Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an...

25
EFISIENSI MODEL SINERGISITAS ANTARA USAHA MIKRO KECIL MENENGAH DENGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM RANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL Izza Mafruhah Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Penelitian ini bertujuan untuk melihat efisiensi model sinergisitas antara usaha mikro kecil menengah dengan pemerintah daerah dalam rangka pengembangan ekonomi local dan Untuk menemukan model sinergisitas yang paling cocok dalam pengembangan ekonomi lokal berbasis UMKM. , ini menggunakan DEA ( Data Envelopment Analisys). Ada 2 target yang akan dianalisis yaitu target tenaga kerja dan nilai tambah dimana Variabel input Jumlah usaha dan kredit yang diberikan dan Variabel output jumlah tenaga kerja dan nilai tambah. Target kedua yaitu analisis nilai tambah dengan variabel output nilai tambah dan variabel input jumlah tenaga kerja, jumlah usaha dan kredit. Penelitian ini menggunakan 6 daerah eks karesidenan yaitu Kedu, Pekalongan, Surakarta, Pati, Banyumas dan Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan target pertama terdapat 2 karesidenan yang belum efisien yaitu Surakarta dan Pekalongan sementara 4 karesidenan lainnya sudah efisien. Sedangkan dengan target kedua terdapat 3 karesidenan yang belum efisien yaitu Kedu, Surakarta dan Pekalongan. Pada tujuan kedua diperoleh model pengembangan UMKM di daerah adalah pola Partisipatif. PENDAHULUAN Bank dunia pada tahun 2001 menegaskan bahwa Pengembangan Ekonomi Lokal sebagai Proses di mana para pelaku pembangunan bekerja secara kolektif dengan mitra dari sektor publik, swasta dan non pemerintah untuk menciptakan kondisi lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Melalui proses ini mereka membentuk dan memelihara suatu iklim usaha yang dinamis, meningkatkan kemakmuran ekonomi dan kualitas hidup seluruh warga.’ Ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah titik beratnya pada kebijakan pengembangan berbasis lokal dengan menggunakan potensi 1

Transcript of Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an...

Page 1: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

EFISIENSI MODEL SINERGISITAS ANTARA USAHA MIKRO KECIL MENENGAH DENGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM

RANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

Izza MafruhahFakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efisiensi model sinergisitas antara usaha mikro kecil menengah dengan pemerintah daerah dalam rangka pengembangan ekonomi local dan Untuk menemukan model sinergisitas yang paling cocok dalam pengembangan ekonomi lokal berbasis UMKM. , ini menggunakan DEA ( Data Envelopment Analisys). Ada 2 target yang akan dianalisis yaitu target tenaga kerja dan nilai tambah dimana Variabel input Jumlah usaha dan kredit yang diberikan dan Variabel output jumlah tenaga kerja dan nilai tambah. Target kedua yaitu analisis nilai tambah dengan variabel output nilai tambah dan variabel input jumlah tenaga kerja, jumlah usaha dan kredit. Penelitian ini menggunakan 6 daerah eks karesidenan yaitu Kedu, Pekalongan, Surakarta, Pati, Banyumas dan Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan target pertama terdapat 2 karesidenan yang belum efisien yaitu Surakarta dan Pekalongan sementara 4 karesidenan lainnya sudah efisien. Sedangkan dengan target kedua terdapat 3 karesidenan yang belum efisien yaitu Kedu, Surakarta dan Pekalongan. Pada tujuan kedua diperoleh model pengembangan UMKM di daerah adalah pola Partisipatif.

PENDAHULUAN

Bank dunia pada tahun 2001 menegaskan bahwa Pengembangan Ekonomi Lokal sebagai ‘Proses di mana para pelaku pembangunan bekerja secara kolektif dengan mitra dari sektor publik, swasta dan non pemerintah untuk menciptakan kondisi lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Melalui proses ini mereka membentuk dan memelihara suatu iklim usaha yang dinamis, meningkatkan kemakmuran ekonomi dan kualitas hidup seluruh warga.’ Ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah titik beratnya pada kebijakan pengembangan berbasis lokal dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, institusional dan sumber daya alam setempat untuk membentuk daya saing daerah.

Data statistik UMKM Indonesia menunjukkan bahwa secara nasional menunjukkan peningkatan yang significant, pada tahun 2005 rasio wirausaha di indonesia baru sebesar 0,18%, namun pada tahun 2011 ini sudah meningkat menjadi 1,056%. Secara ideal jumah wirausaha adalah sebesar 2% dari total penduduk. Data UMKM tahun 2011 menunjukkan jumlah unit, usaha mikro kecil terhadap total usaha mempunyai pangsa 99%. Sedangkan dari jumlah tenaga kerja yang ditampung maka usaha mikro kecil mempunyai pangsa 94,60%. sementara dari jumlah PDB, unit usaha mikro kecil memiliki pangsa 45%. Jadi bisa dikatakan bahwa sebagian besar kehidupan masyarakat di Indonesia di topang oleh UMKM, seperti terlihat pada tabel berikut:

1

Page 2: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

Tabel 1. Kondisi Industri di Indonesia 2006 - 2009

2

Page 3: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

No

Skala Usaha Tahun 2005

Tahun 2006

Tahun 2007 Tahun 2008

Tahun 2009

Pangsa

Jumlah Unit Usaha 1 Usaha mikro

45,217,567

48,512,438

49,608,953

50,847,771

52,176,795 98.88%

2 Usaha Kecil

1,694,008

472,602

498,565

522,124

546,675 1.04%

3 Usaha

Menengah

105,487

36,763

38,282

39,717

41,133

0.08% 4 Usaha Besar

5,022

4,577

4,463

4,650

4,677 0.01%

Jumlah 47,022,084

49,026,380

50,150,263

51,414,262

52,769,280  

Jumlah Tenaga Kerja             1

Usaha mikro

69,966,508

82,071,144

84,452,002

87,810,366

90,012,694 91.03%

2 Usaha Kecil

9,204,786

3,139,711

3,278,793

3,519,843

3,521,073 3.56%

3 Usaha

Menengah

4,415,322

2,698,743

2,761,135

2,694,069

2,677,565

2.71% 4 Usaha Besar

2,719,209

2,441,181

2,535,411

2,756,205

2,674,671 2.70%

Jumlah 86,305,825

90,350,779

93,027,341

96,780,483

98,886,003  

Total PDB atas Dasar Harga Berlaku ( milyar )         1 Usaha mikro n.a

1,017,438.7

1,209,622.5

1,510,055.8

1,751,644.0 33.08%

2 Usaha Kecil

1,049,055.7

329,215.3

386,404.3

472,830.3

528,244.2 9.98%

3 Usaha

Menengah 445,576.2

436,769.8

511,841.3

630,339.9

713,262.9 13.47%

4 Usaha Besar

1,279,649.4

1,387,993.3

1,637,681.2

2,080,582.9

2,301,709.0 43.47%

Jumlah 2,774,281.3

3,171,417.1

3,745,549.3

4,693,808.9

5,294,860.1  

Sumber : Statistik industri Indonesia, 2010

Data tersebut menunjukkan meskipun UMKM mempunyai jumlah yang sangat banyak yaitu lebih dari 99% dan mampu menyerap tenaga kerja sampai 94,6%, namun dari total PDB hanya menyumbang kontribusi 43%. Hal ini menyebabkan kesenjangan yang tinggi, sehingga dibutuhkan komitmen dari pemerintah dalam mengembangkan potensi yang dimiliki oleh UMKM.

3

Page 4: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

Data statistic Indonesia menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah pada tahun 2011 adalah sebesar 6 % dengan kontribusi terbesar pada sector pengangkuta dan komunikasi yaitu sebesar 8,6% disusul jasa – jasa serta perdagangan , hotel dan restoran sebesar 7,5%. Sedangkan 5 kabupaten / kota terbesar yang mempunyai nilai output terbesar adalah kabupaten Kudus, kota Semarang, kabupaten Wonogiri dan kabupaten Semarang.

Data Jawa Tengah dalam angka tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah usaha/ perusahaan di Jawa Tengah menunjukkan bahwa terdapat 322.910 unit usaha kecil di sector agro industri , 320.770 unit usaha kecil di sector industri. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang terserap di usaha kecil menengah adalah sebesar 1.045.966 pada sector agroindustri dan 1.718.800 di sector industry.Usaha mikro paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu mencapai 67,02%, disusul usaha kecil yang mencapai 19,74%. Kedua skala usaha tersebut ( mikro dan kecil ), telah menampung tenaga kerja 86,76 % dari kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Usaha menengah dan besar masing – masing hanya menampung 5,12% dan 7,82%. Secara rata – rata penyerapan tenaga kerja pada usaha kecil hanya menyerap sekitar 3,02 tenaga kerja. Artinya secara rata – rata masing – masing usaha kecil di Jawa Tengah menggunakan 3 orang tenaga kerja untuk melakukan proses produksinya.

Salah satu keunggulan terbesar dari UMKM adalah kemauan mereka untuk memperjuangkan usaha yang dimiliki, misalnya ketika usaha skala besar masih terus merengek dengan tingkat bunga bank sebesar 12% per tahun, sementara UMKM tetap dapat bertahan dengan tingkat bunga 3% / bulan atau hampir 36 % per tahun, dalam jeratan rentenir. Hasil sensus ekonomi menunjukkan bahwa dari 22.727.441 usaha / perusahaan di Indonesia 12,8 juta perusahaan atau 56,5 % berusaha pada lokasi yang permanen dan 9,9 juta berusaha pada lokasi tidak permanen ( khususnya dilakukan oleh usaha mikro kecil. Kondisi di Jawa Tengah juga menunjukkan bahwa dari 3,69 juta usaha terdapat 2,22juta atau sekitar 60,26 % berusaha di lokasi permanen sedangkan sisanya yang 1,47 juta atau 39,74% berusaha pada lokasi yang tidak permanen atau berpindah – pindah. Yang dimaksud dengan lokasi tidak permanen misalnya usaha keliling, usaha kakilima, usaha yang menggunakan fasum ( trotoar jalan, taman, pinggir rel KA, Bantaran sungai, dibawah jembatan layang ). Namun hal ini tidak mempengaruhi bahwa secara nyata mereka mampu menggerakkan roda perekonomian dan memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

TUJUAN PENELITIAN Selaras dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk melihat efisiensi model sinergisitas antara usaha kecil menengah dengan stakeholder daerah dalam angka pengembangan ekonomi lokal.

2. Untuk menemukan model sinergisitas yang paling cocok dalam pengembangan ekonomi lokal berbasis UMKM

TINJAUAN PUSTAKA

Schumpeter, dalam bukunya yang berjudul The Theory Of Economic Development (1934), yang kemudian dikembangkan menjadi buku Business Cycle

4

Page 5: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

(1939). Satu pemahaman penting dalam teori yang dibangun oleh Schumpeter adalah adanya faktor utama perkembangan ekonomi adalah para wirausaha (entrepreuner).

Konsep UMKM di Indonesia mempunyai definisi berbeda satu dengan yang lain. Beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa instansi memiliki pendekatan yang berbeda pula. Beberapa perbedaan definisi tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: 1). BPS (Badan Pusat Statisitik) menggunakan dasar tenaga kerja yang dipekerjakan sebagai kriteria pembeda Usaha Mikro Kecil dan Menengah; 2). Departemen Perindustrian menggunakan dasar kriteria finansial dalam bentuk investasi barang modal dan investasiper tenaga kerja; 3). Bank Indonesia menggunakan kriteria aset dan finansial sebagai faktor pembeda antara jenis UMKM; 4). Departemen Perdagangan menggunakan faktor modal aktif usaha dagang sebagai pembeda jenis UMKM; selain itu terdapat kriteria komprehensi yang dibuat oleh Bank Dunia untuk membedakan UMKM dengan sekaligus menggunakan kriteria pekerja, aset dan omset secara bersamaan. Ikhtisar perbedaan definisi tersebut ditunjukkan oleh diagram di bawah ini:

Tabel 2.1 Ragam Pengertian Umum Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Lembaga Istilah Pengertian Umum(1) (2) (3)

UU Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

Usaha Kecil Aset Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan.Omset Rp 1 Milyar / tahunIndependen

BPS Usaha Mikro Pekerja < 5 orang, termasuk tenaga kerja keluarga

Usaha Kecil Pekerja 5 – 9 orangUsaha Menengah Pekerja 20 – 99 orang

Menteri Negara Koperasi dan UKM

Usaha Mikro Aset < Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan Omset < Rp 1 Milar/tahunIndependen

Usaha Menengah Aset > Rp 200 jutaOmset: Rp 1 – 10 milyar per tahun

Bank Indonesia (PBI No.7/39/PBI/2005)

Usaha Mikro Dijalankan oleh rakyat miskin atau dekat miskin, bersifat usaha keluarga, menggunakan sumber daya lokal, menerapkan teknologi sederhana dan mudah keluar masuk industri

Usaha Kecil Aset < Rp 200 jutaOmset < Rp 1 Milyar

Usaha Menengah Untuk kegiatan industri, aset < Rp 5 milyar. Untuk lainnya (termasuk jasa), aset < Rp 600 juta di luar tanah dan bangunanOmset < Rp 3 milyar per tahun

5

Page 6: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

Bank Dunia Usaha Mikro Pekerja < 10 orangAset < $ 100.000Omset < $ 100.000 per tahun

Usaha Kecil Pekerja < 50 orangAset < $ 3 jutaOmset < $ 3 juta per tahun

Usaha Menengah Pekerja < 300 orangAset < $ 15 jutaOmset < $ 15 juta per tahun

Sumber : Dwi Prasetyani, 2008

Secara individu UMKM memang mampu bertahan dari berbagai hantaman namun sebenarnya UMKM dapat tumbuh lebih cepat dan memberikan sumbangan yang signifikan terhadap PDRB apabila kelemahan – kelemahan yang dimilikinya bisa dihilangkan atau dieliminir sekecil mungkin. Survey yang dilakukan oleh GTZ Red (Regional Economic Development), sebuah lembaga di bawah pemerintah Jerman, terhadap iklim usaha di kabupaten kota se eks karesidenan Surakarta menunjukkan hasil bahwa 45 % pengusaha mikro dan menengah mengalami masalah dengan akses pasar, 20% mempunyai permasalahan mengenai peningkatan kualitas tenaga kerja di sektor usahanya dan 70% mempunyai permasalahan dengan akses permodalan. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak permasalahan – permasalahan yang dihadapi oleh UMKM khususnya dalam membangun jejaring baik yang sudah terpotret dalam survey maupun belum.

Beberapa kelemahan dari usaha mikro kecil dan menengah meliputi 1. Kurangnya akses permodalan dan kredit, Bank Indonesia melalui divisi PKM telah

memberikan banyak kesempatan bagi UMKM untuk menambah kemampuan modalnya dalam wujud kredit murah, namun sampoai saat ini masih sangat sedikit UMKM yang mampu membuat dirinya menjadi bankable. Hal ini disebabkan oleh belum tertatanya manajemen dan keuangan

2. Kurangnya penyuluhan dan alih tehnologi, Kondisi sumber daya manusia di UMKM yang masih terbatas menyebabkan mereka kurang mampu untuk menerima alih tehnologi dengan memanfaatkan berbagai macam tehnologi tepat guna yang saat ini banyak dikembangkan di perguruan tinggi.

3. Minimnya desain dan standarisasi produk. Kurangnya pengertian mengenai kualitas menyebabkan pengusaha dalam UMKM cenderung tidak responsif terhadap berbagai macam peningkatan desain dan mutu produk, di sisi lain standarisasi terhadap produk juga tidak pernah dilakukan sehingga akan merugikan aspek pemasarannya

4. Pembukaan akses pemasaran baik dalam maupun luar negeri. Pembukaan akses pasar bagi usaha mikro kecil dan menengah bukanlah hal yang mudah, mereka dihadapkan pada kendala belum menguasai tehnologi informasi dan kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi dengan pihak luar. Selama ini memang banyak sarana yang diberikan oleh pemerintah kaitannya dalam pengembangan pemasaran usaha mikro kecil dan menengah, namun lebih banyak yang berbiaya mahal atau informasinya kurang sampai kepada UMKM.

6

Page 7: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

a. Jumlah usaha/ perusahaan b. Jumlah kredit c. Jumlah tenaga kerja yaitu seluruh tenaga kerja yg bisa diserap d. Nilai tambah

Analisis efisiensi

Efisien Tidak Efisien

Indept Interview untuk pembentukan model sinergisitas

KERANGKA PEMIKIRAN

7

Page 8: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

METODE PENELITIAN

Untuk menjawab permasalahan pertama mengenai efisiensi kinerja, atau untuk mengukur efisiensi pengembangan usaha di daerah tersebut akan digunakan alat analisis DEA ( Data Envelopment Analysis ) terdiri atas variable input dan output serta diformulasikan dalam dua asumsi yaitu CRS (Constant Return to Scale 0 dan VRS (Variabel Return to Scale ). Di dalam penelitian ini asumsi yang dipakai adalah Constant Return to Scale karena dengan mempertimbangkan data yang digunakan adalah data akhir untuk setiap tahun sehingga sudah dilakukan penyesuaian atas perubahan – perubahan yang mungkin terjadi dalam satu tahun tersebut.

DEA digunakan untuk mengukur efisiensi suatu Unit Kegiatan Ekonomi (UKE). Ada tiga manfaat yang diperoleh dari pengukuran efisiensi dengan menggunakan DEA yaitu :

a. Sebagai tolok ukur memperoleh efisiensi relative yang berguna untuk mempermudah perbandingan antar unit ekonomi yang ada.

b. Mengukur berbagai variasi efisiensi antar unit ekonomi untuk mengidentifikasikan factor – factor

c. Menentukan implikasi kebijakan sehingga dapat meningkatkan tingkat efisiensinya.Model yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan oleh Miller dan

Noulas ( 1996 ). Efisiensi tehnis pada model pengembangan usaha mikro kecil menengah adalah dengan menghitung rasio antara input dan output yang berkaitan dengan pengembangan usaha/ perusahaan. DEA akan menghitung pengembangan usaha mikro kecil menengah yang menggunakan input n untuk menghasilkan output m yang berbeda. Sehingga alat analisisnya dirumuskan menjadi sebagai berikut :

di mana :

hs = adalah efisiensi tehnis model pengembangan usaha daerah s dalam hal ini adalah karesidenan

ys = merupakan jumlah output I yang diproduksi oleh usaha/ perusahaan s

xjs = adalah jumlah input j yang digunakan pada pengambangan usaha s

ui = merupakan bobot output I yang dihasilkan oleh karesidenan s

vj = adalah bobot input j yang diberikan oleh usaha/ perusahaan di karesidenan s dan i dihitung dari 1 ke m serta j dihitung dari 1 ke n

Persamaan di atas menunjukkan adanya penggunaan satu variable input dan satu variable output. Rasio efisiensi (hs), kemudian dimaksimalkan dengan kendala sebagai berikut :

m n

hs = ∑ ui yis / ∑ vj xjs …………….(1)

i = 1 j = 1

8

Page 9: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

Di mana N menunjukkan jumlah karesidenan dalam sample. Pertidaksamaan pertama menunjukkan adanya inefisiensi untuk UKE lain tidak lebih dari 1, sementara pertidaksamaan kedua berbobot positif. Angka rasio akan bervariasi antara 0 sampai dengan 1. Pengembangan usaha di karesidenan dikatakan efisien apabila memiliki angka rasio mendekati 0 menunjukkan efisiensi pengembangan usaha di karesidenan yang semakin rendah ( Miller dan Noulas, 1996 ). Pada DEA, setiap karesidenan dapat menentukan pembobotnya masing – masing dan menjamin bahwa pembobot yang dipilih akan menghasilkan ukuran usaha yang terbaik.

Secara grafis pendekatan 1 input dan 1 output,dapat digambarkan sebagai berikut:

C

B D V

K F G

0 A Input X

Gambar 3.1 Efisiensi dengan menggunakan pendekatan 1 input & 1 output

Tehnologi CRS ditunjukkan oleh frontier OC. Pengembangan usaha di karesidenan dikatakan efisien bila berada pada garis frontier , sedangkan yang berada di luar frontier dikatakan tidak efisien.

Beberapa program linear ditransformasikann ke dalam program ordinary linear secara primal atau dual sebagai berikut :

m

Maksimisasi hs = ∑ ui yis ……………………..(3)

i = 1

Kendala

m n

∑ ui yir / ∑ vj x jr ≤1 untuk r = 1…,N ……….(2)

i = 1 j = 1

9

m n

∑ ui yir - ∑ vj x jr ≤0 untuk r = 1…,N ;

i = 1 j = 1 n

∑ vj x js = 1 di mana ui dan vj ≥ 0 …………(4) j = 1

Page 10: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

Efisiensi pada masing – masing Karesidenan dihitung menggunakan programasi linear dengan memaksimumkan jumlah output yang dibobot dari bank s. Kendala jumlah input yang dibobot harus kurang atau sama dengan 0. Hal ini berarti semua Karesidenan akan berada di bawah referensi kinerja frontier yang merupakan garis lurus yang memotong sumbu origin

Minimisasi βs

n

Kendala : ∑ θr yir ≥ yis I = 1 , , m ………………………. ( 5 )

r =1

βs x js - ∑ θr xir ≥ 0, j = 1 , , n : θ ≥ 0 ; βs bebas

j =1

Variabel βs merupakan efisiensi teknis dan bernilai antara o dan 1. Programasi linier pada persamaan di atas diasumsikan Constant Return to Scale. Efisiensi teknis ( βs) diukur dengan menggunakan rasio KF / FS dan bernilai kurang dari 1 sementara (1- βs) menerangkan jumlah input yang harus dikurangi untuk menghasilkan output yang sama sebagai bentuk efisiensi bank seperti yang ditunjukkan oleh titik F. Kedua perhitungan tersebut baik minimisasi input dan maksimisasi output akan memberikan nilai yang relative sama. Dalam penelitian ini efisiensi akan dihitung dari sisi input oriented maupun output oriented.

HASIL ANALISIS

Dalam penelitian ini menggunakan Propinsi Jawa Tengah sebagai sampel dengan menggunakan 6 eks karesidenan sebagai data analisis. Pemilihan eks karesidenan karena perekonomian suatu daerah tingkat II tidak hanya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi daerah tersebut saja namun sangat ditentukan oleh daerah di sekitarnya. Misalnya kabupaten Karanganyar di eks karesidenan Surakarta, tergantung pada kota Solo sebagai media pemasaran dan pusat perdagangan hasil industri di kabupaten Karanganyar. Demikian juga kota Surakarta sangat tergantung pada kabupaten Klaten untuk pemenuhan bahan makanan atau hasil – hasil pertanian.

Pembahasan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis DEA yaitu dengan membandingkan antara input dengan output yang berpengaruh terhadap perkembangan usaha di suatu daerah. Dalam penelitian ini terdapat 2 target yang ingin dicapai untuk itu akan dilakukan dua pembahasan secara terpisah.

B.1. Target nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja

10

Page 11: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

Target yang ingin diraih adalah terserapnya tenaga kerja yang ada di daerah, sehingga untuk melihat tingkat efisiensi dalam pengembangan ekonomi di daerah yang digunakan sebagai variabel input adalah jumlah kredit yang dikucurkan dan jumlah usaha yang ada baik dalam skala besar menengah, kecil maupun mikro. Sedangkan yang menjadi variabel output adalah jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang ada di daerah. Pemilihan kredit sebagai variabel input dikarenakan kredit diharapkan akan bisa memberikan tambahan investasi yang ada di daerah dan digunakan untuk usaha produksi sehingga akan mampu menggerakkan roda perekonomian di daerah tersebut. Hal ini akan sinkron dengan jumlah UMKM yang ada di daerah.

Dari data di lapangan diperoleh bahwa input dan otuput yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 5Data input output yang digunakan dalam analisis penelitian

No Nama Karesidenan Jml usaha TK Kredit Nilai Tambah

1 Banyumas 587947 1136796 54934646 39534725

2 Kedu 614987 1262518 47239197 18014529

3 Surakarta 711418 1553798 130757669 34819409

4 Pati 470795 1118785 91685418 35163487

5 Pekalongan 724789 1347222 71411300 26553634

6 Semarang 582341 1356181 226093023 44192866

Sumber : Data lapangan diolah

Setelah dilakukukan pengolahan dengan menggunakan analisis DEA diperoleh hasil terdapat 2 daerah yang tidak efisien yaitu Karesidenan Surakarta dan Karesidenan Pekalaongan yang mempunyai tingkat efisiensi 93,08 % untuk karesidenan Surakarta dan 88,78% untuk karesidenan Pekalongan. Sumber inefisiensi terjadi baik pada variabel input maupun output. Inefisiensi yang terjadi pada variabel input menunjukkan bahwa terjadi pemborosan atau pengangguran dari masing – masing variabel yang membentuk output, artinya di kedua daerah tersebut masih harus dilakukan optimalisasi. Kebijakan yang dilakukan dimasing – masing kabupaten/ kota yang berada di wilayah karesidenan harus bisa disinkronkan agar bisa saling dukung untuk pengembangan bersama.

Secara rinci hasil perhitungan analisis DEA bisa ditunjukkan dalam tabel berikut ini :

Tabel 6Data input output yang digunakan dalam analisis penelitian

No Nama Karesidenan Efisiensi BENCHMARK

1 Banyumas 100,00 %

2 Kedu 100,00 %

11

Page 12: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

3 Surakarta 93,08 % UKE 2 UKE 4

4 Pati 100,00 %

5 Pekalongan 88,78 % UKE 1 UKE 2 UKE 4

6 Semarang 100,00 %

Jumlah PropinsiSumber : Data lapangan diolah

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa karesidenan Surakarta akan mencapai tingkat efisiensi bila mengacu pola pengembangannya pada Karesidenan Kedu dan Karesidenan Pati. Sementara karesidenan Pekalongan akan mencapai tingkat efisiensi maksimal apabila mengacu pada karesidenan Banyumas, karesidenan Kedua dan Karesidenan Pati.

Apabila ditunjukkan satu persatu maka akan ditunjukkan hasil seperti dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 7Hasil pengolahan data di karesidenan Pekalongan dengan menggunakan DEA

Variabel Aktual Target To Gain AcheivedJumlah usaha 724.789 681.731 5,9 % 94,1 %Kredit 71.411.300 67.168.954 5,9 % 94,1 %Tenaga Kerja 1.347.222 1.427.256 5,9 % 94,1 %Nilai Tambah 26.553.634 28.131.111 5,9 % 94,1 %

Sumber : Data lapangan diolah

Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata sumber inefisiensi di karesidenan Pekalongan terletak di setiap lini baik input maupun output. Di mana Jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 724.789 bisa menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi yaitu sebesar 28.131.111 dan juga bisa menyerap tenaga kerja yang lebih banyak yaitu sebesar 1.427.256. Atau bisa dikatakan dengan nilai tambah sebesar 26.553.634 bisa diciptakan hanya dengan jumlah usaha sebanyak 681.731. Artinya telah terjadi pemborosan atau tidak optimalnya usaha dalam menciptakan nilai tambah.

Berikut ini hasil pengolahan data untuk karesidenan Surakarta

Tabel 8Hasil pengolahan data di karesidenan Surakarta dengan menggunakan DEA

Variabel Aktual Target To Gain AcheivedJumlah usaha 711.418 685.937 3,6 % 96,4 %Kredit 130.757.669 126.074.430 3,6 % 96,4 %Tenaga Kerja 1.553.798 1.609.449 3,6 % 96,4%Nilai Tambah 34.819.409 48.341.828 38,00 % 72,00%

Sumber : Data lapangan diolah

12

Page 13: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata sumber inefisiensi di karesidenan Surakarta terletak di setiap lini baik input maupun output. Dari sisi jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 711.418 hanya menciptakan nilai tambah sebesar 34.819.309, padahal dengan kombinasi kredit yang diberikan diharapkan bisa mencapai target nilai tambah sebesar 48.341.828 . Dari sisi tenaga kerja dengan kombinasi kedua input tersebut seharusnya bisa menciptakan tenaga kerja 1.609.449 sementara yang saat ini tercapai baru 34.819.409. Atau bisa dikatakan untuk menciptakan nilai tambaha dan tenaga kerja sebesar aktul, cukup diperlukan jumlah usaha sebesar 685.937 unit usaha dan kredit investasi sebesar 126.074.430 juta. Artinya telah terjadi pemborosan atau tidak optimalnya usaha dan pemberian kredit dalam menciptakan nilai tambah dan membuka / menyerap tenaga kerja.

Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa tingkat efisiensi tidak ditunjukkan oleh besar kecilnya masing – masing variabel input dn otuput namun lebih mengacu pada bagaimana masing – masing variabel bisa bersinergi untuk menciptakan efisiensi sesuai dengan yang diharapkan.

B.2. Target Pertumbuhan nilai tambahPada penelitian dengan target ini, yang lebih ditekankan adalah besarnya nilai

tambah yang ada di masing – masing karesidenan yaitu dengan menggunaan variabel nilai tambah sebagai variabel keluaran atau output sementara variabel inputnya adalah jumlah usaha/ perusahaan yang ada di karesidenan tersebut, jumah kredit yang disalurkan dan jumlah tenaga kerja yang ikut masuk dalam usaha/ perusahaan tersebut.

Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan alat analisis DEA maka bisa diketahui bahwa terdapat 3 karesidenan yang belum mencapai tingkat efisiensi yaitu karesidenan Kedu, karesidenan Surakarta dan kresidenan Pekalongan. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa masing – masing karesidenan tersebut mempunyai tingkat efisiensi yang relatif rendah dibandingkan yaitu sebesar 52,99 % untuk karesidenan Kedu, 56,67% untuk karesidenan Pekalongan dan 68,19% untuk karesidenan Surakarta.

Tabel 9Data input output yang digunakan dalam analisis penelitian

No Nama Karesidenan Efisiensi BENCHMARK

1 Banyumas 100,00 %

2 Kedu 52,99 % UKE 1

3 Surakarta 68,19 % UKE 1 UKE 4 UKE6

4 Pati 100,00 %

5 Pekalongan 56,57 % UKE 1

6 Semarang 100,00 %

Jumlah PropinsiSumber : Data lapangan diolah

13

Page 14: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

Dari hasil olahan data tersebut di atas, bisa diketahui bahwa masing – masing daerah / karesidenan bisa mengacu pada daerah – daerah bencmark bila akan mengoptimalkan inputnya agar bisa menghasilkan output yang efisien khususnya dalam pengembangan ekonomi daerah.

Apabila ditunjukkan satu persatu maka bisa diperoleh hasil sebagai berikut :

B.2.1. Karesidenan KeduPengolahan data di karesidenan Kedu diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 10Hasil pengolahan data di karesidenan Kedu dengan menggunakan DEA

Variabel Aktual Target To Gain AcheivedJumlah usaha 614.987 350.228 43 % 56 %Tenaga Kerja 1.262.518 677.166 46,4% 53,6 %Kredit 47.239.197 32.723.482 30,7% 69,3%Nilai Tambah 18.014.529 23.550.054 30,7% 76,5%

Sumber : Data lapangan diolah

Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata sumber inefisiensi di karesidenan Kedu terletak di setiap lini baik input maupun output. Di mana dengan jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 614.987 , jumlah tenaga kerja 1.262.518, Kredit sebesar 47.239.197 juta seharusnya bisa menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi yaitu sebesar 23.550.054 juta bukan hanya senilai 18.014.529 juta. Atau dengan kata lain untuk menciptakan nilai tambah sebesar 18.014.529 juta tersebut, cukup dengan jumah usaha sebesar 350.228, tenaga kerja 677.166 dan kredit sebesar 32.723.482 juta. Artinya telah terjadi pemborosan atau tidak optimalnya usaha , tenaga kerja dan kredit dalam menciptakan nilai tambah.

B.2.2. Karesidenan PekalonganPengolahan data di karesidenan Pekalongan diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 4.8Hasil pengolahan data di karesidenan Pekalongan dengan menggunakan DEA

Variabel Aktual Target To Gain AcheivedJumlah usaha 724.789 504.097 30,4 % 69,6 %Tenaga Kerja 1.347.222 974.673 27,7 % 72,3 %Kredit 71.411.300 47.100.218 34 % 66 %Nilai Tambah 26.553.634 33.896.535 27,7 % 78,3 %

Sumber : Data lapangan diolah

Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata sumber inefisiensi di karesidenan Pekalongan terletak di setiap lini baik input maupun output. Di mana dengan jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 724.789 , jumlah tenaga kerja 1.347.222, Kredit sebesar 71.411.634 juta seharusnya bisa menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi yaitu sebesar 33.896.535 juta bukan hanya senilai 26.553.634 juta. Atau

14

Page 15: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

dengan kata lain untuk menciptakan nilai tambah sebesar 26.553.634 tersebut, cukup dengan jumah usaha sebesar 504.097, tenaga kerja 974.673 dan kredit sebesar 47.100.218 juta. Artinya telah terjadi pemborosan atau tidak optimalnya usaha , tenaga kerja dan kredit dalam menciptakan nilai tambah.

B.2.3. Karesidenan SurakartaPengolahan data di karesidenan Surakarta diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.8Hasil pengolahan data di karesidenan Surakarta dengan menggunakan DEA

Variabel Aktual Target To Gain AcheivedJumlah usaha 711.418 576.849 18,9 % 81,1 %Tenaga Kerja 1.553.798 1.259.889 18,9 % 81,1 %Kredit 130.757.669 106.024.190 18,9 % 81,1 %Nilai Tambah 34.819.409 41.405.677 18,9 % 84,1 %

Sumber : Data lapangan diolah

Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata sumber inefisiensi di karesidenan Pekalongan terletak di setiap lini baik input maupun output. Di mana dengan jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 711.418 , jumlah tenaga kerja 1.553.798, Kredit sebesar 130.757.669 juta seharusnya bisa menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi yaitu sebesar 41.405.677 juta bukan hanya senilai 34.819.409 juta. Atau dengan kata lain untuk menciptakan nilai tambah sebesar 34.819.409 tersebut, cukup dengan jumah usaha sebesar 576.849, tenaga kerja 1.259.889 dan kredit sebesar 106.024.190 juta. Artinya telah terjadi pemborosan atau tidak optimalnya usaha , tenaga kerja dan kredit dalam menciptakan nilai tambah.

C. Model Pengembangan Ekonomi dengan Pemberdayaan masyarakat partisipatifDari hasil pembahasan tersebut di atas diperoleh bahwa ternyata karesidenan yang

belum mencapai optimal atau efisiensi 100 % adalah Karesidenan Kedu, Pekalongan dan Surakarta. Sedangkan yang sudah efisien adalah Karesidenan Banyumas, Karesidenan Semarang dan Karesidenan Pati. Setelah dilakukan pemilihan sampel dengan metode random, maka berhasil terpilih bahwa kabupaten Semarang akan mewakili karesidenan Semarang dan kabupaten Sragen akan mewakili karesidenan Surakarta.

Hasil penelitian dengan menggunakan metode indepth interview dan focus group discussion ini memberikan hasil :1. Model Pengembangan Ekonomi Lokal Pasrtisipatif. Merupakan model yang digagas

oleh PDPP ( Program Dasar Pembangunan Partisipatif ) kerjasama antara pemerintah daerah dengan US Aid. Dalam model ini, pola pengembangan ekonomi lokal yang partisipatif tersebut di atas, menempatkan usaha mikro kecil menengah menjadi basis atau dasar di mana tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan usaha mikro kecil menengah dengan berbagai fasilitas pendukung meliputi lembaga keuangan, pelayanan bisnis, trading house, Non Government Services, Asosiasi, Pendidikan dan penelitian. Adapun pelibatan masyarakat dalam model ini adalah sebagai subyek utama dalam pengembangan ekonomi melalui musyawarah mufakat antar berbagai

15

Page 16: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

stakeholder yang ada di daerah. Urutan kegiatan dalam Pengembangan ekonomi lokal partisipatif ini adalah sebagai berikut :

a. Pemilihan klaster, Klaster diterjemahkan sebagai suatu lingkungan kegiatan sejenis yang secara luas terhampar, tersistem dan mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lain dalam bentuk kemitraan.. Pendekatan klaster adalah memberdayakan kelompok kegiatan ekonomi melalui integrasi vertikal yaitu membina jaringan kemitraan dari produsen primer, pengumpul, produsen barang ( baik barang jadi, maupun setengah jadi ) hingga eksportir. Tahapan pemilihan klaster dimulai dengan identifikasi potensi ekonomi daerah yang merupakan penjabaran dari program – program kunci atau unggulan di masing – masing kabupaten/ kota.

b. Identifikasi regulasi di daerah. Dalam pengembangan ekonomi lokal tentu tidak akan terlepas dari kebijakan – kebijakan yang ada di daerah, untuk itu diperlukan adanya identifikasi berbagai regulasi baik yang mendukung pengembangan ekonomi lokal khususnya yang berbasis UMKM ataupun justru yang menghambat pengembangan ekonomi lokal.

c. Identifikasi permasalahan yang ada di lapangan mulai dari bahan baku, permodalan, proses produksi, pemasaran sampai dengan pengembangan sumber daya manusianya serta berbagai sarana pendukung atau fasilitasi yang ada di daerah.

d. Upaya – upaya atau alternatif yang bisa digunakan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dalam pengembangan ekonomi lokal

e. Pembentukan kemitraan antar stakeholde ryang ada di daerah

f. Melakukan promosi cluster dengan berbagai upaya mulai dari pameran, pembuatan website, trading house dan sebagainya

g. Pembuatan repliksi cluster manakala cluster awal sudah dianggap berhasil. Apabila digambarkan secara diagram pola kerjasama kemitraan yang direncanakan dalam PDPP adalah seperti di bawah ini :

16

Page 17: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

Kemitraan Swasta, Masyarakat, Pemda

Pendidikan, Penelitian

Trading House

NGS: Asso

siasi.

, LSM

Eksporter

Pengusaha

UMKM/ Pengrajin

Clus

ters

Pelayanan BisnisLembaga Keuangan

Gambar 4.1. Pengembangan ekonomi lokal partisipatif

PENUTUP

Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan DEA maka bisa diketahui bahwa di mana letak inefisiensi yang adalah dalam menciptakan output yang diharapkan. Kondisi di lapangan dari 6 karesidenan yang ada di Jawa Tengah, ternyata terdapat beberapa karesidenan yang belum mencapai efisiensi secara optimal.

Untuk itu, agar kegiatan pengembangan usaha mikro kecil menengah bisa berjalan Dalam pembangunan wilayah sebaiknya dengan mempertimbingkan potensi bukan hanya di kabupaten/ kota namun juga potensi sekitarnya. Misalnya yang sudah direncanakan yaitu pembentukan Solo Raya dan sebagainya. Dengan meningkat linkage ini maka diharapkan daerah akan bisa maju bersama.

DAFTAR PUSTAKAAmbar Teguh Sulistyani, 2004, “Kemitraan dan Model – Model Pemberdayaan”, Gaya Gava

Media, Yogyakarta

Arief Sritua, 2000, Ekonomi Kerakyatan : “Pemberdayaan Masyarakat secara nasional dan daerah”, Mei 2000

BPS, 2006, Sensus Ekonomi 2006

BPS, 2006, Jawa Tengah Dalam Angka 2006

17

Page 18: Efisiensi Model as Antara Usaha Mikro Kecil Menengah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka an Ekonomi Lokal

Lincolin Arsyad, 1999, “Ekonomi Pembangunan”, STIE YKPN, Yogyakarta

Pusat Antar Universitas (PAU) UGM, 2005. Modul Metodologi Penelitian Empiris DEA, Yogyakarta

Pusat Pendidikan kebansentralan Bank Indonesia (PPSK) BI , 2003, Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia : tinjauan kelembagaan, kebijakan dan organisasi, BI Jakarta.

Todaro Michael, 1999, “Pembangunan Ekonomi di dunia Ketiga”, Ghalia Indonesia, Jakarta

TKP3 KPK, 2004, ”Akar Kemiskinanan Ketidakberdayaan Masyarakat”, Jakarta

TKP3 KPK, 2004, ”Informasi Dasar Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD)”, Jakarta

TKP3 KPK, 2004, ”Masalah Kemiskinan dan Kompleksitas Penanggulangannya”, Jakarta

www. Kementrian Koperasi dan UKM.go.id

www. Kementrian BUMN.go.id

TKP3 KPK, 2004, Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta

18