor akibat kemacetan adalah Rp 7.336,65.
Jika nilai tersebut dikalikan dengan jumlah kendaraan bermotor yang
terjebak kemacetan pada salah satu titik kemacetan yang ada di Kota Bogor,
misalnya kemacetan di ruas jalan Mayor Oking-Jembatan Merah-Merdeka pada
peak hours pukul 17.00-21.30 dengan rata-rata volume kendaraan sebanyak 36
unit per menit, maka kerugian BBM akibat kemacetan adalah Rp 71.312.238,00
setiap peak hours. Jumlah kerugian tersebut hanya untuk satu titik kemacetan saja.
67
Namun, bila dikalikan dengan seluruh titik kemacetan di Kota Bogor yang
jumlahnya sekitar 10 titik kemacetan, dengan asumsi bahwa volume kendaraan
pada setiap titik kemacetan sama dengan volume kendaraan di Merdeka, maka
total kerugian BBM akibat kemacetan adalah sebesar Rp 713.122.380,00 per hari.
Berarti potensi ekonomi yang hilang dari penggunan BBM akibat kemacetan di
Kota Bogor mencapai Rp 256.724.056.800,00 per tahun.
Potensi nilai ekonomi yang hilang ini merupakan nilai yang sangat besar
untuk kota yang termasuk daerah sub-urban. Bila Kota Bogor dibandingkan
dengan kota-kota lainnya di Indonesia, misalnya saja Kota Batam, potensi
ekonomi yang hilang ini lebih besar karena Kota Batam yang dikenal sebagai kota
perdagangan yang cukup maju, kerugian BBM akibat kemacetan hanya sebesar
Rp 246 milyar per tahun.8
6.3. Perhitungan Besarnya Pendapatan yang Hilang Akibat Kemacetan
Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak lepas dari peranan sektor
transportasi. Kehadiran sarana tansportasi dalam menunjang berbagai aktivitas
masyarakat, khususnya aktivitas ekonomi telah memberikan berbagai keuntungan
bagi kegiatan ekonomi maupun pelaku kegiatan ekonomi tersebut. Transportasi
membuat distribusi barang serta mobilitas pelaku ekonomi menjadi lebih cepat,
nyaman, dan efisien. Namun, bila terjadi kemacetan dalam transportasi,
dampaknya juga akan turut mempengaruhi aktivitas ekonomi dan produktivitas
masyarakat.
8 Anonim. 2009. Macet, Rugi 246 Milyar. www.batamcyberzone.com. Diakses pada 15 Agustus 2009.
68
Pekerja yang terjebak kemacetan kehilangan jam kerja mereka karena
terlambat menuju tempat kerja, yang pada akhirnya mengurangi pendapatan
mereka pula. Apabila seseorang terlambat masuk kerja, biasanya perusahaan akan
memberikan pemotongan gaji berdasarkan berapa lama seseorang itu terlambat,
karena pendapatan mereka dihitung berdasarkan jam kerja mereka. Para pedagang
atau wiraswasta yang terlambat menuju tempat usaha mereka, menjadi telat
membuka usaha mereka, padahal mungkin saja ada pembeli yang ingin membeli
namun karena masih tutup, mereka urung melakukannya.
Beberapa responden menyatakan pendapatan mereka berkurang karena
seringnya terjadi kemacetan. Pengeluaran yang semakin meningkat untuk
operasional kendaraan mengurangi pendapatan individu. Contohnya para sopir
angkutan umum. Para sopir angkutan umum mengalami penurunan pendapatan
karena mereka harus membeli BBM yang lebih banyak untuk mengoperasikan
kendaraan mereka. Misalnya, untuk lima rit operasi biasanya hanya 20 liter bensin
atau setara Rp 90.000,00. Namun karena sering terkena macet, mereka harus
menambah 5 liter lagi atau mereka harus mengurangi operasional kendaraan
mereka, dari yang seharusnya 5 rit sehari bisa menjadi 4 rit sehari dimana kedua
tindakan tersebut mengurangi pendapatan mereka.
Berikut adalah perhitungan terhadap 328 responden pengguna kendaraan
bermotor (209 pengguna mobil dan 119 pengguna sepeda motor) dan 38
penumpang angkutan umum yang pendapatannya hilang akibat keterlambatan
masuk kerja, dengan asumsi bahwa PNS dan pelajar atau mahasiswa tidak masuk
dalam perhitungan karena walau terjebak kemacetan karena keterlambatan tidak
mempengaruhi pendapatan mereka, seperti yang terlihat pada Tabel 10.
69
Tabel 10. Perhitungan Pendapatan Pengguna Jalan yang HilangMobil Motor Penumpang angkutan umum
Total durasi kemacetan (menit) 18.280 4.625 11910
Jumlah responden 209 119 38
Rata-rata durasi kemacetan (menit) 87,46 38,87 31,34
UMR Kota Bogor tahun 2008 Rp 830.000,00
Jam kerja 1 bulan (24 hari x 8 jam) 192 jam
Pendapatan (UMR : jam kerja) Rp 4.323,00 per jam (Rp 72,05 per menit)
Pendapatan yang hilang (Rp) 6.301,49 2.800,58 2.254,05
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Data yang diperoleh dari 366 responden mengenai rata-rata durasi
kemacetan yang dialami pengguna jalan adalah 87,46 menit untuk mobil,
pengguna sepeda motor berdurasi 38,87 menit, dan penumpang angkutan umum
berdurasi 31,34 menit. Upah minimum regional (UMR) Kota Bogor yang sebesar
Rp 830.000,00 digunakan sebagai dasar pendapatan terendah yang dapat dijadikan
sebagai dasar perhitungan agregat secara regional. Apabila jam kerja seseorang
dalam satu bulan (24 hari kerja, delapan jam per hari) adalah 192 jam, maka
pendapatan satu jam kerja seseorang adalah Rp 4.323,00 sehingga pendapatan
pengguna jalan yang hilang jika terjebak kemacetan untuk pengendara mobil
adalah Rp 6.301,00, pengguna sepeda motor adalah Rp 2.800,58, sedangkan
pengguna angkutan umum sebesar Rp 2.254,05. Sehingga total pendapatan yang
hilang dari seluruh pengguna jalan akibat kemacetan adalah Rp 11.356,12. Jika
nilai tersebut dikalikan dengan jumlah angkatan kerja di Kota Bogor pada tahun
2008 yang berjumlah sekitar 649.634 jiwa, maka kerugian hilangnya pendapatan
akibat kemacetan mencapai Rp 7.377.321.660,00 setiap harinya.
Hilangnya potensi ekonomi ini merupakan nilai yang tidak pernah
diketahui masyarakat sebelumnya. Oleh karena itu, dengan adanya penelitian ini
70
setidaknya masyarakat bisa mengetahui kerugian nominal yang hilang dari
pendapatan mereka jika mereka selalu terjebak dalam kemacetan sehingga
masyarakat bisa mengeliminir waktu mereka yang terbuang agar tidak hilang
akibat kemacetan. Bagi pemerintah Kota Bogor sendiri, potensi ekonomi ini
menghilangkan pemasukan mereka dari sektor pajak penghasilan penduduknya.
VII. ANALISIS PENGGUNA JALAN
7.1 Willingness to Accept
Analisis WTA
dilakukan dengan cara menanyakan kepada
kesediaan mereka untuk
tanggung akibat kemacetan yang terjadi
bersedia pengguna jalan
kemacetan di Kota Bogor
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Gambar 12. Distribusi Pilihan Bersedia dan Tidak Bersedia Mengungkapkan Kerugian Akibat
Berdasarkan hasil wawancara dengan 551 orang responden, sebanyak 533
orang diantaranya menyatakan bersedia
sedangkan 18 lainnya menyatakan tidak bersedia. Jumla
bersedia mengeluarkan nilai WTA diidentifikasi sebagai penawaran sanggahan.
Alasan responden tidak
pada Tabel 11.
ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT (WTA) PENGGUNA JALAN TERHADAP KEMACETAN
Accept (WTA) Pengguna Jalan terhadap Kemacetan
pengguna jalan terhadap kemacetan di Kota Bogor
dilakukan dengan cara menanyakan kepada 551 orang responden mengenai
kesediaan mereka untuk mengungkapkan kerugian atas kemacetan yang mereka
tanggung akibat kemacetan yang terjadi. Distribusi pilihan bersedia dan tidak
gguna jalan yang mengekspresikan kerugian mereka akibat
di Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 12.
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Distribusi Pilihan Bersedia dan Tidak Bersedia Pengguna Jalan Mengungkapkan Kerugian Akibat Kemacetan
Berdasarkan hasil wawancara dengan 551 orang responden, sebanyak 533
orang diantaranya menyatakan bersedia mengungkapkan nilai kerugian mereka
nnya menyatakan tidak bersedia. Jumlah responden yang tidak
bersedia mengeluarkan nilai WTA diidentifikasi sebagai penawaran sanggahan.
tidak bersedia mengeluarkan nilai WTA mereka dapat dilihat
97%
3%
Bersedia
Tidak bersedia
71
(WTA) TERHADAP KEMACETAN
Kemacetan
kemacetan di Kota Bogor
orang responden mengenai
atas kemacetan yang mereka
. Distribusi pilihan bersedia dan tidak
yang mengekspresikan kerugian mereka akibat
Pengguna Jalan
Berdasarkan hasil wawancara dengan 551 orang responden, sebanyak 533
mengungkapkan nilai kerugian mereka
h responden yang tidak
bersedia mengeluarkan nilai WTA diidentifikasi sebagai penawaran sanggahan.
dapat dilihat
Bersedia
Tidak bersedia
72
Tabel 11. Alasan Ketidaksediaan Responden Mengungkapkan Nilai Kerugian Akibat Kemacetan
Alasan Frekuensi (orang) Persentase (%)Tidak Peduli 2 11,10Tidak Perlu 5 27,80Tidak Dapat Dinilai dengan Uang 11 61,10
Jumlah 18 100,00Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Penjelasan dari Tabel 11 adalah bahwa alasan ketidaksediaan responden
mengungkapkan nilai kerugian mereka adalah didasari oleh persepsi mereka
terhadap kerugian akibat kemacetan. Sebanyak dua responden menyatakan bahwa
mereka tidak peduli dengan kerugian yang mereka tanggung akibat kemacetan.
Lima responden menyatakan kompensasi tidak perlu dilakukan karena menurut
mereka kerugian tersebut tidak perlu dikonversikan dalam nilai nominal.
Sedangkan 11 reponden sisanya menyatakan bahwa kerugian yang mereka
tanggung akibat kemacetan seperti hilangnya waktu, stress, dan sebagainya tidak
bisa dinilai dengan uang atau kerugian mereka sangatlah besar sehingga mereka
tidak bisa mengungkapkan besarnya kerugian mereka dalam bentuk nominal
uang.
7.2. Analisis Willingness to Accept (WTA) dengan Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM)
Analisis Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan di Kota Bogor
dilakukan dengan cara menanyakan kepada 551 responden mengenai besarnya
kompensasi yang bersedia mereka terima atas dampak kemacetan yang mereka
alami, dimana WTA mencerminkan nilai kerugian individu pengguna jalan.
Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) dalam penelitian ini digunakan
untuk menganalisis WTA tersebut. Hasil pelaksanaan enam langkah kerja dalam
pendekatan CVM adalah sebagai berikut:
73
1. Membangun Pasar Hipotetis (Setting Up The Hypothetical Market)
Responden diberikan informasi bahwa pemerintah Kota Bogor akan
memberlakukan suatu kebijakan baru dalam manajemen transportasi darat
dengan tujuan untuk memperbaiki mekanisme lalu lintas di lapangan. Adapun
kebijakan itu adalah pemberian kompensasi terhadap kendaraan yang terkena
kemacetan, karena kemacetan yang terjadi tidak dapat terhindarkan. Setiap
responden akan dinilai kompensasi yang diterimanya atas kemacetan yang
terjadi. Kompensasi tersebut adalah biaya pengganti dari kerugian yang
mereka rasakan akibat terjadinya kemacetan. Kompensasi ini mencerminkan
besarnya nilai kerugian individu pengguna jalan.
2. Memperoleh Nilai WTA (Obtaining Bids)
Berdasarkan pertanyaan yang ditawarkan dalam kuisioner melalui metode
open-ended question, maka diperoleh nilai dana kompensasi yang bersedia
diterima pengguna jalan bila terjebak kemacetan. Hasil perhitungan statistik
memperoleh nilai median WTA responden sebesar Rp 10.000,00. Nilai
tersebut merupakan median dari seluruh responden. Selain itu, pengolahan
data statistik juga menunjukkan standar deviasi WTA responden sebesar
5838.436.
3. Menghitung Dugaan Nilai Rata-Rata WTA (Estimating Mean WTA)
Pasar hipotetis yang dibuat dan dalam pelaksanaan penelitian hipotesis
tersebut dijelaskan kepada responden, maka akan didapat nilai penawaran atau
lelang (bids). Nilai penawaran inilah yang akan menjadi dasar penentuan nilai
rataan WTA. Nilai rataan WTA didasarkan pada nilai rataan (mean) dari
74
distribusi besaran WTA responden. Data distribusi besaran WTA responden
disajikan pada Tabel 12.
Tabel 11. Distribusi Besaran WTA Pengguna Jalan
Mobil Motor Penumpang Angkutan Umum
Σ WTA (Rp) 3.202.000 1.271.500 580.000
Frekuensi (orang) 247 175 111
Rata-Rata WTA (Rp) 12.963,56 7.265,71 5.225,23Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Dugaan nilai WTA responden berdasarkan data WTA yang diekspresikan 533
responden (sebanyak 18 responden tidak mengekspresikan WTA mereka,
sehingga tidak masuk dalam perhitungan) menghasilkan nilai rata-rata WTA
pengguna jalan sebesar Rp 12.963,56 untuk mobil, Rp 7.265,71 untuk motor,
dan Rp 5.225,23 untuk penumpang angkutan umum. Nilai tersebut
mencerminkan besarnya kerugian setiap individu pengguna jalan yang terkena
kemacetan.
4. Menduga Bid Curve
Kurva lelang (Bid Curve) WTA dapat dibentuk dengan beberapa cara, salah
satu cara untuk membuat kurva lelang (Bid Curve) WTA adalah dengan cara
menggunakan jumlah kumulatif dari jumlah individu yang menjawab suatu
nilai WTA. Asumsi dari cara ini adalah individu yang bersedia menerima
suatu nilai WTA tertentu akan bersedia pula menerima suatu nilai WTA yang
lebih besar, jumlah kumulatif tersebut akan semakin banyak dan sejajar
dengan semakin meningkatnya nilai WTA. Sehingga dengan cara ini, kurva
lelang (Bid Curve) WTA dari pengguna jalan apabila terjadi kemacetan dapat
tergambar pada Gambar 13.
75
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
Gambar 13. Dugaan Bid Curve WTA Pengguna Jalan terhadap Kemacetan
5. Menentukan Total WTA (Agregating Data)
Hasil perhitungan distribusi besaran WTA dapat dilihat pada Tabel 12.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai rata-rata WTA setiap pengguna
jalan untuk kategori pengguna mobil sebesar Rp 12.963,56, pengguna sepeda
motor Rp 7.265,71, dan penumpang angkutan umum Rp 5.225,23. Jika setiap
nilai WTA tersebut dikalikan dengan jumlah penduduk Kota Bogor pada
tahun 2006 yaitu sebanyak 879.138 jiwa, dengan asumsi bahwa setiap
penduduk adalah juga sebagai pengguna jalan, maka total nilai WTA Kota
Bogor yang tercermin sebagai kerugian pengguna jalan untuk pengguna mobil
(49.540 pemilik mobil) adalah Rp 642.214.762,40, pengguna motor (117.450
pemilik motor) Rp 853.357.639,50, dan penumpang angkutan umum (712.148
pengguna angkutan umum) Rp 3.721.137.094,00. Sehingga total WTA
pengguna jalan di Kota Bogor adalah Rp 5.216.709.496,00. Nilai tersebut
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh pemerintah Kota Bogor
dalam pengambilan kebijakan untuk mengurangi kemacetan yang ada.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Besar WTA(Rp) 2000 4000 4500 5000 6000 7000 9000 1000 1500 2000 2100 2300 2500 3000
Frekuensi (orang) 2 1 4 179 1 1 1 183 58 93 1 1 3 5
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
76
6. Evaluasi Pelaksanaan CVM
Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, diperoleh nilai R2 = 19.9%.
Penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir
nilai R2 sampai dengan 15%, oleh karena itu hasil pelaksanaan CVM dalam
penelitian ini masih dapat diyakini kebenarannya atau keandalannya
(reliable).
7.3. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTA PenggunaJalan
Fungsi Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan di Kota Bogor
diamati dengan memasukkan delapan variabel bebas (independent variable) yang
diduga mempengaruhi Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan sebagai
variabel tak bebas (dependent variable). Delapan variabel tersebut adalah
pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan, umur, frekuensi terkena kemacetan,
durasi terkena kemacetan, jarak tujuan perjalanan, dan kategori pengguna jalan.
Model fungsi Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan di Kota Bogor
dibangun dengan analisis regresi berganda.
Hasil pengolahan nilai WTA responden diperoleh bahwa model yang
dihasilkan dalam penelitian ini tergolong baik karena nilai R2 yang dihasilkan
bernilai 19,9%. Nilai tersebut mengartikan bahwa keragaman WTA responden
sebesar 19,9% dapat dijelaskan oleh model, sedangkan sisanya sebesar 80,1%
dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Hasil estimasi parameter model fungsi
Willingness to Accept (WTA) pengguna jalan di Kota Bogor dapat dilihat pada
Tabel 13.
77
Tabel 12. Hasil Analisis WTA Responden
Sumber: Data Primer Diolah oleh Penulis Tahun 2009
* pada tingkat kepercayaan 99%
** pada tingkat kepercayaan 95%
Secara serentak, variabel-variabel bebas berpengaruh nyata terhadap model.
Model yang dihasilkan juga telah diuji multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan
autokorelasi. Hasil dari uji tersebut adalah sebagai berikut:
1. Uji Keandalan
Uji ini dilakukan dalam evaluasi pelaksanaan CVM dimana berdasarkan hasil
analisis regresi berganda, diperoleh nilai R2 sebesar 19.9% dimana P-value <
0.15 tolak Ho
H0: Model tidak berpengaruh terhadap respon (WTA)
H1: Model berpengaruh terhadap respon (WTA)
2. Uji Heteroskedastisitas
Uji heterokedastisitas dilakukan dengan Uji Bartlett (Bartlett test). Hasil uji
kehomogenan raga ini menghasilkan T statistic sebesar 17,3 dan p-value =
0,241, dengan membuat hipotesis:
Variabel Koefisien SE Coef T p-value VIF
C 9171 2399 3.82 0.000Pendidikan 1065,3 345.2 3.09 0.002* 1.2Pendapatan 1070.1 273.5 3.91 0.000* 2.1Jenis Pekerjaan -705.3 219.2 -3.22 0.001* 1.7Umur -112.72 32.41 -3.48 0.001* 2.1Frekuensi Terkena Kemacetan
166.5 212.8 0.78 0.434 1.4
Durasi Terkena Kemacetan 640.5 210.8 3.04 0.002* 1.3Jarak Tujuan Perjalanan 466.5 182.5 2.56 0.011** 1.3Kategori Pengguna Jalan -673.0 253.0 -2.66 0.008* 1.5
R-Sq 19,9
R-Sq(adj) 18,7
S.E. Regression 5263.67
Sum Squared Resid 14518078525
Durbin-Watson Stat 1.88883
78
Ho:homoskedastisitas
H1:heteroskedastisitas
maka, p-value > taraf nyata (1%) terima Ho. Hasil uji heteroskedastisitas
dapat dilihat pada Lampiran 3.
3. Uji Autokorelasi
Uji ini dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya korelasi antara serangkaian
data menurut waktu (time series) atau menurut ruang (time section).
Pendeteksian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan Runs Test dimana
p-value yang didapat sebesar 0,022 yang pada taraf nyata 1% dimana p-value
> taraf nyata, sehingga tidak ada autokorelasi
4. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat Variance Inflation Factor
(VIF). Jika VIF lebih besar dari 10 maka dapat dinyatakan terdapat
multikoliniearitas. Besarnya nilai VIF antar peubah bebas dapat dilihat pada
Tabel 12. Nilai VIF setiap variabel bebas pada Tabel 13 bernilai kurang dari
10. Hal ini mengindikasikan seluruh variabel terbebas dari terjadinya
multikolinearitas.
Model yang didapat untuk menerangkan fungsi Willingness to Accept
(WTA) pengguna jalan di Kota Bogor adalah model yang memenuhi kriteria
secara ekonomi, statistika, dan ekonometrika. Berdasarkan hal tersebut maka
model terbaik yang dihasilkan dalam analisis ini adalah:
WTA = 9171 + 1065,3 Pedidikan + 1070,1 Pendapatan – 705,3 Jenis
Pekerjaan – 112,72 Umur + 166,5 Frekuensi Terkena Kemacetan +
640,5 Durasi Terkena Kemacetan + 466,5 Jarak Tujuan Perjalanan -
673 Pengguna
79
Variabel bebas yang mempengaruhi model pada tingkat kepercayaan 99% adalah
variabel pendidikan, pendapatan, jenis pekerjaan, umur, durasi terkena kemacetan,
dan kategori pengguna jalan. Sedangkan jarak tujuan perjalanan berpengaruh
nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Adapun variabel-variabel tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pendidikan
Variabel pendidikan memiliki nilai p-value sebesar 0,002 yang artinya bahwa
variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf α =
1%. Nilai koefisien pendidikan sebesar 1065,3 yang bertanda positif (+)
mengartikan bahwa jika tingkat pendidikan responden semakin tinggi atau
meningkat sebesar satu satuan, maka nilai WTA yang diberikan semakin
tinggi pula atau naik sebesar Rp 1.065,3. Hal ini dapat disebabkan bahwa pola
pikir dengan pendidikan yang lebih tinggi akan lebih menganggap bahwa
kemacetan bukan hanya merupakan kerugian waktu semata melainkan
nilainya lebih tinggi akibat hilangnya opportunity cost dari waktu.
2. Pendapatan
Pendapatan responden adalah pendapatan yang diterima dalam waktu satu
bulan yang terdiri dari penghasilan tetap. Variabel tingkat pendapatan
memiliki nilai p-value sebesar 0,000 yang artinya bahwa variabel ini
berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf α = 1%. Nilai
koefisien pendapatan sebesar 1070,1 yang bertanda positif (+) mengartikan
bahwa jika tingkat pendapatan responden semakin tinggi atau meningkat
sebesar satu satuan, maka nilai WTA yang diberikan semakin meningkat pula
atau naik sebesar Rp 1.070,1. Hal ini dapat terjadi bila responden kehilangan
80
waktunya untuk bekerja karena terjebak kemacetan, sehingga akan kehilangan
jam kerja mereka dan akhirnya pendapatannya juga akan hilang. Jumlah
kehilangan pendapatan akan semakin besar seiring semakin lamanya mereka
terjebak dalam kemacetan. Nilai kompensasi tersebut harus menyesuaikan
dengan pendapatannya yang semakin banyak hilang.
3. Pekerjaan
Variabel jenis pekerjaan yang juga berpengaruh nyata pada taraf α = 1%,
dimana variabel ini memiliki nilai p-value sebesar 0,001. Variabel kategori
pengguna jalan memiliki nilai koefisien sebesar 705,3 dan bertanda negatif (-)
yang artinya semakin variatif jenis pekerjaan pengguna jalan yang terjebak
kemacetan atau variasi jenis pekerjaan naik sebesar satu satuan, maka nilai
WTA yang diekspresikan akan semakin rendah atau turun sebesar Rp 705,3.
Hal ini mungkin dipengaruhi bahwa kemacetan yang diisi dengan variasi jenis
pekerjaan pengguna jalan yang lebih banyak membuat responden memberikan
nilai yang semakin kecil dibandingkan bila kemacetan tersebut hanya dialami
oleh pengguna dengan jenis pekerjaan tertentu saja, dimana jenis pekerjaan
tertentu ini biasanya cenderung mengarah ke nilai yang lebih besar.
4. Umur
Variabel umur responden juga berpengaruh nyata pada taraf α = 1%, dimana
variabel ini memiliki nilai p-value sebesar 0,001. Variabel umur memiliki nilai
koefisien sebesar 112,72 dan bertanda negatif (-) yang artinya semakin tua
umur pengguna jalan atau umurnya meningkat sebesar satu satuan, maka
responden tersebut akan memberikan nilai WTA yang semakin rendah atau
menurun sebesar Rp 112,72. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh pola pemikiran
81
responden yang semakin dewasa, dimana saat mereka mengekspresikan nilai
kerugian mereka, terlebih dahulu mereka mengkalkulasikannya sehingga nilai
WTA yang ekspresikan tidak sembarangan. Berbeda dengan responden remaja
yang langsung mengeluarkan nilai WTA mereka secara spontan yang
umumnya lebih besar dari responden dewasa.
5. Durasi Terkena Kemacetan
Variabel rata-rata durasi terkena kemacetan berpengaruh nyata karena
memiliki p-value sebesar 0,002. Nilai koefisien sebesar 640,5 dan bertanda
positif (+) pada variabel ini mengindikasikan bahwa semakin lama seseorang
terkena kemacetan atau durasi kemacetannya meningkat sebesar satu satuan,
maka responden tersebut akan memberikan nilai WTA yang semakin tinggi
atau meningkat sebesar Rp 640,5. Hal ini karena semakin lama seseorang
terjebak dalam kemacetan, maka waktu yang ia miliki semakin banyak yang
terbuang sehingga menyebabkan semakin banyak pula opportunity cost yang
hilang. Semakin banyak benefit yang hilang, maka nilai kesediaan menerima
kompensasi akan semakin besar pula.
6. Pengguna Jalan
Variabel lain yang juga berpengaruh nyata pada taraf α = 1% adalah kategori
pengguna jalan, dimana variabel ini memiliki nilai p-value sebesar 0,008.
Variabel kategori pengguna jalan memiliki nilai koefisien sebesar 673 dan
bertanda negatif (-) yang artinya semakin variatif jenis pengguna jalan atau
variasinya naik sebesar satu satuan, maka responden tersebut akan
memberikan nilai WTA yang semakin rendah atau turun sebesar Rp 673,00.
Hal ini mungkin dipengaruhi oleh berbagai jenis kendaraan yang mereka
82
gunakan. Artinya jika kemacetan dialami oleh berbagai jenis kendaraan, maka
nilai WTA yang diberikan akan cenderung menurun dibandingkan bila
kemacetan tersebut hanya dialami oleh jenis pengguna jalan tertentu saja
misalnya mobil saja atau motor saja.
7. Jarak Tujuan Perjalanan
Variabel jarak lokasi tujuan perjalanan memiliki nilai p-value sebesar 0,011
yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA
responden pada taraf α = 5%. Nilai koefisien sebesar 466,5 dan bertanda
positif (+) berarti bahwa jika jarak tujuan perjalanan responden semakin jauh
atau meningkat sebesar satu satuan, maka responden tersebut akan
memberikan nilai WTA yang lebih tinggi atau naik sebesar Rp 466,5. Hal ini
dapat jelas terlihat bahwa dengan jarak lokasi yang ia tempuh dengan kondisi
normal, ia bisa mencapai tujuan dengan cepat. Namun bila terjebak macet,
dengan lokasi yang sama, perjalanan mereka akan semakin lama dan
memakan biaya yang lebih besar pula. Sehingga opportunity cost yang harus
diganti juga semakin besar.
Adapun salah satu variabel yang tidak berpengaruh secara nyata pada
batas toleransi kepercayaan sebesar 20%, yaitu frekuensi terkena kemacetan.
Variabel ini memiliki nilai p-value sebesar 0,434 yang artinya nilai ini lebih besar
dari 0,20. Hal ini mungkin disebabkan pengguna jalan yang sering melewati titik
kemacetan dapat mencari jalan alternatif lain yang frekuensi kemacetannya lebih
sedikit untuk menghindari kemacetan agar lebih cepat mencapai tujuan, sehingga
variabel ini tidak berpengaruh terhadap model.
83
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
1. Kemacetan mengakibatkan pengguna jalan merasakan stress, waktu terbuang,
mengurangi jam belajar atau jam kerja, pemborosan bensin, dan hilangnya
pendapatan.
2. Pengeluaran pembelian BBM dalam kondisi lalu lintas normal untuk
pengguna mobil adalah sebesar Rp 13.933,25 sedangkan motor Rp 5.082,87.
Namun apabila mereka terjebak kemacetan maka biaya tersebut meningkat
menjadi sebesar Rp 19.171,12 per mobil dan Rp 7.172,65 per motor. Kerugian
yang ditanggung adalah sebesar Rp 5.237,87 per mobil dan Rp 2.098,78 per
motor. Potensi ekonomi BBM yang hilang akibat kemacetan yang ditanggung
Kota Bogor setiap tahunnya mencapai Rp 256.724.056.800,00.
3. Pendapatan yang hilang akibat kemacetan untuk pengendara mobil adalah
sebesar Rp 6.301,00, pengguna sepeda motor Rp 2.800,58, sedangkan
pengguna angkutan umum Rp 2.254,05 setiap harinya. Total pendapatan yang
hilang dari pengguna jalan adalah Rp 11.356,12. Total hilangnya pendapatan
akibat kemacetan di Kota Bogor adalah Rp 7.377.321.660,00 per hari.
4. Nilai rata-rata WTA yang diekspresikan responden untuk pengguna mobil
sebesar Rp 12.963,56, pengguna sepeda motor Rp 7.265,71, dan penumpang
angkutan umum Rp 5.225,23. Variabel-variabel yang mempengaruhi besarnya
nilai WTA pengguna jalan secara signifikan adalah variabel pendidikan,
pendapatan, jenis pekerjaan, umur, durasi terkena kemacetan, jarak tujuan
perjalanan, dan kategori pengguna jalan.
84
8.2. Saran
1. Peningkatan sarana dan prasarana jalan raya serta transit serta perawatan jalan
agar mengurangi kemacetan dengan cara memperlebar jalan, menambah lajur
lalu lintas, dan membuat separator atau marka jalan.
2. Pengurangan jumlah angkot dengan cara pembatasan umur angkot dan tidak
ada peremajaan angkot sehingga trayek angkot dapat dibekukan agar jumlah
angkot dapat berkurang.
3. Mengembangkan transportasi publik, sehingga transportasi massal yang lebih
penting untuk mengangkut penumpang secara massal dapat bergerak secara
efektif sementara penggunaan kendaraan pribadi bisa digeser.
4. Perlu lebih banyak lagi penelitian mengenai dampak kemacetan baik terhadap
masyarakat maupun terhadap lingkungan agar masyarakat dapat menyadari
dan mengubah pemakaian kendaraan agar lebih efisien serta mengambil peran
dalam mengurangi kemacetan yang ada.
85
IX. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Dinamika Pertumbuhan Perkotaan. www.bps.com. Diakses pada Selasa, 3 Februari 2009.
_______. 2009. Kendaraan Berplat Non-F Marak di Bogor. drtlh.bogorkab.go.id. Diakses pada Minggu, 8 Februari 2009.
_______. 2009. Macet, Rugi 246 Milyar. www.batamcyberzone.com. Diakses
pada 15 Agustus 2009.
_______.2009. Pengelolaan Sistem Transportasi Kota. www.scribd.com. go.id/ contents/th_2008.htm. Diakses pada Selasa, 3 Februari 2009.
_______. 2009. Pertumbuhan Kendaraan di Kota Bogor. www.bogornews.com. viewarticle&artid=97. Diakses pada Selasa, 27 Februari 2009.
Astati, Ni Ketut Sri. 1998. Perhitungan Biaya Kemacetan Di Kawasan Pengendalian Lalu Lintas Di Kawasan DKI Jakarta. Tesis. Program Pascasarjana Bidang Ilmu Teknik Program Studi Teknik Sipil. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia, Jakarta.
Ayu, Evry Rhamadhani. 2004. Willingnes To Pay Masyarakat Terhadap Perbaikan Ekosistem Hutan Mangrove Muara Angke Jakarta Utara Melalui Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) Dengan Analisis Regresi Logit. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian Dan Sumberdaya. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Biro Pusat Statistik 2008. ‘Bogor Dalam Angka 2008’. BPS, Kota Bogor.
Biro Pusat Statistik 2008. ‘Indonesia Dalam Angka 2007’. BPS, Kota Bogor
Biro Pusat Statistik 2005. ‘Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Kor Tahun 2004’. BPS, Jakarta.
Chaeriawati, 2004. Analisis Permintaan Angkutan Kota serta Kaitannya Terhadap Tata Ruang Wilayah Kotamadya Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
86
Direktorat Jendral Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri. 1999. Perencanaan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Departemen Dalam Negeri,Jakarta.
Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pustaka Gramedia Utama, Jakarta.
Field, B.C. 1994. Environmental Economics: An introduction. McGraw-Hill Book Co, USA.
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometric 4th ed. Mc Graw Hill-Irvine New York, USA.
Hafkamp, Wilhelmus A. 1984. Economic-Environmental Modeling in a National Regional Sistem: An Operational with Multi-Layer Projection. Elsevier Science Publisher B. V, Amsterdam.
Hanley, N dan C. L. Spash. 1993. Cost-Benefit Analysis and Environment. Edward Elgar Publishing Limited, England.
Lating, Abidin. 1997. Sumberdaya Alam dan Pembangunan Ekonomi. PT. Danar Wijaya, Semarang.
Mangkoesoebroto, G. 1997. Ekonomi Publik. Gajah Mada University Press,Yogyakarta.
Marito, Vininta Harianja. 2006. Analisis Willingness To Accept Masyarakat Terhadap Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantardebang Dengan Pendekatan Contingent Valuation Method. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian Dan Sumberdaya. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Maynard M. Huftschmidt, David James, Anton D. Meister, Blair T. Bower, JohnDixon. 1983. Environment, Natural Sistems, and Development: An Economic Valuation Guide. The John Hopkins University Press. Baltimore.
Mitchell, Robert Cameron, dan Richard T. Carson. 1989. Using Surveys to Value Public Goods: The Contingent Valuation Method. Resources for The Future, Washington D. C.
Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 3. The World Bank, Washington DC.
Pangaribuan, Gerhard P. 2005. Perhitungan Perbedaan Biaya Kemacetan Pada Sekitar Wilayah Pengendalian Lalu Lintas. Tesis. Program Pascasarjana Bidang Ilmu Teknik Program Studi Teknik Sipil. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia, Jakarta.
87
Ramanathan. 1997. Introductory Econometrics with Application. The Dryden Press, New York.
Rosen, Harvey S. dan Michael L. Katz. 1998. Microeconomics. McGraw-Hill Book Co, USA.
Setyono, Budi. 1991. Kuantifikasi Kemacetan Lalu Lintas Pada Beberapa Koridor Padat Di Jakarta. Skripsi. Program Studi Transportasi Jurusan Sipil. Fakultas Teknik. Universitas Indonesia, Jakarta.
Silalahi, Ahmad D. 2001. Kajian Pendapatan Usaha Transportasi Angkutan Kota Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suparmoko dan Maria R. Suparmoko. Ekonomika Lingkungan. 2000, BPFE Yogyakarta. Hal. 101-132.
Suparmoko, M. 2002. Penilaian Ekonomi: Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Konsep dan Metode Penghitungan). LPPEM Wacana Mulia, Jakarta.
Tietenberg, T. 1995. Environmental and Natural Resources Economics. HarperCollins Publishers, Inc, New York.
Walpole, R. E. 1982. Pengantar Statistika. Bambang Sumantri (Penerjemah). Terjemahan dari: Introduction to Statistics. Gramedia pustaka utama, Jakarta.
Widayanto, I. 2001. Analisis Kebijakan Memperbaiki Kualitas Air Brantas Dengan Menggunakan Metode Contingent Valuation. Tesis. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia, Jakarta.
Wikipedia. 2000. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas: Kemacetan. www.wikipedia.com. Rabu, 4 Februari 2009 pukul 22.55 WIB
Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan: Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Akademia Presindo, Jakarta.
88
LAMPIRAN
89
Lampiran 1.
Gambar. Peta Lokasi Penelitian
1
Lampiran 2. Kuisioner Penelitian
KUISIONER DAMPAK KEMACETAN
ANALISIS DAMPAK KEMACETAN LALU LINTAS TERHADAP SOSIAL EKONOMI PENGGUNA JALAN MELALUI PENDEKATAN
CONTINGENT VALUATION METHOD (CVM)(Studi Kasus : Kota Bogor, Jawa Barat)
Terima kasih atas partisipasi Anda untuk menjadi salah satu responden dalam pengisian kuisioner ini. Kuisioner ini merupakan instrumen penelitian yang dilakukan oleh :
Peneliti/NIM : Rendy Dwi Sapta/ H44052626Departemen : Ekonomi Sumberdaya dan LingkunganFakultas : Ekonomi dan ManajemenUniversitas : Institut Pertanian BogorUntuk memenuhi tugas penyelesaian Skripsi Program Sarjana. Saya sangat menghargai
kejujuran Anda dalam mengisi kuisioner ini dan menjamin kerahasiaan Anda. Atas kerjasamanya, saya ucapkan terima kasih
PENILAIAN TERHADAP KEMACETAN
1. Apakah anda sering terjebak kemacetan ?a. Tidak pernah b. Jarang c. Kadang-kadang d. Selalu e. Sering
2. Berapa kali anda terkena macet saat menuju tempat tujuan ?a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. 4 kali e. 5 kali
3. Berapa lama biasanya anda terkena kemacetan ?a. 5 menit b. 15 menit c.10 menit d. 20 menit e. >20 menit (sebutkan)……menit
4. Waktu tempuh dari daerah asal ke tempat tujuan saat lalu lintas normal ? Sebutkan! (perkiraan dalam menit atau jam) …..
5. Jarak tempuh dari daerah asal ke tempat tujuan ?(Sebutkan!)
6. Seberapa sering anda melewati jalan yang terjadi kemacetan?a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang d. Jarang e. Tidak pernah
7. Perasaan yang anda rasakan saat terjadi kemacetan ?a. Stress b. Biasa saja c. Diam saja d. Tidak peduli e. Senang/bahagia
8. Dampak lain yang anda tanggung karena terjadi kemacetan (jawaban boleh lebih dari satu) ?a. Boros bensin c. Waktu terbuangb. Biaya perawatan mobil meningkat d. Kesehatan menurun/sakit
9. Berapa biaya yang anda keluarkan jika lalu lintas lancar ? (Biaya dari asal ke tujuan boleh dalam bentuk uang atau liter bensin)
10.Berapa biaya yang anda keluarkan jika terjadi kemacetan ? (Biaya dari asal ke tujuan boleh dalam bentuk uang atau liter bensin)
2
SKENARIO
JIKA PEMERINTAH KOTA BOGOR MEMBERLAKUKAN SUATU KEBIJAKAN BARU DALAM MANAJEMEN TRANSPORTASI DARAT DENGAN TUJUAN UNTUK MEMPERBAIKI MEKANISME LALU LINTAS DI LAPANGAN. ADAPUN KEBIJAKAN ITU ADALAH PEMBERIAN KOMPENSASI TERHADAP KENDARAAN YANG TERKENA KEMACETAN.
INFORMASI TENTANG KESEDIAAN MENERIMA KOMPENSASI
1. Apakah anda setuju jika kemacetan merupakan situasi yang merugikan?a. Sangat setuju b. Setuju c. Kurang setuju d. Tidak setuju e. Tidak peduli
2. Alasan anda (jawaban boleh lebih dari satu)?a. Menguras waktu c. Membuat stress e. Mengurangi pendapatanb. Mengurangi jam kerja/belajar d. Menghabiskan biaya (boros bensin)
3. Jika pemerintah mau mengganti kerugian anda karena terjebak kemacetan, apakah anda bersedia menerima kompensasi tersebut ?a. Ya b. Tidak
4. Berapa besarnya kompensasi yang bersedia anda terima ?(Sebutkan)
KARAKTERISTIK RESPONDEN PENGGUNA JALAN
1. Jenis kelamin : L/P
2. Umur :……..Tahun
3. Status pernikahan : Belum/Sudah menikah
4. Pendidikan formal terakhir :a. SD/sederajat b. SLTP/sederajat c. SLTA/sederajat d. Perguruan Tinggi
5. Pekerjaan :a. PNS c. Pengusaha/Wiraswasta e. Pelajar/mahasiswab. Sopir d. Pegawai Swasta f. Lainnya (sebutkan) ……..
6. Rata-rata pendapatan utama per bulan :a. < 1 juta c. 2 juta – 3 juta e. 4 juta – 5 jutab. 1 juta – 2 juta d. 3 juta – 4 juta f. > 5 juta. Sebutkan besarnya Rp……..
7. Apakah ada penghasilan tambahan selain penghasilan utama?a. Ada, besarnya Rp……… b. Tidak
8. Jumlah tanggungan keluarga :a. Tidak ada b. Ada, …… orang (sebutkan!)
9. Apakah anda memiliki kendaraan pribadi ?a. Ya, sebutkan merknya (contoh : Honda Jazz/Honda Supra X) ….b. Tidak
1
Lampiran 3. Hasil Regresi Berganda WTA Responden Terhadap Kemacetan di Kota Bogor
Regression Analysis: WTA versus Pendidikan, Pendapatan ..
The regression equation is
WTA = 9171 + 1065,3 Pendidikan + 1070,1 Pendapatan – 705,3 Jenis Pekerjaan –
112,72 Umur + 166,5 Frekuensi Terkena Kemacetan + 640,5 Rata-Rata
Durasi Terkena Kemacetan + 466,5 Jarak Lokasi Tujuan - 673 Pengguna
Predictor Coef SE Coef T P VIFConstant 9171 2399 3.82 0.000Pendidikan 1065.3 345.2 3.09 0.002 1.2Pendapatan 1070.1 273.5 3.91 0.000 2.1Jenis Pekerjaan -705.3 219.2 -3.22 0.001 1.7Umur -112.72 32.41 -3.48 0.001 2.1Frekuensi terkena kemacetan 166.5 212.8 0.78 0.434 1.4Rata-rata durasi terkena kemacetan 640.5 210.8 3.04 0.002 1.3Jarak lokasi tujuan 466.5 182.5 2.56 0.011 1.3Pengguna -673.0 253.0 -2.66 0.008 1.5
S = 5263.67 R-Sq = 19.9% R-Sq(adj) = 18.7%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 8 3616384889 452048111 16.32 0.000Residual Error 524 14518078525 27706257Total 532 18134463415
Source DF Seq SSPendidikan 1 1060445877Pendapatan 1 1011398507Jenis Pekerjaan 1 82733272Umur 1 61784273Frekuensi terkena kemacetan 1 406905884Rata-rata durasi terkena kemacetan1 527566937Jarak lokasi tujuan dari daerah 1 269581141Pengguna 1 195968997
Unusual Observations
Obs Pendidikan Y Fit SE Fit Residual St Resid 1 3.00 30000 17348 1001 12652 2.45R14 3.00 20000 14755 1428 5245 1.04 X76 1.00 10000 13692 1224 -3692 -0.72 X80 3.00 20000 9303 744 10697 2.05R95 4.00 20000 21326 1366 -1326 -0.26 X
2
149 1.00 5000 5538 1190 -538 -0.10 X156 2.00 15000 16351 1195 -1351 -0.26 X193 4.00 25000 11240 815 13760 2.65R212 4.00 30000 14970 576 15030 2.87R230 2.00 20000 9113 584 10887 2.08R248 3.00 20000 8921 572 11079 2.12R275 3.00 20000 8642 522 11358 2.17R283 3.00 20000 9488 632 10512 2.01R290 4.00 30000 17338 746 12662 2.43R311 1.00 20000 7131 804 12869 2.47R332 3.00 30000 12382 827 17618 3.39R334 3.00 20000 8253 556 11747 2.24R344 3.00 30000 11343 720 18657 3.58R346 3.00 20000 7548 521 12452 2.38R374 1.00 20000 9642 942 10358 2.00R434 3.00 20000 7873 601 12127 2.32R465 3.00 23000 8972 609 14028 2.68R467 3.00 20000 9139 561 10861 2.08R468 3.00 20000 8860 609 11140 2.13R473 3.00 20000 6986 521 13014 2.48R506 3.00 20000 9357 779 10643 2.04R507 3.00 20000 9470 791 10530 2.02R508 3.00 20000 8829 792 11171 2.15R
R denotes an observation with a large standardized residual.X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Durbin-Watson statistic = 1.88883
Uji Kehomogenan Ragam
Uji Bartlett (Bartlett test)T statistic = 17,3P value = 0,241P-value > taraf nyata terima Ho, homoskedastisitas
Ho:homoskedastisitasH1:heteroskedastisitas
Uji Kebebasan (Autokorelasi)
Runs test for RESI1
Runs above and below K = -1.19500E-11
The observed number of runs = 235The expected number of runs = 260.722224 observations above K, 309 belowP-value = 0.022
P-value > taraf nyata terima Ho,
H0:tidak autokorelasiH1:autokorelasi
94
Lampiran 4. Foto-Foto Kemacetan di Kota Bogor